BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum Timbal (Pb) 1. Sumber pencemaran Timbal Sumber pencemaran timbal di lingkungan berasal dari alam dan kegiatan manusia yaitu emisi kendaraan dan industri. Emisi timbal yang masuk dalam bentuk gas terutama berkaitan sekali berasal dari buangan kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin kendaraan yang berasal dari senyawa Tetra Etil Lead dan Tetra Metil Lead yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai anti knock. Musnahnya timbal dalam peristiwa pembakaran pada mesin menyebabkan jumlah timbal yang dibuang ke udara melalui asap kendaraan menjadi sangat tinggi. Tingginya tingkat timbal di udara akan mempengaruhi jumlah timbal dalam darah (KPPB, 2005). Gencarnya pengkonsumsian bahan bakar kendaraan di Indonesia terlihat dari catatan tahun 1996. Diperkirakan tak kurang dari 9 juta kiloliter bahan bakar habis dijalanan pertahun, dengan tingkat pertumbuhan tahunan mencapai 7%. Dengan kata lain setiap menit di Indonesia, tak kurang dari 17.000 liter bahan bakar musnah habis terbakar menjadi asap knalpot. Menurut spesifikasi resmi Ditjen Migas, kandungan maksimum timbal dalam bahan bakar yang diizinkan adalah 0,45 gram perliter 14 (KPBB, 2005). Sementara, menurut ukuran internasional, ambang batas maksimum kandungan timbal dalam bensin adalah 0,15 gram perliter. Penggunaan bahan bakar bertimbal melepaskan 95% timbal yang mencemari udara dinegara berkembang (Tugaswati, 2008). 2. Akumulasi Timbal (Pb) pada Kerang Binatang air jenis kerang-kerangan atau jenis binatang lunak (moluska), baik jenis klam (kerang besar) atau oister (kerang kecil) pergerakannya sangat lambat di dalam air. Hewan air ini sangat peka terhadap pengaruh polusi dalam perairan sehingga kecenderungan kepunahan spesies hewan ini sangat mungkin terjadi (Darmono, 2001). Seperti pada hewan air lainnya (ikan dan udang) logam berat dapat juga terakumulasi pada jaringan kerang. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat akumulasi logam berat tersebut sama dengan faktor yang mempengaruhi akumulasi logam berat pada hewan air lainnya. Perbedaannya, jenis kerang dapat mengakumulasi logam lebih besar daripada hewan air lainnya karena sifatnya tetap dan lambat untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam berat tertentu. Karena itu kerang ini merupakan indikator yang sangat baik untuk memonitor suatu pencemaran dalam lingkungan perairan (Darmono, 2001). 3. Pencemaran Timbal di Udara Baku mutu udara nasional untuk timbal, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara adalah sebesar 2 µg/m 3 untuk 24 jam 15 pengukuran (Depkes RI, 1991). Sedangkan standar yang ditetapkan oleh WHO untuk konsentrasi timbal di udara adalah 0,5 µg/m3 (Lestari, 2006). Sebagai bahan pencemar udara, keberadaan timbal diudara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Depkes RI, 1991) : a. Suhu Udara Suhu udara dapat mempengaruhi konsentrasi bahan pencemar diudara. Suhu udara tinggi menyebabkan udara renggang, sehingga konsentrasi bahan pencemar menjadi rendah dan sebaliknya, pada suhu dingin keadaan udara makin padat sehingga konsentrasi bahan pencemar diudara makin tinggi. b. Kelembaban Kelembaban udara dapat mempengaruhi bahan pencemar diudara. Pada kelembaban tinggi, kadar uap air dapat bereaksi dengan bahan pencemar diudara menjadi senyawa yang berbahaya atau menjadi bahan pencemar sekunder. c. Angin Angin merupakan udara yang bergerak, akibat pergerakan angin akan terjadi proses penyebaran bahan pencemar. Arah dan kecepatan angin sangat mempengaruhi konsentrasi bahan pencemar disuatu tempat. Untuk partikel timbal dapat disebarkan angin hingga mencapai jarak 100 – 1000 km dari sumbernya. d. Curah Hujan 16 Hujan dapat melarutkan bahan pencemar diudara, sehingga bahan pencemar tersebut jatuh ke bumi. Dengan demikian bahan pencemar yang berbentuk partikel dapat berkurang konsentrasinya pada saat hujan. e. Sinar matahari Sinar matahari dapat membuat bahan pencemar diudara saling bereaksi satu sama lain melalui reaksi fotokimia menjadi bahan pencemar sekunder. Konsentrasi bahan pencemar udara terutama bahan pencemar sekunder dapat berbeda disatu tempat dengan tempat yang lain, tergantung pada banyaknya sinar matahari yang diterima tempat tersebut. a. Mekanisme Timbal Dalam Tubuh manusia a. Absorbsi Sumber pencemaran timbal di lingkungan berasal dari alam dan kegiatan manusia yaitu emisi kendaraan dan industri. Emisi timbal diudara dapat mencemari udara, tanaman, tanah dan binatang, yang akhirnya berpengaruh terhadap digambarkan pada gambar 1. kesehatan manusia, seperti 17 Gambar 1. Perjalanan timbal yang berasal dari lingkungan sampai masuk ke dalam tubuh manusia (National Health and Medical Research Councils, 2009) Absorbsi timbal terutama melalui saluran nafas 85%, saluran pencernaan 14% dan kulit 1%. Absorbsi timbal melalui saluran pernafasan dipengaruhi oleh tiga proses yaitu: deposisi, pembersihan mukosiliar dan pembersihan alveolar. Deposisi tergantung pada ukuran partikel timbal, volume nafas dan daya larut. Pembersihan mukosiliar membawa partikel ke faring lalu ditelan, fungsinya adalah membawa partikel ke eskalator mukosiliar, menembus lapisan jaringan paru menuju kelenjar limfe dan aliran darah. Sebanyak 30-40% timbal yang diabsorbsi melalui saluran nafas akan masuk kedalam saluran pernafasan dan akan masuk kedalam aliran darah, tergantung ukuran, daya larut, volume nafas dan variasi faal antar individu (Darmono, 1995). 18 Absorbsi timbal melalui saluran pencernaan, biasanya terjadi karena timbal tersebut tertelan bersama dengan merokok, makan dan minum dengan menggunakan tangan yang terkontaminasi timbal, begitupula apabila memakan makanan yang terkontaminasi dengan debu dijalanan. Kurang lebih 5-10% dari timbal yang tertelan diabsorbsi melalui mukosa saluran pencernaan. Pada orang dewasa timbal diserap melalui usus sekitar 5-10%, tetapi hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dalam keadaan puasa penyerapan timbal dari usus lebih besar, yaitu sekitar 15-12% (Darmono, 1995). b. Distribusi dan Penyimpanan Timbal yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan didistribusikan kedalam jaringan lain melalui darah. Dalam tubuh manusia timbal terdeteksi dalam (Darmono, 1995): 1) Darah, timbal terikat dalam sel darah merah (eritrosit). Sekitar 95% timbal yang berada pada peredaran darah terikat oleh eritrosit. Waktu paruh timbal dalam darah sekitar 25-30 hari. 2) Jaringan lunak (hati dan ginjal) mempunyai waktu paruh sekitar beberapa bulan. Terdapat keseimbangan antara kadar timbal dalam darah dan dalam jaringan lunak. Pada jaringan ini sejumlah timbal didistribusikan dan sejumlah lainnya didepositkan. 3) Tulang dan jaringan keras seperti gigi, tulang rawan dan sebagainya. Hampir sekitar 90-95% timbal dalam tubuh terdapat dalam tulang, terutama pada tulang panjang. Waktu paruhnya mencapai 30 – 40 tahun. Timbal dalam tulang terdiri atas dua 19 bagian yaitu timbal yang terikat dalam matriks tulang, disebut old lead dan yang lain disebut sebagai new lead yang mudah berubah jika dibandingkan dengan old lead. Tulang berfungsi sebagai tempat pengumpulan timbal karena sifat ion timbal hampir sama dengan Ca. Jika kadar timbal dalam darah turun, tulang akan mengembalikan timbal dalam peredaran darah. c. Ekskresi Ekskresi timbal melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan saluran cerna. Ekskresi timbal melalui urine sebanyak 75-80%, melalui feces 15% dan lainnya melalui empedu, keringat, kuku dan rambut (Palar, 2008). Ekskresi timbal melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar lainnya didinding usus, regenerasi sel epitel dan ekskresi empedu. Sedangkan proses ekskresi timbal melalui ginjal adalah melalui filtrasiglomerulus (Ardyanto, 2005). Biasanya ekskresi timbal dari tubuh sangat kecil meskipun intake timbal tiap hari naik, sehingga dapat menaikkan kandungan timbal dalam tubuh. Rata-rata intake timbal perhari sekitar 0,3 mg, apabila intake mencapai 0,6 mg/hari akan menunjukkan gejala yang positif, akan tetapi karena timbal lambat dideposit maka dosis tersebut tidak akan memperlihatkan gejala keracunan pada orang selama hidupnya (Darmono, 2001). b. Standar Pajanan Timbal untuk anak-anak 20 CDC di Amerika Serikat menetapkan bahwa ambang batas kadar timbal dalam darah anak-anak (BLL) adalah 10 μg/dl, namun ada buktibukti bahwa dampak negatif dapat terjadi pada tingkat yang lebih rendah dari kadar itu (KPBB, 2005). WHO menyatakan tidak ada ambang batas paparan timbal didalam darah mengingat sifatnya sebagai logam berat dan neurotoksik (Khidri dkk., 2008). Keracunan timbal dapat menimbulkan suatu gejala keracunan yang berbeda antara anak dan orang dewasa, begitu juga sumber dan jenis kontaminasi timbal. Toksisitas timbal dosis rendah atau pengaruh kronis toksisitas timbal pada anak memiliki efek yang permanen. Penelitian pada anak usia sekolah dasar berdasarkan analisis kandungan timbal pada giginya yang tanggal menunjukkan kelompok dengan kandungan timbal tinggi mengalami penurunan intelegensi, penurunan kemampuan dalam berbicara dan susah berkonsentrasi (Darmono, 2001). Studi toksisitas Timbal menunjukkan bahwa kandungan Timbal dalam darah sebanyak 100 mikrogram/l dianggap sebagai tingkat aktif (Level Action) berdampak pada gangguan perkembangan dan penyimpangan perilaku. Kandungan Timbal 450 µg/l membutuhkan perawatan segera dalam waktu 48 jam. Kandungan Timbal lebih dari 700 mikrogram/l menyebabkan kondisi gawat secara medis (Medical Emergency). Kandungan timbal di atas 1200 µg/l bersifat sangat toksik dan dapat menimbulkan kematian pada anak. Kadar timbal 68 µg/l dapat menyebabkan anak makin agresif, kurang konsentrasi, bahkan menyebabkan kanker (Hakim, 2004). Tabel 1. Tingkat Toksisitas Timbal Dalam Darah 21 Timbal (Pb) dalam Darah (µg/dl) < 10 20 – 25 20 – 30 25 – 35 30 – 40 40 40 40 Dampak Meningkatkan kadar enzim ALAD (Amino Levulinic Acid Dehidrase) dalam sel darah merah Meningkatkan kadar Protoporphyrin dalam sel darah merah Meningkatkan kadar Protoporphyrin dalam sel darah merah Meningkatkan Kadar Protoporphyrin dalam sel darah merah Meningkatkan eksresi ALA (Amino Levulinic Acid) Meningkatkan ALA (Amino Levulinic Acid) dalam urin Meningkatkan Coproporphyrine dalam urin Anemia 40 – 50 Gangguan sistem syaraf tepi 50 – 60 Gangguan fungsi otak 60 – 70 Gangguan fungsi otak 60 – 70 Gangguan neurologi (susunan saraf) berupa encephalopathy dan keracunan timah hitam > 80 Gangguan neurologi (susunan saraf) berupa encephalopathy dan keracunan timah hitam Sumber : EHC 3 dalam WHO, 1997 c. Efek Timbal Terhadap Kesehatan Populasi Dewasa, Anak Anak- Anak-Anak Dewasa Perempuan Dewasa Laki-Laki Umum Dewasa, Anak Dewasa Anak- Dewasa, Anak Dewasa Anak- Anak-Anak Dewasa Anak-Anak Dewasa 22 Setiap manusia mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap toksisitas timbal. Biasanya orang yang mengkonsumsi timbal sekitar 0,22,0 mg/hari akan mengalami keracunan dan pada orang dewasa timbal diserap melalui usus sekitar 5–10%. Intake Pb 2,5 mg/hari akan memerlukan waktu hampir 4 tahun untuk menjadi toksik, dan hal itu terjadi pada waktu timbal terakumulasi dalam jaringan lunak. Sedangkan intake Pb 3,5 mg/hari akan mengakibatkan kandungan timbal yang toksik dalam beberapa bulan saja (Darmono, 1995). Timbal sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dengan menganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan dan sistem syaraf. Konsentrasi timbal dalam darah orang dewasa (PbB) pada taraf 40–50 µg/100 ml mampu menghambat sintesis hemoglobin yang pada akhirnya merusak hemoglobin darah. Debu timbal yang terhirup secara akumulatif dapat menganggu fungsi ginjal, alat reproduksi serta menyebabkan tekanan darah tinggi bahkan stress karena timbal bersifat akumulatif (KPBB, 2005). Keracunan akibat kontaminasi timbal dapat menimbulkan berbagai hal diantaranya (Palar, 2008): a. Meningkatkan kadar ALAD dalam darah dan urine b. Meningkatkan kadar protophorine dalam sel darah merah c. Memperpendek umur sel darah merah d. Menurunkan jumlah sel darah merah dan kadar sel darah merah yang masih muda e. Meningkatkan kandungan Fe dalam plasma darah. 23 Mekanisme toksisitas timbal berdasarkan organ yang dipengaruhinya adalah (Widowati dkk., 2008) : a. Sistem Haemopoietik; dimana timbal menghambat sistem pembentukan hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia b. Sistem Saraf; dimana timbal bisa menimbulkan kerusakan otak dengan gejala epilepsi, halusinasi, kerusakan otak besar dan delirium. c. Sistem Urinaria; dimana timbal bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, Loop of Henle serta menyebabkan aminasiduria. d. Sistem Gastro-intestinal; dimana timbal bisa menyebabkan kolik dan konstipasi. e. Sistem Kardiovaskuler; dimana timbal bisa menyebabkan peningkatan permiabilitas pembuluh darah. f. Sistem Reproduksi berpengaruh terutama terhadap gametoksisitas atau janin belum lahir menjadi peka terhadap timbal. Ibu hamil yang terkontaminasi timbal bisa mengalami keguguran, tidak berkembangnya sel otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan teratospermia pada pria. g. Sistem Endokrin; dimana timbal mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal. Bersifat karsinogenik dalam dosis tinggi. Toksisitas timbal bersifat kronis dan akut. Paparan timbal secara kronis bisa mengakibatkan kelelahan, kelesuan, gangguan iritabilitas, gangguan gastrointestinal, depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu, dan sulit tidur. Toksisitas akut dapat terjadi bila timbal masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan atau menghirup gas 24 timbal yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi (Widowati dkk., 2008). Timbal termasuk logam berat yang terlibat dalam proses enzimatik dan mempengaruhi semua organ. Akibatnya adalah menganggu sistem metabolisme sel (Darmono, 1995). d. Patofisiologi Konsentrasi Timbal dalam Darah dengan Sistem Saraf Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan fisiologis yang diakibatkan oleh proses patologis. Gangguan dalam proses seluler normal mengakibatkan terjadinya perubahan adaptif atau lethal. Perbedaan antara sel yang sanggup beradaptasi dan sel yang cedera adalah pada dapat atau tidaknya sel itu mengikuti dan mengatasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah atau merusak itu. Sel cedera menunjukan perubahan-perubahan yang dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh dan bermanifestasi sebagai penyakit (Tamboyang, 2002). Diantara semua sistem pada organ tubuh, sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif dan merupakan organ sasaran terhadap daya racun yang dibawa oleh timbal (Palar, 2008). Setelah tingkat pajanan tinggi, dengan kadar timbal darah diatas 80 µg/100 ml, dapat terjadi enselopati. Terjadi kerusakan pada arteriol dan kapiler yang mengakibatkan edema otak, meningkatnya tekanan cairan serebrospinal, degenerasi neuron dan perkembangbiakan sel glia. Secara klinis keadaan ini disertai dengan munculnya ataksia, stupor, koma dan kejang-kejang. Pada anak-anak, sindroma klinis ini dapat terjadi pada kadar Pb darah 25 sebesar 70 µg/100 ml. Pada kadar yang lebih rendah 40–50 µg/100 ml anak-anak dapat hiperaktivitas, berkurangnya rentang perhatian dan skor IQ sedikit menurun (Widowati dkk., 2008). Gangguan terhadap fungsi syaraf orang dewasa berdasarkan uji psikologi diamati pada kadar 50 µg/100 ml. Sedangkan gangguan sistem saraf tepi diamati pada kadar timbal darah 30 µg/100 ml (Tugaswati, 2004 ). Ensefalopati merupakan nama umum dari gangguan fungsi otak, yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain infeksi, toksin, kelainan metabolik dan iskemik. Encephalopati timbal dapat terjadi akut maupun kronis. Pada akut terjadi pembengkakan otak kadang disertai pendarahan kecil diotak. Sedangkan pada kasus kronis terjadi kerusakan jaringan otak yang luas disertai adanya kavitas, penebalan dinding vena yang tak teratur sehingga dapat berkembang menjadi cerebral injury. (Widowati dkk., 2008) Gejala klinis encephalopati akut tergantung pada umur, kondisi penderita secara umum, jumlah timbal yang diabsorbsi, lamanya paparan, alkoholik kronis dan lain sebagainya. Beberapa gejala dan tandanya adalah perubahan sikap mental, melemahnya daya ingat dan sukar berkonsentrasi, hiperiritabiliti, gelisah, depresi, sakit kepala, vertigo dan tremor. Jika terus berlanjut apalagi terjadi muntah-muntah yang hebat, apatis, stupor dan koma harus dicurigai indikasi terjadinya edema cerebral. Kadar timbal dalam darah yang menyebabkan kelainan ini tidak bisa dipastikan, walaupun biasanya tidak terjadi pada kadar timbal dalam darah dibawah 100 µg/100 ml (Tugaswati, 2004). 26 Kerusakan pada sistem saraf perifer atau tepi akibat keracunan timbal terutama terjadi pada motoriknya dan terjadi pada orang dewasa. Kerusakan terjadi pada motor neuron sedangkan neuron sensorik sedikit mengalami gangguan. Kerusakan biasanya mengenai otot ekstensor dan unilateral sehingga bisa menimbulkan Wrist Drop pada otot lengan, otot mata dan tungkai. Biasanya yang terpengaruh adalah bagian otot yang sering digerakkan. Beberapa gejala dan tandanya adalah rasa sakit dan lemah pada otot dan persendian, otot mudah lelah dan tremor. jIka penyakit ini terus berkembang akan terjadi parese tanpa rasa sakit. Kerusakan syaraf ini dijumpai pada pekerja dengan timbal darah 80 - 120 µg/100 ml (Sudarmadji, 2006). Sifat racun timbal memang lebih berpengaruh pada anak daripada terhadap orang dewasa. Semakin muda usia, apalagi semasih di dalam kandungan, semakin rentan. Usus mereka menyerap serbuk timbal lebih banyak daripada orang dewasa. Dari semua bagian tubuh mereka yang tengah berkembang, sistem syaraflah yang paling menonjol dan mudah terancam, meski hanya sedikit masukan zat berbahaya tersebut. Timbal yang terserap oleh anak-anak, meski jumlahnya kecil, dapat menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang kemudian berakibat pada fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik (Lestari, 2005). Sistem saraf dan pencernaan anak masih dalam tahap perkembangan, sehingga lebih rentan terhadap timbal yang terserap. Anak dapat menyerap hingga 50% timbal yang masuk ke dalam tubuh, 27 sedangkan orang dewasa hanya menyerap 10-15% (Widowati dkk., 2008). Jika mengabsorbsi lebih dari 0,5 mg/hari akan terjadi akumulasi sehingga keracunan. Efek toksik timbal terutama pada otak dan saraf dengan kadar diotak dan hati bisa mencapai 5-10 kali dari dalam darah. Jumlah timbal minimal didalam darah orang dewasa berkisar antara 60– 100 µg/100 ml darah dapat menyebabkan keracunan. Pada keracunan akut biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam atau menghirup uap timbal tersebut. Gejala-gejala yang timbul berupa mual, muntah, sakit perut hebat, kelainan fungsi otak, anemia berat, kerusakan ginjal bahkan kematian dapat terjadi dalam 1-2 hari (Darmono, 1995). Kelainan fungsi otak terjadi karena timbal ini secara kompetitif menggantikan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga dan besi dalam mengatur fungsi sistem saraf pusat. Kandungan timbal dalam darah berkorelasi dengan tingkat kecerdasan anak, semakin tinggi kadar timbal dalam darah, semakin rendah poin IQ, apabila dalam darah ditemukan kadar timbal sebanyak tiga kali batas normal (intake normal sekitar 0,3 mg/hari) maka akan terjadi penurunan kecerdasan intelektual dibawah 80 (Widowati dkk., 2008). Keracunan timbal kronik menimbulkan gejala seperti depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, gelisah, daya ingat menurun, sulit tidur, halusinasi dan kelemahan otot. Susunan saraf pusat merupakan organ sasaran utama timbal (Santi, 2001). 28 e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Timbal dalam Darah a. Umur WHO membedakan antara batas normal timbal dalam darah anak-anak (10µg/dl) dan dewasa (40µg/dl). Makin muda usia seseorang akan ditemukan rentan terhadap keracunan Pb, hal ini disebabkan karena sistem imun pada usia kanak-kanak belum terbentuk dengan sempurna. Selain itu, anak-anak mampu menyerap timbal hingga 50% melalui saluran cerna sedangkan orang dewasa hanya 10-15% karena sistem pencernaan dan sistem saraf anak masih dalam tahap perkembangan sehingga lebih mudah menyerap toksik dari lingkungan (Widowati dkk., 2008) Pada anak-anak, timbal menurunkan tingkat kecerdasan, pertumbuhan dan pendengaran, menyebabkan anemia dan dapat menimbulkan gangguan pemusatan perhatian dan gangguan tingkah laku. Pemaparan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan otak yang parah bahkan kematian. Anak-anak kecil sangat rentan terhadap keracunan timbal karena mereka menyerap jauh lebih banyak timbal dari lingkungannya daripada orang dewasa dan karena sistem saraf pusat mereka masih dalam taraf berkembang, timbal juga dapat meracuni sistem pembentukan darah merah, karena dapat menimbulkan gangguan pembentukan sel darah merah (Widowati dkk., 2008). Bambang Sutrisna (1996) mengatakan bahwa Umur merupakan faktor penentu yang sangat penting bila dihubungkan dengan 29 terjadinya penyakit dan distribusi penyakit. Hal ini merupakan konsekuensi adanya hubungan faktor umur adalah tingkat imunitas atau daya tahan tubuh dan aktivitas fisiologis macam-macam jaringan yang mempengaruhi perjalanan penyakit seseorang. b. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin turut mempengaruhi konsentrasi timbal dalam jaringan tubuh seseorang, sehingga jenis jaringan juga turut mempengaruhi kadar timbal yang terkandung, sehingga kadar timbal ada dalam jaringan otak tidak sama dengan kadar timbal dalam paruparu maupun dalam ginjal. Pada laki-laki yang berumur antara 21-30 tahun akan ditemukan 0,055 mg/100 gr timbal dalam jaringan otaknya, sedangkan pada laki-laki yang berumur antara 51-60 tahun, jumlah kandungan timbal dalam jaringan otaknya adalah 0,064 mg/100 gr. Sementara pada perempuan, kadar timbal dalam jaringan otaknya lebih rendah dibanding laki-laki yaitu sekitar 0,46 sampai 0,051 mg/100 gr. Dalam paru-paru perempuan, kadar timbal yang ada biasanya adalah sekitar 55% dari kadar timbal yang ada dalam paru-paru lakilaki (Palar, 2008). 30 Anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki resiko yang sama terhadap paparan timbal. Perbedaan kadar timbal dalam darah antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor kebiasaan bermain atau beraktivitas (Suherni, 2010). c. Lama Terpapar Lama terpapar yaitu lamanya seseorang kontak dengan sumber pencemaran. Potensi bahan kimia untuk dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan tergantung pada toksisitas bahan kimia tersebut dan besarnya paparan. Setiap paparan udara yang tercemar timbal 1 µg/m3 berpeluang menyumbangkan 2,5-5,3 µg/dl pada darah seseorang yang berada ditempat tersebut. Timbal yang masuk kedalam tubuh normalnya 0,3 mg/100cc perhari, jika intake timbal 2,5 µg/hari maka butuh waktu 3 – 4 tahun untuk mendapatkan efek toksik sedangkan apabila intak timbal 3,5 µg/hari maka butuh waktu hanya beberapa bulan saja untuk terpapar timbal (Darmono, 1995). Lama terpapar akan mempengaruhi jumlah konsentrasi timbal yang masuk kedalam tubuh. Lama terpapar merupakan waktu terpapar seseorang dengan timbal. Emisi gas buang kendaraan dengan bahan bakar bertimbal yang dihirup setiap harinya oleh seseorang saat berada di ruang terbuka sangat mendorong meningkatnya konsentrasi timbal (Pb) dalam darahnya (Suma`mur, 1995). Lama terpapar anak dengan timbal dipengaruhi oleh Jarak tempuh anak ke sekolah, waktu tempuh dan jenis kendaraan. Makin jauh jarak dan waktu tempuh ke 31 sekolah, maka makin banyak menghirup udara yang sudah tercemar (Lestari, 2005) d. Lokasi Tempat Tinggal Lokasi tempat tinggal akan mempengaruhi konsentrasi timbal yang masuk dalam tubuh. Hal ini karena semakin dekatnya jarak rumah dengan jalan protokol berarti semakin dekat dengan sumber asap kendaraan bermotor yang memungkinkan semakin tingginya kadar timbal (Pb) diudara. Menurut Atrisman (2002) udara ambien dengan radius 0,5 km dari sumber emisi gas buang merupakan lokasi yang paling besar resikonya, 0,5 – 1 km merupakan resiko sedang dan di atas 1 km merupakan resiko ringan. Hal ini sejalan dengan pendapat Simanullang (2005) konsentrasi timbal di udara perkotaan yang padat lalu lintasnya bisa mencapai 5 - 50 kali dibandingkan dengan udara pegunungan yang masih lestari. Selanjutnya dipertegas oleh Palar (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi kadar timbal dalam darah penduduk yang tinggal jauh dari jalan protokol sebesar 16 μg/100 ml pada laki-laki dan 9,4 μg/100 ml pada wanita, sedangkan penduduk yang tinggal dekat dengan jalan protokol sebesar 22,7μg/100 ml pada laki-laki dan 16,7 μg/100 ml pada wanita. e. Sosial Ekonomi Orang Tua Keadaan sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga 32 sehingga turut menentukan status gizi keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial ekonomi adalah Keadaan penduduk suatu masyarakat, keadaan keluarga, tingkat pendidikan orang tua dan keadaan rumah. Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya pendapatan dan kepemilikan (Supariasa, 2001). Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi dan hygiene anak yaitu dengan meningkatkan pendidikan kemungkinan akan dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan daya beli makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga (Sari, 2010). Tingkat pendidikan orang tua berpengaruh terhadap hygiene dan sanitasi keluarga dengan membiasakan anak selalu mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, karena dengan mencuci tangan dapat mengurangi resiko asupan Pb melalui kontak tangan dan mulut (Sunoko, 2009). Kadar timbal darah juga dipengaruhi kebiasaan konsumsi makanan bergizi misalnya kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung protein tinggi, vitamin C, zat besi, dan kalsium. Susu merupakan sumber kalsium (Ca) yang baik bagi tubuh karena dapat mengurangi resiko absorbsi Pb pada gastrointestinal anak, Absorpsi dan retensi Pb dalam gastrointestinal (GIT) ini tergantung pada status 33 mikronutrien yang terdapat dalam lumen GIT. Pada keadaan defisiensi Ca, absorpsi Pb dalam GIT akan meningkat, demikian pula dengan retensi Pb dalam tubuh akan turut meningkat. Mekanisme berikut dapat menerangkan peningkatan absorpsi Pb pada keadaan defisiensi atau kurangnya asupan kalsium. Kalsium dan Pb akan berkompetisi di tempat pengikatan yang sama (Binding Site), yaitu di tempat pengikatan protein pada mukosa intestinal, tempat ini merupakan tempat yang penting dalam proses absorbsi. Dengan adanya asupan kalsium yang cukup, tingkat absorpsi Pb akan diturunkan, karena kalsium cenderung akan lebih diikat di tempat binding site. Sedangkan Vit C merupakan antioksidan yang dapat menghambat atau menetralisir radikal bebas dari lingkungan. (Sunoko, 2009). Faktor sosial ekonomi orang tua memberi pengaruh pada kecukupan gizi anak. Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian, bahwa anak-anak yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial ekonomi orang tuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen gizi protein (Sari, 2010). Telah dibuktikan dalam beberapa 34 penelitian menunjukkan, ada korelasi antara kadar timbal dalam darah dan intelligence quotient (IQ) anak-anak. Semakin tinggi kadar timbal darah, semakin rendah IQ anak. Sekali IQ turun tidak akan dapat naik lagi (Lestari, 2005). Tabel 2. Sintesis Hasil Penelitian Pencemaran Timbal di Udara Terhadap Konsentrasi Timbal dalam Darah No Peneliti/ Tahun Masalah Utama Karakteristik Studi Subyek Instrument Metode/ Desain Cross Sectional 1. Ratna Sari Dewi (2009) Ambon Kadar 46 orang − Pemeriks Timbal di pedagang aan darah Udara kaki lima − Kuesioner dan timbal dalam Darah 2. Alfina Baharudin (2009) f. Makassar Kadar Timbal dalam Darah 46 orang − Pemeriks karyawan aan darah SPBU − Kusioner Cross Sectional 3. Khidri, dkk Kadar (2008) Timbal Makassar dalam Darah 200 anak − Pemeriks TK/TB aan darah dan anak − Kusioner jalanan Cross Sectional 4. Mulyadi dkk (2007) Ambon. Kadar Timbal dalam Darah 30 Orang − Pemeriks Sopir aan darah Angkutan − Kusioner kota Cross Sectional 5. Zukhri (2007) Yogyakarta Kadar Timbal dalam Darah Seluruh anak jalanan − Pemeriks aan darah − Kusioner Cross Sectional Hasil Kadar timbal ratarata dalam darah di daerah padat kendaraan sebesar 37,25 µg/100 ml dan daerah tidak padat kendaraan sebesar 33,43 µg/100 ml. Kadar timbal ratarata 33,71 µg/dl (normal) sedangkan rata-rata hemoglobin 12,91 µg/dl (tidak normal). 10% memiliki kadar timbal 35 6. 7. Lestari (2005) Bandung Albalak (2001) Jakarta Kadar Timbal dalam Darah Kadar Timbal dalam Darah 200 Anak − Pemeriks SD aan darah − Kusioner 397 Anak − Pemeriks SD aan darah − Kusioner Cross Sectional Cross Sectional ≤10 µg/dl dan 90% memiliki kadar timbal >10 µg/dl. 47 % melebihi nilai NAB Kadar Pb sebesar 46,7% Kadar Hb tidak normal <13 g/100 ml. Rata-rata Kadar Hb anak jalanan 10,28 ± 1,51 g/dl dan 70,08 diantaranya menderita anemia (kadar Hb < 12 g/dl Dari 400 siswa 34,5 % memiliki kadar timbal dalam darah <10 µg/dL dan 65,5 % memiliki kadar timbal dalam darah > 10 µg/dl Rata-rata Pb dalam darah sebesar 8,6 36 µg/100 ml dengan perincian 35% diatas 10 µg/100 ml dan 2,4% diatas 20 µg/100 ml. Kira-kira seperempat dari anakanak yang dites timbalnya berkisar antara 1015 µg/100 ml Sumber: Beberapa Hasil Penelitian 4. TINJAUAN UMUM ANALISIS RISIKO KESEHATAN Health Risks Assessment (HRA) atau Analisis Risiko Kesehatan tingkat lanjut lengkap pada dasarnya sama dengan evaluasi di atas meja namun didasarkan pada data lingkungan (pada air, udara dan tanah), keparahan tingkat pencemaran oleh satu atau lebih suatu bahan kimia, kontaminan pada bahan makanan dan minuman, durasi paparan (eksposure) dan faktor-faktor pemajanan antropometri sebenarnya yang didapat dari lapangan bukan dengan asumsi atau simulasi. Kajian ini membutuhkan data dan informasi tentang jalur pemajanan dan populasi berisiko. GAMBARAN RINGKAS TAHAPAN HEALTH RISKS ASSESSMENT Dalam proses menghitung tingkat bahaya atau risiko (HQ) dan nilai THQ (Target Hazard Quotient) dan penentuan efek exposure pada waktu tertentu dalam suatu populasi dari suatu pajanan maka langkah-langkah yang harus 37 ditempuh adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya, atau hazard identification, adalah tahap awal Health Risks Assessment (HRA) untuk mengenali sumber risiko. Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (WHO 1993). Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan mengamati gejala dan penyakit yang berhubungan dengan tosksitas risk agent di masyarakat yang telah terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di tempat-tempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan disease oriented (WHO 1983). Dengan cara ini identifikasi keberadaan risk agent yang potensial dan aktual dalam media lingkungan dapat digunakan untuk analisis dosis-respon. 2. Analisis Pemajanan Analisis pemajanan, atau exposure assessment yang disebut juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur pajanan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu dalam populasi berisiko bisa dihitung. Risk agent bisa berada di dalam tanah, di udara, air, atau pangan seperti ikan, daging, telur, susu, sayur-mayur dan buah-buahan. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk menghitung asupan adalah semua variabel Persamaan (1) (ATSDR 2005; Louvar). C x R x tE x fE x Dt I = ---------------------------Wb x tavg (1) 38 I = Asupan (intake), mg/kg/hari C = Konsentrasi risk agent, mg/M3 untuk medium udara, mg/L untuk air minum, mg/kg untuk makanan pangan R = Laju asupan atau konsumsi, M3 /jam untuk inhalasi, L/hari untuk air minum, g/hari untuk makanan tE = Waktu pajanan, jam/hari fE = Frekuensi pajanan, hari/tahun Dt = Durasi pajanan, tahun (real time 6 atau proyeksi, 30 tahun untuk nilai default residensial) Wb = Berat badan, kg Tavg = perioda waktu rata-rata (Dt×365 hari/tahun untuk zat nonkarsinogen, 70 tahun×365 hari/tahun untuk zat karsinogen) Dalam Health Risks Assessment (HRA) lengkap data dan informasi mengenai C, R, tE, fE, Dt dan Wb harus dikumpulkan dari populasi berisiko setempat dengan sampling survey dan pengukuran. Perlu teknik-teknik khusus untuk mendapatkan data yang benar. Waktu pajanan (tE) harus digali dengan cara menanyakan berapa lama kebiasaan responden sehari-hari berada di luar rumah seperti ke pasar, mengantar dan menjemput anak sekolah dalam hitungan jam. Demikian juga untuk frekuensi pajanan, kebiasaan apa yang dilakukan setiap tahun meninggalkan tempat mukim seperti pulang kampung, mengajak anak berlibur ke rumah orang tua, rekreasi dan sebagainya dalam hitungan hari. Untuk durasi pajanan, harus diketahui berapa lama sesungguhnya (real time) responden berada di tempat mukim sampai saat survey dilakukan dalam hitungan tahun. Selain durasi pajanan lifetime, durasi pajanan real time penting untuk dikonfirmasi dengan studi EKL apakah estimasi risiko kesehatan sudah terindikasikan. Konsentrasi risk agent dalam media lingkungan diperlakukan menurut karakteristik statistiknya. Jika distribusi konsentrasi risk agent normal, bisa digunakan nilai arithmetic mean-nya. Jika distribusinya tidak normal, harus digunakan log normal atau mediannya. Normal tidaknya distribusi konsentrasi risk agent bisa ditentukan dengan menghitung coefficience of variance (CoV), 39 yaitu SD dibagi mean. Jika CoV ≤20% distribusi dianggap normal dan karena itu dapat digunakan nilai mean. Sebelum nilai default nasional tersedia berdasarkan hasil survey maka tE, fE dan Wb hasil studi pencemaran udara di 9 kota padat transportasi (Nukman et al. 2005) dapat dipakai sebagai nilai numerik faktor antropometri pemajanan. Nilai numerik lainnya terpaksa harus diambil dari Exposure Factors Handbook (EPA 1990). Nilai numerik beberapa variabel Persamaan (1) dicantumkan dalam Tabel 2. Tabel ini mungkin belum mencukupi karena ada beberapa kasus dengan tata guna lahan (land use) lain belum tercantum. US-EPA mengingatkan bahwa data setempat yang spesifik bisa menghasilkan nilai default berbeda dengan Tabel 2, tergantung dari karakteristik antropometri dan pola aktivitas populasi yang bersangkutan. Tabel 2. Beberapa nilai default factor-faktor pemajanan untuk menhitung asupan berbagai jalur pajanan Tata Guna Jalur Asupan Harian Frekuen Durasi Berat Lahan Pajanan si Pajanan Badan (Kg) Pajanan (Tahun) (Hari/ta hun) Residensi Air Minum 2L (dewasa) 350 30 70 kg 55 kg 1L (Anak-anak) 350 6 15 kg Tanah & debu (Tertelan) Inhalasi (terhirup) 200 mg 100 mg 350 350 6 24 15 kg 70 kg 55 kg 70 kg 55 kg 15 Kg 20 M3 (Dewasa) 350 30 350 6 12 (Anakanak) 1L 250 25 70 kg 55 kg 50 mg 250 25 70 kg 55 kg 42 g (buah) 80 g (Sayurmayur) 2 L (Dewsa) 350 30 70 kg 55 kg 350 30 70 kg M3 Industri & Komersial Pertanian Air Minum Tanah & Debu (Tertelan) Tanaman Pekaranga n Air minum 40 Rekreasi Inhalasi (Terhirup) Ikan Tangkapan 55 kg 15 kg 1 L (Anakanak) 20 M3 (Dewasa) 54 g 350 30 350 30 70 kg 55 kg 70 kg 55 kg aKecuali disebutkan, semua angka berasal dari dari Exposure Factor Handbook (EPA 1990/. bB Nukman dkk (2005) Acceptable Daily Intake (ADI) Istilah asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily Intake = ADI) oleh Komite gabungan FAO dan WHO mengenai zat tambahan makanan pada tahun 1991. Selanjutnya digunakan untuk uji toksikologik dan reevaluasinya terhadap sejumlah besar zat tambahan yang meninggalkan residu dan zat kimia dalam makanan. ADI didefinisikan sebagai ”besarnya asupan harian suatu zat kimia yang bila dikonsumsi seumur hidup, tampaknya tanpa risiko berarti berdasarkan semua fakta yang diketahui pada saat itu. ADI ini dinyatakan dalam miligram zat kimia per kilogram berat badan (mg/kg).” Perlu ”Tampaknya” diperhatikan bahwa ADI dinyatakan dengan pernyataan dan berdasarkan semua fakta yang diketahui pada saat itu. Peringatan ini didasarkan pada fakta bahwa tidaklah mungkin untuk benar-benar yakin mengenai keamanan suatu zat kimia dan bahwa ADI dapat berubah sesuai dengan data toksikologi yang baru. Selain itu, ADI juga digunakan sebagai suatu patokan untuk mengecek dapat diterima atau tidaknya penggunaan yang diusulkan. Ini dilakukan dengan membandingkan ADI dengan asupan harian ”potensial” yaitu jumlah total zat tambahan dalam tiap makanan yang dihitung berdasarkan konsumsi rata-rata per kapita makanan itu dan tingkat penggunaannya yang diizinkan. Kalau asupan harian potential melebihi ADI, tingkat penggunaann itu dapat diturunkan atau beberapa penggunaannnya dapat dihapuskan. 41 2. Analisis Dosis-Respon Analisis dosis-respon, disebut juga dose-response assessment atau toxicity assessment, menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap bentuk spesi kimianya. Toksisitas dinyatakan sebagai dosis referensi (reference dose, RfD) untuk efek-efek nonkarsinogenik dan Cancer Slope Factor (CSF) atau Cancer Unit Risk (CCR) untuk efek-efek karsinogenik. Analisis dosisrespon merupakan tahap paling menentukan karena Health Risks Assessment (HRA) hanya bisa dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya. RfD adalah toksisitas kuantitatif nonkarsinogenik, menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang diprakirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun pajanan berlanjut sepanjang hayat (IPCS 2004a). Dosis referensi dibedakan untuk pajanan oral atau tertelan (ingesi, untuk makanan dan minuman) yang disebut RfD (saja) dan untuk pajanan inhalasi (udara) yang disebut reference concentration (RfC). Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai risk agent yang terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terserap melalui kulit (absorbed) per kg berat badan per hari (mg/kg/hari). Respon atau efek nonkarsinogenik, yang disebut juga efek sistemik, yang ditimbulkan oleh dosis risk agent tersebut dapat beragam, mulai dari yang tidak teramati yang sifatnya sementara, kerusakan organ yang menetap, kelainan fungsional yang kronik, sampai kematian. Dosis yang digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang menyebabkan efek paling rendah yang disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) atau LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level). NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat pada studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis tidak menunjukkan efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia sedangkan LOAEL berarti dosis terendah yang (masih) menimbulkan efek. Secara numerik NOAEL selalu lebih rendah daripada LOAEL (enHealth 2002; WHO 1990). RfD atau RfC diturunkan dari NOAEL atau LOAEL menurut 42 Persamaan (2): NOAEL atau LOAEL RfD atau RfC = --------------------------------------UF1 x UF2 x UF3 x UF4 X MF (2) UF adalah uncertainty factor (faktor ketidakpastian) dengan UF1 = 10 untuk variasi sensitivitas dalam populasi manusia (10H, human), UF2 = 10 untuk ekstrapolasi dari hewan ke manusia (10A, animal), UF3 = 10 jika NOAEL diturunkan dari uji subkronik, bukan kronik, UF3 = 10 bila menggunakan LOAEL bukan NOAEL dan MF adalah modifying factor bernilai 1 s/d 10 untuk mengakomodasi kekurangan atau kelemahan studi yang tidak tertampung UF. Penentuan nilai UF dan MF tidak lepas dari subyektivitas. Untuk menghindari subyektivitas, tahun 2004 telah diajukan model dosis-respon baru dengan memecah UF menjadi ADUF (= 100,4 atau 2,5), AKUF (= 100,6 atau 4,0), HDUF (=100,5 atau 3,2) dan HKUF (=100,5 atau 3,2) 8 (IPCS 2004). Menentukan dosis-respon suatu risk agent sangat sulit, membutuhkan data dan informasi studi toksisitas yang asli dan lengkap, ahli-ahli kimia, toksikologi, farmakologi, biologi, epidemiologi dan spesialis-spesialis lain yang berhubungan dengan toksisitas dan farmakologi zat. Namun, saat ini RfD, RfC, SF dan UCR zat-zat kimia dalam berbagai spesi, termasuk fomulanya, telah ada dalam pangkalan data Integrated Risk Information System dari US-EPA (IRIS 2007) yang tersedia di http://www.epa.gov/iris dan pangkalan data TOXNET di http://www.nlm/ yang lebih besar daripada IRIS. Ada ratusan spesi kimia zat yang telah dimasukkan ke dalam daftar IRIS dan sudah ditabulasi (Louvar and Louvar 1998) sehingga bisa langsung digunakan. Contoh toxicity summary beberapa zat ditampilkan Tabel 3. 43 ”WHO (1990) yang dikutip enHealth (2002) mendefinisikan NOAEL sebagai the highest dose of a substance at which no toxic (i.e. adverse) effects are observed. Lihat selanjutnya WHO (1990) Principles for the Toxiclogical Assessment of Pesticide Residues in Food, Environmental Health Criteria 104, Geneva, IPCS/ WHO. (A = animal to human; H = human variability; D = toxicodynamics; K = toxicokinetics.)” 3. Karakterisasi Risiko Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk Quotient (RQ, Tingkat Risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik (ATSDR 2005; EPA 1986; IPCS 2004; Kolluru 1996; Louvar and Louvar 1998) dan Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik (EPA 2005). RQ dihitung dengan membagi asupan nonkarsinogenik (Ink) risk agent dengan RfD atau RfC-nya menurut Persamaan (3): Ink RQ = -----------------RfD atau RfC (3) Baik Ink maupun RfD atau RfC harus spesifik untuk bentuk spesi kimia risk agent dan jalur pajanannya. Risiko kesehatan dinyatakan ada dan perlu dikendalikan jika RQ>1. Jika RQ≤1, risiko tidak perlu dikendalikan tetapi perlu dipertahankan agar nilai numerik RQ tidak melebihi 1. ECR dihitung dengan mengalikan CSF dengan asupan karsinogenik risk agent (Ik) menurut Persamaan (4). Harap diperhatikan, asupan karsinogenik dan nonkarsinogenik tidak sama karena perbedaan bobot waktu rata-ratanya (tavg) seperti dijelaskan dalam keterangan rumus asupan Persamaan (1). 44 ECR = CSF× Ik (4) Baik CSF maupun Ik harus spesifik untuk bentuk spesi kimia risk agent dan jalur pajanannya. Karena secara teoretis karsinogenisitas tidak mempunyai ambang atau non threshold10 maka risiko dinyatakan tidak bisa diterima (unacceptable) bila E-6<ECR<E-4. Kisaran angka E-6 s/d E-4 dipungut dari nilai default karsinogenistas US-EPA (1990). Table 1. Beberapa contoh nilai screening ecotoxicity berdasarkan standard yang diakui Criteria / Standard Compartment Environmental Ministry Republic of Surface Water Indonesia Environmental Ministry Republic of Surface Soil Indonesia Canadian Fresh Sediment Water Sediment Quality Guideline THg Ecotoxicity Value References 2.00 µgL-1 Environmental Impact control and plan 100 µg kg-1dw Environmental Impact control and plan 174 µg kg-1 dw Environmental Canadian (1995); Pataranawat (2008) Indonesia National Biota Standard Tuna Fish 500 µg kg-1 BSNI (2009). Widowati, et al. (2008) Indonesia National Bivalve Standard 100 µg kg-1dw BSNI (2009). Widowati, et al. (2008) Indonesia National Rice grain Standard 100 µg kg-1dw BSNI 2009 45 Indonesia National Cocoa coconut Standard 30 µg kg-1dw BSNI 2009 Environmental Air Dry Deposit Ministry Republic of Indonesia 50 µg/m3 Widowati, et al. (2008) 5. TINJAUAN UMUM MENGENAI MODEL DINAMIK DENGAN MENGGUNAKAN SETLLA Model atau Pemodelan STELLA Model adalah perumusan matematika dari proses-proses fisika/kimia/biologi suatu fenomena alam, sehingga jika dimasukkan data-data penunjang, kemudian dihitung dengan metode perhitungan tertentu, akan dapat dihasilkan gambaran proses secara keseluruhan. Modeling diartikan sebagai Illustrasi penggambaran, penyederhanaan, miniatur, visualising atau kreasi prediksi innovative. “penggambaran proses Kesehatan lingkungan beserta hubungan antar komponen/variabel pembentuknya menggunakan representasi logika dan persamaan matematika. Pemodelan dipergunakan menjelaskan fenomena fisik, kimia, dan biologi yang terjadi dalam proses tersebut Kegiatan pemodelan : - pembuatan konsep, - analisis, - pengorganisasian, - ujicoba pengukuran lapangan, - komunikasi, - prediksi, - pemahaman, - peringatan dini (early warning), 46 - Ujicoba, - optimasi pengambilan keputusan Sebelum menyusun model yg harus diperhatikan 1. Model adalah representasi dari sebuah teori, sehingga jika teori yang digunakan benar maka model juga seharusnya menghasilkan keluaran yang benar, dan sebaliknya. 2. Asumsi dan penyederhanaan yang dibuat ketika menyusun model harus mengikuti aturan/teori yang berlaku, setiap asumsi yang dibuat harus didokumentasikan/dicatat dengan baik. 3. Untuk menghitung model matematika biasanya digunakan pendekatan metode numerik, sehingga harus didefinisikan dengan baik kemungkinan kesalahan perhitungan dari metode numerik yang dipilih/digunakan. Kelebihan model: 1. Dapat digunakan sebagai sarana simulasi, sehingga dengan model kita dapat memperkirakan, memprediksi dan mempelajari berbagai kemungkinan yang dapat terjadi jika berbagai skenario diaplikasikan dalam model. 2. Hanya dengan data tersedia kita mampu mengetahui tingkat Keparahan suatu kasus sampai dengan (100 TAHUN) mendatang 3. Sangat efisien dan efektif dalam hal Pengeluaran dana untuk operasional saat ini dan mendatang Tahapan proses pemodelan A. Konseptualisasi dan Identifikasi - Menyusun hipotesis dasar teori yang terlibat dalam proses termaksud 47 - Mengevaluasi hipotesis dasar teori termaksud - Identifikasi struktur model B. Representasi matematika - Biasanya dalam bentuk diferensial atau persamaan aljabar - Untuk sistem pakar dapat pula menggunakan aturan bahasa (linguistic rules) C. Implementasi numerik - Menyusun algoritma solusi numerik - Melakukan perhitungan menggunakan komputer d. Estimasi parameter dan Kalibrasi - Pengaturan parameter model berdasarkan data pengukuran - Kalibrasi sehingga seluruh data pengukuran dan parameter model sesuai e. Pengujian hipotesis - Pengujian keluaran model terhadap kondisi uji yang telah ditentukan untuk hipotesis tertentu f. Validasi - Memastikan kualitas model yang dihasilkan dengan membandingkannya dengan data pengukuran STELLA Model STELLA adalah otomatis software dirancang untuk mengoperasionalkan berbagai input problem yang diterjemahkan dalam 48 bentuk model. Program STELLA digunakan untuk membangun dan kemudian bereksperimen dengan berbagai model kreatif. Menggambarkan dan menganalisis konsep penting dari sistem dinamik guna Memprediksi berbagai kasus atau situasi melalui input data penelitian atau data literature. Program pemodelan STELLA atau Structural Thinking Experimental Learning Laboratory with Animation adalah system dynamic, powerful dan flexible untuk berbagai kasus urgen menyangkut semua bidang kesehatan dan seluruh kasus lingkungan. ketepatan MEMPREDIKSI mencapai 95%, mampu mengkreasi solusi berbagai kasus / masalah yang langsung mengarahkan “people learn by doing." Telah dibandingkan dengan berbagai hasil research ilmiah dari berbagai negara, dan berbagai kasus. HASILNYA perbedaannya adalah tidak melebihi 5% gap antara Penelitian langsung dibandingkan dengan aplikasi Pemodelan STELLA Sistem dinamis STELLA Sistem yang melibatkan perubahan. Sistem dinamis yang terkait set proses dan reservoir (tempat di mana hal dapat berada atau bentuk, di mana materi atau energi ada) di mana aliran material atau energi, ditandai dengan perubahan terus-menerus. - Berubah sejalan dengan perubahan waktu (dynamics) Masalah yang kompleks (complexity): - detail complexity, dan 49 - dynamic complexity Non-linier (nonlinearity) Ada umpan balik (feedback) 6. KERANGKA TEORI 50 1. Emisi gas buang kendaraan dengan bahan bakar bertimbal 2. Kurangnya tanaman penyerap 3. Peningkatan Jumlah kendaraan bermotor Kadar timbal diudara dipengaruhi oleh : 1. Kecepatan dan arah angin 2. Kelembaban udara 3. Suhu udara 4. Cuaca Kadar Timbal di Udara, tanah,Air Faktor Risiko : 1. Umur 2. Lama Terpapar 3. Jenis kelamin 4. Lokasi Tempat Tinggal 5. Sosek Orang Tua 1. Aktivitas lain diluar sekolah 2. Paparan melalui makanan dan minuman 3. Jenis Transportasi Toksisitas timbal dalam tubuh Absorbsi Inhalasi Konsumsi Kulit Distribusi Jaringan Keras (Tulang, Gigi) Darah Jaringan Lunak (Hati, Ginjal) Eksresi Urine Feces Gambar 6. Kerangka Teori Timbal merupakan salah satu bahan pencemar udara yang berbentuk partikel. Emisi timbal udara ambien paling besar terutama di kota besar berasal dari emisi gas buang kendaraan yang menggunakan bensin bertimbal karena penambahan Tetra Etil Lead (TEL) atau Tetra Metil Lead (TML) yang berfungsi sebagai anti knock untuk menjaga 51 keawetan mesin. Keberadaan partikel timbal diudara ambien sangat dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin, kelembaban udara, suhu udara dan cuaca. Pada saat keadaan cuaca hujan, mengakibatkan kadar timbal udara akan relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan cuaca kemarau. Setiap pajanan udara yang tercemar timbal sebesar 1 µg/m3 udara maka berpeluang menyumbangkan 2,5-5,3 µg/dl timbal dalam darah seseorang yang berada ditempat tersebut (Mukono, 2002). Selain dipengaruhi oleh kadar timbal udara, kadar timbal darah juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lama terpapar, jarak tempuh, waktu tempuh, jenis kendaraan, lokasi rumah dan status sosial ekonomi akan mempengaruhi kadar timbal darah seseorang (Lestari, 2005). Timbal masuk dalam tubuh manusia sebanyak 85% melalui saluran pernafasan, 14 % melalui saluran pencernaan dan 1% melalui kulit. Timbal yang terabsorbsi kemudian didistribusi dalam darah, jaringan lunak (hati dan ginjal) dan jaringan keras (tulang dan gigi), kemudian dieksresikan dalam bentuk urine dan feces (Darmono, 2001). 7. Kerangka Konsep Faktor Resiko Pola Konsumsi Cuaca Umur Jenis Kelamin 52 Variabel Independen Kadar Timbal dalam Udara, Debu, Darah Variabel dependen Resiko Kesehatan : Anemia : Penurunan Daya Fungsi Otak : Gangguan Neorologi Gambar 7. Kerangka Konsep E. Definisi Operasional Dan Kriteria Obyektif Masing-masing variabel penelitian seperti pada kerangka konsep diatas dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kadar timbal darah adalah konsentrasi timbal dalam darah anak SD dan Anak Jalanan yang terpilih menjadi responden dalam satuan µg/dl. Kriteria obyektif Normal : Bila konsentrasi timbal dalam darah ≤ 10 µg/dl Tidak normal : Bila konsentrasi timbal dalam darah > 10 µg/dl (Berdasarkan Standar ATSDR, 2010). 53 2. Kadar timbal udara adalah konsentrasi timbal dalam darah anak SD dan Anak Jalnan yang terpilih menjadi responden dalam satuan µg/dl. Kriteria obyektif Normal : Bila konsentrasi timbal dalam darah ≤ 10 µg/dl Tidak normal : Bila konsentrasi timbal dalam darah > 10 µg/dl (Berdasarkan Standar ATSDR, 2010). 3. Cuaca adalah faktor klimatologi yang mempengaruhi sebaran Timbal di udara (Kelembaban, Arah Angin dan Suhu) 4. Pola Konsumsi adalah Frekuensi makan setiap hari (food frekuensi) yang beresiko terhadap keracunan Timbal 5. ‘Umur adalah berdasarkan kalender pada saat dilakukan penelitian dan yang diperhitungkan adalah tahun kelahiran, jadi terhitung sejak lahir sampai ulang tahun terakhir pada saat dilakukan penelitian. 6. Jenis Kelamin adalah pembagian manusia berdasarkan bentuk penampilan fisik yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. 7. Lama terpapar adalah lamanya anak SD atau anak jalanan di lokasi penelitian, dihitung berdasarkan kalender pada saat dilakukan penelitian. Kriteria obyektif : Resiko Rendah : Bila lama terpapar ≤ 3 bulan Resiko Tinggi : Bila lama sekolah > 3 bulan 8. Lokasi Tempat Tinggal berdasarkan jauh dekat dengan jalan raya Kriteria Obyektif: Jauh : bila > 500 meter 54 : bila ≤ 500 meter Dekat 9. Sosial Ekonomi Status sosial-ekonomi orang tua merupakan kedudukan orang tua dalam hidup bermasyarakat ditinjau dari segi pemenuhan kebutuhan keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian status sosial-ekonomi tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kuesioner yang diadopsi dari “Kuesioner keadaan sosioekonomi dan status Pb dalam darah anak pada pemajanan Pb Lingkungan” (Sunoko, 2009). Kuesioner yang diisi oleh orang tua siswa kemudian diklasifikasikan sebagai berikut: a. Status sosial-ekonomi rendah bila penghasilan ≤ Rp. 1.000.000,b. Status sosial-ekonomi menengah bila penghasilan Rp 1.000.000,sampai 2000.000,c. Status sosial-ekonomi tinggi bila penghasilan > 2.000.000 10. Lokasi padat kendaraan dan tidak padat kendaraan adalah jumlah arus lalu lintas pada lokasi tersebut. Kriteria obyektif : Padat Kendaraan : Apabila volume lalu lintasnya lebih besar dari 20 smp/menit atau 1200 smp/jam. Tidak padat kendaraan : Apabila volume lalu lintasnya lebih kecil dari 20 smp/menit atau 1200 smp/jam.