BAB VIII HAK ASASI MANUSIA BAB VIII HAK ASASI MANUSIA A. Pendahuluan Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) adalah konsep lintas ruang dan waktu dalam sejarah manusia. Sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga sekarang bangsa-bangsa di dunia mengartikulasikan hak asasi manusia baik dalam kerangka universal maupun dalam kerangka sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep dasar hak asasi manusia lahir dari proses perjalanan bangsa Indonesia yang lama di bawah penjajahan dengan penderitaan tak terperi tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Konsep hak asasi manusia ini bersifat universal walau lahir dari proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri (dan bangsabangsa terjajah lainnya sebelum Perang Dunia II). Sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dengan pengalaman sejarah dan konsep HAM-nya mendukung dan bertanggung jawab atas isi kandungan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 (Universal Declaration of Human Rights) serta berbagai VIII/1 instrumen internasional lainnya yang terkait dengan hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir dari pengalaman pahit bangsa-bangsa selama Perang Dunia II. Oleh karenanya, bangsa Indonesia menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan hak dan kewajiban asasi manusia mengejawantah dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Penegakan hak asasi manusia di Indonesia dioperasionalisasikan melalui TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966, yang menetapkan pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. Namun upaya tersebut belum terlaksana karena pada saat itu proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara disibukkan oleh langkah-langkah rehabilitasi dan konsolidasi nasional akibat pemberontakan G 30 S/PKI. Pada tahun 1993, Pemerintah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan Komisi tersebut banyak mendapat tanggapan positif dari masyarakat dalam upaya mendapatkan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Demikian juga dalam GBHN 1998, kebijaksanaan mengenai penegakan hak asasi manusia semakin mendapat perhatian yang besar. B. Langkah-Langkah yang Dilakukan Selama tahun 1998, berbagai pelanggaran HAM yang paling menonjol antara lain adalah terjadinya tragedi berdarah yang menimpa mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, VIII/2 mengakibatkan empat orang mahasiswa meninggal dunia serta terjadinya demonstrasi mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR tanggal 12-13 Nopember yang mengakibatkan 14 orang meninggal dunia. Peristiwa 12 Mei 1998 tersebut ternyata membawa dampak yang sangat besar terhadap jalannya penyelenggaraan negara, yaitu dengan beralihnya pemerintahan dari Presiden Soeharto kepada Presiden B J Habibie pada . 21 Mei 1998. Berbagai perombakan di berbagai bidang dilakukan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang lebih baik dan sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur secara khusus mengenai HAM merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penegakan dan penghormatan terhadap HAM di Indonesia. Penuangan pengaturan mengenai HAM dalam TAP juga didasarkan pada pertimbangan bahwa TAP MPR merupakan salah satu produk hukum yang mempunyai kedudukan kuat di Indonesia. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tersebut antara lain merumuskan hak setiap orang sebagai individu, hak setiap orang sebagai warga negara maupun hak-hak yang bersifat kolektif. Selain itu juga diatur kewajiban asasi yang dimiliki manusia dan warga negara Indonesia serta hak asasi manusia dalam semua bidang kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup, dan lainlain. Salah satu perwujudan komitmen Pemerintah dalam era reformasi dan sesuai dengan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tersebut adalah penghargaan dan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sesuai dengan saran yang tertuang dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 serta hasil Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia II yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia VIII/3 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 24-26 Oktober 1994 telah. merumuskan suatu Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (RAN-HAM) Indonesia 1998-2003 yang memuat langkah-langkah nyata yang akan dilakukan pada tingkat nasional dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Rencana tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 129 Tahun 1998, yang merupakan salah satu sendi program reformasi Pemerintah. Pada pokoknya RAN-HAM tersebut berisi berbagai ketentuan yang merupakan tekad Pemerintah Indonesia di bidang penghargaan dan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia selama kurun waktu 1998 – 2003, sebagaimana diamanatkan dalam Konferensi HAM Internasional di Wina Tahun 1993, yang terdiri dari empat pilar utama, yaitu (1) Persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional di bidang hak asasi manusia; (2) Diseminasi dan pendidikan hak asasi manusia; (3) Pelaksanaan hak asasi manusia yang ditetapkan sebagai prioritas; dan (4) Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat internasional hak asasi manusia yang telah disahkan Indonesia. Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia tersebut dimaksudkan untuk memperkuat upaya-upaya Indonesia dalam penghargaan dan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia rakyat Indonesia, terutama terhadap kelompok masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, teristimewa kepada wanita dan anak-anak, termasuk tindakan perlindungan terhadap praktek penyiksaan, mendapatkan penghidupan dan kesejahteraan, pendidikan, dan pengembangan diri bagi anakanak. Namun sebenarnya yang terpenting dalam melaksanakan hak asasi manusia di Indonesia adalah bagaimana meletakkan elemen fundamental bagi pengimplementasiannya dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh setiap warga negara maupun oleh aparat VIII/4 penyelenggara negara, baik melalui pergaulan berbangsa bernegara maupun melalui pergaulan antarbangsa di dunia. C. dan Hasil-Hasil yang Dicapai Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah dihasilkan berbagai produk hukum dalam bidang HAM, antara lain sebagai berikut: (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998, tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia); (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa); (3) Undang-undang No 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja); (4) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Nomor 111 mengenai Penghapusan Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan); (5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, tanggal 25 .Juni 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965; dan (6) Keppres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Freedom of Association and Protection of The Right to Organize (Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi). VIII/5 Maksud dari penandatanganan enam konvensi ILO tersebut antara lain adalah untuk membangun nilai-nilai dalam pergaulan kita sebagai bangsa yang menghargai manusia bukan karena rasnya atau etnisnya atau gendernya, tetapi karena kemampuan dan budi pekertinya. Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa toleransi antar ras dan suku bangsa tidak saja memperkuat persatuan bangsa tetapi juga telah mendukung berkembangnya kreativitas dan kualitas hidup masyarakat. Produk undang-undang lain yang juga merupakan pelaksanaan dari TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 adalah ditetapkannya UU Nomor 26 Tahun 1999, tentang Pencabutan Undangundang No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (UU Anti Subversi). Pertimbangan pencabutan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa UU Anti Subversi ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum, keresahan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak sesuai dengan prinsip negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum; Dalam rangka penghormatan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dari setiap manusia, telah ditetapkan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ditetapkannya undangundang ini telah semakin meningkatkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat Indonesia, karena setiap orang dapat dengan bebas menyampaikan pendapatnya di muka umum dengan kewajiban bahwa apa yang disampaikan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, setelah melalui proses pembahasan yang cukup memakan waktu, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1999 telah menetapkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia VIII/6 (HAM) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Materi yang sangat penting dalam undang-undang tersebut adalah diberikannya wewenang subpoena kepada Komnas HAM, yaitu kewenangan untuk memanggil, memeriksa orang dan dokumen serta menyelesaikan sengketa pelanggaran hak asasi manusia, dan kewenangan untuk berperan serta sebagai lembaga ombudsman, yakni sejenis lembaga independen yang merupakan agen dari parlemen sebagai pelindung rakyat di dalam mengawasi jalannya pemerintahan agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dengan memberikan rekomendasi atau usulan kepada instansi yang berwenang. Dengan adanya wewenang subpoena tersebut, maka putusan Komnas HAM tidak dapat diajukan banding, namun dapat langsung diajukan permohonan kasasi. Di samping itu, juga dibuka kemungkinan kepada masyarakat untuk melakukan gugatan atau pengaduan bersama atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM. Materi lain adalah dengan memberikan peran partisipatif masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan melalui penelitian, pengkajian, pendidikan, dan penyebarluasan pemahaman tentang hak asasi manusia. Dengan disahkannya UU tentang HAM dan Komnas HAM tersebut, maka kedudukan, kelengkapan organisasi, hak, kewenangan dan tanggung jawab Komnas HAM menjadi lebih kuat yaitu didasarkan pada undang-undang, yang sebelumnya pembentukan Komnas HAM tersebut dengan Keputusan Presiden. Dengan berbagai perangkat hukum yang terkait dengan hak asasi manusia tersebut diharapkan pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dapat benar-benar dilaksanakan secara bertanggung jawab, termasuk untuk melindungi masyarakat kelompok rentan, anak-anak, dan perempuan. Langkah lain di bidang kelembagaan, adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada bulan Oktober 1998. VIII/7 Di samping itu, juga telah dikeluarkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Dengan Inpres tersebut, semua lembagalembaga dan Pejabat Pemerintah dilarang untuk melakukan diskriminasi terhadap warganegara Indonesia berdasarkan asal ras atau suku. Kesemua langkah-langkah tersebut pada hakikatnya menunjukkan tekad kuat pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan hak asasi manusia secara nyata di samping merupakan langkah yang tepat pula dalam memperbaiki citra bangsa Indonesia di mata dunia. Sesuai dengan prinsip bahwa kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mewajibkan adanya kerjasama antar negara, Pemerintah telah mengadakan berbagai perjanjian kerjasama teknik di bidang hak asasi manusia baik secara bilateral maupun internasional. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB di Jenewa, pada tanggal 13 Agustus 1998. Sebagai implementasi dari pilar keempat dari RAN-HAM yaitu pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat internasional hak asasi manusia yang telah disahkan Indonesia, pada tanggal 4 Maret 1999 telah dibuat berbagai Proyek Dokumen yang terkait dengan hak asasi manusia. Untuk lebih memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap permasalahan yang terkait dengan hak asasi manusia, Indonesia telah menerima kunjungan 3 (tiga) mekanisme HAM PBB, yaitu (1) Pada bulan November 1998, menerima Pelapor Khusus Mengenai Kekerasan Terhadap Wanita; (2) Pada bulan Februari 1999, menerima Kelompok Kerja Mengenai Penahanan Sewenangwenang; dan (3) pada bulan Mei 1999, menerima utusan pribadi Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. VIII/8 Selain itu, dalam rangka menjunjung tinggi hak asasi manusia dan rekonsiliasi nasional, dengan SK Menteri Kehakiman Nomor M.35-PR.09.03 Tahun 1998 telah dibentuk Tim Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Pembebasan Tahanan Politik/Narapidana Politik. Tim Pokja tersebut antara lain bertugas menentukan tahanan politik/narapidana politik yang akan diberi amnesti/abolisi. Sebagai hasil pelaksanaan tugas tim tersebut telah dilakukan pembebasan terhadap 199 (seratus sembilan puluh sembilan) orang Tahanan Politik dan Narapidana Politik. Selanjutnya, dalam rangka menyelesaikan masalah TimorTimur, dengan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1999, telah diberikan amnesti kepada Jose Alexandre Gosmao alias Kay Rala Xanana Gosmao alias Xanana. Upaya lain dari Pemerintah adalah dengan memberikan kebebasan untuk mendirikan partai politik dan organisasi lainnya, yang menunjukkan adanya kemajuan di bidang kebebasan mendirikan perkumpulan/organisasi (freedom of association) di Indonesia. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam tiga dekade terakhir dan semangat reformasi yang sedang berkembang sekarang ini telah memberikan dampak yang besar terhadap kebebasan menyatakan pikiran, perasaan dan pendapat, khususnya mengenai tuntutan terhadap pelaksanaan kebebasan pers yang lebih nyata. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai ketentuan peraturan baru yang menghapus ketentuan tentang pembatalan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan menyederhanakan prosedur untuk memperoleh SIUPP, menghapuskan persyaratan pengalaman untuk menjadi wartawan, dan memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk VIII/9 mendirikan lebih dari satu organisasi wartawan, organisasi penerbit surat kabar dan organisasi percetakan pers. Di samping itu, untuk menunjang pelaksanaan agenda reformasi secara menyeluruh di bidang ekonomi, politik dan hukum yang sejalan dengan aspirasi rakyat, Pemerintah juga telah membentuk Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH) melalui Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 1998, yang tugasnya adalah mengendalikan dan mengkoordinasikan upaya penanggulangan krisis yang mengancam stabilitas nasional, dan penegakan sistem hukum secara cepat dan terpadu. Dengan melihat pada tugas yang diberikan, maka pembentukan DPKSH tersebut diharapkan dapat ikut memberikan andil menegakkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. D. Tindak Lanjut yang Diperlukan Walaupun secara keseluruhan kita dapat melihat adanya suatu kemajuan yang berarti dalam pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, akan tetapi kita harus tetap mengakui adanya beberapa persoalan yang belum dapat terselesaikan secara tuntas. Masih terus berlangsungnya kekerasan dan gejolak sosial di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan oleh Pemerintah. Jika eskalasi kekerasan masih terus terjadi maka hal ini akan sangat mengganggu upaya-upaya pemerintah dalam perbaikan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam hal ini diperlukan adanya itikad baik dan keseriusan dari Pemerintah bersama-sama dengan seluruh anggota masyarakat untuk dapat mengatasi permasalahan ini. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa-masa yang lalu yang samp ai saat ini masih belum VIII/10 menunjukkan adanya titik terang, juga merupakan persoalan tersendiri yang harus dihadapi oleh Pemerintah. Persoalan hak asasi manusia yang masih belum selesai selain menimbulkan persoalan rasa keadilan, juga sering menimbulkan hambatan bagi diplomasi Indonesia dalam hubungan internasional. Tidak jarang Indonesia mengalami kesulitan memperoleh komitmen bantuan asing, hanya karena negara-negara donor beranggapan Indonesia adalah negara yang tidak menghormati hak asasi manusia. Untuk mengantisipasi tentang adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pada pasca jajak pendapat, Pemerintah akan membentuk Komisi Pencarian Fakta (KPF). Sedangkan untuk mewadahi proses hukumnya Pemerintah akan membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Persoalan lain yang masih menimbulkan keluhan hak asasi manusia adalah berbagai kasus pelanggaran dan kekerasan berbagai daerah di Indonesia, seperti kasus kekerasan di Aceh, kasus-kasus yang belum terselesaikan dalam kerusuhan Mei 1998, kasus penembakan Mahasiswa Trisakti, kasus pembunuhan "dukun santet" Banyuwangi, kasus-kasus penganiayaan terhadap anak-anak, pemerkosaan terhadap wanita, anak-anak, berbagai kasus penggusuran dan perampasan tanah rakyat dengan ganti rugi tidak wajar seperti kasus Kedungombo, serta kasus penembakan para demonstran di kawasan Tanjung Priok tahun 1984 yang sampai saat ini masih banyak dituntut penuntasannya oleh keluarga para korban yang tidak puas. Berbagai kasus yang disebutkan di atas hanyalah sebagian saja dari kasus-kasus yang belum selesai. Daftar persoalan ini bisa menjadi sangat panjang sesuai dengan kemungkinan keluhan yang mu n c u l d a r i ma s ya r a k a t . P e me r i nt a h d a n l emb a ga -l e mb a ga VIII/11 peradilan seyogyanya harus cepat tanggap untuk menindak lanjuti semua itu, sebagai konsekuensi dari amanat yang telah menjadi tugas mereka. Ini semua adalah dalam rangka melanjutkan proses reformasi menyeluruh dan membentuk masyarakat berkeadilan sosial dan menghormati hak asasi manusia. Sebagai bagian dari penegakan hukum dan keadilan secara umum, maka Pemerintah diharapkan untuk tidak membiarkan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat diampuni begitu saja (impunity), dan menyelesaikan permasalahan tersebut sampai ke tingkat pengadilan, sehingga dapat benar-benar tercapai kepastian hukum, kebenaran dan keadilan bagi masyarakat. Karena pemberian perlakuan yang istimewa dan memihak terhadap pelanggar hak asasi manusia akan berarti pembenaran bagi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, dan pada tindakan pelanggaran hak asasi manusia berikutnya mungkin akan dilakukan dalam kualitas yang lebih berat lagi. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan tanggap terhadap ketidakpuasan dikalangan masyarakat tentang "impunity" tersebut dan mengupayakan penyelesaian yang terbaik terhadap kasus-kasus berat pelanggaran hak asasi manusia yang selama setahun terakhir ini belum tertangani dengan baik oleh aparat penegak hukum, seperti kasus kerusuhan Mei 1998, kasus pembunuhan para "dukun santet" di berbagai daerah tahun lalu, kasus penembakan para mahasiswa serta berbagai kasus lainnya. Di samping itu, diperlukan adanya kode etik bagi penyelenggara negara untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia, karena kode etik tersebut sangat erat kaitannya dengan sikap mental bangsa. Dengan adanya kode etik tersebut, aparat penyelenggara negara tidak sewenang -wenang merampas hak VIII/12 rakyat, dan tindakan tegas harus diterapkan terhadap aparat penyelenggara negara yang melanggar kode etik tersebut. Langkah-langkah untuk meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi manusia perlu terus menerus dilakukan oleh Indonesia, sehingga di mata internasional Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia terberat. Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk mencabut undang-undang yang bertentang dengan hak asasi manusia; melengkapi undang-undang yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia, menjamin kemerdekaan warga negara untuk menyatakan pendapatnya, dan mengadili secara tegas pelanggar hak asasi manusia yang terlepas dari intervensi penguasa, sehingga para pelanggar hak asasi manusia dapat mempertanggungjawabkannya secara hukum. Perhatian khusus semestinya diberikan untuk perlindungan wanita dan anak-anak, karena wanita dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi obyek pelanggaran HAM. Selain itu, setiap tindakan pelanggaran Hak asasi manusia sudah seharusnya ditindaklanjuti secara hukum secara tuntas, sehingga wibawa Pemerintah akan semakin meningkat di mata masyarakat. Dengan semakin meningkatnya arus globalisasi dan liberalisasi, hubungan antar negara pada dasarnya selalu didasari pada isu global seperti demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Pengabaian terhadap ketiga masalah tersebut akan berakibat Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu dengan ditetapkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tersebut, diharapkan dapat dijadikan titik awal pelaksanaan hak asasi manusia yang lebih baik yang diikuti dengan VIII/13 tindakan yang tegas pelanggaran HAM. VIII/14 dan konsisten terhadap segala bentuk