LAPORAN KEGIATAN PEREKAYASAAN PEMBUATAN VAKSIN SEDERHANA DALAM MENGATASI SERANGAN BAKTERI VIBRIO Oleh : EVRI NOERBAETI LUTFI HARDIAN MURTIONO ISTIANA SYARIPUDDIN BALAI BUDIAYA LAUT AMBON DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha budidaya ikan diketahui merupakan salah satu industri yang sangat diperhitungkan saat ini. Hal ini terlihat dari perkembangannya yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun karena umumnya usaha budidaya yang selalu menggunakan sistem yang terbatas dalam meningkatkan hasil produksi dengan kepadatan yang cukup tinggi, berdampak terhadap kesehatan ikan yang dibudidaya serta meningkatkan kerentanan ikan terhadap infeksi. Bermacam-macam kemoterapi yang telah digunakan untuk mengobati infeksi bakteri selama kurang lebih 20 tahun terakhir dan insiden resistennya bakteri terhadap obat-obatan yang diberikan menjadi masalah besar pada budidaya ikan. Banyaknya masalah yang selalu muncul akibat penggunaan bahan kemoterapi, mewujudkan pengujian-pengujian dengan menggunakan bahan peningkat imun tubuh ikan. Imunologi ikan tidak hanya untuk kepentingan pengetahuan respon kekebalan terhadap infeksi bakteri, namun untuk kepentingan jangka panjang seperti bagaimana memberikan proteksi terhadap ikan khususnya pada ikan budidaya skala besar dari serangan dan keberadaan pathogen yang mematikan. Vaksinasi digunakan untuk mencegah serangan penyakit infeksi dan kebanyakan efektif untuk mengontrol serangan penyakit ikan. Banyak vaksin untuk penyakit vibriosis, redmouth dan furunculosis serta infeksi virus seperti IPN sudah banyak dijual. Namun pembuatan vaksin saat ini masih terkendala oleh mahalnya harga untuk memperoleh vaksin di pasaran. Selain itu imunisasi pada ikan masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan manusia dan ternak karena ikan tidak imun kompeten seperti ternak khususnya pada temperatur rendah dan metode yang terbatas pada imunisasi massal untuk ikan budidaya. Dengan demikian perlu dilakukan suatu pengujian pembuatan vaksin sederhana yang mampu meningkatkan respon kekebalan ikan yang dibudidaya terhadap serangan infeksi bakteri. 1.2. Tujuan Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas vaksin serangan bakteri Vibrio pada ikan uji yang dilakukan melalui uji tantang. 1.3. Sasaran Meningkatkan tingkat sintasan pada komoditi uji hingga 60 % terhadap II. TINJAUAN PUSTAKA Vaksin adalah suatu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen (tidak selalu) yang telah dilemahkan atau dimatikan. Syarat dari suatu vaksin harus bersifat immunogen yaitu harus dapat merangsang dalam pembentukan antibodi. Tujuan dari vaksinasi adalah untuk mendapatkan kekebalan secara aktif dimana cara kerja vaksin berjalan dengan menggabungkan antigen bersama dengan sel lympoid untuk membentuk zat anti (antibodi) (Sakai, 1998). Pemakaian vaksin pada usaha budidaya perikanan sangat penting, mengingat pemakaian vaksin maka kita akan memperoleh kekebalan pada ikan yang dibudidaya. Kekebalan yang diperoleh biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama artinya dengan sekali atau dua kali pemberian vaksin maka kekebalan yang diperoleh dapat bertahan untuk satu periode pemeliharaan. Biaya yang diperlukan untuk vaksinasi tidak terlalu tinggi. Dan selain itu untuk pemakaian vaksin tidak diperlukan tenaga yang cukup banyak. Keuntungan yang lain dari pemakaian vaksin adalah tidak adanya efek samping. Cara aplikasi vaksin ada bermacam-macam tergantung pada sediaan vaksin, kondisi serta jumlah ikan yang akan divaksin. a. Melalui suntikan (injection), hanya dapat dilakukan pada ikan yang ukurannya besar dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Cara ini sangat efektif, tapi banyak memerlukan tenaga serta waktu dalam pelaksanaannya. b. Melalui makanan (oral), cara ini sangat efisien namun efikasi yang diperlihatkan sangat lambat, selain itu memerlukan jumlah antigen yang banyak. c. Melalui perendaman (immersion), ada 2 cara perendaman yaitu perendaman langsung dan perendaman tidak langsung. Perendaman langsung dilakukan dengan merendam ikan secara langsung didalam sediaan vaksin pada konsentrasi tertentu. Sedangkan perendaman tidak langsung yaitu sebelum ikan direndam dalam sediaan vaksin terlebih dahulu harus direndam dalam suatu larutan yang tekanan osmosenya lebih pekat dari sediaan vaksin, misalnya larutan garam (NaCl), baru kemudian ikan dimasukkan kedalam sediaan vaksin. Namun cara perendaman tidak langsung ini dapat menimbulkan stress pada ikan. d. Melalui semprotan dengan tekanan tinggi, ikan dikumpulkan dalam suatu tempat kemudian disemprot dengan vaksin. Metoda ini menggunakan alat penyemprot dengan tenaga cukup tinggi supaya vaksin dapat masuk kedalam tubuh ikan. Namun cara ini dapat menyebabkan ikan mengalami stres akibat terlepasnya lendir. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi pada ikan, antara lain adalah : a. Temperatur Produksi zat antibodi pada organisme poikilothermal seperti ikan adalah lebih lambat pada temperatur rendah. Sebaliknya antibodi akan diproduksi lebih banyak pada temperatur yang relatif tinggi. b. Umur dan berat ikan Ikan yang umurnya kurang dari 3 minggu masih lambat dalam pembentukan antibodi, sedangkan berat minimal ikan yang disarankan untuk divaksin adalah ikan yang beratnya tidak kurang dari 1 gram. c. Dosis yang diberikan harus cukup untuk menimbulkan antibodi oleh tubuh ikan. Banyak antigen yang masuk kedalam tubuh ikan tergantung kepada dosis yang diberikan, cara pemberian vaksin dan kemampuan ikan itu sendiri untuk meyerapnya. d. Adjuvant adalah suatu bahan (biasanya terdiri dari sejenis minyak) yang fungsinya adalah untuk menambah daya sebar dari vaksin tersebut didalam tubuh ikan. Adjuvant biasanya dicampur bersama-sama dengan vaksin. Macam atau jenis adjuvant akan memberikan hasil yang berbeda dalam produksi antibodi pada tubuh ikan. Beberapa penelitian telah dilakukan dalam pembuatan vaksin sebagai imunostimulan pada ikan antara lain Dugenci et al (2003 dalam Sakai, 1998) yang melaporkan tentang beberapa jenis imunostimulan pada ikan, Dalmo et al (1996) telah meneliti tentang pemberian laminaran (β(1.3)D-glucan sebagai imunostimulan pada ikan salmon. Bakterin V. anguillarium kebanyakan berhasil diterapkan pada budidaya ikan salmon dan untuk tingkat kemanjurannya terlihat dengan metode injeksi, oral dan imersi. Sakai et al (1995c) melaporkan ikan rainbouw trout diimersi dengan cairan bakterin V. Angullarium menunjukkan peningkatan perlindungan (12X pada LD50) terhadap Streptococcus sp. Itami et al (1989) melaporkan bahwa udang yang diinjeksi atau diimersi dengan bakterin Vibrio yang dimatikan dengan formalin mampu mengurangi mortalitas ketika mereka diuji tantang dengan injeksi Vibrio 30 hari kemudian. III. 3.1. 3.2. METODOLOGI Alat dan Bahan BHI broth Formalin 37 % Lipopolisakarida (LPS) Peptodoglican (PG) Benih kerapu 7-10 cm Aquarium 75 L Inkubator Colony counter Peralatan Glass Ware Waskom Plastik Metode Kerja 3.2.1. Uji Patologi dan Patogenisitas 1. Bakteri Vibrio sp diisolasi dari luka dan organ ginjal ikan yang terinfeksi dan diinokulasi dengan jarum ose pada media TCBS agar dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 48 jam. Koloni Vibrio yang tumbuh diidentifikasi sesuai karateristik untuk mengetahui jenisnya. 2. Isolat bakteri yang teridentifikasi diperbanyak dengan cara ditumbuhkan pada media BHI broth untuk digunakan dalam uji patologi dan patogenisitasnya guna mengetahui tingkat keganasan dan gejalanya. 3. Infeksi dilakukan melalui perendaman yaitu memelihara ikan dalam media suspensi bakteri dengan konsentrasi 106, 107,108 CFU ml-1. Pemeliharaan dilakukan selama seminggu untuk mengamati rata-rata waktu kematian serta tingkat mortalitas yang terjadi dan gejala yang ditimbulkannya. Pencatatan kematian dihitung setiap hari. 3.2.2. Pembuatan Bakterin 1. Bahan bakterin terdiri atas beberapa jenis isolat bakteri Vibrio yang telah diuji patogenitasnya. 2. Kemudian bakteri Vibrio diinokulasi ke dalam 400 ml BHI broth dengan setengah konsentrasi media. Letakkan di magnetic stirrer. Untuk membantu menumbuhkan bakteri, inkubasikan pada suhu ruangan selama 48 jam. 3. Inokulasi bakteri pada media BHI broth dengan pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6 dalam larutan NaCl 0,4 %. Tebarkan (spread) ke media BHI agar kemudian inkubasikan pada suhu ruangan selama 48 jam dan hitung koloni yang tumbuh. 4. Tambahkan 0,3 % formalin ke dalam media BHI broth untuk menginaktifkan bakteri. Inkubasi pada suhu ruangan selama 24 jam. 5. Pengecekan keaktifan bakteri dengan menginokulasi bakteri ke media BHI broth yang telah diberi formalin ke media BHI agar dan diinkubasikan selama 1 hari pada suhu ruangan. 6. Jika bakteri sudah inaktif, lakukan pengumpulan bakteri dengan menggunakan centrifuge 3000 rpm selama kurang lebih 3 menit. Kemudian bilas dengan larutan NaCl 0,9 % steril. Simpan bakteri dalam 20 ml larutan NaCl 0,9 % steril sehingga konsentrasi bakteri menjadi 20x. 7. Simpan di lemari pendingin (refrigerator) hingga waktu pengujian dilakukan. 3.2.2. Pelaksanaan Vaksinasi 1. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan dengan menggunakan metode immersi langsung yaitu dengan merendam ikan uji kedalam larutan vaksin yang berisi suspensi bakterin dengan konsentrasi sesuai hasil pengujian LC50. 2. Benih ikan kerapu ukuran 7 – 10 cm sebanyak 30 ekor (grup-1 dan grup-2) direndam langsung kedalam larutan vaksin selama 1 jam sambil diaerasi sebagai vaksinasi tahap pertama. Benih ikan lainnya sebanyak 10 ekor digunakan sebagai kontrol (grup-3) 3. Vaksinasi tahap kedua dilakukan setelah seminggu terhadap setengah jumlah benih kerapu yang telah divaksin tahap pertama (grup-2). 4. Benih kerapu pada grup-4 dan grup-5 adalah kelompok pembanding dengan menggunakan bahan imunostimulan yang umum. waktu (minggu) 0 Grup-1 1 2 vaksin tahap I Grup-2 3 4 5 uji tantang vaksin tahap II (booster) uji tantang Grup-3 Kontrol uji tantang Grup-4 LPS uji tantang Grup-5 PG uji tantang 3.2.3. Uji Tantang 1. Setelah 1 minggu vaksinasi tahap kedua kemudian dilakukan uji tantang dengan merendam benih ikan kerapu yang telah divaksinasi kedalam larutan suspensi bakteri Vibrio sp dengan konsentrasi 1 x 108 cfu ml-1 selama 60 menit dan diaerasi. 2. Efikasi vaksin dilihat berdasarkan hasil pembandingan mortalitas (M), sintasan (SR), tingkat perlindungan realtif (RPS) dan rerata waktu kematian (MTD) antara ikan yang diuji.: a. Mortalitas (M) M = Mt / Mo x 100 % M = Mortalitas Mt = Jumlah ikan mati pada akhir percobaan Mo = Jumlah ikan pada awal percobaan b. Sintasan (SR) SR = Nt / No x 100 % SR = sintasan Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir percobaan No = Jumlah ikan pada awal percobaan c. Tingkat Perlindungan Relatif (RPS) % kematian ikan yang divaksin RPS = 1 - X 100 % % kematian ikan yang tidak divaksin d. Rerata Waktu Kematian (MTD) ∑ aibi MTD = ∑ bi a = waktu kematian (hari) b = jumlah ikan yang mati (ekor) 3.3.3. Waktu dan Tempat Pengujian meliputi isolasi, identifikasi dan karateristik bakteri, uji patogenisitas, uji konsentrasi larutan pelemah, pembuatan bakterin, vaksinasi dan uji tantang dilakukan pada tahun 2009 di Laboratorium Hama Penyakit Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Laut Ambon. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Bakteri Vibrio Vibrio merupakan salah satu bakteri patogen yang termasuk dalam famili Vibrionaceae yang bersifat kosmopolitan dengan penyebaran yang sangat luas. Menurut Murdjani (2002), ada beberapa jenis bakteri Vibrio yang hidupnya berasosiasi dengan kerapu bebek yang antara lain V. alginolitycus, V. Anguillarium dan V. Fuscus yang mana keganasan V. alginolitycus dan V. anguillarium dapat menyebabkan kematian larva kerapu bebek. Bahkan V. alginolitycus dapat menyebabkan kematian larva hingga 100 %, bahkan juga bersifat patogen terhadap manusia (Mc Laughlin et al., 1999 dalam Qiun et al., 2008) yang dapat menyebabkan luka infeksi, otitis, keracunan, terganggunya pencernaan dan septicemia (Hladi dan Klotz, 1996; Morris dan Black, 1985 dalam Qiun et al., 2008). Bakteri Vibrio lainnya yang patogen dan sering dijumpai pada kasus-kasus serangan penyakit adalah Vibrio ordalii. V. ordalii merupakan serotipe kedua dari V. anguillarum serta memiliki karakteristik yang hampir sama antara keduanya. Vibrio ordalii memiliki pertumbuhan dalam kultur dan tingkat serangan yang lebih lambat sehingga hanya menyebabkan penyakit kronis pada komoditas peliharaan. Vibrio ordalii menghasilkan bakterimia dan dalam jaringan berbentuk koloni terutama di otot daging dan jantung, pada bagian depan dan belakang saluran pencernaan dan insang. Vibrio ordalii dan Vibrio alginolitycus adalah dua jenis bakteri Vibrio yang paling sering dijumpai pada kasus-kasus penyakit infeksi bakterial di Balai Budidaya Laut Ambon. Sehingga kedua jenis ini dijadikan bahan bakterin dalam pelaksanaan vaksinasi. Kedua bakteri diisolasi dari luka infeksi dan organ ginjal benih kerapu ukuran 15 – 17 cm untuk diidentifikasi karateristiknya dan dikoleksi untuk dijadikan bahan bakterin vaksin. Hasil isolasi dan identifikasi dikoleksi 2 jenis bakteri Vibrio seperti yang terlihat pada tabel 1. Jenis : kerapu bebek Pengujian Tgl isolasi : 21/3/2009 Organ Target : ginjal (2 ekor) Jenis : kerapu bebek Tgl isolasi : 28/3/2009 Organ Target : luka tubuh (3 ekor) KOLONI : - Warna Kuning Kuning - Bentuk Bulat Bulat - Tepi Licin Licin Cembung Cembung Transparan Transparan Uji Gram Negatif, batang pendek Negatif, batang pendek Oksidase Positif Positif Katalase Positif Positif OFBM Fermentatif Fermentatif Citrat Positif Positif TSIA negatif negatif SIM Media Positif Positif Motilitas Motil Motil TCBS Kuning Kuning MR Negatif Positif VP Negatif Positif - Glukosa Positif Positif - Manitol Positif Positif - Inositol Negatif Negatif - Arabinosa Negatif Negatif - Sucrosa Positif Positif Vibrio ordalii Vibrio alginolyticus - Elevasi - Struktur Dalam Uji Gula : HASIL IDENTIFIKASI 4.2. Patogenesitas Bakteri Uji Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata persentase kematian yang disebabkan patogenesitas Vibrio cukup tinggi yaitu 32,10 %, 42,71% dan 51,39%. Gejala penyakit eksternal pertama kali yang ditimbulkan oleh spesies Vibrio patogen pada uji ini adalah adanya bercakbercak merah pada pangkal sirip punggung yang terlihat 4 jam setelah perendaman untuk perlakuan dengan konsentrasi 108 CFU ml-1 oleh bakteri Vibrio ordalii sedangkan yang diperlihatkan hasil perendaman Vibrio alginolyticus mulai terlihat setelah 18 – 24 jam. Gejala eksternal lainnya terlihat juga geripisnya sirip ekor dan berwarna lebih gelap dan warna insang pucat (gambar 1). Sedangkan gejala internal yang diperlihatkan adalah terjadi perubahan warna hati menjadi pucat. . Gambar 1. Gejala eksternal infeksi Uji patogenesitas terhadap 2 isolat bakteri ini, menunjukkan bahwa Vibrio ordalii dan Vibrio alginolyticus mempunyai tingkat keganasan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel. 2. LC50 Isolat Vibrio terhadap Kerapu Bebek No Jenis Bakteri 1. Vibrio ordalii 2. Vibrio alginolyticus LC50 (cfu.ml-1) 2,51 x 108 2,73 x 108 Menurut Isnansetyo dkk., (2006) bahwa V. ordalii maupun V. alginolitycus bersifat pathogen terhadap kerapu bebek. Injeksi intraperitoneal pada dengan nilai LD50 3,16 x 104 cfu/ikan bersifat patogen pada kerapu bebek, injeksi Vibrio sp. pada E. coioides (ukuran 10-20 g) dengan kepadatan 107-108 cfu.ml-1 dapat menyebabkan kematian dalam waktu 24 jam. Penelitian serupa dilaporkan Murdjani (2002) bahwa infeksi V. alginolyticus pada kerapu tikus (ukuran 4-5 cm) menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5x106 CFU/ikan melalui penyuntikan IM, IP, dan IV. Rajan et al. (2001) melaporkan infeksi V. alginolyticus pada juvenil ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan uji dengan LD50 sebesar 4,86 x 106 cfu/ikan melalui penyuntikan IM dan IP. Sedangkan Nindarwi (2008), mendapatkan bahwa infeksi V. alginolyticus pada kerapu macan pada LD 50 sebesar 9,5 x 103 CFU/ml. Tingkat patogenisitas bakteri terhadap inang berbeda-beda, dipengaruhi oleh faktor pertahanan inang dalam melawan patogen, maupun faktor patogenisitas yang ada pada patogen (kemampuan memproduksi toksin, enzim, mengatasi ketahanan inang, serta kecepatan berkembang biak). Spesies Vibrio patogen memiliki plasmid sebagai faktor keganasan, dimana perbedaan jenis plasmid yang dimiliki tiap bakteri menyebabkan perbedaan tingkat keganasan (Crosa et al., 1983; Kamiso, 1996). 4.3. Konsentrasi Larutan Pelemah Uji ini dimaksud untuk mencari ketepatan konsentrasi dalam perlakuan inaktivasi (pelemahan/mematikan) bakteri. Konsentrasi yang diuji dimulai dari konsentrasi 0,1 %, 0,2 %, 0,3 %, 0,9 % dan 1,3 %. Larutan pelemah yang digunakan adalah Formalin 20 %, 25 %, 30 % dan 37 %. Lama proses inaktivasi bakteri yang diuji adalah 6, 12 dan 24 jam. Hasil negatif koloni ditunjukkan seperti pada tabel 3. No Tabel 3. Uji Konsentrasi Larutan Pelemah Bakteri Pengujian Konsentrasi Uji Konsentrasi Waktu Inaktivasi Pelemah (%) Formalin (%) (jam) 0,2 37 12 , 24 0,3 20, 25, 30, 37 6, 12, 24 0,9 20, 25, 30, 37 6, 12, 24 1,3 20, 25, 30, 37 6, 12, 24 Hasil negatif negatif negatif negatif Hasil menunjukkan konsentrasi perlarut inaktivasi sudah dapat digunakan pada konsentrasi inaktivasi 0,2 % pelarut formalin 37 % dengan lama waktu pelemahan diatas 12 jam. Pada perlakuan inaktivasi bakteri ini digunakan konsentrasi inaktivasi 0,3 % pelarut formalin 37 % dengan lama pelemahan diatas 24 jam dengan kepadatan bakteri adalah 2,81 x 108 cfu.ml-1. Hal ini dimaksud untuk mendapatkan hasil yang tidak meragukan dalam pelaksanaannya. Formalin merupakan bahan kimia yang umum digunakkan pada proses pelemahan atau inaktivasi bakteri yang akan dijadikan bakal bakterin. Konsentrasi pelemahan umumnya berbeda-beda tergantung tingkat virulensi bakteri dipakai. Seperti yang pernah diuji di wilayah Pangkep – Sulawesi Selatan, konsentrasi inaktivasi yang digunakan untuk melemahkan bakteri Vibrio adalah sebesar 1 % (Seniati, 2009, – komunikasi pribadi). Pada konsentrasi tersebut, bakteri Vibrio yang ditumbuhkan pada TCBS Agar menunjukkan hasil negatif koloni. Bila dibandingkan dengan hasil yang didapat dari pengujian ini, menunjukkan bahwa tingkat virulensi bakteri Vibrio di sekitar BBL Ambon relatif masih lebih ringan. 4.4. Uji Tantang Uji tantang dilakukan untuk melihat efikasi vaksin yang dibuat dengan metode yang mudah terhadap paparan bakteri patogen. Vaksin yang dibuat merupakan vaksin bivalen yang hanya terdiri atas 2 jenis bakteri Vibrio dan merupakan vaksin sel utuh (whole sel). Sedangkan pembandingnya digunakan lipopolisakarida (LPS) dan peptidoglikan (PG) yang merupakan cuplikan bagian sel bakteri. Uji tantang dilakukan dengan metode perendaman yang menurut Mc Carthy et al., (1983) dalam Gronvedt et al., (2004) merupakan vaksinasi atau cara imunisasi yang cukup potensial di budidaya ikan karena kemudahan metodenya, resiko bahaya yang ditimbulkan juga sedikit serta efektifitas metodenya cukup tinggi. Gejala awal yang diperlihatkan adalah penampakkan bercak-bercak merah di pangkal sirip punggung setelah 3 hari infeksi dilakukan. Penampakan gejala klinis ini jelas terlihat pada grup-3 (non vaksin) dengan persentase penampakkan adalah 50 %, sedangkan pada keempat grup lainnya tidak memperlihatkan persentase yang sama. Infeksi kemudian berkembang menjadi perdarahan pada pangkal sirip anal, anus dan celah-celah operculum Proses mortalitas mulai terjadi setelah 4 -5 hari setelah infeksi. Peningkatan kematian rata-rata terjadi peda hari 6 – 10 pada semua grup uji. Kematian terjadi hingga hari ke 12 dari 14 hari pengujian. Pencapaian mortalitas tertinggi dijumpai pada grup non vaksin yaitu sebanyak 47 % kemudian grup-1 (vaksin 1 kali) sebanyak 37 % dan grup-5 (peptidoglikan) sebanyak 33 %, sedangkangkan grup-2 (vaksin + booster) dan grup-4 (lipopolisakarida) adalah yang terendah yakni 27 % (gambar 2). 9 Kumulatif Kematian 8 7 vaksin 6 vaksin+booster 5 control 4 LPS 3 PG 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Hari Gambar 2. Grafik mortalitas pada uji tantang bakteri Vibrio 108 cfu.ml-1 Kematian diawali gejala dan tingkah laku yang ditampakkan sebagai tanda infeksi yaitu warna tubuh yang berubah menjadi lebih gelap, pernapasan cepat sehingga ikan terlihat megapmegap, tidak aktif berenang serta tergeletak didasar (gambar 3). Sedangkan perbedaan penampakkan terlihat dengan jelas pada infeksi hati. Rata-rata infeksi hati pada ikan yang divaksin yang mengalami kematian pada grup-1, grup-2, grup-4 dan grup-5 menunjukkan degeneratif dan perubahan warna menjadi pucat sedangkan infeksi pada hati grup-3 (kontrol) yang tidak divaksin mengalami degeneratif dan nekrosis (gambar 4). Gambar 3. Gejala eksternal saat uji tantang (a) (b) Gambar 4. Gejala internal infeksi grup vaksin dan imunostimulan (a) dan grup non vaksin (b) (necrosis : tanda panah) Tingkat sintasan serta tingkat perlindungan relatif tertinggi dijumpai pada grup-2 (vaksin + booster) dan grup-4 (lipopolisakarida) yaitu masing-masing dengan sintasan 73 % dan RPS 43 % dengan rerata waktu kematian 6 hari. Kemudian grup-5 (peptidoglican) dan grup-1 (vaksin) masing-masing sintasan 67 % dan 63 % dan RPS masing-masing 29 % dan 21 % dengan rerata waktu kematian 7 hari. Sedangkan yang terendah adalah grup-3 (non vaksin) dengan sintasan 53 % dengan rerata waktu kematian 9 hari. Dari hasil yang ditampilkan menunjukkan bahwa vaksin sederhana yang dibuat dapat menimbulkan kekebalan yang spesifik (humoral) pada kerapu bebek karena merupakan kekebalan yang dibentuk hanya efektif untuk mencegah infeksi patogen dari bakteri V. ordalii dan V. alginolyticus. Demikian halnya dengan penggunaan lipopolisakarida (LPS) yang menunjukkan hasil perlindungan yang sama dengan vaksin buatan sendiri. Lipopolisakarida merupakan protein penyusun dinding sel yang banyak terdapat pada sel bakteri gram negatif yang tidak dimiliki oleh bakteri gram positif. Qian et al., (2008) menyatakan bahwa bakteri patogen gram negatif, dinding luarnya memainkan peranan penting dalam menginfeksi dan merusak inang yang diserang (Tsolus 2002). Karena komposisi dasar dari membran luar bakteri tersebut terdiri atas protein, lemak, gula yang dapat dengan mudah dikenali sebagai substansi luar/asing oleh sistem pertahanan imun inang. Diantara komponen-komponen tersebut, membran protein memiliki peranan penting pada banyak sel dan proses fisiologi dimana bagian-bagian tersebut digunakan untuk pengembangan bakal vaksin dan kit diagnosa (pizza et al 2000,Qjan et al., 2007 dalam Qian et al., 2008). Namun vaksin dari bahan lipopolisakarida hanya akan memberikan kekebalan non spesifik (selular atau cel-mediated immunity) atau yang memiliki aktivitas imunomodulator yang dibentuk sebagai anti dari berbagai infeksi. Sedangkan vaksin dengan bahan dasar peptidoglikan memberikan perlindungan kekebalan tidak sebesar LPS. Hal ini dikarenakan peptidoglikan merupakan bagian terbanyak yang menyusun dinding sel bakteri gram positif dibandingkan sel gram negatif. Namun baik vaksin buatan, LPS dan peptidoglikan, ketiganya dapat dijadikan bahan peningkatan kekebalan tubuh ikan yang dibudidaya melalui perendaman. Sebagai informasi sekunder, pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir uji tantang sebagaimana tertera pada tabel 4. Tabel 4. Kualitas air selama uji tantang Grup Uji Grup-1 Grup-2 Grup-3 Grup-4 Grup-5 Suhu (oC) 29,12 29,10 29,10 29,17 29,11 Salinitas (o/oo) 34,2 34,2 34,1 34,2 34,1 Awal Uji DO pH (mg/l) 5,07 8,03 5,03 8,06 5,04 8,01 5,03 8,02 5,01 8,02 NH3 (mg/l) 0,09 0,08 0,09 0,07 0,08 NO2 (mg/l) 0,2 0,3 0,3 0,2 0,2 Suhu (oC) 28,71 28,84 28,72 28,81 28,80 Salinitas (o/oo) 34,1 34,2 34,2 34,3 34,2 Akhir Uji DO pH (mg/l) (mg/l) 5,02 8,01 5,02 7,98 5,05 8,04 5,03 8,01 5,02 8,01 NH3 (mg/l) 3,2 3,2 3,4 3,1 3,2 NO2 (mg/l) 2,2 2,1 2,5 2,1 2,1 Dari hasil pengukuran kualitas air terlihat adanya peningkatan pada parameter amonia dan nitrit pada akhir uji tantang pada semua grup uji. Hal ini disebabkan oleh akumulasi sisa pakan pellet serta hasil limbah aktivitas metabolisme ikan uji yang meningkatkan kadar amonia dan nitrit dalam air. Amonia pada kondisi terbatas akan bersifat toksik bagi ikan yang dibudidayakan terutama bila temperatur dan pH media air meningkat. Kadar aman amonia yang terionisasi dalam air adalah dibawah 0,02 ppm. Sedangkan nitrit dalam air laut dapat dinetralkan oleh ion khlorida (Cl-) sehingga sifat toksiknya melemah dan tidak terlampau berpengaruh bagi ikan yang dibudidaya di air laut maupun payau. V. 5.1. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengujian vaksin dapat disimpulkan bahwa : 1. Vaksin bivalen Vibrio yang dibuat dengan konsentrasi inaktivasi 0,3 % efektif meningkatkan kekebalan spesifik pada ikan kerapu bebek dengan sintasan sebesar 73 %. 2. Perlakuan vaksinasi memberikan hasil lebih baik bila dilanjutkan dengan booster untuk meningkatkan memori sel dalam menghadapi patogen 5.2. Saran Dari hasil yang didapat beberapa saran pengujian yang dapat dilanjutkan antara lain : 1. Perlu dilakukan uji vaksinasi dengan vaksin buatan melalui metode injeksi dan oral 2. Perlu dilakukan uji tantang dengan menggunakan jenis bakteri Vibrio patogen lainnya DAFTAR PUSTAKA Crosa, J. H., M. A. Walter and S. A. Potter. 1983. The genetic of plasmid-mediated virulence in the marine pathogen Vibrio anguillarium. Bactaerial and viral diseases of fish. Molecular studies. A Washington Sea Grant Pub. Univ of Washington, Seattle Dalmo, P. L. and P. H. Klesius. 1996a. Dietary immunostimulants enhance nonspecific immune responses in channel catfish but not resistance to Edwarsiella ictaluri. J. Aquant. Anim. Health 8. Grontvedt, R. N, V. Lund and S. Espelid. 2004. Atupical furunculosis in spotted wolfish (Anarhichas minor O.) juveniles : bath vaccination and challenge. Journal aquaculture 232 (2004) 69 – 80. Itami, T., Takahashi, Y., and Y. Nakamura. 1989. Efficacy of vaccination against vibriosis in cultured kuruma prawns Peneaeus japonicus. J. Aquant. Anim. Health 1. Isnansetyo, A., Kamiso H.N., Murwantoko, Triyanto dan M. Murdjani. 2006. Efikasi vaksin vibrio polivalen untuk pengendalian vibriosis pada budidaya kerapu. Disampaikan pada Seminar Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Kerapu 2006, BPPT, Serpong,31 Agustus 2006. Kamiso, H.N. 1996. Vaksinasi induk untuk meningkatkan kekebalan bibit lele dumbo (Clarias gariephunus) terhadap serangan Aeromonas hydrophyla. Bul. Ilmu Perikanan (7): 10-18. Lonnstrom, L. G., R. Rahkonen, T. Lunden, M. Pasternack, J. Koskela and A. Grondahl. 2001. Protection, immune response and side-effects in European whitefish (Coregonus larvaretus L.) vaccinated against vibriosis and furunculosis. . Journal aquaculture 200 (2001) 271 – 284. Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Ringkasan Disertasi. Program Studi Ilmu-ilmu Pertanian Kekhususan Perlindungan Tanaman. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang. Qian, R-H., Z-H. Xiao, C-W. Zhang, W-Y. Chu, L-S. Wang, H-H. Zhou, Y-W. Wei and L. Yu. 2008. A conserved outer membrane protein as an effective vaccine candidate from Vibrio alginolitycus. . Journal aquaculture 378 (2008) 5 – 9. Roitt, I., J. Brostoff and D. Male. 2001. Immunology. Sixth Edition. Mosby-London. 2001 Sakai, M., Atsuta, S., and M. Kobayashi. 1995c. Efficacies of combined vaccine for Vibrio anguillarium and Streptococcus sp. Fisheries Sci, 61. Sakai, M. 1998. Current research status of fish immunostimulants. Journal Aquaculture 172 (1999) 63 – 92. Zhou, Y-C., H. Huang, J. Wang, B. Zhang and Y-Q. Su. 2002. Vaccination of the grouper, Epinephalus awoara, against vibriosis using the ultrasonic technique. Journal aquaculture 203 (2002) 229 – 238.