Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN ANAK JAWA TIMUR DI KOTA SURABAYA DALAM MELAKUKAN PENDAMPINGAN TERHADAP ANAK DARI KEKERASAN Ainur Rohma 12040254081 (PPKn, FISH, UNESA) [email protected] Oksiana Jatiningsih 0001106703 (PPKn, FISH, UNESA) [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan secara kuantitatif peran pendampingan yang telah dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur di Kota Surabaya terhadap anak dari kekerasan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data berupa angket, wawancara dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengetahui data peran pendampingan yang telah dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap anak dari kekerasan apakah sudah berperan dengan baik atau belum. Wawancara dan dokumentasi akan mempertajam analisis hasil angket. Sampel penelitian ini seluruh pengurus LPA Jatim berjumlah 16 responden. Hasil penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa peran pendampingan terhadap anak dari kekerasan yang telah dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur menunjukkan penilaian baik yang dibuktikan dengan perolehan rata-rata skor angket 118,75. Kegiatan pendampingan meliputi pencegahan dan pendampingan anak korban kekerasan. Pencegahan kekerasan dilakukan dengan sosialisasi langsung, tidak langsung, dan adanya fasilitas pengaduan sebagai pencegahan lanjutan. Pendampingan terhadap anak korban kekerasan melalui pendekatan ke anak, keluarga dan masyarakat sekitar. Kata Kunci: LPA Jatim, Kekerasan Anak. Abstract The purpose of this study is to describe quantitatively the role of assistance carried out by a child protection east java in the city surabaya against children from violence. Research method used is descriptive quantitative. Data collection techniques is used questionnaires, interviews and documentation. The questionnaires Used to know the role of assistance carried out by a child protection east java against children from violence Is it already had a role with good or not yet. Interviews and documentation will focus an analysis of the results questionnaires. The sample are entire officials institutions child protection east java were 16 respondents.Quantitative research result shows that the role of assistance against children from violence that has been done by a child protection east java show good judgment is evidenced by the acquisition the average a score chief 118,75. Assistance activity is covering the prevention and assistance of a child after being a victim of violence. Prevention violence done with the socialization directly, indirect, and the availaibility of complaints as a precaution advanced. Assistance against children a victim of violence with the approach to children, family and the surrounding society. Keywords: LPA of East Java, Child Abuse. PENDAHULUAN Kekerasan terhadap anak merupakan kondisi yang sudah lama terjadi di tengah masyarakat, meskipun hal ini tidak sesuai dengan hukum. Tapi praktek tersebut tetap terjadi bahkan hampir di semua lapisan masyarakat. Hal ini membuat kondisi anak paradoks. Artinya, secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa, tapi secara riil, situasi anak Indonesia masih terus memburuk (Huraerah, 2012). Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 (1), “anak ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Tindak kekerasan tidak sesuai dengan hukum Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2 bahwa bangsa Indonesia mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak asasi yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan. Selain itu, tidak sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyatakan, Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan “setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Menurut Richard J. Gelles (dalam Huraerah, 2012:44) yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah “perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional”. Kekerasan adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap fisik maupun psikis terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Kasus kekerasan anak telah menjamur di masyarakat, karena persepsi dan pengetahuan masyarakat yang minim tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap anak. Mantan Ketua Umum KPAI, Arist Merdeka Sirait menegaskan bahwa saat ini Indonesia darurat kekerasan terhadap anak (Kompas, 7 Mei 2014). Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesia tahun 2003 kasus kekerasan terdapat 481 kasus dan tahun 2004 meningkat menjadi 547 kasus, terdiri dari 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya (tempointeraktif.com, tanggal 28 desember 2004) dalam (Huraerah, 2012: 43). Data tahun 2011 sampai 2014 kasus kekerasan anak meningkat. Pada tahun 2011 terdapat 2.178 kasus. Tahun 2012 meningkat menjadi 3.512 kasus, tahun 2013 menjadi 4311 kasus dan tahun 2014 meningkat menjadi 5.066 kasus (http://www.kpai.go.id). Berikut adalah data pengaduan kasus kekerasan terhadap anak di LPA Jatim pada tahun 2013 sampai 2015. Tabel 1 Data Pengaduan Kasus Kekerasan Anak di LPA Jatim Tahun 2013-2015 Jumlah Kasus No Jenis Kekerasan Tahun Total 2013 2014 Kekerasan Seksual 16 27 Kekerasan Fisik 15 36 Kekerasan Psikis -3 K. Sosial 60 1 Jumlah Kekerasan 91 67 5 ABH 4 4 6 Hak Asuh Anak 29 -7 Anak Nakal 2 -8 Masalah Pendidikan 4 12 9 ADK 2 1 10 Napza --11 HIV -6 12 Perwalian -41 13 KTD 1 -133 131 Jumlah total Sumber: Data primer LPA Jatim 1 2 3 4 2015 14 6 5 37 62 4 --2 -1 -50 -119 Tabel 1 menunjukkan kekerasan terhadap anak di LPA Jatim mengalami penurunan dari tahun 2013 sampai 2015, meskipun pada tiap jenis kekerasan mengalami fluktuatif. Jumlah kekerasan dari ketiga tahun tersebut menempatkan kasus kekerasan sosial yang terdiri dari penelantaran dan eksploitasi menjadi urutan tertinggi yaitu 44,4%. Jumlah terendah yaitu pada kekerasan psikis sekitar 3,6%, sementara kasus kekerasan fisik dan seksual sekitar 26%. Pada tahun 2013 jumlah kekerasan sosial mencapai 66%, sedangkan tahun 2014 kekerasan terbanyak yaitu kekerasan fisik sekitar 53,7%. Jumlah kasus kekerasaan lebih banyak dibandingkan jumlah masalah anak lainnya. Jumlah tindak kekerasan semakin meningkat sedangkan jumlah pengaduan kasus ke LPA Jatim semakin menurun. Hasil wawancara dengan Pak Adi Kurniawan (23 Maret 2016), menyatakan bahwa hal itu terjadi karena beberapa faktor antara lain: fungsi LPA Jatim bukan layanan langsung pada anak yang menjadi korban, adanya lembaga lain yang berkompeten dalam melayani pengaduan masyarakat jika ada tindak kekerasan terhadap anak jadi LPA Jatim tidak perlu melakukan intervensi. Masyarakat dan lembaga layanan di tingkat Kabupaten/Kota terutama P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu pada Perempuan dan Anak) sudah mampu mendampingi korban dan pelaku, serta masyarakat sudah sadar dengan sosialisasi yang telah diadakan oleh LPA Jatim maupun lembaga lain. Pada tahun 2016 target penangan korban tindak kekerasan tahun 2016 dari data Dinas Sosial Jawa Timur sebesar 70/6,82% baik secara fisik maupun psikis. Target tersebut bisa tercapai jika ada partisipasi masyarakat. Organisasi masyarakat adalah salah satu agen yang menjembatani agar penanganan kasus anak bisa terselesaikan. Contoh kasus kekerasan anak yang terjadi di daerah Jawa Timur antara lain: di Kota Surabaya pada tanggal 18 Februari 2016, pengaduan kekerasan dilakukan oleh kakek dan nenek, mengadukan cucunya berinisial MF berumur 7 tahun yang menjadi korban kekerasan fisik oleh orang tua kandungnya. MF sering dicubit, dijewer dan dipukuli hingga memar-memar oleh orang tuangnya. Pada tanggal yang sama, ada pengaduan dari ayah kandung korban yang mendapatkan pelecehan seksual dari selingkuhan ibunya (Data Primer dari LPA JATIM). Tempat kekerasan bisa terjadi dimana saja, bahkan di lingkungan terdekat anak. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menjunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga (http://www.kpai.go.id). Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak kadangkadang menjadi tempat terjadinya kekerasan anak. 57 57 8 98 221 12 29 2 18 3 1 6 91 1 383 769 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 Tindak kekerasan akan berpengaruh terhadap kepribadian anak. Kepribadian adalah ciri atau sifat khas (karakteristik) dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (Sjarkawi, 2008:11). Pembentuk kepribadian anak adalah pengalaman masa kecil. Anak pada masa kecilnya sering mendapatkan perlakuan negatif dari lingkungan akan cenderung rendah diri dan sifat negatif lainnya serta akan membalas dendam ketika ia telah dewasa. Sesuai dengan data KPAI bahwa “78.3% anak pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya (http://www.kpai.go.id). Penelitian dari Nindya P. N dan Margaretha (2012), tentang hubungan kekerasan emosional dalam keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara tidak kekerasan dengan perilaku anak korban kekerasan. KDRT menjadi salah satu penyebab kenakalan remaja, meskipun faktor lain juga mempengaruhinya. Status anak dipandang lemah, sehingga perlu mendapat perlindungan dari orang dewasa. Dampak buruk dari kekerasan akan melekat pada anak yang menjadi korban. Anak akan mengalami trauma hingga frustasi jika hal ini tidak ditangani secara benar dapat menyebabkan korban bunuh diri. Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak tercantum dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak. Wewenang masyarakat tersebut tercantum dalam pasal 72 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan pada ayat (1) bahwa “masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasanya untuk berperan dalam perlindungan anak”. Masyarakat berperan dalam memberikan perlindungan terhadap anak secara perorangan maupun lembaga. Salah satu lembaga kemasyarakatan yang berkompeten dalam membantu menangani masalah kekerasan pada anak adalah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur. Lembaga ini ada sebagai wujud kepedulian terhadap dampak buruk dari kasus-kasus yang terjadi pada anak. Berdirinya LPA Jatim tahun 1998 yakni sebelum adanya UUPA tahun 2002, menunjukkan adanya inisiatif masyarakat untuk melakukan proteksi pada anak agar tidak terjadi pelanggaran hak seperti kekerasan pada anak. Adanya target dari Dinas Sosial Jawa Timur agar tercapai target penanganan kasus kekerasan maka dibutuhkan kerjasama dengan Organisasi Masyarakat. Salah satu LPA Jatim adalah melakukan pendampingan bagi anak sebelum menjadi korban melalui sosialisasi dan edukasi pada masyarakat. Jumlah kasus kekerasan yang pernah ditangani LPA Jatim tahun 2013 sampai 2015 mencapai 221 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa LPA Jatim telah melaksanakan fungsinya. LPA Jatim secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dengan berbagai cara, sementara ini cara yang telah dilakukan yakni sosialisasi langsung ke sekolah dan masyarakat jika diundang menjadi narasumber. Dari latar belakang masalah tersebut, maka akan diadakan kajian lebih lanjut tentang gambaran pelaksanaan pendampingan yang telah dilakukan oleh LPA Jatim di Kota Surabaya pada anak sebelum dan setelah menjadi korban kekerasan. Batasan masalah dalam penelitian ini yakni tidak membahas tentang pendampingan anak korban kekerasan secara hukum (advokasi). Rumusan masalah yakni bagaimanakah deskripsi kualitas pelaksanaan peran pendampingan yang telah dilakukan oleh LPA Jatim di Kota Surabaya terhadap anak dari tindak kekerasan? Tujuan penelitian ini yakni: mendeskripsikan secara kuantitatif kualitas pelaksanaan peran pendampingan yang telah dilakukan oleh LPA Jatim di Kota Surabaya terhadap anak dari tindak kekerasan. Manfaat yang dapat diperoleh. Secara teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian sejenis tentang perlindungan anak dari kekerasan. Secara praktis: diharapkan sebagai bahan evaluasi dalam rangka meningkatkan peranannya dalam melakukan kegiatan pencegahan kekerasan dan pendampingan bagi anak yang menjadi korban tindak kekerasan untuk kedepannya oleh LPA Jatim. Asumsi Dasar penelitian ini yakni keberhasilan LPA Jatim dalam menjalankan perannya akan berdampak pada pengurangan jumlah kekerasan pada anak. Keberhasilan LPA Jatim dalam menjalankan perannya dilakukan oleh faktor yang lain. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif, yakni mendeskripsikan secara kuantitatif pelaksanaan pendampingan yang telah dilakukan oleh LPA Jatim dalam pencegahan dan pendampingan anak korban kekerasan. Data diperoleh dari angket tertutup dan terbuka dengan indikator-indikator yang telah ditentukan. Untuk mempertajam analisis data, disajikan juga data yang berbentuk kualitatif yang diperoleh dari wawancara dan dokumentasi. Lokasi penelitian berada di Kantor LPA Jatim di Jl. Bendul Merisi No. 2 Surabaya. Populasi dalam penelitian ini yakni seluruh pengurus LPA Jatim dengan jumlah 16 orang. Jumlah populasi dalam penelitian <100 maka sampel adalah semua populasi dalam penelitian yakni seluruh pengurus LPA Jatim yang berjumlah 16 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dengan sub variabel pencegahan kekerasan dan sub variabel pendampingan pada anak korban kekerasan. Angket disusun dengan Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan menggunakan skala likert dengan pedoman penskoran selalu (4), sering (3), kadang-kadang (2) dan tidak pernah (1). Kriteria penilaian dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Standar Deviasi (SD) Data Tunggal, semua skornya berfrekuensi satu (Sudijono, 2010:158) dengan rumus sebagai berikut: SD = Indonesia dan Komnas Perlindungan Anak sebagai LPA tingkat Nasional. Berdirinya LPA dimaksudkan untuk menyebarluaskan pengertian dan kesadaran hak-hak anak, sekaligus mengadvokasikan kepada institusi pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga untuk peduli terhadap hak-hak anak. Mengiliminasi praktek kekerasan, diskriminasi, dan penelantaran anak. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur berdiri pada tanggal 18 Desember 1998. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur yang beralamat di Jl. Bendul Merisi 2 Surabaya. Telp/Fax: 031-8483730 Email: [email protected]. Visi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim sesuai dengan AD/ART adalah “terwujudnya tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mampu melindungi dan memenuhi hakhak anak”. Misi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim antara lain: 1) Meningkatkan kesadaran semua pihak terhadap hak-hak anak dan pelaksanaannya. 2) Melakukan monitoring implementasi hak-hak anak sesuai konvensi hak anak dan Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3) Mengembangkan kerjasama jaringan yang kuat dari semua komponen masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap anak. 4) Menyediakan akses layanan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak anak bagi masyarakat dan melakukan referal/rujukan kepada jaringan. Sifat LPA Jatim adalah organisasi nirlaba, independen, non partisan, transparan dan memegang teguh akuntabilitas publik, dan menjunjung tinggi keadilan, kebenaran dan demokratis. Tujuan dari LPA Jatim adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh anak Jawa Timur melalui perlindungan dan penegakan hakhak anak. Kegiatan utama LPA Jatim dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Kegiatan sosialisasi penyebarluasan hak-hak anak sesuai KHA, UUPA, dan peraturan perundangan yang terkait dengan anak lainnya. Peningkatan kinerja LPA Jatim dilakukan pengembangan kapasitas anggota jaringan. Pendampingan anak korban kekerasan yakni kegiatan penguatan peran keluarga terhadap Perlindungan Anak, memonitor berbagai bentuk kekerasan (child abuse) dan eksploitasi anak, melakukan rujukan atas kasus-kasus anak, melakukan kajian permasalahan anak, melakukan advokasi hak-hak anak. Kepengurusan LPA Jatim bersifat volunteer, dipilih melalui Forum Daerah (Forda, dahulu disebut Sidang Majelis) untuk masa jabatan selama 4 tahun. Jabatan ketua maksimal dipegang dua kali oleh orang yang sama. Susunan pengurus inti atau pengurus harian LPA Jatim meliputi: Ketua, Sekretaris, Bendahara. Struktur organisasi LPA Jatim meliputi divisi: divisi penelitian dan pengembangan informasi, divisi penguatan jaringan, divisi advokasi hak anak, divisi promosi hak anak, dan √ ∑ fx2 N Tabel 2 Kriteria Penilaian Hasil Angket Keseluruhan Peran Pendampingan LPA Jatim terhadap Anak dari Kekerasan No 1 2 3 Skor > 135 102 – 134 < 102 Kriteria Penilaian Sangat Baik Baik Kurang Baik Pedoman wawancara yang dikembangkan meliputi kegiatan sosialisasi hak-hak anak, pihak yang turut serta dalam pencegahan dan pendampingan anak korban kekerasan serta kendala dan solusi yang pernah dialami. Informan diperoleh melalui rekomendasi dari LPA Jatim yakni Pak Priyono Adi N, Adi Kurniawan, dan Humidatun Nisa. Pemilihan ini didasarkan pada pengetahuan dan wawasan informan tetang pelaksanaan peran pendmapingan LPA Jatim. Dokumentasi yang dilakukan meliputi data kasus kekerasan pada anak tahun 2013-2015, profil LPA Jatim, pelaksanaan sosialisasi dan materi sosialisasi yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak. Teknik analisis data menggunakan deskriptif prosentase. P= x 100% Keterangan: P = hasil akhir Prosentase n = jumlah nilai yang diperoleh dari hasil angket N = jumlah seluruh nilai HASIL DAN PEMBAHASAN Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak/ Convention on the Right of the Child (KHA PBB/CRC) sejak tahun 1990 dengan Keppres RI Nomor 36 Tahun 1990, setahun setelah pengesahan KHA oleh Sidang Umum PBB. Namun perhatian terhadap hak-hak anak dan perlindungannya belum banyak mendapat perhatian luas, karena perlu sosialisasi dan advokasi untuk memahami, menghormati dan memenuhi hak-hak anak tersebut. UNICEF bekerjasama dengan Departemen Sosial kala itu membentuk Pokja untuk mendirikan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di berbagai Provinsi di 771 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 divisi layanan anak, dan dewan konsultatif, dan dewan konsultatif. Tabel 3 Penilaian Angket Keseluruhan tentang Pelaksanaan Peran Pendampingan LPA Jatim terhadap Anak dari Kekerasan No Nama Responden Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Sinung D. Kristanto Winny Isnaini Wiwit Sri Arianti Sutiah Isa Anshori Dian Islami Priyono Adi N. Khosiin Koco W.B Sri Adiningsih Edward Dewaruci Erna Wuryanti Agnes Savitri Agni Budiyati Aries Soraya Rika S. Triyoga Erma Susanti Jumlah Rata-rata 130 130 121 120 85 106 126 131 141 117 107 146 111 104 134 91 1900 118,75 Kriteria Penilaian Baik Baik Baik Baik Kurang Baik Baik Baik Baik Sangat Baik Baik Baik Sangat Baik Baik Baik Baik Kurang baik (Baik) Berdasarkan tabel 3 penilaian pelaksanaan peran pendampingan LPA Jatim terhadap anak dari tindak kekerasan termasuk dalam kriteria “baik” di peroleh dari skor rata-rata 118,75. Kriteria penilaian “sangat baik” diperoleh karena memperoleh skor melebihi dari 135, penilaian baik paling banyak diperoleh oleh responden karena mempunyai skor antara 102-134. Sedangkan penilaian “kurang baik” karena skor yang diperoleh dari angket kurang dari 102. Penilaian kurang baik terjadi karena kedua responden tersebut menilai bahwa LPA Jatim tidak pernah dilakukan kegiatan lain pada sosialisasi langsung selain seminar atau workshop. Pengaduan tidak pernah dilakukan oleh guru atau masyarakat. Tidak ada ekonomi bagi keluarga korban kekerasan yang tidak mampu untuk pemenuhan hak dasar anak misalnya makanan. Anak yang menjadi pelaku kekerasan tidak pernah mendapatkan pendampingan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan anak. Penilaian responden lebih rinci dapat diketahui pada tabel 4 Tabel 4 Kualitas Peran Pendampingan oleh LPA Jatim terhadap Anak dari Kekerasan Kriteria Frekuensi Prosentase Sangat Baik 2 12,5% Baik 12 75% Kurang Baik 2 12,5% Jumlah 16 100% Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat dua responden yang menilai peran LPA Jatim sangat baik, 12 responden menilai baik dan dua responden menilai masih kurang baik. berikut grafik prosentase tentang kualitas peran LPA Jatim dalam pendampingan terhadap anak dari kekerasan. Grafik 4.1 Prosentase Kualitas Pelaksanaan Peran Pendampingan LPA Jatim terhadap Anak dari Kekerasan Berdasarkan grafik 1 menunjukkan prosentase penilaian terhadap peran LPA Jatim pendampingan terhadap anak dari tindak kekerasan dari 16 responden. Data menunjukkan ada jumlah prosentase yang sama antara kriteria penilaian “sangat baik” dan “kurang baik” yakni 12,5%, sedangkan 75% responden menyatakan peran pendampingan yang telah dilakukan LPA Jatim telah baik. Peran pendampingan LPA Jatim terdiri dari pencegahan kekerasan dan pendampingan terhadap anak korban kekerasan akan dipaparkan secara rinci sebagai berikut. Peran Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam Pencegahan Kekerasan LPA Jatim mencegah kekerasan anak melalui sosialisasi/penyebarluasan informasi pada masyarakat terkait hak-hak anak untuk menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran hak anak. Berikut adalah hasil angket tentang aktifitas LPA Jatim dalam melakukan pencegahan terhadap anak dari kekerasan Tabel 5 Peran Pencegahan Kekerasan terhadap Anak oleh LPA Jatim No Item 1 2 3 4 Pernyataan Pelaksanaan sosialisasi hak-hak anak dilakukan seluruh daerah di Jawa Timur. Sosialisasi hak-hak anak dilaksanakan dengan melibatkan atau mengundang para stakeholders (pemangku kepentingan anak/ tokoh masyarakat) di Jawa Timur. Sosialisasi hak-hak anak dilakukan dilakukan langsung pada anak di sekolah-sekolah Sosialisasi hak-hak anak dilakukan secara langsung pada masyarakat. Skor 54 46 44 36 Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Kegiatan sosialisasi dilakukan dengan mengadakan seminar/ workshop. Materi sosialisasi pada masyarakat tentang hak-hak anak meliputi penyebab, dampak, dan cara pengasuhan anak yang baik, dan sebagainya Pengurus LPA Jatim menjadi narasumber saat kegiatan sosialisasi LPA Jatim memantau kasus kekerasan anak yang ada di masyarakat untuk menentukan topik yang tepat dalam sosialisasi LPA Jatim melakukan evaluasi setelah diadakannya kegiatan sosialisasi. Kegiatan sosialisasi hak-hak anak, diisi pula dengan kegiatan lain seperti pameran, diskusi, dan kegiatan lainnya LPA Jatim menerima pengaduan kasus kekerasan anak dan membantu menyelesaikan kasus tersebut Pengaduan kasus kekerasan dilakukan oleh keluarga anak yang menjadi korban Pengaduan kekerasan anak dilakukan oleh guru atau masyarakat Pengaduan kasus kekerasan dilakukan bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (media elektronik) LPA Jatim melakukan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi anggotanya Pelatihan diikuti oleh semua pengurus LPA Jatim Materi sosialisasi hak-hak anak disampaikan menggunakan Power point (PPT) Media sosialisasi LPA Jatim melalui pamflet, poster, dan media elektronik Sosialisasi yang dilakukan secara berkesinambungan secara langsung maupun tidak langsung melalui media massa Dukungan dalam pelaksanaan sosialisasi berasal dari Lembaga Pendidikan, Lembaga Keagamaan, Kepolisian, Perangkat Desa, PKK, dan sebagainya Kegiatan sosialisasi mengundang narasumber dari instansi/ lembaga lain yang berkompeten seperti Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, Pakar Anak atau LSM lain LPA Jatim mendapatkan dana dari pihak-pihak jejaring yang lain Sumber dana untuk melakukan kegiatan LPA Jatim diperoleh dari APBD media elektronik, Materi sosialisasi pada masyarakat tentang hak-hak anak meliputi penyebab, dampak, dan cara pengasuhan anak yang baik, dan sebagainya. Kegiatan sosialisasi mengundang narasumber dari instansi/ lembaga lain yang berkompeten seperti Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, Pakar Anak atau LSM yang lain. Pelaksanaan sosialisasi hak-hak anak dilakukan seluruh daerah di Jawa Timur. LPA Jatim menerima pengaduan kasus kekerasan anak dan membantu menyelesaikan kasus kekerasan. Ada beberapa faktor yang menjadi kelemahan dari aktifitas pencegahan yang dilakukan oleh LPA Jatim. Faktor-faktor tersebut antara lain, pertama sumber dana LPA Jatim jarang diperoleh dari APBD. Anggaran dana sosialisasi di LPA Jatim bersifat tidak tetap. Dana di peroleh dari pihak-pihak jejaring LPA Jatim. Tapi anggaran dana tersebut tidak rutin atau tidak tetap untuk kegiatan sosialisasi. Dana yang diperoleh dari jejaring seperti UNICEF, ILO, Plan Indonesia, Kementerian Sosial, Ausaids dan sumber yang lain bersifat tidak tetap. Untuk mendapatkan dana sosialisasi LPA Jatim harus membuat proposal kegiatan dan mengajukan ke pemberi dana dan hal tersebut tidak mesti di terima. Misalnya sekarang LPA merancang ingin melakukan pencegahan “perokok anak” tapi anggaran belum tersedia, jadi rencana tersebut belum terlaksana. Anggaran dana masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi oleh LPA Jatim. Dana diperoleh jarang di peroleh dari APBD. Maka dari itu LPA Jatim menanggulangi kendala dana dan jarak LPA Jatim dengan daerah seluruh Jawa Timur dengan berjejaring dengan Pekerja Sosial atau stakeholders lokal yang ada di daerah masing-masing untuk menangani tindak kekerasan terhadap anak misalnya TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) yang disetiap kecamatan ada. Kedua, pengaduan jarang dilakukan oleh guru dan masyarakat. Penyebabnya menurut penuturan Pak Priyono sebagai berikut. “Pengaduan kekerasan jarang dilakukan oleh selain keluarga karena anak takut menceritakan kekerasan yang dialami pada orang lain, kekerasan terhadap anak adalah masalah keluarga dan orang lain tidak harus mencampurinya. kekerasan terutama kekerasan seksual merupakan aib bagi keluarga jika tersebar di masyarakat, keluarga menjadi malu, dan anak menjadi tercemar dan dikucilkan dalam pergaulan karena pernah menjadi korban kekerasan” (W/I.1/Surabaya, 28 Maret 2016). 50 58 52 42 46 33 53 51 30 51 49 49 51 60 40 43 55 41 29 Berdasarkan tabel 5 ada kelebihan dan kelemahan dalam aktifitas pencegahan kekerasan. Kelebihan pencegahan yang dilakukan oleh LPA Jatim antara lain media sosialisasi LPA Jatim melalui pamflet, poster, dan Penyebab pengaduan kekerasan terhadap anak sedikit dilakukan oleh guru atau masyarakat karena takut 773 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 menceritakan kekerasan yang dialami pada orang lain. Selain itu, masih kurangnya kesadaran masyarakat bahwa masalah anak adalah masalah bersama bukan hanya masalah keluarga. menjadi korban tindak kekerasan merupakan aib keluarga, keluarga menjadi malu, dan membuat anak menjadi terisolasi dari pergaulan. Ketiga, kegiatan sosialisasi langsung dilakukan dengan sosialisasi langsung melalui kegiatan seminar atau workshop, tapi jarang dilakukan kegiatan lain seperti pameran. Diskusi dilakukan bersamaan dengan kegiatan seminar dan workshop. Gambar 1 Kegiatan Lokakarya Penanggulangan Kekerasan Anak di Sekolah bagi Kepala SD/MI Se-Surabaya Dokumentasi gambar 1 tentang sosialisasi hak-hak dilakukan LPA Jatim melalui lokakarya penanggulangan kekerasan yang dilakukkan kepada Kepala SD/MI SeSurabaya. Sosialisasi ini dilaksanakan dengan tujuan agar Kepala Sekolah dapat melakukan pencegahan kekerasan di sekolah yang dipimpinnya. Keempat, Sosialisasi langsung jarang dilakukan pada masyarakat, tapi lebih diutamakan pada stakeholder (pemangku kepentingan anak). Pelaksanaan sosialisasi jarang dilakukan pada masyarakat secara langsung seperti penuturan dari Pak Adi Kurniawan bahwa: “Sosialisasi ke masyarakat kita lakukan dengan tidak langsung melalui pemangku kepentingannya dalam masyarakat misalnya tokoh masyarakat, kelurahan. Kami jarang sekali langsung bersentuhan dengan masyarakat, kecuali kalau ada permasalahan kasus yang sekiranya masyarakat itu terlibat. Misalnya kasus Salim Kancil yang ada di Lumajang yang dianiaya karena permasalahan pertambangan pasir. Akibat kasus ini banyak warga dan anakanak yang menyaksikan sehingga anak-anak termasuk anak kandungnya Salim Kancil mengalami trauma. LPA Jatim dan jejaring terjun melakukan secara massif pada keluarga korban dan pelaku, masyarakat sekitar dan anakanak sekolah baik SD maupun SMP disekitar yang terdampak, maka kita lakukan sosialisasi. Sosialisasi dilakukan sampai ke trauma hilling yaitu dengan psikolog yang sudah terlatih dan jejaring” (W/I.2/Surabaya, 23 Maret 2016). Sosialisasi dilakukan melalui pemangku kepentingannya dalam masyarakat misalnya tokoh masyarakat. LPA Jatim jarang melakukan sosialisasi pada masyarakat secara langsung. Sosialisasi secara langsung dilakukan jika ada permasalahan kasus yang sekiranya masyarakat itu terlibat. Misalnya kasus Salim Kancil yang ada di Lumajang. Akibat kasus ini banyak warga dan anak-anak yang menyaksikan sehingga anak-anak termasuk anak kandungnya Salim Kancil mengalami trauma. Maka, LPA Jatim bersama jejaring terjun langsung ke lokasi pada keluarga korban dan pelaku, masyarakat sekitar dan anak-anak sekolah baik SD maupun SMP disekitar yang terdampak. Pada anak dan warga terdampak dilakukan trauma hilling dan pada masyarakat yang terdampak secara tidak langsung dilakukan sosialisasi perlindungan anak. Kelima, Penyampaian sosialisasi melalui media massa jarang dilakukan. Hal tersebut dilakukan hanya ketika ada undangan misalnya dari radio atau media massa yang lain untuk jadi narasumber. Keenam, LPA Jatim jarang melakukan monitoring langsung kasus kekerasan anak yang ada di masyarakat untuk menentukan topik yang tepat dalam sosialisasi. Informasi kasus kekerasan anak lebih banyak diperoleh dari stakeholders lokal daerah. Hasil penuturan dari Pak Adi Kurniawan (23 Maret 2016), menyatakan, “informasi kasus yang marak di daerah sasaran sosialisasi berasal dari stakeholders lokal tujuan sosialisasi tersebut misalnya dari kepala desa, atau kepala sekolah tujuan sosialisasi”. Jadi, stakeholders lokal yang memberi informasi tentang isu lokal daerah ayng akan diangkat menjadi topik sosialisasi. Ruang lingkup pelaksanaan sosialisasi hak-hak anak dilakukan pada daerah di seluruh Jawa Timur. Beberapa daerah yang pernah dilakukan sosialisasi yakni daerah Pacar Keling Surabaya, Sampang, Bojonegoro, Bondowoso, dan sebagainya. Sosialisasi hak-hak anak di utamakan pada daerah yang potensi atau beresiko tinggi terjadi tindak kekerasan anak, daerah miskin, dan kurang informasi. Strategi pencegahan oleh LPA Jatim dilakukan secara langsung, tidak langsung, dan pencegahan lanjutan melalui fasilitas pengaduan dan konsultasi. Strategi pertama, Sosialisasi langsung dilakukan dengan seminar dan wokshop. Sasaran sosialisasi dilakukan pada stakeholders, anak dan masyarakat secara langsung. Sosialisasi lebih banyak dilakukan pada stakeholders. Para stakeholders (pemangku kepentingan anak atau tokoh masyarakat) di Jawa Timur yang sering dilibatkan dalam sosialisasi hak-hak anak misalnya tokoh masyarakat, tokoh agama, Kepala Sekolah, atau guru BK. Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan Hal ini diperkuat oleh penuturan Pak Priyono yang menyatakan, ini diperkuat oleh penuturan dari Pak Priyono menyatakan, “Selain sosialisasi secara langsung kepada stakeholders atau melalui seminar, jadi kita juga menyebar pamflet, poster dan juga melalui web (tapi untuk sekarang tidak aktif). Jadi, seperti itu masyarakat bisa saja melapor tidak hanya ke LPA Jatim bisa ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Surabaya Children Crisis Centre (SCCC), Telepon Sahabat Anak (TESA), dan LPA Jatim salah satunya. Jadi LPA yang menyebarkan informasi tapi masyarakat bisa melaporkan masalah anak kemana saja bisa ke polisi atau lembaga yang lain” (W/I.1/Surabaya, 28 Maret 2016). “Sasarannya pada kelompok masyarakat yang strategis (stakeholders), yang diharapkan nanti menularkan pada konstituen. Misalnya kepada pejabat yang berkaitan dengan anak, kemudian kepala sekolah, guru BP, tokoh masyarakat, tokoh agama. Pemilihan Lokasi sosialisasi, kalau di daerah Surabaya jadi mereka yang kita undang datang untuk mendatangi lokasi sosialisasi yang kita pilih, misalnya di Hotel di Surabaya atau di Batu Malang. Kita jarang sosialisasi langsung ke anak-anak atau masyarakat secara langsung. Tapi kadang-kadang kita mengundang gurunya (guru BP) untuk datang kesini atau kepala sekolah. Pernah juga ke anaknya, tergantung kita juga pernah tidak di undang tapi kita datangi juga pernah. Jadi memang, jumlah orang yang ada di LPA Jatim tidak banyak kalau Se-Jatim dibagi semuanya kita hanya 16 orang tidak mungkin, transportnya bagaimana” (W/I.1/Surabaya, 28 Maret 2016). Penyebaran informasi hak-hak anak baik langsung maupun tidak langsung oleh LPA Jatim untuk menyadarkan masyarakat tentang hak-hak anak. Tapi meskipun demikian, masyarakat tidak harus melapor ke LPA Jatim jika di lingkungannya ada tindak kekerasan, bisa melalui polisi atau jaringan LPA jatim seperti Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Surabaya Children Crisis Centre (SCCC), Telepon Sahabat Anak (TESA 129), dan lembaga lainnya. Berikut adalah salah satu media yang di sebarkan oleh LPA Jatim. Alasan sasaran sosialisasi dilakukan pada kelompok masyarakat yang strategis (stakeholders) dengan harapan bahwa informasi yang diperoleh sosialisasi hak-hak anak akan ditularkan pada masyarakat sekitar (konstituen). Stakeholders yang dimaksud meliputi pejabat yang berkaitan dengan anak, Kepala Sekolah, guru BP, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama. Pemilihan lokasi sosialisasi pada stakeholders ditentukan oleh pihak LPA Jatim misalnya di Hotel di Surabaya atau di Batu Malang. Sosialisasi yang dilakukan tergantung ketersediaan dana. Sasaran lebih banyak dilakukan pada stakeholders karena keterbatasan jumlah pengurus dan akomodasi yang tersedia untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat atau anak-anak secara langsung. Materi dalam seminar sosialisasi hak-hak anak antara lain penyebab dan dampak kekerasan, cara pengasuhan anak yang baik, pengertian anak, prinsip dasar perlindungan anak, pengertian dan bentuk-bentuk, penyebab kekerasan, dan upaya penanganan kasus kekerasan terhadap anak, hak anak yang berhadapan hukum, penguatan kapasitas anak dan remaja, pencegahan bullying bagi anak di sekolah. Strategi Kedua yakni LPA Jatim melakukan sosialisasi secara tidak langsung dengan menggunakan media. LPA Jatim juga melakukan sosialisasi secara tidak langsung dengan menyebar pamflet, poster dan juga melalui media elektronik. Web LPA Jatim sementara tidak aktif karena tidak ada yang mengoperasikan sementara ini, jadi sosialisasi hak-hak anak hanya melalui media cetak barupa pamflet, poster, dan sebagainya. LPA Jatim melakukan sosialisasi dengan berbagai media, hal Gambar 2 Poster Sosialisasi LPA Jatim Berdasarkan gambar 2 tentang media sosialisasi yang digunakan LPA Jatim berisi tentang beberapa informasi. Media sosialisasi ditujukan pada anak-anak, orang tua, dan masyarakat secara umum. penyebaran media bisa dilakukan ketika melakukan sosialisasi secara langsung, sekolah, dan kepada stakeholders agar disebar pada anak secara langsung di tiap daerah. Media poster dan pamflet disertai gambar agar anak-anak dapat tertarik melihatnya. Strategi ketiga yakni dengan pencegahan lanjutan tindak kekerasan terhadap anak yakni adanya fasilitas konsultasi dan pengaduan. LPA Jatim selalu menampung dan membantu menyelesaikan kasus yang di laporkan oleh masyarakat. Pengaduan kasus ke LPA Jatim bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (media 775 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 elektronik) melalui telepon, e-mail, dan bisa dari rujukan jaringan termasuk polisi (jika kasus bukan pidana). Penyelesaian kasus anak yang dilakukan LPA Jatim. Jika terjadi pengaduan kasus yang jaraknya jauh dari Kota Surabaya, maka penangannya bekerjasama dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) daerah tersebut. Informasi ini diperoleh dari penuturan Pak Adi Kurniawan yang menyatakan, “Jika ada laporan misalnya dari Jember maka, LPA Jatim mengontek Peksos atau TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) yang ada disana bahwa ada yang lapor ke LPA. Maka data (kronologis) kita kirimkan kepada stakeholder disana, maka stakeholder disana menindaklanjutin datanya jika benar maka mereka yang mendampingi dan melakukan assesment (kebutuhan, traumanya, permasalahannya) nah seperti itu. Terus kembali ke LPA Jatim, kita follow up, kita rapatkan kebutuhan anak itu bisa apa nggak ditangani kita. Jika tidak maka stakeholder mana yang bisa kita akses, misalnya pelakunya bapak ibunya maka kita carikan bapak ibu pengganti misalnya dari keluarga yang lain dan jika tidak ada maka kita berikan kepada panti asuhan atau dinas sosial yang lain” (W/I.2/Surabaya, 23 Maret 2016). LPA Jatim ketika menerima pengaduan dari masyarakat yang lokasi jauh dari Kota Surabaya (lokasi LPA Jatim) misalnya Jember maka LPA Jatim akan menghubungi Peksos atau TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) lokal daerah utnu menindaklanjuti laporan tersebut. jika benar ada, maka akan dilakukan assesment (kebutuhan, traumanya, permasalahannya) dan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan korban. LPA Jatim akan merapatkan dengan Peksos atau TKSK lokal apakah kasus tersebut bisa ditangani, kalau tidak maka akan di rujuk pada lembaga lain yang berkompeten misalnya ke psikolog. Jika pelaku kekerasan adalah orangtuanya maka anak tersebut akan dirujuk ke Panti Asuhan atau Dinas Sosial yang ada di daerah tersebut. Pencegahan kekerasan LPA Jatim berjejaring dengan multi stakeholders seperti dengan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Yayasan Genta, Hotline Pendidikan, Alang-Alang jejaring lokal seperti Pemerintah Daerah. Dukungan pihak lain ini dapat berupa dana, pengisi acara sosialisasi, penyebarluasan informasi hak anak, partisipasi aktif lain misalnya pengadaan acara dan mereka mengundang LPA Jatim. Peran Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam Pendampingan Korban Kekerasan Pendampingan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dilakukan oleh LPA Jatim dengan berbagai cara untuk memulihkan keadaan psikologis anak seperti semula. Tabel 6 Peran Pendampingan LPA Jatim terhadap Anak yang menjadi Korban Kekerasan No Pernyataan Skor Item Pemberian motivasi dilakukan untuk 24 penguatan percaya diri anak korban 62 kekerasan 25 Pendampingan dilakukan pada semua anak yang menjadi korban kekerasan 49 26 Pendampingan pada anak korban kekerasan dilakukan karena inisiatif dari 38 LPA Jatim dan tanpa unsur paksaan 27 Penguatan peran keluarga dengan membantu menjadi mediator untuk 53 mencari solusi terkait kekerasan yang dialami anaknya 28 Pemberian bimbingan psikososial pada anak untuk meningkatkan kemandirian 49 diri anak 29 Pendampingan akan memberi rasa aman pada anak yang menjadi korban tindak 53 kekerasan 30 Ada bantuan ekonomi bagi keluarga korban kekerasan yang tidak mampu 36 untuk pemenuhan hak dasar anak misalnya makanan 31 Pendamping anak LPA Jatim melakukan sharing pada keluarga anak korban 49 kekerasan 32 Anak yang menjadi pelaku kekerasan mendapatkan pendampingan juga 40 Setelah mendapat pengaduan kasus 33 kekerasan anak, LPA Jatim melakukan 52 kajian terhadap data dan informasi yang diperoleh dari korban Dalam melakukan kajian data, LPA Jatim 34 bekerjasama dengan pihak lain yang 51 kompeten misalnya psikolog, polisi, dll Untuk kelengkapan data dan informasi 35 kasus kekerasan, LPA Jatim meminta data 47 tambahan dari instansi lain misalnya Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, dll Hasil pengolahan data dan informasi dari 36 kasus pengaduan kekerasan anak 53 digunakan untuk menentukan langkah pendampingan anak 37 LPA Jatim memantau proses 52 pendampingan anak secara intensif LPA Jatim mendampingi anak yang 38 menjadi korban kekerasan yang dialami 48 anak hingga keadaan anak pulih kembali LPA Jatim menjalin kerjasama dengan 39 mitra kerjanya dalam kegiatan 53 pendampingan Selain pengurus LPA Jatim, 40 pendampingan melibatkan Pekerja Sosial 52 Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan ke psikolog misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu, RS. Dr. Sutomo dan Karang menjangan, Pskiater” (W/I.3/Surabaya, 29 Maret 2016). yang menjadi jaringan dari LPA Jatim Berdasarkan tabel 6 pendampingan LPA Jatim terhadap anak korban kekerasan mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari pendampingan oleh LPA Jatim antara lain pemberian motivasi dilakukan untuk penguatan percaya diri anak korban kekerasan. LPA Jatim menjalin kerjasama dengan mitra kerjanya dalam kegiatan pendampingan. Penguatan peran keluarga dengan membantu menjadi mediator untuk mencari solusi terkait kekerasan yang dialami anaknya. Pendampingan akan memberi rasa aman pada anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Hasil pengolahan data dan informasi dari kasus pengaduan kekerasan anak digunakan untuk menentukan langkah pendampingan anak. Kelemahan pendampingan LPA Jatim yakni jarang memberikan bantuan ekonomi bagi keluarga korban kekerasan yang tidak mampu untuk pemenuhan hak dasar anak misalnya makanan. Tapi, LPA Jatim menjadi akses kepada Pemerintah Daerah atau Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) agar keluarga tersebut bisa mendapatkan dana bantuan bagi keluarga miskin. Pendampingan diberikan oleh LPA Jatim pada anak korban kekerasan sering dilakukan karena inisiatif dari LPA Jatim dan tanpa unsur paksaan. Pendampingan yang diberikan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan dengan mengkaji kebutuhan anak (assesment). Jika dari assesment akan diketahui kebutuhan korban dan LPA Jatim akan memberikan bimbingan psikososial untuk meningkatkan kemandirian anak. Berikut penuturan dari ibu Humidatun Nisa menyatakan, Pendampingan diberikan untuk pemenuhan hak anak. Prinsip pendampingan dilakukan pendamping anak LPA Jatim dengan tidak ada diskriminasi dan pelayanan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Pendampingan terhadap anak dengan melakukan visum dan pemulihan luka fisik maupun alat reproduksi bagi korban kekerasan seksual ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Pendampingan dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan. Pendampingan psikososial yang diberikan dengan mendengarkan keluhan dan memberi solusi terbaik bagi korban. Pendampingan tidak hanya secara fisik tapi bisa melalui konsultasi. Anak yang mengalami trauma akan mendapatkan pendampingan psikologis sendiri jika tidak mampu maka akan didampingi ke psikolog, misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Rumah Sakit Dr. Sutomo dan Karangmenjangan, Pskiater. Anak yang menjadi pelaku kekerasan jarang mendapatkan pendampingan juga, jika anak tersebut membutuhkannya. Anak yang menjadi pelaku kekerasan jarang mendapatkan pendampingan. Pelaku akan mendapatkan pendampingan jika ia membutuhkannya. Berikut penuturan bu Humidatun Nisa tentang pendampingan bagi anak menyatakan, “Pendampingan ini bisa mengembalikan kondisi anak secara psikis dan sosial dalam kondisi semula melalui pendekatan ke anak, orang tuanya dan orang-orang disekitar korban mbak. Tapi tetap melibatkan anak karena sasarannya anak. Mengutamakan partisipasi anak, ketika kita kunjungi dia ke sekolah dia gak nyaman maka kita tidak akan melakukan itu lagi, pendampingan sesuai dengan kebutuhan anak. Pendampingan pada anak korban kekerasan fisik, psikis, seksual maupun sosial perlakuannya tetap sama disesuaikan kebutuhan anak dengan pemberian motivasi dan bimbingan dan penguatan keluarga juga. Indikator keberhasilan pendampingan pada anak jika anak telah pulih kembali dari rasa trauma, dapat beradaptasi kembali dengan lingkungan, tumbuhnya percaya diri dan kemandirian anak, tidak menutup diri lagi dan anak bisa melakukan aktifitas seperti sebelum menjadi korban kekerasan” (W/I.3/Surabaya, 29 Maret 2016). “Strategi pendampingan yang dilakukan pada prinsipnya sama, tidak ada diskriminasi dan strateginya pelayanan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan anak. Pemenuhan hak anak dilakukan dengan pendampingan. Pendampingan pada anak korban kekerasan seksual pada anak dari kalangan berada maka kita tidak akan intervensi masalah kebutuhan dasarnya karena mereka bisa mengatasinya. Jika ia dari kalangan tidak mampu maka kita beri penguatan, kita carikan dana diberikan untuk penyembuhan korban kekerasan seksual ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk melakukan visum dan pemulihan luka fisik maupun alat reproduksi. Psikososial artinya kita mau mendengarkan keluhan, menyampaikan hak-haknya anak terus mendampingi barangkali tanya misalnya takut atau sebagainya. Pendampingan tidak harus fisik. Pendampingan bisa konsultasi, kita datang ke rumahnya. Kalau korban mengalami trauma, jika kita tidak mampu menanganinya kota akan rujuk Pendampingan dilakukan untuk mengembalikan kondisi anak seperti semula melalui pendekatan ke anak, orang tua, dan orang-orang disekitar anak yang menjadi 777 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 korban. Pendampingan lebih mengutamakan partisipasi anak. Mendampingi anak jika perlu di sekolah. Pelaku kekerasan akan mendapatkan pendampingan juga jika ia membutuhkan pendampingan secara psikososial. Pendampingan pada anak korban kekerasan fisik, psikis, seksual maupun sosial perlakuannya tetap sama disesuaikan dengan kebutuhan anak, dengan pemberian motivasi dan bimbingan dan penguatan keluarga. Indikator keberhasilan pendampingan pada anak jika anak telah pulih kembali dari rasa trauma, dapat beradaptasi kembali dengan lingkungan, tumbuhnya percaya diri dan kemandirian anak, tidak menutup diri lagi dan anak bisa melakukan aktifitas seperti sebelum menjadi korban kekerasan. Strategi pendampingan LPA Jatim mempunyai beberapa pendekatan yakni penguatan anak, penguatan peran keluarga, dan pengautan masyarakat sekitar. Pendampingan anak korban kekerasan dilakukan dengan cara: Strategi pertama, dengan penguatan anak. Penguatan anak dilakukan dengan memberikan motivasi untuk memperkuat rasa percaya diri anak. Kedua, penguatan peran keluarga dengan membantu menjadi mediator untuk mencari solusi terkait kekerasan yang dialami anaknya dan menajdi akses ekonomi. Ketiga, penguatan masyarakat sekitar dengan cara melakukan sharing bersama tentang cara pengasuhan yang baik. Penilaian terhadap item ini paling tinggi dibandingkan dengan item yang lain dalam strategi pendampingan terhadap anak korban tindak kekerasan. Pendampingan akan memberi rasa aman pada anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Banyak kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan. menurut Pak Priyono, kebutuhan tersebut di antaranya yakni “Rumah Aman” sebagai tempat tinggal sementara anak agar anak terhindar dari pelaku dan anak dapat terpenuhi kebutuhannya di tempat tersebut. Ketersedianya psikolog untuk memulihkan keadaan psikis anak konsultan hukum dalam melakukan advokasi dan dokter jika korban mengalami luka fisik. LPA Jatim sebagai akses untuk anak bisa mendapatkan fasilitas dari pemerintah karena anak adalah tanggung jawab pemerintah. LPA Jatim sebagai fasilitator agar anak dapat mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan baik psikososial maupun hukum. LPA Jatim sebagai konselor untuk memberikan penguatan bagi anak untuk mengembalikan percaya diri anak agar tidak minder dalam pergaulannya dengan merujuk anak pada psikolog. Pendampingan dilakukan pada semua anak yang menjadi korban tindak kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Berikut penuturan Pak Adi Kurniawan terkait pendampingan anak yang dilakukan LPA Jatim. “... Upaya yang dilakukan tidak dengan mediasi (kekerasan psikis) kebanyakan terjadi antara orang tua dan anak. Jika seksual pelaku kita laporkan, dampingi untuk visum. Jika korban ada trauma maka dibawa ke psikolog hingga korban benar-benar sembuh dari traumanya” (W/I.2/Surabaya, 23 Maret 2016). Pendampingan yang dilakukan oleh LPA Jatim terhadap anak korban dengan mendampingi anak saat pelaporan atau rujukan pada lembaga lain misalnya ke psikolog jika mengalami trauma. Mendampingi saat visum dan sebagai mediator untuk melakukan antara pelaku dan pihak korban jika terjadi kekerasan psikis yang mayoritas dilakukan oleh orang terdekat korban misalnya orang tua anak. Strategi kedua yakni penguatan peran keluarga. Penguatan peran keluarga oleh LPA Jatim dengan selalu membantu menjadi mediator untuk sharing mencari solusi terkait kekerasan yang dialami anaknya. LPA Jatim menjadi akses kepada Pemerintah Daerah atau Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) agar keluarga korban tersebut bisa mendapatkan bantuan dana. Selain itu, Berikut penuturan dari Ibu Humidatun Nisa terkait pendampingan terhadap anak yang menjadi korban tindak kekerasan: “Pendampingan diawali dengan analisa sosial misalnya korban kekerasan seksual minder, atau terbatas pergaulannya. Jadi saya pada bagian keberfungsian sosialnya. Anak korban kekerasan pemulihan psikososialnya: pendekatan ke anak bagi anak korban kekerasan seksual, fisik, psikis, dan sosial seperti mengarahkan mereka pada cita-citanya, meminta anak menceritakan ingin seperti apa kedepannya menasehati anak, kita juga melakukan kegiatan rekreatif misalnya jalan-jalan bersama anak misalnya ke taman bermain agar bisa mulai beradaptasi dengan teman sebaya sehingga bisa melupakan masalah yang menimpanya. Anak korban kekerasan dilakukan juga pendampingan untuk melakukan visum ke Rumah sakit. Pendekatan ke keluarga, penguatan ke keluarga tentang cara pengasuhan, mendidik agar anak mendapatkan kebutuhan seperti kasih sayang, perhatian dan memfasilitasi antar anak dengan keluarga untuk sharing bersama terkait kasus yang dialami anaknya. Bentuk pendampingan kita datangi rumahnya sharing tentang banyak hal sama orang tuanya. Kalau butuh solusi, kita kasih saran. Jadi kami ini bukan pemecah masalah tapi cuma membantu orang untuk menguatkan orang dirinya sendiri.” (W/I.3/Surabaya, 29 Maret 2016). Sebelum melakukan pendampingan dilakukan analisa pada anak korban kekerasan tentang kondisi psikis dan Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan sosialnya. Pendampingan dilakukan untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak melalui pendekatan ke anak korban kekerasan fisik, psikis, seksual dan sosial dengan cara memberikan motivasi dengan mengarahkan anak pada cita-citanya, melakukan sharing mendengarkan anak bila ingin cerita. Selain itu untuk memandirikan anak dan menambah percaya diri mereka diajak rekreasi yakni jalan-jalan misalnya ke taman bermain agar bisa mulai beradaptasi dengan lingkungan dan teman sebaya sehingga bisa melupakan masalah yang menimpanya. Bagi anak korban kekerasan seksual diadakan juga pendampingan ke Rumah Sakit untuk melakukan visum. Ketiga, strategi pendampingan dengan penguatan pada masyarakat sekitar. Penguatan pada masyarakat sekitar ini dilakukan ketika ada permintaan atau masyarakat di sekitar anak membutuhkan untuk dilakukan sharing tentang pengasuhan anak yang baik. menyadarkan masyarakat sekitar bahwa masalah anak adalah masalah bersama bukan hanya masalah keluarga. Adanya penguatan masyarakat sekitar agar masyarakat lebih aktif dalam pelindungan anak. Berikut penuturan bu Humidatun Nisa tentang pendampingan bagi anak: ketika melakukan kunjungan dan pendampingan pada anak. Pendampingan bisa dari rujukan LPA Jatim, dari Dinas Sosial dan/ temuan langsung pada anak.LPA Jatim bekerjasama dengan Pekerja Sosial yang menjadi jaringan dari Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur. Pendampingan kadang-kadang mengalami kendala, hasil penuturan ibu Humidatun Nisa menyatakan, “Kendala pendampingan pengetahuan masyarakat masih menganggap bahwa masalah anak-anak adalah masalah keluarganya. Jadi belum ada partisipasi aktif bahwa anak ini anak kita bersama. Padahal, ketika terjadi masalah anak akan berdampak pada keluarganya juga itu adalah kendala program. Secara teknis berkaitan dengan mobilitas saja. Jadi solusinya banyak koordinasi sama teman-teman jejaring, atau dinas yang lain jadi kayak gitu” (W/I.3/Surabaya, 29 Maret 2016). Pendampingan pada anak yang menjadi korban kekerasan sering mengalami kendala. Kendala yang berhubungan dengan program, pengetahuan masyarakat bahwa masalah anak masih dianggap sebagai masalah keluarga dan pihak lain tidak boleh ikut terlibat. Akibatnya masih sedikit masyarakat yang kurang berpatisipasi aktif dari masyarakat. Secara teknis, kendala yang berhubungan dengan mobilitas. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan koordinasi dengan anggota yang lain di LPA Jatim. “Penguatan ke masyarakat sekitar bahwa masalah anak adalah masalah bersama bukan hanya masalah keluarga, jadi harus berpartisipasi aktif. Kita juga pernah melakukan acara sharing bersama dengan ibu-ibu desa anak yang kita dampingi (korban kekerasan fisik) dengan mengumpulkan ibu-ibu di rumah bu RT kita sharing tentang cara pengasuhan anak sehingga mereka lebih paham cara mendidik anak yang baik.” (W/I.3/Surabaya, 29 Maret 2016). Pembahasan LPA Jatim merupakan suatu Organisasi Kemasyarakatan yang berperan aktif dalam perlindungan anak. Menurut Gillin dan Gillin (Soekanto, 2010:185), salah satu ciri umum Organisasi kemasyarakatan “mempunyai polapola aktivitas dan hasil-hasilnya, mempunyai tujuan dan alat kelengkapan untuk mencapai tujuan”. Tujuan adanya LPA Jatim yakni meningkatkan kesejahteraan seluruh anak Jawa Timur melalui perlindungan dan penegakan hak-hak anak. Tujuan akan tercapai melalui aktifitas atau kegiatan pencegahan tindak kekerasan dan pendampingan terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan oleh pengurus dan jejaring LPA Jatim. Secara keseluruhan gambaran peran LPA Jatim dalam pendampingan terhadap anak dari tindak kekerasan menunjukkan penilaian baik dengan perolehan skor 118,75. Skor tersebut di peroleh dari rata-rata skor angket dari 16 responden. Prosentase penilaian skor angket keseluruhan dari tiga kriteria penilaian menunjukkan 12,5% responden menilai sangat baik, 75% responden menilai baik dan 12,5% menilai kurang baik. Menurut Linton (dalam Sunarto, 2004:52) Peran telah dijalankan manakala ia menjalankan hak dan kewajiban Penguatan ke masyarakat sekitar supaya berpartisipasi aktif dengan cara memberikan penyadaran bahwa masalah anak adalah masalah bersama bukan hanya masalah keluarga terutama yang menjadi korban kekerasan. cara lain yang digunakan adalah mengadakan acara untuk melakukan sharing cara pengasuhan anak yang baik. Hasil pengolahan data dan informasi dari kasus pengaduan kekerasan anak selalu digunakan untuk menentukan langkah pendampingan anak. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur memantau kegiatan konseling anak secara intensif. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur selalu mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan yang dialami anak hingga keadaan anak pulih kembali. Pendampingan pada anak korban kekerasan dilakukan intensif selama enam bulan dengan jadwal kunjungan dua minggu sekali pada anak korban kekerasan. Pengurus LPA Jatim yang lain juga ikut dalam pendampingan 779 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 yang merupakan statusnya. LPA Jatim telah menjalankan kewajibannya dengan melakukan pencegahan tindak kekerasan terhadap anak melalui kegiatan sosialisasi penyebarluasan hak-hak anak sesuai Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan peraturan perundangan yang terkait dengan anak lainnya. Peran pendampingan LPA Jatim diwujudkan dalam kegiatan pencegahan kekerasan dan pendampingan terhadap anak korban kekerasan. Peran Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam Pencegahan Kekerasan Anak Jawa Timur Penyadaran masyarakat agar tidak melakukan kekerasan anak dengan sosialisasi. Sosialisasi dilakukan untuk menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat terhadap hak-hak anak seperti yang tercantum dalam Undang-Undang dan peraturan yang lain terkait hak anak. Agar masyarakat lebih sadar dengan hak-hak anak sehingga tidak terjadi pelanggaran. Sosialisasi dimaksudkan agar masyarakat dapat mengubah sikap dan perilaku yang keliru pada anak sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam melindungi hak-hak anak. Kelemahan pencegahan melalui sosialisasi hak-hak anak yakni sumber dana LPA Jatim jarang diperoleh dari APBD. Partisipasi masyarakat dalam pengaduan masih kurang. Kegiatan sosialisasi hak-hak anak, jarang diisi dengan kegiatan lain seperti pameran. Sosialisasi jarang dilakukan melalui media massa, sosialisasi di media massa ketika diundang menjadi narasumber. Sosialisasi langsung di masyarakat jarang dilakukan karena lebih diutamakan pada stakeholders. Dana didapatkan ketika ada pengajuan proposal meskipun seperti itu belum tentu diterima. Peran LPA Jatim dalam mencegah kekerasan dengan sosialisasi dilakukan merata di seluruh daerah di Jawa Timur. Tapi lebih diutamakan pada daerah yang berpotensi tinggi terjadi kekerasan, di daerah miskin dan kurang informasi tentang hak-hak anak. Sasaran sosialisasi pada stakeholders, anak, dan masyarakat. LPA Jatim jarang melakukan sosialisasi pada anak di sekolah, dan masyarakat secara langsung. Sosialisasi dilaksanakan jika ada undangan atau ada kasus yang dampaknya pada masyarakat secara luas di daerah tersebut. Sosialisasi lebih banyak dilakukan pada para stakeholders lokal (pemangku kepentingan anak atau tokoh masyarakat) di Jawa Timur. Sosialisasi terhadap stakeholders lokal tiap daerah diadakan agar mereka bisa melanjutkan sosialisasi ke masyarakat secara langsung di daerah masing-masing. Ada beberapa strategi LPA Jatim dalam sosialisasi hak-hak anak yakni sosialisasi langsung, sosialisasi tidak langsung yakni melalui media, dan pencegahan lanjutan dengan adanya fasilitas konsultasi dan pengaduan. Pertama, sosialisasi secara langsung dengan seminar atau workshop. Materi yang dibahas yakni hak anak, prinsip dasar perlindungan hak anak, pengertian dan bentukbentuk dan penyebab kekerasan terhadap anak, serta upaya penanganan tindak kekerasan, penyadaran bagi siswa yang menjadi korban ataupun pelaku bullying. Anak dilatih juga untuk menjadi peer yaitu training of trainer (TOT). Kedua, sosialisasi secara tidak langsung dengan menggunakan media poster, pamflet dan media elektronik. Misalnya poster “himbauan untuk tidak melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap anak”. Sosialisasi ini bertujuan agar masyarakat lebih aktif dalam pelaporan kasus anak tidak hanya ke LPA Jatim tapi bisa ke jejaring atau lembaga lain yang berkompeten. Ketiga, upaya pencegahan lanjutan LPA Jatim dengan adanya fasilitas konsultasi dan pengaduan. Peran LPA Jatim ini mengacu pada pendapat dari Hendropuspito (1989:182) bahwa peranan sosial jika ditinjau dari orang atau institusi yang menerima jabatan, maka peranan dapat dipandang sebagai pelayanan kepada masyarakat. Fasilitas ini memberikan pelayanan pada masyarakat. Pengaduan lebih banyak dilakukan oleh keluarga korban dibadingkan oleh guru atau masyarakat. Hal ini terjadi karena tindak kekerasan dianggap aib bagi keluarga, merasa malu, dan masyarakat menganggap masalah anak adalah masalah keluarga dan orang lain tidak perlu ikut campur. LPA Jatim dapat menangani langsung seperti mediasi atau dengan rujukan atau melakukan rujukan pada jejaring/lembaga lain seperti Psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jatim, Rumah Sakit, dan Polisi (tindak pidana), dan lembaga lainnya. Kendala LPA Jatim dalam melaksanakan kewajibannya yakni pendanaan, jumlah pengurus sedikit dan jarak tiap daerah dengan lokasi LPA Jatim. Solusinya dengan memaksimalkan program yang telah ada anggaran dana, berkerjasama dengan stakeholders lokal tiap daerah. Misalnya Pekerja sosial dan TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) yang ada di tiap kecamatan. Peran Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami trauma, rendah diri (minder), penakut, dan sebagainya. Maka diperlukan perlakuan khusus agar anak bisa bangkit dari keterpurukannya melalui pemberdayaan. Menurut Suyono (2013: 50), pemberdayaan merupakan “proses meningkatkan pengetahuan, motivasi, keterampilan, pengalaman individu sehingga memiliki kemandirian dalam dirinya”. Pemberdayaan dilakukan oleh LPA Jatim kepada anak yang menjadi korban tindak kekerasan dilakukan untuk mengembalikan keberfungsian sosialnya melalui pendampingan. Peran Pendampingan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur terhadap Anak dari Kekerasan Menurut Suharto (dalam Suyono, 2013:7), “penerapan pendekatan dapat dilakukan melalui 5P yaitu: pendekatan pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan”. Dalam hal ini, pemungkinan, dilaksanakan dengan pemberian motivasi pada anak dan penciptaan iklim keluarga yang mendukung penuh terhadap pemulihan anak yang menjadi korban kekerasan misalnya pemberian perhatian dan kasih sayang lebih pada anak. Penguatan terhadap peran keluarga dengan sharing masalah anak yang dialami dan pemberian solusi terbaik oleh pendamping anak. Ketiga, penguatan pada masyarakat sekitar dengan dengan melakukan dukungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan bahwa masalah anak adalah masalah bersama jadi diperlukan partidipasi aktif masyarakat. Pendamping anak sebagai mediator antara orang tua dan anak untuk mendekatkan mereka agar terjadi kondisi yang kondusif di rumah. Keadaan anak setelah dilakukan pendampingan mengalami perubahan sikap lebih baik seperti sebelum menjadi korban kekerasan. Artinya, anak tidak menarik diri dari pergaulan sosialnya, bisa mengatasi gangguan psikis yang dialami misalnya minder dan trauma sehingga anak bisa beraktifitas secara normal. LPA Jatim melakukan kajian terhadap pengaduan kasus kekerasan anak dengan yang melakukan assesment kebutuhan anak, dampak psikisnya (trauma), dan permasalahan kasus kekerasan yang dialami. Hal ini dilakukan untuk menentukan langkah pendampingan yang tepat bagi anak yang menjadi korban kekerasan. Pendampingan adalah upaya terus menerus dalam mendampingi (menfasilitasi) anak korban kekerasan yang dilakukan oleh LPA Jatim agar anak bisa menyesuaikan diri sehingga mencapai perubahan hidup ke arah lebih baik. Pendampingan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan. Menurut Suyono (2013: 50), “pemberdayaan memiliki prinsip kesetaraan, adil dan demokratis”. Pendampingan yang diberikan oleh LPA Jatim selalu akan memberi rasa aman pada anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Pendampingan dilakukan pada pelaku kekerasan jika ia membutuhkan. Pemberian pendampingan dilakukan pada anak korban kekerasan seksual, psikis, fisik, dan sosial disesuaikan dengan kebutuhan korban. Strategi LPA Jatim dalam pendampingan anak korban kekerasan yakni pendekatan ke anak, penguatan peran keluarga, dan penguatan ke masyarakat sekitar. Pertama, pendekatan ke anak korban kekerasan fisik, psikis, seksual dan sosial dilakukan dengan penguatan percaya diri anak korban kekerasan dilakukan melalui pemberian motivasi dan bimbingan. Pendekatan ini dilakukan dengan mengarahkan anak pada cita-citanya, melakukan sharing mendengarkan anak bila ingin cerita. Selain itu, untuk memandirikan anak dan menambah percaya diri mereka diajak rekreasi yakni jalan-jalan misalnya ke taman bermain agar bisa mulai beradaptasi dengan teman sebaya dan lingkungan sehingga bisa melupakan masalah yang menimpanya. Anak korban kekerasan seksual didampingi untuk visum ke Rumah Sakit. Pemberdayaan keluarga menurut Sunarti (2012) merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat keluarga, terutama keluarga miskin atau keluarga tidak sejahtera atau istilah lainnya masih kurang berfungsinya keluarga. Penguatan peran keluarga meliputi dua hal yakni mediasi dan akses ekonomi. LPA Jatim dengan membantu menjadi mediator untuk mencari solusi terkait kekerasan yang dialami anaknya, bimbingan tentang cara pengasuhan, mendidik anak agar mendapatkan kebutuhannya baik fisik maupun psikis. Bidang ekonomi, LPA Jatim melakukan akses ke pemerintah atau melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) agar dapat memberdayakan keluarga yang tidak mampu. Peran pendamping anak bukan penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Proses pemberdayaan dapat melalui berbagai pendekatan. PENUTUP Simpulan Peran LPA Jatim dalam pendampingan terhadap anak dari kekerasan sudah berjalan baik, dengan perolehan skor rata-rata 118,75. Peran pencegahan melalui sosialisasi. Kelemahan pencegahan di antaranya pendanaan bersifat tidak tetap, partisipasi masyarakat kurang, LPA Jatim jarang melakukan sosialisasi ke masyarakat secara langsung. Kelebihannya, Media sosialisasi yang digunakan bermacam-macam. Materi sosialisasi disesuaikan dengan tema sosialisasi dan isu lokal daerah. Pengurus LPA Jatim sering menjadi narasumber dalam kegiatan sosialisasi langsung. Sosialisasi lebih difokuskan pada stakeholders lokal dibandingkan ke anak maupun masyarakat secara langsung karena diharapakan stakeholders lokal dapat menjadi agen sosialisasi pada konstituen di daerah masing-masing. Strategi sosialisasi dengan tiga cara yakni sosialisasi langsung (seminar atau workshop), tidak langsung (melalui media) dan pencegahan lanjutan dengan menyediakan fasilitas konsultasi dan pengaduan bagi masyarakat agar tindak kekerasan tidak semakin berlanjut terhadap anak. Kendala yang dialami berupa pendanaan, jumlah pengurus yang sedikit, dan jangkauan daerah di Jawa Timur yang jauh dari lokasi LPA Jatim di Kota Surabaya. Strategi LPA Jatim dalam pendampingan anak korban kekerasan yakni melalui pendekatan ke anak, penguatan 781 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 768-782 peran keluarga, dan masyarakat sekitar korban. Pemberian pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual, psikis, fisik, dan sosial disesuaikan dengan kebutuhan anak. anak korban kekerasan seksual didampingi untuk visum ke Rumah Sakit. Perubahan sikap yang lebih baik di antaranya keadaan anak bisa pulih kembali seperti semula. Artinya, anak tidak menarik diri dari pergaulan sosialnya, meningkatkan kemandirian dan percaya diri anak, minder dan trauma korban pulih kembali serta anak bisa melakukan aktifitas seperti sebelum menjadi korban kekerasan. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (online) dalam http://www.komnasham.go.id/instrumen-hamnasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham (diakses: 02 Desember 2015) Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan penulis adalah sebagai berikut: semakin banyaknya kasus kekerasan di masyarakat dan jumlah pengaduan yang sedikit, LPA Jatim diharapkan dapat melakukan sosialisasi hak-hak anak dengan cara bertahap dan berkelanjutan sehingga masyarakat lebih memahami dan menghormati hak-hak anak. Pendamping anak agar anak bisa mengatasi masalah psikologisnya, maka diharapkan lebih meningkatkan kualitas pendampingan yang dilakukan pada anak korban kekerasan . Sunarti, Euis. 2012. Program Pemberdayaan Dan Konseling Keluarga. Fakultas Ekologi Manusia. IPB (Online) http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2012/04/Dr.Euis-Sunarti-IPB-PROGRAMPEMBERDAYAAN-DAN-KONSELINGKELUARGA.pdf (diakses: 02 Desember 2015). DAFTAR PUSTAKA Huraerah, Abu. 2012. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia Hendropuspito. 1989. Sosiologi sistematik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sjarkawi. 2008. Pembentukan kepribadian anak (peran moral, intelektual, emosional dan sosial sebagai wujud integritas membangun jati diri). Jambi: Bumi Aksara Soekanto, Soejono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sudijono, Anas. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suyono, Haryono. 2013. Pemberdayaan Masyarakat di Era Global. Bandung: ALFABETA Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (online) dalam http://www.kpai.go.id/files/2013/09/uu-nomor-35tahun-2014-tentang-perubahan-uu-pa.pdf (diakses: 02 Desember 2015) Nindya P, dan Margaretha R. 2012. “Hubungan antara kekerasan emosional pada anak terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1. No. 2,. Juni 2012 (online) dalam http://journal.unair.ac.id/filePDF/110810221_Ring kasan(1)_FIX_PKM (diakses: 11 januari 2016) Auliani-Palupi Annisa (Ed). 7 Mei 2014. “Indonesia Darurat Kekekrasan pada Anak”. (Online). Dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/05/07/0527 140/ Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak (diakses 17 oktober 2015).