View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
1
PARADIGMA BARU PERKEMBANGAN TEORI DALAM ILMU
SEJARAH DAN ARKEOLOGI
A. Rasyid Asba1
Email: [email protected]
Dari sudut epistemologi, perkembangan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu, apa
yang selama ini dikenali sebagai titik lemah dalam arti dianggap sebagai kurang
“ilmiah”adalah masalah data dan interpretasi. Sejarah dan Arkeologi dipandang sebagai
sebuah ilmu yang sangat subyektif. Pengukuran kadar keilmiahan di sini didasarkan
kepada tolok ukur keilmiahan ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam, yaitu
dalam hal ke-obyektifannya. Ilmu pengetahuan yang tidak obyektif dianggap tidak dapat
memenuhi ketentuan sebagai ilmu pengetahuan serta kemudian dianggap sebagai bukan
ilmu, sehingga hasil penelitiannya pun dipandang kurang bersifat ilmiah. Sesungguhnya
masalah ini bukanlah merupakan masalah sejarah dan arkeologi sebagai ilmu saja,
melainkan telah menjadi masalah di lingkungan ilmu-ilmu budaya pada umumnya.
Sebagaimana diketahui ilmu-i1mu budaya memiliki manusia sebagai obyek
studinya sehingga atas dasar itu disebut pula sebagai ilmu kemanusiaan. Secara sangat
mudah dapat dikenali bahwa ilmu-ilmu yang dianggap tidak ilmiah tadi sesungguhnva
merupakan ilmu-ilmu yang obyek studi dan subyeknya sama, yaitu manusia. Atas dasar
inilah maka ilmu-ilmu yang demikian ini di pandang sebagai ilmu yang bersifat subyekif
Sebaliknya oleh karena obyek studi ilmu-ilmu eksakta adalah benda (obyek) yang sama
sekali berlainan dengan peneliti atau subyek studi. Atas dasar itu pulalah maka limu-ilmu
eksakta dikenal sebagai ilmu yang bersifat obyektif.
Upaya yang dilakukan oleh para ahli ilmu budaya ada dua arah. Arah yang
pertama adalah mencoba untuk menerapkan metoda ilmu eksakta dalam penelitian
mereka. Upaya ini di dalam arkeologi dikenal sebagal “new archaeology”, yang
diupayakan oleh ahli arkeologi Amerika. Aliran ini merupakan penganut yang
mengembangkan teori bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya memiliki satu
metode saja. Sebaliknya, upaya yang kedua menganut faham bahwa sesungguhnya ilmu
1
Makalah ini disampaikan pada Seminar bulan bahasa dan Ulang tahun Fakultas Ilmu Budaya tanggal 2930 November 2007 di Gedung PKP Unhas. Pemakalah adalah Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Univ.
Hasanuddin.
2
pengetahuan itu terdiri dari dua jenis ilmu, oleh karena keduanya masing-masing
mengembangkan “scholarship”nya sendiri. Ilmu kemanusiaan mengembangkan metode
“mengerti”sedangkan ilmu eksakta metode “menerangkan”.
Suatu penelitian ilmiah memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari
kebenaran dan merupakan sebuah pemikiran kritis. Penelitian dalam ilmu-ilmu sosial,
sama halnya dengan penelitian pada umumnya merupakan suatu proses yang terus
menerus yang dilakukan secara kritis dan terorganisasi untuk melakukan analisa,
memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap fenomena sosial yang mempunyai
hubungan yang kait-mengkait.
Peneliti ilmu sosial walaupun berpijak pada metode ilmiah, tetapi beberapa ciri
khas yang ada di dalam masing-masing bidang ilmu, menyebabkan si peneliti dituntut
memiliki ketrampilan yang khas pula dan harus didukung oleh kerangka teori dan analitik
yang berbeda dalam menganalisa interaksi antar fenomena disebabkan kompleksnya
fenomena-fenomena yang diteliti. Masalah-masalah sosial yang mudah berubah dan sulit
diukur mengakibatkan kurangnya kemampuan melakukan prediksi, tidak se-eksak
prediksi dalam ilmu alam.
Penggunaan metode kuantitatif yang telah baku dan lazim dipakai dalam
penelitian ilmu-ilmu alam ternyata tidak cukup mampu mengungkapkan dan
mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam masyarakat karena variabelvariabelnya sulit untuk diukur. Bidang ilmu humaniora yang mencakup bidang hukum,
antropologi, sastra, linguistik, filsafat, sejarah, merupakan bidang ilmu yang “kurang
cocok” bila dipakai pendekatan kuantitatif.
Oleh karena itu akhir-akhir ini dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih
menekankan dan melebihkan unsur makna dalam ”human action” dan “interaction”
sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang teori-teori
yang berparadigma baru dengan konsekuensi metodologinya yang hendak lebih mengkaji
aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolik yang direfleksikannya akan lebih
kualitatif daripada kuantitatif.
Menurut kaum interaksionis ini, realita kehidupan itu, sesungguhnya hanya eksis
dalam alam makna yang simbolik sehingga sulit ditangkap lewat pengamatan dan
pengukuran begitu saja dari luar melalui beberapa indikator yang cuma tampak di
3
permukaan, melainkan realita sosial hanya mungkin “dipahami serta ditangkap” lewat
pengalaman
dan
penghayatan-penghayatan
internal
para
subyek
pelaku
yang
berpartisipasi dalam interaksi setempat.
Metode kuantitatif yang merupakan metode klasik dan konvensional yang semula
efektif terbukti untuk meneliti fenomena alam yang kemudian dipinjam oleh ilmu-ilmu
sosial ternyata tidak banyak membantu. mengungkapkan pola-pola dalam tatanan
perilaku dan kehidupan manusia serta kurang mampu mengungkapkan nilai, ide, makna
dan keyakinan yang “individualized” dan studi-studi sosial yang kian banyak bersifat
lintas-kultural. Hal tersebut mengingat pula metode kuantitatif yang “theory testing”
untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat
analisis yang makro sebagai realitas empiris.
Bidang ilmu humaniora yang hendak meneliti tatanan perilaku dan kehidupan
manusia yang merupakan makna aksi individu dan interaksi-interaksi antara individu,
dianjurkan dan untuk banyak dicoba menggunakan metode kualitatif yang paradigma
teoretik dan rancangan metodologiknya amat berbeda dengan metode kuantitatif.
Mengingat kehidupan manusia saat ini sudah semakin demokratik dan “people centered”,
maka metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasuskasus terbatas namun mendalam dan menyeluruh dan juga dikembangkan untuk
mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang terpersepsi oleh
warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka yang tak tercampuri oleh
pengamat
peneliti.
Selain
dari
itu
metode
kualitatif
tidak
menganjurkan
dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para peneliti.
Humaniora adalah bidang ilmu yang memiliki objek manusia sebagai human
being dalam masyarakat yang mencakup disiplin-disiplin ilmu antara lain Hukum,
Politik, Antropologi, Sosiologi, Perilaku Kesehatan, Linguistik, Sastra, Filologi, Seni,
Pendidikan, Sejarah, dan Filsafat. Dengan demikian yang diteliti adalah hal-hal yang
lebih menekankan pada aspek budaya manusia sebagai bagian dari masyarakat. Oleh
karena itu cakupan kajian ilmu-ilmu humaniora adalah tentang ekspresi dan aktualisasi
yang terwujud dalam perilaku, sikap, orientasi, nilai, norma, tata makna, pandangan
hidup, spiritualitas, etika dan estetika. Dengan demikian tema-tema penelitian yang dapat
dikembangkan di bidang ini antara lain berkisar tentang perubahan sosial, dampak sosial
4
pembangunan, kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat, etos kerja, dan respons
masyarakat terhadap berbagai perubahan, dan sebagainya.
Apa yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana arkeologi
mengembangkan dirinya menjadi salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya. Dalam upayanya ini, mau tidak mau yang harus dikembangkan adalah teorinya.
Atas dasar ini maka akan diungkapkan beberapa teori yang mendasari pengembangan itu.
Teori tersebut akan mencakup dua aspek, yaitu teori yang berkenaan dengan hakekat data
arkeologi, dan teori yang berkenaan dengan bagaimana data itu diperlakukan sesuai
dengan hakekatnya. Teori yang kedua itu berkenaan dengan teori interpretasi data.
Berbicara mengenai masa datang adalah berbicara mengenai arah gejala yang
nampak di masa kini yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Ilmu sejarah
di masa kini sedang mengalami krisis yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa
datang. Krisis yang dimaksud adalah pengaruh post-modernisme dalam historiografi
termasuk metodologi sejarah.
Krisis dalam ilmu sejarah tersebut, yang juga terdapat dalam ilmu-ilmu lainnya
itu, nampaknya akan berkelanjutan dalam masa mendatang terutama karena globalisasi
yang akan menjadi ciri utama masa datang itu. Doktrin postmodernisme yang menegakan
relativitas budaya itu menyebabkan keabsahan ilmu sebagai wacana yang menampilkan
kebenaran mengenai kenyataan nampaknya akan makin terancam.
Di sini saya akan membahas ciri-ciri pokok dari relativisme budaya yang sedang
mengancam ilmu sejarah itu, dan mencoba menampilkan masalah itu dalam historiografi
Indonesia masa kini.
1.1 Ilmu Sejarah dan Post Modernisme
Istilah postmodernisme pertama kali dimunculkan oleh Jean-Francois Lyotard
dan
Roland Barthes. Postmodernisme sesungguhnya muncul sebagai reaksi atas
"common-sense thinking" dalam kritik sastra. Kritik itu pada awalnya ditujukan pada
wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran
mutlak yang tidak dapat dibantah tanpa dikenakan sangsi. Kritik postmodernisme itu
kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan universalisme yang
5
terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya
adalah bahwa doktrin ini kemudian juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmuilmu alam, ilmu-ilmu teoretis, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.
Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand Saussure
yang berpendapat, bahwa bahasa hanyalah "signifier" (petunjuk) pada "signified" (yang
ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut, tidak mengacu pada kebenaran atau realitas, tetapi
hanya pada suatu "konsep"." Kata-kata dengan demikian samasekali tidak mengacu pada
realitas, dan arti kata-kata baru terungkap dalam hubungan-hubungannya dengan katakata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Berkaitan dengan teori itu postmodernisme
beranggapan bahwa semua wacana, seperti dikatakan Jean-Francoise Lyotard, hanyalah
"language game", dan sebab itu kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di
dalamnya. Dalam ilmu sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan katakata, "language game". Para sejarawan yang terpengaruh oleh doktrin tersebut, seperti
Hayden White umpamanya, berkeyakinan bahwa dalam historiografi tidak bisa
dibedakan antara fiksi dan kenyataan. Bahkan bagi para sejarawan yang tergolong dalam
"New Historicisme", tidak ada perbedaan hakiki antara historiografi dan teks biasa;
keduanya sama karena hanyalah "language game" tanpa mengandung kebenaran
mengenai kenyataan.
Masalahnya, seperti dikatakan ahli filsafat ilmu C. Morris adalah. bahwa
postmodernisme tidak membedakan antara wacana ilmiah pada satu pihak yang
didasarkan pada observasi, inferensi logis atas evidensi faktual yang mendasari
eksplanasi, dan pada pihak lain, "bahasa yang digunakan untuk menciptakan dunia fiktif,
imajiner atau poetis," dimana persyaratan ilmiah tersebut diatas tidak ada (Morris: 1997:
5,6). Postmodernisme menyanggah kemampuan ilmu pengetahuan mengajukan
kebenaran dengan mengatakan, bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan hanyalah
suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar, dan bahwa kebenaran ilmiah
lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat tertentu.
Dengan kata lain, postmodernisme tidak mempertimbangkan bahwa setiap cabang
ilmu memiliki prosedur untuk menentukan kausalitas yang mengacu pada kebenaran atau
realitas; postmodernisme sengaja melupakan bahwa setiap cabang ilmu memiliki apa
6
yang oleh C.Lloyed disebut sebagai "structure of reasoning". 2 Apa yang pada awalnya
sesungguhnya muncul hanya sebagai suatu upaya menyempurnakan kritik sastra itu, kini
makin gencar dikembangkan oleh berbagai ahli dalam berbagai cabang ilmu.
Postmodernisme beranggapan bahwa doktrinnya relevan bagi semua cabang ilmu atau
wacana, karena semua cabang ilmu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Maka tidak mengherankan kalau kini muncul berbagai usaha untuk menegakkan
kembali keabsahan ilmiah dan menegakkan kembali nilai-nilai tentang kebenaran ilmiah.
Gerakan ini terutama muncul karena berkembangnya aliran realisme dalam filsafat ilmu
sejak tahun-tahun 1980-an seperti yang terkandung dalam tulisan-tulisan dari Rom Harre,
Dudley Shapere, Roy Bhaskar, dan sebagainya. Realisme filosofis juga sekaligus
membantah keabsahan historis materialisme dalam ilmu sejarah.
Berikut ini akan saya kemukakan dua buah sanggahan mengenai postmoderisme
dalam ilmu sejarah, yang pertama khusus menyangkut .pendekatan empiris dalam ilmu
sejarah dan yang kedua menyangkut pendekatan strukturis. Yang pertama berasal dari
seorang ahli filsafat ilmu, yaitu C. Behan Mc. Cullagh, dan yang kedua berasal dari
seorang ahli sejarah ekonomi, yaitu C. Lloyed. Tetapi sebelumnya patut dikemukakan
terlebih dahulu bentuk postmodernisme yang merasuk dalam ilmu sejarah.
Postmodernisme paling jelas nampak dalam pendekatan empiris dalam ilmu
sejarah, pendekatan yang paling umum di kalangan para ahli sejarah. Pendekatan empiris
dalam ilmu sejarah itu (baik yang bersifat diskriptif maupun yang menggunakan berbagai
teori kausalitas) paling mudah disusupi oleh doktrin postmodemisme karena pada
dasarnya modus komunikasi pendekatan ini adalah kisah atau naratif. Pendapat
postmodemisme, bahwa semua ilmu tidak terkecuali hanyalah "language game" sangat
mudah mempengaruhi pendekatan empiris dalam ilmu sejarah yang mengandalkan
natarif.
Behan McCullagh, seorang ahli filsafat ilmu, memperlihatkan pengaruh postmodernisme dalam tiga aspek dari ilmu sejarah, yaitu (a) metode sejarah yang digunakan
ahli sejarah, (b) pengaruh budaya pada ahli sejarah, dan (c) penggunaan bahasa oleh ahli
sejarah3 .
2
3
Chritopher Lloyd. The Structures of History. Blackwell: Cambridge University Press. P.
133-141.
7
Pertama mengenai metode sejarah. Seperti diketahui, ilmu sejarah sesungguhnya
tidak mempelajari masa lampau, tetapi ilmu sejarah mempelajari sumber sejarah atau
peninggalan dari masa lampau seperti dokumen-dokumen, arsip dan kesaksian lisan.
Khususnya mengenai pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, penjelasan tentang suatu
peristiwa, riwayat hidup atau struktur sosial, bertumpu pada uraian mengenai motivasi
atau "intention" dari pelaku sejarah yang diyakini menjadi dasar dari tindakan tokoh
sejarah yang bersangkutan.
Kalangan post-modernisme berpendapat, bahwa motivasi atau intention yang
tercantum dalam dokumen sejarah, tidak mengacu pada kenyataan atau realitas karena
pandangan tokoh sejarah dalam sumber sejarah hanyalah gambaran yang berkaitan
dengan konsep-konsep budaya yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sumber sejarah hanyalah teks-teks berupa "language game" yang tidak mencerminkan
kenyataan. Kenyataan pada dasarnya tidak dapat diungkapkan melalui sumber sejarah,
dan menurut postmodernisme tidak perlu. Demikian pun historiografi atau hasil karya
sejarah hanyalah teks-teks yang tidak mengandung kebenaran.
Dengan kata lain, menurut postmodernisme karya sejarah hanyalah teks yang didasarkan
pada teks, atau "language game" yang didasarkan para "language game".
Kedua mengenai dampak budaya dalam ilmu sejarah. Postmodernisme
berpendapat bahwa setiap ahli sejarah mau tidak mau dipengaruhi oleh konsep-konsep
tertentu yang berasal dari sistem budaya masing-masing ahli sejarah. Dengan demikian,
menurut doktrin itu, kesimpulan yang diambil ahli sejarah dari sumber sejarah yang
digunakannya (inferensi) sudah diwarnai oleh konsep-konsep budaya tertentu. Ini berarti
penjelasan mengenai suatu peristiwa, biografi atau struktur sosial bisa berbeda-beda dari
sejarawan yang satu dan sejarawan lain, sejalan dengan perbedaan-perbedaan budaya
para ahli sejarah itu. Dengan demikian, sekali lagi menurut postmodernisme, historiografi
tidak mengandung kebenaran realitas, dan sebab itu historiografi mengandung unsur
relativisme budaya.
Ketiga mengenai bahasa. Menurut para penganut postmodernis, seperti Roland
Barthes (ahli filsafat ilmu) pengaruh teori linguistik dari Saussure jelas menonjol dalam
hal ini. Seperti dikemukakan di atas, menurut Suassure, "kata-kata samasekali tidak
mengacu pada hal-hal yang terdapat dalam dunia [kenyataan] tetapi hanya mengacu pada
8
konsep-konsep, dan bahwa makna dari kata-kata atau konsep-konsep itu seluruhnya
terkandung dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang
bersangkutan". Kata "coklat", menurut Saussure, "bukanlah suatu konsep yang otonom
yang mengacu pada ciri-ciri independen, tetapi merupakan suatu istilah dalam sistem
istilah warna yang didefinisikan oleh hubungan-hubungannya dengan istilah-istilah lain
yang membatasinya" (McCullan 1998: 37). Karena historiografi juga menggunakan katakata, maka menurut teori tersebut, historiografi juga tidak mengandung kebenaran
(realitas), tetapi mengungkapkan suatu peristiwa yang maknanya terkandung dalam
hubungan-hubungan antara kata-taka yang bersangkutan dalam suatu sistem bahasa.
1.2 Teori Korelasi Dalam Kebenaran Sejarah
C.Behan Mc.Cullagh sebagian besar menerima kritik yang dilontarkan
postmodernisme kepada pendekatan empiris-naratif dalam ilmu sejarah . Dalam hal ini ia
menyalahkan "correspondence theory of truth" dalam pendekatan sejarah empiris itu,
seolah-olah empiris dalam suatu peristiwa, seperti biografi atau struktur sosial, mengacu
pada kebenaran yang obyektif (realitas). McCullagh menggantikan teori korespondensi
yang dipakai dalam ilmu eksatta diganti dengan teori korelasi ("correlation theory of
truth") dalam ilmu sejarah. Teori korespondensi berpendapat bahwa apa yang
diungkapkan dalam historiografi empiris itu sama benar dengan kenyataan, sedangkan
teori korelasi lebih hati-hati dan mengatakan bahwa apa yang diungkapkan dalam
histioriografl empiris itu tidak sama benar dengan kenyataan, tetapi ada kaitannya dengan
kenyataan (korelasi).
Berdasarkan teori korelasi
kebenaran sejarah itu, Mc.Cullan membantah
pandangan dalam doktrin postmodernisme, dan mencoba membuktikan melalui
penelitian historiografis, bahwa para ahli sejarah, khususnya yang menggunakan
pendekatan naratifisme, dapat mengungkapkan kebenaran (realitas) berdasarkan sumber
sejarah (dokumen, arsip, kesaksian lisan) karena memiliki cara-cara tertentu (metode
sejarah) untuk menilai teks atau dokumen, dan cara-cara tertentu untuk menjelaskannya
(diskripsi atau analisis). Bahkan cara yang digunakan ahli sejarah untuk membuat
inferensi (inference) atau menarik kesimpulan dari dokumen bisa obyektif, karena pada
9
dasarnya tindakan-tindakan manusia di masa lampau dialami juga oleh manusia masa
kini.
McCullagh bisa menerima pendapat postmodernisme bahwa para ahli sejarah
terikat pada kondisi budaya mereka. Namun hal itu tidak harus menghasilkan relativisme
budaya dalam historiografi. Ahli sejarah selalu menjelaskan fakta sejarah melalui
generalisasi yang bersifat diskriptif, interpretatif ataupun melalui teori-teori kausalitas
tertentu. Generaliasi-generaliasi dan teori-teori itu senantiasa bisa diubah-ubah agar lebih
mencerminkan realitas.
Dengan demikian metode sejarah dan historiografi bisa juga menjamin bahwa apa
yang disampaikan melalui bahasa dalam bentuk naratif itu bukan sekedar "language
game" tetapi memiliki kaitan (korelasi) dengan kenyataan. Kemampuan akademik para
ahli sejarah itulah yang menjamin bahwa historiografi tidak terjerumus dalam relativisme
budaya, dan tetap memiliki kadar realitas yang cukup tinggi.
1.3. Strukturisme Dalam Ilmu Sejarah
Sejumlah ahli sejarah lain mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu
dengan upaya menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah. Dengan kata
lain, mereka berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya
dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Inilah yang oleh sementara
ahli disebut sebagai pendekatan "strukturis". Patut dikemukakan di sini bahwa
pendekatan strukturis tidak sama dengan pendekatan struktural yang bersumber pada
aliran An'nals dari Prancis atau sosiologi Talcott Parson.
Kalangan ahli sejarah strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris
dalam ilmu sejarah dan memanfaatkan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsepkonsep "emergency" dan "agency", untuk mengembangkan suatu pendekatan strukturis.
Pendekatan ini mengacu pada cara kerja ("structure of reasoning") dalam ilmu-ilmu
alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari
peninggalan-peninggalan dari masa lampau (sumber sejarah).
Dikatakan mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari
bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa yang
10
dinamakan "causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat mata
(unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca indra
manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat mata
(unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah (fenomena, observable), tetapi
causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak kasat mata (unobservable); suara dari radio
dapat didengar, atau gambar pada televisi dapat dilihat, tetapi medan magnetik yang
menyebabkannya
tidak
dapat
ditangkap
oleh
pancaindra (unobservable).
Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam
bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti
pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra,
karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebabmusababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi
dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara
manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka' berasal. Maka
untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang
mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa
struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit
(observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).
Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari
sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi),
tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat "emergence" berupa peranperan, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan
sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak
disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan
pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakantindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan
sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan
strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi
masyarakat yang modern.
Pemikiran, pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu
kelompok sosial tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris,
11
terkandung dalam sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai
"expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa teoretis atas sumber
sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada "expressed intentions" lain. Dengan
demikian, seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki kemampuan
prediksi.
Sebab-musabab dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal yang
dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai "ilmu yang
mempelajari manusia dalam waktu" (Marc Bloch), menyebabkan para ahli sejarah
menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya tentang
peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga membatasi
rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu alam.
Contoh-contoh
dari
pendekatan
strukturis
ini
bisa
kita
temukan
umpamanya dalam karya-karya dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog),
Mandelbaum dan Le Roy Ladurie (ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog),
dan masih banyak lagi (Lloyed 1993).
.
Kalau dibandingkan antara kedua pendekatan tersebut di atas (empiris dan
strukturis), maka harus dikatakan, bahwa di Indonesia pendekatan empiris lebih menonjol
dibandingkan dengan pendekatan strukturis. Hasil historiografi empiris sesungguhnya
bisa dibedakan antara karya-karya sejarah yang diskriptlf dan yang anarkis. Di Indonesia
diskripsi atau interpretasi terutama digunakan oleh para penulis sejarah yang "amatir"
(bukan profesional) dan hasilnya bisa kita saksikan dalam toko-toko buku, baik yang
menggunakan peristiwa sebagai unit, atau hidup manusia maupun struktur sosial. Banyak
sekali karya-karya jenis ini yang berupa biografi atau otobiografi yang bermunculan
dalam tahun-tahun yang lalu. Diantaranya ada yang dapat dikatakan cukup baik, seperti
karya A.M. Nasution, baik yang unit diskripsinya adalah suatu peristiwa, atau hidup
manusia (otobiografi), maupun struktur sosial (perang kemerdekaan).
Kita dapat mengajukan keberatan-keberatan metodologis mengenai karya-karya
tersebut di atas. Antara lain mengenai sumber sejarahnya yang tidak selalu jelas atau
dikemukakan secara gamblang, atau kesaksian lisan yang tidak menggunakan cara-cara
oral history yang baik. Selain itu tentunya kebenaran fakta sering harus diragukan,
bahkan tidak lengkapnya uraian mengenai suatu peristiwa atau struktur sosial
12
menyebabkan terjadinya distorsi dan sebab itu tidak memenuhi persyaratan teori
kebenaran sejarah.
Kalangan akademisi, terutama Prof. Sartono dari UGM dan mereka yang
dipromisikannya sebagai doktor, bisa digolongkan sebagai ahli sejarah profesional yang
menggunakan analisis dalam penelitiannya, baik untuk menjelaskan suatu peristiwa,
kehidupan manusia, ataupun struktur sosial. Para pelopor dalam pendekatan ini (yang
oleh Sartono dinamakan pendekatan multi-dimensional) lebih banyak tertarik pada
peristiwa-peristiwa yang digolongkan sebagai "collective action". Dalam perkembangan
lanjut perubahan sosial juga menarik perhatian mereka, salah satu contohnya adalah
disertasi mengenai menak Sunda. Tetapi terutama para ahli sejarah ekonomi yang karyakaryanya bermunculan sejak awal 1990-an menaruh perhatian pada perubahan sosial, cq
perubahan ekonomi.
Pendekatan strukturis belum banyak menarik perhatian kalangan akademisi di
Indonesia. Sampai kini baru beberapa disertasi dan monografi yang menjurus kepada
metodologi ini, dengan mengikuti jejak-jejak Norbert Elias atau Charles Tilly.
Diharapkan dalam masa mendatang lebih banyak ahli sejarah menaruh minat pada
pendekatan ini.
II . Ilmu Arkeologi dan Perkembangannya
Masalah yang dihadapi oleh arkeologi adalah hakekatnya sebagai ilmu yang
memiliki obyek yang berkenaan dengan fenomena yang berkembang untuk masa tertentu
atau bersifat historis. Seperti halnya dengan ilmu astro fisika, biologi evolusioner,
tektonik lempengan dalam geologi, ilmu yang demikian ini tidak dapat diingkari
berhadapan dengan obyek studi yang sangat fragmentaris. Hal itu disebabkan oleh karena
obyek studinya hanya merupakan peninggalan fisik yang tidak sengaja ditinggalkan.
Tambahan pula, peninggalan itu pun hanyalah merupakan peninggalan yang tahan
terhadap proses pelapukan alami, sehigga dapat sampai kepada peneliti masa kini.
Dengan demikian maka apa yang sampai pada kita sesungguhnya adalah materi tanpa
makna. Adapun makna yang dimaksudkan di sini adalah makna penyebab terjadinya atau
dalam hal arkeologi makna sebagai yang dimaksudkan oleh pembuat ataupun
pemakainya dahulu.
13
Menghadapi keadaan obyek studi yang demikian itu maka tidaklah mengherankan
apabila tujuan arkeologi pada pertamanya adalah rekonstruksi. Tujuan arkeologi tidak
bisa lain dari rekonstruksi oleh karena di samping jarak waktu, ahli arkeologi juga
dipisahkan oleh perbedaan kebudayaan dengan obyek studinya. Peninggalan fisik
kebudayaan yang diteliti oleh peneliti sangat berlainan dari kebudavaan ahli arkeologi itu
sendiri. Sebagai akibat dari tujuan ilmu ini adalah timbulnya permasalahan epistemologis.
Masalah pertama adalah sejauh mana makna tadi dapat direkonstruksikan dari
peninggalan kebudayaan fisiknya. Adapun masalah keduanya adalah bagaimana ahli
arkeologi dapat melakukan rekonstruksi itu. Dengan lain perkataan, dengan metode apa
rekonstruksi itu dapat dilaksanakan.
Makalah ini akan berupaya mengemukakan berbagai usaha yang telah
dilaksanakan untuk menjawab permasalahan yang bersifat epistemologis tadi. Pendekatan
ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa ulasan yang dikemukakan merupakan
pengungkapan upaya arkeologi untuk memantapkan dirinya sebagai ilmu. Masalah ini
dianggap penting terutama agar para ahli arkeologi dapat ikut secara sadar menjaga
wibawa keilmuannya dalam melakukan rekonstruksi. Kesadaran yang dimaksudkan
adalah menyadari bahwa, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, ditinjau dari
hakekat data, ditinjau dari sudut keilmuan serta dengan demikian juga metodenya,
arkeologi memiliki berbagai keterbatasan. Dengan demikian maka sebagai akibat dari
kesadaran akan keterbatasan metodenya, maka ahli arkeologi kemudian akan dapat
mengupayakan cara untuk menanggulanginya. Melalui upaya yang demikian ini maka
peninggalan kebudayaan fisik yang terkumpul berkat berbagai penggalian yang telah
dilaksanakan dapat direkonstruksikan, sehingga pengetahuan kita tentang kebudayaan
masa lalu akan dapat bertambah dengan cepat. Pada gilirannya dari sudut arkeologi itu
sendiri, kesadaran ini akan dapat mengembangkan arkeologi sebagai ilmu.
2. .1. Hakekat Data Arkeologi
Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, obyek arkeologi adalah peninggalan
kebudayaan fisik. Melalui kebudayaan fisik ini ahli arkeologi memperoleh informasi
tentang kebudayaan masa lalu. Selanjutnya, berdasarkan atas informasi ini ahli arkeologi
melakukan rekonstruksi kebudayaan yang meninggalkan informasi itu. Dengan demikian
maka dapat dikatakan bahwa rekonstruksi sesuatu kebudayaan yang telah musnah
14
dilaksanakan melalui peninggalan informasinya yang kebetulan sampai kepada kita.
Kiranya perlu ditekankan di sini dua hal. Hal pertama adalah bahwa tiap kebudayaan
memiliki ciri masing-masing yang berbeda antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain. Demikian pula halnya, kebudayaan yang telah musnah yang
menjadi obyek penelitian arkeologi berbeda dengan kebudayaan ahli arkeologi yang
meneliti kebudayaan itu. Hal kedua adalah penggunaan kata kebetulan oleh karena
memang informasi tentang kebudayaan yang sampai kepada ahli arkeologi untuk diteliti
itu tidak diciptakan sebagai informasi yang dengan sengaja ditinggalkan oleh para
pendukungnya. Kita semua mengetahui bahwa peninggalan fisik itu sampai kepada kita
dalam bentuk artefak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ahh arkeologi
menghadapi artefak dari sebuah kebudayaan yang sama sekali asing dari kebudayaannya
sendiri.
Kondisi data arkeologi sebagaimana yang diutarakan di atas menimbulkan dua
permasalahan, yaitu masalah epistemologis dan masalah metodologis. Masalah
epistemologis yang dihadapi oleh ahli arkeologi adalah bahwa di dalam menghadapi
informasi tentang kebudayaan yang telah punah dan yang tercipta di masa lalu, tanpa
dapat ia hindari, haruslah ia perlakukan melalui pengetahuan dan berdasarkan sudut
pandang kebudayaannya sendiri dari masa kini. Proses berpikir yang demikian inilah
yang kemudian disebut sebagai archaeological reasoning.
Sebagai akibat dari data yang demikian ini maka archaeological reasoning
terhadap data terjadi seperti berikut. Kebudayaan yang telah punah itu dapat dianggap
sebagai fakta yang bersifat historis atau fakta yang telah tiada lagi (sebuah historical
facts). Pada hakekatnya fakta atau kebudayaan yang telah punah inilah yang oleh ahli
arrkeologi itu hendak direkonstruksikan. Namun demikian fakta historis ini
meninggalkan records dalam hal ini archaeological records, dalam wujud artefak.
Selanjutnya ahli arkeologi, sesuai dengan pengetahuan pengalaman dan kemampuannya,
melakukan observasi dan analisis terhadap records ini. Observasi dan analisis itu
dilakukannya berdasarkan kebudayaannya sendiri serta bukan berdasarkan kebudayaan
yang meninggalkan records tadi. Mengapa hal ini terjadi demikian, oleh karena ahli
arkeologi tidak dapat meneliti kebudayaan yang telah menjadi sebuah historical fact.
Dengan demikian maka ahli arkeologi hanya dapat mengkajinya melalui archaeological
15
records tadi. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa hasil observasi dan analisis ahlli
arkeologi itu, yang secara teknis dikenal sebagai data sesungguhnya merupakan ciptaan
peneliti. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh karena observasi dan analisis terhadap records
itu dilaksanakan pada masa kini, berdasarkan kebudayaan peneliti dan ilmu arkeologi
mutakhir, walaupun records itu sendiri berasal dari kebudayaan masa lalu. Keadaan inilah
yang seringkali terlupakan oleh para peneliti dan yang sejak dekade 80-an diingatkan
kembali berkat timbulnya perhatian pada masalah teori dan yang pada gilirannya
mengangkat permasalahan yang bersifat epistemologis. Dengan demikian maka data
arkeologi itu berupa deskripsi tentang pola-pola yang ditampakkan dari teknik tipologi,
klasifikasi dan diperlakukan sebagai contemporary fact4. Akhirnya ahli arkeologi
melakukan rekonstruksi melalui data ini. Atau dengan lain perkataan merekonstruksikan
historical fact melalui contemporary fact.
Aspek lain dari hakekat data arkeologi, masih dalam kaitan dengan rekonstruksi,
adalah dari namanya sebagai kebudayaan materi atau fisk Nama ini mengandung dua
unsur yaitu materi dan kebudayaan. Unsur materi jelas menunjukkan kaitannya dengan
alam, yaitu menyangkut bahan dengan apa artefak itu dibuat. Melalui materi ini arkeologi
berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam, seperti masalah penentuan waktu, analisis
dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan
masalah yang demikian ini. Adapun masalah yang akan menjadi perhatian adalah aspek
yang kedua yaitu masalah kebudayaan. Sebagaimana diketahui, kebudayaan materi
terciptakan sebagai akibat perbuatan manusia. Namun demikian perbuatan ini bukanlah
merupakan perbuatan yang asal-asalan tanpa tujuan dan maksud tertentu, melainkan
perbuatan yang dilandasi oleh konsep dan makna tertentu. Sebagai akibatnya maka
perbuatan itu pun dilaksanakan dalam pola-pola yang baku oleh pendukung suatu
kebudayaan. Dengan sendirinya kebudayaan materi yang dihasilkan oleh perbuatan
berpola itu pun tercermin dalam wujudnya sebagai kebudayaan materi. Walaupun
kebudayaan yang menghasilkannya telah musnah, dan dengan demikian ikut pula hilang
konsep-konsep dan makna yang menghasilkannya, namun pola-pola tersebut tetap
Lihat Lewis R. Binford, “Data, relativism and archaeological science” dalam Man, New Series, Vol. 22,
No. 3, halaman 391 dst. Juga Jeremy Sabloff, Lewis Binford dan Patricia McAnany, “Understanding the
archaeological records” dalam Antiquity, Vol. 61 Number 232, halaman 203 dst.
4
16
membayang dalam kebudayaan materi. Kaitan antar artefak dari berbagai tipe apakah
yang diketemukan dalam lapisan dan pit, dalam situs maupun wilayah, dalam pekuburan
maupun landscapes, tanpa terkecuali masih mempertahankan sisa.-sisa pola perbuatan
budaya yang menciptakannya. Kenyataan di atas juga tetap berlaku walaupun
kebudayaan materi, atau yang lebih tepat artefak itu, pada waktu sampai kepada ahli
arkeologi telah mengalami banyak pengaruh perubahan, baik sebagai akibat alam
maupun olah manusia dan bahkan oleh ahli arkeologi sendiri pada waktu melakukan
pengggalian atau ekskavasi. Selanjutnya tergantung kepada kemampuan ahli arkeologi
sendiri dalam menemukan dan mendeskripsikan pola-pola tersebut. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, pola-pola tersebut pada waktu penciptaannya dikendalikan oleh
konsep-konsep tertentu. Namun demikian perlu diingat bahwa konsep yang abstrak ini
tidak dapat dilihat, baik pada waktu kebudayaan itu masih hidup, apalagi pada waktu
telah musnah dan menjadi peninggalan kebudayaan materi. Dengan demikian maka,
melalui kebudayaan materi, ahli arkeologi hanya dapat menemukan kembali pola-pola
tersebut.
Selanjutnya
rekonstruksi
konsep
yang
mendasari
pelaksanaan
dan
pewujudannya didasarkan atas interpretasi terhadap pola-pola tersebut. Apabila kita boleh
meminjarn istilah antropologi, maka penemuan kembali pola-pola itu adalah etik,
sedangkan yang dicoba untuk direkonstruksikan itu adalah emik-nya.
Mengingat bahwa konsep yang diupayakan untuk direkonstruksi itu bersifat
abstrak sehingga tidak dapat diamati melalui peninggalan kebudayaan materi, maka ada
sementara ahli arkeologi yang berpendapat bahwa rekonstruksi sebagaimana yang
dimaksudkan itu tidaklah mungkin dilaksanakan. Rekonstruksi ahli arkeologi hanyalah
mungkin dicapai sampai tingkat etik saja. Atas dasar ini maka dalam makalah ini akan
disampaikan pengembangan dan penerapan teori dalam arkeologi yang mencoba
mengatasi kemandegan metodologi tadi. Teori itu adalah hermeneutik dan semiotik.
2.2 Hermeneutik
17
Dasar dari pengembangan teori hermeneutik5
ini adalah bahwa kebudayaan
materi merupakan bagian dari perwujudan budaya dan makna konseptual. Dengan
demikian maka dimungkinkan bagi ahli arkeologi untuk menjangkau pengertian yang
lebih jauh dari sekedar tentang penggunaan fisik dan terbatas pada obyek penelitian saja,
melainkan sampai kepada makna simbolisnya yang lebih bersifat abstrak. Dalam hal ini
upaya untuk menggali makna konseptual dad kebudayaan materi dapat dibandingkan
dengan interpretasi terhadap suatu bahasa, karena proses mengerti itu berkaitan dengan
penggalian makna dari bahasa yang berwujud fisik atau materi. Sebagaimana halnya
bahasa perwujudan makna simbolis ini diatur oleh peraturan-peraturan dan kesepakatan
khusus, serta berdasarkan sebuah sistem tertentu. Sistem itulah yang membedakan satu
kebudayaan satu dari kebudayaan lainnya. Walaupun sistem itu membedakan kebudayaan
yang satu dari yang lain, namun tidak ditentukan oleh masalah-masalah yang bersifat
ekonomis, biologis dan fisik. Atas dasar inilah maka perbandingan dengan masalah
penerjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dengan interpretasi dari
kebudayaan yang satu dari kebudayaan yang lain dilaksanakan. Ahli arkeologi bekerja
dalam kerangka makna yang dimilikinya dan dengan demikian berhadapan dengan
kebudayaan yang ditelitinya yang memiliki kerangka makna berbeda bahkan mungkin
sama sekali berlainan oleh karena diwujudkan melalui ketentuan dan pengaturan yang
berbeda pula. Atas dasar itu maka upaya untuk mengungkapkan makna simbolis itu dapat
dibandingkan dengan proses penerjemahan, hanya dalam hal ini penerjemahan itu
dilakukan dari kebudayaan yang diteliti ke kebudayaan peneliti. Perlu pula dicatat bahwa
ahli arkeologi sesungguhnya memiliki dua kerangka makna, yaitu kerangka makna yang
diperoleh dari ilmunya dan kerangka makna yang terwujud dari kebudayaannya.
Bagaimana penerjemahan itu dapat dilaksanakan didasari atas tiga pengertian.
Pertama perlakuan bahwa kebudayaan materi diciptakan dengan maksud tertentu dalam
sebuah kerangka makna konseptual. Walaupun Kebudayaan materi itu diciptakan dan
penggunannya diatur dalam satu kerangka makna konseptual tertentu, namun kebudayaan
materi yang sama dapat pula diberi makna konseptual lain melalui berbagai cara. Atas
dasar ini maka di dalam memperlakukan kebudayaan materi kita harus membedakan
5
Dikembangkan dari Ian Hodder, The Theory and Practice in Archaeology. London, Routledge, 1992.
Lihat juga Ian Hodder, Reading the Past. Cambridge, Cambridge University Press, 1986.
18
antara makna dari fungsi. Adapun yang dimaksudkan dengan fungsi adalah jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh ahli arkeologi seperti “apa maksud pemberian
bentuk benda seperti itu?” “Mengapa bangunan tempat tinggal, istana misalnya, dibuat
dari bahan yang mudah rusak sedangkan candi dibangun dengan mempergunakan bahan
yang tahan lama dari batu kali”.
Mudah dimengerti bahwa fungsi-fungsi tersebut tidak dapat mengungkapkan
makna konseptualnya, oleh karena mungkin ada makna-makna konseptual yang tidak
diketahui oleh pembuat atau penggunanya. Makna ini, misalnya, menjawab pertanyaan
apa konsep yang melatar belakangi wujud sebuah candi. Makna konseptual yang
demikian ini pun mungkin tidak dikenali oleh pendiri maupun pengguna candi. Dengan
demikian maka terhadap makna ini pun perlu dibedakan makna yang tidak dikenali dan
makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang tidak dikenali menyangkut makna yang
tidak dikenali atau secara samar-samar disadari seperti misalnya kebiasaan menata dan
membersihkan kamar tidur atas dasar ketentuan kebudayaan Jawa yang “melarang” orang
lain memasuki kamar tidur, misalnya. Makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang
demikian adalah ketidakpastian dari pihak pencipta atau pengguna suatu obyek bahwa
orang lain akan memberikan makna yang sama dengannya terhadap obyek yang sama.
Kemungkinan yang demikian ini dapat terjadi oleh karena orang lain dapat
menghubungkan obyek tersebut dengan kerangka makna yang lain sehingga memberikan
makna yang berbeda. Dalam, kaitannya dengan kebudayaan materi, obvek itu telah
terpisah dari pencipta atau penggunanya. Hal ini terlebih-lebih lagi dapat terjadi sebagai
akibat dari pemisahan oleh waktu yang lebih lama atau tempat yang lebih jauh, sehingga
obyek itu dapat diberi berbagai makn tergantung dari penempatannya dalam berbagai
konteks. Sebagai contoh sebuah candi, misalnya, yang maksud pendirian sesungguhnya
belum diketahui, namun sekarang diberi makna sebagai makam, bukan makam dan
seterusnya.
Kedua pengertian bahwa kebudayaan materi harus dipelajari dalam konteks. Hal
ini berarti bahwa makna simbolis artefak-artefak tertentukan dalam konteksnya. Dengan
demikian maka ahli arkeologi haruslah terlebih dahulu merumuskan konteks itu terlebih
dahulu di dala mana obyek penelitiannya memiliki hubungan yang mempengaruhi
pemberian maknanya agar ia dapat mengetahui makna pada waktu obyek itu diciptakan.
19
Adapun yang dimaksudkan dengan konteks adalah keseluruhan lingkungan yang relevan.
Konteks sebuah obyek arkeologi (apakah itu sebuah situs atau kebudayaan) adalah semua
hubungan yang relevan dengan maknanya. Hubungan yang dimaksudkan adalah
hubungan dinamis antara obyek dengan konteksnya. Sebagai akibat dari penempatan
obyek ke dalam konteks, maka konteks itu sendiri akan mengalami perubahan. Dengan
demikian terdapat hubungan dialektis antara obyek dengan konteks dan teks dengan
konteks. Sebagai akibat dari hubungan dialektis ini maka konteks memberi makna kepada
obyek dan sekaligus juga mendapatkan makna dari obyek.
Ketiga adalah bahwa kebudayaan materi merupakan sesuatu yang aktif dan tidak
pasif. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa kebudayaan materi
tidaklah tercipta sebagai produk sampingan perilaku manusia. Hal ini disebabkan oleh
karena semua tindakan manusia merupakan tindakan yang kreatif dan interpretatif.
Sebagai akibatnya maka makna tidak tampak dengan sendirinya, demikian pula tidak
dapat secara pasif dimengerti, melainkan harus secara aktif dibangun pengertiannya.
Pada dasarnya cara para ahli arkeologi melakukan interpretasi terhadap makna
konseptual adalah melalui konsep yang ada di kepalanya. Apabila seorang ahli
menemukan sebuah pola, yang menyerupai sebuah bangunan, maka ia akan memulai
analisisnya dengan konsep yang ada di kepalanya. Selanjutnya, konsep bangunan yang
masih dapat dikatakan netral ini akan dikembangkan lebih lanjut, karena konsep netral itu
dapat diarahkan sebagai bangunan suci, rumah, atau gudang dan seterusnya.
Pengembangan ini akan menentukan analisis selanjutnya.
Apabila kita dapat menerima kenyataan ini, maka tugas ahli arkeologi adalah
bagaimana ia dapat mencapai pengertian yang sedekat mungkin dengan makna
konseptual tadi. Untuk ini ia harus tetap berangkat dari konsep bahwa kebudayaan materi
selalu harus ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek materi dan aspek kebudayaan.
2.3. Semiotik
Teori semiotik6 diterapkan dalam arkeologi, juga didasarkan atas anggapan bahwa
sepanjang sejarahnya, manusia menciptakan perkakas bagi keperluan hidupnya tetapi
6
Dikembangkan dari Jean Molino, “Archaeology and Symbol Systems”, dalam Jean Claude Gardin dan
Christopher S. Peebles (eds.), Representations in Archaeology. Bloomington, Indiana Polis, Indiana
University Press, 1992.
20
juga sistem simbol. Semiotik, kadang-kadang juga disebut semiologi, sesungguhnya
merupakan ilmu tentang tanda. Atas dasar itu, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan
apa yang dimaksudkan dengan tanda dalam semiotik. Konsep tentang tanda ini dapat
dibagi dalam tiga unsur.
Sebuah tanda adalah sesuatu yang memiliki arti tentang sesuatu bagi seseorang, di
setiap kesempatan atau tindakan. Dengan demikian tanda ini memiliki arti dalam
hubungannya dengan orang atau tanda lain- Setiap obyek atau fenomena hanya dapat
diungkapkan melalui tanda lain yang merupakan “interpretan” dari tanda yang pertama.
Tanda mewakili obyeknya, mengacu pada obyeknya namun hanya berarti melalui
“interpretan”.
Fungsi tanda dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu semiologi komunikasi dan
semiologi representasi. Fungsi tanda dalam semiologi komunikasi adalah sebagai sarana
atau wahana komunikasi. Pada fungsi yang kedua tanda merupakan pengganti dan
berfungsi sebagai kognitif. Contoh dari kedua fungsi ini adalah bahasa. Menurut
semiologi bahasa dan instrumen, dalam sejarah manusia, berkembang tidak saja sejajar
melainkan juga saling berhubungan, karena keduanya merupakan ekspresi dari ungkapan
peradaban yang sama.
Semua wujud tanda memiliki ciri-ciri modus perwujudannya masing-masing:
tanda yang mewujud sebagai materi, sebagai produksi, dan sebagai resepsi. Dalam
pengertian ini tanda merupakan produksi, sesuatu yang dengan sengaja diciptakan.
Sebagai akibatnya, maka tanda memiliki wujud materi dan menjadi obyek, antara lain
ilmu pengetahuan, sehingga dapat dianalisa.
Aspek lain dari obyek yang diakibatkan oleh hakekatnya yang demikian itu adalah
bahwa walaupun obyek itu dengan sengaja diciptakan, namun arti obyek itu terbuka lebar
bagi “interpretan”nya. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa arti yang
diberikan oleh “interpretan” menjadi berbeda, dari apa yang dimaksudkan oleh
penciptanya.
Bagaimana teori tentang tanda itu, dapat dikembangkan dalam arkeologi. Untuk
ini dapat memasukinya melalui pernyataan Leslie A. White, ahli antropologi, yang
mengatakan bahwa pada dasarnya manusia merupakan mahluk simbolis dan bukan
mahluk rasional, yang menciptakan simbol dan sekaligus juga alat-alat. Simbol menjadi
21
sama mandiri dan sama produktifnya dengan alat-alat. Atas dasar ini dapat dibentuk teori
tentang proses-proses simbolik. Sejarah peradaban manusia telah menujukkan, bahwa
manusia melalui penciptaan alat-alat secara berhasil telah menaklukkan dunianya.
Keadaan yang sama berlaku pula pada simbol. Berbekal simbol-simbol yang
diciptakannya, peradaban manusia manata pengalamannya dan kemudian menghadapi
dunianya di dalam dan melalui simbol tersebut. Atas dasar ini maka manusia, melalui
fungsi simbol sebagai mediasi dan sekaligus juga wahana untuk menjaga jarak antara
dirinya dengan dunianya seperti halnya dengan alat-alat, dapat tidak saja membuat
proyeksi ke masa lalu melainkan juga ke masa depan.
Sebagaimana yang telah berulangkali dikemukakan di muka, penerapan dan
pengkaitan semiotik dengan arkeologi secara teoretis adalah juga dimulai dari hakekat
data. Ditinjau dari sudut semiotik, data dapat dikaji dari dua sisi, yaitu dari data itu
sendiri dan dari ahli arkeologi. Ilmu pengetahuan pada umumnya sesungguhnya tidak
mengenal adanya data empiris yang betul-betul murni. Setiap datum senantiasa terkait
dengan hipotesa teoretis, oleh karena data itu sebagian merupakan hasil observasi dan
sebagian reproduksi sebagaimana yang telah diutarakan. Sementara itu, dari fihak ahli
arkeologi yang melakukan observasi juga dipengaruhi oleh kebudayaannya, termasuk di
dalamnya ilmunya. Pengaruh yang demikian ini juga dapat diamati pada ilmu
pengetahuan kemanusiaan, yang dihadapkan pada masalah yang timbul sebagai akibat
dari peranan peneliti sebagai observer dan analis yang menciptakan data kemanusiaan.
Arkeologi sebagaimana halnya dengan ilmu kamanusiaan yang bekerja berdasarkan
bekas atau jejak yang ditinggalkan oleh pencipta atau penggunanya sebagai obyek
penelitiannya. Selanjutnya dalam melaksanakan pengkajian terhadap bukti-bukti
kemanusiaan, ia berhadapan dengan data yang homogen dengan persepsinya. Ia mencoba
untuk mengerti dan kemudian mereproduksi data yang telah ia olah sesuai dengan
pengetahuannya. Dengan demikian maka dalam banyak hal, pada, dasarnya pengertian
tentang obyek berkaitan erat dan sangat tergantung pada pengetahuan subyek.
Sebagaimana yang telah berulangkali disampaikan, di dalam menghadapi obyek
kultural, subyek yang juga kultural secara jelas sangat berperan dalam penciptaan data,
serta dalam pemilihan fakta. Masalah yang timbul adalah seberapa besar pengaruh peran
tersebut terhadap arkeologi sebagai ilmu. Adapun yang menjadi permasalahan adalah
22
yang bersifat ontologis dan yang bersifat metodologis. Permasalahan pertama berkenaan
dengan pertanyaan apakah ada sebuah obyek penelitian arkeologi yang dapat dipisahkan
dari subyek kultural yang mempelajarinya. Ditinjau dari permasalahan ontologis ini,
maka obyek arkeologi, yang sebagaimana dikatakan di atas terutama berwujud jejak atau
bekas, tidaklah mengandung permasalahan yang bersifat epistemologis dalam arti apakah
obyek kultural yang tercipta tadi obyektif atau tidak. Dalam ilmu budaya, khususnya
dalam perspektif semiologi tentang bentuk-bentuk simbolik, maka kedudukannya
menjadi jelas, bahwa jejak dan bekas itu benar-benar ada dalam arti pada kedudukannya
yang netral dan sebagai apa adanya. Kedudukan ontologis yang demikian ini memberikan
kesempatan bahwa obyek dapat dianalisis tidak hanya berdasarkan persepsi dan
pengetahuan subyek kultural saja. Secara metodologis kesempatan untuk melakukan
analisis secara tidak terbatas ini dimungkinkan oleh faktor-faktor yang berkenaan dengan
“keberadaan secara berlapis” bekas dan jejak. Adapun yang dimaksudkan dengan lapis di
sini adalah lapisan analisis, yaitu jejak sebagai lapisan pertama yang bersifat materi,
diperlakukan sebagai obyek bagi berbagai analisis awal yang tergantung pada modelmodel yang dipergunakan. Walaupun demikian, perlu kiranya diingat bahwa jejak pada
tingkat material sesungguhnya telah merupakan hasil dari aktivitas dan reproduksi dari
subyek kultural. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah bahwa jejak tadi mungkin
diketemukan melalui ekskavasi dan direproduksi dalam bentuk deskripsi. Peringatan
yang lain adalah bahwa konfigurasi yang diungkapkan sebagai hasil analisis pada jejak
lapis materi tidak dengan sendirinya mencerminkan konfigurasi dari kegiatan sosial atau
budaya dari mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu. Pada gilirannya, konfigurasi tadi
juga memberikan kesempatan untuk melakukan dimensi analisis yang baru.
Dengan demikian maka kemungkinan penerapan teori semiotik dalam arkeologi
adalah kira-kira sebagai berikut. Pertama pada lapis pertama, ahli arkeologi menghadapi
data untuk mencoba mengerti dan kemudian merekonstruksikan fenomena. Kedua adalah
analisis terhadap lapis netral. Dari records ini ahli arkeologi melakukan identifikasi,
klasifikasi, dan mengungkapkan pola atau konfigurasi, untuk kemudian menyajikannya
dalam bentuk model simbolis. Terakhir adalah pengungkapan makna terhadap berbagai
konfigurasi itu. Jejak-jejak itu dapat diungkapkan maknanya hanya dalam hubungannya
dengan kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu.
23
DAFTAR PUSTAKA
Marc Bloch (1989). Pleidooi voor de Geschiedenis of Geschiedenis als Ambacht.
Nijmegen: Sun (terjemahan dari bahasa Francis).
Leonard Blusse & Femme Gaastra (1998,1. On the Eighteenth Century as a Category of
Asian History. Van Leur in Retrospect. London, Brookfield USA, Singapore: Aldershot.
Fernand Braudel (1988) Cilivization and Capitalism, 15th – 18th Century. London:
Collins/Fontana Press, 3 jilid (terjemahan dari bahasa Francis).
Femand Braudel (1979). Geschiedschrijving. Paarn: Basisboeken Ambo (terjemahan dari
bahasa Francis).
Peter Burke (1 992). History and Social Theory. London: Polity Press. ;
Peter Burke (1990). The French Historical Revolution. The Annales School 1929-89.
Polity Press.
E.H. Carr (1990,). What is History. Penguin Books, Rev. ed. (cetakan pertama 1961).
R.G. Collingwood (1956). The Idea of History. New York: Oxford University Press.
William H. Dray (1989). On History and Philosophers of History. Leiden: E.J. Brill.
Norbert Elias (1982). Het Civilisatieprocess. Sodogenetische en Psychogenetische
Onderzoekingen. Utrecht/Antwerpen: Uitgeverij het Spectrum (terjemahan dari bahasa
Jerman 1937).
Haskel Fain (1970). Between Philosophy and History. The Resurrection of Speculative
Philosophy of History Within the Analytic Tradition. Princeton University Press.
William H. Frederick (1989). Pandangan dan Gejolak. Masyarakat Kota dan Lahirnya
Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1945). Jakarta: Penerbit Gramedia (terjemahan dari
bahasa Inggris).
Francis Fukuyama (1992) The End of History and the Last Man. New York: Avon
Books.
Frank Furedi (1993J. Mythical Past, Elusive Future. History and Society in an Anxious
Age. London, Boulder (Colorado): Pluto Press.
Hans-George Gadamer (1992). Truth and Method. New York: Crossroad (terjemahan
dari bahasa Jerman Wahrheit und Methode, 1960).
Clifford Geertz (1983). Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in
Indonesia. University of California Press.
Clifford Geertz (1980| Negara: The Theater State in Nineteenth Century Ball. Princeton
University Press.
Felix Gilbert (190). History: Politics or Culture? Reflections on Ranke and Burkhardt.
Princeton University Press.
James Click (1994). Genius: Richard Feynman and Modern Physics. London: Abacus.
Rom Harre (1970). The Principles of Scientific Thinking. London: Macmillan. C.G.
Hempel, "The Function of General Laws in History", da/am Journal of Philosophy, no.
39, 1942.
24
C.A. Hooker, "An Evolutionary Naturalist Realist Doctrine of Perception and Secondary
Qualities", dalam C.W. Savage (ed.), Minnesota Studies in Philosophy of Science, IX,
1978.
Martin Holis (1994). The Philosophy of Social Science. An Introduction. London:
Cambridge University Press.
Lyn Hunt (ed.J. The New Cultural History. University of California Press.
J.J.P. de Jong (1998). De Waaier het Fortuin. De Nederlanders in Azie en de
Indonesische Archipel, 1595- 1950. Den Haag: SOU Uitgevers.
Gerrit J. Knaap (1996). Shallow Waters, Rising Tides. Shipping and Trade in Java
Arround 1775. Leiden: KITLV Press.
Gerrit J. Knaap (1987). Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oostindische
Compagnie en de Bevolking van Ambon, 1656-1695. Dortrecht - Province: Forris
Publications.
Thomas Kuhn (1994). Structure of Scientific Revolution. University of Chicago Press.
Second Ed. Enlarged.
Kuntowidjojo (1992| Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana.
J.C. van Leur (1960). Asian Trade and Society. Esseys in Asian Social and Economic
History. Den Haag-Bandung: Voorhoeve.
Thomas Lindblad, ed. (1996). Historical Foundation of a National Economy in
Indonesia, 1890s- 1990s. Amsterdam: KNAW.
Christopher Lloyed (1993). The Structures
Christopher Lloyed (1986). Explanation
of
History. London: Basil Blackwell.
in Social History. London: Basil Blackwell.
Chris Lorenz (1990). De Constructie van het Veheden. Een Inleiding in de Theorie van
de Geschiedenis. Amsterdam: Boom Meppel.
M. Mandelbaum (1967). The Problem of Historical Knowledge. New York: Harper
Torchbooks (cetakan pertama 1 938).
C. Behan McCullagh (1998). The Truth of History. London-New York: Routledge.
Luc Nagtegaal (1996;. Riding the Dutch Tiger. The Dutch East India Company and the
Northeast Coast of Java, 1680-1740. Leiden: KITLV Press.
Christopher Norris (1997). Against Relativsm. Philosophy of Science, Deconstruction,
and Critical Theory. London: Blackwell.
Anthony Reid (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Chiang Mai:
Silkwormbooks, 2 Jilid.
Carl Sagan ( i996). The Demon-Haunted World. Science as a Candle in the Dark.
London: Headline Publishing.
David Joel Steinberg, ed. (1971). In Search of Southeast Asia. A Modem History.
Honolulu: University of Hawaii Press.
Sartono Kartodirdjo (1984). Ratu Mil. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
25
Sartono Kartodirdjo (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia:
Suatu Alternatif. Jakarta: P.T. Penerbit Gramedia.
Nico Schulte Nordholt & Leontine Visser, eds. (1997). llmu Sosial di Asia Tenggara.
Dan Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: :P3ES.
Dudley Shapere, "Method in the Philosophy of Science and Epistemology: How to
Inquire About Inquiry and Knowledge", dalam N.J. Nersessian (ed.) The Process of
Science. Dortrecht: Martinus Nijhoff 1 987.
Heather Sutherland (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan (Terjemahan dari bahasa Inggris).
Richard Tarnas (1991). The Passion of the Western Mind. Understanding the Ideas that
Have Shaped Our World View. New York: Ballantine Books.
Charles Tilly (1978). From Mobilization to Revolution. Reading, Mass.: Addison-Wesley
Publishing Company.
Charles Tilly (1981). As Sociology Meets History, Studies in Social Discontinuity.
Orlando, San Diego, San Fransisco, New York, London: Academic Press Inc.
Charles Tilly (1967). The Vendee. Cambridge University Press.
Jaap Vogel (1998), "J.C. vartteur, 1908-1942: A Short Life in History", dalam Blusse &
Gaastra, op.cit. him. 13-38.
Immannuel Walerstein (1991). Unthinking Scocial Science. The Limits of Nineteenth
Century Paradigms. London: polity Press.
W.H. Walsh (1951). Introduction to Philosophy of History. New York:
Hutchinson.
David K. Wyatt (1998), "The Eighteenth Century in Southeast Asia", dalam Blusse &
Gaastra, him op.cit. 39-55.
Download