Potret Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan Azizah Amalia Yayasan Auriga Isu yang berkembang • Nilai dari gugatan perdata yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan yang kalah di persidangan adalah lebih dari Rp 8,3 T (data KLHK, dikutip dari nasional.kontan.co.id); • Gugatan terhadap PT Surya Panen Subur (PT SPS) senilai Rp 439 M kalah di pengadilan tingkat banding, sementara dalam gugatan terhadap PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) senilai RP 7,9 T PN Palembang menyatakan menolak gugatan KLHK seluruhnya; • Pada tanggal 11 Agustus 2016 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jakarta Selatan) mengabulkan sebagian gugatan KLHK kepada PT National Sago Prima (PT NSP) dan sehari setelahnya pada 12 Agustus Pengadilan Tinggi Palembang (PT Palembang) menerima permohonan banding dari KLHK dan membatalkan putusan PN Palembang sebelumnya atas PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH); • Pada Januari lalu Kepolisian Daerah Riau (Polda Riau) mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara kebakaran hutan yang diduga melibatkan 15 perusahan. Pembelajaran dari kasus PT NSP Dalam Perkara bernomor 591/Pdt.G-LH/2015/PN.Jkt.Sel, Hakim memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan dari KLHK. Putusan perdata PT NSP tersebut seharusnya menjadi pertimbangan dan rujukan hukum (yurisprudensi) untuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap kebakaran hutan dalam kasus lain. • Putusan PN Jakarta Selatan tersebut mendudukkan strict-liability sebagai dasar pertimbangan untuk meminta pertanggungjawaan perdata lingkungan hidup terhadap kebakaran hutan yang terjadi di dalam konsesi perusahaan; • Membangun preseden dalam metode perhitungan kerugian lingkungan akibat kebakaran hutan; • Pemerintah perlu melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan putusan, terutama untuk pemulihan kerusakan lingkungan terhadap hutan yang telah terbakar yang dibebankan kepada PT NSP dengan total biaya Rp. 753.745.500.000 Pembelajaran dari kasus PT BMH • Indonesian Corruption Watch (ICW) dan koalisi Anti Mafia Hutan pernah melakukan eksaminasi terhadap Putusan PN Palembang terhadap perkara PT BMH dengan Nomor: 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. • Pemerintah seharusnya terus mendorong agar strict liability menjadi preseden dalam meminta pertanggungjawaban korporasi pemegang izin dalam kebakaran hutan dan lahan. • Pemerintah juga perlu memperkuat data dan informasi tentang kualitas maupun neraca Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH), maupun standar baku mutunya, untuk dijadikan dasar pembuktian di persidangan. • Lembaga peradilan perlu berbenah, memastikan hanya hakim-hakim yang memiliki kepekaan terhadap dampak kerusakan lingkungan hidup yang menjadi hakim dalam perkara terkait lingkungan hidup. • Dalam putusan perkara Nomor 51/PDT/2016/PT.PLG yang dibacakan pada tanggal 12 Agustus 2016, Hakim PT Palembang memutuskan menerima permohonan banding dari KLHK dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Bagaimana dengan kasus kebakaran lainnya? • Awal tahun ini Polda Riau mengeluarkan SP3 atas perkara kebakaran hutan dan lahan yang diduga melibatkan 15 perusahaan. Namun berita tersebut baru naik ke permukaan akhir-akhir ini; • 15 perusahaan tersebut diantaranya, PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Industri, PT Sumatera Riang Lestari, PT Alam Sari Lestari, PT Rimba Lazuardi, PT PAN United, PT Riau Jaya Utama, PT Suntara Gaja Pati, PT Siak Raya Timber, PT Hutani Sola Lestari, PT Parawira Group, KUD Bina Jaya Langgam, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Dexter Rimba Perkasa, PT Ruas Utama Jaya; • Paradigma penanganan kasus ini dapat dilihat dari alasan pengeluaran SP3 oleh Polda Riau. Yang paling mencolok adalah alasan bahwa kebakaran yang terjadi dianggap bukan dilakukan oleh Perusahaan melainkan oleh masyarakat yang menguasai atau menggarap. Hal ini adalah suatu kemunduran dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia; Bagaimana dengan kasus kebakaran lainnya? #2 • Selain itu ada pula alasan mengenai sudah adanya sanksi administrasi. Hal ini perlu diluruskan mengingat dalam penegakan hukum lingkungan saat ini sudah tidak relevan pengkotak-kotakan antara pidana, perdata, dan administrasi. Ketiga proses tersebut perlu berjalan secara bersamaan sesuai dengan konsep pendekatan multidoor demi tercapainya penegakan hukum lingkungan yang efektif dan optimal; • Lainnya adalah alasan yang sifatnya teknis seperti perusahaan sudah berusaha memadamkan api, sudah memiliki alat pemadam kebakaran yang memadai, sudah melakukan upaya pencegahan yang memadai. Alasan-alasan tersebut seharusnya dibuktikan di persidangan. Bukan kapasitas penyidik untuk memutuskan mengenai hal-hal tersebut; Bagaimana dengan kasus kebakaran lainnya? #3 • Berdasarkan data NASA Fire Information for Resource Management (FIRMS) Active Fire Data 13 Januari 2015 - 30 Desember 2015 dengan tingkat kepercayaan 90-100% yang disandingkan dengan peta wilayah administrasi dan konsesi kami mendapati bahwa cukup banyak hotspot yang terdapat di konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) di Indonesia. Dengan adanya data hotspot tersebut, seharusnya para pemegang izin sudah dapat memperkirakan potensi terjadinya kebakaran. Sebagai contoh dalam selang waktu tersebut di PT BMH terdapat grand total 1058 titik panas; • Sepanjang tahun 2015, ditemukan setidaknya 9,442 titik panas yang berada di 204 perusahaan pemegang izin HTI. Itu baru HTI, bagaimana dengan areal lainnya seperti HPH, kawasan perkebunan, dan lain-lain? Catatan ke depan • Konsep strict liability perlu diatur dan diterapkan secara konsisten dalam penegakan hukum lingkungan. Konsep tersebut secara tidak langsung mempermudah bagi Pemerintah untuk melakukan pembuktian karena tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Asal unsur kerugian dan kausalitas terpenuhi maka pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada pemegang izin; • Bagaimana pun pemberian ganti rugi kepada negara dan pemulihan lingkungan tidak akan dapat secara sepenuhnya memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi. Dalam konteks itu penegakan hukum pidana tetap harus diupayakan sebagai politik hukum. Sesuai dengan pendekatan multidoor, maka proses pidana, perdata, dan administrasi seharusnya berjalan bersamaan dan digunakan seluruhnya oleh KLHK sebagai strategi penanganan perkara LH; Catatan ke depan #2 • Pemerintah perlu memikirkan langkah tegas yang harus diambil terhadap pemegang izin konsesi yang lahannya berulang kali terbakar dan juga terhadap areal konsesi tersebut; • Pemerintah juga perlu mengatur instrumen ‘blacklist’ agar pemilik baik yang tercatat sebagai pemegang saham maupun beneficiary owner yang perusahaannya pernah terjerat dalam perkara lingkungan hidup tidak dapat memiliki usaha di sektor yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup kembali; • Kerugian lingkungan yang ada saat ini belum memperhitungkan kerugian bagi publik luas terhadap dampak kerusakan. Kedepannya, gugatan pertanggungjawaban kerugian harus juga meliputi beban sosial akibat kerusakan lingkungan (social cost of crime). Bahkan kalau perlu prinsip ubikuitas, seperti dalam transboundary pollution act di Singapura dapat diterapkan; Catatan ke depan #3 • Pemerintah perlu mengatur mengenai mekanisme penggunaan uang ganti kerugian untuk upaya pemulihan kerusakan lingkungan di daerah yang terdampak. Belajar dari kasus PT NSP selain dibebankan kewajiban pemulihan lingkungan, PT NSP juga diwajibkan melakukan pembayaran ganti rugi sebesar Rp.319.168.422.500,-; • Dalam pemberian izin, KLHK harus memperhatikan betul potensi kerusakan lingkungan dan memastikan penerima izin melaksanakan pengelolaan dengan mengedepankan precautionary principle; • Sebagai upaya pencegahan, kedepannya pemerintah harus memastikan agar lahan-lahan yang mudah terbakar seperti gambut tidak diberikan izin usaha yang bersifat pembukaan lahan. KLHK dan Badan Restorasi Gambut (BRG) perlu memastikan agar kubah gambut seluruhnya masuk ke dalam kawasan lindung. Terima Kasih Azizah Amalia [email protected]