BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akuakultur Akuakultur adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004). Berdasarkan salinitas atau kandungan garam NaCl-nya, perairan di permukaan bumi dibedakan menjadi perairan tawar, perairan payau, dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air begi kegiatan akuakultur. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan produksi akuakultur maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture). Menurut Crespi dan Coche (2008) pengertian akuakultur air tawar adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air tawar; tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau laut. Pengertian akuakultur air payau adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air payau; tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan tawar atau laut. Sedangkan pengertian akuakultur air laut adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air laut; tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau tawar. 11 12 Pengelompokan komoditas akuakultur berdasakan karakteristik morfologi adalah dengan melihat bentuk dan ciri khas dari tubuh, seperti bersirip, berkarapas, bercangkang, berduri, atau bersel tunggal. Bentuk dan ciri khas dari tubuh biota akuakultur tersebut sangat mudah dan jelas untuk dibedakan. Berdasarkan karakteristik morfologi dan biologi, secara umum komoditas akuakultur dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu ikan, udang, moluska, ekonodermata, dan alga atau rumput laut (Effendi 2004). Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif (Effendi 2004). Peningkatan teknologi budidaya perikanan menjadi penting dalam pencapaian tujuan tersebut di atas. Upaya ini dilakukan dengan memperhatikan potensi sumberdaya lahan, pemahaman terhadap faktor kelayakan budidaya, tingkatan teknologi budidaya dan pemanfaatan plasma nutfah ikan budidaya (Sukadi 2002). Dalam lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan organisme makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan menyediakan pakan tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk memproduksi lebih banyak lagi ikan, pemupukan dan pakan tambahan harus diberikan. Dalam sisten ekstensif (tradisional), produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan, sedangkan pada sistem semiintensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan pupuk bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan Naik 2005). Tacon (2001) menjelaskan bahwa pengembangan akuakultur penting karena akuakultur menyediakan protein hewani kualitas tinggi dan berbagai nutrien esensial 13 lainnya dengan harga terjangkau. Akuakultur juga penting karena menyediakan kesempatan kerja, pendapatan tunai dan merupakan komoditas ekspor berharga. Edward (1999) menguatkan bahwa akuakultur di perdesaan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan secara langsung melalui budidaya perikanan skala kecil untuk konsumsi dan pendapatan. Kontribusi secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang miskin dalam usaha budidaya komersial. Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Menurut Crespi dan Coche (2008) akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005) dalam akuakultur komersial pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi. 2.2 Ikan Mas Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan memanjang pipih kesamping dan lunak. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten dan Majalaya merupakan hasil seleksi di Indonesia. Sampai saat ini sudah terdapat 10 ikan mas yang dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya. 14 Kerajaan : Gambar 2. Ikan Mas (Sumber : www.google.com) Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus Spesies : C. carpio Ikan Mas sangat populer dikalangan masyarakat Indonesia. Ikan mas termasuk salah satu komoditi perikanan air tawar yang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Ikan mas disukai karena dagingnya yang enak, gurih, serta mengandung protein yang cukup tinggi. Ditinjau dari aspek pasarnya, terlihat ada kecenderungan peningkatan permintan ikan mas konsumsi dari tahun ke tahun. Hal ini terutama terjadi di kotakota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa kota lainnya. Dari segi harga, biasanya harga ikan mas selalu tinggi dibandingkan dengan harga jual ikan lainnya dipasaran. Tingginya harga juga dipengaruhi oleh tingginya tingkat permintaan pasar. Dilihat dari segi budidaya, keadaan ini tentu saja sangat menguntungkan karena tingginya permintaan ikan konsumsi akan diikuti oleh peningkatan permintaan benih, baik benih yang digunakan untuk dipelihara untuk pendederan maupun yang digunakan untuk pembesaran. 15 2.3 Ikan lele Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di Indonesia ikan lele mempunyai beberapa nama daerah, antara lain: ikan kalang (Padang), ikan maut (Gayo, Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond (Thailand), ikan keli (Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan. Ikan lele banyak ditemukan di benua Afrika dan Asia. Dibudidayakan di Thailand, India, Philipina dan Indonesia. Di Thailand produksi ikan lele ± 970 kg/100m2/tahun. Di India (daerah Asam) produksinya rata-rata tiap 7 bulan mencapai 1200 kg/Ha. Klasifikasi ikan lele menurut Hasanuddin Saanin dalam Djatmika et al (1986) adalah: Kingdom : Animalia Sub-kingdom : Metazoa Phyllum : Chordata Sub-phyllum : Vertebrata Klas : Pisces Sub-klas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub-ordo : Siluroidea Familia : Clariidae Genus : Clarias 16 2.4. Ikan Nila Nila merupakan salah satu komoditas penting budidaya perikanan air tawar di Indonesia. Ikan ini merupakan ikan introduksi penting yang didatangkan secara bertahap ke Indonesia. Nila disenangi tidak hanya karena rasa dagingnya yang khas, tetapi juga karena laju pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang cepat. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang rakus, omnivora dan dapat hidup di mana-mana, baik dataran rendah maupun dataran tinggi, di air tawar maupun di air payau (Asmawi, 1983). Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) adalah : Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus. Gambar 3. Ikan Nila Sumber : Fitriani (2010) Pertumbuhan ikan nila cepat pada ekologi yang baik dan bentuk tubuhnya relatif lebih lebar. Tetapi karena terlalu sering berkembang biak, kebanyakan ikan 17 nila hanya dapat mencapai berat antara 80 gram sampai 140 gram per ekor. Jika dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya, seperti ikan mas, ikan mujair dan tawes, dimana waktu dan cara pemeliharaannya sama, ikan nila dapat mencapai berat dan ukuran yang lebih besar. Dalam masa pemeliharaan 5 bulan ikan nila sudah mencapai berat 120 gram per ekor, sedangkan ikan mas 90 gram dan ikan tawes 80 gram, tetapi ikan mujair jauh lebih lambat, yaitu hanya 40 gram per ekor (Asmawi 1983). 2.5 Produksi dan Permintaan Ikan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang cukup besar. Termasuk di dalamnya jenis-jenis ikan budidaya air tawar maupun air laut yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Ikan air tawar merupakan jenis ikan yang hidup dan menghuni daratan (inland water), yaitu perairan dengan kadar garam (salinitas) kurang dari 5 per mil (0-5‰). Menurut Kartamihardjab et.al. (2007), luas perairan daratan di Indonesia mencapai 54 juta ha. Angka tersebut mencakup perairairan umum daratan dengan luas sekitar 13,85 juta ha (terdiri dari sungai dan paparan banjir seluas 12 juta ha, danau seluas 1,80 juta ha, dan waduk seluas 0,05 juta ha), rawa payau dan hutan bakau seluas 39,5 juta ha, dan perairan budidaya seluas 0,65 juta ha (mencakup kolam, sawah, dan tambak). Prospek pengembangan perikanan budidaya di dunia sangat terkait dengan peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun penduduk dunia yang ikut meningkat tajam seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Produksi perikanan budidaya dunia dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang sangat tajam. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakir, produksi perikanan budidaya meningkat. Kondisi ini juga terjadi pada perikanan budidaya di Indonesia. Produksi perikanan budidaya di Indonesia (budidaya air tawar, air payau, dan laut) mencapai peningkatan sebanyak 80,77% (rata-rata 8,08% pertahun) pada tahun 2004. Produksi total secara global menunjukkan bahwa jenis ikan, krustasea dan moluska terus meningkat dan mencapai 144,6 juta ton pada tahun 2009. Produksi perikanan tangkap sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan, stagnan sekitar 18 90 juta ton tiap tahunnya. Produksi akuakultur terus memperlihatkan peningkatan yang kuat, peningkatan tiap tahunnya rata-rata mencapai 1,6 persen. Produksi akuakultur meningkat dari 34,6 ton pada tahun 2001 sampai 55,7 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2009, China menghasilkan 62,5 persen produksi akuakultur dunia (34,8 juta ton). Lima negara lainnya masing-masing memproduksi lebih dari satu juta ton. India (3,8 juta ton), Vietnam (2,6 juta ton), Indonesia (1,7 juta ton), Thailand (1,4 juta ton) dan Bangladesh (1,1 juta ton) (FAO 2011). Menurut FAO (2011) pada tahun 2009 sebanyak 38,5 persen produksi perikanan masuk ke pasar internasional. Ekspor ikan dan produk perikanan meningkat 72,1 persen jika dibanding tahun 2000.China merupakan negara pengekspor terbesar diikuti Norwegia, Thailand dan Vietnam. Negara-negara berkembang memainkan peran besar dalam ekspor perikanan, dimana sepuluh pengekspor tertinggi dari negara-negara berkembang menguasai 70 persen ekspor ikan dunia. Menurut perkiraan PBB, populasi dunia diperkirakan mencapai 7,3 miliar pada tahun 2015 lebih tinggi 9,5 % dibandingkan tahun 2007. Dengan asumsi bahwa orang di setiap negara pada tahun 2015 mengkonsumsi ikan sebanyak tahun 2007, maka total konsumsi ikan pada tahun 2015 akan mencapai 117 juta ton, lebih besar 6,5 % dari yang dikonsumsi pada tahun 2007. Ini adalah estimasi kasar yang mungkin mengabaikan kenaikan permintaan ikan pada waktu yang akan datang (Cai 2011). 2.6 Faktor yang mempengaruhi budidaya A. Faktor Independen Faktor independen adalah faktor-faktor yang umunmya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (Sukadi 2002). Faktor-faktor tersebut adalah: 19 1. Lingkungan Ciri-ciri fisik lingkungan yang penting bagi pengembangan budidaya perikanan sangat bergantung kepada ketersediaan dan kecocokan fisik dari areal untuk pengembangan budidaya perikanan yaitu: a. Tersedianya lahan; b. Topografi dan elevasi lahan; c. Sifat-sifat tanah, teristimewa komposisi, tekstur dan kemampuan menahan air, sifat oseanografi perairan; d. Frekuensi, jumlahdan disfiibusi hujan; e. Mutu, kuantitas, ketersediaan dan aksesibilitas air; f. Kondisi cuaca, seperti suhu, laju penguapan, perubahan musim, frekuensi topan dan lamanya; g. Kualitas dan kuantitas populasi; h. Akses ke suplai danpasar. 2. Faktor Manusia Faktor manusia meliputi sikap, adat istiadat dan gaya hidup dari warga, stabilitas dan kekuatan ekonomi serta politik dari pemerintah. Faktorfaktor ini beragam dan kompleks, contohnya: a. Sikap dan keterampilan produsen relatif terhadap mengadopsi tekno-logi dan modal untuk ditanamkan dalam produksi; b. Perminataan pasar, sikap konsu-men, daya beli; c. Kemauan dan kemampuan pemerintah melengkapi prasarana, kredit dan sebagainya; d. Kemampuan lembaga pemerintah melengkapi sistem dukungan pela-yanan bagi pengembangan budidaya perikanan antara lain pelatihan bagi profesional, penelitian guna mengembangkan teknologi baru, dan penyuluhan. 20 B. Faktor Dependen Faktor dependen adalah faktor-faktor yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut ialah wadah budidaya ikan, input hara, spesies ikan, dan teknologi. Wadah budidaya ikan seperti tambak, kolam, keramba dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik dan manusia misalnya: a. Kolam lebih cocok di daerah lahan pegunungan. b. Keramba jaring apung dikembang-kan di perairan waduk dan laut. Input hara berupa pupuk dan pakan tergantung kualitas dan kuantitasnya pada faktor lingkungan fisik, misalnya: unsur ramuan pakan tidak dapat diproduksi dimana lingkungan fisik tidak cocok bagi produksinya. Spesies ikan yang dibudidayakan sangat tergantung dari faktor-faktor spesifik tiap spesies misalnya: Tilapia tidak cocok dibudidayakan pada saat suhu rendah di bawah 200C. Teknologi yang menggunakan karamba jaring apung menuntut pem-berian pakan yang intensif (Sukadi 2002). 2.7 Produktivitas Perikanan Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang-barang atau jasa) dengan masukan yang sebenarnya misalnya saja produktivitas adalah ukuran efisiensi produktif. Suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masuk atau output, input sering dibatasi dengan masukan tenaga kerja, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan bentuk dan nilai Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama dengan penggunaan input yang lebih sedikit. Secara umum Produktivitas dapat diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya, selain itu juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa. Produktivitas 21 mengutarakan cara pemanfaatan secara baik terhadap sumberdaya dalam memproduksi barang (Sinungan, 2005). Menurut FAO 2008, produktivitas adalah Tingkat produksi biomassa yang dinyatakan sebagai produksi selama interval waktu tertentu. International Labour Organization (ILO) mendefinisikan produktivitas sebagai berikut : Produktivitas merupakan hasil integrasi 4 elemen utama, yaitu tanah (bangunan), modal, tenaga kerja, dan organisasi. Dari definisi-definisi di atas secara umum produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan, atau dapat diformulasikan sebagai berikut (Moekijat 1999) : Produktivitas = Konsep produktivitas terbagi dalam dua tingkatan yaitu makro dan mikro. Konsep produktivitas pada tingkat makro bertujuan untuk pembangunan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat, sedangkan konsep produktivitas pada tingkat mikro mencakup produktivitas, tingkat modal, produksi, organisasi, penjualan dan produk yang bertujuan menghasilkan suatu perkembangan atau pertumbuhan melalui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (Sinungan 2005). 2.7.1. Unsur-unsur yang Terdapat dalam Produktivitas : Menurut DPN APINDO 2007, Unsur-unsur yang terdapat dalam produktivitas adalah sebagai berikut : 1. Efisiensi. Produktivitas sebagai rasio output/input merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumber daya (input). Efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan penggunaan masukan (input) yang direncanakan dengan penggunaan masukan yang berorientasi kepada masukan . sebenarnya terlaksana. Pengertian efisiensi 22 2. Efektivitas. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat tercapai baik secara kuantitas maupun waktu. Makin besar presentase target tercapai, makin tinggi tingkat efektivitasnya. Konsep ini berorientasi pada keluaran. Peningkatan efektivitas belum tentu dibarengi dengan peningkatan efisiensi dan sebaliknya. Gabungan kedua hal ini membentuk pengertian produktivitas dengan cara sebagai berikut : Produktivitas = Prinsip dalam manajemen produktivitas adalah : Efektif dalam mencapai tujuan dan efisien dalam menggunakan sumber daya. 3. Kualitas. Secara umum kualitas adalah ukuran yang menyatakan seberapa jauh pemenuhan persyaratan, spesifikasi, dan harapan konsumen. Kualitas merupakan salah satu ukuran produktivitas. Meskipun kualitas sulit diukur secara matematis melalui rasio output/input, namun jelas bahwa kualitas input dan kualitas proses akan meningkatkan kualitas output. Bila dikelompokkan akan dijumpai tiga tipe dasar produktivitas. Tiga tipe dasar ini merupakan model pengukuran produktivitas yang paling sederhana berdasarkan pendekatan rasio output/input, yaitu (Ravianto 1998) : 1. Produktivitas Parsial. Perbandingan dari keluaran terhadap salah satu faktor masukan. Sebagai contoh, produktivitas tenaga kerja (perbandingan dari keluaran dan masukan tenaga kerja) merupakan salah satu ukuran produktivitas parsial. Pada pengukuran produktivitas parsial produktivitas unit proses secara spesifik dapat diukur. 2. Produktivitas Faktor-Total. Perbandingan dari keluaran dengan jumlah tenaga kerja dan modal. Keluaran bersih adalah keluaran total dikurangi jumlah barang dan jasa yang dibeli. 23 Berdasarkan faktor di atas jenis input yang digunakan dalam pengukuran produktivitas faktor total hanya tenaga kerja dan modal. 3. Produktivitas Total. Perbandingan dari keluaran dengan jumlah keseluruhan faktor-faktor masukan, pengukuran total produktivitas faktor mencerminkan pengaruh bersama seluruh masukan dalam menghasilkan keluaran. Dari ketiga jenis produktivitas, baik keluaran maupun masukan harus dinyatakan dalam bentuk ukuran nyata berdasarkan harga konstan pada periode dasar, dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh perubahan harga, sehingga hanya jumlah dari masukan dan keluaran saja yang dipertimbangkan.