MODUL 13 Sinema arkeologi 'visual dan audio" Secara harfiah, film (sinema) adalah cinematographie yang berasal dari kata cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya), dan graphie atau grhap (tulisan, gambar, citra). Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat khusus, yang biasa disebut kamera. Film sebagai karya seni sering diartikan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Dalam hal ini unsur seni yang terdapat dan menunjang sebuah karya fim adalah: seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik. Kemudian ditambah lagi dengan seni pantomin dan novel. Kesemuannya merupakan pemahaman dari sebuah karya film yang terpadu dan biasa kita lihat. Film sendiri pertama kali diciptakan pada tahun 1805 oleh Lumiere Brothers. Kemudian pada tahun 1899 George Melies mulai menampilkan film dengan gaya editing yang berjudul Trip To The Moon. Pada tahun 1902, Edwin Peter membuat film yang berjudul Life Of In American Fireman. Di Indonesia sendiri, film mencapai kejayaannya pada era 70-an sampai 80-an atau tepatnya sebelum masuknya Broadcast-Broadcast TV pada tahun 1988 (RCTI). Masyarakat sangat apresiatif dalam menanggapi film-film yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan bobot dari film tersebut yang memang dapat memenuhi kebutuhan psikologi dan spiritual dari masyarakat Indonesia. Di Indonesia, bioskop pertama kali muncul di Batavia (Jakarta), tepatnya di Tanah Abang Kebonjae, pada 5 Desember 1900. Namun, kehadiran bioskop ini tidak dapat dikatakan sebagai tonggak awal sejarah film Indonesia. Alasannya, film-filmnya saat itu masih impor dari luar negeri. Film cerita pertama yang diproduksi di Indonesia, tepatnya di Bandung, baru ada pada tahun 1926. Film ini berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film ini bisa dikatakan sebagai acuan tonggak sejarah perfilman Indonesia. Kesuksesan produksi film tersebut tidak terlepas dari keterlibatan bupati Bandung, Wiranatakusumah V di dalamnya. Adapun sinema arkeologi atau film yang bertemakan arkeologi banyak dibuat oleh sineas Hollywood. Arkeologi sebagai ilmu yang menceritakan rekonstruksi masa lampau, proses budaya, dan hal lainnya tentang masa lampau merupakan hal yang menarik untuk dinikmati salah satunya dengan diolah menjadi film; film mengenai arkeologi. Beberapa film yang telah diproduksi dan telah menarik penonton cukup banyak ialah film dengan judul Indiana Jones and the Last Crusade (1989), Boy on a Dolphin (1957), King Solomon’s Mines (1985), Legend of the Lost (1957), The Mummy (1932), dan Lara Croft Tomb Raider (2001). Film-film tersebut dapat dikatakan sukses menjaring massa meskipun begitu tetap ada pro dan kontra karena sebagian besar film tidak sesuai dengan hasil penelitian atau ilmu arkeologi yang sesungguhnya dan pula karena ada imajinasi atau fantasi yang keluar dalam pembuatan film. Namun jika menyajikan film sesuai ilmu arkeologi sekiranya masyarakat akan cenderung komplain, tidak terhibur, dan merasa monoton karena mereka menganggap arkeologi merupakan suatu pekerjaan yang serius. Terlepas dari pro kontra itu, adanya film mengenai arkeologi membuktikan adanya umpan balik antara arkeologi dengan masyarakat secara umum, baik yang berperan secara langsung di dunia perfilm-an atau masyarakat penikmat film. Adanya umpan balik tersebut tidak terjadi di setiap negara termasuk di Indonesia. Film mengenai arkeologi itu belum menjadi suatu hal yang menarik di Indonesia baik dari perusahaan film, sutradara, sampai dengan masyarakat sebagai penonton film. Hal terebut bisa diartikan bahwa belum ada minat khusus mengenai tampilan audio visual terkait arkeologi kemudian masyarakat juga belum memahami bahwa arkeologi menyajikan masa lampau yang seharusnya menyajikan banyak cerita yang dapat didokumentasikan ulang dalam bentuk film. Oleh karena itu diperlukannya usaha keras agar arkeologi dapat menjadi suatu yang bermanfaat dan diketahui oleh masyarakat umum kemudian mengenai film sebaiknya diperlukan pemahaman ilmu yang baik dalam memahami arkeologi supaya film yang dihasilkan dapat menghibur dan tetap memperhatikan ‘rambu-rambu’ ilmu arkeologi yang ada. http://www.kompasiana.com/safitrisetyowati/menyaksikan-arkeologi-dari-tayanganfilm_54f958eba33311ed068b4db2 Arkeologi Dalam Fiksi Dunia arkeologi yang dalam kehidupan nyata sering dianggap memiliki madesu (alias Masa Depan Suram) ternyata bisa disulap menjadi seksi dan mendebarkan di tangan para penulis. Sebutlah beberapa judul yang mengangkat tema penelitian masa lalu ini seperti: Indiana Jones, National Treasure, sampai Jurassic Park, mereka laris ditonton oleh jutaan umat manusia di seluruh dunia. Thanks to Holywood, masyarakat bisa memiliki pandangan baru terhadap profesi suram ini. Jadi, bagaimana kalau kita sedikit berkenalan dengan sebagian dari arkeolog fiktif tersebut? Indiana Jones http://img.dailymail.co.uk Indiana Jones merupakan tokoh fiksi yang paling “bertanggung jawab” atas persepsi masyarakat modern tentang arkeologi: Perburuan harta karun. Harap maklum, mengingat film garapan Spielberg yang diproduseri Goerge Lucas ini begitu sukses mendulang penonton (dan dollar) dalam periode 80-an. Walau begitu, Dr. Jones tetap berburu harta karun dalam bingkai ilmu pengetahuan. Tentu saja, mengingat statusnya sebagai seorang profesor di bidang arkeologi. Bernama lengkap Dr. Henry Walden Jones Jr., tetapi lebih memilih untuk dipanggil Indiana yang merupakan nama anjing peliharaannya sejak kecil, daripada panggilan yang diberikan sang ayah: Junior. Telah melakukan berbagai petualangan sejak kecil selagi mengikuti tugas dinas sang ayah yang juga seorang arkeolog. Nurani seorang arkeolognya sudah muncul sejak masa sekolah. Dalam The Last Crusade, diceritakan bagaimana pandu muda ini berusaha menyelamatkan Salib Coronado dari tangan pemburu harta karun, untuk ditempatkan di museum. Dengan tali cambuk dan topinya yang khas, Indi merupakan ikon seorang petualang sejati. Namun ia tetap digambarkan punya kelemahan: fobia terhadap ular. Indiana Jones pertama kali muncul dalam trilogi petualangannya yang terkenal: Raiders of The Lost Ark, Indiana Jones and the Temple of the Doom, dan Indiana Jones and The Last Crusade. Dalam ketiga film tersebut, peran Indi begitu lekat dengan nama Harisson Ford. Menyusul kesuksesan film, muncul pula serial televisinya, The Young Indiana Jones Chronicles pada tahun 1992 hingga 1996. Adapun peran tersebut dimainkan tiga orang berbeda: Sean Patrick Flanery (Indi usia 17 tahun), George Hall (93 tahun), dan Corey Carrier (10 tahun). Lara Croft Terlahir dari keluarga bangsawan, putri dari Lord Henshingly Croft, Lara merupakan seorang antiquarian yang selalu terlibat berbagai petualangan seru. Apalagi kalau bukan berburu harta karun. Walau demikian, hal itu tidak menjadikan Lara menjadi karakter yang liar. Ia tetap memiliki karakter yang kuat sebagai seorang bangsawan. Perkenalan Lara terhadap alam bebas dan berbagai petualangan dimulai sejak masa sekolahnya di Gordonstoun. Di sanalah ia menemukan cintanya pada alam bebas, pada pegunungan di Skotlandia. Kemudian berlanjut saat ia melanjutkan kuliah di Swiss, terutama saat ia mulai kenal dengan berbagai extreme sports. Dan, persahabatannya dengan alam jua yang membuat ia bertahan ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh di Himalaya. ps2media.ign.com Di rumah besarnya di Surrey, Inggris, Lara merasa terkungkung dalam lingkungan aristokrasi. Hanya petualangan yang membuat Lara merasa ‘hidup’. Saat itu juga dia sadar bahwa rumahnya cukup luas untuk menampung berbagai artefak. Itulah yang membuat Lara memulai petualangannya sebagai seorang Tomb Raider. Tomb Raider merupakan video game laris yang membesarkan nama Lara Croft. Jagoan hasil rekaan Toby Gard ini menjadi ratu dunia game sejak debutnya pada 1996. Kini hasil rekaan itu telah muncul dalam film, dan telah melekat dengan nama Angelina Jolie. Taichi Hiraga-Keaton Taichi Hiraga-Keaton merupakan seorang arkeolog yang lahir dari ayah seorang ahli zoology dari Jepang dan ibu seorang bangsawan Inggris. Sejak perceraian orangtuanya, Keaton mengikuti sang ibu dan menjadi warga negara Inggris. Beranjak dewasa, Keaton melanjutkan kuliahnya di jurusan Arkeologi, Oxford University. Lulus dari Oxford, Keaton kemudian memulai karir militernya di SAS, sebuah pasukan khusus Inggris. Berbekal kemampuan militernya di SAS, juga kemampuan analisis dan pengetahuannya sebagai seorang arkeolog, Keaton kemudian bekerja sebagai penyelidik asuransi di Lloyd’s of London. Namun ia juga masih menjadi pengajar arkeologi di berbagai universitas. Sebagai seorang arkeolog, ia punya impian: ekskavasi di tepi sungai Danube dan membuktikan teori kalau kebudayaan Eropa berawal dari tepi sungai Danube. Master Keaton merupakan manga (komik Jepang) hasil rekaan Hokusei Katsushika dengan ilustrasi Naoki Urasawa yang berkisah tentang petualang Keaton sebagai penyelidik asuransi. Dibuat pada 1988 hingga 1994, Master Keaton menuai sukses dan menginspirasi anak-anak Jepang untuk mendalami Arkeologi. Kesuksesan itu membuat Keaton juga muncul dalam format DVD dalam bahasa Inggris untuk pasar Amerika Serikat. http://hsbsitez.com Adapun yang membuat Keaton berbeda dengan Lara atau Indi adalah sosoknya yang lebih humanis. Keaton digambarkan sebagai manusia biasa, yang bercerai dengan istrinya dan terpaksa meninggalkan putrinya di Jepang demi pekerjaan yang memaksa ia berkeliling dunia. Walau cerita tidak sedahsyat Tomb Raider, Master Keaton merupakan kisah yang kaya dengan pengetahuan budaya. Akan Adakah di Indonesia? Dengan latar dan kepribadian yang berbeda, para arkeolog fiktif di atas berhasil mengubah pandangan orang mengenai profesi yang mereka wakili. Walau perlu juga diingat apa yang ada di dunia nyata mungkin tak semendebarkan yang terangkai dalam fiksi. Namun bagi para penggilanya, pekerjaan yang paling membosankan sekalipun bisa jadi jauh lebih memicu adrenalin ketimbang bungee jumping di ketinggian Niagara. Akankah Indonesia memiliki detektif masa lalunya sendiri? Kita lihat saja… (Tim redaksi Tinulad)