pembuatan vaksin sederhana dalam mengatasi serangan bakteri

advertisement
LAPORAN
KEGIATAN PEREKAYASAAN
PEMBUATAN VAKSIN SEDERHANA
DALAM MENGATASI SERANGAN BAKTERI
VIBRIO
Oleh :
EVRI NOERBAETI
LUTFI HARDIAN MURTIONO
ISTIANA
SYARIPUDDIN
BALAI BUDIAYA LAUT AMBON
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2009
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha budidaya ikan diketahui merupakan salah satu industri yang sangat diperhitungkan
saat ini. Hal ini terlihat dari perkembangannya yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Namun karena umumnya usaha budidaya yang selalu menggunakan sistem yang terbatas dalam
meningkatkan hasil produksi dengan kepadatan yang cukup tinggi, berdampak terhadap
kesehatan ikan yang dibudidaya serta meningkatkan kerentanan ikan terhadap infeksi.
Bermacam-macam kemoterapi yang telah digunakan untuk mengobati infeksi bakteri
selama kurang lebih 20 tahun terakhir dan insiden resistennya bakteri terhadap obat-obatan yang
diberikan menjadi masalah besar pada budidaya ikan. Banyaknya masalah yang selalu muncul
akibat penggunaan bahan kemoterapi, mewujudkan pengujian-pengujian dengan menggunakan
bahan peningkat imun tubuh ikan.
Imunologi ikan tidak hanya untuk kepentingan pengetahuan respon kekebalan terhadap
infeksi bakteri, namun untuk kepentingan jangka panjang seperti bagaimana memberikan proteksi
terhadap ikan khususnya pada ikan budidaya skala besar dari serangan dan keberadaan pathogen
yang mematikan. Vaksinasi digunakan untuk mencegah serangan penyakit infeksi dan
kebanyakan efektif untuk mengontrol serangan penyakit ikan. Banyak vaksin untuk penyakit
vibriosis, redmouth dan furunculosis serta infeksi virus seperti IPN sudah banyak dijual.
Namun pembuatan vaksin saat ini masih
terkendala oleh mahalnya harga untuk
memperoleh vaksin di pasaran. Selain itu imunisasi pada ikan masih sangat terbatas jika
dibandingkan dengan manusia dan ternak karena ikan tidak imun kompeten seperti ternak
khususnya pada temperatur rendah dan metode yang terbatas pada imunisasi massal untuk ikan
budidaya. Dengan demikian perlu dilakukan suatu pengujian pembuatan vaksin sederhana yang
mampu meningkatkan respon kekebalan ikan yang dibudidaya terhadap serangan infeksi bakteri.
1.2. Tujuan
Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas vaksin
serangan bakteri Vibrio pada ikan uji yang dilakukan melalui uji tantang.
1.3. Sasaran
Meningkatkan tingkat sintasan pada komoditi uji hingga 60 %
terhadap
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Vaksin adalah suatu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen (tidak selalu)
yang telah dilemahkan atau dimatikan. Syarat dari suatu vaksin harus bersifat immunogen yaitu
harus dapat merangsang dalam pembentukan antibodi. Tujuan dari vaksinasi adalah untuk
mendapatkan kekebalan secara aktif dimana cara kerja vaksin berjalan dengan menggabungkan
antigen bersama dengan sel lympoid untuk membentuk zat anti (antibodi) (Sakai, 1998).
Pemakaian vaksin pada usaha budidaya perikanan sangat penting, mengingat pemakaian
vaksin maka kita akan memperoleh kekebalan pada ikan yang dibudidaya. Kekebalan yang
diperoleh biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama artinya dengan sekali atau dua
kali pemberian vaksin maka kekebalan yang diperoleh dapat bertahan untuk satu periode
pemeliharaan. Biaya yang diperlukan untuk vaksinasi tidak terlalu tinggi. Dan selain itu untuk
pemakaian vaksin tidak diperlukan tenaga yang cukup banyak. Keuntungan yang lain dari
pemakaian vaksin adalah tidak adanya efek samping.
Cara aplikasi vaksin ada bermacam-macam tergantung pada sediaan vaksin, kondisi serta
jumlah ikan yang akan divaksin.
a. Melalui suntikan (injection), hanya dapat dilakukan pada ikan yang ukurannya besar dan
jumlahnya tidak terlalu banyak. Cara ini sangat efektif, tapi banyak memerlukan tenaga serta
waktu dalam pelaksanaannya.
b. Melalui makanan (oral), cara ini sangat efisien namun efikasi yang diperlihatkan sangat
lambat, selain itu memerlukan jumlah antigen yang banyak.
c. Melalui perendaman (immersion), ada 2 cara perendaman yaitu perendaman langsung dan
perendaman tidak langsung. Perendaman langsung dilakukan dengan merendam ikan secara
langsung didalam sediaan vaksin pada konsentrasi tertentu. Sedangkan perendaman tidak
langsung yaitu sebelum ikan direndam dalam sediaan vaksin terlebih dahulu harus direndam
dalam suatu larutan yang tekanan osmosenya lebih pekat dari sediaan vaksin, misalnya
larutan garam (NaCl), baru kemudian ikan dimasukkan kedalam sediaan vaksin. Namun cara
perendaman tidak langsung ini dapat menimbulkan stress pada ikan.
d. Melalui semprotan dengan tekanan tinggi, ikan dikumpulkan dalam suatu tempat kemudian
disemprot dengan vaksin. Metoda ini menggunakan alat penyemprot dengan tenaga cukup
tinggi supaya vaksin dapat masuk kedalam tubuh ikan. Namun cara ini dapat menyebabkan
ikan mengalami stres akibat terlepasnya lendir.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi pada ikan, antara lain
adalah :
a. Temperatur
Produksi zat antibodi pada organisme poikilothermal seperti ikan adalah lebih lambat pada
temperatur rendah. Sebaliknya antibodi akan diproduksi lebih banyak pada temperatur yang
relatif tinggi.
b. Umur dan berat ikan
Ikan yang umurnya kurang dari 3 minggu masih lambat dalam pembentukan antibodi,
sedangkan berat minimal ikan yang disarankan untuk divaksin adalah ikan yang beratnya
tidak kurang dari 1 gram.
c. Dosis yang diberikan
harus cukup untuk menimbulkan antibodi oleh tubuh ikan. Banyak antigen yang masuk
kedalam tubuh ikan tergantung kepada dosis yang diberikan, cara pemberian vaksin dan
kemampuan ikan itu sendiri untuk meyerapnya.
d. Adjuvant
adalah suatu bahan (biasanya terdiri dari sejenis minyak) yang fungsinya adalah untuk
menambah daya sebar dari vaksin tersebut didalam tubuh ikan. Adjuvant biasanya dicampur
bersama-sama dengan vaksin. Macam atau jenis adjuvant akan memberikan hasil yang
berbeda dalam produksi antibodi pada tubuh ikan.
Beberapa penelitian telah dilakukan dalam pembuatan vaksin sebagai imunostimulan pada
ikan antara lain Dugenci et al (2003 dalam Sakai, 1998) yang melaporkan tentang beberapa jenis
imunostimulan pada ikan, Dalmo et al (1996) telah meneliti tentang pemberian laminaran (β(1.3)D-glucan sebagai imunostimulan pada ikan salmon. Bakterin V. anguillarium
kebanyakan
berhasil diterapkan pada budidaya ikan salmon dan untuk tingkat kemanjurannya terlihat dengan
metode injeksi, oral dan imersi. Sakai et al (1995c) melaporkan ikan rainbouw trout diimersi
dengan cairan bakterin V. Angullarium menunjukkan peningkatan perlindungan (12X pada LD50)
terhadap Streptococcus sp. Itami et al (1989) melaporkan bahwa udang yang diinjeksi atau
diimersi dengan bakterin Vibrio yang dimatikan dengan formalin mampu mengurangi mortalitas
ketika mereka diuji tantang dengan injeksi Vibrio 30 hari kemudian.
III.
3.1.
3.2.
METODOLOGI
Alat dan Bahan

BHI broth

Formalin 37 %

Lipopolisakarida (LPS)

Peptodoglican (PG)

Benih kerapu 7-10 cm

Aquarium 75 L

Inkubator

Colony counter

Peralatan Glass Ware

Waskom Plastik
Metode Kerja
3.2.1. Uji Patologi dan Patogenisitas
1.
Bakteri Vibrio sp diisolasi dari luka dan organ ginjal ikan yang terinfeksi dan diinokulasi
dengan jarum ose pada media TCBS agar dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu
ruangan selama 48 jam. Koloni Vibrio yang tumbuh diidentifikasi sesuai karateristik untuk
mengetahui jenisnya.
2.
Isolat bakteri yang teridentifikasi diperbanyak dengan cara ditumbuhkan pada media BHI
broth untuk digunakan dalam uji patologi dan patogenisitasnya guna mengetahui tingkat
keganasan dan gejalanya.
3.
Infeksi dilakukan melalui perendaman yaitu memelihara ikan dalam media suspensi bakteri
dengan konsentrasi 106, 107,108 CFU ml-1. Pemeliharaan dilakukan selama seminggu
untuk mengamati rata-rata waktu kematian serta tingkat mortalitas yang terjadi dan gejala
yang ditimbulkannya. Pencatatan kematian dihitung setiap hari.
3.2.2. Pembuatan Bakterin
1.
Bahan bakterin terdiri atas beberapa jenis isolat bakteri Vibrio yang telah diuji
patogenitasnya.
2.
Kemudian bakteri Vibrio diinokulasi ke dalam 400 ml BHI broth dengan setengah
konsentrasi media. Letakkan di magnetic stirrer. Untuk membantu menumbuhkan bakteri,
inkubasikan pada suhu ruangan selama 48 jam.
3.
Inokulasi bakteri pada media BHI broth dengan pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6 dalam
larutan NaCl 0,4 %. Tebarkan (spread) ke media BHI agar kemudian inkubasikan pada
suhu ruangan selama 48 jam dan hitung koloni yang tumbuh.
4.
Tambahkan 0,3 % formalin ke dalam media BHI broth untuk menginaktifkan bakteri.
Inkubasi pada suhu ruangan selama 24 jam.
5.
Pengecekan keaktifan bakteri dengan menginokulasi bakteri ke media BHI broth yang telah
diberi formalin ke media BHI agar dan diinkubasikan selama 1 hari pada suhu ruangan.
6.
Jika bakteri sudah inaktif, lakukan pengumpulan bakteri dengan menggunakan centrifuge
3000 rpm selama kurang lebih 3 menit. Kemudian bilas dengan larutan NaCl 0,9 % steril.
Simpan bakteri dalam 20 ml larutan NaCl 0,9 % steril sehingga konsentrasi bakteri menjadi
20x.
7.
Simpan di lemari pendingin (refrigerator) hingga waktu pengujian dilakukan.
3.2.2. Pelaksanaan Vaksinasi
1.
Pelaksanaan vaksinasi dilakukan dengan menggunakan metode immersi langsung yaitu
dengan merendam ikan uji kedalam larutan vaksin yang berisi suspensi bakterin dengan
konsentrasi sesuai hasil pengujian LC50.
2.
Benih ikan kerapu ukuran 7 – 10 cm sebanyak 30 ekor (grup-1 dan grup-2) direndam
langsung kedalam larutan vaksin selama 1 jam sambil diaerasi sebagai vaksinasi tahap
pertama. Benih ikan lainnya sebanyak 10 ekor digunakan sebagai kontrol (grup-3)
3.
Vaksinasi tahap kedua dilakukan setelah seminggu terhadap setengah jumlah benih kerapu
yang telah divaksin tahap pertama (grup-2).
4.
Benih kerapu pada grup-4 dan grup-5 adalah kelompok pembanding dengan menggunakan
bahan imunostimulan yang umum.
waktu (minggu)
0
Grup-1
1
2
vaksin tahap I
Grup-2
3
4
5
uji tantang
vaksin tahap II (booster)
uji tantang
Grup-3
Kontrol
uji tantang
Grup-4
LPS
uji tantang
Grup-5
PG
uji tantang
3.2.3. Uji Tantang
1.
Setelah 1 minggu vaksinasi tahap kedua kemudian dilakukan uji tantang dengan merendam
benih ikan kerapu yang telah divaksinasi kedalam larutan suspensi bakteri Vibrio sp dengan
konsentrasi 1 x 108 cfu ml-1 selama 60 menit dan diaerasi.
2.
Efikasi vaksin dilihat berdasarkan hasil pembandingan
mortalitas (M), sintasan (SR),
tingkat perlindungan realtif (RPS) dan rerata waktu kematian (MTD) antara ikan yang
diuji.:
a.
Mortalitas (M)
M = Mt / Mo x 100 %
M = Mortalitas
Mt = Jumlah ikan mati pada akhir percobaan
Mo = Jumlah ikan pada awal percobaan
b.
Sintasan (SR)
SR = Nt / No x 100 %
SR = sintasan
Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir percobaan
No = Jumlah ikan pada awal percobaan
c.
Tingkat Perlindungan Relatif (RPS)
% kematian ikan yang divaksin
RPS =
1
-
X 100 %
% kematian ikan yang tidak divaksin
d.
Rerata Waktu Kematian (MTD)
∑ aibi
MTD =
∑ bi
a = waktu kematian (hari)
b = jumlah ikan yang mati (ekor)
3.3.3. Waktu dan Tempat
Pengujian meliputi isolasi, identifikasi dan karateristik bakteri, uji patogenisitas, uji
konsentrasi larutan pelemah, pembuatan bakterin, vaksinasi dan uji tantang dilakukan pada tahun
2009 di Laboratorium Hama Penyakit Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Laut Ambon.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Bakteri Vibrio
Vibrio merupakan salah satu bakteri patogen yang termasuk dalam famili Vibrionaceae
yang bersifat kosmopolitan dengan penyebaran yang sangat luas. Menurut Murdjani (2002), ada
beberapa jenis bakteri Vibrio yang hidupnya berasosiasi dengan kerapu bebek yang antara lain
V. alginolitycus, V. Anguillarium dan V. Fuscus yang mana keganasan V. alginolitycus dan
V.
anguillarium dapat menyebabkan kematian larva kerapu bebek. Bahkan V. alginolitycus dapat
menyebabkan kematian larva hingga 100 %, bahkan juga bersifat patogen terhadap manusia (Mc
Laughlin et al., 1999 dalam Qiun et al., 2008) yang dapat menyebabkan luka infeksi, otitis,
keracunan, terganggunya pencernaan dan septicemia (Hladi dan Klotz, 1996; Morris dan Black,
1985 dalam Qiun et al., 2008). Bakteri Vibrio lainnya yang patogen dan sering dijumpai pada
kasus-kasus serangan penyakit adalah Vibrio ordalii. V. ordalii merupakan serotipe kedua dari V.
anguillarum serta memiliki karakteristik yang hampir sama antara keduanya. Vibrio ordalii
memiliki pertumbuhan dalam kultur dan tingkat serangan yang lebih lambat sehingga hanya
menyebabkan penyakit kronis pada komoditas peliharaan. Vibrio ordalii menghasilkan
bakterimia dan dalam jaringan berbentuk koloni terutama di otot daging dan jantung, pada
bagian depan dan belakang saluran pencernaan dan insang.
Vibrio ordalii dan Vibrio alginolitycus adalah dua jenis bakteri Vibrio yang paling sering
dijumpai pada kasus-kasus penyakit infeksi bakterial di Balai Budidaya Laut Ambon. Sehingga
kedua jenis ini dijadikan bahan bakterin dalam pelaksanaan vaksinasi. Kedua bakteri diisolasi
dari luka infeksi dan organ ginjal benih kerapu ukuran
15 – 17 cm untuk diidentifikasi
karateristiknya dan dikoleksi untuk dijadikan bahan bakterin vaksin. Hasil isolasi dan identifikasi
dikoleksi 2 jenis bakteri Vibrio seperti yang terlihat pada tabel 1.
Jenis : kerapu bebek
Pengujian
Tgl isolasi : 21/3/2009
Organ Target : ginjal
(2 ekor)
Jenis : kerapu bebek
Tgl isolasi : 28/3/2009
Organ Target : luka tubuh
(3 ekor)
KOLONI :
- Warna
Kuning
Kuning
- Bentuk
Bulat
Bulat
- Tepi
Licin
Licin
Cembung
Cembung
Transparan
Transparan
Uji Gram
Negatif, batang pendek
Negatif, batang pendek
Oksidase
Positif
Positif
Katalase
Positif
Positif
OFBM
Fermentatif
Fermentatif
Citrat
Positif
Positif
TSIA
negatif
negatif
SIM Media
Positif
Positif
Motilitas
Motil
Motil
TCBS
Kuning
Kuning
MR
Negatif
Positif
VP
Negatif
Positif
- Glukosa
Positif
Positif
- Manitol
Positif
Positif
- Inositol
Negatif
Negatif
- Arabinosa
Negatif
Negatif
- Sucrosa
Positif
Positif
Vibrio ordalii
Vibrio alginolyticus
- Elevasi
- Struktur Dalam
Uji Gula :
HASIL IDENTIFIKASI
4.2.
Patogenesitas Bakteri Uji
Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata persentase kematian yang disebabkan
patogenesitas Vibrio cukup tinggi yaitu 32,10 %, 42,71% dan 51,39%. Gejala penyakit eksternal
pertama kali yang ditimbulkan oleh spesies Vibrio patogen pada uji ini adalah adanya bercakbercak merah pada pangkal sirip punggung yang terlihat 4 jam setelah perendaman untuk
perlakuan dengan konsentrasi 108
CFU ml-1 oleh bakteri Vibrio ordalii sedangkan yang
diperlihatkan hasil perendaman Vibrio alginolyticus mulai terlihat setelah 18 – 24 jam. Gejala
eksternal lainnya terlihat juga geripisnya sirip ekor dan berwarna lebih gelap dan warna insang
pucat (gambar 1). Sedangkan gejala internal yang diperlihatkan adalah terjadi perubahan warna
hati menjadi pucat.
.
Gambar 1. Gejala eksternal infeksi
Uji patogenesitas terhadap 2 isolat bakteri ini, menunjukkan bahwa Vibrio ordalii dan Vibrio
alginolyticus mempunyai tingkat keganasan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel. 2. LC50 Isolat Vibrio terhadap Kerapu Bebek
No
Jenis Bakteri
1. Vibrio ordalii
2. Vibrio alginolyticus
LC50 (cfu.ml-1)
2,51 x 108
2,73 x 108
Menurut Isnansetyo dkk., (2006) bahwa V. ordalii maupun V. alginolitycus bersifat pathogen
terhadap kerapu bebek. Injeksi intraperitoneal pada dengan nilai LD50 3,16 x 104 cfu/ikan bersifat
patogen pada kerapu bebek, injeksi Vibrio sp. pada
E. coioides (ukuran 10-20 g) dengan
kepadatan 107-108 cfu.ml-1 dapat menyebabkan kematian dalam waktu 24 jam. Penelitian serupa
dilaporkan Murdjani (2002) bahwa infeksi V. alginolyticus pada kerapu tikus (ukuran 4-5 cm)
menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5x106 CFU/ikan melalui
penyuntikan IM, IP, dan IV. Rajan et al. (2001) melaporkan infeksi V. alginolyticus pada juvenil
ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan uji dengan LD50 sebesar 4,86 x
106 cfu/ikan melalui penyuntikan IM dan IP. Sedangkan Nindarwi (2008), mendapatkan bahwa
infeksi V. alginolyticus pada kerapu macan pada LD 50 sebesar 9,5 x 103 CFU/ml.
Tingkat patogenisitas bakteri terhadap inang
berbeda-beda, dipengaruhi oleh faktor
pertahanan inang dalam melawan patogen, maupun faktor patogenisitas yang ada pada patogen
(kemampuan memproduksi toksin, enzim, mengatasi ketahanan inang, serta kecepatan
berkembang biak). Spesies Vibrio patogen memiliki plasmid sebagai faktor keganasan, dimana
perbedaan jenis plasmid yang dimiliki tiap bakteri menyebabkan perbedaan tingkat keganasan
(Crosa et al., 1983; Kamiso, 1996).
4.3.
Konsentrasi Larutan Pelemah
Uji ini dimaksud untuk mencari ketepatan konsentrasi dalam perlakuan inaktivasi
(pelemahan/mematikan) bakteri. Konsentrasi yang diuji dimulai dari konsentrasi 0,1 %, 0,2 %,
0,3 %, 0,9 % dan 1,3 %. Larutan pelemah yang digunakan adalah Formalin 20 %, 25 %, 30 %
dan 37 %. Lama proses inaktivasi bakteri yang diuji adalah 6, 12 dan 24 jam. Hasil negatif
koloni ditunjukkan seperti pada tabel 3.
No
Tabel 3. Uji Konsentrasi Larutan Pelemah Bakteri
Pengujian
Konsentrasi Uji
Konsentrasi
Waktu Inaktivasi
Pelemah (%)
Formalin (%)
(jam)
0,2
37
12 , 24
0,3
20, 25, 30, 37
6, 12, 24
0,9
20, 25, 30, 37
6, 12, 24
1,3
20, 25, 30, 37
6, 12, 24
Hasil
negatif
negatif
negatif
negatif
Hasil menunjukkan konsentrasi perlarut inaktivasi sudah dapat digunakan pada
konsentrasi inaktivasi 0,2 % pelarut formalin 37 % dengan lama waktu pelemahan diatas 12 jam.
Pada perlakuan inaktivasi bakteri ini digunakan konsentrasi inaktivasi 0,3 % pelarut formalin
37 % dengan lama pelemahan diatas 24 jam dengan kepadatan bakteri adalah 2,81 x 108
cfu.ml-1. Hal ini dimaksud untuk mendapatkan hasil yang tidak meragukan dalam
pelaksanaannya.
Formalin merupakan bahan kimia yang umum digunakkan pada proses pelemahan atau
inaktivasi bakteri yang akan dijadikan bakal bakterin.
Konsentrasi pelemahan umumnya
berbeda-beda tergantung tingkat virulensi bakteri dipakai. Seperti yang pernah diuji di wilayah
Pangkep – Sulawesi Selatan, konsentrasi inaktivasi yang digunakan untuk melemahkan bakteri
Vibrio adalah sebesar 1 % (Seniati, 2009, – komunikasi pribadi). Pada konsentrasi tersebut,
bakteri Vibrio yang ditumbuhkan pada TCBS Agar menunjukkan hasil negatif koloni. Bila
dibandingkan dengan hasil yang didapat dari pengujian ini, menunjukkan bahwa tingkat virulensi
bakteri Vibrio di sekitar BBL Ambon relatif masih lebih ringan.
4.4.
Uji Tantang
Uji tantang dilakukan untuk melihat efikasi vaksin yang dibuat dengan metode yang
mudah terhadap paparan bakteri patogen. Vaksin yang dibuat merupakan vaksin bivalen yang
hanya terdiri atas 2 jenis bakteri Vibrio dan merupakan vaksin sel utuh (whole sel). Sedangkan
pembandingnya digunakan
lipopolisakarida (LPS) dan peptidoglikan (PG) yang merupakan
cuplikan bagian sel bakteri. Uji tantang dilakukan dengan metode perendaman yang menurut Mc
Carthy et al., (1983) dalam Gronvedt et al., (2004) merupakan vaksinasi atau cara imunisasi yang
cukup potensial di budidaya ikan karena kemudahan metodenya, resiko bahaya yang ditimbulkan
juga sedikit serta efektifitas metodenya cukup tinggi.
Gejala awal yang diperlihatkan adalah penampakkan bercak-bercak merah di pangkal
sirip punggung setelah 3 hari infeksi dilakukan. Penampakan gejala klinis ini jelas terlihat pada
grup-3 (non vaksin) dengan persentase penampakkan adalah 50 %, sedangkan pada keempat
grup lainnya
tidak memperlihatkan persentase yang sama.
Infeksi kemudian berkembang
menjadi perdarahan pada pangkal sirip anal, anus dan celah-celah operculum
Proses mortalitas mulai terjadi setelah 4 -5 hari setelah infeksi. Peningkatan kematian
rata-rata terjadi peda hari 6 – 10 pada semua grup uji. Kematian terjadi hingga hari ke 12 dari 14
hari pengujian. Pencapaian mortalitas tertinggi dijumpai pada grup non vaksin yaitu sebanyak
47 % kemudian grup-1 (vaksin 1 kali) sebanyak 37 % dan grup-5 (peptidoglikan) sebanyak
33 %, sedangkangkan grup-2 (vaksin + booster) dan grup-4 (lipopolisakarida) adalah yang
terendah yakni 27 % (gambar 2).
9
Kumulatif Kematian
8
7
vaksin
6
vaksin+booster
5
control
4
LPS
3
PG
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 13
14
Hari
Gambar 2. Grafik mortalitas pada uji tantang bakteri Vibrio 108 cfu.ml-1
Kematian diawali gejala dan tingkah laku yang ditampakkan sebagai tanda infeksi yaitu
warna tubuh yang berubah menjadi lebih gelap, pernapasan cepat sehingga ikan terlihat megapmegap, tidak aktif berenang
serta tergeletak didasar (gambar 3).
Sedangkan perbedaan
penampakkan terlihat dengan jelas pada infeksi hati. Rata-rata infeksi hati pada ikan yang
divaksin yang mengalami kematian pada grup-1, grup-2, grup-4 dan grup-5 menunjukkan
degeneratif dan perubahan warna menjadi pucat sedangkan infeksi pada hati grup-3 (kontrol)
yang tidak divaksin mengalami degeneratif dan nekrosis (gambar 4).
Gambar 3. Gejala eksternal saat uji tantang
(a)
(b)
Gambar 4. Gejala internal infeksi grup vaksin dan imunostimulan (a) dan grup non vaksin (b)
(necrosis : tanda panah)
Tingkat sintasan serta tingkat perlindungan relatif tertinggi dijumpai pada grup-2 (vaksin
+ booster) dan grup-4 (lipopolisakarida) yaitu masing-masing dengan sintasan 73 % dan
RPS
43 % dengan rerata waktu kematian 6 hari. Kemudian grup-5 (peptidoglican) dan grup-1 (vaksin)
masing-masing sintasan 67 % dan 63 % dan RPS masing-masing 29 % dan 21 % dengan rerata
waktu kematian 7 hari. Sedangkan yang terendah adalah grup-3 (non vaksin) dengan sintasan
53 % dengan rerata waktu kematian 9 hari.
Dari hasil yang ditampilkan menunjukkan bahwa vaksin sederhana yang dibuat dapat
menimbulkan kekebalan yang spesifik (humoral) pada kerapu bebek karena merupakan
kekebalan yang dibentuk hanya efektif untuk mencegah infeksi patogen dari bakteri V. ordalii
dan V. alginolyticus. Demikian halnya dengan penggunaan lipopolisakarida (LPS) yang
menunjukkan hasil perlindungan yang sama dengan vaksin buatan sendiri. Lipopolisakarida
merupakan
protein penyusun dinding sel yang banyak terdapat pada sel bakteri gram negatif
yang tidak dimiliki oleh bakteri gram positif. Qian et al., (2008) menyatakan bahwa bakteri
patogen gram negatif, dinding luarnya memainkan peranan penting dalam menginfeksi dan
merusak inang yang diserang (Tsolus 2002). Karena komposisi dasar dari membran luar bakteri
tersebut terdiri atas protein, lemak, gula yang dapat dengan mudah dikenali sebagai substansi
luar/asing oleh sistem pertahanan imun inang. Diantara komponen-komponen tersebut, membran
protein memiliki peranan penting pada banyak sel dan proses fisiologi dimana bagian-bagian
tersebut digunakan untuk pengembangan bakal vaksin dan kit diagnosa (pizza et al 2000,Qjan et
al., 2007 dalam Qian et al., 2008). Namun vaksin dari bahan lipopolisakarida hanya akan
memberikan kekebalan non spesifik (selular atau cel-mediated immunity) atau yang memiliki
aktivitas imunomodulator yang dibentuk sebagai anti dari berbagai infeksi. Sedangkan vaksin
dengan bahan dasar peptidoglikan memberikan perlindungan kekebalan tidak sebesar LPS. Hal
ini dikarenakan peptidoglikan merupakan bagian terbanyak yang menyusun dinding sel bakteri
gram positif dibandingkan sel gram negatif. Namun baik vaksin buatan, LPS dan peptidoglikan,
ketiganya dapat dijadikan bahan peningkatan kekebalan tubuh ikan yang dibudidaya melalui
perendaman.
Sebagai informasi sekunder, pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir uji
tantang sebagaimana tertera pada tabel 4.
Tabel 4. Kualitas air selama uji tantang
Grup
Uji
Grup-1
Grup-2
Grup-3
Grup-4
Grup-5
Suhu
(oC)
29,12
29,10
29,10
29,17
29,11
Salinitas
(o/oo)
34,2
34,2
34,1
34,2
34,1
Awal Uji
DO
pH
(mg/l)
5,07
8,03
5,03
8,06
5,04
8,01
5,03
8,02
5,01
8,02
NH3
(mg/l)
0,09
0,08
0,09
0,07
0,08
NO2
(mg/l)
0,2
0,3
0,3
0,2
0,2
Suhu
(oC)
28,71
28,84
28,72
28,81
28,80
Salinitas
(o/oo)
34,1
34,2
34,2
34,3
34,2
Akhir Uji
DO
pH
(mg/l) (mg/l)
5,02
8,01
5,02
7,98
5,05
8,04
5,03
8,01
5,02
8,01
NH3
(mg/l)
3,2
3,2
3,4
3,1
3,2
NO2
(mg/l)
2,2
2,1
2,5
2,1
2,1
Dari hasil pengukuran kualitas air terlihat adanya peningkatan pada parameter amonia dan nitrit
pada akhir uji tantang pada semua grup uji. Hal ini disebabkan oleh akumulasi sisa pakan pellet
serta hasil limbah aktivitas metabolisme ikan uji yang meningkatkan kadar amonia dan nitrit
dalam air. Amonia pada kondisi terbatas akan bersifat toksik bagi ikan yang dibudidayakan
terutama bila temperatur dan pH media air meningkat. Kadar aman amonia yang terionisasi
dalam air adalah dibawah 0,02 ppm. Sedangkan nitrit dalam air laut dapat dinetralkan oleh ion
khlorida (Cl-) sehingga sifat toksiknya melemah dan tidak terlampau berpengaruh bagi ikan yang
dibudidaya di air laut maupun payau.
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pengujian vaksin dapat disimpulkan bahwa :
1.
Vaksin bivalen Vibrio
yang dibuat dengan konsentrasi inaktivasi 0,3 % efektif
meningkatkan kekebalan spesifik pada ikan kerapu bebek dengan sintasan sebesar 73 %.
2.
Perlakuan vaksinasi memberikan hasil lebih baik bila dilanjutkan dengan booster untuk
meningkatkan memori sel dalam menghadapi patogen
5.2.
Saran
Dari hasil yang didapat beberapa saran pengujian yang dapat dilanjutkan antara lain :
1.
Perlu dilakukan uji vaksinasi dengan vaksin buatan melalui metode injeksi dan oral
2.
Perlu dilakukan uji tantang dengan menggunakan jenis bakteri Vibrio patogen lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Crosa, J. H., M. A. Walter and S. A. Potter. 1983. The genetic of plasmid-mediated virulence in
the marine pathogen Vibrio anguillarium. Bactaerial and viral diseases of fish. Molecular
studies. A Washington Sea Grant Pub. Univ of Washington, Seattle
Dalmo, P. L. and P. H. Klesius. 1996a. Dietary immunostimulants enhance nonspecific immune
responses in channel catfish but not resistance to Edwarsiella ictaluri.
J. Aquant.
Anim. Health 8.
Grontvedt, R. N, V. Lund and S. Espelid. 2004. Atupical furunculosis in spotted wolfish
(Anarhichas minor O.) juveniles : bath vaccination and challenge. Journal aquaculture
232 (2004) 69 – 80.
Itami, T., Takahashi, Y., and Y. Nakamura. 1989. Efficacy of vaccination against vibriosis in
cultured kuruma prawns Peneaeus japonicus. J. Aquant. Anim. Health 1.
Isnansetyo, A., Kamiso H.N., Murwantoko, Triyanto dan M. Murdjani. 2006. Efikasi vaksin
vibrio polivalen untuk pengendalian vibriosis pada budidaya kerapu. Disampaikan pada
Seminar Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Kerapu 2006, BPPT, Serpong,31
Agustus 2006.
Kamiso, H.N. 1996. Vaksinasi induk untuk meningkatkan kekebalan bibit lele dumbo (Clarias
gariephunus) terhadap serangan Aeromonas hydrophyla. Bul. Ilmu Perikanan (7): 10-18.
Lonnstrom, L. G., R. Rahkonen, T. Lunden, M. Pasternack, J. Koskela and A. Grondahl. 2001.
Protection, immune response and side-effects in European whitefish (Coregonus
larvaretus L.) vaccinated against vibriosis and furunculosis. . Journal aquaculture 200
(2001) 271 – 284.
Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis). Ringkasan Disertasi. Program Studi Ilmu-ilmu Pertanian
Kekhususan Perlindungan Tanaman. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.
Malang.
Qian, R-H., Z-H. Xiao, C-W. Zhang, W-Y. Chu, L-S. Wang, H-H. Zhou, Y-W. Wei and L. Yu.
2008. A conserved outer membrane protein as an effective vaccine candidate from Vibrio
alginolitycus. . Journal aquaculture 378 (2008) 5 – 9.
Roitt, I., J. Brostoff and D. Male. 2001. Immunology. Sixth Edition. Mosby-London. 2001
Sakai, M., Atsuta, S., and M. Kobayashi. 1995c. Efficacies of combined vaccine for Vibrio
anguillarium and Streptococcus sp. Fisheries Sci, 61.
Sakai, M. 1998. Current research status of fish immunostimulants. Journal Aquaculture 172
(1999) 63 – 92.
Zhou, Y-C., H. Huang, J. Wang, B. Zhang and Y-Q. Su. 2002. Vaccination of the grouper,
Epinephalus awoara, against vibriosis using the ultrasonic technique. Journal aquaculture
203 (2002) 229 – 238.
Download