Penemuan Tanda Salib di Lingkungan Yahudi dan Yunani Tanda Salib….untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1:23f), namun tanda itu ditemukan dalam dua lingkungan itu. Bagaimana memahami hal ini? Mari ikuti penjelasan Josef kardinal Ratzinger. (penerj.) Pada tahun 1873, di Gunung Olif, ditemukan pahatan tanda salib pada makam Yunani dan Yahudi yang diperkirakan dari era Yesus. Tak dapat dielakkan bahwa tanda itu berhubungan dengan orang-orang kristen paling awal. Sekitar tahun 1945, penemuan dari abad I M makin meningkat. Penemuan-penemuan itu menegaskan pandangan bahwa mereka itu jemaat kristen dari abad I. Sebaliknya, hal ini harus diakui bahwa tanda-tanda salib muncul dari lingkungan Yahudi. Bagaimana kita mencerna hal itu secara logis? Kuncinya ditemukan dalam penglihatan nabi Yehezkiel, Tuhan berkata kepada utusanNya yang berjubah linen, yang membawa batu bertulis … "Berjalanlah dari tengahtengah kota, yaitu Yerusalem dan tulislah huruf T pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah karena segala perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sana."(9:df). Dalam malapetaka mengerikan yang segera datang, mereka yang tidak berkomplot dengan dunia dosa, toh, menderita karena dosa demi namaTuhan, dimeteraikan dengan huruf akhir abjad Ibrani, Taw, yang dituliskan dalam bentuk salib (T atau + atau X). Tanda Taw, yang senyata memiliki bentuk salib, memeteraikan kepemilikan TUHAN. Sesuai dengan kerinduan manusia yang menderita demi TUHAN dan menempatkannya di bawah perlindungan khusus dari Allah. E. Dinkler menunjukkan bahwa tanda kultis- di tangan maupun di dahi- dipraktekkan dalam PL dan juga dikenal baik pada masa PB. Wahyu 7:1-8 yang mengangkat ide dasar dari penglihatan Yehezkiel. Penemuan di makam dalam kaitan dengan teks-teks itu, membuktikan bahwa dalam kurun waktu tertentu, dalam Yudaisme tanda Taw merupakan tanda suci yang telah tersebar - tanda pengakuan iman pada Allah Israel dan sekaligus tanda pengharapan dalam perlindungannya. Dinkler meringkas penemuannya: bahwa pada Taw yang berbentuk salib, “sebuah pengakuan iman secara menyeluruh diringkas dalam satu tanda; pada banyak kenyataannya mereka yakin dalam tanda itu dan berharap atasnya”, lanjutnya, “dibaca pada gambar yang kelihatan, tetapi gambar itu lebih daripada sekedar refleksi, senyatanya tanda ini memiliki kekuatan yang menyelamatkan bagi orang yang berharap padanya” (hal. 24). Sejauh kami mengerti, orang kristen tidak pertama-tama mengambil simbol orang Yahudi soal salib, tetapi mereka menemukan tanda Salib dari dalam iman mereka dan memahami di dalamnya suatu rangkuman dari seluruh imannya. Namun, penglihatan Yehezkiel tentang keselamatan Taw, dengan seluruh tradisinya, tidak berkaitan dengan orang kristiani yang kemudian, atas Pribadi yang akan datang. Apakah arti tanda misteri ini “tidak berselubungkan” sekarang? (bdk. 2 Kor. 3:18). Bukankah sekarang menjadi jelas bagi mereka yang ditandai dan sumber kekuatannya? Mampukah mereka mengerti bahwa di dalam semuanya ini ada nubuat dari salib Jesus Kristus, yang telah mengubah Taw ke dalam kekuatan yang menebus? Para Bapa Gereja yang hidup dalam budaya Yunani terpengaruh langsung oleh penemuan lain. Dalam tulisan Plato, mereka menemukan ide yang lebih hebat tentang tanda salib yang termaktub pada kosmos. (bdk. Timaeus 34ab dan 36bc). Plato mengambil bentuk tradisi Phytagoras, yang memiliki hubungan dengan tradisi Timur Kuno. Pertama, ada pernyataan astronomis tentang dua gerakan besar dari bintang-bintang yang sangat diakrabi dalam astronomi kuno: ecliptic dan garis orbit bumi. Keduanya berpotongan dan membentuk huruf Chi, abjad Yunani yang dituliskan dalam bentuk salib (seperti X). Tanda salib ini dipahatkan diatas seluruh kosmos. Kemudian Plato mengikuti tradisi yang lebih kuno, berkaitan dengan tanda Tuhan; Demiurge (dewa pesolek) yang merentangkan jiwa dunia ke seluruh alam semesta. St. Yustinus Martir (165), filsuf pertama kelahiran Palestina, satu di antara para Bapa Gereja yang secara tak sengaja bertemu dengan teks Platonis ini, tanpa ragu menghubungkannya dengan doktrin Trinitaris dan tindakannya dalam sejarah penebusan dalam pribadi Yesus Kristus. Ia memahami gagasan Demiurge dan roh dunia sebagai pertanda dari misteri Allah dan Bapa - tanda yang diperlukan untuk membenarkan pengertian Plato akan roh jiwa dunia, yang baginya merujuk pada kedatangan Logos, Anak Allah. Lalu dia dapat mengatakan bahwa bentuk dari salib merupakan tanda teragung bagi keallahan Logos; tanpa tanda ini tak ada ciptaan (bdk. I Apol. 55). Salib dari Golgota merupakan antisipasi susunan jagad raya sendiri. Piranti penyiksaan - tempat Tuhan wafat- ditorehkan ke dalam susunan semesta. Kosmos bicara kepada kita dari salib, dan salib memberikan jawaban pada kita tentang teka-teki kosmos. Inilah kunci sesungguhnya untuk membaca realitas. Sejarah dan Kosmos milik bersama-sama. Ketika kita membuka mata, kita dapat membaca pesan Kristus dalam bahasa semesta, dan sebaliknya. Tuhan menjamin kita akan mengerti pesan penciptaan. Lebih lanjut Yustinus menyatakan, “nubuat salib” ini dalam Plato, yang menampakkan hubungan antara kosmos dan sejarah, merupakan salah satu ide paling dasar dari Teologi Patristika (Bapa Gereja). Harusnya hal ini telah menjadi satu penemuan besar para bapa guna mendapati bahwa para filsuf, yang merangkum dan menafsirkan tradisi paling kuno, telah bicara dari salib sebagai segel yang tercetak dalam semesta. St. Ireneus dari Lyons (200), pendiri sejati teologi sistematis dalam corak yang paling katolik, dalam Demonstration of the Apostolic Preaching, mengatakan bahwa yang disalibkan adalah benar-benar Sabda Tuhan Yang Mahakuasa, yang masuk dalam semesta dengan kehadiran yang tak kelihatan. Karenanya, Dia merengkuh seluruh dunia, mencakup keluasan dan panjangnya, ketinggian dan kedalaman, karena lewat Sabda dari Allah segalanya dibimbing dalam keselarasan. Dan Anak Allah disalibkan di dalam mereka, karena dalam bentuk salib, dia distempelkan di atas segalanya (I,3). Teks dari Bapa Gereja mengandung kutipan biblis yang sangat penting bagi teologi biblis dari salib. Surat Paulus pada jemaat Efesus mendesak kita untuk didasarkan pada kasih, sehingga bersama-sama dengan para santo-santa, kita “semoga memiliki kekuatan untuk mengerti bersama seluruh para kudus, memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya dan mengetahui cinta Kristus yang melampaui segala pengetahuan”(Ef 3:I8f). Santo Agustinus memiliki tafsiran yang mengagumkan atas paragraf penting Paulus ini. Agustinus memahaminya sebagai kehadiran dimensi-dimensi kehidupan manusia dan mengacu pada bentuk Kristus yang disalibkan, yang lengan-Nya memeluk dunia, dan yang jalan-Nya mencapai ke dalam jurang bawah tanah dan naik ke tempat tertinggi tempat Tuhan berada (bdk. De doctrina christiana 2,42,62; Corpus Christianorum 32, 75f). Hugo Rahner menggabungkan teks-teks para Bapa yang paling bagus berkaitan pada misteri kosmis Salib. Ada dua teks lagi; Lactantius (d.c.325) menulis: “Dalam kisah sengsara-Nya, Tuhan merentangkan kedua tangannya dan memeluk bola dunia sebagai suatu tanda bahwa masa depan semua bangsa, dari terbitnya matahari hingga terbenamnya, akan dikumpulkan di bawah sayap-Nya” (81). Seorang penulis Yunani abad IV, mempertentangkan antara Salib dengan penyembahan pada matahari. Menurutnya: Matahari telah ditaklukkan oleh Salib. “Lihatlah, manusia, yang menciptakan matahari dalam surga dapat memberikan perintah, sekarang disoroti dengan terang sinar dari Salib dan dalam baptisan dinyalakan.” Kemudian penulis itu mengutip kata-kata St. Ignatius dari Antiokhia (d.c.110) yang melukiskan Salib sebagai jalan menuju surga. Dan, lanjutnya, “O sungguh agung kebijaksanaan ini! O salib, Engkaulah jalan ke surga! Salib yang telah ditancapkan ke bumi- dan Lihatlah, berhala dikalahkan. Tuhan menggunakan kayu untuk mencapai kemenangan.” (87f) . Dalam wacana eskatologisnya, Yesus menyatakan bahwa pada akhir zaman “tanda Anak Manusia” akan nampak dalam surga (Mat. 24:30). Mata iman sekarang dimampukan untuk mengenali tanda yang telah dipahatkan di kosmos dan iman akan Sang Penebus yang tersalib telah ditegaskan oleh Kosmos sejak permulaan. Pada waktu yang sama, orang-orang Kristen menyadari bahwa jejak-jejak sejarah keagamaan dipertemukan dalam Kristus, yang pengharapannya diungkapkan dalam berbagai gambar yang berbeda tapi tertuju padanya. (Diterjemahkan oleh P. Maryata dari The Spirit of The Liturgy, hal 178-183)