Peningkatan Kualitas dengan Doktrin KAIZEN ( 改善 ) Oleh Bonivasius Prasetya Istilah Kaizen (peningkatan kualitas yang terus menerus) merupakan istilah yang sangat popular dan umum dalam manajemen industri. Kaizen merupakan suatu filosofi manajemen dari Jepang yang memfokuskan diri pada pengembangan dan penyempurnaan secara terus menerus atau berkesinambungan dalam perusahaan. Kaizen, yang dipopulerkan oleh Masaaki Imai (Gemba Kaizen, 1986), merupakan sebuah konsep agar orang selalu berpikir dan berusaha membuat lebih baik dari yang sudah ada, dengan melakukan pengamatan di tempat kerja atau Gemba. Kaizen pertama kali diterapkan pada beberapa industri di Jepang selama recovery period post WW II. Keberhasilannya di perusahaan otomotif Toyota membuat Kaizen kemudian menyebar ke seluruh dunia. Kaizen terdiri dari enam elemen utama yang terdiri dari, team work, disiplin pribadi, peningkatan moral, Quality Circles (grup kecil yang menjalankan aktifitas peningkatan kualitas), saran pegawai untuk peningkatan kualitas (bottomup suggestion) dan penghargaan bagi pegawai yang berhasil meningkatkan kualitas. Selain itu Kaizen juga memiliki tiga faktor kunci yaitu standarisasi, menghilangkan Muda (pemborosan) dan ketidak efisienan, dengan menerapkan Deming Cycle yang biasa disebut siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action), 5 S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke), JIT (Just in Time), TPM (Total Productive Maintenance) dan TQM (Total Quality Management). Kesemuanya diterapkan dalam aktivitas sehari-hari sehingga semua pegawai diharapkan mampu berorientasi pada proses dan hasil (outcome), dan tidak saling menyalahkan, tapi terus belajar dari kesalahan yang terjadi di lapangan. Hal yang menarik pada Kaizen adalah melibatkan semua orang, dari manajer sampai pegawai pada level terbawah. Selain itu, Kaizen juga menanamkan mindset untuk selalu berpikir ke arah yang lebih baik, untuk selalu belajar dan memperbaiki diri sendiri. Kaizen memang membutuhkan waktu yang lama untuk memetik hasilnya jika dibandingkan Business Process Reengineering (BPR), karena peningkatan kualitas pada Kaizen dilakukan secara pelan dan bertahap. Tetapi konsep Kaizen lebih people oriented, lebih mudah diterapkan dan biaya yang rendah, jika dibandingkan dengan BPR yang technology oriented, melakukan perubahan radikal, membutuhkan perubahan yang besar dalam kemampuan manajemen dan biaya yang besar. Walaupun Kaizen biasanya diterapkan di dalam dunia bisnis khususnya manufacturing, konsep ini juga bisa diterapkan di birokrasi. Modal pertama yang diperlukan dalam penerapan Kaizen adalah kesadaran, kemauan dan komitmen pada individu-individu pribadi dalam suatu tim atau unit kerja untuk terus belajar, berkomunikasi, disiplin, ikut terlibat dan merubah diri demi meningkatkan segala hal secara terus menerus termasuk mengurangi pemborosan dan ketidak efisienan demi lancarnya suatu pekerjaan. Berikutnya adalah membangun suatu aturan main (Rule of Games) yang jelas sebagai pedoman (SOP) untuk meningkatkan kualitas, baik itu proses maupun hasil pekerjaan. Dalam merumuskan SOP ini semua pegawai, pada semua level harus dilibatkan untuk mendapatkan masukan. SOP ini diterapkan dengan menggunakan Deming Cycle (PDCA), di mana suatu perencanaan (P) setelah dilaksanakan (D) dilakukan pengecekan (C), jika ada anomali maka dilakukan tindakan (A) yang bisa berupa pencegahan (Preventive Action) atau perbaikan (Corrective Action), kemudian kembali kepada perencanaan lagi. Kaizen dimungkinkan untuk diterapkan di birokasi pemerintah dengan memperhatikan beberapa prinsip berikut: 1) SDM adalah asset paling penting karena semua pegawai memberikan kontribusi pada keberhasilan survey/sensus, 2) Keberhasilan tidak dapat dicapai hanya oleh perubahan yang radikal, melainkan oleh karena akumulasi peningkatan yang konsisten dan terus menerus, 3) Peningkatan harus berdasarkan key performance indicator (KPI) dari suatu proses pekerjaan, 4) Feed back dari pegawai berdasarkan pengamatan lapangan merupakan masukan yang penting. Sementara doktrin Kaizen yang perlu ditanamkan adalah: 1) Tidak ada satu haripun dimana saja pada unit organisasi yang dilalui tanpa peningkatan, 2) Strategi peningkatan diarahkan berdasarkan kebutuhan dan kepuasan pengguna data, 3) Kualitas selalu menjadi prioritas tertinggi di atas date line, 4) Pegawai didorong untuk mengenali masalah dan memberikan saran untuk mengatasinya, 5) Masalah diselesaikan dengan pendekatan sistematis dan kolaborasi antar subject matter, 6) Proses (bukan hasil) berorientasi pada perencanaan dilatih pada semua pegawai. Untuk penerapan di birokrasi memang terbentur oleh kendala budaya pegawai negeri sipil di Indonesia yang terbiasa nerimo (pasrah), nyaman dengan sistem yang sudah ada, dan mudah puas atas prestasi yang telah dicapai. Kendala ini dapat diminimalisir dengan menyiapkan pola karier berbasis kompetensi, sistem rotasi dan mutasi yang fair, dan reward berbasis kinerja. Sehebat apapun konsep manajemen, implementasinya akan gagal, mati muda atau mati suri jika kebutuhan dasar seperti yang disebut di atas masih abu-abu atau tidak konsisten diterapkan. Tapi bukan berarti kita tidak berani mencoba, karena kegagalan malah merupakan peluang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas (proses) bekerja dan (hasil) pekerjaan.