Bab 2 Landasan Teori 2.1. Konsep Kaizen Masaaki Imai mengatakan bahwa kaizen dalam bahasa Jepang diartikan sebagai perbaikan berkesinambungan. Istilah ini mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan semua orang-baik manajer maupun karyawan-dan melibatkan biaya dalam jumlah tak seberapa (Imai, 1998: 1), sehingga bisa dikatakan bahwa kaizen merupakan usaha perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dan melibatkan semua orang dalam perusahaan. Selain itu, menurut Imai filsafat kaizen tidak hanya diterapkan pada kehidupan kerja kita melainkan juga dalam kehidupan sosial dan rumah tangga, harus dilakukan perbaikan terus menerus. Sehingga dapat dikatakan kaizen tidak hanya diberlakukan dalam perusahaan tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Lebih lanjut, Imai mengatakan bahwa seorang manajer harus menerapkan konsep dan sistem mendasar untuk seorang manajer bisa mewujudkan sistem kaizen, diantaranya adalah: 1. Kaizen dan manajemen 2. Proses versus hasil 3. Siklus PDCA/SDCA 4. Mengutamakan kualitas 5. Berbicara dengan data 6. Proses berikut adalah konsumen 1. Kaizen dan manajemen Disebutkan bahwa dalam konteks kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama yaitu pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan dengan kegiatan untuk memelihara teknologi, sistem manajerial, standar operasional yang ada, dan menjaga standar tersebut melalui pelatihan serta disiplin. Di bawah fungsi pemeliharaan ini, manajemen mengerjakan tugas-tugasnya sehingga semua orang dapat mematuhi prosedur pengoperasian standar (standard operating procedureSOP). Namun di sisi lain, perbaikan berkaitan pada kegiatan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada (Imai, 1998: 3). 7 8 2. Proses Versus Hasil Imai menjelaskan bahwa kaizen menekankan pola pikir berorientasi proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil dapat meningkat (Imai, 1998: 4). Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Manajemen harus menemukenali dan memperbaiki kesalahan pada proses tersebut. Ada beberapa pendekatan berorientasi proses yang harus diterapkan dalam pencanangan berbagai strategi kaizen yaitu siklus PDCA (plan-do-check-act) dan siklus SDCA (standarize-do-check-act), QCD (quality, cost, delivery), TQM (total quality management), JIT (just-in-time) dan TPM (total productive maintenance). Strategi kaizen harus didemonstrasikan secara terbuka, konsisten, dan langsung guna menjamin keberhasilan proses kaizen. 3. Siklus SDCA/PDCA Dalam siklus SDCA/PDCA, Imai (1998: 4) menjelaskan bahwa langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (plan-do-check-act) agar terjamin dalam terlaksananya kesinambungan dari kaizen guna mewujudkan kebijakan untuk memelihara dan memperbaiki/meningkatkan standar. Siklus ini merupakan konsep yang terpeting dari proses kaizen. Rencana (plan) berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan, dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target tersebut. Lakukan (do) merupakan penerapan dari rencana tersebut. Periksa (check) adalah penetapan apakah penerapan tersebut sudah sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Tindak (act) berkaitan dengan standarisasi prosedur baru untuk menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya. Siklus PDCA beputar secara berkesinambungan, dalam arti bahwa segera setelah suatu perbaikan tercapai, dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya. Sebelum mengerjakan siklus PDCA berikutnya, proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA (standarize-do-check-act). Setiap kali ketidakwajaran timbul dalam suatu proses, harus ada pertanyaan yang diajukan sebagai bahan koreksi seperti: Apakah hal itu terjadi karena kita tidak memiliki standar, Apakah hal itu terjadi karena standar tidak dipatuhi, Atau apakah hal itu terjadi karena karena standar yang ada tidak cukup rinci atau kurang memadai. 9 Hanya setelah standar ditetapkan dan dipatuhi seta membawa kestabilan pada proses, kita boleh beralih ke PDCA berikutnya. Jadi, SDCA menerapkan standarisasi guna mencapai kestabilan proses, sedangkan PDCA menerapkan perubahan guna meningkatkannya. SDCA berkaitan dengan fungsi pemeliharaan, sedang PDCA merujuk pada fungsi perbaikan; dua hal inilah yang mnejadi tanggung jawab utama manajemen. 4. Mengutamakan Kualitas Tujuan utama dari kualitas, biaya, dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi (Imai, 1998: 5). Perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas produk dan pelayanannya tidak memadai. Praktek mengutamakan kualitas membutuhkan komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan berbagai godaan untuk membuat kompromi berkenaan dengan persyaratan penyerahan atau pemotongan biaya. 5. Berbicara dengan data Kaizen adalah proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara benar dan dipecahkan, masalah itu harus diketahui dan kemudian data yang relevan dikumpulkan serta ditelaah. Imai (1998: 6) mengatakan bahwa mencoba menyelesaikan masalah tanpa data adalah pemecahan masalah berdasarkan selera dan perasaan, suatu pendekatan yang tidak ilmiah dan tidak objektif. 6. Proses berikut adalah konsumen Pada dasarnya semua pekerjaan dapat terselenggara melalui serangkaian proses yang masing-masing proses memiliki pemasok maupun konsumen. Suatu material atau butiran informasi disediakan oleh proses A (pemasok) kemudian dikerjakan dan diberi nilai tambah di proses B untuk selanjutnya diserahkan ke proses C (konsumen). Proses berikut harus selalu diperlakukan sebagai konsumen. Proses berikut adalah konsumen, merujuk pada dua macam konsumen yaitu konsumen internal, yang prosesnya yang masih berada dalam perusahaan yang sama dan pelanggan eksternal yang berada di pasar. Lebih lanjut, kebanyakan orang dalam bekerja selalu berhubungan dengan konsumen internal. Kenyataan ini hendaknya dipakai sebagai dasar komitmen untuk 10 tak pernah meneruskan produk cacat ataupun butir informasi yang salah kepada proses berikutnya. 2.1.1 Process-Oriented Management Manajemen berorientasi proses (Process-Oriented Management) merupakan gaya manajemen yang berorientasi pada orang dan mengacu pada usaha yang dilakukan (Imai, 1986: 16). Dalam manajemen berorientasi proses seorang manajer haruslah mendukung dan menstimulasi usaha untuk meningkatkan cara karyawan melakukan kerja mereka. Manajemen gaya seperti ini membutuhkan pengamatan jangka panjang dan biasanya membutuhkan perubahan sikap. 2.1.2 Penghematan biaya di genba Istilah penghematan biaya bukan berarti pemotongan biaya, namun lebih mengacu pada pengelolaan biaya. Pengelolaan atau manajemen biaya berarti memantau proses pengembangan, produksi, dan penjualan produk maupun jasa layanan agar menghasilkan kualitas yang baik, didampingi oleh upaya mencapainya dengan biaya yang lebih rendah atau dengan biaya yang sesuai dengan target (Imai, 1998: 42). Disebutkan bahwa cara terbaik dalam mengurangi biaya di genba adalah dengan menghapuskan penggunaan berlebih dari semua sumber daya. Ada tujuh kegiatan yang harus dilakukan untuk dapat mengurangi biaya, yaitu: 1. Meningkatkan kualitas 2. Meningkatkan produktivitas 3. Mengurangi tingkat persediaan 4. Memperpendek jalur produksi 5. Mengurangi gangguan atau gagal fungsi mesin 6. Mengurangi ruang kerja 7. Mempersingkat waktu tempuh produksi 1. Meningkatkan kualitas Kegiatan meningkatkan kualitas pada dasarnya memprakarsai pengurangan biaya. Meningkatkan kualitas proses akan berdampak pada tingkat kesalahan yang makin berkurang, lebih sedikit kegagalan, lebih sedikit pekerjaan ulang-mengulangi, 11 waktu tempuh proses yang lebih singkat, dan penurunan jumlah sumber daya yang digunakan. 2. Meningkatkan produktivitas Produktivitas meningkat apabila masukan (input) yang lebih sedikit dapat menghasilkan keluaran (output) yang sama atau output meningkat dengan input yang sama. Input dalam hal ini berkaitan dengan berbagai sumber daya langsung seperti sumber daya manusia(tenaga kerja), utilitas (energi dalam berbagai bentuknya) dan material. Sedangkan output adalah produk, jasa layanan atau tingkat hasil (yield) dan nilai tambah. 3. Mengurangi tingkat persediaan Persediaan membutuhkan tempat, memperpanjang waktu tempuh produksi, menciptakan kesibukan transpor dan pergudangan, dan tentu saja menyerap sumber dana finansial. 4. Memperpendek jalur produksi Khususnya dalam bidang manufaktur, jalur produksi yang panjang membutuhkan lebih banyak orang, lebih banyak barang dalam proses, dan waktu tempuh yang lebih lama. Sehingga lebih banyak orang juga berarti makin banyak kesalahan yang dibuat yang berdampak pada masalah kualitas. 5. Mengurangi gangguan mesin Dikatakan bahwa mesin yang gagal berfungsi dapat mengganggu jalannya produksi. Mesin yang tak dapat diandalkan cenderung membuat pemiliknya agar melakukan sistem produksi secara batch atau lot sehingga menimbulkan berbagai dampak, salah satunya kualitas. Hal yang sama juga bisa terjadi didalam sektor layanan atau jasa. Gagal fungsi pada sistem komputer maupun komunikasi menimbulkan hambatan dan kelambatan yang meningkatkan biaya operasional. 6. Mengurangi ruang kerja Ruang kerja berlebih yang dapat dibebaskan melalui genba kaizen dapat digunakan untuk menambah jalur baru atau dianggap sebagai cadangan untuk 12 perluasan masa mendatang. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam bidang nonmanufaktur. 7. Mempersingkat waktu tempuh Waktu tempuh yang lebih pendek berarti pemanfaatan yang lebih baik dari sumber daya perusahaan (Imai, 1998: 46). Itu berarti pula fleksibilitas dalam memenuhi kehendak konsumen dan biaya operasi yang lebih rendah. Waktu tempuh merupakan ukuran sejati dari kemampuan manajemen, dan mengusahakannya menjadi makin singkat harus menjadi obsesi dari manajemen puncak. Pemborosan yang terdapat selama waktu tempuh merupakan peluang emas bagi kaizen. Menurut Imai cara untuk mempersingkat waktu tempuh mencakup: memperbaiki dan mempercepat umpan balik berupa pesanan konsumen dan berkomunikasi secara lebih baik dengan para pemasok. Bila semua orang dalam organisasi bekerja keras mencapai sasaran ini maka akan terhimpun banyak manfaat positif pada manajemen biaya yang efektif. 2.1.3 Sistem Utama Kaizen Imai (1998: 6) menjelaskan dalam kaizen ada sistem utama yang harus mendapat posisi penting guna mencapai sukses strategi kaizen, diantaranya: 1. Total Quality Control/Total Quality Management (TQC/TQM) 2. Sistem produksi just-in-time 3. Total Productive Maintenance 4. Penjabaran kebijakan perusahaan (policy deployment) 5. Sistem saran (suggestion system) 6. Kegiatan kelompok kecil (small-group activities) 1. Total Quality Control/Total Quality Management Salah satu prinsip dari manajemen Jepang adalah total quality control (TQC) yang pada awal pertumbuhannya menekankan pengendalian pada proses untuk mencapai kualitas. Prinsip ini telah berevolusi menjadi sistem yang mencakup semua aspek manajemen dan sekarang dirujuk dengan istilah total quality management (TQM), istilah yang lebih dikenal secara internasional. TQC/TQM bukanlah pengendalian mutu semata melainkan dikembangkan sebagai strategi yang membantu manajemen agar menjadi makin mampu bersaing 13 dan mendapatkan keuntungan dengan perbaikan di semua aspek bisnis yuang dihadapinya. Dalam TQC/TQM, huruf Q artinya mutu/kualitas (quality) memang memiliki prioritas tinggi, namun disamping kualitas terdapat sasaran lain pula, yaitu biaya (cost) dan batas waktu penyerahan (delivery). Huruf T pada TQC/TQM artinya total yaitu melibatkan semua orang dalam organisasi, dari manajemen puncak, manajemen madya, manajemen supervisor, dan para pekerja langsung. Huruf T juga berarti top management yang mengacu pada kepimimpinan dan kinerja manajemen, suatu faktor yang sangat esensial untuk penerapan TQC/TQM yang berhasil. Huruf C merujuk pada pengendalian (control) atau pengendalian proses. 2. Sistem Produksi Just-in-Time Sistem produksi just-in-time (JIT) adalah sistem yang lahir di Toyota Motor Company di bawah kepemimpinan Taiichi Onno, sistem ini bertujuan menghapuskan segala jenis kegiatan tak memiliki nilai tambah dan mencapai sistem produksi yang ramping dan luwes dalam menampung fluktuasi dari permintaan dan pesanan konsumen. Sistem produksi ini didukung oleh konsep seperti pacu kerja (takt time atau waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit secara harmonis), siklus kerja (cycle time), aliran proses satu unit (one-piece flow), sistem produksi tarik (pull production), jidohka (otonomasi), tata letak sel produksi berbentuk U, dan pengurangan waktu set up. 3. Total Productive Maintenance Total Productive Maintenance (TPM) terfokus pada peningkatan kualitas peralatan. TPM bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi peralatan melalui sistem terpadu untuk pemeliharaan preventif / penjagaan guna memperpanjang usia hidup peralatan. Seperti halnya dengan TQM (total quality management), TPM juga melibatkan semua orang dalam perusahaan. 4. Penjabaran Kebijakan Perusahaan Imai (1998: 8) menjelaskan bahwa manajemen harus menetapkan sasaran yang jelas guna memandu semua orang dan memastikan bahwa semua kepemimpinan dan kegiatan kaizen diarahkan guna mencapai tujuan tersebut. Kaizen 14 yang sejati dalam pelaksanaan dan penerapannya membutuhkan pemantauan yang ketat dan terinci. Pertama-tama manajemen puncak harus menetapkan strategi jangka panjang, yang dijabarkan menjadi strategi jangka menengah dan tahunan. Manajemen puncak juga harus memiliki rencana untuk menjabarkan dan wewujudkan strategi itu, kemudian diturunkan melalui jenjang organisasi sampai mencapai tingkat operasional tenaga kerja di tempat kerja. Dengan terjabarnya strategi ke tingkat yang makin bawah, rencana ini akan memuat makin banyak rencana tindakan maupun kegiatan nyata secara spesifik. Imai juga mengatakan bahwa kaizen tanpa target diibaratkan seperti suatu perjalanan tanpa tujuan. Kaizen sangat efektif ketika setiap orang bekerja untuk mencapai target , dan manajemen harus menentukan target. 5. Sistem Saran Sistem saran berfungsi sebagai bagian terpadu dari kaizen secara perorangan dan menekankan peningkatan moral serta memperbesar manfaat positif dari partisipasi karyawan. Karyawan Jepang umumnya didorong untuk mendiskusikan saran mereka dengan atasannya dan langsung menerapkannya, bahkan sebelum mereka mencatatnya dalam formulir saran. 6. Kegiatan Kelompok Kecil Strategi kaizen mencakup pula kegiatan kelompok kecil-informal, sukarela, kelompok antarunit dalam perusahaan yang diorganisir untuk melakukan tugas spesifik dalam lingkungan gugus tugas. Salah satu yang terkenal adalah gugus kendali mutu. Dirancang tidak haya menangani masalah kualitas, namun juga masalah biaya, keselamatan kerjadan produktivitas, gugus kendali mutu dapat dianggap sebagai kegiatan kaizen secara berkelompok. 2.2 Konsep Manajemen Jepang Manajemen bisnis Jepang atau disebut juga Nihonteki Keiei にっぽんてきけいえい ( 日本的経営 )menurut Morimasa Ogawa (1991: 13) digambarkan seperti sebuah pohon, daun-daunnya menggambarkan hasil dari manajemen dan akan berbuah jika pohon tersebut sehat dan mendapat cukup matahari angin dan hujan. Namun ada 15 masanya juga pohon tersebut diterpa oleh angin kencang dan badai sehingga dahandahannya patah dan daun-daunnya layu karena musim kemarau, kemudian saat cuaca sudah membaik batang pohon tersebut harus cukup kuat sehingga bisa menumbuhkan dahan-dahan serta dedaunan yang baru tetapi jika tidak bisa maka itulah akhir riwayat pohon tersebut. Sama halnya dengan manajemen, lingkungan manajemen yang terus berubah digambarkan seperti cuaca yang tidak menentu, jika manajemen perusahaan tersebut kuat menahan semua perubahan itu maka perusahaan tersebut tidak akan goyah. Jika dilihat dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa sistem manajemen di Jepang berjalan sebagai suatu kesatuan. Susumu Takamiya mendeskripsikan sosok manajemen di Jepang menonjolkan sifat Gemeinschaft yaitu sifat-sifat kebersamaan di dalam kelompok (Susumu Takamiya, 1983: 10). Masyarakat Jepang memang digambarkan sebagai masyarakat yang cenderung melakukan sesuatu secara berkelompok dan hal ini juga terlihat di perusahaan-perusahaan Jepang yang para karyawan-karyawannya menganut sifat-sifat konsep manajemen yang khas yaitu “ie” (keluarga). Para karyawan menganggap perusahaan mereka bekerja sebagai keluarga sendiri. Selain itu ada juga konsep “wa” (keserasian) yang sangat kental dan dapat ditemukan di setiap perusahaan Jepang. Dengan menggunakan “wa” setiap keputusan yang diambil oleh perusahaan bukanlah perorangan melainkan hasil keputusan yang diambil bersama. Selain itu Prof. Dinesh P. Chapagain (2009) dalam jurnalnya tentang Japanese Management juga menyebutkan bahwa wa dan pelayanan pada masyarakat dan negara tercermin dalam motto dan kepercayaan perusahaan dan bentuk umum dari ekspresi itu adalah “Shage” (konstitusi perusahaan) dan “Shakun” (kode perilaku), serta dikatakan bahwa ketulusan dan keserasian adalah karakteristik yang diistemewakan. 2.2.1 Ciri-ciri Manajemen Jepang Sistem manajemen Jepang terbilang memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem manajemen perusahaan dari negara lain. Menurut Nippon : the land and it’s people (2006: 181), menjelaskan bahwa ada beberapa ciri atau keistimewaan yang membentuk manajemen perusahaan swasta Jepang diantaranya adalah : 16 a. Decision Making : Disebut juga pengambilan keputusan. Merupakan salah satu ciri khas dari Perusahaan Jepang yang membedakannya dari perusahaan manapun yaitu setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan keputusan bersama dari seluruh karyawan, salah satunya memakai sistem ringi dan sistem kaigi. Sistem kaigi kemudian dibedakan lagi menjadi 2 jenis yaitu nemawashi dan ringi seido (Min Chen, 2004). Nemawashi merupakan praktek sounding kepada karyawan perusahaan secara informal, yakni para karyawan bebas mengemukakan pendapat dan ide karena aktifitas tersebut dilakukan diluar kegiatan perusahaan. Ringi Seido merupakan kebalikan dari nemawashi karena aktifitas tersebut dilakukan secara formal, proposal atau disebut juga ringisho akan dibagikan kepada para karyawan perusahaan yang ada di bagian yang sama, kemudian ke kepala bagian, manajer, direktur dan kemudian ke kepala perusahaan tersebut. Mereka kemudian diharuskan menulis pendapat dan masukan mereka pada kertas kosong yang dilampirkan di belakang proposal. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perselisihan karena mereka sudah diberikan kesempatan jika ingin berpendapat sebelum keputusan tersebut dibuat. Menurut Ryuei Shimizu (1994: 115), Nemawashi merupakan salah satu upaya mendapatkan persetujuan informal sebelum diadakan meeting untuk mengambil keputusan secara formal. Nemawashi bisa dilakukan secara tertutup maupun terbuka meski umumnya dilakukan secara tertutup. Nemawashi secara terbuka digunakan untuk menyatukan opini para eksekutif dengan membocorkan informasi yang bersangkutan kepada mereka sehingga mereka bisa mengemukakan kesadaran tentang masalah yang ada. Proses nemawashi harus dimulai dari orang bersangkutan yang sudah dipastikan akan menolak atau tidak senang dengan menyakinkan orang tersebut bahwa dia merasa dihargai dan dipercaya. Decision making memiliki kelebihan dalam perusahaan yaitu perasaan adil karena para karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan mulai dari tingkat bawah sampai tingkat paling atas. Selain itu juga meminimalisir adanya manipulasi keputusan yang dibuat oleh inividu tertentu karena tiap keputusan yang diajukan harus diterima secara umum. Namun decision making juga memiliki kelemahan yaitu dalam hal efisiensi waktu dan kerja, terkadang ringisho atau proposal yang diajukan hanya menyangkut satu hal saja namun karena decision making harus melibatkan semua 17 karyawan, hal ini membuang banyak waktu terlebih setiap meeting membutuhkan waktu yang lama dan para partisipan cenderung mengikuti apa yang sudah dijalankan dan tidak terus terang dengan ide mereka yang mungkin akan membuat rekan kerja mereka menjadi tidak senang. Dalam membuat keputusan bisnis hal ini tentu sangat merugikan karena mebutuhkan tanggapan yang cepat. Disaat keputusan sudah tercapai mungkin saja tawaran tersebut malah akhirnya diambil oleh perusahaan saingan lain. b. Employment / Ketenaga Kerjaan : Perusahaan Jepang normalnya mempekerjakan karyawannya sampai usia pensiun dan boleh beristirahat dari pekerjaannya. Selain itu itu gaji dan jabatan karyawan naik seiring dengan senioritas dan performa kerja. Menurut buku Nippon The Land and It’s People setelah perang dunia ke 2 banyak orang yang menjuluki sistem ketenagakerjaan Jepang sebagai Three Sacred Treasures of Japanese Employment System yaitu, lifetime employment (shushinkoyo), seniority-based pay dan enterprise labour union. しゅうしんこよう Lifetime employment atau shushinkoyo (終身雇用) menurut Min Chen (2004) mempunyai beberapa hal penting, yang pertama adalah kebanyakan tenaga kerja direkrut langsung dari lulusan sekolah daripada open job market, yang kedua adalah mereka diharapkan tetap bekerja pada perusahaan yang sama seumur hidup mereka, yang ketiga adalah keputusan rekrutmen didasarkan pada karakteritik umum dan kemampuan potensial pekerja daripada kemampuan teknik khususnya. Calon pekerja dituntut untuk bisa berkomitmen dalam mengambil keputusan mereka dalam mengambil lapangan kerja, karena itulah karyawan yang pernah berhenti dari perusahaan atau dipecat dari perusahaan besar akan sangat sulit mencari pekerjaan baru. Dengan lingkungan kerja yang membutuhkan komitmen tinggi seperti itu, perusahaan juga membutuhkan komitmen yang tinggi dalam mempekerjakan karyawannya dan menjaganya layaknya seperti sebuah keluarga. Dalam beberapa tahun pertama, karyawan baru biasanya dipindah-pindahkan ke berbagai departemen yang berbeda untuk belajar berbagai macam keahlian dan juga memperdalam pengetahuan karyawan tersebut mengenai perusahaan tempat dia bekerja, sejarah dan juga budaya perusahaan tersebut. 18 Seniority Promotion (nenko joretsu 年功序列) memiliki hubungan langsung ねんこうじょれつ dengan sistem lifetime employment yang ada di perusahaan Jepang. Karena para karyawannya dituntut untuk bekerja di perusahaan seumur hidup mereka, sistem kenaikan jabatannya diukur berdasarkan lama dia bekerja di perusahaan tersebut. ねんこう Istilah yang biasa dipakai yaitu nenko (年功 ) atau lamanya tahun dia berjasa dalam bekerja di perusahaan itu. Karena itu nenko joretsu menjadi motivasi utama bagi karyawan untuk tetap betah bekerja di satu perusahaan. c. Kigyo-betsu kumiai atau enterprise union merupakan istilah serikat perusahaan merupakan salah satu ciri khas yang membedakan perusahaan Jepang dari perusahaan lainnya. Sesudah perang, seiring dengan kemajuan demokratisasi, berkembang pula undang-undang perburuhan dan serikat-serikat buruh berkembang dengan pesat (Susumu Takamiya, 1981). Para karyawan dari sebuah perusahaan diorganisasikan dalam satu serikat. Berbeda dengan serikat-serikat kerja sejenis di Barat, serikat buruh di Jepang beranggotakan baik pekerja kasar maupun pekerja halus. Lingkup keanggotaan serikat buruh luas, dan di beberapa serikat buruh bahkan kepala-kepala seksi termasuk anggota serikat. Serikat-serikat buruh di Jepang bergabung secara kolektif dalam merundingkan masalah upah dan lain-lain yang berkaitan dengan manajemen. Mereka juga berhasrat bekerja sama dengan manajemen dalam hal-hal yang menyangkut eksistensi perusahaan, melalui peran-peran bersama pejabat perusahaan dalam komisi manajemen, yang diadakan sebagai penghubung antara manajemen dan serikat buruh. Serikat-serikat buruh, melalui komisi-komisi ini, berperan serta dalam usaha memperbaiki produktivitas. Komisi-komisi manajemen ini merupakan siri pokok dalam serika-serikat buruh Jepang. Serikat buruh Jepang juga diorganisasikan menjadi federasi-federasi dalam industri sejenis. Terlebih serikat-serikat tersebut dilengkapi dengan bantuan hukum dan perlindungan oleh undang-undang perburuhan. Sehingga, serikat buruh tidak hanya merupakan boneka manajemen, yang sebenarnya berbahaya kalau serikat buruh itu meliputi seluruh perusahaan. 19 d. Funds, kebanyakan dana yang diinvestasikan di perusahaan bukan berasal dari modal uang perusahaan itu sendiri melainkan diperoleh sebagai dana pinjaman dari bank. e. Production, perusahaan luar atau perusahaan afiliasi sangat bergantung untuk mensuplai supply parts yang dibutuhkan dalam industri bongkar pasang (seperti otomotif dan peralatan elektronik) dan menangani pengoperasian peralatan (seperti industri besi dan kimia). f. Dependence on foreign trade, Industri Jepang sangat bergantung pada impor bahan mentah dan tingkat ekspor produk jadinya tinggi. 2.2.2 Konsep Manajemen yang Sehat Morimasa Ogawa (1991: 85) menjelaskan bahwa sebuah perusahaan dengan manajemen yang sehat harus menunjukkan profit (keuntungan), modal yang memadai dan memiliki break-even point (titik impas) yang wajar, titik impas adalah sebuah titik yang biaya atau pengeluaran dan pendapatannya adalah seimbang sehingga tidak terdapat kerugian atau keuntungan. Selain itu dia menjelas juga bahwa ada sepuluh peraturan yang harus diikuti majamenen perusahaan untuk menjaga perusahaan tersebut untuk terhindar dari kesulitan dan kebangkrutan, yaitu: 1. Menjaga komitmen pada perusahaan 2. Mengevaluasi kondisi untuk bertahan secara kuantitatif 3. Mempraktikkan manajemen bendungan atau manajemen waduk 4. Mempraktikkan manajemen yang seimbang 5. Menjaga manajemen agar tetap stabil untuk membasmi kelemahan 6. Mengetahui batas diri dan bekerja sesuai batasan 7. Menekan kerugian seminim mungkin 8. Melihat manajemen secara kritis 9. Mempersiapkan masa depan 10. Menjaga moral agar tetap tinggi 1. Menjaga komitmen pada perusahaan 20 Seorang manajer harus mempunyai mimpi, cita-cita dan tujuan tapi lebih dari itu dia harus mempunyai tekad menjaga agar perusahaannya tetap berdiri (Morimasa Ogawa, 1991: 86). Komitmen manajemen sangat penting dalam manajemen yang sehat, mudah saja bagi pemimpin perusahaan untuk menjaga perusahaannya tetap berjalan jika itu perusahaan kecil namun jika itu perusahaan besar, manajer departemen disana harus mempunyai komitmen yang sama untuk menjaga agar unit yang dipimpinnya menghasilkan profit. Sebuah perusahaan harus terus meningkatkan dan berinovasi serta merencanakan kedepannya mau seperti apa, kalau tidak maka perusahaan itu akan mengarah pada kehancuran. 2. Mengevaluasi kondisi untuk bertahan secara kuantitatif Morimasa mengatakan bahwa kita harus melihat bahaya yang ada di perusahaan kita sendiri, menyadari bahwa keadaan lingkungan bisa berubah ke arah yang buruk dan menilai kemampuan kita untuk mengatasi kesulitan yang ada. Kita perlu mengkalkulasi semua faktor diatas dalam aspek kuantitatif yaitu melihat jumlahnya. Salah satu metode untuk melihat apakah suatu manajemen berkembang adalah memakai metode analisis manajemen yaitu melihat laporan keuntungan dan kerugian serta neraca keuangan. Analisis finansial secara kuantitatif mengindikasikan kondisi beroperasi seperti profitabilitas, tingkat perputaran modal, stabilitas, potensi pertumbuhan, titik impas dan penanganan keuangan. Dengan menggunakan analisis finansial kita bisa mengetahui apakah tiap kondisi operasi yang ada bisa bertahan menghadapi kesulitan dan jika tidak, harus ada usaha untuk meningkatkannya. Ada cara lain untuk menganalisis manajemen disamping memakai analisis finansial, yaitu tingkat kecacatan untuk menilai kualitas, tingkat pangsa pasar untuk menentukan performa penjualan dan tingkat ketidakhadiran serta penghentian sukarela untuk menentukan moral karyawan. Untuk situasi manajemen yang lain, kita harus melihat tiap masalahnya secara spesifik dan memikirkan metode kuantitatif seperti apa untuk mengevaluasi dan memahaminya. 3. Mempraktikkan manajemen bendungan / waduk Manajemen bendungan merupakan satu dari tiga pilar filosofi manajemen Konosuke Matsushita. Dia menjelaskannya sebagai berikut: 21 Just as dams are built for the purpose of controlling the flow of a riverboth to prevent damage from flooding and to assure a continued supply of water during the drought-certain practices are routinely adopted by an enterprise to assure maneuverability in difficult times. The result is a fund, or pool of resources that can be mobilized when the need arises. I call this “dam management” or “reservoir management”. (Konosuke Matsushita, 1989: 73) Terjemahan: Layaknya sebuah waduk yang dibuat untuk mengendalikan laju arus sungai, untuk melindungi kerusakan karena banjir dan menjaga suplai air tetap ada selama musim kemarau. Praktek yang sama juga diadopsi oleh perusahaan untuk menjamin pergerakan perusahaan dalam masa sulit. Hasilnya adalah dana atau sekumpulan sumber daya yang bisa dimobilisasikan jika diperlukan. Saya menyebutnya “manajemen bendungan” atau “manajemen waduk”. Prosedur manajemen bendungan mudah untuk dimengerti tapi tidak semua orang bisa mempraktikkannya, namun Morimasa Ogawa (1991: 92) menuturkan ada tiga langkah dasar dalam mempraktikkannya: a. Mencari letak implementasi manajemen bendungan Tugas pertama adalah menemukan letak dan saat sebuah perusahaan bisa rentan. Dari situlah perusahaan bisa memutuskan apa yang harus dilakukan untuk membentengi dirinya dari bencana. Sebuah bendungan harus didirikan di wilayah yang rentan. b. Merancang bendungan Seberapa besar ukuran bendungan yang harus dibangun, pada dasarnya perusahaan harus membangun bendungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mendesak dari perusahaan itu. Seiring dengan bertumbuhnya perusahaan, bendungan bisa diperkokoh atau diperbesar. c. Mengisi waduk Sebuah waduk tidak bisa diisi dalam semalam. Dibutuhkan waktu untuk mengumpulkan sumber daya untuk membuat perusahaan kebal dari goncangan. Sebuah perusahaan yang kuat mengisi waduknya dengan lambat namun pasti. 22 4. Mempraktikkan manajemen yang seimbang Sebuah manajemen mempunyai banyak pasukan yang menyokongnya, namun mereka harus diseimbangkan (Morimasa Ogawa, 1991: 94). Banyak perusahaan diatur sedemikian rupa sehingga bagian yang kuat tidak bisa mengimbangi bagian yang lemah, sudah merupakan tugas manajer untuk menciptakan keseimbangan pada perusahaan agar bisa fleksibel berdaptasi pada lingkungan yang berubah-ubah. Menurut Morimasa ada 12 faktor dalam perusahaan yang harus diseimbangkan dalam sebuah perusahaan: 1. Kapabilitas teknologi 2. Kemampuan untuk mengembangkan produk 3. Kapasitas produksi 4. Kemampuan untuk menekan biaya yang rendah 5. Kemampuan quality control 6. Kekuatan modal 7. Kekuatan cadangan internal 8. Titik impas 9. Tenaga kerja 10. Kontrol internal 11. Kemampuan untuk mengembangkan pangsa pasar baru dan outlet penjualan 12. Potensi penjualan 5. Memastikan titik kelemahan agar cepat diperbaiki Manajemen layaknya tubuh manusia harus mempunyai energi untuk menjaganya tetap bertumbuh dan berkembang. Perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang manajemennya terus diperbaharui dan melakukan sesuatu yang baru. Manajemen harus berjuang untuk menjaga dirinya tetap dinamis dan baru. Cara terbaik untuk menciptakan manajemen yang energetik dan memperbaiki kelemahannya adalah dengan membuat unit manajemen yang autonomous sebanyak mungkin. Unit-unit ini harus mempunyai tujuan yang ditetapkan secara jelas dan wewenang untuk menjalankannya. Sebuah perusahaan haruslah menginspeksi dan memperkuat organisasinya secara berkala. 6. Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri 23 Banyak kebangkrutan terjadi secara tak terduga karena perusahaan tersebut terlihat kokoh setelah mengembangkan sebuah tekonologi baru sehingga kelemahan mereka tertutupi. Perusahaan tidak harus selalu fokus pada titik terlemahnya setiap waktu namun setidaknya kelemahan tersebut harus dicari tahu seperti apa dan bekerja sama untuk memperkuat kelemahan itu. Untuk menciptakan manajemen yang seimbang dan bertanggungjawab, kita harus melihat sesuatu secara langsung dan jujur. 7. Menekan kerugian seminim mungkin Saat perusahaan sedang makmur dan ekonomi berkembang seringkali mereka tidak memperdulikan pemborosan yang ada karena dianggap tidak mempengaruhi keuntungan atau performa perusahaan. Morimasa menemukan bahwa ada dua jenis pengeluaran biaya yaitu biaya yang secara operasional perlu untuk dikeluarkan (contoh: biaya promosi penjualan) dan juga biaya yang sebenarnya tak perlu dikeluarkan. Semakin sedikit biaya tak perlu yang dikeluarkan, semakin baik manajemen perusahaan itu. Satusatunya cara menjaga agar manajemen tetap sehat adalah mencari pengeluaran yang sia-sia secara terus-menerus dan mencoba meminimalisirnya melalui pengoperasian yang lebih baik. Ada standar prosedur yang harus diikuti untuk mengawasi pengeluaran yaitu: mengecek material dan produk yang ada di inventarisasi, menghitung jumlah man-hours, menyingkirkan benda yang sudah usang dan mencari lokasi area yang personalianya berlebih. 8. Melihat manajemen secara kritis Manajer yang berkomitmen selalu melihat secara kritis setiap hal yang dia lakukan, menyadari kesalahannya dan berusaha untuk memperbaikinya (Morimasa, 1991: 99). Ada dua cara dalam melakukannya yaitu evaluasi performa bisnis secara periodik, yang menawarkan kesempatan pada organisasi perusahaan untuk memeriksa sikapnya; dan internal audit yang digunakan dalam situasi genting, yang penaksiran untung-rugi memberikan kerangka dasar dari manajemen sehat dan internal audit memberikan informasi. 24 9. Mempersiapkan masa depan Menurut Morimasa (1991: 101), setiap perusahaan harus menaksirkan kekuatannya sendiri, memperkirakan perubahan kedepannya, memutuskan perannya kedepan dan mengambil langkah untuk maju. 10. Menjaga moral tetap tinggi Sebuah budaya manajemen harus dibuat agar para karyawan bisa termotivasi untuk menjamin perusahaannya mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh saat Morimasa bekerja di perusahaan Matsushita Electric (1991: 101), dia menemukan bahwa rencana pembagian bulanan mereka serta statistik keuntungan dan kerugiannya diberitahu pada setiap karyawan saat meeting pagi. Sehingga tiap karyawan bisa mengetahui setidaknya situasi operasional bagiannya. 2.3. Konsep Corporate Philosophy Corporate philosophy atau disebut juga filosofi korporat merupakan elemen penting dalam perusahaan karena tanpa adanya filosofi korporat sebuah perusahaan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Sukses atau tidaknya sebuah perusahaan dapat dilihat dari filosofi korporat yang dimilikinya. (Morimasa Ogawa, 1991: 19) Sebuah filosofi korporat dibagi menjadi tiga bagian yang penting, yaitu: a. Prinsip Berorientasi Tujuan (Goal-Oriented Principles) Sebuah filosofi korporat yang baik haruslah mempunyai tujuan (goal) yang jelas, layak seorang manusia jika dia tidak mempunyai tujuan dan arah hidup yang pasti maka hidup seseorang tersebut akan gagal, prinsip yang sama itulah yang harus dimiliki oleh perusahaan. Jika sebuah perusahaan mempunyai filosofi korporat dengan tujuan yang jelas maka perusahaan tersebut bisa menuai kesuksesan dalam jangka panjang. b. Prinsip Principles of Action Layak penunjuk arah, sebuah filosofi korporat haruslah memiliki metode atau cara untuk mencapai tujuan mereka, tanpa adanya itu sebuah perusahaan tidaklah lebih dari sebuah papan nama. Ada berbagai metode/cara untuk mencapai tujuan dari korporat filosofi namun sangat penting untuk memakai prinsip dalam memilihnya, prinsip itulah yang nantinya akan mempengaruhi karyawan dan 25 organisasi di perusahaan itu selain itu juga menentukan pandangan industri dan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. c. Principles of Renewal Sebuah kebijakan dan prosedur menjalankan dari sebuah perusahaan jarang sekali yang tidak berubah karena kita hidup dalam jaman yang terus berubah dengan cepat, terkadang mungkin sebuah perusahaan harus melakukan rekstrukturisasi pada aspek-aspek dari managemen atau filosofi perusahaan itu sendiri. Terkadang juga sebuah perusahaan membutuhkan filosofi yang baru untuk keberlangsungan hidup perusahaan tersebut. 2.3.1 Konsep Kyocera Philosophy Kyocera philosophy pertama kali dicetuskan oleh Kazuo Inamori pada saat dia bekerja di Kyocera (Inamori Kazuo, 1998). Inamori sendiri sebenarnya adalah pendiri dan pemimpin perusahaan Kyoto Ceramics Co., Ltd yang didirikan tahun 1959. Selama memimpin perusahaan tersebut Inamori sering menemui tantangan dan kesulitan namun karena ia percaya dan melewati itu semua berkat ikatan pikiran yang kuat antar sesama karyawan perusahaan, ia mempercayai bahwa pikiran manusia selalu berubah-ubah dan paling bisa diandalkan ketika pikiran mereka terhubung oleh ikatan kepercayaan yang kuat. Kyocera philosophy sebenarnya adalah sebuah Philosophy Management atau filosofi manajemen yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya. Kyocera Philosophy sendiri berbasis pada “What is the right thing to do as a human being?” atau “Apa hal yang baik/benar yang bisa dilakukan sebagai manusia?” pada saat membuat sebuah keputusan. Basis tersebut didasarkan pada nilai fundamental etis dan moral kebaikan manusia seperti: “Don’t be greedy (Jangan rakus),” “Don’t cheat people (Jangan curang),” “Don’t lie (Jangan berbohong),” dan “Be honest (Sikap jujur)”. Kyocera Philosophy sendiri mempunyai 12 prinsip managemen yang fundamental yang tidak mengalami perubahan oleh situasi ataupun kondisi bisnis. Prinsip-prinsip ini adalah patokan manajemen universal. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1. Menyatakan tujuan dan misi bisnis secara jelas. Membuat tujuan yang mulia, jujur dan adil. 26 2. Membuat tujuan yang spesifik. Setelah menetapkan target, sebarkan ke semua karyawan. 3. Menjaga gairah keinginan di dalam hati. Keinginan harus kuat dan gigih supaya bisa masuk ke dalam pikiran bawah sadar. 4. Berjuang lebih keras daripada yang lain. Bekerjalah terus menerus dan rajin, satu langkah tiap waktu, jangan dikalahkan oleh tugas yang membosankan. 5. Maksimalkan pendapatan dan kurangi pengeluaran. Ukur pemasukan dan kontrol pengeluaran, jangan mengejar keuntungan, tapi biarkan keuntungan mengikuti usaha. 6. Kalkulasi harga adalah manajemen. Kalkulasi harga kewajiban paling utama dalam manajemen: untuk menemukan sebuah titik di mana klien senang dan perusahan sangat diuntungkan. 7. Sukses ditentukan dari tekad. Manajemen bisnis membutuhkan keinginan yang gigih. 8. Memiliki semangat juang. Manajemen membutuhkan mental yang siap tempur dibanding seni bela diri manapun. 9. Hadapi setiap tantangan dengan keberanian. Bersikap adil dan jangan pernah menipu orang lain. 10. Selalu kreatif dalam bekerja. Terus bertumbuh dan berinovasi. Hari ini harus lebih baik dari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini. 11. Bersikap baik dan jujur. Bisnis harus didasarkan pada perkongsian dan harus memberi kebahagiaan pada semua pihak 12. Bersikap ceria dan positif. Milikilah mimpi yang hebat dan harapan di dalam hati yang murni.