BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Politik Sayap Kiri Dalam politik, istilah “kiri” digunakan sebagai euphimisme berbagai tindakan dan pemikiran radikal mengenai perubahan sosial. Kiri1 mewakili berbagai spektrum ideologi yang menentang dominasi minoritas terhadap mayoritas. Kiri sebagai penanda perubahan juga dipertentangkan dengan kanan sebagai penanda kestabilan. Hal ini, berfungsi sebagai dikotomi pemikiran dan tindakan kelompok-kelompok politik dalam kategori longgar yang dapat diamati2. Di Indonesia, istilah “kiri” secara politis diasosiasikan dengan berbagai varian sosialisme yang digeneralisir dalam terminologi komunisme. Generalisasi yang digunakan oleh Orde Baru tersebut bukanlah tanpa alasan, pengaruh kiri di Indonesia dimulai melalui pengaruh Marxisme-Leninisme dari kelompok sosialis radikal Belanda yang melahirkan PKI. Generalisasi yang sudah terlanjur mapan ini mulai kembali dipertanyakan ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998 ketika organisasi-organisasi yang mengklaim sebagai gerakan kiri bermunculan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah “sayap kiri” sebagai penanda spektrum ideologi politik. Istilah “sayap kiri” merupakan metaphora radikalisme yang digunakan oleh Lenin dan secara umum digunakan sebagai 1 Substansi istilah kiri digunakan untuk mendefinisikan dukungan terhadap perubahan (dalam konteks perubahan sosial), hak dan tanggung jawab kolektif (sebagai lawan dari individu) dari beberapa bentuk pemerintah atau intervensi sosial dalam ekonomi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ketidakadilan (Kurian, 2011; 935). 2 Dikotomi ini diperoleh melalui penanda yang kontras antara ideologi dan gerakan yang memisahkan dua entitas politik dari pemikiran politik dan praktik politiknya (Bobbio, 1996;1) 14 15 istilah dikotomis dalam spektrum politik (dalam Lukes, 2004: 4, Bobbio, 1996: 7). Peneliti juga memahami istilah “kiri” sebagai spektrum politik luas yang beroposisi terhadap sistem kapitalisme dengan motif mengakumulasi keuntungan dan berjuang untuk membangun alternatif humanis, masyarakat yang saling bekerjasama, masyarakat sosialis, dan blok kepentingan kelas pekerja (Harnecker, 2007:33). Spektrum luas ini diambil dengan pertimbangan teoritis bahwa konsepkonsep Marxisme dan anti-kapitalisme telah berkembang sejak berakhirnya perang dingin. Peneliti menggunakan istilah ini untuk menunjukkan relasi historis politik sayap kiri pasca Orde Baru dengan periode sebelumnya yang secara spesifik mengacu pada perkembangan pemikiran dan praktik politik Marxisme. Penggunaan istilah ini mengacu pada praktik politik dari objek penelitian yaitu PRD yang dikategorikan sebagai partai kiri dan mempraktikkan pendekatan Marxian (Bourchier dan Hadiz, 2003; Miftahuddin, 2004; Lane, 2008; 2012). Oleh karena itu, untuk menempatkan politik sayap kiri pada konteks Marxisme peneliti dalam bagian ini akan membahas akar politik Marxisme untuk memahami perubahan atau perkembangan wacana dan praktik politik sayap kiri yang dipraktekkan oleh PRD. 16 2.2 Politik Marxisme Politik marxisme mengacu pada pamflet politik yang yang ditulis oleh Marx dan Engels pada Desember 1847 hingga Januari 1848 berjudul Manifesto Komunis. Pamflet ini ditulis untuk Liga Komunis3 yang baru dibentuk oleh Liga Keadilan4 dan korespondensi Marx-Engels5. Naskah ini mengajukan pendekatan empiris yang diramu dengan bahasa propagandis untuk memberikan kepercayaan diri dan kesadaran kaum proletariat terhadap “takdir sejarahnya6”. Secara substansial, Manifesto Komunis dapat dibagi dalam dua argumen kunci yaitu; pandangan materialisme tentang sejarah yang memandang sejarah dari sudut pandang materialis dan kemudian lebih dikenal sebagai materialisme historis. Sudut pandang ini melihat sejarah dalam konteks materi yang bergerak meliputi manusia sebagai tenaga produktif, organisasi sosial dan produksinya serta perkembangan alat-alat produksi dalam sejarah tersebut. Menurut Marx materi bergerak secara dialektis melalui pertentangan, kemusnahan dan penemuan yang dicirikan oleh corak kepemilikan alat produksi pada setiap epos peradaban. Argumen kedua adalah kritik radikal terhadap kapitalisme yang meramalkan bahwa sistem kapitalisme memiliki kecenderungan untuk menghancurkan dirinya sendiri sebagai hasil kontradiksi internal sistem akumulasi 3 Liga komunis berakhir pada 1852 karena represi dan penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah Perancis dan kekaisaran Prussia.( Lebih lengkap dalam Kristeva, 2011; 290) 4 Liga Keadilan adalah organisasi konspirasi tradisional Eropa yang dipengaruhi oleh revolusi perancis. Organisasi ini terdiri dari seniman/pengrajin imigran jerman yang memiliki cabang di Inggris, Perancis, Swiss dan Jerman. (Kristeva, 2011; 212 ) 5 Korespondensi ini berbasis intelektual pelarian yang bermarkas di Brussels. Organisasi ini didirikan berdasarkan model pemahaman Marx yang meninggalkan bentuk konspirasional dan bersepakat untuk mengeluarkan manifesto publik. (Kristeva, 2011; 210 ) 6 Dalam konteks Marxisme, kelas pekerja merupakan satu-satunya kelas yang berkepentingan dan kekuatan utama dari proses revolusioner tersebut, tujuan revolusioner inilah yang membedakan Marxisme dari konsepsi transformasi sosial lainnya (Wood, 1998:12). 17 modal didalamnya. Kedua argumen ini dihubungkan melalui relasi dialektik yang menjelaskan bahwa kapitalisme mempertajam polarisasi kelas sosial berdasarkan kepemilikan alat produksinya. Polarisasi ini mendorong kesadaran kelas dan perjuangan kelas yang akan menciptakan kondisi masyarakat tanpa kelas. Marx menggunakan dialektika Hegel yang berpusat pada kontradiksi antar identitas dan membentuk identitas baru. Berlawanan dengan Hegel, Marx menempatkan ontologi dialektikanya pada filsafat materialisme. Filsafat materialisme berusaha untuk menjelaskan keadaan realitas objektif ketimbang kesadaran subjektif manusia. Sementara dialektika digunakan untuk menjelaskan pertentangan-pertentangan yang ada dalam realitas objektif. Dalam dialektika materialis berlaku tiga hukum utama yaitu kontradiksi, antagonis dan negasi. Transformasi realitas objektif digerakkan oleh kontradiksi dari hubungan antagonis dari kedua realitas objektif yang mengarah pada hubungan saling negasi. Ketika realitas objektif berhasil dinegasikan oleh realitas objektif lainnya maka terjadilah transformasi realitas. Filosfi inilah yang mendasari kritik radikal dan konsep kekuasaan marxisme. Manifesto Komunis telah melahirkan berbagai tendensi politik yang berbeda hingga saat ini. Perbedaan interperetasi ini berkisar pada dua wilayah perdebatan yang saling berkaitan dalam praktek politik sayap kiri yaitu perdebatan konseptual dan perdebatan strategi politik. Sementara, secara substasial para pengikut Marxisme tetap menggunakan pandangan dialektika, fisafat materialisme historis dan kritik radikal terhadap kapitalisme. Pemilahan ini dilakukan oleh 18 peneliti dalam pembahasan ini dilakukan atas pertimbangan kemudahan untuk memetakan politik marxisme. 2.2.1 Perdebatan Konseptual Perdebatan konseptual melibatkan dua sentral perdebatan yaitu: pandangan kelas untuk menentukan aktor politik dan pandangan terhadap negara dalam konsepsi kediktatoran proletariat. Perdebatan konsepsi politik dalam analisis kelas dan penentuan aktor politik pada dasarnya dipicu oleh perubahan konstelasi politik yang dihadapi oleh kelompok kiri setelah ditulisnya manifesto komunis terutama setelah meninggalnya Marx. Perbedaan pandangan terhadap analisis kelas menghasilkan konsekuensi yang berbeda pada cara pandang terhadap konsep kekuasaan dalam kediktatoran proletariat dan intepretasinya terhadap negara. Pada bagian ini, peneliti akan membagi pada dua pembahasan berdasarkan sentral perdebatan konseptualnya. Analisis kelas merupakan landasan utama dari praktek politik marxisme. Begitu pentingnya analisis kelas ini sehingga Marx dan Engels menempatkannya pada diktum pembuka dalam bagian pertama Manifesto Komunis yang menyebutkan bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang adalah sejarah pertentangan kelas (Marx, 1999:39). Analisis ini berakar dari pemikiran Marx terhadap sejarah bahwa pada setiap epos peradaban terdapat dua kelas yang saling berlawanan. Pertentangan kedua kelas tersebut menghasilkan konflik kelas dan revolusi yang saling menegasikan. Menurut Marx, kapitalisme melalui sifat eksploitasi dan akumulasinya telah menyederhanakan pertentangan kelas menjadi dua kelas yang berlawanan 19 yaitu borjuasi dan proletariat7. Kedua kelas ini dipisahkan berdasarkan kepemilikan terhadap alat produksi yang terpecah oleh kepemilikan pribadi kaum borjuis yang minoritas sementara kaum proletariat yang mayoritas dieksploitasi tenaga kerjanya untuk menghasilkan keuntungan bagi kaum borjuis. Ekses utama dari modus kepemilikan ini adalah terciptanya kesenjangan ekonomi dan munculnya kelas. Marx menyimpulkan bahwa permasalahan ini berakar dari kepemilikan pribadi kaum borjuis maka dekonstruksi radikalnya adalah dengan mentrasformasikan kepemilikan pribadi tersebut menjadi kepemilikan komunal oleh kaum proletariat yang mayoritas sehingga mendorong transformasi sosial pada hilangnya kelas-kelas dalam masyarakat. Disinilah sudut radikal yang memulai intepretasi politik dalam Marxisme. Persoalan kedua yang menjadi sentral dalam perdebatan politik marxisme adalah pada konsep transisi kekuasaan sebelum terciptanya masyarakat tanpa kelas. Transisi yang mensyaratkan kondisi proletariat yang berkuasa atau dalam istilah Lenin, kediktatoran proletariat. Konsep ini sebenarnya lahir jauh sebelum lahirnya manifesto komunis. Marx mengadopsinya dari Lois Auguste Blanqui, seorang revolusioner Perancis yang ikut mendorong terjadinya Komune Paris (1848). Pada konsep Blanqui, proletariat ditempatkan sebagai istilah bagi kelompok sosial mayoritas yang bekerja dan dirugikan oleh kaum bangsawan. Proletariat mencakup petani, seniman, pengrajin, dan lain sebagainya. Bagi marx konsep proletariat harus dibatasi melalui pendekatan kelas melihat hubungannya 7 Zaman borjuis memiliki sifat yang istimewa, ia telah menyederhanakan pertentanganpertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu dengan lainnya-borjuis dan proletar (Marx, 1999;) 20 dengal alat produksi. Menurutnya juga, masyarakat baru lahir dari basis industri modern sebagai dampak eksploitasi corak produksi tersebut. Oleh karena itu kelas pekerja industri yang tidak memiliki alat produksi merupakan basis sosial yang secara langsung berhadapan dengan kapitalisme yang juga mampu menghancurkan tatanan kapitalisme. Konsep kediktatoran proletariat secara khusus merupakan konsep bagaimana kekuasaan dikelola pasca revolusi. Konsep ini lekat dengan politik dan pengorganisasian kekuasaan dan konsep negara. Oleh karenanya tafsir terhadap konsep ini menentukan strategi politik yang diambil dan bentuk organisasi yang dibangun. Beberapa ilmuawan Marxis di Amerika Latin seperti Jon Elster (1992) dan Marta Harnecker (2008) menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam memahami konsep kediktatoran proletariat di kalangan Marxis dan diluar kalangan Marxis. Konsep kediktatoran proletariat seringkali disamakan dengan konsep kediktatoran modern yang dikaitkan dengan sistem pemerintahan sentralistik dan menggunakan militer sebagai alat represinya. Pemahaman ini muncul berdasarkan pengalaman model kediktatoran pada awal abad 20 dengan munculnya fasisme. Oleh karena itu, istilah kediktatoran proletariat perlu ditinjau ulang dari segi historis ketika istilah ini dilahirkan yaitu pada abad 17 ketika negara-negara eropa masih dalam bentuk kerajaan. Pada abad 17 konsep negara modern belum stabil, konsep ini terus menerus berkembang melalui revolusi sosial dan kejatuhan monarki di Eropa. Saat mekanisme dewan perwakilan dan demokrasi pertama kali digunakan di 21 Perancis setelah revolusi, prakteknya menunjukkan bahwa kelas borjuasi mendapatkan semua kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh monarki sementara kelas proletar tetap tanpa perbaikan. Kondisi ini mendapatkan perlawanan sengit dari kelas proletar dengan pemberontakan bersenjata di Paris yang berhasil menguasai Kota Paris dan membentuk Komune paris hingga akhirnya kembali dihancurkan oleh kaum bangsawan Perancis. Secara teoritis, konsep kediktatoran proletariat serupa dengan sistem politik demokratis yang berupaya untuk merefleksikan kepentingan mayoritas rakyat atau kepentingan publik. Dalam Marxisme, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kesatuan yang memiliki kepentingan yang sama. Marxisme berpendapat bahwa masyarakat tersusun dari berbagai konfigurasi kelas yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Dalam konteks pandangan kelas Marxisme dimana populasi telah terbelah dalam dua kubu yaitu borjuasi sebagai minoritas pemilik alat produksi dan proletariat sebagai mayoritas yang tidak memiliki alat produksi maka dibutuhkan mekanisme yang memastikan kepentingan mayoritas dapat direpresentasikan. Kepentingan yang berlawanan antara borjuasi dan proletariat akan mengarah pada konflik. Borjuasi yang minoritas telah menikmati hak istimewa dalam kepemilikan alat produksi dan kekuasaan politik akan mempertahankan kepemilikannya dari kaum proletariat. Maka pengambilalihan kepemilikan alat produksi dan kekuasaan tersebut harus diambil dengan paksa. Oleh karena itu, proletariat membutuhkan instrumen yang dapat memaksa transformasi 22 kepemilikan dari minoritas borjuasi kepada mayoritas proletariat, yaitu negara sebagai instrumen pemaksa. Jon Elster (1992;172) menyatakan bahwa konsep kediktatoran dalam opini Marx tidak bertentangan dengan demokrasi. Ia juga menjelaskan bahwa istilah “kediktatoran proletariat” adalah istilah yang asing di masa Marx, istilah ini diciptakan sebagai oposan terhadap demokrasi borjuis yang hanya berlaku di kalangan elit. Sementara Harnecker (2008;95) lebih dalam lagi menjelaskan bahwa istilah “kediktatoran proletariat” Marx merujuk pada bentuk negara bukan bentuk pemerintahan pada negara kapitalis maju dengan konfigurasi kelas yang didominasi oleh kelas borjuis dan kelas proletar. Maka menurut Harnecker, kebingungan terhadap konsep kediktatoran proletariat juga berimbas pada konsep negara marxis. Menurut pemahaman ini, konsep negara Marxis tidak menganggap negara sebagai konsep yang netral melainkan perwakilan dari kelas tertentu. Sehingga, kediktatoran dan demokrasi adalah atribusi yang kabur mengenai kelas yang menjadi aktor kekuasaan. Perdebatan konseptual pertama mengenai kelas dan konsep kekuasaan dimulai oleh Kautsky yang menggunakan pernyataan Engels pada kata pengantar Manifesto Komunis yang terbit pada tahun 1888. Engels menyatakan bahwa konteks yang diungkapkan pada Manifesto Komunis meski hukum-hukum universalnya masih dapat dibuktikan namun secara praktis sudah mengalami banyak perubahan konteks. Pandangan ini mendorong intepretasi Karl Kautsky dalam Internasional II (1889-1914) untuk merevisi prinsip-prinsip Marxisme yang dianggap tidak lagi 23 tepat. Kautsky menyatakan bahwa kondisi kelas pekerja di Jerman semakin terbelah sehingga perjuangan insureksi tidak lagi dapat dijadikan sandaran. Kautsky tidak merubah aktor politik pada analisis kelas Marx dengan tetap berpegang pada kelas proletariat sebagai pusatnya. Namun perubahan dilakukannya dalam konsep perebutan kekuasaan dan konsep kediktatoran proletariat. Ia percaya bahwa kondisi proleteriat Jerman sudah mulai membaik dengan pemerintah yang mau menerima pendirian partai proletariat. Menurutnya, revolusi sosial dapat diwujudkan dengan jalan damai melalui proses formal demokrasi. Pandangan Kautsky tersebut mendapatkan dukungan dari Eduard Bernstein8 yang meyakini bahwa kapitalisme dapat diatur untuk kesejahteraan rakyat. Menurutnya, pemilahan pajak penghasilan akan meghasilkan distribusi kesejahteraan yang adil dan merata sedangkan nasionalisasi secara berangsurangsur dapat memberikan kekuasaan bagi kelas buruh untuk mengarahkan pembangunan. Pandangan Bernstein dan kaum sosial demokrat Jerman ini merubah sudut pandang politik Marxisme secara radikal. Negara tidak lagi dilihat sebagai alat penindasan kelas berkuasa namun sebagai agen netral yang dapat dijalankan oleh pemilik modal dan kelas buruh sehingga kelas buruh harus dapat memperluas pengaruh negara. Selain itu keberhasilan Partai Sosial Demokrat di Jerman untuk menggalang dukungan membuatnya yakin bahwa partai dapat mengambil alih negara secara berangsur-angsur. Pandangan ini menanggalkan 8 Bernstein tidak seperti para pendahulunya yang menentang keras kapitalisme, Ia meyakini bahwa kapitalisme dapat diatur untuk kesejahteraan rakyat Meskipun revionisme Bernstein tersebut ditolak oleh Partai Sosial Demokrat Jerman dan Internasional II, pandangann revisionis Bernstein bertahan dalam Partai Sosial Demokrat Jerman dan memperngaruhi pendirian partai Buruh Inggris. 24 pendekatan revolusioner dalam tubuh Marxisme yang kemudian dikenal sebagai revisionisme dan terus berkembang dalam sosial demokrasi Eropa. Revisionisme Kautsky ini ditentang oleh Lenin, anggota Partai busruh Sosial Demokrat Russia yang juga menjadi pimpinan faksi Bolshevik di dalamnya. Lenin menunjukkan bahwa revisionisme adalah dampak dari perluasan pasar Eropa melalui ekspansi kolonialisme Eropa sehingga buruh di negara kolonial yang memiliki corak produksi industri mendapatkan perbaikan kehidupan sementara di belahan dunia lainnya, di negara jajahan dan negara semi industrial, buruh tetap menghadapi penindasan. Ia mempertahankan penguasaan secara langsung melalui revolusi dengan metode insureksi bersenjata. Dalam analisis kelas, Lenin tetap menggunakan kelas proleariat sebagai kelas pelopor. Namun, kondisi yang ia hadapi di Russia berbeda dengan negara lain di Eropa Barat. Sebagai kelas pelopor yang juga harus memiliki kekuatan mayoritas, kelas proletariat Russia masih minoritas sehingga memerlukan bantuan dari kelas lain yang menjadi tenaga produktif mayoritas di Russia dalam perebutan kekuasaan dan transformasi sosialis. Lenin kemudian mengajukan perubahan pada konsep diktator proletariat dengan menambahkan petani di dalamnya. Menurutnya, revolusi yang dilakukan oleh kelas pekerja menghasilkan diktator demokrasi revolusioner yang terdiri dari proletar dan petani. Dalam pemikiran Lenin, kediktatoran proletariat adalah demokrasi revolusioner yang menempatkan kekuasaan berada pada komune buruh dan petani yang dipilih berdasarkan teritorial. Komune ini meleburkan fungsi trias politika dalam satu dewan dan berkuasa untuk mencalonkan juga memecat pejabat 25 pemerintah. Batasan dari demokrasi revolusioner ini adalah kebutuhannya untuk menindas borjuasi dan perlawanannya9. Interpretasi Lenin menjadi ciri khas Bolshevisme yang bertahan hingga saat ini, aliansi buruh dan tani yang diabadikan melalui simbol palu arit juga menjadi simbol internasional bagi partai komunis setelah Lenin. Konsepsi kediktatoran proletariat Lenin tidak sama dengan konsepsi kediktatoran dalam makna kekuasaan dipegang oleh satu orang atau birokrasi partai. Kediktatoran proletariat dimaksudkan sebagai oposisi terhadap demokrasi borjuis yang menurutnya bukanlah demokrasi melainkan kedikatatoran borjuis ketika kekuasaan hanya dimiliki oleh monoritas yang berkuasa atas alat-alat produksi. Sebagai oposisinya, kediktatoran proletariat merupakan konsep kekuasaan yang berpusat pada tenaga produktif mayoritas untuk melakukan transformasi sosial menuju sosialisme. Lenin menekankan bahwa sosialsme harus menciptakan masyarakat yang demokratis. Dalam sosialisme menurut Lenin demokrasi hampir sempurna hanya dibatasi oleh kebutuhan untuk menghancurkan perlawanan borjuasi. Situasi ini diciptakan untuk mewujudkan komunisme yang dijalankan dengan prinsip, dari setiap orang berdasarkan kemampuannya untuk setiap orang berdasarkan kebutuhannya. Perdebatan ketiga muncul setelah kematian Lenin dan naiknya Stalin sebagai pemimpin Uni Soviet. Stalin tidak merubah prinsip aliansi kelas buruh dan petani yang diajukan oleh Lenin. Perubahan dilakukannya pada persepsi 9 Konsepsi lenin mengenai demokrasi revolusioner ini diambilanya dari interpretasi Marx terhadap komune Paris. Selengkapnya dalam (Lenin. 2000. Negara dan Revolusi. Fuspad. Jakarta) 26 politik terhadap penguatan peran negara. Stalin berpendapat bahwa kediktatoran proletariat dilaksanakan oleh Partai Komunis dengan memusatkan kekuatan produksi pada negara. Stalin tidak menunggu buruh melakukan revolusi dunia namun mendorongnya melalui dukungan Partai Komunis dengan membentuk Komintern (Komunis Internasional). Stalin tidak sependapat dengan Marx yang memandang bahwa negara harus melenyap ketika masyarakat komunis tercapai. Menurutnya negara sosialis dikepung oleh negara-negara kapitalis yang akan menentang diktator proletariat. Oleh karena itu, dikator proletariat harus memusatkan kekuatannya pada negara dan secara tidak langsung digantikan oleh kediktatoran Negara. Pendapat Stalin ini segera mendapatkan tantangan dari Leon Trotsky yang menyebutnya sebagai pengkhiant revolusi Bolshevik. Trotsky membentuk International IV sebagai oposisi terhadap Stalinisme. Para pendukungnya kemudian memprioritaskan pada pengorganisiran buruh industri dan meninggalkan aliansi kelas dengan petani. Meskipun mendapatkan kecaman, praktik Stalinisme dapat bertahan dan menjadi arus utama tendensi komunisme di dunia, termasuk di Indonesia di awal masa kemerdekaan. Perdebatan keempat adalah perdebatan yang menciptakan antiklimaks bagi politik sayap kiri di masa perang dingin. Mao Tse Tung, pemimpin Partai Komunis China (Kuo Chan Tang), beranggapan bahwa analisis kelas Russia tidak mampu menjawab kebuntuan politik di Asia yang mayoritas menjadi negara jajahan dan tidak memiliki basis negara industri. Mao memindahkan episentrum aktor politik kelas pada elemen tenaga produktif mayoritas di Asia, terutama 27 China, yaitu petani. Pemikiran ini terutama berkembang pada gerakan-gerakan revolusioner di negara kolonial dan semi kolonial seperti di Vietnam, Indonesia, dan Amerika Latin. Pemikiran Mao dan sikap politiknya mempengaruhi pengembangan konsep Eurocommunism di Italia dan Spanyol dan gerakan Kiri baru di Perancis10. Maoisme memindahkan doktrin kelas pada konsep massa yang lebih fleksibel, melalui konsep ini perjuangan politik dan ideologi membuat hubungan material dan kelas menjadi lebih otonom. Lois Althusser dan Nicos Poulantzas yang meregenerasi pemikiran tentang revolusi kebudayaan pada kritik terhadap logika instrumental Marxian terhadap negara. Poulantzas juga mengembangkan teori kelas baru yang berusaha menjelaskan posisi kelas borjuis kecil baru atau yang dikenal sebagai kelas menengah baru. Pengembangan teori ini memiliki motivasi politik untuk menjelaskan bagaimana identitas borjuasi dan proletariat disatukan dalam kelompok menengah yang jumlahnya terus meningkat. Berbeda dengan perdebatan sebelumnya, konsep yang dibawa oleh Poulantzas mendobrak analisis struktural Marxisme tentang kepeloporan kelas buruh dengan meluaskan spektrum perjuangan politik. Selain itu, ia juga melepas konsep kediktatoran proletariat dan menekankan kembali pada konsep melenyapnya negara dalam marxisme. Berbeda dengan Eropa, negara dunia ketiga seperti Amerika Latin mengembangkan tendensi politik yang lebih longgar dari analisis kelas struktural. 10 Pengaruh Maoisme di Eropa digunakan sebagai perbandingan studi Marxisme oleh Nicos Poulantzas dan Lois Althusser dijelaskan oleh Ellen M. Wood dalam The Retereat From Class; A New True Socialism (1998) yang menjelaskan bagaimana pemikiran sosialisme baru di Eropa melepas dominasi analisis strukturalis Lenin tentang perjuangan kelas. 28 Amerika Latin sebagaimana negara dunia ketiga lainnya mengalami persoalan yang lebih kompleks, secara ekonomi politik konfigurasinya dapat dilihat dari peran kediktatoran militer, ketergantungan terhadap hutang luar negeri dan modal asing, eksploitasi sumber daya alam tanpa alih teknologi, lonjakan populasi, dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Secara umum dapat dilihat lewat karakteristik produksi yang lemah dan dominasi sistem pra kapital. Akibatnya konfigurasi kelas di Amerika Latin tidak mengalami kristalisasi pada kubu-kubu yang berlawanan dalam relasi produksi, meskipun ada namun jumlahnya tidak signifikan. Kaum miskin urban adalah jumlah penduduk dominan di negara-negara Amerika Latin. Disusul dengan para petani tak bertanah dan kaum adat yang didiskriminasi secara politik. Konfigurasi ini membelah kondisi sosial-politik pada dua kelompok yang berlawanan dalam kategori politik yang longgar yaitu kaum elit dan massa. Elite diasosiasikan pada kelompok orang yang mendapatkan keuntungan kapitalisme, sementara massa adalah kelompok yang terkena dampak kapitalisme yang juga disebut sebagai kelas popular. Model ini berkembang pada pemerintahan Salvador Allende di Chile (1971-1973) melalui eksperimen jalan demokratis menuju sosialisme di Chile atau lebih dikenal sebagai via Chilena11. Allende yang maju menjadi Presiden melalui Unidad popular yang merupakan aliansi partai-partai kiri seperti Partai Komunis Chile, Partai Sosialis dan organisasi-organisasi kiri mendasarkan keuatannya pada rakyat yang terdiri dari kaum buruh dan pengangguran di kota dan di desa. Allende menggunakan istilah Poder Popular atatu kekuatan rakyat untuk 11 Lebih lengkap mengenai Chile pada Disertasi Arief Budiman berjudul Jalan Demokratis ke Sosialisme; Pengalaman Chili di Bawah Allende, dibukukan pada tahun 1987. 29 menempatkan rakyat jelata tersebut sebagai aktor politik transformasi sosial menuju sosialisme di Chile. Unidad Popular dalam program umumnya menegaskan bahwa revolusi hanya akan berhasil jika rakyat Chile memegang kekuasaannya di tangan sendiri (Budiman, 1987; 126). Mekipun begitu, konsep kekuatan rakyat sendiri tidak pernah dijelaskan secara rinci oleh Unidad Popular. Dalam pengelompokan kelas marxian, kelas popular terdiri dari kelas semi proletariat, borjuis kecil, semi proletariat hingga lumpen proletariat. Harnecker menjelaskan komposisi rakyat yang menerima konsekuensi kapitalisme termasuk sektor tradisional, kelas pekerja urban dan desa, kaum miskin yang terpinggirkan, strata pendapatan menengah, hingga polisi dan tentara berpangkat rendah, dan lainnya (Harneckker, 2007;28). Konfigurasi yang sangat beragam ini ditentukan oleh dampak kapitalisme berdasarkan stratum ekonomi bukan berdasarkan relasi produksi. Dampak dari kapitalisme bisa dirasakan beragam, begitupun juga kepentingan kelompok dalam kelas popular tersebut. Secara politik, model ini membutuhkan suprastruktur politik yang mampu mengintegrasikan meraka kedalam satu bentuk perlawanan tertentu. Perbedaan penentuan aktor politik ini membedakan konsep kelas popular dengan konsep kelas dalam analisis Marxian meski masih mengadopsi pandangan negara instrumental. Pada konsep kekuasaan, konsep kelas popular berkesesuaian dengan konsep kediktaroran proletariat yang ingin mengembalikan kekuasaan pada mayoritas. Dampaknya adalah kebutuhan untuk meredistribusi kekuasaan pada kelompok-kelompok yang berada di dalam kelas popular. Sementara, redistribusi kekuasaan hingga satuan-satuan terkecil populasi membutuhkan pengorganisiran 30 kelompok-kelompok dalam populasi dan memastikan organisasi-organisasi tersebut memahami kebutuhan mereka dan ikut menentukan suatu kebijakan. Salah satu contoh sukesnya adalah pengorganisiran barrios (kampung kota) di venezuela melalui mission bolivar dan pembentukan dewan kota yang ikut menentukan anggaran publik di Porto Allegre, Brazil. Keduanya sangat bergantung pada strategi mobilisasi yang dipimpin oleh negara. Meskipun begitu konsep ini tidak bisa dikatakan sudah stabil karena pada kenyataannya model kelas popular selalu menghasilkan polarisasi dual power antara birokrasi negara dengan dewan-dewan komunal yang dibentuk berdasarkan teritorial dan satuan kerja. Fragmentasi sosial yang ada didalam kelas popular juga membutuhkan legitimasi politik untuk menciptakan supratruktur politik yang mampu menyatukan mereka. Pada perjuangan politiknya, negara menjadi instrumen utama yang direbut oleh kelas popular untuk meredistribusi surplus dari kelas elit dan transformasi sosial secara massal. Namun, pandangan politik terhadap negara instrumental ini juga belum stabil karena pada kenyataannya, beberapa negara sosialis di Amerika Latin mengalami kesulitan dalam proses sirkulasi kekuasaan. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan perdebatan konseptualnya perbedaan konsep politik dalam politik sayap kiri dapat dibedakan melalui dua indikator yaitu pandangan terhadap analisis kelas dan konsep kekuasaan. Pandangan terhadap analisis kelas terbagi menjadi dua kategori yaitu pertama analisis kelas Marxisme klasik yang terbagi menjadi tiga tendensi yaitu: 31 1. Proletariat sebagai kelas pelopor 2. Aliansi kelas proletariat (Buruh) dan borjuis kecil progresif (Tani) 3. Borjuis kecil progresif sebagai pelopor (Petani) Kategori kedua adalah analisis kelas Neo-Marxis yang terbagi menjadi dua kategori yaitu: 1. Spektrum politik luas melibatkan kategori sosial lain diluar kelas terutama berdasarkan nilai-nilai sosial tertentu. 2. Kelas popular yang melibatkan seluruh elemen sosial yang terkena dampak kapitalisme. Sedangkan dalam konsep kekuasaan peneliti pada pandangan konseptual terhadap negara yang dibagi dalam tiga kategori yaitu: 1. Pandangan instrumentalis yang memandang negara sebagai alat kepentingan kelas. 2. Pandangan institusionalis yang memandang negara sebagai tujuan. 3. Pandangan strukturalis yang memandang negara sebagai lembaga yang memiliki otonomi relatif. 2.2.2 Perdebatan Strategi Politik Perdebatan strategi politik merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan konseptual dalam analisis kelas dan konsep kekuasaan. Perdebatan ini berkisar pada dua sentral perdebatan yaitu; metode perebutan kekuasaan dan bentuk organisasi politik. Kedua sentral perdebatan tersebut sebenarnya memiliki relasi kausal yang saling mempengaruhi. 32 Teori politik Marxisme selalu berkaitan dengan revolusi, baik revolusi politik maupun revolusi sosial12. Keterlibatan ini berangkat dari asumsi Marx bahwa revolusi merupakan lokomotif sejarah menuju komunisme. Pada politik Marxisme, metode revolusi yang diambil oleh sebuah organisasi politik sayap kiri ditentukan oleh konsep kekuasaan yang digunakannya. Pandangan klasik Marx sangat berkaitan dengan pandangannya terhadap konsep kekuasaan bahwa Negara adalah instrumen dominasi kelas yang secara definitif merupakan alat represi kelas dominan13. Perebutan kekuasaan Negara dalam pandangan ini adalah perebutan instrumen kelas penindas sehingga tidak mungkin tidak mendapat perlawanan lewat kekerasan. Pada konteks strategi politik, prinsip pandangan ini adalah perebutan kekuasaan diluar jalur pergantian kekuasan formal negara secara paksa. Strategi ini juga dikenal sebagai strategi insureksi. Pada konteks strategi politik, penggunaan kekerasan dalam insureksi bukanlah instrumen utama melainkan konsekuansi taktis yang digunakan berdasarkan kebutuhan objektif perebutan kekuasaan. Dalam politik Marxisme, penggunaan kekerasan melahirkan pembelahan antara kelompok kiri yang menghadapi situasi politik yang berbeda. Dalam perkembangannnya strategi insureksionis dikembangkan melalui dua jalan yaitu metode perjuangan bersenjata dan metode tak bersenjata atau lebih 12 Theda Skocpol membedakan revolusi sosial dengan revolusi politik berdasarkan perubahan yang dihasilkannya. Bagi Skocpol revolusi sosial melibatkan perubahan mendasar yang cepat dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara. Sementara revolusi politik hanya mengubah struktur negara tanpa merubah struktur masyarakat (Skocpol, 1991;2) 13 Marx dalam Manifesto Komunis menjelaskan pengunaan metode kekerasan dalam perebutan kekuasaan melalui kritiknya terhadap kaum sosialis utopis dalam kutipan berikut: Mereka menolak semua aksi politik, terutama yang revolusioner; mereka berharap bisa mencapai tujuannya dengan jalan damai, dengan pengalaman yang miskin, ringkih terhadap kegagalan, dan berusaha melapangkan jalan bagi gospel sosial baru. (Marx.1999; 76) 33 dikenal sebagai people power, aksi massa, pemogokan dan boikot. Pada abad ke 20 metode perjuangan bersenjata merupakan strategi politik dominan yang dipelopori oleh Perang Sipil di Russia dan strategi gerilya tentara politik (Pol-Mil) di China dan Kuba. Sementara, metode insureksi tak bersenjata atau people power dilakukan melalui berbagai macam metode protes dalam skala besar seperti demonstrasi, mogok, boikot, ketidakpatuhan sipil dan metode lainnya. Insureksi tanpa kekerasan didefinisikan sebagai tantangan terorganisir rakyat terhadap kekuasaan pemerintah dengan aksi tanpa kekerasan. Pada awalnya, protes massal ini berkembang di Eropa dan Amerika dalam protes anti perang Vietnam dan protes terhadap kediktatoran negara. Pertama kali keampuhan people power dibuktikan oleh Iran pada penggulingan pemerintahan Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979. Keberhasilan Iran diikuti oleh gerakan pro-demokrasi di Bolivia melawan Junta militer (19781982), model yang sama juga meluas di kalangan pro-demokrasi di negara lainnya dalam agenda melawan kediktatoran seperti di Afrika Selatan, Sudan, Bangladesh dan Nepal hingga awal 1990-an. Di Asia Tenggara, people power berhasil menggulingkan pemerintahan Marcos di Filipina (1986) dan Orde Baru di Indonesia (1998). Meskipun tanpa kekerasan bersenjata, model insureksi people power tidak berarti tidak menimbulkan potensi kekerasan. Pemasangan poster, kritik, dan propaganda anti pemerintah di negera liberal mungkin tidak mengakibatkan respon kekerasan dari negara. Sebaliknya, di negara pretorian atau diktator militer, tindakan ini merupakan tindakan politik yang dianggap berbahaya dan memancing 34 respon represif. Demonstrasi atau aksi massa di negara diktator dianggap provokasi yang juga berbahaya sehingga demonstran akan menghadapi represi negara. Dalam kondisi tertentu represi negara terhadap demonstran tak bersenjata akan menghasilkan kerusuhan berskala luas melawan negara14. Perkembangan perdebatan strategi politik Marxis juga meluas pada intervensi politik melalui jalur demokrasi formal. Strategi ini berkembang dalam pemikiran sosial demokrasi Jerman yang dipelopori oleh Kautsky dan tendensi Eurocommunism di Spanyol serta Santiago Carillo yang mempeloporinya di Italia. Selain itu, muncul juga strategi yang menjauhi perebutan kekuasaan melalui negara. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai gerakan kiri baru (new left) yang mengonsentrasikan aktivitas politiknya pada gerakan di luar negara. Strategi politik dari kelompok kiri baru ini digambarkan oleh Poulantzas sebagai hubungan organik antara komite warga komune-komune yang menggantikan fungsi negara (Townshend, 1996; 187). Dalam politik sayap kiri, strategi politik lainnya yang berkembang adalah strategi populis radikal yang berkembang pada eksperimen sosialisme di Amerika Latin. Eksperimen besar ini dimulai dari intervensi partai kiri dan organisasiorganisasi radikal berbasis massa pada proses demokrasi. Politik sayap kiri mengintervensi proses demokrasi melalui berbagai metode dari people power hingga percobaan elektoral. Pada dasarnya, pandangan terhadap negara merupakan pengembangan dari pandangan instrumental dan pandangan otonomi relatif. Eksperimen politik yang 14 Tilly dalam Strikes, War, and Revolutions in an International Perspective (1989: 12) menjelaskan bahwa pemogokan atau aksi massa memiliki potensi revolusioner dan seringkali mendorong pada kondisi perang sipil terutama dalam kasus konflik industrial. 35 dipelopori oleh revolusi Bolivarian di Venezuela dan meluas ke beberapa negara lain disekitarnya dapat ditandai dengan dua motif yaitu partisipasi seluas-luasnya dalam proses demokrasi dan pembangunan manusia. Kedua motif ini menjadi program politik yang dimobilisasi oleh negara setelah partai-partai kiri berhasil merebut kekuasaan melalui jalur demokrasi. Strategi ini secara politik berhasil menguatkan legitimasi publik namun dipihak lain tetap terjadi kekuasaan ganda karena perubahan sosial dilakukan secara bertahap tanpa mobilisasi represi negara seperti dalam tradisi Marxis klasik. Perbedaan strategi perebutan kekuasaan dan pandangan terhadap negara menghasilkan bentuk organisasi politik yang berbeda. Secara prinsip, organisasi Marxis merupakan organisasi berbasis kelas yang berpusat pada kelas buruh sebagai wadah emansipasi kelas buruh mengorganisir dirinya sendiri (Marx, 1970). Marx tidak menganjurkan konsep partai politik dalam tujuan masyarakat tanpa kelasnya. Menurutnya partai politik tidak dapat menjaga massa dan mengarahkannya pada revolusi sosial karena hanya dapat memegang antusiasme massa untuk waktu yang singkat berdasarkan momentum. Marx menggabungkan dua bentuk organisasi yaitu gerakan Chartist Inggris15 dan kelompok korespondensi intelektual Eropa yang masih membawa tradisi masyarakat rahasia yang lazim muncul pada masa revolusi Perancis. Penggabungan keduanya membawa Marx pada bentuk “blok terbuka” yaitu sebagai faksi militan yang 15 Pada 1848 ,gerakan Chartis Inggris yang dipimpin oleh Ernest Jones dan Julian Harney pernah melakukan pemberontakan namun pemberontakan ini gagal dan menghasilkan kehancuran organisasi tersebut pada 1858. Model organisasi ini merupakan prototipe serikat buruh modern. (Kristeva, 2011;211) 36 berada dalam organisasi kelas buruh. Ia memilih bentuk liga sebagai menjadi payung afiliasi politik yang memungkinkan emansipasi kelas pekerja. Ide mengenai konsep partai modern kiri lahir setelah Marx melalui Engels dan Kautsky pada international II. Melalui Engels, Kautsky, dan Bernstein konsep partai Marxis memindahkan episentrum perjuangan kelas pada perjuangan demokrasi formal seperti parlemen dan pemilihan umum dengan orientasi memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan oleh negara. Perubahan ini menunjukkan bahwa perubahan konsep organisasional dalam organisasi Marxis bergantung pada penerjemahan situasi politik kontemporer yang dianalisis melalui prinsip-prinsip umum Marxisme. Konsep partai yang menggunakan jalan demokrasi formal ini mendapatkan kritik dari salah satu tokoh Bolshevik Russia yaitu V.I. Lenin. Berseberangan dengan Kautsky, Lenin mengembalikan politik Marxisme pada perjuangan kelas di luar parlemen dan menganjurkan perjuangan bersenjata. Pada dasarnya, bentuk organisasi yang diusulkan oleh Lenin mengacu pada pembentukan partai yang kuat untuk melawan rezim otoriter pada masa revolusi Russia. Lenin memadukan konsep gerakan massa dan perubahan dari bawah kaum Jacobin di Perancis dengan organisasi revolusioner konspiratif kaum Blanquist untuk menciptakan konsep Partai Pelopor (vanguard). Konsep organisasi Lenin kemudian dikenal sebagai Bolshevisme 16 atau Marxisme-Leninisme. 16 Bolshevisme atau yang lebih dikenal sebagai Leninisme merupakan pemikiran politik sekaligus bentuk partai yang diperkenalkan oleh Lenin pada kongres kedua Partai Buruh Sosial Demokrat Russia. Konsep ini diajukan sebagai gugatan kelompok Bolshevik (Mayoritas) terhadap konsep partai dan kelompok Menshevik (Minoritas). Lebih lengkap pada Revolution, Democracy and Socialism; Selected writing of V.I Lenin, Paul Leblanc (ed). (Leblanc, 2008 ; 197) 37 Menurutnya, partai harus diorganisir dalam bentuk yang sangat hirarkis yang berarti komite sentral partai memiliki kekuasaan yang luas untuk mengarahkan komite dibawahnya untuk mengendalikan anggota secara individual17. Konsepsi ini kemudian melahirkan istilah sentralisme demokrasi yang digunakan pada mayoritas Partai Komunis di dunia18. Dalam revolusi, Bolshevik memposisikan dirinyasebagai pelopor perjuangan kelas. Bolshevik bukanlah partai kelas pekerja melainkan terdiri dari kader Marxis militan yang berkomitmen pada revolusi sosialis secara politik mengikat keberpihakannya pada kelas pekerja dan bertugas memasok kesadaran politik kelas pekerja (Bottomore, 2001; 55). Lenin juga pernah mengambil jalur parlementer ketika Tsar membuka peluang politik melalui Duma (parlemen) pada 1905. Duma dijadikan landasan bagi Bolshevik untuk meraih dukungan elit politik dan massa dengan kerja agitasi dan propaganda partai. Ketika peluang politik tersebut tertutup dan represi meningkat karena aktivitas radikal dalam parlemen dan dukungan massa menguat terhadap partai, Lenin dan partai Bolshevik kembali bergerak di luar parlemen dan memimpin revolusi dengan kekerasan. Setelah Lenin, konsep Bolshevisme ini diteruskan oleh Stalin yang berpandangan birokratis dan menggunakan negara sebagai instrumennya. Sejak masa Stalin, Bolshevisme berasosiasi dengan sosialisme satu Negara, sentralisme birokrasi dan militer, kolektivisasai pertanian, dan subordinasi Partai Komunis terhadap Uni Soviet (Bottomore, 2001 ; 54). Keharusan subordinasi Partai Sosialis 17 Lenin dalam Letter to a Comrade on Our Organisational Question (Townshend, 1996, p. 75) Salah satunya dapat dilihat pada Anggaran dasar partai Murba mengenai mekanisme organisasi (Partai Murba, 1957) 18 38 dan Partai Komunis di luar Uni-Soviet ini membuat gerah banyak partai kiri di seluruh dunia. Partai Komunis China (Kuo Chan Tang) mengambil sikap politik bertentangan dengan Uni Soviet sehingga membelah pengaruh Partai Komunis di dunia pada dua kutub yaitu kutub Soviet dan China19. Di Eropa perpecahan ini memunculkan Eurocommunism ketika Partai Komunis dan Partai Sosialis melepas ketergantungan strategi-taktiknya dari Uni Soviet. Eurocommunism mendorong strategi politik perebutan kekuasaan dengan jalan damai. Konsep ini mendapatkan sanggahan dari Nikos Poulantzas mengandaikan sebuah Negara paralel kelas borjuasi dan proletariat yang melatih kemampuan kelas proletariat untuk mengorganisasikan dirinya. Dalam kutipan di atas, Ia mengatakan bahwa dalam kategori yang luas, warganegara dalam demokrasi memiliki kemampuan untuk membentuk banyak komite yang dapat menggantikan fungsi Negara. Perkembangan terakhir adalah model organisasi front popular di Amerika Latin yang menggabungkan berbagai organisasi sosial radikal dalam satu organisasi atau partai persatuan. Konsep ini lahir sebagai konsekuensi dari analisis kelas di negara dunia ketiga yang memiliki jumlah populasi proletariat kecil dan corak produksi semi industrial. Konsep ini menggunakan strategi mobilisasi massa yang mengarah pada polarisasi politik dengan meningkatkan ekspansi politik pada partisiapsi politik massa. 19 Sikap China terhadap Uni Soviet pada tahun 1959 ini dikenal sebagai Sino-Soviet Split. Di Indonesia peristiwa ini menghasilkan poros Jakarta-Beijing. Lebih lengkap pada Indonesian Communism Under Soekarno, Rex mortimer (Mortimer, 1974) 39 Berdasarkan pemaparan di atas mengenai perdebatan strategi politik sayap kiri, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat tiga varian metode revolusi dalam strategi politik sayap kiri, yaitu: 1. Strategi insureksi atau perebutan kekuasaan secara paksa yang terbagi menjadi dua model yaitu model insureksi bersenjata dan insureksi tidak bersenjata. 2. Strategi damai melalui proses elektoral 3. Strategi populis radikal yang mengkombinasikan model insureksi tanpa senjata dan peluang elektoral. Pilihan strategi politik tersebut menciptakan kebutuhan pembentukan organisasi politik yang berbeda-beda. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti membagi bentuk organisasi politik sayap kiri ke dalam tiga bagian yaitu; 1. Partai Politik termasuk model vanguard bolshevisme, partai massa Maoisme, dan partai elektoral sosial demokrasi Jerman dan Eurocommunist. 2. Gerakan politik termasuk model faksi terbuka, liga, komite-komite politik, tentara politik, dan jaringan politik. 3. Front Persatuan, model ini merupakan model yang mengombinasikan gerakan politik dengan partai politik. 2.3 Teori Proses Politik Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori proses politik untuk menjelaskan bagaimana PRD sebagai salah satu representasi politik sayap kiri di Indonesia mengembangkan strategi elektoral. Teori proses politik adalah teori 40 yang digunakan untuk menjelaskan mobilisasi gerakan sosial dan memperkirakan peluang politik, struktur mobilisasi dan proses framing seiring dengan perselisihan atau perseteruan yang berulang (Caren, 2007: 1). Teori ini berkembang sejak era 1970an dan 1980an, dan berakar pada analisa perjuangan hak sipil di Amerika dan Eropa. Teori proses politik berfokus pada interaksi antara atribut gerakan, struktur organisasi dan konteks ekonomi politik yang melatarinya. Pada awalnya, teori ini dikembangkan pada penelitian Olson pada tahun 1965 (Caren, 2007:1) berupaya untuk menganalisa tentang perilaku protes gerakan sosial dan berujung pada kesimpulan bahwa protes yang dilakukan gerakan sosial tindakan irrasional para pelaku protes. Baru pada 1973, Peter Eisinger kembali meneliti gerakan protes masyarakat urban kulit hitam di Amerika Serikat yang melekatkan perilaku protes pada lingkungan berlangsungnya proses politik (dalam Meyer, 2004; 126). Dalam studinya, Eisinger berkonsentrasi pada efek dari “lingkungan politik” terhadap konteks proses politik yang berlangsung di suatu tempat. Analisis Eisinger merupakan bagian dari analisis sistem politik dengan menempatkan gerakan sosial sebagai input bagi sistem politik dan perubahan kebijakan sebagai outputnya. Menurutnya peluang politik gerakan sosial bergantung pada struktur politik yang terbuka atau tertutup yang dihadapi oleh gerakan sosial (Meyer, 2004 ; 128). Konteks ini disebut sebagai struktur peluang politik oleh Dieter Opp . (2009; 162) yang menjelaskan bahawa lingkungan memperluhatkan tekanan langsung pada aktivitas politik. Tekanan ini tidak mendasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh 41 persoanal maupun kelompok melainkan ditentukan oleh interaksi kompleks dari aktivitas politik berbagai kelompok dalam lingkungan politik. Opp (2009:166) menjelaskan bahwa permasalahan teori ini adalah interpretasi makro-proposisi teori dalam menjelaskan protes politik. Hal ini dianggap tidak relevan karena Eisinger menempatkan protes dan gerakan sosial pada posisi linear yang konstan bukan sebagai subjek yang bergerak. Teori ini selalu mengulang proposisi yang sama dalam model linear yaitu rendahnya struktur peluang politik menghasilkan tingginya tingkat protes. Bagi Eisinger, protes akan berhenti seiring dengan terbukanya peluang politik dan ketika politisi menyambut protes sosial tersebut dengan memberikan respon terhadap protes melalui kebijakan (Meyer, 2004; 128). Dalam konteks politik sayap kiri respon pemerintah tidak serta merta menurunkan tingkat protes karena beberapa varian tuntutan sayap kiri yang secara ideologis bertentangan dengan rezim. Berbeda dengan Eisinger, Tilly berpendapat bahwa gerakan sosial tidak dapat ditempatkan pada posisi konstan melainkan menjadi sesuatu yang terus bergerak. Tilly berupaya menggunakan teori proses politik untuk menjelaskan fenomena besar seperti revolusi, kekerasan politik, perang, dan demokratisasi (Tilly, 2002: 248). Dalam Dynamics of Contention, Tilly (2008; 14). memaparkan lebih lanjut bahwa teori struktur peluang politik sebelumnya menempatkan unit analisisnya pada struktur peluang politik yang bersifat statis seperti perubahan lingkungan politik sebagaimana penjelasan Eisinger mengenai peluang politik.. Dalam dinamika politik, unit analisis statis tidak dapat menjelaskan bagaimana perseteruan muncul dan berulang (repertoires). Posisi statis ini 42 seringkali berakhir pada interpretasi banal tentang gerakan sosial yang menganggap gerakan mahasiswa, mobilisasi buruh, dan gerakan politik popular lainnya sebagai perilaku kolektif yang irasional, impulsif dan tidak bertanggung jawab. Seperti dijelaskan Meyer dalam kutipan berikut; Para Sosiolog dan ilmuwan politik pada tahun 1950an menulis dengan fasisme secara umum dan nazisme secara partikular dalam pikiran. Mereka mendefinisikan gerakan sebagai disfungsional, irrasional, dan secara inheren tidak diharapkan, dan mereka yang bergabung dalam gerakan digambarkan sebagai orang-orang yang terpisah dari asosiasi intermediet yang akan menghubungkan mereka dengan tujuan sosial yang lebih produktif, dan tidak merusak. (Meyer, 2004;126) Pendapat ini dimanifestasikan lewat dikotomi analisis gerakan sosial dan politik dengan menempatkannya pada kajian sosiologis ataupun psikologi sosial. Pemisahan ini menyebabkan gerakan sosial tidak lagi dipandang sebagai ekspresi politik melainkan tindakan alternative untuk menunjukkkan ketidakpuasan terhadap keadaan. Dikotomi interaksi politik institusional dan non-institusional sulit untuk ditetapkan karena keduanya seringkali berasal dari proses kausal yang sama. Tilly menganalogikan proses kausal ini seperti pada fenomena revolusi, gerakan new left, dan politik etnis (Tilly, 2008;7). Dalam paradigma ini adaptasi sebuah organisasi dimungkinkan bergerak dari non-institusional menjadi institusional dan kembali menjadi non-institusional atau keduanya dalam satu wadah secara bersamaan. Tilly menempatkan gerakan sosial dalam kondisi bergerak untuk menjelaskan bagaiman proses transformasi dapat terjadi pada sebuah gerakan sosial. Tidak hanya selesai pada satu perubahan kebijakan namun sebagai agenda 43 yang berulang (repertoires) menujiu perubahan sosial. Ditempatkannya gerakan sosial pada kondisi bergerak menjadikan teori proses politik yang direvisi oleh Tilly tidak mengacu pada peluang kesuksesan sebuah gerakan sosial seperti yang diasumsikan oleh Eisinger malainkan pada ketidakpastian transformasi. Pengembangan teori proses politik yang dilakukan oleh Tilly adalah dengan memindahkan koordinat analisis teori proses politik yang sebelumnya berorientasi pada organisasi gerakan sosial ke proses interaksinya dengan populasi (Tilly, 1995;1604). Proses Politik gerakan sosial yang berinteraksi dengan populasi seringkali mendorong transformasi gerakan sosial menjadi partai elektoral. Transformasi ini terjadi di sebagian negara dunia ketiga yang melepaskan diri dari kediktatoran rezim sebelumnya atau sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan pro kapitalisme. Fenomena proses politik ini menjadi lazim di Amerika Latin dengan banyaknya jumlah gerakan protes yang masuk dalam arena politik legal. Di Indonesia, pembahasan mengenai proses politik gerakan sosial baru kembali mengemuka setelah jatuhnya rezim Orde Baru melalui fenomena PRD dan PKS. Proses Politik ini dijelaskan oleh David C.Lose dan Gary Prevost dalam From Revolutionary Movements to Political Parties sebagai berikut; Gerakan, bahkan yang paling kuat sekalipun, secara umum memiliki struktur yang fleksibel. Mereka mendorong anggotanya untuk berpartisipasi sebesar mungkin dan mengizinkan perubahan substansial. Partai membutuhkan displin yang lebih kuat setidaknya untuk mendukung kebijakan. Untuk merubah gerakan sosial menjadi partai politik dibutuhkan perubahan signifikan meliputi budaya organisasi dan logika operasional. (Close and Prevost, 2007;9) 44 Dalam teori proses politik, pergeseran ideologi ataupun perubahan tindakan politik tidak dilihat dalam pandangan yang sempit dengan kausal tunggal namun merupakan proses rumit yang melibatkan para aktor politik di internal organisasi maupun interaksinya dengan lingkungan politiknya. Teori proses politik merupakan antitesis dari teori organisasi yang berakar pada paradigma struktural fungsional dengan interpretasinya tentang keseimbangan sosial yang mengambil sudut pandang konflik. Teori ini tidak mengadopsi konsep keseimbangan atau stabilitas melainkan kesepakatan sementara yang dilandasi oleh upaya negosiasi untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo (Doug McAdam W. S., 2005; 18). Teori proses politik mengidentifikasikan tiga faktor luas yang mendorong peluang politik gerakan sosial dalam konteks tindakan politik. 1. Struktur Mobilisasi: bentuk organisasi baik formal maupun informal 2. Peluang Politik: struktur peluang politik dan ketegangan dan tingkat ketegangan gerakan. 3. Proses Framing: proses kolektif interpretasi, atribusi dan konstruksi sosial yang menjadi perantara peluang dan tindakan (Tilly, McAdam, Tarrow, 2005; 16). Ketiga faktor di atas merupakan unit analisis dari teori proses politik. Setiap unit analisis (mengikuti penjelasan Tilly sebelumnya) ditempatkan pada proses dinamis dan interaktif antarunit analisis dan konteks di dalam unit analisis tersebut. Interaksi ketiga unit analisis ini digambarkan pada model berikut; 45 Gambar 2.1 Model Analisis Teori Proses Politik Struktur Peluang Politik Proses Framing Struktur Mobilisasi (Sumber: diolah dari Tilly, Adam, Tarrow. 2008: Dynamics of Contention) 2.3.1 Struktur Mobilisasi Struktur mobilisasi adalah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial, tujuannya mengambil posisi-posisi yang dianggap strategis dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Dalam konteks ini melibatkan unit-unuit keluarga, jaringan pertemanan, unit-unit tempat bekerja, dan elemen-elemen negara. Mc Carthy dalam Tarrow (Tarrow. 1986;71) menyebutkan bahwa struktur mobilisasi memiliki dua kategori yaitu kategori formal dan informal. Kategori formal meliputi lembaga dan kelompok masyarakat yang terorganisir, sedangkan kategori informal adalah jaringan kekerabatan dan pertemanan. Tilly melakukan inovasi pada analisis struktur mobilisasi dalam proses politik dengan menyertakan perubahan di tingkat populasi yang berinteraksi dengan organisasi. Tilly mengasumsikan bahwa transformasi yang terjadi dalam level organisasi tidak hanya dilatari oleh tindakan subjektif organisasional melainkan juga hasil dari interaksi organisasi dengan perubahan di tingkat 46 populasi. Perubahan di tingkat populasi inilah yang nantinya akan menggiring munculnya sekutu potensial yang mendorong organisasi untuk mengambil tindakan politik dengan mentransformasikan bentuk organisasionalnya. Dengan begitu, Tilly mengubah mekanisme kausal dalam sruktur mobilisasi. Seperti yang digambarkan oleh Tilly pada gambar berikut; Gambar 2.2 Model analisis mobilisasi dalam perseteruan politik (Sumber: Tilly, 2008; 45) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa dalam komposisi dinamis gerakan sosial ditempatkan sebagai member sedangkan populasi ditempatkan sebagai chalenggers posisi ini menentukan interaksi antara kedua identitas tersebut. Dalam konteks penelitian ini, partai sayap kiri membutuhkan dukungan dari populasi. Baik organisasi maupun populasi memiliki atribusinya sendiri terhadap tantangan dan peluang yang muncul. Atribusi tersebut menentukan responnya terhadap perubahan lingkungan sosial politik disekitarnya. Keduanya kemudian menampilkan responnya dalam berbagai bentuk aksi. Pada titik inilah keduanya 47 bertemu dan mendorong terjadinya eskalasi ketidakpastian atau singkatnya peluang politik yang muncul karena aksi tersebut. Tilly dalam from mobilization to revolution (1978) mengembangkan sebuah model analisis proses politik yang lebih sederhana untuk menganalisis struktur mobilisasi melalui bentuk aksi kolektif yang dipilih oleh organisasi sipil dalam peristiwa revolusi dan pemberontakan politik di Inggris dan Amerika pada abad 18. Model ini adalah model dasar bagi analisis sekuensi historis dalam analisis proses politik. Tilly membagi model analisis proses politik pada dua bagian yaitu bagian abstrak dan bagian kongkrit. Bagian abstrak terdiri dari; statemaking, interests, organization, mobilization dan collective action. Sementara, bagian kongkret merupakan praktik simulatif dari model abstrak. Statemaking adalah situasi politik yang dihadapi oleh organisasi dan diinterpretasikan dalam tuntutan politik. Interests adalah kepentingan organisasi yang dijadikan program politik organisasi. Organization adalah persoalan yang dihadapi oleh organisasi atau kondisi internal organisasi. Mobilization adalah pilihan strategi politik organisasional. Collective action adalah aksi taktis yang dilakukan oleh organisasi. Tilly menggambarkan bahwa statemaking merupakan unsur utama yang menentukan bentuk interest dan organization. Interaksi antara program politik dan organisasi menghasilkan pilihan strategi politik dan aksi kolektif atau aksi taktis. 48 Gambar 2.3 Proses Mobilisasi Tilly Statemaking Interests Organization Mobilization Collective Action (Tilly. 1978; 230) Tilly menjelaskan bahwa model ini bukanlah model final, pada prinsipnya kita dapat menggunakan model ini dalam analisis proses politik dengan meneruskan pola pengambilan keputusan dan perhitungan taktisnya dengan mengaitkannya pada persaingan di dalam organisasi dan relasi organisasi dengan organisasi lainnya. Ditambah lagi dengan situasi objektif yang dihadapi serta peluang dan ancaman terhadap organisasi. Tilly mengadopsi interpretasi McAdam mengenai proses framing dan menjadikannya proses mikro yang berjalan bersamaan dengan proses politik untuk mengurangi resiko kesalahan analisis. Berdasarkan model tersebut dapat diringkas beberapa konsep struktur mobilisasi dalam proses politik; 1. Peluang dan ancaman bukanlah kategori yang objektif melainkan atribusi kolektif yang dibatasi oleh framing tujuan dari gerakan sosial dan organisasi. 2. Struktur mobilisasi dapat muncul sebagai prakondisi ataupun tercipta karena perseteruan dalam proses perubahan sosial. 49 3. Keseluruhan episode, aktor, aksi organisasional, dan populasi secara interaktif didapatkan melalui framing partisipan, lawan, pers dan pihak ketiga (akademisi, pengamat, kelompok yang tidak terlibat langsung dalam struktur mobilisasi). 4. Aksi inovatif dilakukan untuk menarik perhatian, membawa perubahan peluang kedalam lingkungan interaktif dan menghasilkan ketidakpastian bagi kelompok yang terlibat di dalam struktur mobilisasi. 5. Mobilisasi merupakan bagian dari perseteruan dalam perubahan sosial. (McAdam, 2004). Model struktur mobilisasi pada konteks penelitian politik sayap kiri memerlukan identifikasi pola organisasional sayap kiri untuk menunjukkan pola interaksi organisasi sayap kiri dengan populasi. Oleh karena itu peneliti menggunakan analisa Kelas Marxis untuk mengidentifikasi pola organisasional sayap kiri dalam penelitian ini. 2.3.2 Struktur Peluang Politik Struktur peluang politik merupakan inti dari teori proses peluang politik bahkan dalam beberapa literatur teori struktur peluang politik menjadi nama lain dari teori proses politik. Struktur peluang politik sendiri menurut Tilly memiliki unit analisis khusus yang dalam model struktur mobilisasi menentukan perubahan sosial yang mendasari terjadinya mobilisasi. Melengkapi teori proses politik, Tilly menambahkan spesifikasi peluang politik dengan indikator berikut: 1. Multiplisity sentral kekuasaaan dalam suatu rezim 2. Keterbukaan rezim terhadap aktor baru 50 3. Ketidakstabilan koalisi politik 4. Tersedianya sekutu dan pendukung 5. Perlawanan terhadap represi rezim dan aksi klaim kolektif 6. Perubahan menentukan dari poin 1 ke poin 5 (Tilly, 2005;44). Indikator spesifik ini juga ditempatkan pada komposisi yang dinamis dan interaktif sebagaiman model struktur mobilisasi. Represi rezim merupakan indikator yang diambil Tilly dari penjelasan McAdam bahwa represi yang dilakuakan oleh rezim mengasah respon gerakan sosial (McAdam, 1996). Indikator respon gerakan sosial ataupun organisasi terhadap represi diringkas dalam dua bentuk sikap yaitu toleransi dan protes. Dalam model peluang politiknya karena Tilly berorientasi pada dampak represi rezim pasca respon organisasi dan populasi. Menurutnya, protes ataupun toleransi tetap menciptakan sirkulasi peluang politik pada perpecahan elit politik. Gambar 2.4 Struktur Peluang Politik Multiplisitas sentral kekuasaaan dalam suatu rezim Perlawanan terhadap represi rezim dan aksi klaim kolektif Ketidakstabilan koalisi Politik Keterbukaan rezim terhadap aktor baru Tersedianya sekutu dan pendukung (Sumber: Diolah dari Tilly, 2005;44) Pada gambar di atas ditunjukkan interaksi dinamis yang terjadi dalam unit analisis struktur peluang politik Tilly. Struktur peluang politik dalam model ini 51 tidak menggunakan mekanisme kausal yang berasal dari satu identitas fenomena melainkan berasal dari proses. Setiap unit analisis memiliki relasi kausal dengan unit analisis lainnya, terkecuali pada poin ketiga (tengah) ketidakstabilan koalisi politik. Ketidakstabilan koalisi politik disebabkan oleh terjadinya pemendaran atau multiplisitas sentral kekuasaan atau perpecahan di tingkat elit rezim yang berkuasa. Oleh karenanya, menentukan tersedianya peluang aliansi atau sekutu namun tidak menentukan keterbukaan rezim terhadap aktor politik baru. Sebaliknya, keterbukaan rezim membuka peluang terbentuknya sekutu namun tidak menentukan ketidakstabilan koalisi politik. Tersedianya sekutu atau peluang kelompok yang dapat dipengaruhi oleh suatu organisasi dan gerakan sosial dapat mendorong terjadinya protes ataupun penciptaan klaim kolektif (misalnya tutntutan pengambilalihan lahan oleh serikat tani). Klaim kolektif dan protes tersebut menghasilkan respon dari rezim. Tilly menyederhanakan proses ini dalam perubahan yang menentukan terjadinya berpendarnya sentral kekuasaan. Perubahan merupakan proses utama dalam model struktur peluang politik Tilly, proses ini ini ditentukan oleh dua respon yaitu toleransi dan represi rezim. 2.3.3 Proses Framing Proses framing dalam teori proses politik digunakan dalam memahami kesuksesan dan kegagalan organisasi ataupun gerakan sosial meraih simpati luas pada populasi. Proses ini menuntut komitmen tinggi organisasi dan gerakan sosial dalam mempengaruhi publik. Pembentukan framing secara interaktif berkaitan dengan struktur mobilisasi. Sidney Tarrow (1986;110-117) menjelaskan bahwa 52 dalam menjalankan proses framing alat yang digunakan oleh aktor gerakan adalah media yang memegang peran penting dalam mengomunikasikan framing gerakan. Dalam konteks penelitian ini, politik sayap kiri seringkali tidak menggunakan media mainstream. Politik sayap kiri cenderung mengandalkan sirkulasi media internal dalam bentuk koran internal, selebaran, ataupun media elektronik. Namun yang lebih utama adalah menemukan frame politik sayap kiri itu sendiri. Pemahaman mengenai ideologi politik dan interpretasi politik sayap kiri terhadap kelompok populasi yang dijadikannya sebagai basis legitimasi menentukan proses framing yang dilakukan oleh politik sayap kiri. 2.3 Kerangka Pemikiran Pada penelitian ini, peneliti merumuskan beberapa asumsi penelitian Pertama, politik sayap kiri pasca-65 memiliki perbedaan pra-65 baik secara ideologi, strategi politik hingga bentuk organisasi yang dipengaruhi oleh perbedaan abstraksi konseptual dan perbedaan situasi politik yang dihadapinya. Kedua, PRD menunjukkan bahwa politik sayap kiri memiliki fleksibilitas strategi politik dan bentuk organisasi sesuai dengan peluang politik yang dihadapinya. Fleksibilitas ini ditunjukkan dalam kemampuan sublimasi organisasi secara paralel pada bentuk gerakan sosial dan partai politik. Asumsi diuji dengan membagi penelitian dalam dua tahap yaitu; pertama, mengidentifikasi varian politik sayap kiri PRD melalui empat indikator yang berlandaskan pada perdebatan konseptual dan perdebatan strategi politik sayap kiri. Identifikasi varian politik sayap kiri yang digunakan oleh PRD ini bermanfaat pada unit analisis struktur mobilisasi dalam proses politik. Kedua, untuk 53 menjelaskan bagaimana PRD mengembangkan strategi pemilu peneliti menggunakan teori proses politik. Pembahasan dilakukan melalui tiga kategori dalam teori proses politik yaitu struktur mobilisasi, struktur peluang politik, dan proses framing. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua model analisis proses politik yang digunakan oleh Tilly dan menggabungkannya dengan analisis politik marxis yang mengidentifikasi varian politik sayap kiri PRD. Peneliti juga menambahkan struktur peluang politik sebagai basis dampak mobilisasi yang terbagi pada dua respon yaitu fasilitasi dan represi dari rezim. Oleh karena itu, peneliti memodifikasi model tersebut menjadi kerangka pemikiran. Gambar 2.5 Kerangka pemikiran Varian Politik Sayap kiri PRD Program Politik PRD Organisasi Mobilisasi/ Strategi Politik Taktik: People power, pemilu dan Propaganda Peluang Politik Keterangan: Interaksi Respon Interaksi tidak langsung Represi Fasilitasi Proses Framing Media Massa dan Media Internal