Gerakan Feminisme Kartini: Kesetaraan untuk Semua Oleh Jerry Indrawan1 Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu, tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum yang dalam perkembangan jaman dimana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarkis dan berada dibawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern dan selengkap itu? Apakah Kartini pejuang gerakan feminisme di Indonesia? Ataukah ia hanya sekedar berjuang demi kesetaraan bangsanya, yang kala itu berada dalam subordinat penjajah? Feminisme hanya untuk Perempuan? Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme sebenarnya bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja, karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Seperti yang banyak kita tahu, umumnya definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. 1 Alumnus Program Studi Peace and Conflict Resolution, Universitas Pertahanan indonesia 1 Karena itulah, gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial, yang tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: stereotyping, eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan saja, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental lebih baru dan tentunya lebih baik. Feminisme Kartini Apabila dikatakan Kartini terpengaruh feminisme, penulis cenderung sependapat. Tapi apakah Kartini sepenuhnya mengadopsi konsep feminisme an sich? Mungkin tidak, walaupun kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin, isuisu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tapi, itulah Kartini. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad ke-18 ketika Kartini memperjuangkan hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak, khususnya anak-anak perempuan. Lalu, pada suratsuratnya tertulis pemikiran-pemikiran tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Perhatian Kartini tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Bahkan, dalam sebuah buku kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar berjudul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme, Kartini banyak bicara masalah yang dewasa ini menjadi perbincangan kita semua, yaitu masalah sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Sebenarnya, inilah inti dari Feminisme Kartini yang tidak terfokus pada perempuan saja. Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya “breakthrough” yang diperjuangkan beliau pada sebuah era dimana budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara 2 komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif. Feminisme Kartini juga lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga. Kartini, yang semasa hidupnya dibesarkan oleh kebiasaan-kebiasaan feodalis karena berasal dari kalangan priyayi dan berayahkan seorang Bupati, sudah memiliki courage untuk stand up melawan budayanya sendiri, bahkan jamannya. Tetapi, banyak yang tidak memperhatikan bahwa karena budaya partiarki itulah sebenarnya Kartini dapat menjadi seorang Kartini yang kita kenal sekarang sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga priyayi, maka kehidupan Kartini sebetulnya bisa dibilang baik. Ia tidak mengalami kesulitan seperti banyak perempuan lain yang pada masa itu masih terjerat kemiskinan dan kebodohan. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda itulah ia mulai membaca dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, terutama Belanda. Ia tidak berjuang melawan ketertindasan yang dialaminya sendiri, melainkan yang dialami orang lain. Bisa dibayangkan, betapa mudahnya Kartini sebenarnya untuk bersikap acuh pada kaumnya. Namun, realita sosial yang ada di depannya membuatnya tak bisa berpaling. Penulis berpendapat, bahwa perspektif Kartini melihat realita kehidupan ketika itu membuat ia sangat merindukan kesetaraan. Bukan saja kesetaraan bagi perempuan, tapi juga bagi anak-anak bangsa ini. Kesetaraan akan melahirkan kemerdekaan, dan kemerdekaan mensyaratkan perkembangan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Perempuan dan Pembangunan = Kesetaraan Setelah merdeka, dan sekarang bangsa ini sedang membangun, sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development). Akan tetapi, perempuan sudah harus berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Hal ini yang secara substansif diperjuangkan oleh Kartini, walaupun mungkin masih dengan bahasa dan konteks yang berbeda ketika itu. Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif laki-laki terhadap keterlibatan perempuan saja. Pertanyaannya, apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur 3 stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya? Sensitivitas gender merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, adalah bagaimana dapat mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya, dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanyalah cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan". Pembangunan bisa berjalan jika stake holder-nya seimbang. Limitasi struktural dan partiarkis harus dieliminasi. Feminisme Kartini yang juga membahas problematikaproblematika sosial menjadi partner yang baik bagi perkembangan pembangunan. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana laki-laki dan perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara setara. Terakhir, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, sebuah paradigma baru tentang feminisme muncul menjadi sebuah opsi bagi perkembangan pembangunan peradaban sebuah bangsa. Feminisme ala Kartini menjadi efektif karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistematisasi yang bergerak secara diskriminatif. Bukan dari nafsu individu untuk memperoleh penghargaan hanya dari modal “kebebasannya”. Bukan juga segmented hanya pada satu gender saja, tetapi adil bagi semua. Selamat berjuang KartiniKartini muda! 4