14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MORALITAS A. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MORALITAS
A. Pengertian Moralitas
Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga berasal dari kata
mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Kata
’bermoral’ mengacu pada bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya
berperilaku. Dan kata moralitas juga merupakan kata sifat latin moralis,
mempunyai arti sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral
dan moralitas memiliki arti yang sama, maka dalam pengertiannya lebih
ditekankan pada penggunaan moralitas, karena sifatnya yang abstrak.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk.1 Senada dengan pengertian tersebut, W.Poespoprodjo
mendefinisikan moralitas sebagai ”kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas
mencakup tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Baron, dkk mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih,
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan
yang membicarakan salah atau benar. Ada beberapa istilah yang sering
digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah
moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang
diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan
susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk
perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.2 Kata moral
sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam
1
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, cet.1, Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm. 8. Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm.192. 2
14
15
kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.3
Dengan
demikian,
pengertian
moral
dapat
dipahami
dengan
mengklasifikasikannya sebagai berikut :
1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan
dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan
meningalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat
untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau buruk.
3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan,
seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.
Dalam terminologi Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan
pengertian “akhlak”, dan dalam bahasa Indonesia, moral dan akhlak
maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan.4 Kata akhlak berasal
dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat.
Meskipun akhlak berasal dari bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak
terdapat di dalam al-Quran. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna
akhlak dalam al-Quran adalah bentuk tunggal, yaitu huluk, yang tercantum
dalam surat al-Qalam ayat 4:
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung. (Q.S al-Qalam ayat:4)5
Dalam al-Quran pun Allah menyuruh umatnya untuk menghiasi
dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan jangan mengotori dirinya
dengan perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti firman Allah dalam surat
3
Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, Cet. Ke-12, PT : BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1999, hlm. 38. 4
Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,
op. cit., hlm.195. 5
Departemen Agama, op. cit., hlm 565 16
Asy-Syams ayat:9-10:
(١٠-٩:‫)الشمس‬ ⌧
Artinya : “Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan
sungguh rugi orang yang mengotorinya”. (Q.S Asy-Syams ayat: 9-10)
Al-Ghazali
mendefinisikan
akhlak
sebagai
suatu
perangai
(watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan,
tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Hal ini juga yang menjadi
salah satu tugas rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits dibawah ini:
(‫انمابعثت التمم مكارم االخالق) روه احمد‬
Artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus Allah untuk menyempurnakan
keluhuran akhlak (budi pekerti), (H.R Ahmad).6
Pengertian akhlak seperti ini hamper sama dengan yang dikatakan oleh
Ibn Maskawih. Akhlak, menurut Ibn Maskawaih, adalah suatu keadaan jiwa
yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan
dipikirkan secara mendalam.7 Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan
baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika
perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak
adalah pendapat Muslim Nurdin, yang mengatakan bahwa akhlak adalah
seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya
suatu perbuatan, atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan
tindakan manusia.8
6
Al ghozali, terjemah: Moh. Rifai ,akhlak seorang muslim, Cet. Ke-1, Wicaksana,
Semarang, 1986, hlm. 10. 7
Ibn Miskawaih, penejemah : Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Cet. Ke-2,
Mizan, Bandung, 1994, hlm. 56. 8
Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, Cet. Ke-1, CV. Alabeta,
Bandung, 1993, hlm. 205. 17
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun
tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan
mempersamakan kedua istilah tersebut.
B. Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau
perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut
perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang
berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang
berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan
apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif
atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Berbicara tentang pembentukan moral, maka tidak bisa lepas dari
aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan
moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti halnya perubahan
manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih
spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang
paling dominan mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut
diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang
digunakan oleh masing-masing tokoh.
C. Moral Dan Akhlak
1. Moral
18
Secara bahasa moral merupakan bentuk jamak dari kata mos yang
bermakna kebiasaan.9 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan
bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.10 Moral dipahami sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan,
khotbah-khotbah, dan patokan-patokan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral dapat berupa agama, nasihat para bijak, orang tua, guru dan
sebagainya. Pendek kata, sumber ajaran moral meliputi agama, adat
istiadat, dan ideologi-ideologi tertentu. Maududi membagi moral menjadi
dua macam, yakni moral religius dan moral sekuler. Moral religius
mengacu pada agama sebagai sumber ajarannya, sedngkan moral sekuler
bersumber pada ideologi-ideologi nonagama. Kata moral selalu mengacu
pada baik buruknya tingkah laku manusia. Sedangkan norma-norma moral
adalah tolok ukur untuk menentukan salah-betulnya sikap dan tindakan
manusia itu sendiri11. Suatu kegiatan dinyatakan bermoral, apabila sesuai
dan sejalan dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dan tidak
menutup kemungkinan moralitas di masyarakat tertentu berbeda dengan
moralitas pada masyarakat lainnya.
2. Akhlak
Dilihat dari sudut pandang etimologi, kata akhlak berasal dari
bahasa arab yang merupakan bentuk jamak dari (khulq) yang artinya budi
pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat.12 Seperti analisisnya Sheila Mc.
Denough yang mengatakan bahwa kata huluq memiliki akar kata yang
sama
dengan halaqo yng berarti “menciptakan” (to creat) dan
“membentuk” (to shape) atau memberi bentuk (to give form). Akhlak
adalah istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti moral.13 Akhlak
merupakan sifat manusia yang terdidik, akhlak adalah sifat yang tertanam
9
Asmaran, op. cit., hlm. 8. Tim Penyusun, op. cit., hlm. 54. 11
Tafsir dkk, op. cit., hlm12. 12
Asep Umar Ismail, op. cit., hlm. 5. 13
Tafsir dkk, op. cit., hlm.14. 10
19
dalam jiwa, Al Khulq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan, baik ataupun buruk tanpa
membutuhkan
pertimbangan
dan
pemikiran.
Akhlak
yang
baik
memunculkan budi pekerti yang mulia yaitu akhlakul mahmudah, yang
dapat membawa kedalam kedamaian dan ketenangan hidup. Sedangkan
akhlak yang membawa efek buruk yang memunculkan perbuatan tercela
disebut dengan akhlakul madzmumah, yang berujung pada kekesalan,
penyesalan, kehinaan, dan kebinasaan.
3. Analisis Perbandingan
Agar kemudian bisa dipahami dalam pemahaman antara akhlak dan moral,
maka beberapa analisis berikut bisa dijadikan acuan untuk penelitian,
dikarenakan antara moral dan akhlak memiliki beda yang tak jauh berbeda
dan begitu pula persamaannya, antara lain;
a. Moralitas dan akhlak sama-sama mengacu pada ajaran atau gambaran
tentang perbuatan, tingkah laku, dan sifat baik.
b. Moralitas dan akhlak merupakan prinsip dan aturan hidup manusia
yang menakar harkat dan martabat kemanusiaannya.
c. Moralitas dan akhlak tidak semata mata karena faktor keturunan yang
bersifat tetap, akan tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki oleh
setiap orang.14
Dalam beberapa literature pendidikan terdapat aliran-aliran yang biasa
digunakan oleh beberapa ahli pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam
menilai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
proses
perubahan
atau
perkembangan manusia. Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Aliran Nativisme
Nativisme adalah suatu doktrin filosofis yang berpengaruh besar
dalam pemikiran psikologis. Tokoh utamanya adalah Arthur Schopenhaur
14
Asep Umar Ismail, op. cit., hlm. 7. 20
(1788-1860) seorang
filosuf berkebangsaan
Jerman.15
Aliran
ini
berpandangan bahwa, yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah
faktor keturunan dan pembawaan atau sifat-sifat yang dibawanya sejak
lahir. Pendidikan dan pengalaman hidup lainnya tidak dapat mengubah
sifat-sifat keturunan/pembawaaan manusia.
Usaha-usaha mendidik dalam pandangan aliran ini merupakan
usaha yang sia-sia. Karena pandangan pesimis ini, maka aliran ini dalam
dunia pendidikan disebut “Pesimesme pedagogis.”16
Secara singkat, keturunan diartikan semua sifat-sifat atau ciri-ciri
yang melekat pada seorang anak yang merupakan regenerasi dari orang
tuanya.17 Sedangkan pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau
potensi-potensi
yang
terdapat
pada
seseorang
yang
selama
perkembangannya bisa direalisasikan atau pengertian ini bisa disamakan
dengan bakat (anleg).18 Perbedaan pengertian antara keturunan dan
pembawaan sebenarnya bukan masalah substansial, karena banyak pemikir
cenderung tidak membedakan arti keduanya.
Omar
Muhammad
Al-Toumi
Al-Syaibani
menyebutkan,
keturunan/pembawaan sebagai ciri dan sifat-sifat yang diwarisi dari orang
tuanya. Sifat-sifat tersebut dibagi tiga macam.
1. Sifat-sifat tubuh (Jasmani), seperti warna kulit, warna mata, ukuran
tubuh, bentuk kepala, wajah, rambut dan lain-lain.
2. Sifat-sifat akal, seperti cerdas, pandai, bebal, bodoh dan lain-lain.
3. Sifat-sifat akhlak atau moral, seperti prilaku baik, prilaku jahat,
pemberani, pemarah, pemaaf, penyabar, penolong, beriman dan
bertaqwa, dan lain-lain.
Pengaruh faktor keturunan terhadap pembentukan manusia sampai
saat ini masih menjadi polemik. Ada yang setuju ada yang tidak setuju dan
15
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Cet. ke-1, PT. Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1995, hlm. 42-43. 16
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Cet. Ke-11,
PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1988, hlm. 59. 17
Ibid, hlm. 64. 18
Ibid, hlm. 66. 21
ada pula yang netral. Mereka mengakui tentang pengaruh faktor keturunan
terhadap aspek jasmani (tubuh/badan) manusia dan akalnya. Tetapi mereka
tidak menerima faktor keturunan dapat mempengaruhi sifat akhlak (moral)
dan kebiasaan sosial.19
Dalam
hal
ini
bisa
dikatakan
bahwa
keturunan
banyak
mempengaruhi pertumbuhan manusia dalam aspek jasmani dan kualitas
akal.
Namun,
terhadap
akhlak
dan
prilaku
sosial
manusia,
kemungkinannya sangat kecil.
Tidak ada ruang bagi pendidikan untuk mempengaruhi perubahan
manusia karena aliran ini berkeyakinan bahwa satu-satunya faktor yang
dapat mempengaruhi hanya faktor pembawaan atau faktor keturunan.
Hampir sama dengan aliran nativisme adalah aliran naturalisme.
Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini
berpendapat bahwa pada dasarnya semua anak (manusia) adalah baik.
Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal manusia, aliran ini
tidak menafikan peranan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan.
Pendidikan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik.
Sebaliknya pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia
menjadi jelek juga. J. Rooseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan,
“semua anak adalah baik pada dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan
manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan pendapat agar pendidikan anak
menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak hendaklah
dibiarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan
masyarakat jangan terlalu ikut mencampurinya.20
Dalam konteks pembentukan moral siswa, maka menurut aliran
nativisme, moral seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri sesuai dengan
sifat-sifat pembawaan yang ada sejak manusia lahir, dan pendidikan tidak
mempunyai peran dalam membentuk moral siswa.
19
Omar M. al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. Ke-1, Bulan Bintang,
Jakarta, 1979, hlm. 138-139. 20
Ibid., hlm.137. 22
2. Aliran Empirisme
Aliran empirisme berlawanan dengan aliran nativisme. Kalau
dalam nativisme pembawaan atau keturunan menjadi faktor penentu yang
mempengaruhi perkembangan manusia, maka dalam empirisme yang
mempengaruhi
perkembangan
manusia
adalah
lingkungan
dan
pengalaman pendidikannya.
Tokoh utama aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) dengan
gagasan awalnya mendirikan “The school of british empiricism” (aliran
empirisme Inggris). Sekalipun aliran ini bermarkas di Inggris tetapi
pengaruhnya sampai ke Amerika Serikat sehingga melahirkan aliran
“environmental psychology”21
Lingkungan menurut Zakiyah Daradjat dalam arti yang luas
mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan,
pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan adalah segala sesuatu
yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa
berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia atau benda buatan
manusia, bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang
mempunyai hubungan dengan manusia. Sejauh manakah manusia
berinteraksi dengan lingkungan, sejauh itulah terbuka peluang masuknya
pengaruh pendidikan kepadanya.22
Sartain (Seorang ahli psikologi Amerika) menyebutkan, bahwa
yang dimaksud lingkungan adalah semua kondisi dalam dunia ini yang
dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Kemudian dia membagi lingkungan menjadi tiga
bagian; lingkungan alam/luar (external environment), lingkungan dalam
(internal environment) dan lingkungan sosial (social environment).23
1. Lingkungan luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini dan
21
Ngalim Purwanto, Psikologi Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hlm. 59. Muhibbin Syah, op. cit, hlm. 43. 23
Zakiyah Deraradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. Ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, 1992,
hlm. 63-64. 22
23
bukan manusia seperti, tumbuh-tumbuhan, hewan, iklim, air dan
sebagainya.
2. Lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang ada dalam diri manusia
dan mempengaruhi pertumbuhan fisiknya.
3. Lingkungan sosial adalah semua orang atau orang lain yang
mempengaruhi manusia baik secara langsung atau tidak langsung.
Dari ketiga pembagian lingkungan di atas, maka lingkungan
sosiallah yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral
seseorang.
Aliran ini juga mendapat dukungan dari kaum behavioris. Salah
satu tokoh tulen behavioris Waston berkata : “Berilah saya sejumlah anak
yang baik keadaan badannya dan situasi yang saya butuhkan, dan dari
setiap orang anak, entah yang mana dapat saya jadikan dokter, seorang
pedagang, seorang ahli hukum, atau jika memang dikehendaki, menjadi
seorang pengemis atau seorang pencuri”.24 Secara eksplisit aliran
empirisme menekankan betapa peran lingkungan dan pengalaman
pendidikan sangat besar dalam mengubah atau mengembangkan manusia
dan setiap anak bisa dibentuk sesuai dengan kepentingan dan arahan
lingkungan. Pendapat kaum empiris yang optimis ini, dalam dunia
pendidikan dikenal dengan “optimisme pedagogis”.
Doktrin mendasar yang masyhur dalam aliran empirisme adalah
teori “tabula rasa”, sebuah istilah latin yang berarti batu tulis kosong atau
lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa
menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Dalam
arti, perkembangan manusia tergantung pada lingkungan dan pengalaman
pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap
tidak ada pengaruhnya.25
Dalam hal ini, para penganut empirisme menganggap setiap anak
lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan
24
25
Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 72-73. Ibid., hlm. 59. 24
dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak kelak tergantung pada
pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
Sukar untuk tidak menyakini bahwa lingkungan memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap proses pembentukan manusia. Lingkungan
akan menentukan prilaku dan moral manusia. Seorang anak yang tinggal
dalam kondisi sosial masyarakat yang tidak teratur, kemampuan ekonomi
di bawah rata-rata, lingkungan alam yang kumuh tanpa fasilitas-fasilitas
umum yang memadai seperti sarana ibadah, sarana olah raga dan lain-lain,
akan menyuburkan pertumbuhan anak-anak nakal dan kurang bermoral.
Untuk anak yang hidup dalam lingkungan ini, tidak cukup alasan untuk
tidak menjadi brutal, apalagi jika orang tuanya kurang peduli dengan
perkembangan anaknya.
Bagi aliran ini, pembentukan moral dan prilaku manusia akan
sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik
(bermoral) tempat di mana anak-anak melakukan interaksi akan
terpengaruh pada terciptanya anak-anak yang berprilaku dan bermoral
baik. Demikian pula lingkungan yang tidak baik akan menciptakan anakanak yang bermoral tidak baik.
3. Aliran Konvergensi
Munculnya aliran konvergensi merupakan respon terhadap
pertentangan antara dua aliran ekstrim nativisme dan empirisme.
Konvergensi berusaha untuk mengkompromikan arti penting aspek
keturunan pada satu sisi dan aspek lingkungan di sisi lain sebagai faktor
yang mempengaruhi perkembangan manusia. Tokoh aliran ini, Louis
William Sterm, seorang psikolog Jerman (1871-1938).
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi manusia, aliran ini
tidak hanya berpegang pada lingkungan, pengalaman/pendidikan saja,
tetapi juga mempercayai faktor keturunan. Konvergensi memposisikan
pembawaan dan lingkungan dalam posisi yang sama-sama penting.
Pembawaan tidak mempunyai arti apa-apa terhadap perkembangan
manusia jika tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai.
25
Demikian pula, lingkungan dan pengalaman tanpa adanya bakat
pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai dengan
harapan. Bagi aliran konvergensi, keturunan dan lingkungan sama-sama
mempunyai peran dan andil dalam perkembangan manusia.
Tentang
pengaruh
keturunan
dan
lingkungan
terhadap
perkembangan manusia, Omar al-Toumy al-Syabany menegaskan :
Kita menyakini bahwa manusia (insane) dengan seluruh perwatakannya
(karakter) dan pertumbuhannya adalah pencapaian dan faktor; yaitu
warisan dan lingkungan. Dan faktor ini mempengaruhi manusia dan
berinteraksi dengannya sejak hari pertama ia menjdi embrio hingga
hayat. Oleh karena kuat dan bercampur aduknya peranan kedua faktor
ini, maka sukar sekali untuk menunjukkan perkembangan tubuh atau
tingkah laku (moralitas) secara pasti kepada salah satu dari dua faktor.26
Keterkaitan peran antara keturunan dan lingkungan dapat
diumpamakan dengan menyemai benih tanaman yang bagus. Jika ingin
menghasilkan tanaman yang bagus, maka harus disemai di lahan yang
subur. Seandainya benih tersebut disemai di tanah yang tidak cocok atau
tandus, maka hasilnya tidak akan sesuai harapan. Demikian pula
sebaliknya, sesubur apapun tanahnya, jika benih yang ditanam tidak bagus
maka hasilnya pun tentu kurang bagus.
Dalam hal ini yang berbeda mungkin tingkat dominasi tingkat
pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap pertumbuhan manusia.
Pengaruh kedua faktor ini juga berbeda melihat umur dan fase
pertumbuhan yang dilalui. Faktor keturunan umumnya lebih kuat
pengaruhnya pada tingkat bayi. Faktor keturunan berkembang sebelum
terjadinya interaksi sosial serta adanya pengalaman-pengalaman baru.
Sebaliknya faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila manusia
meningkat dewasa. Karena waktu itu ruang gerak untuk melakukan
interaksi dengan lingkungan sosial dan pengalaman-pengalaman hidup
semakin luas terbuka.
Dengan adanya berbagai pandangan tentang perubahan moralitas,
26
Muhibbin Syah, op. cit., hlm. 44. 26
penulis cenderung sepakat dengan pandangan yang terakhir (aliran
konvergensi), karena dalam keyakinan penulis antara faktor pembawaan
dan faktor lingkungan (pendidikan) sama-sama mempunyai peran dalam
membentuk moralitas seseorang.
Al-Ghazali mengatakan, dalam diri manusia memang ada potensipotensi yang mengarahkan manusia untuk berbuat jahat, seperti sifat
syahwah (ambisi) dan ghadlob (emosi). Tetapi potensi jahat itu bisa
diredam dengan cara melakukan perlawanan terhadapnya (mujahadah) dan
melalui proses latihan yang diterima secara terus menerus (riyadlah).27
Secara alami manusia dalam dirinya mempunyai potensi karakter
yang berkecenderungan baik dan buruk, tetapi dengan pendidikan atau
melalui nasehat-nasehat yang mulia, cepat atau lambat karakter tersebut
pasti mengalami perubahan. Manusia yang secara alami buruk bisa
berubah menjadi baik melalui pendidikan atau pergaulan dengan orangorang yang baik dan shaleh. Ibnu maskawih kemudian mengutip perkataan
Aristoteles dalam Book On Ethie Dan Book On Categories, bahwa orang
yang buruk akan menjadi baik melalui pendidikan.28
4. Tingkat Akseptabilitas Perubahan Moralitas
Disadari bahwa karakter (akhlak/moral) manusia bersifat fleksibel
atau luwes serta bisa diubah atau dibentuk. Moralitas manusia suatu saat
bisa baik tetapi pada saat yang lain menjadi jahat. Perubahan ini
tergantung bagaimana proses interaksi antara potensi dan sifat alami yang
dimiliki manusia dengan kondisi lingkungan, sosial, budaya, pendidikan
dan alam.
Tingkat akseptabilitas atau penerimaan manusia terhadap proses
perubahan moral juga berbeda. Hal ini karena kondisi moralitas masingmasing pada saat akan diubah atau dibentuk juga berbeda. Manusia dengan
tingkat kerusakan moralnya yang sudah parah atau sudah menginternal,
akan berbeda tingkat kesulitannya dalam mengubahnya bila dibandingkan
27
28
Al-Syaibany, op. cit hlm. 136. Al-Ghazali, op. cit, hlm. 41-42. 27
dengan kondisi moralitas yang tidak terlalu rusak.
Di samping itu faktor pembawaan (tabi’at) yang diwarisi sejak
manusia lahir juga menentukan tingkat penerimaan dalam perubahan
moral. Perbedaan penerimaan perubahan ini dapat kita saksikan khususnya
pada anak-anak. Anak-anak biasanya tidak menutup-nutupi dengan
sengaja dan sadar karakter yang dimilikinya. Kita dapat menyaksikan
bagaimana tingkat penerimaan mereka terhadap perbaikan karakter, Ada
sebagian anak yang dengan mudah menerima proses perubahan atau
perbaikan tetapi sering kita saksikan pula banyak anak yang enggan
menerima perbaikan karakter itu. Sikap mereka ada yang keras dan ada
yang malu-malu”29
Terhadap perbedaan tingkat penerimaan perbaikan moral/akhlak,
al-Ghazali membagi manusia dalam beberapa kelompok kriteria :
1. Seorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu
membedakan antara yang hak dan yang bathil atau antara yang baik
dan yang buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan,
dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Demikian pula
ambisinya belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai
kesenangan hidup manusiawi. Orang seperti ini sangat cepat dalam
proses perbaikan moralnya. Orang seperti ini hanya membutuhkan
pembimbing untuk melakukan mujahadah. Orang seperti ini akan
mengalami perbaikan moral dengan cepat.
2. Orang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia
belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik bahkan ia cenderung
mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk dari
pada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan
baik. Perbaikan moral/akhlak seperti ini tentu tingkat kesukarannya
melebihi dari tipe orang sebelumnya. Sebab usaha yang harus
dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan
buruknya, orang tersebut secara seius dan konsisten melakukan
29
Ibn Miskawaih, op. cit, hlm. 57-58. 28
latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik.
3. Orang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan
sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap baik dan
menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu.
Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha
yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya.
Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
4. Seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk, seiring dengan
pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan)
yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa
banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan
banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini
berada dalam tingkatan orang yang paling sulit untuk diobati. Usaha
memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sebuah usaha yang siasia.30
D. Etika, Etiket dan Moralitas
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata
‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos
mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya
istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens,
2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah
kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata
30
Al-Ghazali, op. cit, hlm. 41-43. 29
tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal
tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens
terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia yang lama etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru mempunyai arti :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Dari perbandingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai
ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti.
Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar
“Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila
dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama
tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut
bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya
lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1.
Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama
Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di
30
sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem
nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf
sosial.
2. Kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas
dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini
sama artinya dengan filsafat moral.31
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari
kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan
manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya
harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya
menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar
etiket.
Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi
norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik
orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin
sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma
etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan
tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada
orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau
tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang
makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja
31
Siti Barokah, Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif (Studi Kasus Pada
Sekolah Inklusif SD Hj. Isriati Semarang, Tesis, Tidak Diterbitkan, 2008, hlm. 28. 31
makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang
makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket
jika saya makan dengan cara demikian.
Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain.
Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada
orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan
meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan,
bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan
tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan
prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang
pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi
sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di
dalam penuh kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin
bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang
sungguh-sungguh baik.32
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’
yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing
mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan
dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata
‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu
kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata
‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja
yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita
32
http://massofa.wordpress.com, Pengertian Etika Moral dan Etiket, 2008. 32
mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka
kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma
etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilainilai dan norma-norma yang tidak baik.33
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara
tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau
baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
E. Kebebasan Bagi Penyandang Cacat
Jika kita lihat dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kebebasan positif itu mengacu pada Freedom to atau dengan kata lain
kebebasan yang ditentukan dengan melihat apa yang bisa saya perbuat untuk
orang lain. Sedangkan kebebasan negatif atau yang mengacu pada Freedom
from atau dengankata lain lebih merujuk pada kebebasan yang terlepas dari
segala tekanan atau mengacu pada the state of nature.
Penyandang cacat merupakan manusia atau sosok individu yang selalu
dianggap kurang atau tidak lengkap, seperti halnya Aristoteles memandang
wanita sebagai manusia yang tidak lengkap. Sehingga penanganan terhadap
mereka pun begitu timpang, terkesan tidak serius.
Namun kalau kita menyadari dan lebih memahami
mereka
sesungguhnya penyandang cacat adalah sosok manusia individual yang
mempunyai banyak potensi dan kelebihan yang tentunya dapat bermanfaat
bagi kehidupannya bermasyarakat (terutama dalam pembanguan).
Kebebasan memang dirasakan perlu oleh para penyadang cacat jika
dilihat dari keberadaan mereka yang terkungkung oleh stigma yang
33
Ibid., hlm. 32. 33
mengekang mereka sehingga mereka tidak dapat bergerak bebas di dunia ini,
dan otomatis mereka tidak dapat mengembangkan dirinya secara optimal.
Kebebasan yang dapat diwujudkan bagi para penyandang cacat adalah
dilengkapinya sarana dan prasarana bagi para penyandang cacat agar mereka
dapat beraktifitas tanpa mengalami keterbatasan-keterbatasan yang cukup
mengganggu, seperti fasilitas kendaraan umum, tempat parkir khusus bagi
para penyandang cacat, fasilitas tangga dan sebagainya, yang semuanya itu
merupakan sarana yang dapat menunjang mereka dalam berkreasi.
Persamaan hal juga merupakan hal yang paling penting. Mereka adalah
manusia yang juga ingin bereksistensi secara menyeluruh. Mereka
membutuhkan pendidikan yang sama dengan manusia normal, mereka juga
memunyai kemampuan yang sama bahkan terkadang melebihi manusia
normal. Janganlah mereka selalu dijadikan Objek tetapi pandanglah mereka
sebagai subjek yang berkemauan dan berketerampilan.34
Seperti Doktrin yang selalu dielu-elukan oleh kaum eksistensialis
bahwa kebebasan adalah sesuatu yang tidak terelakkan dan terkadang
mendatangkan penderitaan. Para Penyandang cacat juga ingin berkesistensi,
pendidikan juga merupakan hal yang terpenting, saat ini kondisi pendidikan
bagi mereka sangatlah menyedihkan keadaannya. Memang sarana dan
prasarana yang dibutuhkan oleh mereka membutuhkan biaya yang sangat
besar dan mahal sehingga perlulahkiranya peran serta dari masyarakat dan
negara untuk mendukung hal ini, sebab mereka adalah anggota dari
masyarakat kita, dan seperti doktrin yang diungkapkan oleh kebebasan positif,
bahwa kebebasan akan kita peroleh dengan berbuat kebaikan untuk orang lain,
karena jika kita menelantarkan para penyandang cacat maka secara otomatis
akan terganggu keseimbangan atau harmonisasi yang ada dalam masyarakat.
Dari sudut pandang kebebasan negatif para penyandang cacat juga ingin
terbebas dari segala tekanan baik stigma yang mereka dapatkan dari
masyarakat sekitarnya maupun keterbatasan fasilitas yang ada di dalam
masyarakat sehingga mereka tidak secara maksimal dapat mengembangkan
34
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51, Kebebasan Bagi Penyandang Cacat, 2008. 34
kemampuannya, ini otomatis telah melanggar kebebasan secara negatif atau
dengan kata lain telah terlanggarlah ahak asasi manusia.
Jadi dapat dikatakan bahwa kebebasan yang dibutuhkan oleh para
penyandang cacat adalah kebebasan mereka untuk bisa bereksistensi dan
beraktualisasi dan tentunya mereka juga ingin berperan untuk negara dan
bangsa mereka. Karena dengan merasa dirinya bermanfaat bagi banyak orang
maka ia telah merasa bebas secara positif, karena para penyandang cacat itu
juga
mempunyai banyak sumbangan yang sangat bermanfaat bagi
masyarakatnya.35
35
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51, Kebebasan Bagi Penyandang Cacat, 2008. 
Download