1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini sedang menjadi pusat perhatian dunia. Pasalnya eksekusi terhadap warga negara asing yang masuk dalam deretan terpidana mati telah dilaksanakan. Meskipun menuai banyak protes dari berbagai negara karena bisa dikatakan hampir sebagian besar terpidana mati tersebut berkewarganegaraan asing, tidak menghentikan Pemerintah Indonesia untuk tetap mengeksekusi mati mereka. Alhasil, tak dapat dipungkiri kecaman internasional berhamburan datang terhadap Indonesia mengutuk eksekusi mati yang telah dilakukan karena dirasa telah melanggar hak asasi manusia. Sejatinya hukuman mati dipandang sebagai suatu hukuman yang tidak memiliki rasa kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia khususnya hak untuk hidup seseorang. Padahal hak asasi manusia itu adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapapun.1 Sehingga praktek hukuman mati dianggap telah melanggar hak asasi manusia. Meskipun demikian sampai detik ini-pun, hukuman mati masih diberlakukan dibeberapa negara di dunia termasuk didalamnya negara Indonesia. 1 Lihat: Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia 2 Indonesia merupakan negara retensionsis. Yang mana masih memberlakukan hukuman mati sebagai pidana terberat dalam suatu sistem hukumnya.2 Sebagai akibatnya, tentu saja pro dan kontra dikalangan masyarakat terus bermunculan antara yang setuju maupun yang tidak setuju dengan pemberlakuan hukuman mati ini. Kontroversi mengenai hukuman mati sebenarnya akan selalu menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Dalam studi hukum internasional mengatur bahwa tidaklah seorangpun dapat diambil nyawanya secara sewenang-wenang termasuk pelaksanaan hukuman mati bagi seseorang. Setidaknya hal tersebut diatur didalam beberapa instrumen hukum internasional. Seperti dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menegaskan setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan hak atas keamanan.3 Begitu pula dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang juga mendalilkan hal yang sama, jika setiap orang memiliki hak untuk hidup4 dan menganjurkan negara pihaknya yang masih memberlakukan hukuman mati untuk segera menghapuskannya.5 Lebih khusus lagi, larangan hukuman mati juga tertuang dalam Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights (SOP). Ini merupakan protokol tambahan dari ICCPR yang 2 3 4 5 Elmar Lubis, 2008, “Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”, hlm. 17 Lihat: Pasal 3 UDHR yang berbunyi: “Everyone has te right to life, liberty and security of persons.” Lihat: Pasal 6 ayat 1 ICCPR yang berbunyi: “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” Komentar Umum Nomor. 6 to Pasal 6 hak untuk hidup (the right to life) ICCPR para. 6 3 mewajibkan negara pesertanya untuk melarang pelaksanaan hukuman mati dan menghapuskan hukuman mati. Sebagai negara peserta dari UDHR maupun ICCPR Indonesia tidak sertamerta langsung menghapuskan ketentuan hukuman mati itu sendiri. Hal ini bisa dibuktikan, seperti yang telah Penulis utarakan sebelumnya, pada tanggal 29 April 2015 kemarin Indonesia telah melaksanakan eksekusi mati terhadap delapan terpidana kasus narkoba yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Australia, Okwudili Oyatanze, Silvester Obiekwe Nwolise, dan Raheem Agbaje salami dari Nigeria, Martin Anderson dari Ghana, Zainal Abidin dari Indonesia serta Rodrigo Gularte dari Brasilia.6 Dari fenomena pelaksanaan eksekusi mati terhadap beberapa terpidana tersebut, Penulis menemukan salah satu fakta yang menarik yaitu salah satu dari terpidana mati tersebut ada yang menderita suatu gangguan kejiwaan yang disebut dengan Schizophrenia.7 Terpidana tersebut adalah Rodrigo Gularte yang merupakan warga negara asal Brasilia. Rodrigo Gularte ditangkap oleh petugas Bea dan Cukai Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Banten pada Juli 2004 yang lalu karena tertangkap 6 7 CNN Indonesia “Eksekusi Mati Kian Dekat”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/focus/eksekusi-mati-kian-dekat-2493/all diakses tanggal 20 April 2015 Schizophrenia selanjutnya disebut skizofrenia secara umum adalah suatu penyakit jiwa dimana kepribadian seorang individu mengalami keretakan, alam pikir maupun perasaan yang mengakibatkan perbuatan individu terganggu. Skizofrenia memiliki tanda-tanda berupa halusional, delusional dan yang acak dan tidak menentu. 4 tangan menyelundupkan 6 kg kokain bersama dengan dua rekannya.8 Berdasarkan hukum positif Indonesia, yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkoba salah satu sanksi pidana yang mungkin dijatuhkan adalah hukuman mati.9 Lantas dengan melalui persidangan yang panjang akhirnya pada tahun 2005 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap Rodrigo Gularte.10 Atas putusan hakim tersebut Rodrigo Gularte tidak henti-hentinya menempuh berbagi upaya hukum agar dapat membebaskan dirinya dari jeratan hukuman mati. Dimulai dari mengajukan banding sampai dengan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung tetap tidak merubah putusan tersebut. Meskipun pada pengajuan PK kedua Rodrigo Gularte juga mengajukan buktibukti mengenai dirinya yang mengidap suatu gangguan kejiwaan, skizofrenia, dengan harapan setidaknya bisa meringankan hukuman terhadap dirinya. Namun pemerintah Indonesia tetap saja bersikukuh untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Rodrigo Gularte. Singkat cerita eksekusi hukuman matipun tetap dilaksanakan. Terhadap eksekusi mati yang dilakukan kepada Rodrigo Gularte menuai banyak kecaman 8 9 10 Liputan6.com, “Idap Skizofrenia, Eksekusi Seseorang Mati Brasil Diminta Ditunda”, http://news.liputan6.com/read/2177377/idap-skizofrenia-eksekusi-seseorang-mati-brasil-dimintaditunda diakses tanggal 20 April 2015 Ancaman hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 serta Pasal 129 Detik.com, “PK ditolak, Peselancar Brasil Siap Menghadapi Regu Tembak”, http://news.detik.com/read/2012/04/13/123227/1891705/10/pk-ditolak-peselancar-brasil-siapsiap-menghadapi-regu-tembak, diakses tanggal 20 April 2015 5 baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pemerintah Indonesia dianggap kejam dan tidak berkeprimanusiaan karena tetap mengeksekusi Rodrigo Gularte yang notabene-nya mengidap skizofrenia. Banyak juga pihak yang menyayangkan putusan pengadilan yang tidak memperhatikan alasan gangguan kejiwaan yang diajukan oleh dirinya. Hukum nasional Indonesia sendiri sebenarnya belum ada undang-undang yang pasti untuk tidak memperbolehkan hukuman mati terhadap orang-orang yang menderita gangguan kejiwaan. Namun, terdapat pengecualian lain melalui alasan penghapus pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab III Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang intinya adalah seseorang yang kurang daya pikirnya dan terganggu karena penyakit jiwa tidaklah dapat di hukum.11 Sejalan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP diatas, hukum internasional juga memiliki ketentuan serupa akan tetapi lebih spesifik yang tidak memperbolehkan eksekusi hukuman mati terhadap seseorang yang menderita gangguan kejiwaan. Ketentuan ini diatur melalui suatu resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 25 Mei 1984. Ketentuan tersebut berjudul "Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of those facing the Death Penalty”.12 Dalam ketentuan resolusi ini juga 11 12 Projodikoro Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT.Refika Aditama, hlm. 95 Resolusi Dewan Ekonomi PBB Nomor 1984/50 diadopsi pada tanggal 25 Mei 1984 dan disetujui oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi Nomor 39/118 6 terdapat aturan mengenai tidaklah dapat dihukum mati seseorang yang menderita ganguan kejiwaan, yang secara lebih lanjut akan Penulis bahas pada bab-bab selanjutnya. Berangkat dari paparan yang telah disampaikan diatas mendorong Penulis untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai eksekusi hukuman mati terhadap seseorang yang menderita gangguan kejiwaan khususnya terhadap Rodrigo Gularte. Mengingat dirinya menderita skizofrenia sebagai salah satu gangguan kejiwaan dan hal ini terjadi di Indonesia. Sehingga menurut Penulis fenomena ini sangat menarik untuk segera dibahas dan dianalisis lebih lanjut. Dengan demikian Penulis mengajukan suatu penulisan hukum yang berjudul “Analisis Eksekusi Hukuman Mati Terhadap Seseorang Yang Menderita Gangguan Jiwa Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus: Rodrigo Gularte WNA Asal Brasilia).” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah Penulis sampaikan, Penulis menarik suatu rumusan permasalahan yang akan dianalisa lebih lanjut yaitu: Apakah eksekusi hukuman mati terhadap seseorang yang menderita gangguan jiwa, khususnya terhadap Rodrigo Gularte dapat dilakukan menurut hukum internasional? 7 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut Penulis melakukan penelitian hukum ini dengan tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa lebih lanjut dan mengkaji apakah eksekusi yang dilakukan terhadap seseorang yang menderita gangguan jiwa khususnya terhadap Rodrigo Gularte dapat dilakukan menurut hukum internasional. 2. Tujuan Subjektif Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Penelusuran kepustakaan telah Penulis lakukan baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun diluar perpustakaan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkaji mengenai analisis eksekusi hukuman mati terhadap seseorang yang menderita gangguan jiwa menurut hukum internasional. Namun terdapat penelitian terkait yang menjadi referensi Penulis dalam penulisan hukum ini, diantaranya: 1. Penulisan hukum yang berjudul “Pengaruh Ratifikasi ICCPR Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia” oleh Anton Prabu Semendawai pada tahun 2007. Pada Penulisan hukum ini, 8 fokusnya hanya pada pengaruh ratifikasi ICCPR oleh Indonesia dalam pelaksanaan hukuman mati diIindonesia hingga pada sampai kesimpulan hukuman mati tidak menyalahi ICCPR dan masih boleh dilakukan. 2. Penulisan hukum yang berjudul “Pelaksanaan Eksekusi Mati Terhadap Seseorang Bom Bali Ditinjau dari Hak Hidup dalam Kovenan Sipil dan Politik” oleh Dyah Ayu Rafikasari pada tahun 2010. Penulisan hukum ini, fokusnya mengenai pelaksanaan eksekusi mati terhadap seseorang bom bali melalui penerapan pasal 6 ICCPR. Kesimpulannya serupa dengan Penulisan hukum sebelumnya, hukuman mati yang dijatuhkan pun masih diperbolehkan. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis maupun praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum dan memperkaya khasanah serta hasil penelitian dalam ilmu hukum, terutama hukum internasional. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan kepada Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan untuk mengamandemen ketentuan hukum nasional khususnya Pasal 44 KUHP dan juga mengkaji kembali pelaksanaan 9 hukuman mati khususnya terhadap orang-orang yang menderita gangguan jiwa. Sehingga apabila menghadapi kasus yang serupa tidak terjadi kembali dikemudian hari.