BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Biologi Daphnia magna 2.1.1 Biogeografi Daphnia magna Daphnia sp. Termasuk ke dalam filum Arthropoda yang hidup secara umum di perairan tawar. Spesies-spesies dari genus Daphnia ditemukan mulai dari daerah tropis hingga arktik dengan berbagai ukuran habitat mulai dari kolam kecil hingga danau luas. Dari lima puluh spesies genus ini di seluruh dunia, hanya enam spesies yang secara normal dapat ditemukan di daerah tropika. Salah satunya adalah spesies Daphnia magna (Delbaere & Dhert, 1996) Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia magna adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Branchiopoda Subkelas : Diplostraca Ordo : Cladocera Subordo : Eucladocera Famili : Daphnidae Subfamili : Daphnoidea Genus : Daphnia Spesies : Daphnia magna 2.1.2 Morfologi Daphnia magna Gambar 1. Penampang melintang Daphnia sp. dan organ-organnya Pembagian segmen tubuh Daphnia hampir tidak terlihat. Kepala menyatu, dengan bentuk membungkuk ke arah tubuh bagian bawah terlihat dengan jelas melalui lekukan yang jelas. Pada beberapa spesies sebagian besar anggota tubuh tertutup oleh carapace, dengan enam pasang kaki semu yang berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat adalah mata, antenna dan sepasang seta. Pada beberapa jenis Daphnia, bagian carapace nya tembus cahaya dan tampak dengan jelas melalui mikroskop bagian dalam tubuhnya (Gambar 1). Beberapa Daphnia memakan crustacean dan rotifer kecil, tapi sebagian besar adalah filter feeder, memakan algae uniselular dan berbagai macam detritus organik termasuk protista dan bakteri. Daphnia juga memakan beberapa jenis ragi, tetapi hanya di lingkungan terkontrol seperti laboratorium. Pertumbuhannya dapat dikontrol dengan mudah dengan pemberian ragi. Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk menjadi bolus yang akan turun melalui rongga pencernaan sampai penuh dan melalui anus ditempatkan di bagian ujung rongga pencernaan. Sepasang kaki pertama dan kedua digunakan untuk membentuk arus kecil saat mengeluarkan partikel makanan yang tidak mampu terserap. Organ Daphnia untuk berenang didukung oleh antenna kedua yang ukurannya lebih besar. Gerakan antenna ini sangat berpengaruh untuk gerakan melawan arus (Waterman, 1960). 2.1.3 Reproduksi Gambar 2. Kantong telur (ephippium) dan individu muda yang baru menetas. Mekanisme reproduksi Daphnia adalah dengan cara parthenogenesis. Satu atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada tubuh induk. Daphnia yang baru menetas harus melakukan pergantian kulit (molting) beberapa kali sebelum tumbuh jadi dewasa sekitar satu pekan setelah menetas. Siklus hidup Daphnia sp. yaitu telur, anak, remaja dan dewasa. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah telur menetas di dalam ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa berukuran 2,5 mm, anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis. Daphnia sp. mulai menghasilkan anak pertama kali pada umur 4-6 hari. Adapun umur yang dapat dicapainya 12 hari. Setiap satu atau dua hari sekali, Daphnia sp. akan beranak 29 ekor, individu yang baru menetas sudah sama secara anatomi dengan individu dewasa (Gambar 2). Proses reproduksi ini akan berlanjut jika kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan. Jika kondisi tidak ideal baru akan dihasilkan individu jantan agar terjadi reproduksi seksual (Waterman, 1960). Daphnia jantan lebih kecil ukurannya dibandingkan yang betina. Pada individu jantan terdapat organ tambahan pada bagian abdominal untuk memeluk betina dari belakang dan membuka carapacae betina, kemudian spermateka masuk dan membuahi sel telur. Telur yang telah dibuahi kemudian akan dilindungi lapisan yang bernama ephipium untuk mencegah dari ancaman lingkungan sampai kondisi ideal untuk menetas (Mokoginta, 2003). 2.2 Bacillus subtilis Bakteri ini adalah jenis bakteri yang umum ditemukan di tanah, air, udara dan materi tumbuhan yang terdekomposisi. Termasuk kelompok bakteri gram positif, aerobik, mampu membentuk endospora. B. subtilis memiliki kemampuan memproduksi antibiotik dalam bentuk lipopeptida, salah satunya adalah iturin. Iturin membantu B. subtilis berkompetisi dengan mikroorganisme lain dengan cara membunuh mikroorganisme lain atau menurunkan tingkat pertumbuhannya. Iturin juga memiliki aktivitas fungisida terhadap pathogen( Buchanan, 1975). Berikut adalah klasifikasi B. subtilis: (Madigan, 2005) Kingdom:Bacteria Phylum:Firmicutes Class:Bacilli Order:Bacillales Family:Bacillaceae Genus:Bacillus Species: B. subtilis Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa penambahan B.subtilis perairan dapat meningkatkan kualitas perairan dengan mengurangi konsentrasi CO2 perairan. Penggunaan B. subtilis pada tambak udang menunjukkan bahwa B. subtilis mampu meningkatkan kesintasan larva udang windu dan mencegah dari penyakit vibriosis akibat Vibrio harveyi. Selain itu B.subtilis secara alami bersimbiosis pada saluran pencernaan udang windu (P.Kungvankij, 1985). B. subtilis memerlukan kondisi optimum untuk tumbuh. Berikut adalah kondisi fisika kimia air optimum bagi bakteri ini (Graumann, 2007) : a. DO : bakteri ini adalah jenis aerob obligat, makin tinggi DO maka makin baik untuk pertumbuhan optimalnya. Minimal ialah pada kisaran 2 mg/L b. Suhu : suhu optimal untuk tumbuh bagi B. subtilis adalah antara 25 – 350C c. pH : pH optimal antara 7 – 8. Ammonium juga memiliki pengaruh terhadap B. subtilis yaitu dapat meminimalisasi kanibalisme antar bakteri B. subtilis (Nandy & Venkatesh, 2008). 2.3 Bakteri Nitrifikasi Menurut Ward (1996), bakteri nitrifikasi adalah termasuk kelompok kemoautotrof yang tumbuh dengan memanfaatkan senyawa nitrogen anorganik. Banyak spesies bakteri ini memiliki sistem membran internal dimana terdapat enzim kunci dalam proses nitrifikasi. Enzim tersebut antara lain ammonia monooksigenase (mengoksidasi ammonia menjadi hidroksilamin) dan nitrit oksireduktase (mengoksidasi nitrit menjadi nitrat). Berikut adalah klasifikasi bakteri nitrifikasi : (Holt et.al, 1994) Kingdom : Prokariotae Divisi : Bacteria Famili : Nitrobacteraceae Genus : Nitrosomonas dan Nitrobacter Bakteri nitrifikasi tersebar di tanah dan air. Ditemukan dalam lingkungan yang terdapat ammonia (daerah banyak terjadi dekomposisi protein/saluran air buangan). Nitrifikasi secara alami merupakan hasil proses aktivitas dari dua kelompok organisme, yaitu kelompok bakteri nitratasi dan nitritasi. Aktivitas kedua kelompok bakteri tersebut adalah sebagai berikut (Ward, 1996). Bakteri nitritasi (genus Nitrosomonas) 1. NH3 + O2 + 2e- + 2H+ → NH2OH + H2O 2. NH2OH + H2O + 1/2 O2 → NO2- +2 H2O + H+ Bakteri nitratasi (genus Nitrobacter) NO2- + 1/2 O2 → NO3Bakteri nitrifikasi memiliki sebuah kondisi agar dapat melakukan proses kimia di atas dengan optimal. Beberapa kondisi tersebut antara lain (Suzuki et.al., 1974) : a. DO (Dissolved Oxygen) : Bakteri nitrifikasi memerlukan oksigen dalam proses metabolismenya. Setiap miligram nitrogen dalam jalur nitrifikasi (dari ammonia sampai berakhir dalam bentuk nitrat) bakteri ini memerlukan kurang lebih 4,5 mg oksigen terlarut untuk sebagai penyeimbang elektron dari substrat bernitrogen. b. pH : pH optimal untuk bakteri nitrifikasi adalah antara 7,5 – 8,5. Pada suatu saat setelah aklimasi pH, akan sangat baik jika pH dapat dipertahankan stabil. c. Suhu (T) : bakteri nitrifikasi dapat tumbuh optimal antara suhu 20 sampai 30°C. Jika temperatur menurun maka aktivitas metabolisme bakteri akan menurun. Pada suhu di atas 350C bakteri mulai mengalami stres, hal ini diperkirakan karena enzim yang rusak akibat tingginya suhu tersebut. d. Cahaya : bakteri ini sensitif akan kehadiran cahaya yang mendekati spektrum ultraviolet. Penyebab pastinya belum diketahui, namun diperkirakan terdapat hubungan antara superoksida radikal yang diproduksi menghambat membran oksigen. e. Konsentrasi nitrit – nitrogen : kebutuhan sumber nitrogen terendah menunjukan angka 0,1 mg/L bakteri ini dapat tumbuh. 2.4 Sistem Kultur yang umum dilakukan 2.4.1 Sistem kultur zooplankton Secara umum, terdapat empat jenis sistem kultur zooplankton untuk keperluan pakan hidup dalam proses akuakultur yaitu : i). Sistem statis Sistem statis atau sistem batch merupakan sistem kultur yang paling umum digunakan. Pada sistem statis, setelah diinokulasi kultur akan dikembangkan selama periode tertentu, kemudian dilakukan pemanenan pada kultur secara keseluruhan. Sistem statis ini bersifat ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam pengerjaannya. Namun, sistem ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk dilakukan (Snell, 1991). ii). Sistem semi sinambung (Semi-continuous system) Pada sistem semi sinambung ini, kepadatan zooplankton dijaga konstan dengan pemanenan secara periodik. Pada sistem semi sinambung sebagian volume kultur dipanen setiap hari, kemudian kultur ditambah medium baru dengan volume yang sama. Metode ini disebut juga sebagai metode perampingan (thinning method) (Snell, 1991). iii). Sistem sinambung (continuous system) Sistem sinambung adalah sistem kultur yang bersifat intensif. Tujuan sistem ini hampir sama dengan sistem semi sinambung, namun sistem sinambung ini lebih konsisten dalam menjaga kualitas air melalui frekuensi pergantian air kultur yang tinggi dan penggunaan kemostat (Suantika, 2001; Snell, 1991). Medium kultur baru selalu ditambahkan di dalam sistem ini, sehingga tidak diperlukan perlakuan khusus untuk menjaga pH dan mengurangi akumulasi amonia. Pada sistem ini, kepadatan kultur yang konstan dengan kualitas yang tinggi dapat dicapai. Produktivitas kultur dengan sistem sinambung lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem kultur statis dan semi sinambung (James & Abu Rezeq, 1997). Sistem kultur sinambung memiliki kekurangan yaitu hanya diaplikasikan dalam skala percobaan atau eksperimen, dan belum diaplikasikan di hatchery. Sistem ini mempunyai resiko kegagalan teknis yang tinggi karena rumit, mempunyai banyak variabel yang harus dikontrol, dan membutuhkan biaya tinggi (Suantika, 2001). iv). Sistem kultur berkepadatan tinggi (Ultra-high density culture system) Sistem kultur berkepadatan tinggi merupakan cara efektif untuk mengkultur zooplankton tanpa memperluas area kultur. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu jumlah pekerja yang dibutuhkan sedikit, mempunyai produktivitas yang tinggi dan konsisten sepanjang tahun (Suantika, 2001). Sistem kultur ini dikembangkan oleh peneliti Jepang. Dengan menggunakan kultur B. plicatilis yang mampu mencapai kepadatan 10.000 individu/mL dalam tangki berukuran 1 m2 (Yoshimura et.al,1995 dalam Suantika, 2001). 2.4.2 Sistem kultur Daphnia sp. Berdasarkan FAO (1996), pada sistem kultur massal Daphnia sp. dikenal dua sistem khusus : i) Sistem Detrital Sistem ini adalah sistem yang dibuat dari campuran medium tanah, pupuk kandang, dan air. Pupuk kandang berfungsi sebagai pupuk alami untuk menginisiasi peningkatan jumlah alga yang merupakan pakan Daphnia sp. Campuran pupuk kandang berbanding tanah ialah 1kg : 200 gr bagian dilarutkan dalam air satu liter. Sistem ini memiliki keuntungan karena mudah untuk dirawat dan Daphnia tidak mudah mengalami defisiensi nutrisi, karena alga yang beragam dalam jumlah berlimpah. Sistem ini memiliki kelemahan karena tidak cukup mendukung kondisi standar kebutuhan (tidak terkontrol) Daphnia, sehingga dapat terjadi kondisi minimnya oksigen yang menyebabkan tingginya tingkat kematian Daphnia dan rendahnya produksi telur. ii) Sistem Autotrof Sistem autotrof adalah cara lain dengan menambahkan alga yang sudah dikultur ke dalam kultur Daphnia. Kultur air hijau (105 to 106sel.ml-1) ditambahkan dari alga yang dikultur secara monokultur ataupun dari tambak ikan yang memiliki spesies alga yang beragam. Pengontrolan kultur akan lebih mudah jika alga yang digunakan adalah monokultur, seperti Chlorella, Chlamydomonas atau Scenedesmus, atau campuran dari dua kultur alga tersebut. Kelemahan sistem ini adalah tidak mampu mempertahankan kultur Daphnia untuk generasi yang berlanjut tanpa tambahan vitamin ke dalam kultur Daphnia. Vitamin tersebut antara lain vitamin B kompleks, kalsium pantotenat, biotin dan thiamin. 2.5 Parameter Kualitas Air 2.5.1 Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang penting bagi semua organisme akuatik. Batas toleransi setiap organisme terhadap suhu berbeda-beda, tergantung dari fisiologi organisme tersebut. Di perairan suhu berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, yang penting bagi keberlangsungan hidup mayoritas organisme akuatik. Pada percobaan kali ini suhu dipertahankan pada suhu optimal pertumbuhan Daphnia sp. yaitu 250C . Suhu optimal yang stabil akan menjaga pH dan DO dapat tetap stabil (Mokoginta, 2003). 2.5.2 Nilai pH Nilai pH atau potential hydrogen merupakan indikator konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan konsentrasi asam. Nilai ini berbanding terbalik dengan suhu, semakin tinggi suhu menyebabkan pH semakin rendah. Menurut Pennak (1989), pH yang baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. Berkisar antara 6,5 sampai 8,5. Pada umumnya, lingkungan perairan yang netral dan relatif basa pada kisaran pH 7,1-8,0 lebih baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. (Mokoginta, 2003) 2.5.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen atau DO) Menurut Cole (1994), kelarutan suatu gas (termasuk oksigen) pada medium cair merupakan karakteristik dari gas tersebut sendiri, dan dipengaruhi oleh tekanan, ketinggian suatu tempat, suhu dan salinitas. Kelarutan gas di medium cair menurun seiring dengan naiknya suhu dan banyaknya mineral yang terlarut dalam medium tersebut.( Salmin, 2005) Oksigen terlarut mempunyai peranan penting dalam kehidupan Daphnia sp. Pada umumnya, Daphnia sp. dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut yang cukup tinggi yaitu sekitar 4,2 – 5,1 ppm dan tidak dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 1 ppm (Mokoginta, 2003), sedangkan menurut Delbaere & Dhert (1996), kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan kultur Daphnia sp. adalah sekitar 3,5 ppm. 2.5.4 Amonia Hewan akuatik umumnya mengekskresikan amonia sebagai hasil dari proses metabolisme. Terdapat amonia yang tidak terionisasi (NH3) dan amonia terionisasi atau ion amonium (NH4+). Amonia bersifat toksik bagi larva ataupun organisme perairan seperti Daphnia sp. karena mampu melewati membran organ dalam, sedangkan ion amonium tidak dapat melewati membran tersebut (P.Kungvankij et.al, 1985). Menurut Cole (1994), setiap hari seekor Daphnia pulex melepaskan 0,2 µg nitrogen. Kadar amonia di perairan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan pH. Kadar amonia yang tinggi dapat menurunkan tingkat reproduksi Daphnia sp. Kadar amonia yang aman bagi kultur Daphnia sp. adalah di bawah 0,2 mg/L (Delbaere & Dhert, 1996).