6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skin Tag Skin tag atau acrochordon adalah tumor jinak kulit, yang berasal dari jaringan kolagen yang longgar serta serabut elastik, dapat berupa tonjolan kecil, lunak dan mempunyai tangkai yang pendek di atas permukaan kulit.. Lokasi tersering adalah pada leher, aksila, dan lipatan-lipatan badan (Rasi A et al, 2007). Lesi skin tag paling sering dijumpai terutama pada individu yang mengalami obesitas, biasanya mulai muncul pada dekade keempat bisa didapatkan pada usia yang lebih muda namun sering dihubungkan dengan proses penuaan. Skin tag sering dihubungkan dengan gangguan sindrom metabolik seperti gangguan karbohidrat atau metabolisme lipid, abnormalitas enzim hati dan hipertensi. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui dengan jelas meskipun banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini. (Weedon, 2010; Thomas et al, 2012) 2.1.1 Epidemiologi Skin tag umum dijumpai pada populasi dewasa dengan usia lebih dari 40 tahun, dan peningkatan insidennya pada orang dewasa ini mencapai umur 70 tahun. Didapatkan hubungan secara familial namun hubungan secara genetik ini belum dapat dibuktikan hingga saat ini begitu juga hubungannya dengan etnik tertentu. Tidak didapatkan perbedaan insiden antara pria dan wanita. Skin tag dihubungkan dengan kehamilan, akromegali, polip intestinal asimptomatik, dislipidemia, obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis dan beberapa sindrom 7 seperti sindrom polikistik ovarium, sindrom Birt-Hogg-Dube, dan sindrom Cowden. (Banik, Lubach, 1987; Tamega, 2010) Berdasarkan penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2005-2009, prevalensi skin tag sebesar 9,8% dari seluruh penderita tumor jinak kulit (Laksmi-Dewi dkk, 2010) 2.1.2 Etiologi Etiologi dari skin tag belum diketahui secara pasti. Lebih sering terjadi pada daerah garukan dan sering berhubungan dengan beberapa kondisi, termasuk acromegali, chron disease, aging, transplantasi organ, polip kolon, kehamilan, infeksi HPV, peningkatan jumlah sel mast, dan juga peningkatan reseptor androgen dan estrogen serta kadar leptin. (Tamega, 2010) Skin tag juga diduga mempunyai hubungan dengan penyakit diabetes mellitus, obesitas, dislipidemia dan resistensi insulin. (Naglaa et al, 2014) Menurut penelitian Demir dan Demir (2001) menyimpulkan bahwa munculnya skin tag kemungkinan merupakan suatu manifestasi klinis yang penting yang mendasari ada terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat, oleh karena itu setiap pasien skin tag harus dievalusi kemungkinan menderita diabetes mellitus. Skin tag juga diduga dapat terjadi akibat faktor genetik. Faktor genetik merupakan hal yang penting untuk diteliti. Pada suatu penelitian mengatakan setidaknya setiap dua pasien skin tag merupakan karier skin tag. Pada sindrom Birt-Hogg-Dube merupakan suatu genodermatosis yang merupakan penyakit autosomal dominan, ditandai dengan munculnya tumor-tumor kulit meliputi 8 multipel fibrofolikuloma, trichosdiscomas dan achrocordon, yang diduga mutasi terhadap suatu gen supresor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kelainan genetik ini. (Haimowitz JE, et al, 1997) Adanya iritasi kulit yang sering dan lama diduga merupakan faktor pencetus, terutama pada pasien obesitas. Ketidakseimbangan hormonal juga dapat memudahkan untuk terjadinya skin tag, misalnya tingginya kadar estrogen dan progesterone pada saat hamil, atau terganggunya kadar growth hormone pada penderita acromegali. Para ahli mendapatkan bahwa epidermal growth factor dalam transforming growth factor mempunyai peranan dalam hal pertumbuhan skin tag. (Toro et al, 1999; Gaw et al, 2004; Safourry et al, 2009) 2.1.3 Patogenesis Ada beberapa pendapat mengenai patogenesis dari skin tag. Terdapatnya beberapa teori yang menyebutkan skin tag terjadi sebagai akibat tekanan yang persisten ataupun dari gesekan yang terus menerus pada daerah permukaan kulit, terutama pada penderita obesitas, yang menyebabkan gangguan jaringan elastik kulit. (Safoury et al, 2011) Rezzonico dkk, menyimpulkan bahwa individu yang mengalami skin tag memiliki angka kejadian yang tinggi pada pasien dengan adanya pembesaran tiroid atau terdapat nodul tiroid. Hal ini terjadi karena skin tag dan perubahan kadar tiroid berhubungan dengan tingginya kadar insulin yang bersirkulasi. (Rezzonico et al, 2009) Allegue dkk melaporkan satu kasus skin tag yang multipel sepanjang pakaian dalam yang digunakan seorang wanita dengan obesitas yang disebabkan 9 oleh adanya gesekan yang berulang-ulang dengan pakaian yang digunakan pasien. (Allegue et al, 2008) Beberapa penelitian mengungkapkan peranan gangguan metabolisme karbohidrat dan insulin serta gangguan metabolisme lipid dan hormon leptin dalam patogenesis terjadinya skin tag. (Mathur, 1997; Dianzani et al, 1998; Erdogan et al, 2005; Erkek et al, 2008) 2.1.4 Klinis Lesi skin tag berbentuk papul dengan konsistensi lunak, berwarna seperti kulit sampai kecoklatan, menonjol atau bertangkai di atas permukaan kulit, biasanya timbul pada daerah fleksural atau sering mengalami gesekan seperti lipatan leher, ketiak, lipatan paha dan perineum dengan ukuran diameter antara 1mm sampai 1 cm. (Barbato et al, 2012) Terdapat tiga tipe gambaran klinis skin tag, yaitu: tipe papul furrowed dengan ukuran lebar dan tingginya ± 2 mm, tipe filiformis dengan ukuran lebar 2 mm tinggi 5 mm dan yang terakhir tipe dengan bentuk paling besar atau large bag-like protuberances type sering terjadi pada tubuh bagian bawah. Tipe yang terbesar ini sering disebut tipe fibroepithelial polyp dan jarang muncul secara multipel pada satu individu. Secara eksperimental, skin tag tipe ini menunjukkan penurunan atau tidak adanya ekspresi tuberin dan/atau hamartin yang menyebabkan terbentuknya jaringan ikat longgar dengan sedikit serabut kolagen. (Weedon, 2010) 10 Gambar 2.1 Skin Tag (Barbato et al, 2012) 2.1.5 Histopatologi Gambaran histopatologi skin tag bervariasi sesuai dengan tipe klinisnya. Papul bentuk furrowed menunjukkan hiperplasia epidermal dan kadang ditemukan horn cyst formation. Lesi ini sering terdapat pada bagian leher dan kedua kelopak mata. Pada bentuk filiformis, epidermis mengalami akantosis yang minimal. Gambaran pagetoid diskeratotik kadang ditemukan di epidermis bagian atas. Jaringan ikat pada lesi yang bertangkai memiliki vaskularisasi yang baik, terdapat komponen kolagen yang longgar serta serabut elastik dan kadang tampak beberapa sel lemak. Papul fibroepitelial yang besar (bag-like lesions, polip fibroepitelial, fibrolipomas) biasanya memiliki stroma yang terdiri dari kolagen yang longgar dan inti berupa jaringan adiposa. (Weedon, 2010; Safoury et al, 2011) 11 Gambar 2.2 Gambaran histopatologi skin tag. (Weedon, 2010) 2.2 Metabolisme Glukosa Dan Peranan Insulin Karbohidrat yang masuk dalam tubuh kita akan dicerna dalam saluran gastrointestinal untuk membentuk monosakarida yang kemudian diserap ke dalam sirkulasi. Glukosa merupakan bentuk karbohidrat dalam sirkulasi berfungsi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi. Insulin merupakan protein yang disintesis oleh sel beta pankreas dan merupakan hormon utama yang berperan dalam metabolisme glukosa mengatur kadarnya dalam darah yaitu dengan cara membawa glukosa masuk ke dalam sel melalui reseptor yang terdapat pada membran sel. Glukosa tidak dapat masuk dan diproses ke dalam sel tanpa adanya insulin. (Wilcox, 2005; Rasi et al, 2007; Napolitano et al, 2015) Target utama insulin adalah adalah sel otot, liver, dan jaringan adiposa. Kerja insulin berlawanan dengan kerja hormon stress lainnya yaitu glukagon, adrenalin, glukokortikoid, dan growth hormone. (Rasmussen et al, 1990) 2.2.1 Proses pembentukan dan sekresi insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai 12 kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pancreas. (Wilcox et al., 2005; McAuley et al., 2011) Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian membentuk dan terkumpul dalam bentuk gelembung-gelembunh (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. (Wilcox et al, 2005; McAuley et al, 2011) Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obatobatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas. (McAuley et al, 2011) Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati 13 membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul adenosin trifosfat (ATP). Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. (Rasmussen et al, 1990; Wilcox et al, 2011) Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang 14 disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta. (Wilcox et al, 2005; McAuley et al, 2011) 2.2.2 Aktivitas insulin Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar. (Ozougwu et al, 2013) Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme. (Wilcox et al, 2005) Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya DM tipe 2. Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan 15 hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar. (McAuley et al, 2011; Ozougwu et al, 2013) 2.2.3 Efek metabolisme dari insulin Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan. (Senel E et al, 2011; Tosson et al, 2013)) Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini 16 bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar. (McAuley et al, 2001) Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai 17 jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik. (Wilcox et al, 2005; McAuley et al, 2011) 2.2.4 Resistensi insulin Resistensi insulin merupakan gangguan metabolik akibat sel target gagal merespon adanya insulin dengan kadar yang normal dalam sirkulasi yang pada akhirnya terjadi hiperinsulinemia kompensata untuk mencapai respon fisiologi yang optimal. (Sari R et al, 2010) Diabetes mellitus terjadi ketika kemampuan sekresi insulin gagal untuk menurunkan kadar glukosa plasma. Konsentrasi insulin secara umum meningkat pada fase awal DM tipe 2, namun peningkatan ini tidak cukup untuk mengkompensasi karena terjadi defek pada sel beta pankreas. Peningkatan resitensi insulin berhubungan dengan akumulasi lemak dalam tubuh. (Shah et al, 2014) Insulin dengan konsentrasi yang tinggi mengakibatkan terjadinya aktivasi langsung maupun tidak langsung reseptor Insulin Growth Factor-1 (IGF-1) pada keratinosit dan fibroblast sehingga mengakibatkan terjadinya proliferasi. Reseptor tirosin kinase lainnya seperti epidermal growth factor reseptor (EGFR) dan fibroblast growth factor reseptor (FGFR). (Haimowitz et al, 1997) Pada beberapa penelitian terjadinya skin tag dihubungkan dengan adanya resistensi insulin. Skin tag yang multipel sering ditemukan pada individu dengan obesitas dan DM tipe 2, dalam hal ini resistensi insulin merupakan dasar 18 terjadinya lesi ini. Proliferasi fibroblast yang terjadi pada skin tag tampaknya disebabkan oleh keadaan hiperinsulinemia melalui aktifasi reseptor IGF-1pada permukaan sel. Skin tag berhubungan erat dengan kadar insulin saat puasa. (Banik, Lubach, 1987; Gaw, et al, 2004) Sejak beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa penelitian yang mencoba mencari adanya hubungan antara skin tag dengan resistensi insulin, kadar insulin serum dan kadar IGF-1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jowkar dkk, terdapat peningkatan kadar insulin yang bermakna pada pasien dengan skin tag dibandingkan dengan kelompok kontrol dan hal ini menyatakan adanya peran penting insulin dan IGF-1 dalam patogenesis terjadinya skin tag. ( Safoury et al, 2009) Insulin bukan merupakan mediator satu-satunya untuk terjadinya skin tag namun hal ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam terbentuknya lesi ini. (Crook, 2000) Pada individu yang memiliki lesi skin tag yang banyak penting dipertimbangkan terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat baik dalam bentuk manifestasi DM maupun resistensi insulin. (Naglaa et al,2014) Rasi dkk menunjukkan bahwa pasien dengan lesi skin tag lebih dari 30 juga menderita diabetes dan IR (52%) sementara body mass index (BMI) tidak memiliki hubungan dengan jumlah lesi skin tag pada penelitian yang sama. (Mathur, Bhargawa, 1997) Tamega dkk mengidentifikasi adanya hubungan yang independen antara jumlah lesi skin tag lebih dari 5 dengan peningkatan index HOMA-IR pada pasien skin tag. Pada penelitian yang sama terdapat hubungan yang bermakna antara skin 19 tag dengan BMI dan hipertrigliseridemia dan hal ini menguatkan pendapat bahwa skin tag merupakan penanda resistensi insulin. (Tamega et al, 2010) 2.2.5 Homeostatic Model Assesment of Insulin Resistance (HOMA-IR) Resistensi insulin merupakan suatu fenomena dimana absorbsi glukosa oleh sel yang distimulasi oleh insulin mengalami penurunan. Sebagai respon terhadap hal tersebut sel β pankreas terstimulasi untuk melepaskan lebih banyak insulin sehingga terjadi peningkatan insulin secara abnormal. Hal ini selanjutnya akan dapat menginduksi kegagalan sel β dan terjadi DM tipe 2. (Fitzgerald et al, 2014). Homeostatic Model Assesment of Insulin Resistance (HOMA-IR) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985. Suatu teknik dengan metode yang pemeriksaannya diambil dari glukosa basal dan insulin puasa. Teknik ini telah digunakan secara luas sejak pertama kali dipublikasikan. (Wallace et al, 2004). Metode perhitungan matematika ini dikembangkan untuk aplikasinya dalam membantu investigasi secara epidemiologi, dan digunakan untuk mengukur resistensi insulin secara in vivo. Metode HOMA-IR ini dapat dikerjakan untuk studi berskala besar dan dengan mengukur glukosa puasa serta insulin puasa. (Esteghamati et al, 2010; Barbato et al, 2012). Pada suatu penelitian tentang penggunaan cut off point HOMA-IR pada pasien non diabetes oleh Geloneze et al serta Tamega et al, berdasarkan kriteria International Diabetes Federation (IDF) didapatkan nilai cut off optimal untuk HOMA-IR pada pasien non diabetes untuk mengidentifikasi resistensi insulin dan sindrom metabolik adalah nilai >2,7 (sensitifitas 76,8% dan spesifisitas 66,7%). (Geloneze et al, 2009; Tamega et al, 2010). Pada studi di India tentang resistensi insulin, didapatkan cut off point dari 20 HOMA-IR >2,5 sensitifitas >70% dan spesifisitas >60%. (Singh et al, 2013). Secara praktis resistensi insulin umumnya dihitung dengan menggunakan The Homeostasis Model Assesment of Insulin Resistance (HOMA-IR) dimana resistensi insulin = insulin puasa (mIU/L) x glukosa puasa (mmol/l)/22,5, dimana nilai diatas 2,7 menunjukkan adanya resistensi insulin. (Barbato et al, 2012) 2.3 Insulin Growth Factor-1(IGF-1) Insulin Growth Factor-1 (IGF-1) dan Insulin Growth Factor-2 (IGF-2) pertama kali diidentifikasi oleh Salmon dan Daughaday pada tahun 1957 namun saat itu dinamai dengan “sulphation factor”. Pada tahun 1967, Rinderkinecht dan Humbel mengisolasi dua substansi aktif dari serum manusia yang memiliki kemiripan suatu proinsulin dan diberi nama Insulin Growth factor 1 dan 2. Insulin Growth Factor merupakan 70 aa polipeptida yang memiliki efek endokrin, parakrin dan autokrin. Insulin Growth Factor-1 adalah satu dari regulator utama proliferasi dan diferensiasi seluler, dimediasi oleh reseptor IGF-1 yang merupakan famili dari tirosin kinase. (Laron., 2001; Sadagurski et al., 2006; Puche, Cortazar, 2012). Sirkulasi IGF-1 secara umum berasal dari liver dibawah kendali GH. Pengikatan GH pada reseptor hepatiknya merangsang ekspresi dan pelepasan peptida IGF-1 ke sirkulasi dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap Insulin Growth Factor Binding Protein (IGFBP) dan mempresentasikan bentuk endokrin IGF-1. Bioaktivitas IGF-1 ini diregulasi oleh enam IGFBP, insulin akan menghambat produksi IGFBP-1 sehingga akan terjadi bioavailabilitas IGF-1. (Sandhu et al, 2002; Delafontaine et al, 2003) peningkatan 21 Insulin Growth Factor-1 adalah suatu hormon yang relevan pada masa embrio dan postnatal, walaupun utamanya diproduksi oleh liver sebenarnya setiap jaringan mampu mensekresi IGF-1 untuk tujuan secara autokrin dan parakrin. Sinyal autokrin dan parakrin diketahui bersifat morfogenik atau mitogenik untuk keratinosit epidermal. IGF-1 yang diproduksi oleh keratinosit dari stratum granulosum dan fibroblas dermal akan mengaktifkan reseptornya pada keratinosit memfasilitasi penyebaran sel. Tidak didapatkan perbedaan bioaktivitas IGF-1 pada jenis kelamin. (Tavakkol et al, 1999; Haase et al, 2003; Vestergaard et al, 2014) Gambar 2.3 Target dan aksis Growth Hormon dan Insulin Growth Factor-1 (Puche, Cortazar, 2012) 22 Pituritari (GH) dan liver (IGF-1) memiliki mekanisme umpan balik pada kelenjar endokrin. IGF-1 menghambat sekresi GH pada hipotalamus melalui dua mekanisme umpan balik, pertama menghambat ekspresi gen GH dan kedua dengan merangsang sekresi somatostatin yang menghambat produksi GH, seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Aktivasi reseptor GH di liver memicu sintesis IGF-1 yang kemudian dilepaskan ke sirkulasi dan dapat ditemukan dalam bentuk bebasnya yaitu IGFBP-3. (Puche,Cortazar, 2012) 2.4 Resistensi Insulin Dengan Skin Tag Sel kulit manusia memproduksi IGF dan binding proteinnya, walaupun tidak didapatkan bukti bahwa GH diproduksi di kulit namun peptida turunannya yaitu IGF-1 disintesis pada kulit. (Zouboulis, 2011) IGF-1 diproduksi oleh keratinosit dari stratum granulosum dan fibroblas dermal, IGF-1 merangsang proliferasi keratinosit melalui aktivasi reseptor IGF-1. (Gambar 2.4) (Barbato et al, 2012). Gambar 2.4 Efek hiperinsulinemia pada berbagai jaringan 23 Insulin dapat melewati dermoepidermal junction untuk mencapai keratinosit. Pada konsentrasi yang rendah, insulin meregulasi metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dan dapat sebagai pemicu pertumbuhan dengan berikatan pada reseptor insulin. Pada konsentrasi insulin yang tinggi seperti pada kejadian resistensi insulin, maka insulin akan memicu efek pertumbuhan sel yang berlebihan dengan berikatan pada IGF-1. Hiperinsulinemia akan merangsang peningkatan IGF-1 pada keratinosit melalui reseptor IGF-1 mRNA yang berada di permukaan keratinosit. Pada keratinosit, IGF-1 akan bekerja secara parakrin dengan memediasi reseptor-reseptor respon proliferasi epitel kutaneus seperti EGFR, FGFR membentuk akantosis, hiperkeratosis dan papilomatosis. Pada dermal fibroblast, IGF-1 akan bekerja secara autokrin untuk berproliferasi dan memproduksi jaringan ikat longgar yang berlebih, sehingga komponen-komponen ini yang akan membentuk skin tag. (Bosseila et al, 2007; Tamega et al, 2010). Zaher et al (2007) mendapatkan bahwa sejumlah sitokin yang dihasilkan oleh sel mast seperti triptase, kimase, histamin, interleukin 4, dan basic FGF berperan dalam menstimulasi pertumbuhan dan proliferasi fibroblas, meningkatkan penimbunan kolagen dan proliferasi keratinosit serta memicu hiperplasia dan akantosis epidermis sehingga terbentuk skin tag. Tingginya kadar insulin dalam darah bisa berefek langsung dengan mengaktifkan IGF-1 signaling pathway, atau secara tidak langsung dengan cara mengaktifkan level free IGF-1 pada sirkulasi. Aktivitas IGF-1 diregulasi oleh insulin-like binding proteins (IGFBPs) sehingga meningkatkan waktu paruh IGF1, terjadi pengiriman IGF ke target jaringan meregulasi secara aktif free IGF-1. 24 Terjadi penurunan IGFBP1 dan IGFBP2 pada orang dengan hiperinsulinemia sehingga meningkatkan perangsangan pertumbuhan dan diferensiasi sel. (Phiske, 2014) Epidermal Growth Factor dan reseptor insulin merupakan reseptor yang memiliki aktifitas tirosin kinase sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi proliferasi epidermis diferensiasi sel dan metabolisme sel. Fungsi sinyal insulin secara fisiologis membantu metabolisme glukosa, sintesis lemak dan protein, sedangkan EGF menginduksi respon proliferasi. Selain itu insulin sendiri dapat meningkatkan stimulasi EGF sehingga terjadi sintesis DNA dan respon proliferasi. Ekspresi EGF yang berlebih merupakan pengaruh dari meningkatnya insulin akibat resistensi sehingga akan meningkatkan kerja proliferasi dari EGF ini. (Zielinski et al, 2009) Skin tag multipel seringkali ditemukan pada orang-orang obesitas dan diabetes non-insulin dependent, abnormalitas resistensi insulin didasari pada 2 kondisi. Proliferasi fibroblas yang muncul pada skin tag lebih dikarenakan oleh adanya hiperinsulinemia melalui aktivasi reseptor insulin-like growth factor (IGF-1) yang muncul pada permukaan. Skin tag dekat hubungannya dengan level fasting insulin. (Mathur et al., 1997; Kabir, et al,. 2010; Isard, et al., 2011) Beberapa tahun belakangan terdapat studi-studi yang berusaha memperlihatkan hubungan antara skin tag dan resistensi insulin, dengan level serum dan level IGF-1. Jowkar et al, level insulin pada pasien skin tag jauh lebih besar daripada individu kontrol sehingga memperlihatkan pentingnya insulin pada patogenesisnya, namun hubungan dengan level IGF-1 belum ditemukan. (Jowkar 25 et al., 2010). Sama dengan akantosis nigrikan, insulin bukanlah satu-satunya mediator pembentukan skin tag namun merupakan yang paling penting pada pembentukan lesi ini. (Sudy et al., 2008) Gambar 2.5 Peran IGF pada jalur sinyal pada keratinosit dan melanosit (Phiske, 2014) Pada individu yang memiliki skin tag multipel, sangat penting untuk mencurigai kelainan metabolisme karbohidrat baik dalam bentuk resistensi insulin atau diabetes melitus. (Demir et al, 2002). Skin tag terkait dengan obesitas dan terjadi gangguan hormonal yaitu adanya peningkatan hormon estrogen dan androgen (Gambar 2.6). Fungsi dari hormon ini adalah sebagai pengaktivasi/pemecah trigliserid jaringan adiposa. Pada orang dengan obesitas terjadi penimbunan/penumpukan jaringan adiposa dimana trigliserida yang tersimpan mengalami penumpukan dan resistensi sehingga hormon estrogen yang seharusnya sebagai pemecah trigliserida dalam hal ini merangsang keratinosit 26 untuk mengekspresikan reseptor estradiol (ER α dan ER β) guna mengikat estrogen sehingga merangsang aktivitas keratinosit dan fibroblast. Sel mast berinteraksi dengan keratinosit dan fibroblast sehingga terbentuk skin tag. (Safoury et al, 2010). Gambar 2.6 Pembentukan skin tag (Safoury et al, 2010) Resi et al memperlihatkan bahwa pasien yang memiliki lebih dari 30 lesi memiliki risiko lebih tinggi menderita diabetes (52%) walaupun BMI tidak berhubungan dengan jumlah skin tag pada studi ini. ( Abbas et al., 2007) 27 Tidak ditemukan hubungan antara topografi dari skin tag dan metabolisme karbohidrat kecuali skin tag pada area inframamae pada wanita. (Sudy et al., 2008). Crook melaporkan 4 pasien dengan skin tag multipel dan semua pasien mengalami peningkatan level serum trigliserida dan penurunan level HDL kolesterol. (Crook, 2000). Skin tag multipel (lebih dari 8 lesi) lebih sensitif daripada akantosis nigrikan dalam identifikasi perubahan metabolisme karbohidrat namun kurang spesifik. (Abbas et al, 2007). Keberadaan skin tag sebagai penanda deteksi hiperinsulinemia didasari dengan penemuan sindrom X. (Sudy et al, 2008). Tamega et al mengidentifikasi hubungan independen antara adanya 5 jumlah skin tag dengan peningkatan indek HOMA-IR pada pasien dermatologi. Hubungan signifikan dengan BMI dan hipertrigliserida ditemukan pada studi ini sangat kuat bahwa skin tag merupakan penanda resistensi insulin. (Tamega et al, 2010).