BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanman Jagung (Zea mays L

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanman Jagung (Zea mays L)
Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.
Menurut Anonim (2005), Secara umum,klasifikasi dan morfologi dari tanaman jagung manis
sebagai berikut:
Klasifikasi
Kingdom
:
Plantae ( tumbuh-tumbuhan )
Divisi
:
Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )
Subdivisi
:
Angiospermae ( berbiji tertutup )
Kelas
:
Monocotyledone ( berkeping satu )
Ordo
:
Graminae ( rumput-rumputan )
Famili
:
Graminaceae
Genus
:
Zea
Spesies
:
Zea mays L
.
Jagung merupakan tanaman semusim, bagian tanaman jagung terdiri atas akar, batang,
daun, bunga dan biji. Tanaman jagung berakar serabut, menyebar ke samping dan ke bawah
sepanjang 25 cm. Akar menyebar pada lapisan oleh tanah. Batang jagung berwana hijau sampai
keunguan, bentuk bulat dan penampang melintang selebar 2−2,5 cm. Tinggi tanaman bervariasi
antara 125−250 cm. Batang jagung berbuku-buku yang di batasi oleh ruas-ruas. Daun terdiri atas
pelepah dan helaian daun. Helaian daun memenjang dengan ujung daun meruncing. Antara
pelepah daun dan helaian daun dibatasi oleh spikula yang berguna untuk menghalangi masuknya
air hujan atau embun yang masuk ke dalam pelepah daun. Jumlah daun berkisar 10−20 helai
pertanaman. Daun berada pada setiap ruas batang dengan kedudukan yang berlawanan. Biji
jagung berkeping tungal, berderet rapi pada tongkolnya. Pada setiap tanaman jagung ada satu
tongkol, kadang-kadang ada yang dua tongkol. Setiap tongkol terdapat 10-14 deret biji jagung
yang terdiri dari 200-400 butir biji jagung. Bunga jagung berumah satu. Letak bunga jantan
terpisah dengan bunga betina. Bunga jantan berada di ujung tanaman sedangkan bunga betina
berada diketiak daun. Bunga betina berbentuk gada, berwarna putih, panjang, dan bisa disebut
ranbut jagung (suprapto 2005).
Fase Pertumbuhan Dan Perkecambahan
Secara umum jagung mempunyai pola pertumbuhan yang sama, namun interval waktu
antartahap pertumbuhan dan jumlah daun yang berkembang dapat berbeda. Pertumbuhan jagung
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu (1) fase perkecambahan, saat proses imbibisi air
yang ditandai dengan pembengkakan biji sampai dengan sebelum munculnya daun pertama; (2)
fase pertumbuhan vegetatif, yaitu fase mulai munculnya daun pertama yang terbuka sempurna
sampai tasseling dan sebelum keluarnya bunga betina (silking), fase ini diidentifiksi dengan
jumlah daun yang terbentuk; dan (3) fase reproduktif, yaitu fase pertumbuhan setelah silking
sampai masak fisiologis (McWilliams et al. 1999).
Perkecambahan benih jagung terjadi ketika radikula muncul dari kulit biji. Benih jagung
akan berkecambah jika kadar air benih pada saat di dalam tanah meningkat >30% (McWilliams
et al. 1999). Proses perkecambahan benih jagung, mula-mula benih menyerap air melalui proses
imbibisi dan benih membengkak yang diikuti oleh kenaikan aktivitas enzim dan respirasi yang
tinggi. Perubahan awal sebagian besar adalah katabolisme pati, lemak, dan protein yang
tersimpan dihidrolisis menjadi zat-zat yang mobil, gula, asam-asam lemak, dan asam amino yang
dapat diangkut ke bagian embrio yang tumbuh aktif. Pada awal perkecambahan, koleoriza
memanjang menembus pericarp, kemudian radikel menembus koleoriza. Setelah radikel muncul,
kemudian empat akar seminal lateral juga muncul. Pada waktu yang sama atau sesaat kemudian
plumule tertutupi oleh koleoptil. Koleoptil terdorong ke atas oleh pemanjangan mesokotil, yang
mendorong koleoptil ke permukaan tanah. Mesokotil berperan penting dalam pemunculan
kecambah ke atas tanah. Ketika ujung koleoptil muncul ke luar permukaan tanah, pemanjangan
mesokotil terhenti dan plumul muncul dari koleoptil dan menembus permukaan tanah
(McWilliams et al. 1999).
Benih jagung umumnya ditanam pada kedalaman 5-8 cm. Bila kelembaban tepat,
pemunculan kecambah seragam dalam 4-5 hari setelah tanam. Semakin dalam lubang tanam
semakin lama pemunculan kecambah ke atas permukaan tanah. Pada kondisi lingkungan yang
lembab, tahap pemunculan berlangsung 4-5 hari setelah tanam, namun pada kondisi yang dingin
atau kering, pemunculan tanaman dapat berlangsung hingga dua minggu setelah tanam atau lebih
(McWilliams et al. 1999).
Keseragaman perkecambahan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang tinggi.
Perkecambahan tidak seragam jika daya tumbuh benih rendah. Tanaman yang terlambat tumbuh
akan ternaungi dan gulma lebih bersaing dengan tanaman, akibatnya tanaman yang terlambat
tumbuh tidak normal dan tongkolnya relatif lebih kecil dibanding tanaman yang tumbuh lebih
awal dan seragam (McWilliams et al. 1999).
2.2. Pupuk Dan Pemupukan
2.2.1 Kadar Nitrogen (N) dalam tanah
Hara N merupakan hara penyusun asam-asam amino, asam-asam nukleat, nukleotida dan
khlorofil. Hara ini mempercepat pertumbuhan tanaman jumlah daun, tinggi tanaman, menambah
luas daun dan tajuk tanaman, dan kandungan protein jagung. Hara N berpengaruh terhadap
semua parameter yang berhubungan dengan hasil. Konsentrasi N pada daun erat hubungannya
dengan kecepatan proses fotosintesis dan produksi biomas (Suryana 2005).
Sumber N dalam tanah berasal dari bahan organik, hasil pengikatan N dari udara oleh
mikroba, pupuk, dan air hujan. Kandungan N tanah pada umumnya rendah, sehingga harus selalu
ditambahkan dalam bentuk pupuk atau sumber lainnya pada setiap awal pertanaman. Nitrogen
tanah mempunyai sifat yang dinamis (mudah berubah dari satu bentuk ke bentuk lain seperti NH4
menjadi NO3, NO, N2O dan N2) dan mudah hilang tercuci bersama air drainase. Tanaman yang
kekurangan N akan tumbuh kerdil, daunnya berwarna kuning, mudah gugur, pembungaan
terlambat, dan pertumbuhan akar terbatas sehingga produksi rendah. Kekurangan N dapat
diperbaiki dengan pemupukan N dalam berbagai bentuk seperti Urea, ZA, DAP, pupuk majemuk
NPK, dan pupuk organik seperti: kompos, azolla, pupuk hijau, dan kotoran ternak (Suryana
2005).
Penggunaan pupuk N dalam bentuk Urea atau ZA agar efisien maka harus diberikan 2-3
kali untuk satu musim tanam, serta dimonitor tingkat kecukupannya dengan Bagan Warna Daun.
Bila pupuk N yang digunakan adalah pupuk yang zat haranya tersedia lambat seperti Urea
tablet/briket/granul, maka pemberiannya cukup satu kali untuk satu kali musim tanam (Suryana
2005).
2.2.2 Kadar Fosfor (P) dalam tanah
Hara P merupakan penyusun esensial dari adenosine trifosfat (ATP), nukleotida, asamasam nukleat dan fosfolipid. Hara P diperlukan tanaman sejak awal pertumbuhan dan mudah
bergerak dalam jaringan tanaman. Fungsi utama hara ini adalah menyimpan dan memindahkan
energi yang mengintegrasikan membran. Selain itu berfungsi dalam sintesa protein, menunjang
pertumbuhan akar, anakan, pembungaan, dan mempercepat pemasakan biji terutama bila
temperatur udara rendah. Sebaliknya, kekurangan P dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil, anakan sedikit, lambat pemasakan dan produksi tanaman rendah.
Kadar P tanah dalam bentuk P-anorganik dari mineral yang mengandung P (apatit) dan Porganik yang berasal dari bahan organik. Unsur P dalam tanah tidak bergerak, terikat oleh liat
dan bahan organik, serta oksida Fe dan Al pada pH rendah (pH 4-5,5) dan oleh Ca pada tanah
yang pH-nya tinggi (pH 7-8) dan terakumulasi. P tanah yang terakumulasi dapat digunakan
kembali oleh tanaman apabila reaksi tanah mencapai kondisi optimal pelepasan kadar P dalam
tanah tersebut. Kebutuhan tanaman akan hara P dapat dipenuhi dari berbagai sumber antara lain
TSP, SP-36, DAP, P-alam, NPK yang pada umumnya diberikan sekaligus pada awal tanam.
Agar pupuk yang diberikan efisien, pupuk P harus diberikan dengan cara, waktu, serta takaran
yang tepat jumlah dan jenisnya.
2.2.3 Kadar Kalium (K) dalam tanah
Hara K dalam tanaman sangat mudah bergerak (mobile) dan mempunyai fungsi esensial
dalam pengaturan tekanan osmosis sel, aktivitas enzim, pH sel, keseimbangan kation-anion,
pengaturan transpirasi pada stomata dan transpirasi asimilat hasil fotosintesis. Kadar K dalam
tanaman berfungsi mengendalikan proses fisiologis dan metabolisme sel, meningkatkan daya
tanaman terhadap penyakit, dan sebagai penguat dinding sel terlibat dalam lignifikasi sklerenkim
jaringan dengan sel-sel berdinding tebal. Kekurangan hara K menyebabkan tanaman kerdil,
lemah dalam pengangkutan hara, pernafasan, dan fotosintesis terganggu yang mengakibatkan
rendahnya produksi (Adiningsih, 2004). Kekuranga K juga menyebabkan terakumulasinya gula
sederhana (gula labil dengan berat molekul rendah), asam amino dan amina yang merupakan
sumber makanan yang cocok bagi patogen penyakit daun (Suryana 2005).
Kadar K dalam tanah bersumber dari mineral primer (feldspar, mika, vermikulit, biotit),
dan bahan organik. Unsur K dalam tanah mudah bergerak (mobile), sehingga mudah hilang
melalui proses pencucian atau terbawa arus pergerakan air yang mengakibatkan unsur K rendah.
Kadar K dalam tanah dapat ditingkatkan dengan cara pemberian pupuk K sebanyak 2-3 kali
dalam satu musim tanam. Pada tanaman jagung sebagian hara K dapat digantikan oleh jerami
padi yang dikembalikan sebagai pupuk organik. Kadar K dalam jerami umumnya 1%, sehingga
dalam 5 ton jerami terdapat sekitar 50 kg K setara dengan pemupukan 50 kg KCl ha-1.
Pengembalian jerami ke lahan harus digalakkan, karena selain mengandung unsur K juga
mengandung unsur hara lain seperti N, P, Ca, Mg, unsur mikro, dan hormon pengatur
pertumbuhan serta asam-asam organik yang sangat berguna bagi tanaman. Penambahan jerami
dan bahan organik lain dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan keragaman hayati
atau biologi tanah sehingga secara otomatis dapat meningkatkan dan mengefisienkan
ketersediaan unsur hara bagi tanaman.
2.3. Teknologi Pemupukan Spesifik Lokasi.
2.2.4 Pemupukan dasar N, P dan K berdasarkan analisa tanah.
Pemupukan dasar dilakukan pada fase stadia awal pertumbuhan yaitu 7-10 HST dimana
secara bersamaan diberikan pupuk N pertama, pupuk P dan pupuk K. Untuk mengkatualisasikan
pemupukan yang berimbang pada pemupukan dasar maka untuk merekomendasikan takaran
pupuk yang efektif dan efisien untuk diberikan, perlu dilakukan analisa tanah terhadap sampel
tanah komposit yang diambil dari dilahan percontohan menggunakan PUTS.
Sebelum contoh tanah diambil, perlu diperhatikan keseragaman areal dan intensitas
pengelolaannya, misalnya diamati dahulu keadaan kemiringan lahan, tekstur, drainase, warna
tanah, dan kondisi tanaman. Contoh tanah komposit (campuran 5-8 anak contoh tunggal) yang
diambil dari tanah yang hampir seragam pada suatu areal ladang. Untuk hamparan ladang yang
kurang lebih seragam, satu contoh tanah komposit dapat mewakili 3-5 ha lahan.
Pengukuran warna daun dengan BWD (Gambar 1) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
Gambar 1. Bagan Warna Daun (Suryana, 2005).
a.
Berdasarkan kebutuhan riil tanaman
Pengukuran berdasarkan kebutuhan riil tanaman dilakukan dengan membandingkan warna
daun jagung dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21-28 hari setelah tanam
(HST) sampai fase primordia (jagung dan tipe baru dilanjutkan sampai 10 % Fase berbunga).
Tanaman segera diberi pupuk N begitu warna daun jagung berada dibawah skala 4 BWD.
Dengan cara ini perlu sering ke ladang untuk membandingkan warna daun tanaman jagung
dengan BWD.
b.
Berdasarkan waktu yang telah ditetapkan
Pemupukan N susulan dengan cara ini dilakukan sesuai dengan stadia pertumbuhan
tanaman, yaitu pada fase pertumbuhan (21-28 HST), dan primordia (34-50 HST) (untuk jagung
tipe baru dilanjutkan pada fase 10% berbunga).
2.4. Populasi Hama belalang.
2.4.1 Pengertian Populasi.
Kata populasi berarti semua mahluk hidup yang bertempat tinggal pada suatu tempat.
Dalam ekosistem, yang dimaksud populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu
daerah tertantu (Chairani Hanum). Suatu organisme disebut sejenis apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :

Menempati daerah atau habitat yang sama;

Mempunyai persamaan morfologi, anatomi, dan fisiologi;

Mampu menghasilkan keturunan yang fertil, yaitu keturunan yang
mampu berkembang biak secara kawin.
2.4.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Perkembangan Hama.
Menurut Natawigena (1990), memgang peranan penting menentukan tinggi rendahnya
populasi hama. Populasi hama sifatnya dinamis, dapat berubah-ubah sewaktu-waktu, jumlahnya
bisa naik dan juga bisa turun berada dalam keadaan seimbang, tergantung dari besar kecilnya
hambatan lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hama :
1.
Faktor iklim.
Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca suatu daerah atau tempat yang luas dalam waktu
yang cukup panjang. Beberap unsur iklim yang penting bagi kehidupan hama belalang yaitu
suhu, kelembaban udara, curah hujan dan cahaya (Untung, 2006).
Suhu udara merupakan salah satu unsur penting yang mempengaruhi kehidupan belalang
terutama terhadap aktifitas, penyebaran, dan perkembang biakan. Setiap serangga hama memiliki
suhu yang berbeda dalam menentukan perkembangannya, yaitu suhu minimum 15º C, suhu
optimum 25 º C, dan suhu maksimum 45 º C. Pada suhu optimum kemampuan untuk melahirkan
keturunan lebih besar dan kematian sebelum batas umur lebih sedikit ( Natawigena, 1990).
2.
Faktor Makanan.
Tersedianya tanaman jagung menyebabkan naiknya populasi dengan cepat.
3.
Faktor hayati.
Faktor hayati dapat berupa bakteri, cendawan, serangga, virus dan binatang lainnya yang
terdapat diekosistem. Masing-masing jasad dapat menggangu atau menghambat pekembang
biakan jasad lainnya karena membunuh atau memakannya, memarasit atau menjadi penyakit atau
dapat pula berkompetisi antara mereka dalam gerak ruang hidup, faktor hayati meliputi, predator
dan patogen.
2.4.3 Hama Belalang.
Gambar 2 : Hama Belalang
Belalang termasuk dalam kelompok serangga (isekta), ordo orthoptera, famili Acridedae,
Genus Locusta, Species Locusta migratori. Genus ini merupakan hama yang cukup penting
didunia dan Australia yang banyak tersebar didaerah subtropis dan daerah tropis termasuk
indonesia ( boror, 1992).
2.4.4 Bioekologi
Seekor betina mampu mengahasilkan telur sebanyak 270 butir, telur berwarna keputihputihan dan berbentuk buah pisang tersusun rapi sekitar 10 cm dibawah permukaan tanah telur
akan menetas sekitar 17 hari.
Belalang kembara memiliki 3 fase pertumbuhan populasi yaitu, fase soliter, fase transien
dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan
kerusakan bagi tanaman, pada fase gregaria, belalang kembara hidup bergerombol dalam
kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran.
Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali kesoliter dipengaruhi oleh iklim
melalui fase yang disebut transien. Perubahan fase soliter kegregaria biasnya dimulai pada awal
musim hujan setelah melalui musim kemarau yang cukup kering (dibawah normal).
Biasanya terjadi peningkatan populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai
lokasi kesuatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang, lokasi tersebut biasanya
berupa lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir dan dekat
dengan sumber air ( sungai, danau dan rawa).
Perubaha fase gregaria sampai ke fase soliter biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan
tidak menguntukan bagi kehidupa belalang, terutama karena pengaruh curah hujan, serangan
musuh alami dan tindakan pengendalian oleh manusia. Perubahan ini juga melalui fase transien.
Belalang kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari berkumpul dalam kelompokkelompok besar, pada senja hari, kelompok belalang hinggap disuatu lokasi, biasanya untuk
bertelur pada lahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi dan kawin. Pada pagi hari
kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihingapi
pada malam hari biasanya dimakan sampai habis. Kelompok belalang ninfa (belalang muda)
biasanya berpindah tampat dengan berjalan secara kelompok, sepanjang perjalanan juga makan
tanaman yang dilewati (Forrow, 1990).
Tanaman yang paling disukai belalang adalah kelompok Graminae yaitu padi, jagung
sorgum, tebu, alang-alang dan berbagai jenis rumput. Selain itu belalang juga menyukai daun
kelapa, bambu, kacang tanah, petsai dan kubis daun. Tanaman yang tidak disukai antara lain:
kacan hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, tomat, ubi jalar dan kapas (Natawigena, 1990).
Download