Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Pemilu Sehat ii Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Pengarah Arief Budiman Ferry Kurnia Rizkiyansyah Husni Kamil Manik Ida Budhiati Juri Ardiantoro Hadar Nafis Gumay Sigit Pamungkas Penanggung Jawab Arif Rahman Hakim Penyusun Ahmad Bunyan Wahib Editor Titik P.W Design Layout Satrio Mahadi Ilustrator Anna Dania Penerbit Komisi Pemilihan Umum Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat Telp. : 31937223 Fax : 3157759 Website : www.kpu.go.id Timsun Penyu Daftar Isi Tim Penyusun................................................................... ii Daftar Isi .................................................................... iii Pengantar .....................................................................v Bab I Agama Dan Demokrasi......................................... 1 A. B. C. D. E. Benarkah Agama tidak Mengenal Demokrasi?.. 2 Pemilu dalam Perspektif Agama-Agama............ 5 Pemilu dan Demokrasi dalam Pandangan Agama-Agama................................ 9 Manfaat Pemilu bagi Demokrasi...................... 12 Pelaksanaan Pemilu........................................ 17 Bab II Kemungkaran Umat Beragama Dalam Pemilu......................................................25 A. B. C. D. E. Kesempatan Korupsi........................................ 26 Kekerasan Atas Nama Agama......................... 31 Berbuat Curang................................................ 35 Diskriminasi Atas Nama Ajaran Agama............ 39 Transaksi Politik Pemuka Agama..................... 43 iii Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi iv Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Bab IIIHarapan Dalam Pemilu.......................................47 A. B. C. D. Kesejahteraan Rakyat...................................... 48 Kewajiban Mengingatkan Penguasa................ 52 Partisipasi Umat Beragama............................. 56 Menegakkan Keadilan...................................... 59 Bab IV Menjadikan Umat Beragama Sebagai Subjek Dalam Pemilu........................... 65 Referensi .....................................................................71 Pengantar Salam Demokrasi! P raktik pemilu yang sehat dan berkualitas menjadi harapan kita bersama. Harapan itu bukan hal yang mustahil untuk dapat direngkuh asal ada kesadaran kolektif memperbaiki hal yang kurang, sembari mempertahankan hal yang baik dari praktik demokrasi kita. Kehadiran pemilih yang cerdas berdemokrasi menjadi satu kunci untuk meningkatkan kualitas pemilu kita. Pemilih cerdas berdemokrasi adalah ketika pemilih memahami demokrasi, kritis terhadap praktek demokrasi, dan terampil dalam memperjuangkan kepentingan politik publik. Kelompok beragama merupakan segmen strategis dalam kehidupan demokrasi kita. Dengan keyakinan bahwa agama memberi pondasi nilai perilaku masyarakat maka agama semestinya memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi. Oleh karena itu penting melakukan eksplorasi atas isu-isu pemilu dan demokrasi dalam perspektif agama agar proses demokrasi kita dapat berjalan lebih baik. v Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi vi Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Kehadiran buku ini berusaha mengelaborasi bahwa agama relevan mendorong peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi. Buku “Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi” ini merupakan salah satu dari serial buku pendidikan pemilih “Cerdas Berdemokrasi” yang dirancang KPU. Terdapat 5 (lima) kelompok strategis yang menjadi perhatian serius KPU terkait dengan cerdas berdemokrasi yaitu pemilih pemula, umat beragama, perempuan, kaum pinggiran, dan penyandang disabilitas. Pada masing-masing kelompok strategis tersebut disusun buku pendidikan cerdas berdemokrasi. Kelompok sosial tersebut strategis dalam agenda perubahan politik, sekaligus rentan dengan manipulasi politik dalam pemilu dan demokrasi. Umat beragama yang dimaksud dalam buku ini adalah mereka yang menjadi komunitas dari setiap agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Buku ini secara garis besar membahas tiga ranah yaitu isu-isu yang berhubungan dengan agama dan demokrasi, masalah-masalah dalam pemilu dan harapanharapan dalam pemilu. Masih sangat jarang buku panduan pemilu dan demokrasi yang mengulas tentang hal ini, karenanya ini adalah sebuah rintisan awal yang masih perlu penyempurnaan. Ayo sehatkan pemilu dan demokrasi kita. Jakarta, Juli 2013 Ttd Husni Kamil Manik Bab 1 Agama dan Demokrasi 2 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi A. Benarkah Agama Tidak Mengenal Demokrasi? Barangkali kata demokrasi sudah sangat sering kita dengar dan kita obrolkan di forum-forum kampung, rumah makan, warung kopi, tempat kerja, media sosial, dan tempat-tempat lain. Sebenarnya apa sih demokrasi? Demokrasi adalah kekuasaan rakyat. Ia berasal dari bahasa Yunani; “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi adalah suatu pemerintahan yang dibentuk dari rakyat (government of people), oleh rakyat (government by people) dan untuk rakyat (government for people). Demokrasi mensyaratkan pemerintahan harus memperoleh legitimasi rakyat. Pemerintah baru sah kalau dipilih oleh rakyat melalui proses dan mekanisme tertentu. Setelah dipilih oleh rakyat, pemerintah harus menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, untuk kepentingan rakyat dan pengawasannya juga dilakukan oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui lembaga perwakilan (DPR). Kekuasaan tersebut juga dijalankan untuk melayani aspirasi rakyat. Apabila kekuasaan tersebut hanya melayani kelompok tertentu saja, maka pemerintahan tersebut bukan pemerintah yang demokratis. Demokrasi mula-mula dikenalkan oleh negara Barat. Sistem ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar negaranegara Timur, termasuk Indonesia. Dengan demikian, demokrasi di dunia Timur merupakan nilai dan praktek asing. Hal ini memunculkan anggapan bahwa demokrasi tidak sesuai untuk negara Timur yang agamis dan punya sejarah panjang dengan sistem kerajaan, dinasti, kekaisaran, dan khilafah. Dalam perjalanannya, kemudian demokrasi dicitrakan sebagai peradaban sekuler. Bahkan secara terang-terangan sebagian kelompok masyarakat menolak demokrasi dengan mengatasnamakan agama. Meskipun demikian perlu diakui bahwa secara esensi, tradisi agama- agama cukup kaya dengan nilai-nilai demokratis, bahkan sudah diterapkan dalam sejarah pemerintahan di Timur jauh sebelum konsep demokrasi modern dikenalkan oleh Barat. Oleh karena itu perlu dipertanyakan kembali, betulkah demokrasi tidak sesuai dengan tradisi dan praktik keagamaan bangsa Timur termasuk Indonesia? Sejatinya demokrasi dan Demokrasi agama sama-sama mencitamensyaratkan citakan nilai-nilai luhur sepemerintahan harus perti kebebasan, kejujuran, memperoleh legitimasi rakyat. keadilan, toleransi, dan Pemerintah baru sah kalau saling menghormati satu dipilih oleh rakyat melalui proses sama lain. Dalam agama dan mekanisme tertentu. Setelah Islam, beberapa doktrin dipilih oleh rakyat, pemerintah harus agama dapat menjadi timenjalankan kekuasaannya atas tik temu antara nilai-nilai Islam dan demokrasi senama rakyat, untuk kepentingan perti prinsip persamaan rakyat dan pengawasannya (al-Musawah), kebebasan juga dilakukan oleh (al-Hurriyah), musyawarah rakyat. atau konsultasi (al-Syura), keadilan (al-‘Adalah), konsensus (Ijma’), dan akuntabilitas (Mas’uliyah). Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama terkemuka, menegaskan bahwa substansi demokrasi mempunyai persamaan dengan nilai-nilai dalam Islam. Pemilihan umum untuk memilih pemimpin itu seperti pemilihan seorang imam untuk memimpin shalat berjamaah oleh para makmum. Tentu saja mereka tidak akan memilih pemimpin yang tidak mereka sukai apalagi menyimpang dari kekuasaan yang diberikan. Dalam Kristen, berdemokrasi bisa dipandang sebagai salah satu tujuan penciptaan manusia. Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 1:26-29, menjelaskan bahwa Tuhan memberkati kepemimpinan manusia yang ditugaskan untuk mengelola segala ciptaanNya di dunia dengan baik. Manusia diberikan amanat ini karena manusia diciptakan 3 Bab 1 Agama dan Demokrasi 4 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi sesuai gambaran Tuhan (imago dei). Tugas ini tidak hanya untuk Adam seorang, tapi kepada semua manusia baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, kekuasaan (kratos) untuk mengelola dunia memang diserahkan pada umat manusia (demos). Dalam Buddha, terbentuknya sangha merupakan cerminan demokrasi. Sangha adalah persekutuan umat Buddha dalam usaha meraih kesucian tanpa memandang perbedaan kelas atau kasta. Demokrasi dibenarkan dalam Buddha karena mekanisme demokrasi yang meniscayakan tenggang rasa dapat meredam salah satu sebab utama dukkha, yaitu keakuan atau ego. Ini sesuai dengan anavas atau penghancuran ego yang menjadi tujuan Buddha. Dalam Hindu, landasan demokrasi dibangun dengan konsep teologis kesadaran istadewata. Yakni keyakinan bahwa semua makhluk memiliki atman yang merupakan percikan dari satu brahman. Semua makhluk juga sedang bersama-sama berjalan menuju moksha atau kesatuan hakiki kepada brahman. Pada saat yang sama, juga ingin dicapai jagaditha atau kebahagiaan dunia. Dua tujuan mulia yang digerakkan bersama-sama inilah yang menjadi landasan hidup berdemokrasi dalam Agama Hindu. Agama Konghucu pernah dipandang undemocratic bahkan anti-democratic oleh Samuel Huntington, namun Francis Fukuyuma menyanggahnya dengan menyatakan bahwa etika Konfusianisme telah melahirkan kehidupan demokratis di Cina Kuno yang ditandai dengan literasi dan keadilan dalam pendidikan, toleransi antar agama, pemerintahan yang egaliter, dan masyarakat yang meritokratik. Sebuah capaian yang belum di raih Barat pada era yang sama. Para penerus Konghucu abad 2 SM, Mencius dan Hsun Zu, pernah mengklaim bahwa kehendak rakyat adalah kehendak Thian (Tuhan). Sebuah adagium yang di Barat dikenal dengan vox populi vox dei. Amatlah jelas bahwa demokrasi dan agama-agama yang ada di Indonesia sama-sama mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal seperti keadilan, kejujuran, toleransi dan independensi. Nilai-nilai tersebut dapat disinergikan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, Sesungguhnya kita bisa menjadi seorang penganut agama yang saleh sekaligus dapat menjadi seorang warga negara yang patriotik. B. Pemilu dalam Perspektif Agama-Agama Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses politik untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Pemimpin politik yang dimaksudkan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota. Sedangkan wakil rakyat adalah orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen/DPR) baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk menjamin agar proses pemilihan wakil-wakil tersebut berjalan baik dan adil, maka dibuatlah mekanisme tata laksana pemilihan yang dikenal dengan pemilihan umum (pemilu). Pemilu ini bertujuan agar proses kompetisi, partisipasi, dan jaminan atas hak-hak politik masyarakat bisa terpenuhi. Di dalam Pemilu semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih pemimpin politiknya secara langsung. Suara atau pilihan-pilihan di dalam Pemilu tersebut lalu dikonversikan ke dalam “kursi” di dewan perwakilan atau jabatan eksekutif. Di Indonesia, Pemilu berfungsi sebagai saluran untuk menentukan kehendak rakyat dalam memilih pemimpin dan wakil mereka, baik dalam skala kecil yang bersifat lokal (seperti desa) maupun dalam skala dan tingkat yang lebih tinggi lagi (seperti kabupaten, provinsi dan negara). Orang-orang yang duduk di dalam pemerintahan tersebut merupakan representasi dari rakyat. Rakyat mendelegasikan tugastugas di dalam membuat keputusan politik kepada orang 5 Bab 1 Agama dan Demokrasi 6 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi atau sekelompok pejabat publik yang telah mereka pilih. Oleh karena itu, para pemimpin dan wakil rakyat yang menjadi anggota badan perwakilan rakyat pada hakikatnya diseleksi sendiri oleh rakyat. Jadi, apabila rakyat tidak peduli dengan Pemilu, maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa mereka juga tidak peduli dengan hakhak dan kedaulatannya sendiri. Pemilu memberikan otoritas kepada setiap individu dalam masyarakat untuk menentukan pemimpin dan wakil mereka. Akan tetapi, pemilu dianggap sebagai mekanisme yang asing, terutama bagi negara yang awalnya sangat kuat dengan tradisi kekuasaan yang herediter (diwariskan secara turun-temurun) dan kekuasaan yang dibangun atas titah mandat langit atau otoritas suci (termasuk otoritas kitab suci agama-agama). Bagi sebagian kelompok (penganut) agama, kekuasaan adalah mandat dari Tuhan yang harus dipilih di bawah bimbingan ajaran Tuhan. Pemimpin adalah wakil Tuhan dan Tuhan sendiri telah menentukan mekanisme pemilihan pemegang kekuasaan. Bagi sebagian umat beragama, pelimpahan kekuasaan atas dasar kehendak rakyat melalui pemilu adalah sebuah kreasi manusia yang semestinya dihindari. Apakah benar mekanisme pemilihan pemimpin melalui suara rakyat tidak dikenal dalam tradisi agama-agama? Dapat ditemukan adanya indikasi yang kuat yang menunjukkan bahwa nilai-nilai agama mendukung penerapan mekanisme pemilihan pemimpin seperti yang dipraktekkan dalam pemilu. Agama-agama di Indonesia sangat menghargai hak-hak manusia untuk memilih pemimpin yang diinginkan. Dalam Islam, ada istilah syura (musyawarah) yang secara tegas dinyatakan dalam QS asy-Syura’ (42): 38 dan QS. Ali Imron (3): 159. Hadits Nabi juga mengenal adanya ijma’ (konsensus masyarakat) sebagai dasar membuat keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, sehingga keputusan yang diambil tidak menyengsara- kan masyarakat. Selain itu, dalam pemikiran politik Islam (al-fiqh as-siyasi) juga dikenal beberapa konsep lain seperti al-ikhtiyar alummah (hak rakyat untuk memilih pemimpinnya), bay’ah (hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan pemimpin). Konsep-konsep tersebut mengajarkan umat Islam untuk memilih pemimpin sesuai dengan kehendak rakyat. Di dalam agama Kristen, wujud demokrasi dapat dilihat dari pemilihan pemimpin jemaat, dan berkumpulnya rasul-rasul dan jemaat di Yerusalem ketika terjadi masalah serius untuk mencari solusi bersama secara demokratis (Kis. 15). Proses pemilihan Paus juga tidak berdasarkan penunjukan langsung oleh Paus sebelumnya, tapi melalui mekanisme demokratis yang disebut Conclave dengan diikuti para Kardinal yang mewakili berbagai kawasan di dunia. Dalam agama Hindu terdapat istilah “istadewata” dan “ahimsa”. Dalam agama Budha, ditekankan upaya pembersihan diri dengan fokus pada Bodhicita dan kasih sayang antar sesama yang kesemuanya mewujud pada sikap toleransi, solidaritas demi kepentingan dan kebaikan bersama. Dalam ajaran Konghucu dikenal prinsip jalan tengah (Zhong Yong) yang dikembangkan dari dualisme yin-yang dalam kitab Tengah Sempurna. Prinsip Jalan Tengah ini dipandang sebagai landasan pemilu dalam Konghucu dimana titik ekstrim yang direpresentasikan dengan perbedaan antar partai bisa ditengahi dengan mekanisme pemilu. 7 Bab 1 Agama dan Demokrasi 8 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Oleh karena itu, pemilu yang diadakan oleh negara yang menganut sisem demokrasi, merupakan sebuah mekanisme yang selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia. Tidak ada alasan bagi umat beragama di Indonesia untuk menolak pemilu. Pemilu harus dapat dijadikan sebagai media/ tempat diterapkannya nilai-nilai agama dalam memilih pemimpin masyarakat. C. Pemilu dan Demokrasi dalam Pandangan Agama-Agama Secara sederhana, pengertian demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, setiap negara yang mengadopsi sistem demokrasi modern, termasuk Indonesia, perlu menyelenggarakan Pemilu sebagai bentuk manifestasi prinsip demokrasi itu sendiri. Melalui Pemilu, setiap warga negara berkesempatan memberikan hak suaranya secara langsung, bebas dan rahasia untuk memilih siapa wakil rakyat baik Presiden, anggota dewan maupun kepala daerah yang menurut mereka paling kredibel dan mampu merealisasikan aspirasi masyarakat secara umum. Perwujudan demokrasi melalui Pemilu sejalan dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila yang percaya bahwa “kedaulatan atau kekuasaan berada di tangan rakyat yang bersumber kepribadian dan filsafah hidup bangsa Indonesia”. Dasar dari Demokrasi Pancasila adalah kedaulatan rakyat seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 2 yaitu “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Nilai-nilai dalam demokrasi dan mekanisme pemilu sama-sama diakomodasi dalam semua agama. Pemilu menjadi metode untuk mencari kehendak rakyat dalam menentukan pemimpin dan wakil mereka dalam demokrasi. Salah satu problem yang muncul adalah adanya kelompok masyarakat agama yang sejatinya memanfaatkan alam dan ruang demokrasi untuk mempertahankan eksistensinya. Akan tetapi, mereka menolak mekanisme pemilu yang menjadi anak kandung demokrasi. Bagi mereka, pemilu adalah cara sekuler, dan mereka memilih untuk menggunakan cara “relijius” untuk memilih pemimpin rakyat. Tidak bisakah demokrasi dipahami sebagai mani- 9 Bab 1 Agama dan Demokrasi 10 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi festasi model pemilihan seperti yang diajarkan dalam ajaran agama dan dipraktekkan dalam komunitas agama? Pemilu sebagai mekanisme memilih pemimpin berdasarkan pendapat mayoritas sejatinya dapat dipahami sebagai perwujudan nilai-nilai agama. Pemilu sesungguhnya sejalan dengan mekanisme yang ada dalam ajaranajaran agama dalam hal pemilihan pemimpin. Dalam Islam, selain mengenal syura atau musyawarah dan juga ijma’ atau konsensus untuk menemukan solusi bagi umat ketika terjadi perbedaan dalam masalah kepemimpinan, mekanisme pemilu dapat disejajarkan dengan konsep ikhtiyar al-ummah (kehendak masyarakat) dalam memilih pemimpin. Ikhtiyar al-ummah malah dianggap konsep yang sangat fundamental dalam pemilihan pemimpin. Ikhtiyar al-ummah merupakan hak istimewa rakyat untuk memilih pemimpinnya. Dalam konsep ini, setiap individu mempunyai hak suara, seperti dalam pemilu, untuk memilih pemimpin yang dikehendaki. One man has one vote. Setelah pemimpin pilihan masyarakat tersebut terpilih, hubungan antara pemimpin dengan warganya disinergikan melalui bay'ah yaitu kontrak politik terkait dengan hak dan kewajiban timbal balik antara warga dengan pemimpin. Sementara itu, ajaran yang mendukung pemilu pada agama Kristen dapat ditemui baik pada Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, semangat demokrasi terlihat ketika Musa mengangkat pemimpin-pemimpin kelompok dari kelompok seribu hingga kelompok sepuluh di antara umat Israel yang saat itu sedang berada di gurun pasir menuju Kanaan setelah keluar dari Mesir (Kel. 1: 13). Dalam Perjanjian Baru, semangat Pemilu dan demokrasi misalnya terlihat pada pemilihan pemimpin jemaat mulai dari pengganti Yudas Iskariot (Kis.1: 15-26), pembantu rasul (Kis. 6: 1-7), dan pemimpin jemaat lainnya. Terkait praktik Pemilu, dijelaskan pula tentang berkumpulnya rasul-rasul dan jemaat di Yerusalem ketika terjadi masalah serius untuk mencari solusi bersama secara demokratis (Kis. 15). Untuk memecahkan masalah bersama, umat Budha selalu mengedepankan metode yang demokratis. Sejak abad ke-4 SM umat Buddha sudah melakukan konsolidasi demokratis dalam memecahkan masalah-masalah umat setelah Buddha Sidharta Gautama wafat (parinibhana). Selain itu, dalam Milinda Panha disebutkan bahwa layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin sangat ditentukan oleh rakyat. Rakyat berhak untuk tidak mendukung penguasa jika penguasa tersebut Pemilu tidak kompeten. Hal ini mengisyaratkan sebagai bahwa suara rakyat sangat menenmekanisme tukan dalam uji kelayakan seorang memilih pemimpin pemimpin. Dengan kata lain, pemiberdasarkan lu sebagai saluran untuk menampendapat mayoritas pung suara rakyat adalah jalan tersejatinya dapat baik dalam menentukan jalannya dipahami sebagai pemerintahan. perwujudan nilainilai agama. Dalam Agama Hindu ada seuntai mantra (doa) yang mengajak manusia untuk menyamakan tujuan demi mencapai kebahagiaan hidup bersama-sama. Hal tersebut termaktub dalam Rg Veda X 191.2. Menyamakan tujuan berarti membuat sebuah konsensus yang ditentukan oleh umat secara bersama-sama. Pemilu dapat diterima sebagai bentuk nyata upaya tersebut, yaitu untuk menemukan tujuan atau visi yang diiginkan sebagian besar orang demi mengupayakan kesejateraan bagi semua. Dalam pandangan Agama Konghucu, masyarakat demokratik akan lebih mudah terwujud jika anggota masyarakat tersebut terdiri dari para Jun Zi. Yang dimaksud Jun Zi atau orang bijak adalah manusia yang free will-nya tidak dibatasi oleh sekat-sekat yang mengekang. Artinya, masyarakat dibebaskan berekspresi melalui saluran yang adil. dalam konteks berpolitik, kehendak bebas masyarakat bisa diakomodasi dalam partai politik dan kemudian disalurkan melalui pemilu. Dengan demikian pemilu merupakan mekanisme agar jun zi bisa berperan membangun 11 Bab 1 Agama dan Demokrasi 12 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi masyarakat demokratis. Agama-agama pribumi di Indonesia pun rata-rata menjunjung nilai-nilai demokratis yang terkandung dalam agama-agama lain di atas. Jika nilai-nilai agama-agama seperti di atas dapat terinternalisasi dalam setiap individu pemeluknya, maka umat beragama tidak segan untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu. Tidak akan terjadi penolakan terhadap pemilu dengan mengatas-namakan agama. Demokrasi dan pemilu dapat dipandang sebagai kontekstualisasi nilai-nilai agama dalam menentukan pemimpin masyarakat. D. Manfaat Pemilu bagi Demokrasi Demokrasi sedang mendapatkan perannya. Demokrasi telah mampu meyakinkan sebagian besar negara di muka bumi ini bahwa sistem ini dapat memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Nyatanya, melalui demokrasi aspirasi dan keinginan yang dimiliki oleh rakyat dapat disampaikan melalui jalur dan prosedur yang demokratik pula. Tidak hanya itu, penyampaian aspirasi rakyat itu dapat terayomi dan terlindungi oleh undang-undang. Namun, tidak semua warga negara dalam negara demokrasi dapat menjalankan fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif; perwakilan mereka yang dapat melakukan. Untuk memilih perwakilan inilah maka diperlukan pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan salah satu sarana bagi rakyat dalam menyampaikan aspirasi. Demokrasi menolak adanya kepemimpian yang turun-temurun, dan pemilu dapat menghindarkan negara dari kepemimpinan dengan model seperti itu. Pemilu merupakan pengejewantahan dari diterapkannya demokrasi dalam sebuah negara, di mana rakyat dapat dengan langsung memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan struktur pemerintahan. Pemilu diharapkan dapat menegakkan tatanan politik dan pemerintahan yang demokratis. Pemilu menjadi sarana penting bagi tegaknya demokrasi yang sehat dan baik. Sedangkan demokrasi itu sendiri adalah sarana bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Terlepas dari beberapa permasalahan yang muncul terkait pemilu, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu dengan demokratis. Hal ini menunjukan bahwa sistem demokrasi di Indonesia sedang berjalan dengan baik. Dengan penduduk dengan beragam keyakinan, agama, etnis, orientasi seksual, dan hal-hal pembeda lainnya, pemilu tentunya merupakan sarana yang respresantatif untuk mewujudkan pemerintahan yang sehat dan sejalan dengan aspirasi rakyat. Pemilu sebagai piranti utama dalam demokrasi semestinya memberikan manfaat besar bagi kokohnya penerapan demokrasi. Pemilu menjadi cara yang dianggap paling rasional untuk memilih pemimpin masyarakat. Namun sejauh ini perjalanan demokratisasi di Indonesia tidak berjalan mulus. Banyak problem yang menghambat perjalanan demokrasi. Salah satu problem yang serius adalah adanya sebagian kelompok masyarakat agama yang menolak demokrasi dan praktek-praktek yang lahir dari sistem ini, termasuk pemilu. Bagaimana agama-agama memandang pemanfaatan pemilu sebagai jalan berdemokrasi? 13 Bab 1 Agama dan Demokrasi 14 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Dalam Islam, tidak ada satu teks keagamaan pun (baik al-Qur’an maupun hadits) yang menjelaskan sistem pemilihan tertentu untuk mencapai puncak kepemimpinan pemerintahan. Melihat apa yang diterapkan pada masa awal pemerintahan Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad, tidak ada satupun khalifah yang menetapkan sebuah sistem pengangkatan pimpinan pemerintahan. Abu Bakar, misalnya, diangkat menjadi khalifah melalui proses baiat yang disepakati oleh ahl al sunnah sebagai sebuah sistem yang dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan semua sahabat dan bukan berdasarkan teks keagamaan tertentu. Apa yang dilakukan pada proses peralihan kepemimpinan dari Abu Bakr ke Umar pun tidak berdasarkan teks keagamaan tertentu, dan Umar diangkat melalui proses istikhlaf, penunjukan kepala pengganti sesudahnya. Praktek ini menjelaskan bahwa yang ditekankan dalam proses pengangkatan adalah semangat kebaikan rakyat bersama. Pemilu yang diterapkan dalam sistem demokrasi sesuai dengan semangat Islam terkait proses pemilihan pemimpin Negara maupun perwakilan anggota parlemen. Rasulullah saw pernah secara implisit menyebutkan bahwa pemimpin harus dipilih sesuai dengan keinginan rakyat. Beliau bersabda bahwa, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, mereka yang kalian hubungkan silaturahimnya dan mereka juga menghubungkan silaturahim kepada kalian." (HR Muslim). Tentunya, pemimpin yang dipilih adalah dia yang memiliki motivasi bersih dan sikap peduli rakyat. Ajaran Kristen mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai martabat untuk menjadi pribadi moral yang bebas, yang kebebasannya termanifestasikan keputusan dan tindakan pribadi dalam keberlangsungan hidup bersama. Selain itu, setiap manusia juga mempunyai martabat untuk menjadi pelayan yang memungkinkan adanya kehidupan bersama. Iman Kristiani mengajarkan bahwa kasih dapat mewujud apabila setiap orang meberikan dirinya bagi pelayanan dalam masyarakat. Karena inilah orang Kristen dituntut terlibat aktif dalam pemilu, karena pemilu merupakan bagian dari keterlibatan kasih dalam kehidupan politik yang demokratis. Agama Buddha tidak didasarkan pada otoritas. Pendekatannya bersifat demokratis. Buddha mendobrak sistem kasta yang sarat dengan diskriminasi, dan membuka pintu ordo yang disebut sangha bagi semua orang, tanpa memandang kasta dan kedudukan sosialnya. Dalam agama Hindu kasta-kasta mengalami reinterpretasi baru sebagai “catur warna”, yakni kekuasaan agama (Brahmana), pemerintahan (Ksatria), ekonomi (Waisya) dan tenaga kerja (Sudra). Dalam konteks demokrasi modern, pemilu adalah untuk memilih mereka yang ada dalam pemerintahan. 15 Bab 1 Agama dan Demokrasi 16 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Dalam Hindu modern juga muncul konsep tentang “Dharmokrasi”, yakni pemerintahan oleh dharma (Rattan Lal Bedi, 1976). Dharmokrasi bukan untuk mengganti demokrasi tetapi untuk pemberi dimensi spiritual terhadapnya, sehingga demokrasi menyejahterakan bukan hanya halhal fisik-material tetapi juga mental-spiritual. Dalam ajaran Konghucu, Nabi Kongzi mengajarkan tentang demokrasi dalam pemerintahan. Seorang Raja atau pemimpin dipercaya mendapatkan mandat dari Tian (Langit) atau disebut dengan Tian Ming. Dia harus menjadi ayah bunda bagi rakyatnya. Beliau juga menegaskan bahwa: “Tuhan melihat sebagaimana rakyat melihat, dan Tuhan mendengar sebagaimana rakyat mendengar.” Degan demikian, pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu oleh rakyat harus memperhatikan suara rakyat, karena “mata dan telinga” Tuhan ada pada tatapan dan pendengaran mereka. Ini adalah landasan spiritual bagi demokrasi Konghucu. Ajaran-ajaran luhur nenek-moyang bukanlah ajaran yang menentang pemilu dan menghambat demokrasi. Pemeluk agama-agama pribumi di Indonesia pun mendambakan kehidupan yang demokratis yang terbebas dari penindasan dan ketidakadilan. Dengan demikian, setiap individu masyarakat Indonesia dapat memperjuangkan suara profetik rakyat dengan cara menghormati kebebasan, memperjuangkan kesetaraan dan menyebarkan kasih melalu pemilu yang jujur, adil, bersih dan akuntabel. Pemilih yang memahami dengan baik manfaat pemilu bagi kehidupan demokrasi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan pemilihan perwakilan rakyat dan pemimpin publik itu, karena ini akan berdampak luas dan lama kepada kehidupan rakyat secara menyeluruh. E. Pelaksanaan Pemilu Sampai pada pembahasan teknis. Bukan hanya substansi dari demokrasi dan pemilu saja yang penting. Persoalan teknis juga penting, karena pemilu butuh proses yang teratur dan bisa di-pertanggungjawab-kan. Yang pertama harus tahu, siapa saja yang dipilih dalam pemilu? Dalam pemilu di Indonesia, kita memilih: 1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 3. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi 4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota 5. Presiden dan Wakil Presiden. 6. Kepala Daerah: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Kemudian, siapa saja peserta pemilu itu? Peserta pemilu tergantung pada jenis pemilunya. Untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota peserta pemilu adalah partai politik. Sedangkan untuk pemilu DPD peserta pemilu adalah perseorangan. Sementara itu pada pemilu presiden dan wakil presiden (biasanya disingkat Pilpres) pesertanya adalah pasangan calon yang 17 Bab 1 Agama dan Demokrasi 18 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi ileg 1. P s ilpre P . da 2 iluka m e 3. P mendapatkan dukungan dalam jumlah tertentu dari partai politik. Ketentuan ini juga berlaku untuk pemilu kepala daerah (biasanya disingkat Pemilukada). Jadi ada enam macam yang dipilih. Memilihnya bersamaan atau tidak? Pemilu untuk memilih anggota legislatif, yaitu DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dilakukan serentak. Sementara itu pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden dilakukan setelah pemilu anggota legislatif. Dengan demikian pada pemilu legislatif pemilih akan mendapatkan 4 (empat) kertas suara, sedangkan pada pemilu presiden dan wakil presiden mendapatkan satu kertas suara. Kalau pemilu kepala daerah itu jadwalnya beda-beda setiap daerah. Bahkan ada beberapa kepala daerah yang tidak dipilih. Misalnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu ditetapkan oleh DPRD. Sesuai dengan aturannya, Gubernur DIY adalah Sultan Hamengkubuwono yang sedang bertahta. Di DKI Jakarta, para bupati dan walikota juga tidak dipilih, tapi diangkat oleh gubernur. Eh, tentang anggota DPD, boleh perorangan? Iya, betul sekali. Hal ini karena proses pencalonan anggota DPD bersifat perorangan, bukan atasnama partai politik. Jadi, calon anggota DPD mencalonkan diri atas nama pribadi tanpa membawa partai. Mungkin saja ia anggota partai, tapi saat pencalonan ia tidak membawa nama partainya. Orang yang tidak berasal dari partai politik pun boleh ikut mencalonkan diri. Perlu diingat, nantinya dari setiap provinsi akan ada 4 (empat) orang anggota DPD terpilih. Berbeda dengan anggota DPD, anggota DPRD dan DPR sementara ini justru harus masuk lewat partai politik. Sebenarnya di sejumlah negara, sudah dilakukan pencalonan anggota lembaga legislatif secara independen. Tapi di Indonesia, saat ini calon anggota lembaga legislatif harus lewat partai politik. Sudah tahu kenapa masih lewat partai politik? Karena dengan partai politik maka peorganisasiannya akan jadi lebih mudah dibandingkan jika dilakukan secara independen. Tapi kamu tahu tidak, sekarang ada berapa partai politik? Ada partai politik nasional dan ada partai politik lokal. Partai politik nasional menjadi peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Ada 12 (duabelas) partai politik nasional. Sedangkan partai politik lokal hanya menjadi peserta pemilu DPRD di Aceh. DPRD Aceh disebut DPRA. Terdapat 3 (tiga) partai politik lokal. Ini daftar partai politik peserta Pemilu 2014: 19 Bab 1 Agama dan Demokrasi 20 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Partai Nasional No. Urut Nama Partai Ketua Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya. Partai lokal di Aceh No. Urut Nama Partai Ketua 21 Bab 1 Agama dan Demokrasi 22 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Ohh… itu ya partai-partai politik yang bisa saya pilih. Eh, tapi saya ini pemilih bukan sih? Sip! Kamu adalah pemilih jika kamu Warga Negara Indonesia dan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Kalau Kamu memenuhi syarat, pastikan nama kamu tercantum dalam daftar pemilih. Pemilih didaftar dalam tahap awal pemilu. Setelah itu, masih ada banyak tahap lagi yang harus dijalani dalam pemilu. Syarat Pemilih: 17, 17+ WNI berusia 17 th atau lebih DPT (Daftar Pemilih Tetap) Ini dia tahapan dalam sudah nikah atau pelaksanaan pemilu: terdaftar sebagai pernah nikah a)perencanaan program pemilih dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu; b) pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; c) pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; d) penetapan Peserta Pemilu; e) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; f) pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; g) masa Kampanye Pemilu; h) Masa Tenang; i) pemungutan dan penghitungan suara; j) penetapan hasil Pemilu; dan k) pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Banyak kan tahapannya. Dengan tahapan yang banyak ini, tentu pemilu diurus dengan serius oleh berbagai pihak. Nah, pemilu di Indonesia dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga ini bersifat nasional, tetap dan mandiri. Struktur permanen KPU ada mulai dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ketika tahapan pemilu sudah dimulai, dibentuk pula badan-badan adhock (sementara), yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di tingkat kecamatan, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat Desa/Kelurahan, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tiap TPS, dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Khusus di Luar Negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), dan Pantarlih. Katanya ada lembaga pengawas juga? DK Iya betul. Ada lembaga pengawas pemilu dengan tugas utama mengawasi penyelenggaraan pemilu kita. Ditingkat pusat dan provinsi bernama Bawaslu yang bersifat permanen. Sementara itu ditingkat Kabupaten/Kota dan kecamatan bernama Panwaslu. Ditingkat desa/ kelurahan ada Pengawas Pemilu Lapangan (PPL), dan di luar negeri ada Pengawas Pemilu Luar Negeri. Struktur pengawas pemilu dibawah provinsi bersifat adhock. PP Selain ada lembaga pengawas pemilu, ada juga lembaga bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga ini dibentuk dengan tujuan memeriksa dan memutus pengaduan dan laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU dan Bawaslu beserta jajarannya sampai ditingkat bawah. DKPP ini satu-satunya di dunia lho, hebat kan! 23 Bab 1 Agama dan Demokrasi 24 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Nah, hadirnya lembaga-lembaga diluar KPU itu dimaksudkan untuk semakin memperkokoh integritas penyelenggaraan pemilu kita. Sekarang soal pelanggaran pemilu. Kamu pasti ngikuti berita bahwa pelanggaran kerap terjadi dalam pemilu. Bener nggak? Pelanggaran dalam Pemilu secara garis besar dibagi menjadi dua. Pertama, Pelanggaran Administrasi Pemilu. Kedua, Pelanggaran Pidana Pemilu. Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Sedangkan Pelanggaran Pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan. Kalau kita melihat pelanggaran pemilu, maka kita harus melaporkannya kepasa Bawaslu atau Panwaslu dengan segera.Pengawas pemilu akan menindak-lanjuti laporan itu untuk diselesaikan. Kalau kita melapor, posisi kita aman kan? Tenang sista and brother, sudah pasti aman. Jangan biarkan pelanggaran pemilu terjadi. Awasi dan laporkan ya kalo ada pelanggaran supaya pemilu kita semakin sehat dan berkualitas. Bab 2 Kemungkaran Umat Beragam Dalam Pemilu 26 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi A. Kesempatan Korupsi Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” yang bermakna kerusakan atau kebobrokan. Korupsi mempunyai beberapa istilah berbeda di berbagai negara, seperti gin moung dalam bahasa Muangthai berarti “makan bangsa”, tanwu dalam bahasa China berarti “keserakahan bernoda”, dan oshoku dalam bahasa Jepang berarti “kerja kotor”. Bahasa Indonesia mengadopsi bahasa Belanda “corruptie”, menjadi “korupsi”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (atau perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Seseorang bisa mengorupsi uang perusahaan, organisasi, atau negara, tergantung pada konteksnya. Di Indonesia, korupsi diatur dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001. Di dalam UU ini terdapat 30 bentuk pidana korupsi, yang dapat dikelompokkan menjadi: 1) Penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara; 2) Suap-menyuap; 3) Penggelapan dalam jabatan; 4) Pemerasan; 5) Perbuatan curang; 6) Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7) gratifikasi. Semua masyarakat haruslah memahami hal-hal yang terkait dengan korupsi ini. Karena ketidaktahuan, bisa saja seseorang ikut terjerat kasus korupsi yang dilakukan oleh orang lain, misalnya karena dipergunakan rekeningnya atau mendapatkan pemberian yang ternyata adalah pencucian uang. Korupsi di Indonesia telah mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan. Laporan Transparansi Internasional dari tahun ke tahun menempatkan Indonesia di antara negara-negara terkorup. Semua cara untuk menjauhkan kita dari korupsi haruslah dilakukan. Salah satunya melalui pemilihan secara tepat anggota legislatif dan pemimpin eksekutif dalam pemilihan umum. Mengacu pada fakta yang ada selama ini, korupsi dalam pemilihan umum (Pemilu) dapat terjadi pada tiga fase. Pertama, korupsi prapemilu; kedua, korupsi pada saat pemilu; dan ketiga, korupsi pascapemilu. Dalam setiap tahapan itu, partai berkuasa (incumbent) atau yang berkoalisi dengan partai berkuasa, adalah yang paling berpeluang untuk mengorupsi uang negara. Untuk mendapatkan dana kampanye, ketujuh cara tersebut di atas bisa saja dilakukan. Iklan layanan masyarakat bisa berubah menjadi kampanye terselubung yang memanfaatkan dana pemerintah. Pada saat pemilu, kunjungan kerja dimanfaatkan untuk menggalang dukungan, atau penggunaan politik uang. Yang paling banyak kasusnya, pada pascapemilu, adalah para tokoh terpilih kemudian terdapati melakukan tindakan korupsi. Korupsi sangat mungkin terjadi dalam pesta lima tahunan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja, dan kelompok apa saja terutama para calon pemimpin dan calon wakil rakyat dan partai politik yang mengusung mereka. Tidak luput pula kalangan agama. Dalam konteks sosial keagamaan, pada masa sebelum dan saat kampanye menjadi masa yang kritis untuk terjadi korupsi. Pada level ini, tidak jarang para calon pemimpin atau wakil rakyat memberikan sumbangan untuk kepentingan politik (money politics) dengan mengatasnamakan kepentingan sosial agama seperti memberi bantuan finansial untuk pembangunan masjid atau musholla, gereja, pura, vihara atau klenteng. Bentuk penyimpangan yang lain juga dapat dilakukan melalui komunitas kelom- 27 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu pok belajar agama dengan memberikan bantuan finansial atau non finansial (sembako dan peralatan ibadah), baik untuk kepentingan kelompok belajar agama tersebut atau anggota-anggota kelompok tersebut. i ti k U a n g Rp ol Selain pemberian money politics kepada para calon pemilih, korupsi juga dapat terjadi melalui penggalangan dana dari masyarakat. Dalam konteks sosial keagamaan, partai politik, para calon pemimpin dan calon wakil rakyat dapat memanfaatkan aktivitas kolektif keagamaan untuk k P a da P melakukan penggalangan a id dana politik. Partai yang berbasis agama atau tokoh agama yang mencalonkan diri sebagai pemimpin politik atau wakil rakyat paling rentan untuk melakukan tindakan tidak terpuji ini. Dapat saja mereka menggalang dana dengan menamakan amal untuk pembangunan tempat ibadah atau kegiatan keagamaan, tetapi sebenarnya untuk kepentingan partai atau kepentingan pencalonan mereka. ta k a n T a K 28 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Korupsi juga dapat terjadi pada level masyarakat agama. Pemuka agama, atau tokoh ormas agama dapat mengatasnamakan agama dan atau ormas agama meminta sumbangan dana kepada partai politik atau calon pemimpin dan calon wakil rakyat untuk kepentingan kelompok atau pribadi mereka. Sedangkan dari segi individu umat beragama, korupsi dapat terjadi dengan mengatasnamakan kepentingan kolektif keagamaan dan ritual keagamaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan manfaat pribadi. Setelah terpilih, fakta juga menunjukkan banyak pemimpin dan wakil rakyat yang melakukan perbuatan keji ini. Bukan hanya mereka yang dianggap sekuler, tetapi juga mereka yang berlatar belakang “partai agama”. Rasuah tidak pandang bulu. Partai berlatar belakang agama seperti tidak ada bedanya dengan partai sekuler. Mereka sama-sama melakukan tindakan korupsi. Bahkan program-program pemerintah untuk kepentingan keagamaan juga tidak luput dari praktek ini. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah agama memang memberikan legitimasi bagi tindakan korupsi untuk kepentingan pemilu, atau agama justru mengutuk korupsi? Tidak ada agama yang melegitimasi korupsi. Korupsi dianggap sebagai kecurangan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam Islam dikenal beberapa istilah terkait dengan larangan melakukan korupsi, seperti ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghashab (perampasan), ikhtilas (pencopetan), sirqah (pencurian), dan hirabah (perampokan). Kesemua itu merupakan perbuatan yang dilarang. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta-benda orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahuinya.” (al-Baqarah 2: 188). Memakan harta orang lain secara batil (salah, illegal) di antaranya adalah melalui korupsi, karena uang negara pada hakekatnya adalah uang rakyat (orang lain) juga. Rasulullah melarang suap (risywah): “Allah melaknat orang yang menerima suap, yang memberikan suap, dan yang menjadi perantara di atara keduanya” (HR. Ahmad). Demikian juga saat Ibn Lutbiyah, seorang pemungut zakat mengumpulkan zakat dan memilah antara zakat dan hadiah yang diberikan oleh orang kepadanya. Rasulullah berkata, “Mengapa kau tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu sampai datang hadiah untukmu, jika kamu benar?” Dalam bahasa hukum, dia menerima gratifikasi. Umar bin Khattab dan juga Umar bin Abdul Aziz pun diriwayatkan mematikan lampu kantornya saat membicarakan masalah keluarga dengan anaknya. 29 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 30 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Beliau mengatakan bahwa minyak dari lampu itu dibiayai oleh negara, sehingga tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan selainnya. Dalam agama Kristen, Alkitab (Injil) mengajarkan: “Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.” (Keluaran 23:8). Alkitab juga mengutuk ketidakjujuran dalam masalah keuangan: “Neraca serong adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.” (Amsal 11:1). Dalam ajaran Hindu, korupsi diKorupsi anggap melanggar empat dari sepudengan luh ketentuan Tuhan, yakni tan segala bentuknya mamandung (tidak mencuri), tan dilaknat agama. Oleh ujar ahala (tidak berkata-kata karena itu, masyarakat bohong), satya wacana (berkata beragama dituntut untuk jujur, apa adanya, menepati janji/ menunjukkan kemuliaan sumpah), dan mamituhwa ri haajaran agamanya naning karma-phala (percaya kedengan menjauhi pada hukum Tuhan Karma-Phala, yaitu menerima buah dari perbuakorupsi. tan). Dalam ajaran Buddha, aturan kedua dari Lima Aturan-moralitas Buddhis adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Ini termasuk: mencuri, merampok, dan korupsi. Sedangkan Konghucu merujuk kepada perkataan Konfusius: “Kaya dan berkedudukan mulia adalah keinginan semua orang. Tapi bila tidak dapat dicapai dengan jalan suci janganlah ditempati.” Korupsi bukanlah jalan suci, maka harus dihindari. Ajaran agama-agama tersebut di atas menunjukkan bahwa korupsi dengan segala bentuknya dilaknat agama. Oleh karena itu, masyarakat beragama dituntut untuk menunjukkan kemuliaan ajaran agamanya dengan menjauhi korupsi. Pemilu merupakan momentum untuk memilih pemimpin-pemimpin yang berkualitas baik secara moral maupun professional, pemimpin yang dapat menjauhkan diri mereka dari korupsi. Oleh karena itu, pemilih dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia harus cerdas dan bijak dalam menentukan pilihan. Pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang amanah. Janganlah memilih calon pemimpin atau wakil rakyat dengan alasan pragmatis. Kesalahan pilih dapat mengakibatkan Indonesia lebih terpuruk lagi dalam jurang korupsi yang lebih dalam. B. Kekerasan Atas Nama Agama Kekerasan dapat menjadi salah satu jalan untuk memenangkan satu pertarungan. Terlebih jika si pelaku memiliki potensi dan peluang untuk melakukan tindak kekerasan tersebut karena mempunyai kekuasaan, tenaga dan kekuatan yang besar, jumlah massa yang banyak, sumber finansial yang melimpah, suara yang lebih keras, serta wajah yang menyeramkan. Jika kekerasan dapat tampil sebagai alat untuk menuntut kepatuhan, maka ia mudah sekali dijadikan alat untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Pemilu sebagai ajang untuk memperolehan kekuasaan berpotensi menjadi pemicu terjadinya konflik dan kekerasan. Apalagi jika potensi konflik tersebut sudah ada di masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi konflik terbuka. Potensi konflik itu dapat mencuat menjadi kekerasan politik yang menumpang pada pemilu. Dengan demikian, pemilu dapat membuka peluang untuk mencuatkan potensi konflik menjadi kekerasan politik. Memperhatikan bahwa kekerasan memiliki sifat omnipresent (hadir di mana pun) dan dimediasi oleh sifat dasar manusia yang keras kepala dengan kepentingannya, maka pemilu sebagai sesuatu yang dapat memicu konflik harus dikelola secara baik. Kekerasan dalam pemilu bisa terjadi sebagai akibat 31 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 32 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi adanya persaingan dan konflik kepentingan antar partai dan antar kelompok masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Tidak jarang sentimen keagamaan juga dijadikan bumbu penyedap untuk melakukan kekerasan dalam pesta demokrasi ini. Kekerasan yang melibatkan agama dalam pemilu dapat terjadi karena beberapa sebab seperti perbedaan kepentingan dan pilihan antar agama (perbedaan agama), antar ormas keagamaan, antar aliran dalam agama, dan persaingan antar tokoh/pemuka agama. Perbedaan dukungan politik dari masyarakat agama terhadap tokoh atau partai tertentu menjadi salah satu sebab utama terjadinya persaingan yang berpotensi kekerasan. Potensi kekerasan dalam pemilu juga dapat terjadi jika terjadi persaingan politik antar tokoh/pemuka agama. Dengan perannya dalam komunitas agama, pemuka agama mempunyai massa dan mampu menggerakkan massa. Jika terdapat persaingan politik antar pemuka agama dan mereka menggunakan kekuasaan ini, kekerasan sangat mungkin terjadi. Para pemuka agama yang seharusnya menjadi pengayom umat, ikut menjadi pelaku dari kekerasan tersebut. Mulai dari kekerasan bahasa, fitnah, sampai dengan kekerasan fisik. Persaingan tersebut dapat menjadi semakin kuat jika diikuti dengan politisasi agama. Bahasa dan jargon keagamaan digunakan untuk melegitimasi kekerasan yang mereka lakukan. Hal ini menyisakan pertanyaan, apakah agama-agama memang membolehkan penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan pemilu dan mengatur negara? Secara singkat dapat dikatakan bahwa tidak ada agama yang menghalalkan kekerasan. Kedamaian dan perdamaian sebetulnya menjadi misi bersama semua agama di Indonesia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan negara, kedamaian harus menjadi agenda semua umat beragama. Dalam kaitannya dengan pemilu, pemilu damai harus menjadi agenda bersama umat beragama agar manfaat pemilu itu dapat dirasakan dalam suasana yang lebih kondusif bagi keberlangsungan bangsa ini kedepannya. Jika setiap bagian dari masyarakat mengedepankan aspek damai ini, maka pemilu yang jauh dari kekerasan bisa diwujudkan. Agama Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim yang baik adalah orang yang bisa menjaga perilaku dan tutur katanya dari melanggar hak dan privasi orang lain, sehingga orang lain merasakan kedamaian. Islam juga mengajarkan umatnya untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi (la tufsidu fi’l ardhi) dalam QS al-A’raf ayat 56. Selain itu, QS al-Nahl ayat 125 mengajarkan jika dalam berdakwah terjadi perbantahan (mujadalah), selesaikanlah dengan cara yang beretika, bukan dengan kekerasan. Dalam dunia Kristen, Yesus diyakini mengajarkan kedamaian dan cinta kasih kepada semua manusia. Sebagai “Agama Kasih”, Kristen mengutuk segala tindak kekerasan. Dalam Alkitab banyak ditemukan pernyataan yang tidak membenarkan kekerasan, seperti kutukan terhadap tindak kekerasan antara Kain dan Habel (Kejadian 4:2-15), hukuman pada dunia yang penuh kekerasan dengan banjir di zaman Noah (Kejadian 6: 12-14), larangan bersekutu pada orang yang gemar melakukan kekerasan (Kejadian: 49:5,6) dan ketidaksukaan Tuhan terhadap para pelaku kekerasan (Mazmur 11:5). Dalam tradisi Hindu dan Buddha, Moksa dan Nirvana dapat dicapai jika seseorang berhasil memutuskan lingkaran penderitaan manusia dan berdamai dengan semua persoalan hidup. Dalam Buddha, salah satu tokoh penganjur ajaran non-kekerasan adalah Dalai Lama. Bagi Dalai Lama kekerasan menghalangi seseorang mengeluarkan intelegensi terbaiknya, yaitu kebijaksanaan (wisdom). 33 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 34 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Maka manusia harus bersikap anti kekerasan. Tidak jauh berbeda dengan Buddha, agama Hindu juga sangat dikenal sebagai agama nir-kekerasan. Prinsip Ahimsa (nonviolence) sangat populer terutama semenjak dipraktikkan secara nyata sebagai gerakan pembebasan oleh Mahatma Gandhi. Ahimsa dinukil dari Ahimsa paramo dharmah (tanpa kekerasan adalah dharma tertinggi) yang tertuang dalam kitab Mahabharata. Sedangkan dalam Agama Konghucu, Kitab Analek (Lun Yu) 8.4: 3 menyatakan bahwa seorang yang bijaksana harus jauh dari perilaku kekerasan dan sikap tidak peduli. Aliran realistik Konfusinisme menyatakan bahwa pemerintahan dengan kekerasan seperti diajarkan Hsun Tsu dengan seni perangnya tidak dibenarkan. Dengan demikian, agama Konghucu juga menolak penggunaan kekerasan dalam proses pemerintahan. Penjelasan singkat di atas menunjukkan bahwa semua agama cinta damai. Ajaran-ajarannya mengajarkan umatnya untuk menjaga kedamaian dan menolak kekerasan. Semua umat beragama haruslah menyadari dan menginternalisasi ajaran agama tentang perdamaian ini. Dalam hubungannya dengan proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, pemilu damai harus menjadi bagian dari isu pemilu. Jika Isu damai tentu akan mudah digulirkan karena semua orang dengan latar agama apapun menginginkan terwujudnya kedamaian. Setidaknya ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan guna mewujudkan pemilu tanpa kekerasan. Pertama, semua warga negara republik ini harus sepakat bahwa kekerasan adalah musuh bersama dan karenanya semua celah yang mengarah penciptaan benih-benih konflik harus diminimalisir. Kedua, partai politik dan caleg dalam kampanyenya jangan mengeksploitasi sentimensentimen primordial (termasuk keagamaan) atau kedaerahan. Kedepankanlah sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Keragaman harusnya dikembangkan menjadi asset yang positif, bukan menjadi media untuk melemahkan apalagi menyerang pihak lain. Ketiga, pejabat publik atau pihak terkait harus menghindari pernyataan-pernyataan yang mengarah pada situasi ketegangan, yang kontra produktif dengan semangat damai yang ingin dibangun. Berbicaralah dengan bahasa yang menyejukkan, bukan dengan bahasa yang mengagitasi dan dapat memecah-belah umat. C. Berbuat Curang KECURANGAN DILARANG MASUK E COM WEL Pemilu diyakini tidak hanya sebagai salah satu mekanisme demokratisasi sebuah bangsa, tapi juga bisa digunakan untuk mengukur tingkat kedewasaan sebuah bangsa dalam berdemokrasi. Sejak genta reformasi dimulai tahun 1998, masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap pelaksanaan pemilu yang transparan dan jujur. Semangat berdemokrasi mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2004. Pemilu tidak hanya untuk pemilihan legislatif, tapi juga pemilihan presiden dan kepala daerah. Satu hal yang selalu menghantui pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah kecurangan yang masih banyak terjadi. Setidaknya ada tiga kategori kecurangan pemilu. Pertama, sebelum kampanye. Contohnya adalah kecurangan administratif seperti manipulasi alamat dan pengurus partai, mendahului berkampanye, manipulasi syarat administratif. Kedua, kecurangan di saat kampanye. Contoh konkret yang sering terjadi di level ini adalah kampanye terselubung dan pembelian suara (vote buying). Kampa- 35 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 36 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi nye terselubung lebih memungkinkan terjadi bagi calon legislatif atau eksekutif yang masih menjabat (incumbent) karena kampanye bisa disamarkan dalam bentuk kegiatankegiatan rutin di level grassroot. Kecurangan lain adalah money politics dalam vote buying (pembelian suara) yang biasanya menggunakan strategi “serangan fajar” dengan membagikan sejumlah uang atau sembako kepada para pemilih. Ketiga, kecurangan setelah kampanye, seperti di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kecurangan atau pelanggaran di TPS atau tempat pencoblosan sangat beragam, mulai dari pemilih siluman, pembengkakan kertas suara, penggelembungan atau pengurangan DPT (Daftar Pemilih Tetap), suara hilang, tinta-jari mudah hilang, hingga kotak suara yang hilang. Berbagai kecurangan pemilu di atas sangat paradox dengan fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah relijius. Dengan fakta bahwa lebih dari 95% penduduk Indonesia beragama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu) adalah naïf bahwa banyak terjadi ketidak-jujuran dalam pemilu. Kalau kejujuran kita jadikan tolok ukur relijiusitas bangsa Indonesia, maka nilai keagamaan bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Meskipun telah disusun regulasi untuk menutup peluang kecurangan selama penyelenggaraan pemilu, namun celah-celah potensi kecurangan masih mungkin ada. Dalam ranah sosial keagamaan, kecurangan bisa terjadi dengan pemanfaatan forum-forum agama untuk kampanye politik. Sangat mungkin terjadi simpatisan atau aktivis partai politik dan caleg memanfaatkan kegiatan keagamaan kolektif yang bersifat rutin untuk berkampanye agar anggota kelompok keagamaan tersebut memilih tokoh pilihannya. Kecurangan yang lain juga dapat berupa pengabaian dan permakluman kecurangan pemilu atas nama kepentingan agama. Pada kasus ini, dapat saja terjadi masyarakat/umat beragama mengetahui telah terjadi pelanggaran STOP POLITIK UANG oleh calon tertentu seperti pemberian money politics untuk pembangunan sarana ibadah. Akan tetapi masyarakat tidak menghiraukan pelanggaran tersebut karena mereka menganggap menguntungkan. Bentuk kecurangan lain yang berkaitan dengan umat beragama adalah pencatutan nama ormas keagamaan untuk mendukung parpol atau tokoh tertentu. Dalam pemilu/pilkada, tidak jarang kita dengar parpol atau caleg mengklaim mendapatkan dukungan politik dari ormas keagamaan tertentu, padahal ormas tersebut tidak pernah mendukungnya atau malahan ormas terebut menolaknya. Selain itu, dapat dijumpai beberapa partai politik atau beberapa calon legislatif untuk wilayah pemilihan yang sama mendapat dukungan dari organisasi keagamaan yang sama. Kecurangan-kecurangan tersebut menunjukkan bahwa kelompok keagamaan tidak luput dari tindakan kecurangan, baik sebagai pelaku atau objek. Hal ini meniscayakan pentingnya kontrol internal yang bersumber dari moralitas individu. Pada sisi inilah agama memainkan pe- 37 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 38 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi ran penting sebagai penjaga moral individu. Lalu apa saja ajaran agama-agama yang dapat mengeliminasi praktik kecurangan dalam pelaksanaan pemilu? Semua agama menentang kecurangan karena itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Islam, kecurangan dan perbuatan culas dianggap sebagai kemungkaran (perbuatan dosa). Mengambil atau melanggar hak orang lain merupakan kejahatan. Bantuan atau pemberian uang yang bisa mempengaruhi sikap dan kebijakan dalam berpolitik bisa dikategorikan sebagai suap atau raswah dalam Islam. Hal ini sesuai dengan hadits “penyuap atau yang disuap di neraka”. Sebaliknya, alQur’an memerintahkan untuk menegakkan keadilan (adl) dan kebajikan (ihsan) (QS an-Nahl: 90) untuk meningkatkan kualitas hidup (taqwa) (QS al-Maidah: 8) Dalam Kristen, kecurangan disejajarkan dengan tindakan tak terpuji lain seperti berzina, membunuh, mencuri, bersaksi dusta dan durhaka pada orang tua (Markus 10:19). Curang juga dianggap sebagai salah satu karakter yang menyebabkan orang sulit masuk dalam Kerajaan Tuhan. Sikap curang atau licik juga ditentang oleh Konghucu. Dalam Lun Gi XIV: 4 disebutkan larangan memilih rekan yang curang dan lemah dalam hal-hal baik. Konghucu yakin bahwa orang semacam itu akan membawa celaka. Dalam ajaran Buddha, kecurangan termasuk pelanggaran banyak butir dari Hasta Arya Marga (delapan jalan kebaikan). Setidaknya pelanggaran terhadap samma sankapa (maksud benar), samma vaca (perkataan benar), samma samanta (perilaku benar). Oleh karena itu, selembut apapun bentuk kecurangannya tidak dapat dibenarkan dalam Agama Buddha. Dalam Agama Hindu, kecurangan termasuk mudita (perilaku tidak menyenangkan orang lain) yang merupakan salah satu achubakarma (tindakan tercela). Untuk menjaga diri agar tidak berbuat curang, Agama Hindu mengajarkan Sila Paramita, yaitu berfikir, berkata, dan berbuat yang baik, suci dan luhur. Seiring dengan semangat demokrasi, kecurangankecurangan dalam pemilu harus secara terus-menerus dilawan dan dihilangkan. Di berbagai level, harus terus ditanamkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Kesadaran untuk berdemokrasi secara jujur dan transparan harus dimulai dari diri kita sendiri (ibda’ bi nafsik). Komunitaskomunitas agama hendaknya berlomba-lomba menunjukkan kejujuran yang merupakan bagian dari keluhuran ajaran masing-masing. Dari sini, akan tercipta pemilu yang jujur dan terjauh dari segala bentuk kecurangan yang bukan hanya merusak pemilu itu, tetapi juga merusak masa depan bangsa dan negara. D. Diskriminasi Atas Nama Ajaran Agama Diskriminasi adalah bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan yang dilakukan terhadap kelompok sosial tertentu yang bertujuan atau berdampak tidak terpenuhinya keadilan dan kesetaraan. Salah satu makna adil dalam pemilu adalah tidak membatasi dan membeda-bedakan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari proses dan hasil pemilu bagi siapapun tanpa harus melihat keyakinan, agama, gender, orientasi seksual, etnis, ras, difabilitas, dan hal-hal pembeda lainnya. Kebanyakan masyarakat cenderung memilih wakil atau pimpinan yang mempunyai kesamaan keyakinan, aliran, agama ataupun kelompok sosial keagamaan. Karena kecenderungan ini, banyak calon wakil rakyat atau pemimpin yang berkualitas tidak mendapatkan kesempatan untuk memaksimalkan potensinya di dunia politik. Bahkan di beberapa tempat di Indonesia, perbedaan ini sengaja digunakan oleh kelompok tertentu sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Karena tidak ada sensitifitas akan kelompok yang berbeda, banyak kalangan tidak merasa kalau sebenarnya mereka sudah bersikap dan berperilaku diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Ter- 39 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 40 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi jadinya diskriminasi biasanya dikarenakan adanya kecurigaan. Kecurigaan terjadi karena bisanya tidak saling mengenal. Semua agama Proses pelaksanaan pemilu melarang disyang telah lalu masih menunjukkan terjadinya diskriminasi. Misalnya kurangnya keterwakilan kriminasi manuperempuan di parlemen baik di sia satu atas pusat maupun di daerah. Walaupun secara angka hasil pemilu lainnya. mengalami kenaikan dari 6.25 di tahun 1955 persen sampai 17.86 persen di tahun 2009, namun peningkatan tersebut jauh dari angka critical mass 30 persen, yaitu angka minimal di mana suara perempuan seharusnya diperhatikan dalam kehidupan politik. Padahal berdasarkan Sensus penduduk 2000, jumlah perempuan mencapai 51 persen dari total penduduk. Masih adanya diskriminasi selama penyelenggaraan pemilu yang telah lalu menunjukkan rendahnya kesadaran akan nilai anti-diskriminasi. Ajaran agama menjadi salah satu alat yang kerap digunakan sebagai justifikasi yang melanggengkan praktik diskriminasi dalam pemilu. Diskriminasi ini mewujud dalam betuk pengabaian terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang dianggap sesat, dan tafsir doktrin agama untuk mendiskriminasi perempuan dan kelompok disabilitas. Dalam proses pemilihan pemimpin, keberadaan kelompok umat agama dan keagamaan minoritas seperti tidak terlihat. Dalam setiap proses pemilihan pemimpin atau wakil rakyat, mereka terabaikan. Mereka hanya dijadikan alat untuk mendulang suara. Tidak ada peluang bagi mereka untuk mengajukan calon pilihan mereka. Kalaupun ada peluang, calon mereka terjegal di tengah jalan. Selain itu kalangan perempuan dan disabilitas juga sering kali menjadi korban tafsir keagamaan untuk kepentingan politik. Berdasarkan pemahaman terhadap ajaranajaran agama, sebagian kelompok agama menolak calon perempuan. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin karena bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, terdapat pula pemikiran politik keagamaan yang menyatakan pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Ini menjadikan kelompok difabilitas terdiskriminasi. Namun perlu dipertanyakan lagi, apakah benar bahwa agama membenarkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tersebut? Apakah agama tidak mengajarkan nilai-nilai egaliter? Semua agama melarang diskriminasi manusia satu atas lainnya. Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat, kasih sayang bagi semesta). Bahkan, konsep Baldatun tayyibatun warabbun ghafur (negara yang baik dan di bawah ampunan Tuhan) dalam al-Qur’an merujuk kepada negara yang dipimpin oleh seorang perempuan, Ratu Bilqis (Sheba), sebelum bertemu dengan Nabi Sulaiman. Artinya, Al-Qur’an mengakui keberhasilan seorang pemimpin, bahkan di sini pemimpin perempuan, walaupun dari kalangan non-Muslim. Kelebihan dan keutamaan manusia bukan ditentukan oleh keturunan, jenis kelamin, atau kelengkapan anggota badan, tetapi karena kualitas intelektual (ilmu pengetahuan/ QS al-Mujadalah: 11) dan kualitas emosional dan spiritual (taqwa/QS al-Hujurat: 13). Selain itu Hadits nabi juga menjunjung tinggi profesionalisme dengan memberikan tanggung jawab penuh kepada manusia dalam melakukan perbuatan. Ajaran tentang kesetaraan juga diteguhkan dalam Perjanjian Baru. Dalam Galatia 3:28 dinyatakan bahwa Yahudi maupun Yunani, hamba maupun merdeka, laki maupun perempuan semua dapat menjadi anak Tuhan dan satu dalam Kristus. Doktrin ini jelas bahwa Kristen tidak mempermasalahkan diferensiasi ras, suku, gender, 41 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 42 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi maupun status sosial. Agama Konghucu dalam sejarahnya memang hadir untuk menentang diskriminasi. Konsep wu lei (tanpa diskriminasi) diterapkan oleh Konfusius untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Cina sehingga hak pendidikan, ekonomi dan politik semakin terjamin dengan berkembangnya ajaran-ajaran Konghucu. Dalam Agama Buddha diskriminasi juga tidak dibenarkan. Ini tercermin dalam ucapan salam yang lazim digunakan umat Buddha yaitu Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia. Selain itu, Agama Buddha juga memiliki konsep karuna atau cinta kasih universal. Karuna berlaku untuk siapa pun tanpa memandang perbedaan, meskipun terhadap musuh. Dalam Hindu, dikenal prinsip tat twam asi (engkau adalah aku). Ini merupakan kaidah persaudaraan universal yang sangat egaliter karena senantiasa mengandaikan orang lain sebagai diri sendiri. Implikasi logis dari prinsip ini adalah tidak adanya diskriminasi terhadap orang lain karena pada akhirnya semua manusia diposisikan sama. Agama-agama pribumi di Indonesia pun secara umum mengajarkan penghormatan antarsesama manusia dan melarang diskriminasi. Fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim tidak selayaknya digunakan untuk menghalangi calon wakil rakyat atau pemimpin eksekutif (presiden, gubernur, bupati) yang berasal dari agama lain. Sebaliknya, non-Muslim pun tak perlu alergi terhadap calon Muslim. Pemilih yang cerdas, adalah pemilih yang mengedepankan kualitas dibanding kepentingan kelompok. Memang bukan suatu yang salah jika seseorang memilih pemimpin yang berasal dari kelompok atau orang yang sama dengan keyakinan/agamanya, asal dibarengi kesadaran kritis bahwa mereka dipilih karena mempunyai kemampuan memimpin yang bagus. Ini juga akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok disabilitas. Memilih pemimpin bukan karena jenis kelamin dan kes- ehatan fisik saja tetapi karena kualitas. Sudah bukan masanya lagi kita menggunakan isu-isu suku, agama, ras, gender, orientasi seksual, dan hal-hal pembeda lainnya sebagai alat politis untuk mendiskriminasi orang atau kelompok lain. Pemilihan yang hanya dimotivasi oleh sikap diskriminatif hanya akan memilih pemimpin-pemimpin yang tidak berkompeten dan diskriminatif pula terhadap rakyatnya. E. Transaksi Politik Pemuka Agama Politisi dan pengamat Politik berpendapat bahwa demokrasi masih merupakan sistem politik terbaik dibanding sistem-sistem yang lain. Demokrasi dipandang mampu memberikan peluang yang sama pada seluruh warga negara untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam proses politik melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) yang digelar secara periodik. Apapun profesi, jenis kelamin, etnis, maupun agama warga negara, pada dasarnya mereka memiliki peluang yang sama untuk memilih maupun dipilih, baik sebagai anggota legislatif maupun pemimpin eksekutif (bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, maupun presiden/wakil presiden). Namun, gambaran ideal demokrasi dan Pemilu sebagaimana di atas kadang hanya terjadi dalam catatan buku-buku ilmu politik. Tidak jarang pemilu hanya menjadi “mainan” sekelompok orang elit yang memiliki kelebihan sumber daya maupun sumber dana. Semua tahu bahwa untuk maju menjadi anggota legislatif diperlukan biaya yang tidak sedikit. Dana yang dimiliki oleh Partai Politik (Parpol) juga terbatas. Karena itu, untuk menutup ongkos politik tersebut, partai politik cenderung memilih bakal calon (balon) legislatif yang siap dan bersedia untuk menutup segala rupa biaya politik yang diperlukan. Pada kontek inilah pemilu hanya menguntungkan kaum elit berduit. 43 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 44 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Selain lebih banyak menguntungkan kaum elit berduit, tidak jarang pemilu juga hanya menjadi “mainan” para elit Parpol. Hampir setiap Parpol memiliki mekanisme dan kriteria tersendiri untuk menjaring dan menentukan siapa saja dari kadernya yang layak diusung dalam Pemilihan Kepala Daerah maupun sebagai calon anggota legislatif. Penentuan kelayakan seorang kader sebagai calon bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, maupun presiden/wakil presiden, serta calon legislatif biasanya dilakukan oleh sebuah tim khusus yang dibentuk oleh parpol. Praktiknya, kerja tim khusus tersebut sering didominasi oleh tokoh tertentu dalam sebuah Parpol, apakah karena posisinya sebagai ketua dewan syura, ketua dewan pembina, ketua umum partai, maupun sebagai pendiri suatu partai. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada dinamika penentuan nomor urut calon legislatif serta penentuan pasangan calon pimpinan eksekutif yang direkomendasi oleh dewan Pimpinan Pusat suatu Parpol, yang kadang menimbulkan gejolak ketidakpuasan yang diakibatkan oleh keputusan DPP yang berseberangan dengan suara kader di tingkat bawah. Pada konteks inilah, demokrasi prosedural dan Pemilu di Indonesia masih lebih banyak memberi kuasa berlebihan pada elit-elit Parpol tertentu. Kelompok elit memiliki pengaruh modal atau kapital, kuasa dan akses, serta karisma tertentu terutama di kalangan elit agama. Dalam praktik demokrasi, kaum elit dianggap punya pengaruh lebih kuat dibanding masyarakat biasa. Elitisme ini membuat sebagian orang bersikap pesimis terhadap kemurnian proses dan hasil pemilu seolah pemilu hanya ajang pertarungan kaum elit, sementara rakyat biasa hanya sebagai alat dan komoditas politik. Kelompok elit agama juga tidak jarang ikut terlibat dalam problem elitisme ini. Para pemuka agama, dengan peranannya dalam komunitas keagamaan memanfaatkan kedudukannya untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Masyarakat beragama memilih pemimpin dan wakil rakyat bukan atas pertimbangan kepentingan mereka, tetapi untuk kepentingan pemuka agama. Akibatnya, pemimpin dan wakil rakyat terpilih bersuara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi kepentingan kelompok elit. Pemilu hanya berfungsi sebagai media transaksi kepentingan elit agama. Kegelisahan ini melahirkan pertanyaan, apakah agama membenarkan elitisme menjadi hegemoni dalam pemilu? Elitisme sesungguhnya tidak sejalan dengan ajaran agama-agama yang ada di Indonesia. Agama Islam mengajarkan bahwa manusia berasal dari asal yang sama “min nafsin wahidah” (QS. An-Nisa (4):1). Islam juga mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan (Allah). Kualitas diri “takwa” (QS. Al-Hujurat (49): 13) dan pengetahuan “ilmu” (QS. AlMujadalah (58): 11) yang menjadikan manusia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan manusia yang lain. Sebuah hadits Nabi juga sangat menghargai kemandirian manusia dengan menyatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih. Dalam tradisi Kristen, Mereka yang berperan sebagai pemimpin dan penatua pada hakikatnya adalah penggembala. Seorang penggembala harus memperhatikan kepentingan rakyat biasa (Yeremia 2:8), melindungi rakyat (Yeremia 3: 15), dan tidak arogan (Matius 20: 25-27). Sehingga Kristen tidak membenarkan jika dalam praktik demokrasi ada kaum elit yang berseberangan dengan konsep gembala dalam Al-Kitab tersebut. 45 Bab 2 Kemunkaran Umat Beragama Dalam Pemilu 46 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Hal yang sama juga terdapat dalam Agama Buddha. Sang Buddha (Sidharta Gautama) memang berasal dari kalangan elit. Ia adalah seorang pangeran. Namun upayanya menempa diri mencari kebenaran membuatnya mencapai kebuddhaan atau pencerahan lalu menuntunnya menjadi seorang bijak bestari sehingga dapat memimpin umat dengan penuh keadilan. Dalam Agama Hindu dikenal catur warna (empat golongan) yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pengelompokan kasta. Catur warna bukanlah strata sosial, namun sekedar pembagian peran agar kehidupan sosial berjalan berimbang. Kelompok Brahmana dan Ksatria yang terkesan elit sejatinya berkedudukan sama dengan golongan Wesya dan Sudra. Sehingga dalam peran sosialnya (dharma), keempat warna tersebut harus saling melengkapi supaya kebutuhan umat terpenuhi. Dalam Agama Konghucu, tokoh utama sayap realistik Konfusianisme yaitu Hsun Zu mengajarkan bahwa kalangan elit boleh menjadi pemimpin asalkan memiliki kriteria Shi, yaitu sifat cendikia dan mampu menguasai lapangan, tidak hanya duduk di singgasana kekuasaan. Dengan demikian, seorang pemimpin tidak boleh merasa nyaman dengan posisi elitnya, namun harus bekerja pada medan nyata di masyarakat akar rumput. Ajaran-ajaran berbagai agama di atas mengajarkan kepada kita bahwa proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat bukanlah hanya untuk kepentingan elit atau menciptakan kelompok elit dalam masyarakat yang abai terhadap rakyat, tetapi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang memahami kebutuhan rakyat dan dapat meberikan solusi bagi persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat secara cerdas. Bab 3 Harapan dalam pemilu Partisipasi Meningkat Mengingatkan Penguasa Menegakkan Keadilan Sejahtera PEMILU 2014 PEMILU 2014 PEMILU 2014 PEMILU 2014 48 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi A. Kesejahteraan Rakyat Pemilu adalah bagian penting dari mekanisme sistem demokrasi. Rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat serta presiden dan wakil presiden secara langsung. Para wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden ini secara bersama-sama menjalankan roda pemerintahan. Mereka juga pada gilirannya memilih para penegak hukum di lembaga yudikatif. Pemilu, karena itu, adalah kegiatan yang sangat penting untuk memilih para anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang berkualitas dan berintegritas, yang mampu memperjuangkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak. Pemilu adalah salah satu pintu gerbang menuju kesejahteraan, namun sekaligus juga pintu gerbang ke arah kesengsaraan. Menjadi pintu gerbang menuju kesejahteraan jika pemilu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh warga Negara untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin eksekutif yang mumpuni, kapabel, kredibel, dan mau serta mampu berjuang untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang demikian diharapkan mampu melahirkan produk legislasi dan kebijakan yang pro-rakyat. Untuk itu, pemilih harus jeli dan peduli untuk memilih wakil-wakil yang betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Sebagai rakyat hendaknya kita tidak mau dibeli, tidak mau disogok, tidak mau ditakut-takuti atau diintimidasi. Kita hendaknya memilih pemimpin yang berdarma bakti pada ibu pertiwi dan mengabdi demi kesejahteraan rakyat. Tentang kesejahteraan rakyat, Undang-undang Dasar 1945, pasal 33, dengan jelas menyatakan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak 49 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan terkait dengan kaum lemah, dhuafa, pasal 34 mengatakan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ini semua sampai sekarang masih jauh panggang dari api. Namun, dengan memilih wakil rakyat dan pemimpin yang kompeten dan mempunyai visi kesejahteraan rakyat, citacita ini bukan tidak mungkin terwujudkan. Sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin, pemilu dapat dijadikan permulaan untuk menyeleksi pemimpin yang berkualitas dan bertanggungjawab. Pemilu harus membawa perubahan kebijakan politik yang membawa kesejahteraan bagi mereka. Namun kadangkala itu hanya harapan kosong karena orang-orang yang mereka pilih Pilih Pemimpin yang : BE RK U A L ITA S PR OF E SIO NAL JU J UR A NTI KO RUP SI A MA N A H PRO-R A KYA T K O MP E T E N K R E DI BEL A DI L 50 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi tidak menjalankan amanatnya dengan baik. Ini terjadi karena rakyat terlena dengan janji-janji para calon pemimpin dan wakil rakyat yang sedang mencari simpati rakyat pada saat kampanye. Tidak jarang, di antara mereka merogoh saku untuk membeli suara rakyat (money politics). Akan tetapi, setelah mereka terpilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat, mereka menjauh dari rakyat. Alhasil, pemilu yang diharapkan membawa kebaikan, tidak membawa kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagaimana pandangan agama-agama tentang peran pemerintahan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat? z Z ..z Dalam berbagai agama, cita-cita peningkatan kesejahteraan sangat dijunjung tinggi. Kesejahteraan bersama menjadi salah satu misi agama-agama yang ada. Dalam Islam, setiap manusia adalah khalifah (wakil, pengganti) Allah di atas bumi yang berkewajiban memakmurkan, mereformasi (ishlah) dan membangun peradaban yang berkesejahteraan di atasnya. Dalam kaitan antara pemimpin dan rakyat, dalam Islam terdapat satu kaidah “tasarrufu al-ra‘i ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bi almashlahah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya haruslah dibimbing oleh prinsip kemaslahatan). Kemaslahatan rakyat adalah kesejahteraan baik secara material-ekonomik maupun mental-spiritual. Ujung dari semua ini, menurut Islam, adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik yang dilimpahi ampunan Tuhan). Ini hanya bisa dilakukan jika pemimpin dan wakil rakyat terpilih adalah orang-orang yang amanah (berintegritas). ...Z ..... Kesejahteraan yang berlimpah adalah salah satu tujuan pemerintahan yang baik, sebagaimana dicontohkan oleh Salomo dalam kitab Mazmur 72: 7. Umat Kristen mengakui kepemimpinan Salomo yang selalu menyebutkan kesejahteraan umat dalam doa-doanya. Hal ini merupakan bukti apresiasi iman Kristiani terhadap kesejahteraan warga sebagai salah satu tujuan bernegara. Selain itu, Yeremia 29:7, menganjurkan umatnya untuk berpartisipasi dalam menyejahterakan negara demi kesejahteraan manusianya. Pandangan Agama Konghucu tentang kesejahteraan tertuang dalam Analek XV: 1-5 di mana negara yang sejahtera hanya akan terjadi jika pemerintah menjalankan fungsinya dengan benar. Dalam konteks ini, jika pemilu dijalankan dengan benar, maka kesejahteraan negeri telah menanti. Dalam Agama Buddha, menciptakan kesejahteraan dapat dikategorikan dalam Puññakiriyavatthu (medan perbuatan berjasa) yang di dalamnya termasuk perilaku berjasa melalui materi (Danamaya) sekaligus perilaku berjasa karena kebaikan moralitas (silamaya). Dalam Hindu juga didapati petuah untuk mendedikasikan potensi diri demi kesejahteraan orang lain. Anjuran tersebut disebutkan dalam Bhagawata Purana: 10.22.35, sebuah kitab bagian dari Bhagavad Gita. Orientasi untuk membangun kesejahteraan dan ketertiban masyarakat tersebut dalam Hindu disebut sebagai Lokasamgraha. Agama-agama pribumi di Indonesia pun mengidealkan tatanan masyarakat yang sejahtera. Orang-orang kejawen di Jawa, misalnya. mengenal konsep gemah ripah loh jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo (tanah yang subur, adil, makmur kaya dengan hasil buminya, tersusun rapi, adil, damai dan sejahtera). Oleh karena itu, penciptaan kesejahteraan adalah hal niscaya, bukan hanya secara politik namun juga secara keagamaan, yang harus dilakukan oleh para pemimpin. Memilih pemimpin yang mampu mewujudkan itu, dalam 51 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 52 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi hal ini melalui pemilu yang jujur, adil dan transparan, juga merupakan hal niscaya. Namun, yang tidak kalah penting adalah kualitas pemimpin dan wakil rakyat yang kita pilih. Pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas (amanah). Setelah memilih wakil dan pemimpin yang diyakini terbaik dalam pemilu, rakyat harus ikut mengontrol wakil-wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin yang mereka pilih agar mereka bekerja dalam jalur yang benar dan melahirkan produk perundang-undangan dan kebijakan yang menjamin kesejahteraan rakyat. B. Kewajiban Mengingatkan Penguasa Adanya penyelenggaraan pemilu secara rutin, teratur dan berkelanjutan setiap lima tahun sekali merupakan bagian dari budaya tata pemerintahan yang baik. Melalui pemilu, warga masyarakat dapat memberikan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja pemerintahan, baik yang berada di legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu pula, warga dapat menggunakan haknya untuk memutuskan apakah akan terus mempertahankan para elit-pemimpin yang ada dalam pemerintahan atau memilih elit pemimpin baru dalam pemerintahan. Dalam konteks semacam ini pelaksanaan pemilu sangat penting bagi warga negara karena dapat dijadikan sebagai sarana untuk memberi hukuman pada para pemimpin yang tidak amanah dalam menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat, sebagai presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat. Pemilu juga sebagai cara warga masyarakat memperbaharui legitimasinya terhadap para wakilnya di parlemen dan juga di kepemimpinan eksekutif. Pemilu menjadi sarana rakyat melakukan kontrol terhadap sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, rakyat perlu terus menerus berupaya mening- u Ak Aku ya unya P Pun n han iliha P Pili ri diri endi S Sen ai rtBab Pa A 3 Harapan Dalam Pemilu tai ar P C katkan kualitas penyelenggaraan pemilu.taiSeperti, mengr kritisi para calon wakil rakyat, calon presiden dan wakil Pa B presiden yang akan diajukan oleh partai politik. Apakah para calon legislatif (caleg) itu orang yang selama ini memiliki rekam jejak yang baik, yakni memiliki prestasi, kompetensi, dan integritas, ataukah rekam jejak yang buruk, seperti terlibat kriminalitas, kejahatan lingkungan, pelanggaran HAM dan kasus korupsi lainnya. KOTAK SUARA n di Kedaulata kyat an Ra Tang lu 2014 Pemi n a k i Jad g u yan Pemil KR DEMO ATIS Melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan sejatinya merupakan bagian dari perintah agama-agama. Agama-agama mengajarkan para penganutnya untuk saling mengingatkan. Islam mengajarkan umatnya untuk saling memberi nasihat dalam kebaikan dan kesabaran (QS. Al-Ashr (103):3). Nabi Muhammad juga bersabda “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengi- 53 Gak Ada yang Bisa Maksa-Maksa Kamu Buat 54 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi kutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (H.R. Muslim). Dalam konteks pemerintahan, sejarah Islam juga mencatat ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah pertama, pesan pertama kepada umat Islam adalah meluruskan tindakannya sehingga tidak menyimpang dari ajaran agama. Ini menunjukkan dukungan Islam terhadap kontrol rakyat terhadap pemimpin mereka. Dalam Kristen, dikenal Rasul Paulus yang bekerja mengingatkan bangsa-bangsa untuk memperbaiki pemerintahannya. Surat-surat Paulus kepada Tesalonika, Timotius, Titus, Filemon, Ibrani dan bangsa atau umat lainnya mencerminkan kritik konstruktif Paulus tidak hanya dalam membangun jemaat gereja tapi juga pemerintahan sebuah bangsa. Oleh karenanya, aktifitas Paulus dapat pula dilihat sebagai sebuah kontrol terhadap pemerintahan. Dalam Konghucu, kontrol terhadap pemerintah justru diharuskan. Dalam Kitab Li Ji (IIA,1:2) ”Melayani pemimpin harus berani menyanggah, dan tidak ada yang disembunyikan”. Rakyat berhak menyanggah kebijakan pemerintah manakala didapati ketidakbenaran atau ada sesuatu yang transparan. Ajaran tersebut menegaskan bahwa Konghucu menolak pemerintahan yang tak mau dikritik oleh rakyatnya. Bahkan sejak abad XII, Dinasti di Cina sudah menerapkan trias politika yang dikonsepsikan oleh seorang Confucian bernama Han Fei Zi, sebuah konsep pemerintahan terkontrol oleh rakyat yang baru akan diterapkan kembali di Eropa pada abad XVII. Dalam ajaran Agama Buddha juga ditemukan anjuran pentingnya memberikan kontrol kepada penguasa. Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami ibarat kereta dengan dua roda pada satu poros, yaitu roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Kedua roda tersebut harus berjalan seimbang, jika tidak maka kekuasaan akan cenderung menyeleweng. Oleh karena itu tugas umat Buddha adalah mengontrol untuk memastikan agar roda pemerintahan tidak menyeleweng. Dalam ajaran Agama Pemilu Hindu, kontrol terhadap adalah fase pemerintah sangat mudah ditemukan. Cerita untuk menentukan pewayangan yang siapa saja yang akan diinspirasi dari dua menjadi pemimpin dan kitab Hindu (Mawakil rakyat. Oleh karena itu, habharata dan Ramayana) banyak jadikanlah pemilu sebagai berisi kritik terhatitik awal kita untuk dap pemerintahan. mengontrol jalannya Kontol terhadap pemerintah dibenarkan pemerintahan. dalam Agama Hindu, sebab di antara Panca Dasa Pramiteng Prabu (limabelas syarat menjadi pemimpin) terdapat syarat: harus terbuka pada rakyat (Dibyacita),(tidak mementingkan pribadi atau golongan (Tan satresna), penyayang pada semua rakyat (Masih sastra buana), dan selalu memiliki motivasi penabdian pada negara (Sumantri). Syarat-syarat tersebut mengharuskan pemimpin untuk selalu legawa menerima kritik dan kontrol dari rakyat. Doktrin agama-agama tersebut di atas mengajarkan kepada para pemeluknya untuk tidak hanya peduli, tetapi juga kritis terhadap pemerintah. Pemerintah dan rakyat harus memahami hak dan kewajiban mereka masingmasing sehingga terjalin kerjasama demi kepentingan bersama. Dalam konteks ini, pemilu adalah fase untuk menentukan siapa saja yang akan menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Oleh karena itu, jadikanlah pemilu sebagai titik awal kita untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Gunakanlah peluang ini untuk menggunakan hak suara dengan bijak. Janganlah memilih pemimpin dan wakil rakyat untuk kepentingan sesaat. Pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas (amanah). 55 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 56 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi C. Partisipasi Umat Beragama Pemilu merupakan salah satu media demokrasi di Indonesia. Pemilu di Indonesia digelar dalam waktu lima tahun sekali. Dalam “pesta demokrasi itulah, partisipasi rakyat di Indonesia diperlukan. Partipasi rakyat dalam bidang politik menjadi sebuah kensicayaan karena terkait dengan penentuan masa depan Indonesia untuk kurun waktu lima tahun mendatang. Partisipasi politik menurut Michael Rush dan Philip Althoff adalah bentuk keterlibatan individu dalam aktivitas politik pada sebuah sistem politik. Mereka mendeskripsikan partisipasi politik sebagai sebuah bentuk hierarkhi sosial. Hierarkhi pertama, ditempati oleh orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam sistem politik atau administratif, baik pemegang jabatan politik maupun anggota birokrasi pada berbagai tingkatan. Hierakhi kedua, diduduki oleh mereka yang menjadi anggota aktif dari berbagai tipe organisasi politik atau semu politik, yang mencakup semua tipe partai politik dan kepentingan. Hierkakhi ketiga, ditempati oleh keanggotaan pasif suatu organisasi politik. Hierarkhi keempat, yaitu ditempati oleh orang yang berpartispasi seperti dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya. Hierarkhi yang kelima, ditempati oleh orang yang berpartisipasi dalam diskusi politik informal dalam politik, seperti voting (pemberian suara). Akan tetapi, tidak semua anggota masyarakat mau bergabung dalam kelima hierarkhi tersebut di atas. Adanya golongan putih (tidak menggunakan hak pilih) mengindikasikan bahwa masih ada rakyat yang tidak mau berpartipasi aktif dalam pemilu. Keengganan mereka untuk berpartisipasi dalam dalam aktivitas politik karena beberapa hal seperti: apatis, sinis, alienasi (terasing) dan anomi (terpisah). Dalam dinamika pemilu yang terjadi di Indonesia, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia mengalami fluktuasi sesuai dengan konteks zamannya. Masih adanya masyarakat yang tidak berpartisipasi (golput) dalam pemilu, mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat Indonesia ini belum menyadari bahwa partisipasi politik mereka berperan penting dalam tata kelola pemerintahan negara ini. Dalam konteks sosial keagamaan, malah terdapat sebagian kelompok masyarakat yang mengatas-namakan ajaran agama untuk tidak berpartisipasi dalam bidang politik. Di kalangan umat Islam, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang menolak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka mengangap bahwa Pemilu itu adalah bagian dari sistem kufur karena demokrasi mereka anggap sebagai sistem kufur. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sebagian besar ummat Islam dan organisasi Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Mathla’ul Anwar, dan juga MUI. Organisasi-organisasi keagamaan ini mengakui sistem demokrasi tidak bertentangan dan bahkan selaras dengan Islam. MUI malah mengeluarkan fatwa bahwa tidak ikut memilih dalam Pemilu hukumnya adalah haram. Hal ini terkait dengan wajibnya mempunyai pemimpin (nashb al-imam), yang kemudian membuat jalan menuju terpilihnya pemimpin menjadi wajib juga. Dalam al-Qur’an ajaran yang relevan dengan pemilihan umum adalah ajaran tentang kesaksian (syahadah). Seorang Muslim jika dimintai persaksiannya, maka ia harus mem- 57 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 58 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi berikan kesaksian yang benar (baca: QS al-Baqarah 2: 282-283). Walau awalnya itu dalam konteks kesaksian pengadilan, namun sebenarnya ini berlaku secara umum. Terlebih lagi jika kesaksian itu berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat luas. Selain itu, untuk menjamin kemaslahatan masyarakat luas (mashlahah ‘ammah), maka partisipasi umat Islam dalam politik (dalam berbagai tingkatannya di atas) dan kehidupan sosial sangatlah diharapkan. Alkitab memerintahkan kepada umat Kristen untuk melakukan apa yang semestinya dilakukan sebagai warga negara seperti membayar pajak, membayar cukai, dan menghormati pemerintahan (Roma 13: 5-7). Artinya seorang Kristiani memang harus berpartisipasi aktif dalam proses politik yang sehat. Sebagai sebuah agama yang mengedepankan etika bermasyarakat dan bernegara, Konghucu mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Hal ini tercermin dalam konsep Zhi Guo, yaitu partisipasi untuk negara, yang sering disandingkan dengan konsep Ping Tian Xia atau aktif menjaga perdamaian dunia. Keduanya menekankan unsur keaktifan berpartisipasi di kancah politik untuk tujuan kemanusiaan. Selain itu, menurut Xun Zi, ajaran Konghucu dapat dibagi menjadi Xiao Ru (Mikro Khonghucu) yang mengajarkan moralitas individu dan membangun keluarga, dan Da Ru (Makro Khonghucu) yang mengajarkan cara membangun negara menjadi kuat, kaya dan sejahtera. Dengan konsep da ru ini Konghucu memerintahkan umatnya untuk partisipasi aktif dalam bernegara. Meskipun cukup dikenal dengan sikap asketis yang menarik dari dari permasalahan dunia, Buddha juga memiliki anjuran kepada umatnya untuk berpartisipasi aktif untuk kehidupan bernegara. Hal ini dapat dilihat dari sikap Buddha Gautama terhadap seorang pertapa bernama Kassapa yang terlalu asketis. Dalam kisah yang dimuat dalam Mahāsīhanāda Sutta tersebut Buddha mengajar- kan untuk tetap praktik dhamma di masyarakat dengan hasta arya marga yang didalamnya terdapat anjuran Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar. Semuanya itu juga dapat diwujudkan dalam partisipasi demi kesejahteraan bangsa. Dengan demikian partisipasi politik juga merupakan perwujudan dharma yang nyata. Partisipasi politik menurut Hindu dapat digolongkan dalam Drewya Yadnya, yaitu karya suci di ranah sosial demi kebahagiaan bersama. Drewya Yadnya dibedakan dari Tapa Yadnya yang merupakan karya suci namun dalam bentuk perbaikan batin melalui samadhi, adapun Drewya Yadnya diwujudkan dalam aktifitas nyata yang dapat dirasakan manfaatnya secara sosial. Ajaran-ajaran tersebut di atas menunjukkan bahwa agama-agama yang ada di Indonesia memandang penting keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga rakyat. Salah satu media penting bagi partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan negara adalah pemilu, kesempatan rakyat untuk memilih pemimpin pilihan mereka. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat beragama, hendaklah berpartisipasi aktif dalam proses penyelenggaraan negara dengan bersama-sama menyukseskan pemilihan umum, demi terpilihnya pemimpin-pemimpin yang kompeten dan mampu membawa rakyat dan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. D. Menegakkan Keadilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah bagian dari falsafah bangsa ini, tepatnya dalam sila kelima dari Pancasila. Keadilan untuk rakyat hanya dapat lahir dari sistem yang dibangun atas dasar keadilan. Salah satu indikatornya adalah, pemerintahan tersebut merupakan representasi atau keterwakilan suara rakyat. 59 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 60 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Sedangkan pemilu merupakan mekanisme terbaik untuk mengakomodasi perwakilan rakyat secara adil. Pemilu merupakan satu-satunya sistem yang menjamin keadilan karena setiap warga punya hak yang sama dalam mempengaruhi proses politik. Melalui pemilu, hak warga baik untuk dipilih maupun untuk memilih, sama-sama menemukan signifikansinya. Keterlibatan warga dalam mensukseskan pemilu sangat menentukan keberhasilan pemerintah dalam mendistribusikan keadilan. Sebaliknya, sikap apatis dan enggan berpartisipasi dalam pemilu (golput) merupakan cerminan sikap warga negara yang kurang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa. Setiap suara yang digunakan untuk mendukung satu wakil terbaik akan memberikan peluang bagi wakil tersebut untuk terpilih, sehingga pada gilirannya wakil tersebut akan dapat berbuat lebih banyak bagi masyarakat dalam rangka memperjuangkan keadilan. Sebagai pintu harapan bagi terciptanya keadilan, pemilu juga harus berproses secara adil, yaitu dengan menerapkan electoral justice (Prinsip Keadilan Pemilu). Prinsip ini menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan putusan terkait proses pemilu harus sejalan dengan undang-undang, dan bahwa hak turut serta dalam pemilu dilindungi, serta adanya jaminan bagi rakyat yang haknya dilanggar untuk menggugat, didengarkan, dan dimediasi. Pemilu yg dijalankan dengan benar menjamin setiap daerah dan setiap komunitas menentukan sendiri wakilwakil mereka untuk duduk dalam kursi-kursi dewan dan pemerintahan. Dengan demikian pemilu memberikan me- kanisme yg adil dalam menentukan keterwakilan. Dengan adanya keadilan dalam keterwakilan, semestinya kebijakan-kebijakan yang nantinya dilahirkan oleh wakil-wakil terpilih bisa membela orang-orang yang diwakili. Para wakil terpilih adalah pemimpin-pemimpin yang berkewajiban menunaikan amanat yang diembannya terutama untuk membela masyarakat agar mendapatkan hakhaknya secara adil, baik dalam ekonomi, kesejahteraan sosial, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemilu menjadi pintu masuk bagi terwujudnya harapan rakyat untuk menikmati keadilan dalam segala hal. Pemilu semestinya dapat menjadi titik perubahan ke arah yang lebih baik. Pemilu harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Namun dalam praktiknya penegakan keadilan masih terbilang mahal di Indonesia. Ini karena kurangnya kesungguhan orang-orang terpilih untuk memperjuangkannya. Banyak pemimpin dan wakil rakyat terpilih terjebak pada kepentingan partai dan kelompoknya sehingga mereka abai terhadap kepentingan rakyat banyak. Mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan demi kepentingan kelompok mereka. Fenomena seperti di atas menjangkiti hampir semua partai yang ada di Indonesia, termasuk partai yang berbasis agama. Orang-orang terpilih tersebut seolah lupa bahwa penegakan keadilan adalah ajaran universal yang ada dalam agama mereka. Semua agama mengajarkan agar pemerintahan dibangun dengan sistem yang berkeadilan sehingga dapat membawa kesejahteraan yang merata bagi rakyatnya. Islam memiliki catatan sejarah di mana masyarakat multikultural Madinah diberikan kesetaraan hak dan kewajiban sebagai warga negara tanpa membedakan latarbelakang agama, suku dan ras. Peristiwa sejarah Islam yang terdokumentasikan dalam Piagam Madinah tersebut mengindikasikan bahwa Muhammad (SAW) 61 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 62 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi adalah seorang pemimpin yang diterima oleh mayoritas dan mampu menjalankan pemerintahan dengan regulasi yang adil serta menyejahterakan semua kalangan. QS an-Nahl: 90 menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian semua untuk menegakkan keadilan.” Keadilan inilah yang menjadi pembeda antara orang yang bertakwa. “Berbuatlah/tegakkanlah keadilan, karena itu sangat dekat dengan ketakwaan (QS al-Maidah: 8). Ibnu Taimiyyah, dengan merujuk kepada ucapan Ali bin Abi Thalib menyatakan: Pemerintah yang adil akan langgeng, meskipun dipegang oleh orang non Muslim, dan pemerintah yang lalim akan tumbang meskipun dipegang oleh orang Islam. Dalam ajaran Agama Kristen, anjuran mengarusutamakan keadilan disebutkan dalam Amos 5: 24, “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” Keadilan diidealkan dalam iman Kristen sebagai suatu kondisi yang harus terus ada, tidak boleh lenyap. Bahkan keadilan harus menjadi mainstream seperti air yang bergelora. Oleh karena itu membangun pemerintahan yang berkeadilan juga merupakan salah satu tugas umat Kristen. Tidak dibenarkan bagi umat Kristen untuk tinggal diam tanpa mendukung pemerintahan dalam mewujudkan keadilan, karena itu sama saja dengan enggan menaburkan “Kasih” Allah yang Maha Adil. Dalam Agama Konghucu, melalui ajaran sayap idealisme Mencius, kepemimpinan negara harus didasarkan pada wang, bukan pa. Wang adalah kepemimpinan yang berlandaskan pada empati dan simpati dimana suara rakyat didengarkan dan diapresiasi. Sedangkan Pa adalah jenis kepemimpinan yang harus dihindari karena bersifat totalitarian dan mengandalkan kekuatan militer untuk menghegemoni rakyat. Jelas bahwa wang merupakan jenis kepemimpinan negara yang adil dan menjamin keadilan bagi rakyat. Anjuran berlaku adil dalam bernegara juga ditemukan pada Agama Hindu. Konsep karmaphala secara tegas tidak membenarkan segala tindak ketidakadilan pemimpin, sebab perilaku tidak adil pada orang lain justru akan berimbas petaka bagi diri sendiri. Sebaliknya Hindu justru menekankan trihita yang didalamnya terdapat ajaran untuk menjaga keharmonisan antar sesama manusia. Terlebih lagi, Dalam Dharmasastra VII:24 juga disebutkan bahwa jika suatu negara tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakatnya, maka negara akan kacau balau. Demikian pula dalam Agama Buddha. Dalam Anguttara Nikaya dengan sangat tegas disebutkan bahwa pemimpin negara yang adil dan baik akan mendorong para aparaturnya menjadi adil dan baik dan pada akhirnya akan membuat masyarakatnya juga bersikap adil dan baik. Dalam Agama Buddha juga dikenal Dasa Raja Dhamma (sepuluh peraturan bagi pemerintahan yang baik) dengan poin ke-sepuluh menyebutkan perintah untuk menghormati aspirasi rakyat. Dengan demikian, semua agama pada intinya mendukung penegakan keadilan melalui jalur pemerintahan yang mewakili hati nurani rakyat. Dengan kata lain semua agama mendukung pemilu sebagai sistem yang tepat dan berkeadilan bagi masyarakat yang plural. Salah satu misi utama agama-agama yang ada adalah tegaknya keadilan di dunia. Keadilan menjadi bagian integral dari agama-agama yang ada. Keadilan bagi seluruh rakyat sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dapat diraih jika nilai-nilai utama agama-agama yang ada dapat terinternalisir dalam individu-individu pemeluknya. Kemajemukan agama di Indonesia haruslah dapat digunakan untuk memperkaya bangsa dapat menjadi aset untuk meratakan kesejahteraan dan keadilan. Di antaranya dapat dilakukan dengan berpartisipasi aktif dalam perjalanan demokrasi, termasuk di dalamnya adalah melalui keterlibatan setiap warga negara dalam pemilu. Jadikanlah Pemilu sebagai media untuk memilih pemimpin yang komit dengan perjuangan untuk menegak- 63 Bab 3 Harapan Dalam Pemilu 64 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi kan keadilan, sebuah misi universal agama-agama, bukan sebagai praktek sekuler yang menjauhkan dari agama. Bab 4 Menjadikan Umat Beragama sebagai Subyek Dalam Pemilu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat 66 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi D emokrasi seringkali dilihat sebagai parameter penting ada tidaknya pembangunan politik di suatu negara, karena dari demokrasi itulah peran rakyat dalam menentukan nasibnya dapat diukur. Hanya saja, tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa demokrasi belum dapat memenuhi jargon utama: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Di tengah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, hubungan antara partai politik dengan pemilih cenderung didominasi oleh yang pertama. Pemilih hanya dijadikan sebagai objek politik. Pemilih diperlukan dan diperlakukan dengan baik saat partai memerlukan dukungan suara mereka dan dilupakan saat partai politik sudah mengantongi kemenangannya. Pada posisi demikian, dapat dipahami adanya kecenderungan rakyat untuk memilih “golput” pada saat pesta demokrasi, karena pemilu bukan hajat mereka, tetapi hajat para politisi. Pilihan untuk menjadi “golput” jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu. Meskipun ada manfaatnya, untuk kasus Indonesia yang sedang belajar menata kehidupan bernegara dengan menerapkan demokrasi, pilihan golput tidak banyak memberikan keuntungan, justru lebih banyak mudaratnya. Tetapi fakta menunjukkan jumlah golput dari pemilu ke pemilu selanjutnya meningkat. Meningkatnya angka golput, yang berarti juga menurunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilu, membuat pemerintah dan mereka yang peduli pada proses demokratisasi negara menjadi khawatir. Berbagai upaya terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, dari aspek sosial, politik, hingga agama, dari iklan layanan masyarakat, pendidikan pemilih, hingga fatwa tentang hukum keharaman golput yang dikeluarkan oleh MUI. Langkahlangkah ini akan lebih efektif dan berdampak luas di masyarakat jika masyarakat sebagai pemilih dapat merasakan manfaat langsung dari partisipasinya. Rakyat harus merasakan bahwa pengorbanan --waktu, tenaga, biaya, pikiran-- yang mereka berikan untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi dapat terbayarkan dengan umpan balik positif dari pelaku para pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih. Ini hanya bisa terwujud jika rakyat mempunyai kecerdasan, kebebasan dan keDi mandirian dalam memilih. Rakyat harus cerdas, bebas dan mandiri tengah dalam menentukan pemimpin masyarakat dan wakil rakyat pilihan meryang baru belajar eka. Pemilih harus benarberdemokrasi, benar menjadi subjek yang hubungan antara partai independen, bukan semata politik dengan pemilih objek politik untuk sekedar mendulang suara. cenderung didominasi oleh yang pertama. Pemilih hanya dijadikan sebagai objek politik. Namun, usaha menjadikan pemilih sebagai subjek dalam pemilu bukannya tanpa kendala. Kecenderungan mobilisasi massa dalam pemilu yang berujung pada pemanfaatan pemilih sebagai komoditas politik masih menjadi masalah dalam praktik berdemokrasi saat ini. Komodifikasi politik dapat terjadi pada semua lini dan aspek, termasuk dalam bidang agama dan sosial keagamaan. Tidak jarang mobilisasi massa yang tidak jujur masuk dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan kolektif keagamaan berubah menjadi ajang pencucian otak untuk mendukung atau menolak calon tertentu. Dakwah berubah menjadi kampanye. Kelompok-kelompok untuk belajar agama seperti pengajian atau majlis ta’lim untuk belajar agama berubah menjadi perekrutan simpatisan. Jika ini telah terjadi, kelompok-kelompok keagamaan tersebut berubah menjadi media menjaring suara. Memilih pemimpin dan wakil rakyat bukan lagi dituntun oleh keinginan individu yang merdeka, tetapi berdasarkan kelompok elit tertentu. Wal hasil, kelompokkelompok ini kemudian menghasilkan para pemilih yang tereksploitasi. Mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat transaksi politik. Pemilih sebagai objek. 67 Bab 4 Menjadikan Umat Beragama Sebagai Subyek Dalam Pemiu 68 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir fenomena di atas, gerakan pemilih cerdas penting untuk dilaksanakan. Harus ada usaha untuk memberikan pemahaman bahwa pemilu adalah kesempatan emas bagi tiap warga negara untuk merubah ke arah yang lebih baik, mensejahterakan dan berkeadilan dengan memilih pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas (amanah). Gak Ada yang Bisa Maksa-Maksa Kamu Buat Ngikuti Pilihannya u Ak Aku a nya Pu Puny an lihan Pi Pilih iri ndiri Se Send i rta Pa A ai rt Pa C ai rt Pa B Bagi komunitas keagamaan, gerakan tersebut dapat diawali melalui pemahaman ajaran-ajaran keagamaan. di atan yang Kedaulprinsip at kydijunjung Kemandirian merupakan tinggi a R n anga Dalam Islam dikenal oleh agama-agama yang Tada. lu 2014 rujukan bagi istilah beberapa istilah yangn bisa emimenjadi ika P d J a ng konsep syura dan partisipasi individu dalam politikluseperti KOTAK i ya m e P SUARA bai’ah atau baiat. Syura memang pendapat kolektif yang RATIS Kdalam O bertujuan mencari kesepakatan masyarakat. Akan M DE tetapi, kesepakatan tersebut baru dapat diperoleh dengan tepat jika setiap individu dalam masyarakat perperan aktif dalam proses kesepakatan yang dicapai. Dengan demikian, meskipun bersifat kolektif, tetapi hanya bisa dihasilkan dengan baik jika setiap individu berperan aktif dalam proses terciptanya konsensus. Dalam Fiqh siyasah (fikih politik dalam Islam), peran aktif ini disebut sebagai ikhtiyar al-ummah (kehendak masyarakat). Ikhtiyar alummah ini berintikan kumpulan kehendak setiap anggota masyarakat untuk memutuskan persoalan publik, termasuk memilih pemimpin. Puncak dari kehendak individuindividu ini adalah terjadinya ijma’ (konsensus) melalui syura’. Sedangkan bai’ah adalah sebuah kontrak politik antara rakyat dengan pemimpin, janji setia rakyat untuk mendukung pemerintah. Ini dilakukan setelah pemimpin pilihan rakyat telah dipilih. Dalam Tawarikh 13 disebutkan kisah Daud yang memutuskan sebuah perkara berdasarkan kehendak rakyat. Raja Daud mengambil keputusan setelah mengetahui perkara itu yang tampak “baik di mata rakyat”. Dalam kisah ini, kehendak rakyat adalah penentu sebuah kebijakan pemimpin. Dengan kata lain, Imam Kristen sesungguhnya mengakui bahwa rakyat adalah subyek, bukan sekedar obyek bagi penguasa. Dalam Konghucu, rakyat adalah subyek karena rakyatlah yang menentukan “nasib” pemerintahan. Hal ini tercermin dari hubungan antara negara dan rakyat yang digambarkan seperti air laut dengan perahu. Negara, pemerintahan, maupun pemilu bisa diibaratkan kapal sedangkan rakyat adalah air dibawahnya. Apabila rakyat (air) bergejolak maka perahu akan terguling, tapi jika rakyat tenang maka perahu akan tenang pula. Penggambaran tersebut menegaskan bahwa pada hakikatnya rakyat adalah subyek, maka tidak boleh diposisikan sekedar obyek. Selain itu, partisipasi manusia terhadap negara dalam konsep Zhi Guo dan kewajiban menjaga perdamaian dunia dalam konsep Ping Tian Xia menekankan unsur keaktifan individu dalam politik untuk tujuan kemanusiaan. 69 Bab 4 Menjadikan Umat Beragama Sebagai Subyek Dalam Pemiu 70 Umat Beragama Cerdas Berdemokrasi Dalam Agama Buddha dikenal Dasa Raja Dhamma (sepuluh peraturan bagi pemerintahan yang baik) dengan poin ke-sepuluh menyebutkan perintah untuk menghormati aspirasi rakyat. Penilaian rakyat dalam rumusan tersebut dianggap menentukan tingkat keberhasilan seorang pemimpin. Dengan demikian, rakyat juga diposisikan sebagai subyek. Dalam Hindu, rakyat mayoritas (waisya dan sudra) menentukan perjalanan pemerintahan negara yang dilaksanakan kalangan ksatria. Pembaian peran yang dirumuskan dalam Catur Warna dalam dapat mencegah kemungkinan theokrasi otoritarian atau pemuatan kekuasaan politik dan agama, serta ekonomi di tangan seorang penguasa. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa semua agama yang ada di Indonesia sangat menghargai kehendak setiap individu dalam kehidupan, termasuk kehidupan politik. Ini dapat digunakan sebagai media untuk memberikan pendidikan pemilih cerdas, kemandirian rakyat dalam memilih pemimpin dan wakilnya mestilah diutamakan. Umat beragama yang taat pastilah menghargai kemerdekaan kehendak dirinya dan kehendak orang lain dalam menentukan pilihannya. Jadilah pemilih aktif dalam proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Pemilih bukan lagi objek, tetapi subjek yang sadar dan paham akan apa yang dipilih. Referensi Adam Przeworski et al, Democracy, Accountability and Representation, Cambridge University Press, New York, 1999. Ayman Ayoub & Andrew Ellis (eds.), Electoral Justice: The International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2010) Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat Dihukum, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007. Michael Rush dan Philip Althof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Mujani, Saiful., Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik pasca Order Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007) Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009, Potret Aksesori Demokrasi Indonesia. Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010. 71 Referensi Catatan Catatan Catatan