Animaal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis

advertisement
Animaal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan
Mahasiswa: Mellisa Anggiarti
Pembimbing: Rocky Gerung
Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Mellisa Anggiarti
Program Studi: Ilmu Filsafat
Judul
: Animal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan
Perlakuan etis terhadap hewan sudah menjadi salah satu pertimbangan di dalam penerapan etika
lingkungan. Kemunculan Animal Rights sebagai advokasi yang berangkat dari perlakuan etis bersifat
serius, manambahkan perlindungan hukum sebagai jalan keluar. Skripsi ini bertujuan memaparkan
penerapan yang dilakukan Animal Rights, serta konsekuensinya melalui analisis konsep tentang perlakuan
etis yang telah mengalami pergeseran makna. Pengembalian kemanusiaan dan peran manusia sebagai
moral agent menjadi titik tolak dari penentangan perlakuan etis yang berlebihan melalui Animal Rights.
Kata Kunci:
Animal Rights, berlakuan etis, berlebihan, Moral Agent, Kemanusiaan
ABSTRACT
Name : Mellisa Anggiarti
Program Studies
: Philosophy
Title : Animal Rights, Analysis Shifting Meanings Ethical Treatment of Animals
Ethical treatment of animals has become one of the considerations in the application of
environmental ethics. Emerging of Animal Rights as advocating that departs from the ethical
treatment of a serious nature, adding legal protection as a way out. This thesis aims to describe
the implementation carried Animal Rights, and its consequences through the analysis of the
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
concept of ethical treatment that has undergone a shift in meaning. Returns humanity and the role
of humans as moral agents became the starting point of opposition to the ethical treatment of
excessive through Animal Rights.
Keywords:
Animal Rights, ethical treatment, excessive, Moral Agent, Humanities
A.
Pendahuluan
Dalam tiga tahun terakhir, Konferensi Internasional „Animal Rights’ sudah digelar dan
dihadiri oleh negara-negara Eropa sebagai bentuk dukungan aktif untuk legalisasi rights dan
perlindungan hukum atas hewan. Konferensi yang semula hanya rutin diselenggarakan di
Washington DC, kini menjadi agenda wajib yang diselenggarakan bergiliran oleh negara-negara
yang merupakan negara pro Animal Rights. Pembahasan mengenai advokasi-advokasi atas
kepentingan hewan, perlawanan atas ekploitasi dan tindakan kekerasan terhadap hewan sampai
menghentikan penggunaan atas hewan untuk kepentingan manusia, menghasilkan laporan dan
kampanye yang berkelanjutan demi pelegalan Animal Rights. Itu semua dimaksudkan agar
segera disepakati dan diterapkannya Animal Rights menjadi bagian dari basic rights dan
dipertimbangkan sebagai prioritas.
Bagi Tom Regan, filsuf yang bekerja dan mengabdikan pemikirannya untuk Animal
Rights, menganggap bahwa tidak ada lagi perlindungan yang kongkrit terhadap hewan selain
memberikan mahluk itu hak yang dilindungi oleh hukum. Animal Welfare yang populer dan
berhasil
membuat
perubahan
terhadap
penggunaan
hewan
yang
mempertimbangkan
kesejahteraan hewan dengan menerapkan „five freedom’1, dianggap perlindungan yang basa-basi.
Menurut Regan, konservasi yang dilakukan Animal Welfare tidak cukup melindungi kepentingan
hewan, melainkan sebagai salah satu jalan untuk melakukan lebih banyak pembantaian legal
terhadap hewan karena penggunaan atas hewan tidak dapat dipisahkan dari kekejaman.
Seiring dengan penerapan moralitas dalam tingkat yang cukup serius hingga menyeret
advokasi hukum, pertimbangan etis untuk hewan makin marak diwarnai gerakan-gerakan senada
Animal Rights yang notabene juga ingin melindungi kepentingan hewan. Dapat pula disebut
1
Kesepakatan standarisasi dalam pengelolaan hewan sebagai konsumsi manusia. Meliputi, kebebasan dari rasa
haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan
perilaku normal, dan bebas dari rasa tertekan dan stress.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
sebagai tren, perlindungan terhadap hewan menciptakan komunitas-komunitas yang menganggap
penggunaan atas hewan adalah melanggar kemanusiaan. Secara tidak langsung, kelompok itu
menganggap memanusiakan hewan adalah bagian dari kemanusiaan, disamping konsekuensi dari
memanusiakan hewan akan berpengaruh terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Boikot atas produsen-produsen daging hewan, menutup tempat sirkus yang
mempekerjakan hewan sebagai hiburan, berbagai aksi tolak animal testing untuk produk-produk
kecantikan adalah ekspansi dari persoalan Animal Rights. Di balik tindakan advokasi itu, ada
gangguan dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia, yang menghasilkan kontradiksi
mengenai keberadaan advokasi yang terlalu berlebihan untuk hewan, karena dalam argumennya,
perlindungan yang mengatasnamakan kemanusiaan ini ternyata tidak mencapai tujuan untuk
kembali kepada kemanusiaan.
Beberapa kajian etika seperti golden rules yang menyatakan manusia ingin diperlakukan
sebagaimana ia harus memperlakukan orang lain, kini harus pula diterapkan kepada hewan.
Manusia harus memposisikan diri sebagai hewan-hewan yang dipergunakan sebagai bahan
makanan, hiburan maupun uji coba agar mampu memahami sudut pandang hewan. Sikap ini
menjadi faktor mengapa pembelokan etis terjadi dalam Animal Rights, karena sebenarnya
manusia tidak mampu membuktikan mentalitas hewan secara pasti. Belum ada penelitian
menunjukan hewan paham terhadap pembelaan yang dilakukan manusia dan pengandaian yang
melihat dari sudut pandang hewan, hanya akan menimbulkan persepsi yang tidak bisa
diseragamkan.
Animal Rights pada dasarnya merupakan gerakan yang optimis bahwa perilaku manusia
sangat menentukan keharmonisan hubungan antar makhluk hidup, sehingga perilaku tersebut
harus diatur dan hewan harus diberikan hak serta perlindungan hukum. Hal ini tentu
menimbulkan konsekuensi yang disertai kontroversi, karena pemberian hak dan perlindungan
hukum terhadap hewan merupakan sebuah tindakan yang seharusnya memberikan kewenangan
kepada hewan untuk dapat mengatur hubungan sesamanya. Karena pada akhirnya, apabila
Animal Rights berhasil disahkan, posisi manusia dan hewan akan setara di depan hukum.
Setelahnya, hewan juga harus dapat menentukan keharmonisan hubungan antar makhluk hidup,
serta menerapkan teori-teori yang dipakai manusia dalam menjaga relasi agar dapat
berpartisipasi dalam hubungan tersebut.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Relasi manusia dan hewan dalam kesetaraan menjadi sebuah absurditas. Selama hewan
tidak memiliki kemampuan seperti manusia, maka moral agent tetap diperankan oleh manusia.
Hal ini menggambarkan posisi yang setara justru menjadi tidak seimbang dalam penerapan,
karena manusia akan lebih banyak dibebani dengan urusan moral serta tanggung jawab atas
hewan. Penentangan yang tidak pernah selesai dari Anti-Animal Rights akan terus bermunculan
karena didalam advokasi tersebut, tersisa masalah yang belum bisa disepakati secara rasional.
1.1
Perumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.
Animal Rights merupakan tindakan serius dari kepedulian manusia terhadap
hewan, dipandang berdasarkan relasi yang manusia bangun sejak peradaban pertama tetapi
mengalami pembelokan etis setelah tujuannya ingin melampaui apa yang ditujukan Animal
Welfare. Perlindungan ini semakin menuai kontroversi ketika manusia mulai menuntut
perlindungan hukum atas hewan dalam penerapan perlakuan etis, tanpa pertimbangan bahwa
hewan adalah pihak yang tidak mengerti atas perlindungan tersebut. Permasalahannya adalah,
apabila perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang tidak mengerti dan tidak dapat
menjalani aturan yang dibuat untuk memaksimalkan perlindungan, maka perlindungan hukum
hanya dapat diberikan apabila tujuannya kembali kepada kepentingan manusia demi menjaga
moralitas dan kemanusiaan.
2.
Kita dapat memprediksi, manusia akan menjadi lebih sering bertransaksi hak atas
sesuatu yang sedang mereka bela karena berangkat dari compassion, sehingga rasionalitas yang
menjadi unsur utama dari pengadaan hak menjadi tergeser. Transaksi atas hak-hak lain akan
banyak bermunculan terutama untuk yang mereka anggap tidak memiliki kemampuan untuk
membela dirinya sendiri dan hal ini justru membuat manusia dihadapkan kepada permasalahan
kemanusian akibat compassion dan rasa ingin melindungi secara kongkrit melalui Animal Rights.
3.
Dengan diberikannya perlindungan hukum dan hak kepada hewan, maka seluruh
moral agent memiliki kewajiban untuk menerapkan perlakuan etis dengan menghentikan
penggunaan terhadap hewan. Hal ini merupakan pelemparan tanggung jawab dari gerakan
Animal Rights kepada seluruh manusia berkesadaran sebagai jalan keluar yang tidak cukup
disertai prediksi, mengingat akan ada banyak kajian baru terhadap term „hewan‟
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
yang
disetarakan dengan manusia, menciptakan banyak perubahan, terutama dalam bidang akademik,
politik, hukum maupun etika.
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Animal Rights menghasilkan antisipasi karena perlindungan hukum yang
ditujukan terhadap hewan tidak kembali untuk kepentingan kemanusiaan. Tidak seperti
perlindungan hukum yang dibuat manusia untuk lingkungan—sebagai salah satu cara menjaga
kemanusiaan lewat melestarikan sumber daya yang menjadi kebutuhan manusia, perlindungan
hewan justru meminggirkan kepentingan manusia. Hewan dijaga kesejahteraannya lewat
penghentian penggunaan atasnya, tanpa pertimbangan akan relasi yang dibuat oleh manusia
untuk mencapai kesejateraannya adalah lewat penggunaan tersebut. Antisipasi ini merupakan
rasionalitas yang pesimis akan penerapan Animal Rights karena dapat menabrak kepentingan
manusia sebagai moral agent dan dilindungi hukum dalam mempertahankan kebutuhannya,
sehingga konsep ini seharusnya kembali kepada Animal Welfare selama belum ditemukan
konsep lain dalam pencapaian relasi manusia dan hewan yang harmonis.
2.
Prediksi bahwa kelak manusia akan menjadi sumber evolusi hak atas segala
sesuatu yang dinilai penting untuk keberlangsungan Animal Rights. Prediksi ini membuat segala
dalil dari Animal Rights harus dihentikan sebagai upaya menghindari transaksi hak yang sia-sia.
Ketidakberdayaan hewan menjadi salah satu alasan mengapa manusia harus memiliki tanggung
jawab atasnya, tetapi bukan berarti manusia harus memiliki hak yang setara dengan hewan. Hak
yang diberikan kepada hewan bukanlah jalan keluar yang efektif, mengingat pemberian hak
harus dilandasi rasionalitas dan diperkuat oleh tujuannya menjaga kemanusiaan.
3.
Menjabarkan konsekuensi apabila Animal Rights diterapkan. Relasi ideal sebagai
tujuan dari Animal Rights melalui konsep perlindungan hukum dan pengadaan hak, dapat
digagalkan oleh kebocoran argumentasi Animal Rights itu sendiri. Dan upaya Animal Rights
menciptakan wilayah non-kontroversial yang harmonis, justru memunculkan wilayah kontroversi
yang harus siap ditangani.
B.
Landasan Teori
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Ada perbedaan antara manusia dan hewan dari segi moralitas, yaitu manusia sebagai agen
dan hewan sebagai pasien menurut Immanuel Kant.2 Perbedaan tersebut membawa manusia
kepada indirect duty terhadap hewan sebagai salah satu yang menguatkan kemanusiaan. Teoriteori moralitas yang disuguhkan Kant untuk relasi sesama manusia, ditarik menjadi teori
moralitas untuk relasi manusia dengan hewan. Tindakan etis, toleransi dalam interaksi sosial,
menghindari kekejaman dipakai untuk memaknai eksistensi hewan, sementara Kant secara
eksplisit berada di posisi yang setuju akan spesiesme yaitu paham yang mengakui perbedaan
spesies antara manusia dan hewan.
Hewan bukan bersifat automata seperti yang dikemukakan oleh Rene Descartes dalam
menguatkan teori Antroposentris.2 Tetapi apabila Animal Rights bertujuan menyetarakan diri
dengan Human Rights yang memiliki titik berangkat Antroposentris, maka akan bertabrakan
dengan paham yang membela kepentingan manusia jauh di atas segalanya terhadap hewan
maupun alam. Hal ini merupakan tantangan bagi Animal Rights dalam mencari argumentasi yang
dilandasi rasionalitas. Eksploitasi merupakan tindakan yang ditentang setelah maraknya teori
etika berkembang. Dengan begitu pertimbangan etis mulai diterapkan dalam menjaga relasi
manusia dengan sekitar. Bahwa tindakan penyiksaan, kekejaman dan eksploitasi merupakan
potensi yang dapat membuat kemanusiaan terganggu.
Temuan-temuan baru mengenai mentalitas hewan diusung oleh kaum Utilitarianis yang
membuat skema kemampuan suffering dari tingkatan hewan3. Hal ini yang menjadi prinsip dasar
mengapa advokasi terhadap hewan perlu tetap ditegakan. Dibuktikannya bahwa simpanse
memiliki mentalitas setara dengan manusia berumur 3 tahun menghasilkan perdebatan mengenai
manusia dan rasionalitasnya yang baru terbentuk saat mencapai dewasa adalah yang ingin
pembela hewan serang. Bahwa apabila kesetaraan tidak bisa dicapai, maka manusia yang belum
memiliki rasionalitas tidak dapat diberikan hak untuk dilindungi secara hukum juga.
Tidak memberikan perlindungan kepada manusia sama saja menghentikan kewajiban
manusia dalam melakukan duty sebagai moral agent. Bayi sekalipun, memiliki entitas sebagai
human-being. Mentalitas manusia berkembang, rasionalitas mengarahkan pemikirannya kepada
banyak keputusan dan tindakan. Argumentasi untuk mempertahankan tujuan dari Animal Rights,
melalui penyetaraan mentalitas manusia dan hewan, bukan merupakan fondasi yang kuat.
2
3
Franklin, 2005:31
Ibid, hlm. 10
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Untuk melegalkan Animal Rights, pembela dan yang dibela harus melahirkan reasoning
sebagai suatu transaksi, dan hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi berdasarkan
kemampuan hewan. Seperti cara kerja Natural Law dalam mencapai reasoning—transaksi
manusia
dalam
menghasilkan
seperangkat
aturan,
berdasarkan
prinsip
moral
yang
dilatarbelakangi karakteristik dasar manusia dan dinaungi hukum. Sementara hukum adalah
perangkat yang harus selalu memperhatikan sisi moralitas dalam penyusunannya, apakah sebuah
hukum telah efektif untuk kepentingan banyak pihak, atau partisipasi terjadi tidak aktif dari salah
satu pihak, sehingga harus melalui kajian yang didasari rasionalitas dalam analisisnya.
C.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah Analisis Argumentatif.
Permasalahan dijabarkan, kemudian dianalisis secara kritis reflektif untuk menguji kontroversi
dan menghasilkan kesimpulan yang argumentatif. Teori-teori yang mendukung pernyataan tesis
akan dijelaskan dan dikaitkan dengan permasalahan yang menjadi dasar penulisan.
D.
PEMBAHASAN
Wilayah non-kontroversial sebagai wilayah kontroversi
Gerakan pembela hewan menyatakan, penggunaan hewan tidak terlepas dari
kecenderungan manusia menafikkan kesejahteraan mahluk tersebut. Adanya kekerasan dan
minimnya perhatian serta penggunaan berlebihan atas hewan merupakan pemicu munculnya
kontroversi dalam relasi manusia dan hewan. Sehingga, gerakan pembela hewan melihat
advokasi hukum sebagai salah satu jalan keluar yang dapat melindungi hewan secara lebih luas
dan membawa wilayah kontroversi ini ke dalam wilayah non-kontroversial, agar tujuan mereka
pada akhirnya dapat terpenuhi.
Terdapat dua arah antisipasi menanggapi kontroversi atas penggunaan hewan. Antisipasi
pertama, berasal dari gerakan pembela hewan yang memiliki ketakutan atas kepunahan.
Golongan ini juga khawatir atas imbas rusaknya ekosistem dan rantai makanan, serta hilangnya
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
perlakuan etis manusia. Menurut kelompok pembela hewan ini, tingkat penggunaan atas hewan
berbanding lurus dengan tindak kekejaman yang dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan,
manusia lebih banyak melakukan eksploitasi terhadap hewan sebab nilai intrinsik mahluk itu
tidak lagi dipedulikan. Antisipasi ini akhirnya mengundang gagasan bahwa perlindungan hukum
adalah salah satu dari aturan yang dapat memaksa manusia mempertimbangkan kesejahteraan
dan kepentingan hewan serta meningkatkan tanggung jawab manusia terhadap hewan lantaran
dirinya berperan sebagai moral agent.
Antisipasi kedua melihat, penerapan Animal Rights secara global serta menghentikan
penggunaan atas hewan adalah ide yang tidak masuk akal. Sebaliknya, hal itu justru dapat
menganggu kemanusiaan. Tindakan etis ialah perbuatan yang berasal dari kemanusiaan, dengan
demikian Animal Rights yang dianggap sebagai perwujudan atas konsep itu lewat tuntutan
perlindungan hukumnya justru akan menganggu kepentingan manusia, baik secara etis, hukum
dan welfare. Antisipasi ini berpendapat manusia dan perannya sebagai moral agent, mendukung
ditentangnya tindak kekejaman tanpa urgensitas terhadap makhluk apapun. Sehingga, kekejaman
kepada hewan merupakan salah satu kerusakan moralitas dan kemanusiaan yang dihindari.
Manusia perlu menjamin welfare dari hewan sebatas ia meminimalisir suffering, dan itu tidak
berarti menghentikan segala penggunaan atas hewan. Selama manusia mampu menggunakan
alat, maka peradaban manusia akan terus berjalan ke arah penciptaan teknologi untuk menjamin
welfare seimbang antara manusia dan hewan.
3.2
Animal Rights VS Human Rights
Jerman merupakan negara Eropa pertama yang menerapkan Animal Rights sebagai
garansi negara terhadap status hewan. Tujuannya, ketentuan ini dilakukan demi menghormati
dan menjaga martabat dari human beings. 4 Negara pendukung gerakan Animal Rights—sebagai
salah satu perlindungan terhadap non-human animals, merupakan negara maju dari segi ekonomi
maupun kepemilikan terhadap hewan. Contohnya, Amerika Serikat, sebagian besar warga
negaranya memiliki hewan peliharaan dan memperlakukannya dengan sangat baik sebagaimana
4
John Hooper, “German Parliament Votes to Give Animals Constitutional Rights.” Guardian (London), May 18,
2002, p.2.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
perlakuan atas anggota keluarga sendiri, seperti merayakan ulang tahun dan mendapatkan kado
natal. 5
Berangkat dari fenomena ini, negara maju itu pun ingin ketentuan Animal Rights menjadi
acuan memperlakukan hewan di negara lain. Pihaknya menyatakan Animal Rights mesti menjadi
legal dan dapat disahkan secara global demi menjamin kesejahteraan dan perlindungan seluruh
hewan secara hukum. Terlihat, tendensi Negara maju untuk mengesahkan Animal Rights lebih
besar dibanding negara lain. Dilihat dari sudut pandang ini, negara maju memiliki permasalahan
kemanusiaan yang relatif sedikit, seperti kelaparan atau kemiskinan. Oleh karena itu, negara itu
memiliki banyak permasalahan lain yang dapat diadvokasikan, salah satunya Animal Rights.
Konsep ini membuat suatu penyetaraan hak pada akhirnya mungkin terjadi, antara Human Rights
dan Animal Rights.
Human Rights merupakan hak asasi yang melekat pada manusia sejak ia lahir dan
merupakan hak yang tidak dapat diganggu gugat atau inviolable, bersifat protektif secara
individual. Beranjak dari hal itu hak dasar mesti melindungi seluruh kepentingan manusia
sekaligus meminimalisir kekacauan yang disebabkan oleh pertentangan kepentingan. Hak ini
diciptakan lewat keadaan alami manusia yang memiliki kehendak dan bekerja demi kehendak
tersebut. Dengan demikian asumsinya, apabila tidak ada Human Rights yang melindungi
individual, akan banyak kepentingan saling silang dan bertabrakan, sehingga relasi diantaranya
harus diatur dan dijamin perlindungan hukum.
Apabila Animal Rights menginginkan apa yang disepakati melalui rasional konsensus
seperti Human Rights—dan inviolable rights, maka setelah hewan mendapatkan perlindungan
hukum, kondisi yang harus diatur setelahnya adalah relasi diantara sesama hewan. Sementara
relasi sesama hewan merupakan relasi alamiah yang diatur dengan sendirinya oleh hukum alam,
terutama untuk hewan yang hidup di alam liar, dan aturan yang dibuat manusia dalam rangka
menjaga relasinya dengan hewan. Namun, aturan yang dibuat itu tidak terlepas dari sudut
pandang manusia itu sendiri. Sehingga premis “setara” antara Human Rights dan Animal Rights
sebenarnya tidak pernah dapat tercapai, sebab hewan tidak mampu mengatur sendiri hubungan
sesamanya dalam rangka melindungi kepentingan masing-masing individu, khususnya lewat
upaya legalitas hukum, kecuali manusia berdiri untuk menjadi wali advokasi dari mereka.
5
Sunstein, 2004:3
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Keberadaan manusia sebagai wali dari hewan tidak sepenuhnya dapat dijadikan
kewajiban. Anggapan bahwa manusia semata-mata hanya berbasa-basi terhadap relasi yang
mereka bangun secara etis terhadap hewan menjadi perdebatan awal mengapa perlakuan etis
yang lebih serius harus dibahas dan diperjuangkan khalayak. Hal ini menggambarkan
perlindungan terhadap hewan mengalami evolusi secara advokasi. Maksudnya, perlindungan ke
dalam hukum menggambarkan upaya manusia dalam komunitas yang dinilai mampu menjamin
masyarakat secara keseluruhan bersedia mengafirmasi perlindungan tersebut. Pengadaan atas hak
yang dilindungi secara hukum terhadap hewan menjadi tindakan pelemparan kewajiban dan
tanggung jawab kepada publik yang sesungguhnya tidak memiliki keharusan dalam menjaga
relasi antara hubungan manusia dan hewan. Contohnya, para pedagang akan saling memonitori
keberadaan seekor kucing yang biasa berlalu lalang di stasiun UI, saat kucing itu hilang, maka
pedagang sekitar stasiun UI harus mempertanggung jawabkan atas hilangnya kucing tersebut.
Perlindungan hukum ini dengan kata lain, bukan hanya sebagai jalan keluar dari indirect
duty yang melahirkan direct duty, melainkan sebagai new duty dan membebani seluruh manusia
sebagai moral agent. Letak kesetaraan dalam hal ini menjadi sebuah absurditas baru yang dapat
mengganggu kemanusiaan dan masalah etis lainnya. Lewat hal itu manusia dimungkinkan
memperlakukan hewan setara dengan manusia, tetapi apakah hewan memiliki kemampuan
menjaga hak asasi manusia seperti yang akan dilakukan oleh manusia? Poin itu menjadi tanda
tanya besar. Hewan buas tetap akan memakan manusia saat ia kelaparan, sementara manusia
harus mempertimbangkan rasa laparnya saat ia harus berhadapan dengan perlindungan terhadap
hewan. Tidak menutup kemungkinan, bahwa manusia akan mengkonsumsi dagingnya sendiri
saat kelaparan daripada harus berhadapan dengan hukum yang melindungi hewan agar tidak
digunakan sebagai pangan.
Berkaitan dengan kemampuan manusia dan hewan sebagai pengkonsumsi daging,
terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Hewan memiliki insting bawaan sejak lahir dan
dipengaruhi lingkungan sebagai karnivora atau herbivora. Insting dasar mereka untuk
mengkonsumsi tidak pernah bisa ada yang mengatur, sekalipun hewan itu sendiri. Harimau tidak
dapat menjadi pemakan rumput, instingnya bekerja untuk mencari daging, sekalipun yang
akhirnya ia terkam adalah rusa betina, ibu dari 4 anak rusa lainnya dan sedang mencari makan.
Animal Rights sekalipun tidak bisa memberikan perlindungan hukum dan perlindungan
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
kepentingan dari rusa yang telah dikonsumsi harimau. Animal Rights dalam relasinya dengan
sesama hewan, adalah sebuah absurditas.
Hewan, dalam konteks ini tidak seperti manusia yang diliputi pertimbangan saat akan
mengkonsumsi daging. Harimau tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan unsur
etis dalam memilih mangsanya, harimau tidak serta merta memilih rusa sebatang kara untuk
diterkam. Sementara manusia dapat memilih pangan yang ingin dikonsumsi. Menjadi vegetarian
adalah upaya manusia keluar dari wilayah kontroversial dan menciptakan wilayah nonkontroversial. Sekalipun melihat adanya ketidak-etisan dalam mengkonsumsi daging,
kecenderungan manusia memakan daging menjadi semakin natural didukung dengan penciptaan
teknologi dari sayuran yang dibuat menyerupai daging. Dalam hal ini, ada pembelokan hasrat
mengkonsumsi daging dan penciptaan etis baru dibalik kenyataan bahwa manusia mampu
memanipulasi segalanya. Vegetarian seperti menyadari bahwa hasrat mengkonsumsi daging
adalah natural, terlepas dari ia sedang meminggirkan h hasrat tersebut untuk keperluan etis.
Penciptaan sayuran yang menyerupai daging, seharusnya bukan dilihat sebagai jalan
keluar dari rasa nikmat manusia saat mengkonsumsi daging. Tetapi dibalik fenomena itu,
terselubung hasrat yang direpresi untuk kepentingan hewan. Hal ini sejatinya hanya akan
menciptakan wilayah kontroversial baru, sebab evolusi atas hak dimungkinkan untuk terjadi
dengan adanya represi ini. Manusia semakin hanyut dalam compassion dan humanity serta
mengatasnamakan „perlakuan etis‟ terhadap sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan. Berbeda
dengan harimau yang mengikuti insting dan hasratnya untuk memangsa daging rusa karena ia
menyadari ia menyukai dan membutuhkan itu untuk melanjutkan hidupnya. Relasi semacam ini
adalah relasi yang tidak dapat manusia atur, termasuk untuk menghindari kekejaman. Dengan
demikian, Human Rights dan Animal Rights tidak dapat sejajar.
Keberadaan Animal Rights justru dapat mengganggu berlangsungnya Human Rights—
sebagai salah satu yang lahir dari konsep Antroposentris, dalam beberapa kasus, seperti
kampanye yang menyuarakan penghentian penggunaan atas hewan. Misalnya, untuk keperluan
makanan, bahan pakaian, produk kecantikan atau percobaan. Akan tetapi, lewat tuntutan ini akan
banyak problem yang timbul, salah satunya dari segi lapangan pekerjaan. Human Rights yang
telah menjamin kesejahteraan bagi seluruh manusia, harus mengerahkan pekerjaan yang dulu
menghidupi manusia kepada pekerjaan lain apabila penggunaan atas hewan dilindungi hukum.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Tidak hanya itu, penggunaan terhadap hewan sebagai objek eksperimen merupakan jalan keluar
dari studi ilmiah dalam menyelamatkan kepentingan dan nyawa manusia.
Animal Rights menolak Utilitarianisme karena dianggap memiliki dasar pengelompokan
hewan berdasarkan kemampuan suffering. Tom Regan dalam mempertahankan Animal Rights,
mengatakan semua pembelaan terhadap hewan hanya sampai kepada taraf pembelaan yang siasia dan tidak sungguh mencapai apa yang seharusnya diterapkan secara global bila tidak
mengajukan tuntutan perlindungan itu dalam hukum. Tetapi di sisi lain pembelaan itu juga tidak
dapat menentukan kepentingan hewan dan manusia dalam posisi sosial yang jelas berbeda.
Penggunaan atas hewan kadang merupakan salah satu jalan yang membuat kepentingan hewan
dan perannya dihargai, lewat kebergunaan mereka untuk manusia, sebagai contoh kebergunaan
mereka untuk dimakan, sebagai alat transportasi dan objek penelitian.
3.3
Rights dalam Akademis
Diterapkannya Animal Rights secara universal, akan memiliki dampak dalam wilayah
akademis. Salah satunya, kewajiban memperluas pengetahuan atas hewan. Manusia diwajibkan
memperkaya pengetahuan tentang hewan dan segala elemennya termasuk perlakuan ideal untuk
masing-masing hewan. Dokter hewan mesti disejajarkan dengan dokter manusia, untuk semua
dokter umum diwajibkan menguasai struktur organ tubuh manusia dan hewan, serta semua
penyakit dan penangannya. Sementara melihat kemungkinan dokter spesialis, akan muncul
banyak spesialisasi kategori tersebut. Misalnya, dokter mamalia, dokter reptil, dokter amphibi,
bahkan kategorisasi yang lebih spesifik, diantaranya, dokter Singa, dokter Gajah, dokter Orang
Utan, atau bahkan sampai ke dokter spesialis THT Panda Jepang.
Tidak hanya dalam bidang pendidikan medis, kancah hukum pun dimungkinkan
mengadakan pengacara untuk membuat kasus pelanggaran dapat ditangani secara serius. Hal ini
membuat praktisi hukum harus mendalami hukum tidak hanya relasi manusia dan manusia,
tetapi antara manusia dengan hewan dan hewan dengan hewan. Dituntutnya seorang akademisi
untuk menguasai persoalan melampaui relasi sesama manusia, akan membuat banyak persoalan
baru. Contohnya, muatan lokal di suatu negara harus bertambah seiring dengan concern manusia
terhadap hewan. Orang tua harus menanamkan etika bahwa membunuh hewan, sekecil apapun
hewan tersebut, merupakan perbuatan yang melanggar hukum kepada anaknya. Tidak menutup
kemungkinan, bayi sekalipun memiliki kecenderungan tidak sengaja membunuh hewan atau
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
orang tua merasa bahwa hewan tersebut membahayakan bayinya maka perlu dibunuh. Prediksi
ini membuat Animal Rights perlu dipertanyakan, hukum di sini harus bekerja untuk memihak
siapa.
Penghapusan terhadap cerita hewan atau fable juga akan terjadi untuk menghapus
spesiesme melalui Animal Rights dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, wawasan seseorang
akan diukur dari seberapa besar ia memiliki sumbangsih terhadap permasalahan hak dan evolusi
melalui Animal Rights, yang mana rasionalitas dari banyak argumen untuk membela gerakan ini,
tidak pernah pergi dari penyetaraan berdasarkan compassion, duty of humanity dan ekspansi dari
teori moralitas yang seharusnya untuk manusia.
3.4
Animal Rights & Citizenship
Ekspansi dari absurditas ini pun berbicara tentang prediksi selanjutnya dari Animal Rights
itu sendiri. Terlepas dari tujuannya, untuk melindungi hewan secara hukum, memberikan
kesejahteraan, mensejajarkan dengan Human Rights, Animal Rights harus memikirkan kewajiban
dari hewan tersebut, seperti hubungan timbal-balik antara manusia dan negara lewat citizenship
atau kewarganegaraan. Hubungan timbal-balik yang dimaksud, negara menjamin keselamatan
dan kesejahteraan manusia lewat kewarganegaraannya, dan manusia berkontribusi serta
berpartisipasi aktif terhadap negaranya lewat kewarganegaraannya.
Semula, negara merupakan pemegang kendali atas warga negaranya. Selama ada
kesepakatan negara akan menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga negara, persyaratan
yang harus dijalani adalah warga negara harus tunduk dalam semua aturan negara. Namun dalam
keberlangsungannya, tidak menutup kemungkinan kesepakatan ini lebih mementingkan
kepentingan negara. Adanya kerja paksa dan penjajahan atas suatu negara kepada negara lain
adalah salah satu bukti kekuasaan negara, sehingga perlindungan atas manusia harus diberikan
perindividual dan dilegalkan secara universal melampaui kewenangan negara atas warga
negaranya lewat Human Rights. Kendali atas negara terhadap warga negaranya kini harus
melalui standardisasi Human Rights yang mengatur prinsip kehidupan lewat menjunjung tinggi
nilai kesetaraan martabat dan kemanusiaan, meskipun ketika seseorang tidak memiliki
kewarganegaraan, maka ia pun juga terbebas dari kerja paksa, perbudakan, kekejaman dan
pembunuhan karena keseragaman hak secara individual yang diterapkan Human Rights.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Setiap warga negara memiliki kewajiban membela negaranya dan ikut berpartisipasi
terhadap demokrasi yang diberlakukan, seperti dalam peperangan, pemilihan umum dan penentu
suatu aturan untuk diterapkan negara. Kewarganegaraan juga dapat diartikan sebagai batasan,
manusia tidak memiliki kewajiban berpatisipasi terhadap negara lain, tetapi boleh melakukan
partisipasi lewat kerjasama antar negara dan sukarelawan membantu masalah yang terjadi di luar
negaranya. Kewarganegaraan juga berperan sebagai identitas yang membedakan budaya antar
negara, pemberian hak paten terhadap suatu budaya berdasarkan sejarah dari warga negara yang
menciptakan dan menjalankan budaya tersebut di dalam negaranya.
Penjelasan pada paragraph sebelumnya itu merupakan faktor yang dapat mengganggu
jalannya rasionalisasi atas disahkannya Animal Rights sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak
dapat diperdebatkan lagi. Dilihat dari kemampuan yang dimiliki, hewan dinilai tidak dapat
memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, bila kemudian hewan diberikan hak yang
universal dan dilindungi secara hukum. Hubungan timbal-balik tidak akan berlaku atas
pengadaan tersebut, karena hewan hanya akan diberikan perlindungannya tanpa bisa
mengembalikan perlindungan tersebut terhadap negaranya.
Masalah tersebut terjadi dalam perdebatan atas hak dan kewarganegaraan yang diberikan
terhadap anak dibawah umur yang belum mengerti partisipasi dan kewarganegaraannya. Seperti
difabilitas yang kerap kali juga tidak dapat memberikan hubungan timbal-balik terhadap negara
karena keterbatasannya. Berkaitan dengan kritik ini, gerakan yang membela difabilitas keberatan
atas perbedaan yang diberikan kepada mereka dalam hak dan status kewarganegaraan.
Keberadaan mereka sebagai manusia dan melalui Universal Human Rights, difabilitas tetap
memiliki inviolable rights. Partisipasi mereka sebagai kewajiban seorang warga negara yang
dapat diwakili orang tuanya dalam paternalisme sosial. Seorang yang memiliki difabilitas
terkadang tidak mampu menyampaikan maksud mereka, kecuali sebatas tanda pergerakannya
terkadang hanya dapat dimengerti orang terdekat mereka. Gerakan yang lebih baru lagi
mengenai perdebatan ini dapat dilihat melalui slogan “nothing about us without us” yang
membuat mereka resmi memiliki kewarganegaraan yang haknya dilindungi hukum, meski tidak
dapat berpartisipasi secara penuh.
Terkait hal ini, ada argumentasi menyatakan perlu membela difabilitas sebagai warga
negara istimewa, meski adanya perbedaan kemampuan. Penilaian atas difabilitas ini menciptakan
komitmen dengan manusia normal melalui kepercayaan jujur dua pihak. Meski kemampuannya
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
berbeda, pihak yang menyandang difabilitas ini tetap memiliki entitas sama, yaitu being sebagai
manusia. Dengan begitu, difabilitas masih dianggap memiliki kapasitas sebagai warga negara,
lantaran ia mampu mengekspresikan dirinya sebagai seseorang yang baik, lewat kepribadian dan
komunikasi. Kapasitas lainnya, mereka mampu tergabung dalam masyarakat dengan relasi yang
saling percaya satu sama lain. Tidak hanya itu, mereka pun dimungkinkan berpartisipasi meski
dengan bentuk interaksi yang berbeda.6
Pendukung Animal Rights seharusnya mulai berpikir bahwa pengadaan kewarganegaraan
atas hewan tidak dapat terlepas dari keadaan memilah-milih jenis hewan yang akan dilindungi.
Pertanyaannya, apakah hewan tersebut diukur berdasarkan kemampuan, kedekatan dengan
kehidupan manusia atau yang menguntungkan manusia? Bila pengukuran berdasarkan
kemampuan, maka hewan yang hidup di alam liar sekalipun harus mendapat perhatian, seperti
lumba-lumba atau simpanse. Poin berikutnya, jika pengukuran berdasarkan kedekatan dengan
kehidupan manusia, maka nyamuk, semut sekalipun harus ada di dalam daftar perlindungan.
Terakhir, apabila perlindungan adalah untuk hewan yang menguntungkan manusia, maka akan
ada perlindungan hak terhadap hewan yang dapat menguntungkan manusia, misalnya dari segi
pengobatan seperti lintah atau lebah sekalipun.
Ada nilai universal dan nilai teritorial terkait disahkannya Animal Rights dan Citizenship.
Manusia tidak dapat menentukan batas dari perlindungan terhadap hewan. Sehingga jika hal ini
diterapkan, akan terjadi kesenjangan antara hewan yang dilindungi dan tidak. Berbeda dengan
Human Rights yang mencakup semua keadaan dari manusia, meski memiliki kemampuan yang
berbeda seperti penyandang difabilitas. Hewan, dalam konteks ini, juga perlu diperhatikan tidak
hanya haknya tetapi teritorial kenegaraannya, seekor lumba-lumba, apakah ia berenang terlalu
jauh sehingga menerobos wilayah negara lain dan akhirnya dimiliki negara lain ataukah ia
merusak properti dari negara lain sehingga negara harus bertanggung jawab atas kerusakan
tersebut. Keadaan ini, sesungguhnya hanya mengganggu keadaan alami dari alam dan hewan.
Perlindungan atas alam liar seharusnya menjadi pertimbangan Animal Rights itu sendiri, karena
banyak hewan yang bisa dibiarkan hidup tanpa tersentuh tetapi karena mereka tidak dapat
memilih untuk disentuh atau tidak, sehingga manusia merasa harus ikut campur ke dalamnya.
Namun, apabila manusia tidak menyentuh kehidupan hewan, maka hubungan antara hewan dan
6
Francis and Silver, 2007: 325
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
manusia dapat benar-benar hilang lantaran seringkali hubungan yang terjadi antar keduanya
adalah hubungan tukar kepentingan.
Dengan diterapkannya perlindungan hukum untuk hewan, hidup dan mati mahluk itu
adalah urusan hukum. Ketentuan itu mengandaikan adanya sensus pertumbuhan dan
penyelidikan kematian atas hewan. Hal ini menggambarkan manusia telah menjadikan
permasalahan alamiah menjadi sesuatu yang sangat teknis. Kesetaraan yang dinginkan Animal
Rights, sebenarnya hanya berbalik menjadi sesuatu yang dapat mengganggu wilderness dan
natural dari ekosistem. “humas as cultural rather than natural and developed rather than
wilderness”.7
3.5 Animal Rights & Other Rights
Hewan tidak hanya diandaikan perlu berpartisipasi dalam aktivitas Negara, tetapi juga ia
nantinya dianggap layak memiliki partai demi menjadi setara dengan manusia. Alasannya paralel
dengan perjuangan feminis untuk menjadi setara dengan laki-laki datang dari usaha perempuan
itu sendiri, sehingga penyetaraan hewan atas manusia juga harus datang dari hewan tersebut.
Partai untuk hewan harus disejajarkan dengan partai manusia, partai itu juga mesti memiliki
kepentingan, apakah untuk berkuasa, merubah tatanan suatu wilayah atau menjadi pengatur dari
institusi. Meskipun sebuah partai hewan tidak dapat dijalankan oleh hewan, tetapi manusia
sebagai perwakilan dari partai hewan mesti mengikutsertakan hewan sebagai pengurus partai.
Perlindungan hukum harus mampu mengukur kapasitas pihak yang dilindungi, termasuk
hak multikultural perlu diberikan kepada hewan. Multikultural mencakup hak untuk diobservasi
dan dihapuskan diskriminasi diantaranya. Sehingga, sesama hewan diharapkan dapat hidup
berdampingan dan dilarang saling membunuh atau memakan karena ada hak dan kewajiban yang
dilindungi tersebut.
Kemampuan manusia dalam memperjuangkan hak, harus tetap dilandasi kepentingan
rasional untuk manusia itu sendiri, terlebih demi pembelaan atas hak mereka. Namun, pengadaan
atas hak ini seringkali menumbuhkan rasionalitas lain yaitu rasionalitas yang optimis.
Rasionalitas macam ini diliputi optimisme bahwa hewan tidak dapat melakukan tindakan yang
manusia lakukan. Dengan segala kemampuan yang tidak dimiliki hewan, maka manusia
7
Kymlicka & Donaldson, 2011:67
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
diberikan tanggung jawab atas alam. Kewajiban manusia mesti menjaga dan mengolah alam
dalam kapasitas yang mempertimbangkan kepentingan alam, termasuk kepentingan hewan.
Diberikannya ruang optimisme ini dilakukan demi pertimbangan atas alam, sehingga
antisipasi dari rasionalitas lainnya adalah akan terjadinya banyak evolusi atas hak alam.
Contohnya, apabila hak hewan sudah diakui, maka akan banyak hak lain yang diberikan demi
kepentingan hewan itu. Misalnya saja, hal ini serupa dengan hak batu agar tetap keras supaya
dapat melindungi hewan yang tinggal di baliknya; hak pohon bambu agar tidak terlalu besar
supaya panda tetap dapat mengkonsumsinya dan banyak evolusi atas hak yang mungkin
diberikan manusia setelahnya.
Kembali lagi, pengadaan hak terhadap hewan, merupakan sebuah resiprokasi yang perlu
diantisipasi apakah tujuannya membawa kepada kebaikan yang dapat dirasionalkan dan berhak
menjadi legal, atau hanya semacam kegusaran manusia yang kemudian melahirkan antisipasi
karena tidak dapat menjamin kesejahteraan hewan. Alasannya, rasionalitas lain selain mereka
yang menunjukan keterangan optimisme, menganggap bagaimanapun kepentingan manusia
adalah kepentingan yang lebih memiliki urgensitas dari kepentingan alam dan hewan tersebut.
Menjaga dan mengolah merupakan tanggung jawab yang melekat disamping penggunaan dari
manusia sendiri.
Manusia menerapkan welfare dalam menjamin relasi manusia dan hewan, merupakan
hubungan yang akan saling menguntungkan. Manusia mampu mengatasi problem jumlah
populasi dan meminimalisir tingkat kepunahan dalam pemakaiannya melalui teknologi, yaitu
peternakan, inseminasi, kloning ataupun bayi tabung. Dalam penggunaannya, manusia harus
bertanggung jawab atas jumlah hewan di dalam lingkar kehidupannya. Begitupun manusia
terhadap hewan peliharaannya. Manusia merasa memiliki teman lewat hewan peliharaannya,
merasa terjaga oleh anjingnya, merasakan prestige memiliki hewan peliharaan yang bagus,
mahal dan terawat. Dalam hubungan lebih lumrah antara manusia dan hewan yaitu manusia bisa
mengkonsumsi hewan sebagai makan, pakaian, aksesoris, obat ataupun kecantikan. Begitupun
sebaliknya hewan terhadap manusia, hewan yang dapat mendapatkan makanan dari manusia atau
perlindungan dan perawatan dari pemiliknya.
3.6
Moral Agent & Moral Patient
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Perlindungan relasi mengandaikan moral manusia sebagai agent dan hewan sebagai
pasien. Hal ini memungkinkan manusia memiliki hak membela hewan sebagai relasi dari
kemanusiaan terlepas dari pengadaan hak terhadap hewan itu sendiri, dan hubungan yang terjadi
antara keduanya tidak dapat diartikan dan dibekukan dalam hukum. Alasannya, hal itu
merupakan hak kemanusiaan yang hanya dapat dimaknai manusia sebagai makhluk yang
mengerti moralitas lantaran pada dasarnya, kekejaman atas hewan adalah salah satu tindakan
yang merusak kemanusiaan.
Manusia sebagai moral agent mendapati keadaan ia diberikan kewenangan sebagai
seorang praktisi hukum membela hewan yang haknya diganggu oleh manusia lain, seperti dalam
kasus Animal Law. Animal Law sendiri adalah bagian dari Animal Rights yang ingin semua agen
moral yang berkesadaran memiliki antusiasme hewan adalah organisme hidup yang memiliki
nilai intrinsik dan dapat menjaga keselarasan di antara kehidupan manusia. Keberadaan ini
sesungguhnya merupakan keabsurdan dari Animal Law dan manusia sebagai moral agent. Dalam
penerapannya, manusia yang berada di balik Animal Law akan melakukan advokasi dengan
menyerang manusia lain yang dianggap melakukan kekejaman terhadap hewan, dan kasus
kekejaman seperti itu menyeret banyak pihak untuk ikut bertanggung jawab seperti kriminalitas
yang dilakukan manusia terhadap manusia lain. Manusia akan dibagi menjadi dua dalam
kaitannya dengan Animal Law, manusia yang bekerja untuk membela kepentingan hewan dan
manusia yang mempertahankan kepentingannya.
Dalam kaitan manusia sebagai moral agent, Regan mengakui adanya kesulitan dalam
menerapkan Animal Rights. Membutuhkan banyak tangan dalam mewujudkan keseteraan
manusia dan hewan. Manusia harus terlebih dahulu mengubah belief mereka sebelum mengubah
habit mereka. Tidak hanya itu, manusia pun dituntut mengubah konsep tentang reasoning
mengapa perlakuan etis harus dilakukan, daripada hanya berlandaskan compassion atau rasa
kasihan semata. Prinsipnya, manusia dapat menerapkan perlakuan etis terhadap semua hewan,
bukan hanya hewan perliharaannya. Mengenai moralitas, tidak hanya berbicara tentang
perlakuan etis tetapi bagaimana melihat mereka sebagai bagian dari kontrak sosial.8
Kekejaman yang dilakukan kepada hewan dalam proses produksi, banyak dilatar
belakangi oleh tuntutan keefektifan waktu dan faktor finansial. Contoh, gelonggong sapi
menunjukkan tindakan manusia dalam memaksakan sapi mengkonsumsi air diluar batas wajar
8
Regan, 1893:13-16
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
adalah kekejaman, yang manusia sendiri menyadari ia telah melakukan perbuatan tidak etis.
Namun, pada posisi manusia sebagai moral agent, jaminan kesejahteraan untuk manusia ialah
prioritas. Kepentingan manusia harus selalu dalam pertimbangan, mengingat menjaga
kesejahteraan manusia sama saja menciptakan moral agent lainnya. Maka kesejahteraan manusia
harus menjadi hal yang didahulukan karena hal ini dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam
menentukan pilihan untuk tidak melakukan kekejaman.
Senada dengan bahasan sebelumnya, para pecinta hewan, justru berasal dari negaranegara maju yang secara financial mampu untuk tidak menggunakan hewan sebagai konsumsi
pangan, tetapi sebagai konsumsi sosial. Anggapannya, memiliki peliharaan yang banyak dan
lucu adalah kebanggaan. Konsumsi sosial ini dianggap bersebrangan dengan pihak yang
mengkonsumsi hewan guna menyambung hidup seperti yang dilakukan di Afrika atau bagian
negara lain. Pembedaan ini menuai pernyataan, kesejahteraan suatu negara telah menjamin hidup
warga negaranya sehingga perlindungan terhadap hewan dengan sendirinya bermunculan.
Terlepas dari perlindungan hukum terhadap hewan yang masih dirasa penting, sepertinya
manusia perlu mulai memikirkan jalan keluar lain—cara rasional adalah tidak dengan
melindungi yang tidak mengerti perlindungan tersebut atau dalam perannya sebagai moral
patient. Akan tetapi, mendahulukan untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.
Melindungi pihak yang mengerti, bahwa proteksi hewan adalah sebuah tindakan yang benar dan
memuliakan kemanusiaan seperti prinsip dasar moral agent. Dengan demikian, para pembela hak
hewan yang mengabdikan hidupnya demi kepentingan hewan harus diberikan jaminan
perlindungan hukum dan kesejahteraan dua kali lebih besar dari manusia yang tidak
melakukannya. Penerapan jaminan kesejahteraan manusia secara universal penting dilakukan
sebagai upaya pengurangan kekejaman terhadap hewan lewat penggunaan mahluk itu sebagai
konsumsi dan objek eksploitasi.
E. Kesimpulan dan Saran
Animal Rights, sudah melegalkan status hewan sebagai being sejak 1992 di Switzerland,
dan beberapa periode kemudian, Jerman memutuskan untuk menerapkan Animal Rights sebagai
salah satu garansi di negaranya pada tahun 2002 melalui amandemen pertama di tahun 1997.
Kesuksesan yang terbesar dari aktivis Animal Rights adalah dibentuknya Undang-Undang
perlindungan terhadap lima Great Ape di New Zealand tahun 1999. Garis besar perlindungan
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
tersebut menyatakan bahwa lima spesies Great Ape tersebut harus bebas dari penggunaan
sebagai percobaan laboratorium, testing maupun dilatih untuk kepentingan sirkus. Perlindungan
yang sejajar dengan diboikotnya percobaan terhadap Great Ape oleh Inggris di tahun 1986 ini
kemudian diadaptasi oleh beberapa negara bagian lain sebagai suatu perlindungan terhadap
Great Ape karena dalam penelitian, Great Ape memiliki kualitas „human-like’, dimana di dalam
kemampuan bernalarnya, Great Ape setara dengan manusia umur 2 tahun.
Seperti terwujudnya sebuah perlindungan terhadap Great Ape yang dinamakan Great Ape
Project (GAP) oleh Peter Singer di Australia, merupakan perluasan dari sisi Darwinian dalam
filsafat Singer. Filosofis sebuah gerakan pembebasan hewan yang harus diadaptasi secara
universal karena merupakan bentuk dari kesetaraan antara hewan dan manusia lewat
utilititarianisme.9 Dalam The Great Ape Debate, Peter Singer berargumen bahwa spesiesme
harus dihapuskan, dan moral manusia harus melampaui kepentingan spesies lain, sehingga
tercipta suatu “kesetaraan” diantara keduanya.
Di sisi lain, spesiesme akan tetap ada mengingat kapasitas dari hewan yang memiliki
banyak perbedaan signifikan. Rasionalitas dengan acuan moralitas, dapat menghasilkan
tindakan-tindakan yang menghindari manusia dari kekejaman terhadap apapun. Soal
memunculkan argumentasi yang rasional dan tidak rasional, terlihat seperti jalur yang tidak ingin
Animal Rights lewati. Imperatif Kategoris, Immanuel Kant dipakai perlindungan ini sebagai
acuan dari alasan mengapa hewan perlu diberikan hak setara dengan manusia. Namun, aturan
moral yang berlaku universal atau maksim, menyampaikan moralitas dibalik gerakan Animal
Rights tidaklah memenuhi standar dan tidak dapat diuniversalisasikan sebagai sebuah hukum.
Terlihat dari kritik responsif terhadap gerakan tersebut yang memprediksi terjadinya kontroversi.
Karena hukum yang diterapkan mesti mengandung kebijakan yang baik, untuk kembali kepada
pihak yang terkait.10
Ethics dan legal protection ada untuk manusia. Dalam relasinya dengan hewan,
semestinya penerapan ethics dan legal protection tidak menimbulkan permasalahan lanjutan,
tetapi justru harus menjadi acuan utama untuk memecahkan masalah. Dalam prakteknya, bila
perlindungan hukum bekerja untuk melindungi hewan, maka perlindungan tersebut juga harus
valid untuk perlindungan terhadap manusia. Bila kesepakatan dilanggar dan keberadaan manusia
9
Benthall, Jonathan. (2007). "Animal liberation and rights", Anthropology Today, volume 23, issue 2, April.
Kant, 1964:39
10
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
terancam, hewan juga harus dijerat hukuman. Kemampuan suffering yang disudutkan utilitarian,
dalam menjelaskan fenomena ini akan diuji melalui kegelisahan manusia dan hewan bila harus
mengisi ruang sempit tahanan.
Suffering manusia dapat ditangkap lebih nyata melalui ekspresi dan kemampuan
menyatakan secara verbal. Kepentingan manusia yang harus ditinggalkan demi menjalani
hukuman bisa menjadi sangat banyak dibandingkan dengan hewan. Kemampuan makhluk itu
untuk suffering tidak selalu dapat ditunjukan, dan kepentingan hewan tidak pernah melampaui
apa yang disebut dengan „mencari makan‟. Apabila hewan ditahan di tempat yang sama dengan
manusia, terlihat jelas siapa yang memiliki kemampuan suffering paling tinggi. Titik berangkat
yang dilalui utilitarian untuk melakukan perlindungan pun tidak benar-benar kuat untuk
memihak sebuah kepentingan berdasarkan contoh di atas.
Seperti yang dilansir New York Times, tanggal 6 April 2013, bahwa merekam kekejaman
yang terjadi selama proses produksi makanan berbahan dasar daging merupakan tindakan
kriminal. Kepentingan manusia menjadi tergeser akibat banyaknya pihak yang protes dan
menghentikan kerja sama dengan produsen daging tersebut. Penyebaran video tersebut menjadi
provokasi yang dibuat agar manusia menghentikan penggunaan terhadap hewan, sehingga
produsen daging terancam bangkrut dan itu berarti menghapus lapangan kerja. Hal ini
menggambarkan kepentingan manusia jauh lebih terganggu dibandingkan kepentingan hewan.
Dalam kasus ini, mengabaikan manusia lain dan meminggirkan kepentingannya dalam usaha
mendapatkan kesejahteraan hewan adalah hal yang melanggar hukum. Sebagai suatu maxim
yang sudah disepakati, hal ini pun meminggirkan Human Rights yang bekerja secara nyata dalam
melindungi kesejahteraan manusia.
Solusi yang ditawarkan dalam penulisan ini adalah jalan keluar lain dalam menjaga
kemanusiaan lewat perlakuan etis terhadap hewan dengan tidak membebankan kewajiban kepada
manusia lain. Moralitas manusia yang memiliki antusiasme tinggi dalam menjaga relasinya
dengan hewan perlu dilindungi oleh hukum, lebih dari perlindungan terhadap manusia yang tidak
memiliki antusiasme tinggi mengenai relasi ini. Seperti dengan memberikan insentif atau
perlindungan hukum ganda terhadap pejuang kemanusiaan lewat perlakuan etis terhadap hewan.
Dengan begitu, kehadiran moral agent untuk memperluas jaminan kesejahteraan bagi hewan
dapat tercapai sebagai suatu harmonisasi relasi manusia dan hewan. Manusia tidak perlu
meminggirkan kepentingannya, karena prioritas perlindungan terhadap dirinya bertambah, dan
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
hewan tidak perlu menjadi setara karena perlakuan etis atasnya sudah dijamin oleh moral agent
yang memiliki concern terhadap hal ini.
Pada intinya, bila permasalahan kekejaman terhadap hewan ingin selesai, maka
permasalahan kemanusiaan harus lebih dahulu diselesaikan. Adanya eksploitasi atas hewan
terjadi karena adanya eksploitasi atas manusia. Kesejahteraan manusia harus menjadi prioritas
sebelum kesejahteraan hewan dapat diterapkan. Begitupun jaminan atas relasi sesama manusia,
harus tetap menjadi kajian utama yang dibahas sebelum manusia memutuskan untuk mengkaji
relasi manusia dan hewan. Karena bagaimanapun, kekejaman yang dilakukan manusia terhadap
manusia lain merupakan masalah yang lebih penting untuk ditangani, disamping penanganan
kekejaman terhadap hewan. Apabila kekejaman dalam relasi sesama manusia sudah berhasil
mencapai final sebagai penyelesaian, maka urusan kekejaman terhadap hewan baru dapat
ditindak lanjuti. Penekanan tersebut memberikan batasan bahwa kepentingan hewan tidak bisa
berada di atas kepentingan manusia, sehingga gangguan akan kemanusiaan tidak terjadi lewat
kepedulian manusia sendiri. Relasi ideal adalah relasi yang kembali kepada kemanusiaan sebagai
dasar dari pertimbangan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Arluke. (1996). Clinton Sanders Regarding Animals. Temple University Press.
Boria Sax. (2000). Animals in the Third Reich: Pets, Scapegoats, and the Holocaust. Continuum
International Publishing Group.
Cavalieri, Paola and Singer, Peter (eds). (1994). The Great Ape Project: Equality Beyond
Humanity. St. Martin's Press.
Donaldson, Sue and Kymlicka, Will. (2011). Zoopolis, a political theory of Animal Rights. New
York: Oxford University Press.
Donovan, Josephine. (2007). "Animal Rights and Feminist Theory," di dalam Josephine
Donovan, Carol J. Adams, The Feminist Care Tradition in Animal Ethics: A Reader. Columbia
University Press.
Franklin, Julian H. (2005). Animal Rights and Moral Philosophy. New York: Colombia
University Press.
Francis, L.P. Silvers, Anita. (2007). Liberalism and Individually Scripted Ideas of the Good:
Meeting Challenge of Dependent Agency. Social Theory and Practice.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Francione, Gary. (1995). Animals, Property, and the Law. Temple University Press.
Garner, Robert. (2005) The Political Theory of Animals Rights. Manchester University Press.
Griffin, Donald R. (1992). Animal Minds. University of Chicago.
Kant, Immanuel. (1952). Critique of Judgement. Oxford: Clarendon Press.
_____________ (1964). Groundwork of metaphysic of morals. New York, Harper..
Locke, John. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.
___________ (1693). Some Thoughts Concerning Education. Boston: Samuel N. Dickinson,
printer.
Midgley, Mary. (1984). Animals and Why They Matter. University of Georgia Press.
MacKinnon,
Nussbaum, Martha. (2006). Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership.
Harvard University Press.
Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Cambridge University Press.
Regan, Tom. (1983). The Case for Animal Rights. University of California Press.
Singer, Peter. (1990). Animal Liberation. New York: Avon books.
Spencer, Colin. (1995). The Heretic's Feast: A History of Vegetarianism. University Press of
New England.
Steiner, Gary. (2005). Anthropocentrism and its Discontents: The Moral Status of Animals in the
History of Western Philosophy. University of Pittsburgh Press.
Sunstein, Cass R. "Can Animals Sue?" in Sunstein, Cass R. and Nussbaum, Martha.
(2004). Animal Rights. Oxford University Press.
Taylor, Angus. (2009). Animals and Ethics: An Overview of the Philosophical Debate.
Broadview Press,
Waldau, Paul. (2001). The Specter of Speciesism: Buddhist and Christian Views of Animals.
Oxford University Press.
Jurnal:
Arluke and Sax, Unspecified (1993) Understanding Nazi Animal Protection and the Holocaust.
Anthrozoos, 6 (2). pp. 72-107
Canadian Journal of Philosophy, (1977) Naverson on Egoism and the Rights of Animal. North
Carolina State University, volume VII. pp. 179
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Benthall, Jonathan. (2007). "Animal liberation and rights", Anthropology Today, volume 23,
issue 2, April.
Animal rights..., Mellisa Anggiarti, FIB UI, 2013
Download