Men-Teroris-Kan Tuhan!

advertisement
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan Sosial Baru
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan Sosial Baru
Ali Asghar
Jakarta, 2014
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
“Men-Teroris-Kan Tuhan!”-Gerakan Sosial Baru, Cet.1
Jakarta: Pensil-324, 2014
xx + 268 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN 978-602-7935-08-2
Men-Teroris-Kan Tuhan!: Gerakan Sosial Baru
© Ali Asghar, 2014
2014/P/09
Ilustrasi & Desain Sampul: Kang Supriyadi
Penata Letak: Cupe S
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Penerbit Pensil-324
Anggota IKAPI
Cetakan Pertama, September 2014
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.
(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Kajian terorisme berbasis Islam akhir-akhir ini telah
mendapatkan perhatian para sarjana secara serius pasca
tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat. Peristiwa
tersebut menandai era baru pasca perang dingin yang
menganggap bahwa terorisme identik dengan Islam.
Gerakan terorisme bukan lagi organisasi-organisasi
sekuler semacam Japanese Red Army/JRA, Macan Tamil di
Srilangka, Brigade Merah di Italia dan lain-lain, sebaliknya gerakan terorisme kini identik dengan Islam seperti
al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Gerakan terorisme
berbasis Islam tersebut kini menjadi ancaman nyata di
seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Terorisme hakikatnya mengandung motif dan
tujuan politik, klaim politik dan perjuangan politik.
Terorisme adalah paham yang dalam rangka mencapai
tujuan seringkali menghalalkan berbagai cara termasuk
kekerasan, intimidasi hingga pembunuhan. Patut kita
Men-Teroris-Kan Tuhan!
bertanya mengapa dan bagaimana seseorang tega dan
nekat melakukan aksi yang tergolong sadis. Korban
kejahatan terorisme seringkali jasadnya tidak bisa dikenali, hancur bahkan terburai karena serangan bom yang
mematikan. Manusia macam apakah yang terlibat kejahatan terorisme seperti itu?
Eksistensi kehidupan manusia memang sejak awal
penuh dengan pertumpahan darah. Pertumpahan darah
dilakukan dalam rangka keberlangsungan kehidupan
manusia. Manusia yang satu bagaikan srigala bagi manusia lainnya. Lebih jauh, dalam kitab suci al-Qur’an ketika Allah hendak menciptakan manusia para malaikat
melakukan protes atas penciptaan manusia karena manusia dianggap hanya akan merusak bumi dengan pertumpahan darah.
Terorisme hakikatnya tidak semata-mata didasarkan
oleh faktor agama tetapi juga aspek lain menyangkut
ekonomi, politik dan sejarah yang bertaut erat dalam
pencarian identitas di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Karena itu, tidak heran jika kemudian orang
Jawa yang dikenal sopan atau lembut di tengah arus deras globalisasi dan modernisasi yang terkadang “membingungkan” membentuk karakter sisi lain sebagian sehingga orang Jawa yang lebih keras menjadi teroris.
Orang Jawa memang dikenal dengan kesopanan
dan kelembutan, namun ia juga punya nilai-nilai sifat
kehidupan yang disebut dengan “3 nga” yaitu ngalah,
ngalih dan ngamuk. Karena itu, mengapa dalam budaya masyarakat Jawa senjata keris selalu disisipkan di
belakang bukan di depan seperti masyarakat Madura.
Keris di belakang menunjukkan sifat tidak arogan, keris
hanya akan digunakan ketika merasa terancam. Lebih
jauh, sejatinya masyarakat Indonesia sangat erat dengan
budaya kekerasan. Hal ini dapat dilihat hampir semua
vi
Kata Pengantar
lambang daerah/kota di seluruh Indonesia memuat
unsur-unsur kekerasan misalnya, Keris, Celurit, Panah,
Tombak, Jangkar dan lain-lain.
Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia, mobilisasi atau rekrutmen simpatisan gerakan terorisme sudah
pada tahap yang mengkhawatirkan. Rekrutmen gerakan terorisme sudah mengarah kepada generasi muda
atau anak muda dalam lingkaran organisasi terorisme.
Meski mobilisasi gerakan terorisme cenderung bersifat
bawah tanah, tetapi dalam beberapa kasus internalisasi
nilai-nilai radikal dalam lingkungan anak muda seringkali melalui institusi pendidikan yang bersifat non formal. Lembaga pendidikan menjadi instrumen strategis
bagi upaya melahirkan generasi baru dalam lingkaran
gerakan terorisme.
Hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme (Oktober 2010 hingga
Januari 2011), terhadap siswa dan guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, menunjukkan hampir 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikal demi agama. Hasil riset itu merupakan indikasi awal yang cukup
kuat, bagaimana bibit-bibit radikalisme yang mengusung keislaman, patut diwaspadai sekaligus dicegah dari
pembiaran. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa agama merupakan faktor utama radikalisme, tetapi agama
dijadikan landasan motifasional yang dimaknai dengan
semangat anti perbedaan sehingga melahirkan generasi
baru yang siap mati untuk Islam dalam bentuk kejahatan
terorisme.
Para individu-individu yang terlibat dalam gerakan
terorisme nampaknya digarap melalui pendekatan non
akademis. Sejauh ini belum ada satu pun Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang mengajarkan langsung paham radikalisme agama. Kitab-kitab
vii
Men-Teroris-Kan Tuhan!
yang dikaji dalam Pondok Pesantren umumnya tidak
ada yang eklusif secara khusus mengajarkan nilai-nilai
radikal serta menganjurkan untuk melakukan aksi
terorisme.
Demikian pula dengan lembaga pendidikan tinggi
semacam IAIN/UIN, perguruan tinggi berbasis Islam
di Indonesia tidak mengajarkan pendidikan agama
yang mengarah pada aksi radikalisme. Kalaupun ada
oknum mahasiswa IAIN/UIN yang terlibat dalam aksi
terorisme bisa dipastikan bahwa itu dibentuk melalui
pendidikan non akademis melalui perkawanan, kekerabatan dan proses lain diluar tanggung jawab Kampus.
Aksi terorisme nampaknya juga bukan merupakan
bagian dari konspirasi Amerika dan sekutunya sebagaimana yang sering dituduhkan. Amerika memiliki
kepentingan terhadap Indonesia di mana pasar ekonomi Indonesia sangat menggiurkan. Karena itu, sangat
mustahil jika kemudian Amerika merusak kepentingannya dengan menjadi dalang di balik fenomena terorisme
di Indonesia.
Di luar perdebatan tersebut, fenomena terorisme di
Indonesia yang muncul secara massif sejak reformasi
1998 telah memunculkan kembali perdebatan klasik
menyangkut hubungan Islam dan demokrasi. Reformasi yang melahirkan keterbukaan sistem politik justru melahirkan perpecahan dan terorisme makin kuat.
Atas nama kebebasan dan demokrasi, beberapa oknum
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang
mereka yakini. Paradoks ini mengulas kembali apakah
Islam tidak sejalan dengan demokrasi atau demokrasi
itu sendiri tidak sejalan dengan logika Islam. Lebih jauh,
apakah sistem politik otoriter atau demokrasi yang lebih
menyuburkan tumbuh dan berkembangnya aksi-aksi
terorisme.
viii
Kata Pengantar
Buku dengan judul Men-Teroris-Kan Tuhan!: Gerakan
Sosial Baru yang merupakan hasil penelitian tesis mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta ini, dengan segala
keterbatasannya merupakan upaya mendiskusikan perdebatan apakah rezim otoriter atau demokratis yang
cenderung melahirkan gerakan terorisme yang oleh penulis disebut sebagai politik penentangan (contentious
politics) non-institusional. Lebih dari itu, buku ini secara
tidak langsung juga berusaha menjawab apakah aksi
terorisme berbasis Islam semata-mata dilandaskan pada
faktor agama atau agama hanya dijadikan sebagai framing untuk pembenaran dan landasan motifasional.
Dengan mengggunakan pendekatan gerakan sosial dalam melihat aksi terorisme, penulis telah berusaha memperkaya sudut pandang pemahaman wacana;
memberikan cakrawala baru; membuka ruang-ruang
interpretasi terhadap fenomena aksi terorisme berbasis
Islam yang menjadi ancaman serius di seluruh dunia
dan termasuk di Indonesia.
Karya semacam ini jelas masih sangat langka dalam
literatur kajian Islam. Karena itu, ia jelas merupakan
kontribusi penting pada pengayaan pendekatan dalam
kajian Islam khususnya menyangkut fenomena terorisme berbasis Islam.
Jakarta, 9 April 2014
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.
ix
KATA PENGANTAR
Buku dengan judul “Men-Teroris-Kan Tuhan!:
Gerakan Sosial Baru” merupakan buku yang berangkat
dari penelitian Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini berusaha
mengungkap sejauh manakah watak rezim pemerintahan memberikan insentif dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme. Perdebatan ini dengan
sendirinya mengantarkan pada kesimpulan bahwa aksi
terorisme berbasis Islam tidak semata-mata dilandaskan
pada faktor agama. Agama hanya dijadikan alat pembingkaian gagasan, wacana dan aksi untuk mendapatkan
pembenaran, mobilisasi dukungan serta tujuan politik.
Sebagaimana diketahui, terorisme sejak peristiwa
11 September 2001 menjadi isu seksi baik di Indonesia
maupun di dunia Internasional. Aksi teror 11 September
2001 di Amerika Serikat menandai era baru gerakan
terorisme pasca perang dingin adalah gerakan terorisme
Men-Teroris-Kan Tuhan!
berbasis Islam. Islam menjadi sorotan dunia karena
dalam kenyataannya aksi-aksi terorisme melibatkan
sejumlah individu atau organisasi yang mengandung
makna Islam. Dengan kata lain, simbol-simbol Islam
melekat dalam beberapa aksi serangan terorisme.
Fenomena terorisme berbasis Islam merupakan bagian dari gerakan Islam politik non-institusional. Aksi
terorisme berbasis Islam muncul salah satunya didasarkan ketidakberdayaan gerakan Islam politik institusional dalam mempengaruhi kebijakan politik baik
dalam level nasional atau politik dunia. Hal ini membuka ruang bagi sebagian kelompok untuk bergerak
secara non-institusional melalui aksi-aksi yang disebut
sebagai terorisme.
Singkat kata, terorisme berbasis Islam dapat dipahami sebagai gerakan Islam politik yang mencoba
mencari identitas di tengah-tengah pusaran demokrasi,
modernisasi dan globalisasi dengan membajak serpihan
agama dan sejarah Islam. Oleh karena itu, menghadapi
persoalan terorisme sebagai gejala sosial politik, penulis menggunakan pendekatan integratif gerakan sosial
dalam rangka memahami bagaimana gerakan terorisme
menjalankan aksi dan gagasan dengan berusaha mengesampingkan pemahaman umum yang didasari pada fanatisme agama, kemiskinan dan pengangguran sebagai
sebagai sebab utama kemunculan dan perkembangnya
gerakan terorisme berbasis Islam.
Dalam penyelesaian buku ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada beberapa pihak yang baik langsung maupun tidak langsung turut membantu proses
penulisan buku ini hingga selesai. Ucapan terimakasih
saya sampaikan kepada Prof. Dr. M. Bambang Pranowo
yang telah bersedia memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam proses penelitian tesis yang
xii
Kata Pengantar
kini menjadi buku, keluarga besar Lembaga Penelitian
CONCERN; Mas Ubay, Mas Marno, Mbah Supriyadi,
Cupe, Mas Hamid, Mas Ndos, Mas Agus, Bagus, Taufiq,
Aris dan Syakir, di tempat inilah penulis banyak mendapatkan ilmu dalam upaya peningkatan kualitas diri.
Terimakasih saya juga kepada Mas Anick HT dan
Istrinya serta kawan-kawan dalam jajaran pengurus
LAPMI PB HMI, terimakasih tidak terhingga kepada
keluarga besar K.H Zaim Ahmad Ma’shoem, Prof. (Ris)
Hermawan Sulistyo, Ph.D, Arif Rahman Roesdy dan
H. Mudjiono yang telah memberikan dukungan penuh
dalam rangka peningkatan kualitas diri untuk terus
melanjutkan pendidikan. Akhirnya, sebagai pungkasan
dari faktor yang membakar semangat penulis adalah
doa kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan
sabar dalam meniti kehidupan ini bersama-sama.
Di atas semua itu, kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian buku ini. Penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah mencatat sebagai
amal shaleh, amin ya robbal alamin.[]
Jakarta, Agustus 2014
Ali Asghar
xiii
GLOSARI
Depolitisasi Agama:Menghapuskan kegiatan politik
keagamaan dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan
pemerintah.
Framing:
Proses konstruksi sosial guna
menciptakan dan menggelindingkan wacana yang dapat bergema
di antara mereka yang menjadi
target mobilisasi.
Gerakan sosial
:Gerakan sosial (social movement)
adalah aksi kolektif bergerak secara informal berbentuk organisasi dengan jumlah partisipan
atau individu dalam jumlah besar yang secara spesifik berfokus
pada isu-isu sosial atau politik
dengan melaksanakan, menolak
Men-Teroris-Kan Tuhan!
atau mengkampanyekan sebuah
perubahan sosial
Islamisme:
istilah yang berkaitan erat
dengan gerakan politik tertentu
yang menjadikan Islam sebagai
asasnya. Cita-cita gerakan Islamisme adalah terwujudnya negara
yang berdasarkan ideologi Islam.
Islam politik
:Aktifitas politik yang dilakukan
oleh kelompok Islam baik dalam
saluran institusional berupa partai
politik, ormas dan atau dilakukan
secara non-institusional seperti
aksi terorisme berbasis Islam.
Jihad
:Kata jihad berasal dari kata kerja
Bahasa Arab “jahada”, yang
memiliki arti ‘perjuangan’ atau
‘usaha sungguh-sungguh’. Secara
definisi, jihad berarti melakukan
yang terbaik untuk menegakkan
hukum Allah, membangun dan
menyebarkannya. Dalam sudut
pandang syariah, jihad berarti
melawan mereka yang tidak beriman dengan Islam. Karena itu,
jihad ini terkenal dengan nama
jihad fi sabilillah (berjuang di jalan
Allah).
Kesempatan politik:Dimensi-dimensi lingkungan politik yang memberikan insentif
bagi keberlangsungan gerakan.
Khilafah:
sistem kepemimpinan umat,
dengan menggunakan Islam se-
xvi
Glosari
bagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu pada Al-Quran
dan Hadist.
Mobilisasi :Tindakan pengerahan atau penggunaan sumber daya yang dimiliki untuk mempertahankan
kesinambungan gerakan hingga
berhasil.
Radikalisme:
Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis.
Sekularisme:
Paham pemisahan antara agama
dan pemerintahan. Hal ini dapat
berupa mengurangi peran agama
dalam pemerintahan, mengganti
hukum keagamaan dengan hukum sipil.
Teroris
:Adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk
tujuan politik.
Terorisme:
Paham penggunaan kekerasan,
fisik, psikologis atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal.
xvii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, M.A.
(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
v
KATA PENGANTAR
xi
GLOSARIxv
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B. Tinjauan Pustaka
C.Kerangka Teori
D.Metodologi Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II GERAKAN SOSIAL & TERORISME:
TINJAUAN TEORITIS
1
1
20
28
31
32
35
Men-Teroris-Kan Tuhan!
A.Teori Gerakan Sosial
B. Definisi dan Karakteristik Terorisme
C.Terorisme sebagai Gerakan Sosial
36
71
83
BAB III BATAS TOLERANSI POLITIK: PENJELASAN
SITUASI POLITIK ATAS KEKERASAN
AKTIVISME ISLAM
105
A.Terorisme dan Struktur Kesempatan
Politik Orde Lama
106
B. Terorisme dan Kesempatan Politik
Orde Baru
135
C.Terorisme dan Kesempatan Politik
Pasca Suharto
158
BAB IV ISLAM ADALAH SOLUSI:
PEMBINGKAIAN TERORISME
BERBASIS ISLAM
A.Framing Gerakan Terorisme
181
182
BAB V MOBILISASI SUMBER DAYA
GERAKAN TERORISME
211
A.Struktur Organisasi dan Kepemimpinan212
B. Sumber Pendanaan Gerakan
230
BAB VI PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Rekomendasi
241
241
243
DAFTAR PUSTAKA
245
INDEKS
263
BIODATA PENULIS
267
xx
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pasca serangan teror yang meluluhlantahkan menara
kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September
2001, persoalan keamanan dunia dan perdamaian menjadi isu seksi dalam satu dasawarsa terakhir ini.Tragedi
tersebut mampu mengubah konstelasi politik global
akibat kebijakan Presiden Amerika George Walker
Bush yang kontroversial.1 Bush mengatakan bahwa
negara-negara di dunia yang tidak membantu Amerika
melawan teroris maka akan menjadi musuh Amerika.2
Robert Jervis, “At Interim Assesment of September 11: What
Has Changed and What Has Not,” Political Science Quaterly Vol.
117. No.1 (2002), 37-54. www.columbia.edu/itc/sipa/S6800/
courseworks/Jervis_terror.pdf (diakses 22 April 2013)
2
Freek Colombijn,“The War Againts Terrorism In Indonesia: Amien
Rais on US Foreign Policy and Indonesia’s Domestic Problems,”
IIAS News Letter No. 28 (Agustus 2002), 2. www.iias.nl/iiasn/28/
1
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Kebijakan politik luar negeri Amerika pasca tragedi 11
September seolah menguatkan wacana benturan peradaban Barat dan Islam.3
Setelah peristiwa 11 September, Presiden Amerika
George Walker Bush di depan Kongres dan Masyarakat
Amerika (Joint Session of Congress and the American People)
pada 20 September 2001 menyampaikan pidato yang
berjudul “The Nature of The Terrorist Threat Today”.
Dalam pidato tersebut, Bush menegaskan serta mengarahkan wacana terorisme di abad 21 pasca perang dingin
adalah kelompok-kelompok garis keras Islam seperti alQaeda. Karena itu, tidak heran jika kemudian Robert W.
Hefner mengatakan politik dunia pada pergantian milenium baru telah memunculkan kembali isu etnis dan
agama dalam ruang publik.4
Dalam konteks Indonesia, aksi-aksi terorisme mulai
muncul secara massif di era pasca Suharto. Era pasca
Suharto tidak saja memunculkan fenomena serangkaian aksi teror, tetapi juga menjadi momentum bagi
kebangkitan Islam politik baik dalam bentuk organisasi
partai politik atau organisasi keagamaan. Misalnya,
Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad (LJ).
Mereka mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi,
wacana dan gerakan di ruang publik serta tidak jarang
menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan aspirasi.5
IIASN28_amienrais.pdf (diakses 22 April 2013)
Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of
World Order (London: Touchstone Book,1998).
4
Robert W. Hefner, Civil Islam:Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000),
3.
5
Azyumardi Azra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia”
dalam Virginia Hooker and Amin Saikal, eds. Islamic Perspektives
3
2
Pendahuluan
Episode penuh kekerasan ini mencapai puncaknya
ketika terjadi serangan teror bom Bali pada tahun 2002
yang menewaskan sekitar 185 orang dari 20 negara di
dunia.6 Serangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia
sejak tahun 2000 diyakini oleh beberapa pengamat dan
peneliti dilakukan oleh organisasi Jamaah Islamiyah
(JI) pimpinan Abu Bakar Baasyir (ABB) yang memiliki
hubungan dengan al-Qaeda.7 Meski demikian, sampai
saat ini ABB masih mengingkari bahwa ia sebagai bagian atau pimpinan organisasi JI.
Salah satu diskursus yang muncul setelah tragedi 11
September dan bom Bali di Indonesia adalah berkaitan
dengan persoalan religio-politik yaitu radikalisme
Islam.8 Ada beberapa literatur yang kemudian muncul
untuk menjelaskan fenomena terorisme berbasis Islam.
Di samping radikalisme Islam, terdapat istilah fundamentalisme, Islamisme, revivalisme, neo-fundamentalisme dan istilah yang muncul belakangan ini adalah
aktivisme Islam (Islamic activism).9 Istilah-istilah tersebut
memiliki tafsiran berbeda-beda tetapi merujuk pada
satu fenomena kebangkitan Islam politik.
on the New Millenium, (Singapore:ISEAS Publishing, 2004), 133-149.
Hermawan Sulistyo, ed. Bom Bali: Buku Putih Tidak Resmi Investigasi
Teror Bom Bali, (Jakarta: Pensil 324, 2002), 110.
7
ICG Indonesia Briefing Paper, “Indonesia: Violence and Radical
Muslims,” (10 Oktober 2001),1.
8
Sebagaimana dikatakan Robert W. Hefner, sejak tahun 2000
politik dunia diwarnai oleh dua diskursus mengenai isu etnis
dan agama dalam ruang publik seperti, Nasionalisme Hindu di
India, Islam dan Kewarganegaraan di Perancis, Perang Budaya di
Amerika Serikat, atau Gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim.
Lihat selanjutnya dalam Robert W. Hefner, Civil Islam:Muslims and
Democratization in Indonesia, 3-20.
9
Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism: A Social Movement
Theory Approach, (Bloomington & Indianapolis : Indiana University
Press)
6
3
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Nazih Ayubi menyebut Islam politik merupakan
fenomena atau gerakan yang meyakini bahwa Islam
merupakan sebuah teori politik dan negara.10 Oliver
Roy menafsirkan Islam politik sebagai gerakan kelompok-kelompok yang meyakini Islam tidak sekedar agama semata tetapi merupakan sebuah ideologi politik.11
Demikian pula dengan Saiful Mujani menggunakan
istilah “Islamisme” untuk menyebut Islam politik yang
didefinisikan sebagai sikap dan pandangan hidup yang
tidak hanya dalam konteks ibadah, organisasi atau identitas sosial, tetapi juga politik yakni kesatuan agama dan
politik.12
Adapun Quintan Wiktorowicz menggunakan istilah
“aktivisme Islam” (Islamic activism) untuk menyebut
Islam politik yang dipahami sebagai mobilisasi perseturuan sebagai upaya mendukung kepentingan dan
tujuan politik kelompok Islam. Aktivisme Islam dalam
hal ini dipahami sebagai tindakan protes dengan menggunakan kekuatan massa dan menggunakan simbolsimbol Islam dalam wacana, aksi dan gerakan.13
Oleh karena itu, Islam politik sering kali digunakan
sebagai pisau analisis memahami fenomena terorisme
berbasis Islam. Hal ini seturut dengan logika terorisme
sebagai konsep politik yang mengandung motif, tujuan,
klaim dan perjuangan politik. Demikian pula dengan
Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World
(London: Routledge, 1991), 1-3.
11
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk
(Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12
dan 75.
12
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2007), 89.
13
Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism: A Social Movement
Theory Approach. 1-9
10
4
Pendahuluan
terorisme berbasis Islam, ia merupakan varian dari gerakan politik Islam yang memiliki karakter fundamental.
Sebagaimana diungkapkan Bassam Tibi, fundamentalisme agama mempunyai agenda politisasi agama
yang agresif untuk mencapai tujuan dan fundamentalisme baik di dalam Islam maupun agama lain merupakan bentuk superfisial dari terorisme atau ekstrimisme.14 Selanjutnya, terorisme berbasis Islam sebagai
gerakan Islam politik menawarkan gagasan Islam sebagai solusi atas kegagalan sistem demokrasi sebagai
landasan ideologi negara.
Paradigma Islam sebagai solusi yang ditawarkan
kelompok Islamisme mendapatkan kritik tajam dari
Muhammad Sa’id Al-Ashmawi. Menurutnya, paradigma Islam adalah solusi merupakan paradigma yang
tidak memiliki konsep yang jelas untuk menjadi solusi
atas krisis yang sedang dialami umat Islam dalam berbagai aspek. Kelompok Islam Politik, bagi Al-Ashmawi,
tidak mengemukakan solusi dan konsepsi yang bisa diterima secara rasional serta realistis dan tidak memiliki
agenda politik yang jelas terhadap krisis yang melanda.
Konsep Islam adalah solusi, justru lebih mengemukakan
romantisme sejarah Islam pada masa Nabi yang telah
mempraktekkan sebuah komunitas yang diatur dengan
hukum Islam.15
Penting dicatat bahwa istilah terorisme agama pertama kali dimunculkan oleh David C. Rapoport dalam
“Fear and Treambling: Terrorism in Three Religious
Traditions”. Dalam pandangannya, terorisme tidak
Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and
The New World Disorder (California: The Regent of University of
California, 1998), X.
15
Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, Al-Islām Al-Siyāsī (Cairo: Sina li alNasyr,1987), 76.
14
5
Men-Teroris-Kan Tuhan!
saja terjadi di dalam agama Islam tetapi juga muncul di
beberapa agama lain seperti agama Hindu, Islam dan
Yahudi. Namun demikian, Rapoport mengakui bahwa
adanya perbedaan aksi terorisme dalam doktrin dan
karakteristik di dalam masing-masing agama tersebut.16
Terorisme agama atau terorisme berbasis keagamaan
kini muncul kembali sebagai diskursus yang lahir sejak
peristiwa 11 September. Andrew Silke sebagaimana
dikutip oleh Richard Jackson menyebutkan bahwa sejak
peristiwa 11 September buku-buku yang membahas
terorisme diterbitkan setiap enam jam dalam bahasa
Inggris di samping artikel, laporan penelitian, dan
disertasi.17
Perhatian para pengamat dan masyarakat dunia terhadap Islam tumbuh pesat untuk memahami terorisme
berbasis Islam dan tantangan serta masa depan terorisme di dunia. Ada dua aliran atau kelompok sebagai
pendekatan dalam memahami fenomena terorisme berbasis Islam yaitu aliran ideasional dan aliran psikologis.
Kedua pendekatan ini sangat mendominasi dalam beberapa literatur kajian tentang terorisme berbasis Islam.
Pendekatan ideasional adalah pendekatan dalam
memahami terorisme berbasis Islam dengan penekanan pada aspek ideologi. Pendekatan ini cenderung
menganggap pikiran radikal dalam aksi teror didasarDavid C. Rapoport, “Fear and Treambling: Terrorism in Three
Religious Traditions,” The American Political Science Review, Vol.
78, No. 3 (September 1984), 658-677. www.international.ucla.edu/
cms/files/fear(diakses 11 April 2013)
17
Richard Jackson, “The Study of Terrorism after 11 September 2001:
Problems, Challenges and Future Developments,” Political Studies
Review, Vol. 7 (2009), 171–184 http://www.olympiaseminars.
org/2012/readings/Cycle_C/Jackson_Study%20of%20
Terrorism.pdf(diakses 22 Februari 2013)
16
6
Pendahuluan
kan pada tekstualitas teks-teks agama.18 Dengan kata
lain, kekerasan dalam aksi teror bersumber dari tradisi
keagamaan. Model penjelasan seperti ini menekankan
pada ideologi keagamaan sebagai pusat analisis yang
membentuk pikiran radikal seseorang.
Dominasi perspektif ideasional dalam melihat
fenomena gerakan terorisme berbasis Islam bisa dilihat
dari beberapa artikel, jurnal atau buku. Misalnya, Mark
Sedgwick dalam “Al-Qaeda and the Nature of Religious
Terrorism” menjelaskan fenomena gerakan al-Qaeda sebagai tesis tentang terorisme berbasis agama. Sedgwick
mencoba memahami tujuan langsung dan tujuan akhir
aksi teror al-Qaeda. Tujuan langsung al-Qaeda adalah
upaya memprovokasi Amerika, sedangkan tujuan akhir
dari aksi terorisme berbasis agama adalah implementasi
dari ajaran agama.19
Selanjutnya Quintan Wiktorowicz dalam “A Genealogy of Radical Islam” mencoba melacak akar pemikiran radikalisme Islam. Menurutnya, radikalisme
Islam bersumber dari pemikiran Mawlana Abul A’la
Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Ibn
Taimia. Pemikiran radikalisme tersebut mengilhami
doktrin jihad dan terorisme sebagaimana dilakukan
al-Qaeda. Ide dan gagasan tokoh intelektual muslim
tersebut diyakini menjadi dasar legitimasi pembenaran
aksi-aksi kekerasan berbasis Islam di dunia termasuk
aksi kekerasan berbasis Islam di Indonesia.20
Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
Geneologi dan Teori (Yogjakarta: Suka-Press, 2012), vii.
19
Mark Sedgwick, “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism,”
Terrorism and Political Violence, Vol. 16, No.4 (2004), 95–814.http://
ipac.kacst.edu.sa/eDoc/2006/158222_1.pdf (diakses 24 April 2013)
20
Quintan Wiktorowicz, “A Genealogy of Radical Islam,”Middle East
Policy, Vol. VIII, NO. 4, (December 2001),75-97.
18
7
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Di Indonesia, hal yang sama terhadap kecenderungan
menggunakan penjelasan ideologi dalam memahami
terorisme berbasis Islam juga sangat mendominasi. Penjelasan ideologi ini dapat dipahami dalam dua kerangka
yaitu aspek geneologi pemikiran dan penafsiran agama.
Namun demikian, kedua kerangka tersebut memiliki
titik temu sama-sama menekankan aspek ideologi sebagai pusat analisis.
Penjelasan ideologi dengan penekanan pada aspek
geneologi pemikiran dapat dilihat dalam pemikiran
Azyumardi Azra. Azyumardi Azra mengkaitkan aksi
radikalisme dan terorisme berbasis Islam di Indonesia
bertalian erat dengan beberapa ideologi politik Timur
Tengah. Azra memakai istilah radikal-salafi untuk menyebut mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan
terorisme berdasarkan konsep atau ideologi. Fenomena
kekerasan berbasis agama yang dilakukan kelompok organisasi Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra
terpengaruh oleh gerakan salafi di Timur Tengah seperti
Wahabi.21
Argumen Azyumardi Azra tersebut juga diungkapkan oleh van Bruinesen. Menurutnya, Islam radikal
di Indonesia secara geneologi dapat dilacak melalui
keberadaan gerakan Darul Islam dan Partai Politik
Majlis Syuro Indonesia (Masyumi) yang memiliki aliansi
jaringan dengan kelompok gerakan di Timur Tengah
seperti Wahabi (Arab Saudi), Ikhwanul Muslimin
(Mesir), dan Hizbut Tahrir (Yordania-Palestina).22 Dua
organisasi tersebut yakni Darul Islam dan Masyumi
Azyumardi Azra, “Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di
Indonesia,”Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2 (2012), 233-244.
22
Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in postSuharto Indonesia,”,South East Asia Research, Vol. 10, No. 2 (2002),
117-154.
21
8
Pendahuluan
menjadi agensi pemikiran Islam garis keras di Indonesia
yang melahirkan generasi baru dalam kancah gerakan
Islam di Indonesia pasca Suharto.
Adapun penjelasan ideologi dengan penekanan pada
aspek penafsiran salah satunya dapat dilihat dalam
pemikiran Muhammad Hanif Hassan. Hassan menguraikan ambigu penafsiran agama yang dilakukan para
pelaku teror bom Bali seperti Imam Samudra. Dari perspekif ini, meskipun mengakui adanya pandangan sempit dalam penafsiran sumber doktrinal Islam oleh para
pelaku teror, tetapi tetap saja menempatkan ideologi
pada pusat analisis dalam memahami persoalan terorisme berbasis Islam.23
Pendekatan kedua yang sangat mendominasi dalam
memahami persoalan terorisme berbasis Islam adalah model penjelasan psikologis. Perspektif psikologis
menekankan aspek pada latar belakang individu yang
terlibat dalam gerakan terorisme sebagai pusat analisis.
Perspektif psikologis mencoba memahami latar belakang demografis yang membentuk pikiran radikal individu sehingga mampu melakukan tindakan ekstrim
dan sadis. Meskipun menekankan pada upaya memahami latar belakang demografis individu-individu teroris, tetapi analisis seperti ini tidak bisa dilepaskan pada
aspek keagamaan di balik pikiran radikal para teroris.
Penjelasan psikologis ini salah satunya dikemukakan
oleh Sarlito Wirawan Sarwono dalam Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi. Penelitian ini mencoba
menguraikan psikologi para teroris; pandangan ideologi, politik, karakter, kehidupan sehari-hari serta motivasi melakukan tindakan kekerasan. Lewat wawancara
Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2007).
23
9
Men-Teroris-Kan Tuhan!
dengan para tersangka teroris, Sarlito menarik kesimpulan ada pemahaman fundamental keagamaan yang
didukung oleh goncangan psikologis sehingga melahirkan pikiran radikal melakukan aksi-aksi kekerasan.24
Penjelasan psikologis sangat sedikit untuk bisa memahami kompleksitas persoalan aksi terorisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Mohammad M. Hafez dan
Quintan Wiktorowicz. Menurut mereka, ada beberapa
hal yang menunjukkan kelemahan penjelasan psikologis
dengan memahami akar-akar demografis para teroris.25
Pertama, kelompok Islam radikal dan moderat memiliki
banyak kesamaan dalam hal karakter, termasuk dalam
pendidikan. Karena itu, mengapa mereka menggunakan cara kekerasan sementara sebagian menggunakan
cara-cara damai.
Kedua, karakteristik demografis tidak mampu menjelaskan variansi kekerasan dalam waktu tertentu. Kelompok Islam radikal dalam beberapa kasus tidak menegaskan sejak awal pilihan untuk melakukan kekerasan.
Pilihan kekerasan digunakan sehubungan dengan
kondisi batas toleransi politik pada saat-saat tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang demografis
para teroris tidak mampu menjelaskan pilihan waktu di
mana mereka menggunakan cara-cara kekerasan.
Di luar perdebatan tersebut, salah satu perdebatan
yang turut mewarnai diskursus tentang fenomena
terorisme berbasis Islam adalah persoalan Islam dan
demokrasi. Perdebatan seperti ini sangat mendominasi
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan
Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 29-30.
25
Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as
Contention in the Egyptian Islamic Movement” dalam Quintan
Wiktorowicz ,ed. Islamic Activism : A Social Movement Theory
Approach, (Bloomington : Indiana University Press, 2004), 65.
24
10
Pendahuluan
dalam beberapa literatur dalam merespon fenomena kebangkitan Islam politik. Misalnya, Robert W. Hefner,
Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia,
2000; Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya
Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia, 2007; dan
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model
Negara Demokrasi di Indonesia, 2011.
Perdebatan-perdebatan semacam itu hanya akan bermuara pada satu titik temu mengenai anakronisme sejarah yakni menilai masa lampau dengan standar norma
dan nilai-nilai masa kini, atau sebaliknya menilai masa
kini dengan standar dan nilai masa lalu. Karena itu, ia
tidak lebih dari sekedar perdebatan dalam tataran wacana daripada memberikan langkah kongkrit untuk
memberikan solusi terhadap persoalan terorisme berbasis Islam.
Dalam hal ini, Asef Bayat memberikan kritik tajam
terhadap pendekatan-pendekatan kultural ideasional
dalam memahami gejala terorisme atau radikalisme
berbasis Islam. Menurutnya, terorisme sebagai gerakan Islam jika cenderung dipahami dengan pendekatan
ideasional sama halnya memperlakukan gerakan Islam
sebagai sesuatu yang statis dan membeku dalam wacana,
bukan sebagai sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu,
Bayat mengusulkan untuk memahami dimensi-dimensi
luar gerakan Islam guna mengungkap agenda tersembunyi di balik simbol-simbol Islam yang melekat sebagai kekuatan inti gerakan Islam politik.26
Berdasarkan perdebatan tersebut, buku ini mencoba
memahami dimensi luar yakni dialektik antara gagasan
dan kondisi sosial dalam memberikan insentif bagi kemunculan politik kekerasan dengan mengambil studi
Asef Bayat, “Islamisme and Social Movement Theory,”Third World
Quarterly, 26,6 (2005), 891-908.
26
11
Men-Teroris-Kan Tuhan!
kasus gerakan terorisme. Gerakan terorisme sebagai gejala sosial memiliki kompleksitas persoalan. Terorisme
tidak lahir dalam ruang hampa, banyak faktor yang
mempengaruhinya dan bukan hanya faktor tunggal saja
tetapi beberapa faktor saling mempengaruhi satu sama
lain, baik konteks lokal nasional atau global.
Penekanan pada dimensi luar dalam menjelaskan
fenomena terorisme berbasis Islam tidak bermaksud
menganggap pendekatan ideologi dan psikologi tidak
relevan tetapi variabel strategis dalam memahami gejala
terorisme berbasis Islam adalah dengan memahami dimensi luar berkenaan dengan konteks politik.
Salah satu intelektual yang mencoba memahami
dimensi luar dalam menjelaskan kekerasan berbasis
Islam adalah Vedi R. Hadiz dalam “Toward a Sociological
Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia”.27
Hadiz berpendapat bahwa terorisme dan kekerasan
berbasis Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan
warisan sejarah panjang sosial politik Indonesia yang
menyangkut antara lain; Pertama, adanya warisan sejarah ketegangan politik antara Negara dan Islam politik di
awal kemerdekaan dan mencapai puncaknya pada masa
Orde Baru. Kedua, peran yang dimainkan oleh kelompok
Islam dalam memunculkan isu-isu ketidakadilan sosial
sehubungan dengan kontradiksi pembangunan kapitalis.
Ketiga, peran yang dimainkan oleh Islam politik dalam
menempuh arah dan tujuan di masa Perang Dingin.
Namun demikian, menurut hemat penulis Hadiz gagal
menjelaskan bagaimana pilihan waktu digunakan dalam
melakukan aksi-aksi kekerasan dalam bentuk terorisme
atau kekerasan berbasis Islam.
Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic
Radicalism in Indonesia,” Journal of Contemporary Asia, Volume 38,
Issue 4, (November 2008), 638-647.
27
12
Pendahuluan
Dalam konteks global, pandangan tersebut sejalan
dengan Robert A. Pape yang menekankan pengaruh
kebijakan luar negeri Amerika terhadap negara-negara
Islam memicu kemunculan aksi terorisme. Pape kemudian menarik kesimpulan bahwa faktor di balik aksi-aksi
kekerasan dalam bentuk terorisme bom bunuh diri bukanlah didorong oleh semata-mata faktor fundamentalisme agama, sebaliknya justru lebih didorong oleh motif
sekuler yaitu nasionalisme dalam bentuk politik penentangan mengusir pendudukan Amerika di negara-negara Islam.28 Tesis Pape ini menjadi penting untuk menjelaskan apakah terorisme bertalian erat dengan idelogi
agama, namun jawabannya adalah tidak. Gerakan terorisme pada umumnya adalah gerakan politik penentangan terhadap ketidakadilan sosial politik dibawah
kendali negara Amerika.
Paralel dengan apa yang diungkapkan Robert A.
Pape, Faisal Devji dalam The Terorist in Search of Humanity
: Militant Islam and Global Politics mencoba mendiskusikan dan mempertanyakan representasi Islam sebagai
motif dari aksi terorisme. Terorisme menurut Devji bukan bersumber dari faktor keagamaan tetapi lebih dari
suatu bentuk protes terhadap tatanan dunia global yang
tidak adil di bawah kendali negara Amerika.29
Sebagaimana diungkapkan Noorhaidi Hasan bahwa
penelitian Devji tentang al-Qaeda tidak bermaksud
ingin menjustifikasi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok terorisme, tetapi berusaha menunjukkan betapa paradoks dunia yang semakin mengglobal.30
Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism
(New York : Random House, 2005), 4.
29
Faisal Devji, The Terorist in Search of Humanity: Militant Islam and
Global Politics (New York: Columbia University Press, 2008)
30
Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
28
13
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Paradoks-paradoks tersebut dengan sendirinya memunculkan kelompok terorisme yang lebih identik sebagai
gerakan moral dalam upaya mewujudkan perubahan.
Al-Qaeda bagi Devji sebagaimana diungkapkan oleh
Stephan Clauss adalah gerakan protes terhadap kebijakan politik Amerika Serikat yang paradoks terhadap
negara-negara Arab. Devji menganggap al-Qaeda adalah
gerakan moral menentang “arogansi” Amerika daripada
sekedar gerakan politik.31 Bagi Devji, apa yang dilakukan
Amerika dengan mengklaim telah berhasil membunuh
Osama bin Laden tidak lebih dari sebuah pemenuhan
strategi pendahulunya untuk menegaskan posisi
Amerika dalam pemegang politik global pasca perang
dingin serta bagian dari strategi untuk meningkatkan
dukungan politik nasional terhadap Obama.32
Namun demikian, upaya yang dilakukan oleh Pape,
Hadiz dan Devji tidak menyinggung bagaimana sebuah
gerakan diorganisasikan, bagaimana proses mobilisasi
massa dan bagaimana mereka memilih waktu untuk
melakukan aksi-aksi kekerasan serta hubungan antara
perilaku gerakan perlawanan dengan rezim pemerintahan yang sah. Hal-hal ini sedikit sekali mendapatkan
perhatian dalam memahami fenomena gerakan terorisme atau kekerasan berbasis Islam.
Genealogi dan Teori (Yogjakarta : SUKA-Press, 2012), 29.
Stephan Clauss, “Faisal Devji, Landscapes of the Jihad, Militancy,
Morality, Modernity,”Archives de sciences sociales des religions, 136
(octobre - décembre 2006) http://assr.revues.org/3913?lang=en
(diakses 28 April 2013)
32
Faisal Devji, “Politics After Al-Qaeda,” Policy Paper Conflicts
31
Forum, (July 2011)http://conflictsforum.org/briefings/
DrFaisalDevji-PolicyPaper-July2011.pdf (diakses 28 April
2013).
14
Pendahuluan
Oleh karena itu, secara teoritis ada dua perdebatan
mengenai korelasi watak sistem pemerintahan dengan
perilaku gerakan. Pertama, beberapa ahli menyatakan
bahwa sistem pemerintahan yang lebih ekslusif dan
represif akan menghambat kemunculan dan keberhasilan aksi-aksi penentangan. Paradigma seperti ini
nampak dalam pemikiran David Snyder dan Charles
Tilly dalam “Hardship and collective Violence in France
1830 to 1960”.33 Dukungan terhadap paradigma tersebut
juga dapat dilihat melalui pemikiran Douglas A. Hibbs,
JR dalam Mass Political Violence: A Cross-National Causal
Analysis.34
Kedua, paradigma pemikiran yang menyatakan bahwa
watak sistem pemerintahan yang represif, diktator atau
otoriter akan memberikan insentif bagi keberlangsungan
gerakan politik penentangan dengan cara kekerasan.
Paradigma seperti ini nampak dalam beberapa pemikiran
seperti, Robert W. White dalam “From Peaceful Protest
to Guerrilla War: Micromobilization of the Provisional
Irish Republican Army”.35 Demikian pula yang ditunjukkan oleh William A. Gamson, Bruce Fireman dan Steven
Rytina dalam “Encounters with Unjust Authority”.
Mereka menjelaskan korelasi hubungan negara yang
David Snyder and Charles Tilly, “Hardship And Collective
Violence In France 1830 to 1960,” American Sociological Review,
37, 5 (Oktober), 520-532. deepblue.lib.umich.edu/...42/.../72.pdf
(diakses 16 Maret 2014)
34
Douglas A. Hibbs, JR, Mass Political Violence: A Cross-National Causal
Analysis (York: wiley-interscience publication, 1973)
35
Robert W. White dalam “From Peaceful Protest to Guerrilla
War: Micromobilization of the Provisional Irish Republican
Army,”American Journal of Sociology, Vol. 94, No. 6 (May, 1989),
1277-1302. www.offiziere.ch/wp-content/uploads/1989-2780960.
pdf‎ (diakses 16 Maret 2014)
33
15
Men-Teroris-Kan Tuhan!
cenderung otoriter akan memberikan insentif bagi upaya
perlawanan dengan cara-cara kekerasan.36
Buku ini dengan menggunakan studi kasus terorisme
berbasis Islam di Indonesia dimaksudkan tidak untuk
mendukung kedua argumen tersebut. Sebaliknya, buku
ini merumuskan sebuah paradigma bahwa aksi-aksi
politik kekerasan yakni terorisme muncul tidak mengenal watak sistem pemerintahan. Dengan kata lain, baik
model pemerintahan yang otoriter, represif atau demokratis sama-sama mencetuskan gelombang gerakan terorisme. Oleh karena itu, watak rezim pemerintahan tidak
menjadi satu determinan utama dalam memberikan
insentif bagi kemunculan dan keberhasilan gerakan
terorisme.
Paradigma tersebut di atas, nampak dalam pemikiran
Mohammed M. Hafez dan Quintan Wiktorowicz ketika
menjelaskan politik kekerasan di Mesir pada dekade
1990-an dalam “Violence as Contention in the Egyptian
Islamic Movement”. Politik kekerasan di Mesir dalam
dekade tersebut menunjukkan bahwa iklim politik yang
otoriter atau demokrasi sama-sama memberikan insentif
bagi kemunculan aksi-aksi politik penentangan dengan
cara-cara kekerasan.37
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Marwan Khawaja
dalam “Repression and Popular Collective Action:
Evidence From the West Bank”. Penelitian Khawaja
menunjukkan bahwa dalam kondisi sistem rezim yang
William A. Gamson, Bruce Fireman and Steven Rytina, “Encounters
with Unjust Authority,”Social Forces, Vol. 63, No. 1 (Sep 1984), 288290. http://www.jstor.org/stable/2578884 (diakses 16 Maret 2014)
37
Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as
Contention in the Egyptian Islamic Movement” dalam Quintan
Wiktorowicz, ed. Islamic Activism : A Social Movement Theory
Approach (Bloomington: Indiana University Press, 2004), 61-88.
36
16
Pendahuluan
kondusif terbukti tidak bisa menekan atau menghambat
kemunculan gerakan kolektif penentangan dengan cara
kekerasan, demikian juga dengan rezim yang represif.38
Karena itu, aksi-aksi politik penentangan dengan cara
kekerasan tidak menyangkut ideologi dan watak rezim
pemerintahan, tetapi lebih menyangkut tentang kemampuan mengukur batas toleransi politik.
Batas toleransi politik memberikan makna dimensi struktur kesempatan politik yang oleh Hafez dan
Wiktorowicz dicirikan oleh dua fitur yang melekat di
dalamnya yaitu; aksesibilitas sistem politik dan tingkat represi negara.39 Sistem politik dikatakan aksesibel
jika sistem tersebut terbuka bagi sebuah gerakan untuk
menyampaikan aspirasi melalui saluran formal atau
informal dan jika sistem politik cenderung eklusif bagi
upaya memberikan pengaruh kebijakan negara maka ia
tidak bisa dikatakan aksesibel.
Aksesibilitas sistem politik menjadi suatu variabel
untuk memahami batas toleransi politik bagi sebuah
gerakan untuk melakukan perlawanan. Namun demikian, dalam beberapa kasus sistem politik yang terbuka tidak menjadi satu determinan utama untuk menjelaskan kemunculan aksi kekerasan. Karena itu, para
teoretikus dengan tidak mengesampingkan peranan
aksesibilitas sistem politik mencoba memahami tingkat
represi negara. Tingkat represi negara dianggap bisa
memahami kemunculan politik kekerasan secara mas-
Marwan Khawaja, “Repression and Popular Collective Action:
Evidence From the West Bank,” Sociological Forum, Vol. 8, No. 1
(1993), 47-71.
39
Mohammed M. Hafez and Quintan Wiktorowicz, “Violence as
Contention in the Egyptian Islamic Movement”.66-67.
38
17
Men-Teroris-Kan Tuhan!
sif dan menjelaskan bagaimana sebuah gerakan mampu
bertahan lama.40
Karena itu, politik kekerasan yang melekat dalam
aksi terorisme tidak harus dibaca dalam konteks watak
rezim pemerintahan, apalagi kultural ideologis. Aksi
kekerasan dalam bentuk terorisme bisa dipahami dalam
konteks sejauh mana sebuah gerakan mampu mengukur
tingkat toleransi sistem politik. Batas toleransi inilah
yang menentukan sebuah gerakan perlu tidaknya
mengambil jalan kekerasan sebagai saluran penentangan dan mampu bertahan.
Berdasarkan perdebatan akademik tentang apa yang
melandasi gerakan terorisme di Indonesia khususnya dan pada umunya di dunia. Buku ini ditulis untuk
mengungkap apakah sistem pemerintahan otoriter atau
demokratis yang cenderung memberi peluang bagi
kemunculan dan keberhasilan aksi-aksi terorisme di
Indonesia serta apakah gerakan terorisme berbasis Islam
dilandaskan oleh faktor agama semata atau menyangkut persoalan sosial politik. Buku ini berasumsi bahwa
sistem pemerintahan otoriter atau demokratis secara
empiris di Indonesia sama-sama memberikan insentif
bagi keberlangsungan aksi-aksi perlawanan dengan jalan kekerasan atau terorisme dan aksi terorisme berbasis
agama tidak semata-mata dilandaskan oleh faktor agama tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya baik
sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Berdasarkan hal tersebut, buku ini ditulis untuk mendukung pendapat Mohammed M. Hafez dan Quintan
Wiktorowicz, demikian pula dengan pendapat Marwan
Khawaja. Studi mereka menunjukkan bahwa orientasi
Edward N. Muller, “Income Inequality, Regime Repressiveness,
and Political Violence,”American Sociological Review, Vol. 50, No. 1
(Feb., 1985), 47-61.
40
18
Pendahuluan
ideologis dan latar belakang demografis tidak dengan
sendirinya memicu kekerasan. Politik kekerasan seperti
halnya aksi-aksi terorisme menunjukkan konteks yang
lebih luas dari peluang dan hambatan yang membuat
sebuah gerakan melakukan mobilisasi perlawanan.
Peluang dan hambatan merupakan dimensi politik
yang turut memberikan insentif bagi sebuah gerakan.
Dimensi politik tersebut dapat dijadikan ukuran
untuk mengambil manfaat dan pembenaran aksi-aksi
kekerasan dalam bentuk terorisme sebagai pilihan rasional. Akhirnya, dengan menganggap kekerasan sebagai pilihan rasional diharapkan dapat menghindari
kekaburan terhadap pemahaman terorisme sebagai gejala sosial politik.
Oleh karena itu, penelitian tentang terorisme berbasis Islam dalam buku ini mengambil pendekatan yang
berbeda. Penelitian dalam buku ini dibangun dengan
menggunakan pendekatan integratif teori gerakan sosial. Pendekatan integratif teori gerakan sosial dipilih
karena dianggap tepat untuk membaca kasus terorisme
berbasis Islam tidak hanya dari sudut pandang ideologi
dan demografis, tetapi juga aspek ekonomi-politik, sosiologis dan aktivisme Islam sehingga tidak mereduksi
kompleksitas persoalan terorisme.
Lebih dari itu, sebagaimana dikatakan oleh Donatella
della Porta bahwa gerakan terorisme memiliki hubungan
erat dengan organisasi gerakan sosial karena pada
umumnya gerakan terorisme yang bersifat klandestin
merupakan produk sampingan dari organisasi gerakan
sosial dan sebagian besar militan dari organisasi teroris
memiliki pengalaman sebelumnya dalam organisasi
gerakan sosial.41
Donatella della Porta, “Some Reflection on the Relationship
between Terrorism and Social Movement?,” mobilizingideas (16
41
19
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Di atas semua itu, sekali lagi argumentasi yang ingin
dikembangkan dalam buku ini adalah bahwa sistem
kekuasaan otoriter atau demokratis sama-sama meredakan dan memicu kemunculan gerakan terorisme sebagai politik penentangan.
B.Tinjauan Pustaka
Terorisme di dunia bukan merupakan hal baru,
namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 2001. Oleh karena itu,
banyak tulisan yang terkait dengan isu ini, meskipun
demikian, sebagian tulisan dan pemikiran telah disebut
pada latar belakang.
Diketahui bahwa awal kontroversi yang kemudian
melahirkan perdebatan yang hingga kini belum usai
adalah tulisan Samuel P.Huntington dalam “The Clash
of Civilizations”, Foreign Affairs. Volume 72, No.3, 1993.42
Tulisan tersebut dianggap kontroversial terhadap sensitivitas persoalan agama, sosial, budaya dan politik
pasca-perang dingin. Menurut Huntington, ketegangan
politik pasca-perang dingin adalah benturan peradaban
antara Barat dan Non-Barat.
Adalah Islam dalam pandangan Huntington dianggap sebagai ancaman terhadap Barat (Amerika) karena
peradaban Islam secara kultural, sosial dan ideologi meApril 2012).
Tulisan tersebut kemudian disempurnakan dalam bentuk buku
untuk menjelaskan secara terperinci terhadap persoalan-persoalan
didalamnya dengan maksud menjawab kritikan karena dianggap
“provokatif” yang kemudian ditulis dalam buku , Samuel
Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order (London: Touchstone Book,1998)
42
20
Pendahuluan
miliki perbedaan mendasar dengan Barat. Karena itu,
Islam akan bangkit untuk menantang kekuatan, nilainilai dan kepentingan Barat. Tesis Huntington tersebut
semakin hangat dibicarakan karena menemukan kebenaran atau relevansinya sejak peristiwa 11 September
2001 di Amerika Serikat. Teror 11 September seturut
logika Huntington, beberapa pakar menjelaskan peristiwa tersebut secara ideologi dan Islam menjadi tertuduh
sebagai agama teroris.
Berbeda dengan Huntington, Fawaz A. Gergez dalam
America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash
of Interrest? menemukan temuan yang berbeda dengan
Huntington. Buku tersebut menyinggung debat tentang
benturan peradaban Huntington. Menurutnya, pergolakan dewasa ini bukanlah sesuatu yang berada pada bingkai peradaban tetapi lebih pada benturan kepentingan
politik Amerika di negara-negara Arab. Pemerintahan
Bush (senior) dan Clinton misalnya, menurut Gergez
sangat memuji agama Islam dan budayanya.43
Dalam konteks terorisme di Indonesia, Greag Fealy
dalam “Local Jihad: Radical Islam and terrorism in
Indonesia” mengatakan bahwa fenomena terorisme di
Indonesia bukanlah hal baru. Menurutnya, Islam radikal di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1780an oleh sekelompok yang disebut dengan kaum Padri
di Sumatera Barat yang menerapkan hukum Islam secara ketat sehingga memicu kekerasan berbasis Islam.
Demikian pula “kekerasan” berbasis Islam dapat dilihat
dalam sejarah Perang Jawa (1825-1830) di mana adanya
penggunaan simbol-simbol Islam seperti, jihad sebaFawaz A. Gergez, America and Political Islam: Clash of Civilization or
Clash of Interrest? (New York : Cambridge University Press, 1999)119
43
21
Men-Teroris-Kan Tuhan!
gai pembingkaian dalam rangka perlawanan terhadap
penjajah.44
Geneologi sejarah Islam radikal dan terorisme berbasis Islam di Indonesia juga dapat dilihat melalui penelitian Martin van Bruinessen dalam “Geneologies
of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”.
Menurutnya, secara geneologis kemunculan gerakan
Islam radikal di era pasca Suharto Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari faktor gerakan Darul Islam di awal
kemerdekaan Indonesia dan peran Masyumi melalui
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang menjalin
hubungan dengan kelompok-kelompok Islam radikal
Timur Tengah.45
Gerakan Islam radikal Timur Tengah sebagaimana diungkapkan Quintan Wiktorowicz dalam “ A Genealogy
of Radical Islam” menemukan relevansinya dalam pemikiran beberapa Ulama seperti, Mawlana Abul A’la
Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayid Qutb, Muhammad bin
‘Abdal Wahab dan Ibn Taimia. Pandangan keagamaan
yang dirumuskan oleh beberapa Ulama tersebut menjadi
landasan pembenaran terhadap kelompok teroris berbasis Islam di dunia.46
Pandangan seperti itu semakin menemukan relevansinya dalam beberapa laporan yang ditulis oleh
Sidney Jones melalui organisasi International Crisis Group
(ICG). ICG secara berkala memberikan analisis-analisis
Greag Fealy and Aldo Borgu, “Local Jihad: Radical Islam and
terrorism in Indonesia,”ASPI: Australian Strategic Policy Institute
(September
2005),16-18.
www.humansecuritygateway.com
(diakses 10 Mei 2013).
45
Martin van Bruinessen, “Geneologies of Islamic Radicalism in PostSuharto Indonesia,”South East Asia Research, Vol. 10, No.2 (2002),
117-154.
46
Quintan Wiktorowicz, “A Genealogy of Radical Islam,”Middle East
Policy, Vol. VIII, NO. 4, (December 2001),75-97.
44
22
Pendahuluan
atau laporan berkenaan dengan fenomena kekerasan
dan aksi terorisme di Indonesia. Misalnya dalam laporan
“Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of The “Ngruki
Network” in Indonesia” yang menegaskan keterlibatan
JI dan Abu Bakar Baa’syir dengan organisasi al-Qaeda.47
Analisis Sidney Jones semakin terbukti ketika terjadi
teror bom Bali pada 12 Oktober 2002. Peristiwa tersebut
disikapi ICG dan Sidney Jones dalam “Impact of the Bali
Bombings”. Menurutnya, bom Bali merupakan bukti
Indonesia berada pada ancaman terorisme dan Sidney
menganjurkan untuk waspada terhadap organisasi radikal Islam seperti Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah (JI)
yang diyakini memiliki hubungan dengan al-Qaeda.48
Laporan-laporan ICG selanjutnya berhasil menjadi
arus utama dalam membumikan wacana terorisme di
Indonesia dan juga menjadi arus utama sebagai referensi dalam memahami fenomena terorisme oleh beberapa
peneliti.
Salah satu perdebatan akademik menyangkut
fenomena terorisme berbasis Islam adalah hubungan
antara Islam dan demokrasi. perdebatan ini muncul
seiring dengan wacana kebangkitan gerakan Islam
politik yang menawarkan sebuah gagasan Islam sebagai
ideologi negara dalam memberi solusi atas kegagalan
demokrasi sebagai ideologi sistem pemerintahan. Paradigma ini sangat umum dalam gerakan Islam di dunia,
tidak terkecuali di Indonesia.
Sidney Jones, “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of The
“Ngruki Network” in Indonesia,” ICG Indonesia Briefing Paper, (8
Agustus 2002) 1-23. www.crisisgroup.org › ... › Asia › South East
Asia › Indonesia (diakses 10 Mei 213)
48
Sidney Jones, “Impact of the Bali Bombings,”ICG Indonesia Briefing
Paper, (24 Oktober 2002) www.crisisgroup.org › ... › Asia › South
East Asia › Indonesia (diakses 10 Mei 2013)
47
23
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Salah satu penelitian menyangkut hubungan antara
Islam dan demokrasi adalah penelitian yang dilakukan
oleh Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat: Islam, Budaya
Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde
Baru. Penelitian tersebut berusaha membantah pandangan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi
sebagaimana diungkapkan oleh Bernard Lewis, Ernes
Gellner, Elie Kedourie, dan Samuel Huntington. Kesimpulan Mujani dimulai dengan upaya membedakan atau
redefinisi secara ketat terhadap konsep Islam, keislaman,
Islamisme dan budaya demokrasi.49
Perdebatan Islam dan Demokrasi juga nampak
dalam beberapa buku seperti, Robert W. Hefner, Civil
Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; dan
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model
Negara Demokrasi di Indonesia, 2011; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam Di Indonesia, 1998. Meskipun perdebatan tersebut
ditulis dengan karakter, studi kasus dan sudut pandang
yang berbeda-beda dari tiap penulis tetapi memiliki titik
temu mengenai hubungan Islam dan Demokrasi.
Burhanuddin Muhtadi mungkin dapat dikatakan
di antara sedikit peneliti yang membahas hubungan
antara Islam dan Demokrasi dalam sudut pandang
gerakan sosial. Pandangan Muhtadi dituliskan dalam
buku Dilema PKS: Suara dan Syariah. Dengan menggunakan teori gerakan sosial, ia membedah Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) untuk melihat dialektik interaksi gagasan PKS dan kondisi demokratisasi politik di
Indonesia. Buku tersebut menunjukkan perjuangan
PKS kerapkali mengalami dilema dalam merespon
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2007)
49
24
Pendahuluan
perubahan perpolitikan di Indonesia sehingga harus
memenuhi tuntutan pasar politik daripada tetap kukuh
pada pendirian ideologi Islamisme.
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam buku yang
ditulis Noorhaidi Hasan. Hasan dalam Laskar Jihad:
Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca
Orde Baru menemukan temuan tentang bagaimana mobilisasi dengan menggunakan simbol-simbol agama
digunakan organisasi Islam radikal seperti organisasi
Forum Komunikasi Ahlusunnah Wajama’ah (FKAWJ)
dan organisasi Laskar Jihad (LJ) untuk memobilisasi
relawan dalam aksi jihad di Maluku.50
Dalam konteks perdebatan mengenai paradoks antara sistem pemerintahan otoriter atau demokratis dalam
meredakkan dan memicu aksi politik kekerasan atau
terorisme, dapat dilihat dalam beberapa penelitian yang
telah disebutkan sebelumnya dalam latar belakang. Di
samping itu, juga nampak dalam beberapa karya seperti, Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, 1970; Mark Lichbach
and Ted R. Gurr, The Conflict Process: A Formal Model,
1981;Edward N. Muller, “Income Inequality, Regime
Repressiveness and Political Violence” (1985). Penelitianpenelitian tersebut memfokuskan pada upaya melihat
tingkatan represif—terlalu besar atau terlalu kecil—bagi
keberlangsungan aksi-aksi kekerasan atau terorisme.
Sementara itu, sebagian peneliti gerakan sosial atau
politik kekerasan lebih menekankan pada upaya melihat pilihan waktu kekerasan dilakukan; David Snyder
dalam “Theoretical and Methodological Problems in the
Analysis of Govermental Coercion and Collecvtive Violence.” (1976), konteks kelembagaan; Gupta, Singh dan
Sprague dalam “Government Coercion of Dissidents:
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian
Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta:LP3ES, 2008)
50
25
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Deterrence or Provocation?” (1993), atau kombinasi di
antara kedua variabel tersebut; Donatella Della Porta,
Social Movements, Political Violence and the State:A
Comparative Analysis of Italy and Germany, 1995.
Penelitian yang cukup relevan dalam membedah gerakan terorisme di Indonesia selain disebut di atas adalah
persoalan implikasi kebijakan negara Amerika terhadap
negara-negara Islam. Hal ini nampak dalam beberapa
buku seperti, Suzaina Kadir “Mapping Muslim politics in Southeast Asia after September 11”. Menurutnya,
Islam politik di Asia Tenggara adalah sudah menjadi
persoalan yang kompleks sebelum tragedi 11 September
2001. Namun, tragedi 11 September makin mempersulit persoalan akibat kebijakan koersif Amerika terhadap
Islam politik. Hal tersebut menurut Kadir sangat merusak tujuan meredam terorisme internasional.51
Sedangkan Bellamy dalam “Is the War on Terror
Just?” menganggap cara-cara yang digunakan Presiden
Amerika Bush tidak mencerminkan sebagai negara
demokrasi. Menurutnya, apakah mungkin menegakkan demokrasi dan perdamaian dengan cara yang tidak
demokratis, malah identik dengan kekerasan?. Karena
itu, kebijakan yang diambil Bush tidaklah mencerminkan demokrasi itu sendiri. Dia hanya fokus pada penumpasan terorisme daripada menangkap siapa pelaku
teror.52
Hal yang sama juga disampaikan oleh Gabriel Lele
dalam “Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global,
Suzaina Kadir, “Mapping Muslim politics in Southeast Asia after
September 11,”The Pacific Review, Vol. 17 No. 2 (June 2004), 199–
222.
52
Alex J. Bellamy, “Is the War on Terror Just?,”International Relations,
Vol. 19, No.3 (2005): 275-296. www.sagepub.com/banks/
articles/08/Bellamy_CH08.pdf (diakses 22 Februari 2013)
51
26
Pendahuluan
Solusi Lokal”. Menurutnya, cara-cara yang dilakukan
Amerika dalam menangani fenomena terorisme pasca
11 September tidak mencerminkan prinsip demokrasi.
lebih dari itu, Lele mengkritik Amerika yang katanya
negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi
tetapi menghancurkan demokrasi itu sendiri dengan
melakukan invasi ke negara Islam dengan membunuh
banyak warga sipil.53
Karena itu, secara umum implikasi kebijakan Amerika
terhadap negara-negara Islam semakin memberikan
insentif bagi kemunculan dan keberhasilan gerakan
terorisme. Hal ini nampak dalam pemikiran Robert Pape,
Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism,
2005. Pape menunjukkan bahwa aksi terorisme bunuh
diri merupakan pilihan rasional yang dilakukan dengan
pertimbangan strategis untuk mengusir pendudukan
tentara Amerika dari negara-negara Islam.54
Di atas semua itu, betapapun terorisme itu adalah
ancaman nyata terhadap keamanan dan perdamaian
dunia. Gerakan terorisme tidak lantas disikapi secara berlebihan. Sikap berlebihan hanya akan semakin
menghidupkan semangat aksi kekerasan dalam bentuk
terorisme. Mengapa demikian, dalam kenyataannya
jumlah kelompok Islam garis keras di seluruh dunia
tidaklah banyak dan tidak semua negara yang terdapat
kelompok Islam garis keras rentan akan serangan teroris. Di samping itu, jumlah korban terorisme sangat
kecil dibandingkan korban penyakit HIV, kelaparan,
kemiskinan dan kecelakaan. Paradigma seperti ini
Gabriel Lele, “Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi
Lokal,”Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol. 9, No.1, (Juli 2005), 71-90.
54
Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism
(New York : Random House, 2005)
53
27
Men-Teroris-Kan Tuhan!
nampak dalam pemikiran Charles Kurzman, The Missing
Martyrs: Why There Are So Few Muslim Terrorists, 2011.55
C.Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam bagian ini
adalah upaya dalam rangka mengeksplorasi dan memaparkan teori-teori dari perspektif keilmuan tertentu
yang akan digunakan untuk kajian ini.
Pendekatan utama dalam penelitian ini adalah
pendekatan integratif teori gerakan sosial. Pendekatan
integratif yang diracik Doug McAdam, John D. McCarthy
and Mayer N. Zald digunakan untuk menjelaskan relasi
antara gerakan terorisme dan politik penentangan terhadap golongan elite, penguasa dan kelompok lawan.56
Dalam hal ini, tiga konsep utama dalam pendekatan
teori gerakan sosial menjadi penting yaitu struktur
kesempatan politik (Political opportunity structure), pembingkaian (Framing) dan struktur mobilisasi (Mobilizing
structure). Ketiga hal tersebut diintegratifkan satu sama
lain untuk memahami kerangka gerakan terorisme.
Adalah Wiktorowicz dalam Islamic Activism A Social
Movement Theory Approach sebagai sarjana pertama yang
mengkoordinir upaya-upaya memahami gerakan Islam
politik termasuk terorisme berbasis Islam. Wiktorowicz
memberikan suatu perspektif baru bahwa gerakan terorisme berbasis Islam tidak semata-mata bersumber dari
doktrin agama, tetapi ia lahir dalam konteks dinamika
Charlez Kurzman, The Missing Martyrs: Why There Are So Few
Muslim Terrorists (New York : Oxford University Press, 2011)
56
Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, eds.
Comparative Perspektives on Social Movements: Political Opportunities,
Mobilizing Struktures and Cultural Framings (New York: Cambridge
University Press, 1996).
55
28
Pendahuluan
sosial politik menyangkut batas toleransi politik yang
memungkinkan atau tidak untuk mengambil manfaat
politik penentangan dengan jalan kekerasan. Karena
itu, politik penentangan dalam hal ini dimaknai sebagai
aktivisme keislaman (Islamic activism) yakni mobilisasi
perseturuan untuk mendukung kepentingan dan tujuan
Islam.57
Kelebihan dari teori gerakan sosial adalah anggapan
bahwa kekerasan dalam sebuah gerakan merupakan
pilihan rasional dengan pertimbangan strategis untuk
meraih tujuan. Di samping itu, mekanisme kerja analisis integratif teori gerakan sosial dilakukan tidak secara
sempit yang berfokus pada satu disiplin keilmuan yang
terpisah-pisah (politik, sosio-ekonomi dan budaya)
tetapi menggabungkan faktor-faktor tersebut dalam
kerangka satu kesatuan yang tidak terpisah sehingga
membuat mobilisasi tidak terelakkan.
Karena itu, Asef Bayat dalam “Islamism and Social
Movement Theory” menjelaskan bagaimana emosi,
gagasan, visi dan aktivitas bisa menjadi seragam padahal mereka datang dari lapisan dan latar belakang
berbeda. Dalam konteks ini, Asef Bayat menawarkan
konsep “solidaritas bayangan” (Imagined solidarity)
yang diadopsi dari Ben Anderson tentang “komunitas
bayangan” (Imagined community).58 Solidaritas bayangan
menurut Bayat adalah terbentuknya konsensus bersama
dalam gerakan sosial untuk mewujudkan kepentingan
dan nilai yang dijunjung bersama.
Terorisme berbasis Islam merupakan bagian dari
aktivisme keislaman. Teror merupakan sebuah konsep
Quintan Wiktorowicz, ed. Islamic Activism : A Social Movement
Theory Approach (Bloomington : Indiana University Press, 2004)
58
Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory,” Third World
Quarterly, Vol. 26, No. 6 (2005), 891-908
57
29
Men-Teroris-Kan Tuhan!
aksi politik untuk mencapai tujuan.59 Karena itu, dalam
perspektif gerakan sosial, terorime tidak cukup dijelaskan dengan pendekatan ideasional (ideologi) semata.
Terorisme merupakan konsep politik dan tujuan politik
yang dilakukan sekelompok individu rasional dengan
membentuk identitas kolektif untuk sebuah tujuan.
Dalam perspektif teori gerakan sosial, Framing atau
pembingkaian memiliki ciri khas tersendiri dalam memahami terorisme berbasis Islam. Pembingkaian mampu membuka dan menguji apakah simbol-simbol Islam
yang melekat dalam terorisme berbasis Islam murni
sebagai implementasi ajaran agama atau merupakan
strategi perjuangan guna mendapatkan dukungan publik masyarakat Islam. Mengapa demikian, karena pada
kenyataannya framing adalah sesuatu yang lebih penting
dari pada ideologi itu sendiri dalam aktivisme keislaman. Framing memiliki peran sentral dalam aksi-aksi radikalisme berbasis Islam sehingga publik kerap disuguhi
tontonan kekerasan bernuansa agama, sehingga muatan
politis dalam gerakan terkesan kabur karena dibingkai
dengan simbol-simbol agama.
Oleh karena itu, dalam konteks gerakan sosial,
framing dalam aktivisme keislaman digunakan untuk
memproduksi wacana membentuk binkai-ketidakadilan
sehubungan dengan berbagai penyakit sosial, peningkatan pengangguran dan ketidakadilan dunia. Argumennya adalah bahwa solusi untuk persoalan-persoalan
tersebut adalah negara Islam yang dilandaskan pada
ideologi syari’ah. Karena itu, radikalisme Islam atau
terorisme berbasis Islam kerap muncul sebagai bagian
dari strategi wacana dan bersifat penentangan sebagai
Charles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists,” Sociological Theory,
Vol.22, No. 1 (Maret 2004), 5-13.
59
30
Pendahuluan
simpul perlawanan terhadap paradoks-paradoks nilai
kehidupan politik nasional atau politik dunia.
D.Metodologi Penulisan
Metodologi yang digunakan dalam penulisan buku
ini adalah kualitatif dengan model analisis deskriptif.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan integratif teori gerakan sosial untuk menjelaskan relasi antara gerakan terorisme dan politik penentangan serta digunakan untuk menjelaskan interaksi
dialektik gerakan terorisme dengan kondisi sosial yang
bisa memungkinkan untuk melakukan aksi kekerasan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memberikan perspektif gerakan sosial dalam
memahami aksi-aksi gerakan terorisme berbasis Islam.
Sumber data dalam penulisan buku ini adalah
pustaka dan lapangan. Penelitian pustaka dilakukan
dengan meneliti sejumlah buku, laporan penelitian,
jurnal, artikel, dan semacamnya. Di samping itu, penelitian pustaka juga dilakukan dengan eksplorasi elektronik atau internet dan majalah atau surat kabar yang
berhubungan dengan subyek studi ini.
Sumber data selain disebut di atas adalah informasi utama dari para aktor atau partisipan yang terlibat dalam aksi gerakan terorisme seperti, wawancara,
laporan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa
teroris, dokumen atau buku yang ditulis langsung oleh
para pelaku aksi terorisme serta ucapan-ucapan atau
statemen langsung para pelaku terorisme yang tersebar
di beberapa majalah, koran, buku dan juga video.
31
Men-Teroris-Kan Tuhan!
E.Sistematika Penulisan
Bab I membahas lanskap masalah dan latar belakang
serta analisis teori yang digunakan dalam memahami
gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia sebagai
studi kasus. Bab tersebut merupakan pendahuluan yang
memuat rumusan masalah kajian teoritis serta pendekatan yang digunakan dalam membahas persoalan
fenomena terorisme berbasis Islam di Indonesia.
Adapun bab dua adalah terorisme dan gerakan
Sosial:tinjauan teoretis. Bab ini terdiri dari tiga bab yaitu:
teori gerakan sosial, definisi dan karakteristik terorisme
dan terorisme sebagai gerakan sosial. Bab ini ditulis dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang
konsep dan definisi gerakan sosial dan terorisme serta
keterkaitan di antara keduanya. Lebih dari itu, bab ini
merupakan hipotesis teori terorisme sebagai gerakan
sosial.
Sedangkan bab tiga akan membahas batas toleransi
politik: penjelasan situasi politik atas kekerasan aktivisme Islam. Bab ini akan menjelaskan teori struktur
kesempatan politik sekaligus menjelaskan kaitannya
dengan kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme di Indonesia. Struktur kesempatan politik akan
memberikan pemahaman dinamika lingkungan politik
baik dalam konteks lokal nasional atau global yang turut
serta memicu kemunculan aksi terorisme.
Adapun bab empat adalah Islam adalah solusi: pembingkaian terorisme berbasis Islam di Indonesia. Bab
ini membahas bagaimana para aktor gerakan terorisme
mengkonstruksi persoalan sosial politik dalam bingkai
agama. Lebih dari itu, bab ini akan memberikan pemahaman bahwa pembingkaian lebih penting dari ideologi
32
Pendahuluan
itu sendiri karena proses pembingkaian menjadi satu
kunci utama bagi kemunculan dan keberlangsungan
aksi gerakan terorisme berbasis Islam.
Adapun bab lima adalah mobilisasi sumber daya
gerakan terorisme. Bab ini ditulis dalam rangka memberikan penjelasan mengenai bangunan insfrastruktur
organisasi gerakan terorisme. Dalam rangka itu, analisis
mobilisasi sumber daya gerakan teroris di dalam bab ini
akan menjelaskan dua kategori mobilisasi sumber daya,
yaitu sumber daya material dan immaterial yang meliputi aspek organisasi dan kepemimpinan serta sumber
pendanaan organisasi gerakan.
Adapun bab lima adalah penutup. Bab ini terdiri
dari dua bab yaitu kesimpulan dan rekomendasi. Bab
ini ditulis dimaksudkan untuk memberikan kesimpulan
secara menyeluruh atas penelitian yang dilakukan dan
dimaksudkan untuk menjadi bahan acuan rekomendasi kebijakan dalam penanggulangan terorisme di
Indonesia.[]
33
BAB II
GERAKAN SOSIAL &
TERORISME:
TINJAUAN TEORITIS
Bab ini membahas tentang gerakan sosial dan terorisme secara teoritis. Pembahasan berkutat di seputar
konsep, teori dan geneologi gerakan sosial dan terorisme yang dikemukakan oleh para ahli untuk kemudian
diambil kesimpulan tersendiri. Lebih dari itu, bab ini
merupakan upaya mencari hipotesis bagaimana terorisme bisa dikatakan sebagai gerakan sosial, sebagaimana gerakan sosial pada umumnya. Terorisme sebagai
gerakan politik penentangan merupakan gejala sosial
politik yang melibatkan beberapa individu atau partisipan rasional dengan pertimbangan strategis sehingga
mereka dengan latar belakang berbeda bersedia bergabung dalam lingkaran organisasi terorisme untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Men-Teroris-Kan Tuhan!
A.Teori Gerakan Sosial
Teori gerakan sosial dikonseptualisasikan secara
teoritis dimulai pada tahun 1940-an dan terus mengalami perkembangan yang luar biasa hingga sekarang.
Robert Mirsel sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin
mengungkapkan fase perkembangan gerakan sosial.
Menurutnya, periode pertama dalam studi gerakan
sosial dimulai tahun 1940-an hingga tahun 1960, periode
kedua dimulai tahun 1960-an dan periode ketiga dimulai tahun 1970-an.1
Pada periode pertama studi gerakan sosial lebih menekankan aspek irasional dengan kata lain gerakan sosial merupakan gerakan yang menjijikkan. Pada periode
kedua studi gerakan sosial memfokuskan pada pemahaman bahwa gerakan kemasyarakatan (civil society)
sebagai perilaku rasional di dalam struktur masyarakat,
sedangkan periode ketiga studi gerakan sosial melakukan dekonstruksi gerakan sosial sebagai upaya memformulasikan pendekatan-pendekatan teori gerakan sosial
secara integratif.
Studi gerakan sosial dalam perkembangannya tidak
saja didominasi sebagai bagian dari analisis ilmu sosialpolitik tetapi juga menjadi perangkat dalam khazanah teoritis dalam studi terorisme, studi perdamaian,
psikologi dan mulai masuk pada wilayah studi keislaman sebagaimana dilakukan oleh Wiktorowicz.2 Lebih
dari itu, studi gerakan sosial tidak saja dilakukan di
Hasanuddin, “Dinamika Dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda, Vol.10, No. 15, (2011). http://
ejournal.unri.ac.id/index.php/JIPN/search/titles (diakses 10
September 2013)
2
Quintan Wiktorowicz, ed., Islamic Activism : A Social Movement
Theory Approach (Bloomington &Indianapolis : Indiana University
Press, 2004).
1
36
Gerakan Sosial & Terorisme
wilayah basis kemunculan teori gerakan sosial seperti di
Amerika dan Eropa. Akan tetapi sebagaimana dilakukan
Wiktorowicz gerakan sosial menjadi fokus kajian di
wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara terkait
dengan fenomena gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh aktivis keislaman.
Perkembangan studi gerakan sosial baik lintas disiplin keilmuan ataupun lintas negara sesungguhnya tidak
bisa dilepaskan dari situasi dunia di beberapa negara
yang menuntut ke arah demokratisasi yang lebih baik.
Gerakan sosial dan demokrasi memiliki suatu variabel
yang saling berhubungan. Gerakan sosial muncul didasarkan atas adanya beberapa ketimpangan dalam sistem kehidupan sosial politik. Pada titik inilah gerakan
sosial mewujudkan dirinya sebagai gerakan perlawanan
terhadap tatanan kehidupan yang dirasa tidak berjalan
sebagai mestinya. Karena itu, gerakan sosial menjadi
instrumen dalam menciptakan demokrasi dalam suatu
negara atau pemerintahan.
Catatan gerakan reformasi di Indonesia yang dilakukan Hermawan Sulistyo, menunjukkan bahwa gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat
dalam menentang rezim otoriter Orde Baru, baik karena faktor-faktor sosial, politik maupun ekonomi telah
melahirkan perubahan signifikan dalam struktur sosial
politik dan harapan baru dalam kemandirian, kebebasan
dan penguatan sistem demokrasi negara Indonesia.3
Hal yang sama juga terjadi dalam gerakan revolusi
Perancis yang telah mengubah negara Perancis menjadi
kekuatan dunia di Eropa. Gerakan Rusia juga mengantarkan menjadi negara maju dalam militer serta beberapa gerakan sosial yang terjadi pasca perang dunia kedua
Hermawan Sulistyo, Lawan!: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan
Suharto (Jakarta:Pensil 324, 2002)
3
37
Men-Teroris-Kan Tuhan!
seperti China, China mampu menjadi kekuatan negara
Asia yang patut diperhitungkan dalam percaturan politik dunia.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa gerakan sosial
menjadi kekuatan civil society yang mengartikulasikan
tuntutan dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan pada prinsip good governance. Gerakan sosial muncul ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh elite penguasa atau negara. Namun
demikian, tidak semua gerakan sosial mengalami keberhasilan, pada titik tertentu justru melahirkan konflik berkepanjangan akibat perseteruan kepentingan di
antara aktor mobilisasi gerakan sosial. Gerakan sosial
di beberapa negara Timur Tengah misalnya, menunjukkan bagaimana aksi gerakan sosial di Mesir, Yaman dan
Tunisia mengalami kegagalan dan melahirkan konflik
berkelanjutan.
Oleh karena itu, gerakan sosial pada umumnya lahir
ketika situasi politik mengalami sebuah keadaan yang
ditandai ketidakstabilan (disorder) dan keacakan (randomness), baik akibat pengaruh kondisi internal suatu
negara atau faktor eksternal politik global. Dalam konteks ini, kondisi ketidakstabilan akan memicu lahirnya
solidaritas bersama membentuk wacana terbayangkan
tentang tatanan masyarakat yang ideal yang sesuai
dengan cita-cita. Rasa solidaritas para aktor bergerak
memunculkan gerakan kemasyarakatan (civil society)
menuntut perubahan politik dan suksesi pergantian
kepemimpinan.
Dalam konteks keislaman, wacana gerakan sosial
Islam mendapatkan kekhasan ciri yang membedakan
dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Perbedaan
tersebut setidaknya dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol agama dalam gerakan sosial Islam. Karena
38
Gerakan Sosial & Terorisme
itu, pendekatan gerakan sosial menjadi tawaran untuk
memahami fenomena kemunculan dan perkembangan
gerakan sosial Islam yang sejauh ini cenderung dipahami dalam perspektif ideologis.
Gerakan sosial Islam memiliki keterkaitan dengan
Islamisme. Islamisme adalah paham ideologi kegamaan
yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan secara total dan integral di segala lini kehidupan termasuk
politik sebagai bagian dari ajaran agama yang tidak bisa
dipisahkan.4 Islamisme muncul di ruang publik menawarkan konsep ideologi sebagai alternatif sehubungan
dengan keyakinan bahwa sistem ideologi barat telah
gagal mengatur tatanan dunia pada umumnya dan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
khususnya.
Sejalan dengan dinamika zaman yang mengikuti
dialektika global, gerakan-gerakan dalam spektrum
Islam politik berkembang dalam berbagai bentuk, pola
dan tidak jarang menggunakan kekerasan dalam bentuk
aksi terorisme. Terorisme merupakan varian dari gerakan sosial Islam klandestin yang membentuk identitas
kolektif bersama untuk menuntut perubahan. Terorisme
sebagai gerakan sosial Islam setidaknya dapat dilihat
dari partisipan gerakan yang merupakan individu atau
aktor rasional.
Rasionalitas di sini memiliki pengertian bahwa individu yang terlibat dalam gerakan sosial bukanlah individu yang mengalami gangguan jiwa, kekecewaan dan
penyakit psikologi lain, tetapi justru sebaliknya mereka
adalah individu rasional yang memiliki kesadaran atas
keterlibatan mereka dalam aksi-aksi mobilisasi perseteruan. Partisipan gerakan sosial memiliki pertimban Quintan Wiktorowicz, “A Geneology of Radical Islam”, Middle East
Policy, Vol. VIII, No. 4 (Desember 2001)
4
39
Men-Teroris-Kan Tuhan!
gan strategis dalam melakukan aksi-aksi mobilisasi
perseturuan, baik dalam bentuk aksi jalanan hingga
aksi-aksi yang cenderung ekstrim atau terorisme. Akhirnya, tragedi 11 September dan bom Bali adalah puncak
dari gerakan sosial Islam yang memakan korban nyawa
tidak berdosa.
Penjelasan terhadap fenomena gerakan terorisme
cenderung berasumsi bahwa gerakan tersebut merupakan penyimpangan dari arus utama Islam akibat frustasi, gangguan kejiwaan dan pribadi yang sadis. sehingga dianggap tidak rasional. Studi yang dilakukan oleh
Sarlito Wirawan Sarwono menunjukkan bahwa para
pelaku tindakan teror merupakan invidu rasional bahkan cerdas, hanya saja mereka memiliki ideologi yang
dianggap paling benar dan ideologi lain dianggap salah
sehingga harus diperangi.5 Gerakan terorisme merupakan potret pencarian identitas politik di tengah-tengah
arus deras modernisasi dan globalisasi. Paradigma seperti itu jarang menjadi perbincangan di kalangan sarjana Islam.
Oleh karena itu, teori gerakan sosial muncul dalam
rangka memberikan analisis lintas disiplin keilmuan
terhadap kompleksitas persoalan gerakan terorisme.
Pemahaman terhadap fenomena gerakan terorisme
berbasis Islam memerlukan sebuah pisau analisis yang
tidak saja hanya bertumpu pada perbincangan ideologis
semata dan kecenderungan mengabaikan aspek ekonomi, politik, sosial dan aktivisme.6 Hal ini dimungkinkan
mengingat tidak ada faktor tunggal sebagai pemicu aksi
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan
Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 54.
6
Quintan Wiktorowicz, ed., Islamic Activism : A Social Movement
Theory Approach (Bloomington &Indianapolis : Indiana University
Press, 2004),3.
5
40
Gerakan Sosial & Terorisme
terorisme. Akhirnya, di atas semua itu, kekayaan dalam
teori gerakan sosial menganggap gerakan terorisme
merupakan pilihan rasional bukan tidak rasional atas
tindakan dan strategi dalam melancarkan aksi gerakan.
1. Konsep dan Definisi Gerakan Sosial
Sejauh menyangkut pendefinisian gerakan sosial
dalam perkembangannya, belum ada definisi tunggal
tentang pengertian gerakan sosial sebagai suatu gejala
sosial. Paul Wilkinson mendefinisikan gerakan sosial
sebagai tindakan kolektif yang disengaja untuk mempromosikan perubahan di segala arah dengan cara
apapun termasuk dengan cara kekerasan dan revolusi.7
Sedangkan John McCarty dan Mayer Zald mendefinisikan gerakan sosial sebagai seperangkat pendapat dan
keyakinan di dalam kelompok yang mempresentasikan
tuntutan perubahan yang bernilai sosial di beberapa
elemen dalam struktur sosial.8 Anthony Giddens mendefinisikan gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk
mencapai tujuan bersama atau kepentingan bersama
melalui aksi kolektif.9
Dalam hal pendefinisian, penulis lebih cenderung
mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Sidney
Tarrow. Sidney Tarrow merumuskan gerakan sosial
adalah aksi penentangan kolektif yang memiliki tujuan
dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan
Sebagaimana dikutip Charles Tilly, “Social Movement and National
Politics” CRSO Working Paper No. 197 ( May 1979)
8
John McCarty dan Mayer Zald, “Resource Mobilization and Social
Movements: A Partial Theory” The American Journal of Sociology,
Vol. 82, No. 6 (May, 1977), 1212-1241.
9
Anthony Giddens, Sociology (Oxford :Polity Press, 1993),642.
7
41
Men-Teroris-Kan Tuhan!
kelompok elite, penguasa dan lawan.10 Definisi ini memiliki cakupan yang cukup luas dengan menambahkan
istilah tantangan atau penentangan (contentious) dalam
gerakan sosial.
Penentangan merupakan konsep yang paling melekat
dalam gerakan sosial, tanpa adanya penentangan kecil
sekali muncul aksi gerakan sosial. Di samping itu, definisi
Tarrow mencakup pengertian bagaimana gerakan sosial
dilakukan dalam konteks interaksi berkelanjutan. Hal
ini mengindikasikan bahwa keberhasilan gerakan sosial
dalam menuntut perubahan harus dilakukan secara
berkelanjutan tidak bisa dalam waktu sekali aksi.
Gerakan-gerakan sosial merupakan bentuk paling
modern politik penentangan (contentious politics) dalam
era demokrasi keterbukaan. Politik penentangan muncul
dalam bentuk gerakan sosial ataupun revolusi. Politik
penentangan muncul jika adanya insentif sehubungan
dengan kesempatan politik yang ada dan terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat yang kemudian dimanfaatkan oleh para aktor untuk memobilisasi melakukan
perlawanan terhadap pemerintah atau pemangku kebijakan yang dianggap lawan.
Politik penentangan dilakukan untuk merumuskan
tuntutan baru atas sebuah perubahan yang bisa diterima
dan dilakukan sebagai pilihan rasional yang didasarkan
atas solidaritas sosial untuk mencapai tujuan.11 Politik
penentangan dengan saluran non-institusional muncul
karena keterbatasan sumber daya untuk menentang
golongan yang lebih kuat.
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious
Politics, second edition. (New York:Cambridge University
Press,1998),4.
11
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious
Politics. 1-6
10
42
Gerakan Sosial & Terorisme
Dengan definisi yang demikian rupa, maka menjadi penting untuk membedakan antara gerakan sosial,
kelompok kepentingan (interest groups) dan partai politik. Gerakan sosial bergerak tidak bersifat birokratis,
sementara kelompok kepentingan dan partai politik
bergerak secara organisatoris. Hal ini misalnya, di dalam
organisasi asosiasi buruh menunjukkan suatu gerakan
yang didasarkan atas kepentingan anggota. Sementara
itu, gerakan sosial dalam hal kepentingan memiliki
cakupan yang luas tidak hanya untuk kepentingan
anggota tetapi memberikan suatu perspektif perubahan
secara makro yaitu sejauh itu menyangkut kepentingan
masyarakat sipil yang tertindas.
Dalam hal tujuan mungkin amat kabur untuk membedakan kelompok kepentingan dengan gerakan sosial
ataupun partai politik, tetapi mekanisme kerja yang bersifat organisatoris terstruktur secara birokratis adalah
hal yang memungkinkan untuk membedakan antara
gerakan sosial dari kelompok kepentingan. Sementara
itu, perbedaan gerakan sosial dengan kelompok kepentingan dan partai politik adalah partai politik memiliki
tujuan ingin berkuasa secara langsung, berbeda dengan
gerakan sosial dan kelompok kepentingan yang menuntut perubahan kebijakan dan tidak harus dilalui melalui mekanisme kerja yang bersifat politik institusional
dalam bentuk partai politik.
Oleh karena itu, bagaimana suatu gerakan disebut
gerakan sosial sehingga menjadi berbeda dengan gerakan kelompok kepentingan ataupun partai politik. Sebagaimana diungkapkan oleh Tarrow,12 gerakan sosial memiliki beberapa karakteristik sebagaimana berikut:
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious
Politics, second edition.5-6
12
43
Men-Teroris-Kan Tuhan!
a. Tantangan Kolektif
Aksi gerakan sosial selalu ditandai dengan adanya
tantangan yang secara kolektif dilakukan sebagai bagian dari konflik perseturuan. Tantangan kolektif ini
diterjemahkan dalam bentuk perlawanan dengan elite
penguasa atau pemegang otoritas, kelompok lawan atau
aturan-aturan budaya tertentu.
Oleh karena itu, tantangan kolektif sebagai bagian
dari gerakan sosial digunakan dalam rangka mengganggu, menghalangi aktifitas kelompok-kelompok
lain yang berseberangan. Aksi-aksi tantangan kolektif
dilakukan dengan simbol-simbol berupa slogan, model
pakaian, musik atau dilakukan dengan penamaan ulang
terhadap objek tertentu dengan simbol yang terdengar
familiar sangat berbeda ataupun baru. Hal tersebut dilakukan untuk mencirikan tujuan kolektif mereka dari
para partisipan gerakan sosial.
Tantangan kolektif merupakan satu-satunya sumber
daya yang bisa dimiliki sekaligus sebagai karakteristik
umum gerakan sosial. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya baik secara finansial, organisasi
ataupun akses terhadap pemerintah. Sehingga tantangan kolektif menjadi alat dari para partisipan gerakan
sosial dalam memperoleh dukungan atau perhatian
dari lawan atau pemerintah sebagai otoritas pembuat
kebijakan.
b. Tujuan Bersama
Partisipan gerakan sosial memiliki arah tujuan bersama. Mereka merupakan individu rasional yang sadar
dengan beberapa pertimbangan strategis bersedia turut
bergabung dalam sebuah aksi gerakan sosial untuk me-
44
Gerakan Sosial & Terorisme
nyuarakan tuntutan-tuntutan klaim bersama melawan
pemerintah, lawan atau para elite. Tujuan bersama merupakan artikulasi dari nilai-nilai dan kepentingan bersama dalam gerakan sosial sebagai basis aksi bersama.
c. Solidaritas dan Identitas Kolektif
Gerakan sosial berakar dari rasa solidaritas atau identitas kolektif. Para partisipan memiliki pertimbangan
strategis yang harus diperjuangan sehingga dari sekedar potensi menjadi aksi gerakan sosial. Solidaritas atau
identitas kolektif ini biasanya digali dari identitas nasional, etnisitas atau agama. Mereka membentuk identitas kolektif untuk mengkonstruksikan diri yang membedakan dengan kelompok lawan atau musuh dengan
wacana-wacana anti-ketidakadilan, tuntutan perubahan
dan sebagainya.
d. Memelihara Politik Penentangan
Keberhasilan aksi gerakan sosial sangat bergantung
pada sejauh mana para aktor gerakan sosial mampu memelihara wacana penentangan dengan pihak lawan. Sebaliknya, jika tidak mampu memelihara wacana perseteruan hingga menjadi aksi maka hanya akan menjadi
kebencian individu. Karena itu, memelihara politik penentangan akan dapat merubah dari potensi secara individual menjadi aksi solidaritas bersama melakukan
gerakan sosial.
45
Men-Teroris-Kan Tuhan!
2. Dinamika Teoritis dalam Gerakan Sosial
a. Gerakan Sosial Lama (old social movement)
Robert Mirsel sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin
melakukan klasifikasi teori gerakan sosial.13 Mirsel
mengklasifikasikan teori gerakan sosial pada dekade
1940-an sampai dengan 1950-an berangkat dari tindakan irasional yang mendorong tindakan kolektif dalam
bentuk kekerasan. Streotipe negatif terhadap gerakan
sosial pada periode sebelum 1960-an diakibatkan oleh
dominasi paradigma fungsionalisme yang menekankan pada keseimbangan harmonis dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini menjadi pilihan logis karena pada
periode ini memang kekuatan gerakan anti demokrasi
seperti Nazisme di Jerman atau Fasisme di Jepang dan
Italia menjadi kekuatan geopolitik utama dunia.
Sebagaimana diungkapkan Walter Laqueur, gerakan
fasisme yang dianut oleh Musollini dan Hitler, merupakan gerakan yang menganut paham terorisme baik ketika ia menjadi pihak oposisi ataupun ketika berkuasa.
Mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Politik kekerasan merupakan dasar filosofi mereka sehingga
fasisme saat itu berhasil menjadi kekuatan geopolitik
utama dunia.14
Atas dasar kecenderungan politik kekerasan pada
dekade tersebut, teori gerakan sosial kemudian memfokuskan pada analisa partisipan gerakan. Pertanyaan
yang kemudian diajukan untuk melakukan analisis terhadap fenomena gerakan sosial adalah mengapa para
Hasanuddin, “Dinamika Dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda, Vol.10, No. 15, (2011).
14
Walter Laqueur, Fascism: Past, Present, Future (Oxford:Oxford
University Press, 1996), 50.
13
46
Gerakan Sosial & Terorisme
individu bersedia bergabung dalam gerakan dan faktorfaktor apa yang memunculkan gerakan sosial. Karena
itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut para sarjana
sosial merumuskan beberapa teori atau paradigma sebagai pisau analisis gerakan sosial.
Jason Bradley Defay dalam “The Sociology of Social
Movement” sebagaimana dikutip oleh Sadikin mengungkapkan, ada tiga paradigma teori dalam analisis
gerakan sosial antara lain; teori fungsionalisme (Emile
Durkheim), Marxisme (Karl Marx), dan liberal individualism seperti John Lock, Thomas Hober, John Stuart
Mill dan Adam Smith. Tiga paradigma teori tersebut
sangat dominan dalam menjelaskan fenomena gerakan
sosial dan mengapa individu turut serta bergabung terlibat dalam aksi-aksi gerakan sosial.15
Perspektif fungsionalisme mengidentifikasi kehidupan secara struktural fungsionalis di mana sistem kehidupan dalam masyarakat diharapkan bekerja dan
berfungsi secara teratur. Dalam perspektif ini, setiap
individu-individu dalam masyarakat dituntut agar dapat menjaga fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat
supaya berjalan secara teratur. Ketidakteraturan fungsi
sistem dalam masyarakat akan dapat mengancam stabilitas sosial. Kondisi tersebut merupakan bentuk dari
penyimpangan yang harus segera disembuhkan.
Fungsionalisme memandang gerakan sosial dari
sudut pandang sosio-psikologis yaitu adanya ketidakteraturan fungsi dalam masyarakat. Karena itu, analisis
pendekatan aksi kolektif pada periode ini cenderung
bersifat fungsionalis struktural yaitu asas ketidakadilan
sehingga mengakibatkan kekecewaan menjadi landasan
motif yang mendorong seseorang melakukan gerakan.
Sadikin, “Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial”,
Jurnal Analisis Sosial, Vol. 10, No. 1 (Juni 2005)
15
47
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Berbeda dengan fungsionalisme, perspektif Marxis
lebih menekankan pada pertentangan kelas. Dalam konteks Marxisme, gerakan sosial disebabkan karena adanya pertentangan kelas di mana terjadi eksploitasi antara kelas penguasa (borjuis) dan kelas masyarakat biasa
(proletar). Gerakan sosial dalam analisis Marxisme merupakan penentangan kelompok proletar melawan kaum
borjuis dan merupakan ekspresi kelas yang kontradiktif.
Hubungan kontradiktif di antara keduanya akan
membentuk konsensus bersama di kalangan kelompok proletar sehubungan dengan ketimpangan dan
ketidakadilan yang ada sehingga memicu aksi-aksi penentangan terhadap kaum penguasa guna menghapus
kehidupan masyarakat tanpa kelas.16
Perspektif liberal-individual merupakan konsep kehidupan sosial yang menekankan kebebasan individu
dan rasionalitas. Perspektif ini menekankan pada kebebasan individu dalam kehidupan sosial yang harus mendapatkan jaminan dari negara sebagai bagian hak-hak
individu. Kehidupan sosial berjalan sesuai dengan motif
para individu tanpa mengindahkan aspek kebersamaan.
Karena itu, gerakan sosial dalam perspektif ini karena
adanya kepentingan pribadi setiap individu yang tidak
memperhatikan aspek-aspek secara sosial. Kepentingan
yang dimaksud dalam perspektif ini lebih pada kepentingan ekonomi dan kekuasaan.17
Indriaty Ismail & Mohd Zuhaili Kamal Basir, “Karl Marx dan
Konsep Perjuangan Kelas Sosial”, International Journal of Islamic
Thought, Vol. 1, (Juni 2012), 27-33. http://www.ukm.my/ijit/
IJIT%20Vol%201%202012/4Indriaty.pdf (diakses 15 Maret 2014)
17
Ridha Aida, “Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang
Individu dan Komunitas” Demokrasi, Vol. IV, No. 2 (2005), 95-106.
ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/.../1063/896‎ (diakses
15 Maret 2014)
16
48
Gerakan Sosial & Terorisme
Berdasarkan hal tersebut, analisis pendekatan perilaku kolektif sebagai gerakan sosial pada periode lama
mengabaikan persoalan gerakan sosial sebagai sebuah
fenomena terorganisir yang terjalin erat dengan aktor,
struktur dan konteks serta bagaimana mereka mampu
mengorganisasi ketidakpuasan menjadi mobilisasi massa yang didasarkan atas solidaritas sosial sebagai pilihan
rasional partisipan untuk mencapai tujuan. Studi gerakan sosial lama mengabaikan semangat perubahan yang
diinginkan partisipan gerakan sosial, mereka cenderung
memfokuskan pada upaya memahami psikologi individu yang tergabung dalam gerakan sosial.
Teori gerakan sosial sebagai perilaku kolektif pada
masa periode klasik dapat disimpulkan bahwa analisis
perilaku kolektif dipahami dalam konstruksi paradigma psikologi-sosial. Beberapa konsep yang kemudian
muncul dalam analisa perilaku kolektif pada periode
ini antara lain, ketegangan (strain), stress (stress), massa
(mass society) dan ketidakrasional (irrationality). Konsepkonsep tersebut kemudian dijadikan alat untuk memahami individu sebagai obyek analisis pendekatan perilaku kolektif.
Pada dekade 1960-an beberapa sarjana mulai memunculkan wacana gerakan sosial sebagai tindakan
rasional. Berbeda dengan beberapa sarjana sebelumnya
yang menganggap gerakan sosial sangat menjijikkan
dan irasional maka pada periode ini mereka sangat simpatik dengan gerakan sosial dan menganggapnya sebagai aksi rasional untuk mencapai tujuan. Paradigma
seperti ini muncul pasca berakhirnya perang dunia
kedua yang melahirkan kekuatan demokrasi sebagai
geopolitik utama kekuatan dunia.
Studi gerakan sosial pada tahun 1960-an dan seterusnya mulai memfokuskan pada gerakan-gerakan ter49
Men-Teroris-Kan Tuhan!
organisasi dan bagaimana mereka memainkan strategi
dalam aksi. Pandangan-pandangan tersebut memunculkan apa yang disebut dengan teori mobilisasi sumber daya dan gerakan sosial baru. Pemahaman gerakan
sosial pada periode ini tidak cenderung pada upaya
memahami individu-individu yang terlibat dalam aksi
gerakan.
b. Teori Mobilisasi Sumber Daya dan Gerakan Sosial
Baru
Teori gerakan sosial baru (new social movement theory)
dan teori mobilisasi sumber daya (resources mobilization
theory) merupakan dua pendekatan teori yang mendominasi studi gerakan sosial kontemporer. Perbedaan
kedua teori ini terletak pada basis teori gerakan sosial
baru di Eropa Barat, sedangkan teori mobilisasi sumber
daya berbasis di Amerika Serikat.18 Di samping itu, dua
pendekatan ini memiliki perspektif berbeda dalam memandang gerakan sosial.
Teori mobilisasi sumber daya kelahirannya didasarkan pada kritiknya terhadap analisis Durkheimian yang
memandang gerakan sosial sebagai perilaku kolektif menyimpang. Adapun gerakan sosial baru didasarkan atas
kritiknya terhadap analisis Marxisme yang memandang
gerakan sosial semata-mata hanya tentang pertentangan kelas.19 Kedua paradigma teori tersebut melakukan
kritik terhadap teori-teori perilaku kolektif (collective behaviour) atas kegagalan menjelaskan fenomena gerakan
Eduardo Canel, “New Social Movement Theory and Resource
Mobilization Theory:The Need for Integration”. www.inp.uw.edu.
pl/.../New_Social_Movement_ (diakses 10 September 2013)
19
Steven M.Buechler, “New Social Movement Theories”, Sociological
Quarterly, 36:3.(1995: Summer) 442.
18
50
Gerakan Sosial & Terorisme
sosial di dunia barat saat itu yang cenderung bertumpu
pada analisis psikologi.20
Teori mobilisasi sumber daya (TMSD) mencoba untuk menjelaskan gerakan sosial dengan melihat individu
sebagai aktor rasional yang terlibat dalam aksi gerakan
dengan menggunakan organisasi formal untuk mengamankan sumber daya dan mobilisasi.21 TMSD dapat
dipecah menjadi dua bagian. Pertama, TMSD mencoba
menjelaskan individu yang bergabung dalam gerakan
sosial dengan teori aktor rasional. Kedua, TMSD mencoba menjelaskan tindakan organisasi gerakan sosial
yang dibentuk oleh aktor-aktor rasional dengan melihat
organisasi gerakan sebagai organisasi yang berfungsi
untuk pelestarian diri dan memasarkan produk untuk
mencapai tujuan.
TMSD melihat bahwa individu yang terlibat dalam
gerakan sosial merupakan partisipan rasional dengan
pertimbangan keuntungan yang didapat dalam aksi
mobilisasi kolektif. Aksi mobilisasi dapat mengurangi
biaya jika harus dilakukan secara bersama daripada secara individu untuk memasarkan harapan atau tujuan
yang diinginkan. TMSD berusaha mendalami minat
dan kepentingan partisipan gerakan serta bagaimana
strategi-strategi yang dimainkan dalam melakukan aksi
gerakan untuk menuntut perubahan dengan melihat insentif, keuntungan, mekanisme mengurangi biaya dan
tujuan bersama dalam aksi kolektif.
Gary T. Marx and Douglas McAdam, Collective Behavior and Social
Movements: Process and Structure (Prentice Hall : New Jersey,
1994) 72. Lihat juga ulasan singkat Collective Behavior and Social
Movements: Process and Structure di http://web.mit.edu/gtmarx/
www/cbchap1.html (diakses 6 September 2013)
21
John D. McCarthy and Mayer N. Zald, “Resource Mobilization
and Social Movements: A Partial Theory”, The American Journal of
Sociology, Vol. 82, No. 6 (May, 1977),1212-1241.
20
51
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Analisis gerakan sosial dalam TMSD memfokuskan
pada upaya-upaya analisis manfaat biaya dan sumber
daya dari gerakan sosial. Ketidakpuasan individu bukanlah pemicu kemunculan dari aksi gerakan sosial.
Keluhan atau kekecewaan hanyalah menjadi latar belakang bukan sebagai pemicu utama dari munculnya
gerakan sosial. Lebih dari itu, keluhan-keluhan bisa saja
dimanipulasi dengan membentuk organisasi gerakan
oleh individu yang memiliki kepentingan. Karena itu,
Gerakan sosial muncul ketika para aktor memiliki sumber daya yang tersedia untuk memobilisasi kelompok
dalam suatu wadah organisasi gerakan yang memiliki
pemimpin dan ideologi.
Keberhasilan dan kegagagalan dari gerakan sosial
dalam TMSD sangat ditentukan oleh faktor eksternal
ketersediaan sumber daya dalam organisasi. Karena itu,
aktor organisasi berperan penting dalam membentuk
wacana yang memungkinkan seseorang untuk dapat
bergabung dalam sebuah organisasi. Organisasi gerakan sosial sering merupakan bagian dari kepentingan
elite penguasa sehingga gerakan sosial dalam mencapai
tujuan sedikit sekali bertentangan dengan penguasa karena memang pada dasarnya tujuan dari gerakan sosial
untuk melanggengkan kekuasaan.
Harus diakui memang bahwa TMSD melangkah
lebih jauh sebagai sebuah teori untuk memahami gerakan sosial dengan memfokuskan pada partisipan gerakan
dan organisasi. TMSD tidak melihat partisipan gerakan
sosial sebagai individu yang irasional sebagaimana
analisis gerakan sosial sebelumnya tetapi merupakan
pilihan rasional yang dilakukan invidu dengan mempertimbangan keuntungan-keuntungan dalam gerakan
sosial secara kolektif.
52
Gerakan Sosial & Terorisme
Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh
Beuchler bahwa TMSD memiliki satu masalah karena
hanya memfokuskan pada organisasi gerakan sosial padahal terdapat beberapa gerakan sosial baru tidak memiliki organisasi mereka terhimpun atas dasar sebuah
komunitas gerakan sosial.22
TMSD mengabaikan identitas kolektif yang terbentuk
dalam gerakan sosial. Identitas kolektif penting untuk
menjaga kepentingan bersama yang harus diperjuangkan daripada sekedar kepentingan-kepentingan individu yang secara makro hanya menguntungkan kepentingan elite sebagai aktor organisasi yang menyediakan
sarana, fasilitas dan mekanisme lain dalam gerakan sosial. Atas dasar itulah, TMSD dianggap mengalami kesulitan untuk menjelaskan kemunculan gerakan sosial
baru yang terhimpun atas dasar identitas kolektif karena hanya fokus pada internal organisasi dan individu
yang terlibat dalam gerakan.
Pada titik inilah muncul paradigma baru yang disebut
dengan teori gerakan sosial baru untuk menjelaskan identitas kolektif dari sebuah gerakan yang dibangun karena
memang gerakan sosial tidak lahir dalam ruang hampa,
ada dimensi sosial dan politik yang melingkupinya.
Gerakan sosial baru (GSB) merupakan pendekatan
baru di antara beberapa teori gerakan sosial yang berusaha memperbaiki kelemahan-kelemahan teori sebelumnya. Upaya teoritisasi gerakan sosial baru paling
berpengaruh diberikan oleh tokoh sosiologi Perancis,
Alain Touraine dan sosiolog Italia Alberto Melucci.23
Lihat selanjutnya dalam Steven M. Buechler, “Beyond Resource
Mobilization?; Emerging Trends in Social Movement Theory”, The
Sociological Quarterly, Vol. 34, 2 (Mei 1993)217-315.
23
Alberto Melucci, “The new social movements: A theoretical
approach”, Social Science Information, vol. 19 no. 2 (Mei 1980)
22
53
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan sosial baru merupakan paradigma baru yang
muncul pasca revolusi industri negara Amerika dan
Eropa Barat sehingga bisa dikatakan bahwa kemunculan GSB adalah upaya kritiknya terhadap dominasi
Marxisme yang lebih menekankan pertentangan kelas
dari sebuah gerakan sosial.
GSB memberikan paradigma baru tentang gerakan
sosial yang lebih bersifat lintas ideologis, lintas etnis
sehingga karakteristik umum gerakan sosial baru lebih
tertarik pada masalah ide atau nilai seperti gerakan
feminisme, gerakan lingkungan, gerakan hak asasi manusia dan lain-lain.24 Karena itu, GSB memiliki tujuan
lebih luas dan universal. Tujuan GSB tidak hanya untuk
kepentingan sesaat dan kepentingan para partisipan gerakan, tetapi ia menuntut perubahan kehidupan yang dirasa merugikan bagi hubungan kehidupan masyarakat.
Paradigma analisis gerakan sosial baru dengan
penambahan istilah “new” dalam gerakan sosial menekankan pada dua aspek yaitu makro-historis dan mikro-historis gerakan sosial.25 Pada tingkat makro, paradigma GSB memfokuskan pada kontradiksi hubungan
antara gerakan-gerakan sosial kontemporer dan struktur ekonomi yang lebih besar serta peran budaya yang
melekat dalam gerakan tersebut.
Pada tingkat mikro, GSB menyediakan pemahaman
bagaimana individu-individu membentuk identitas
kolektif terikat dalam sebuah gerakan sosial untuk se199-226; Alain Touraine, “An Introduction to the Study of Social
Movements”, Social Research ,Vol. 52, No. 4 (1985). 749-787.
24
Steven M. Buechler, “New Social Movement Theories”, Sociological
Quarterly, 36:3, (1995:Summer)441-442. hetorics-of-social-change.
wikispaces.com/.../New (diakses 9 desember 2103)
25
Nelson A. Pichardo, “New Social Movements: A Critical Review”,
Annual Review of Sociology, Vol. 23, (1997),411-430. http://identities.
org.ru/readings/pichardo.htm (diakses 9 Desember 2013)
54
Gerakan Sosial & Terorisme
buah tujuan. Dua perspektif ini memberikan petunjuk
bahwa bahwa gerakan sosial baru mengajukan klaim
penentangan dalam cakupan yang lebih luas tidak saja
kepentingan anggota tetapi kepentingan masyarakat
sehubungan dengan adanya ketidakdilan. Lebih dari
itu, GSB berusaha memahami kerangka gerakan tentang bagaimana individu terlibat dan faktor-faktor yang
memicu kemunculan dan keberhasilan melakukan aksiaksi gerakan sosial.
Pada dasarnya perubahan dalam dinamika masyarakat Amerika dan Eropa dari masa industri ke era
post industrial membentuk wacana tidak saja berkaitan
dengan kontradikasi kelas ekonomi tetapi kontradiksi
perubahan kebudayaan seiring dengan perubahan ke
masyarakat post industrial. Perubahan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat menjadi paradigma tersendiri
untuk menjadikan isu dalam aksi gerakan sosial.
Perubahan tersebut memberikan insentif untuk melakukan mobilisasi penentangan terhadap kelompok
elite, penguasa atau otoritas terkait. Hal inilah yang
membedakan dengan gerakan sosial sebelumnya. Sebagaimana diungkapkan Pichardo, gerakan sosial baru
memiliki karakteristik dalam hal ideologi dan tujuan,
taktik, struktur dan partisipan atau aktor.
a. Ideologi dan Tujuan
Ideologi dan tujuan merupakan hal yang prinsip
dalam gerakan sosial baru. Ideologi membentuk identitas yang diartikulasikan dalam bentuk wacana dan
strategi untuk mencapai tujuan. Karena itu, GSB tidak
lagi dilandaskan pada pertentangan kelas sebagaimana
gerakan sosial klasik. GSB menghadirkan perbedaan
55
Men-Teroris-Kan Tuhan!
yang mendasar dengan gerakan sebelumnya di era
masyarakat industri.
GSB tidak lagi fokus pada persoalan redistribusi
ekonomi, melainkan lebih fokus dengan persoalan
kualitas hidup (quality of life) dan gaya hidup (lifestyle). Dengan demikian, GSB mempertanyakan tujuan
matrealistik yang menjadi orientasi dalam kehidupan
masyarakat industri. Di samping itu, GSB mempertanyakan struktur demokrasi yang membatasi masukan
warga dan partisipasi dalam pemerintahan.
GSB menawarkan sebuah wacana identitas dalam
bentuk gerakan sosial yang melakukan penentangan.
Karena itu, isu identitas merupakan ciri khas di dalam
gerakan sosial kontemporer. Politik identitas mengungkapkan keyakinan dan ekspresi sebagai landasan kerja
politik dalam menuntut perubahan. Ideologi sebagai
identitas kolektif menjadi basis landasan gerakan sehingga partisipan memiliki kesamaan dalam hal tujuan.
Lebih dari itu, ideologi merefleksikan kesadaran tentang
apa yang sedang diperjuangkan.
Namun demikian, Klandermens sebagaimana diungkapkan oleh Pichardo bahwa terdapat adanya temuan
di lapangan yang menunjukkan perbedaan tidak adanya
korelasi antara ideologi dengan keberhasilan gerakan.
Hal ini didasarkan pada temuan keragaman identitas di
dalam gerakan perdamaian Belanda sebagai representasi dari beragam keanggotaan organisasi malah pada
gilirannya menyebabkan mereka meninggalkan gerakan itu sendiri.
Dengan kata lain, apa yang diperjuangkan dalam
gerakan, banyak bertolak belakang dengan pilihan
sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, klaim “politik
identitas” yang bersumber dari pandangan mengenai
56
Gerakan Sosial & Terorisme
“personal is political” dalam beberapa hal masih perlu
dikaji ulang.
b. Taktik
Taktik atau strategi yang diusung dalam GSB mencerminkan orientasi ideologis yang mereka usung. Dalam
hal taktik, GSB lebih menekankan pada strategi non-institusional. GSB lebih menyukai saluran di luar politik
resmi dan memakai taktik pengacauan serta memobilisir opini publik untuk meraih pengaruh politik. Taktik
yang digunakan GSB cenderung menampilkan aksi-aksi
dramatik dengan mengenakan pakaian dan representasi
simbolik dalam aksi-aksi politiknya.
Meskipun demikian, Pichardo mengungkapkan
tidak semua gerakan sosial baru menolak masuk dalam
sistem. Beberapa gerakan sosial baru malah membentuk
sebuah partai politik dan terlibat dalam pemilu. Misalnya, Green Party atau Partai Hijau,26 sebuah partai di
Jerman yang pada awalnya sebuah pergerakan sosial
masyarakat yang menginginkan pembaharuan dalam
kebijakan politik yang lebih ramah lingkungan, kemudian terbentuklah sebuah gerakan yang disebut Green
Movement. Pada perkembangannya, di tahun 1993, Green
Party melebur dengan Grup Politik beraliran non-komunis yang dinamakan Bündnis 90/Die Grünen di Jerman.
lihat selanjutnya tentang Green Party dalam Ingolfur Bluhdorn,
“Reinventing Green Politics: On the Strategic Repositioning of the
German Grenn Party”, German Politics, Vol. 18, No. 1, (Maret 2009),
36-54.
26
57
Men-Teroris-Kan Tuhan!
c. Struktur
Struktur gerakan sosial baru anti kelembagaan. GSB
mengorganisir diri dengan gaya yang tidak terlalu organisatoris. Mereka mengganti kepemimpinan secara
rutin dan mengambil suara secara komunal dalam menyikapi isu-isu yang dihadapi. Pola struktur gerakan
yang lebih menekankan anti-birokrasi dengan sendirinya mencerminkan suatu bentuk perlawanan terhadap sistem birokrasi modern yang dianggap memiliki
mental otoritarian. Di samping itu, pola seperti ini juga
diharapkan dapat meminimalisir terkait adanya intervensi dan kooptasi kepentingan luar.
d. Partisipan
Dalam hal keanggotaan, anggota GSB bersifat lintas
kelas. Partisipan yang terlibat adalah mereka yang memiliki kesamaan ide dan tujuan. Karena itu, partisipan
dengan latar belakang berbeda bisa melakukan mobilisasi bersama tanpa melihat status, kelas dan jabatan.
Partisipan yang terlibat dalam gerakan tidak saja menyuarakan isu-isu lokal tetapi juga isu-isu yang menyangkut dunia internasional seperti, kebebasan hak
asasi manusia, lingkungan hidup, gerakan anti nuklir
dan lainnya.
Namun demikian, tidak mudah untuk memahami
gerakan sosial. GSB sebagai paradigma baru dalam memandang gerakan sosial juga mendapat kritikan sebagaimana dilakukan oleh Pichardo. Dalam pandangan
Pichardo, dua asumsi dominan mengenai perbedaan
gerakan sosial baru dengan gerakan sosial sebelumnya
telah menyajikan ke hadapan kita bahwa ciri-ciri gerakan sosial baru tidaklah benar-benar diskontinue
dengan gerakan sebelumnya. Selain isu identitas, tidak
58
Gerakan Sosial & Terorisme
ada perbedaan yang prinsip di antara gerakan sosial
lama dengan gerakan sosial kontemporer.27
Di atas semua itu, penentangan-penentangan di
dalam sebuah paradigma keilmuan adalah sebuah keniscayaan seperti halnya dalam literatur pendekatan
gerakan sosial. Teori gerakan sosial dibingkai dalam
format penentangan mengandung makna bahwa teori
baru akan melakukan kritik terhadap teori lama sebagai
bagian dari dinamika keilmuan. Oleh karena itu, dalam
perkembangannya beberapa teoritisasi gerakan sosial
melakukan studi integratif terhadap teori gerakan sosial
untuk melengkapi kelemahan-kelemahan yang ada.
3. Pendekatan Integratif Teori Gerakan Sosial
Kompleksitas persoalan gerakan sosial sangat luas.
Penjelasan terhadap fenomena gerakan sosial tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan yang terpotong-potong.
Karena itu, mulai berkembang usaha-usaha menjelaskan gerakan sosial secara multidimensional. Pendekatan
muldimensional mengandung maksud tidak saja dalam
satu perspektif teori dalam studi gerakan sosial tetapi
melakukan pendekatan integratif terhadap beberapa
teori gerakan sosial yang telah ada. Upaya ini dimungkinkan untuk mendapatkan ide yang lebih lengkap tentang bagaimana gerakan sosial itu muncul dan faktorfaktor apa saja serta dampak dari gerakan sosial.
Beberapa peneliti gerakan sosial seperti McAdam,
McCarthy dan Zald melakukan pendekatan integratif
lihat selanjutnya kritikan Pichardo terhadap gerakan sosial baru
(GSB)dalam “New Social Movements: A Critical Review”, Annual
Review of Sociology, Vol. 23, (1997),411-430.
27
59
Men-Teroris-Kan Tuhan!
terhadap teori gerakan sosial.28 McAdam dkk mengeluarkan manifesto rekonsiliasi dalam melakukan analisis
studi gerakan sosial. Menurut mereka, hanya dengan
melakukan penggabungan pemikiran konseptual baru
dan lama dalam teori gerakan sosial dapat membantu
memberikan pemahaman menyeluruh tentang dinamika
gerakan sosial.
Lebih dari itu, tujuan pendekatan integratif dari gerakan sosial adalah sebagai upaya menolak penjelasan
gerakan sosial dengan kacamata satu perspektif, baik
perspektif struktural maupun perspektif yang menekankan pada kondisi eksternal gerakan sosial.29
Pendekatan integratif dalam gerakan sosial sebagaimana dimaksud oleh McAdam dkk adalah upaya
menggabungkan tiga faktor dalam menganalisis tumbuh dan berkembangnya gerakan sosial. Tiga faktor
tersebut adalah (1) struktur kesempatan politik dan
beberapa kendala yang dihadapi gerakan; (2) bentukbentuk organisasi (informal atau formal) yang tersedia
untuk mengacau, dan (3) proses kolektif penafsiran,
memberi atribut dan mengkonstruksi sosial sebagai
jembatan antara kesempatan politik dan aksi. Tiga faktor tersebut dalam pemahaman konvensional lebih
dikenal dengan istilah kesempatan politik (political opportunities), struktur mobilisasi (mobilization structures),
dan proses pembingkaian (framing processes).30
Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, (ed.),
Comparative Perspektives on Social Movements: political opportunities,
mobilizing structures, and cultural framings (New York:Cambridge
University Press, 1996)
29
Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, (ed.),
Comparative Perspektives on Social Movements: political opportunities,
mobilizing structures, and cultural framings. 354
30
Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald,
“Introduction” dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and
28
60
Gerakan Sosial & Terorisme
Dalam perspektif integratif gerakan sosial, analisis
gerakan sosial tidak saja bertumpu pada struktur organisasi ataupun para partisipan tetapi menggabungkan
keduanya dan menambahkan analisis gerakan sosial
terhadap partisipan secara kontekstual baik konteks
kesempatan politik yang melingkupinya, nilai-nilai
keyakinan, maupun kalkulasi rasional sehingga dapat
memahami kenapa seseorang bersedia ikut bergabung
dalam gerakan sosial.
a. Kesempatan Politik (Political opportunity)
Political Opportunity atau dalam bahasa Indonesia
adalah kesempatan politik merupakan konsep untuk
menjelaskan bahwa kemunculan gerakan sosial sering
kali dipicu oleh faktor perubahan besar dalam struktur
politik. Perubahan struktur politik membuka kesempatan politik terhadap aktor-aktor gerakan untuk memprakarsai politik penentangan hingga membuka perubahan dan fase baru politik.
Dalam pandangan McAdam, ada empat dimensi
dalam struktur kesempatan politik, yaitu (1) keterbukaan dan ketertutupan relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elite; (3) adanya
atau tiadanya aliansi-aliansi elite; dan (4) kapasitas
atau kecenderungan negara untuk melakukan represi.31
Struktur kesempatan politik pada umumnya muncul
ketika sistem politik lebih terbuka dengan kata lain
bahwa iklim politik yang terbuka memungkinkan suatu
Mayer N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements:
political opportunities, mobilizing structures, and cultural framing. 2.
31
Doug McAdam, “Conceptual origins, current problems, future
direction”, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer
N. Zald, (ed.), Comparative Perspektives on Social Movements. 27.
61
Men-Teroris-Kan Tuhan!
gerakan sosial muncul dibandingkan dengan sistem
politik yang tertutup.
Sistem politik yang tertutup biasanya dicirikan oleh
kekuatan otoriter pemimpin sehingga tiada celah terbuka untuk melakukan penentangan. Sistem tertutup menjadi kendala dalam bertumbuh kembangnya gerakan
sosial. Namun demikian, Eisinger sebagaimana dikutip
oleh Burhanudin Muhtadi bahwa gerakan sosial sangat
mungkin muncul dalam sistem politik yang dicirikan
oleh percampuran antara faktor-faktor keterbukaan dan
ketertutupan.32 Oleh karena itu, tidak mudah memberikan ukuran hubungan situasi politik dengan kemunculan dari gerakan sosial.
Pada tataran elite politik, terbukanya kesempatan
struktur politik cenderung melahirkan konflik di kalangan elite yang berebut kekuasaan. Karena itu, politik itu
seperti siapa makan siapa. Konflik politik sebagaimana
dijelaskan Donatella della Porta dan Mario Diani, konflik
politik secara tradisional berkaitan dengan model aksi
kolektif di mana para aktor gerakan berjuang satu sama
lain untuk melindungi materi serta kepentingan politik
dan mendefinisikan diri mereka dalam sebuah anggota
kelompok untuk melancarkan kepentingannya.33
Perubahan struktur politik tersebut memunculkan
elite-elite politik untuk berperan sebagai pelindung
masyarakat guna mendapatkan kedudukan dalam persaingan lawan politik. Karena itu, perebutan kedudukan
ketika kesempatan politik mulai terbuka dibutuhkan
dukungan dari kelompok eksternal tidak cukup hanya
Burhanudin Muhtadi, “Demokrasi zonder Toleransi Potret Islam
Pasca Orde Baru”, Komunitas Salihara, (Januari 2011),9.
33
Donatella della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An
Introduction, second edition. ( Australia : Blackwell Publishing,
2006), 36.
32
62
Gerakan Sosial & Terorisme
dukungan internal politik. Pada titik ini, seorang aktor
diuji untuk dapat menjalin dan merawat jejaring komunikasi dengan elemen-elemen massa yang telah
dibangun untuk digunakan alat sebagai penyokong ke
tangga kekuasaan.
Fakta perubahan politik di beberapa negara di dunia
selalu memakan korban tidak kecil, baik korban materi
maupun nyawa manusia. Gejolak politik di Indonesia
pada tahun 1998 dan beberapa negara di kawasan Timur
Tengah seperti Mesir, Suriah, Irak dan Maroko adalah
contoh nyata tentang bagaimana perubahan struktur
politik memakan banyak korban. Terbukanya struktur
politik yang baru tidak lantas dapat memberikan jaminan kestabilan kondisi negara dan rasa aman warga
negara sebagaimana terjadi di beberapa negara Timur
Tengah yang masih mengalami konflik berkepanjangan.
Hal tersebut dikarenakan struktur politik yang terbuka melahirkan konflik kepentingan elite politik sebagai aktor gerakan yang mengakibatkan masyarakat dan
negara menjadi labil. Karena itu, peluang politik tersedia dalam kondisi ketidakstabilan negara akan memicu
kemunculan gerakan sosial secara kontinuitas dan massif dari kelompok-kelompok yang tidak mendapatkan
kedudukan untuk mendapatkan tujuan.
Konsep kesempatan politik sebagaimana dijelaskan
oleh Tarrow, lebih menekankan kekuatan mobilisasi sumber daya eksternal di luar kelompok elite politik karena
kelompok luar yang terlibat dalam aksi kolektif adalah
mereka yang mampu melahirkan persepsi struktur kesempatan politik dengan memperhitungkan perubahan
struktural yang akan terjadi, berubahnya peta kekuatan
politik, represi dan ancaman yang akan dihadapi.34
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious
Politics, 2nd Edition. 77.
34
63
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Oleh karena itu, konsep kesempatan politik dapat
membantu memahami kerangka dan strategi bagaimana
kekuatan elite politik yang kecewa mampu memobilisasi massa kepada mereka yang memiliki tingkat kekecewaan lebih rendah atau kelompok-kelompok terpinggirkan. Keberhasilan menyebarnya mobilisasi massa
tersebut ditentukan dengan mangajukan atau membikin
wacana atas klaim-klaim penentangan terhadap pihak
pemegang kebijakan negara dengan melahirkan konsepsi “masyarakat tertindas”. Keberhasilan gerakan sosial memobilisasi massa melakukan penentangan terhadap pemerintah akan memancing kelompok-kelompok
lain untuk bergabung di dalamnya sehingga memberikan kekuatan gerakan sosial dengan jumlah partisipan
sangat besar.
Keberhasilan gerakan sosial membuka struktur
kesempatan politik harus dilakukan secara kontinuitas
atau dengan kata lain aksi-aksi itu tidak merupakan
single event. Harus dilakukan rangkaian aksi secara
berkesinambungan, minimal selama satu bulan terusmenerus tiap hari. Juga, harus ada tokoh pemimpin yang
mampu menggalang stamina massa. Bayangkan, berapa
dana yang harus dibuang untuk mengobarkan aksi
gerakan sosial agar berhasil. Namun demikian, dalam
teori gerakan sosial, keberhasilan menggelar aksi-aksi
kolektif di jalanan lebih banyak ditentukan oleh kondisi
kesempatan politik daripada faktor ekonomi, sosial dan
budaya.
Terbukanya struktur politik melahirkan tahapantahapan baru bagi gerakan sosial, dimulai dari proses
perencanaan ke tahap pembentukan dan konsolidasi
untuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, diperlukan upaya mobilisasi untuk
menarik dukungan massa dan proses framing. Framing
64
Gerakan Sosial & Terorisme
merupakan skema pembentukan identitas kolektif yang
dikonstruksikan untuk mengandaikan siapa lawan dan
musuh yang harus dihadapi.
b. Pembingkaian (framing)
Konsep pembingkaian atau framing pertama kali
muncul diperkenalkan oleh Gregory Bateson di dalam
“A theory of Play and Fantasy”.35 Framing digunakan
Bateson untuk menggambarkan hubungan antara komunikator dan komunikan saat melakukan komunikasi.
Di dalam teori gerakan sosial, framing atau pembingkaian merupakan skema penafsiran di mana aktor gerakan
sosial menciptakan dan menyampaikan wacana yang
dapat didengar dan bergema di antara mereka yang
menjadi target mobilisasi.36
David Snow dan Robert Benford memberikan penjelasan tentang fungsi utama dari pembingkaian dalam
gerakan sosial. Tiga fungsi tersebut adalah (1) fungsi
diagnostik yakni kemampuan mengidentifikasi masalah
dan penanggung jawab target kesalahan; (2) fungsi
prognostik memberikan solusi terhadap persoalan yang
dihadapi dalam bentuk strategi, taktik dan target; (3)
memberikan alasan untuk melahirkan dukungan guna
melakukan tindakan kolektif.37
Lihat Katie Salen and Eric Zimmerman, eds. The Game Design Reader
: a Rules of Play Anthology (London : The MIT Press, 2006) 314 -327.
36
David A. Snow, E. Burke Rochford, Steven K. Worden, dan Robert
D. Benford, “Frame Alignment Process, Micromobilization, and
Movement Participation,” American Sociological Review, Vol. 51,
No. 4 (Aug., 1986), 464-48.
37
David Snow and Robert Benford, “Ideology, Frame Resonance, and
Participant Mobilization,” International Social Movement Research,
Volume: 1, Issue: 1, 1998, Publisher: JAI Press, Pages: 197-217.
35
65
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Selanjutnya, Framing sebagai skema penafsiran terdapat dua konsepsi di dalamnya, antara lain: Pertama,
konsepsi psikologis yaitu bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya dalam memandang dunia
dalam pandangan atau perspektif tertentu. Kedua, perspektif sosiologis, framing berfungsi membuat realitas
menjadi teridentifikasi, dimengerti dan dipahami dalam
label tertentu. Oleh karena itu, framing menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang terjadi.
Proses skema penafsiran ini menjadi penting untuk
menyebarkan penafsiran gerakan guna dapat memobilisasi massa dan dukungan. Gerakan sosial tanpa mampu memproduksi wacana yang akan dijadikan skema
penafsiran arah gerakan tidak akan berhasil. Posisi framing dalam gerakan sosial merupakan landasan ideologis
gerakan. Nilai-nilai ideologi gerakan merupakan cara
pandang bagaimana dan di mana gerakan sosial itu dijalankan.
Dalam teori gerakan sosial berkaitan dengan framing
yang tidak bisa ditinggalkan adalah apa yang disebut
dengan frame resonance (gaung bingkai), yaitu kemampuan skema penafsiran untuk merubah mobilisasi potensial menjadi mobilisasi aktual. Gaung bingkai dalam
gerakan sosial menjadi dasar pembentukan identitas
kolektif mereka yang bersandar pada simbol-simbol,
bahasa serta identitas budaya lokal yang melekat pada
partisipan.
Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh
Robert Benford dan David Snow, gaung bingkai tidak
hanya bergantung pada konsistensi terhadap narasinarasi budaya yang melekat tetapi juga faktor konsistensi bingkai (frame consistency), kredibilitas empiris (empirical credibility) dan kredibilitas artikulator (credibility
66
Gerakan Sosial & Terorisme
articulators).38 Konsistensi dalam mengartikulasikan wacana dan isu sebagai identitas kolektif yang diperjuangkan membantu dalam keberhasilan dan keberlangsungan aksi-aksi gerakan sosial. Konsistensi menjadi
penting karena gerakan sosial untuk mencapai tujuan
yang diinginkan tidak berlangsung sekali event tetapi
harus dilakukan secara berkesinambungan, tidak sekali
aksi saja.
Konsistensi bingkai mengacu pada konsistensi antara keyakinan, klaim dan tindakan yang diartikulasikan
dalam gerakan sosial. Sedangkan kredibilitas empiris
mengacu pada kecocokan skema pembingkaian dengan
kejadian atau problematika yang terjadi. Di samping itu,
kredibilitas artikulator adalah reputasi individu atau
kelompok yang bertanggung jawab mengartikulasikan
bingkai. Konsistensi ini menjadi penting agar gerakan
tidak saja memperkuat massa gerakan sosial tetapi juga
bisa mempengaruhi individu-individu lain untuk bergabung dalam gerakan sosial. Karena itu, dibutuhkan
kemampuan jaringan rekruitmen mobilisasi.
c. Struktur Mobilisasi (mobilizing structure)
Teori gerakan sosial memfokuskan pada kelompok
sebagai basis analisis maka keberadaan sruktur mobilisasi menjadi hal yang tidak bisa dianggap remeh
dalam memahami gerakan sosial. Struktur mobilisasi
merupakan alat untuk memahami aksi kolektif yang di
dalamnya melibatkan organisasi, jaringan dan bagaimana mereka merancang taktik dan strategi yang dapat
Robert Benford dan David Snow, “Framing processes and social
movements: An overview and assessment,” Annual Review of
Sociology, (26, 2000) 611-639. http://200.41.82.27/220/ (diakses 8
September 2013)
38
67
Men-Teroris-Kan Tuhan!
bergaung di antara partisipan.39 Singkatnya, struktur
mobilisasi adalah kendaraan atau organisasi, baik formal atau informal yang digunakan untuk memobilisasi
masyarakat untuk terlibat di dalam aksi kolektif.40
Mobilisasi berkaitan dengan kekuatan jaringan rekruitmen dalam mempengaruhi individu atau kelompok
untuk bergabung melakukan aksi solidaritas gerakan
sosial. Dimensi-dimensi struktur mobilisasi dalam melakukan rekruitmen anggota sering kali memanfaatkan
jaringan-jaringan organisasi dan aktor organisasi yang
tersedia sebelumnya seperti, perkawanan, kekeluargaan, komunitas, tempat kerja dan lainnya.41
Di dalam gerakan sosial, sekalipun faktor kesempatan
politik tersedia namun jika kekuatan kapasitas dan jejaring organisasi sebagai instrumen mobilisasi tidak tersedia gerakan sosial tidak akan cukup melakukan aksi.
Proses mobilisasi umumnya bertalian erat dengan gaung
bingkai dalam skema penafsiran yang diajukan untuk
merayu kelompok-kelompok yang sepaham untuk direkrut dan dimobilisasi. Karena itu, tiga infrastruktur
pendukung struktur mobilisasi, antara lain: basis keanggotaan, jejaring komunikasi dan tokoh gerakan.
Mobilisasi gerakan sosial melakukan rekruitmen terhadap organisasi-organisasi atau masyarakat yang mengalami kekecewaan untuk menerjemahkannya menjadi
suatu pernyataan yang terorganisasi dalam aksi kolektif,
kekecewaaan jika hanya dinyatakan tidak secara kolektif
John D. McCarthy “Constraints and Opportunities in Adopting,
Adapting, and Inventing” dalam Doug McAdam, John D.
McCarthy and Mayer N. Zald, eds., Comparative Perspektives on
Social Movements, 141.
40
Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, eds.,
Comparative Perspektives on Social Movements, 3.
41
John D. McCarthy “Constraints and Opportunities in Adopting,
Adapting, and Inventing”, 145.
39
68
Gerakan Sosial & Terorisme
maka hanya akan menjadi kekecewaan individual, yang
memang tidak memiliki pengaruh terhadap pengambil
kebijakan untuk melakukan perubahan.
Jejaring gerakan sosial pada umumnya merupakan
organisasi-organisasi binaan para aktor gerakan. Proses
ini memungkinkan menjalin hubungan ikatan emosional dan rasa solidaritas yang tinggi dengan para aktor gerakan. Di dalam gerakan sosial, jejaring organisasi
yang tersedia lebih memungkinkan bersifat informal
agar tidak mudah dilacak atau dikontrol oleh pemerintah. Karena itu, jejaring organisasi dalam struktur mobilisasi merupakan gerakan bawah tanah untuk menghindari tindakan represif pemerintah.
Penggunaan jejaring organisasi informal dalam
struktur mobilisasi gerakan sosial lazim digunakan
dalam gerakan terorisme. Hal ini bisa dilihat dalam
salah satu laporan ICG dalam “Daur Ulang Militan
Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia”.
Laporan ICG tersebut menunjukkan bahwa proses mobilisasi anggota gerakan Darul Islam hingga gerakan JI
seringkali bersifat informal seperti, mobilisasi anggota
melalui hubungan kekeluargaan dan perkawanan.42 Hal
ini dilakukan untuk menghindari kejaran pemerintah.
Dalam kasus tertentu di mana ketersediaan sumber
daya bagi aksi kolektif terbatas maka akan ada intervensi pihak ketiga untuk memberikan insentif berupa
material, solidaritas dan lain lain yang memungkinkan
mobilisasi gerakan sosial berjalan. Pada konteks inilah,
intervensi pihak ketiga merupakan bagian dari skema
politisasi gerakan oleh elite politik untuk memuluskan
kepentingannya. Para elite politik kerap kali mem“Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan
Australia”, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 Februari 2005)
42
69
Men-Teroris-Kan Tuhan!
produksi wacana yang menjadi kekecewaan masyarakat
untuk memobilisasi massa melawan rezim pemerintah.
Pengalaman dari sejumlah organisasi-organisasi atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak saja melakukan kerja ideologis menuntut keadilan tetapi mereka
juga mendapatkan insentif material dari pihak-pihak
yang berkepentingan untuk melakukan propaganda
berupa seminar, kajian publik, pemberitaan media
massa serta aksi jalanan. Beberapa organisasi kerap kali
melakukan program masyarakat yang belum tersentuh
oleh pemerintah, tidak saja melakukan kerja sosial tetapi
merupakan proses rekruitmen mobilisasi untuk menanamkan pesan-pesan atau ideologi gerakan.
Asef Bayat meminjam istilah komunitas terbayangkan (Imagined community) Benedict Anderson, memperkenalkan konsep solidaritas bayangan (Imagined
solidarity). Konsep ini digunakan Bayat untuk melihat
bagaimana individu-individu partisipan gerakan sosial
dengan latar belakang berbeda dan pikiran berbeda akan
tetapi memiliki kesamaan kekecewaan terhadap pemerintah sehingga mereka membentuk konsensus bersama
melakukan aksi kolektif.43 Solidaritas bayangan dalam
pandangan Bayat adalah konsensus bersama di antara
aktor-aktor gerakan sosial dalam menjunjung nilai-nilai
yang dijunjung bersama untuk diperjuangkan.
Oleh karena itu, struktur mobilisasi sebagai bagian
dari instrument gerakan sosial menjadi penting. Struktur mobilisasi tidak saja untuk memahami bagaimana
proses, model dan dinamika rekruitmen anggota dalam
gerakan, tetapi juga menjadi hal yang penting untuk
memahami gerakan sosial dalam spektrum Islam politik. Gerakan sosial Islam memiliki ciri khas tersendiri
Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory,” Third World
Quarterly, 26, 6, (2005), 891-908.
43
70
Gerakan Sosial & Terorisme
yang jarang dimiliki gerakan sosial lain di mana mereka
mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana
dan gerakan dengan penafsiran yang tendensius dan
radikal untuk memenuhi agenda politik mereka.
Di atas semua itu, pendekatan integratif gerakan
sosial merupakan upaya memahami gerakan sosial secara menyeluruh terintegrasi dalam tiga pendekatan
utama yaitu kesempatan politik, framing dan mobilisasi.
Dengan demikian, pemahaman terhadap gerakan sosial
tidak didapatkan secara terpotong-potong yang menimbulkan bias penafsiran.
B.Definisi dan Karakteristik Terorisme
Istilah terorisme akhir-akhir ini menjadi sering diucapkan dan didiskusikan dari berbagai kalangan, baik
pejabat pemerintah, akademisi, kaum ningrat hingga
masyakat biasa. Mereka membicarakan teroris dan
perkembangan. Wacana terorisme yang terus bergema
di kalangan masyarakat sejalan dengan munculnya
serangkaian aksi-aksi teror dengan pemberitaan media yang berlebihan. Media menjadikan tragedi teror
sebagai hard news di halaman pertama tidak saja untuk
mengejar rating media, tetapi juga dalam waktu bersamaan dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk menyampaikan pesan.44
Istilah teroris dalam masyarakat memiliki pengertian sederhana sebagai “musuh”. Pengertian seperti
ini sangat membumi di masyarakat. Hal ini bisa dilihat
dalam berbagai permainan anak-anak, teroris sering diNunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan
Media”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor I, (Juli
2004), 37-52.
44
71
Men-Teroris-Kan Tuhan!
asumsikan sebagai musuh yang harus dibunuh. Pengertian seperti ini tidak bisa dikatakan salah namun juga
tidak bisa dikatakan betul seluruhnya.
Persoalannya apakah masyarakat memahami betul
apakah terorisme itu. Terorisme cenderung dipahami
sebagai orang yang melakukan pengeboman di berbagai tempat misalnya, bom Bali, bom Kuningan, bom
Marriot dan bom WTC. Definisi terorisme tidak semudah itu, sejauh ini definisi terorisme belum ada kesepakatan di antara pakar atau ahli. Namun demikian, dapat
dipahami bahwa terorisme bukan sekedar peledakan
bom. Terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki makna sensitif karena mengakibatkan korban warga
sipil tidak berdosa.45
Terorisme adalah sebuah kata dan konsep yang
cukup polemik dan telah lama menimbulkan perbedaan
interprestasi dalam komunitas internasional. Definisidefinisi yang telah muncul kerap kali mengandung ambiguitas moral tentang apa itu terorisme. Kesulitan pendefinisian terorisme karena subyektifitas yang melekat.
Ada perbedaan yang kontras dalam berbagai persepsi
bagi mereka yang berkuasa, penonton, opini publik dan
korban atau pelaku.
Namun demikian, dalam dunia internasional ada
kesepakatan perjanjian-perjanjian tentang konsep terorTerorisme dalam lembaran sejarah manusia telah diwarnai oleh
tindakan-tindakan teror mulai dari perang psikologis yang ditulis
oleh Xenophon (431-350 SM), Kaisar Tiberius (14-37 SM) dan
Caligula (37-41 SM) dari Romawi telah mempraktekkan terorisme
dalam penyingkiran atau pembuangan, perampasan harga benda
dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (17581794) meneror musuh-musuhnya dalam masa Revolusi Perancis.
Setelah perang sipil Amerika terikat, muncul kelompok teroris
rasialis yang dikenal dengan nama Ku Klux Klan. Demikian pula
dengan Hitler dan Joseph Stalin.
45
72
Gerakan Sosial & Terorisme
isme di mana aspek eksternal aksi terorisme seperti
kekerasan terhadap individu, penyanderaan, pembunuhan dan penyerangan terhadap properti orang lain
merupakan kejahatan terorisme.46
Definisi terorisme hingga saat ini belum ada pemahaman yang digunakan secara universal. Meskipun
demikian, untuk memperoleh gambaran tentang terorisme maka penting kiranya untuk mengetahui suatu
definisi dari beberapa negara, lembaga atau para ahli
guna memperoleh pemahaman tentang terorisme secara
komprehensif.
Mengutip definisi yang diberikan oleh Departemen
Pertahanan Amerika Serikat, James JF Forest menuliskan
terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang telah diperhitungkan untuk memunculkan ketakutan; bertujuan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat untuk mencapai
tujuan politik, agama dan ideologi.47
Adapun Federal Bureau of Investigation (FBI) sebagaimana dikutip oleh Hendropriyono mendefinisikan
terorisme adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan
di luar hukum terhadap manusia dan harta benda untuk menakut-nakuti suatu pemerintahan, masyarakat
sipil atau elemen-elemen lain untuk mencapai tujuan
sosial politik.48 Definisi yang diberikan Departemen Pertahanan Amerika Serikat dan FBI ini mengindikasikan
cakupan motif terorisme sangat luas. Terorisme tidak
Gilbert Guillaume, “Terrorism and International Law.” The
International and Comparative Law Quarterly, Vol. 53, (Juli 2004), 537548. http://uniset.ca/terr/art/guilla (diakses 9 september 2013)
47
James JF Forest, ed., Countering Terrorism and Insurgency in the 21st
Century:International Perspectives, Vol 1-3 (London: Praeger Security
International, 2007), ix-x.
48
A.M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis, Kristen, Yahudi,
Islam (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), 27.
46
73
Men-Teroris-Kan Tuhan!
saja dilandaskan pada motif politik tetapi juga sosial
dan agama.
Indonesia mendefinisikan terorisme sebagaimana
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Seseorang dalam
pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok,
orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung
jawab secara individual atau korporasi.
Sementara itu, beberapa ahli memberikan definisi
tentang terorisme dan memberikan kategorisasi tindakan terorisme untuk mempermudah pemahaman terhadap pengertian terorisme. Paul Wilkinson dalam “The
Strategic Implications of Terrorism” menyatakan bahwa
terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.
Wilkinson menambahkan bahwa terorisme bukanlah
sebuah filsafat atau gerakan politik melainkan sebuah
senjata atau metode yang telah digunakan sepanjang
sejarah oleh agen negara atau kelompok sub nasional
untuk mencapai tujuan politik.49
Karakteristik terorisme menurut Wilkinson antara
lain, (a) direncanakan dan bertujuan untuk menciptakan
iklim ketakutan ekstrim atau teror; (b) diarahkan pada
khalayak yang lebih luas atau target langsung korban
kekerasan; (c) bersifat acak dan simbolik termasuk warga sipil; (d) tindakan kekerasan yang dilakukan terlihat
oleh masyarakat dan melanggar aturan norma sehingga
Paul Wilkinson, “The Strategic Implications of Terrorism,” dalam
M.L. Sondhi. Terrorism & Political Violence: a sourcebook (New
Delhi : Har-Anand Publications, 2000) 19. www.comw.org/rma/
fulltext/00sondhi.pdf (diakses 10 September)
49
74
Gerakan Sosial & Terorisme
masyarakat marah; (e) dan terorisme umumnya digunakan untuk mencoba untuk mempengaruhi perilaku
politik.
Jack Gibbs menyatakan bahwa terorisme adalah
suatu kejahatan atau suatu ancaman langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu.50 Ciriciri perbuatan yang bisa disebut sebagai aksi terorisme
menurut Gibbs merujuk pada hal-hal berikut ini; (1)
perbuatan dilaksanakan atau ditujukan dengan maksud untuk mengubah atau mempertahankan suatu nilai
atau ideologi (2) bersifat bawah tanah (3) tidak menetap
pada suatu area tertentu (3) tidak merupakan suatu bentuk perang karena mereka menyembunyikan identitas
mereka termasuk lokasi penyerangan, ancaman dan
pergerakan mereka (4) terorganisir secara sistematis
baik dalam aksi, gerakan dan ideologi (5) militan dalam
membela dan memperjuangkan suatu nilai atau ideologi yang dianggap benar tanpa memperhitungkan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan.
Terorisme menurut Bruce Hoffman adalah penciptaan eksploitasi ketakutan yang dilakukan dengan
sengaja melalui kekerasan atau ancaman kekerasan
dalam rangka mencapai perubahan politik.51 Dengan demikian, terorisme adalah paham penggunaan kekerasan
atau ancaman kekerasan yang dirancang secara khusus terorganisasi dan diharapkan dapat memiliki efek
psikologis untuk menanamkan rasa takut atau intimidasi secara luas dengan tujuan tertentu.
Jack P. Gibbs, “Concepualization of Terrorism”, American
Sosiological Review, Vol.54, No.3. (Juni.,1989) 329-340. http://
people.uncw.eduConceptualization%20of%20Terrorism%20
by%20Jack%20Gibbs.pdf (diakses 10 September 2013)
51
Bruce Hoffman, Inside Terrorism (New York: Columbia University
Press, 1998), 13-44.
50
75
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Efek psikologis ini digunakan untuk mengintimidasi
target suatu kelompok, negara, partai politik, agama
dan opini publik pada umumnya. Kekerasan yang digunakan dalam aksi terorisme diharapkan dapat memberikan pengaruh perubahan politik nasional maupun
dunia internasional. Oleh karena itu, karakteristik paling
mendasar dari terorisme menurut Hoffman adalah terorisme itu direncanakan, dihitung dan memang tindakan sistematis untuk mengejar kekuasan yang bersifat politik.
C.A.J. Coady mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan terorganisir untuk menyerang warga
sipil tak berdosa (innocent people) atau dalam arti khusus
properti mereka untuk tujuan politik.52 Coady menggunakan istilah agak berbeda dalam penyebutan target
serangan teroris sebagai innocent people. Istilah innocent
people digunakan oleh Coady dalam membandingkan
antara pengistilahan non-kombatan dengan orangorang tidak bersalah sebagai korban dari aksi terorisme.
Pengistilahan non-kombatan kurang tepat untuk
menyebut target terorisme karena non-kombatan juga
digunakan dalam teori perang dan hal ini jelas berbeda
karena aksi terorisme cenderung menjadikan target manusia yang tidak tahu menahu sebagai korban. Karena
itu, definisi terorisme dalam pandangan Coady lebih kepada political thriller (kekerasan politik).
Hudson menawarkan definisi terorisme sebagai aksi
yang tidak disangka terjadi di tempat umum dengan
target serangan orang atau kelompok non kombatan
serta terjadi pada situasi damai dan memiliki tujuan
psikologis untuk mendapatkan perhatian kalayak raC.A.J Coady, “Terrorism, Morality, and Supreme Emergency”
Ethics 114 ( Juli 2004), 772–789. www.kean.edu/~gkahn/PS4130/
Coady.pdf‎ (diakses 5 Oktober 2013)
52
76
Gerakan Sosial & Terorisme
mai.53 Hudson juga mengidentifikasi bahwa motivasi
tindakan teror disebabkan oleh situasi politik dan juga
masalah keagamaan untuk diperjuangkan.
Para pelaku teror biasanya dilakukan oleh kelompok
maupun agen-agen yang mempersiapkan secara cermat
dan tertutup. Selanjutnya Hudson menjelaskan bahwa
karakteristik terorisme atas dasar latar belakang politik
dan ideologi terdapat empat tipologi kelompok teroris,
yaitu: nasional-separatis, religius fundamentalis, religius baru, dan revolusi sosial.54
Nasional separatis merujuk pada kelompok teroris
yang melakukan penentangan terhadap pemerintahan
yang sah seperti kelompok pembabasan Macan Tamil
di Srilangka, IRA di Irlandia, etnis Kurdi di Turki. Religious fundamentalis merujuk pada kelompok terorisme
yang dilatarbelakangi oleh pamahaman fundamental
atas ajaran agama tertentu.
Adapun religius baru merujuk pada kelompok agama yang baru, dengan kata lain memiliki “Nabi” yang
juga baru yang memberikan doktrin kepada pemeluknya untuk melakukan tindakan teror dalam upayanya
menjalankan perintah langsung dari Tuhan sedangkan
revolusi sosial merujuk pada kelompok teroris yang
dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman sosial radikal terutama oleh ideologi Marxis-Leninis.
Tipologi tersebut diteliti Hudson berdasarkan biodata teroris yang tertangkap untuk mencari karakteristik
umum bagi para pelakunya. Namun demikian, metode
ini dianggap sangat kurang relevan, hal ini disebabkan
Rex A. Hudson, The Sociology and Psychology of Terrorism: Who
Becomes a Terrorist and Why? (Washington: Federal Research
Division, Library of Congress,1999), 20.
54
Rex A. Hudson, The Sociology and Psychology of Terrorism: Who
Becomes a Terrorist and Why?. 22-23
53
77
Men-Teroris-Kan Tuhan!
begitu beragamnya kasus terorisme baik dari bentuk
aksi, pengorganisasian, serta motivasinya.
Sementara itu Charles Tilly mendefinisikan “teror”
sebagai strategi politik yaitu ancaman dan kekerasan
secara asimetris terhadap musuh dengan menggunakan
cara-cara tidak lazim atau di luar bentuk perjuangan
politik secara institusional.55 Teror sebagai strategi politik dalam pandangan Tilly merupakan bentuk tindakan
intermiten atau kontinu yang dilakukan sebuah kelompok sebagai modus operasi khusus.
Definisi dan karakteristik yang beraneka ragam dari
berbagai perspektif tentang terorisme sangat sulit untuk
dapat memberikan pengertian secara subtansial tentang
apa itu terorisme. Terorisme telah ada dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman. Pengertian
terorisme memiliki sudut pandang sendiri bagi korban,
pelaku dan opini publik.
Karena itu, Walter Laquer mengemukakan bahwa
tidak ada definisi terorisme yang memungkinkan untuk
dapat mencakup segala macam aksi terorisme yang pernah muncul dalam kehidupan manusia bahkan Laquer
dengan tegas mengatakan definisi terorisme tidak akan
pernah ada dan tidak akan bisa diramalkan di masa
depan.56
Terorisme tidak bisa dikatakan sebagai sebuah peperangan baik perang gerilya, perang revolusioner
ataupun perang konvensional. Perang gerilya merupakan perang revolusioner yang menimbulkan kerusakan
fisik, perang konvensional menimbulkan kerusakan maCharles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists”, Sociological Theory,
Vol. 22, No. 1,(Maret 2004).
56
Walter Laquer, “Terrorism A Brief History”, Walter Laqueur. Web.
http://www.laqueur.net/index2.php?r=2&id=71 (diakses 5 Oktober
2013).
55
78
Gerakan Sosial & Terorisme
nusia maupun materi, sedangkan terorisme cenderung
menimbulkan kerusakan secara psikologis.
Oleh karena itu, terorisme tidak bisa dikatakan sebagai konsep perang karena ia tidak memiliki unsurunsur dalam sebuah peperangan. Meskipun demikian,
kesulitan menemukan definisi terorisme bukan berarti
terorisme tidak dapat dipelajari hingga ditemukan
definisi yang tepat tentang apa itu terorisme.
Kemunculan terorisme telah ada dalam lintasan sejarah kehidupan manusia dan berkembang seiring perubahan zaman. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi
kemunculan terorisme yang melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, politik, hukum, kriminologi
dan ilmu lainnya. Dinamika perubahan zaman melahirkan strategi baru tentang aksi dan pola terorisme serta
motif yang berubah sehingga sulit untuk mendefinisikan terorisme secara universal. Keberagaman arti terorisme menunjukan bahwa definisi terorisme bersifat subyektif hanya pribadi seseorang yang dapat menentukan
bahwa sesuatu itu terorisme atau bukan.
Namun demikian, pengertian terorisme setidaknya
memuat tiga variabel yang saling terhubung yaitu tujuan politik, tindakan kekerasan tanpa pilih dan komunikasi suatu pesan. Tujuan politik mengandung maksud
bahwa aksi terorisme merupakan bentuk politik penentangan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan atau musuh.
Tindakan kekerasan merupakan konse-kuensi dari
aksi terorisme. Kekerasan bisa terjadi tanpa teror tetapi
tidak ada teror tanpa kekerasan. Hal ini menjadi ciri yang
membedakan kejahatan terorisme dengan kejahatan biasa.57 Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang diNoorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
57
79
Men-Teroris-Kan Tuhan!
landaskan pada ide dan pikiran. Tidak disebut terorisme
jika dilakukan tidak secara sistematis dan terorganisir.
Adapun variabel terakhir yaitu aksi terorisme merupakan strategi penyampaian pesan. Aksi terorisme seperti teror bom merupakan sarana untuk menyampaikan
pesan dan merupakan senjata paling lemah oleh kelompok atau individu yang tidak berdaya untuk melakukan
perubahan yang dikehendaki. Karena itu, tindakan teror
dilakukan dalam rangka menimbulkan efek psikologis
agar tuntutan dan tujuannya didengar oleh pemerintah, penguasa atau masyarakat dunia. Pada titik ini ada
hubungan simbiosis antara media massa dan teroris. Di
satu sisi, pihak media mendapatkan berita aktual tetapi
di pihak kelompok teroris dimanfaatkan sebagai sarana
menyampaikan pesan yang dapat menimbulkan efek
psikologis.
Di atas semua itu, pengertian terorisme dapat disimpulkan sebagai paham penggunaan kekerasan sebagai
bentuk politik penentangan dalam rangka mencapai tujuan politik.
Selanjutnya, pasca serangan teror 11 September
2001. Ada pergeseran paradigma terorisme yang mengarah kepada terorisme keagamaan. Terorisme tidak
lagi sekelompok organisasi atau individu yang bersifat
sekuler baik dalam klaim, tujuan dan wacana aksi. Pada
dekade sekarang ini terorisme bermakna agama dan
Islam menjadi sorotan dunia karena dalam beberapa
kasus teror di mana para aktor, individu dan organisasi
yang terlibat dalam serangan terorisme dilakukan oleh
kelompok Islam.
Geneologi, dan Teori (Yogjakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga,
2012),23.
80
Gerakan Sosial & Terorisme
Terorisme berbasis Islam adalah paham penggunaan
kekerasan untuk tujuan politik dengan mengusung simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan. Hal
ini bisa dilihat dalam deklarasi jihad Osama bin Laden
pada tahun 1998 yang telah menabuh genderang perang
bertajuk “Front Dunia Islam untuk Berjihad Melawan
Kaum Yahudi dan Salibis”.58 Penggunaan simbol-simbol
Islam dalam deklarasi jihad Osama bin Laden semakin
menemukan relevansinya dalam al-Qur’an di mana
jika dipahami secara tekstual akan menemukan pembenaran. Misalnya dalam Q.S al-Baqarah: 120, berikut ini:
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”.
Demikian pula dengan para pelaku teror bom Bali.
Dalam laporan berita acara pemeriksaan tersangka
Imam Samudra misalnya, ia terinspirasi oleh ayat tersebut sehingga mengatakan bahwa tindakan teror di Bali
merupakan bagian dari jihad global terhadap kaum
Yahudi dan Nasrani di seluruh bumi negara-negara
Muslim.59
Kekerasan dalam aksi terorisme berbasis Islam seringkali dipoles atas nama jihad. Jihad dimaknai perang terhadap orang-orang kafir. Kata jihad sendiri berasal dari
kata bahasa Arab di mana secara etimologis yaitu dari
kata kerja jahada-yajhadu-jahdan-ijtihadan yang memiliki
Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda, Global Network of Terror (New
York: Berkley Publishing Group, 2003), 45.
59
Lihat selanjutnya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) a.n.
Imam Samudra, tanggal 28 November 2002.
58
81
Men-Teroris-Kan Tuhan!
arti bersungguh-sungguh.60 Adapun secara definisi, jihad berarti melakukan yang terbaik untuk menegakkan
hukum Allah, membangun dan menyebarkannya.61
Namun saat ini, istilah jihad lebih banyak dikonotasikan dengan serangkaian tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok muslim garis keras (hard liner) dalam
upaya melawan pihak-pihak yang dianggap mendzalimi umat Islam. Kelompok jihadis meyakini bahwa
kehidupan dunia sekarang ini serat akan pengingkaran
terhadap hukum Allah. Karena itu, perjuangan melakukan perubahan dengan jalan kekerasan menjadi suatu
kewajiban bagi tiap-tiap individu. Pada titik inilah mereka merumuskan konsep jihad sebagai alat pembenaran
terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan.
Christopher Coker sebagaimana dikutip oleh Jeffrey
B. Cozzens mengungkapkan bahwan tujuan utama
dari gerakan global jihad adalah “instrumental” dan
“expresive”.62 Tujuan instrumental adalah strategi politik untuk mengusir pendudukan Amerika di negara-negara Islam, menjatuhkan rezim yang otoriter terhadap
Islam serta membangun khilafah Islam yang membentang dari Asia Tenggara hingga Spanyol.
Adapun tujuan ekspresif adalah menjamin keberlangsungan semangat perlawanan, kewajiban individu
terhadap musuh Islam, pelembagaan budaya martir,
jihad sebagai bagian dari identitas Islam, membangun
solidaritas Islam, menciptakan kesengsaraan terhadap
Ibn Manzu>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz III (Bairut: Dar Sadr, TT), 133.
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan
Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2007), 11.
62
Jeffrey B. Cozzens, “The Culture of Global Jihad: Character, Future
Challenges and Recommendations”, International Centre for the
Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR), (Oktober 2008),
6. www.edenintelligence.com/events/JeffCozzensPaper.pdf‎
60
61
82
Gerakan Sosial & Terorisme
kaum Yahudi dan Salibis, memperoleh kemenangan
Islam dan mendapatkan pahala dari aksi jihad.
Pemahaman terorisme dewasa ini yang cenderung
dipahami sebagai konsep keagamaan merupakan bagian dari hegemoni wacana terorisme yang digerakkan
Amerika pasca serangan 11 September 2001. Terorisme
jelas bukan merupakan gejala keagamaan tetapi ia merupakan konsep politik. Terorisme mengandung motif
dan tujuan politik, klaim politik dan perjuangan politik.
Karena itu, terorisme lebih mirip dengan gerakan politik
penentangan terhadap paradoks-paradoks kehidupan.
Di atas semua itu, fenomena terorisme telah menjadi
musuh masyarakat global karena secara nyata telah menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan.
Karakter umum dari terorisme adalah menghalalkan
serta membenarkan kekerasan dan pada tingkat tertentu menghilangkan banyak nyawa tanpa memandang
siapa korbannya, hal ini berarti merampas hak asasi manusia melalui aksi yang mengarah kepada tindakan anti
kemanusiaan.
C.Terorisme sebagai Gerakan Sosial
Terorisme adalah bentuk politik penentangan (contentious politics). Politik penentangan merupakan sintesis
terakhir dari pendekatan integratif dalam teori gerakan
sosial yaitu kesempatan politik, framing dan mobilisasi.63 Pendekatan integratif teori gerakan sosial melihat
gerakan politik penentangan sebagai bagian dari kekecewaan yang bermetamorfosis menjadi mobilisasi penentangan yang disertai dengan kekerasan. PemahamMcAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly, Dynamics of Contention,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004),124-190.
63
83
Men-Teroris-Kan Tuhan!
an terorisme sebagai politik penentangan akan dapat
membantu mengungkap strategi atau taktik, gerakan
dan aktor-aktor yang terlibat dalam lingkaran gerakan
terorisme.
Charles Tilly memberikan definisi terorisme adalah
strategi dan model penentangan dalam perjuangan politik.64 Terorisme sebagai gerakan politik penentangan,
aksi terorisme dilakukan atas dasar pilihan rasional,
terorganisasi dan memiliki tujuan.65 Kekerasan politik
yang melekat dalam aksi terorisme merupakan bentuk
politik penentangan yaitu tantangan kolektif sebagai
strategi oleh mereka yang tidak berkuasa atau lemah
yang didasarkan atas solidaritas sosial untuk mencapai
tujuan dan bagian dari strategi untuk menentang elite,
musuh dan otoritas penguasa.66 Dalam konteks inilah
pentingnya melihat bahwa aksi terorisme seperti bom
bunuh diri dengan target orang-orang tidak berdosa dilakukan atas dasar pilihan rasional untuk mencapai tujuan bukan sekedar ekspresi kekecewaan akibat frustasi.
Oleh karena itu, pada bagian ini penulis memberikan
penjelasan bagaimana gerakan terorisme bisa dikatakan
sebagai gerakan rasional dan sosial. Terorisme sebagai
gerakan sosial setidaknya dapat dijelaskan atau dipahami dalam dua aspek yang melekat dalam aksi-aksi
gerakan terorisme. Dua aspek tersebut adalah pilihan
rasional dan mobilisasi. Dua aspek tersebut menjadi pertimbangan rasional untuk mengatakan bahwa gerakan
Charles Tilly, “Terror, Terrorism, Terrorists”, Sociological Theory.
5-6.
65
Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An
Introduction, Second Edition (Oxford:Blackwell Publishing, 2006),19.
66
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movement and Contentious
Politics, Second Edition. (Cambridge: Cambridge University
Press,1998),1-6.
64
84
Gerakan Sosial & Terorisme
terorisme bukan merupakan gejala frustasi atau gangguan kejiwaan yang tidak memiliki landasan jelas.
Aksi-aksi terorisme berangkat dari pemahaman
strategis yang telah diperhitungkan secara matang, sistematis dan terorganisir. Terorisme sebagai aksi gerakan
sosial merupakan upaya memahami bahwa partisipan
yang terlibat dalam organisasi teroris merupakan individu rasional yang bergabung dalam rangka menyuarakan aspirasi secara kolektif dengan cara kekerasan atau
teror ketika sumber daya yang dimiliki memiliki keterbatasan.
Namun demikian, mobilisasi atau kolektifitas dalam
gerakan terorisme dilakukan secara klandestin atau
bawah tanah karena politik kekerasan yang melekat
di dalamnya. Hal inilah yang membedakan terorisme
dengan gerakan sosial pada umumnya.
1. Pilihan Rasional
Paradigma pilihan rasional (rational choice) telah
memberikan teoritisasi yang signifikan sehubungan
dengan bertumbuhnya aksi-aksi gerakan sosial. Paradigma ini menawarkan sebuah gagasan bahwa aksiaksi gerakan sekalipun ia cenderung ekstrimis, bukan
merupakan ekspresi mentalitas sekelompok orang yang
irasional atau bentuk anomie dan deprivasi, melainkan
sebaliknya sebagai aksi rasional dengan pertimbangan
kalkulasi strategis untuk mencapai tujuan.
Mancur Olson sebagai sarjana yang mengembangkan
paradigma pilihan rasional menjelaskan bahwa sebuah
insentif dalam keterbukaan sistem politik akan memberikan stimulasi seorang individu terlibat di dalam kelom-
85
Men-Teroris-Kan Tuhan!
pok organisasi gerakan dengan pertimbangan strategis.67
Aspek rasional yang dikembangkan oleh Mancur Olson
memberikan perspektif sudut pandang untuk melihat
aksi kolektif dalam konteks kalkulasi untung rugi.
Pertimbangan rasionalitas dilakukan jika para partisipan atau individu yang terlibat di dalam aksi gerakan
telah memiliki kesepakatan tentang ukuran sebuah rasionalitas. Ukuran rasionalitas merupakan konstruksi
sosial yang tergantung pada bagaimana para partisipan mengenali dirinya sendiri, mengetahui aksi yang
dilakukan dan mengenali lingkungan di luar dirinya
sehingga dapat memperhitungkan sejauh mana keberhasilan aksi-aksi penentangan dilakukan.
Lebih dari itu, Olson memberikan pemahaman
kepentingan-kepentingan para aktor gerakan bisa dirumuskan secara rasional untuk mencapai suatu common
interest, dan memang keberadaan kekuatan kelompok
kepentingan ini sangat signifikan. Namun demikian,
keadaan ini sangat ditentukan sejauh mana situasi dan
kondisi dapat dimanfaatkan oleh para aktor dengan pertimbangan faktor jumlah partisipan yang terlibat, insentif dan unsur paksaan dalam aksi gerakan.
Dalam perspektif ini, maka gerakan terorisme harus
dipahami sebagai sebuah strategi di dalam sekelompok
orang atau organisasi dengan pertimbangan untung
rugi guna mencapai tujuan. Aksi-aksi teror yang identik dengan kekerasan sesungguhnya dilakukan bukan
tanpa alasan, bukan juga sebuah perilaku menyimpang
yang tida bisa dipertanggungjawabkan. Mereka para
pelaku teror sadar akan pilihan-pilihan yang diambil, meskipun harus menghilangkan nyawa sekalipun.
Mancur Olson, the Logic of Collective Action: Public Goods and The
Theory of Groups (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976),
60-61.
67
86
Gerakan Sosial & Terorisme
Gerakan terorisme merupakan pilihan rasional dari sebuah gerakan politik perlawanan atau penentangan untuk mencapai tujuan.
Penjelasan pilihan rasional dalam konteks gerakan
terorisme memberikan pemahaman pada korelasi antara
teroris dan target teror. Sementara para aktor terorisme
melancarkan serangan, dan saat bersamaan target teror
juga bergerak seiring dengan adanya serangan teror.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara
teroris dan target teror dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik-kepentingan, dan pola interaksi di antara
keduanya. Teroris maupun target teror dipandang sebagai aktor rasional dan strategis. Mereka rasional dalam
arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya
dan semua tindakannya mencerminkan tujuan mereka.
Mereka strategis dalam arti pilihan tindakan mereka
dipengaruhi oleh langkah yang sudah dan yang akan
dilakukan aktor lainnya yakni lawan dan hambatanhambatan sehubungan dengan serangan teror yang
melahirkan kebijakan kontra terorisme.68
Robert Pape memberikan bukti petunjuk bagaimana
aksi teror dalam bentuk bom bunuh diri dilakukan
dengan pertimbangan strategis.69 Pape melakukan penelitian 315 kasus teror bom bunuh diri di seluruh dunia
dari tahun 1980-2003. Menurut Pape, serangan bom
bunuh diri adalah senjata terakhir yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya dengan
tujuan utama mengusir tentara yang menduduki
Anies Rasyid Baswedan, “Menganalisa Terorisme: Kultural
dan Rasional”, Senin, 11 Agustus 2008. http://aniesbaswedan.
blogspot.com/2008/08/menganalisa-terorisme-kultural-dan.html
(diakses 10 November 2013)
69
Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide Terrorism
(New York : Random House, 2005).
68
87
Men-Teroris-Kan Tuhan!
wilayah-wilayah tertentu yang dianggap para sponsor
aksi terorisme sebagai tanah air mereka.70 Terorisme
dalam bentuk bom bunuh diri dalam perspektif Pape
merupakan pilihan rasional dengan pertimbangan
strategis nasionalisme mengusir pendudukan Amerika.
Temuan Pape ini menjadi penting untuk menguji tesis
apakah benar ada keterkaitan antara terorisme dan gerakan sosial, sekaligus memberikan petunjuk bagaimana aksi-aksi teror dilakukan dengan kalkulasi untung
rugi. Aksi bom bunuh diri meskipun harus menghilangkan nyawa sendiri merupakan pilihan rasional bagi
sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Dimensi
sosial budaya dalam hal ini lingkungan di mana para
aktor terlibat wacana di dalamnya ikut menentukan
ukuran rasionalitas sehingga apapun cara biarpun tidak
mengenal kompromi, usaha-usaha dalam mencapai
tujuan akan dilakukan.
Penelitian Pape ini menunjukkan bahwa aksi bom
bunuh diri sebagai serangan teror merupakan upaya
“interaksi” dengan target teror yakni Amerika agar memenuhi tuntutan mereka. Korelasi hubungan keduanya
memandang pilihan bom bunuh diri merupakan strategi
rasional untuk mencapai tujuan dan konsisten dilakukan. Pilihan bom bunuh diri merupakan implikasi dari
tindakan teror sebelumnya yang kemungkinan kurang
dipahami. Dalam hal ini, pilihan bom bunuh diri dapat dipahami sebagai senjata terakhir bagi sekelompok
atau organisasi yang terlibat dalam perlawanan ketika
ketidakberdayaan menghadapi Amerika dan sekutunya.
Robert Brym dalam “What is the relationship between
terrorism and social movement” memberikan dukungan
terhadap tesis Pape. Robert Brym memberikan catatan
Robert A. Pape, Dying To Win: The Strategic Logic Of Suicide
Terrorism. 21.
70
88
Gerakan Sosial & Terorisme
bahwa pertimbangan strategis, kekuatan budaya, opini
publik, dan tanggapan emosional terhadap pendudukan tentara Amerika melahirkan solidaritas sosial untuk
menghasut beberapa anggota untuk terlibat dalam
serangan bunuh diri.71
Oleh karena itu, Robert Brym memandang, aksi terorisme bom bunuh diri adalah strategi yang digunakan
oleh suatu gerakan sosial dalam keadaan lemah sebagaimana strategi yang digunakan oleh aktivis gerakan
sosial untuk memunculkan tanggapan dari pihak berwenang. Strategi serangan bunuh diri maupun bentukbentuk tertentu merupakan upaya untuk mencapai tujuan yang dilakukan atas dasar pilihan rasional.
Noorhaidi Hasan menjelaskan konteks situasional sosial politik menjadi pertimbangan rasional untuk melahirkan gerakan. Dalam hal ini kemunculan Laskar Jihad
mengambil momentum di saat runtuhnya rezim otoriter
Orde Baru sebagai pertimbangan rasional dan saat
bersamaan menemukan momentumnya sehubungan
dengan meletusnya konflik Ambon-Poso.72
Laskar Jihad atau gerakan semacamnya menunjukkan kalkulasi strategis para aktor gerakan di mana
ada saatnya gerakan Islam bergerak secara klandestin
untuk menghindari represi rezim. Namun sebaliknya
ketika situasi politik berubah, mereka berubah haluan
dari gerakan dakwah ke pola kekerasan ketika situasi
politik memungkinkan. Hal ini menunjukkan pilihan
pada bentuk gerakan merupakan pilihan dengan perRobert Brym, “What is the relationship between terrorism and
social movement”, mobilizingideas, (2 April 2012).
72
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militancy, and the Quest for
Identity in post-New Order Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia
Program, 2006).
71
89
Men-Teroris-Kan Tuhan!
timbangan peluang dan hambatan sehubungan dengan
keberlangsungan dan keberhasilan aksi gerakan.
Gerakan Dakwah yang meningkat di masa rezim
otoriter Suharto mencerminkan bagaimana aktivis Islam
harus mengambil langkah strategis dan rasional sehubungan dengan perlakuan represif dari rezim pemerintah terhadap kegiatan Islam politik. Lebih dari itu, di
masa Orde Baru gerakan Islam memilih jalan strategis
dengan meninggalkan tempat kelahiran yang dipahami sebagai hijrah, dan pada saat bersamaan mencoba
memobilisasi dukungan terhadap dunia internasional
dengan mengikuti program mujahidin Afghanistan.
Pasca tumbangnya rezim Orde Baru mereka mengambil langkah strategis dan rasional untuk kembali menyuarakan tuntutan Islam politik. Gerakan dakwah kemudian mengambil kebijakan revitalisasi Islam politik
di ruang publik dan memiliki kecenderungan radikal
hingga ke tahap aksi terorisme.73 Mereka mengusung
simbol-simbol Islam dalam aksi, wacana dan gerakan.
Dari perspektif ini, gerakan terorisme di Indonesia
merupakan gerakan rasional dengan pertimbangan
strategis. Gerakan-gerakan terorisme di Indonesia dari
gerakan DI/TII hingga gerakan Jamaah Islamiah (JI)
merupakan sekumpulan individu-individu yang memiliki kesadaran atas apa yag mereka lakukan. Ada
pertimbangan-pertimbangan strategis pilihan memilih
jalan anti-sistem dalam menyuarakan aspirasinya.
Gerakan terorisme berbasis Islam dengan memilih jalan
anti-sistem atau non-institusional karena keterbatasan
akses sumber daya dan ketidakmampuan para elite politik Islam dalam mengambil langkah politik bagi umat
Islam serta memanfaatkan momentum yang tersedia.
M. Imdaddun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005).
73
90
Gerakan Sosial & Terorisme
Gerakan DI/TII misalnya, ketidakmampuan elite politik Islam dalam perundingan ideologi negara membentuk konsensus di antara individu-individu yang merasa
dirugikan untuk melakukan perlawanan. Perlawanan
dalam bentuk gerakan teroris atau pemberontakan merupakan pilihan strategis akibat konstruksi realitas lingkungan sosial politik yang menciptakan insentif bagi
terselanggaranya aksi-aksi kekerasan, radikal dan terorisme. Gerakan terorisme dalam hal ini dipahami sebagai
jalan untuk menyampaikan aspirasi disaat elite politik
Islam tidak berdaya, baik dalam perundingan ideologi
negara maupun perundingan perjanjian dengan pihak
penjajah Belanda (baca: perjanjian Renville dan Linggar
Jati). Dua pertimbangan ini menjadi pilihan rasional
mengapa Kartosuwiryo sebagai pimpinan gerakan DI/
TII mengambil jalan perlawanan bersenjata.
Pilihan Kartosuwiryo dalam menggalang gerakan
perlawanan bersenjata bukan tanpa pertimbangan strategis. Keberadaan elite politik Islam dalam jalur kelembagaan tidak mampu sementara elite politik dari kelompok nasionalis cenderung meminggirkan kalangan Islam
politik. Di sisi lain, visi politik Kartosuwiryo yang anti
kolonialisme memberikan landasan rasional untuk
mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat
mengingat pemerintah membiarkan Belanda menguasai
wilayah Jawa Barat. Karena itu, Gerakan DI/TII harus
dipahami dalam bingkai rasional bukan dipahami secara kultural yang menekankan pada aspek agama sebagai motif di balik gerakan DI/TII. Agama dalam hal
ini hanya menjadi landasan motifasional dan mobilisasi
dukungan bagi kelompok-kelompok Islam yang merasa
terpinggirkan.
Begitu juga dengan gerakan JI, aksi-aksi serangan
peledakan bom di beberapa tempat merupakan pilihan
91
Men-Teroris-Kan Tuhan!
rasional dengan beberapa pertimbangan. Serangan
teroris yang ditujukan kepada simbol-simbol Amerika
dan sekutunya menujukan korelasi bagaimana serangan
teroris dan target teror mengambil kebijakan. Bagi pihak
pertama menuntut adanya interaksi berupa tuntutan kepada target teror, sementara dipihak sasaran teror memberikan kebijakan seiring dengan tuntutan kelompok
teroris.
Lebih dari itu, di abad teknologi dengan ditandai
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Gerakan terorisme mencoba mengambil keuntungan untuk membawa identitas Islam di ruang
publik ketika saat bersamaan hegemoni Barat memanfaatkan kemajuan teknologi berusaha menguasai sendisendi kehidupan manusia. Dalam hal ini wacana global
jihad memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membawa atau melawan hegemoni barat di ruang publik.74
Karena itu, pemahaman rasional dalam memandang
gerakan teroris harus dipahami sebagai gerakan penentangan untuk mencapai tujuan. Dari perspektif ini juga
dapat dipahami sebagai langkah strategis bagi program
kontra terorisme, artinya pemahaman rasional terhadap
aksi terorisme memandang aktor teroris adalah rasional.
Mereka menyampaikan tuntutan dengan cara kekerasan
sehubungan dengan ketidakmampuan mereka menghadapi musuh atau lawan.
Pertimbangan strategis dalam aksi terorisme dapat
juga dipahami dari adanya perubahan pola serangan.
Pola target terorisme belakangan ini yang cenderung
berubah mengindikasikan adanya kalkulasi strategis
A. Safril Mubah, “The Symbiosis of Globalization and Terrorism:
Revealing the Relations of Globalization and Terrorism in the
Contemporary Era” Journal Unair, Volume 3, Nomer 2, (2011), 5157.
74
92
Gerakan Sosial & Terorisme
sehubungan dengan melemahnya sumber daya, baik
sumber daya anggota atau sumber daya finansial.
Serangan teror yang ditujukan kepada institusi pemerintahan khususnya anggota Polri, menunjukkan bahwa
keterbatasan sumber daya menjadi perhitungan untung
rugi bagaimana harus memilih pola serangan. Serangan
dengan pola penembakan terhadap anggota polisi merupakan pertimbangan rasional karena tidak membutuhkan biaya banyak daripada harus menggunakan bom
dengan biaya tinggi untuk menghasilkan bom dengan
kekuatan daya ledak besar.
Pola serangan ini juga menunjukkan upaya balas
dendam sehubungan banyaknya anggota gerakan terorisme ditangkapi dan mati tertembak oleh aparat kepolisian khususnya Densus 88.75 Dari perspektif ini maka
menjadi rasional jika pola serangan cenderung sporadis tidak terkontrol. Di samping itu, target serangan
terhadap institusi pemerintahan juga dapat dipahami
sebagai langkah strategis sebagai upaya protes atau
penentangan terhadap pemangku kebijakan atas kegagalan menjalankan amanah rakyat.
Pada sisi lain para elite politik Islam juga gagal membawa aspirasi umat Islam. Hal ini bisa dilihat bagaimana perkembangan dan pertumbuhan kejahatan korupsi
oleh para elite pemerintah pasca reformasi, baik dilakukan oleh kelompok nasionalis atau Islam politik yang
tergabung dalam partai politik Islam. Dari perspektif ini
menunjukan adanya korelasi antara pola serangan teroris dan target teror yang “mendialogkan” kondisi-konsidi
tersebut dengan saluran non-institusional alias aksi teror.
Lihat sepak terjang prestasi Densus 88 dalam menumpas gerakan
terorisme dalam Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover
Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror
(Yogyakarta:Penerbit Narasi, 2010), 89-90.
75
93
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Dalam perspektif pilihan rasional, terorisme merupakan gerakan yang berangkat dari emosi, gagasan,
dan aktivitas yang saling terhubung melahirkan sebuah
gerakan terorisme. Teroris tidak dilahirkan dalam ruang
hampa. Terorisme merupakan produk sebuah kondisi
sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak stabil
sehingga melahirkan mobilisasi perseteruan melakukan
penentangan yang terdiri dari berbagai macam latar belakang lapisan simpatisan untuk menjadi bagian dari
sebuah gerakan.
Para partisipan gerakan terorisme juga bukan merupakan korban “cuci otak” sebagai bagian dari pola
rekruitmen terorisme. Pemahaman seperti ini tidak seratus persen benar mengingat para aktor terorisme adalah
orang yang rasional bahkan memiliki kecerdasan.76 Fakta dari beberapa teroris yang sudah tertangkap adalah
orang-orang yang berpendidikan tinggi, ada dari UGM,
ITB, UIN dan sebagainya. Ada yang ahli teknis, ada yang
ahli kedokteran hewan, sehingga harus dipahami bahwa bom bunuh diri bukan karena frustrasi melainkan
sebuah gerakan politik penentangan atas ketidakadilan
sehingga memaksa mereka untuk melakukan pengorbanan yang ideal sebagai upaya tuntutan perubahan.
Dalam perspektif ini, Asef Bayat menjelaskan kondisi
tersebut dengan istilah imagined solidarity (solidaritas terbayang) yaitu adanya solidaritas bersama untuk membayangkan secara subyektif nilai-nilai dan kepentingan
yang harus diperjuangkan.77 Karena itu, terorisme dalam
Lihat profil para tersangka teror bom Bali di mana mereka
bukanlah individu yang mengalami gangguan jiwa tetapi aksi teror
merupakan pilihan rasional ketika mengalami ketidakberdayaan
untuk melakukan perubahan dalam Sarlito Wirawan Sarwono,
Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2012), 8-43.
77
Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory”, Third World
76
94
Gerakan Sosial & Terorisme
konteks Islam atau terorisme berbasis Islam sering menggunakan simbol-simbol Islam dengan mengusung ide
atas nama solidaritas muslim mereka melakukan propaganda mengandaikan musuh-musuh Islam.
Pengandaian musuh dalam hal ini merupakan proses
dari penafsiran (framing) untuk memuluskan jalan dan
tujuan. Simbol Islam merupakan strategi wacana untuk
membawa Islam di ruang publik dan saat bersamaan
dijadikan tawaran sebagai solusi terhadap ketidakberdayaan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang memenuhi prinsip-prinsip good governance.
Di atas semua itu, dalam rangka pencegahan tindakan
terorisme. Pihak-pihak yang menjadi target atau sasaran
teror mestinya mengambil langkah kebijakan rasional
dengan mempertimbangkan kondisi yang memunculkan.
Pemahaman kultural dengan mengedepankan aspek
agama sebagai motif di balik aksi terorisme berbasis
Islam hanya kecil kemungkinan untuk mendapatkan
solusi. Penjelasan kultural semacam itu hanya akan
membuat kekaburan terorisme sebagai gejala sosial.
2. Mobilisasi Gerakan
Studi gerakan sosial sebagaimana telah dibahas
dalam bab sebelumnya menekankan pentingnya dimensi mobilisasi sumber daya di dalam pengorganisasian
keberlangsungan aksi gerakan sosial. Gerakan terorisme
sebagaimana gerakan sosial lainnya, dimensi mobilisasi
memainkan peranan penting dalam keberlangsungan
dan keberhasilan aksi terorisme. Mobilisasi individu ke
dalam gerakan terorisme berlangsung secara ekslusif
dalam lingkungan tertutup.
Quarterly, 26,6 (2005).891-908.
95
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Mobilisasi sumber daya berfungsi sebagai sarana
atau wahana kolektif, baik formal maupun informal, di
mana individu-individu dimobilisasi dan terlibat aktif
dalam aksi gerakan.78 Mobilisasi sumber daya mencakup
upaya-upaya rekruitmen partisipan untuk terlibat di
dalam organisasi gerakan dan upaya-upaya mobilisasi
sumber pendanaan. Keberhasilan mobilisasi individu
terlibat dalam jejaring gerakan terorisme sangat ditentukan bagaimana isu-isu dimainkan dalam bentuk pembingkaian yang dapat bergaung di antara para anggota
gerakan.
Dalam konteks gerakan terorisme, aksi terorisme memerlukan perencanaan yang matang. Para aktor gerakan terorisme membutuhkan biaya besar dalam rangka
melangsungkan kegiatan terorisme serta membutuhkan
waktu relatif lama untuk mempersiapkan individu sebagai anggota kelompok teror dalam proses rekruitmen
anggota gerakan. Di samping itu, organisasi gerakan terorisme membutuhkan persiapan sumber pendanaan
untuk menjalankan keberlangsungan gerakan, baik sumber pendanaan secara legal maupun illegal yang juga
membutuhkan resiko besar.
Gerakan DI/TII Kartosuwiryo misalnya, mereka memobilisasi individu atau kelompok ke dalam organisasi
gerakan membutuhkan waktu dan momentum yang
tepat. Daud Beureuh, Kahar Muzakkar, Amir Fatah
dan lain-lain masuk dalam gerakan DI/TII dimobilisasi
dengan skema pembingkaian atas keluhan-keluhan
yang mereka hadapi. Karena itu, mobilisasi sumber
daya kerap kali memanfaatkan keluhan atau kekecewaan dari para individu-individu untuk terlibat aktif
di dalamnya. Begitu juga dengan gerakan Komando
Jihad, para aktor gerakan Komando Jihad memobilisasi
McAdam, McCarthy & Zald , eds., Comparative Perspektive, 3.
78
96
Gerakan Sosial & Terorisme
para anggota gerakan DI/TII di tahun 1976 dengan
skema pembingkaian akan kebangkitan komunisme di
Indonesia setelah perang Vietnam. Hal yang sama juga
terjadi dalam gerakan JI, mereka menggaungkan global
jihad akibat hegemoni Barat terhadap negara-negara
Islam sebagai skema menarik individu di dalam lingkaran gerakan terorisme.
Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya mobilisasi
individu dalam lingkaran gerakan terorisme tidak selalu bermula dari ideologi. Mobilisasi dilakukan dengan
membingkai wacana ketidakadilan dengan narasi yang
beresonansi dalam dinamika politik identitas yang serat
dengan sentimen atau emosi lokal. Karena itu, keluhankeluhan atau kekecewaan kerapkali menjadi alat para
aktor gerakan untuk melibatkan individu terlibat dalam
gerakan terorisme.
Bentuk-bentuk mobilisasi sebagaimana disebut di
atas merupakan pola umum yang sering dipakai oleh
gerakan sosial pada umumnya. Mereka menciptakan
skema penafsiran yang bergaung agar meyakinkan para
individu-individu terlibat secara aktif dalam organisasi
gerakan. Namun demikian, mobilisasi dalam gerakan
sosial bawah tanah seperti terorisme, proses rekruitmen anggota gerakan berlangsung secara tertutup dan
ekslusif. Pada umumnya mobilisasi dilakukan melalui
jaringan perkawanan, kekeluargaan dan komunitas.79
Proses rekrutmen jaringan teroris dilakukan pada
kalangan pemuda yang baru beranjak dewasa. Kelompok umur ini sangat potensial direkrut karena belum
memiliki kepribadian yang kuat dan tengah mencari
tokoh panutan. Dalam lanskap persoalan sosial politik
yang menyertainya, peluang anak-anak muda terlibat
“Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan
Australia”, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 Februari 2005).
79
97
Men-Teroris-Kan Tuhan!
dalam lingkaran terorisme dan kekerasan sangatlah terbuka lebar. Apalagi mobilisasi gerakan terorisme telah
tumbuh di mana-mana seperti, di sel-sel rahasia sekolah,
kampus, majalah dan internet.
Organisasi gerakan terorisme dengan segenap sumber daya yang dimiliki masuk ke dalam sistem tersendiri
dan mengidentikkan dirinya dengan kepentingan umat
Islam secara keseluruhan. Mereka melakukan aksi teroris secara legal organisatoris dan aturan hukum di dalam
batasan yang ditentukan oleh sistem untuk mencapai tujuan bersama secara kolektif. Kolektif bawah tanah yang
dimainkan organisasi gerakan terorisme merupakan sebuah strategi dan taktik menghindari tindakan represif
rezim pemerintah.
Karakteristik yang melekat dalam gerakan terorisme pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa
terorisme sebagai gerakan sosial. Sebagaimana diungkapkan Donatella della Porta, menurutnya, ciri khas
yang melekat dalam terorisme yaitu kekerasan politik
klandestin (clandestine political violence).80 Menurut dia,
studi gerakan sosial dalam menganalisa gerakan terorisme sangat afirmatif karena beberapa pertimbangan
yaitu, (1) penelitian sebelumnya tentang gerakan sosial telah menunjukkan bahwa kekerasan politik sering
menyebar selama gelombang protes. Ia berkembang
di dalam gerakan sosial dan memang meskipun tidak
sering paling tidak terlihat kekerasan politik merupakan
produk sampingan dari gerakan sosial.
Lebih dari itu, Donatella della Porta melihat kecenderungan organisasi-organisasi klandestin merupakan
pecahan dari organisasi gerakan sosial dan beberapa
Donatella della Porta, “Some Reflection on the rekationship
between terrorism and social movement?”, mobilizingideas, (16
April 2012).
80
98
Gerakan Sosial & Terorisme
militan organisasi bawah tanah memiliki pengalaman
dalam gerakan sosial. Karena itu, gerakan sosial dan
kekerasan politik tidak terjadi begitu saja. Proses radikalisasi sering ditemukan di dalam organisasi gerakan
sosial.81 (2) konsep studi gerakan sosial sangat berguna
dalam memahami asal-usul, perkembangan dan bahkan
kekerasan kolektif bawah tanah.
Organisasi klandestin adalah mereka para aktor politik yang memiliki dilema persoalan sehingga mereka
beradaptasi membentuk sebuah organisasi sebagai
strategi untuk memobilisasi basis dukungan dan memenangkan perseteruan dengan musuh. Oleh karena itu,
organisasi klandestin sebagai wadah aktualisasi organisasi terorisme dalam kemunculan dan keberhasilannya
bertalian erat dengan bagaimana mereka melakukan
mobilisasi sumber daya, kesempatan politik dan framing. Pendekatan integratif gerakan sosial bisa melacak
mengapa organisasi klandestin bergerak bawah tanah
karena keterbasan sumber daya dan pilihan mereka dibatasi oleh kondisi eksternal sebagai organisasi politik
penentangan.
Colin J. Beck dalam “The Contribution of Social
Movement Theory to Understanding Terrorism” memberikan petunjuk alasan-alasan mengapa studi gerakan
sosial dapat menjelaskan gerakan terorisme.82 Colin J.
Beck melihat terorisme merupakan bagian dari politik
Lihat Quintan Wiktorowicz , ed., Islamic Activism : A Social
Movement Theory Approach. Dalam buku tersebut setidaknya
mampu menjelaskan bagaimana radikalisasi gerakan sosial
melahirkan gerakan terorisme. Wiktorowicz menggunakan studi
gerakan sosial dalam menganalisa kekerasan politik klandestin di
Timur Tengah.
82
Colin J. Beck, “The Contribution of Social Movement Theory to
Understanding Terrorism”, Sociology Compass 2/5 (2008): 1565–
1581.
81
99
Men-Teroris-Kan Tuhan!
penentangan. Karena itu, Colin J. Beck menggunakan
pendekatan tripartite gerakan sosial (The tripartite social
movement approach) yaitu mobilisasi, kesempatan politik
dan framing sebagai dasar untuk mengkonseptualisasikan terorisme sebagai gerakan sosial.
Menurut pandangan Colin J. Beck bahwa terorisme
lebih dari sekedar aksi kolektif partisipatif. Ia adalah
gerakan yang membutuhkan biaya tinggi. Sebuah organisasi teroris dalam menjalankan gerakan dia membutuhkan sumber daya dan dukungan untuk melakukan kampanye berkelanjutan. Misalnya terorisme bom
bunuh diri jelas tidak membutuhkan biaya kecil. Oleh
karena itu, organisasi teroris menghadapi dilema sebagaimana yang dihadapi oleh gerakan sosial lainnya.
Organisasi teroris harus mampu mengelola sumber
daya dan adanya aktor pemimpin yang mampu menyediakan kerangka aksi untuk meyakinkan pengikutnya.
Beberapa organisasi kelompok terorisme seperti Hamas,
Macan Tamil di Sri Langka dan Hizbullah telah menggunakan mobilisasi sumber daya dan repertoire aksi untuk mengendalikan basis dukungan gerakan.
Di samping mobilisasi, kesempatan politik (political
opportunity) sangat menentukan kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme. Terorisme sangat tergantung
pada kondisi lingkungan eksternal jadi kelompok terorisme beroperasi bukan hanya dikuatkan oleh kondisi internal. Misalnya, pada kondisi pemerintahan yang tidak
stabil para militan terorisme mampu bergerak secara
aman, menarik dukungan mobilisasi dan melakukan
penyerangan.
Karena itu, organisasi terorisme seperti Al-Qaeda,
Jamaah Islamiah dan beberapa organisasi teroris lainnya
muncul bukan karena kekecewaan sumber daya tetapi
100
Gerakan Sosial & Terorisme
karena Amerika melakukan invasi ke negara-negara
Islam sehingga menciptakan kesempatan baru untuk
mobilisasi dan ancaman serangan.
Kekerasan politik juga tergantung pada kondisi
eksternal begitu juga dengan strategi terorisme seperti
bom bunuh diri, bom mobil, penculikan dan sebagainya.
Atas dasar itu, kesempatan politik berperan besar dalam
kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme. Hal
yang sama terjadi di dalam organisasi gerakan sosial
lainnya. Kemunculan gerakan sosial kerap kali tergantung kepada lingkungan sosial politik yang menentukan
bagaimana gerakan sosial mengambil bentuk gerakan.
Pendekatan akhir dari model tripartit memfokuskan pada sisi retorika dan simbolik dari pertentangan
politik. Dalam studi gerakan sosial hal tersebut disebut
dengan framing atau pembingkaian. Framing adalah
suatu proses di mana aktor gerakan terorisme menciptakan dan memproduksi wacana yang bergema di antara
mereka yang menjadi target mobilisasi. Framing lebih
tepat sebagai kerangka aksi pembenaran daripada sebuah mobilisasi dukungan.
Framing di dalam organisasi terorisme digunakan
untuk melakukan pembenaran dan penjelasan terhadap tindakan mereka. Manifesto ideologi, pernyataanpernyataan, jurnal, buletin dan pidato kepada para pendukung serta pendukung potensial acap kali diarahkan
sebagai propaganda untuk menjelaskan pembenaran
tindakan terorisme. Framing juga bisa bekerja sebagai
bagian dari target serangan untuk menimbulkan efek
psikologis di mana kelompok terorisme melakukan
serangan terhadap simbol-simbol musuh seperti bom
gedung WTC di Amerika.
101
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Akhirnya, dengan memahami teori gerakan sosial,
upaya memahami terorisme akan dapat terhindar dari
simplikasi yang berlebihan. Organisasi terorisme sebagaimana organisasi gerakan sosial lain memiliki dinamika dan dilema yang serupa. Kemunculan terorisme
berkaitan dengan batas toleransi politik menyangkut
watak represi negara dan aksesibilitas sistem politik.
Dalam konteks terorisme berbasis Islam, mereka menawarkan Islam sebagai solusi atas ketidakadilan dalam
bentuk syari’ah.83
Para aktor organisasi terorisme terus terlibat dalam
proses pembingkaian atau framing untuk pembenaran
tindakan mereka dan mengartikulasikan tujuan mereka.
Organisasi terorisme memiliki identitas kolektif yang
membedakan identitas mereka dengan kelompok lain
bahkan identitas kolektif ini melintas batas antar negara
atau transnasional dengan mengusung paham solidaritas Islam.84
Hal yang harus diperhatikan dalam gerakan sosial
bahwa radikalisasi dalam gerakan sosial merupakan
produk dari sifat represif negara dan keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, terorisme sebagai gerakan
sosial mungkin terlihat seperti penelitian yang ada pada
Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi,
54.
84
Lihat misalnya penjelasan gerakan terorisme transnasional dalam
Quintan Wiktorowicz, “The New Global Threat:Transnational
Salafis And Jihad”, Middle East Policy, Vol. VIII, No. 4, (Desember
2001). Menurut dia, radikal “jihadis” adalah bagian dari
komunitas Salafi Transnasional yang terhubung karena kesamaan
spritualitas dan ideologi sehingga mampu menghubungkan
mereka untuk mendukung gerakan jihad melawan Amerika dan
sekutunya. Karena itu, Amerika pasca serangan 11 September 2001
mengkonseptualisasikan Osama bin Laden dan para pengikutnya
sebagai operasi gerakan dalam komunitas transnasional yang lebih
luas dari aktivisme Islam.
83
102
Gerakan Sosial & Terorisme
politik penentangan (contentious politics), yakni terorisme
merupakan model politik penentangan untuk menuntut
perubahan.
Di atas semua itu, terorisme sebagai gerakan sosial
adalah upaya memahami bahwa terorisme merupakan
gerakan politik penentangan terhadap ketidakadilan
dan merupakan penentangan terhadap paradoks nilainilai dalam kehidupan. Warna Islam yang kini identik
dengan terorisme sesungguhnya hanya sebagai bagian
dari strategi wacana yang memungut serpihan-serpihan
dari sejarah, politik serta doktrin-doktrin agama seperti
jihad, syahid dan khilafah dengan memberikan makna
tendensius dan contentious sesuai dengan agenda politik
mereka.[]
103
BAB III
BATAS TOLERANSI POLITIK:
PENJELASAN SITUASI POLITIK ATAS
KEKERASAN AKTIVISME ISLAM
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan dan menerapkan teori gerakan sosial untuk menjelaskan dinamika gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia. Bab
ini akan menjelaskan teori struktur kesempatan politik
sekaligus menjelaskan kaitannya dengan kemunculan
dan keberhasilan gerakan terorisme di Indonesia. Struktur kesempatan politik akan memberikan pemahaman
terhadap dinamika lingkungan politik baik dalam konteks lokal nasional atau global yang turut serta memicu
kemunculan aksi terorisme.
Dalam konteks terorisme di Indonesia, pemahaman
dinamika struktur politik akan dijelaskan menurut periodisasi perjalanan negara Indonesia, baik di masa Orde
Lama, Orde Baru dan Pasca Suharto. Lebih dari itu, bab
ini akan menguji apakah rezim otoriter atau demokrasi
yang memicu kemunculan gerakan terorisme dan apa-
Men-Teroris-Kan Tuhan!
kah keduanya sama-sama meredakan dan memicu kemunculan dan keberhasilan gerakan terorisme.
A.Terorisme dan Struktur Kesempatan Politik
Orde Lama
Kekuatan dan keberhasilan gerakan terorisme tidak
saja didukung oleh bagaimana organisasi terorisme
mampu memobilisasi gerakan serta membuat identitas
kolektif dalam satu rasa dan satu tujuan yang akan diperjuangkan. Akan tetapi diperlukan suatu kondisi politik
secara makro yang memungkinkan atau tidak memungkinkan aktor gerakan terorisme untuk bergerak. Dimensi politik makro ini bisa terjadi secara tertutup dan
terbuka.
Kondisi politik yang tertutup menjadi hambatan
dalam melakukan gerakan. Namun sebaliknya, jika
kondisi politik semakin terbuka menjadi peluang bagi
keberhasilan dan kemunculan gerakan mobilisasi perseturuan atau penentangan. Namun demikian, kesempatan untuk melakukan gerakan mobilisasi perseteruan
bisa saja terjadi dalam kondisi kesempatan politik tertutup. Dalam ilmu gerakan sosial kondisi politik ini disebut dengan struktur kesempatan politik.
Sidney Tarrow mendefinisikan kesempatan politik
(political opportunity) sebagai situasi politik yang memberi insentif bagi orang-orang yang terlibat di dalam aksi
kolektif guna membentuk ekspektasi gerakan dalam
mengalami kesuksesan dan kegagalan.1 Oleh karena itu,
struktur kesempatan politik merupakan konsep untuk
Sidney Tarrow, Power in Movement:Social Movements and Contentious
Politics, 2nd Edition (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 76-77.
1
106
Batas Toleransi Politik
menjelaskan bahwa kemunculan gerakan sosial sering
kali dipicu oleh faktor perubahan besar dalam struktur
politik.
Perubahan struktur politik membuka kesempatan
politik terhadap aktor-aktor gerakan yang memprakarsai politik penentangan hingga membuka perubahan
dan fase baru politik. Sebagaimana dikatakan Sidney
Tarrow ketika suatu akses institusi telah terbuka, terjadi perpecahan di dalam elite pemerintah, terbentuknya pihak lawan, dan negara menjadi lemah maka
saat itulah penantang mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan tuntutannya dan apabila potensi gerakan
tersebut kemudian menjadi aksi nyata maka kesempatan politik tersebut pada akhirnya akan menghasilkan
bentuk perlawanan.2
Singkatnya, analisis tentang struktur kesempatan
politik memberikan pemahaman kepada kita dalam
konteks hambatan dan peluang yang lebih luas terkait
aktor-aktor gerakan dalam meraih dan mengalokasikan
sumber daya untuk aksi kolektif perlawanan. Peluang
dan hambatan di lingkungan politik memberikan petunjuk kenapa dan mengapa serta bagaimana sebagian
gerakan memilih jalan kekerasan, pemberontakan dan
terorisme, tetapi sebagian memilih jalan damai.
Pilihan kekerasan masuk dalam pilihan rasional ketika akses ke dalam sistem politik terlembagakan terbatas
dan tingkat represi negara. Dua fitur tadi menjadi penjelas dalam analisis struktur kesempatan politik kenapa
gerakan memilih jalan kekerasan, pemberontakan dan
pada tingkat tertentu muncul dalam aksi terorisme.
Sidney Tarrow, Power in Movement:Social Movements and Contentious
Politics, 2nd Edition, 71.
2
107
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Orde Lama merupakan istilah yang merujuk pada
masa kepemimpinan pertama Presiden Indonesia yaitu
Sukarno. Kepemimpinan Sukarno di awal kemerdekaan
menghadapi beberapa persoalan pemberontakan atau
terorisme dari berbagai golongan, baik Islam, komunis
dan kolonial liberalisme.
Pada masa ini gerakan terorisme disebut dengan istilah kelompok bersenjata atau pemberontak. Namun
demikian, hakikat antara pemberontak dan terorisme
memiliki kesamaan. Mereka sama-sama menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan baik kekerasan
terhadap pemerintah ataupun masyarakat sipil yang
menghalangi.
Kelompok bersenjata atau terorisme di masa Orde
Lama setidaknya tercatat dalam sejarah seperti, gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil), gerakan Kapten Andi
Aziz, gerakan PKI dan gerakan DI/TII Kartosuwiryo.3
Gerakan terorisme di Indonesia pada awal kemerdekaan
merupakan aksi separatisme yang bertujuan untuk
mendirikan negara yang lepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemunculan gerakan terorisme
pada masa Orde Lama terjadi karena tidak semua pihak
Di samping beberapa gerakan tersebut, ada pula gerakan
yang mengatasnamakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dan Permesta. Kelompok ini sengaja tidak
dimasukkan oleh penulis sebagai gerakan pemberontakan atau
terorisme karena gerakan ini masih mengakui keberadaan negara
Indonesia. Gerakan ini lebih merupakan upaya protes yang
dilakukan oleh beberapa pejabat Militer saat itu yang dipimpin
oleh Letnal Kolonel Ahmad Husen di Padang dan Letkol Ventje
Sumual. Lihat mengenai gerakan PRRI/Permesta dalam Hadi
Soebadio, Keterlibatan Asutralia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).
3
108
Batas Toleransi Politik
dapat terakomodasi kepentingannya dalam terbentuknya Negara Republik Indonesia.
Gerakan PKI muncul pertama kali pada tahun 1948
dengan tujuan membangun negara berhaluan komunis
pada tanggal 14 September 1948 di Madiun oleh Muso,
seorang tokoh Partai Komunis Indonesia. Penyebab pemberontakan adalah jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin
yang didukung oleh PKI sehingga PKI menjadikan
diri sebagai oposisi yang melakukan penentangan terhadap pemerintah dengan membentuk organisasi Front
Demokrasi Rakyat (FDR).
Gerakan pemberontakan komunis Indonesia muncul
untuk yang kedua kali pada akhir kepemimpinan Orde
Lama Sukarno yaitu peristiwa yang dikenal dengan G
30 S PKI atau gerakan 30 September 1965. Gerakan 30
September merupakan peristiwa di mana enam perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis
Indonesia.
Namun demikian, keterlibatan PKI dalam gerakan
tersebut masih misterius dan selanjutnya setelah peristiwa pembunuhan beberapa jenderal, terjadi kekerasan
politik dengan pembantaian simpatisan PKI di beberapa
daerah sepanjang tahun 1965-1966 dan diperkirakan ada
sekitar 78.000 hingga 3.000.000 dibantai semena-mena
tanpa proses hukum yang pasti.4
Gerakan lain yang turut serta memberikan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah adalah gerakan
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Gerakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling yang me Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan (Jakarta: Pensil 324, 2011)1-33.
4
109
Men-Teroris-Kan Tuhan!
lakukan kudeta pada tanggal 23 Januari 1950. Gerakan
ini telah menewaskan sekitar 94 anggota TNI dari Divisi
Siliwangi, termasuk Letnan Kolonel Lembong. Gerakan
APRA mendapatkan dukungan dari Belanda dengan
motif mengamankan kepentingan ekonomi di Indonesia
dan mempertahankan Negara Pasundan di Jawa Barat.
Pada tahun 1950 tepatnya pada tanggal 5 April, muncul Gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh kapten
Andi Azis, seorang mantan komandan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS). Kemunculan gerakan ini lebih disebabkan kekecewaan Andi Azis terhadap
kebijakan pemerintah pusat sehubungan dengan pengaturan pasukan keamanan yang dianggap diskriminasi.
Pemberontakan ini tidak berlangsung lama karena pada
tanggal 26 April 1950 pasukan TNI di bawah komando
kolonel A.E Kawilarang menumpas habis pemberontakan Andi Azis.
Selanjutnya, gerakan perlawanan muncul dalam
bentuknya yang primordialisme. Gerakan ini dikenal dengan Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)
yang diproklamirkan pada tanggal 25 April 1950 oleh
Dr. Soumokil, seorang mantan Jaksa Agung Negara
Indonesia Timur. Peristiwa pemberontakan ini merupakan suatu konflik yang bersumber dari sikap ekspresi
chauvinism yang didukung oleh Belanda. Pasukan TNI
kehilangan Letnal Kolonel Slamet Riyadi dalam upaya
penumpasan gerakan RMS dan pada tanggal 2 Desember
1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap dan diadili.
Gerakan pemberontakan APRA, Andi Azis ataupun RMS terjadi pada masa pemerintahan Republik
Indonesia Serikat. Pemberontakan tersebut merupakan
salah satu dari gerakan terorisme yang berupaya mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan dilakukan oleh perwira Belanda dan perwi110
Batas Toleransi Politik
ra KNIL. Gerakan-gerakan tersebut muncul menjelang
RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 sehingga
sifat gerakan tersebut lebih pada separatis kolonial yang
tidak menghendaki terbentuknya NKRI.
Berdasarkan paparan di atas, negara Indonesia yang
masih cukup muda di bawah kepemimpinan Sukarno
mengalami serangkaian pertumpahan darah karena perbedaan hasrat kepentingan ideologi, politik, agama dan
chauvinism. Beberapa kepentingan politik tersebut pada
akhirnya melahirkan gelombang perlawanan berupa
pemberontakan dari berbagai kelompok. Pemberontakan hakikatnya adalah terorisme itu sendiri. Mereka
sama-sama memaksakan idealisme yang pada akhirnya
melahirkan kekerasan.
Dari beberapa gerakan terorisme atau pemberontakan pada masa Sukarno tersebut, gerakan yang dilakukan
oleh kelompok Islam memiliki kekuatan paling besar.
Hal ini terjadi karena kepentingan politik Islam tidak
cukup terakomodasi dalam pembentukan ideologi negara Indonesia meski Islam memainkan peranan penting dalam masa kolonialisme Belanda. Kelompok Islam
mampu menjadi lokomotif penggerak utama menyatukan elemen beberapa gerakan untuk bersatu melawan
penjajahan Belanda.5 Kekecewaan ini pada akhirnya
melahirkan gerakan perlawanan bagi sebagian aktivisme Islam yang tergabung dalam organisasi DI/TII.
Kebesaran kekuatan gerakan DI/TII setidaknya dapat dilihat bagaimana mereka mampu bertahan selama
tiga belas tahun sejak diproklamirkan pada tahun 1949
hingga tewasnya Imam Kartosuwiryo pada tahun 1962.
Lebih dari itu, gerakan DI/TII setidaknya hingga saat
George Mc.Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia,
(Itacha: Cornell University Press, 1952), 38.
5
111
Men-Teroris-Kan Tuhan!
ini masih menjadi arus utama geneologi gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia.
Peta kekuatan gerakan DI/TII telah menyebar ke beberapa wilayah Indonesia. Misalnya, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Jawa
Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah Wijayakusuma
bergabung dengan DI/TII pada tahun 1950. Pada tahun
1951, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan juga mendeklarasikan penggabungan kekuatan perlawananya dalam
organisasi DI/TII.
Demikian pula dengan, Kahar Muzakkar tokoh dari
Sulawesi Selatan pada tahun 1952 juga menyatakan
mendukung dan ikut bergabung dengan gerakan perlawanan yang dikumandangkan oleh SM Kartosuwiryo.
Pada tahun 1953, di Aceh, Teungku Muhammad Daud
Beureueh mendeklarasikan bahwa Aceh bergabung
dengan NII.
Dalam masa tersebut, Gerakan DI/TII beberapa kali
melakukan serangan terhadap Sukarno seperti penembakan Mortir Kahar Muzakar pada saat Presiden
Soekarno dalam kunjungan kerja ke Sulawesi tahun
1960, Granat Cimanggis yaitu ketika Presiden Soekarno
dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta mendapat
serangan geranat dari gerombolan DI/TII pada tahun
1964 dan penembakan Idul Adha di Masjid Baiturahim
pada tanggal 14 Mei 1962.
Puncak kekerasan yang dilakukan para terorisme
pada masa Sukarno adalah peledakan bom di Cikini
pada 30 November 1957 yang menewaskan 10 orang
dan 100 orang mengalami luka-luka, peledakan bom
Cikini diketahui dilakukan oleh Tasrif, Saadun dan
Yusuf Ismail yang tergabung dalam Gerakan Anti
Komunis dan bertujuan memperjuangkan berdirinya
112
Batas Toleransi Politik
negara Islam serta terindikasi berkait erat dengan gerakan DI/TII.6
Peledakan bom Cikini merupakan awal pertama
kasus peledakan bom yang menjadikan masyarakat
sipil sebagai target serangan. Kelompok ini bisa dianggap sebagai teroris generasi pertama yang secara massif
melakukan serangan terhadap masyarakat sipil. Adapun Permesta pada 9 Maret 1960 pernah melancarkan
serangan penembakan Istana Presiden yang dilakukan
oleh Pilot Daniel Maukar.
Berdasarkan hal di atas, maka karakteristik pola
gerakan di masa Orde Lama memiliki kecenderungan
mengusung isu tentang separatisme. Gerakan terorisme
pada periode tersebut memiliki tiga bentuk: Pertama,
gerakan terorisme yang ingin membentuk negara sendiri dengan ideologi politik tertentu, misalnya; gerakan
PKI tahun 1948 yang dimotori oleh Muso dan Amir
Syarifuddin, dan D.N.Aidit pada tahun 1965, serta
gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, Kalimantan, dan Aceh.
Kedua, gerakan terorisme yang dilandasi semangat
chauvinism akibat kebijakan yang tidak berimbang antara
Jawa dan luar Jawa, misalnya; Republik Maluku Selatan.
Ketiga, gerakan terorisme separatisme karena kedekatan
hubungan dengan Belanda. Misalnya, Republik Maluku
Selatan (RMS) yang dimotori oleh Dr. Soumokil, J.H.
Manuhutu serta Johan Manusama. Di samping RMS
adalah Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori oleh Kapten Westerling (perwira Belanda), dan
Kapten Andi Aziz (perwira KNIL dari Negara Indonesia
Timur).
Lihat selanjutnya Arifin Suryo Nugroho, Tragedi Cikini: Percobaan
Pembunuhan Presiden Sukarno (Yogyakarta:Penerbit Ombak,
2013),19-34.
6
113
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Tabel 1.
Organisasi, Aktor dan Karakteristik Terorisme
Pada Masa Orde Lama
No Nama Organisasi
1
2
3
4
5
6
7
Pemberontakan PKI
Madiun 1948
DI/TII, Jawa Barat
1949
Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA),
1950
Republik Maluku
Selatan, 1950
DI/TII, Sulawesi
Selatan, 1952
DI/TII, Aceh
Gerakan Anti
Komunis, 1957
Muso dan Amir
Syarifuddin
Karakteristik
Terorisme
Ideologi
komunisme
Kartosuwiryo
Islam politik
Westerling
Separatisme
kolonial
Dr. Soumokil
Separatisme
kolonial
Aktor Terorisme
Kahar Muzakkar Islam politik
Daud Bereuh
Kolonel Zulkifli
Lubis
Islam politik
Separatisme
liberal
Jumlah korban pergolakan pemberontakan selama
periode awal kemerdekaan hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama Sukarno dapat diperkirakan sangat
banyak. Jumlah yang selama ini berhasil dicatat hanya
sebagian yang mungkin dapat ditemukan, di luar itu
banyak beberapa keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarga karena beberapa sebab yang tidak jelas.
Namun demikian, jumlah korban dalam kasus gerakan pemberontakan selama masa periode Orde Lama
setidaknya dapat disimpulkan sementara seperti terlihat
dalam tabel berikut ini:
114
Batas Toleransi Politik
Tabel. 2
Kasus Pemberontakan dan Jumlah Korban Masa Orde Lama
Kasus
No Pemberontakan/
Tokoh
DI/TII R.M.
1
Kartosuwiryo
2
3
4
5
6
7
9
Tahun
Daerah
Jumlah
korban tewas
428 (1951/52)
2447 (1957)
1.055 tewas,
Kalimantan
diculik dan
Selatan
luka
Sulawesi
750
Selatan
1949 - 1962 Jawa Barat
DI/TII Ibnu Hajar 1950-1954
DI/NII Kahar
1952-1953
Muzakkar
DI/TII Amir Fatah,
1951-1954
Brebes
DI/TII Daud
1953-1959
Beureueh
Pemberontakan
5-4-1950
Andi Azis
Republik Maluku
Selatan/Dr.
25-4-1950
Soumokil
Pemberontakan
1965-1966
PKI
Jawa Tengah 700
Aceh
Sulawesi
Selatan
Maluku
Selatan
Di beberapa 78.000 –
daerah
3.000.000
Sumber: Diolah dari berbagai sumber dan hasil laporan Mestika Zed7
1. Struktur Kesempatan Politik dan Perlawanan
dengan Kekerasan Aktivisme Islam
Perlawanan dengan kekerasan atau terorisme oleh
aktivisme Islam semakin bisa diterima menyangkut perubahan lingkungan politik di masa Orde Lama. Tiga
Mestika Zed, “Hidden History: Sejarah Kebrutalan dan Kejahatan
Negara Melawan Kemanusiaan. Isu-isu dan Strategi dalam Konteks
Sejarah Indonesia,” Jurnal Demokrasi & HAM, Vol.2,No.1, (FebruariMei 2002) 6-37.
7
115
Men-Teroris-Kan Tuhan!
perubahan lingkungan politik yang dihadapi aktivisme
Islam yang secara langsung memperkuat aktivisme
Islam untuk mengorganisasi dan memobilisasi gerakan
penentangan dalam bentuk aksi terorisme. Tiga hal yang
dimaksud adalah: kekalahan dan marginalisasi Islam
politik, perjanjian renville dan liberalisasi politik.
a. Kekalahan dan Marginalisasi Islam Politik
Perubahan paling mendasar dalam struktur kesempatan politik bagi gerakan terorisme berbasis Islam di
Indonesia adalah kegagalan Islam politik dalam perundingan seputar perumusan ideologi negara. Ketegangan perumusan ideologi negara tidak saja melibatkan
kelompok Nasionalis dan Islam, akan tetapi turut serta
di dalamnya kelompok Kristen.8 Kekalahan Islam politik
dalam perumusan ideologi negara ini menjadi penting
karena memberikan pengaruh kuat dalam kemunculan
aksi terorisme berbasis Islam di bawah kepemimpinan
Kartosuwiryo.
Kekalahan Islam politik dalam perundingan perumusan ideologi negara berawal dari setelah Jepang
menyerah terhadap tentara Sekutu dan memberikan
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia tanggal 1 Maret
1945. Dalam rangka tersebut, maka dibentuklah Badan
Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat dengan
anggota sekitar 62 orang. Komposisi anggota BPUPKI
pada sidang pertamanya, dari 62 anggota hanya terdapat sepuluh wakil anggota Islam. Dominannya kelom Amos Sukamto, “Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa
Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Perumusan Ideologi
Negara Sampai Konflik Fisik,” Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli
2013), 25-47.
8
116
Batas Toleransi Politik
pok sekuler dalam komposisi anggota BPUPKI karena
pemerintah Jepang menganggap kelompok sekuler
dianggap lebih mampu mengawal kedaulatan bangsa
Indonesia dalam bentuk negara modern.9
Dominannya kelompok sekuler dalam komposisi
anggota BPUPKI membawa dampak pada upaya-upaya
penolakan gagasan negara Islam. Setelah berhasil menyepakati bentuk negara, maka sidang selanjutnya
membahas dasar konstitusi negara Indonesia. Konstitusi negara Indonesia berakhir mencapai kesepakatan
dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia Pada hari terakhir sidang tepatnya tanggal 1
Juni 1945.
Van Dijk sebagaimana dikutip Yudi Latif mengungkapkan, pada saat Sukarno menyampaikan Pidato
Pancasila berkenaan dengan prinsip demokrasi terlihat bahwa dia menolak gagasan Islam untuk dijadikan
dasar negara Indonesia meskipun jumlah umat Islam di
Indonesia lebih banyak. Sukarno lebih lanjut mengatakan bahwa tidak semua penganut agama Islam mentaati
ajarannya sehingga mereka lebih cocok negara sekuler
daripada negara Islam.10
Ketegangan tersebut berakhir dengan kesepakatan
Pancasila dijadikan dasar negara. Namun demikian,
keberadaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
ditentang oleh kelompok Islam. Mereka menuntut
penambahan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan
kata tersebut yang dikenal dengan istilah “tujuh kata”
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital (Jakarta:Democracy
Project, 2012),361.
10
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital. 362.
9
117
Men-Teroris-Kan Tuhan!
menimbulkan perdebatan sengit. Kelompok Nasionalis, termasuk kelompok Kristen tidak menghendaki keberadaan tujuh kata tersebut. Karena itu, dibentuklah
panitia 9 untuk merundingkan perdebatan-perdebatan
tersebut.11
Panitia 9 kemudian berhasil merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dinamakan Piagam
Jakarta. Dalam Piagam Jakarta, tujuh kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” tetap dipertahankan. Hal ini
menunjukkan bahwa aspirasi kelompok Islam masih
terakomodasi dan bisa dianggap sebagai kemenangan
politik kelompok Islam.
Namun demikian, keputusan tersebut tidak lantas
mengakhiri perdebatan yang ada. Beberapa kelompok
dari Kristen seperti, Latuharhary dan kelompok Nasionalis Islam seperti, Hoesein Djajadiningrat bersama
Wongsonegoro menolak keputusan itu. Penolakan
tersebut pada akhirnya terdapat upaya-upaya untuk
meminggirkan kelompok Islam. Hal ini bisa dilihat
dalam komposisi panitia PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Sementara keanggotaan BPUPKI didasarkan pada
latar belakang ideologis, kriteria utama dari komposisi anggota PPKI ialah berdasarkan kedaerahan.
Konsekuensinya, beberapa anggota kunci BPUPKI seperti, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Masjkur, Ahmad
Sanusi, Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro
dan Mohammad Yamin tak termasuk anggota PPKI.12
Panitia 9 diketuai oleh Sukarno dengan anggota Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Subardjo, dan Maramis (sebagai wakil kubu
sekuler), Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasjim, dan
Abikusno Tjokrosujoso (sebagai wakil kubu Islam).
12
Anderson sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif dalam Intelegensia
11
118
Batas Toleransi Politik
Hal ini mengakibatkan suara aspirasi kelompok Islam
tidak cukup terakomodasi dalam sidang PPKI.
Pada titik tersebut, dapat dipahami jika kemudian
muncul sebuah misteri di mana draft UUD yang disusun sebelumnya oleh BPUPKI yakni Tujuh Kata Piagam
Jakarta yang disetujui PPKI tiba-tiba dibatalkan pada
tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya. Tujuh kata dalam
Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945.
Peristiwa terhapusnya tujuh kata dalam Piagam
Jakarta menyebabkan sebagian kelompok Islam merasa
dikhianati. Hal ini menandai kekalahan serta kelemahan wakil-wakil Islam dalam perpolitikan Indonesia.
Kekalahan Islam politik ini menjadi semacam bara
dalam sekam yang memberikan landasan empiris terpinggirnya Islam politik di masa awal pembentukan negara Indonesia.13
Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke20, Edisi Digital.364. PPKI terdiri dari 21 anggota, (12 orang dari
Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari
Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku,
1 orang dari golongan Tionghoa). Namun jika diklasifikasikan
berdasarkan ideologi maka dari 21 anggota hanya dua dari wakil
Islam yaitu, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan
Wachid Hasjim dari NU. Selebihnya yaitu, 12 para pemimpin
nasionalis sekuler generasi tua. Sembilan lainnya terdiri dari
dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultanan Yogyakarta dan
Surakarta, satu dari wakil Peta, dan satu dari minoritas ke turunan
Cina.
13
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (19451949), (Jakarta:GemaInsani Press, 1997),50-58; Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante (Jakarta:LP3ES, 1985).
119
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Marginalisasi Islam politik tidak berhenti dalam perundingan ideologi negara dan persiapan kemerdekaan.
Lebih dari itu, sebagaimana diungkapkan Anderson
yang dikutip oleh Yudi Latif, mengungkapkan dominannya kelompok sekuler dalam PPKI mengakibatkan
gagasan kelompok Islam untuk membentuk Departemen Agama ditolak.
Kelompok Kristen yang diwakili Latuharhary menentang gagasan tersebut atas dasar alasan gagasan itu
akan menjadi sumber perselisihan antara umat Islam
dan Kristen.14 Karena itu, mulai dari Kabinet Presidensial Sukarno pertama (31Agustus-14 November 1945)
sampai Kabinet Parlementer Sjahrir pertama (14 November 1945-12 Maret 1946), Departemen Agama tidak
ada.
Kekalahan Islam politik semakin nampak jelas dalam
komposisi kabinet pemerintahan Sukarno. Dalam kabinet Sukano pertama yang dibentuk pada tanggal 31
agustus, dari empat belas jabatan menteri, kubu Islam
hanya mendapat dua jabatan menteri yaitu Abikusno
Tjokrosujoso sebagai menteri komunikasi dan Wachid
Hasjim sebagai menteri negara tanpa portofolio, yang
bertugas sebagai penasihat urusan-urusan agama.
Demikian pula dalam susunan keanggotaan Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP).15 Jumlah anggota
wakil dari Islam tidak cukup terakomodasi dibandingkan dengan jumlah dari kelompok selain Islam. KNIP
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad ke-20, Edisi Digital. 366-367.
15
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk pada tanggal
22 Agustus yang bertindak sebagai lembaga penasihat pemerintah
yang baru, lembaga ini kelak dalam perkembangannya lebih lanjut
akan menjadi lembaga legislatif bagi Republik Indonesia yang baru
berdiri.
14
120
Batas Toleransi Politik
terdiri dari 137 anggota, dari jumlah tersebut 85 orang
berasal dari kalangan Jawa abangan sedangkan kelompok Islam kurang dari 20. Selebihnya adalah kelompok
nasionalis, pangreh praja, dan orang-orang profesional
yang pernah diangkat memegang jabatan tinggi diberbagai organisasi pendudukan Jepang.
Berdasarkan hal tersebut, Islam politik di awal kemerdekaan Indonesia hingga masa pemerintahan
Sukarno mengalami kekalahan dan marginalisasi politik. Kemerdekaan dari kolonialisme tidak serta memberikan ruang kebebasan politik bagi umat Islam.
Meskipun kelompok Islam memainkan peran penting
dalam artikulasi penentangan terhadap Belanda. Hal
tersebut tidak serta merta memberikan dampak positif
untuk bisa mengakomodir kepentingan kelompokkelompok Islam dalam memberikan pengaruh kebijakan politik dalam proses pendirian negara Indonesia.
Pada tahap ini, identitas-identitas kolektif nasionalis
yang tercipta di masa kolonialisme menjadi pudar dan
berubah menjadi identitas-identitas politik yang saling
bertegangan satu sama lainnya. Dari sinilah dimulainya
pertentangan serius antara kelompok Islam dan
kelompok nasionalis.
Kelompok Islam terbelah menjadi dua. Sebagian tetap
berjuang secara institusional untuk menjadikan Islam
sebagai dasar negara yang diwakili oleh partai Masyumi
dan sebagian berjuang secara non-institusional dalam
bentuk gerakan kelompok perlawanan bersenjata atau
terorisme di bawah komando Kartosuwiryo dengan DI/
TII yang memiliki cita-cita mendirikan Negara Islam
Indonesia.
121
Men-Teroris-Kan Tuhan!
b. Perjanjian Renville
Di tengah-tengah kekalahan Islam politik yang
masih menjadi ingatan buruk. Negara Indonesia yang
dipimpin Sukarno mengalami kegagalan diplomasi
dengan pihak Belanda ketika terjadi agresi militer.
Beberapa Perundingan dan Perjanjian dengan Belanda
dirasa sangat merugikan Indonesia. Kegagalan diplomasi dengan Belanda ini nampak dalam hasil keputusan
Perjanjian Renville.
Perjanjian Renville dengan keputusan bahwa wilayah
RI cuma tinggal Yogyakarta dan 8 Karesidenan, kekuatan
pasukan Republik ditarik dari kantong-kantong gerilya
untuk berhimpun di Yogyakarta. Hal ini memberikan
insentif kekecewaan terhadap pemerintah sehingga bagi
aktivisme Islam dijadikan momentum untuk memobilisasi perlawanan terhadap pemerintahan Sukarno.
Kondisi kekosongan kekuasan akibat perjanjian
Renville dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk
mengembalikan peran Islam politik dengan mengorganisasikan dan memobilisasi massa dalam bentuk gerakan
perlawanan terhadap pemerintah.16 Kartosuwiryo menjadi artikulator utama mewakili aspirasi kelompok Islam
dalam menentang perjanjian tersebut. Kartosuwiryo
bersama barisan Bambu Runcing, Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII), Laskar Hizbullah dan Sabilillah
Ada beberapa gerakan yang berangkat dari kekecewaan terhadap
penandatanganan perjanjian Renville selain gerakan DI/TII,
antara lain: (1)gerakan plebisit dari Ali Budiarjo; (2) gerakan
kaum Republikein yang dipimpin oleh Syafei Oya Sumantri di
Keresidenan Jakarta dan (3) gerakan Murba dan Laskar Rakyat
yang berkuasa di daerah Cirebon, Jakarta dan Bogor. Diantara
beberapa gerakan tersebut, gerakan DI dianggap paling terhebat
dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah Jawa
Barat. Lihat DR.A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia,
Jilid 7 Periode Renville (Bandung:Penerbit Angkasa,1978)145.
16
122
Batas Toleransi Politik
memilih bertahan di Jawa Barat melakukan perlawanan
bersenjata terhadap tentara Belanda.17
Selanjutnya, tangal 7 Agustus 1949 gerakan DI/
TII Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam
Indonesia di Cisayong Tasikmalaya dengan dihadiri
pengikut setia Kartosuwiryo seperti Ghazali Tusi, Sanusi
Partawidjaja, R. Oni dan Toha Arsyad. Keputusan ini
diambil sebagai bagian dari tindak lanjut dari konfrensi Cisayong pada tanggal 10 Februari 1948 yang diikuti
160 perwakilan organisasi Islam. Salah satu keputusannya adalah semua organisasi Islam termasuk Masyumi
melebur menjadi satu di dalam Majelis Umat Islam dan
mengangkat Kartosuwiryo sebagai Panglima Tinggi
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pasca bubarnya perundingan Renville pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta dan pasukan Divisi
Siliwangi selaku personel resmi pemerintah RI turut
serta kembali ke Jawa Barat. Selanjutnya, pemerintah
Gerakan perlawanan perang gerilya pasukan Kartosuwiryo pada
awalnya kompak menjalin kerjasama dengan pasukan TNI di
bawah komando Letnan Satu Cucu Adiwinata, Cucu Adiwinata
tidak saja bekerjasama dengan kelompok Kartosuwiryo tetapi juga
gerilyawan lain seperti pasukan Jaya Pangrengot/Kutawaringin
pimpinan Sugih Arto; pasukan SP-88 pimpinan Sumantri di
Bendul, Purawakarta; pasukan pangeran Papak pimpinan
Jumhana dan Abu Bakar di Wanaraja, Garut, pasukan Bambu
Runcing pimpinan Muhidin Nasution di Cibinong, Bogor; pasukan
Tirtayasa pimpinan S.Hadi di Buahdua, Sumedang; pasukan
Kalipaksi pimpinan Enoh di Wanaraja; pasukan Bahureksa di
Cipaku; pasukan Darussalam pimpinan Ajengan Yusuf Taujiri di
Wanaraja, Garut; pasukan sabilililah pimpinan Oni di Lemahputih,
Gunung Cupu; dan pasukan Jayabaya pimpinan Rahmat Slamet di
Tasikmalaya dan beberapa gerilyawan lainnya. Dengan bersatunya
beberapa pasukan maka pertempuran di Jawa Barat terhadap
Belanda berlangsung sengit dan terus. Lihat DR.A.H. Nasution,
Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 7 Periode Renville
(Bandung:Penerbit Angkasa,1978),225.
17
123
Men-Teroris-Kan Tuhan!
meminta pasukan TII Kartosuwiryo menyerah dan menyerahkan daerah yang dikuasainya kepada pemerintah
RI melalui Divisi Siliwangi.
Permintaan tersebut tidak digubris oleh gerakan DI/
TII Kartosuwiryo dengan alasan secara de facto Jawa
Barat sudah menjadi bagian dari NII setelah ditinggalkan
pemerintah ke Yogyakarta. Permintaan tersebut menimbulkan kekecewaan bagi pimpinan NII Kartosuwiryo
yang menganggap pemerintah RI tidak konsisten.
Karena itu, Kartosuwiryo selaku Imam NII mengeluarkan maklumat sebagai seruan perang terhadap
pemerintah RI. Isi maklumat sebagaimana berikut:
“Sebagaimana tuan-tuan dan saudara-saudara sudah ketahui setelah daerah Republik diserang oleh
Belanda, maka dari itu datanglah berduyun-duyun
Tentara pelarian dari Yogyakarta terutama termasuk
dari Tentara Siliwangi;mereka itu datang kemari menjadi Tentara liar yang mengacau di daerah Negara
Islam Indonesia. Mereka sama sekali tak menghargai
dan tunduk pada pimpinan Negara Islam Indonesia;
maka kami memerintahkan kepada semua tentara yang
datang dari Yogyakarta ke Negara Islam Indonesia,
supaya Tentara Islam (Angkatan Perang Negara Islam
Indonesia) harus siap sedia menghancurkan tentara liar
itu. Kita jangan ragu-ragu, bahwa kita tidak tahu perintah mana-mana, hanya kita bernegara Islam Indonesia.
Republik sudah dihapus, tak berkuasa lagi. Maka dari
itu semua kekuasaannya terutama angkatan perangnya
harus kita hancurkan, jangan dikasih ampun lagi, terutama Tentara Siliwangi yang menjadi tentara liar itu.
Hancurkan kekuatan mereka itu, lucutilah seberapa
bisa. Diperintahkan kepada Angkatan Perang Negara
Islam Indonesia, kepada Padi,18 BKN, dan rakyat
Indonesia”.
Padi = Pahlawan Darul Islam, BKN = Badan Keamanan Negara.
18
124
Batas Toleransi Politik
Berdasarkan maklumat tersebut, Darul Islam menyatakan perang terhadap pemerintah. Negara Islam
Indonesia adalah harga mati yang harus diperjuangkan. Pada akhirnya hubungan Kartosuwiryo dengan
Republik Indonesia Serikat memburuk pada tanggal 29
Desember 1949. Setelah RIS diresmikan berubah menjadi RI, dan pada waktu yang bersamaan DI diposisikan
sebagai pemberontak.
Dari hubungan yang tidak lagi harmonis tersebut,
anggota DI selalu melakukan gerakan-gerakan makar
terhadap negara selama 13 tahun dibawah komando
Kartosuwiryo. Namun akhirnya, Kartosuwiryo berhasil
ditangkap di tempat persembunyian di lembah antara
Gunung Sangkar dan Gunung Geger dan pada tanggal
5 September 1962 Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dieksekusi mati di Teluk Jakarta.19
Sebagian peneliti menganggap perseturuan pemerintah Indonesia dengan gerakan Kartosuwiryo karena
adanya konspirasi dunia Internasional yang dikendalikan Belanda untuk menjadikan gerakan Kartosuwiryo
berhadap-hadapan dengan pemerintah Republik
Indonesia, yang oleh SM Kartosuwiryo disebut “Perang
Segi Tiga Pertama di Indonesia.20
Pada titik ini, Tentara Indonesia selanjutnya melakukan tindakan represif memerangi pasukan TII
Kartosuwiryo. Lebih dari itu, peperangan tidak saja terPandangan berbeda tentang kematian Kartosuwiryo diuangkapkan Fadli Zon. Menurutnya eksekusi penembakan terhadap
Kartosuwiryo dilakukan pada 12 September 1962. Data tersebut
didapatkan dari buku tentang Kartosuwiryo yang ditulis oleh
Pinardi H.Z.A dan Gerakan Operasi Militer VI Penumpasan DI/
TII. Lihat Fadli Zon, Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi
Imam DI/TII (Jakarta : Fadli Zon Library, 2012).
20
Lihat Al-Chaidar, Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita,
Edisi Digital (Jakarta: Madani Press, 2008).
19
125
Men-Teroris-Kan Tuhan!
jadi antara Divisi Siliwangi dengan TII, dalam waktu
bersamaan divisi Siliwangi juga menghadapi tentara
Belanda. Perang tersebut baru padam setelah digelarnya
Perjanjian Roem-Royen.
Kebijakan pemerintah RI yang tidak kenal kompromi
terhadap gerakan Kartosuwiryo menciptakan pertempuran sesama pahlawan perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Kartosuwiryo memilih jalan mempertahankan wilayah Jawa Barat sebagai bagian dari NII meskipun harus berhadap-hadapan dengan pasukan pemerintah RI. Kartosuwiryo selanjutnya melakukan mobilisasi
dukungan dan perlawanan di beberapa daerah selama
13 tahun dan berakhir setelah tertangkap pada tanggal
4 Juni 1962.
Kartosuwiryo menjadi aktor utama yang menginspirasi perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia,
sebuah gagasan membumikan ideologi Islam dalam
pemerintahan. Perjuangan Islam politik Kartosuwiryo
dengan saluran non-institusional merupakan pilihan
rasional. Hal itu dilakukan karena ketidakmampuan
kelompok Islam politik dalam saluran institusional untuk membawa aspirasi politik Islam terhadap kebijakan
politik pemerintah Indonesia.
c. Liberalisasi Politik
Orde Lama di bawah rezim Sukarno, ketegangan
politik seputar perumusan ideologi negara sejak awal
kemerdekaan menciptakan polarisasi ideologi dalam
kancah politik praktis dan kehidupan sosial masyarakat.
Pada level politik praktis, beberapa partai didirikan lebih
menonjolkan aspek ideologi dan dijadikan alat untuk
memperjuangkan misi ideologi. Kelompok nasionalis
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), kelompok
126
Batas Toleransi Politik
Islam mendirikan Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (MASYUMI), kelompok sosialis mendirikan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada level kehidupan sosial, polarisasi ideologi
ini nampak dalam dikotomi kehidupan antara santri,
abangan dan priyayi.21 Polarisasi ideologi yang demikian
mengakibatkan dalam dinamika sosial sering ditemukan
pola-pola konflik yang bersumber dari garis demarkasi
ideologi yang menegasikan satu sama lain. Pemisahan
sosial masyarakat berdasarkan garis ideologi menciptakan iklim yang tidak sehat dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di tengah-tengah kehidupan sosial-politik yang dipisahkan oleh garis ideologi. Indonesia menganut sistem
demokrasi liberal. Hal ini ditandai dengan banyaknya
partai politik yang bermunculan tidak kurang dari 172
partai. Namun demikian, masa demokrasi liberal stabilitas politik tidak tercapai. Pemerintahan Sukarno
sepanjang tahun 1945 hingga 1965 banyak dihadapkan
beberapa persoalan, khususnya upaya pemberontakan oleh beberapa kelompok yang belum terakomodir
kepentingannya.
Kondisi demikian menciptakan stabilitas nasional
terancam sehingga dalam rangka mempertahankan kedaulatan nasional dan stabilitas nasional pemerintah
sering bongkar pasang susunan kabinet pemerintahan.
Dalam catatan sejarah, pemerintahan Sukarno melakukan 25 kali pergantian kabinet dan tidak ada satupun
kabinet yang dapat bertahan dalam waktu 2 tahun.
Bongkar pasang kabinet pemerintahan dilakukan
dalam rangka menjaga kondisi stabilitas keamanan naClifford Geertz, The Religion of Java (Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1960).
21
127
Men-Teroris-Kan Tuhan!
sional dan kedaulatan bangsa. Sebagaimana diungkapkan Hudson dan Taylor, sepanjang 1948-1967 telah terjadi 45 kali demonstrasi-protes, 82 kali kerusuhan, 7.900
kali serangan bersenjata, dan 615.000 orang terbunuh
karena sebab kekerasan politik.22
Krisis politik ditataran elite politik pada akhirnya
menciptakan kondisi instabilitas politik secara makro
dan melahirkan krisis sosial berupa sikap primodialisme
dan ekslusivisme bernuansa SARA di beberapa daerah.
Misalnya, pemberontakan lokal pada tahun 1950-an di
Maluku Selatan yang dikenal dengan RMS, Gerakan
Andi Azis, Gerakan APRA/PRRI dan gerakan-gerakan
berbasis etnis di Aceh, Riau, Jawa Barat, Sulawesi Utara,
Maluku, Bali dan Papua. Gerakan-gerakan tersebut
muncul dalam bentuknya sebagai gerakan pemberontakan akibat beberapa faktor seperti ketimpangan pembangunan ekonomi, konfrontasi ideologi dan kepentingan elit lokal.
2. Gerakan DI/TII sebagai Pilihan Rasional
Perlawanan gerakan DI/TII dengan jalan kekerasan
menjadi repertoar protes bawah tanah (klandestin) makin
bisa diterima karena beberapa pertimbangan menyangkut struktur kesempatan politik.
Pertama, revolusi politik pasca kolonialisme. Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 memberi langkah jelas ke arah kebebasan menentukan arah kedepan bangsa Indonesia baik
pada level politik maupun kehidupan sosial masyarakat.
Kemerdekaan ini diharapkan menentukan gerakan
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995).
22
128
Batas Toleransi Politik
Islam politik untuk berperan dalam menentukan kebijakan sistem kenegaraan setelah lepas dari masa penjajahan. Namun demikian, peran signifikan umat Islam
Indonesia dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan
Indonesia tidak mendapatkan penghargaan.23
Hal tersebut tercermin dari kekalahan politik Islam
dalam perumusan ideologi negara dan marginalisasi
politik Islam dalam sistem pemerintahan. Kekalahan
politik Islam ini menjadi cikal bakal lahirnya perseteruan kelompok Islam dengan pemerintah. Lebih dari itu,
kegagalan politik Islam tersebut telah memunculkan
diskursus wacana hubungan antara Islam dan Negara
akibat ketidakmampuan elite politik nasional dalam menegosiasikan dan mendamaikan perbedaan-perbedaan
pandangan.24
Kekalahan elite politik Islam dalam perundingan perumusan dasar negara memberikan ingatan buruk bagi
kelompok Islam yang menginginkan Indonesia berdasarkan Syariat Islam. Kekalahan ini menjadi dasar le
Kelompok Islam adalah artikulator utama isu-isu keadilan
yang dimainkan dalam hubungannya dengan kontradiksi masa
kolonialisme di Indonesia. Adalah kenyataan bahwa Islam menjadi
lokomotif utama dalam perlawanan terhadap tentara Belanda
selama masa penjajahan (Kahin, 1952). Hal ini bisa dilihat dalam
catatan sejarah seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Gerakan
rakyat di Cicalengka, Bandung, pada 1891, pemberontakan
petani di Banten pada tahun 1888. Gerakan-gerakan tersebut
adalah upaya mobilisasi politik melawan kolonialisme Belanda
dengan menggunakan istilah-istilah keagamaan seperti ‘perang
fisabilillah’. Lebih dari itu, gerakan tersebut menandai sebuah era
baru dimana agama dan politik telah saling terkoneksi satu dengan
yang lain dan menjadi inspirasi serta klaim bahwa perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari peran umat
Islam Indonesia, dan karena itu sudah seharusnya jika negara
Indonesia berlandaskan pada Islam sebagai ideologi.
24
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, 66.
23
129
Men-Teroris-Kan Tuhan!
gitimasi untuk melakukan perjuangan non-institusional
sebagaimana dilakukan gerakan DI/TII karena alasan
penghianatan atas dihapuskannya tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dan Pancasila dijadikan ideologi dasar
negara Indonesia.
Kedua, kekalahan RI dalam perjanjian Renville. Perjanjian tersebut diyakini sangat merugikan Indonesia.
Gerakan DI/TII kemudian memanfaatkan kekosongan
kekuasaan akibat perjanjian Renville untuk mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Kekosongan ini juga didukung pada situasi politik dimana pada
akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda.
Kondisi tersebut diterjemahkan kelompok gerakan
DI/TII sebagai upaya propaganda tamatnya riwayat
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Karena itu, melalui Maklumat Nomor 6,
Kartosuwiryo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan
lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa
Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain termasuk tentara resmi yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan NII.
Ketiga, kegagalan rezim Sukarno dengan ditandai
sering bongkar pasangnya kabinet pemerintahan akibat liberalisasi politik. Bongkar pasangnya kabinet pada
akhirnya menciptakan instabilitas politik secara makro
sehingga membuka ruang terhadap kelompok-kelompok yang selama ini merasa dirugikan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk mobilisasi perseturuan
bersenjata dengan pemerintah.
Lebih dari itu, kebijakan Orde Lama yang cenderung
sentralistik dengan memusatkan pembangunan di daerah Jawa membawa pada dampak mobilisasi primordialisme dengan jalan perlawanan bersenjata. Andrew
130
Batas Toleransi Politik
Vincent sebagaimana dikutip oleh Firman Noor mengungkapkan bahwa gerakan perlawanan berbasis sentimen primordialisme tidak saja sebagai bagian dari dinamika internal yang wajar tetapi sudah pada tahap
titik nadir mempertanyakan keabsahan nasionalisme
Indonesia.25
Ketiga peristiwa tersebut memberikan akses kesempatan politik untuk mengembalikan peranan politik
Islam pasca kekalahan dalam perumusan ideologi negara serta memberikan insentif bagi keberlangsungan
gerakan perlawanan atau terorisme. Pada tahap ini,
ketidakstabilan negara akibat ketegangan elite politik
nasional dan kelompok kepentingan telah memunculkan Islam dalam bentuknya yang politik. Islam politik
memandang agama bukan hanya sebagai pedoman
hidup dalam hubungannya dengan Tuhan tetapi merupakan teori politik dan negara.26
Islam politik dalam Orde Lama menemukan bentuknya dalam gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Gerakan
DI/TII dibentuk sebagai reaksi dari beberapa kelompok
milisi yang menganggap para pemimpin Islam tidak
sanggup membawa aspirasi umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Di samping itu, kegagalan Sukarno dalam mengawal pembangunan Indonesia
memberikan ruang bagi kebangkitan Islam politik. Hal
ini menjadi landasan empiris terhadap kelompok Islam
radikal untuk berjuang melalui jalan non institusional.
Firman Noor, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas
Primordialisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 2.
26
Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World
(London: Routledge, 1991) 1-3; Olivier Roy, The Failure of Political
Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard
University Press, 1994): 12 dan 75; Azyumardi Azra, “Revitalisasi
Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, Indo-Islamika,
Volume 1, Nomor 2 (2012):233-244.
25
131
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Mobilisasi perseturuan gerakan DI/TII melawan rezim pemerintah muncul dalam bentuknya yang destruktif dan terang-terangan melakukan pemberontakan.
Pemberontakan adalah terorisme itu sendiri, dan tidak
ada pemberontakan tanpa aksi teror karena pemberontakan seringkali berbentuk kekerasan yang terorganisir
yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Oleh
karena itu, gerakan DI/TII merupakan bentuk superfisial dari terorisme atau ekstrimisme berbasis Islam pertama kali di Indonesia dan sekaligus menjadi inspirasi
aktivis Islam radikal hingga sekarang.
Ketiga hal di atas memberikan petunjuk mengapa
gerakan Islam memilih jalan kekerasan berupa pemberontakan sebagai bentuk perlawanan. Pemberontakan
bukanlah jalan satu-satunya namun ketika sumber daya
terbatas dan akses saluran politik tidak mampu, ditambah tindakan represif pemerintah terhadap gerakan DI/
TII pasca kembalinya pemerintahan RI ke Jakarta setelah pindah di Yogjakarta. Maka hal tersebut membuka
peluang perlunya upaya kekerasan untuk meraih tujuan. Ketiga hal tersebut sekaligus menunjukkan wacana yang mendasari Gerakan DI/TII tidaklah berangkat
dari persoalan keagamaan tetapi persoalan yang lebih
krusial bersumber dari adanya akses dan kesempatan
politik yang diberikan pada masa awal kemerdekaan di
bawah pemerintahan Orde Lama.
Hal ini mengandung pengertian bahwa di tengah
transisi politik pasca kolonialisme yang belum mampu
menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan
politik baru yang efektif. Pilihan yang dilakukan gerakan
DI/TII dengan melakukan mobilisasi perseturuan baik
dengan Belanda dan pemerintah RI cukup rasional. Oleh
karena itu, gerakan DI/TII merupakan pilihan rasional
132
Batas Toleransi Politik
dengan pertimbangan strategis berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan.
Mereka menawarkan alternatif pemecahan mengusung ide Negara Islam Indonesia atau lebih dikenal
dengan NII. Faktor-faktor tersebut dimanfaatkan oleh
gerakan DI/TII untuk melakukan mobilisasi politik dan
menyediakan akses serta kesempatan elite politik Islam
yang terpinggirkan untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik.
Selanjutnya, di tingkat permukaan, gerakan DI/
TII mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan
simbol-simbol Islam. Meskipun berangkat dari alasan
keagamaan, transformasi gagasan untuk memobilisasi
konsensus seringkali, bahkan sebagian besar, bersifat
non-keagamaan tetapi memanfaatkan isu disparitas
pembangunan untuk melakukan mobilisasi konsensus
dukungan terhadap gerakan DI/TII di Aceh,27 Sulawesi
Selatan, Kalimantan dan Jawa Tengah.
Gerakan DI/TII Aceh yang dipimpin Daud Beureueh
menunjukkan kekecewaan para tokoh pimpinan
masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera Utara yang beribukota di
Medan. Penghapusan status otonomi Aceh tersebut
telah membawa dampak yang cukup besar, bukan
hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga ketegangan.
Kebijakan tersebut diinterpretasikan oleh para pemimpin Aceh sebagai wujud pengkhianatan Pemerintah
Pusat terhadap pengorbanan rakyat Aceh selama masa
revolusi.
Di samping itu, penghapusan otonomi juga berdampak pada kesatuan militer dimana Komando TeritoIrine Hiraswari Gayatri “Talik Ulur Keindonesiaan dan Keacehan”
dalam Firman Noor, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen
Primordial di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2008), 44-45.
27
133
Men-Teroris-Kan Tuhan!
rium Aceh digabungkan ke dalam Komando Teritorim
I yang berpusat di Medan terhitung 1 Februari 1951 sehingga kesatuan militer Aceh dibawah kendali kesatuan pasukan militer di Medan akibatnya menimbulkan
kekecewaan beberapa pejuang revolusi kemerdekaan,
dampak dari penghapusan otonomi juga adanya mutasi
pegawai beberapa tokoh pejuang Aceh.28
Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan, Kahar
Muzakar turut bergabung dengan gerakan DI/TII karena merasa kecewa dengan kebijakan internal Angkatan
Darat terkait dengan penanganan Corps Tjadangan
Nasional (CTN), begitu juga dengan gerakan DI/TII di
Kalimantan ibn Hajar serta Amir Fatah di Jawa Tengah
yang sama-sama berangkat dari kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Keluhan atau kekecewaan tersebut dijadikan akses kesempatan politik
Kartosuwiryo untuk melakukan mobilisasi konsensus.
Keluhan menjadi instrumen bagi terselenggaranya
gerakan sebagai sebuah permintaan (demand) protes
secara kolektif dan memungkinkan bagi persediaan
(supply) akses terselenggaranya gerakan penentangan
dengan membentuk identitas kolektif.29 Identitas kolektif
terbentuk dengan adanya aspek kultural dan ideologi.
Dua aspek tersebut semakin menemukan relevansinya
ketika akses kesempatan politik terbuka untuk melakukan mobilisasi perlawanan. Hal inilah yang menjadi landasan kebangkitan Islam politik sebagaimana
Ti Aisyah, Subhani dan Al-Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis
Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964
(Lhokseumawe NAD : Unimal Press, 2008),123-134.
29
Bert Klandermans, “The demand and supply of participation: Social
psychological correlates of participation in social movements”,
www.uni-kiel.de/psychologie/ispp/.../klandermans_demand_
supply.pdf‎ (diakses 21 Desember 2013).
28
134
Batas Toleransi Politik
dilakukan Kartosuwiryo dengan mengatasnamakan gerakan DI/TII.
Dari perspektif ini, perlawanan gerakan DI/TII lewat kekerasan dan penyerangan terhadap negara bukan
merupakan hasil dari faktor ideasional murni. Dengan
kata lain faktor agama bukanlah menjadi sebab utama.
Namun demikian, Islamlah yang menjadi perekat di
antara pemimpin-peminpin untuk membentuk sebuah
front persatuan perlawanan yang bertujuan mendirikan
Negara Islam Indonesia.30 Di samping itu, kondisi darurat dari luar yang diciptakan oleh kebijakan negara juga
andil memberikan peluang untuk melakukan tindakan
pemberontakan melawan ketidakadilan pembangunan.
Tindakan pemberontakan dengan jalan kekerasan
bagi DI/TII dilakukan dengan perhitungan rasional.
Hal ini tidak saja didasarkan pada keterbukaan sistem
politik, tetapi juga kondisi sumber daya yang minimal
menjadi dasar legitimasi kekerasan. Ketidakmampuan
elite politik Islam dalam memunculkan identitas Islam
melalui saluran institusional mempengaruhi pilihan
gerakan bawah tanah dengan cara kekerasan.
B.Terorisme dan Kesempatan Politik Orde Baru
Pasca tumbangnya rezim Sukarno dan digantikan
Suharto sebagai kepala pemerintahan, kelompok Islam
memiliki harapan besar bagi upaya kiprah Islam politik
di pentas nasional. Harapan besar tersebut setidaknya
dilandaskan pada peran kelompok Islam bersama
kekuatan Suharto dalam menjatuhkan Sukarno.
“Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan
Australia”.Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005);6.
30
135
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Namun demikian, harapan itu hanyalah pepesan kosong yang tidak tersampaikan. Pemerintah Orde Baru
mengambil sikap tegas terhadap Islam politik dengan
beberapa pertimbangan menyangkut stabilitas keamanan nasional dan stabilitas kekuasaan Suharto. Islam
politik di masa pemerintahan Suharto makin tidak bisa
bergerak dalam menyuarakan aspirasi politik.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, para politisi Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Muslim Indonesia,
terus menggelindingkan usaha pemberlakuan kembali
Piagam Jakarta.31 Namun usaha tersebut tidak mendapatkan hasil. Orde Baru mengambil sikap tegas terhadap
Islam politik karena nampaknya ingatan buruk seputar
kekalahan Islam politik dalam perumusan ideologi negara masih menjadi arus utama gerakan Islam politik untuk mengislamkan negara.
Usaha-usaha tuntutan kembali Piagam Jakarta menimbulkan babak baru ketegangan antara pemerintah
dengan kelompok Islam. Kondisi tersebut menimbulkan
ketegangan di antara kedua belah pihak. ketegangan
antara negara dan kelompok Islam politik secara terusmenerus mewarnai belantika perpolitikan di Indonesia
di masa Orde Baru sejak pertengahan tahun 1970-an
hingga awal 1980-an. Pertarungan dan ketegangan
tersebut hingga mengarah ke dalam aksi-aksi kekerasan
dalam bentuk terorisme sebagai politik penentangan.
Dalam catatan sejarah sepanjang pemerintahan Orde
Baru, beberapa gerakan perlawanan yang pernah muncul adalah sebagai berikut32:
Lihat selanjutnya dalam Sudirman Tebba, Islam Orde Baru:
Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1993),xv-xx; Anas Saidi, ed. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru (Depok: Desantara, 2004).
32
M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan,
31
136
Batas Toleransi Politik
1. Komando Jihad, gerakan terorisme yang kendalikan salah satunya oleh Haji Ismail Pranoto. Gerakan Komando Jihad mulai melakukan aksi-aksi
teror pada sekitar tahun 1976.
2. Front Pembebasan Muslim Indonesia, sebuah
gerakan di Aceh yang dipimpin oleh Hassan Tiro
dengan motif ketidakadilan pembangunan dan
tindakan represif pemerintah terhadap umat Muslim di Aceh.
3. Protes terhadap kebijakan Orde Baru terhadap
Islam politik juga melahirkan gerakan yang dipimpin oleh Abdul Qadir Djaelani pada sekitar
tahun 1976.
4. Perlawanan terhadap rezim Orde Baru juga dilakukan Kelompok Warman, sebuah kelompok
yang punya afiliasi dengan Komando Jihad.
5. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok
Imran dengan mengatasnamakan “Dewan Revolusioner Islam Indonesia” melakukan serangkain
aksi-aksi kekerasan sebagai bagian dari protes kebijakan Orde Baru terhadap Islam politik.
Gerakan Komando Jihad aktif sekitar tahun 1968–
1980-an. Gerakan ini melakukan serangan di beberapa
tempat seperti, peledakan bom di Masjid Nurul Iman,
Padang pada tanggal 11 November 1976. Serangan
Pembajakan Pesawat Garuda Indonesia pada tanggal 28
Maret 1981, pada Januari 1979, mereka juga membunuh
Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo. Korban dibunuh
lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiah
kepada otoritas pemerintah dan bertanggung jawab
atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008), 66-67.
137
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Ba’asyir. Pembunuhan dilakukan oleh Warman, Hasan
Bauw, Abdullah Umar, dan Farid Ghozali.
Dalam pandangan Busyro Muqoddas, komando jihad
merupakan gerakan terorisme buatan pemerintah Orde
Baru dalam konteks penghancuran politik umat Islam
pasca pemusnahan komunisme PKI.33 Namun demikian,
terlepas apakah Komando Jihad merupakan skenario
pemerintah yang pasti Komando Jihad telah muncul
dalam sejarah Orde Baru sebagai gerakan teroris berbasis Islam dengan melakukan serangkaian serangan teror.
Gerakan Hasan Tiro merupakan gerakan kebangkitan nasional lokal yang disebut dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).34 Gerakan ini dideklarasikan pada 4
Desember 1976. GAM sebagai gerakan separatis juga
dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation
Front (ASNLF). Tujuan gerakan ini adalah gerakan pembebasan (liberation movement) yang ingin membebaskan
rakyat Aceh dari belenggu ketidakadilan pemerintah
Indonesia.
Gerakan ini tidak saja merupakan bentuk kebangkitan nasional lokal atas ketidakadilan pembangunan
tetapi juga adanya warisan perjuangan dari tokoh sebelumnya seperti Daud Beureuh dengan Negara Islam
Indonesianya yang dijadikan landasan historis pemberontakan bahwa Aceh harus menjadi negara tersendiri
berdasarkan hukum Islam. Ketidakadilan pembangunan menjadi sejarah pemicu lahirnya gerakan terorisme
di Aceh. Ia tidak saja didasarkan atas landasan doktrinal
agama semata tetapi nilai-nilai sekuler dalam bentuk
konflik kepentingan, kekuasaan dan ekonomi-politik
Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: sisi gelap peradilan
komando jihad (Yogyakarta:Pusham UII, 2011).
34
Otto Syamsuddin Ishak dkk, Hasan Tiro:Unfinishid Story of Aceh
(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010).
33
138
Batas Toleransi Politik
menjadi pemicu keberhasilan dan kemunculan gerakan
radikalisme teroris.35
Perlawanan dengan jalan kekerasan juga dilakukan
oleh Amir Biki yang memiliki basis dukungan kekuatan
di sekitar Jakarta dan sekitarnya. Kelompok ini terkenal
dengan peristiwa kerusuhan Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984. Peristiwa tersebut berawal dari
protes sehubungan dengan tindakan represif pasukan
TNI di Markas Polres Jakarta Utara yang memakan korban 23 orang tewas akibat ditembak aparat keamanan.36
Peristiwa Tanjung Priok melahirkan kesadaran atas
nama solidaritas umat Islam sehubungan dengan tindakan represif pemerintah dalam menanggapi protes
kelompok Amir Bikri dengan munculnya berbagai aksi
protes bernuansa kekerasan seperti yang dilakukan oleh
Gerakan Pemuda Ka’bah.
Gerakan pemuda Ka’bah melakukan peledakan kantor BCA di beberapa tempat pada tahun 1984 secara
bersamaan. Pada tanggal 4 Oktober 1984 BCA di Kompleks Pertokoan Glodok, Jakarta. Pelaku Chairul Yunus
alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin dan
peledakan kantor BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pelaku diketahui angggota Gerakan Pemuda Ka’bah
bernama Edi Ramli.37
Lihat uraian bagaimana konflik kepentingan politik, ekonomi dan
kekuasaan menjadi embrio atas keberhasilan dan kemunculan
gerakan-gerakan penentangan yang disebut penguasa sebagai
terorisme, Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta:LP3ES, 2005)103-272.
36
Tempo Interaktif, “Kerusuhan Tanjung Priok Direkonstruksi”,
Jum’at, 04 Juni 2004 http://tempo.co.id/hg/nasional/2004/06/04/
brk,20040604-21,id.html(diakses 4 November 2013).
37
Lihat selanjutnya terkait bom BCA dalam Rachmat Basoeki
Soeropranoto, Kasus Peledakan BCA 184:Menggugat Dominasi
Ekonomi Etnik Cina di Indonesia (Jakarta:Fame Press,2000) lihat
35
139
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan protes terhadap kasus kerusuhan Tanjung
Priok juga diimplementasikan dalam peledakan bom
Borobudur yang terjadi pada 20 Januari 1985 dan bom
Pemudi Ekspress Banyuwangi pada 16 Maret 1985.
Pelaku peledakan tersebut adalah dua bersaudara Abdul
Kadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi.
Namun demikian, aktor intelektual dari peledakan bom
Borobudur adalah “Ibrahim” alias Mohammad Jawad
alias “Kresna”.
Kemudian di tahun 1989 terjadi gerakan terorisme
berbasis Islam di Lampung yang digerakkan oleh simpatisan anggota gerakan DI/TII. Gerakan ini dipimpin
oleh tokoh utama Anwar atau Warsidi yang memiliki
hubungan dengan sisa-sisa kelompok gerakan Darul
Islam. Kelompok Warsidi tidak mengakui sebagai
warga Negara Indonesia mereka telah mempersiapkan
konfrontasi bersenjata dengan pemerintah Orde Baru.
Gerakan Warsidi untuk kemudian memunculkan tragedi berdarah yang terkenal dengan tragedi Talangsari,
Lampung.38
Gerakan terorisme pada masa Orde Baru tidak saja
diwarnai oleh terorisme berbasis Islam tetapi juga gerakan terorisme separatis. Gerakan ini teraktualisasi dalam
gerakan pembebasan Timor-Timur yang memiliki wadah organisasi Fretelin’s (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente). Gerakan terorisme separatisme
Timor-Timur menjadi perhatian dunia internasional terjuga dalam liputan Tempo Interaktif, “Teror Bom di Indonesia
(Beberapa di Luar Negeri) dari Waktu ke Waktu”, Sabtu, 17 April
2004. http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/04/17/tml,2004041701,id.html (diakses 1 November 2013).
38
Lihat Widjiono Wasis, Geger Talangsari: Serpihan Gerakan Darul
Islam. dan lihat pula tentang gerakan Warsidi dalam Martin van
Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, penerjemah Farid Wajidi
dan Rika Iffati (Yogyakarta:Penerbit Gading, 2013), 248-249.
140
Batas Toleransi Politik
masuk PBB karena banyaknya jumlah korban dari kerusuhan masal yang terjadi yaitu lebih dari 200.000 orang
dinyatakan meninggal.
Table 3.
Organisasi, Aktor dan Karakteristik Terorisme
Pada Masa Orde Baru
No
Organisasi
1 Komando Jihad
Fretelin’s
2 Timor-Timur,
1975
Gerakan Aceh
3
Merdeka, 1977
Dewan Revolusi
4 Islam Indonesia,
1980-1981
Kasus Tanjung
5
Priok
Pengajian Warsidi,
6
Lampung, 1989.
Aktor
Karakteristik
H. Ismail Pranoto,
Dodo Katosuwiryo dan Islam politik
Adah Djaelani
Xanana
Separatisme
liberal
Hasan Tiro
Islam politik
Imron bin Muhammad
Islam politik
Zein
Amir Bikri
Islam politik
Warsidi
Islam politik
Gerakan Fretelin’s merupakan bentuk kebangkitan
nasional lokal yang tentu saja memiliki akar sejarah
dimana Timor-Timur secara historis bukan merupakan bagian dari kekuasan Hindia-Belanda yang setelah
merdeka menyatu dalam NKRI dan adanya ketidakadilan pemerataan pembangunan sebagai faktor pemicu lahirnya gerakan penentangan. Gerakan separatis TimorTimur pernah tertangkap melakukan aksi peledakan
bom di Demak, Jawa tengah pada 13 September 1997.
Bom tersebut meledak tanpa disengaja saat berupaya
melakukan mobilisasi perlawanan terhadap pemerin-
141
Men-Teroris-Kan Tuhan!
tah. Bom tersebut terindikasi dilakukan oleh tiga pemuda Timor Timur dan adanya indikasi keterlibatan warga
negara Australia bernama Geofrey.39
Selanjutnya, ketika rezim bersikap tegas terhadap
gerakan Islam politik maka aktivis Islam menghindari
tindakan represif rezim dengan jalur dakwah. Gerakan
dakwah di masa Orde Baru berkembang pesat seiring
tiadanya ruang politik bagi aktivis Islam. Kebijakan
Orde Baru yang tegas terhadap Islam Politik menjadikan struktur kesempatan politik tertutup bagi upayaupaya perlawanan dan koalisi oposisi dalam melakukan
perlawanan.
Perlawanan dengan jalan kekerasan di dalam gerakan
Islam di masa Orde Baru semakin bisa diterima karena
beberapa pertimbangan menyangkut struktur kesempatan politik, antara lain: demobilisasi politik dan depolitisasi agama melalui asas tunggal Pancasila.
1. Demobilisasi Politik
Struktur kesempatan politik pada masa pemerintahan
Orde Baru sangat tertutup. Akses kesempatan politik
pada masa ini cenderung ekslusif dan tidak menerima
ruang terhadap golongan lain. Hal ini merupakan implikasi dari sistem politik demobilisasi masyarakat secara
luas yang diterapkan Orde Baru.
Demobilisasi politik pada intinya merupakan mekanisme kontrol sosial politik untuk menciptakan stabilitas keamanan dan sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Demobilisasi politik tersebut sangat nyata dan
GATRA, “Bom Meledak di Demak, Gerakan Teroris Itu
Terbongkar”, 25 Oktober 1997.http://www.library.ohiou.edu/
indopubs/1997/11/01/0060.html(diakses 1 November 2013).
39
142
Batas Toleransi Politik
khususnya terhadap kelompok Islam. Orde baru begitu
berkuasa bersikap tegas terhadap kekuatan politik Islam
yang terimplementasi baik dalam bentuk partai politik
maupun organisasi kemasyarakatan.
Dalam rangka demobilisasi secara luas, rezim Orde
Baru Suharto menjadikan kekuatan militer ABRI sebagai kekuatan dalam menyokong stabilitas keamanan nasional guna menyokong kekuasaannya. Militer Indonesia
ditangan Suharto berhasil memonopoli sejarah dan
mengontrol isinya dengan tujuan memvalidasi peran
politik angkatan bersenjata, mengutuk komunisme dan
mempromosikan nilai-nilai militer dengan membangun
beberapa monumen simbol-simbol militer dan museum
sejarah peranan militer ABRI.40
Rezim Orde Baru adalah sebuah potret pemerintahan otoriter sebagaimana diungkapkan oleh Budiman
dan Tornquist. Otoritarian rezim Orde Baru dibangun
atas empat kategori. Pertama, negara menjelma menjadi
kekuasaan teror (state terorisme), adanya pemaksaan secara fisik terhadap kekuatan lain yang dianggap menghambat kelanggengan kekuasaan. Kedua, negara menjelma sebagai kekuatan korporasi (state corporatisme),
Orde Baru membangun jaringan institusi untuk merumuskan kebijakan dan peraturan yang bertujuan pada
kekuasaannya.
Ketiga, negara menjadi penguasa opini publik (state
discourse), Orde Baru menjadi penguasa opini publik
untuk melakukan pembenaran wacana atas kebijakankebijakan yang diambil. Keempat, negara klien (state
clientilisme), adanya jaringan bisnis yang dikuasai
oleh rezim Orde Baru sehingga mampu membangun
Katharine E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the
Construction of Indonesia’s Past (Singapore: NUS Press, 2007), 27.
40
143
Men-Teroris-Kan Tuhan!
kebijakan-kebijakan pasar yang menguntungkan jaringan bisnis rezim penguasa dan para kroni-kroninya.41
Dalam pandangan William Liddel, sebagaimana
diungkapkan oleh Bahtiar Effendy bahwa piramida
kekuasaan Orde Baru terakumulasi dalam tiga kekuatan politik yaitu kantor kepresidenan, militer dan birokrasi sebagai pusat pengambil kebijakan. Meskipun
tidak terlalu berbeda dengan Liddel, Bahtiar Effendy
menyebut tiga piramida kekuasaan tersebut meliputi
Birokrasi, ABRI dan Partai Golkar. Ketiga kekuasaan
tersebut saling berinteraksi dan menghasilkan kekuasaan yang sangat kuat di segala lini kehidupan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.42
Dalam konteks demobilisasi politik Islam, kebijakan
tersebut diambil dengan alasan bahwa setelah komunis
maka yang dianggap ancaman terhadap stabilitas politik Orde Baru adalah Islam. Islam politik menjadi satusatunya kekuatan di Indonesia yang memiliki potensi
untuk memobilisasi diri melakukan perlawanan.
Islam politik dianggap sebagai ancaman tidak saja
karena merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia sehingga memiliki kekuatan yang terorganisir dengan basis akar rumput yang kuat, tetapi
juga warisan sejarah bangsa Indonesia seputar ketegangan perumusan ideologi negara yang masih menyisakan
pendukung fanatis menghendaki Islam sebagai ideologi
negara. Oleh karena itu, praktis hanya kelompok Islam
Lihat selanjutnya dalam Arief Budiman, Olle Tornquist. Aktor
Demokrasi : Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia
(Jakarta:Institut Studi Arus Informasi, 2001).
42
Bahtiar Effendy,”Merumuskan Kembali Posisi Birokrasi, Militer
dan Partai Politik: Sebuah Pengantar masalah”, dalam Zainuddin
Maliki, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi
(Yogyakarta:Galang Press, 2000)xxiii-xI.
41
144
Batas Toleransi Politik
setelah komunis yang dianggap mampu memobilisasi
perlawanan.
Demobilisasi politik Islam semakin nyata ketika
Parmusi sebagai salah satu wadah aspirasi partai politik kelompok Islam ditolak keberadaannya pada akhir
1960-an. Penolakan Parmusi merupakan intervensi
pemerintah dalam upaya melanggengkan kekuasaan.
Parmusi dianggap sebagai pesaing serius bagi Golkar
yang merupakan kendaraan politik Orde Baru.
Selanjutnya, Orde Baru membentuk partai lain bagi
kalangan Muslim yang disebut PPP (Partai Persatuan
Pembangunan). Partai ini berfungsi layaknya sebagai
wadah pemilu bagi umat Islam tetapi dengan berbagai
cara pemerintah mempersulit pergerakannya agar jauh
dari popularitas masyarakat.
Kebijakan pemerintah mereduksi partai politik menjadi tiga (Golkar, PDIP dan PPP) merupakan bagian dari
strategi pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan
kekuasaan dengan membatasi pergerakan partai politik.43 Meskipun demikian, keberadaan PPP tidak bisa dianggap representasi politik Islam sebab semua struktur
Bandingkan dengan peta kekuatan partai politik pada zaman Orde
Lama (1945-1965) yang sangat bervariasi termasuk partai Islam.
Peta politik model aliran seperti yang pernah dilakukan oleh
Herbert Feith dan Lance Castles terakumulasi dalam lima aliran
politik yaitu nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam,
Sosialisme Demokrasi dan Komunisme. Lima aliran pemikiran
politik itu kemudian selanjutnya mewujudkan diri kedalam lima
bentuk partai politik. Nasionalisme radikal mewujudkan diri
kedalam Partai Nasional Indonesia (PNI); Islam meleburkan diri
kedalam MASYUMI (sosialisme-demokratik) dan Nahdatul Ulama
(NU); Sosialisme demokratikmewujudkan diri kedalam Partai
Sosialis Indonesia (PSI) sedangkan komunisme mewujudkan diri
kedalam Partai Komunis Indonesia (PKI); dan yang terakhir aliran
tradisonalisme-Jawa satu-satunya yang tidak membentuk diri.
43
145
Men-Teroris-Kan Tuhan!
politik kepartaian dikendalikan rezim otoritarian Orde
Baru.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Liddle,
selama masa pemerintahan Orde Baru partai politik dipinggirkan dan keberadaan partai politik di luar Golkar
yakni PDI dan PPP dibiarkan tetapi eksistensinya hanya
pelengkap partai pemerintah.44Lebih dari itu, dua tahun
di awal kekuasaan Orde Baru, Suharto telah melarang
lebih dari seratus organisasi aliran kepercayaan dan kebatinan dan beberapa organisasi sosial-politik yang berhaluan PKI dan anti-Islam.45
Demobilisasi politik Islam membawa dampak terhadap peranan kelompok Islam di dalam jajaran pemerintahan. Pada level birokrasi akses saluran institusional
semakin tertutup bagi kalangan Muslim dengan meningkatnya pengaruh kalangan Abangan dan Kristen di jajaran birokrasi dan militer. Birokrasi Orde Baru menjadi
alat kontrol kekuasaan rezim yang tidak memberikan
ruang bagi kelompok luar khususnya aktivisme Islam.
Pada level pembangunan ekonomi, saluran aktivitas
perekonomian bagi kelompok Islam juga mengalami
kebuntuan ketika pemerintah lebih memberikan akses
secara terbuka hubungan bisnis dengan kelompok etnis
China. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi
pada pasar bebas dan modal asing telah memberi kesempatan kepada kelompok pengusaha China Indonesia
untuk berkembang secara pesat, suatu keadaan yang belum pernah dialami pada masa kolonial maupun masa
Sukarno.
William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan
Politik (Jakarta: LP3ES, 1992).
45
Anas Saidi, ed., Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan
AgamaOrde Baru (Depok:Desantara, 2004),14-16.
44
146
Batas Toleransi Politik
Kebijakan-kebijakan di masa Orde Baru mendapatkan legitimasi pembenaran melalui dukungan lembaga CSIS (Centre for Strategic and International Studies).
CSIS merupakan lembaga think thank, badan pemikir
atau badan analis yang berorientasi pada kebijakan, di
bawah kendali jenderal Ali Moertopo. CSIS menjadi pusat produksi kajian akademis untuk mendukung setiap
kebijakan Orde Baru.46
Oleh karena itu, demobilisasi politik secara luas
yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru terakumulasi dalam tiga kekuatan institusi besar yaitu Birokrasi,
ABRI dan Golkar yang menjalankan urutan kemakmuran (the order of prosperity) yang dinikmati oleh elite
politik Orde Baru sebagai ujung tombak sehingga secara
sistemik dan terstruktur pemerintah Orde Baru mampu
membangun kharismanya.47 Selanjutnya, tiga kekuatan
tersebut membentuk sebuah sistem kerja yang menjadi
alat kontrol sosial pemerintah guna melanggengkan
kekuasaan.
2. Depolitisasi Agama melalui Asas Tunggal
Pancasila
Dalam konteks Indonesia di bawah rezim Orde Baru,
kebijakan represif pemerintah Orde Baru baik melalui peraturan perundang-undangan maupun tindakan
menjadikan struktur kesempatan politik menjadi eklusif
dan tertutup. Lebih dari itu, kampanye pemikiran
Nurcholis Masjid tentang jargon “Islam yes, Partai Islam
Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic
Radicalism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 38,
No.4, (November 2008),638-647.
47
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 288.
46
147
Men-Teroris-Kan Tuhan!
no” pada saat itu juga turut serta mengeliminasi Islam
politik dalam pentas perpolitikan Orde Baru.
Depolitisasi agama melalui proyek asas tunggal
Pancasila merupakan puncak dari demobilisasi Islam
politik Orde Baru. kebijakan ini diawali dari keputusan
pemerintah tanggal 19 Februari 1985 dengan persetujuan
DPR, telah mengeluarkan Undang-Undang No. 3/1985
yang berisi penegasan bahwa partai-partai politik dan
Golkar harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya
asasnya.
Kemudian menyusul empat bulan kemudian pada
tanggal 17 Juni 1985 telah mengeluarkan Undang-Undang No. 8/1985 tentang Ormas, dimana seluruh organisasi sosial yang ada juga harus mencantumkan Pancasila
sebagai asas tunggalnya. Hal ini juga berlaku terhadap
organisasi kemahasiswaan seperti, organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Pemberlakuan aturan tersebut
menimbulkan perpecahan di dalam tubuh HMI, sebagian memilih bertahan dengan membentuk organisasi
HMI MPO dan sebagian memilih jalan kooperatif yang
tergabung dalam HMI DIPO.48
Pemaksaan pemberlakuan asas tunggal Pancasila
mencerminkan gaya politik predator Orde Baru. Orde
Baru menjadikan kekuasaan sebagai alat kontrol pihak
oposisi yang dianggap akan memobilisasi perlawanan
terhadap pemerintah. Gaya politik Orde Baru telah berdampak pada dinamika kehidupan sosial masyarakat
Indonesia yang tidak ada hal kemajuan yang didapat
selain menjadi konsumen dungu kebijakan pemerintah
dalam rangka melanggengkan kekuasaan.
Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat
Kebangkitan Intelektual (Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013).
48
148
Batas Toleransi Politik
Kebijakan otoriter Orde Baru telah membawa
dampak dan menentukan wajah Islam selama Orde
Baru. Dampak pertama menyangkut jaringan disisentif
Islam politik dalam bentuk gerakan dakwah dan kedua
menyangkut ketegangan religio politik yang melahirkan
kekerasan sebagai puncak kejenuhan kebijakan Orde
Baru. Pada titik ini gerakan penentangan dalam bentuk
kekerasan lahir atas dasar sikap represif rezim yang mulai dirasakan masyarakat sangat berlebihan.
Disisentif melahirkan gerakan dakwah sebagai pilihan utama bagi aktivisme Islam akibat sikap koersif dan
represif pemerintah terhadap Islam politik. Pada titik
ini, Masjid menjadi pusat aktifitas para elite politik Islam
tidak saja sebagai tempat dakwah tetapi sebagaimana
dicatat oleh Raillon bahwa masjid dengan segala fasilitasnya dimaksudkan tidak hanya untuk mendukung
kegiatan keagamaan tetapi juga sebagai promosi budaya
dan politik sehari-hari; klinik, kultural, tempat tidur,
kantin, toko, tempat percetakan, perpustakaan, tempat
berolahraga dan sebagainya.49 Mekanisme dakwah menjadi saluran protes bagi kelompok Islam serta pusat kehidupan sosial keagamaan bagi aktivisme Islam.
Selanjutnya, di kalangan intelektual mahasiswa
gerakan dakwah muncul dalam bentuknya sebagai
gerakan dakwah kampus yang awal mulanya lahir di
lingkungan mahasiswa ITB di Masjid Salman. Gerakan
dakwah kampus ini menjadi cikal bakal terhadap gelombang pertama embrio transformasi gagasan Islam politik
Timur Tengah di Indonesia.50
Francois Raillon, “The New Order and Islam, or the Imbroglio of
Faith and Politics”, Indonesia, 57, 1994; 211.
50
M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005),
81-83.
49
149
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan dakwah yang dimotori kalangan mahasiswa
dengan menggunakan pendekatan usroh di kemudian
hari menjadi cikal bakal kelahiran gerakan Dakwah
Tarbiyah yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir Indonesia dan Dakwah Salafi.
Sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa awal
pemerintahan Orde Baru hingga awal 80-an, Islam politik mengambil bentuk kritik yang terekspresikan melalui pengajian-pengajian dan khotbah-khotbah agama.
Dalam studi mobilisasi sumber daya, kekuatan koersif dan represi yang diterapkan Orde Baru menjadi kendala dan hambatan bagi keberlangsungan gerakan penentangan karena biaya mahal yang harus ditanggung
jika memaksa untuk melakukan politik perlawanan.
Aksi kolektif merupakan mekanisme mobilisasi penentangan untuk mengurangi biaya, sehingga jika penguasa atau lawan cenderung bersikap represif hanya akan
meningkatkan biaya dan sangat sedikit partisipan untuk bergabung karena resiko yang dihadapi jika harus
melawan penguasa yang reaktif dalam menyikapi aksi
protes.
Oleh karena itu, jaringan disinsentif Islam politik
mengambil jalan dalam bentuk gerakan-gerakan dakwah
bawah tanah dengan sistem organisasi kepemimpinan
rahasia dan organisasi non-formal sebagai upaya untuk
menghindari kontrol dan represi rezim.51 Selanjutnya,
wacana ketidakadilan sosial menjadi tema sentral dalam
pengajian-pengajian dan khotbah keagamaan yang cenderung mencerminkan sebuah bentuk radikalisme retoris yang ditujukan kepada pemerintah.
Burhanuddin Muhtadi, “Demokrasi Zonder Toleransi:Potret Islam
Pasca Orde Baru”, Komunitas Salihara, Makalah Diskusi 1 Januari
2011;8.
51
150
Batas Toleransi Politik
Gerakan dakwah yang dilakukan oleh aktivis Islam
sebagai akibat sikap tegas pemerintah terhadap Islam
sesungguhnya menciptakan insentif terhadap upayaupaya pemaknaan diri terhadap realitas yang mendiskriminasikan kelompok Islam. Pada level ini, radikalisme retoris yang tercermin dalam pengajian-pengajian
keagamaan secara tidak langsung semakin menciptakan
identitas kolektif akan ketidakadilan yang dialami sehingga membentuk solidaritas Islam untuk melakukan
perlawanan terhadap rezim. Gerakan dakwah menjadi
mekanisme mobilisasi dengan membingkai ketidakadilan sebagai alat melakukan penentangan.
Namun demikian, aktivitas Islam politik tidak hanya
muncul dalam bentuk dakwah. Perjuangan dalam bentuk kekerasan yang lebih terbuka sebagai reaksi terhadap Orde baru juga terjadi. Ketegangan religio politik
telah melahirkan kekerasan sebagai puncak dari kejenuhan aktivis Islam terhadap kebijakan Orde Baru yang
telah meminggirkan Islam politik dalam pentas perpolitikan Indonesia. Ketegangan tersebut telah mendorong
lahirnya Gerakan Komando Jihad. Komando Jihad merupakan perwujudan pembaharuan dari gerakan DI di
masa Orde Lama setelah kekalahannya di tahun 1960-an.
Melalui beberapa loyalis pimpinan DI, mereka berusaha
membangkitkan perlawanan melawan pemerintah.52
Mereka terinspirasi oleh pesan terakhir Kartosuwirjo
yang menyebutkan bahwa perjuangan DI pada waktu
itu memasuki fase Hudaibiyah.53 Para anggota gerakan
DI percaya bahwa DI akan bangkit dan kemenangan
Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan
Australia.Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005);10-12.
53
Periode perjanjian gencatan senjata sebelum pasukan Islam
berhasil menaklukkan kota Mekkah pada masa perjuangan Nabi
Muhammad.
52
151
Men-Teroris-Kan Tuhan!
sudah dekat. Selanjutnya, Komando Jihad digambarkan
dalam propaganda Orde Baru sebagai organisasi bawah
tanah yang bertujuan mengambil alih kekuasaan dengan
cara-cara kekerasan dengan tujuan mendirikan negara
Islam.
Komando Jihad kemudian menjadi sangat terkenal
sebagai penggambaran dari beragam kelompok Islam
garis keras yang dirujuk dalam pemberitaan pers pada
periode tersebut. Lebih dari itu, kemunculan Komando
Jihad merupakan gerakan terorisme berbasis Islam pertama kali pada masa Orde Baru.
Beberapa aksi yang dilakukan kelompok Komando
Jihad pertama-tama dilakukan secara serentak di wilayah
provinsi Sumatera seperti di Sumatera Utara, serangan granat yang gagal meledak dilemparkan di acara
Musabaqoh Tilawatil Quran di kota Pematang Siantar,
Sumatera Utara. Kemudian serangan bom di Rumah
Sakit Baptis Immanuel di Bukit Tinggi, Sumatera Barat
pada Oktober 1976 dan peledakan bom di Masjid Nurul
Iman pada 11 November 1976. Menyusul beberapa aksi
terorisme lainnya seperti di Medan seperti bom Bar
Apollo, bioskop Riang, Gereja Metodis dan pembajakan
pesawat Garuda Indonesia pada 28 Maret 1981.
Namun demikian, keberadaan Komando Jihad hingga sekarang masih dilingkupi misteri, sebagaimana diungkapkan Busyro Muqoddas bahwa Komando Jihad
merupakan bentukan pemerintah sebagai upaya penghancuran politik Islam.54 Klaim Komando Jihad sebagai
bentukan pemerintah juga diamini oleh Haji Wahyudin,
salah seorang guru agama yang dipenjara pada 1980an,
yang dituduh terlibat dalam kelompok Teror Warman.
Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan
Komando Jihad (Yogyakarta:Pusham UII, 2011).
54
152
Batas Toleransi Politik
Menurut Wahyudin, Komando Jihad “diciptakan”
untuk memberangus kaum Muslim yang dianggap
Orde Baru sebagai ancaman. Skemanya adalah keterlibatan mereka dalam operasi Moertopo yang “mengundang” aktivis Muslim untuk bekerjasama dalam koalisi
melawan komunis yang mereka percayai sedang dalam
proses membangun kembali kekuatannya pasca kegagalan di tahun 1960-an.55 Hal senada juga dipaparkan
oleh Crisis Group yang menyebutkan Komando Jihad
sebagai “ciptaan Ali Moertopo” yang memanfaatkan jaringan anggota DI.
Kemunculan Komando jihad pada akhir tahun 1970an hingga 1980-an dalam lintasan gerakan Islam Orde
Baru menandai babak baru tentang mobilisasi terbuka
penentangan terhadap rezim. Pada pertengahan 1980-an
dan seterusnya aktivis Islam mulai melakukan gerakan
perlawanan secara terbuka. Sejumlah insiden kekerasan
muncul pada periode ini, dimulai dengan tragedi
Tanjung Priok 1984 kemudian peledakan bom BCA pada
tahun 1984, yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong, pengusaha Cina tersukses yang dekat dengan Suharto dan
teror bom Candi Borobudur di Jawa Tengah pada 1985.
Sejumlah kekerasan yang muncul pada sekitar tahun
80-an bersamaan dengan ketegangan hubungan antara
Islam politik dan Negara terkait dengan kebijakan azas
tunggal Pancasila. Kebijakan ini memberikan kekuatan
memaksa agar semua organisasi harus menerima Pancasila sebagai landasan ideologi gerakan dan bagi yang
menolak akan dibubarkan oleh pemerintah. Kebijakan
yang bertujuan memperketat kontrol terhadap kegiatan
politik dalam masyarakat ini pada akhirnya melahirkan
Vedi R. Hadiz, “Toward a Sociological Understanding of Islamic
Radicalism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 38,
No.4, (November 2008);638-647.
55
153
Men-Teroris-Kan Tuhan!
ruang untuk memobilisasi melawan represif rezim
dengan kekerasan.
Periode tahun 1980-an menunjukkan siklus perubahan gerakan Islam yang mulai melakukan mobilisasi perlawanan terbuka. Hal ini menunjukkan sebuah bentuk
gerakan yang berbeda dengan periode awal rezim Orde
Baru hingga awal 70-an dimana kelompok Islamis terlibat dalam sedikit sekali tindakan oposisi politik di luar
saluran institusi. Pada masa itu, aktivisme Islam terbatas
hanya dalam kegiatan dakwah di masjid-masjid, protes
mahasiswa dan kegiatan ilmiah diskusi kampus bagi
kalangan mahasiswa.
Hal ini menunjukkan bahwa represi negara dengan
berbagai kebijakannya menciptakan kondisi politik
bagi munculnya perlawanan melawan represif rezim
dengan kekerasan. Pemerintahan eklusif dan diktator
tidak menjadi satu determinan utama bagi upaya menghambat kemunculan gerakan perlawanan. Kekerasan
dalam politik penentangan pada akhirnya tergantung
pada sejauh mana sebuah gerakan mampu mengukur
batas toleransi politik.
Oleh karena itu, dua aspek struktur kesempatan politik bagi gerakan aktivisme Islam setidaknya meliputi
keterbatasan akses sistem politik dan watak represi negara. Sistem politik masa Orde Baru tidak memberikan
ruang bagi kelompok Islam. Hal yang sama juga terjadi
di masa Orde Lama. Kedua rezim tersebut sama-sama
tidak memberikan ruang terhadap gerakan Islam politik
meski dengan cara berbeda. Orde Lama menggunakan
“politik sebagai panglima”, sedangkan Orde Baru menggunakan “pembangunan ekonomi sebagai panglima”
154
Batas Toleransi Politik
dalam mendiskriminasikan Islam politik dengan jalan
birokrasi sebagai pemain tunggal pengatur kekuasaan.56
Orde Baru memberikan kontrol ketat terhadap aktivisme Islam karena beranggapan kelompok Islam
merupakan kelompok yang bisa memobilisasi politik
untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Untuk itu, dibuatlah beberapa kebijakan demobilisasi politik Islam seperti halnya pembubaran Parmusi dan azas
tunggal Pancasila bagi semua organisasi kemasyarakatan. Azas tunggal Pancasila merupakan praktek kekuasaan ideologis yang diterapkan guna memberikan kontrol dan kepatuhan tertib politik guna melanggengkan
kekuasaan.
Praktek demobilisasi secara luas ini menghambat
proses demokrasi sehingga akses saluran institusional
menjadi terhambat. Demobilisasi menjadikan kekuatan
civil society sebagai nyawa proses demokratisasi menjadi lemah. Sebagaimana diungkapkan Cornelis Lay,
lemahnya kekuatan civil society selama Orde Baru karena praktek dua kecenderungan yang diterapkan Orde
Baru yaitu, politik penghancuran yang keras atau sebaliknya dan politik kooptasi.57
Orde Baru menekan beberapa gerakan civil society
jika tidak mau bersifat kooperatif dengan pemerintah.
Korporatisme negara merupakan mekanisme intervensi pengaturan politik yang memberikan hak monopoli
pada sebuah organisasi dengan kompensasi mengizinkan negara untuk turut campur dalam urusan internal,
terutama menyangkut pemilihan pemimpin. Dalam
kondisi demikian, saluran akses terlembagakan menjadi
Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan Ke Negeri Pelayan: Reformasi
Birokrasi Indonesia (Jakarta: Pensil 324, 2011), 57.
57
Cornelis Lay, Antara Anarki & Demokrasi (Jakarta:Pensil 324, 2004);
40-41.
56
155
Men-Teroris-Kan Tuhan!
terhambat kecuali bagi pihak-pihak yang mau bekerjasama dengan rezim Orde Baru.
Di samping akses terlembagakan tertutup, watak
represi rezim Orde Baru juga melahirkan gelombang
perlawanan dengan kekerasan. Misalnya, kasus tragedi
Tanjung Priok. Tragedi Tanjung Priok berawal ketika
sekelompok Orang Islam melakukan protes sehubungan
dengan penangkapan beberapa tokoh Islam dengan
alasan tidak jelas. Protes tersebut disikapi berlebihan
oleh sejumlah pasukan TNI sehingga menimbulkan
korban warga sipil dalam jumlah banyak akibat tembakan pasukan TNI pada 12 September 1984.58
Tragedi Tanjung Priok menandai sebuah pembentukan bingkai-anti sistem yang memicu tindakan pembalasan. Serangan teror bom BCA pada tanggal 4 Oktober
1984 dan serangan teror bom Borobudur 20 Januari 1985
menunjukkan watak represi negara cenderung memicu
serangan kekerasan balasan oleh kelompok Islamisme
sebagai korban demobilisasi politik Orde Baru.
Meski secara makro, struktur kesempatan politik terjadi hambatan tetapi tindakan secara terbuka kekerasan
oleh negara dalam tragedi Tanjung Priok membuka
kesadaran bingkai ketidakadilan untuk melakukan penentangan. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam
kondisi sturuktur kesempatan politik yang tertutup.
Rezim yang dicirikan dengan gaya otoriter akan cenderung membuka ruang terhadap aksi-aksi politik penentangan dengan kekerasan.
Tipologi kekerasan politik di masa Orde Baru dapat
dipahami dilakukan oleh dua struktur, yaitu negara
Lihat selanjutnya kronologi tragedi Tanjung Priok dan tindakan
represif aparat keamanan dalamTeam Pembela Kasus Mubaligh/
Pidana Politik, Pembelaan Kasus Priok???? (Jakarta: LBH Jakarta,
1985).
58
156
Batas Toleransi Politik
dan masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh negara masuk dalam kategori state violence. Dalam kategori
ini, kekerasan yang dilakukan oleh negara berlangsung
secara institusional melalui lembaga birokrasi pemerintahan seperti birokrasi militer (aparat keamanan),
pengadilan, penjara dan individu yang disewa oleh
pemerintah untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warga negara dalam rangka menciptakan stabilitas
nasional dan stabilitas kekuasaan.59
Kategori kedua adalah kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Jenis kekerasan yang dilakukan
masyarakat ini lebih pada upaya kekerasan dilakukan
sehubungan tindakan represif rezim yang dirasa berlebihan. Karena itu, masyarakat melawan represif rezim
dengan cara-cara kekerasan.
Dalam konteks aksi terorisme, kemunculan aksi terorisme merupakan produk dari kondisi lingkungan politik dan watak represi negara yang serampangan dalam
menghadapi kelompok oposisi. Rezim pemerintahan
yang diktator dan represif akan membentuk konsensus
di antara kelompok oposisi untuk menerjemahkan realitas dengan bingkai ketidakadilan.
Kasus gerakan terorisme berbasis Islam yang muncul
di masa Orde Baru ini menunjukkan bukti terbukanya
akses kesempatan politik bukan menjadi kondisi satusatunya untuk memungkinkan melakukan mobilisasi
perlawanan atau gerakan terorisme. Negara otoriter
juga sangat rentan dengan politik penentangan dengan
kekerasan.
Hermawan Sulistyo “Pemilu dan Kekerasan Politik: Acuan Teoretik
dan Pengalaman Indonesia” dalam Hermawan Sulistyo, koordinator.,
Pemilu dan Kekerasan Politik (Jakarta: LIPI Press, 1999), 1.
59
157
Men-Teroris-Kan Tuhan!
C.Terorisme dan Kesempatan Politik Pasca
Suharto
Pada kasus-kasus gerakan teroris sebelumnya di
Indonesia, gerakan terorisme lebih pada gerakan separatis (Orde Lama) dan penentangan rezim otoriter
(Orde Baru) serta terjadi tidak secara massif. Namun
pada masa pasca Suharto, serangan bom targetnya adalah simbol-simbol kepentingan Amerika Serikat dan
sekutunya serta tempat ibadah seperti Gereja. Target
teror belakangan juga telah mengarah kepada institusi
pemerintah seperti Polri.
Gerakan terorisme di masa Pasca Suharto mengambil
bentuk sebagai gerakan Global Jihad. Karena itu, gerakan terorisme di masa ini bersifat transnasional artinya
memiliki dukungan terhadap dunia internasional khususnya kelompok-kelompok terorisme berbasis Islam.
Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh International Crisis
Group (ICG) bahwa serangan teror bom Bali dilakukan
oleh kelompok yang tergabung dengan organisasi JI yang
memiliki hubungan dengan al-Qaeda. Dalam laporan
tersebut disebutkan bahwa terbentuknya jaringan JI dan
al-Qaeda melalui tokoh kunci utamanya yaitu Abu Bakar
Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.60
Abu Bakar Ba’asyir adalah tokoh utama di balik keberadaan JI yang bertanggung jawab atas serangkain
aksi teror bom sejak tahun 2000 yang telah memakan
banyak korban. Polri dalam salah satu laporannya menunjukkan selama kurun waktu tahun 2000- 2010 sebanyak 298 orang tewas dan 838 orang luka-luka akibat
serangan jaringan teroris di Indonesia. Sementara itu,
ICG, “Indonesia Backgrounder: How the Jemaah Islamiyah
Terrorist Network Operates,” Asia Report N°43, (Jakarta/Brussels:
International Crisis Group, 2002).
60
158
Batas Toleransi Politik
jumlah anggota Polri yang tewas dalam operasi pemberantasan teroris di tanah air sebanyak 19 orang meninggal dunia dan 29 orang luka-luka.61
Table 4.
Peristiwa Peledakan Bom yang Dilakukan JI
Tanggal
Jumlah
Jumlah
Lokasi
Peristiwa
Korban Korban Luka
1 1 Agustus 2000 Kediaman Duta
2 orang 21 orang
Besar Filipina,
Jakarta
2 24 Desember Sejumlah Gereja di 16 orang 16 orang
2000
Batam, Pekanbaru,
Jakarta, Sukabumi,
Mojokerto, Kudus
dan Mataram
3 1 Januari 2002 Gerai KFC Makasar 4 12 Oktober
Paddy’s Pub dan
202 orang 300 orang
2002
Sari Club di Kuta
Bali
5 5 Desember
Gerai McDonald di 3 orang 11 orang
2002
Makassar
6 5 Agustus 2003 Hotel JW Marriott 11 orang 152 orang
7 10 Januari 2004 Café di Palopo
4 orang Sulawesi Selatan
8 9 September
Kedutaan Besar
9 orang 161 orang
2004
Australia
9 12 Desember Gereja Immanuel 2004
10 1 Oktober 2005 Raja’s Bar and
22 orang 102 orang
Restaurant di Bali
No
Republika, “298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, Sabtu, 25
September 2010.
61
159
Men-Teroris-Kan Tuhan!
11 31 Desember
2005
12 17 Juli 2009
Pasar Tradisional 8 orang
di Palu, Sulawesi
Tengah
Hotel JW Marriott 9 orang
dan Ritz-Carlton
Jakarta
45 orang
-
Sumber: Petrus Golose sebagaimana dikutip Dikdik M. Arief
Mansur62
Dalam pandangan Nasir Abas, JI merupakan gerakan yang dilakukan oleh sisa-sisa anggota Darul Islam
Kartosuwiryo dengan tujuan melanjutkan perjuangan
Negara Islam Indonesia. Pimpinan tertinggi JI disebut
“Amir” dan Amir Jamaah Islamiah pertama kali adalah
Abdullah Sungkar dan setelah meninggal digantikan
oleh Abubakar Ba’asyir.63 Peta kekuatan jaringan JI meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina,
Brunei, dan Kamboja. Mereka memiliki misi untuk
mendirikan negara kekalifahan Islam di Asia Tenggara.
Di atas semua itu, adalah kenyataan bahwa JI menjadi
ancaman keamanan di kawasan Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia yang bertanggung jawab sebagai
otak dan pelaku aksi-aksi terorisme di Indonesia antara
tahun 2000-2005 seperti bom Natal tahun 2000, 81 bom
dan 29 peledakan di Jakarta pada tahun 2001, bom Bali I
tahun 2002, bom Marriot tahun 2003, bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004 serta bom Bali II tahun 2005.64
Dikdik M. Arif Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri: Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Pensil-324, 2012),
177-178.
63
Selanjutnya tentang Jamaah Islamiyah lihat dalam Nasir Abas,
Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI
((Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2006)92-137.
64
Sukawarsini Djelantik, “Terrorism in Indonesia: The Emergence of
West Javanese Terrorists.”International Graduate Student Conference
Series, No. 22, (East-West Center, 2006), 2. www.eastwestcenter.
org/.../3256/.../IGSCwp022.p (diakses 10 November 2013).
62
160
Batas Toleransi Politik
Setelah beberapa tokoh JI ditangkap dalam perkembangannya JI pecah menjadi beberapa organisasi teroris
seperti Laskar Hisbah, Tauhid Wal Jihad dan Jamaah
Ansharut Tauhid (JAT).65 Perpecahan ini disebabkan
ketidakcocokan para kader-kader JI dengan Abu Bakar
Baa’syir yang tidak mengakui atau menyangkal keterlibatannya dengan organisasi JI yang terlibat serangkaian
aksi serangan teror. Padahal ada banyak fakta-fakta keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir di dalam organisasi JI, baik
pengakuan beberapa terdakwa teroris maupun laporan-laporan lain, salah satunya pengakuan Abu Bakar
Baas’syir sendiri yang dimuat dalam majalah sabili, sebagaimana nampak dalam gambar berikut:
Sumber: Majalah Sabili No. 6 Th. VIII 6 Sep 2000 (hal. 45).
Kelompok Laskar Hisbah ini dipimpin Abu Hanifah yang bekerja
bersama Badri Hartono alias Toni, yang diketahui adalah anak
buah dari Bagus Budi Pranoto alias Urwah yang merupakan
pengikut Noordin Mohammad Top. Tauhid Wal Jihad adalah
kelompok yang dibentuk oleh Aman Abdul Rahman. Kelompok
Tauhid Wal Jihad dikumpulkan atau direkrut oleh Aman Abdul
Rahman dari mantan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan JAT
yang tidak puas dengan kelompok mereka masing-masing. Tauhid
Wal Jihad menjadi pusat perhatian ketika Polri mengaitkannya
dengan penggerebekan teroris di Sukoharjo yang menewaskan
Sigit Qurdowi dan pengawalnya Hendro. M Syarif, pelaku
pengeboman di masjid Mapolresta Cirebon pada tanggal 15 April
2011. Sedangkan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok
yang dibentuk oleh Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008, yang telah
menggantikan Jemaah Islamiyah (JI).
65
161
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Namun demikian, setelah meletusnya tragedi Bom
Malam Natal pada Desember 2000, dimana pihak kepolisian mengkaitkan JI sebagai pelaku dan pengakuan
al-Faruq di majalah Time.66 Abu Bakar Baasyir tetap saja
menyangkal keterlibatannya di dalam organisasi JI. Hal
tersebut memicu perpecahan di kalangan aktivis organisasi JI.67 Meskipun beberapa petinggi JI telah banyak
ditangkap dan terjadi perpecahan dikalangan aktivis JI,
aksi-aksi serangan teror masih terus berlangsung meskipun tidak dalam satu wadah organisasi jihadis. Oleh
karena itu, ada tiga kelompok sel-sel jaringan terorisme
setelah JI, antara lain:
1. Gerakan terorisme yang dikendalikan secara organisatoris, diantaranya: Jamaah Islamiyah (JI),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah
Anshorut Tauhid (JAT), maupun Jamaah Tauhid
wal Jihad. Kelompok tersebut melakukan serangkaian aksi teror dengan aturan sesuai dengan
pedoman aturan organisasi.
Pada 23 September 2002 majalah tersebut menurunkan artikel
berjudul Confessions of an Al Qaeda Terrorist yang memuat
pengakuan Umar Al-Faruq. Umar al-Faruq merupakan warga
negara Yaman yang tertangkap di Bogor pada Juni 2002. Faruq
pernah melatih kelompok teroris di Ambon dan Poso sekitar tahun
2000-2001. Sebelum tertangkap Faruq juga pernah menikahi Mira
Agustina, anak tokoh di Ambon.
67
Lihat selanjutnya tentang “pembohongan” yang dilakukan Abu
Bakar Baas’syir hingga berbuntut perpecahan dikalangan JI dalam
Khairul Ghazali, Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham
Tentang Thagut (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2011) dan
Khairul Ghazali, Kabut Jihad (Malang:Pustaka Bayan, 2012). Perlu
diketahui, Khairul Ghazali merupakan salah satu tersangka kasus
perampokan CIMB Niaga Medan yang dilakukan sebagai upaya
pendananan kegiatan terorisme di Indonesia. Ia ditangkap pada 19
September 2010 di Tanjung Balai, Sumut.
66
162
Batas Toleransi Politik
2. Pasca penangkan beberapa aktor organisasi JI
setelah peledakan bom Bali I. Gerakan terorisme
bergerak secara terpisah atau tidak dilandaskan
pada aturan organisasi. Kelompok ini dikendalikan oleh Noordin M Thop. Noordin M Top
melakukan mobilisasi sendiri untuk melakukan
aksi teror, seperti bom Marriot 1 2003, Kedutaan
Australia 2004, bom Bali 2 pada tahun 2005 dan
bom Marriot 2009.
3. Pasca berakhirnya aksi-aksi teror yang dikendalikan oleh Noordin M Top, maka tidak ada lagi
tokoh utama gerakan JI. Pada titik ini penerus
perjuangan dilanjutkan oleh para simpatisan yang
bergerak tidak secara organisatoris tetapi militan
dalam aksi-aksi teror. Indikasi adanya kelompok
ini setidaknya dapat dilihat dalam latihan militer
di Aceh pada tahun 2010. Pelatihan militer ini diikuti oleh para simpatisan aksi-aksi jhad yang melibatkan beberapa organisasi Islam Radikal, seperti
MMI, JAT, FPI dan sejenisnya.
Meskipun kelompok terakhir ini merupakan kelompok kecil tapi mereka sangat militan dengan melibatkan
beberapa partisipan baru dari proses rekruitmen eksklusif. Ansya’ad Mbai, sebagai pimpinan BNPT mengatakan bahwa semua jaringan terorisme yang beroperasi
di Indonesia meskipun memiliki nama-nama yang berbeda pada dasarnya saling berkaitan dan berhubungan.
Lebih jauh Ansya’ad Mbai mengungkapkan, perubahan sasaran teroris dari semula objek-objek yang diidentikkan dengan simbol Barat menjadi anggota polisi
dan rumah ibadah tidak bisa dikatakan sebagai suatu
pergeseran target karena target kelompok teroris terse-
163
Men-Teroris-Kan Tuhan!
but sudah jelas yaitu mengubah ideologi dan konstitusi
Indonesia serta mendirikan negara baru.68
Kemunculan dan berkembangnya gerakan terorisme
berbasis Islam pasca Suharto serta gerakan-gerakan
Islam radikal lainnya merupakan sebuah pertanyaan
besar terhadap motif di balik gerakan tersebut. Pelaku
terorisme di Indonesia, tampaknya digarap melalui pendekatan intens non akademis yang bersifat sangat personal. Meskipun lahirnya teroris tidak disiapkan secara
akademis, namun patut disadari bahwa ancaman terorisme di Indonesia memang benar adanya.
Kemunculan gerakan terorisme yang semakin massif
pada masa pasca Suharto tentunya bukan sebuah pesanan Amerika Serikat dan sekutunya, seperti yang sering
dituduhkan berbagai kalangan sebagai sebuah teori konspirasi. Amerika dan sekutunya justru sangat berkepentingan dengan keamanan dan keutuhan Indonesia
sebagai negara, karena pertimbangan keamanan dan
terutama kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi
mereka sangat besar, di antaranya diwakili oleh perusahaan multi-nasionalnya yang beroperasi di Indonesia.
Mereka juga berkepentingan dengan potensi pasar
Indonesia yang sangat menggiurkan. Adalah rugi, jika
mereka merusak kepentingannya sendiri di sini.
Fenomena terorisme berbasis Islam nampaknya akan
terus mengalami perkembangan tidak saja di Indonesia
tetapi di beberapa negara di dunia Islam. Menguatnya
gerakan terorisme berbasis Islam pada masa pasca
Suharto bukanlah semata-mata disebabkan oleh kian
menguatnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai fundamental agama. tetapi merupakan fenomena global
akan kebangkitan Islam politik dalam bentuk terorisme.
“BNPT: Target Teroris Tak Pernah Berubah”, Republika.co.id, Kamis
2 Januari 2014.
68
164
Batas Toleransi Politik
Oleh karena itu, seiring dengan tuntutan perkembangan jaman yang mengarah ke demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, upaya penangkapan terduga
teroris hendaknya tidak melanggar HAM. Menegakkan
hukum hendaknya tidak dilakukan dengan melanggar
hukum, sejauh pertimbangan di lapangan memungkinkan, penangkapan terduga teroris hendaknya dengan
membawa surat perintah penangkapan. Namun demikian, jika pelaku ditengarai membawa atau memiliki
senjata atau bom, prosedur normal ini dapat dipahami
kalau terpaksa dilanggar.
Bisa dipahami, bagaimana psikologi petugas yang
sudah mengintai berbulan-bulan, yang menemukan
tersangka gembong terorisme, pastilah tidak sabar
untuk menangkapnya termasuk dengan pendekatan
hard-approach. Tetapi, prinsip hak asasi manusia harus
menjadi pijakan dasar bagi upaya penanggulangan aksi
terorisme di Indonesia. Untuk itulah, penanggulangan
masalah terorisme harus dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara kebutuhan untuk menjaga keamanan nasional (national security) dan jaminan terhadap
kebebasan masyarakat sipil (civil liberties).69
Di atas semua itu, fenomena gerakan terorisme berbasis Islam yang semakin massif di masa rezim pemerintahan pasca Suharto bukan semata-mata didasarkan pada
landasan ideologi. Lingkungan eksternal berupa sistem
politik juga turut mendorong kemunculan gerakan terorisme. Sistem politik dalam hal ini adalah deliberalisasi
politik pasca Suharto dan kegagalan demokratisasi pasca
reformasi 1998, serta situasi politik global menyangkut
Islam.
Hermawan Sulistyo, Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil
Society (Jakarta; Pensil 324, 2009), 65-67.
69
165
Men-Teroris-Kan Tuhan!
1. Deliberalisasi Politik dan Kegagalan
Demokratisasi
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, situasi politik di
Indonesia mengalami perubahan secara drastis. Kejatuhan penguasa Orde Baru melalui gerakan sosial civil society melahirkan reformasi politik yang membawa keterbukaan pada struktur dan sistem politik yang ada.
Reformasi pada tahun 1998 membawa ke arah liberalisasi politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Reformasi digambarkan menjadi ajang kebebasan
segala aktivitas politik. Hal ini ditandai dengan masuknya peran civil society dengan bermacam-macam cara
seperti, pembentukan partai politik, media/pers, organisasi massa, serikat pekerja dan beberapa organisasi kemasyarakatan lainnya. Aktifitas sosial politik di era ini
dijamin kebebasannya sebagai bagian dari usaha menciptakan struktur dan sistem politik yang lebih terbuka.
Reformasi 1998 telah menghasilkan sejumlah regulasi peraturan perundang-undangan yang memberikan
tatanan baru sistem politik terbuka antara elite, partai
politik dan kelompok kepentingan. Salah satu peraturan
yang menopang demokrasi politik antara elite, partai
politik dan kelompok kepentingan adalah diterbitkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik (UU Partai Politik) dan Undang-Undang No. 3
Tahun 1999 tentangPemilihan Umum (UU Pemilu).
Kedua Undang-Undang tersebut memberikan ruang
yang menjadi ajang kompetitif bagi sirkulasi elite politik.
Dinamika politik yang lebih kompetitif ini menguburkan sistem politik yang bersifat tunggal sebagaimana
terjadi pada masa Orde Baru.
166
Batas Toleransi Politik
Terbukanya struktur kesempatan politik pasca
Suharto. Jelaslah, sistem politik tidak lagi bersifat koersif
dan represif dalam rangka mempertahankan hegemoni
kekuasaan. Hal ini berbeda dengan era Orde Baru, Orde
Baru dalam rangka menjaga stabilitas sosial politik untuk melanggengkan kekuasaanya lebih mengedepankan pendekatan represif.
Kondisi yang demikian kini tidak lagi ditemukan di
era reformasi pasca Suharto. Pasca Suharto kondisi politik mengalami keterbukaan sehingga memungkinkan
bagi setiap elemen masyarakat mengekspresikan dirinya berkumpul, berpendapat, melakukan demonstrasi
dan mengkritik pemerintah tanpa harus takut dengan
tindakan represif pemerintah. Kondisi ini juga dimanfaatkan betul oleh kelompok Islam baik dalam bentuk
partai politik maupun ormas keagamaan setelah di masa
Orde Baru aktivisme Islam dibekukan.
Sejak reformasi 1998, terdapat beberapa partai Islam
atau ormas muncul dipermukaan dan tidak kurang ada
11 partai Islam mengikuti pemilu 1999, seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai
Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ummat),
PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII
1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi), PP (Partai Persatuan) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Namun demikian, secara garis besar peta kekuatan Islam politik pasca Suharto dapat dikelompokkan
menjadi tiga faksi besar. Pertama, kelompok yang tergabung dalam organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Kelompok ini merupakan faksi yang
berada di belakang masa transisi Habibie dan mendukung pemerintahan Presiden Habibie.
167
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Kedua, jaringan individu yang memiliki koneksi kuat
di dalam lingkungan bisnis, birokrat dan masyarakat.
Kelompok ini merupakan mantan aktivis organisasi
HMI yang tergabung dalam wadah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Ketiga, adalah mereka yang berasal dari organisasi kemasyarakatan seperti,
NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini banyak
melahirkan beberapa kader yang turut serta mewakili
Islam politik dalam pentas perpolitikan Indonesia pasca
Suharto.70
Di samping dalam bentuk partai politik, aspirasi
umat Islam juga muncul dalam beberapa organisasi
sosial Islam, seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah
wal Jamaah (FKASWJ) beserta sayap militernya Laskar
Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan
Jamaah Islamiyah (JI).
Gerakan-gerakan tersebut muncul dipermukaan dan
memiliki kecenderungan mengarah kepada radikalisme
dan terorisme. Realitas tersebut menunjukkan bahwa kejatuhan rezim tidak saja dimanfaatkan oleh elite politik
untuk melakukan perubahan, tetapi juga dimanfaatkan
oleh gerakan-gerakan radikal berbasis Islam.71 Aktivisme Islam memanfaatkan terbukanya sistem politik untuk menyampaikan aspirasi Islam di ruang publik tanpa
harus khawatir akan tindakan represif rezim penguasa.
Meski demikian, terbukanya sistem politik bukanlah
merupakan satu-satunya situasi politik yang memungkinkan bagi kemunculan gerakan terorisme ataupun
gerakan Islam radikal. Hal ini didasarkan pada kemunZainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Suharto (Jakarta:LP3ES,
2003),9.
71
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis
Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002);181.
70
168
Batas Toleransi Politik
culan aksi-aksi kekerasan hingga terorisme di masa
Orde Baru yang telah lebih bermunculan. Gerakan terorisme berbasis Islam telah muncul di akhir tahun 1970an meskipun tidak begitu sporadis dan bergerak bawah
tanah.
Oleh karena itu, terbukanya struktur kesempatan
politik hanya sebuah dimensi yang memberikan insentif
bagi gerakan teroris dan juga gerakan lain tentunya untuk berkembang dan muncul dipermukaan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan di masa Orde Baru karena
akses kesempatan politik yang tertutup.
Deliberalisasi politik pasca Suharto penting, tetapi
tidak menjadi satu landasan utama dalam menjelaskan
fenomena kebangkitan Islam politik di Indonesia. Kegagalan mengawal demokratisasi pasca reformasi 1998,
juga menyumbang pada legitimasi perlawanan dengan
cara-cara kekerasan seperti gerakan terorisme.
Kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam atau
organisasi radikal berbasis Islam di masa transisi demokrasi merupakan ekspresi politik penentangan noninstitusional. Sebagaimana diungkapkan Hermawan
Sulistyo, kekerasan merupakan salah satu sarana untuk
menekan lawan politik supaya menuruti kemauan pihak
yang melakukan tindak kekerasan, sehingga tujuannya
tercapai.72
Oleh karena itu serangan teror yang bermunculan
pasca Suharto merupakan respons rasional terhadap
kegagalan elite pemerintah membawa reformasi ke arah
yang diharapkan. Liberalisasi politik yang tidak mampu
mengantarkan perubahan signifikan menjadi kalkulasi
Hermawan Sulistyo, “Kata Pengantar” dalam Cornelis Lay, Antara
Anarki & Demokrasi. v.
72
169
Men-Teroris-Kan Tuhan!
mengapa kekerasan digunakan bagi sekelompok orang
yang merasa terpinggirkan.
Oleh karena itu, gerakan terorisme berbasis Islam secara bersamaan menawarkan Islam sebagai solusi atas
kegagalan sistem sekuler yang dianut negara dan bertanggung jawab atas krisis multidimensional yang melanda negara Indonesia. Reformasi 1998 bagi sebagian
aktivisme Islam dianggap gagal membawa perubahan
signifikan sehingga membuka ruang pada upaya-upaya
perlawanan.
Pasca Suharto terhitung sejak kejatuhan Presiden RI
ke 2 tahun 1998, maka kurang lebih 16 tahun Indonesia
menjalani proses transisi demokrasi. Proses transisi demokrasi telah melahirkan beberapa tokoh yang
dipercaya untuk memimpin bangsa Indonesia. Pasca
Suharto kepemimpinan dilanjutkan oleh BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Namun demikian, estafet kepemimpinan tersebut belum mampu mengemban amanah negara dalam rangka pemerintahan yang
melindungi, kesejahteraan masyarakat, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan menjaga ketertiban dunia.
Transisi demokrasi telah gagal setidaknya bisa dilihat
bagaimana tingkat pengangguran semakin bertambah,
kemiskinan juga semakin bertambah. Data yang dilansir
BPS menyatakan, angka pengangguran di Indonesia per
Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012
sebanyak 7,24 juta jiwa.73 Lebih dari itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus
2013 mencapai 6,25 persen. Angka tersebut mengalami
peningkatan dibanding TPT Februari 2013 sebesar 5,92
Laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia
sampai bulan Agustus 2013.
73
170
Batas Toleransi Politik
persen dan dibandingkan TPT Agustus 2012 meningkat
6,14 persen.
Di samping tingkat pengangguran dan kemiskinan
yang semakin bertambah, prinsip demokrasi juga terancam punah akibat meningkatnya skandal korupsi yang
melibatkan elite pejabat birokrasi pemerintahan. Data
yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menunjukkan kasus korupsi semakin meningkat. Pada
tahun 2013 KPK melakukan penyelidikan 81 perkara,
penyidikan 70 perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht
40 perkara, dan eksekusi 44 perkara.
Total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari
tahun 2004-2013 adalah penyelidikan 585 perkara, penyidikan 353 perkara, penuntutan 277 perkara, inkracht 243
perkara, dan eksekusi 247 perkara.74 Kondisi demikian
memunculkan pertanyaan tentang mau dibawah kemana nasib demokratisasi yang katanya prinsip demokrasi
dapat melahirkan tatanan pemerintahan yang ideal.
Kegagalan demokratisasi pasca Suharto sesungguhnya lebih disebabkan oleh runtuhnya moral para elite
pejabat negeri ini yang hanya memikirkan kuasa dan
“perut” tanpa mengindahkan pesan kontrak sosial yang
mengikat antara negara dan rakyat. Hal ini disebabkan
akan lemahnya komitmen para elite bangsa untuk membuat sistem yang disepakati berjalan dan berhasil. Karena itu, kegagalan transisi demokratisasi pasca Suharto
setidaknya disebabkan oleh tiga persoalan yaitu, persoalan sistemik, institusional dan persoalan kultural.75
Laporan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik
Indonesia per 31 Desember 2013.
75
Adi Prayitno, “Gagalnya Berdemokrasi”, (Desember 2011)
http://www.zulkieflimansyah.com/in/baca/564/gagalnyaberdemokrasi.html.
74
171
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Persoalan sistemik menyangkut keseluruhan sistem
yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru.Tantangan utamanya adalah serangkaian masalah sistemik yang
menjadi hak milik pemerintahan otoriter dan kemudian diwariskan kepada pemerintahan penggantinya.
Serangkaian masalah ini telah mengental dalam struktur
dan kultur yang diciptakan dengan kokoh selama rezim
otoritarian dan kemudian menjadi persoalan pemerintahan setelahnya.
Misalnya Gus Dur, seorang intelektual yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sebelum ia menjadi
seorang Presiden, tetapi pada akhirnya harus terseret
pada logika politik Orde Baru yang dalam rangka
melanggengkan kekuasaaannya ia harus menghadapi
aparat birokrasi, militer, peradilan, partai politik dan
parlemen yang dinamikanya ditentukan oleh praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta upaya penggunaan uang dan kekerasan untuk memajukan partai
politik.
Dari perspektif ini bisa dipahami mengapa negara gagal dalam mengawal demokratisasi yang telah berjalan
lebih dari 10 tahun dikarenakan warisan logika otoritarian Orde Baru telah mengakar kuat dalam elite partai,
birokrasi dan pemerintahan. Logika otoritarian Orde
Baru membentuk jejaring bawah tanah dalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem demokrasi guna menjadi predator politik guna melanggengkan kekuasaan.76
Dalam persoalan institusional, derasnya arus warisan Orde Baru secara sistemik telah membentuk mental
birokrat yang korup dan predator politik. Meski harus
diakui program reformasi birokrasi pemerintah sudah
agak berjalan dengan ditandainya upaya-upaya pengaVedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi, Politik Indonesia Pasca
Suharto (Jakarta: LP3ES, 2005),255-271.
76
172
Batas Toleransi Politik
wasan dan pengawalan melalui beberapa lembaga yang
lahir dari rahim reformasi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun demikian, hal ini masih saja
belum berjalan maksimal dan menyeluruh. Hambatan
utamanya adalah jabatan birokrasi pemerintah masih ditentukan melalui mekanisme jual beli. Demokrasi dalam
perspektif ini lebih dicirikan oleh kekuasaan dengan
sistem jual beli di mana uang menjadi alat utama untuk
memegang kendali kekuasaan melalui sistem pemilu
dan sebagainya.77
Atas persoalan tersebut maka dibutuhkan upaya
pendekatan kultural bagaimana pemerintahan berjalan
sesuai prinsip-prinsip good governance yang ditopang
oleh seluruh elemen masyarakat secara keseluruhan
tanpa terkecuali. Hal ini bisa dilakukan jika pemerintah
sebagai elite penguasa harus memberikan contoh terhadap upaya-upaya penegakan hukum dalam ketertiban
dan stabilitas nasional. Jika hal ini sudah bisa berjalan
semestinya maka persoalan kultural menyangkut moral
dan mental individu akan dengan sendirinya membentuk kekuatan pendukung demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks terorisme, serangan terorisme yang
bermunculan di masa pasca Suharto sesungguhnya
merupakan akibat dari kegagalan pemerintah memberikan jaminan kesejahteraan sesuai prinsip kontrak
antara negara dan masyarakat. Hal ini bisa dilihat
bagaimana gerakan-gerakan “jihad” mengorganisasikan diri menjadi pengganti pemerintah dalam menangani kerusuhan berbasis agama di Maluku pada tahun 1999-2000. Gerakan ini lebih dipicu oleh kegagalan
pemerintah untuk bertindak dan memberikan jaminan
keamanan di masyarakat, sehingga individu-individu
Ibrahim Z Fahmi Badoh dan Abdullah Dahlan, Korupsi Pemilu di
Indonesia (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2010), 3-5.
77
173
Men-Teroris-Kan Tuhan!
bertindak sendiri membentuk identitas untuk berjalan
melalui jalur non-institusional melakukan serangkaian
kekerasan atas dasar solidaritas sesama Islam.78
Konflik di Maluku sepanjang tahun 1998-2000 menunjukkan bagaimana gerakan radikal berbasis Islam seperti
FKAWJ, LJ, JI dan MMI, AMIN dan KOMPAK memobilisasi massa mengambil alih “tugas” negara karena
dianggap gagal dalam melindungi warga masyarakat
dari dampak krisis pasca reformasi. Di samping itu,
serangkaian aksi serangan teror bom Gereja secara serentak pada tahun 2000 menunjukkan pesan-pesan empiris
sehubungan dengan kasus konflik berbasis agama yang
terjadi di Maluku. Ada korelasi antara target teror dan
pelaku teror. Dalam kasus bom Gereja menemukan titik
temu sehubungan dengan sasaran teror yang mengarah ke Gereja akibat krisis konflik sosial antar agama di
Maluku.
Serangan teror terhadap Gereja di tahun 2000,
kurang lebih 38 bom meledak di 11 kota. Serangan
yang menghentikan suasana hening saat doa memuliakan Allah bukan tidak punya maksud, tetapi ia merupakan pesan. Target serangan bom Gereja merupakan
buah dari dampak pembiaran konflik berbasis agama di
Maluku yang kemudian melahirkan nilai-nilai solidaritas sehingga diterjemahkan untuk menyerang identitasidentitas “musuh” di manapun berada seperti Gereja di
Jakarta, Mojokerto, Sumatera dan beberapa tempat yang
menjadi target serangan bom Gereja di Malam Natal tahun 2000.
Hal yang sama harus dipahami bagaimana pola
serangan teroris kini sejak tahun 2009 mengarah kepaNoorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
Geneologi dan Teori (Yogjakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga,
2012), 170-177.
78
174
Batas Toleransi Politik
da institusi pemerintah seperti, Polri dalam kasus bom
Mapolresta Cirebon, bom Mapolres Poso dan penembakan langsung terhadap polisi di Jakarta dan sekitarnya.
Persoalan ini menyangkut bukan sekedar melemahnya
jaringan teroris akibat kurangnya sumber daya, melainkan pesan protes melalui jalan kekerasan atau terorisme
atas kegagalan pemerintah.
Sementara serangan teror mengarah ke Polri, dan
saat bersamaan institusi tersebut terlibat skandal korupsi bahkan salah satu institusi pemerintah yang kurang
dipercaya oleh masyarakat.79 Lebih dari itu, Polri merupakan institusi yang paling “dibenci” oleh para teroris
akibat upaya penangkapan dan penembakan terhadap
para terorisme.
Serangan teror terhadap institusi Polri merupakan
kasus yang bisa dipahami di mana seragan teror sudah
mengarah kepada pemerintah secara umum bukan sekedar institusi Polri. Hal ini menunjukkan gerakan terorisme telah membangun kekuatan untuk menyerang target simbol pemerintahan yang dibangun dengan bingkai
“thogut” untuk menggambarkan penguasa yang menolak tunduk pada syari’ah.80
Di atas semua itu, sejauh negara dalam hal ini elite
pemerintah selaku pemegang kendali roda organisasi
pemerintahan belum memberikan dan berperan maksimal dalam mengemban amanah reformasi 1998 menuju
perubahan yang maksimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka sejauh itu pula gelombang kekerasan atau terorisme akan bermunculan di
Hasil riset Transparency International Indonesia(TII) melalui Global
Corruption Barometer (GCB) pada tahun 2013 menyebutkan bahwa
intitusi kepolisian dianggap sebagai lembaga terkorup dalam
kaitan dengan pelayanan publik.
80
Wawancara dengan Nasir Abas di Jakarta, 25 Oktober 2013.
79
175
Men-Teroris-Kan Tuhan!
tengah transisi demokrasi yang tidak menentu. Karena
itu, diperlukan upaya reformasi secara menyeluruh,
tidak saja reformasi dalam tataran perubahan politik
tetapi juga reformasi birokrasi sebagai perangkat sistem
pemerintahan.81
Transisi demokrasi yang kerap kali membawa
masyarakat pada keputusasaan akibat kondisi politik
yang tidak menentu melahirkan krisis ekonomi, sosial
dan politik akan melahirkan generasi baru yang siap
lahir dalam lingkaran kekerasan atau terorisme. Gagalnya demokrasi akibat moral para elite pejabat dengan
meningkatnya kasus korupsi semakin memberikan
pesan empiris terhadap kelompok Islam radikal untuk
menawarkan Islam sebagai solusi alternatif atas kegagalan tersebut dengan membentuk aliansi-aliansi baru
melakukan perlawanan.
Namun demikian, pemerintah justru berlindung di
balik kesalahan dengan menjelaskan fenomena terorisme akibat doktrinal agama yang dipahami secara sempit. BNPT selaku institusi pemerintah bahkan dalam situs resminya menampilkan sebuah talk line “terorisme
adalah musuh semua agama”. BNPT seolah memberikan
pesan bahwa aksi terorisme bersumber dari pemahaman
agama. Agama menjadi penyebab di balik kemunculan
gerakan terorisme berbasis Islam. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Hassan yang mengkritik Imam Samudra
dengan pendekatan agama.82
Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan Ke Negeri Pelayan: Reformasi
Birokrasi Indonesia (Jakarta: Pensil 324, 2011).
82
Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan
Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok Jihad Radikal (Jakarta: Grafindo
Khasanah Ilmu, 2007).
81
176
Batas Toleransi Politik
2. Situasi Global Politik Islam
Selain kondisi domestik kegagalan transisi demokrasi, situasi internasional pada masa pasca Suharto juga
berperan dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan
terorisme di Indonesia. Sejak tahun 2000, beberapa situasi internasional menjadi elemen penting dalam melahirkan gerakan terorisme. Pada tahun 2001 dan 2003
misalnya, invasi Amerika ke negara Afghanistan dan
Irak menimbulkan efek yang kuat bagi sebagian kelompok Islam di Indonesia terhadap lahirnya sentimen anti
Amerika.
Invasi Amerika dan sekutunya tersebut telah secara
langsung menimbulkan perasaaan solidaritas sesama
muslim untuk mengkonstruksikan identitas dalam
bingkai ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan
Amerika terhadap negara-negara Islam. Invasi tersebut telah membangunkan para mantan mujahidin
Afghanistan untuk melakukan perlawanan terhadap
Amerika dan sekutunya. Amerika menjadi terget serangan terorisme berbasis Islam sehubungan dengan nilainilai paradoks yang ditampilkan Amerika.
Dalam konteks serangan teror di Indonesia, target
serangan teror yang mengarah kepada simbol-simbol
Amerika bukanlah merupakan kebetulan saja. Terorisme sebagai politik penentangan menjalankan fungsi
sebagai pengantar pesan. Pesan tersebut ditujukan kepada Amerika Serikat sehubungan dengan nilai-nilai
paradoks yang ditampilkan. Nilai-nilai tersebut menjelma menjadi bingkai ketidakadilan dan membentuk kesadaran kolektif bagi aktivisme Islam yang menganggap
Amerika Serikat sebagai musuh yang harus diperangi.
Dari perspektif ini, pengamatan terhadap target
serangan teror yang dimunculkan secara sporadis pas177
Men-Teroris-Kan Tuhan!
ca reformasi 1998 akan dengan mudah menemukan
benang merah yang sama, yakni simbol-simbol Barat.
Target serangan yang Restoran KFC dan Mc. Donald
Makasar (2002), Bom Kedutaan Filipina (2002), Bom Bali
I (12 Oktober 2002), BomHotel J.W. Marriott (5 Agustus
2003), Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia(9
September 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom
Hotel Ritz Carlton danJ.W. Marriott II (17 Juli 2009).
Serangan-serangan tersebut merupakan upaya protes
terhadap Amerika yang dirasa bertanggung jawab atas
ketidakadilan sosial yang dialami umat Islam di dunia.
Serangan teror yang mengarah kepada simbol-simbol Barat dan representasi dunia internasional merupakan upaya untuk untuk menarik perhatian dunia.
Dalam kasus terget teror bom Bali dan bom JW Marriott
dan Ritz-Carlton dilakukan untuk menarik perhatian
dunia dan mengantar pesan yang ingin disampaikan
sehubungan dengan pendudukan Amerika di beberapa
negara Islam seperti Afghanistan dan Irak. Hal ini menunjukkan bahwa aksi gerakan terorisme berbasis Islam
itu dilakukan seturut kondisi internasional menyangkut
negara Islam.
Karena itu, serangan terhadap simbol-simbol Barat
dan Amerika Serikat sesungguhnya merupakan bentuk
perlawanan terhadap hegemoni Amerika yang telah
merugikan umat Islam. Amerika menampilkan paradoks-paradoks demokrasi dengan melakukan serangan
terhadap Irak dan Afghanistan serta beberapa negara
Islam lain. Paradoks tersebut pada akhirnya melahirkan gelombang protes dari aktivisme Islam dan cenderung mengarah kepada aksi-aksi terorisme. Demikian
pula dengan penyerangan dan rencana serangan yang
kini mengarah kepada tempat ibadah Vihara berkenaan
dengan krisis politik yang terjadi di Myanmar dalam
178
Batas Toleransi Politik
kasus Rohingya. Solidaritas Muslim Rohingya membentuk bingkai ketidakadilan yang dilakukan umat Budha
Myanmar terhadap Islam.
Aksi-aksi solidaritas Islam merupakan bentuk paling
khas dari terorisme berbasis Islam. Hal tersebut jarang
ditemui dalam kasus terorisme lain. Gerakan terorisme
berbasis Islam memiliki kekhasan yang bersifat teologis
sebagai skema pembingkaian untuk mendapatkan pembenaran seperti pembingkaian solidaritas Islam.
Konflik berbasis agama di Myanmar tersebut kini
telah menyebar dan diketahui seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Konflik berbasis agama di Myanmar ini seperti halnya konflik berbasis agama di Ambon-Poso.
Konflik yang melibatkan warga Muslim ini kerap kali
memicu lahirnya gerakan mobilisasi bawah tanah untuk
melakukan perlawanan atas dasar solidaritas Islam.83
Solidaritas Islam ini juga telah terjadi di Myanmar
sendiri, di mana terjadi aksi balas dendam dengan jalan
kekerasan terhadap umat Budha di Myanmar.
Kasus serangan teror terhadap simbol umat Budha
sehubungan dengan krisis di Myanmar ini menjadi
sinyalemen bahwa situasi internasional sehubungan
dengan Islam akan memicu lahirnya gerakan terorisme
berbasis Islam. Atas nama solidaritas Islam, aksi-aksi
terorisme berbasis Islam akan terus bermunculan jika
negara-negara Islam diperangi tanpa alasan jelas.
Kebangkitan Islam politik tidak lahir dalam ruang
hampa. Ia merupakan gerakan protes atas nilai-nilai
paradoks kehidupan baik dalam konteks politik global
maupun nasional. Penggunaan kekerasan dalam aksi
terorisme berbasis Islam merupakan bagian dari poliWawancara dengan Nasir Abas di Jakarta 25 Oktober 2013.
83
179
Men-Teroris-Kan Tuhan!
tik penentangan ketika dilakukan oleh sebuah gerakan
yang mengalami keterbatasan sumber daya.
Struktur kesempatan politik memberikan suatu
pemahaman secara kompleks mengapa Islam politik
mengambil bentuk kekerasan atau teror. Kesempatan
politik yang muncul di masa transisi menunjukkan
kontradiksi-kontradiksi pembangunan demokratisasi.
Dalam hal ini, negara gagal dalam menyusun agenda
perubahan reformasi 1998. Islam politik menjadikan
momentum tersebut untuk melakukan mobilisasi perlawanan dengan gerakan terorisme sebagai tindakan
protes. Namun demikian, negara justru menghindar
dari tanggung jawab membawa reformasi ke arah yang
lebih baik dengan memunculkan isu agama di balik kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam.[]
180
BAB IV
ISLAM ADALAH SOLUSI:
PEMBINGKAIAN TERORISME
BERBASIS ISLAM
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan
bahwa kemunculan gerakan terorisme berbasis Islam
bertalian erat dengan situasi politik menyangkut struktur kesempatan politik. Sistem politik terbuka dan tertutup telah menunjukkan sama-sama meredakan dan
memicu kemunculan gerakan terorisme. Gerakan terorisme muncul berkenaan dengan kemampuan mengukur
batas toleransi politik baik dalam situasi politik otoriter
ataupun demokrasi.
Namun demikian, kemunculan gerakan terorisme
berbasis Islam tidak saja berkaitan dengan situasi politik. Kemunculan gerakan terorisme juga didukung oleh
kemampuan aktor gerakan terorisme dalam mengkonseptualisasikan gagasan, kepercayaan dan pemaknaan
yang memungkinkan dapat bergema di antara partisipan gerakan. Dengan kata lain, gerakan terorisme
membutuhkan konstruksi sosial untuk menjaga keber-
Men-Teroris-Kan Tuhan!
langsungan dan keberhasilan aksi terorisme. Dalam teori gerakan sosial, proses mengaktualisasikan gagasan
dan konstruksi sosial ini disebut dengan pembingkaian
(framing).
A.Framing Gerakan Terorisme
Gerakan terorisme tida saja dibentuk oleh kondisi
eksternal politik tetapi keberhasilan aksi gerakan terorisme memerlukan proses pengemasan ideologi untuk
dapat meyakinkan dan dapat diterima di kalangan partisipan gerakan terorisme. Proses ini disebut collective action frames yang merupakan bagian dari skema proses
framing dalam teori gerakan sosial.
Singkat kata, framing adalah skema penafsiran untuk mendapatkan keyakinan dan makna yang memiliki
orientasi pada legitimasi aksi dalam sebuah gerakan.
Dalam hal ini, proses framing merupakan penafsiran
yang dilakukan aktor gerakan untuk menciptakan dan
menyampaikan wacana yang dapat didengar dan bergema di antara mereka yang menjadi target mobilisasi.1
Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow
menyebutkan tiga hal mengenai fungsi dari framing.
Pertama, fungsi diagnostik, yaitu proses pemahaman
tentang situasi dan kondisi yang sifatnya problematik.
Proses ini lebih merupakan upaya mencari kesalahan
sehingga membutuhkan upaya tanggung jawab perubahan. Dengan demikian, aktor gerakan harus mampu
mendefinisikan dan merumuskan permasalahan yang
Robert D. Benford and David A. Snow, “Framing Processes and
Social Movements: An Overview and Assessments”, Annual
Reviews of Sociology, 26, (2000), 611-639.
1
182
Islam adalah Solusi
diangkat untuk menjadi isu utama yang membuat mereka melakukan mobilisasi gerakan protes.
Kedua, fungsi prognostik, yaitu memberikan solusi
yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan yang sudah
diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktivitas prognostik ini, gerakan sosial merumuskan strategi, taktik dan
target dalam aksi gerakan. Ketiga, motivational, proses
upaya memberikan alasan mengapa sebuah gerakan
harus dilakukan. Ketiga hal tersebut menjadi kunci
dalam memahami gerakan terorisme berbasis Islam karena tiga hal tersebut memuat tujuan, motif dan konsep.
Terorisme sebagai gerakan sosial bawah tanah memiliki framing sebagai penafsiran ideologi. Framing merupakan hal yang lebih penting dari ideologi itu sendiri
bagi gerakan terorisme, karena proses framing akan
membentuk keyakinan untuk melakukan apa yang disebut dalam terorisme berbasis Islam sebagai jihad. Oleh
karena itu, penulis akan menjelaskan bagaimana framing
melahirkan ideologi dan keyakinan dikalangan internal
atau partisipan organisasi sehingga bersedia bergabung
dalam gerakan terorisme.
Analisis framing di sini akan menjelaskan dinamika
penafsiran bagi gerakan terorime sepanjang lintasan
sejarah negara Indonesia dari mulai Orde Lama, Orde
Baru dan Pasca Suharto. Sebagaimana dijelaskan pada
bab sebelumnya, setiap periodisasi perjalanan bangsa
Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan terorisme.
Orde Lama menghadapi gerakan terorisme DI/TII,
Orde Baru menghadapi gerakan teroris Komando Jihad
dan pasca Suharto gerakan terorisme diyakini dilakukan oleh organisasi Jamaah Islamiah.
Dalam setiap periodisasi tersebut, gerakan terorisme tidak lahir dalam ruang hampa terdapat dinamika
183
Men-Teroris-Kan Tuhan!
politik di dalamnya. Dinamika politik yang ada pada
zamannya menjadi alat dalam proses pembingkaian
untuk merumuskan ideologi dan keyakinan. Namun
demikian, pada umumnya ada titik temu yang sama
terkait proses pembingkain bagi gerakan terorisme berbasis Islam yaitu isu marginalisasi Islam politik.
Wacana marginalisasi Islam politik menjadi arus utama bagi aktivis terorisme berbasis Islam untuk dijadikan
dasar perlunya melakukan perlawanan dan menjadikan
Islam sebagai solusi. Selanjutnya, analisis framing akan
mengikuti alur berpikir yang dirumuskan oleh David
Snow dan Robert D. Benford yang meliputi diagnostik,
prognostik dan motifasional.
1. Peminggiran Islam Politik
Peminggiran Islam politik dalam sejarah politik
Indonesia terjadi antara masa pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru. Dalam catatan sejarah kedua rezim
pemerintahan tersebut tidak cukup memberikan ruang
aktualisasi Islam politik. Peminggiran Islam politik ini
semakin nyata di masa rezim pemerintahan Orde Baru.
Selanjutnya, pada pembahasan ini akan dibahas secara
berurutan pembingkaian gerakan terorisme dengan
memanfaatkan peminggiran Islam politik dalam pentas
perpolitikan di Indonesia sepanjang rezim Orde Lama
dan Orde Baru.
Pembingkaian peminggiran Islam politik menjadi
isu utama yang dimainkan oleh gerakan DI/TII di masa
Orde Lama. Pembingkaian ini menjadi sangat mencolok
dibandingkan proses pembingkaian yang dilakukan
oleh gerakan terorisme di masa berikutnya. Penafsiran
kontruksi sosial yang dirumuskan oleh Kartosuwiryo
184
Islam adalah Solusi
dengan membungkus pemingggiran Islam politik
dengan simbol-simbol agama mampu bergaung dan
bertahan serta menjadi inspirasi generasi berikutnya.
Kartosuwiryo menjadi aktor utama artikulasi gerakan
DI/TII sekaligus perumus ideologi dan cita-cita sehingga
mampu memobilisasi individu-individu ke dalam gerakan bersenjata melawan pemerintahan dengan mengumumkan suatu “seruan jihad”. Proses pembingkaian
yang dilakukan Kartosuwiryo mampu mengilhami gerakan-gerakan terorisme di masa-masa berikutnya. Sebagaimana diungkapkan dalam laporan International Crisis
Group, kemunculan gerakan terorisme baik di masa Orde
Baru maupun pasca Suharto merupakan daur ulang dari
kebangkitan DI Kartosuwiryo.2 Gerakan terorisme berbasis Islam di Indonesia dapat ditelusuri melalui sel-sel
jaringan DI/TII Kartosuwiryo.
Dalam perspektif diagnosic framing, salah satu komponen penting dalam pembingkaian gerakan DI/TII sebagai persoalan adalah penggunaan Pancasila sebagai
dasar negara karena dianggap sekuler. Konstruksi gagasan seperti ini merupakan ungkapan kekecewaan atas
kekalahan Islam politik ketika perumusan ideologi dan
pembentukan negara Indonesia di awal kemerdekaan.
Pada umunya secara politik, kepentingan kelompok
Islam tidak cukup terakomodasi dalam pembentukan
negara Indonesia.
Peminggiran Islam politik ini semakin terlihat ketika
Presiden Sukarno membangun basis kepolitikan nasional di atas tiga pilar, yaitu NASAKOM, singkatan dari
Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Namun dalam
prakteknya, Sukarno hanya membangun keseimbangan
kepolitikan nasional antara dirinya sendiri dengan TNI
“Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan
Australia”,Crisis Group Asia Report, N°92, (22 Februari 2005), 10-12.
2
185
Men-Teroris-Kan Tuhan!
dan PKI.3 Strategi tersebut mengakibatkan Islam politik
semakin terpinggirkan dalam memberikan dan menentukan arah kebijakan negara.
Berdasarkan hal tersebut, Kartosuwiryo menjadi artikulator utama isu-isu peminggiran Islam politik. Selanjutnya, Kartosuwiryo melakukan proses pembingkaian
terhadap upaya mengambalikan Islam politik dalam
konteks perpolitikan nasional. Dalam Haluan Politik
Islam,4 Kartosuwiryo menjelaskan mengenai pentingnya politik bagi umat Islam. Politik adalah halal bagi
muslim untuk diperjuangkan setelah kemerdekaan.
Politik tidaklah haram sebagaimana stigma yang diberikan di masa penjajahan karena mereka (baca:penjajah)
tahu betul bahwa Islam politik memiliki kekuatan yang
dapat melakukan perlawanan. Hal tersebut dikatakan
Kartosuwiryo dalam pidatonya sebagaimana berikut:
“Sudah setahun lamanya kita memerintah negara kita
sendiri. Oleh sebab itu, maka tiap-tiap warga negara
seharus dan sewajibnya tahu dan sadar dalam hal
politik (politik-bewust). Tahu dan sadar, bahwa tiaptiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
yang sepenuh-penuhnya untuk ikut memegang kemudi pemerintah negeri. Sifat, “masa bodoh”, seperti
pada zaman Belanda dan Jepang, haruslah dihalaukan
sejauh-jauhnya dari pikiran dan amal-perbuatan kita.
Hermawan Sulistyo, Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi
Birokrasi Indonesia, 54.
4
Buku ini adalah kumpulan pidato yang dibawakan oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada sebuah rapat lengkap
Partai Politik Islam Masyumi daerah Priangan di awal Ramadlon
1365 H, satu tahun setelah dikumandangkannya proklamasi 17
Agustus 1945. Buku tersebut menjelaskan visi-misi pemikiran
politik Kartosuwiryo tentang keharusan mendirikan negara Islam
Indonesia. Kumpulan pidato tersebut kemudian diterbitkan ulang
dalam, Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam (Depok:Episentrum
Pengkajian Islam dan Riset Sosial (EMPIRIS), 2006);
3
186
Islam adalah Solusi
Politik, yang dulu pada zaman Belanda dan Jepang
“dibenci dan ditakuti”, maka sekarang pada zaman
merdeka “dicinta dan disukai”.
Pemikiran Kartosuwiryo tentang Islam politik memberikan petunjuk tentang prinsip-prinsip Islam berkenaan doktrin penyatuan antara agama dan politik.
Bingkai semacam itu mendorong umat Islam untuk
memandang partisipasi politik sebagai suatu kewajiban keagamaan yang menuntut pengorbanan diri dan
komitmen secara terus menerus terhadap perjuangan
transformasi keagamaan.
Penerimaan bingkai tersebut di kalangan partisipan
gerakan tidak saja terletak pada fungsi daya tarik intrinsik pembingkaian tersebut. Namun demikian, harus
didukung oleh kondisi di luar menyangkut situasi
Islam politik, antara lain (1) adalah fakta Islam politik
semakin terpinggirkan secara sistemik dan terstruktur
oleh tokoh nasionalis-sekuler dengan dijadikannya
Pancasila sebagai ideologi negara; (2) partai Komunis
sebagai koalisi bersama penopang pemerintahan rezim
yang tidak memberikan ruang terhadap kelompok
Islam; dan (3) artikulasi utama peran yang dimainkan
umat Islam sehubungan kontradiksi pembangunan kapitalis di masa penjajahan Hindia-Belanda, yang disebut
Kartosuwiryo sebagai Revolusi Nasional (perlawanan
terhadap penjajah). Pengalaman ini menjadi tuntutan
untuk seharusnya Islam politik mendapatkan aspirasinya. Sebagaimana diungkapkan Kartosuwiryo:
“Ummat Islam adalah sebagian dari pada Rakyat
Indonesia seluruhnya. Oleh sebab itu, kita pun akan
mengambil bagian yang besar pula dalam menyelesaikan Revolusi Nasional”.
187
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Keberhasilan
pembingkaian
yang
dilakukan
Kartosuwiryo dengan mempertimbangkan kondisi
ketidakadilan terhadap Islam politik tersebut mampu
memberikan dasar bagi perlawanan politik yang cenderung radikal, baik terhadap penjajah maupun pemerintah Republik yang dianggap berkhianat terhadap
kelompok Islam.
Di samping persolan tersebut, ada empat persoalan
lain yang cukup penting, sebagaimana diungkapkan
oleh Cornelis Van Djik dalam penelitiannya tentang
Gerakan Darul Islam. Pertama, kebencian akan pengaruh
kekuatan Tentara Republik yang dianggap tidak menghargai para pasukan Gerilya. Ada ketidakadilan terkait
posisi pasukan Gerilya saat diberlakukan penyatuan
pasukan ke dalam barisan Tentara Republik setelah
kemerdekaan.
Peminggiran pasukan gerilya yang sebagian berasal
dari organisasi Islam dari satuan pasukan tentara Republik menjadi alat untuk melakukan perlawanan. Hal
inilah yang kemudian mendasari bergabungnya Kahar
Muzakkar, Ibnu Hajar, Amir Fatah dan Daud Beureueh.
Mereka kecewa terhadap kebijakan penyatuan tentara
Republik yang tidak menempatkan para pasukan gerilya dalam komposisi pasukan pemerintah RI dari beberapa laskar.
Kedua, bertambahnya pengawasan pemerintah Republik atas beberapa provinsi segera sesudah kemajuan Tentara Republik. Kebijakan ini menempatkan
beberapa personil Tentara masuk hingga ke desa-desa,
sehingga mempersempit ruang gerak kelompok Islam.
Ketiga, menyangkut perubahan norma dan nilai mengenai kepemilikan tanah. Kebijakan ini mendasarkan pada
prinsip kepemilikan tanah harus didasarkan pada kesejahteraan sosial dan mengesampingkan kepemilikan
188
Islam adalah Solusi
individu, dan keempat, yaitu terpinggirnya peranan
agama dalam pranata kehidupan sosial, budaya hingga
pemerintahan.5
Gerakan DI/TII Kartosuwiryo mendapatkan momentumnya untuk melakukan gerakan politik penentangan
terhadap pemerintah semenjak ditandatangani Perjanjian Renville. Ketidakmampuan para elite pemerintah
dalam negosiasi dengan Belanda menjadikan kelompok
Islam semakin kecewa. Perjanjian tersebut menandai
berakhirnya kemerdekan 17 Agustus 1945 sebagai negara yang berdaulat atas wilayah bumi bangsa Indonesia.
Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional
Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis
terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa
Barat tak terlindungi.
Krisis kepercayaan terhadap pemerintah atas persetujuan perjanjian Renville semacam ini menjadi prakondisi bagi meletusnya konflik kepentingan. Gerakan
DI/TII Kartosuwiryo mengambil momentum tersebut
untuk mengkontekstualisasikan ideologi dan faktafakta yang terjadi dengan bingkai agama. Keberhasilan
pembingkaian diagnostik terhadap persoalan bangsa
yang dihadapi seperti kekecewaan beberapa kelompok
terhadap sikap Indonesia yang baru merdeka, kebijakan
tuntutan pihak Belanda di masa Agresi Militer I dan II,
maupun terhadap kegagalannya memberi pengakuan
kepada pasukan gerilya di beberapa wilayah untuk
ditempatkan didalam barisan tentara nasional yang baru
dibentuk menjadi artikulasi utama isu-isu peminggiran
Islam politik dan kegagalan pemerintahan Republik.
Selanjutnya, isu-isu tersebut dibingkai dalam perspektif agama untuk memobilisasi dukungan dari beCornelis van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (Jakarta:
Penerbit Grafiti Press, 1983, Edisi Pertama),321-324.
5
189
Men-Teroris-Kan Tuhan!
berapa kelompok Islam yang merasa terpinggirkan.
Pembingkain dengan isu-isu tersebut mampu memperluas aliansi dan jaringan di beberapa wilayah, seperti
Kalimantan Selatan (1950); Sulawesi Selatan (1952) di
bawah Kahar Muzakkar, dan di Aceh (1953) dibawah
Daud Beureueh. Lebih dari itu, gerakan DI/TII juga menyebar hingga ke wilayah Timur Indonesia seperti Nusa
Tenggara, Maluku dan Halmahera.6
Oleh karena itu, gerakan DI/TII melakukan pembingkaian prognostik dalam menghadapi persoalan
kebobrokan umat dan peminggiran sistematis terhadap
Islam politik di Indonesia, dengan menawarkan Islam
sebagai solusi dalam bentuk Negara Islam Indonesia
(NII). Dalam pandangan Kartosuwiryo, masyarakat
Indonesia dapat terjamin keselamatannya baik yang
menyangkut hidup maupun penghidupannya hanya
dengan hidup di dalam naungan Islam yaitu, Negara
Islam Indonesia.
Islam politik yang ditawarkan Kartosuwiryo tersebut sangat strategis guna menanggapi keluhan-keluhan
yang dialami kelompok Islam dan menawarkan Islam
sebagai solusi perubahan atas tatanan yang tidak memihak kepada mereka. Simbol-simbol Islam yang mencerminkan kode tentang moral kepatuhan terhadap Tuhan
dan kewajiban kesejahteraan umat Islam menjadi gambaran sebaliknya dari realitas yang ada. Dimensi diagnostik ini mampu memberi jalan bagi pembingkaian
ideologi Islam untuk menjadi tawaran pada kekejaman
politik yang dirasakan oleh para partisipan kelompok
Islam yang merasa terpinggirkan. Islam sebagai ta-
Widjiono Wasis, Geger Talangsari:Serpihan Gerakan Darul Islam
(Jakarta:Balai Pustaka, 2001), 174-178.
6
190
Islam adalah Solusi
waran bagi keluhan tersebut sebagaimana dinyatakan
Kartosuwiryo7:
“Beda dengan ideologi-ideologi yang lainnya, maka
ideologi Islam tidak hanya menuju kepada keselamatan
dunia saja, melainkan juga kesejahteraan akhirat”.
Untuk mencapai hal tersebut, yakni hidup di bawah
naungan Islam maka diperlukan dua tahap revolusi.8
Tahap pertama adalah revolusi nasional. Revolusi ini
sudah berhasil dilakukan bangsa Indonesia dengan
pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Tahapan ini
menegaskan pemikiran politik Kartosuwiryo sehubungan dengan gerakan anti kolonialisme yang melekat
dalam dirinya. Selanjutnya revolusi sosial, yaitu bangsa
Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh.
Tahapan kedua inilah yang kemudian menjadi landasan ideologis bagi Kartosuwiryo untuk mendirikan
Negara Islam Indonesia sekaligus menemukan hambatan karena mendirikan negara di dalam negara Indonesia.
Meskipun demikian, ada pandangan sinis terhadap
pelabelan “pemberontak” terhadap Kartosuwiryo sebagaimana dilakukan oleh al-Chaidar dalam beberapa
bukunya dengan argumen pada saat deklarasi berdirinya Negara Islam Indonesia, pemerintah Republik
Indonesia telah mengalami kekosongan kekuasaan
(vacuum of power) akibat menyerahkan sebagian kedaulatan bangsa Indonesia di tangan Belanda sebagai hasil
kesepakatan perjanjian Renville.9
Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, 14.
Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, 12.
9
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam
Indonesia, S.M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul
Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru (Jakarta: Darul Falah,
1999).
7
8
191
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Di atas semua itu, pemahaman terhadap proses pembingkaian dapat menjelaskan fungsi agama bukan sekedar murni sebagai landasan motif di balik kemunculan
gerakan terorisme berbasis agama. Namun demikian,
agama lebih berperan sebagai strategi wacana dan aksi
untuk memobilisasi gerakan. Sebagaimana diungkapkan
Van Dicjk misalnya, simbol-simbol Islam yang melekat di
dalam gerakan DI/TII bukan sekedar sebagai landasan
motifasional, tetapi menjadi legitimasi pembenaran gerakan tersebut dalam melakukan pemberontakan terhadap rezim.
Dalam salah satu laporan ICG, menyebutkan bahwa
faktor agama bukan menjadi arus utama terhadap kemunculan gerakan DI/TII, namun agama dalam hal ini
Islam menjadi perekat di antara pemimpin-pemimpinnya, sehingga mereka sepakat membentuk sebuah front
persatuan dengan mendirikan Negara Islam Indonesia
(NII).10
Dalam perspektif framing, strategi pembingkaian memainkan peran penting dalam konsensus mobilisasi aksi
di antara para partisipan di dalam internal organisasi.
Simbol Islam di dalam gerakan DI/TII menjadi legitimasi pembenaran untuk melakukan gerakan terorisme
atau “pemberontakan” DI/TII. Simbol Islam yang melekat dalam gerakan DI/TII sekaligus menjadi alat untuk mobilisasi dukungan terhadap kelompok-kelompok
yang merasa terpinggirkan untuk membentuk konsensus melakukan perlawanan terhadap rezim pemerintahan Orde Lama.
Meski demikian, keberhasilan bingkai itu bukan
hanya didasarkan pada gema dakwah Islam politik
yang dilakukan Kartosuwiryo. Namun keefektifan agen
Lihat “Daur Ulang Militan Indonesia”, ( 22 Februari 2005).
10
192
Islam adalah Solusi
dan metode juga turut andil pada mobilisasi. Dalam
hal ini, Kartosuwiryo memainkan peran ganda dalam
keberhasilan gerakan. Ia tidak saja sebagai aktor utama
gerakan, tetapi juga berperan sebagai agen transmisi
gagasan Islam politik. Ia mampu merebut otoritas penafsiran teks-teks suci di kalangan Masyumi atau Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII) dengan menyusun konsep
“hijrah” partai politik dalam bentuk brosur sebagai aktualisasi gagasan pemikiran tentang Islam politik bagi
Kartosuwiryo.
Lebih dari itu, posisinya sebagai Pemimpin Redaksi
Koran harian Fadjar Asia, dimanfaatkan betul untuk
membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang
bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak ia mampu mentafsirkan nilai-nilai agama dalam kehidupan realitas. Ia juga menyerukan agar kaum buruh
bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka,
tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.11
Kemampuan Kartosuwiryo dalam mengkonstruksi
pemikiran dan mentransmisi gagasan di kalangan publik memiliki pengaruh yang cukup efektif, apalagi sedikit
banyak tokoh-tokoh Islam saat itu yang belum mampu
menuliskan pemikiran-pemikirannya dan Kartosuwiryo
adalah di antara tokoh Islam yang mampu mengaktualisasikan gagasan ke dalam tulisan.
Hal tersebut juga menandai kemampuan intelektualitas Kartosuwiryo, baik di bidang pemikiran agama maupun sosial-politik. Pada saat yang sama, Kartosuwiryo
membentuk “Institut Suffah” tidak saja sebagai lembaga
Lihat beberapa kumpulan artikel Kartosuwiryo di koran Fadjar
Asia, dalam situs http://alchaidar.blogspot.com/search?updatedmin=2006- (diakses 15 Januari 2013).
11
193
Men-Teroris-Kan Tuhan!
pendidikan bagi generasi muda, tetapi juga wadah solidaritas kelompok kecil yang intensif memperkuat komitmen menyebarluaskan gagasan-gagasan Kartosuwiryo.
Institut Suffah ini pada akhirnya menjadi lokomotif
utama pendukung gerakan Kartosuwiryo untuk menjadikan Islam politik sebagai kekuatan terlembagakan
dalam bentuk Negara Islam Indonesia. Keberhasilan
transmisi gagasan dalam kelompok kecil membentuk
aliansi-aliansi dalam jaringan-jaringan kelompok seperti laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk berjuang dalam
bingkai pemikiran Kartosuwiryo.
Pembingkaian peminggiran Islam politik ini tidak
saja dilakukan oleh gerakan DI/TII, tetapi juga terjadi di
masa Orde Baru yang memunculkan beberapa aksi teror
dan kekerasan berbasis agama. kekerasan atau aksi teror
yang terjadi di masa Orde Baru seringkali terjadi karena
tindakan represif rezim terhadap aktifitas Islam politik.
Kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 yang kemudian
diikuti serangkaian aksi teror bom sebagai upaya pembalasan melawan represif rezim seperti teror bom BCA
(1984) dan bom Borobudur (1985).
Namun demikian, meski tidak ada perbedaan dalam
proses pembingkaian gerakan terorisme di masa Orde
Lama atau Orde Baru tetapi ada sebuah catatan kecil
yang membedakan pembingkaian di kedua masa rezim
tersebut yaitu menyangkut kebangkitan komunisme di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan membahas isu
tersebut dalam sub bab khusus dengan pertimbangan
bahwa isu ini sedikit sekali menjadi acuan dalam pembahasan gerakan sosial Islam.
194
Islam adalah Solusi
2. Melawan Kebangkitan Komunisme
Pada pembahasan ini, penulis akan mengungkapkan
sebuah catatan yang menujukkan bagaimana gerakan
komunis (baca: PKI) menjadi ingatan buruk bagi sebagian masyarakat. Ingatan buruk tersebut dijadikan alat
dalam proses pembingkaian gagasan, pemaknaan dan
keyakinan untuk melakukan gerakan terorisme berbasis
Islam. Isu kebangkitan komunisme di Indonesia ini terungkap dalam laporan berita acara pemeriksaan dalam
kasus gerakan Komando Jihad.
Gerakan Komando Jihad merupakan gerakan terorisme berbasis Islam yang muncul di masa rezim Orde
Baru. Gerakan Komando Jihad merupakan salah satu
bentuk petualangan politik para pengikut Kartosuwiryo
pasca dieksekusinya Kartosuwiryo pada tahun 1962. Sebelumnya, pada Agustus 1962, beberapa anggota gerakan DI/TII mendapat amnesti dari pemerintah. Amnesti
diberikan kepada 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap
militer, termasuk Haji Isma’il Pranoto (Hispran) dan
anak buahnya.
Tidak banyak fakta yang diketahui tentang Komando
Jihad, beberapa sumber meyakini bahwa Komando Jihad merupakan organisasi teroris yang terdiri dari
eksponen aktivis gerakan Darul Islam. Sumber lain
berpendapat bahwa Komando Jihad diciptakan oleh
pemerintah Indonesia sebagai perangkap untuk memerangi komunisme dan mendiskriminasikan Islam politik
guna melanggengkan kekuasaan Orde Baru.12 Dalam hal
apapun, Komando Jihad diyakini bertanggung jawab
atas beberapa insiden teroris di akhir 1970-an dan awal
1980-an.
Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan
Komando Jihad.
12
195
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Dalam hal diagnostik, hampir tidak ada perbedaan
dengan gerakan DI/TII di masa Orde Lama. Persoalan
klasik menyangkut negara sekuler yang didasarkan pada
Pancasila masih menjadi arus utama diagnostik framing.
Hal ini bisa dimaklumi karena anggota Komando Jihad
merupakan para petinggi dan aktivis gerakan DI/TII.
Namun demikian, adalah komunisme sebagai isu utama sebagai persoalan (diagnostik) yang membedakan
dengan gerakan sebelumnya. Kebangkitan gerakan komunisme yang akan kembali ke Indonesia pasca kekalahan Amerika dalam perang Vietnam di tahun 1970-an
digunakan alat untuk memobilisasi para eks anggota
DI/TII.
Dalam wawancara Busyro Muqoddas kepada beberapa mantan terpidana kasus Komando Jihad memberikan petunjuk beberapa problem diagnostik sehubungan
dengan proses pembingkaian menjadi aksi gerakan.
Umar Hasan dan Sudimarman Marsudi misalnya,13
menyatakan ada agenda kembalinya gerakan komunisme
ke Indonesia sehingga mereka siap untuk melakukan
pergerakan. Lebih dari itu, Marsudi menyatakan melalui
Hispran dengan dana dari Ali Moertopo agar mengundang beberapa anggota DI/TII yang kemudian disebut
dengan Komando Jihad untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap kebangkitan Komunisme.
Hal senada juga disampaikan oleh mantan Major
Jenderal Himawan Soetanto setelah mendengar laporan
dari beberapa anggota Komando Jihad, termasuk Ateng
Djaelani dan Hispran yang hendak bersiap melakukan
perlawanan terhadap kebangkitan Komunis di Asia
Mantan tersangka Komando Jihad, Umar Hasan beroperasi di
wilayah Lamongan. Sedangkan Sudriman Marsudi di wilayah
Klaten, Solo dan Yogajakarta. Dalam Busyro Muqoddas, Hegemoni
Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 99-100.
13
196
Islam adalah Solusi
Tenggara dengan mengorganisasikan massa kedalam
gerakan informal yang disebut dengan Komando Jihad.14
Diagnostik framing terkait kebangkitan komunisme
menjadi isu utama bagi kelompok Islam di dalam mengorganisasi dan memobilisasi gerakan dikarenakan
adanya keyakinan di kalangan Islam bahwa komunisme
yang berpaham Marxis adalah ateis -tidak atau belum
meyakini keberadaan Tuhan-.15 Paham seperti ini bisa
dimaklumi karena masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap persoalan agama. Di samping itu, ada luka
sejarah yang panjang sehubungan dengan ketegangan
komunisme di Indonesia (PKI) dengan Islam politik.
Ketegangan antara PKI dan Islam politik nampaknya
menjadi ingatan buruk untuk membangkitkan perlawanan terhadap kebangkitan komunisme. Kebangkitan
komunisme ini menjadi strategi pembingkaian karena
memang kelompok Islam harus diakui dalam sejarahnya
banyak terlibat konfrontasi dengan PKI hingga konfrontasi dalam bentuk pembantaian massal simpatisan PKI
oleh sebagian kelompok Islam.16
Seiring dengan pembingkaian kebangkitan komunisme bergulir, beberapa aktivisme Islam mantan
simpatisan dan anggota gerakan DI/TII mengorganisasi
dan memobilisasi gerakan. Hal ini ditandai dengan diadakan beberapa pertemuan eks petinggi gerakan DI/
Ken Konboy, Intel II : Medan Tempur Kedua (Jakarta: Pustaka
Primatama, 2011); 20-21.
15
Ken Konboy, Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (Jakarta:
Pustaka Primatama, 2007); 146.
16
Studi yang dilakukan oleh Hermawan Sulistyo menujukkan
bagaimana organisasi keagamaan seperti NU terlibat dalam tragedi
pembantaian para simpatisan PKI yang digerakkan oleh beberapa
tokoh agama di Jawa Timur. Lihat selanjutnya dalam, Hermawan
Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembataian Massal yang
Terlupakan (Jakarta: Pensil 324, 2011).
14
197
Men-Teroris-Kan Tuhan!
TII untuk membahas strategi aksi teror. Keputusan
membentuk Komando Jihad mulai didesain pada tahun
1975-1976 oleh Gaos Taufik dan Danu Mohamed Hassan
yang didorong Ali Moertopo dan BAKIN.
Meskipun terkesan pertemuan tersebut merupakan konspirasi Orde Baru melalui Ali Moertopo. Namun demikian, mereka bukan saja sebagai korban lugu
konspirasi Orde Baru. Mereka nampak berperan aktif
memandang dukungan Ali Moertopo sebagai medan
tempur kedua gerakan DI/TII setelah kekalahan pada
tahun 1962.
Selanjutnya, pembingkaian prognostik yang dilakukan tidak ada perbedaan dengan gerakan DI/TII
Kartosuwiryo dengan menawarkan gagasan Islam sebagai solusi. Dalam beberapa dakwah yang dilakukan
petinggi Komando Jihad seperti Hispran, sering kali
memuat visi memperjuangkan Islam sebagai solusi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawancara
Busyro Muqoddas dengan H. Wuslam, salah satu tokoh
DI di Brebes sehubungan dengan dakwah Hispran, yang
mengatakan:
“Bahwa umat Islam harus melawan keberadaan
Pancasila di Indonesia. Seakan-akan menurut pak
Hispran keberadaan Pancasila ini tidak ada. Ia bermaksud mendirikan negara yang bersyariat Islam. Jadi, karena itu sebagai ideologi yang sesuai dengan al-Qur’an
dan Hadist dan dibantu dengan H. Ahmad Dafur yang
di Tapal Batas. Pak Hispran pulang di Ponorogo dan di
sana juga memberikan satu motivasi bahwa Islamlah
yang bisa menyatukan dan menyelamatkan bangsa
ini”.17
Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan
Komando Jihad. 111-112.
17
198
Islam adalah Solusi
Dalam berita acara pemeriksaan mantan terdakwa
beberapa aktivis Komando Jihad juga mengungkapkan hal yang sama sehubungan dengan pembingkaian
prognostik. Misalnya, kesaksian Yusuf al Iskak al Ahyar
dalam perkara Abdul Kadir Baraja:
“Yang diperjuangkan Komando Jihad ialah menginginkan/mendirikan Negara Islam di Indonesia berdasarkan al-Qur’an dan Hadist supaya Syari’at Islam tegak
di bumi Indonesia sehingga Islam benar-benar menjadi
rahmatan lilalamin”.18
Begitu juga dengan laporan berita acara pemeriksaan
oleh Dollah BA alias Wisnirahardjo, salah satu terdakwa
kasus Komando Jihad di daerah Yogyakarta. Sebagamaina dipaparkan oleh Busyro:
“Komando jihad menghendaki agar hukum Islam
berlaku secara positif di Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh Piagam Jakarta antara lain Ketuhanan
YME dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Menurut pengamatannya bahwa orang Islam sekarang belum melaksanakan syariat
agamanya (Islam) secara benar”.19
Sementara gerakan Komando Jihad mulai melakukan
serangkaian aksi kekerasan antara tahun 1975 hingga
80-an, pada saat bersamaan revitalisasi gerakan dakwah
salafi juga mulai bermunculan di era tersebut. Gerakan
dakwah salafi memiliki kecenderungan visi yang sama
Berita Acara Pemeriksaan Abdul Kadir Baraja-terdakwa gerakan
Komando Jihad, dalam Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim
Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. 96. Abdul Qadir Baraja,
pertama kali dipenjara atas tuduhan kegiatan Komando Jihad,
dan kemudian karena menyediakan bom untuk serangkaian aksi
pemboman di tahun 1985.
19
Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan
Komando Jihad. 98.
18
199
Men-Teroris-Kan Tuhan!
dengan gerakan Komando Jihad, namun fitur kekerasan
yang melekat yang membedakan. Gerakan dakwah
lebih memilih cara-cara soft dalam menghendaki citacita mendirikan negara Islam. Namun demikian, kelompok teroris tidak jarang merupakan bagian dari gerakan
dakwah salafi atau setidaknya mereka pernah mengalami internalisasi transmisi gagasan dakwah salafi.
Sebagamana dipaparkan dalam penelitian Imdaddun
Rahmat, menunjukan gerakan dakwah disaat bersamaan digunakan sebagai proses pembingkaian diagnostik dan prognostik oleh beberapa aktor gerakan
Islamisme.20 Mereka mengusung pemikiran-pemikiran
Islam politik Timur Tengah seperti Hasan al-Banna dan
Sayid Qutb. Lebih dari itu, upaya pembingkaian dilakukan juga dalam bentuk penerjemahan buku karya
pemikiran Hasan al Banna, Sayid Qutb serta beberapa
pemikir lain. Beberapa tokoh dari gerakan DI/TII juga
masih aktif memberikan ceramah di beberapa masjid
dan tempat lain yang memiliki kecenderungan visi negara Islam Indonesia.
Gerakan dakwah mengambil jejaring informal untuk
menghidari pengejaran pemerintah yang cenderung
represif terhadap kelompok dakwah Islam politik. Pembingkaian melalui jalur dakwah ini memberikan insentif pembingkaian yang lebih efektif terhadap transmisi
gagasan negara Islam di Indonesia. Ketika akses kesempatan politik terbuka di masa Pasca Suharto, gerakan
dakwah mulai berevolusi dalam bentuk gerakan sosial
Islam dan dalam hal tertentu mereka cenderung radikal
dan teroris.
M. Imdaddun Rahmat, Arus Balik Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia.
20
200
Islam adalah Solusi
3. Dari Hegemoni Barat terhadap Islam ke Negara
“Thogut”
Pembingkaian isu-isu global menyangkut dunia
Islam dalam proses pembingkaian gerakan terorisme
berbasis Islam di Indonesia nampak dalam gerakan
terorisme berbasis Islam yang muncul di masa pasca
Suharto. Salah satu gerakan teroris yang muncul pada
periode pasca Suharto adalah organisasi JI. JI diyakini
bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror yang terjadi sepanjang era pasca Suharto.
JI didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Baa’syir pada tahun 1993 sebagai organisasi kumpulan mujahidin Afghanistan. Selanjutnya, organisasi ini
dalam perkembangannya kemudian diyakini bertanggung jawab atas tragedi serangkaian bom di tanah air.
Lebih dari itu, JI merupakan gerakan terorisme yang
beroperasi di kawasan Asia Tenggara, sehingga keberadaannya menjadi ancaman tidak saja di Indonesia
tetapi juga di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal pembingkaian diagnostik, kemunculan
gerakan JI di masa Pasca Suharto tidak hanya mengusung isu-isu lokal tetapi turut serta memasukkan isu
transnasional terkait dengan posisi umat Islam dalam
percaturan politik dunia. Isu transnasional mencoba
membawa kedaulatan dan kebangkitan Islam politik
yang telah di “cabik-cabik” Amerika Serikat.
Dalam konteks gerakan JI, para aktor organisasi JI
dan simpatisan yang terlibat aktif dalam serangkaian
aksi teror di Indonesia nampaknya terpengaruh fatwa
Osama bin Laden “Front Dunia Islam untuk berjihad
melawan kaum Yahudi dan Salibis” yang ditandatangani oleh Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri dan
201
Men-Teroris-Kan Tuhan!
tiga pimpinan Al Qaeda yang lain.21 Fatwa ini menjadi
dasar legitimasi aksi kekerasan dalam terorisme berbasis Islam di Indonesia.
Penulis menganggap masuknya pembingkaian
isu transnasional dalam aksi terorisme di Indonesia
merupakan konsekuensi dari terjalinnya komunikasi
kader-kader JI semasa mengikuti pelatihan dan perang
di Afghanistan dengan beberapa milisi Islam dari beberapa negara, termasuk milisi al-Qaeda.22 Pengalaman
di Afghanistan memberikan pengaruh cukup besar sehubungan dengan posisi umat Islam di beberapa negara
terkait dengan kesewenang-wenang Amerika dan sekutunya. Di samping itu, perkembangan pesat informasi
dan teknologi juga berpengaruh dalam penerimaan
informasi dunia internasional terkait dengan negaranegara Islam.
Pelaku bom Bali pada tahun 2002 pada umumnya
merupakan mujahidin perang Afghanistan seperti Ali
Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi dan lain-lain.
Pengalaman dan emosional selama mengikuti perang di
Afghanistan menjadi luapan emosi pikiran untuk membawa kedaulatan Islam politik di Indonesia. Alumnus
Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda, Global Network of Terror (New
York: Berkley Publishing Group, 2003), 45.
22
Seperti diketahui angkatan pertama kader JI merupakan alumni
perang Afghanistan, dimana di bawah operasi Abu Bakar Baasyir
dan Abdullah Sungkar mengirimkan beberapa orang untuk jihad
di Afghanistan. Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra terdakwa
kasus bom Bali merupakan angkatan pertama veteran perang.
Perang Afghanistan berlangsung pada tahun 1979 ketika Uni
Soviet menyerbu Afghanistan untuk menopang pemerintah
komunis Kabul. Untuk kemudian dengan dukungan Amerika,
Saudi dan Pakistan memobilisir ribuan sukarelawan jihad dari
berbagai belahan dunia Islam, termasuk beberapa mujahidin
Indonesia. Pengalaman di Afghanistan ini membawa hubungan
dengan aktivis al-Qaeda bagi aktor gerakan teroris JI.
21
202
Islam adalah Solusi
Afghanistan tidak saja menjadi artikulator utama isuisu transnasional, tetapi juga menjadi inspirasi generasi
seterusnya untuk berpikir radikal menuntut kedaulatan
Islam politik di Indonesia dengan jalan terorisme. Lebih
dari itu, veteran mujahidin Afghanistan memiliki kharisma di kalangan milisi jihadis sehingga mereka menduduki posisi penting dalam struktur organisasi JI atau
organisasi yang berafiliasi dengannya.
Dalam wawancara Asep Adisaputra dengan Imam
Samudra memberikan penjelasan pembingkaian diagnostik sehubungan dengan persoalan yang menimpa
umat Islam di dunia. Imam Samudra mengatakan:
“jihad terbesar sekarang ini yaitu jihad memerangi teroris Amerika dan sekutunya yang terlibat perang salib
memerangi umat Islam di seluruh dunia. Terutama
dengan menjatuhkan ribuan ton bom di Afghanistan
pada September 2001, tepatnya Ramadhan 1422 H, terhadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, muslimah dan
anak-anak kecil yang tida berdosa”23
Perkataan Imam Samudra menunjukkan bagaimana
pengalaman sebagai milisi perang Afghanistan membawa dimensi pembingkaian diagnostik sehubungan
dengan kebiadaban tentara Amerika terhadap warga
sipil Afghanistan. Persoalan tertindasnya warga muslim Afghanistan mengkonstruksikan dirinya untuk
memerangi Amerika dan sekutunya dalam bentuk teror
bom Bali. Teror di Bali dilakukan karena Bali merupakan tempat berkumpulnya teroris internasional, seperti
Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Australia,
Israel, Cina Komunis dan lain-lain.24
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta:Pensil 324,
2006)62-63.
24
Berita Acara Pemeriksaan Tersangka (BAP) An. Imam Samudra,
tanggal 28 November 2002;7-8.
23
203
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Selanjutnya di dalam laporan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) Imam Samudra menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang mendasari aksi teror di Bali
pada tahun 2002 sehingga melakukan aksi teror bom,
diantaranya dalam rangka melawan kebiadaban tentara
salib Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris, Australia,
Jerman, Perancis, Jepang, Rusia ortodoks, dan lain-lain),
kewajiban seorang Muslim membalas sakit hati 200.000
umat lelaki lemah, wanita lemah dan bayi yang meninggal tak berdosa, pada saat dijatuhkannya ribuan ton
bom pada September 2001 tepatnya Ramadhan 1422 H
di Afghanistan, Australia turut campur dalam upaya
memisahkan Timor-Timur dari Indonesia yang semua
itu merupakan konspirasi salibis internasional, campur
tangan pasukan salib bekerjasama dengan pasukan kafir
Hindu di India dalam membantai Muslim di Kashmir,
pembalasan terhadap kebiadaban dan keterlibatan
pasukan Salib dalam skenario konflik di Ambon, Poso,
Halmahera dan lain-lain, pembalasan terhadap Muslim
Bosnia yang dibantai pasukan Salib, melaksanakan fardu A’in Jihad Global terhadap Yahudi dan Nasrani di
seluruh bumi negara Muslim, perwujudan Ukhuwah
Islamiyah antar satu Muslim dengan Muslim lainnya
yang tidak dibatasi oleh hambatan geografis dan melaksanakan perintah Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat
74-76 yaitu kewajiban membela lelaki lemah dan bayibayi yang tidak berdosa yang selalu menjadi sasaran
atas kebiadaban teroris Amerika dan sekutunya.
Persoalan kebijakan politik negara Amerika terhadap
negara-negara Islam memberi suatu bingkai perlawanan bagi para aktor gerakan teroris. Aksi teror pelaku
Bom Bali 12 Oktober 2002 bukan semata-mata didasarkan pada landasan doktrin agama, tetapi ketidakadilan
global sehubungan dengan kebijakan Amerika yang di-
204
Islam adalah Solusi
rasa tidak adil khususnya terhadap umat Islam. Mereka
membingkai persoalan-persoalan tersebut dalam simbol
agama. Agama dalam hal ini menjadi landasan motifasional dari pada sekedar pembenaran aksi teror.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Bakar Baa’syir
(ABB) bahwa jihad adalah wajib hukumnya ketika umat
Islam dizalimi. Bom Bali merupakan bentuk perlawanan terhadap Amerika dan sekutunya. Lebih lanjut ABB
mengungkapkan tentang kewajiban berjuang menegakkan syariat Islam. Haram hukumnya orang Islam diam,
wajib hukumnya berjuang merombak sistem menjadi
hukum Islam. Meski demikian, Abu Bakar Baa’syir
kurang sependapat dengan cara aksi teror bom di Bali
yang banyak membunuh warga sipil. Baginya Bali bukanlah wilayah perang tetapi secara prinsip penegakan
hukum Islam adalah kewajiban bagi negara mayoritas
beragama Islam.25
Tujuan dari aksi teror bom Bali sebagaimana terungkap di dalam BAP menunjukkan aksi teror menjadi
sebuah gerakan protes atas ketidakadilan atau paradoks
nilai kehidupan manusia, yang pada saat bersamaan
kelompok Islam mengalami degradasi nilai seiring
dengan modernisasi dan sekulerisasi dari proyek peradaban Barat. Mereka mengkonstruksikan diri sebagai
pembela agama Islam dengan menguraikan persoalan
yang dihadapi, dan mereka mencoba mentafsirkan identitas diri dan mentafsirkan Amerika sebagai musuh. Hal
ini juga menunjukkan bahwa ideologi gerakan terorisme bukan lagi bertumpu pada konsep nation-state,
melainkan konsep umat.
Konsep umat dijadikan strategi wacana di tengahtengah glombang modernisasi dan sekulerisasi yang
Wawancara dengan Abu Bakar Baa’syir di Jakarta, 25 Agustus
2013.
25
205
Men-Teroris-Kan Tuhan!
cenderung mengikis nilai-nilai budaya lokal dan agama.
Hal ini juga menandai terpinggirnya Islam baik karena
ketidakmampuan mengejar kemajuan Barat atau mungkin sebuah gejala dari korban kebijakan Barat dalam
proyek peradaban modernisme. Posisi Islam politik
dalam politik global yang semakin buram membentuk
sebuah nilai-nilai solidaritas untuk membayangkan
Islam dalam pentas politik global yang tidak bisa disingkirkan apalagi didiskriminasikan.
Setelah penangkapan beberapa pelaku bom Bali
hingga bom Marriot yang merupakan alumni perang
Afghanistan. Isu-isu pembingkaian mulai bergeser kepada isu lokal terkait dengan pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Serangan yang mulai mengarah kepada pemerintah merupakan respon sebagian aktivisme
Islam terhadap kegagalan pemerintah dalam mengawal demokratisasi pasca reformasi 1998. Tidak ada hal
kemajuan yang di dapat pasca reformasi kecuali konsumen dungu globalisme dan konsumerisme. Karena
itu, sekelompok orang dengan mengatasnamakan jihad
mereka melakukan gerakan perlawanan dengan sasaran
teror simbol-simbol pemerintah.
Pada kasus-kasus teror bom sebelum serangan dengan
institusi pemerintahan, targetnya adalah simbol-simbol
kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, tempat
umum, entitas bisnis, tempat hiburan, serta tempat
ibadah (umumnya gereja, meskipun Masjid Istiqlal juga
pernah dibom). Nampaknya target utama dari institusi
pemerintah adalah Polri.
Hingga akhir tahun 2013, tercatat setidaknya delapan anggota Polri tewas ditembak. Sementara itu, beberapa kantor kepolisian juga diserang.Dilihat dari segi
perkembangan ancaman, aksi di Medan, lalu di Mapolresta Cirebon, dan serangan sporadis penembakan ter206
Islam adalah Solusi
hadap beberapa Polisi, tampak memberi pesan lanjutan,
bahwa simbol-simbol negara, seperti instalasi militer/
kepolisian, dan presiden, telah menjadi sasaran kelompok teroris yang ada di tanah air.
Alasan penyerangan terhadap simbol-simbol negara karena dianggap kafir, mereka melindungi hukum
“thogut,” yang memerangi mujahidin (kelompok teroris yang melakukan serangan bom), dan kecenderungan
pemerintah berkiblat ke Amerika.Pandangan ini sejalan
dengan pendirian Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dan kelompok Islam garis keras lain.
Konstruksi terorisme terhadap pemerintah sebagai “thogut” maka seluruh tatanan sistem demokrasi
dianggap tidak mencerminkan Islam. Dalam pandangan Ansyaad Mbai selaku kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), pemilu sebagai
pra syarat terlaksananya demokrasi dalam pemilihan
kepemimpinan negara maka akan menjadi momentum
serangan terorisme karena musuh utama mereka adalah
demokrasi dan pemilu.26
Dalam hal ini merujuk pada buku yang ditulis Abu
Bakar Baa’syir yaitu Tadzkirah. Dalam buku tersebut
dijelaskan tentang pengertian Thagut adalah penguasa
yang memutuskan perkara dengan hukum bukan
syariat Islam.27 Pembingkaian yang dilandaskan pada
pemahaman bahwa pemerintah adalah kafir merupakan
upaya menjadikan target serangan adalah pihak-pihak
pengambil kebijakan.
Mereka tidak saja beralasan karena pemerintah khususnya, kepolisian telah menghalangi aksi-aksi teror,
tetapi juga melemahnya kekuatan gerakan terorisme
“BNPT: Ada Ancaman Teroris di Pemilu 2014”. Jurnas.com, Sabtu, 4
Januari 2014.
27
Abu Bakar Baa’syir, Tadzkiroh:Nasihat dan Peringatan karena Allah.4.
26
207
Men-Teroris-Kan Tuhan!
pasca ditangkapnya beberapa pelaku teror. Bagi Abu
Bakar Baa’syir negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam semestinya wajib menerapkan kebijakan
hukum Islam. lebih lanjut, ia mengatakan penerapan
hukum Islam bukan berarti mendiskriminasikan kelompok agama lain, justru dengan hukum Islam lah keadilan akan tercapai karena hal ini sudah janji Allah.28
Serangan yang mengacu kepada simbol-simbol
pemerintah ini juga menandai sebuah pesan berupa
protes atas kegagalan rezim mengawal reformasi yang
sudah berjalan 15 tahun. Hal ini ditandai meningkatnya
kasus korupsi yang menyeret banyak elite pemerintah.
Bingkai-bingkai agama dalam protes aksi teror dijadikan sebagai strategi wacana untuk memberikan atau
menawarkan prognosa Islam sebagai solusi atas kegagalan rezim.
Prognosa Islam sebagai solusi dalam wacana gerakan terorisme berbasis Islam di seluruh dunia adalah hal
yang masih menjadi perdebatan. Dalam pandangan alAshmawi, pengandaian itu tak lebih hanya mimpi yang
tak pernah berwujud. Lebih jauh ia mengingatkan bahwa akan pentingnya memperhatikan dimensi ruang dan
waktu atau memperhatikan realitas sejarah terkait tawaran Islam sebagai solusi yang kerap digaungkan oleh
kelompok Islam politik.29 Perspektif yang ditawarkan
kelompok Islam radikal sehubungan kegagalan rezim
menunjukkan sebuah paham Islam bukan saja sebagai
agama tetapi juga konsep negara.
Prognosa semacam itu adalah bagian tujuan dari
gerakan terorisme berbasis Islam dari zaman gerakan
DI/TII hingga gerakan JI. Di dalam tawaran Islam sebaWawancara Abu Bakar Baa’syir di Jakarta, 25 Agustus 2013.
Muhammad Sa’id Al-Ashmawi,Al-Islām Al-Siyāsī (Cairo: Sina li alNashr,1987), 176.
28
29
208
Islam adalah Solusi
gai solusi sesungguhnya menunjukkan internalisasi
ideologi terorisme memiliki jalinan hubungan secara
fungsional dengan faktor-faktor struktur sosial ekonomi
dan politik baik pada level makro dunia internasional
dan mikro dalam tataran negara.
Karena itu, simbol-simbol Islam yang melekat di
dalam aksi teror adalah strategi pembingkaian aksi untuk mendapatkan dukungan dan pembenaran serta motifasional dari kelompok-kelompok Islam yang merasa
didzolimi baik akibat percaturan politik global maupun
kebijakan pemerintah. Perkembangan terakhir dari aksi
teror yang bergerak secara sporadis dan asimetris yang
mengarah kepada target simbol-simbol pemerintahan
harus menjadi instropeksi. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah untuk segera
melakukan reformasi sistem ketatanegaraan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, bukan
sebaliknya menjadi negara yang koruptif dan manipulatif.[]
209
BAB V
MOBILISASI SUMBER DAYA
GERAKAN TERORISME
Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana
struktur kesempatan politik dan pembingkaian berperan
penting dalam kemunculan dan keberhasilan gerakan
terorisme berbasis Islam di Indonesia. Pada bab ini, penulis menjelaskan pentingnya mobilisasi sumber daya
sebagai penopang keberlangsungan gerakan terorisme.
Para perumus teori gerakan sosial telah menujukkan pentingnya teori mobilisasi sumber daya (resource
mobilisation theory) dalam rangka keberhasilan menjalankan aksi-aksi sosial protes. Mobilisasi sumber daya berfungsi sebagai sarana atau wahana kolektif, baik formal
maupun informal, di mana individu-individu dimobilisasi dan terlibat aktif dalam aksi gerakan.1 Pendekatan
mobilisasi sumber daya mencoba melihat bagaimana
sumber daya dijaga dan dirawat dalam rangka keberlangsungan aksi-aksi teror.
McAdam, McCarthy & Zald , ed., Comparative Perspektive, 3.
1
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Singkatnya, penjelasan mobilisasi sumber daya di
dalam gerakan terorisme berusaha mengungkap bangunan infrastruktur pendukung gerakan. Dalam rangka itu,
analisis mobilisasi sumber daya gerakan teroris di dalam
bab ini akan menjelaskan dua ketegori mobilisasi sumber
daya, yaitu sumber daya material dan immaterial yang
meliputi aspek organisasi dan kepemimpinan serta
sumber pendanaan organisasi gerakan.
A.Struktur Organisasi dan Kepemimpinan
Organisasi merupakan satu hal yang penting di
dalam aksi gerakan. Melalui organisasi individu-individu yang terlibat di dalam akan bisa dengan mudah diatur. Organisasi juga sebagai wadah aktualisasi gagasan
yang membentuk identitas yang membedakan dengan
identitas lain. Organisasi menjadi penting tidak saja sebagai alat membentuk identitas tetapi berkaitan dengan
proses rekruitmen partisipan gerakan. Lebih dari itu, organisasi berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan
atau cita-cita di dalam aksi-aksi gerakan.
Pembahasan ini akan diawali dengan gerakan DI/
TII Kartosuwiryo. Gerakan DI/TII yang lahir di periode
awal kemerdekaan mengambil bentuk sistem organisasi
kemiliteran. Militeristik dalam gerakan ini bisa dimaklumi karena memang hampir secara keseluruhan anggota DI/TII adalah laskar pejuang kemerdekaan dan lahir dalam kondisi pergolakan bersenjata baik terhadap
Belanda maupun Negara Indonesia.
Prinsip militer dibangun berdasarkan prinsip hierarki komando. Seluruh tindakan anggota militer harus
berdasarkan perintah atasan, sehingga “tidak ada anak
buah yang salah, karena yang harus bertanggung jawab
212
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
adalah komandan.” Prajurit hanya melaksanakan perintah komandan.
Struktur organisasi dan kepemimpinan di dalam
gerakan DI/TII berbentuk jumhuriah, yakni Republik
Islam yang disebut dengan Negara Islam Indonesia
yang dipimpin oleh seorang Imam.2 Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya tokoh kunci gerakan ini adalah
Kartosuwiryo. Ia perumus ideologi gerakan DI/TII NII,
baik sebagai Imam ataupun konseptor Negara Islam
Indonesia yang menggagas sistem pemerintahan, model
dan konstitusi negara.
Dalam Maklumat Nomor I NII, Kartosuwiryo merumuskan konsep struktur organisasi kenegaraan dengan
membagi urusan sipil pemerintahan dan militer.
Pemisahan bidang sipil dan militer ini tidak berlangsung
lama, setelah dua bulan proklamasi NII, pada 3 Oktober
1949 konsep pemerintahan disatukan baik urusan
administrasi negara maupun militer di bawah satu
komando melalui Maklumat Komandemen Tertinggi
Nomor I. Dengan maklumat tersebut, Kartosuwiryo
tidak saja menjadi Imam Negara Islam Indonesia, tetapi
juga komando atau pemimpin pasukan keamanan yang
disebut dengan Tentara Islam Indonesia.
Perubahan bentuk struktur dan konsep organisasi
di awal-awal pembentukan merupakan pengkondisian
terhadap situasi dan kondisi yang masih gejolak dengan
pemerintah NKRI. Selama masa-masa pergolakan
setidaknya gerakan NII pernah tiga kali mengalami
reformasi struktur organisasi dalam rangka mempertahankan NII.3
“Sejarah Berdirinya NII,” NII Crisis Center, (Jum’at 4 Februari 2011).
http://nii-crisis-center.com/home/?option=com_content&view=
article&id=97 (diakses 10 Desember 2013).
3
“Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan
2
213
Men-Teroris-Kan Tuhan!
a. Struktur Dewan Imamah (berdasarkan Qonun
Asasi)
Konsep Dewan Imamah adalah konsep negara yang
akan dipakai oleh Kartosuwiryo ketika cita-cita NII terwujud. Dengan kata lain, konsep ini merupakan rancangan sistem kenegaraan NII ketika sudah berhasil menguasai wilayah Indonesia baik secara de facto maupun
de jure. Konsep Dewan Imamah didasarkan pada Qonun
Asasi atau Undang-Undang Dasar yang bersumber dari
hukum Islam.
Grafik . 1.
Struktur Dewan Imamah4
Menurut laman situs nii-crisis-center.com, struktur
dewan Imamah yang pertama kali terbentuk sebelum
dirumuskan berdasarkan Qonun Asasi adalah Imam selaku kuasa usaha mencakup sebagai ketua luar negeri
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia,” http://nii-news
document.blogspot.com/2012_04_01_archive.html (diakses 20
November 2013).
4
“Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I)”
214
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
dijabat oleh Kartosuwiryo, ketua majlis pertahanan dijabat oleh R. Oni Qital, wakil majlis pertahanan dijabat
oleh Kamran Hidayatullah, majlis keuangan oleh Sanusi
Partawijaya/Khadimuddin, majlis dalam negeri dijabat
oleh Sanusi Partawijaya dan majlis penerangan oleh
Tata Arsyad.
b. Struktur Komandemen (berdasarkan MKT No.1)
Setelah memproklamirkan Negara Islam Indonesia
pada 7 Agustus 1949, gerakan DI/TII praktis menjadi
gerakan penentangan atau perlawanan terhadap pemerintahan rezim yang sah yaitu, Republik Indonesia. Karena itu, tidak ada kata lagi kecuali terjadi pertempuran
sehingga untuk mensolidkan barisan pasukan gerakan DI/TII diperlukan suatu sistem komando. Sistem
komando diperlakukan melalui Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 1 tentang perubahan struktur negara. Maklumat ini menegaskan struktur darurat
militer, sehingga komando kekuasaan dipegang penuh
oleh militer.
Struktur komandemen militer ini menyatukan dua
komponen pemerintahan antara sipil dan militer. Struktur sipil tetap berfungsi di daerah wilayahnya masingmasing, akan tetapi seiring terjadinya gejolak di beberapa wilayah basis dukungan NII yang dianggap sebagai
Darul Harb (daerah perang) maka komando militer berhak untuk mendominasi masing-masing wilayah dalam
rangka pertahanan.
215
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Grafik. 2
Struktur Komandemen5
Pada masa ini gerakan DI/TII telah memiliki basis
dukungan melalui mobilisasi gerakan hingga ke beberapa wilayah. Wilayah gerakan DI/TII meliputi tujuh
Komando Wilayah (KW):
-KW1 :Priangan Timur berpusat di Tasikmalaya
yang meliputi Jakarta, Purwakarta dan
Cirebon.
-KW 2:Jawa Tengah;
-KW 3:Jawa Timur;
-KW 4:Sulawesi Selatan dan sekitarnya;
-KW 5:Sumatera
-KW 6:Kalimantan;
-KW 7:Serang, Banten, Bogor, Garut, Sumedang
dan Bandung
“Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I),”
5
216
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
Pada sekitar tahun 1970-an terjadi penambahan
wilayah territorial NII, yaitu KW 8 Lampung dan KW 9
Jakarta dan sekitarnya.
c. Struktur Sapta Palagan (Berdasarkan MKT 11, Tujuh
Medan Tempur)
Struktur Sapta Palagan mulai diperlakukan pada
tanggal 7 Agustus 1959. Struktur ini dipersiapkan
dalam rangka perlawanan total terhadap pemerintah RI.
Pasukan TNI RI di bawah rezim Sukarno bertindak tegas.
Mereka mengejar gerakan DI/TII di beberapa wilayah
basis dukungan. Karena itu, gerakan DI/TII mulai terdesak sehingga bersikap siaga membentuk pertahanan,
mengkonsolidasikan seluruh partisipan DI/TII dengan
mengubah struktur negara NII menjadi semacam struktur satuan komando militer yang dibuat dalam rangka
perlawanan total terhadap rezim. Struktur Sapta Palagan
membagi Struktur Komando Militer menjadi tujuh bagian wilayah.
Grafik. 3
Struktur Sapta Plaga6
“Memahami Konsep Politik Ketatanegaraan dan Konsep Gerakan
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (Bagian I),”
6
217
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gerakan DI/TII dengan menerapkan sistem Struktur
Palagan, maka sistem pemerintahan tidak berlaku untuk sipil. Dalam arti, setiap daerah basis gerakan DI/TII
digunakan sebagai kantong-kantong pertahanan untuk
melakukan perlawanan terhadap rezim Sukarno. Pada
masa ini dan meskipun sebelumnya juga sudah berlaku,
semua partisipan gerakan DI/TII tidak melakukan aktifitas secara terbuka. Mereka gerilya di hutan-hutan di
daerah wilayah basis dukungan gerakan DI/TII.
Seiring dengan perubahan struktur organisasi NII
selama tiga kali, maka di dalam sistem pemerintahan
pun ikut berubah. Gerakan DI/TII dengan Negara Islam
Indonesianya pernah tiga kali menerapkan perubahan
sistem kepemerintahan. Di awal pembentukan NII,
gerakan DI/TII menggunakan istilah “Imam” sebagai
kepala negara. Posisi Imam dalam hal ini tidak saja sebagai kepala pemerintahan sipil akan tetapi juga sebagai pemimpin di bidang agama. Isilah Imam ini berubah seiring dengan pemberlakuan MKT No. 1, jabatan
tertinggi tidak lagi menggunakan Imam tetapi menggunakan istilah Panglima Komandemen Tertinggi atau
Panglima Komandan Perang Seluruh Indonesia.
Setelah tertangkapnya Kartosuwiryo pada tangal 1
Agustus 1962 dengan beberapa partisipan gerakan DI/
TII. Gerakan DI/TII terpecah belah banyak para pengikutnya kemudian melarikan diri dari kejaran pemerintah RI, sebagian menyerahkan diri kepada pemerintah.
Penangkapan Kartosuwiryo sebagai Panglima Perang
Seluruh Indonesia tidak memberikan wasiat pengganti
siapa yang berhak memimpin bahkan dalam struktur
organisasi tidak ada wakil ketua.
Hal tersebut mempersulit bagi loyalis gerakan D/TII
untuk melanjutkan kepemimpinan. Akan tetapi sebagian
loyalis gerakan DI/TII masih berusaha memperjuang218
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
kan Negara Islam Indonesia seperti, Sobari, Bupati DI
Priangan Timur daerah Tasik Malaya Jawa Barat. Sobari
dan pengikutnya meneruskan perjuangan Kartosuwiryo
dengan membentuk Negara Islam Tejamaya pada tahun
1969.7
Dalam hal mobilisasi membangun jaringan organisasi gerakan DI/TII. Penting menjadi catatan bahwa
gerakan DI/TII sebagai gerakan teroris atau “kelompok bersenjata” sejak awal menerapkan sistem militer.
Sebuah sistem yang dibangun berdasarkan komando
atau perintah. Kartosuwiryo mengharuskan kepatuhan
terhadap pemimpin secara total. Karena itu, dalam menciptakan partisipan atau anggota biasanya didahului
dengan proses bai’at sebuah ritual perjanjian terhadap
pemimpin dengan membaca doa-doa dan sumpah janji
setia.
Selanjutnya, setelah banyak anggota gerakan DI/TII
tertangkap. Organisasi ini tidak berjalan secara terstruktur, sebaliknya bergerak secara bawah tanah hingga
mampu menambah wilayah yang disebut Komandemen Wilayah 8 & 9. Lebih dari itu, sekitar tahun 19751976 ada usaha-usaha untuk menghidupkan kembali
gerakan DI/TII. Usaha ini diawali dengan pertemuan
eks anggota DI/TII di Jl. Mahoni Jakarta, sehingga disebut pertemuan Mahoni. Pertemuan ini memutuskan
Daud Beureueh sebagai Imam pengganti Kartosuwiryo.
Pertemuan Mahoni inilah yang kemudian kelak dikenal dengan Komando Jihad, sebuah gerakan yang didesain oleh Ali Moertopo untuk menghidupkan kembali
gerakan DI. Setelah pengangkatan Daud Beureueh se Tejamaya merupakan daerah sekitar Tasikmalaya.Sobari ditangkap
rezim Sukarno pada tahun 1978. Lihat selanjutnya dalam Crisis
Group Asia Report “Daur Ulang Militan Indonesia, ”(22 Februari
2005), 3.
7
219
Men-Teroris-Kan Tuhan!
lanjutnya terjadi banyak perselisihan di antara anggota
terlebih pengangkatan Adah Djaelani pada 1979 sebagai
pengganti Beureueh banyak menimbulkan perpecahan.
Hal terpenting dalam usaha menghidupkan kembali
melalui pertemuan Mahoni adalah masuknya Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir pada tahun 1976, kelak
dua tokoh gerakan DI ini menjadi aktor utama gerakan
terorisme di masa pasca Suharto.8
Setelah operasi pemberantasan pasukan Komando Jihad termasuk Imam NII saat itu Adah Djaelani, kepengurusan dilanjutkan oleh Ajengan Masduki pada tahun
1986-1987. Di dalam kepemimpinan inilah nama-nama
seperti Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir menjadi pengurus. Abu Bakar Ba’asyir selaku menteri keadilan. Adapun Abdullah Sungkar bertanggung jawab
atas urusan luar negeri, terutama dalam rangka mencari
dukungan politik dan pendanaan dari luar.
NII di bawah kendali kedua orang tersebut mampu
menjalin komunikasi dengan beberapa milisi jihadis
dari Timur Tengah. Faktor kemampuan bahasa Arab
yang dimilikinya tidak saja mensukseskan upaya-upaya
pembentukan aliansi jaringan Timur Tengah, tetapi juga
mendominasi peranan Ajengan Masduki selaku Imam
NII. Pada titik inilah perpecahan terjadi dan selanjutnya
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir memilih
jalan sendiri dengan membentuk organisasi Jamaah
Islamiah (JI).
Misi kepemimpinan Ajengan Masduki adalah membangun dukungan internasional dan memperkuat sistem militer gerakan DI/TII. Karena itu, pada tahun 1988
Pembai’at-an Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir dilakukan
oleh Achmad Hussein asal Kudus, Jawa Tengah, dan Hispran dari
Surabaya. lihat selanjutnya dalam Laporan Crisis Group Asia Report
“Daur Ulang Militan Indonesia,” (22 Februari 2005), 11.
8
220
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
Masduki bersama Abu Bakar Baas’syir dan Abdullah
Sungkar bersama beberapa pengikut lain menjalin komunikasi dengan gerakan salafi lain di Pakistan dan
Afghanistan, termasuk ideolog utama dan merupakan
tokoh al-Qaeda, yaitu Abdullah Azzam.
Misi dukungan internasional hingga melakukan perjalanan ke Afghanistan membawa dampak perpecahan
di antara partisipan gerakan DI/TII. Di Afghanistan
Ajengan Masduki dan Abdullah Sungkar terlibat
perselisihan yang berbuntut pada keluarnya Sungkar
dalam barisan gerakan DI/TII, dan membentuk organisasi sendiri yang dikenal dengan Jamaah Islamiah pada 1
Januari 1993.9 Setelah masa kepemimpinan Masduki dan
beberapa aktor Komando Jihad mulai dibebaskan perpecahan mulai muncul secara nyata dan tidak kunjung
selesai. Mereka pada umumnya berselisih mengenai siapa yang layak jadi Imam DI. Pada masa inilah kemudian
disebut dengan masa banyak Imam di dalam gerakan
DI/TII.
Perpecahan di kalangan pemimpin gerakan DI/TII
pada akhirnya semakin tidak terkendali. Beberapa anggota yang tidak percaya lagi dengan petinggi DI membuat kelompok-kelompok sendiri. Momentum saat terjadi konflik Ambon-Poso pada tahun 1999, dijadikan
Perjalanan ke Afghanistan ini juga menimbulkan perdebatan
tentang Konsep Negara Islam Indonesia, pengalaman di
Afghanistan telah memperkenalkan konsep negara Islam yang
dikenal dengan Khilafah. Konsep Khilafah tidak mengenal batas
territorial wilayah sebagaimana NII yang hanya wilayah Indonesia.
Konsep khilafah inilah yang kelak diadopsi oleh gerakan JI, untuk
membedakan dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Lebih dari
itu, muncul juga anggapan konsep Negara Islam Indonesia tidak
Islami, ia lebih mirip dengan gagasan nation-state, sebuah konsep
yang bukan berasal dari Islam. lihat selanjutnya dalam dalam
Laporan Crisis Group Asia Report “Daur Ulang Militan Indonesia,”
(22 Februari 2005), 23.
9
221
Men-Teroris-Kan Tuhan!
konsolidasi untuk melakukan jihad di Ambon bagi
kelompok-kelompok sempalan.
Grafik 4.
Estafet Imam Gerakan DI/TII pasca Kartosuwiryo dan
Perpecahannya.
Hal ini nampak dalam beberapa organisasi gerakan
jihad di Ambon-Poso pada tahun 1999. Misalnya, kelompok Asadullah membentuk organisasi Angkatan Mujahidin Islam Nusantara10. Demikian pula dengan Agus
Dwikarna, ia membentuk barisan milisi jihadis Ambon
ke dalam organisasi Republik Persatuan Islam Indonesia
AMIN didirikan oleh sempalah gerakan DI/TII yaitu, Yoyok alias
Danu, pemimpin geng dari Ring Condet, Zulfikar, dari Tanjung
Priok, yang direkrut kedalam DI oleh Yoyok dan dikirim ke
Mindanao; Abdullah, seorang veteran Mindanao; danAsadullah
alias Yahya alias Ahmad Riyadi. AMIN juga bertanggung jawab
atas atas perampokan terhadap sebuah cabang Bank Central Asia
(BCA) dan peledakan kecil yang terjadi hampir serentak pada
sebuah wartel dekat Hayam Wuruk Plaza di Jakarta tanggal 15
April 1999, dalam rangka menacari dana operasional untuk jihad
di Ambon-Poso.
10
222
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
(RPII). RPII merupakan sempalan gerakan DI/TII Kahar
Muzakkar dan beberapa sempalan lain.11
Dalam hal mobilisasi, beberapa partisipan yang terlibat merupakan mantan mujahidin Afghanistan dan
Mindanao. Hal ini berpengaruh dalam upaya memperluas jaringan. Lebih dari itu, gerakan DI/TII sering memanfaatkan jaringan-jaringan sosial informal yang terbangun melalui hubungan-hubungan personal. Hal ini
menunjukkan bahwa mobilisasi gerakan DI/TII terjalin
secara personil perkawanan dari anggota DI, yang kemudian “dibujuk” untuk turut serta menjadi bagian dari
perjuangan Islam mendirikan Negara Islam Indonesia.
Setelah membahas struktur organisasi gerakan DI/
TII dan jaringan-jaringan kekuatan di beberapa wilayah
serta perpecahannya, termasuk di dalamnya organisasi Jamaah Islamiah yang menjadi organisasi gerakan
teroris di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, menjadi
penting untuk membahas mobilisasi organisasi gerakan
Jamaah Islamiah.
Organisasi Jamaah Islamiah (JI) didirikan pada
tanggal 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar (AS) dan
Abu Bakar Baa’syir (ABB). JI didirikan ketiga terjadi
perselisihan dengan Imam NII saat itu yaitu, Ajengan
Masduki saat berada di Afghanistan. AS dan ABB kemudian mendirikan JI dengan mengusung ide negara
Islam yang lebih luas daripada konsep NII. Hal ini buah
dari pertemuan kedua orang tersebut dengan Osama bin
Laden dan Abdullah Azzam.12 Konsep pemerintahan
yang dimaksud adalah Khilafah Islamiah, sebuah konsep
negara Islam yang menaungi seluruh umat Islam secara
keseluruhan dengan didasarkan pada hukum Islam.
lihat selanjutnya dalam dalam Crisis Group Asia Report, “Daur
Ulang Militan Indonesia,”(22 Februari 2005).26-33.
12
Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, 194.
11
223
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Organisasi JI mulai dikenal publik ketika terjadi
peledakan bom di Bali pada tahun 2002, dan beberapa
serangan bom di Indonesia. Oleh karena itu, JI secara
resmi dimasukkan ke dalam senarai organisasi teroris
di PBB pada 23 Oktober 2002. Sebagai sebuah organisasi gerak-an teroris, JI memiliki struktur organisasi
dan jaringan wilayah di kawasan Asia Tenggara yang
masing-masing dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab terhadap daerah operasionalnya.
Dalam buku yang ditulis oleh mantan anggota JI
Nasir Abas menyebutkan, struktur organisasi JI terdiri
dari beberapa kepenguruasan, antara lain:13
- Amir Jamaah (Pimpinan tertinggi)
- Majlis Syuro (Anggota penyusun aturan
organisasi)
- Majlis Fatwa (Anggota Cendekiawan Islam)
- Majlis Hisbah (Anggota Kontrol Kegiatan)
- Majlis Qiyadah (Anggota pimpinan pusat/
Markaziy)
- Mantiqi/Mantiqiyah (wilayah gerakan dakwah)
- Wakalah (perwakilan)
- Saroyah/sariyah (Batalion)
- Katibah (Kompi)
- Kirdas (Pleton)
- Fiah (Regu)
- Toifah (Satuan kelompok yang lebih kecil)
Adapun wilayah kerja operasional gerakan JI melingkupi kawasan/wilayah (mantiqi) Asia Tenggara. Mantiqi I, meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura.
Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan
Anggota JI (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006)113.
13
224
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
Mantiqi ini berperan menyediakan keperluan ekonomi
untuk operasi JI. Mantiqi II, meliputi sebagian besar
wilayah Indonesia. Mantiqi ini merupakan sasaran jihad.
Mantiqi III, meliputi Mindanao, Sabah dan Sulawesi,
berperan melaksanakan latihan ketenteraan, dipimpin
oleh Mustopa. Mantiqi IV, meliputi wilayah Papua dan
Australia, berperan mengumpulkan dana.
Grafik 5. Struktur Organisasi JI
Gerakan JI bergerak secara rahasia, tidak hanya gerakannya secara umum dalam melancarkan aksi tetapi
juga dalam hal pelantikan pengurus dalam organisasi
juga terkesan tidak terbuka. Mereka menanamkan kepercayaan tinggi terhadap masing-masing anggota.
Tidak diperkenankan adanya kecurigaan terhadap sesama anggota karena hanya akan membuat kekuatan bersama semakin berkurang. Gerakan terorisme yang bersifat bawah tanah menanamkan kebersamaan sesama
anggota secara maksimal. Hal ini bisa dipahami karena
identitas kolektif yang tumbuh dalam gerakan adalah
kunci utama keberhasilan melakukan mobilisasi untuk
melakukan perlawanan terhadap musuh.
JI juga menjalin hubungan aliansi-aliansi gerakan
terorisme dari beberapa negara. Misalnya, al-Qaeda,
MILF (the Moro Islamic Liberation Front), ASG (Abu Sayyaf
Group), Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) dan
225
Men-Teroris-Kan Tuhan!
beberapa organisasi teroris di Asia Tenggara lainnya.
MILF dibentuk pada tahun 1977 di Filipina oleh Hashim
Salamat. MILF ini ditengarai memiliki hubungan langsung dengan jaringan kelompok teroris internasional,
Al-Qaeda. Adapun ASG mulai muncul pada tahun 1990
sebagai pecahan dari MILF. Hubungan ini meskipun
tidak secara organisatoris tetapi memiliki kesamaan ide
tentang cita-cita Daulah Islamiah. Masing-masing kumpulan mempunyai struktur organisasi yang bersifat independen. Mereka bertemu pada saat mobilisasi pelatihan perang ke Afghanistan.
Lebih dari itu, aliansi-aliansi jejaring ini juga ikut
pelatihan militer bersama yang di adakan di Filipina.
JI bersama ASG dan MILF melakukan latihan militer di
antara Maguindanao dan Lanao del Sur, yang dinamakan dengan kem Hudaibiyah. Lebih dari itu, kerjasama
bukan hanya dalam pelatihan militer tetapi juga kerjasama dalam aksi-aksi terorisme di mana dalam aksi
teror di Manila pada 30 Desember 2000 ada keterlibatan
anggota JI bernama Fathur Rohmah al-Ghozi.14 Aliansi
kerjasama tersebut juga ditengarai membuka pelatihan bersama di Indonesia seperti di Poso, Sulawesi dan
Kalimantan.15
Aliansi kerjasama di antara organisasi teroris di Asia
Tenggara dan beberapa negara di dunia tidak berdasarkan organisatoris, dengan kata lain mereka bukan merupakan satu kesatuan organisasi tetapi disatukan oleh
Zulkifli Haji Mohd Yusoff & Fikri Mahmud, “Gerakan Teroris
dalam Masyarakat Islam: Analisis Terhadap Gerakan Jemaah
Islamiyah (JI)”, Jurnal Usuluddin, 21, (Juli 2005),39-62.
15
Rohan Gunaratna, “Understanding Al-Qaeda and its Network
in Southeast Asia”, dalam Kumar Ramakrishna and See Seng
Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia
(Singapore:World Scientific & Institute of Defence and Strategic
Studies, 2003), 127.
14
226
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
adanya kesamaan ide dan cita-cita. Mereka tidak saja
melakukan pelatihan bersama tetapi turut serta memberikan perlindungan dari upaya kejaran aparat pemerintah. Misalnya, Dulmatin, menjadi buronan karena diduga terlibat kasus Bom Bali pada tahun 2002. Dulmatin
saat itu sempat melarikan diri ke Filipina di bawah perlindungan gerakan teroris Abu Sayyaf Group. Jejaring
informal ini merupakan bagian dari aliansi kekuatan
yang bertemu pada titik kesamaan cita-cita.
Hal yang penting untuk dicatat adalah jaringanjaringan gerakan teroris sangat luas baik itu formal
maupun jejaring informal. Sejauh itu memiliki kesamaan
ide maka akan membentuk sendirinya kekuatan aliansialiansi yang akan menjadikan gerakan teroris semakin
kuat. Karena itu, sehubungan dengan meningkatnya
gerakan-gerakan teroris berbasis Islam baik di Asia
Tenggara maupun di kawasan lain khususnya Timur
Tengah, gerakan teroris berbasis Islam merupakan
gerakan teroris transnasional. Gerakan transnasional
tidak memiliki hubungan secara organisatoris mereka
dihubungkan dalam hal kesamaan ide sehingga akan
menjalin komunikasi untuk membentuk kekuatan yang
maksimal.
Gerakan JI di dalam mobilisasi individu-individu
untuk terlibat sering kali membentuk aliansi-aliansi
organisasi maupun pendidikan. Misalnya, hal yang sudah banyak diketahui keberadaan Pondok pesantren Al
Mukmin Ngruki, Sukoharjo, yang dipimpin oleh Abu
Bakar Baa’syir dan Abdullah Sungkar. Terlepas benar
tidaknya Pesantren tersebut sebagian bagian dari sumber daya organisasi JI, tetapi paling tidak Pesantren
tersebut kerap kali melahirkan atau paling tidak bahwa
hampir rata-rata pelaku teroris adalah pernah atau singgah di Pesantren tersebut. Misalnya, Asmar Latin Sani,
227
Men-Teroris-Kan Tuhan!
dalam pengeboman JW Marriott pada 2003, juga ada
Syaifuddin Umar alias Abu Fida (di Ngruki 1990-1994,
dipenjara 10 tahun) dan Toni Togar alias Indrawarman
(di Ngruki 1987-1990, di penjara 12 tahun). Sedangkan
dalam kasus bom Bali 2002, Mukhlas alias Ali Ghufron
dan Mubarok alias Hutomo Pamungkas.
Keberadaan Pesantren tersebut menjadi wahana
mobilisasi pengkaderan gerakan JI, meski tidak semua
pelaku teroris adalah alumni Pesantren Ngruki pimpinan
Abu Bakar Baa’syir. Sebagaimana dikatakan oleh Noor
Huda Ismail, keterlibatan alumni Ngruki dalam pengeboman lebih dikarenakan adanya kedekatan emosional
dan ideologi.16 Ada komunikasi sosial dalam bentuk
kedekatan individu, emosional dan saling kenal sehingga
internalisasi ideogi jihad dibentuk di luar pesantren.
Di samping Pesantren di Solo ada juga Pesantren
lain yang turut menjadi tempat mobilisasi pengkaderan.
Misalnya, pesantren Lukmanul Hakim, di Ulu Tiram,
Johor, Malaysia. Pesantren ini dibangun tahun 1986
dan sempat digunakan tempat pelarian oleh Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir saat mereka lari dari
kejaran polisi Indonesia.
Polisi Diraja Malaysia menutup pesantren tersebut
pada tahun 2001 menyusul ledakan bom di Bali. Hal ini
dilakukan karena sebagian tersangka pelaku peledakan
bom Bali I pernah belajar dan mengajar di Lukmanul
Hakim. Beberapa alumni dari Pesatren tersebut misalnya,
Dr. Azhari, Noordin Top, Dulmatin, dan Ismail alias M.
Ikhwan (pelaku bom JW Marriot).
Kedua Pesantren tersebut yakni Pesantren Ngruki
dan Lukmanul Hakim secara tidak langsung menjadi
Lihat “Pesantren Ngruki Kembali Disorot” Tempo, Rabu, 22 Juli
2009.
16
228
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
basis mobilisasi rekruitmen bagi partisipan anggota gerakan terorisme. Meskipun demikian, mobilisasi tersebut
sering kali tidak melalui atau di luar pendidikan formal
yang ada di Pesantren. Mobilisasi dan internalisasi doktrin jihad sering dilakukan secara kelembagaan informal
seperti, hubungan kekeluargaan, bisnis dan perkawinan
di antara para alumni Pesantren.
Di atas semua itu, organisasi JI merupakan organisasi politik yang bergerak secara bawah tanah dengan
tujuan mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Organisasi ini memiliki jaringan internasional meskipun
secara tidak langsung. Aliansi-aliansi kerjasama dalam
melancarkan aksi peledakan bom di Indonesia menjadi
bukti bagaimana kelompok-kelompok teroris di kawasan Asia Tenggara saling bekerjasama membentuk
kekuatan untuk melakukan serangan.
Aliansi-aliansi jaringan organisasi JI juga seringkali melibatkan beberapa partisipan yang terlibat aktif
dalam organisasi sosial Islam yang radikal seperti, FPI,
MMI, Laskar Jihad, dan lain-lain. Keterlibatan organisasi tersebut setidaknya menemukan relevansinya ketika
terungkap adanya pelatihan militer di Aceh pada tahun
2010 yang melibatkan beberapa organisasi tersebut.
Organisasi JI dalam tahun terakhir mengalami perpecahan. Banyak dari beberapa anggota kemudian terpecah belah setelah Abu Bakar Baa’syir tidak mengakui
bahwa dia adalah bagian dari JI. Meskipun demikian,
tidak lantas memupus semangat “jihad”. Sel-sel kelompok JI masih tetap aktif dan melakukan gerakan teror
terhadap pemerintah. Kelompok yang diduga terkait
terorisme terakhir ini adalah dari poros di Aceh-BantenJawa Barat.17
Lihat misalnya pemetaan jaringan terorisme di Indonesia dalam
“Daur Ulang Militan di Indonesia: Darul Islam dan Bom Kedutaan
17
229
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Mereka membentuk aliansi dari sejumlah kelompok
yang berideologi serupa. Kelompok ini mengadakan
pelatihan militer di Aceh yang diikuti peserta dari berbagai wilayah di Indonesia, tak hanya Jawa Barat dan
Banten. Kelompok ini meski kecil tapi mereka sangat
militan sehingga dari berbagai latar belakang organisasi bersedia berkumpul dalam agenda pelatihan militer
guna mempersiapkan aksi-aksi terorisme di Indonesia.
B.Sumber Pendanaan Gerakan
Organisasi gerakan teroris membutuhkan sumber
daya finansial dalam rangka keberlangsungan dan keberhasilan memperjuangkan cita-citanya. Sebagai gerakan politik bawah tanah yang secara aktif melakukan aksiaksi teror, gerakan terorisme menghadapi tantangan
finansial untuk melakukan serangkaian aksi teror. Biaya
yang dibutuhkan untuk memproduksi bom dalam kapasitas high eksplosive (daya ledak tinggi) tidaklah murah,
belum lagi kebutuhan senjata, transportasi, logistik dan
lain-lain.
Gerakan terorisme bukanlah gerakan civil society
yang dengan mudah mendapatkan dana sosial dari
masyarakat atau pemerintah, sumber pendanaan normalnya biasanya diberikan oleh aliansi jaringan atau
individu yang memiliki kesamaan ide atau cita-cita, termasuk usaha perampokan yang diyakini sebagai fa’i.18
Dalam konteks global, gerakan terorisme berbasis
Islam al-Qaeda di samping mengandalkan harta kekayaan pribadi Osama bin Laden, al-Qaeda juga meAustralia,” Crisis Group Asia Report, No. 92.
Khairul Ghazali, Mereka Bukan Thagut:Meluruskan Salah Paham
Tentang Thagut (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2011)
18
230
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
lakukan perdagangan heroin dan sumbangan para donatur. Sebagaimana diungkapkan Wawan H. Purwanto,
operasi gerakan al-Qaeda sepanjang tahun 1990-an
hingga 2000-an berasal dari kekayaan Osama bin Laden
yang diperkirakan sekitar US$ 300 juta dan sumbangan
yang dihimpun dari berbagai negara oleh Abd al Hamid
al Mujil, seorang direktur eksekutif dari international
Islamic Relief (IIRO).19
Menurut laman detik.com, sumber pendanaan alQaeda juga dilakukan dengan cara merampok. Hal ini
terungkap ketika terjadi penyanderaan disertai perampokan di sebuah Bank bernama Credit Industrial and Commercial (CIC) di Toulouse, Prancis.20 Sumber pendanaan
dengan cara-cara merampok ini nampaknya berangkat
dari apa yang disebut dengan harta fa’i. Kelompok terorisme memodifikasi hukum asal fa’i sebagai harta rampasan perang, menjadi perampokan dan pembunuhan
terhadap harta orang-orang kafir dan serta orang-orang
yang dianggap menghalangi aksi teror.
Pasca kematian Osama bin Laden, sumber pendanaan gerakan terorisme berbasis Islam nampaknya
akan sangat tergantung dengan usaha perampokan. Hal
ini bisa dimaklumi mengingat aksi terorisme berbasis
Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia sangat
bergantung dengan harta kekayaan Osama bin Laden.
Osama bin Laden tidak saja menjadi tokoh utama terorisme berbasis Islam al-Qaeda, tetapi juga menjadi penopang pendanaan organisasi terorisme berbasis Islam di
seluruh dunia.
Wawan H. Purwanto, Satudasawarsa Terorisme di Indonesia (Jakarta:
CMB Press, 2012), 221-222.
20
“Militan Al-Qaeda Penyandera 4 Orang di Prancis Berniat Rampok
Bank,” detiknews, Rabu, 20 Juni 2012.
19
231
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Dalam konteks terorisme berbasis Islam di Indonesia,
gerakan DI/TII Kartosuwiryo memobilisasi sumber pendanaan dari anggota. Iuran anggota ini merupakan kewajiban pajak warga negara terhadap pemerintah yakni
pemeritahan Negara Islam Indonesia. NII sebagai sebuah sistem pemerintahan gerakan DI, menerapkan kewajiban atau aturan yang mengikat bagi anggota untuk
mengeluarkan uang sebagai pajak terhadap negara.
Karena itu, dalam rangka menunjang gerakan atau
operasional pemerintahan NII. Gerakan DI/TII mengeluarkan maklumat Ketetapan Komandemen Tertinggi
17 Oktober 1950. Dalam maklumat tersebut disebutkan
mengenai sumber pendanaan yang ditetapkan gerakan
DI/TII seperti, infaq, Sidkah tathawu’, zakat, fitrah,
ta’zir, harta ma’sum, fa’i, ghanimah dan harta shalab.21
Istilah-istilah tersebut diambil dari sumber hukum Islam
Infaq adalah kewadjiban tiap-tiap warga negara terhadap negara,
baik berupa harta maupun benda yang harus ditunaikan; Sidkah
tathawu’ adalah sedekah secara sukarela; ta’zir adalah denda,
maksudnya denda bagi anggota yang melanggar hukum;harta
ma’sum adalah hrta-benda kepunyaan seorang Muslim warganegara (Mujahid) yang: (a) meninggalkan tempat-kedudukanya,
karena tugas atau karena tertawan oleh musuh dan (b) tiada
orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya;fa’i adalah
(a) barang/harta yang dirampas dari musuh, tidak dengan jalan
perang; (b) barang/harta penghianat; (c) barang/harta orang
yang bersekutu dengan golongan a. dan b.; (d) barang/harta
orang murtad kepada Agama dan Negara; (e) barang/harta yang
disediakan untuk atau/dan dipergunakan oleh musuh; dan (f)
barang/harta orang dzimi (orang kafir yang dibawah perlindungan
Pemerintah Negara Islam Indonesia), yang meninggal dunia,
sedang dia tidak mempunjai ahli waris. Sedangkan ghanimah
adalah harta rampasan perang; dan harta shalab adalah semua
barang, kecuali alat perang, yang ada dan melekat pada badan
musuh (tentara atau/dan penghianat), ketika dia dibunuh diluar
keputusan mahkamah.
21
232
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
yang barang kali sangat asing dalam sumber pendanaan
negara dalam konteks sistem pemerintahan modern.
Gerakan DI/TII sebagai “negara”, ia telah mengatur
perangkat hukum terkait dengan pendanaan di samping
sebagai bentuk kepatuhan hukum anggota terhadap negara, dana-dana tersebut juga digunakan sebagai biaya
operasional pergerakan. Perkembangan terakhir tentang
sumber pendanaan NII sekarang ini banyak menuai
kontroversi. Gerakan DI/TII KW IX dibawah pimpinan
Abu Toto lebih terlihat sebagai upaya mengumpulkan
harta daripada cita-cita mendirikan negara Islam. Hal ini
seiring dengan banyaknya iuran yang harus dibayar bagi
anggota yang akan masuk sebagai bagian dari upaya
pensucian dosa-dosa.22
Sumber pendanaan yang dilakukan Abu Toto menggunakan pembingkaian agama yang didesain sebagai
upaya pencucian dosa. Dengan demikian, nampaknya
rekruitmen anggota disasarkan kepada anak muda atau
orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa berupa
rasa bersalah. Perasaan seperti ini sangat mungkin untuk bisa dirayu dan dimanfaatkan untuk bergabung dan
untuk menyerahkan harta benda guna membiyai gerakan NII.
Gerakan DI/TII sebagai organisasi teroris memang
tidak mudah untuk mendapatkan dana. Karena itu, pasca
kematian Kartosuwiryo dan berakhirnya NII, sumber
pendanaan mengalami kesulitan. NII yang kini bergerak
bawah tanah sangat kesulitan memperoleh dana jika
tidak dengan cara melakukan tipu daya terhadap seseorang maka tidak menutup kemungkinan dengan usaha
merampok.
Al-Chaidar, Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang
Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo (Jakarta: Madani
Press, 2000).
22
233
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Oleh karena itu, gerakan terorisme di masa Orde
Baru yang dinamakan Komando Jihad, sebuah gerakan
yang dibangun untuk membangkitkan kembali gerakan
DI/TII pada tahun 1975-1976. Dalam upaya membangkitkan kembali gerakan DI/TII, mereka tidak saja mendapatkan dana dari BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen
Negara) tetapi juga bersumber dari usaha-usaha perampokan yang disebut sebagai fa’i.23
Fa’i di masa gerakan Komando Jihad dilakukan
oleh tim pasukan khusus (Pasus) yang dipimpin oleh
Warman. Tim Warman sangat terkenal sebagai spesialis
perampokan. Sebagaimana dilaporkan oleh ICG, tim
Warman bertanggung jawab atas perampokan yang terjadi di toko emas “Sinar Jaya” Tasikmalaya pada April
1979. Demikian pula dengan perampokan yang terjadi
di Koperasi Simpan Pinjam, Sikijang-Majalengka pada
April 1980, kemudian perampokan gaji pegawai dinas
P&K Banjarsari-Ciamis pada 5 Mei 1980 dan termasuk
perampokan toko emas di Subang pada tanggal 9 Juli
1980 serta beberapa perampokan lain yang dilakukan
oleh kelompok Warman.
Dengan demikian, komandan DI dari Jawa Barat
di bawah pimpinan Warman adalah orang pertama
yang menghalalkan penggunaan fa’i. Praktek tersebut
dianut oleh hampir seluruh sempalan dan pecahan DI,
termasuk JI. Mereka melakukan pembingkaian agama
untuk mendapatkan pembenaran perampokan guna
melakukan aksi teror yang diklaim sebagai jihad.
BAKIN melalui Danu Mohammad Hasan-anggota DI yang bekerja
sebagai aparat BAKIN- memberikan uang sebesar Rp.250,000
($600) – jumlah yang cukup besar pada saat itu dalam rangka
upaya melakukan konsolidasi aktivis gerakan DI guna membantu
pemenangan, lihat laporan Crisis Group Asia Report, “Daur Ulang
Militan Indonesia”, 4.
23
234
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
Operasi pencarian sumber dana dengan mengandalkan strategi fa’i ini seringkali “memperdaya” para
preman atau penjahat yang telah dicuci otak agar
tobat. Dalam pertobatan ini sering kali di doktrin agar
keterampilan merampok itu disalurkan untuk kepentingan cita-cita negara Islam. Hal ini menunjukkan ada
hubungan simbiosis antara penjahat atau perampok
dengan kelompok terorisme.
Bagi kelompok terorisme mereka mendapatkan sumber daya baru untuk mendapatkan dana, sedangkan
bagi perampok ia mendapatkan kesempatan bertobat
dengan memanfaatkan kejahatan yang sama untuk tujuan baru yang lebih “Islami”. Kerjasama yang saling
menguntungkan dengan pembingkaian agama dilakukan seiring dengan kesulitan mencari biaya operasional.
Aktor terorisme berbasis Islam membingkai perampokan dengan agama guna meyakinkan para perampok untuk bisa membantu usaha-usaha jihad.
Hal yang sama juga terjadi pada gerakan teroris
pasca perpecahan DI di masa kepemimpinan Ajengan
Masduki. Organisasi AMIN (Angkatan Mujahidin
Islam Nusantara) yang terbentuk dalam rangka jihad
di Ambon pada tahun 1999-2000 dalam melancarkan
pergerakan di Ambon, mereka melakukan teror bom
terhadap Bank Central Asia (BCA) dan peledakan kecil
yang terjadi hampir serentak pada sebuah wartel dekat
Hayam Wuruk Plaza di Jakarta tanggal 15 April 1999.
Perampokan itu dilakukan sebagai bagian dari fa’i untuk
membiayai operasi Jihad di Ambon-Poso.
Aksi perampokan untuk pendanaan aksi terorisme
juga terjadi sepanjang tahun 2010 hingga 2013. Perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang terjadi pada 18
Agustus 2010, BRI Panongan pada tanggal 24 Desember
2013, BRI di Grobogan dan Batang Jawa Tengah dan
235
Men-Teroris-Kan Tuhan!
beberapa perampokan yang dilakukan kelompok terorisme sepanjang tahun tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok terorisme saat ini mengalami
krisis keuangan setelah para seniornya banyak yang
ditangkap.
Akses pendanaan gerakan terorisme berbasis Islam
yang biasanya didapatkan dari donatur di kawasan
Timur Tengah kini tidak bisa lagi di dapatkan. Di samping faktor keamanan yang makin ketat juga terbatasnya
akses langsung dengan jaringan kawasan Timur Tengah
yang tidak dimiliki oleh kelompok sel jaringan terorisme belakangan ini. Sebagamaina diketahui, sejak tahun
2006 Departemen Keuangan AS dan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan
upaya-upaya untuk menghalangi aliran dana terhadap
gerakan terorisme.24
Di samping sumber pendanaan dari perampokan,
pendanaan gerakan teroris juga didapatkan dari beberapa individu atau kelompok yang sepaham atau
sealiran dengan cita-citanya. Dalam sidang yang digelar
di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan terdakwa
tindak pidana terorisme Umar Patek pada tanggal 26
Maret 2012, terungkap adanya aliran dana dari gerakan
teroris internasional al-Qaeda Osamah bin Laden untuk operasi teror yang dilakukan JI. Osama Bin Laden
memberikan uang sebanyak 30.000 dollar Amerika yang
diberikan secara bertahap guna pembiayaan bom Bali I
pada tahun 2002.25
Dalam aksi bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada
2003 juga mendapatkan suntikan dana dari warga
Pakistan bernama Majid Shoukat Khan, uang itu diserahWawan H. Purwanto, Satudasawarsa Terorisme di Indonesia, 222.
Kompas.com, “Dana Osama bin Laden Dipakai untuk Bom Bali I”
(Senin, 26 Maret 2012).
24
25
236
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
kan kepada gerakan teroris di Thailand sejumlah 50.000
dollah AS untuk kemudian diserahkan kepada anggota
jaringan JI di Indonesia.26 Dana tersebut kemudian diterima Hambali yang diselundupkan melalui perbatasan
Malaysia-Riau. Di samping itu, sumber pendanaan juga
di dapatkan dari donatur dalam negeri yang memiliki
kesamaan ideologis.
Sumber donatur dalam negeri ini terungkap dalam
kasus sidang terorisme pelatihan militer di Aceh. Pelatihan militer yang dilakukan oleh kelompok Tandzim alQaeda Aceh pimpinan Abu Tholut ini melibatkan beberapa organisasi Islam radikal seperti JAT, MMI, JI dan
FPI. Pelatihan militer diketahui tidak pernah mengantongi izin dari pejabat setempat meskipun telah berlangsung lebih dari dua minggu.
Pelatihan ini didanai oleh para donatur dalam negeri
yang memiliki kesamaan ideologis seperti Syarif Usman,
Hariadi Usman, Jaja, Abdul Hakim, Huqbah, Afiz Abdul
Haris, Yudho dan Ubaid. Mereka tidak terlibat aktif
dalam aksi teror, akan tetapi karena memiliki kesamaan
ide dan cita-cita maka dengan keikhlasan bersedia memberikan bantuan dana guna melancarkan gerakan. Para
donatur pada umumnya memiliki kekayaan dari usaha
secara halal alias tidak ada indikasi kekayaan para donatur didapat dari usaha tidak halal seperti bisnis heroin,
dan sebagainya.
Dalam sidang kasus pelatihan militer di Aceh, terungkap skema pendanaan dari beberapa orang. Misalnya,
Syarif Usman merupakan anggota JAT, ia menyerahkan
uang secara dua tahap. Tahap pertama menyerahkan
uang 100 Juta pada 9 Februari 2010, dan tahap kedua terjadi pada tanggal 17 Februari dengan jumlah uang 100
BBC Indonesia, “Penyandang Dana Bom Marriot akan Diadili di
AS”, (16 Februari 2012).
26
237
Men-Teroris-Kan Tuhan!
juta.27 Penyerahan uang tersebut diketahui dilakukan di
kantor Jamaah Anshar Tauhid (JAT).
Hariadi Usman seorang pengusaha asal Bekasi memberikan dana 150 juta dalam dua tahap, tahap pertama
sejumlah 100 juta dan tahap kedua 50 juta kepada Abdul
Haris selaku Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT)
Wilayah Jakarta.28 Sedangkan Jaja merupakan donatur
gerakan terorisme kelompok Dulmatin sejak 2003, ia
merupakan orang kaya yang memiliki usaha di bidang
bisnis ekspedisi, tambak, dan perbengkelan. Semua
dana tersebut diketahui untuk membeli sejumlah senjata api guna melancarkan aksi-aksi serangan terorisme
yang akan direncanakan.
Grafik 1.
Skema Aliran Dana para Donatur untuk Pelatihan Militer
di Aceh
Sumber: Mabes Polri
“Dokter Syarif Diancam Hukuman Mati” Kompas.com, Selasa, 9
November 2010.
28
“Haris Serahkan Rp 100 Juta ke Ba’asyir”, Kompas.com, Senin, 14
Maret 2011.
27
238
Mobilisasi Sumber Daya Terorisme
Hal penting sehubungan dengan sumber pendanaan
para gerakan teroris belakangan ini yang kerap kali dihasilkan dari usaha-usaha perampokan adalah adanya
krisis finansial akibat berkurangnya bantuan dari dunia internasional, khususnya setelah kematian Osama
bin Laden. Oleh karena itu, ada upaya-upaya dari beberapa aktor utama gerakan terorisme berbasis Islam
di Indonesia merumuskan sebuah konsep pembenaran
perampokan dan tindakan kejahatan lain guna mendanai aksi teror yang diklaim sebagai jihad.
Di atas semua itu, pemerintah perlu mengawasi beberapa organisasi keislaman yang selama ini cenderung
radikal. Organisasi Islam radikal meski tidak sampai
pada aksi terorisme, pada umunya cenderung menjadi
bangunan jejaring atau aliansi bagi gerakan terorisme
berbasis Islam. Dalam beberapa kasus, pelaku terorisme
setidaknya pernah aktif dan mengalami internalisasi
nilai-nilai radikal dalam gerakan sosial Islam seperti,
MMI, FPI dan JAT.[]
239
BAB VI
PENUTUP
A.Kesimpulan
Perlawanan dengan kekerasan yang dilakukan oleh
aktivisme Islam di Indonesia semakin bisa “diterima”
karena beberapa faktor. Pertama, kekalahan dan marginalisasi Islam politik. Ketidakmampuan elite politik
Islam dalam membawa aspirasi politik melalui saluran
institusional memberikan pesan bagi keberlangsungan
gerakan non-institusional atau aksi terorisme bagi sebagian aktivisme Islam. Kekalahan Islam politik ini terjadi
baik di masa awal pembentukan negara Indonesia hingga masa rezim Sukarno dan semakin terpuruk di masa
rezim diktator Orde Baru Suharto.
Kedua, liberalisasi sistem politik. Perkembangan
demokrasi liberal yang terjadi di awal pemerintahan
Orde Lama tidak memberikan kemajuan berarti bagi
upaya-upaya pembangunan bangsa yang berdaulat.
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Demokrasi liberal di masa Orde Lama justru stabilitas
keamanan nasional semakin terancam dengan munculnya beberapa konflik dan gerakan pemberontakan
bersifat kedaerahan. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian
aktivisme Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo untuk membangkitkan Islam politik dengan memobilisasi
dukungan di berbagai wilayah.
Demikian pula dengan deliberalisasi politik di masa
pasca Suharto, keterbukaan sistem politik pasca reformasi 1998 tidak ada hal kemajuan yang didapat kecuali menjadi konsumen dungu globalisme. Kedaulatan
bangsa tercabik-cabik oleh rezim yang manipulatif dan
koruptif. Lebih dari itu, reformasi tidak juga dimanfaatkan oleh elite politik Islam. Beberapa elite politik Islam
di dalam saluran institusional justru terjebak dalam sistem predator politik yang dalam rangka melanggengkan kekuasaan lebih ditentukan oleh permainan uang.
Ketidakmampuan elite politik Islam di masa pasca
Suharto pada akhirnya membuka ruang bagi keberlangsungan protes menyampaikan aspirasi tuntutan terhadap pemangku kebijakan negara atas kegagalan membangun bangsa oleh sebagian aktivisme Islam dalam
bentuk aksi-aksi terorisme. Namun demikian, negara
justru menghindar dengan menempatkan wacana agama
di balik aksi terorisme berbasis Islam daripada menganggap aksi terorisme sebagai politik penentangan terhadap
ketidakadilan.
Ketiga, watak represi negara. demobilisasi politik
Islam oleh rezim pemerintahan Orde Baru membuka
peluang gerakan Islam untuk melawan represi dengan
aksi-aksi terorisme. Akhirnya, rezim yang diktator dan
represif memberikan insentif meski terbatas bagi upayaupaya melawan represi dengan kekerasan atau aksi
terorisme.
242
Penutup
Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984 adalah bukti
tindakan represif rezim membuka jalan bagi keberlangsungan aksi teror seperti, bom BCA (1984), bom
Borobudur (1985) dan bom Pemudi Ekspress Banyuwangi
(1985). Beberapa teror bom tersebut diketahui dilakukan dengan motif balas dendam atas tragedi Tanjung
Priok. Demikian pula dengan beberapa kekerasan berbasis Islam yang terjadi di beberapa wilayah seperti, di
Lampung (gerakan Warsidi), Aceh (GAM, Hasan Tiro)
dan beberapa kekerasan lain.
Di atas semua itu, temuan-temuan penelitian sebagaimana disebut di atas memberikan satu kesimpulan
secara keseluruhan bahwa “sistem politik otoriter atau
demokratis sama-sama meredakan dan memicu kemunculan gerakan terorisme”. Politik kekerasan dalam aksi
terorisme lebih ditentukan pada kemampuan mengukur
batas toleransi politik; watak represi negara dan aksesibilitas sistem politik. Batas toleransi politik ini menentukan sebuah gerakan perlu tidaknya mengambil jalan
kekerasan sebagai saluran penentangan.
B.Rekomendasi
Untuk menyempurnakan buku ini penulis mengemukakan saran sebagai bahan masukan yang perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah dan lembaga yang
berwenang dalam memahami persoalan terorisme sebagai gejala sosial:
1. Memperkuat kapasitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), POLRI dan lembaga
pemerintah lainnya dalam memahami terorisme
sebagai gejala sosial yang bertalian erat dengan
kondisi politik dan sosial.
243
Men-Teroris-Kan Tuhan!
2. Pemerintah melalui lembaga terkait perlu menelusuri situs-situs “Islami” semacam voa-Islam.
com, ar-rahman.com dan sejenisnya, mengingat
situs-situs tersebut seringkali menjadi alat menyebarluaskan “bingkai ketidakadilan” untuk mendukung gerakan terorisme berbasis Islam.
3. Perlu usaha berkesinambungan, baik melalui jalur
pesantren, sekolah, dan media komunikasi (TV,
radio, media cetak dan internet), untuk melawan
kampanye anti-politik kekerasan atau terorisme.
4. Pemerintah sebagai penguasa negara sebaiknya
tidak melahirkan regulasi atau perundangan-undangan yang bersifat “otoriter” yang bisa mendorong lahirnya gerakan perlawanan dengan jalan kekerasan.
5. Dalam konteks global, Indonesia bersama organisasi Islam seperti OKI dan Liga Arab harus berperan aktif mendorong persatuan dan kesatuan
dalam rangka mencegah “arogansi” Amerika dan
sekutunya terhadap negara-negara Islam.[]
244
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abas, Nasir.Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan
Anggota JI. Jakarta: Grafindo. 2006.
Abegebriel, Maftuh, A. Yani Abeveiro and SR-Ins Team.
Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia. Yogjakarta: SR-Ins Publishing. 2004.
Adisaputra, Asep. Imam Samudra Berjihad. Jakarta : Pensil 324. 2006.
Al-Ashmawi, Muhammad Sa’id. Al-Islām Al-Siyāsī. Cairo: Sina li al-Nasyr.1987.
Al-Chaidar. Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita. Edisi Digital. Jakarta: Madani Press. 2008.
_____. Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji
Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M.
Kartosoewirjo. Jakarta: Madani Press.2000.
Men-Teroris-Kan Tuhan!
_____. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam
Indonesia, S.M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi
Sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde
Baru. Jakarta: Darul Falah.1999.
Aly, Rum. Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos
dan Dilema Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik
1965-1970. Jakarta: Kasta Hasta Pustaka. 2006.
Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Suharto.
Jakarta: LP3ES. 2003.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani
Press.1997.
Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas. Perpecahan HMI:
Menggugat Kebangkitan Intelektual. Jakarta: Bumen
Pustaka Emas, 2013.
Awwas, Irfan S. Menelusuri Perjalanan Jihad SM.
Kartosuwiryo; Proklamator Negara Islam Indonesia.
Yogyakarta: Wihdah Press. 1999.
Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the
Arab World. London: Routledge. 1991.
Badoh, Ibrahim Z Fahmi dan Abdullah Dahlan. Korupsi
Pemilu di Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption
Watch. 2010.
Basoeki Soepranoto, Rachmat. Kasus Peledakan Bom BCA
1984: Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di
Indonesia. Jakarta. Fame Press. 2000.
Budiman, Arif dan Olle Tornquist. Aktor demokrasi:
catatan tentang gerakan perlawanan di Indonesia.
Jakarta:Institut Studi Arus Informasi. 2001.
246
Daftar Pustaka
Daras, Roso. Total Bung Karno; Serpihan Sejarah yang
Tercecer. Jakarta: Imania. 2013.
Devji, Faisal. The Terrorist in Search of Humanity: Militant
Islam and Global Politics. New York: Columbia University Press. 2008.
della Porta, Donatella dan Mario Diani. Social Movements:
An Introduction. second edition. Australia : Blackwell
Publishing. 2006.
Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2003.
Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Edisi Digital.
Jakarta:Democracy Project. 2011.
Forest, James JF. ed., Countering Terrorism and Insurgency
in the 21th Century:International Perspectives. Vol 1-3.
London: Praeger Security International. 2007.
Ghazali, Khairul. Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah
Paham Tentang Thagut. Jakarta:Grafindo Khazanah
Ilmu. 2011.
_____. Kabut Jihad. Malang:Pustaka Bayan. 2012.
Geertz, Clifford. After Facts: Two Countries, Four Decades,
One Antropologist. London: Harvard University
Press.1995.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago and
London: The University of Chicago Press.1960.
Gergez, Fawaz A. America and Political Islam: Clash
of Civilization or Clash of Interrest?. New York:
Cambridge University Press. 1999.
Giddens, Anthony. Sociology. Oxford. Polity Press. 1993.
247
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Gunaratna, Rohan. Inside Al Qaeda, Global Network of
Terror. New York: Berkley Publishing Group. 2003.
Hadi, Soebadio. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan
PRRI/Permesta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2002).
Hasan, Muhammad Hanif.Teroris Membajak Islam:
Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok
Jihad Radikal. Jakarta: Penerbit Grafindo Khasanah
Islam. 2007.
Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad, Islam, Militancy And
The Quest For Identity In Post-New Order Indonesia.
Belanda: Disertasi di Universitas Utrecht. 2005.
_____. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi
dan Teori. Yogjakarta: SUKA-Press. 2012.
Hefner, Robert W. Civil Islam:Muslims and Democratization
in Indonesia. Princeton and Oxford: Princeton
University Press. 2000.
Hendropriyono, A. M. Terorisme Fundamentalis Kristen,
Yahudi, Islam. Jakarta: Kompas. 2009.
Hudson, Rex A. The Sociology and Psychology of Terrorism:
Who Becomes a Terrorist and Why?.Washington:
Federal Research Division.Library of Congress.1999.
Huntington, Samuel. The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order.London: Touchstone Book,
1998.
Hibbs, JR, Douglas A. Mass Political Violence: A CrossNational Causal Analysis. York: wiley-interscience
publication.1973
Hoffman, Bruce. “Defining Terrorism,” in Inside
Terrorism, New York: Columbia University
Press.1998.
248
Daftar Pustaka
Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom Bali, 12 Oktober 2002:
Kesadaran & Ungkapan Penyesalan. Jakarta: Penerbit
Republika. 2007.
Ishak, Otto Syamsuddin dkk. Hasan Tiro: Unfinished
Story of Aceh. Banda Aceh. Bandar Publishing. 2010.
Junaedi, Dedi. Konspirasi di Balik Bom Bali: Skenario
Membungkam Gerakan Islam. Jakarta. Bima Wawasan
Press. 2003.
Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam. Depok: Episentrum
Pengkajian Islam dan Riset Sosial (EMPIRIS). 2006.
Kahin, George Mc. Turnan. Nationalism and Revolution in
Indonesia. Itacha: Cornell University Press. 1952.
Konboy, Ken. Intel II : Medan Tempur Kedua. Jakarta:
Pustaka Primatama. 2011.
_____. Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Jakarta: Pustaka Primatama. 2007.
Kurzman, Charlez. The Missing Martyrs: Why There
Are So Few Muslim Terrorists. New York : Oxford
University Press, 2011.
Latif,Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa:Geneologi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Edisi
Digital. Jakarta : Democracy Project. 2012.
Lay, Cornelis. Antara Anarki & Demokrasi. Jakarta:Pensil
324. 2004.
Liddle, William. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut
Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.1992.
Laqueur, Walter. Fascism: Past, Present, Future. Oxford:
Oxford University Press. 1996.
249
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Maa’rif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta:
LP3ES.1985.
Maliki, Zainuddin. Birokrasi Militer dan Partai Politik
dalam Negara Transisi. Yogyakarta:Galang Press.
2000.
Mansur, Dikdik M. Arif. Hak Imunitas Aparat Polri: Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme. Jakarta:
Pensil-324. 2012.
Manzur, Ibn .Lisan al-‘Arab, Juz III. Bairut: Dar Sadr. TT.
McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly. Dynamics
of Contention. Cambridge: Cambridge University
Press. 2004.
McAdam, John D. Mc Carthy and Mayer N. Zald (eds),
Comparative Perspectives on Social Movements: Political
Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural
Framings. New York: Cambridge University Press.
1996.
McGregor, Katharine E. History in Uniform: Military
Ideology and the Construction of Indonesia’s Past.
Singapore : NUS Press; National University of
Singapore.
Mubarak. M. Zaki. Geneologi Islam Radikal di Indonesia:
Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta:
LP3ES. 2008.
Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta:
Rake Sarasin. 2002.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah.
Jakarta :Gramedia, 2012.
250
Daftar Pustaka
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi,
dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007
Muqoddas, Busyro. Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap
Peradilan Komando Jihad. Yogyakarta: Pusham UII.
2011.
Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia;Periode
Renville. Bandung:Penerbit Angkasa. 1978.
_____. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia;Pemberontakan
PKI. Bandung:Penerbit Angkasa. 1979.
_____. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia; Perang
Gerilya Semesta II. Bandung: Penerbit Angkasa. 1979.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1995.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942. Jakarta: LP3ES.1985.
Noor, Firman, ed. Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas
Primordialisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. 2007.
_____. Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen
Primordial di Indonesia: Problematika Etnisitas versus
Keindonesiaan. Jakarta: LIPI Press. 2008.
Nugroho, Arifin Suryo. Tragedi Cikini: Percobaan
Pembunuhan Presiden Sukarno. Yogyakarta:Penerbit
Ombak. 2013.
Olson, Mancur. The Logic of Collective Action: Public Goods
and The Theory of Groups. Cambridge, MA: Harvard
University Press. 1976.
Pape, Robert A. Dying To Win: The Strategic Logic Of
Suicide Terrorism. New York: Random House. 2005.
251
Men-Teroris-Kan Tuhan!
Pieris, John. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
Purwanto, Wawan H. Satudasawarsa Terorisme di
Indonesia. Jakarta: CMB Press. 2012
Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2005.
Rapoport, David C. (ed). Terrorism: Critical Concept in
Political Science. 4 Vols. London and New York:
Routledge. 2006.
Roy,Olivier. The Failure of Political Islam, Trans. Carol
Volk,
Cambridge.
Massachusetts:
Harvard
University Press. 1994.
Saidi, Anas.(ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Depok:Desantara. 2004.
Salen, Katie and Eric Zimmerman, eds. The Game Design
Reader : a Rules of Play Anthology . London : The MIT
Press. 2006.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di Indonesia; dalam
Tinjauan Psikologi. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2012.
Soebadio, Hadi. Keterlibatan Australia dalam
Pemberontakan PRRI/Permesta. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2002.
Soeropranoto, Rachmat Basoeki. Kasus Peledakan BCA
1984: Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di
Indonesia. Jakarta: Fame Press. 2000.
Sulistyo, Hermawan. ed. Bom Bali : Buku Putih Tidak
Resmi Investigasi Teror Bom Bali. Jakarta : Pensil 324.
2002.
_____. Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan. Jakarta: Pensil 324. 2011.
252
Daftar Pustaka
_____. Lawan!: Jejak-jejak Jalanan dibalik Kejatuhan Suharto.
Jakarta. Pensil 324. 2002.
_____. Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi
Birokrasi Indonesia. Jakarta. Pensil 324. 2011.
_____. Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil
Society. Jakarta: Pensil 324. 2009.
Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movements
and Contentious Politics, 2nd Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.1998.
Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan
Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1993.
Ti Aisyah, Subhani dan Al-Chaidar. Darul Islam Di Aceh:
Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di
Indonesia, 1953-1964. Lhokseumawe NAD : Unimal
Press. 2008.
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political
Islam and The New World Disorder. California: The
Regent of University of California. 1998.
Van Dijk, Cornelis. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan.
Jakarta. Penerbit Grafiti Press. 1983.
Wasis, Widjiono. Geger Talangsari: Serpihan Gerakan Darul
Islam. Jakarta: Balai Pustaka. 2001.
Wiktorowicz,Quintan.ed.Islamic Activism : A Social
Movement Theory Approach. Bloomington: Indiana
University Press. 2004.
Wiktorowicz,Quintan.ed. Gerakan Sosial Islam: Teori,
Pendekatan dan Studi Kasus, edisi terjemahan. Jakarta:
Paramadina, 2012.
Wilkinson, Paul. The Strategic Implications of Terrorism.
dalam M.L. Sondhi. Terrorism & Political Violence:
253
Men-Teroris-Kan Tuhan!
a sourcebook.New Delhi : Har-Anand Publications.
2000.
Zon, Fadli. Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi
Imam DI/TII. Jakarta: Fadli Zon Library. 2012.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas
Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju. 2002.
Jurnal:
Aida, Ridha. Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep
tentang Individu dan Komunitas. Demokrasi. Vol.
IV. No. 2. 2005.
Azra, Azyumardi. Radikalisasi Salafi Radikal. Majalah
Tempo. No. 41/XXXI/08-15 Desember 2002.
_____. Indonesian Islam, Mainstream Muslims And
Politics.Paper Dipresentasikan Pada konferensi
Taiwanese and Indonesian Islamic Leaders Exchange
Project. Taipei: 2006.
_____. Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di
Indonesia.Indo-Islamika. Volume 1. Nomor 2. 2012.
Bayat, Asef. Islamism and Social Movement Theory.
Third World Quarterly. Vol. 26, No. 6. 2005.
Beck, Colin J.The Contribution of Social Movement
Theory to Understanding Terrorism. Sociology
Compass 2/5.2008.
Bellamy, Alex J. Is the War on Terror Just?. International
Relations, Vol. 19, No.3. 2005.
Benford, Robert dan David Snow. Framing processes and
social movements: An overview and assessment.
Annual Review of Sociology.26. 2000.
254
Daftar Pustaka
Bluhdorn, Ingolfur. Reinventing Green Politics: On the
Strategic Repositioning of the German Grenn
Party. German Politics. Vol. 18, No. 1. Maret 2009.
Brym, Robert.What is the relationship between terrorism
and social movement. mobilizingideas.2 April 2012.
Bush, George W. The Nature of the Terrorist
Threat Today. National Strategy for Combating
Terrorism,Februari 2003.
Clauss, Stephan. Faisal Devji, Landscapes of the Jihad,
Militancy, Morality, Modernity.Archives de sciences
sociales des religions, 136. Octobre - décembre 2006.
C.A.J Coady, C.A.J.“Terrorism, Morality, and Supreme
Emergency” Ethics 114. Juli 2004.
Colombijn, Freek. The War Againts Terrorism In
Indonesia: Amien Rais on US Foreign Policy and
Indonesia’s Domestic Problems.IIAS News Letter,
No. 28 Agustus 2002.
Cozzens, Jeffrey B. The Culture of Global Jihad: Character,
Future Challenges and Recommendations.
International Centre for the Study of Radicalisation
and Political Violence (ICSR). Oktober 2008.
Daniel G. Arce M dan Todd Sandler.Counterterrorism:
A game-Theoretic Analysis.Journal of Conflict
Resolution, Vol. 49, No. 2. 2005.
della Porta, Donatella.Some Reflection on the rekationship
between terrorism and social movement?.
mobilizingideas.
Devji, Faisal. Politics After Al-Qaeda. Policy Paper
Conflicts Forum, July 2011.
Djelantik, Sukawarsini. Terrorism in Indonesia:
The Emergence of West Javanese Terrorists.
255
Men-Teroris-Kan Tuhan!
International Graduate Student Conference Series. No.
22, (East-West Center, 2006).
Fealy,Greag. Inside The Laskar Jihad. Inside Indonesia.
ii65: Jan-Mar 2001.
Fealy, Greag and Aldo Borgu. Local Jihad: Radical
Islam and terrorism in Indonesia. ASPI: Australian
Strategic Policy Institute, September 2005.
Gamson, William A. Bruce Fireman and Steven Rytina,
“Encounters with Unjust Authority. Social Forces.
Vol. 63, No. 1 (Sep 1984), 288-290.
Gibbs, Jack P.Concepualization of Terrorism. American
Sosiological Review, Vol.54, No.3. Juni.,1989.
Guillaume, Gilbert.Terrorism and International Law.
The International and Comparative Law Quarterly,
Vol. 53,Juli 2004.
Hadiz,Vedi R. Political Islam in Post-Authoritarian
Indonesia. CRISE Working Paper, No. 74. Februari
2010.
_____. Indonesian Political Islam: Capitalist Development
and the Legacies of the Cold War. Journal of Current
Southeast Asian Affairs2011.
Hasanuddin. Dinamika Dan Pengerucutan Teori
Gerakan Sosial. Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda.
Vol.10, No. 15, (2011).
Hooker, Virginia and Amin Saikal, eds. Islamic
Perspektives on the New Millennium.Singapore:
ISEAS Publishing, 2004.
ICG Indonesia Briefing Paper. Indonesia: Violence and
Radical Muslims. 10 Oktober 2001.
256
Daftar Pustaka
Ismail, Indriaty & Mohd Zuhaili Kamal Basir. Karl Marx
dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial. International
Journal of Islamic Thought. Vol. 1. (Juni 2012).
Jackson,Richard. The Study of Terrorism after 11
September 2001: Problems, Challenges and Future
Developments.Political Studies Review, Vol. 7. 2009.
Jervis, Robert. At Interim Assesment of September 11:
What Has Changed and What Has Not. Political
Science Quaterly, Vol. 117. No.1. 2002.
Johnson, James Turner. The Distortion of a Tradition;
Osama Bin Laden’s Consept of Defensive Jihad.
PACEM 5:1. 2002.
Jones, Sidney. Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of
The “Ngruki Network” in Indonesia. ICG Indonesia
Briefing Paper, 8 Agustus 2002.
_____. Impact of the Bali Bombings. ICG Indonesia Briefing
Paper, 24 Oktober 2002.
_____. Indonesia Backgrounder: How the Jamaah
Islamiyah Terrorist Network Operates. ICG
Indonesia Briefing Paper, No. 43.
Kadir, Suzaina. Mapping Muslim politics in Southeast
Asia after September 11.The Pacific Review, Vol. 17
No. 2. June 2004.
Khawaja, Marwan. Repression and Popular Collective
Action: Evidence From the West Bank. Sociological
Forum. Vol. 8, No. 1 (1993), 47-71.
Laquer, Walter.Terrorism A Brief History. Walter
Laqueur. Web
Marshall, Andrew. The Threat of Jaffar. The New York
Times Magazine. 10 March 2002.
257
Men-Teroris-Kan Tuhan!
McCarty, John dan Mayer Zald. Resource Mobilization
and Social Movements: A Partial Theory. The
American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 6 (May,
1977).1212-1241.
Mohd Yusoff, Zulkifli Haji & Fikri Mahmud. Gerakan
Teroris dalam Masyarakat Islam: Analisis
Terhadap Gerakan Jemaah Islamiyah (JI). Jurnal
Usuluddin. 21. (Juli 2005) 39-62.
Muller, Edward N. Income Inequality, Regime
Repressiveness, and Political Violence. American
Sociological Review. Vol. 50, No. 1 (Feb 1985), 47-61.
Pape, Robert. The Strategic Logic of Suicide Terrorism.
American Political Science Review, Vol. 97, No.3.
August 2003.
Prajarto, Nunung. Terorisme dan Media Massa: Debat
Keterlibatan Media. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Volume 8. Nomor I. Juli 2004
Rapoport, David C. Fear and Treambling: Terrorism in
Three Religious Traditions.The American Political
Science Review, Vol. 78, No. 3. September 1984.
Safrina, Magda. The Jakarta bombing: A lesson in
inequality.The Jakarta Post, Friday, August 07 2009.
Sadikin, Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan
Gerakan Sosial. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 10, No.
1 (Juni 2005)
Sedgwick,Mark. Al-Qaeda and the Nature of Religious
Terrorism.Terrorism and Political Violence, Vol. 16,
No.4. 2004.
Sikand, Yoginder. American Christian Fundamentalist
Leader Calls for Global War.Countercurrents.org,
17 November 2005.
258
Daftar Pustaka
Snyder, David dan Charles Tilly. Hardship And
Collective Violence In France 1830 to 1960.
American Sociological Review, 37, 5 (Oktober), 520532.
Snow, David A, E. Burke Rochford, Steven K. Worden,
dan Robert D. Benford. Frame Alignment Process,
Micromobilization, and Movement Participation.
American Sociological Review, Vol. 51, No. 4 (Aug
1986), 464-48.
Snow, David and Robert Benford. Ideology, Frame
Resonance,
and
Participant
Mobilization.
International Social Movement Research, Volume: 1,
Issue: 1, 1998, Publisher: JAI Press, Pages: 197-217
Soebardi, S. Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion
in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, Vol.
14, No. 1 (Mar,1983)109-133.
Sukamto, Amos. Ketegangan Antar Kelompok Agama
Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru:
Dari Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik
Fisik. Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli 2013) 25-47
Tilly,Charles. Terror, Terrorism, Terrorists. Sociological
Theory, Vol.22, No. 1. Maret 2004.
Tilly, Charles. Social Movement and National Politics.
CRSO Working Paper No. 197 ( May 1979)
Venkatraman, Amritha. Religious Basic for Islamic
Terrorism: The Quran and Its Interpretations.
Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 30, Issue 3. 2007.
Wedgwood, Ruth. Al Qaeda, Terrorism, and Military
Commissions.The American Journal of International
Law, Vol. 96, No. 2. April 2002.
259
Men-Teroris-Kan Tuhan!
White, Robert W. From Peaceful Protest to Guerrilla
War: Micromobilization of the Provisional Irish
Republican Army. American Journal of Sociology.
Vol. 94, No. 6 (May, 1989), 1277-1302
Wiktorowicz, Quintan. Conceptualizing Islamic Activism.
ISIM Newsletter, 14 Juni 2004.
_____. A Genealogy of Radical Islam. Middle East Policy,
Vol. VIII, NO. 4. December 2001.
_____. The New Global Threat: Transnational Salafis and
Jihad.Middle East Policy, Vol. VIII, NO. 4. December
2001.
Zed, Mestika. Hidden History: Sejarah Kebrutalan dan
Kejahatan Negara Melawan Kemanusiaan. Isuisu dan Strategi dalam Konteks Sejarah Indonesia.
Jurnal Demokrasi & HAM. Vol.2,No.1, (FebruariMei 2002) 6-37.
Media:
Jakarta post, 7 Agustus 2009, www.thejakartapost.com/.../
the-jakarta-bombing-a-lesson-inequality.html (diakses
10 Mei 2013).
Tempo, 4 Juni 2004, http://tempo.co.id/hg/nasional/2004/06/04/
brk,20040604-21,id.html (diakses 4 November 2013).
Tempo, 17 April 2004, http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/
04/17/tml,20040417-01,id.html (diakses 1 November
2013).
Tempo, 22 Juli 2009, http://www.tempo.co/read/fokus/2009/07/
22/735/Pesantren-Ngruki-Kembali-Disorot (diakses 13
Oktober 2013).
260
Daftar Pustaka
Gatra, 25 Oktober 1997, http://www.library.ohiou.edu/
indopubs/1997/11/01/0060.html (diakses 1 November
2013).
Republika, 25 September 2010, http://www.republika.
co.id/berita/breakingnews/hukum/10/09/25/136476298-orang-tewas-akibat-serangan-teroris (diakses 30
Oktober 2013).
Republika, 2 Januari 2014, http://www.republika.co.id/
berita/nasional/hukum/14/01/02/myrsw0-bnpt-targetteroris-tak-pernah-berubah (diakses 4 Januari 2014).
Jurnal Nasional, 4 Januari 2014, http://demo.jurnas.com/
halaman/8/2014-01-04/281603.
Kompas, 26 Maret 2012, http://nasional.kompas.com/
read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.
Dipakai.untuk.Bom.Bali.I (diakses 20Desember 2013).
Kompas, 9 November 2010, http://nasional.kompas.com/
read/2010/11/09/17431111/Dokter.Syarif.Diancam.
Hukuman.Mati.
Kompas, 14 Maret 2011, http://health.kompas.com/
read/2011/03/14/13431198/Haris.Serahkan.Rp.100.Juta.
ke.Ba.asyir.
BBC Indonesia, 16 Februari 2012, http://www.yiela.com/
view/2261384/penyandang-dana-bom-marriot-akandiadili-di-as.
261
Indeks
INDEKS
A
Abas, Nasir 160, 175, 179, 224
McAdam 28, 51, 59, 60, 61, 68,
83, 96, 211
Afghanistan 90, 177, 178,
201–204, 206, 221, 223,
226
aktivisme 3, 4, 19, 29, 30, 32,
40, 102, 111, 115, 116,
122, 146, 149, 154, 155,
167, 170, 177, 178, 197,
206, 241, 242
Amerika v, viii, 1–3, 7, 13, 14,
20, 21, 26, 27, 37, 50, 54,
55, 72, 73, 82, 83, 88, 89,
92, 101, 102, 158, 164,
177, 178, 196, 201–207,
236, 244
APRA 108–110, 113, 114, 128
Al-Ashmawi, Muhammad
Sa’id 5, 208
Ayubi, Nazih 4, 131
Azra, Azyumardi 2, 8, 131
B
al-Banna, Hasan 7, 22, 200
Bateson, Gregory 65
Benford, Robert D 65, 182, 184
Beureuh, Daud 96, 138
Bush, George Walker 1, 2
Bayat, Asef 11, 29, 70, 94
Ba’asyir, Abu Bakar 137, 158,
161, 207, 220, 228
Bom Bali 3, 9, 23, 40, 72, 81, 94,
158, 160, 163, 178, 202,
203, 205, 206, 228, 236
van Bruinessen 8, 22, 140
Brym, Robert 88, 89
263
Men-Teroris-Kan Tuhan!
C
H
McCarty, John 41
Al-Chaidar 125, 134, 191, 233
Charles Kurzman 28
civil society 36, 38, 155, 166, 230
contentious politics ix, 42, 83,
103
Hadiz, Vedi R 12, 139, 147,
153, 172
Hamas 100
Hambali 237
Hasan, Noorhaidi 7, 13, 25, 80,
89, 174
Hassan, Muhammad Hanif 9,
176
Hizbullah 100, 122, 194
HTI 2, 168
D
Darul Islam 8, 22, 69, 97,
123–125, 134, 135, 140,
151, 160, 185, 188–191,
195, 229
demobilisasi 142–144, 147,
148, 155, 156, 242
Devji, Faisal 13, 14
E
ekonomi vi, viii, 18, 19, 29,
37, 40, 48, 54–56, 64, 94,
110, 128, 138, 139, 144,
146, 154, 164, 166, 176,
209, 225
F
I
ideasional 6, 7, 11, 30, 135
Ikhwanul Muslimin 8
imagined solidarity 94
Islam politik xii, 2–5, 11, 12,
23, 26, 28, 39, 70, 90, 91,
93, 114, 116, 119–122,
126, 129, 131, 134–137,
141, 142, 144, 148–151,
153–155, 164, 167–169,
179, 180, 184–190,
192–195, 197, 200–203,
206, 208, 241, 242
FBI 73
FKAWJ 25, 174
FPI 2, 161, 163, 168, 229, 237,
239
Framing xi, 28, 30, 64–67, 101,
182, 183
J
G
Kartosuwiryo 91, 96, 108,
111–116, 121–126,
130, 131, 134, 135, 160,
184–195, 198, 212–215,
218, 219, 221, 222, 232,
233, 242
gerakan sosial baru 50, 53–55,
57–59
Gibbs, Jack 75
globalisasi vi, 40
264
Jamaah Islamiah 90, 100, 137,
160, 183, 220, 221, 223
JAT 161–163, 237–239
K
Indeks
Khilafah xii, 221, 223
Komando Jihad 96, 137, 138,
141, 151–153, 183,
195–200, 219–221, 234
L
Laden, Osama bin 14, 81, 102,
201, 223, 230, 231, 236,
239
M
Melucci, Alberto 53
MMI 2, 162, 163, 168, 174, 229,
237, 239
mobilisasi vii, xi, xiii, 4, 14,
19, 25, 28, 29, 33, 38–40,
49–51, 55, 58, 60, 63–71,
83–85, 91, 94–101, 106,
126, 129, 130, 132–134,
141, 150, 151, 153, 154,
157, 163, 179, 180, 182,
183, 192, 193, 211, 212,
216, 219, 223, 225–229
movement xi, 46, 50, 88, 89, 98,
100, 138
N
Negara Islam Indonesia 186,
200
O
Olson, Mancur 85, 86
P
al-Qaeda v, 2, 3, 7, 13, 14, 23,
158, 202, 221, 225, 230,
231, 236, 237
R
radikalisme vii, viii, 3, 7, 8, 11,
30, 139, 150, 168
revolusi 37, 41, 42, 54, 77, 128,
133, 134, 191
Roy, Oliver 4
S
Suharto 2, 8, 9, 22, 37, 90, 105,
135, 136, 143, 146, 153,
158, 164–173, 177, 183,
185, 200, 201, 220, 241,
242
Sulistyo, Hermawan 3, 37,
109, 155, 157, 165, 169,
176, 186, 197
Sungkar, Abdullah 137, 158,
160, 201, 202, 220, 221,
223, 227, 228
syari’ah xiv, 30, 102, 175
T
Ibn Taimia 7, 22
W
Wahabi 8
Wiktorowicz, Quintan 3, 4, 7,
10, 16–18, 22, 29, 36, 39,
40, 99, 102
Pape, Robert A 13, 27, 87, 88
Pichardo 54–59
Q
265
BIODATA PENULIS
Ali Asghar lahir di Sarang-Rembang-Jawa Tengah,
sekalipun tak aktif sebagai jurnalis profesional, pekerjaan Ali Asghar tidaklah jauh dari tulis menulis, baik
sebagai editor buku di beberapa penerbit di Jakarta
maupun sebagai ghostwriter. Ia juga menekuni riset
bidang Polkam dan Public Policy di Lembaga Penelitian
Concern. Ali Asghar menamatkan pendidikan sarjana SI
Sastra Arab di UIN Sunan Ampel Surabaya (2010) dan
menamatkan pendidikan S2 Pemikiran Politik Islam di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(2014). Ia aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa
di HMI sejak menempuh pendidikan sarjana di UIN
Sunan Ampel Surabaya dan saat ini menjadi pengurus BAKORNAS LAPMI PB HMI (Badan Koordinasi
Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam PB HMI). Ali
asghar menempuh pendidikan Pondok Pesantren di
Kauman Lasem-Rembang dan Pesantren al-Hidayah
as-Syakiriyah. Penulis dapat dihubungi di alamat email:
[email protected].
Download