Cerdas Berdemokrasi

advertisement
Umat
Beragama
Cerdas
Berdemokrasi
Pemilu
Sehat
ii
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Pengarah
Arief Budiman
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Husni Kamil Manik
Ida Budhiati
Juri Ardiantoro
Hadar Nafis Gumay
Sigit Pamungkas
Penanggung Jawab
Arif Rahman Hakim
Penyusun
Ahmad Bunyan Wahib
Editor
Titik P.W
Design Layout
Satrio Mahadi
Ilustrator
Anna Dania
Penerbit
Komisi Pemilihan Umum
Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat
Telp. : 31937223
Fax : 3157759
Website : www.kpu.go.id
Timsun
Penyu
Daftar Isi
Tim Penyusun................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................... iii
Pengantar .....................................................................v
Bab I Agama Dan Demokrasi......................................... 1
A.
B.
C.
D.
E.
Benarkah Agama tidak Mengenal Demokrasi?.. 2
Pemilu dalam Perspektif Agama-Agama............ 5
Pemilu dan Demokrasi dalam
Pandangan Agama-Agama................................ 9
Manfaat Pemilu bagi Demokrasi...................... 12
Pelaksanaan Pemilu........................................ 17
Bab II Kemungkaran Umat Beragama
Dalam Pemilu......................................................25
A.
B.
C.
D.
E.
Kesempatan Korupsi........................................ 26
Kekerasan Atas Nama Agama......................... 31
Berbuat Curang................................................ 35
Diskriminasi Atas Nama Ajaran Agama............ 39
Transaksi Politik Pemuka Agama..................... 43
iii
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
iv
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Bab IIIHarapan Dalam Pemilu.......................................47
A.
B.
C.
D.
Kesejahteraan Rakyat...................................... 48
Kewajiban Mengingatkan Penguasa................ 52
Partisipasi Umat Beragama............................. 56
Menegakkan Keadilan...................................... 59
Bab IV Menjadikan Umat Beragama
Sebagai Subjek Dalam Pemilu........................... 65
Referensi .....................................................................71
Pengantar
Salam Demokrasi!
P
raktik pemilu yang sehat dan berkualitas menjadi harapan kita bersama. Harapan itu bukan
hal yang mustahil untuk dapat direngkuh asal
ada kesadaran kolektif memperbaiki hal yang
kurang, sembari mempertahankan hal yang baik
dari praktik demokrasi kita.
Kehadiran pemilih yang cerdas berdemokrasi menjadi satu kunci untuk meningkatkan kualitas pemilu kita.
Pemilih cerdas berdemokrasi adalah ketika pemilih memahami demokrasi, kritis terhadap praktek demokrasi,
dan terampil dalam memperjuangkan kepentingan politik
publik.
Kelompok beragama merupakan segmen strategis dalam kehidupan demokrasi kita. Dengan keyakinan
bahwa agama memberi pondasi nilai perilaku masyarakat
maka agama semestinya memberikan kontribusi dalam
peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi. Oleh karena
itu penting melakukan eksplorasi atas isu-isu pemilu dan
demokrasi dalam perspektif agama agar proses demokrasi kita dapat berjalan lebih baik.
v
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
vi
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Kehadiran buku ini berusaha mengelaborasi bahwa
agama relevan mendorong peningkatan kualitas pemilu
dan demokrasi.
Buku “Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi” ini
merupakan salah satu dari serial buku pendidikan pemilih
“Cerdas Berdemokrasi” yang dirancang KPU. Terdapat 5
(lima) kelompok strategis yang menjadi perhatian serius
KPU terkait dengan cerdas berdemokrasi yaitu pemilih
pemula, umat beragama, perempuan, kaum pinggiran,
dan penyandang disabilitas. Pada masing-masing kelompok strategis tersebut disusun buku pendidikan cerdas
berdemokrasi. Kelompok sosial tersebut strategis dalam
agenda perubahan politik, sekaligus rentan dengan manipulasi politik dalam pemilu dan demokrasi.
Umat beragama yang dimaksud dalam buku ini
adalah mereka yang menjadi komunitas dari setiap agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia.
Buku ini secara garis besar membahas tiga ranah
yaitu isu-isu yang berhubungan dengan agama dan demokrasi, masalah-masalah dalam pemilu dan harapanharapan dalam pemilu. Masih sangat jarang buku panduan pemilu dan demokrasi yang mengulas tentang hal
ini, karenanya ini adalah sebuah rintisan awal yang masih
perlu penyempurnaan.
Ayo sehatkan pemilu dan demokrasi kita.
Jakarta, Juli 2013
Ttd
Husni Kamil Manik
Bab 1
Agama dan
Demokrasi
2
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
A. Benarkah Agama Tidak Mengenal
Demokrasi?
Barangkali kata demokrasi sudah sangat sering kita dengar dan kita obrolkan di forum-forum kampung, rumah
makan, warung kopi, tempat kerja, media sosial, dan
tempat-tempat lain. Sebenarnya apa sih demokrasi? Demokrasi adalah kekuasaan rakyat. Ia berasal dari bahasa
Yunani; “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau
“cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi,
demokrasi adalah suatu pemerintahan yang dibentuk dari
rakyat (government of people), oleh rakyat (government
by people) dan untuk rakyat (government for people).
Demokrasi mensyaratkan pemerintahan harus memperoleh legitimasi rakyat. Pemerintah baru sah kalau dipilih oleh rakyat melalui proses dan mekanisme tertentu.
Setelah dipilih oleh rakyat, pemerintah harus menjalankan
kekuasaannya atas nama rakyat, untuk kepentingan rakyat dan pengawasannya juga dilakukan oleh rakyat, baik
secara langsung atau melalui lembaga perwakilan (DPR).
Kekuasaan tersebut juga dijalankan untuk melayani aspirasi rakyat. Apabila kekuasaan tersebut hanya melayani
kelompok tertentu saja, maka pemerintahan tersebut bukan pemerintah yang demokratis.
Demokrasi mula-mula dikenalkan oleh negara Barat.
Sistem ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar negaranegara Timur, termasuk Indonesia. Dengan demikian, demokrasi di dunia Timur merupakan nilai dan praktek asing.
Hal ini memunculkan anggapan bahwa demokrasi tidak
sesuai untuk negara Timur yang agamis dan punya sejarah panjang dengan sistem kerajaan, dinasti, kekaisaran,
dan khilafah. Dalam perjalanannya, kemudian demokrasi
dicitrakan sebagai peradaban sekuler. Bahkan secara
terang-terangan sebagian kelompok masyarakat menolak
demokrasi dengan mengatasnamakan agama. Meskipun
demikian perlu diakui bahwa secara esensi, tradisi agama-
agama cukup kaya dengan nilai-nilai demokratis, bahkan
sudah diterapkan dalam sejarah pemerintahan di Timur
jauh sebelum konsep demokrasi modern dikenalkan oleh
Barat. Oleh karena itu perlu dipertanyakan kembali, betulkah demokrasi tidak sesuai dengan tradisi dan praktik
keagamaan bangsa Timur termasuk Indonesia?
Sejatinya
demokrasi
dan
Demokrasi
agama
sama-sama
mencitamensyaratkan
citakan nilai-nilai luhur sepemerintahan harus
perti kebebasan, kejujuran,
memperoleh legitimasi rakyat.
keadilan, toleransi, dan
Pemerintah baru sah kalau
saling menghormati satu
dipilih oleh rakyat melalui proses
sama lain. Dalam agama
dan mekanisme tertentu. Setelah
Islam, beberapa doktrin
dipilih oleh rakyat, pemerintah harus agama dapat menjadi timenjalankan kekuasaannya atas
tik temu antara nilai-nilai
Islam dan demokrasi senama rakyat, untuk kepentingan
perti prinsip persamaan
rakyat dan pengawasannya
(al-Musawah),
kebebasan
juga dilakukan oleh
(al-Hurriyah),
musyawarah
rakyat.
atau konsultasi (al-Syura), keadilan (al-‘Adalah), konsensus
(Ijma’), dan akuntabilitas (Mas’uliyah).
Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama terkemuka, menegaskan bahwa substansi demokrasi mempunyai persamaan
dengan nilai-nilai dalam Islam. Pemilihan umum untuk
memilih pemimpin itu seperti pemilihan seorang imam untuk memimpin shalat berjamaah oleh para makmum. Tentu saja mereka tidak akan memilih pemimpin yang tidak
mereka sukai apalagi menyimpang dari kekuasaan yang
diberikan.
Dalam Kristen, berdemokrasi bisa dipandang sebagai salah satu tujuan penciptaan manusia. Perjanjian
Lama, Kitab Kejadian 1:26-29, menjelaskan bahwa Tuhan memberkati kepemimpinan manusia yang ditugaskan
untuk mengelola segala ciptaanNya di dunia dengan baik.
Manusia diberikan amanat ini karena manusia diciptakan
3
Bab 1 Agama dan Demokrasi
4
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
sesuai gambaran Tuhan (imago dei). Tugas ini tidak hanya untuk Adam seorang, tapi kepada semua manusia baik
laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, kekuasaan (kratos) untuk mengelola dunia memang diserahkan
pada umat manusia (demos).
Dalam Buddha, terbentuknya sangha merupakan
cerminan demokrasi. Sangha adalah persekutuan umat
Buddha dalam usaha meraih kesucian tanpa memandang
perbedaan kelas atau kasta. Demokrasi dibenarkan
dalam Buddha karena mekanisme demokrasi yang
meniscayakan tenggang rasa dapat meredam salah satu
sebab utama dukkha, yaitu keakuan atau ego. Ini sesuai
dengan anavas atau penghancuran ego yang menjadi
tujuan Buddha. Dalam Hindu, landasan demokrasi
dibangun dengan konsep teologis kesadaran istadewata.
Yakni keyakinan bahwa semua makhluk memiliki atman
yang merupakan percikan dari satu brahman. Semua
makhluk juga sedang bersama-sama berjalan menuju
moksha atau kesatuan hakiki kepada brahman. Pada saat
yang sama, juga ingin dicapai jagaditha atau kebahagiaan
dunia. Dua tujuan mulia yang digerakkan bersama-sama
inilah yang menjadi landasan hidup berdemokrasi dalam
Agama Hindu.
Agama Konghucu pernah dipandang undemocratic
bahkan anti-democratic oleh Samuel Huntington, namun
Francis Fukuyuma menyanggahnya dengan menyatakan
bahwa etika Konfusianisme telah melahirkan kehidupan
demokratis di Cina Kuno yang ditandai dengan literasi dan
keadilan dalam pendidikan, toleransi antar agama, pemerintahan yang egaliter, dan masyarakat yang meritokratik. Sebuah capaian yang belum di raih Barat pada era
yang sama. Para penerus Konghucu abad 2 SM, Mencius
dan Hsun Zu, pernah mengklaim bahwa kehendak rakyat
adalah kehendak Thian (Tuhan). Sebuah adagium yang di
Barat dikenal dengan vox populi vox dei.
Amatlah jelas bahwa demokrasi dan agama-agama
yang ada di Indonesia sama-sama mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal seperti
keadilan, kejujuran, toleransi dan independensi. Nilai-nilai tersebut dapat disinergikan
dalam kehidupan beragama, berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian, Sesungguhnya kita bisa menjadi seorang penganut
agama yang saleh sekaligus dapat menjadi
seorang warga negara yang patriotik.
B. Pemilu dalam Perspektif Agama-Agama
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses politik untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Pemimpin politik yang
dimaksudkan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota. Sedangkan wakil rakyat adalah orang-orang yang
duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen/DPR) baik
di tingkat pusat maupun daerah. Untuk menjamin agar
proses pemilihan wakil-wakil tersebut berjalan baik dan
adil, maka dibuatlah mekanisme tata laksana pemilihan
yang dikenal dengan pemilihan umum (pemilu).
Pemilu ini bertujuan agar proses kompetisi,
partisipasi, dan jaminan atas hak-hak politik masyarakat
bisa terpenuhi. Di dalam Pemilu semua warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memilih pemimpin
politiknya secara langsung. Suara atau pilihan-pilihan di
dalam Pemilu tersebut lalu dikonversikan ke dalam “kursi”
di dewan perwakilan atau jabatan eksekutif. Di Indonesia,
Pemilu berfungsi sebagai saluran untuk menentukan
kehendak rakyat dalam memilih pemimpin dan wakil
mereka, baik dalam skala kecil yang bersifat lokal (seperti
desa) maupun dalam skala dan tingkat yang lebih tinggi
lagi (seperti kabupaten, provinsi dan negara). Orang-orang
yang duduk di dalam pemerintahan tersebut merupakan
representasi dari rakyat. Rakyat mendelegasikan tugastugas di dalam membuat keputusan politik kepada orang
5
Bab 1 Agama dan Demokrasi
6
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
atau sekelompok pejabat publik yang telah mereka pilih.
Oleh karena itu, para pemimpin dan wakil rakyat yang
menjadi anggota badan perwakilan rakyat pada hakikatnya
diseleksi sendiri oleh rakyat. Jadi, apabila rakyat tidak
peduli dengan Pemilu, maka secara tidak langsung bisa
dikatakan bahwa mereka juga tidak peduli dengan hakhak dan kedaulatannya sendiri.
Pemilu memberikan otoritas kepada setiap individu
dalam masyarakat untuk menentukan pemimpin dan wakil
mereka. Akan tetapi, pemilu dianggap sebagai mekanisme
yang asing, terutama bagi negara yang awalnya sangat
kuat dengan tradisi kekuasaan yang herediter (diwariskan secara turun-temurun) dan kekuasaan yang dibangun
atas titah mandat langit atau otoritas suci (termasuk otoritas kitab suci agama-agama). Bagi sebagian kelompok
(penganut) agama, kekuasaan adalah mandat dari Tuhan
yang harus dipilih di bawah bimbingan ajaran Tuhan. Pemimpin adalah wakil Tuhan dan Tuhan sendiri telah menentukan mekanisme pemilihan pemegang kekuasaan.
Bagi sebagian umat beragama, pelimpahan kekuasaan
atas dasar kehendak rakyat melalui pemilu adalah sebuah
kreasi manusia yang semestinya dihindari. Apakah benar
mekanisme pemilihan pemimpin melalui suara rakyat tidak dikenal dalam tradisi agama-agama?
Dapat ditemukan adanya indikasi yang kuat yang
menunjukkan bahwa nilai-nilai agama mendukung penerapan mekanisme pemilihan pemimpin seperti yang dipraktekkan dalam pemilu. Agama-agama di Indonesia
sangat menghargai hak-hak manusia untuk memilih pemimpin yang diinginkan.
Dalam Islam, ada istilah syura (musyawarah) yang secara tegas dinyatakan dalam QS asy-Syura’ (42): 38 dan
QS. Ali Imron (3): 159. Hadits Nabi juga mengenal adanya
ijma’ (konsensus masyarakat) sebagai dasar membuat
keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat,
sehingga keputusan yang diambil tidak menyengsara-
kan masyarakat. Selain itu, dalam pemikiran
politik Islam (al-fiqh as-siyasi) juga dikenal
beberapa konsep lain seperti al-ikhtiyar alummah (hak rakyat untuk memilih pemimpinnya), bay’ah (hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan pemimpin).
Konsep-konsep tersebut mengajarkan umat
Islam untuk memilih pemimpin sesuai dengan
kehendak rakyat.
Di dalam agama Kristen, wujud demokrasi
dapat dilihat dari pemilihan pemimpin jemaat,
dan berkumpulnya rasul-rasul dan jemaat di
Yerusalem ketika terjadi masalah
serius untuk mencari solusi
bersama secara demokratis (Kis. 15).
Proses pemilihan Paus juga tidak
berdasarkan penunjukan langsung
oleh Paus sebelumnya, tapi melalui
mekanisme demokratis yang disebut
Conclave dengan diikuti para Kardinal
yang mewakili berbagai kawasan di
dunia. Dalam agama Hindu terdapat
istilah “istadewata” dan “ahimsa”.
Dalam agama Budha, ditekankan
upaya pembersihan diri dengan fokus
pada Bodhicita dan kasih sayang antar
sesama yang kesemuanya mewujud
pada sikap toleransi, solidaritas demi kepentingan dan kebaikan bersama.
Dalam ajaran Konghucu dikenal prinsip jalan tengah
(Zhong Yong) yang dikembangkan dari dualisme yin-yang
dalam kitab Tengah Sempurna. Prinsip Jalan Tengah ini
dipandang sebagai landasan pemilu dalam Konghucu
dimana titik ekstrim yang direpresentasikan dengan perbedaan antar partai bisa ditengahi dengan mekanisme
pemilu.
7
Bab 1 Agama dan Demokrasi
8
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Oleh karena itu, pemilu yang diadakan oleh negara
yang menganut sisem demokrasi, merupakan sebuah mekanisme yang selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam
ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia. Tidak ada
alasan bagi umat beragama di Indonesia untuk menolak pemilu. Pemilu harus dapat dijadikan sebagai media/
tempat diterapkannya nilai-nilai agama dalam memilih pemimpin masyarakat.
C. Pemilu dan Demokrasi dalam Pandangan
Agama-Agama
Secara sederhana, pengertian demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh
karena itu, setiap negara yang mengadopsi sistem demokrasi modern, termasuk Indonesia, perlu menyelenggarakan Pemilu sebagai bentuk manifestasi prinsip demokrasi itu sendiri. Melalui Pemilu, setiap warga negara
berkesempatan memberikan hak suaranya secara langsung, bebas dan rahasia untuk memilih siapa wakil rakyat
baik Presiden, anggota dewan maupun kepala daerah
yang menurut mereka paling kredibel dan mampu merealisasikan aspirasi masyarakat secara umum.
Perwujudan demokrasi melalui Pemilu sejalan dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia yaitu
Demokrasi Pancasila yang percaya bahwa “kedaulatan
atau kekuasaan berada di tangan rakyat yang bersumber
kepribadian dan filsafah hidup bangsa Indonesia”. Dasar
dari Demokrasi Pancasila adalah kedaulatan rakyat seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
1 ayat 2 yaitu “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”
Nilai-nilai dalam demokrasi dan mekanisme pemilu
sama-sama diakomodasi dalam semua agama. Pemilu
menjadi metode untuk mencari kehendak rakyat dalam
menentukan pemimpin dan wakil mereka dalam demokrasi. Salah satu problem yang muncul adalah adanya kelompok masyarakat agama yang sejatinya memanfaatkan alam dan ruang demokrasi untuk mempertahankan
eksistensinya. Akan tetapi, mereka menolak mekanisme
pemilu yang menjadi anak kandung demokrasi. Bagi mereka, pemilu adalah cara sekuler, dan mereka memilih untuk menggunakan cara “relijius” untuk memilih pemimpin
rakyat. Tidak bisakah demokrasi dipahami sebagai mani-
9
Bab 1 Agama dan Demokrasi
10
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
festasi model pemilihan seperti yang diajarkan dalam ajaran agama dan dipraktekkan dalam komunitas agama?
Pemilu sebagai mekanisme memilih pemimpin berdasarkan pendapat mayoritas sejatinya dapat dipahami
sebagai perwujudan nilai-nilai agama. Pemilu sesungguhnya sejalan dengan mekanisme yang ada dalam ajaranajaran agama dalam hal pemilihan pemimpin. Dalam Islam, selain mengenal syura atau musyawarah dan juga
ijma’ atau konsensus untuk menemukan solusi bagi umat
ketika terjadi perbedaan dalam masalah kepemimpinan,
mekanisme pemilu dapat disejajarkan dengan konsep
ikhtiyar al-ummah (kehendak masyarakat) dalam memilih pemimpin. Ikhtiyar al-ummah malah dianggap konsep
yang sangat fundamental dalam pemilihan pemimpin.
Ikhtiyar al-ummah merupakan hak istimewa rakyat untuk
memilih pemimpinnya. Dalam konsep ini, setiap individu
mempunyai hak suara, seperti dalam pemilu, untuk memilih pemimpin yang dikehendaki. One man has one vote.
Setelah pemimpin pilihan masyarakat tersebut terpilih,
hubungan antara pemimpin dengan warganya disinergikan melalui bay'ah yaitu kontrak politik terkait dengan
hak dan kewajiban timbal balik antara warga dengan pemimpin.
Sementara itu, ajaran yang mendukung pemilu pada
agama Kristen dapat ditemui baik pada Kitab Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama,
semangat demokrasi terlihat ketika Musa mengangkat pemimpin-pemimpin kelompok dari kelompok seribu hingga
kelompok sepuluh di antara umat Israel yang saat itu sedang berada di gurun pasir menuju Kanaan setelah keluar
dari Mesir (Kel. 1: 13). Dalam Perjanjian Baru, semangat
Pemilu dan demokrasi misalnya terlihat pada pemilihan
pemimpin jemaat mulai dari pengganti Yudas Iskariot
(Kis.1: 15-26), pembantu rasul (Kis. 6: 1-7), dan pemimpin
jemaat lainnya. Terkait praktik Pemilu, dijelaskan pula tentang berkumpulnya rasul-rasul dan jemaat di Yerusalem
ketika terjadi masalah serius untuk mencari solusi bersama secara demokratis (Kis. 15).
Untuk memecahkan masalah bersama, umat Budha
selalu mengedepankan metode yang demokratis. Sejak
abad ke-4 SM umat Buddha sudah melakukan konsolidasi
demokratis dalam memecahkan masalah-masalah umat
setelah Buddha Sidharta Gautama wafat (parinibhana).
Selain itu, dalam Milinda Panha disebutkan bahwa layak
tidaknya seseorang menjadi pemimpin sangat ditentukan
oleh rakyat. Rakyat berhak untuk tidak mendukung penguasa jika penguasa tersebut
Pemilu
tidak kompeten. Hal ini mengisyaratkan
sebagai
bahwa suara rakyat sangat menenmekanisme
tukan dalam uji kelayakan seorang
memilih pemimpin
pemimpin. Dengan kata lain, pemiberdasarkan
lu sebagai saluran untuk menampendapat mayoritas
pung suara rakyat adalah jalan tersejatinya dapat
baik dalam menentukan jalannya
dipahami sebagai
pemerintahan.
perwujudan nilainilai agama.
Dalam Agama Hindu ada seuntai
mantra (doa) yang mengajak manusia
untuk menyamakan tujuan demi mencapai kebahagiaan hidup bersama-sama. Hal
tersebut termaktub dalam Rg Veda X 191.2. Menyamakan
tujuan berarti membuat sebuah konsensus yang ditentukan oleh umat secara bersama-sama. Pemilu dapat
diterima sebagai bentuk nyata upaya tersebut, yaitu untuk
menemukan tujuan atau visi yang diiginkan sebagian besar orang demi mengupayakan kesejateraan bagi semua.
Dalam pandangan Agama Konghucu, masyarakat
demokratik akan lebih mudah terwujud jika anggota masyarakat tersebut terdiri dari para Jun Zi. Yang dimaksud
Jun Zi atau orang bijak adalah manusia yang free will-nya
tidak dibatasi oleh sekat-sekat yang mengekang. Artinya,
masyarakat dibebaskan berekspresi melalui saluran yang
adil. dalam konteks berpolitik, kehendak bebas masyarakat bisa diakomodasi dalam partai politik dan kemudian
disalurkan melalui pemilu. Dengan demikian pemilu merupakan mekanisme agar jun zi bisa berperan membangun
11
Bab 1 Agama dan Demokrasi
12
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
masyarakat demokratis. Agama-agama pribumi di Indonesia pun rata-rata menjunjung nilai-nilai demokratis yang
terkandung dalam agama-agama lain di atas.
Jika nilai-nilai agama-agama seperti di atas dapat
terinternalisasi dalam setiap individu pemeluknya, maka
umat beragama tidak segan untuk berpartisipasi aktif
dalam pemilu. Tidak akan terjadi penolakan terhadap pemilu dengan mengatas-namakan agama. Demokrasi dan
pemilu dapat dipandang sebagai kontekstualisasi nilai-nilai agama dalam menentukan pemimpin masyarakat.
D. Manfaat Pemilu bagi Demokrasi
Demokrasi sedang mendapatkan perannya. Demokrasi
telah mampu meyakinkan sebagian besar negara di muka
bumi ini bahwa sistem ini dapat memberikan kebaikan dan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam berbangsa
dan bernegara. Nyatanya, melalui demokrasi aspirasi dan
keinginan yang dimiliki oleh rakyat dapat disampaikan
melalui jalur dan prosedur yang demokratik pula. Tidak
hanya itu, penyampaian aspirasi rakyat itu dapat terayomi
dan terlindungi oleh undang-undang. Namun, tidak semua
warga negara dalam negara demokrasi dapat menjalankan fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif; perwakilan mereka yang dapat melakukan. Untuk memilih perwakilan
inilah maka diperlukan pemilihan umum (pemilu).
Pemilu merupakan salah satu sarana bagi rakyat
dalam menyampaikan aspirasi. Demokrasi menolak adanya kepemimpian yang turun-temurun, dan pemilu dapat
menghindarkan negara dari kepemimpinan dengan model seperti itu. Pemilu merupakan pengejewantahan dari
diterapkannya demokrasi dalam sebuah negara, di mana
rakyat dapat dengan langsung memilih wakilnya untuk
duduk dalam parlemen dan struktur pemerintahan. Pemilu
diharapkan dapat menegakkan tatanan politik dan pemerintahan yang demokratis. Pemilu menjadi sarana penting
bagi tegaknya demokrasi yang sehat dan baik. Sedangkan demokrasi itu sendiri adalah sarana bagi terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur.
Terlepas dari beberapa permasalahan yang muncul
terkait pemilu, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan
pemilu dengan demokratis. Hal ini menunjukan bahwa
sistem demokrasi di Indonesia sedang berjalan dengan
baik. Dengan penduduk dengan beragam keyakinan,
agama, etnis, orientasi seksual, dan hal-hal pembeda
lainnya, pemilu tentunya merupakan sarana yang
respresantatif untuk mewujudkan pemerintahan yang
sehat dan sejalan dengan aspirasi rakyat.
Pemilu sebagai piranti utama dalam demokrasi semestinya memberikan manfaat besar bagi kokohnya
penerapan demokrasi. Pemilu menjadi cara yang dianggap paling rasional untuk memilih pemimpin masyarakat.
Namun sejauh ini perjalanan demokratisasi di Indonesia
tidak berjalan mulus. Banyak problem yang menghambat
perjalanan demokrasi. Salah satu problem yang serius
adalah adanya sebagian kelompok masyarakat agama
yang menolak demokrasi dan praktek-praktek yang lahir
dari sistem ini, termasuk pemilu. Bagaimana agama-agama memandang pemanfaatan pemilu sebagai jalan berdemokrasi?
13
Bab 1 Agama dan Demokrasi
14
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Dalam Islam, tidak ada satu teks keagamaan pun
(baik al-Qur’an maupun hadits) yang menjelaskan sistem
pemilihan tertentu untuk mencapai puncak kepemimpinan
pemerintahan. Melihat apa yang diterapkan pada masa
awal pemerintahan Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad, tidak ada satupun khalifah yang menetapkan sebuah sistem pengangkatan pimpinan
pemerintahan. Abu Bakar, misalnya, diangkat menjadi khalifah melalui proses
baiat yang disepakati oleh ahl al sunnah sebagai sebuah
sistem yang dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan semua sahabat
dan bukan berdasarkan
teks keagamaan tertentu.
Apa yang dilakukan pada proses peralihan kepemimpinan dari Abu Bakr ke Umar pun tidak berdasarkan teks
keagamaan tertentu, dan Umar diangkat melalui proses
istikhlaf, penunjukan kepala pengganti sesudahnya. Praktek ini menjelaskan bahwa yang ditekankan dalam proses
pengangkatan adalah semangat kebaikan rakyat bersama.
Pemilu yang diterapkan dalam sistem demokrasi
sesuai dengan semangat Islam terkait proses pemilihan
pemimpin Negara maupun perwakilan anggota parlemen.
Rasulullah saw pernah secara implisit menyebutkan bahwa
pemimpin harus dipilih sesuai dengan keinginan rakyat.
Beliau bersabda bahwa, "Sebaik-baik pemimpin kalian
adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu,
mereka yang kalian hubungkan silaturahimnya dan
mereka juga menghubungkan silaturahim kepada kalian."
(HR Muslim). Tentunya, pemimpin yang dipilih adalah dia
yang memiliki motivasi bersih dan sikap peduli rakyat.
Ajaran Kristen mengajarkan bahwa setiap manusia
mempunyai martabat untuk menjadi pribadi moral yang
bebas, yang kebebasannya termanifestasikan keputusan dan tindakan pribadi dalam keberlangsungan hidup
bersama. Selain itu, setiap manusia juga mempunyai
martabat untuk menjadi pelayan yang memungkinkan adanya kehidupan bersama.
Iman Kristiani mengajarkan bahwa kasih dapat
mewujud apabila setiap
orang meberikan dirinya
bagi pelayanan dalam
masyarakat. Karena inilah orang Kristen dituntut
terlibat aktif dalam pemilu,
karena pemilu merupakan
bagian dari keterlibatan kasih
dalam kehidupan politik yang
demokratis.
Agama Buddha tidak didasarkan pada otoritas.
Pendekatannya bersifat demokratis. Buddha mendobrak
sistem kasta yang sarat dengan diskriminasi, dan membuka pintu ordo yang disebut sangha bagi semua orang, tanpa memandang kasta dan kedudukan sosialnya.
Dalam agama Hindu kasta-kasta mengalami reinterpretasi baru sebagai “catur warna”, yakni kekuasaan agama
(Brahmana), pemerintahan (Ksatria), ekonomi
(Waisya) dan tenaga
kerja (Sudra). Dalam
konteks demokrasi
modern,
pemilu
adalah untuk memilih mereka yang ada dalam pemerintahan.
15
Bab 1 Agama dan Demokrasi
16
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Dalam Hindu modern juga muncul konsep tentang
“Dharmokrasi”, yakni pemerintahan oleh dharma (Rattan Lal Bedi, 1976). Dharmokrasi bukan untuk mengganti
demokrasi tetapi untuk pemberi
dimensi spiritual terhadapnya,
sehingga demokrasi menyejahterakan bukan hanya halhal fisik-material tetapi juga
mental-spiritual.
Dalam ajaran Konghucu, Nabi Kongzi mengajarkan tentang demokrasi
dalam pemerintahan. Seorang Raja atau pemimpin dipercaya mendapatkan mandat dari Tian (Langit) atau disebut
dengan Tian Ming. Dia harus menjadi ayah bunda bagi
rakyatnya. Beliau juga menegaskan bahwa: “Tuhan melihat sebagaimana rakyat melihat, dan Tuhan mendengar
sebagaimana rakyat mendengar.” Degan demikian, pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu
oleh rakyat harus memperhatikan
suara rakyat, karena “mata
dan telinga” Tuhan
ada pada tatapan dan
pendengaran mereka. Ini adalah
landasan
spiritual
bagi demokrasi
Konghucu.
Ajaran-ajaran luhur nenek-moyang bukanlah ajaran yang menentang pemilu dan menghambat
demokrasi. Pemeluk agama-agama pribumi di Indonesia
pun mendambakan kehidupan yang demokratis yang terbebas dari penindasan dan ketidakadilan.
Dengan demikian, setiap individu masyarakat Indonesia dapat memperjuangkan suara profetik rakyat dengan
cara menghormati kebebasan, memperjuangkan kesetaraan dan menyebarkan kasih melalu pemilu yang jujur,
adil, bersih dan akuntabel. Pemilih yang memahami dengan baik manfaat pemilu bagi kehidupan demokrasi tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan pemilihan perwakilan
rakyat dan pemimpin publik itu, karena ini akan berdampak luas dan lama kepada kehidupan rakyat secara menyeluruh.
E. Pelaksanaan Pemilu
Sampai pada pembahasan teknis. Bukan hanya substansi
dari demokrasi dan pemilu saja yang penting. Persoalan
teknis juga penting, karena pemilu butuh proses yang
teratur dan bisa di-pertanggungjawab-kan. Yang pertama
harus tahu, siapa saja yang dipilih dalam pemilu?
Dalam pemilu di Indonesia, kita memilih:
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi
4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten/Kota
5. Presiden dan Wakil Presiden.
6. Kepala Daerah: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
Kemudian, siapa saja peserta pemilu itu? Peserta
pemilu tergantung pada jenis pemilunya. Untuk pemilu
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota peserta pemilu adalah partai politik. Sedangkan untuk pemilu
DPD peserta pemilu adalah perseorangan. Sementara itu
pada pemilu presiden dan wakil presiden (biasanya disingkat Pilpres) pesertanya adalah pasangan calon yang
17
Bab 1 Agama dan Demokrasi
18
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
ileg
1. P
s
ilpre
P
.
da
2
iluka
m
e
3. P
mendapatkan dukungan dalam jumlah tertentu dari partai politik. Ketentuan ini juga berlaku untuk pemilu kepala
daerah (biasanya disingkat Pemilukada).
Jadi ada enam macam yang dipilih. Memilihnya
bersamaan atau tidak? Pemilu untuk memilih anggota
legislatif, yaitu DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, dilakukan serentak. Sementara itu
pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden dilakukan
setelah pemilu anggota legislatif. Dengan demikian pada
pemilu legislatif pemilih akan mendapatkan 4 (empat)
kertas suara, sedangkan pada pemilu presiden dan wakil
presiden mendapatkan satu kertas suara.
Kalau pemilu kepala daerah itu jadwalnya beda-beda
setiap daerah. Bahkan ada beberapa kepala daerah yang
tidak dipilih. Misalnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu ditetapkan oleh DPRD. Sesuai dengan aturannya, Gubernur DIY adalah Sultan Hamengkubuwono yang
sedang bertahta. Di DKI Jakarta, para bupati dan walikota
juga tidak dipilih, tapi diangkat oleh gubernur.
Eh, tentang anggota DPD, boleh perorangan?
Iya, betul sekali. Hal ini karena proses pencalonan
anggota DPD bersifat perorangan, bukan atasnama partai politik. Jadi, calon anggota DPD mencalonkan diri atas
nama pribadi tanpa membawa partai. Mungkin saja ia anggota partai, tapi saat pencalonan ia tidak membawa nama
partainya. Orang yang tidak berasal dari partai politik pun
boleh ikut mencalonkan diri. Perlu diingat, nantinya dari
setiap provinsi akan ada 4 (empat) orang anggota DPD
terpilih.
Berbeda dengan anggota DPD, anggota DPRD dan
DPR sementara ini justru harus masuk lewat partai politik.
Sebenarnya di sejumlah negara, sudah dilakukan pencalonan anggota lembaga legislatif secara independen.
Tapi di Indonesia, saat ini calon anggota lembaga legislatif harus lewat partai politik. Sudah tahu kenapa masih
lewat partai politik? Karena dengan partai politik maka peorganisasiannya akan jadi lebih mudah dibandingkan jika
dilakukan secara independen.
Tapi kamu tahu tidak, sekarang ada berapa partai
politik?
Ada partai politik nasional dan ada partai politik lokal.
Partai politik nasional menjadi peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Ada 12 (duabelas) partai politik nasional. Sedangkan
partai politik lokal hanya menjadi peserta pemilu DPRD di
Aceh. DPRD Aceh disebut DPRA. Terdapat 3 (tiga) partai
politik lokal. Ini daftar partai politik peserta Pemilu 2014:
19
Bab 1 Agama dan Demokrasi
20
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Partai Nasional
No.
Urut
Nama Partai
Ketua
Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya.
Partai lokal di Aceh
No.
Urut
Nama Partai
Ketua
21
Bab 1 Agama dan Demokrasi
22
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Ohh… itu ya partai-partai politik yang bisa saya pilih.
Eh, tapi saya ini pemilih bukan sih?
Sip! Kamu adalah pemilih
jika kamu Warga Negara Indonesia dan sudah berumur 17
(tujuh belas) tahun atau lebih
atau sudah/pernah kawin. Kalau Kamu memenuhi syarat,
pastikan nama kamu tercantum dalam daftar pemilih. Pemilih didaftar dalam tahap awal
pemilu. Setelah itu, masih ada
banyak tahap lagi yang harus
dijalani dalam pemilu.
Syarat Pemilih:
17,
17+
WNI
berusia 17 th
atau lebih
DPT
(Daftar Pemilih Tetap)
Ini dia tahapan dalam
sudah nikah atau
pelaksanaan pemilu:
terdaftar sebagai
pernah nikah
a)perencanaan
program
pemilih
dan
anggaran,
serta
penyusunan
peraturan
pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu;
b) pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar
Pemilih;
c) pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu;
d) penetapan Peserta Pemilu;
e) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f) pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota;
g) masa Kampanye Pemilu;
h) Masa Tenang;
i) pemungutan dan penghitungan suara;
j) penetapan hasil Pemilu; dan
k) pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Banyak kan tahapannya. Dengan tahapan yang banyak ini, tentu pemilu diurus dengan serius oleh berbagai
pihak. Nah, pemilu di Indonesia dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Lembaga ini bersifat nasional,
tetap dan mandiri. Struktur permanen KPU ada mulai dari
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ketika tahapan pemilu sudah dimulai, dibentuk pula badan-badan
adhock (sementara), yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) di tingkat kecamatan, Panitia Pemungutan Suara
(PPS) di tingkat Desa/Kelurahan, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tiap TPS, dan Petugas
Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Khusus di Luar
Negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN),
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), dan Pantarlih.
Katanya ada lembaga pengawas juga?
DK
Iya betul. Ada lembaga pengawas pemilu dengan tugas utama mengawasi penyelenggaraan pemilu kita. Ditingkat pusat dan provinsi bernama Bawaslu yang bersifat
permanen. Sementara itu ditingkat Kabupaten/Kota dan kecamatan bernama Panwaslu. Ditingkat desa/
kelurahan ada Pengawas Pemilu Lapangan (PPL), dan di luar
negeri ada Pengawas Pemilu
Luar Negeri. Struktur pengawas pemilu dibawah provinsi
bersifat adhock.
PP
Selain ada lembaga pengawas pemilu, ada juga
lembaga bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Lembaga ini dibentuk dengan tujuan
memeriksa dan memutus pengaduan dan laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU
dan Bawaslu beserta jajarannya sampai ditingkat bawah.
DKPP ini satu-satunya di dunia lho, hebat kan!
23
Bab 1 Agama dan Demokrasi
24
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Nah, hadirnya lembaga-lembaga diluar KPU itu
dimaksudkan untuk semakin memperkokoh integritas
penyelenggaraan pemilu kita.
Sekarang soal pelanggaran pemilu. Kamu pasti ngikuti berita bahwa
pelanggaran kerap terjadi dalam
pemilu. Bener nggak? Pelanggaran dalam Pemilu secara garis
besar dibagi menjadi dua. Pertama, Pelanggaran Administrasi
Pemilu. Kedua, Pelanggaran Pidana
Pemilu. Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Pemilu yang bukan
merupakan ketentuan pidana dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Sedangkan
Pelanggaran Pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap
ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui
pengadilan.
Kalau kita melihat pelanggaran pemilu, maka kita
harus melaporkannya kepasa Bawaslu atau Panwaslu
dengan segera.Pengawas pemilu akan menindak-lanjuti
laporan itu untuk diselesaikan.
Kalau kita melapor, posisi kita aman kan?
Tenang sista and brother, sudah pasti aman. Jangan
biarkan pelanggaran pemilu terjadi. Awasi dan laporkan
ya kalo ada pelanggaran supaya pemilu kita semakin sehat dan berkualitas.
Bab 2
Kemungkaran
Umat Beragam
Dalam Pemilu
26
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
A. Kesempatan Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” yang bermakna kerusakan atau kebobrokan. Korupsi mempunyai beberapa istilah berbeda di berbagai
negara, seperti gin moung dalam bahasa Muangthai berarti “makan bangsa”, tanwu dalam bahasa China berarti
“keserakahan bernoda”, dan oshoku dalam bahasa Jepang berarti “kerja kotor”. Bahasa Indonesia mengadopsi
bahasa Belanda “corruptie”, menjadi “korupsi”. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (atau
perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain. Seseorang bisa mengorupsi uang perusahaan, organisasi, atau negara, tergantung pada konteksnya.
Di Indonesia, korupsi diatur dalam Undang-undang
No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001. Di dalam UU ini terdapat
30 bentuk pidana korupsi, yang dapat dikelompokkan
menjadi: 1) Penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara; 2) Suap-menyuap; 3)
Penggelapan dalam jabatan; 4) Pemerasan; 5) Perbuatan curang; 6) Benturan kepentingan dalam pengadaan;
dan 7) gratifikasi. Semua masyarakat haruslah memahami
hal-hal yang terkait dengan korupsi ini. Karena ketidaktahuan, bisa saja seseorang ikut terjerat kasus korupsi yang
dilakukan oleh orang lain, misalnya karena dipergunakan
rekeningnya atau mendapatkan pemberian yang ternyata
adalah pencucian uang.
Korupsi di Indonesia telah mencapai ambang batas
yang mengkhawatirkan. Laporan Transparansi Internasional dari tahun ke tahun menempatkan Indonesia di antara negara-negara terkorup. Semua cara untuk menjauhkan kita dari korupsi haruslah dilakukan. Salah satunya
melalui pemilihan secara tepat anggota legislatif dan pemimpin eksekutif dalam pemilihan umum.
Mengacu pada fakta yang ada selama ini, korupsi
dalam pemilihan umum (Pemilu) dapat terjadi pada tiga
fase. Pertama, korupsi prapemilu; kedua, korupsi pada
saat pemilu; dan ketiga, korupsi pascapemilu. Dalam setiap tahapan itu, partai berkuasa (incumbent) atau yang
berkoalisi dengan partai berkuasa, adalah yang paling berpeluang untuk mengorupsi uang negara. Untuk
mendapatkan dana kampanye, ketujuh cara tersebut di
atas bisa saja dilakukan. Iklan layanan masyarakat bisa
berubah menjadi kampanye terselubung yang memanfaatkan dana pemerintah. Pada saat pemilu, kunjungan
kerja dimanfaatkan untuk menggalang dukungan, atau
penggunaan politik uang. Yang paling banyak kasusnya,
pada pascapemilu, adalah para tokoh terpilih kemudian
terdapati melakukan tindakan korupsi.
Korupsi sangat mungkin terjadi dalam pesta lima tahunan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, dan kelompok apa saja terutama para calon pemimpin dan calon wakil rakyat
dan partai politik yang mengusung mereka. Tidak luput pula
kalangan agama. Dalam konteks sosial keagamaan, pada
masa sebelum dan saat kampanye menjadi masa yang kritis untuk terjadi korupsi. Pada
level ini, tidak jarang para
calon pemimpin atau wakil
rakyat memberikan sumbangan untuk kepentingan
politik (money politics) dengan
mengatasnamakan kepentingan
sosial agama seperti memberi
bantuan finansial untuk pembangunan masjid atau musholla,
gereja, pura, vihara atau klenteng. Bentuk penyimpangan
yang lain juga dapat dilakukan melalui komunitas kelom-
27
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
pok belajar agama dengan memberikan bantuan finansial
atau non finansial (sembako dan peralatan ibadah), baik
untuk kepentingan kelompok belajar agama tersebut atau
anggota-anggota kelompok tersebut.
i ti k U a n g
Rp
ol
Selain pemberian money politics kepada para calon
pemilih, korupsi juga dapat terjadi melalui penggalangan
dana dari masyarakat. Dalam konteks sosial keagamaan,
partai politik, para calon pemimpin dan calon wakil rakyat
dapat memanfaatkan aktivitas
kolektif
keagamaan
untuk
k P a da P
melakukan
penggalangan
a
id
dana politik. Partai yang
berbasis agama atau tokoh
agama yang mencalonkan
diri sebagai pemimpin politik
atau wakil rakyat paling
rentan untuk melakukan
tindakan tidak terpuji ini.
Dapat saja mereka menggalang
dana dengan menamakan amal
untuk pembangunan tempat ibadah
atau kegiatan keagamaan, tetapi sebenarnya untuk
kepentingan partai atau kepentingan pencalonan mereka.
ta k a n T
a
K
28
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Korupsi juga dapat terjadi pada level masyarakat
agama. Pemuka agama, atau tokoh ormas agama dapat
mengatasnamakan agama dan atau ormas agama meminta sumbangan dana kepada partai politik atau calon
pemimpin dan calon wakil rakyat untuk kepentingan kelompok atau pribadi mereka. Sedangkan dari segi individu
umat beragama, korupsi dapat terjadi dengan mengatasnamakan kepentingan kolektif keagamaan dan ritual
keagamaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan
manfaat pribadi.
Setelah terpilih, fakta juga menunjukkan banyak pemimpin dan wakil rakyat yang melakukan perbuatan keji
ini. Bukan hanya mereka yang dianggap sekuler, tetapi
juga mereka yang berlatar belakang “partai agama”. Rasuah tidak pandang bulu. Partai berlatar belakang agama
seperti tidak ada bedanya dengan partai sekuler. Mereka
sama-sama melakukan tindakan korupsi. Bahkan program-program pemerintah untuk kepentingan keagamaan
juga tidak luput dari praktek ini. Pertanyaan yang muncul
adalah, apakah agama memang memberikan legitimasi
bagi tindakan korupsi untuk kepentingan pemilu, atau
agama justru mengutuk korupsi?
Tidak ada agama yang melegitimasi korupsi. Korupsi
dianggap sebagai kecurangan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam Islam dikenal beberapa
istilah terkait dengan larangan melakukan korupsi, seperti ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghashab
(perampasan), ikhtilas (pencopetan), sirqah (pencurian),
dan hirabah (perampokan). Kesemua itu merupakan perbuatan yang dilarang. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang
lain di antara kalian dengan cara yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta-benda
orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahuinya.” (al-Baqarah 2: 188). Memakan harta orang lain
secara batil (salah, illegal) di antaranya adalah melalui korupsi, karena uang negara pada hakekatnya adalah uang
rakyat (orang lain) juga. Rasulullah melarang suap (risywah): “Allah melaknat orang yang menerima suap, yang
memberikan suap, dan yang menjadi perantara di atara
keduanya” (HR. Ahmad). Demikian juga saat Ibn Lutbiyah,
seorang pemungut zakat mengumpulkan zakat dan memilah antara zakat dan hadiah yang diberikan oleh orang kepadanya. Rasulullah berkata, “Mengapa kau tidak duduk
saja di rumah bapak dan ibumu sampai datang hadiah
untukmu, jika kamu benar?” Dalam bahasa hukum, dia
menerima gratifikasi. Umar bin Khattab dan juga Umar bin
Abdul Aziz pun diriwayatkan mematikan lampu kantornya
saat membicarakan masalah keluarga dengan anaknya.
29
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
30
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Beliau mengatakan bahwa minyak dari lampu itu dibiayai
oleh negara, sehingga tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan selainnya.
Dalam agama Kristen, Alkitab (Injil) mengajarkan:
“Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta
mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan
perkara orang-orang yang benar.” (Keluaran 23:8). Alkitab
juga mengutuk ketidakjujuran dalam masalah keuangan:
“Neraca serong adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi Ia
berkenan akan batu timbangan yang tepat.” (Amsal 11:1).
Dalam ajaran Hindu, korupsi diKorupsi
anggap melanggar empat dari sepudengan
luh ketentuan Tuhan, yakni tan
segala bentuknya
mamandung (tidak mencuri), tan
dilaknat agama. Oleh
ujar ahala (tidak berkata-kata
karena itu, masyarakat
bohong), satya wacana (berkata
beragama
dituntut untuk
jujur, apa adanya, menepati janji/
menunjukkan
kemuliaan
sumpah), dan mamituhwa ri haajaran
agamanya
naning karma-phala (percaya kedengan menjauhi
pada hukum Tuhan Karma-Phala,
yaitu menerima buah dari perbuakorupsi.
tan). Dalam ajaran Buddha, aturan
kedua dari Lima Aturan-moralitas Buddhis adalah menahan diri dari mengambil barang-barang
yang tidak diberikan pemiliknya. Ini termasuk: mencuri,
merampok, dan korupsi. Sedangkan Konghucu merujuk
kepada perkataan Konfusius: “Kaya dan berkedudukan
mulia adalah keinginan semua orang. Tapi bila tidak dapat
dicapai dengan jalan suci janganlah ditempati.” Korupsi
bukanlah jalan suci, maka harus dihindari.
Ajaran agama-agama tersebut di atas menunjukkan
bahwa korupsi dengan segala bentuknya dilaknat agama.
Oleh karena itu, masyarakat beragama dituntut untuk
menunjukkan kemuliaan ajaran agamanya dengan menjauhi korupsi. Pemilu merupakan momentum untuk memilih pemimpin-pemimpin yang berkualitas baik secara moral
maupun professional, pemimpin yang dapat menjauhkan
diri mereka dari korupsi. Oleh karena itu, pemilih dalam
pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia harus cerdas
dan bijak dalam menentukan pilihan. Pilihlah pemimpin
dan wakil rakyat yang amanah. Janganlah memilih calon
pemimpin atau wakil rakyat dengan alasan pragmatis. Kesalahan pilih dapat mengakibatkan Indonesia lebih terpuruk lagi dalam jurang korupsi yang lebih dalam.
B. Kekerasan Atas Nama Agama
Kekerasan dapat menjadi salah satu jalan untuk
memenangkan satu pertarungan. Terlebih jika si pelaku
memiliki potensi dan peluang untuk melakukan tindak kekerasan tersebut karena mempunyai kekuasaan, tenaga
dan kekuatan yang besar, jumlah massa yang banyak,
sumber finansial yang melimpah, suara yang lebih keras,
serta wajah yang menyeramkan. Jika kekerasan dapat
tampil sebagai alat untuk menuntut kepatuhan, maka
ia mudah sekali dijadikan alat untuk mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan.
Pemilu sebagai ajang untuk memperolehan kekuasaan berpotensi menjadi pemicu terjadinya konflik dan
kekerasan. Apalagi jika potensi konflik tersebut sudah ada
di masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi konflik
terbuka. Potensi konflik itu dapat mencuat menjadi kekerasan politik yang menumpang pada pemilu. Dengan
demikian, pemilu dapat membuka peluang untuk mencuatkan potensi konflik menjadi kekerasan politik. Memperhatikan bahwa kekerasan memiliki sifat omnipresent (hadir di mana pun) dan dimediasi oleh sifat dasar manusia
yang keras kepala dengan kepentingannya, maka pemilu
sebagai sesuatu yang dapat memicu konflik harus dikelola
secara baik.
Kekerasan dalam pemilu bisa terjadi sebagai akibat
31
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
32
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
adanya persaingan dan konflik kepentingan antar partai
dan antar kelompok masyarakat dalam penyelenggaraan
pemilu. Tidak jarang sentimen keagamaan juga dijadikan bumbu penyedap untuk melakukan kekerasan dalam
pesta demokrasi ini. Kekerasan yang melibatkan agama
dalam pemilu dapat terjadi karena beberapa sebab seperti
perbedaan kepentingan dan pilihan antar agama (perbedaan agama), antar ormas keagamaan, antar aliran dalam
agama, dan persaingan antar tokoh/pemuka agama. Perbedaan dukungan politik dari masyarakat agama terhadap
tokoh atau partai tertentu menjadi salah satu sebab utama
terjadinya persaingan yang berpotensi kekerasan.
Potensi kekerasan dalam pemilu juga dapat
terjadi jika terjadi persaingan politik antar tokoh/pemuka agama. Dengan perannya dalam komunitas agama, pemuka agama
mempunyai massa dan mampu
menggerakkan massa. Jika
terdapat persaingan politik antar
pemuka agama dan mereka menggunakan kekuasaan ini, kekerasan sangat
mungkin terjadi. Para pemuka agama
yang seharusnya menjadi pengayom
umat, ikut menjadi pelaku dari kekerasan
tersebut. Mulai dari kekerasan bahasa, fitnah,
sampai dengan kekerasan fisik. Persaingan tersebut
dapat menjadi semakin kuat jika diikuti dengan politisasi agama. Bahasa dan jargon keagamaan digunakan
untuk melegitimasi kekerasan yang mereka lakukan.
Hal ini menyisakan pertanyaan, apakah agama-agama
memang membolehkan penggunaan kekerasan dalam
pelaksanaan pemilu dan mengatur negara?
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tidak ada agama yang menghalalkan kekerasan. Kedamaian dan perdamaian sebetulnya menjadi misi bersama semua agama
di Indonesia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
negara, kedamaian harus menjadi agenda semua umat
beragama. Dalam kaitannya dengan pemilu, pemilu damai harus menjadi agenda bersama umat beragama agar
manfaat pemilu itu dapat dirasakan dalam suasana yang
lebih kondusif bagi keberlangsungan bangsa ini kedepannya. Jika setiap bagian dari masyarakat mengedepankan
aspek damai ini, maka pemilu yang jauh dari kekerasan
bisa diwujudkan.
Agama Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim
yang baik adalah orang yang bisa menjaga perilaku dan
tutur katanya dari melanggar hak dan privasi orang lain,
sehingga orang lain merasakan kedamaian. Islam juga
mengajarkan umatnya untuk tidak berbuat kerusakan di
muka bumi (la tufsidu fi’l ardhi) dalam QS al-A’raf ayat 56.
Selain itu, QS al-Nahl ayat 125 mengajarkan jika dalam
berdakwah terjadi perbantahan (mujadalah), selesaikanlah dengan cara yang beretika, bukan dengan kekerasan.
Dalam dunia Kristen, Yesus diyakini mengajarkan
kedamaian dan cinta kasih kepada semua manusia. Sebagai “Agama Kasih”, Kristen mengutuk segala tindak
kekerasan. Dalam Alkitab banyak ditemukan pernyataan
yang tidak membenarkan kekerasan, seperti kutukan terhadap tindak kekerasan antara Kain dan Habel (Kejadian
4:2-15), hukuman pada dunia yang penuh kekerasan dengan banjir di zaman Noah (Kejadian 6: 12-14), larangan
bersekutu pada orang yang gemar melakukan kekerasan
(Kejadian: 49:5,6) dan ketidaksukaan Tuhan terhadap
para pelaku kekerasan (Mazmur 11:5).
Dalam tradisi Hindu dan Buddha, Moksa dan Nirvana
dapat dicapai jika seseorang berhasil memutuskan lingkaran penderitaan manusia dan berdamai dengan semua
persoalan hidup. Dalam Buddha, salah satu tokoh penganjur ajaran non-kekerasan adalah Dalai Lama. Bagi Dalai Lama kekerasan menghalangi seseorang mengeluarkan intelegensi terbaiknya, yaitu kebijaksanaan (wisdom).
33
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
34
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Maka manusia harus bersikap anti kekerasan. Tidak jauh
berbeda dengan Buddha, agama Hindu juga sangat dikenal sebagai agama nir-kekerasan. Prinsip Ahimsa (nonviolence) sangat populer terutama semenjak dipraktikkan
secara nyata sebagai gerakan pembebasan oleh Mahatma Gandhi. Ahimsa dinukil dari Ahimsa paramo dharmah
(tanpa kekerasan adalah dharma tertinggi) yang tertuang
dalam kitab Mahabharata. Sedangkan dalam Agama Konghucu, Kitab Analek (Lun Yu) 8.4: 3 menyatakan bahwa
seorang yang bijaksana harus jauh dari perilaku kekerasan
dan sikap tidak peduli. Aliran realistik Konfusinisme menyatakan bahwa pemerintahan dengan kekerasan seperti
diajarkan Hsun Tsu dengan seni perangnya tidak dibenarkan. Dengan demikian, agama Konghucu juga menolak
penggunaan kekerasan dalam proses pemerintahan.
Penjelasan singkat di atas menunjukkan bahwa
semua agama cinta damai. Ajaran-ajarannya mengajarkan umatnya untuk menjaga kedamaian dan menolak kekerasan. Semua umat beragama haruslah menyadari dan
menginternalisasi ajaran agama tentang perdamaian ini.
Dalam hubungannya dengan proses pemilihan pemimpin
dan wakil rakyat, pemilu damai harus menjadi bagian dari
isu pemilu. Jika Isu damai tentu akan mudah digulirkan
karena semua orang dengan latar agama apapun menginginkan terwujudnya kedamaian.
Setidaknya ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan guna mewujudkan pemilu tanpa kekerasan. Pertama, semua warga negara republik ini harus sepakat
bahwa kekerasan adalah musuh bersama dan karenanya semua celah yang mengarah penciptaan benih-benih
konflik harus diminimalisir. Kedua, partai politik dan caleg
dalam kampanyenya jangan mengeksploitasi sentimensentimen primordial (termasuk keagamaan) atau kedaerahan. Kedepankanlah sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Keragaman harusnya dikembangkan
menjadi asset yang positif, bukan menjadi media untuk
melemahkan apalagi menyerang pihak lain. Ketiga, pejabat publik atau pihak terkait harus menghindari pernyataan-pernyataan yang mengarah pada situasi ketegangan,
yang kontra produktif dengan semangat damai yang ingin
dibangun. Berbicaralah dengan bahasa yang menyejukkan, bukan dengan bahasa yang mengagitasi dan dapat
memecah-belah umat.
C. Berbuat Curang
KECURANGAN
DILARANG
MASUK
E
COM
WEL
Pemilu diyakini tidak hanya sebagai salah satu mekanisme demokratisasi sebuah bangsa, tapi
juga bisa digunakan untuk mengukur
tingkat kedewasaan sebuah bangsa
dalam berdemokrasi. Sejak genta reformasi dimulai tahun 1998, masyarakat menaruh harapan yang besar
terhadap pelaksanaan pemilu yang
transparan dan jujur. Semangat berdemokrasi mengalami peningkatan
signifikan sejak tahun 2004. Pemilu
tidak hanya untuk pemilihan legislatif,
tapi juga pemilihan presiden dan
kepala daerah. Satu hal
yang selalu menghantui pelaksanaan pemilu
di Indonesia adalah kecurangan yang masih banyak terjadi.
Setidaknya ada tiga kategori kecurangan pemilu. Pertama, sebelum kampanye. Contohnya adalah kecurangan
administratif seperti manipulasi alamat dan pengurus partai, mendahului berkampanye, manipulasi syarat administratif. Kedua, kecurangan di saat kampanye. Contoh
konkret yang sering terjadi di level ini adalah kampanye
terselubung dan pembelian suara (vote buying). Kampa-
35
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
36
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
nye terselubung lebih memungkinkan terjadi bagi calon
legislatif atau eksekutif yang masih menjabat (incumbent)
karena kampanye bisa disamarkan dalam bentuk kegiatankegiatan rutin di level grassroot. Kecurangan lain adalah
money politics dalam vote buying (pembelian suara) yang
biasanya menggunakan strategi “serangan fajar” dengan
membagikan sejumlah uang atau sembako kepada para
pemilih. Ketiga, kecurangan setelah kampanye, seperti
di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kecurangan atau
pelanggaran di TPS atau tempat pencoblosan sangat beragam, mulai dari pemilih siluman, pembengkakan kertas
suara, penggelembungan atau pengurangan DPT (Daftar
Pemilih Tetap), suara hilang, tinta-jari mudah hilang, hingga kotak suara yang hilang.
Berbagai kecurangan pemilu di atas sangat paradox
dengan fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah relijius.
Dengan fakta bahwa lebih dari 95% penduduk Indonesia
beragama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu) adalah naïf bahwa banyak terjadi ketidak-jujuran
dalam pemilu. Kalau kejujuran kita jadikan tolok ukur relijiusitas bangsa Indonesia, maka nilai keagamaan bangsa
Indonesia sangat memprihatinkan.
Meskipun telah disusun regulasi untuk menutup
peluang kecurangan selama penyelenggaraan pemilu,
namun celah-celah potensi kecurangan masih mungkin
ada. Dalam ranah sosial keagamaan, kecurangan bisa
terjadi dengan pemanfaatan forum-forum agama untuk
kampanye politik. Sangat mungkin terjadi simpatisan atau
aktivis partai politik dan caleg memanfaatkan kegiatan keagamaan kolektif yang bersifat rutin untuk berkampanye
agar anggota kelompok keagamaan tersebut memilih tokoh pilihannya.
Kecurangan yang lain juga dapat berupa pengabaian
dan permakluman kecurangan pemilu atas nama kepentingan agama. Pada kasus ini, dapat saja terjadi masyarakat/umat beragama mengetahui telah terjadi pelanggaran
STOP
POLITIK UANG
oleh calon tertentu seperti pemberian money politics untuk
pembangunan sarana ibadah. Akan tetapi masyarakat tidak menghiraukan pelanggaran tersebut karena mereka
menganggap menguntungkan.
Bentuk kecurangan lain yang berkaitan dengan umat
beragama adalah pencatutan nama ormas keagamaan
untuk mendukung parpol atau tokoh tertentu. Dalam pemilu/pilkada, tidak jarang kita dengar parpol atau caleg
mengklaim mendapatkan dukungan politik dari ormas keagamaan tertentu, padahal ormas tersebut tidak pernah
mendukungnya atau malahan ormas terebut menolaknya.
Selain itu, dapat dijumpai beberapa partai politik atau beberapa calon legislatif untuk wilayah pemilihan yang sama
mendapat dukungan dari organisasi keagamaan yang
sama.
Kecurangan-kecurangan
tersebut
menunjukkan
bahwa kelompok keagamaan tidak luput dari tindakan kecurangan, baik sebagai pelaku atau objek. Hal ini meniscayakan pentingnya kontrol internal yang bersumber dari
moralitas individu. Pada sisi inilah agama memainkan pe-
37
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
38
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
ran penting sebagai penjaga moral individu. Lalu apa saja
ajaran agama-agama yang dapat mengeliminasi praktik
kecurangan dalam pelaksanaan pemilu?
Semua agama menentang kecurangan karena itu
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Islam, kecurangan dan perbuatan culas dianggap sebagai
kemungkaran (perbuatan dosa). Mengambil atau melanggar hak orang lain merupakan kejahatan. Bantuan atau
pemberian uang yang bisa mempengaruhi sikap dan kebijakan dalam berpolitik bisa dikategorikan sebagai suap
atau raswah dalam Islam. Hal ini sesuai dengan hadits
“penyuap atau yang disuap di neraka”. Sebaliknya, alQur’an memerintahkan untuk menegakkan keadilan (adl)
dan kebajikan (ihsan) (QS an-Nahl: 90) untuk meningkatkan kualitas hidup (taqwa) (QS al-Maidah: 8)
Dalam Kristen, kecurangan disejajarkan dengan tindakan tak terpuji lain seperti berzina, membunuh, mencuri, bersaksi dusta dan durhaka pada orang tua (Markus
10:19). Curang juga dianggap sebagai salah satu karakter
yang menyebabkan orang sulit masuk dalam Kerajaan
Tuhan. Sikap curang atau licik juga ditentang oleh Konghucu. Dalam Lun Gi XIV: 4 disebutkan larangan memilih
rekan yang curang dan lemah dalam hal-hal baik. Konghucu yakin bahwa orang semacam itu akan membawa
celaka.
Dalam ajaran Buddha, kecurangan termasuk pelanggaran banyak butir dari Hasta Arya Marga (delapan jalan
kebaikan). Setidaknya pelanggaran terhadap samma
sankapa (maksud benar), samma vaca (perkataan benar),
samma samanta (perilaku benar). Oleh karena itu, selembut apapun bentuk kecurangannya tidak dapat dibenarkan
dalam Agama Buddha. Dalam Agama Hindu, kecurangan
termasuk mudita (perilaku tidak menyenangkan orang
lain) yang merupakan salah satu achubakarma (tindakan
tercela). Untuk menjaga diri agar tidak berbuat curang,
Agama Hindu mengajarkan Sila Paramita, yaitu berfikir,
berkata, dan berbuat yang baik, suci dan luhur.
Seiring dengan semangat demokrasi, kecurangankecurangan dalam pemilu harus secara terus-menerus
dilawan dan dihilangkan. Di berbagai level, harus terus
ditanamkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Kesadaran
untuk berdemokrasi secara jujur dan transparan harus
dimulai dari diri kita sendiri (ibda’ bi nafsik). Komunitaskomunitas agama hendaknya berlomba-lomba menunjukkan kejujuran yang merupakan bagian dari keluhuran ajaran masing-masing. Dari sini, akan tercipta pemilu yang
jujur dan terjauh dari segala bentuk kecurangan yang bukan hanya merusak pemilu itu, tetapi juga merusak masa
depan bangsa dan negara.
D. Diskriminasi Atas Nama Ajaran Agama
Diskriminasi adalah bentuk pembedaan, pengucilan,
pembatasan yang dilakukan terhadap kelompok sosial
tertentu yang bertujuan atau berdampak tidak terpenuhinya
keadilan dan kesetaraan. Salah satu makna adil dalam
pemilu adalah tidak membatasi dan membeda-bedakan
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari proses dan
hasil pemilu bagi siapapun tanpa harus melihat keyakinan,
agama, gender, orientasi seksual, etnis, ras, difabilitas,
dan hal-hal pembeda lainnya.
Kebanyakan masyarakat cenderung memilih wakil
atau pimpinan yang mempunyai kesamaan keyakinan, aliran, agama ataupun kelompok sosial keagamaan. Karena
kecenderungan ini, banyak calon wakil rakyat atau pemimpin yang berkualitas tidak mendapatkan kesempatan
untuk memaksimalkan potensinya di dunia politik. Bahkan
di beberapa tempat di Indonesia, perbedaan ini sengaja
digunakan oleh kelompok tertentu sebagai alat untuk
menjatuhkan lawan politiknya. Karena tidak ada sensitifitas akan kelompok yang berbeda, banyak kalangan tidak
merasa kalau sebenarnya mereka sudah bersikap dan
berperilaku diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Ter-
39
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
40
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
jadinya diskriminasi biasanya dikarenakan
adanya kecurigaan. Kecurigaan terjadi
karena bisanya tidak saling mengenal.
Semua
agama
Proses pelaksanaan pemilu
melarang disyang telah lalu masih menunjukkan terjadinya diskriminasi. Misalnya kurangnya keterwakilan kriminasi manuperempuan di parlemen baik di
sia satu atas
pusat maupun di daerah. Walaupun secara angka hasil pemilu
lainnya.
mengalami kenaikan dari 6.25 di tahun 1955 persen sampai 17.86 persen
di tahun 2009, namun peningkatan tersebut
jauh dari angka critical mass 30 persen, yaitu angka minimal di mana suara perempuan seharusnya diperhatikan
dalam kehidupan politik. Padahal berdasarkan Sensus
penduduk 2000, jumlah perempuan mencapai 51 persen
dari total penduduk.
Masih adanya diskriminasi selama penyelenggaraan
pemilu yang telah lalu menunjukkan rendahnya kesadaran akan nilai anti-diskriminasi. Ajaran agama menjadi
salah satu alat yang kerap digunakan sebagai justifikasi
yang melanggengkan praktik diskriminasi dalam pemilu.
Diskriminasi ini mewujud dalam betuk pengabaian terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang dianggap
sesat, dan tafsir doktrin agama untuk mendiskriminasi
perempuan dan kelompok disabilitas.
Dalam proses pemilihan pemimpin, keberadaan kelompok umat agama dan keagamaan minoritas seperti
tidak terlihat. Dalam setiap proses pemilihan pemimpin
atau wakil rakyat, mereka terabaikan. Mereka hanya dijadikan alat untuk mendulang suara. Tidak ada peluang bagi
mereka untuk mengajukan calon pilihan mereka. Kalaupun ada peluang, calon mereka terjegal di tengah jalan.
Selain itu kalangan perempuan dan disabilitas juga
sering kali menjadi korban tafsir keagamaan untuk kepentingan politik. Berdasarkan pemahaman terhadap ajaranajaran agama, sebagian kelompok agama menolak calon
perempuan. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin
karena bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, terdapat pula pemikiran politik keagamaan yang menyatakan
pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Ini menjadikan
kelompok difabilitas terdiskriminasi. Namun perlu dipertanyakan lagi, apakah benar bahwa agama membenarkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tersebut?
Apakah agama tidak mengajarkan nilai-nilai egaliter?
Semua agama melarang diskriminasi manusia
satu atas lainnya. Islam mengajarkan bahwa Nabi
Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat,
kasih sayang bagi semesta). Bahkan, konsep Baldatun
tayyibatun warabbun ghafur (negara yang baik dan di
bawah ampunan Tuhan) dalam al-Qur’an merujuk kepada
negara yang dipimpin oleh seorang perempuan, Ratu
Bilqis (Sheba), sebelum bertemu dengan Nabi Sulaiman.
Artinya, Al-Qur’an mengakui keberhasilan seorang
pemimpin, bahkan di sini pemimpin perempuan, walaupun
dari kalangan non-Muslim. Kelebihan dan keutamaan
manusia bukan ditentukan oleh keturunan, jenis kelamin,
atau kelengkapan anggota badan, tetapi karena kualitas
intelektual (ilmu pengetahuan/ QS al-Mujadalah: 11) dan
kualitas emosional dan spiritual (taqwa/QS al-Hujurat:
13). Selain itu Hadits nabi juga menjunjung tinggi
profesionalisme dengan memberikan tanggung jawab
penuh kepada manusia dalam melakukan perbuatan.
Ajaran tentang kesetaraan juga diteguhkan dalam
Perjanjian Baru. Dalam Galatia 3:28 dinyatakan bahwa
Yahudi maupun Yunani, hamba maupun merdeka, laki
maupun perempuan semua dapat menjadi anak Tuhan
dan satu dalam Kristus. Doktrin ini jelas bahwa Kristen
tidak mempermasalahkan diferensiasi ras, suku, gender,
41
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
42
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
maupun status sosial. Agama Konghucu dalam sejarahnya memang hadir untuk menentang diskriminasi. Konsep
wu lei (tanpa diskriminasi) diterapkan oleh Konfusius untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Cina sehingga
hak pendidikan, ekonomi dan politik semakin terjamin
dengan berkembangnya ajaran-ajaran Konghucu.
Dalam Agama Buddha diskriminasi juga tidak
dibenarkan. Ini tercermin dalam ucapan salam yang lazim
digunakan umat Buddha yaitu Sabbe satta bhavantu
sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia. Selain
itu, Agama Buddha juga memiliki konsep karuna atau cinta
kasih universal. Karuna berlaku untuk siapa pun tanpa
memandang perbedaan, meskipun terhadap musuh.
Dalam Hindu, dikenal prinsip tat twam asi (engkau adalah
aku). Ini merupakan kaidah persaudaraan universal yang
sangat egaliter karena senantiasa mengandaikan orang
lain sebagai diri sendiri. Implikasi logis dari prinsip ini
adalah tidak adanya diskriminasi terhadap orang lain
karena pada akhirnya semua manusia diposisikan sama.
Agama-agama pribumi di Indonesia pun secara umum
mengajarkan penghormatan antarsesama manusia dan
melarang diskriminasi.
Fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah
Muslim tidak selayaknya digunakan untuk menghalangi
calon wakil rakyat atau pemimpin eksekutif (presiden, gubernur, bupati) yang berasal dari agama lain. Sebaliknya,
non-Muslim pun tak perlu alergi terhadap calon Muslim.
Pemilih yang cerdas, adalah pemilih yang mengedepankan kualitas dibanding kepentingan kelompok. Memang
bukan suatu yang salah jika seseorang memilih pemimpin
yang berasal dari kelompok atau orang yang sama dengan keyakinan/agamanya, asal dibarengi kesadaran kritis bahwa mereka dipilih karena mempunyai kemampuan
memimpin yang bagus. Ini juga akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok disabilitas.
Memilih pemimpin bukan karena jenis kelamin dan kes-
ehatan fisik saja tetapi karena kualitas. Sudah bukan masanya lagi kita menggunakan isu-isu suku, agama, ras,
gender, orientasi seksual, dan hal-hal pembeda lainnya
sebagai alat politis untuk mendiskriminasi orang atau kelompok lain. Pemilihan yang hanya dimotivasi oleh sikap
diskriminatif hanya akan memilih pemimpin-pemimpin
yang tidak berkompeten dan diskriminatif pula terhadap
rakyatnya.
E. Transaksi Politik Pemuka Agama
Politisi dan pengamat Politik berpendapat bahwa demokrasi masih merupakan sistem politik terbaik dibanding
sistem-sistem yang lain. Demokrasi dipandang mampu
memberikan peluang yang sama pada seluruh warga
negara untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam proses
politik melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) yang
digelar secara periodik. Apapun profesi, jenis kelamin, etnis, maupun agama warga negara, pada dasarnya mereka memiliki peluang yang sama untuk memilih maupun
dipilih, baik sebagai anggota legislatif maupun pemimpin
eksekutif (bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, maupun presiden/wakil presiden).
Namun, gambaran ideal demokrasi dan Pemilu sebagaimana di atas kadang hanya terjadi dalam catatan
buku-buku ilmu politik. Tidak jarang pemilu hanya menjadi “mainan” sekelompok orang elit yang memiliki kelebihan sumber daya maupun sumber dana. Semua tahu
bahwa untuk maju menjadi anggota legislatif diperlukan
biaya yang tidak sedikit. Dana yang dimiliki oleh Partai
Politik (Parpol) juga terbatas. Karena itu, untuk menutup
ongkos politik tersebut, partai politik cenderung memilih
bakal calon (balon) legislatif yang siap dan bersedia untuk
menutup segala rupa biaya politik yang diperlukan. Pada
kontek inilah pemilu hanya menguntungkan kaum elit berduit.
43
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
44
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Selain lebih banyak menguntungkan kaum elit berduit, tidak jarang pemilu juga hanya menjadi “mainan” para
elit Parpol. Hampir setiap Parpol memiliki mekanisme dan
kriteria tersendiri untuk menjaring dan menentukan siapa
saja dari kadernya yang layak diusung dalam Pemilihan
Kepala Daerah maupun sebagai calon anggota legislatif.
Penentuan kelayakan seorang kader sebagai calon bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil
gubernur, maupun presiden/wakil presiden, serta calon
legislatif biasanya dilakukan oleh sebuah tim khusus yang
dibentuk oleh parpol.
Praktiknya, kerja tim khusus tersebut sering didominasi oleh tokoh tertentu dalam sebuah Parpol, apakah
karena posisinya sebagai ketua dewan syura, ketua
dewan pembina, ketua umum partai, maupun sebagai
pendiri suatu partai. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada
dinamika penentuan nomor urut calon legislatif
serta penentuan pasangan calon pimpinan
eksekutif yang direkomendasi oleh dewan Pimpinan Pusat suatu Parpol, yang
kadang menimbulkan gejolak ketidakpuasan yang diakibatkan oleh keputusan
DPP yang berseberangan dengan suara
kader di tingkat bawah. Pada konteks
inilah, demokrasi prosedural dan Pemilu
di Indonesia masih lebih banyak memberi kuasa berlebihan pada elit-elit Parpol
tertentu.
Kelompok elit memiliki pengaruh modal atau
kapital, kuasa dan akses, serta karisma tertentu terutama di kalangan elit agama. Dalam praktik demokrasi,
kaum elit dianggap punya pengaruh lebih kuat dibanding
masyarakat biasa. Elitisme ini membuat sebagian orang
bersikap pesimis terhadap kemurnian proses dan hasil
pemilu seolah pemilu hanya ajang pertarungan kaum elit,
sementara rakyat biasa hanya sebagai alat dan komoditas
politik. Kelompok elit agama juga tidak jarang ikut terlibat
dalam problem elitisme ini. Para pemuka agama, dengan
peranannya dalam komunitas keagamaan memanfaatkan
kedudukannya untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.
Masyarakat beragama memilih pemimpin dan wakil rakyat bukan atas pertimbangan kepentingan mereka, tetapi
untuk kepentingan pemuka agama. Akibatnya, pemimpin
dan wakil rakyat terpilih bersuara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi kepentingan kelompok elit. Pemilu
hanya berfungsi sebagai media transaksi kepentingan elit
agama. Kegelisahan ini melahirkan pertanyaan, apakah
agama membenarkan elitisme menjadi hegemoni dalam
pemilu?
Elitisme sesungguhnya tidak sejalan dengan ajaran
agama-agama yang ada di Indonesia. Agama Islam mengajarkan bahwa manusia berasal dari asal yang sama
“min nafsin wahidah” (QS. An-Nisa (4):1). Islam juga mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan Tuhan (Allah). Kualitas diri “takwa”
(QS. Al-Hujurat (49): 13) dan pengetahuan “ilmu” (QS. AlMujadalah (58): 11) yang menjadikan manusia menjadi
lebih unggul dibandingkan dengan manusia yang lain.
Sebuah hadits Nabi juga sangat menghargai kemandirian
manusia dengan menyatakan bahwa setiap manusia
adalah pemimpin bagi dirinya dan bertanggung jawab
atas perbuatannya sendiri. Kullukum ra’in wa kullukum
mas’ulun ‘an ra’iyyatih.
Dalam tradisi Kristen, Mereka yang berperan sebagai
pemimpin dan penatua pada hakikatnya adalah penggembala. Seorang penggembala harus memperhatikan kepentingan rakyat biasa (Yeremia 2:8), melindungi rakyat
(Yeremia 3: 15), dan tidak arogan (Matius 20: 25-27). Sehingga Kristen tidak membenarkan jika dalam praktik demokrasi ada kaum elit yang berseberangan dengan konsep gembala dalam Al-Kitab tersebut.
45
Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu
46
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Hal yang sama juga terdapat dalam Agama Buddha. Sang Buddha (Sidharta Gautama) memang berasal
dari kalangan elit. Ia adalah seorang pangeran. Namun
upayanya menempa diri mencari kebenaran membuatnya mencapai kebuddhaan atau pencerahan lalu menuntunnya menjadi seorang bijak bestari sehingga dapat
memimpin umat dengan penuh keadilan. Dalam Agama
Hindu dikenal catur warna (empat golongan) yang oleh
sebagian orang dianggap sebagai pengelompokan kasta.
Catur warna bukanlah strata sosial, namun sekedar pembagian peran agar kehidupan sosial berjalan berimbang.
Kelompok Brahmana dan Ksatria yang terkesan elit sejatinya berkedudukan sama dengan golongan Wesya dan
Sudra. Sehingga dalam peran sosialnya (dharma), keempat warna tersebut harus saling melengkapi supaya kebutuhan umat terpenuhi.
Dalam Agama Konghucu, tokoh utama sayap realistik
Konfusianisme yaitu Hsun Zu mengajarkan bahwa kalangan elit boleh menjadi pemimpin asalkan memiliki kriteria
Shi, yaitu sifat cendikia dan mampu menguasai lapangan,
tidak hanya duduk di singgasana kekuasaan. Dengan
demikian, seorang pemimpin tidak boleh merasa nyaman
dengan posisi elitnya, namun harus bekerja pada medan
nyata di masyarakat akar rumput.
Ajaran-ajaran berbagai agama di atas mengajarkan
kepada kita bahwa proses pemilihan pemimpin dan wakil
rakyat bukanlah hanya untuk kepentingan elit atau menciptakan kelompok elit dalam masyarakat yang abai terhadap rakyat, tetapi untuk memilih pemimpin dan wakil
rakyat yang memahami kebutuhan rakyat dan dapat meberikan solusi bagi persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat
secara cerdas.
Bab 3
Harapan
dalam pemilu
Partisipasi
Meningkat
Mengingatkan
Penguasa
Menegakkan
Keadilan
Sejahtera
PEMILU
2014
PEMILU
2014
PEMILU
2014
PEMILU
2014
48
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
A. Kesejahteraan Rakyat
Pemilu adalah bagian penting dari mekanisme sistem
demokrasi. Rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat serta presiden dan
wakil presiden secara langsung. Para wakil rakyat serta
presiden dan wakil presiden ini secara bersama-sama
menjalankan roda pemerintahan. Mereka juga pada gilirannya memilih para penegak hukum di lembaga yudikatif. Pemilu, karena itu, adalah kegiatan yang sangat penting untuk memilih para anggota legislatif, eksekutif, dan
yudikatif yang berkualitas dan berintegritas, yang mampu
memperjuangkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat
banyak.
Pemilu adalah salah satu pintu gerbang menuju
kesejahteraan, namun sekaligus juga pintu gerbang ke
arah kesengsaraan. Menjadi pintu gerbang menuju kesejahteraan jika pemilu dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh seluruh warga Negara untuk memilih wakil-wakil
rakyat dan pemimpin-pemimpin eksekutif yang mumpuni,
kapabel, kredibel, dan mau serta mampu berjuang untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat. Wakil-wakil rakyat dan
pemimpin yang demikian diharapkan mampu melahirkan
produk legislasi dan kebijakan yang pro-rakyat. Untuk itu,
pemilih harus jeli dan peduli untuk memilih wakil-wakil
yang betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat
banyak. Sebagai rakyat hendaknya kita tidak mau dibeli,
tidak mau disogok, tidak mau ditakut-takuti atau diintimidasi. Kita hendaknya memilih pemimpin yang berdarma
bakti pada ibu pertiwi dan mengabdi demi kesejahteraan
rakyat.
Tentang kesejahteraan rakyat, Undang-undang Dasar
1945, pasal 33, dengan jelas menyatakan: (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
49
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan terkait
dengan kaum lemah, dhuafa, pasal 34 mengatakan: “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ini
semua sampai sekarang masih jauh panggang dari api.
Namun, dengan memilih wakil rakyat dan pemimpin yang
kompeten dan mempunyai visi kesejahteraan rakyat, citacita ini bukan tidak mungkin terwujudkan.
Sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin, pemilu
dapat dijadikan permulaan untuk menyeleksi pemimpin
yang berkualitas dan bertanggungjawab. Pemilu harus
membawa perubahan kebijakan politik yang membawa
kesejahteraan bagi mereka. Namun kadangkala itu hanya
harapan kosong karena orang-orang yang mereka pilih
Pilih Pemimpin yang :
BE RK U A L ITA S
PR OF E SIO NAL
JU J UR
A NTI KO RUP SI
A MA N A H
PRO-R A KYA T
K O MP E T E N
K R E DI BEL
A DI L
50
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
tidak menjalankan amanatnya dengan baik. Ini terjadi karena rakyat terlena dengan janji-janji
para calon pemimpin
dan wakil rakyat yang
sedang mencari simpati rakyat pada saat
kampanye. Tidak jarang, di antara mereka
merogoh saku untuk
membeli suara rakyat
(money politics). Akan tetapi, setelah mereka terpilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat,
mereka menjauh dari rakyat. Alhasil, pemilu yang
diharapkan membawa kebaikan, tidak membawa kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagaimana pandangan
agama-agama tentang peran pemerintahan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat?
z
Z
..z
Dalam berbagai agama, cita-cita peningkatan kesejahteraan sangat dijunjung tinggi. Kesejahteraan bersama menjadi salah satu misi agama-agama yang ada.
Dalam Islam, setiap manusia adalah khalifah (wakil,
pengganti) Allah di atas bumi yang berkewajiban memakmurkan, mereformasi (ishlah) dan membangun peradaban yang berkesejahteraan di atasnya. Dalam kaitan
antara pemimpin dan rakyat, dalam Islam terdapat satu
kaidah “tasarrufu al-ra‘i ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bi almashlahah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya haruslah dibimbing oleh prinsip kemaslahatan). Kemaslahatan
rakyat adalah kesejahteraan baik secara material-ekonomik maupun mental-spiritual. Ujung dari semua ini,
menurut Islam, adalah baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur (negeri yang baik yang dilimpahi ampunan Tuhan).
Ini hanya bisa dilakukan jika pemimpin dan wakil rakyat
terpilih adalah orang-orang yang amanah (berintegritas).
...Z .....
Kesejahteraan yang berlimpah adalah salah satu tujuan pemerintahan yang baik, sebagaimana dicontohkan
oleh Salomo dalam kitab Mazmur 72: 7. Umat Kristen
mengakui kepemimpinan Salomo yang selalu menyebutkan kesejahteraan umat dalam doa-doanya. Hal ini merupakan bukti apresiasi iman Kristiani terhadap kesejahteraan warga sebagai salah satu tujuan bernegara. Selain
itu, Yeremia 29:7, menganjurkan umatnya untuk berpartisipasi dalam menyejahterakan negara demi kesejahteraan manusianya. Pandangan Agama Konghucu tentang
kesejahteraan tertuang dalam Analek XV: 1-5 di mana
negara yang sejahtera hanya akan terjadi jika pemerintah
menjalankan fungsinya dengan benar. Dalam konteks ini,
jika pemilu dijalankan dengan benar, maka kesejahteraan
negeri telah menanti.
Dalam Agama Buddha, menciptakan kesejahteraan
dapat dikategorikan dalam Puññakiriyavatthu (medan
perbuatan berjasa) yang di dalamnya termasuk perilaku
berjasa melalui materi (Danamaya) sekaligus perilaku
berjasa karena kebaikan moralitas (silamaya). Dalam
Hindu juga didapati petuah untuk mendedikasikan
potensi diri demi kesejahteraan orang lain. Anjuran
tersebut disebutkan dalam Bhagawata Purana: 10.22.35,
sebuah kitab bagian dari Bhagavad Gita. Orientasi untuk
membangun kesejahteraan dan ketertiban masyarakat
tersebut dalam Hindu disebut sebagai Lokasamgraha.
Agama-agama pribumi di Indonesia pun mengidealkan
tatanan masyarakat yang sejahtera. Orang-orang kejawen
di Jawa, misalnya. mengenal konsep gemah ripah loh
jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo (tanah yang subur,
adil, makmur kaya dengan hasil buminya, tersusun rapi,
adil, damai dan sejahtera).
Oleh karena itu, penciptaan kesejahteraan adalah hal
niscaya, bukan hanya secara politik namun juga secara
keagamaan, yang harus dilakukan oleh para pemimpin.
Memilih pemimpin yang mampu mewujudkan itu, dalam
51
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
52
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
hal ini melalui pemilu yang jujur, adil dan transparan, juga
merupakan hal niscaya. Namun, yang tidak kalah penting adalah kualitas pemimpin dan wakil rakyat yang kita
pilih. Pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas
dan berintegritas (amanah). Setelah memilih wakil dan
pemimpin yang diyakini terbaik dalam pemilu, rakyat harus ikut mengontrol wakil-wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin yang mereka pilih agar mereka bekerja dalam jalur
yang benar dan melahirkan produk perundang-undangan
dan kebijakan yang menjamin kesejahteraan rakyat.
B. Kewajiban Mengingatkan Penguasa
Adanya penyelenggaraan pemilu secara rutin, teratur dan berkelanjutan setiap lima tahun sekali merupakan
bagian dari budaya tata pemerintahan yang baik. Melalui
pemilu, warga masyarakat dapat memberikan penilaian
(evaluasi) terhadap kinerja pemerintahan, baik yang berada di legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu pula, warga
dapat menggunakan haknya untuk memutuskan apakah
akan terus mempertahankan para elit-pemimpin yang
ada dalam pemerintahan atau memilih elit pemimpin baru
dalam pemerintahan.
Dalam konteks semacam ini pelaksanaan pemilu
sangat penting bagi warga negara karena dapat dijadikan
sebagai sarana untuk memberi hukuman pada para
pemimpin yang tidak amanah dalam menjalankan
kewajibannya sebagai wakil rakyat, sebagai presiden
dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat. Pemilu
juga sebagai cara warga masyarakat memperbaharui
legitimasinya terhadap para wakilnya di parlemen dan
juga di kepemimpinan eksekutif.
Pemilu menjadi sarana rakyat melakukan kontrol
terhadap sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan. Oleh
karena itu, rakyat perlu terus menerus berupaya mening-
u
Ak
Aku
ya
unya
P
Pun
n
han
iliha
P
Pili
ri
diri
endi
S
Sen
ai
rtBab
Pa
A
3 Harapan Dalam
Pemilu
tai
ar
P
C
katkan kualitas penyelenggaraan pemilu.taiSeperti, mengr
kritisi para calon wakil rakyat, calon presiden
dan wakil
Pa B
presiden yang akan diajukan oleh partai politik. Apakah
para calon legislatif (caleg) itu orang yang selama ini memiliki rekam jejak yang baik, yakni memiliki prestasi, kompetensi, dan integritas, ataukah rekam jejak yang buruk,
seperti terlibat kriminalitas, kejahatan lingkungan, pelanggaran HAM dan kasus korupsi lainnya.
KOTAK
SUARA
n di
Kedaulata
kyat
an Ra
Tang
lu 2014
Pemi
n
a
k
i
Jad
g
u yan
Pemil
KR
DEMO
ATIS
Melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan
sejatinya merupakan bagian dari perintah agama-agama.
Agama-agama mengajarkan para penganutnya untuk
saling mengingatkan. Islam mengajarkan umatnya untuk
saling memberi nasihat dalam kebaikan dan kesabaran
(QS. Al-Ashr (103):3). Nabi Muhammad juga bersabda
“Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka
ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya,
dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan
maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengi-
53
Gak Ada yang Bisa Maksa-Maksa Kamu Buat
54
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
kutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa
mereka.” (H.R. Muslim). Dalam konteks pemerintahan,
sejarah Islam juga mencatat ketika Abu Bakar diangkat
sebagai khalifah pertama, pesan pertama kepada umat
Islam adalah meluruskan tindakannya sehingga tidak menyimpang dari ajaran agama. Ini menunjukkan dukungan
Islam terhadap kontrol rakyat terhadap pemimpin mereka.
Dalam Kristen, dikenal Rasul Paulus yang bekerja
mengingatkan bangsa-bangsa untuk memperbaiki pemerintahannya. Surat-surat Paulus kepada Tesalonika, Timotius, Titus, Filemon, Ibrani dan bangsa atau umat lainnya
mencerminkan kritik konstruktif Paulus tidak hanya dalam
membangun jemaat gereja tapi juga pemerintahan sebuah bangsa. Oleh karenanya, aktifitas Paulus dapat pula
dilihat sebagai sebuah kontrol terhadap pemerintahan.
Dalam Konghucu, kontrol terhadap pemerintah justru diharuskan. Dalam Kitab Li Ji (IIA,1:2) ”Melayani pemimpin harus berani menyanggah, dan tidak ada yang
disembunyikan”. Rakyat berhak menyanggah kebijakan
pemerintah manakala didapati ketidakbenaran atau ada
sesuatu yang transparan. Ajaran tersebut menegaskan
bahwa Konghucu menolak pemerintahan yang tak mau
dikritik oleh rakyatnya. Bahkan sejak abad XII, Dinasti di
Cina sudah menerapkan trias politika yang dikonsepsikan
oleh seorang Confucian bernama Han Fei Zi, sebuah konsep pemerintahan terkontrol oleh rakyat yang baru akan
diterapkan kembali di Eropa pada abad XVII.
Dalam ajaran Agama Buddha juga ditemukan anjuran
pentingnya memberikan kontrol kepada penguasa. Politik
dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami ibarat kereta
dengan dua roda pada satu poros, yaitu roda kekuasaan
(anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Kedua
roda tersebut harus berjalan seimbang, jika tidak maka
kekuasaan akan cenderung menyeleweng. Oleh karena
itu tugas umat Buddha adalah mengontrol untuk memastikan agar roda pemerintahan tidak menyeleweng.
Dalam ajaran Agama
Pemilu
Hindu, kontrol terhadap
adalah fase
pemerintah sangat mudah ditemukan. Cerita
untuk menentukan
pewayangan
yang
siapa saja yang akan
diinspirasi dari dua
menjadi pemimpin dan
kitab Hindu (Mawakil rakyat. Oleh karena itu, habharata dan Ramayana)
banyak
jadikanlah pemilu sebagai
berisi kritik terhatitik awal kita untuk
dap pemerintahan.
mengontrol jalannya
Kontol
terhadap
pemerintah
dibenarkan
pemerintahan.
dalam Agama Hindu, sebab di antara Panca Dasa
Pramiteng Prabu (limabelas
syarat menjadi pemimpin) terdapat syarat: harus terbuka
pada rakyat (Dibyacita),(tidak mementingkan pribadi atau
golongan (Tan satresna), penyayang pada semua rakyat
(Masih sastra buana), dan selalu memiliki motivasi penabdian pada negara (Sumantri). Syarat-syarat tersebut
mengharuskan pemimpin untuk selalu legawa menerima
kritik dan kontrol dari rakyat.
Doktrin agama-agama tersebut di atas mengajarkan
kepada para pemeluknya untuk tidak hanya peduli, tetapi
juga kritis terhadap pemerintah. Pemerintah dan rakyat
harus memahami hak dan kewajiban mereka masingmasing sehingga terjalin kerjasama demi kepentingan
bersama. Dalam konteks ini, pemilu adalah fase untuk
menentukan siapa saja yang akan menjadi pemimpin dan
wakil rakyat. Oleh karena itu, jadikanlah pemilu sebagai
titik awal kita untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Gunakanlah peluang ini untuk menggunakan hak suara
dengan bijak. Janganlah memilih pemimpin dan wakil
rakyat untuk kepentingan sesaat. Pilihlah pemimpin dan
wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas (amanah).
55
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
56
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
C. Partisipasi Umat Beragama
Pemilu merupakan salah satu media demokrasi di
Indonesia. Pemilu di Indonesia digelar dalam waktu lima
tahun sekali. Dalam “pesta demokrasi itulah, partisipasi
rakyat di Indonesia diperlukan. Partipasi rakyat dalam bidang politik menjadi sebuah kensicayaan karena terkait
dengan penentuan masa depan Indonesia untuk kurun
waktu lima tahun mendatang.
Partisipasi politik menurut Michael
Rush dan Philip Althoff adalah bentuk keterlibatan individu dalam aktivitas politik pada sebuah sistem politik. Mereka
mendeskripsikan partisipasi politik sebagai sebuah bentuk hierarkhi sosial.
Hierarkhi pertama, ditempati
oleh orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam sistem politik
atau administratif, baik pemegang jabatan politik maupun anggota birokrasi pada
berbagai tingkatan. Hierakhi
kedua, diduduki oleh mereka
yang menjadi anggota aktif
dari berbagai tipe organisasi politik atau semu politik,
yang mencakup semua tipe
partai politik dan kepentingan.
Hierkakhi ketiga, ditempati oleh
keanggotaan pasif suatu organisasi
politik. Hierarkhi keempat, yaitu ditempati oleh orang yang berpartispasi seperti dalam rapat
umum, demonstrasi dan sebagainya. Hierarkhi yang kelima, ditempati oleh orang yang berpartisipasi dalam diskusi politik informal dalam politik, seperti voting (pemberian suara).
Akan tetapi, tidak semua anggota masyarakat mau
bergabung dalam kelima hierarkhi tersebut di atas.
Adanya golongan putih (tidak menggunakan hak pilih)
mengindikasikan bahwa masih ada rakyat yang tidak
mau berpartipasi aktif dalam pemilu. Keengganan mereka
untuk berpartisipasi dalam dalam aktivitas politik karena
beberapa hal seperti: apatis, sinis, alienasi (terasing) dan
anomi (terpisah).
Dalam dinamika pemilu yang terjadi di Indonesia,
tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia mengalami fluktuasi sesuai dengan konteks zamannya. Masih adanya
masyarakat yang tidak berpartisipasi (golput) dalam pemilu, mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat Indonesia ini belum menyadari bahwa partisipasi politik mereka
berperan penting dalam tata kelola pemerintahan negara
ini. Dalam konteks sosial keagamaan, malah terdapat sebagian kelompok masyarakat yang mengatas-namakan
ajaran agama untuk tidak berpartisipasi dalam bidang
politik.
Di kalangan umat Islam, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang menolak berpartisipasi dalam pemilu.
Mereka mengangap bahwa Pemilu itu adalah bagian dari
sistem kufur karena demokrasi mereka anggap sebagai
sistem kufur. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
sebagian besar ummat Islam dan organisasi Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Mathla’ul Anwar,
dan juga MUI. Organisasi-organisasi keagamaan ini mengakui sistem demokrasi tidak bertentangan dan bahkan
selaras dengan Islam. MUI malah mengeluarkan fatwa
bahwa tidak ikut memilih dalam Pemilu hukumnya adalah
haram. Hal ini terkait dengan wajibnya mempunyai pemimpin (nashb al-imam), yang kemudian membuat jalan
menuju terpilihnya pemimpin menjadi wajib juga. Dalam
al-Qur’an ajaran yang relevan dengan pemilihan umum
adalah ajaran tentang kesaksian (syahadah). Seorang
Muslim jika dimintai persaksiannya, maka ia harus mem-
57
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
58
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
berikan kesaksian yang benar (baca: QS al-Baqarah 2:
282-283). Walau awalnya itu dalam konteks kesaksian
pengadilan, namun sebenarnya ini berlaku secara umum.
Terlebih lagi jika kesaksian itu berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat luas. Selain itu, untuk menjamin kemaslahatan masyarakat luas (mashlahah ‘ammah),
maka partisipasi umat Islam dalam politik (dalam berbagai
tingkatannya di atas) dan kehidupan sosial sangatlah diharapkan.
Alkitab memerintahkan kepada umat Kristen untuk melakukan apa yang semestinya dilakukan sebagai
warga negara seperti membayar pajak, membayar cukai,
dan menghormati pemerintahan (Roma 13: 5-7). Artinya
seorang Kristiani memang harus berpartisipasi aktif dalam
proses politik yang sehat. Sebagai sebuah agama yang
mengedepankan etika bermasyarakat dan bernegara,
Konghucu mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Hal ini tercermin dalam konsep Zhi Guo,
yaitu partisipasi untuk negara, yang sering disandingkan
dengan konsep Ping Tian Xia atau aktif menjaga perdamaian dunia. Keduanya menekankan unsur keaktifan
berpartisipasi di kancah politik untuk tujuan kemanusiaan.
Selain itu, menurut Xun Zi, ajaran Konghucu dapat dibagi
menjadi Xiao Ru (Mikro Khonghucu) yang mengajarkan
moralitas individu dan membangun keluarga, dan Da Ru
(Makro Khonghucu) yang mengajarkan cara membangun
negara menjadi kuat, kaya dan sejahtera. Dengan konsep
da ru ini Konghucu memerintahkan umatnya untuk partisipasi aktif dalam bernegara.
Meskipun cukup dikenal dengan sikap asketis yang
menarik dari dari permasalahan dunia, Buddha juga memiliki anjuran kepada umatnya untuk berpartisipasi aktif
untuk kehidupan bernegara. Hal ini dapat dilihat dari sikap
Buddha Gautama terhadap seorang pertapa bernama
Kassapa yang terlalu asketis. Dalam kisah yang dimuat
dalam Mahāsīhanāda Sutta tersebut Buddha mengajar-
kan untuk tetap praktik dhamma di masyarakat dengan
hasta arya marga yang didalamnya terdapat anjuran Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar. Semuanya itu juga dapat diwujudkan dalam
partisipasi demi kesejahteraan bangsa. Dengan demikian
partisipasi politik juga merupakan perwujudan dharma
yang nyata. Partisipasi politik menurut Hindu dapat digolongkan dalam Drewya Yadnya, yaitu karya suci di ranah sosial demi kebahagiaan bersama. Drewya Yadnya
dibedakan dari Tapa Yadnya yang merupakan karya suci
namun dalam bentuk perbaikan batin melalui samadhi,
adapun Drewya Yadnya diwujudkan dalam aktifitas nyata
yang dapat dirasakan manfaatnya secara sosial.
Ajaran-ajaran tersebut di atas menunjukkan bahwa
agama-agama yang ada di Indonesia memandang penting keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan
negara. Negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga rakyat. Salah satu media penting
bagi partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan
negara adalah pemilu, kesempatan rakyat untuk memilih
pemimpin pilihan mereka. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat beragama, hendaklah berpartisipasi aktif dalam proses penyelenggaraan negara
dengan bersama-sama menyukseskan pemilihan umum,
demi terpilihnya pemimpin-pemimpin yang kompeten dan
mampu membawa rakyat dan bangsa Indonesia kepada
kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.
D. Menegakkan Keadilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
bagian dari falsafah bangsa ini, tepatnya dalam sila kelima dari Pancasila. Keadilan untuk rakyat hanya dapat
lahir dari sistem yang dibangun atas dasar keadilan.
Salah satu indikatornya adalah, pemerintahan tersebut
merupakan representasi atau keterwakilan suara rakyat.
59
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
60
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Sedangkan pemilu merupakan mekanisme terbaik untuk
mengakomodasi perwakilan rakyat secara adil. Pemilu
merupakan satu-satunya sistem yang menjamin keadilan
karena setiap warga punya hak yang sama dalam mempengaruhi proses politik. Melalui pemilu, hak warga baik
untuk dipilih maupun untuk memilih, sama-sama menemukan signifikansinya.
Keterlibatan warga dalam mensukseskan pemilu sangat menentukan keberhasilan pemerintah dalam mendistribusikan keadilan. Sebaliknya,
sikap apatis dan enggan berpartisipasi dalam pemilu
(golput) merupakan cerminan sikap warga negara
yang kurang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa. Setiap suara yang digunakan
untuk mendukung satu wakil terbaik
akan memberikan peluang bagi wakil
tersebut untuk terpilih, sehingga pada
gilirannya wakil tersebut akan dapat berbuat lebih banyak
bagi masyarakat dalam rangka memperjuangkan keadilan.
Sebagai pintu harapan bagi terciptanya keadilan,
pemilu juga harus berproses secara adil, yaitu dengan
menerapkan electoral justice (Prinsip Keadilan Pemilu).
Prinsip ini menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur,
dan putusan terkait proses pemilu harus sejalan dengan
undang-undang, dan bahwa hak turut serta dalam pemilu
dilindungi, serta adanya jaminan bagi rakyat yang haknya
dilanggar untuk menggugat, didengarkan, dan dimediasi. Pemilu yg dijalankan dengan benar menjamin setiap
daerah dan setiap komunitas menentukan sendiri wakilwakil mereka untuk duduk dalam kursi-kursi dewan dan
pemerintahan. Dengan demikian pemilu memberikan me-
kanisme yg adil dalam menentukan keterwakilan.
Dengan adanya keadilan dalam keterwakilan, semestinya kebijakan-kebijakan yang nantinya dilahirkan oleh
wakil-wakil terpilih bisa membela orang-orang yang diwakili. Para wakil terpilih adalah pemimpin-pemimpin yang
berkewajiban menunaikan amanat yang diembannya terutama untuk membela masyarakat agar mendapatkan hakhaknya secara adil, baik dalam ekonomi, kesejahteraan
sosial, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Dengan kata
lain, pemilu menjadi pintu masuk bagi terwujudnya harapan rakyat untuk menikmati keadilan dalam segala hal.
Pemilu semestinya dapat menjadi titik perubahan ke
arah yang lebih baik. Pemilu harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, masyarakat yang lebih sejahtera
dan berkeadilan. Namun dalam praktiknya penegakan
keadilan masih terbilang mahal di Indonesia. Ini karena
kurangnya kesungguhan orang-orang terpilih untuk memperjuangkannya. Banyak pemimpin dan wakil rakyat terpilih terjebak pada kepentingan partai dan kelompoknya
sehingga mereka abai terhadap kepentingan rakyat banyak. Mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan demi kepentingan kelompok mereka.
Fenomena seperti di atas menjangkiti hampir semua
partai yang ada di Indonesia, termasuk partai yang berbasis agama. Orang-orang terpilih tersebut seolah lupa bahwa penegakan keadilan adalah ajaran universal yang ada
dalam agama mereka. Semua agama mengajarkan agar
pemerintahan dibangun dengan sistem yang berkeadilan
sehingga dapat membawa kesejahteraan yang merata
bagi rakyatnya. Islam memiliki catatan sejarah di mana
masyarakat multikultural Madinah diberikan kesetaraan
hak dan kewajiban sebagai warga negara tanpa membedakan latarbelakang agama, suku dan ras. Peristiwa sejarah Islam yang terdokumentasikan dalam Piagam Madinah tersebut mengindikasikan bahwa Muhammad (SAW)
61
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
62
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
adalah seorang pemimpin yang diterima oleh mayoritas
dan mampu menjalankan pemerintahan dengan regulasi
yang adil serta menyejahterakan semua kalangan. QS
an-Nahl: 90 menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kalian semua untuk menegakkan keadilan.” Keadilan inilah yang menjadi pembeda antara orang
yang bertakwa. “Berbuatlah/tegakkanlah keadilan, karena
itu sangat dekat dengan ketakwaan (QS al-Maidah: 8).
Ibnu Taimiyyah, dengan merujuk kepada ucapan Ali bin Abi
Thalib menyatakan: Pemerintah yang adil akan langgeng,
meskipun dipegang oleh orang non Muslim, dan pemerintah yang lalim akan tumbang meskipun dipegang oleh
orang Islam.
Dalam ajaran Agama Kristen, anjuran mengarusutamakan keadilan disebutkan dalam Amos 5: 24, “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran
seperti sungai yang selalu mengalir.” Keadilan diidealkan
dalam iman Kristen sebagai suatu kondisi yang harus terus ada, tidak boleh lenyap. Bahkan keadilan harus menjadi mainstream seperti air yang bergelora. Oleh karena
itu membangun pemerintahan yang berkeadilan juga
merupakan salah satu tugas umat Kristen. Tidak dibenarkan bagi umat Kristen untuk tinggal diam tanpa mendukung pemerintahan dalam mewujudkan keadilan, karena
itu sama saja dengan enggan menaburkan “Kasih” Allah
yang Maha Adil.
Dalam Agama Konghucu, melalui ajaran sayap idealisme Mencius, kepemimpinan negara harus didasarkan pada wang, bukan pa. Wang adalah kepemimpinan
yang berlandaskan pada empati dan simpati dimana suara rakyat didengarkan dan diapresiasi. Sedangkan Pa
adalah jenis kepemimpinan yang harus dihindari karena
bersifat totalitarian dan mengandalkan kekuatan militer
untuk menghegemoni rakyat. Jelas bahwa wang merupakan jenis kepemimpinan negara yang adil dan menjamin keadilan bagi rakyat.
Anjuran berlaku adil dalam bernegara juga ditemukan pada Agama Hindu. Konsep karmaphala secara tegas tidak membenarkan segala tindak ketidakadilan pemimpin, sebab perilaku tidak adil pada orang lain justru
akan berimbas petaka bagi diri sendiri. Sebaliknya Hindu
justru menekankan trihita yang didalamnya terdapat ajaran untuk menjaga keharmonisan antar sesama manusia.
Terlebih lagi, Dalam Dharmasastra VII:24 juga disebutkan bahwa jika suatu negara tidak mampu memberikan
keadilan bagi masyarakatnya, maka negara akan kacau
balau. Demikian pula dalam Agama Buddha. Dalam Anguttara Nikaya dengan sangat tegas disebutkan bahwa pemimpin negara yang adil dan baik akan mendorong para
aparaturnya menjadi adil dan baik dan pada akhirnya akan
membuat masyarakatnya juga bersikap adil dan baik.
Dalam Agama Buddha juga dikenal Dasa Raja Dhamma
(sepuluh peraturan bagi pemerintahan yang baik) dengan
poin ke-sepuluh menyebutkan perintah untuk menghormati aspirasi rakyat. Dengan demikian, semua agama
pada intinya mendukung penegakan keadilan melalui jalur
pemerintahan yang mewakili hati nurani rakyat. Dengan
kata lain semua agama mendukung pemilu sebagai sistem
yang tepat dan berkeadilan bagi masyarakat yang plural.
Salah satu misi utama agama-agama yang ada
adalah tegaknya keadilan di dunia. Keadilan menjadi bagian integral dari agama-agama yang ada. Keadilan bagi
seluruh rakyat sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia dapat diraih jika nilai-nilai utama agama-agama yang ada dapat terinternalisir dalam individu-individu
pemeluknya. Kemajemukan agama di Indonesia haruslah dapat digunakan untuk memperkaya bangsa dapat
menjadi aset untuk meratakan kesejahteraan dan keadilan. Di antaranya dapat dilakukan dengan berpartisipasi
aktif dalam perjalanan demokrasi, termasuk di dalamnya
adalah melalui keterlibatan setiap warga negara dalam
pemilu. Jadikanlah Pemilu sebagai media untuk memilih
pemimpin yang komit dengan perjuangan untuk menegak-
63
Bab 3 Harapan Dalam Pemilu
64
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
kan keadilan, sebuah misi universal agama-agama, bukan
sebagai praktek sekuler yang menjauhkan dari agama.
Bab 4
Menjadikan
Umat Beragama
sebagai Subyek
Dalam Pemilu
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
66
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
D
emokrasi seringkali dilihat sebagai parameter
penting ada tidaknya pembangunan politik di
suatu negara, karena dari demokrasi itulah peran
rakyat dalam menentukan nasibnya dapat diukur.
Hanya saja, tidak sedikit kasus yang menunjukkan
bahwa demokrasi belum dapat memenuhi jargon
utama: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Di tengah
masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, hubungan
antara partai politik dengan pemilih cenderung didominasi
oleh yang pertama. Pemilih hanya dijadikan sebagai
objek politik. Pemilih diperlukan dan diperlakukan dengan
baik saat partai memerlukan dukungan suara mereka
dan dilupakan saat partai politik sudah mengantongi
kemenangannya. Pada posisi demikian, dapat dipahami
adanya kecenderungan rakyat untuk memilih “golput”
pada saat pesta demokrasi, karena pemilu bukan hajat
mereka, tetapi hajat para politisi.
Pilihan untuk menjadi “golput” jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu. Meskipun ada manfaatnya, untuk kasus Indonesia yang sedang belajar menata
kehidupan bernegara dengan menerapkan demokrasi,
pilihan golput tidak banyak memberikan keuntungan, justru lebih banyak mudaratnya. Tetapi fakta menunjukkan
jumlah golput dari pemilu ke pemilu selanjutnya meningkat. Meningkatnya angka golput, yang berarti juga menurunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilu, membuat pemerintah dan mereka yang peduli pada proses
demokratisasi negara menjadi khawatir. Berbagai upaya
terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, dari aspek sosial, politik, hingga agama, dari iklan layanan masyarakat, pendidikan pemilih, hingga fatwa tentang hukum
keharaman golput yang dikeluarkan oleh MUI. Langkahlangkah ini akan lebih efektif dan berdampak luas di masyarakat jika masyarakat sebagai pemilih dapat merasakan manfaat langsung dari partisipasinya. Rakyat harus
merasakan bahwa pengorbanan --waktu, tenaga, biaya,
pikiran-- yang mereka berikan untuk berpartisipasi dalam
pesta demokrasi dapat terbayarkan dengan umpan balik
positif dari pelaku para pemimpin dan wakil rakyat yang
mereka pilih. Ini hanya bisa terwujud jika rakyat mempunyai kecerdasan, kebebasan dan keDi
mandirian dalam memilih. Rakyat
harus cerdas, bebas dan mandiri
tengah
dalam menentukan pemimpin
masyarakat
dan wakil rakyat pilihan meryang baru belajar
eka. Pemilih harus benarberdemokrasi,
benar menjadi subjek yang
hubungan antara partai
independen, bukan semata
politik dengan pemilih
objek politik untuk sekedar
mendulang suara.
cenderung didominasi
oleh yang pertama.
Pemilih hanya
dijadikan sebagai
objek politik.
Namun, usaha menjadikan pemilih sebagai subjek
dalam pemilu bukannya tanpa
kendala. Kecenderungan mobilisasi massa dalam pemilu yang
berujung pada pemanfaatan pemilih
sebagai komoditas politik masih menjadi masalah dalam
praktik berdemokrasi saat ini. Komodifikasi politik dapat
terjadi pada semua lini dan aspek, termasuk dalam bidang agama dan sosial keagamaan. Tidak jarang mobilisasi massa yang tidak jujur masuk dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan kolektif keagamaan berubah menjadi
ajang pencucian otak untuk mendukung atau menolak
calon tertentu. Dakwah berubah menjadi kampanye. Kelompok-kelompok untuk belajar agama seperti pengajian
atau majlis ta’lim untuk belajar agama berubah menjadi
perekrutan simpatisan. Jika ini telah terjadi, kelompok-kelompok keagamaan tersebut berubah menjadi media menjaring suara. Memilih pemimpin dan wakil rakyat bukan
lagi dituntun oleh keinginan individu yang merdeka, tetapi
berdasarkan kelompok elit tertentu. Wal hasil, kelompokkelompok ini kemudian menghasilkan para pemilih yang
tereksploitasi. Mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat
transaksi politik. Pemilih sebagai objek.
67
Bab 4 Menjadikan Umat Beragama Sebagai Subyek Dalam Pemiu
68
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir
fenomena di atas, gerakan pemilih cerdas penting untuk
dilaksanakan. Harus ada usaha untuk memberikan
pemahaman bahwa pemilu adalah kesempatan emas
bagi tiap warga negara untuk merubah ke arah yang
lebih baik, mensejahterakan dan berkeadilan dengan
memilih pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan
berintegritas (amanah).
Gak Ada yang Bisa Maksa-Maksa Kamu Buat Ngikuti Pilihannya
u
Ak
Aku
a
nya
Pu
Puny
an
lihan
Pi
Pilih
iri
ndiri
Se
Send
i
rta
Pa
A
ai
rt
Pa
C
ai
rt
Pa B
Bagi komunitas keagamaan, gerakan tersebut dapat
diawali melalui pemahaman ajaran-ajaran
keagamaan.
di
atan yang
Kedaulprinsip
at
kydijunjung
Kemandirian merupakan
tinggi
a
R
n
anga Dalam Islam dikenal
oleh agama-agama yang Tada.
lu 2014 rujukan bagi
istilah beberapa istilah yangn bisa
emimenjadi
ika P
d
J
a
ng konsep syura dan
partisipasi individu dalam politikluseperti
KOTAK
i ya
m
e
P
SUARA
bai’ah atau baiat. Syura memang pendapat
kolektif yang
RATIS
Kdalam
O
bertujuan mencari kesepakatan
masyarakat.
Akan
M
DE
tetapi, kesepakatan tersebut baru dapat diperoleh dengan
tepat jika setiap individu dalam masyarakat perperan
aktif dalam proses kesepakatan yang dicapai. Dengan
demikian, meskipun bersifat kolektif, tetapi hanya bisa
dihasilkan dengan baik jika setiap individu berperan aktif
dalam proses terciptanya konsensus. Dalam Fiqh siyasah
(fikih politik dalam Islam), peran aktif ini disebut sebagai
ikhtiyar al-ummah (kehendak masyarakat). Ikhtiyar alummah ini berintikan kumpulan kehendak setiap anggota
masyarakat untuk memutuskan persoalan publik, termasuk
memilih pemimpin. Puncak dari kehendak individuindividu ini adalah terjadinya ijma’ (konsensus) melalui
syura’. Sedangkan bai’ah adalah sebuah kontrak politik
antara rakyat dengan pemimpin, janji setia rakyat untuk
mendukung pemerintah. Ini dilakukan setelah pemimpin
pilihan rakyat telah dipilih.
Dalam Tawarikh 13 disebutkan kisah Daud yang memutuskan sebuah perkara berdasarkan kehendak rakyat.
Raja Daud mengambil keputusan setelah mengetahui
perkara itu yang tampak “baik di mata rakyat”. Dalam
kisah ini, kehendak rakyat adalah penentu sebuah kebijakan pemimpin. Dengan kata lain, Imam Kristen sesungguhnya mengakui bahwa rakyat adalah subyek, bukan
sekedar obyek bagi penguasa.
Dalam Konghucu, rakyat adalah subyek karena
rakyatlah yang menentukan “nasib” pemerintahan. Hal
ini tercermin dari hubungan antara negara dan rakyat
yang digambarkan seperti air laut dengan perahu.
Negara, pemerintahan, maupun pemilu bisa diibaratkan
kapal sedangkan rakyat adalah air dibawahnya. Apabila
rakyat (air) bergejolak maka perahu akan terguling,
tapi jika rakyat tenang maka perahu akan tenang pula.
Penggambaran tersebut menegaskan bahwa pada
hakikatnya rakyat adalah subyek, maka tidak boleh
diposisikan sekedar obyek. Selain itu, partisipasi manusia
terhadap negara dalam konsep Zhi Guo dan kewajiban
menjaga perdamaian dunia dalam konsep Ping Tian Xia
menekankan unsur keaktifan individu dalam politik untuk
tujuan kemanusiaan.
69
Bab 4 Menjadikan Umat Beragama Sebagai Subyek Dalam Pemiu
70
Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi
Dalam Agama Buddha dikenal Dasa Raja Dhamma
(sepuluh peraturan bagi pemerintahan yang baik) dengan
poin ke-sepuluh menyebutkan perintah untuk menghormati
aspirasi rakyat. Penilaian rakyat dalam rumusan tersebut
dianggap menentukan tingkat keberhasilan seorang
pemimpin. Dengan demikian, rakyat juga diposisikan
sebagai subyek. Dalam Hindu, rakyat mayoritas (waisya
dan sudra) menentukan perjalanan pemerintahan
negara yang dilaksanakan kalangan ksatria. Pembaian
peran yang dirumuskan dalam Catur Warna dalam
dapat mencegah kemungkinan theokrasi otoritarian atau
pemuatan kekuasaan politik dan agama, serta ekonomi di
tangan seorang penguasa.
Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa semua
agama yang ada di Indonesia sangat menghargai kehendak setiap individu dalam kehidupan, termasuk kehidupan
politik. Ini dapat digunakan sebagai media untuk memberikan pendidikan pemilih cerdas, kemandirian rakyat
dalam memilih pemimpin dan wakilnya mestilah diutamakan. Umat beragama yang taat pastilah menghargai
kemerdekaan kehendak dirinya dan kehendak orang lain
dalam menentukan pilihannya. Jadilah pemilih aktif dalam
proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Pemilih bukan lagi objek, tetapi subjek yang sadar dan paham akan
apa yang dipilih.
Referensi
Adam Przeworski et al, Democracy, Accountability and Representation, Cambridge University Press, New York, 1999.
Ayman Ayoub & Andrew Ellis (eds.), Electoral Justice: The International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute
for Democracy and Electoral Assistance, 2010)
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku saku untuk Memahami
Pandangan Islam terhadap Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat
Dihukum, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007.
Michael Rush dan Philip Althof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Mujani, Saiful., Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan
Partisipasi Politik pasca Order Baru, (Jakarta: Gramedia,
2007)
Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009, Potret Aksesori Demokrasi Indonesia. Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010.
71
Referensi
Catatan
Catatan
Catatan
Download