makalah antropologi sosial

advertisement
Ulos Dalam Kehidupan Masyarakat Batak Toba
Oleh : Rachmawati1, Widya Hasian2, Audina A. Prameswari3
Pendahuluan
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, yang membentang dari sabang sampai merauke. Salah satu suku
bangsa tersebut adalah suku Batak. Suku Batak mendiami daerah Sumatra Utara,
dan terbagi lagi menjadi beberapa sub-suku, yang salah satunya adalah suku Batak
Toba. Suku ini memiliki bahasa, budaya, dan artefak tersendiri. Ulos merupakan
salah satu kerajinan tenun khas yang dimiliki suku Batak. Ulos melekat pada
kehidupan orang Batak dari kelahiran hingga kematiannya.
Keterkaitan ulos dengan kebudayaan orang Batak menjadi suatu fenomena
antropologi yang unik. Berdasarkan teori-teori antropologi, ulos dapat dikaji
sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan Batak. Makalah ini akan mencoba
memaparkan kaitan ulos sebagai unsur kebudayaan dengan kehidupan orang
Batak.
Landasan Teori
Menurut Winati Wigna dan Martua Sihaloho (2009), antropologi sebagai
sebuah ilmu yang mengkaji manusia, mengandung perspektif yang menekankan
pada analisis masyarakat dan kebudayaan. Winati Wigna (2009) menyebutkan
bahwa terdapat banyak definisi tentang kebudayaan,
“tetapi para antropolog generasi baru sepakat untuk memahami
kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan ide
yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi
sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam
bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di
tempat mereka berada. Tidak mungkin ada kebudayaan tanpa
masyarakat, sebaliknya tidak ada masyarakat manusia yang tidak
berbudaya.”
Keterkaitan budaya dengan masyarakat yang dinamis menjadikan
antropologi terspesifikasi ke dalam antropologi ekonomi, antropologi sosial dan
antropologi budaya. Menurut Martua Sihaloho (2009) antropologi ekonomi
memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia.
Dalam studi antropologi ekonomi, pertukaran dilihat sebagai gejala kebudayaan
yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi
1
I34120105
2
I34120122
3
I34120153
1
juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial” (Dalton, 1961:12
dalam Winati W. et al 2009). Berbagai pertukaran yang terdapat dalam masyarakat
tradisional dan pedesaan yang tidak menggunakan mekanisme uang disebut
dengan istilah resiprositas dan redistribusi. Resiprositas yaitu pertukaran timbal
balik antar individu atau kelompok.
Menurut Sahlins (1974) dalam Wigna W. et.al (2009), ada tiga macam
resiprositas, yaitu resiprositas umum, resiprositas sebanding, resiprositas negatif.
“Resiprositas Umum (Generalized Reciprocity); individu atau
kelompok memberikan barang/jasa kepada individu/kelompok lain
tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Dalam resiprositas
sebanding, barang/jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang
sebanding. Resiprositas negatif identik dengan proses jual-beli di
pasar, masing-masing pihak berusaha mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. “
Menurut Winati Wigna (2009), antropologi sosial merupakan sebuah
cabang dari ilmu yang mempelajari secara mendalam mengenai dasar-dasar
kebudayaan yang dialami oleh manusia, atau biasa dikenal sebagai ilmu etnologi.
Dalam kajiannya, antropologi sosial ini dikaitkan dengan kajian yang bersifat
sosiologis. Fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat tertentu ditinjau
sebagai sebuah proses sosial sehingga dikaitkan dengan ilmu sosiologis. Berbeda
dengan antropologi sosial, antropologi budaya dalam pengertian yang sempit itu
makin lama makin menggeluti upaya untuk menyusun generalisasi dan teori
tentang perilaku dan budaya sosial manusia sebagai titik utama perhatiannya.
Analisis
Ulos merupakan selembar kain tenunan yang memiliki nilai seni. Ulos
pada awalnya digunakan sebagai selimut untuk menghangatkan badan. Menurut
kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada
manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut
ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu ulos tidak hanya untuk menghangatkan tubuh, namun
ulos kemudian melekat pada kebudayaan orang Batak. Menurut Miyara Sumatra
Foundation, ulos merupakan salah satu peradaban tertua di asia, yang ada sejak
empat ribu tahun yang lalu bahkan telah ada sebelum bangsa Eropa mengenal
tekstil.
Ulos dipercaya masyarakat Batak, memiliki nilai gaib yang dapat
mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Dalam pembuatannya, banyak
aturan dan larangan yang apabila dilanggar, dapat mendatangkan malapetaka dan
kehancuran bagi orang yang menerima ulos itu kelak. Pemahaman ini berakhir
ketika agama Kristen masuk ke tanah Batak melalui para misionaris. Ulos
2
kemudian tidak lagi ditakuti, tetapi tetap menjadi suatu budaya yang memiliki
makna tersendiri bagi orang Batak.
Ulos menjadi lambang pengikat kasih sayang antar sesama. Makna
simbolik ulos secara umum terdiri atas tiga bagian, yaitu; hapal (tebal)
memberikan kehangatan tubuh dan roh bagi yang menerimanya. Sitorop Rambu
(banyak rambu pada ujung ulos) mempunyai arti agar mendapatkan banyak
keturunan putra dan putri bagi yang menerimanya. Ganjang (panjang) yang
mempunyai arti agar orang yang penerimanya panjang umur.
Kain ulos tidak boleh diberikan dari orang yang kedudukannya lebih
rendah kepada yang lebih tinggi. Kegiatan mangulosi adalah pemberian ulos pada
seseorang yang dilakukan dengan memakaikan ulos yang direntangkan kepada
penerimanya. Mangulosi bukan sekedar pemberian biasa. Ritual ini mengandung
arti yang dalam yaitu pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan
kebaikan-kebaikan lainnya.
Terdapat berbagai jenis ulos dalam adat Batak. Masing-masing jenis ulos
itu memiliki makna filosofis yang berbeda. Corak dan panjangnya juga berbeda.
Beberapa jenis ulos yang umum diketahui adalah:
1. Ulos Ragidup
Ulos yang paling tinggi derajat dari semua ulos menurut suku Batak Toba
adalah Ulos Ragidup. Ulos ini menjadi simbol kehidupan, dan cerminan
hidup, serta perlambangan harapan untuk orang Batak Toba agar lebih
panjang umurnya daripada orang yang lebih tua sebelumnya. Biasanya
ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan selendang (sitalihononton).
Motif ulos ini agak rumit dan menurut informasinya, ulos ini menjadi ulos
yang paling sulit dalam proses pembuatannya.
2. Ulos Ragidup Silinggom
Ulos inilah yang paling tepat diberikan kepada anak yang memiliki
pangkat dan kuasa, dengan maksud, kita dapat marlinggom yaitu
berlindung di bawah kebijaksanaannya. Ulos biasa diberikan kepada
petinggi yang mendatangi kampung. Ulos Ragidup Silinggom tidak
diperjual belikan.
3. Ulos Bintang Marotur/ Ulos Maritur
Artinya adalah kebijaksanaan. Ulos ini juga disebut sebagai siatur
maranak, siatur marboru, siatur hagabeon, siatur hamoraon.
4. Ulos Sadum/ Godang
Ulos ini mungkin yang paling bagus corak dan warnanya diantara semua
ulos, sehingga ulos ini lebih mahal. Lebar ulos ini juga cukup lebar
diantara ulos suku Batak Toba lainnya. Secara tingkatan derajat ulos
Sadum atau ulos Godang masih dibawah ulos Ragidup, tetapi harganya
jauh lebih mahal dari ulos Ragidup. Ulos ini biasanya diberikan kepada
anak kesayangan kita, yang membawa sukacita dalam keluarga. Inilah
yang diharapkan dengan adanya pemberian ulos ini, supaya kelak si anak
makin membawa hal-hal kebajikan yang banyak dan besar, mencapai apa
3
5.
6.
7.
8.
9.
yang dicita-citakannya dan mendapat berkat yang banyak dan besar.
Biasanya ulos Godang ini sering dibuat baju dan selain itu cara
memakainya bisa dengan diselendangkan, dililitkan ataupun dililitkan di
pinggang.
Ulos Ragi Hotang
Ulos inilah yang umumnya lebih banyak digunakan dalam pesta adat,
biasa dikenakan oleh kaum pria. Ulos ini sering dijadikan baju, untuk
mengafani jenazah yang meninggal dan juga membungkus tulang belulang
dalam acara penguburan ke dua kalinya (mangungkal holi).
Ulos Sitolu Tuho
Ulos ini menggambarkan simbol kekerabatan orang Batak yaitu Dalihan
Na Tolu (di ulos sering ditulis “ Paratur ni Parhundulon “).
Ulos Bolean
Ulos ini diberikan kepada anak yang kehilangan orang tuanya. Artinya
membelai-belai, dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sedih
(mangapuli) agar hati anak yang sudah kehilangan orang tua tabah
menjalani kehidupannya.
Ulos Sibolang
Ulos Sibolang disebut juga Sibulang merupakan ulos yang diberikan untuk
menghormati jasa seseorang. Ulos Sibolang juga sering dipakai untuk
menghadiri upacara kematian dan biasanya dililitkan di kepala dari salah
satu pihak keluarga yang ditinggalkan (Namabalu).
Ulos Mangiring
Sering diberikan untuk menggendong anak, dengan harapan anak yang
akan memakai ulos ini akan terus dalam iringan orang tuanya.
Berbagai jenis ulos diatas memiliki peranan tersendiri dalam kehidupan
adat Batak Toba. Peranan ulos tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek
kehidupan masyarakat Batak Toba. Tiga aspek kehidupan yang terlihat dengan
jelas dalam hubungan tersebut adalah kebudayaan, kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat. Ketiga unsur kehidupan orang Batak Toba ini tidak pernah terlepas
dari ulos.
Dari sudut pandang antropologi budaya, ulos merupakan tradisi yang
melekat pada orang Batak Toba. Mulai dari kelahiran hingga kematian, kehidupan
orang Batak Toba akan selalu dihiasi dengan ulos. Pada saat kelahiran misalnya,
seorang anak Batak Toba, akan diberikan Ulos Mangiring. Kemudian ketika ia
menikah kelak, minimal ia akan mendapat Ulos Hela dari mertuanya. Pada saat
seorang Batak meninggal, Ulos Ragi Hotang akan digunakan untuk menutupi
jenazahnya.
Pada awalnya, ulos tampil sebagai suatu alat kepercayaan atau agama,
bukan sebagai suatu simbol budaya. Ulos dipercayai masyarakat sebagai
perlambangan penyembahan kepada dewata kepercayaan Batak kuno, sebelum
masuknya para misionaris yang kemudian membawa agama Kristen. Penggunaan
4
ulos kemudian bergeser menjadi suatu budaya yang diturunkan secara turuntemurun dan dilakukan berulang-ulang dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Upacara adat tidak akan mungkin dilaksanakan tanpa adanya adegan pemberian
ulos.
Ulos juga menjadi pengikat antara masyarakat. Memang, biasanya ulos
diberikan pada kerabat atau orang yang memiliki hubungan darah dengan pihak
pemberi ulos. Ini merupakan tanda bahwa hubungan kasih diantara pihak pemberi
dan penerima telah terjalin. Begitu pula halnya ketika ulos diberikan pada orang
yang tidak memiliki hubungan darah dengan pemberi ulos. Biasanya pemberian
ulos ini sebagai simbol penghargaan atau penghormatan kepada orang yang
diberikan. Pemberian ini selain bermakna penghormatan, juga sebagai suatu tanda
tersirat bahwa orang yang diberi telah diterima di masyarakat, walaupun untuk
menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba dan mendapat marga, seseorang yang
asing tersebut harus menjalani beberapa rangkaian adat lainnya.
Pergerakan masyarakat Indonesia, termasuk juga orang Batak Toba
terhadap terpaan modernisasi, ternyata tidak mengubah budaya mereka dalam
memandang ulos. Ulos tetap digunakan dan ada dalam kehidupan mereka,
meskipun memang terdapat perubahan-perubahan yang sifatnya tidak mendasar.
Perubahan tersebut seperti berkembangnya pembuatan ulos dengan warna dasar
ulos selain warna hitam (birong), putih (bontar) dan merah (rara). Ulos di masa
sekarang (biasanya ulos Sadum) mulai dibuat dengan dasar kain berwarna kuning,
ungu, biru, merah jambu dan warna-warna lainnya, yang dapat dipadukan dengan
berbagai warna kebaya yang biasanya dipakai para perempuan. Kebaya
merupakan baju yang biasa digunakan perempuan Batak Toba masa kini dalam
menghadiri berbagai acara. Ulos yang warnanya telah disesuaikan, membuat para
wanita Batak memiliki berbagai variasi kombinasi warna busana. Perubahan ini
tentunya tidak menggeser fungsi utama ulos sebagai suatu artefak kebudayaan,
maupun arti filosofis dari ulos tersebut. Corak ulos juga di kemudian hari
dianggap unik dan khas. Banyak desainer busana yang kemudian mengangkat
corak ulos menjadi inspirasi pembuatan busana, dengan menonjolkan ciri khas
Indonesia.
Secara antropologi sosial, ulos juga memiliki peranan dalam kehidupan
orang Batak. Ulos dapat menjadi simbol tingkatan sosial (kedekatan hubungan
persaudaraan) orang yang menggunakannya. Apabila seseorang memberikan ulos
dengan harga yang mahal pada seseorang lainnya, dapat dipastikan bahwa kedua
orang itu memiliki hubungan darah yang dekat. Misalnya, ketika seorang anak
laki-laki menikah, mertua anak tersebut akan memberikan Ulos Hela yang
biasanya harganya lebih mahal dari ulos yang lain.
Selain itu, ulos yang mahal, sama seperti busana yang dikenakan manusia
pada umumnya, juga dapat menjadi isyarat bahwa orang yang mengenakannya
memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Tingkat ekonomi yang tinggi biasanya
diikuti dengan jenis pekerjaan yang terpandang pula. Jadi secara kasar dapat
disimpulkan, orang yang mengenakan ulos yang mahal atau mewah, merupakan
5
orang-orang dengan strata sosial di atas. Akan tetapi, posisi orang-orang yang
dianggap mapan secara ekonomi itu, tidak dapat menyaingi orang-orang tua atau
ompu4. Mereka akan tetap dipandang sebagai pemuka.
Ulos, hanya boleh diberikan oleh pihak yang berkedudukan lebih tinggi,
kepada pihak yang lebih rendah. Ulos dalam hal ini juga melambangkan posisi
seseorang dalam masyarakat. Kedudukan yang dimaksud dalam hal ini adalah
keturunan. Keturunan yang lebih tua, boleh memberikan ulos pada yang lebih
muda, namun tidak sebaliknya. Contohnya adalah, ulos boleh diberikan oleh
pihak hula-hula (pihak keluarga ibu) kepada bere (keponakan/anak). Dalam hal
ini, hula-hula menjalankan fungsinya sebagai struktur fungsional tertinggi dalam
adat Batak (Gultom 2012).
Bagi orang Batak, apabila ia meninggal dalam kondisi seluruh anakanaknya telah menikah, maka orang tersebut akan dihormati dan dianggap
berhasil dalam hidupnya (saur matua). Keluarga yang ditinggalkannya akan
memperoleh banyak ulos, yang ditujukan sebagai lambang kedukaan dari para
pelayat, namun, di satu sisi, jumlah ulos yang diterima pihak keluarga dapat
melambangkan penghargaan dan kehormatan bagi orang yang telah meninggal
tersebut. Secara sosial, orang tersebut telah mendapat penghormatan.
Ditinjau dari sudut pandang antropologi ekonomi, ulos merupakan suatu
benda yang juga bernilai ekonomi. Nilai pertukaran pada masa kini yang
dikandung dalam ulos bersifat resiprositas umum, dimana pertukaran hanya
berdasarkan moral yang mengikat dan mendorong, mengingat makna filosofi yang
melekat pada ulos sebagai materai kasih sayang.
Tetapi, seiring berkembangnya waktu, terkadang ada makna resiprositas
negatif yang muncul pada ulos. Berkembangnya daerah-daerah pariwisata di
daratan Toba seperti Danau Toba, Tomok, dan pasar-pasar wisata lainnya yang
menyediakan ulos sebagai komoditi dagang, memberi kesan bahwa ulos,
diperdagangkan dengan tujuan pencarian keuntungan sebesar-besarnya.
Pemahaman orang diluar suku Batak yang tidak memahami makna filosofis ulos
sebagai tanda kasih ini, menjadi suatu kesempatan bisnis. Mereka datang dari luar
Toba, dan membeli ulos sebagai suatu cenderamata tanpa mengetahui hakikat ulos
yang sebenarnya.
4
Baca: opung, artinya kakek, atau nenek. Ompu Doli untuk kakek, dan Ompu Boru untuk nenek.
6
Penutup
Ulos merupakan ciri khas yang melambangkan masyarakat Batak Toba.
Ulos memiliki makna mendalam pada masyarakat Batak Toba yang menjadi salah
satu bagian dari masyarakat tersebut. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
orang Batak Toba, baik menurut tinjauan secara antropologi budaya, ekonomi,
maupun sosial. Menurut tinjauan secara antropologi budaya, ulos menjadi tradisi
yang melekat pada masyarakat Batak Toba. Apabila ditinjau dari antropologi
ekonomi, konsep resiprositas umum dan negatif melekat pada ulos. Resiprositas
umum muncul karena adanya moral yang mengikat atau mendorong individu
untuk melaksanakan pertukaran tanpa menentukan batas waktu pengembalian.
Resiprositas negatif terlihat pada ulos yang dijadikan komoditi dagang. Ditinjau
dari antropologi sosial, ulos menentukan posisi/kedudukan individu dalam
masyarakat Batak Toba. Keunikan dan tingginya nilai tradisi masyarakat batak
yang melekat pada kain ulos ini menjadikan ulos layak untuk dipertahankan dan
diabadikan sebagai salah satu kekayaan budaya di negara Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdi S. 2012. Sejarah kain ulos dan jenis jenisnya. [Internet]. [Diunduh pada 25
desember
2013
]
Dapat
diunduh
dari
http://sukmaabdiprakasa.blogspot.com/2012/03/sejarah-kain-ulos-danjenis-jenisnya.html
Anonim . Kain Ulos. [Internet]. [ Diunduh tangggal 25 Desember 2013]. Dapat
diunduh dari http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1102/kain-ulos.
Gultom, Eva Solina. 2012. Wacana Ulos Batak dalam Studi Kasus Tiga Mailing
List Batak Toba. [Tesis]. Depok: UI Press
Panggabean, Ratna. 2009. Sadum : Traditional and Contemporary. Journal Visual
Art and Design. Vol 3 No.2
Pardosi J. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot dan Ulos Pada Adat
Perkawinan Batak Toba. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra 4(2):101-108
Wigna W, Saharuddin, Sihaloho M, Virianita R. 2009. Antropologi Sosial.
Fakultas Ekologi Manusia. IPB
7
Lampiran
Ulos Sibolang
Ulos ragidup Silinggom
Ulos Sitolu Tuho
Ulos Bolean
Ulos Mangiring
Ulos Ragidup
Ulos Ragi Hotang
Ulos Bintang Marotur
Ulos Sadum
8
Download