TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena
menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi
perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap
tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun juga, karena masalah euthanasia
menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau
Pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Adapun
Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan selanjutnya
adalah apa yang terdapat
dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang
menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut
peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab IX Pasal 344 KUHP.
Persoalan hak asasi manusia merupakan persoalan universal. Setiap
kejadian yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan di manapun akan bernilai
tidak baik. Memang ada di beberapa bagian di bumi ini perbedaan nuansa dalam
memandang persoalan hak asasi manusia. Sebagai contoh, sebuah suku di Irian
Jaya membunuh tawanan perang dalam kasus perang antar suku dianggap bukan
suatu penistaan terhadap kemanusiaan, sementara daerah lain penyiksaan terhadap
orang/tawanan dianggap pelanggaran besar hak asasi. Tindakan mencabut hak
hidup, merendahkan nilai dan martabat kemanusiaan merupakan satu bentuk
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pewarnaan nilai lokal dalam pelaksanaan
1
hak asasi manusia, tetap berpijak pada
nilai-nilai kemanusiaan dengan
menghapus tindakan yang non manusiawi. Masyarakat yang peduli soal hak
asasi manusia (HAM), mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hanya
berbicara dan bersetuju di antara mereka sendiri. Mereka belum
berhasil
membawa pihak lain, sebagai aktor yang sangat dominan, yaitu pemerintah ke
dalam forum diskursus (discourse) atau wacana itu. Apalagi mengajaknya untuk
mencari kemungkinan konsensus mengenai HAM. Para aktifis di luar
pemerintahan dan para pemimpin pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri.
Masing-masing bekerja dengan definisi yang berbeda mengenai HAM, masingmasing punya urutan-urutan prioritas sendiri mengenai apa yang harus dilakukan
dan punya patokan sendiri bagaimana mengukur keberhasilan mereka.
Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah
sebabnya negara hukum yang baik menjunjung tinggi hak asas manusia. Hak asasi
manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Pengakuan dan
pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu
melindungi hak asasi
manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan
dijunjung tinggi.
Menyangkut jiwa manusia dalam KUHP terdapat pada Pasal 338, 339,
340, 341. Selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat
mengetahui bagaimana pembentuk Undang-undang memandang jiwa manusia.
Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) menganggap
jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik
manusia yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan
2
coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan
jiwa manusia, dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Masalah
keselamatan jiwa daripada warga negara, dilindungi oleh negara. Dalam hal ini
tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu yang dituntut. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang
yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan
kepentingan orang yang dituntut, ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga
jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman.
Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda masih tetap
dianut oleh pemerintah masa Orde Baru. Ini terbukti dalam KUHP, perihal
keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan
sedikit. Kenyataan, sampai sekarang tanpa membedakan agama, ras, warna kulit
dan ideologi, keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Hal ini merupakan pencerminan daripada prinsip equality before
the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan
jiwa manusia.
3
B. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan Tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah atas dasar hak untuk menentukan nasib sendiri praktek euthanasia
bisa dibenarkan
2. Bagaimana keterkaitan antara etika kedokteran dan Hukum Hak Asasi
Manusia dalam kasus euthanasia ?
3. Bagaimana peran dan prospek Hukum hak asasi manusia dalam memberikan
perlindungan terhadap hak hidup pasien pada praktek euthanasia ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut
1. Menganalisa apakah dengan Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai
salah satu hak dasar yang diakui oleh Instrumen Hak Asazi Manusia bisa
menjadi dasar pembenaran praktek euthanasia
2. Menganalisa bagaimana keterkaitan antara etika kedokteran dan Hukum Hak
Asasi Manusia dengan euthanasia.
3. Menganalisa bagaimana peran dan prospek Hukum hak asasi manusia dalam
memberikan perlindungan pada hak hidup pasien pada praktek euthanasia
4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
dan fraktis untuk:
1. Secara teoretis,
memberikan pemahaman
adanya keterkaitan erat antara
Hukum HAM khususnya menyangkut perlindungan pasien dalam praktek
euthanasia dan etika kedokteran.
2. Secara praktis, memberikan gambaran tentang pentingnya penegakkan hukum
HAM dalam konteks praktek kedokteran terutama yang menyangkut hak
mempertahankan hidup bagi pasien pada kasus euthanasia.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terminologi Tentang Euthanasia
Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri
hidupnya sendiri lantaran kehilangan peluang dan harapan. Hal ini biasanya
dilakukan oleh penderita penyakit parah dengan peluang hidup yang sangat kecil.
Tindakannya sendiri
berupa “suntik mati” demi menepis penderitaan yang
berkepanjangan. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, khususnya dalam dunia
kedokteran, hal “merampas nyawa”, baik atas permintaan sendiri karena suatu
penyakit yang mustahil disembuhkan maupun atas dasar perikemanusiaan pasti
menimbulkan konflik, antara etika kedokteran, hukum pidana,dan hak asaz
manusian pada kasus euthanasia.
Dalam hal ini Bruce Vodiga dalam tulisannya “Euthanasia and the right to
die, moral, ethical and legal perspective” (II T/Chicago, Kent Law Review, Vol
51, Summer 1974, Number 1), mengungkapkan bahwa masalah euthanasia bukan
saja masalah semantik, tetapi juga masalah substansi.
Berkaitan dengan masalah euthanasia ini, Dr. J.E. Sahetapy, S.H., dalam
tulisannya pada majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan
euthanasia ke dalam tiga jenis, yaitu :
1. Action to permit death to occur
2. Failure to take action to prevent death
3. Positive action to cause death.
6
Dari ketiga perbedaan euthanasia tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
pada jenis euthanasia yang pertama, kematian dapat terjadi karena pasien
sungguh
menginginkan kematian. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa
penyakit yang dideritanya tidak dapat disembuhkan walaupun telah diadakan
pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu pasien meminta kepada
dokter untuk tidak memberikan pengobatan kepadanya guna penyembuhan
penyakit yang dideritanya itu. Dalam hal ini Dokter memberikan izin segala
permohonan si pasien, jadi kematian si pasien terjadi atas kerja sama antara
pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa
disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (permission).
Pada banyak kasus, euthanasia dilakukan karena permintaan seseorang
yang sudah sekarat. Tapi ada juga kasus euthanasia yang dilakukan tim dokter,
karena sang pasien sudah tidak sanggup lagi untuk memohon. Dari sisi etika,
boleh tidaknya euthanasia masih terus diperdebatkan banyak kalangan. Bahkan
tak semua negara mengizinkan praktik euthanasia. Meskipun ada sejumlah
kalangan menilai alasan ‘meringankan penderitaan’ itu masuk akal, yang pasti
semua agama melarangnya. Menurut Islam, Allah yang menentukan panjangpendeknya umur manusia. Jika saatnya tiba, kematian itu tak dapat ditunda. Tak
seorang pun bisa mati tanpa izin Allah. Sebagaimana firmanNya bahwa
barangsiapa yang melakukan bunuh diri, Allah tidak akan membukakan pintu
surga baginya. (Sahih Bukhari).
Kematian bisa terjadi karena kelalaian atau kegagalan seorang dokter
dalam melakukan pengobatan. Hal ini terjadi bilamana dokter mengambil suatu
tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena ia
7
tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien
Euthanasia jenis yang kedua ini
sia-sia belaka.
sama dengan euthanasia jenis
pertama.
perbedaannya terletak pada tindakan membiarkan pasien mati dengan sendirinya
tanpa mengadakan pencegahan.
Pada jenis
pertama, tindakan membiarkan
timbul antara pasien dan dokter yang merawatnya, sedangkan pada jenis yang
kedua, tindakan timbul hanya dari satu pihak saja, yaitu dari dokter yang
merawatnya.
Euthanasia terjadi karena
tindakan yang aktif dari dokter untuk
mempercepat terjadinya kematian. Euthanasia jenis ini dokter yang bersifat aktif
dalam mempercepat kematian pasien dengan memberikan obat dosis tinggi yang
langsung menimbulkan kematian.
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 344 KUHP, sesuai dengan jenis
euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Masalahnya sekarang,
dapatkah Pasal 344 KUHP
diterapkan atau dipakai sebagai dasar penuntutan
oleh Jaksa pada kasus euthanasia. Mengapa tidak ! Kalau tidak, pasti Pasal 344
KUHP itu tidak diciptakan. Tetapi waktu Pasal itu diciptakan oleh pemerintah
kolonial Belanda, dahulu dunia ilmu kedokteran belum semaju seperti sekarang
ini. Dalam Pasal tersebut dinyatakan: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan sendiri” ditambah pula dengan kata-kata “yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati” (lopdiens uitdrukkelijk en ernstig verlangen).
Perumusan ini pasti menimbulkan kesulitan dalam proses pembuktian, karena
dapat dibayangkan, bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati
sudah pulang ke alam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan kesungguhan hati
ini tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya dalam bentuk yang tertulis dan
8
ditandatangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktian di pengadilan
nanti, surat pernyataan ini dapat dipakai sebagai alat bukti.
Timbul masalah lagi, bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi
berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat
menyatakan dengan kesungguhan hati ? Karena kita tahu bahwa dalam masalah
euthanasia biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in a
persisten vegetative state). Sebagai contoh yang sangat populer adalah yang
terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus Karen Ann Quinlan, yang telah berada
dalam suatu “persistent vegetative state”. Mengenai kasus ini akan dibahas pada
bab yang berikutnya. Dalam hal yang demikian dapatkah seorang dokter dituntut
berdasarkan Pasal 344 KUHP. Kalau dilihat dari perumusan, baik dalam konteks
penafsiran yang dikenal dalam dunia ilmu hukum, maupun dalam bentuk
penafsiran baru, menurut penulis Pasal 344 KUHP ini sulit
diterapkan pada
kasus euthanasia, karena untuk membuktikan apakah pasien dengan sungguhsungguh menginginkan kematiannya sendiri, sulit untuk dibuktikan karena pasien
yang sudah sakit parah apalagi kalau sudah dinyatakan koma oleh Dokter tidak
mungkin memberikan peryataan sendiri. Bagaimana dengan Pasal 340 KUHP,
dapatkah penuntut umum (jaksa) menuntut seorang dokter berdasarkan Pasal
tersebut, sebagaimana bunyi pasal 340 KUHP : “Barangsiapa sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.” Ataukah dapat
menuntutnya pula berdasarkan Pasal 338 KUHP, yakni pembunuhan biasa
(doodslag) yang menyatakan sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja merampas
9
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.”
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga Pasal tersebut di atas, yaitu
Pasal 338, 340 dan 344 KUHP, tiga-tiganya mengandung makna larangan untuk
membunuh. Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan
nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu.” Oleh sebab itu, Pasal 340
KUHP ini biasa dikatakan sebagai Pasal pembunuhan yang direncanakan atau
pembunuhan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal
344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini,
karena di samping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan
nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal
344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas permintaan sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati.” Jadi masalah euthanasia ini dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 dan Pasal 344 KUHP. Dalam hal
ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian
pidana. Concursus ideals diatur dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu aturan, jika berbeda aturan yang dikenakan yang
memuat ancaman pidana pokok paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana khusus, maka yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi
generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus mengalahkan peraturan-
10
peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksud sebagai peraturan khusus disini
yakni Peraturan pidana yang memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan
pidana umum, juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam
peraturan pidana khusus.
Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini,
Hazewinkel Suringa, mengatakan sebagai berikut : “Ada concursus idealis,
apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, (noodzakelijk –
co ipso) juga masuk dalam peraturan pidana lain, baik karena banyaknya
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena
diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan
itu dilakukan, orang yang melakukan, dan obyek terhadap apa perbuatan itu
dilakukan.”
Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, menurut penulis masalah
euthanasia bisa menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP,
dan yang dapat diterapkan Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas lex
specialis derogat legi generali yang disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP, maka
aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan
karena ancaman pidana penjara pada Pasal 338 (yaitu 15 tahun), lebih berat
daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12
tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis diterapkan sistem
absorbsi, sebagaimana disebutkan Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman
pidana yang terberat. Oleh sebab itu, dalam KUHP kita, hanya ada satu Pasal
saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu Pasal 344 KUHP.
Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Dengan
demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya
11
melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan
diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Berlainan keadaannya di Inggris, dimana
tidak ada ketentuan yang tertulis (statutory definition) tentang pembunuhan
berencana (murder). Di Inggris hanya ada pembedaan antara lawful homicide
(pembunuhan yang sah) dan unlawful homicide (pembunuhan yang tidak sah).
Disamping itu dibedakan pula secara tajam antara actus reus (perbuatan pidana)
dan
mens
rea
(pertanggungjawaban
pidana),
dengan
mengembangkan
jurisprudensi yang ada di sana.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulan,
bahwa euthanasia di Indonesia dilarang. Larangan ini terdapat dalam Pasal 344
KUHP, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan dalam Pasal
344 KUHP,
dalam
dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya
penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itulah,menurut
hemat penulis maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya
untuk dirumuskan kembali, berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang terjadi
sekarang, dan telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Dan
rumusan baru tersebut diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan proses
penuntutan apabila terjadi kasus yang bersangkutan dengan masalah euthanasia.
B. Euthanasia Dikaitkan Dengan Tugas Profesional Dokter
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada
sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuankemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Untuk itu
setiap dokter perlu
menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap
12
terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang
kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila
jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan teknologi dapat memberi manfaat yang
besar kalau dalam prakteknya disertai oleh norma etik dan moral. Hal tersebut
diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah
mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik
tersebut didasarkan pada Sumpah Hipokrates, yang dirumuskan kembali dalam
pernyataan Himpunan Dokter Sedunia di London bulan Oktober 1949 dan
diperbaiki oleh Sidang ke-22 himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus 1968.
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui
serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara
mutlak pada diri seseorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat,
kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial
yang tidak diragukan. Oleh sebab itu, para dokter di seluruh dunia mendasarkan
tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik profesional yang
sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan
dan kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran para
dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan
atas asas etik yang mengatur hubungan antara manusia pada umumnya. Di
samping itu harus memiliki akar dalam filsafat masyarakat yang diterima dan
dikembangkan terus dalam masyarakat itu.
Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam
Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter Sedunia
di Genewa pada bulan September 1948. Dalam deklarasi tersebut antara lain
13
dinyatakan sebagai berikut : “I will maintain the utmost respect for human life
from the time of conception, even under threat, I will not use my medical
knowledge contrary to the laws of humanity.”
Khusus di Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas dicantumkan
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29
Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang
Pernyataan Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober
1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.
Dalam bab II Pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut,
dinyatakan bahwa : “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.” Dengan demikian berarti, di negara mana pun
di dunia, seorang dokter mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup
insani mulai saat terjadinya pembuahan.” Dalam hal ini berarti pula bahwa
bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus
melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut.
Mungkin pasien itu
sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan
sekarat
akan tetapi dalam hal ini, dokter tidak boleh melepaskan diri dari
kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan
dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan
dokter terhadap pasien
dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan
sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi
yang sangat membahayakan, tetapi tindakan ini diambil setelah dipertimbangkan
14
secara mendalam, bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya
sipasien terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut
mengandung banyak resiko. Untuk itu, sebelum operasi dimulai, perlu adanya
pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya.
Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini
juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran,
dokter tidak diperbolehkan :
1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus
ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat
dalam Pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut : “Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Disamping
Pasal 346 KUHP di atas, masih banyak Pasal-pasal lain yang menyatakan bahwa
abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya Pasal-pasal 347, 348
dan Pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan
yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan
pertimbangan untuk pengobatan, apabila perbuatan itu merupakan satu-satunya
jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan untuk melakukan
abortus
provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter,
dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau
15
keluarganya yang terdekat. Abortus jenis inilah yang disebut sebagai abortus
provocatus therapeuticus.
Bagaimanapun abortus provocatus itu bentuknya, dan dengan alasan
apapun, dalam kehidupan masyarakat disamping dianggap sebagai kejahatan
KUHP, juga merupakan barang yang tabu, karena dilarang baik oleh agama, juga
sangat bertentangan dengan susila kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Nasroen
Yasabari S.H., mengatakan bahwa, abortus merupakan arang yang tercoreng di
kening dan lumpur yang terpoles di muka, serta aib yang berat bagi keluarga.
2. Euthanasia
Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, tidak mustahil pasien
yang penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan, minta agar hidupnya diakhiri
saja. Sampai sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia.
Para dokter pun demikian halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang,
mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religius. Menurut pandangan
mereka bahwa segala sesuatu yang dialami manusia sudah takdir dari Tuhan yang
harus diterima sebagai suatu karunia. Dengan demikian apabila seseorang
mengalami penderitaan dalam hidupnya seperti mengalami sakit yang parah harus
bisa diterima sebagai suatu cobaan hidup, karena betapapun berat cobaan yang
dialami, Tuhan pasti akan memberi jalan keluar. Oleh sebab itu mengakhiri hidup
seseorang yang sedang menerima cobaan dari Tuhan tidak dibenarkan, apapun
alasannya.Sebagaimana argumentasi yamg dikemukakan dalam penjelasan Kode
Etik Kedokteran Indonesia, Bab II, Pasal 9, yang sekaligus juga mencerminkan
sikap atau pandangan para dokter di Indonesia, tentang prinsip euthanasia.
16
Sebaliknya bagi kelompok yang menyetujui euthanasia, disertai dengan
argumentasi bahwa perbuatan itu, dilakukan atas dasar perikemanusiaan. Mereka
tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien, yang telah berulang kali
minta kepadanya agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dalam hubungan ini dr.
R.Soerarjo Darsono, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang, memberikan
contoh sebagai berikut :
a. Seorang wanita yang telah hamil tua, mengalami kecelakaan yang sangat
parah, sehingga lehernya putus dan mati. Masalahnya sekarang, bagaimana
dengan bayi yang masih berada dalam perut sang ibu itu, yang menurut
pemeriksaan dotker masih hidup. Bagaimana sikap seorang dokter dalam
menghadapi keadaan demikian. Apakah harus membuka perut si wanita tadi,
dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja ? jika dilakukan,
apakah tidak mendahului kehendak Tuhan ? jadi merupakan suatu hal yang
sangat dilematis. Dalam hal ini ada pendapat diantara para dokter yang
mengatakan :
1) harus di buka, demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi,
2) biarkan saja, biar Tuhan yang mengeluarkan.
b. Seorang yang menderita penyakit kanker ganas, pada stadium permulaan
memang tidak terasa sakit, namun pada stadium akhir, sakitnya bukan main
dan hampir mendekati dosis kematian. Dalam hal demikian, ada sebagian
dokter yang beranggapan sebaiknya diberi obat penghilang kesadaran dalam
dosis yang tinggi yang bisa saja menyebabkan orang tersebut mati dengan
alasan untuk menghindari agar jangan terjadi penularan penyakit ini. Di lain
pihak menghendaki agar jangan diberi obat, dan jika terpaksa diberinya, maka
17
setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakitnya saja, dan dokter tetap
melindungi kehidupan pasien ini.
Dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu :
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari ketiga jenis euthanasia di atas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang
senada dengan euthanasia yang dilarang oleh hukum pidana kita, dan diatur dalam
Pasal 344 KUHP.
Di beberapa negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak
terdengar suara-suara yang pro terhadap prinsip euthanasia ini. Mereka berusaha
mengadakan suatu gerakan untuk menguatkannya dalam undang-undang
negaranya. Negara bagian Australi, Northern Territory menjadi negara pertama di
dunia yang mengijinkan euthanasia dengan Uunya. Meskipun hal itu tidak
berlangsung lama, dengan adanya keputusan senat Australia sehingga harus
ditarik kembali. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan Undangundang yang mengijinkan euthanasia yang mulai berlaku sejak tanggal 1 april
2002. Pasien-pasien yang mengalami sakit manahun dan tak tersembuhkan, diberi
hak untuk mengakhiri hidupnya.
Bagi orang yang kontra terhadap prinsip euthanasia, berpendapat bahwa
tindakan demikian itu sama saja dengan membunuh. Kita di Indonesia, sebagai
18
Negara yang beragama dan ber-Pancasila, percaya kepada kekuasaan mutlak
daripada Tuhan Yang Mahaesa. Segala sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan
yang dibebankan kepada
manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu,
dokter harus mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup
C. “Euthanasia” dan Hak-hak Asasi Manusia
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai
siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan
dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan
buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak
menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks
dalam dunia manusia. Berbagai macam penyakit juga dapat dikenali satu demi
satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian
besar penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat
disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, dilakukan oleh manusia mempunyai
hakikat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun
gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang
akhirnya dapat menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia,
yaitu kematian.
19
Negara dalam usahanya melindungi dan mempertahankan hidup manusia,
kadang justru terjadi suatu peristiwa yang sangat kontradiktif. Dikatakan sangat
kontradiktif, karena sementara negara melindungi hak-hak asasi manusia,
terutama “hak untuk hidup”, sementara itu pula manusia diakhiri hidupnya lewat
jalan yang dianggapnya legal, yaitu lewat pengadilan dengan menjatuhkan pidana
mati.
Pandangan yang menentang adanya euthanasia yang mendasarkan dari
segi religius, seirama dengan pandangan dari segi hak asasi manusia. Kita tahu
bahwa dalam Universal Declaration of Human Rights dari PBB telah
mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam UndangUndang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam
deklarasi PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin
hanya hak untuk mati saja yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil,
tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya,
karena “hak untuk mati” ini dipandang telah tercakup pengertiannya dalam “hak
untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.
Pandangan yang menentang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan
argumentasinya, dengan nasib seorang tertuduh yang divonis mati yang pada
umumnya masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan
perkataan lain ingin menggunakan “hak untuk hidup”-nya. Disadari atau tidak,
bahwa jeritan hati kecilnya, pasti mengatakan keinginannya untuk tidak mati.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa hakim telah memaksa kematian seseorang
yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Saya berpikir dapatkah sistem
penghukuman yang terdapat pada Pasal 10 KUHP yang diperuntukan bagi
20
terpidana mati dimana cara mengeksekusinya dengan tembak mati, dirubah
dengan cara dieuthanasia, paling tidak kalaupun penerapan Pasal 10 KUHP itu
sampai sekarang masih dipakai sebagai hukum positif di Indonesia, namun cara
pelaksanaan eksekusinya lebih manusiawi (sebagaimana yang diatur dalam
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia), dimana terdakwa bisa
mati tanpa harus merasakan sakit sebagaimana kalau harus ditembak, karena
sebenarnya secara pribadi saya tidak setuju dengan hukuman mati. Menurut saya
itu sama halnya dengan kita mendahului kehendak Tuhan. Lebih dari itu kalau
kita memahami betapa setiap orang tidak pernah berpikir atau ingin menjadi orang
jahat, karena biasanya keadaannlah yang mendesak seseorang sampai berbuat
jahat. Selain itu orang yang sudah merasa bersalah tanpa kita hukumpun batinnya
sudah merasa terhukum atas apa yang diperbuatnya. Demikian juga untuk orang
yang sudah sekarat, kalau dia bisa berpikir bahwa segala sesuatu yang
menimpanya atas ijin dari Allah yang harus diterimanya sebagai suatu cobaan
hidup, dia pasti akan berpikir seribu kali untuk menyerah dengan cara minta untuk
disuntik mati. Namun kembali bahwa manusia hanyalah mahluk biasa yang
kadang tidak bisa menerima begitu saja nasib yang menimpanya, apalagi kalau
hal itu berkaitan dengan suatu penyakit yang difonis dokter tidak mungkin untuk
sembuh dan jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si
pasien tersebut, agar penderitaannya dapat segera berakhir. Nah, bila kematian
untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, karena tidak ada
lagi jalan lain, apakah permohonan untuk dieuthanasia itu tidak dapat dikabulkan.
Apakah kehendak untuk mati dalam kasus semacam ini tidak dapat dikatakan
21
sebagai suatu “hak asasi” dalam hal ini sebagai “hak untuk mati” ? Jika telah
diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak asasi, apakah dipandang sebagai
suatu kesalahan apabila mengakui pula adanya “hak untuk mati” pada kasus
euthanasia?. Inilah persoalan yang sangat rumit yang harus bisa dipecahkan oleh
kita semua
Hakim juga manusia biasa dapat menentukan kematian seseorang, yang
mungkin masih segar bugar, dan sebenarnya orang tersebut masih menginginkan
untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa, menderita sakit
yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri ?
Bukankah kematian yang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk
mencapai suatu tujuan akhir dari perjalanan hidup seseorang.
Bila jalan pikiran seperti tersebut di atas diterima untuk menyetujui
prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu
asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang
pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi,
merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Sejalan dengan ini, dalam dunia kedokteran, orang yang menyetujui
prinsip euthanasia, dilakukan atas dasar perikemanusiaan terhadap sesama
manusia, barangkali dapat ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip
euthanasia. Jadi, seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi
kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup”.
Dengan cara tersebut di atas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk
mati”, kiranya sama-sama dihargai oleh hukum, terutama hukum pidana. Dengan
diakuinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia, dimaksudkan
22
untuk melindungi manusia terhadap penganiayaan atau penyiksaan dan kekejaman
serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari
sesama umat manusia. Hak asasi manusia yaitu hak-hak dasar yang dimiliki
manusia melekat dalam dirinya, bukan diberikan oleh masyarakat dan hukum
positif melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusi.
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari bahasa asing “Droit
de I’homme (bahasa Perancis), Human Rights (bahasa Inggris). Dalam
pemakaiannya di beberapa negara, dikenal pula istilah-istilah dalam bahasa
Inggris yang dinyatakan sama dengan Human Rights seperti Natural Rights, Basic
And Indubitable Freedoms, Fundamental Rights, Civil Rights dan lain sebagainya
(Prakorso dan Nirwanto, 1984: 28).
Dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia dimulai di Inggris pada
tahun 1688, di Inggris terjadi perebutan kekuasaan antara Raja James II (Katholik)
dengan saudaranya Mary II (Protestan) yang dimenangkan oleh Mary II/William
II (suaminya). Konflik tersebut dinamakan Gloriuos Revolution (Revolusi Besar).
Kemudian Raja William II menyusun Declaration and Bill of Rights 1689, berisi
pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu
gugat (dituntut) atas dasar ucapan-ucapannya. Adanya Bill of Rights tersebut
merupakan awal menuju ke monarkhi konstitusional (Anonimous, 1983, p. 209).
Bill of Rights merupakan salah satu dokumen penting untuk menghormati hak
asasi manusia.
Kalau kita lihat kembali perkembangan perjuangan hak asasi manusia di
Amerika Serikat, pada tahun 1776 disusunlah Piagam Bill of Rights (Virginia).
Piagam tersebut merupakan kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang
23
pertama. Dalam Bill of Rights tersebut memuat ketentuan antara lain: semua
manusia, karena kodratnya, bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak
dapat dipisahkan (dirampas) dengan sifat kemanusiannya. Hak tersebut antara
lain; hak hidup/kebebasan, hak memiliki, hak kebahagiaan dan keamanan.
Kemudian hak asasi manusia dipertegas lagi lewat Declaration of
Independence, 1788, asasnya pengakuan persamaan manusia, Tuhan telah
menciptakan manusia dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, antara
lain hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Pengakuan
hak asasi manusia dipertegas lagi oleh Presiden Franklin D. Roosevelt yang
diucap pada tahun 1941. unngkapan Franklin D. Roosevelt dikenal dengan Four
Freedom, isinya:
1. Kebebasan (kemerdekaan) berbicara (freedom to speech)
2. Kebebasan beragama (freedom to religion)
3. Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want)
4. Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear)
Dengan demikian, dalam hak asasi manusia terkandung beberapa sumpah yang
dapat dibenarkan:
a. Hak asasi manusia berasal/bersumber dari Tuhan sering disebut hukum alam
diberikan/dimiliki seluruh manusia perindividu tanpa membedakan status
orang perorang,
b. Dalam hak asasi mengarah/mengutamakan lebih dahulu kepuasaan batin
(spiritual need) semua pihak yang dapat memberi konstribusi positif dan aktif
pada kepuasan lahir (biological need),
24
c. Penjabaran/aplikasi hak asasi manusia berkembang terus seirama dengan
perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek,
d. Manusia yang kehilangan hak asasi manusianya, ia menjadi robot hidup yang
hanya bernapas.
e. Keberadaan hak asasi manusia tetap “melekat” pada setiap orang untuk
sepanjang hidupnya tanpa dapat diambil/dicabut, kecuali ada pelanggaran atas
aturan hukum yang berlaku, lewat keputusan hukum yang adil dan benar,
f. Keberadaan negara, antara lain untuk menghormati dan mempertahankan hak
asasi manusia sesuai dengan kesepakatan bersama demi pengembangan
martabat kemanusiaan,
g. Kesabaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan
kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.
Sebagaimana diketahui, salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara
hukum, antara lain ditegakkannya hak asasi manusia, agar cepat tercapai, kata
Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh H.A. Masyhur Effendi, “negara hukum
(Allgemeene Staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat sekali identiet der
Staatsordnung mit de rechtsordnung – identitas susunan negara dengan susunan
hukum – semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat
kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Dengan demikian, negara
hukum tanpa mengakui, menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak azasi
manusia tidak dapat dan tidak tepat untuk disebut sebagai negara hukum. Para ahli
Eropa Kontinental (Eropa daratan), antara lain Immanuel Kant, Julius Sthall
menyebut rechsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon (Inggris atau
25
Amerika) memakai istilah Rule of Law. Sthall menyebut adanya empat unsur dari
rechsstaat yaitu:
1. Adanya pengakuan hak asasi manusia,
2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut,
3. Pemerintahan berdasar peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur),
4. Adanya Peradilan tata Usaha Negara.
Dalam Rule of Law menurut A. V. Dicey mengandung tiga unsur dari
rechsstaat::
1. Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang,
2. Persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law),
3. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) dan tidak adanya
kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.
Dari sudut pandang ini terbukti bahwa dengan disusunnya seperangkat
aturan hukum yang utama, dan bagaimana hak asasi manusia dilindungi, karena
tanpa adanya perlindungan hukum yang disepakati bersama, nasib hak asasi
manusia hanya akan merupakan satu kekuatan potensial yang sulit direalisasikan.
Persoalan hukum lebih lanjut, yaitu bagaimana mengkonstitusikan nilai-nilai hak
asasi dalam satu negara, sehingga setiap pejabat negara, pimpinan masyarakat
maupun semua warga negara menjadi terikat secara konstitusional untuk
melaksanakannya, sehingga penyelewengan atau tindakan di luar konstitusi
(tindakan inkonstitusional atau akonstitusional) akan mendapat sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini kalau dikaitkan
dengan hasil keputusan dalam pertemuan para ahli hukum di Bangkok 1965 yang
26
diselenggarakan oleh International Comission of Jurist, telah memperluas makna
atau syarat Rule of Law sebagai berikut:
1. Adanya perlindungan konstitusional,
2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak,
3. Pemilihan umum yang bebas,
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat,
5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi,
6. Pendidikan warga negara (civil education).
Adanya persamaan prinsip dengan ide hak asasi manusia, dapat
disimpulkan bahwa antara negara hukum dengan penegakan hak asasi merupakan
satu mata uang dengan sisi yang berbeda. Hal ini membawa konsekuensi kepada
kita untuk memilih sekaligus mengisi konsep hukum apa dan bagaimana yang
ditetapkan. Dalam menetapkan konsep tersebut, berbagai aspek pasti akan
mendapat pertimbangan (aspek kultural, sosial, ide, pandangan hidup/citacita/tujuan bangsa yang bersangkutan dan lain-lain), serta berkaitan pula dengan
bagaimana cara mengimplementasikan, mengatur, menyusun struktur/mekanisme
yang tepat dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Dengan
demikian, ada keserasian antara cita-cita hukum, baik dalam arti umum dan
khusus. Lewat cara penyajian dalam satu struktur yang tepat, akan menghasilkan
keputusan yang tepat pula.
Tanpa adanya keserasian tersebut, maka cita-cita hukum yang begitu indah
dan mulia akan tetap berada pada alam abstrakt dan menjadi bagian dari ius
constituendum (hukum yang masih dianggap perlu, namun belum efektif) tidak
menjadi ius constitutum (hukum yang telah ada/hukum positif). Dari pasangan ini
27
terbukti bahwa faktor “pengaturan/penyaluran” serta ide dan cita-cita bangsa yang
bersangkutan
memegang
peranan
yang
sangat
penting.
Bagaimana
mengalokasikan begitu banyak ide, cita-cita besar bangsa dalam berbagai
kekuatan/kelompok/lembaga yang tepat dengan pembagian tugas yang tegas pula,
diharapkan akan menghasilkan satu keputusan yang memuaskan bagi semua
pihak. Kepuasan tersebut akan relatif langgeng manakala segi-segi keterbukaan
dan dinamika masyarakat menjadi pegangan dan perhatian para pejabat negara.
Kalau dianalisa lebih dalam, hukum itu sendiri hakikatnya mempunyai jati
diri dan kepribadian. Keberadaan hukum, merupakan satu substansi yang sudah
ada. Keberadaan hukum itu sendiri bergumul dan menyatu dengan inti hukum
yang paling murni, keseimbangan/keadilan. Bertitik tolak dari pandangan tersebut,
hukum selain berisi kaidah/cita-cita, tetapi berfungsi juga sebagai alat untuk
mengubah/merekayasa masyarakat berfungsi (as a tool of social engineerin)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Rosce Pound. Posisi hukum semakin
mantap bilamana tujuan dan fungsi hukum dalam masyarakat dapat dipadukan.
Dengan demikian kerja/tugas dan peranan hukum akan mudah dipahami, terutama
dalam menghadapi masalah-masalah konkrit yang timbul dalam masyarakat,
sehingga cita-cita hukum dapat segera terlaksana.
Karena itu, terciptanya yang dianggap adil, atau terciptanya keseimbangan
yang dianggap seimbang secara proporsional dan utuh, harus dikaitkan pula
dengan fungsi hukum secara konkrit dalam masyarakat, sehingga tingkah laku
yang diatur, pada hakikatnya demi ketertiban, kebenaran dan keadilan pula. Dari
uraian tersebut diatas, membuktikan bahwa hukum dalam masyarakat yang
semakin moderen memerlukan sistem pemerintahan yang moderen pula, terutama
28
didalam mengikutsertakan warga masyarakat dalam membuat suatu produk
hukum. Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum, merupakan organisasi
yang didirikan dan dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak
menetapkan/menyusun seperangkat aturan hukum (baik tertulis, maupun tidak)
semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran bersama, serta
berkewajiban dan bertanggungjawab pula atas pelaksanaannya secara objektif.
Istilah asas hukum (general principal of law), menurut kamus Webster
berarti basic, rule of conduct dan integrity, atau menurut Merriam Webster Pocket
Dictionary, mengandung makna antara lain source, origin, basic truth of law;
dengan demikian, menurut Sunaryati Hartono, “suatu asas hukum harus berperan
sebagai sumber (source) atau asal (origin) yang mengandung suatu kaidah atau
kebenaran dasar (basic truth) yang memberi arah pada penyusunan kaidah-kaidah
hukum yang lebih konkrit, sehingga seluruh bidang hukum merupakan suatu
kesatuan yang utuh” (Hartono, 1987;6). Karena itu beberapa Pasal tentang hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 1945, antara lain Pasal 27 (2),
28, 29, 31 dan dalam berbagai undang-undang pokok yang ada, merupakan asas
hukum yang perlu segera diperinci.
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk meneliti tentang euthanasia dalam perspektif hukum hak asasi
manusia
metode yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif
yang
bertujuan untuk mengetahui landasan yuridis dan filosofis pengaturan HAM
tentang hak hidup dan larangan mencabut hak hidup seseorang. Dengan tahapan
penelitian sebagai berikut:
1. Identitas Bahan-Bahan Hukum
Meliputi studi kepustakaan tentang bahan hukum primer dan sekunder serta
tertier
yang menjadi objek penelitian terutama menyangkut masalah
doktorinal yang menjadi asas dan landasan pengaturan dibidang hak asasi
manusia tentang hak hidup dan atau hak untuk mempertahankan kehidupan.
2. Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data dilakukan melalui tahapan berupa studi dokumen untuk
melihat azas-azas hukum, sistimatika hukum dan sinkronisasi dan peraturan
(Soekamto, 1984:30).
Data lain yang dikumpulkan berupa bahan-bahan hukum yang bersifat
sekunder seperti buku-buku, Jurnal, Mediamasa dan bahan-bahan lain yang
menyangkut etika kedokteran dan hak asasi manusia. Pengumpulan data lain
berupa kecenderungan praktek euthanasia dalam praktek kedokteran sebagai
bahan untuk membandingkan doktrin hukum tentang HAM dan ilmu
kedokteran.
30
3.
Analisa Bahan Hukum
Analisa data meliputi analisa secara deksriptif yuridis untuk menggambarkan
asas hukum dan sistimatika pengaturan tentang undang-undang praktek
kedokteran disinkronisasikan dengan undang-undang tentang HAM, untuk
mendapatkan gambaran yang tepat terhadap landasan perlindungan hak hidup
dalam praktek kedokteran.
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Euthanasia Dikaitkan Dengan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Hak untuk menentukan nasib sendiri dalam praktek euthanasia merupakan
problematik yang spesifik apakah itu melanggar hak asasi manusia atau tidak.
Dalam praktek biasanya pasien yang sekarat tidak mampu lagi menyatakan
kehendaknya atau membuat pilihan dan nasib dari pasien itu sudah berada di
tangan dokter. Biasanya dalam praktek apa yang menjadi kehendak pasien
diwakili oleh keluarga atau orang yang paling dekat yang menyetujui untuk
melakukan tindakan medik. Masalah euthanasia ini timbul, yaitu dari adanya
suatu dilema di atas, apakah seorang dokter mempunyai hak hukum untuk
mengakhiri hidup seorang pasien, atas permintaan pasien itu sendiri atau dari
keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan
yang berkepanjangan. Persoalan yang paling spesifik disini menyangkut siapakah
yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia ketika terjadi praktek euthanasia
apakah dokter, pasien atau keluarga yang menyetujui dilakukan praktek
euthanasia.
Kriteria kematian karena permintaan sendiri (self determination) dan
kematian karena malpraktek yang dilakukan oleh dokter masih merupakan
problematik dalam penentuan konteks pelanggaran hak asasi manusia. Dengan
diketemukannya alat-alat kedokteran modern seperti “respirator” dan sistem
transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit untuk diterapkan.
Dikatakan, bisa saja suatu waktu pernapasan dan peredaran darah seseorang
32
mendadak berhenti. Apakah yang demikian sudah dapat dipastikan bahwa orang
tersebut sudah meninggal. Apabila kita menganut definisi daripada kematian pada
umumnya secara yuridis tradisional, maka dalam keadaan tersebut orang itu sudah
dapat dikatakan meninggal.
Dalam banyak kasus, pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang
masih bernapas, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan meninggal. Namun
dalam perkembangan, dimana definisi kematian merupakan persoalan medis,
orang dalam keadaan koma tapi masih bernapas, belum tentu sudah meninggal,
walaupun seluruh organ sudah mati tapi produksi listrik pada otak masih
merangsang maka belum dapat dikatakan mati. Jadi untuk memastikan adanya
kematian, perlu dilakukan oleh tim dokter, yang terdiri dari dokter yang
merawatnya ditambah dengan seorang atau lebih neurolog.
1. Euthanasia dari aspek ilmu kedokteran
Dalam perspektif ilmu kedokteran kriteria kematian dan menghilangkan
nyawa terhadap pasien yang sedang sekarat menjadi hal yang mudah sekaligus
rumit. Aspek kematian dalam perspektif ilmu kedokteran tentu tidak sama dengan
kematian pada umumnya yang dikenal orang terutama pasien yang dalam keadaan
koma yang sudah kehilangan kesadarannya. Kapan terjadinya pembunuhan atau
pelanggaran atas hak hidup dari pasien yang dalam keadaan koma sangat sulit
dibuktikan dan memerlukan saksi ahli dalam hal ini tim dokter spesialis.
Penderita yang sudah sekarat dan tidak sadar berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan, tetapi masih mampu hidup karena dibantu dengan sebuah
respirator dengan demikian hidup pasien tersebut tergantung sepenuhnya kepada
bantuan respirator itu. Apabila respirator ini dicabut, maka hidup si pasien akan
33
segera berakhir. Masalahnya sekarang menjadi pelik dan rumit, bila seorang
pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan, dan mengetahui
bahwa tidak lama lagi maut akan merenggut nyawanya, ia atau keluarganya
memohon kepada dokter untuk mengakhiri penderitaannya dengan jalan
mencabut”respirator tersebut. Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi
kenyataan seperti ini.
Dalam konteks mana self determination atau hak meminta mati dari pasien
diterapkan terutama menyangkut batasan-batasan yuridis terhadap hak tersebut.
Dalam keadaan seperti ini apakah keluarga berhak mewakili pasien memintakan
hak untuk mati sebagai implementasi dari self determination. Aspek lain
menyangkut bagaimana dengan dokter yang menyetujui permintaan tersebut,
apakah dokter itu melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena mencabut
kehidupan seseorang. Hal inilah yang sangat sulit untuk dipecahkan, sebab disatu
sisi pasien merasa sudah tidak sanggup untuk menanggung penderitaan, karena ia
sadar bahwa segala usaha atau bantuan yang diberikan baik oleh Dokter maupun
keluarganya sudah tidak ada gunanya, dan dia merasa bahwa dia berhak untuk
menentukan nasibnya sendiri, begitupun halnya dengan Dokter, dia dahadapkan
pada dua pilihan yaitu antara perasaan kasian melihat penderitaan pasien yang
sudah sekarat dan kode etik kedokteran yang harus dipeganngnya teguh yakni
bahwa bagaimanapun keadaan pasien, sebagai seorang dokter dia berkewajiban
untuk memberikan dan mengusahakan penyembuhan sebaik mungkin. Ditambah
lagi dengan nantinya dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya dihadapan
hukum karena melanggar hak asazi manusia (mencabut nyawa) dengan membantu
34
atau membiarkan seorang pasien mati dengan cara tidak memberikan lagi
pertolongan medik.
Dalam Universal Declaration Of Human Rights dari PBB telah
mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula di dalam UndangUndang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam
deklarasi PBB itu. Di antara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin
hanya hak untuk mati saja yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil,
tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya,
karena “hak untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di
dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.
Jenis kematian menurut cara terjadinya, meliputi: orthothanasia,
dysthanasia dan euthanasia. Orthothanasia dan dysthanasia, kiranya tidak perlu
dibahas karena permasalahan dibatasi pada pokok masalah dalam tulisan. Dan
jenis kematian yang ketiga, yang masuk
dalam kategori euthanasia atau biasa
disebut juga sebagai mercy killing. Pada prinsipnya hak untuk mati sangat
berkaitan erat dengan tanggung jawab dokter. Tanggung jawab dokter dibagi
dalam dua bagian yaitu tanggung jawab profesional dan tanggungab jawab
hukum. Tanggung jawab profesional dokter diatur dalam kode etik kedokteran
yang disebut “Tuchtrecht” artinya seorang dokter mempunyai tanggung jawab
profesional terhadap sejawatnya dan profesinya. Dengan demikian apabila
terbukti melakukan kesalahan, misalnya karena kelalaian, maka dikenakan
tanggung jawab hukum dan diadili. (Soekanto, 1989;147)
Sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak
permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan sipasien yang sudah
35
sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini
diberikannya itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, masih bernapas,
sekalipun secara “artificial”. Dipihak lain jika dokter memenuhi permintaan
pasien dan atau keluarganya itu maka dokter telah melanggar sumpah dan hukum.
Sebab melalui pertolongannya itu, misalnya dengan mencabut “respirator”, ia
telah mengakhiri hidup seseorang penderita, apalagi seseorang penderita tersebut
telah dipercayakan kepadanya untuk selalu dijaga mengenai kehidupannya. Dia
telah melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan
profesinya sebagai dokter. Maka menurut hemat penulis, sekalipun atas dasar hak
untuk menentukan nasib sendiri, seseorang tidak dibenarkan meminta dirinya
dieuthanasia,dan keluarga atau dokter juga tidak boleh melakukan tindakan
euthanasia hanya atas dasar kasihan. Sebab kalau kita berpikir lebih jauh
sebenarnya disaat yang sedang sangat sulit itulah kita diuji seberapa besar
keimanan kita kepada Allah, karena sebenarnya betapapun beratnya penderitaan
yang dialami pasti ada hikmah dibalik semua itu. Karena Tuhan tidak akan
memberikan
cobaan
melebihi
batas
kemampuan
manusia
untuk
menyelesaikannya.
Meskipun hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination)
tidak disebutkan secara eksplisit dalam Universal Deciaration of Human Rights,
namun hak untuk menentukan nasib sendiri ini diatur secara khusus pada
Instrumen Hukum hak Asazi manusia yakni dalam ICCPR. Pada hakekatnya hak
ini merupakan hak alas bagi hak-hak dasar tertentu, termasuk hak-hak pasien
dalam pelayanan kesehatan. Dalam deklarasi yang disebut di atas ditemukan
pasal-pasal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan sebagai berikut:
36
Pasal 3 :
"Setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kebebasan dan
keamanan dirinya"
Pasal 5 :
"Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan
dengan bengis, tak berperikemanusiaan atau diperkosa hak-hak
asasinya ..."
Pasal 9 :
"Tak seoran-pun boleh ditahan dengan sewenang-wenang…..”
Pasal 12 :
"Tak seorangpun boleh digangu kepasiniannya (privacynya) maupun
kerahasiaan surat-menyuratnya…”
Pasal 18 :
"Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata
hatinya..."
Lebih lanjut Leenen mengemukakan bahwa dalam "International
Covenant of Civil and Political Rights" (1966) terdapat beberapa ketentuan
mengenai hak-hak dasar individual yang penting sekali dalam hubungannya
dengan menentukan nasib sendiri (Zef-beschikkingsrecht), sebagai berikut:
Pasal 1 :
"Setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri"
Pasa1 6 :
"Setiap orang mempunyai hak untuk hidup ... Tak seorang-pun boleh
dirampas nyawanya dengan semena-mena"
Pasal 7 :
"Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan
dengan bengis, tak berperikernanusiaan dan diperkosa hak-hak
asasinya..., khususnya tanpa persetujuannya tak seorangpun boleh
diobati dan dirawat atau diikutsertakan dalam eksperimentasi medik"
Pasa1 9 :
"Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan
dirinya"
37
Pasal 10 :
"Orang-orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan dan dengan menghormati harkat dan
martabatnya sebagai manusia"
Pasal 17 :
"Tak seorangpun boleh dilecehkan kepasiniannya (privacynya) atau
kerahasiaan surat-menyuratnya
Pasal 18 :
"Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata
hatinya….”
Pasal-pasal diatas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari
manusia yang tidak bisa dilecehkan termasuk hak-hak kepasiniannya (privasi)
yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun (Leenen, 1978;57). Konsep dasar hak
asasi manusia terfokus pada hak setiap orang atas kebebasan dan keamanan
terhadap diri sendiri termasuk pasien yang tidak pengidap menyakit menular.
Penahanan atas orang-orang yang mengidap penyakit menular, satu dan lain guna
mencegah penyebaran penyakit menular tersebut adalah sah. Kemudian penahan
sah atas orang-orang yang terganggu perkembangan pertumbuhan jiwanya, para
pemakai minuman keras secara berlebihan, kecanduan obat bius dan gelandangangelandangan.”
Khusus untuk pasien menular maka penerapan atas asas kebebasan
dibatasi karena bisa membahayakan orang lain. Mengenai keamanan diri
seseorang, tampaknya masih perlu dirinci lebih lanjut lagi, terutama ruang lingkup
jangkauannya. Setiap orang mempunyai hak agar kehidupan pribadi dan
keluarganya dihormati, demikian pula kerahasiaan surat-menyuratnya.” Hak ini
berlaku umum dan tidak hanya terbatas pada intervensi pihak penguasa saja. Jadi
pada prinsipnya setiap individu berhak mendapat perlindungan dari pemerintah
38
terutama menyangkut hak-hak pribadi termasuk hak asasi manusia. Konsep
perlindungan yang harus diberikan pemerintah menyangkut jaminan rasa aman,
jaminan ketenangan dan kebebasan untuk beraktifitas.
Hak ini tidak mengenal pembatasan, sekalipun suara atau kata batin dalam
situasi dan kondisi tertentu tidak dapat dijangkau. Namun dalam kaitan ini perlu
diatur lebih lanjut mengenai apa yang disebut keberatan-keberatan suara batin.
Saat ini tampaknya belum ada satu negara pun yang mengatur masalah hak-hak
menentukan nasib sendiri warganegara dalam pelayanan kesehatan secara
konstitusional. Padahal menurut penulis hal ini bisa menjadi alasan sesesorang
untuk mendapatkan hak tersebut. Dalam artian apabila tidak ada pembatasan
mengenai seberapa jauh atau dalam hal apa self determination bisa dimiliki oleh
seseorang maka hal ini bisa menimbulkan salah penafsiran. Karena seperti yang
tertuang dalam Instrumen Hukum Hak Azazi manusia Internasional (ICCPR),
bahwa self determination itu diperuntukan bagi negara yang dibawah tekanan
negara lain atau orang yang ingin mendapatkan suaka. Nah, kalau hal ini tidak
dipertegas atau dibatasi, maka self determination tersebut bisa jadi dasar bagi
seseorang yang sudah sakit parah untuk minta dirinya di euthanasia.Padahal dalam
Undang-undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia tidak saja
mengatur mengenai hak Asazi setiap orang tapi juga diatur mengenai kewajiban
dasar dan pembatasan dan larangan terhadap Hak-hak tersebut.
Untuk itu menurut hemat penulis sebaiknya negara-negara yang tergabung
dalam ASEAN memikirkan pengaturan hal-ikhwal tentang hak-hak asasi pada
umumnya dan hak menentukan nasib sendiri secara regional melalui traktat, dan
untuk pemerintah Indonesia lebih mempertegasnya lagi dalam suatu aturan,
39
sehingga hal tersebut bisa menjadi landasan bagi orang, keluarga dan Dokter
dalam menghadapi kasus euthanasia.
Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental manusia. Sekalipun
hak tersebut berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain,
namun pada hakekatnya keinginan manusia untuk mengatur kehidupan sendiri
sesuai dengan pandangan pribadinya, mengadakan pilihan-pilihannya sendiri,
bahkan merencanakan sendiri pembentukan dan pengambilan keputusan untuk
dirinya sendiri merupakan sesuatu yang diakui umum.
Memang tak dapat disangkal bahwa dalam masyarakat yang berwatak
kolektivitas tidak sama luas-lingkup hak dasar ini dibandingkan dengan apa yang
berlaku bagi warganegara masyarakat yang individualistis. Jadi, dapat
disimpulkan di sini, otonomi manusia merupakan fundamen eksistensinya,
sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Internasional Hak-Hak Asasi
Manusia. Dengan kata lain, hak menentukan nasib sendiri sebagai salah satu hak
asasi manusia diperolehnya kerana ia manusia. Hak ini asli dan murni, tidak
diberikan kepada manusia oleh negara atau masyarakat, sekalipun tidak tertutup
kemungkinan bahwa dalam negara dan masyarakat terdapat pembatasanpembatasan tertentu terhadap hak-hak asasi tersebut.Untuk itu menurut penulis
memang harus ada batasan dalam hal mana self determination dapat digunakan
oleh setiap orang.
Pendekatan filosofi terhadap hak menentukan nasib sendiri bertolak dari
pemikiran bahwa manusia itu mempunyai kebebasan dan otonomi untuk
menentukan kehendaknya sendiri. Henkel dalam bukunya “Einfhrung in die
Rechtsphilosophie” 1964, menguraikan hak menentukan nasib sendiri sebagai
40
berikut “der von Sinn, Zweck-und Werrerfassen getragenen, geistgelenkten
willenssteurung” (Kehendak yang secara sadar diarahkan oleh jiwa menuju
sesuatu tujuan yang pasti). Namun tujuan disini tampaknya terlalu luas dan samarsamar, karena penentuan nasib sendiri dapat diarahkan, baik secara positif
maupun negatif. Dengan adanya hak menentukan nasib sendiri maka manusia
diberi pula tanggung jawab. Tanpa hak menentukan nasib sendiri, tidak mungkin
manusia dapat menilai benar atau salah dalam tindakan-tindakannya.
Selain mempunyai kebebasan, pada hakikatnya manusia ditentukan pula
oleh faktor-faktor lain, seperti aspek-aspek biologis, psikis dan sosial.
Sebagaimana Leenen mengungkapkan bahwa interaksi berbagai faktor tersebut
telah menempatkan manusia dalam suatu keadaan dimana ia harus hidup dalam
keterkaitan antara hak dan kebebasan. Manusia merupakan makhluk biologik.
Psikis dan sosial, kenyataan ini memberikan kepadanya kemampuan untuk
bertindak bebas dalam keterkaitan itu. Hak menentukan nasib sendiri dalam
pelayanan kesehatan tampaknya akan memegang peranan penting dikemudian
hari, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
dalam kurun waktu lima puluh tahun belakangan ini memperlihatkan gebrakangebrakan dan lonjakan-lonjakan yang luar biasa, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi hak yang disebut di atas itu. Selain itu kenyataan menunjukkan
bahwa sisi permintaan dalam pelayanan kesehatan jauh melebihi sisi penawaran,
maka akan lebih terasa lagi campur tangan birokrasi dan hal ini bisa menjadi
ancaman bagi hak-hak asasi manusia, terutama hak menentukan nasib sendiri.
Maka menurut hemat penulis pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap pelayanan kesehatan lebih menitik beratkan perhatian kepada masyarakat
41
bawah dengan cara memberi pasilitas atau pelayanan kesehatan murah kepada
mereka yang kurang mampu untuk menghindari terjadinya kasus euthanasia,
sebab seperti yang kita ketahui bahwa selain penderitaan yang sudah tidak
tertahankan, penyebab orang minta dirinya untuk di euthanasia karena tidak
adanya biaya untuk berobat, apalagi bagi orang yang difonis dokter bahwa
penyakitnya tidak mungkin disembuhkan pada umumnya
mengidap penyakit
ganas yang proses penyembuhannya memerlukan biaya yang sangat mahal.
Disinilah dituntut keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah yang mungkin
bisa terjadi.
Untuk itu perlu dikemukakan di sini bahwa hak menentukan nasib sendiri
sebagai hak alas (basisrecht) hak-hak lain dalam pelayanan kesehatan harus
dilihat dari konteks sosialnya. Dalam hubungan ini kita tidak hanya menelaah hak
manusia secara individu, melainkan hak-hak manusia seanteronya. Karena
bagaimanapun juga syarat pertama dan utama di sini ialah hukum harus
memberikan kepada seluruh warga negara kedudukan yang setara dan hak-hak
yang sama secara proporsional. Untuk itu menurut penulis sebaiknya pemerintah
lebih bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat terutama
orang-orang yang menderita penyakit yang difonis dokter tidak mungkin untuk
sembuh, yang kerena keterbatasan dan keadaan yang miskin sering menyerah
pada nasib sampai-sampai momohon untuk disuntik mati demi meringankan
penderitaan baik untuk dirinya dan keluarganya karena merasa tidak mungkin lagi
untuk sembuh dan hanya menjadi beban keluarga.
2. Euthanasia, Suicide dan Ajaran Agama
42
Dalam konteks pemahaman agama, hidup adalah milik Tuhan dan tidak
seorangpun yang berhak mengambil kehidupan kecuali Tuhan Sang Pencipta yang
mengambilnya. Prinsip tersebut menyebabkan, dalam agama orang membagi
kematian dalam dua bentuk yaitu kematian karena kehendak Tuhan dan kematian
bukan karena kehendak Tuhan (kehendak diri sendiri) atau kesengajaan
membiarkan kematian terjadi. Dalam konteks pengajaran agama pembunuhan atau
bunuh diri merupakan dosa karena mengakhiri hak hidup sebagai pemberian
Tuhan dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa seseorang. Itulah
sebabnya pembunuhan dan bunuh diri dilarang oleh agama.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau
bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah
apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk
melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan suatu
kejahatan. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal
melakukan bunuh diri dapat dipidana. Jadi, perbuatan bunuh diri yang gagal ini
merupakan Strafbaarfeit. Begitu pula di negara Israel, percobaan bunuh diri
merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Dilihat dari segi agama, baik itu agama Islam, Kristen, Katholik, dan
sebagainya, maka euthanasia dan suicide merupakan perbuatan yang dilarang.
Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu hanya berasal dari
penciptanya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, perbuatan-perbuatan yang
menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang bukan berasal dari Yang
Mahaesa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan,
oleh karenanya tidak dibenarkan.
43
Dalam hal ini agama Islam, yang secara mayoritas dianut oleh bangsa
Indonesia, jelas melarang adanya euthanasia dan suicide. Sehubungan dengan hal
ini, Hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Annas r.a. sebagai
berikut : “Bahwa Rasulullah pernah bersabda : Janganlah tiap-tiap orang dari
kamu meminta-minta mati, karena kesukaran yang menimpanya. Jika memang
sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut : Ya
Allah ! Panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku,
dan matikanlah aku manakala memang mati lebih baik bagiku.”
Dari bunyi Hadits tersebut di atas, dinyatakan secara jelas bahwa
euthanasia itu dilarang dalam ajaran Islam. Disamping itu banyak sekali ayat-ayat
suci Alquran dan Hadits-hadits Nabi yang lain, yang melarang adanya suicide,
karena kebosanan akan hidup, dan umumnya karena takut akan tanggung jawab
hidup. Tindakan demikian ini sangat diharamkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini
dapat dilihat dari ayat-ayat Alquran seperti di bawah ini :
a.Surat An Nisa’ ayat 29 :
“Hai orang-orang beriman. Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan
curang. Kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu.”
b.Surat Al An’aam ayat 151 :
“Katakanlah ! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan
kepadamu, yakni : Janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun,
berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anakanakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada
44
mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan keji yang terang maupun yang
tersembunyi. Dan janganlah kamu bunuh jiwa yang diharamkan Allah
membunuhnya, kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat.
Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya.”
c. Surat Al Isra’ ayat 31 :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarant. Kamilah
yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah dosa yang besar.”
d.Surat Al A’raf ayat 34 :
“Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal / mati), sebab itu bila datang
waktunya itu, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika dan tidak pula
dapat mempercepatnya”.
Dari ayat-ayat Alquran di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa agama
Islam melarang orang untuk melakukan bunuh diri (Surat An-Nisa’ ayat 29)
karena Tuhan adalah kasih dan sayang kepadanya. Larangan keras seseorang
membunuh orang lain, karena takut akan kemiskinan dan kemelaratan (Surat Al
An’aam ayat 151 dan Surat Al Isra’ ayat 31). Sedang Surat Al A’raf ayat 34
mengajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan,
sehingga manusia tidak dapat menentukannya.
Motif pembunuhan pada umumnya karena ketakutan akan penderitaan
hidup atau kemiskinan, dan selanjutnya karena bosan akan hidup. Semua tindakan
kriminil yang berpangkal kepada ketakutan hidup, dibenci oleh Tuhan. Larangan
bukan saja terhadap tindakan pembunuhan, bahkan juga meminta mati saja
dilarang keras oleh Islam.
45
Menurut keterangan Annas bin Malik r.a. (yang diriwayatkan oleh
Ahmad), pernah Nabi berkunjung kepada seseorang yang sangat menderita
sewaktu “sekarat” menghadapi kematian. Peristiwa itu sangat mengejutkan Nabi,
kasihan melihat penderitaan dahsyat pada akhir hayatnya orang itu. Lalu terjadilah
tanya-jawab antara Nabi dengan dia :
+ Apakah pernah Anda mendoa atau meminta sesuatu kepada Allah ?
-
Ada ! Saya meminta Allah supaya segala siksaan yang akan saya terima di
akhirat nanti biarlah Tuhan melakukannya di dunia.
+ Subahhanallah ! Pasti anda tidak akan kuat menanggungnya ! Bukankah Saya
sudah mengajarkan doa yang berbunyi, “Ya Allah,
Berikanlah kami
kebahagiaan di dunia, serta peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dengan adanya larangan pada Hadits Nabi tersebut, maka kedua pihak
tidak boleh : meminta mati karena tidak tahan penderitaan dunia, begitu juga
meminta siksaan di dunia supaya nanti di akhirat tidak disiksa lagi. Dalam kedua
peristiwa ini, Nabi memperingatkan doa yang selalu diajarkannya, supaya mohon
bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Ditinjau dari segi agama Kristen (Katholik / Protestan) yang juga banyak
dianut oleh bangsa Indonesia, apa yang diuraikan di atas pun merupakan suatu
tindakan yang dilarang. Disamping itu, diajarkan pula bahwa soal hidup dan
matinya seseorang itu berada di tangan Tuhan. Sebagai contoh dapat diambil dari
Kitab Injil Perjanjian Baru karangan Matius dari hal kuatirkan nyawanya, sebagai
berikut : “Sebab itu Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu kuatir akan hal
nyawamu, yakni apakah yang hendak kamu makan atau minum atau dari hal
46
tubuhmu, apakah yang hendak kamu pakai. Bukankah nyawa itu lebih daripada
makanan dan tubuh itu lebih dari pakaian ?”(Pil. 4:6, 1 Ptr. 5:7, 1 Tim. 6:6, Ibr.
13:5). “Siapakah di antara kamu dengan kuatirnya dapat melanjutkan umurnya
barang sedikit pun ?” Dari ajaran ini, dapat diambil kesimpulan bahwa masalah
nyawa seseorang itu adalah lebih penting dari hal-hal lainnya, dan hidup serta
matinya seseorang itu ada di tangan Tuhan. Oleh sebab itu manusia tidak akan
dapat menentukannya, bila telah dikehendaki Tuhan, manusia tak akan dapat
mempercepat ataupun memperlambat barang sedikitpun.
Selanjutnya, pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip
euthanasia yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia itu,
sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan
tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan, manusia juga diwajibkan berusaha
untuk menghilangkan penderitaannya. Namun dalam hal, pengobatan untuk
penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi dan jalan
satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar
penderitaannya itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan
penderitaan memang diminta oleh pasien, karena merasa jalan lain untuk
menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan
euthanasia tidak dapat dikabulkan ? Apakah kehendak untuk mati dalam kasus
semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu “hak asasi” yang dalam hal ini
sebagai “hak untuk mati” ? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah
hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kita mengakui pula
adanya “hak untuk mati” terhadap kasus, khususnya kasus semacam ini.Persoalan
inilah yang harus kita sikapi bersama, khususnya dalam terang hukum keenam
47
yaitu”jangan membunuh”. Maka menurut penulis, dalam menghadapi masalah ini
kita harus lebih dapat memahami tentang berbagai hal, dengan terburu-buru
mangatakan bahwa euthanasia sama dengan pembunuhan sama salahnya dengan
tanpa pikir panjang mengatakan euthanasia merupakan hak asazi setiap orang.
Mengapa?, sebab persoalan kita tidak menyajikan pilihan hitam-putih yang
sederhana. Misalnya, pertama, sungguh sulit untuk kalau bukan mustahil
menentukan bahwa suatu penyakit benar-benar tidak dapat disembuhkan, kapan
orang dapat menentukan dengan pasti bahwa orang yang sakit parah tidak
mungkin
disembuhkan.
Bagaimana
mendefinisikan
istilah
tidak
dapat
disembuhkan itu? Apakah kanker termasuk didalamnya? Sekarang, mungkin ya.
Tapi siapa yang mengetahui perkembangan selanjutnya, beberapa bulan lagi, atau
beberapa tahun lagi. Kedua, siapakah yang berhak menentukan bahwa nyawa si
A atau si B, tidak perlu dipertahankan lagi? Apakah yang bersangkutan? kalau
ya, bukankah dalam pengalaman sehari-hari kita sering mendengar orang yang
mengalami sedikit kesulitan begitu mudah mengucap”lebih baik aku mati saja
sekarang”padahal itu reaksi spontan belaka. Kalau begitu, apakah keluarga yang
lebih berhak mengambil keputusan? mungkin saja. Tapi siapa yang dapat
menjamin, bahwa keputusan yang bulat selalu berarti keputusan yang benar?
Bagaimana kalau tidak tercapai kesepakatan antara keluarga tersebut. Bagaimana
bila dokter? Lebih masuk akal lagi, tapi jangan lupa seorang dokter hanya
mempertimbangkan satu aspek saja, yaitu aspek fisik dari kehidupan manusia.
Padahal kita tahu bahwa, kehidupan lebih dari itu. Bahkan ada banyak bukti,
termasuk kesaksian Paulus, bahwa justru disaat dalam penderitaan yang terdalam,
seseorang sering menemukan kekayaan rohani dan sukacita batiniyah yang tak
48
terkatakan. Dan yang ketiga, dan ini yang paling berbahaya, mengabsahkan
euthanasia
mudah sekali berakses pada pembenaran terhadap pembunuhan
semena-mena. Dan keberatan yang paling fundamental adalah bahwa, tak
seorangpun dan tidak satu lembagapun di muka bumi ini, yang pernah diberi
mandat oleh Tuhan, untuk menjadi pemegang kuasa atas hidup-mati manusia,
bahkan atas hidup matinya sendiri.
Jadi, apakah dengan demikian saya ingin mengatakan secara mutlak
bahwa euthanasia no? tidak juga, yang ingin saya kemukakan disini, pertama
bahwa pada dasarnya secara prinsipil, euthanasia tidak dapat dibenarkan, bahwa
euthanasia tidak dikehendaki Allah. Dan sebagai konsekuensinya, tidak boleh
ada hukum apapun yang mengabsahkan atau membenarkannya. Namun dalam
realitas kehidupan menunjukan bahwa selalu saja ada situasi-situasi khusus, yang
menuntut kebijakan, keluwesan dan pengecualian dari kita. Bahwa dalam
menghadapi situasi ini kekakuan berakibat lebih buruk, jadi memang ada keadaan
tertentu, dimana mempertahankan kehidupan berakibat lebih buruk dari pada
merelakan kematian.
Dalam hal ini, mempraktekan euthanasia tetap salah, bila toh terpaksa
dilakukan ia harus dilakukan dengan gentar, penuh penyesalan dan permohonan
pengampunan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan syarat, pertama bahwa,
keputusan diambil, setelah benar-benar tidk ada kemungkinan lain yang lebih
baik, kedua keputusan diambil oleh semua pihak yang terkait, dan setelah
mempertimbangkan semua faktor dan terakhir keputusan dilaksanakan, tidak
dengan aktif membunuh
(misalnya dengan menyuntikan racun) melainkan
dengan sekedar membiarkan penderita meninggal secara wajar.
49
Dasar pemikiran seorang hakim dalam
menjatuhkan pidana mati,
biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan
begitu saja, dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi
hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum dan
keamanan negara, bukan satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati.
Dengan kata lain, untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dan negara tidak
harus dilakukan dengan jalan menjatuhkan pidana mati terhadap si terdakwa,
sebab masih banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya dengan menjatuhkan
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lainlain, asal harus diikuti pengawasan efektif dan pembinaan yang kontinyu,
sehingga orang yang dipidana penjara ini dapat berubah sikapnya, untuk kembali
ke jalan yang benar dan insyaf.
Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran, bagi orang
yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan
terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit, yang tak dapat
disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat ditempuh
jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi, seorang tertuduh
yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi kesempatan untuk mempergunakan
hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”. Apabila tertuduh
yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan
demikian ia dianggap telah mempergunakan “hak untuk mati”-nya, dan pidana
mati yang telah dijatuhkan dapat dengan segera dieksekusi. Sebaliknya, bila
tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia
telah mempergunakan “hak untuk hidup”-nya. Dengan demikian harus dicarikan
50
jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh
hukum dan dihargai hak asasinya.
Dengan cara tersebut di atas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk
mati”, kiranya telah sama-sama dihargai oleh hukum, terutama hukum pidana.
Dengan diakuinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini,
dimaksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiayaan atau penyiksaan
dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak
berperikemanusiaan dari sesama umat manusia sebagaimana diatur dalam
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan
yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimanapun juga, karena
masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus
dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur
euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan
masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati
dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2,
Bab IX Pasal 344 KUHP.
Sebelumnya, kalau diperhatikan pasal-pasal lain yang menyangkut jiwa
manusia dalam KUHP ini, seperti Pasal 338, 339, 340, 341, dan lain-lain, maka
selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat mengetahui
bagaimana sebenarnya pembentuk undang-undang mengenai, pandangannya
51
terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat
diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia
Belanda),
menganggap bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling
berharga. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang
perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia,
dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Jadi masalah
keselamatan jiwa daripada warga negara, selalu dilindungi negara. Dalam hal ini
tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu yang dituntut. “Kepentingan masyarakat, bahwa seorang
yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan
kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa
sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau
memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak
seimbang dengan kesalahannya.” (Prodjodikoro, 1977;16)
Pasal 344 KUHP, disebutkan bahwa :“Barangsiapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Dari bunyi
Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan
melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan
dengan alasan atas permintaan si korban sendiri. Sulit rasanya membayangkan
seseorang yang sampai hati “membunuh” atau dengan perkataan lain “merampas
nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongnya, sekalipun
atas permintaan yang bersangkutan karena
52
menderita sakit parah yang tak
tersembuhkan misalnya. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal
tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani
atau yang perlu untuk ditolong sulit untuk dihindari.
Lain di pengadilan, lain pula dengan dunia medis. Apabila di pengadilan
seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang
dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senantiasa
melindungi mahluk hidup insani, sebagaimana ditetapkan dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di dunia, terutama di negaranegara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang
sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kemudian diminta oleh
keluarganya supaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di
negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada
harapan lagi itu, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau pejabat yang
berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.
Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat
dengan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya
kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu menciptakan alatalat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang
yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungya tetap hidup dan
berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di negara-negara maju sudah
banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan
itu hanya bersifat khusus. Jadi, sampai sekarang belum ada yang memberikan
definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum.
Definisi khusus ini biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai dalam bidang
53
medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk
tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (anatomical gifts). Sebagai suatu
contoh dapat disebutkan di sini definisi kematian yang telah diterima oleh The
American Association tahun 1975, yang menyatakan bahwa kematian adalah :
“For all legal purpose, a human body with irreversible cessation of total brain
function, according to medical practice, shall be considered dead.” Definisi
kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu kedokteran,
sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan hak-hak untuk menopang
kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan
kembali.
Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun
1977 menyatakan tentang suatu definisi perundang-undangan tentang kematian
dengan kriteria tersebut di atas. Jauh sebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika
Serikat telah ditetapkan didalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa
seseorang yang berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberikan seluruh atau
sebagian dari badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset,
pengobatan dan transplantasi. Jadi, jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yang
bersifat umum itu sangat diperlukan dan tidak hanya terbatas untuk tujuan
transplantasi organ saja. Dengan demikian maka seseorang yang “incompetent”
yang masih hidup karena dibantu dengan life support system, bisa dicabut life
support system-nya, sekalipun tindakan ini akan berakibat kematian bilamana
sudah terdapat bukti-butki yang tak dapat dibantah lagi, bahwa kematian biologis
tak dapat dielakkan lagi. Hal inilah yang termasuk dalam pengertian “hak untuk
mati”.
54
Dalam ilmu kedokteran, dijumpai apa yang disebut sebagai “mati suri”
dan “mati yang sebenarnya”. Disamping itu jika dilihat dari saat terjadinya
kematian, akan didapati istilah-istilah somatic death dan biological death yang
disebut sebagai “mati” dalam ilmu kedokteran adalah biological death. Tetapi
dalam perkembangannya yang selanjutnya, waktu yang dua jam itu dapat
diperpanjang sampai waktu 24 jam. Selama waktu 24 jam ini orang yang telah
meninggal tadi dites secara medis terus-menerus, apakah seluruh sel-sel tubuh
manusia ini sudah tidak berfungsi lagi atau tidak. Jadi hal ini hanya merupakan
percobaan medis saja.
Sekarang masalahnya, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu
hukum ? Biasanya definisi mati yang dipakai di pengadilan-pengadilan terhadap
kasus yang terjadi, baik didalam maupun diluar negeri, menganggap bahwa
apabila masih bernapas, belum dikatakan mati. Jadi dikatakan mati, apabila orang
tersebut sudah tidak bernapas lagi. Memang pada banyak kasus yang terjadi,
misalnya pembunuhan, yang menyebabkan kematian, pada umumnya orang yang
dibunuh tersebut, setelah tidak bernapas lagi, kemudian dikubur begitu saja.
Dengan demikian proses selanjutnya di pengadilan, hakim mendefinisikan bahwa
orang tersebut mati terbunuh, yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai
dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan itu. Kalau dipakai definisi
demikian, dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seorang yang sudah tidak
bernapas, sedang otaknya masih merangsang, jadi belum dikatakan sebagai brain
death, apakah ini juga disebut sebagai mati oleh pengadilan ? Oleh karena itulah,
perlu dirumuskan suatu definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat
menjangkau masalah medis dan juga dalam berbagai kasus yang berhubungan
55
dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting dalam menangani
berbagai kasus yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama ini belum
dapat ditolerir di Negara-negara yang sedang berkembang, terutama di Indonesia.
Walaupun euthanasia merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam
pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini
dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai
ke pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin
mengetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia, dengan
mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah
menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai suatu perbuatan yang tidak
dilarang, dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa
yang disebut sebagai “dekriminalisasi”. Apabila yang ditempuh adalah tetap
mempertahankan euthanasia dalam segala bentuknya sebagai perbuatan yang
terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHP perlu ditinjau kembali. Hal ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
kelonggaran
kepada
penuntut
untukl
memudahkan dalam mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.
Selama ini mungkin saja euthanasia ini terjadi di Indonesia. Apakah
dengan
terjadinya
euthanasia
itu
kemudian
penuntut
umum
dapat
membuktikannya ? Sulit rasanya hal ini untuk dipecahkan. Sepanjang yang pernah
ditanyatakan oleh penulis kepada para dokter, memang euthanasia (aktif) di
Indonesia belum pernah terjadi., kalaupun mungkin ada kasus yang sebenarnya
merupakan kasus euthanasia tapi karena pada umumnya masyarakat tidak banyak
tahu tentang dunia medis, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Sebagai contoh, seorang suami yang meminta tim Dokter sebuah rumah sakit di
56
Jakarta untuk melakukan tindakan euthansia terhadap istrinya, dengan alasan tidak
tega melihat kondisi istrinya yang terbaring ditempat tidur tanpa ada harapan
untuk sembuh setelah melahirkan anaknya yang kedua, apalagi biaya yang kian
menumpuk dan tidak mampu ia bayar mendorongnya untuk mendesak tim Dokter
untuk melakukan euthanasia tersebut. Namun permohonanya ditolak karena
euthanasia dilarang di Indonesia (permohonan yang dilakukan oleh Hasan
Kusuma untuk istrinya agian Isan Nauli tergolek koma setelah operasi cecar/22
oktober 2004) tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang semakin
maju, tidak mustahil euthanasia ini dilakukan secara diam-diam. Karena jelas
bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, menganut paham bahwa
hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan
Yang Mahaesa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia, tidak menganut prinsip
euthanasia, sebab di samping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan
Yang Maha Esa, juga melanggar Sumpah Hipokrates yang pernah diucapkan para
dokter.
Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan
perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini
misalnya :
A. Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup menurut ukuran
dokter,
B. Usaha penyembuhan yang dilakukan sudah tidak berpotensi lagi.
C. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.
57
Bagi pasien yang dalam keadaan seperti ini, sebaiknya euthanasia dapat
dilakukan. Disamping syarat-syarat limitatif tersebut, dapat ditambahkan lagi,
misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya,
dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut
ditandatangani pula oleh saksi-saksi. Jadi, euthanasia hanya dapat dilakukan
terhadap pasien yang memenuhi syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila
dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak memenuhi syarat-syaratnya.
Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia agar tidak disalahgunakan
penggunaannya.
B. Keterkaitan Etika Kedokteran dan Hak Asasi Manusia
Dalam Praktek Euthanasia
Aspek hukum dan HAM yang berkaitan dengan praktek euthanasia yaitu
keterkaitan antara dokter dengan ilmu pengetahuannya dan pasien dengan
penyakitnya dimana kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter
mempunyai kewajiban untuk menyembuhkan dan menolong pasien agar supaya
bisa mempertahankan hidup, sedangkan pasien mempunyai hak untuk
mempertahankan kehidupannya dan mendapatkan perlindungan dari malpraktek
yang mengancam jiwanya.
Disinilah hal yang mendasar yang menunjukkan keterkaitan antara ilmu
kedokteran dan perlindungan hak asasi manusia terutama hak pasien untuk
mempertahankan kehidupannya. Pasien berada pada posisi yang lemah
(bargaining position) dan biasanya pasien akan menurut semua kemauan dan
keinginan dari dokter yang merawatnya. Bargaining position dari pasien inilah
58
yang menyebabkan pasien rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh dokter atau rumah sakit dimana dia dirawat. Nasib dari pasien
tergantung daripada dokter atau rumah sakit yang merawatnya apalagi kalau
pasien dalam posisi koma dan tidak sadarkan diri yang menderita sakit yang
berkepanjangan.
Apabila seorang dokter dapat mengupayakan kesembuhan atau paling
kurang mengurangi rasa sakit bagi pasien, maka hubungan antara dokter dengan
pesien dapat bermuara pada hal-hal yang melegakan kedua pihak. Namun dapat
juga kita sadari bahwa dokter hanya manusia biasa, yang punya kelebihan dan
kekurangan, terutama dengan ilmu pengetahuannya. Artinya dalam situasi tertentu
seorang dokter, dapat saja melakukan hal-hal yang menurut pandangan umum di
anggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hukum, tapi menurut logika
seorang dokter, hal itu tidak bertentangan dengan pengetahuan yang ia miliki.
Dalam perjanjian terapeutik, dokter
wajib berusaha menyembuhkan
pasien melalui ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, dengan penuh
kehati-hatian, cermat dan teliti atas kepercayaan yang diberikan pasien, Sementara
pasien wajib membayar pelayanan. Jadi
antara dokter dengan pasien dalam
proses penyembuhan penyakit telah terjadi kontrak terapeutik. Menurut
Chrisdiono M Achadiat (1996) : Kontrak terapeutik digunakan ketika terjadi
hubungan profesional antara dokter dengan pasiennya, khususnya berkaitan
dengan usaha memperoleh kesembuhan. Namun dalam praktek kontrak terepautik
sering terjadi salah penafsiran baik oleh dokter maupun oleh pasien. Beberapa
kalangan dokter berasumsi, kontrak terapeutik tidak dapat digangu-gugat atau
dengan kata lain kebal hukum. Sedangkan disisi lain pihak pasien tidak menyadari
59
arti suatu kontrak terapeutik khususnya mengenai isi atau objek perjanjian
tersebut. Objek dari perjanjian terapeutik itu sebenarnya adalah usaha yang
sebaik-baiknya dari sang dokter dan bukan untuk harus menyembuhkan
Seringkali terdengar pasien menuntut dokter, karena penyakitnya tidak berhasil
disembuhkan.
Keterkaitan antara ilmu kedokteran dan hak asasi manusia dalam
euthanasia yaitu antara etika (kode etik) kedokteran dan perlindungan hak hidup
bagi pasien dengan masalah tanggung jawab medik dari dokter sesuai dengan
etika profesi dimana dokter boleh mengambil tindakan apapun termasuk mencabut
nyawa pasien asal tidak bertentangan dengan etika Profesi.
Di beberapa Negara Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara
yang pro-euthanasia. Mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya dalam
Undang-undang. Sebaliknya
yang kontra-euthanasia berpendapat, bahwa
tindakan demikian sama dengan pembunuhan. Bagi kita di Indonesia, sebagai
umat beragama dan ber-Pancasila percaya kepada kekuatan mutlak dari Tuhan
Yang Maha Esa. Segala yang diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan
kepada mahlukNya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus
mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara kehidupan, tidak untuk mengakhirinya.
Menurut Gunawan konflik akan selalu terjadi dalam pemikiran dokter
yang melakukan euthanasia. Dua kepentingan yang bertentangan akan timbul.
Apakah tindakan euthanasia ini hanyalah semata-mata untuk menolong penderita
melepaskan diri dari rasa sakit dan penderitaannya atau apakah ada orang lain
yang lebih membutuhkan alat pernapasan buatan. Konflik bisa menjadi
60
berkepanjangan
sejalan
dengan
majunya
teknologi
kedokteran.
Untuk
transplantasi ginjal misalnya, memerlukan organ ginjal yang masih segar. Organ
demikian bisa diperoleh dari tubuh manusia yang mati batang otak, dimana
sirkulasi darahnya masih normal, berkat digunakannya alat pacu jantung, maka
euthanasia dapat dilakukan untuk memperoleh donor ginjal itu.
1. Aspek Etika Kedokteran dalam euthanasia
Jika kita ingin menyoroti aspek etis dari euthanasia, perlu dimulai dengan
membedakan euthanasia sukarela (voluntir) dengan euthanasia tidak sukarela
(involuntir). Telah dijelaskan,bahwa euthanasia dengan suka rela terjadi bila ada
kesepakatan antara dokter dan pasien sedangkan euthanasia tidak sukarela
dilakukan tidak atas permintaan pasien. Walaupun euthanasia sukarela kerap kali
dibicarakan dalam kaitan dengan pembahasan etika mengenai bunuh diri, namun
ada dua alasan untuk membicarakan dua hal itu tersendiri. Yang pertama, bunuh
diri jelas merupakan suatu perhentian ditengah jalan dalam proses kehidupan dan
berlangsung dalam suatu konteks non-medis. Alasan kedua, euthanasia
merupakan antisipasi dari kematian yang pasti dan tidak dapat dihindarkan akibat
suatu penyakit.Sementara Euthanasia tidak sukarela menjadi lebih kompleks
karena pasien yang bersangkutan tidak kompeten. Dengan demikian pasien tidak
ikut serta dalam keputusan..
2. Etika kedokteran dalam euthanasia pasif dan aktif
Perbedaan lain yang penting juga adalah euthanasia aktif dan pasif.
Tindakan euthanasia tidak dapat dibenarkan secara moral, apabila itu berarti
tindakan yang mempunyai tujuan dan cara-cara yang secara langsung menentang
perikemanusiaan, karena menghendaki kematian pasien. Tindakan semacam itu
61
bisa disebut sebagai euthanasia aktif . Disebut “euthanasia aktif ” karena
mempunyai tujuan kepada kematian pasien sendiri, atau karena cara-cara yang
dipakai secara langsung akan menyebabkan kematian. Misalnya, dokter
menyuntikkan obat yang diketahui akan mengakhiri hidup pasien.
Alasan utama mengapa orang menolak euthanasia aktif
karena
menghentikan kehidupan manusia dengan cara demikian merupakan pelanggaran
tanggung jawab manusia. Karena Tuhan adalah pencipta dan mempunyai kuasa
penuh atas hidup dan mati. Euthanasia aktif menimbulkan kesulitan moral yang
serius. Tetapi konteks kesulitan-kesulitan ini, yaitu keadaan tanpa harapan seorang
pasien, juga merupakan pertimbangan moral yang penting. Dengan demikian,
perdebatan etis tentang euthanasia aktif ini berlangsung antara sebuah motif bagi
perbuatan kita, yaitu rasa kasihan terhadap pasien, dan sebuah aturan moral yang
juga berlaku bagi perbuatan kita, yaitu jangan membunuh.
Euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan secara moral, karena tindakan
semacam itu sengaja mangakhiri kehidupan sebelum waktunya. Walaupun ada
nilai lain yang cukup tinggi yang akan dicapai dengan tindakan itu, misalnya
untuk menghindari pasien dari rasa sakit yang berat, tindakan itu tidak dapat
dibenarkan. Sebab, kehidupan merupakan nilai yang lebih tinggi daripada
pembebasan manusia dari rasa sakit yang berat. Tindakan itu tidak dapat
dibenarkan, walaupun atas permintaan pasien dan kelurganya. Sebab mereka pun
tidak mempunyai hak menentang kehendak Tuhan saat kematian atau akhir dari
kehidupan manusia. Tentu saja, tindakan euthanasia aktif
lebih tidak dapat
dibenarkan lagi, apabila hal itu dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan dari
pasien dan keluarganya.
62
3. Bantuan dokter untuk menyelesaikan masalah pasien
Apabila euthanasia dimengerti sebagai bantuan dokter pada pasien yang
sudah
mendekati
akhir
hidupnya
dengan
cara
yang
sesuai
dengan
perikemanusiaan, maka euthanasia itu mempunyai nilai moral yang tinggi. Dalam
tindakan semacam itu, baik motivasi maupun caranya tidak bertentangan dengan
rasa hormat terhadap martabat manusia. Sebagai contoh, dokter memberikan
pilihan analgetik kepada seseorang penderita kanker yang tidak dapat
disembuhkan lagi dengan obat, maupun dengan tujuan agar pasien itu tidak terlalu
berat menderita sakit akibat kanker itu. Tujuannya baik, yakni untuk meringankan
rasa sakit. Caranya pun baik, yakni dengan memberikan pil-pil penenang yang
mengurangi rasa sakit. Namun akibat dari pemberian pil-pil tersebut bisa saja
membuat pasien mati. Euthanasia semacam ini disebut euthanasia aktif tidak
langsung. Disebut euthanasia karena pemberian pil-pil analgetik semacam itu
dapat sedikit mempercepat datangnya kematian, sekalipun kematian itu tidak
dikehendaki dokter. Maksud pemberian pil adalah membantu agar rasa sakit
berkurang, dengan demikian meringankan penderitaan pasien. Tindakan
euthanasia aktif tidak langsung masih sesuai dengan sumpah Hipoccrates yang
berjanji akan mempergunakan cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan
pendapat (nya) adalah yang terbaik untuk pasien-pasien (nya) dan tidak akan
merugikan siapa pun.
4. Penghentian perawatan
Tindakan lain dari dokter yaitu dengan tidak memberi pengobatan karena
dia tahu bahwa pengobatan yang dilakukan percuma dengan melihat kondisi dari
pasien tersebut (euthanasia pasif).. Misalnya dokter mencabut respirator pada
63
pasien yang menurut pemeriksaan dinyatakan telah mengalami kematian batang
otak dan berada dalam keadaan vegetatif persisten. Contoh lain, misalnya pasien
yang menderita kerusakan ginjal menolak usul dokter untuk mencuci darahnya
atau menerima ginjal baru, karena ia yakin bahwa cara itu akan membawa beban
financial (materi) yang terlalu berat bagi keluarganya. Dokter harus menerima
keputusan pasien itu, walaupun hal itu akan mengakibatkan kematian pasien.
Euthanasia pasif seperti itu dapat dibenarkan secara moral, asal alasan yang
dikemukakan oleh pasien sungguh jujur, sementara dokter pun tetap meneruskan
cara-cara perawatan yang “biasa”. Kalau dokter tahu bahwa pasien berasal dari
keluarga kaya raya, sehingga akan mampu membiayai proses cuci darah atau
transplantasi ginjal, dokter mengusulkan agar pasien akan menggunakan cara-cara
itu. Namun, pasien tetap mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya, dan
dokter harus menghormati keputusan itu. Yang jelas, harus tetap diperhatikan
bahwa manusia tidak diwajibkan untuk mempertahankan hidupnya dengan caracara yang luar biasa. Maka, atas permintaan pasien dan keluarganya, dokter dapat
menghentikan atau mencegah pemberian perawatan atau pengobatan terhadap
pasien, walaupun tindakan itu akan menyebakan kematian pasien.
5. Mengedepankan etika kedokteran dan perlindungan hak hidup pasien
Sejak terwujudnya praktek kedokteran, masyarakat mengetahui dan
mengakui adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri
seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja,
kerendahan hati serta integritas ilmiah yang tidak diragukan. Oleh sebab itu, para
dokter di seluruh dunia mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut
64
dalam suatu etik profesional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang
minta berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita tersebut.
Dokter merupakan profesi tertua yang telah memiliki kode etik. Kode
etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipoccrates, yang dirumuskan kembali
dalam pernyataan Himpunan Dokter se-dunia di London bulan Oktober 1949 dan
diperbaiki dalam sidang ke-22 himpunan tersebut di Sidney bulan Agustus 1968.
Kode etik adalah pemandu sikap dan perilaku. Pada hakikatnya, dokter sendirilah
yang menentukan sikap dan tindakannya sesuai dengan hati nuraninya. Dokter
harus memahami apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika kedokteran dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
6. Pengaruh sumpah dokter terhadap euthanasia
Aspek yang penting yang menyangkut keterkaitan ilmu kedokteran dan
hak asasi manusia dalam praktek euthanasia menyangkut sumpah dokter.
Tindakan medis dari dokter selalu didasarkan pada sumpah dokter dan kode etik
kedokteran. Itulah sebabnya tindakan-tindakan medis bersifat rahasia dan tertutup
Peraturan pemerintah tahun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang
bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sidney 1968
menyebutkan bahwa: “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan………”. “saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari
saat pembuahan…………”. Sedangkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam
Pasal 9, Bab II tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa:
“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
mahluk insani”.
65
Dengan demikian, menurut etika kedokteran, seorang dokter tidak
diperbolehkan melakukan pengguguran kandungan (abortus provokatus) maupun
mengakhiri
hidup
seorang
yang sakit
(euthanasia) meskipun
menurut
pengetahuan dan pangalamannya tidak akan sembuh lagi. Problematika yang
timbul disini apakah dokter dalam menanganai pasien yang sedang dalam keadaan
koma mengedepankan sumpah dokter atau melindungi hak asasi dari pasien untuk
hidup. Paradoks ini memang belum diatur dalam satu aturan yang positif bila
kedua hal ini berbenturan, mana yang harus dikedepankan, apakah etika
kedokteran atau hak asasi manusia. Dalam ilmu hukum dikenal asas hukum yaitu
lex specialis derogat legi generalie tentang pemberlakuan aturan-aturan khusus
yang mengesampingkan aturan-aturan umum dalam satu keadaan. Dalam
penanganan euthanasia, kalau asas hukum ini diterapkan tentunya dokter akan
menjadi bingung, manakah yang harus dikedepankan, etika atau perlindungan hak
asasi manusia
7. Batasan tentang kepastian kematian pasien
Akan tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Apabila seorang
dokter akan mencabut alat respirator harus mempunyai bukti yang cukup kuat,
bahwa alat itu sudah tidak mempunyai manfaat lagi. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang sering
mengalami kasus serupa
dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter lain yang juga berpengalaman, selain harus pula
66
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapakan.
Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup
pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Profesor Olga Lelacic yang menyatakan
bahwa: “Dalam kenyataan, pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri
hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas
dari penderitaan karena penyakitnya (Samil, 1994;127).
8. Penerapan delik pidana dalam praktek euthanasia
Dokter yang melakukan praktek euthanasia dalam perspektif hukum
pidana telah melakukan pembunuhan, status dokter disebut pembunuh atau pelaku
perbuatan pidana. Sehubungan dengan hal ini, J.E. Sahetapy, Universitas
Airlangga Surabaya, pernah mengadakan suatu research terhadap masalah
euthanasia di Indonesia. Beliau mengatakan dalam tulisannya yang dimuat pada
Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, bahwa pengadilan-pengadilan di
Indonesia ini, belum pernah menangani kasus yang bertalian dengan Pasal 344
KUHP. Hal ini disebabkan karena:
1. If euthanasia has occured, it has never been discovered or reported to law
enforcement agencies,
2. Death was not considered euthanasia by the victim’s family or they are
ignorant of the law,
3. Although medical technology has reached an advanced stage in Indonesia, the
latest medical equipments to prolong life in hospital are not yet available
except probably in some hospital in Jakarta.
67
Seperti diketahui, bahwa Pasal 344 KUHP,yang dikenal sebagai Pasal
euthanasia yang aktif menyatakan bahwa : Barangsiapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan sendiri, yang menyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
pidana penjara paling lama dua belas tahun. Tetapi perumusan Pasal 344 KUHP
menimbulkan kesulitan di dalam pembuktian, yakni dengan adanya kata-kata
“atas permintaan sendiri”, yang disertai pula kata-kata “yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati”. Dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan
dengan kesungguhan hati tersebut telah meninggal dunia. Kemudian timbul
masalah lagi, bagaimana jika orang yang bersangkutan itu tidak mampu untuk
berkomunikasi ? Untuk memberikan gambaran yang jelas, sebagai bahan
perbandingan, akan dikemukakan contoh kasus yang terjadi diluar negeri, sebagai
berikut : Kasus pertama, terjadi pada tahun 1976 di New Jersey, Amerika Serikat,
yang terkenal sebagai kasus Karen Ann Quinlan. Karena si gadis manis berusia 21
tahun, yang dipungut oleh keluarga Quinlan, ia menderita penyakit dan dalam
keadaan yang disebut in a persistent vegetative state, mati tidak, hidup pun tidak.
Karen hanya dapat bertahan dengan bantuan sebuah “respirator”. Keadaan Karen
bagaikan patung bertulang terbungkus kulit,
bagaikan kerangka mayat saja.
Dapatkah dikatakan bahwa Karen masih hidup ? Bukankah Karen sudah tidak
dapat berbicara lagi ? Jangankan makan, bernapas pun sulit, jadi hidupnya
tergantung pada mesin. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila
“respirator” tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan
Karen pun akan segera mati. Tetapi dalam hal ini dokter menolak menghentikan
penggunaan “respirator” tersebut. Kemudian Quinlan (ayah angkatnya) menuntut
agar Karen dinyatakan sebagai incompetent dan Quinlan ditunjuk sebagai
68
guardian yang diizinkan untuk menghentikan segala tindakan medis yang dapat
memperpanjang hidup Karen. Selanjutnya pengadilan menolak tuntutan Quinlan
tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan dalam putusan banding,
bahwa seseorang mempunyai suatu hak yang disebut right to privacy dan khusus
dalam kasus Karen ini, bilamana Karen dapat melakukannya, dia pasti menolak
penggunaan “respirator” karena penderitaan yang dialaminya sangat hebat. Karen
membutuhkan 24 jam terus-menerus perawatan yang intensif, antiviotiks, bantuan
“respirator”, catheter dan feeding tube. Jadi jelas dalam hal ini kepentingan Karen
melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya, dan negara. Pada akhirnya
Supreme Court memerintahkan agar the life support apparatus dicabut tanpa
adanya pertanggungan jawab sipil maupun kriminil.
Kasus yang kedua, terjadi di Florida, Amerika Serikat, tahun 1978, yang
terkenal dengan kasus Sats v. Perlmutter. Abe Perlmutter, berusia 73 tahun,
dalam keadaan sadar dan kompeten, mederita penyakit yang disebut sebagai
incurably amytropic lateral sclerosis. Penyakit ini sangat fatal, sebab dapat
mengakibatkan one’s muscles to wear away. Diagnosa terhadap Perlmutter
menyatakan bahwa dia hanya akan tahan hidup selama satu tahun, dan akan
segera mati, dalam waktu satu jam setelah “respirator”-nya dicabut. Dia sudah tiga
kali mencoba sendiri untuk mencabut “respirator” itu, dan minta dengan sangat
kepada anak perempuannya untuk mencabut alat tersebut. Para dokter dan rumah
sakit, menolak memberikan izin kepadanya untuk mencabut “respirator” tersebut,
sebab takut akibat hukumnya. Kemudian pengadilan (the Lower Court)
mengatakan bahwa Perlmutter hendaknya diizinkan untuk mencabut “respirator”
tersebut. State Attoney General mengajukan banding, dan Distric Court of
69
Appeals memperkuat keputusan tersebut. Tetapi The State Attorney General tidak
melanjutkan kasasinya lebih lanjut. Akhirnya Perlmutter meninggal dunia pada
tanggal 6 Oktober 1978, 41 jam sesudah “respirator”-nya dicabut.
Dari contoh dua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di
Amerika Serikat diizinkan oleh hukum, walaupun terbatas kepada situasi dan
kondisi tertentu. Euthanasia dalam arti pasif dapat terjadi bilamana seseorang
yang “competent’ menggunakan hak untuk menolak medical treatment, sekalipun
akan mengakibatkan kematian atas dirinya sendiri. Begitu pula euthanasia dalam
arti aktif, dapat terjadi bilamana seseorang yang incompetent sesuai dengan
putusan pengadilan yang diminta oleh keluarganya untuk mencabut life support
system’s yang dapat mengakibatkan kematian si pasien, seandainya keadaan
pasien tersebut sudah tidak mungkin dapat diharapkan kesembuhannya.
10. Euthanasia dalam hukum positif Indonesia
Sekarang bagaimana halnya di Indonesia. Apakah kasus Karen Ann
Quinlan yang bikin heboh di Amerika Serikat itu dapat terjadi di Indonesia ?
Kiranya tidak mustahil kasus seperti ini terjadi di Indonesia, apabila rumah sakit
di Indonesia telah mempergunakan alat-alat kedokteran yang serba modern seperti
“respirator”, heartlung machines, organ transplants dan sebagainya, yang dapat
mencegah matinya seseorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, minggu
dan bahkan mungkin untuk beberapa tahun.
Problema yang selanjutnya adalah seandainya kasus Karen Ann Quinlan
dan Staz v. Perlmutter ini benar-benar terjadi di Indonesia, apakah para dokter
dapat dituntut dengan Pasal 344 KUHP ? Kalau dilihat dari perumusan Pasal 344,
baik dalam konteks penafsiran, menurut hemat penulis Pasal ini tidak dapat
70
diterapkan, karena rumusan Pasal tersebut yang mencantumkan adanya unsur
“atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” tidak dapat
dibuktikan. Kita tahu bahwa Karen dalam keadaan in competent serta dalam
keadaan mati tidak, hidup pun tidak. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, berbicara,
bergerak pun tidak dapat, apalagi menyatakan permintaan untuk mati, yang harus
diucapkan sendiri oleh Karen bukan oleh orang lain sekalipun keluarganya. Di
samping itu pasal tersebut mengandung makna bahwa jiwa manusia harus tetap
dilindungi, tidak saja dari ancaman orang lain, tetapi juga dari usaha orangnya
sendiri untuk mengakhiri hidupnya, karena sama saja dengan bunuh diri yang
dilarang oleh agama, dan hukum pidana positif Indonesia.
Walaupun demikian, untuk masa-masa mendatang, dalam rangka Ius
constituendum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHP tersebut, perlu untuk
dirumuskan kembali, agar dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam hal
pembuktiannya. Hal ini perlu ditempuh mengingat sejak terbentuknya KUHP,
sampai sekarang belum ada kasus yang berhubungan dengan Pasal tersebut yang
sampai ke pengadilan, yang disebabkan karena :
a. Bila terjadi masalah yang berhubungan dengan Pasal tersebut, tidak pernah
dilaporkan kepada polisi, atau pejabat yang berwenang.
b. Kebanyakan orang Indonesia masih awam terhadap hukum, apalagi terhadap
masalah euthanasia
c.
Alat-alat kedokteran di Indonesia, belum begitu modern, sehingga jarang
terjadi pencegahan kematian secara teknis.
Perumusan kembali dimaksud, agar supaya memperhatikan serta
memperhitungkan
pula
perkembangan
71
dan
kemajuan-kemajuan
ilmu
pengetahuan. Kematian janganlah dipandang sebagai suatu fungsi terpisah dari
konsepsi hidup sebagai suatu keseluruhan. Namun manusia bukanlah suatu robot
belaka. Karena itu, mau tidak mau, konsepsi “hak untuk hidup” tidak dapat
dipisahkan begitu saja dengan “hak untuk mati”. Hal ini berarti relevansi konsepsi
pengertian perbuatan pidana menjadi nyata, terutama apabila putusan pengadilan
secara jelas dan tegas, membedakan dan memisahkan antara pengertian perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Sebagaimana dijelaskan dalam kasus diatas, maka persoalannya bukanlah
semata-mata patuh dan takut terhadap hukum saja, apakah hukum hanya suatu
alat dalam kerangka konsepsi hidup manusia. Ataukah hukum menjadi suatu
tujuan yang memperhamba manusia. Dengan demikian hukum, juga termasuk
hukum Indonesia, baik saat ini, ataupun untuk masa yang akan datang,
seyogyanya jangan bersifat kaku dan statis. Hukum itu hendaknya lebih bersifat
fleksibel dan dinamis, berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan dalam
masyarakat. Dengan sifat yang fleksibel dan dinamis tersebut, diharapkan dapat
memecahkan segala persoalan, baik yang terjadi pada masa sekarang, maupun
masa yang akan datang.
C. Prosfek Hukum HAM Terhadap Perlindungan Hak-Hak Pasien Dari
Praktek Euthanasia
The rights of Health merupakan hak dari pasien dalam perawatan
kesehatan, tercakup didalamnya hak mempertahankan kehidupan. Dalam
Mukadimah Statuta WHO disebut adanya hak atas kesehatan, dalam konsep
Statuta tersebut tertulis "the right to health care", tetapi karena satu dan lain hal
72
dokumen internasional ini menyebut "the right to health". Timbul pertanyaan,
apakah kata care ini sengaja dihilangkan dan tidak diberi komentar dalam memori
penjelasan? Konon salah satu alasan mengapa care ini dikeluarkan ialah uraian
modern tentang kesehatan yang dirumuskan sebagai: ."Suatu keadaan yang
ditandai oleh kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan semata-mata
ketiadaan sakit, penyakit dan cacat." Konsep tersebut senada dengan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia yang tampaknya lebih dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Ketentuan tersebut merumuskan antara lain: “……hak
memperoleh perlindungan kesehatan untuk setiap orang tanpa membedakan ras,
status, warna kulit, jenis kelamin, keyakinan politik, dan sebagainya".
Secara yuridis "hak atas kesehatan" pada hakekatnya kurang rasional,
contoh,
Seorang konglomerat misalnya dapat saja memberi segudang obat-
obatan, menyewa dokter pribadi, namun segenggam kesehatan, sampai saat ini
belum ada yang dapat memasokkannya kepada yang bersangkutan. Ini barangkali
takdir Ilahi bahwa ada hal-ikhwal yang tak dapat dibeli dengan uang, baik oleh
sang konglomerat, maupun yang melarat. Oleh karena itu aspek kesehatan tidak
dapat dijadikan obyek persetujuan (terapeutik). Nah, kalau begitu apa saja yang
dapat dijadikan obyek sebuah kontrak? Dalam kaitan ini, pemeliharaan kesehatan
sebagai kumpulan sarana dan prasarana guna melindungi, menunjang dan
meningkatkan kesehatan manusia merupakan salah satu benda hukum, yang
mendapatkan perhatian yuridis. Ringkasnya, pelayanan kesehatan (pemeliharaan
kesehatan dalam arti sempit) merupakan obyek persetujuan pengobatan dan
perawatan.Yang dapat digolongkan pelayanan kesehatan antara lain ialah
pemeriksaan medik, diagnosis, terapi, anestesi, menulis resep obat-obatan,
73
pengobatan dan perawatan di rumah sakit, peningkahan pasien, kontrol, pelayanan
pasca perawatan, pemberian keterangan medik, pemberian informasi, kerja sama
vertikal penyelenggara pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak
sosial, satu dan lain karena pemeliharaan kesehatan (termasuk pelayanan
kesehatan) sebagai sistem memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang
untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan
atau ditawarkan oleh pergaulan hidup, Leenen menyebutkan hak-hak partisipasi
(participatie rechten), dan isi hak-hak ini sedang berkembang seiring dengan
kemajuan masyarakat. Jadi hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab
(bandingkan Pasal 29 Universal Deciaration of Human Rights, yang berbunyi:
"Everyone has duties to the community" dan seterusnya). Dan salah satu tanggung
jawab ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak
untuk menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan
mempunyai jangkauan yang luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas
pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidaktidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan.
Dalam Pasal 25 Universal Declaration Of Human Rights tercantum ketentuanketentuan yang rnenyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang secara
tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:
1.
Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang layak bagi kesehatan dan
kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan, pakaian,
dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan.
Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran,
74
sakit, cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan
oleh situasi dan kondisi diluar kehendak yang bersangkutan.
2.
Ibu dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua
anak, baik yang sah maupun diluar kawin, menikmati perlindungan sosial
yang sama.
Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan definitif
Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai berikut:
A. Negara-negara yang merupakan pihak dalam persetujuan ini mengakui hak
setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin;
B. Langkah-langkah yang diambil negara-negara yang merupakan pihak pada
persetujuan ini, guna merealisasikan hak ini selengkap mungkin, antara lain
meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mencapai:
a) Pengurangan jumlah anak yang lahir mati dan kematian anak
pertumbuhan dan pengembangan anak secara sehat dan upaya yang
seiring dengan itu;
b) Perbaikan aspek-aspek higiena lingkungan hidup dan lingkungan kerja;
c) Pencegahan, penanganan dan pemberantasan penyakit epidemik dan
endemik.
d) Menciptakan suasana yang memberikan jaminan kepada setiap orang yang
bilamana menderita sakit akan memperoleh bantuan dan pelayanan medik.
Kalau pemeliharaan kesehatan berada dalam bidang makro, maka
pelayanan kesehatan lebih mengatur pelayanan kesehatan yang merupakan
hubungan langsung antara penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter, perawat
dan lain-lain) dan pencari bantuan pelayanan tersebut, secara mikro. Secara
75
teoretis relasi dokter-pasien ini dapat kita bagi dalam tiga jenis kontrak, yang
dapat berakhir dengan suatu kontrak, sebagai berikut:
1. Hubungan dokter-penderita. Seseorang menemui dokter karena ia merasakan
ada sesuatu yang mengancam kesehatannya. Nalurinya membisikkan bahwa
ada gejala-gejala sakit dan penyakit yang sedang menggerogotinya. Orang lain
pun dapat melihat bahwa seseorang tertentu dirundung sakit dan penyakit, dan
memanggil atau menyuruh memanggil dokter. Dalam hubungan seperti ini
dokter adalah dewa penyelamat.
2. Hubungan dokter-pesien. Seseorang pergi ke dokter berdasarkan gejala-gejala
yang sudah diantisipasi (self-Milling prophecy). Pasien telah mengetahui, atau
setidak-tidaknya mengira telah mengetahui gejala-gejala tersebut dan dokter
hanya menegaskan benar tidaknya asumsi tersebut.
3. Hubungan dokter-konsumen. Relasi jenis ini pada umumnya kita temui pada
pemeriksaan medik preventif. Misalnya, seseorang pergi ke dokter atas
kemauan pihak ketiga, yang mungkin saja negara, majikan, dan sebagainya.
Dokter memeriksa orang yang disuruh pihak ketiga tersebut dan berikhtiar
menemukan penyakit yang belum diketahui, menegakkan diagnosis, dan jika
dianggap perlu diikuti oleh terapi. Sekalipun tujuan pertama adalah
pemeriksaan preventif, namun tidak tertutup kemungkinan diikuti oleh
tindakan-tindakan kuratif.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah menyebabkan
bidang pelayanan kesehatan menjadi semakin komplek. Sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan makin canggih saja, dan makin mahal pula. Dalam sistem
kesehatan seperti ini tampaknya dokter bukan lagi sumber otoritas satu-satunya
76
melainkan harus membagi kemampuan dan kehormatannya dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pada satu sisi Iptek akan mengambilalih peran dokter.
Saat ini Iptek terutama dalam bidang diagnostik, telah menjadikan dokter (umum)
seorang spesialis, malahan seorang pemasok jasa pelayanan kesehatan tersebut
mulai memperlihatkan perilaku konsumen, yang dalam perkembangannya tidak
mau begitu saja menerima pelayanan jasa. Adapun rincian hak-hak pasien dalam
konteks hak asasi manusia yaitu:
1. Hak atas informasi
Dalam konteks HAM dokter dan pasien berkedudukan sederajat dan
pasien harus mendapatkan haknya termasuk hak informasi. Hak-hak tersebut
yakni pasien harus diperlakukan sederajat termasuk untuk mendapatkan informasi
dan kebenaran diagnosa atas penyakitnya. Dari informasi ril pasien, dokter akan
menyampaikan kepada pasien pendapat dan pandangannya. ia perlu pula
menginformasikan pasien mengenai rencana pengobatan dan perawatan, berapa
lama pengobatan dan perawatan itu akan berlangsung dan efek-efek yang perlu
diantisipasi, seperti ketidaknyamanan yang akan dialami, sifat dan bentuk
komplikasi, dan sebagainya
Selama berlangsungnya konsultasi pasien-dokter ini, maka arus informasi dari
pasien ke dokter dan sebaliknya, berjalan tak putus-putus. Dalam kenyataan
banyak sekali pasien melalaikan pemberian informasi kepada dokter, bukan
karena ia tidak mau, tapi tidak tahu bagaimana mengutarakannya. Pada umumnya
pasien takut atau malu mengemukakan sesuatu yang serba salah, apalagi kepada
seseorang
yang
dianggapnya
ahli
dalam
bidang
medik.
Dan
kalau
memberitahukan yang benar, ia khawatir sakit dan penyakitnya, apalagi bila itu
77
membawa nista baginya, diketahui orang banyak. Yuridis, hak atas informasi ini,
seperti pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain dalam struktur relasi dokterpasien, termasuk hukum perikatan dan hukum persetujuan. Namun, perlu
ditambahkan disini bahwa tentang hal ini tidak banyak yang diatur secara
eksplisit. Baik peradilan maupun doktrin menganggap hubungan hukum tersebut
lebih dikuasai oleh kebiasaan, hukum kebiasaan dan itikad baik, daripada
peraturan perundang-undangan.
Penelitian di beberapa negara maju menunjukkan bahwa pada urnumnya
dokter yang menjadi anggota perhimpunan profesi menyerahkan aspek hukum
dalam pelayanan medik kepada perhimpunan yang antara lain memberikan
perlindungan bagi para anggotanya dalam berbagai bidang, hubungan
kemasyarakatannya. Malahan banyak penyelenggara pelayanan medik yang
dengan setia taat pada ketetapan, keputusan dan pedoman kerja yang dikeluarkan
oleh perhimpunan profesi, menganggap dirinya sudah sadar hukum, mengetahui
undang-undang dan aturan-aturan yang setara dengan itu. Dengan perkataan lain:
jika perhimpunan profesi itu sendiri tidak membentuk peraturan-peraturan
internalnya sendiri, maka penguasalah yang akan membuatnya. Hal inilah yang
barangkali menyebabkan sementara para penyelenggara pelayanan medik
beranggapan bahwa peraturan internal yang pada hakikatnya lebih bersifat
petunjuk dan pedoman kerja daripada suatu aturan yuridis formal berlaku secara
umum.
Sebagai contoh tentang apa yang dikemukakan diatas adalah suatu putusan
Majelis Tata Tertib Medik Pusat Belanda mengenai hak atas informasi ini. Pada
tahun 1967 Majelis tersebut memutuskan bahwa dokter mempunyai hak informasi
78
dan bukan sebagaimana menurut logikanya harus mempunyai kewajiban untuk
memberi informasi. Secara teori mungkin saja dokter sama sekali tidak memberi
informasi, namun dalam praktek keharusan untuk memberi informasi pada
umumnya dilihat sebagai suatu kewajiban. Secara formal dokter harus meminta
persetujuan pasien untuk diobati dan dirawat. Pada tindakan-tindakan serius dan
penuh risiko dokter harus memperoleh izin pasien. Namun, prosedur ini tidak
mempunyai makna sedikitpun bilamana pasien tidak diberikan informasi yang
memadai dan yang dilakukan dalam bahasa yang ia tidak kuasai. Pada umumnya
persetujuan pasien dianggap telah diberikan secara diam-diam.
Di Amerika Serikat mengenai informasi dan persetujuan antara kedua
pihak diungkapkan dalam istilah "informed concent", yang dalam Permenkes No.
585 Tahun 1989 dialihbahasakan sebagai persetujuan tindakan medik. Informed di
sini diartikan sebagai (pihak) yang telah memperoleh informasi dari (pihak) lain,
sedangkan consent bukan saja mengandung arti mengerti lingkup informasi yang
diberiakan itu, tetapi juga setuju akan dilakukan tindakan medik atas dirinya
berdasarkan informasi tersebut.
Pada umumnya dapat dikemukakan disini, bahwa masalah "informed
consent" merupakan sesuatu yang baru di dunia kedokteran, baik di negara-negara
maju, apalagi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dan hat tersebut
pada hakikatnya merupakan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
medik pada satu sisi, dan kesadaran hukum masyarakat serta semakin kritisnya
kaum konsumen terhadap hasil dan ikhtiar pemasaran barang dan jasa modern
pada sisi lain. Dalam praktek masalah "informed consent" menimbulkan berbagai
problematik bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan, terutama persoalan
79
bahwa tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat apa yang terbaik dalam
peristiwa medik yang kongkrit, penyelesaian mutlak tidak dapat diandalkan di
sini, karena pada pemberian informasi terjadi suatu dialog antara dokter dan
pasien, yang harus terselenggara dengan itikad baik. Apalagi kalau dipikir bahwa
dalam proses pemberian informasi ini dokter sudah harus memberikan suatu
pertimbangan sebelum melakukan tindakan. Bukankah sakit dan penyakit tidak
berlangsung menurut skema dan sketsa yang tetap dan teratur? Demikian pula
kenyataan bahwa banyak sekali terjadi informasi sang dokter yang disalahartikan,
suatu gejala yang serius kadangkala diremehkan demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu sangat tinggi relevansi disini bahwa dokter menuangkan dalam
berkas mediknya informasi yang diberikannya kepada pasien, saat diberikannya
informasi tersebut dan alasan mengapa itu diberikan, maupun alasan mengapa
telah ditahannya atau tidak diberikannya informasi tersebut sesuai dengan
kebenaran. Sebaliknya, hakim dan pasien pada hakikatnya memberikan penilaian
kemudian (pasca akta), jika peristiwa dan kejadian telah menjadi kenyataan.
Kewajiban memberikan informasi masih dapat pula diberikan lebih lanjut
secara rasional. Namun informasi itu bukan merupakan suatu keharusan,
melainkan lebih bersifat petunjuk. Petunjuk pertama adalah bahwa dalam hal
terdapat keragu-raguan apakah pasien telah mengerti apa yang diinformasikan,
maka kita harus bertolak dari anggapan bahwa pemberian informasi kepadanya
kurang memadai. Sesungguhnya disini kita berhadapan dengan permasalahan
bahwa pasien dihadapkan kepada suatu materi yang cukup sulit untuk tidak
disebut rumit, yang harus dicerna dalam kondisi yang lebih sulit lagi. Petunjuk
selanjutnya ialah bahwa di dalam pemberian informasi ini dokter hanya wajib
80
melakukannya yang baginya memberikan kepastian. Jadi, tidak dimaksudkan di
sini
bahwa
kepastian
mutlak
tentang
diagnosis
dan
prognosis
harus
diinformasikan, melainkan perkiraan-perkiraan, yang diambilnya itu, bertumpu
pada dasar-dasar yang rasional. Dan perlu diperhatikan, bahwa jangan sekali-kali
dokter mengungkapkan prasangka yang tak beralasan sebagai suatu kebenaran.
Pasien yang belum dewasa, alias dibawah umur dalam rangka kewajiban
urnum dokter memberikan informasi, pasien tersebut mempunyai juga hak atas
informasi tentang apa yang akan dilakukan dengan dirinya. Namun pemberian
informasi di sini lazimnya dihubungkan dan disesuaikan dengan umur yang
bersangkutan. Hak atas informasi tersebut dimiliki orang yang belum dewasa
terlepas dari persetujuan orang tua untuk itu, walaupun kita ketahui bahwa orang
tua mempunyai kekuasaan orang tua atas anak-anaknya yang belum dewasa.
Dalam Bab 3 telah kita bahas hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai hak
asasi manusia dalam pelayanan kesehatan, yang mulai berlaku pada saat manusia
itu lahir. Hak menentukan nasib sendiri merupakan pula salah satu hak manusia
yang penting. Tubuh manusia dari bagian ujung kaki dan ujung rambutnya
mewujudkan manusia selaku manusia. Jadi, para orang tua tidak mempunyai
patrin notestas atas tubuh anak-anaknya. Tambahan pula bahwa anak-anak
tersebut pada hakikatnya harus dilindungi terhadap tindakan-tindakan para orang
tuanya. Tujuan kekuasaan orang tua, bukan pemberian suatu hak menentukan
nasib sendiri atas anak-anaknya, melainkan pemberian kewajiban peningkatan
dan pembinaan atas anak-anaknya agar mereka berangsur-angsur memiliki hak
menentukan nasib sendiri setelah dewasa. Apa yang dimiliki anak tersebut selaku
subyek hukum dalam kerangka hak-hak asasi manusia sejak kelahirannya, harus
81
dikembangkan oleh para orang tuanya.
Pengertian kekuasaan orang tua tidak didefinisikan secara identik dalam
undang-undang. Pasal 298 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi:
"Para orang tua mempunyai kewajiban mernelihara dan mendidik anak-anak
mereka yang belum dewasa". Lebih lanjut Pasal 299 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata memuat ketentuan bahwa "Sepanjang perkawinan bapak dan ibu,
tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua,
sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua" Dari
kedua ketentuan tersebut dapat kita jabarkan bahwa kekuasaan orang tua sebagai
suatu kewajiban untuk memberikan pemeliharaan, pendidikan, bantuan dan
perlindungan kepada anak-anaknya, terutama yang masih di bawah umur. Apalagi
kalau diingat bahwa para orang tua.dapat dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
tersebut dalam hal mereka tidak sesuai atau tidak mampu menjalankan kekuasaan
itu.
Secara yuridis kekuasaan orang tua lebih banyak memperlihatkan aspekaspek hukum harta kekayaan. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
mengatur tentang kebelumdewasaan seseorang. Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur duapuluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Kalau Undang-Undang Perdata Belanda menyatakan seseorang telah
dewasa jika ia menginjak usia delapan belas tahun, maka di Indonesia yang
notabene meresepsi Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, masih saja
menganggap umur dua puluh satu tahun sebagai batas kedewasaan menurut
82
hukum. Padahal secara fisik tampaknya orang-orang Asia lebih cepat dewasa dan
mandiri daripada orang-orang Eropa. Itulah sebabnya perlu dipertimbangkan,
khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan untuk mempergunakan batas umur
progresif dalam penilaian anak-anak dibawah umur bertalian dengan hak
menentukan nasib sendiri, hak atas informasi dan pemberian persetujuan tindakan
medik.
Jika seseorang mencapai umur dua puluh satu tahun maka pada umumnya
ia cukup (bekwaam) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. ia diberi
status dewasa yang pada hakikatnya merupakan suatu pengertian hukum
(perdata). ia memiliki legal competency dan pada umumnya cakap bertindak
untuk dirinya sendiri, tanpa diwakili lagi oleh orang lain. Namun, tidak semua
orang dewasa cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Orang dewasa yang
terus menerus dirundung kedunguan, gangguan jiwa atau mata gelap harus
diletakkan dibawah pengampuan (onder curatele gesteld), demikian pula jika
yang bersangkutan hidup boros (pasa1433 KUHPerdata).
Kalau dalam praktek perundang- undangan, kita jumpai kekecualian
yuridis seperti apa yang diuraikan diatas, maka tidak terlalu salah jika dalam
rangka pelayanan kesehatan, yang lebih peka lagi permasalahannya, diterapkan
batas umur progresif bagi orang-orang yang belum dewasa. Dan lebih khusus lagi
dalam kerangka "informasi consent" dengan Segala seluk-beluknya, hal tersebut
perlu mendapatkan prioritas.
Belanda, misalnya Kelompok Kerja Perhimpunan Hukum Kesehatan yang
telah mengadakan penelitian dalam bidang ini berpendapat bahwa dokter berhak
untuk memberikan informasi baik kepada pasien yang belum dewasa maupun para
83
orang tua atau walinya, kecuali pihak yang dibawah umur tersebut menaruh
keberatan atasnya. Suatu kekecualian terhadap apa yang disebut terakhir ialah
tidak memberikan informasi kepada para orang tua akan merugikan pasien yang
belum dewasa. Lain pula pendapat Leenen yang pada dasarnya menganggaap
pemberian informasi sebagai suatu kewajiban sedangkan pasien berwenang untuk
meminta informasi. Namun, betapapun juga selayaknyalah dalam hal dokter meng
hadapi pasien-pasien yang belum atau hampir dewasa, maka para orang tua harus
diberikan informasi kecuali jika pasien tersebut menaruh keberatan atasnya, atau
dokter mempunyai alasan-alasan kuat memperkirakan bahwa
pasien yang
bersangkutan tidak menghendaki hal itu. Dapat disimpulkan disini bahwa pada
umumnya dalam memberikan informasi seperti yang diuraikan diatas kepada
pasien dibawah umur haruslah dibicarakan terlebih dahulu dengan orang tua
mereka, kecuali karena alasan-alasan seperti yang diuraikan diatas hal tersebut
tidak mungkin dilakukan.
Keadaan di Amerika Serikat tampaknya sudah "a step ahead" karena di
beberapa negara bagian telah memberlakukan undang-undang khusus tentang
persetujuan pasien-pasien dibawah umur untuk tujuan-tujuan tertentu. Contohcontoh dalam bidang ini adalah antara lain pengobatan dan perawatan penyakit
kelamin, donor darah, ketergantungan pada obat bius dan minuman keras,
pemeriksaan setelah perkosaan, reseptur pil keluarga berencana dan lain-lain. Ada
pula undang-undang, sebagai pelengkap apa yang disebut di atas, memberikan
ketentuan-ketentuan tentang keabsahan persetujuan pasien dibawah umur, diatas
empat belas tahun untuk pengobatan dan perawatan penyakit-penyakit spesifik.
Bahkan suatu statuta yang dikeluarkan oleh negara bagian Luisiana telah
84
melangkah lebih lanjut lagi dengan memberikan keabsahan persetujuan anak di
bawah umur tanpa batas-batas umur yang ditetapkan dengan jelas bagi mereka
yang dirundung atau merasa dirundung sakit dan penyakit.
Selanjutnya dapat disampaikan kutipan hukum yurisprudensi di Arnerika
Serikat sebagai berikut: "The United States Supreme Court has deciared that the
provisions of a statute imposing a bianket requirement of parentel consent before
a minor female could obtain and abortion (when otherwise entitled to one) were
unconstitutional "See Pianned Parenthool of Central Mo. v. Danforth, 428 U.S.
52 (1976).
Dalam kasus yang lain diputuskan: "The parental consent for an abortion
could be required if the state provides an alternative procedure whereby the
patient could dispense with such consent if she could show either that she is
sufficiently mature to make the decision or that the abortion would be in her best
interest. See Belloti v. Baird, 433 U.S. 622 (1979) (plurality decision).
Dapat terjadi bahwa para orang tua menolak memberikan persetujuan
untuk pengobatan dan perawatan medik pada anak-anak mereka yang belum
dewasa. Beberapa penulis terkenal seperti Leenen, Rang, Van der Mijn
berpendapat bahwa pasien-pasien di bawah umur yang sudah lebih tua, dokter
dapat bertolak dari anggapan bahwa persetujuan pasien-pasien tersebut sudah
cukup, kecuali untuk tindakan-tindakan yang tergolong berat. Dalam suatu
tindakan medik yang secara medik perlu dilakukan, maka dalam kasus seperti itu
pada umumnya timbul pertentangan kepentingan antara para orang tua dan anak.
Jadi, sesuai dengan anggapan para pakar Belanda tersebut maka kepentingan anak
yang diutamakan. Anak tersebut memiliki hak-hak asasi manusia dan harus
85
dilindungi terhadap akibat-akibat yang secara fisik dan psikhis merugikan, yang
pada hakikatnya disebabkan oleh penolakan para orang tua tersebut.
Sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh para pelopor hukum kesehatan
di Belanda tersebut dapat dijalankan di negara mereka, satu dan lain karena
berbagai pranata pendukung sudah dilembagakan di sana. Antara lain kita kenal
beberapa
lembaga
hukum
seperti
peletakan
dibawah
pengawasan
(ondertoezichtstelling) vide Pasal 254 BW jo Pasal 257 BW. Malahan ada yang
menganjurkan diterapkannya tindakan-tindakan perlindungan terhadap anak untuk
suatu kasus insidental atau jika ini terlalu berat untuk dilaksanakan, maka
hendaknya dipertimbangkan adanya kemungkinan agar diselesaikan melalui
intervensi hakim yang dapat memberikan persetujuan penyelenggaraan pelayanan
medik.
Suatu contoh dari yurisprudensi Belanda adalah putusan Pengadilan Tinggi
Den Haag 26 Oktober 1965, N.J. 1967, 121, yang memutuskan peletakan di
bawah pengawasan seorang anak yang berumur tiga tahun yang menderita
kelainan pada matanya. Tanpa pelayanan medik yang memadai hal tersebut akan
mengakibatkan kerusakan tak terpulihkan pada retina. Pada pemeriksaan tingkat
pertama peletakan dibawah pengawasan ditolak (karena para orang tua menolak),
tapi Pengadilan Tinggi berpendapat lain. Contoh lain dalam kaitan ini adalah
putusan Pengadilan Negeri Dordrecht 27 Juni 1973, N.J. 1973, 432, mengenai
seorang anak dengan kelainan jantung yang serius, dan yang memerlukan
pembedahan "cito". Sang ibu memberikan persetujuannya, tapi ayahnya menolak,
atas dasar pertimbangan keagamaan. Sang ayah dibebaskan dari kekuasaan orang
tua, sehingga pada saat itu hanya ibu anak tersebut yang menjalankan kekuasaan
86
orang
tua.
Berdasarkan
pemberian
persetujuan
ini
pembedahan
dapat
dilaksanakan. Seperti telah diketengahkan diatas, para orang tua tidak mempunyai
wewenang menentukan nasib kehidupan anak-anaknya dan dalam hal ada
penolakan seperti itu maka perlu diambil tindakan seperlunya terhadap para orang
tua. Apa yang dapat ditolak oleh para orang dewasa berdasarkan keyakinan,
kepercayaannya, tidak boleh mereka terapkannya kepada anak jika karenanya
anak tersebut terancam nyawanya. Sedangkan beberapa penulis antara lain Roodde Boer mengemukakan bahwa perundang-undangan sendiri mengakui keberatankeberatan berdasarkan suara batin para orang tua yang pada umumnya merupakan
panutan anak-anaknya.
Kembali kepada permasalahan pemberian informasi kepada para pasien
yang belum dewasa pada hakikatnya kita berpatokan pada kemampuan intelektual
pihak yang diberi informasi untuk dapat menerima dan mencerna kesemuanya itu
sehingga tanpa paksaan atau desakan memberikan persetujuan agar dilakukan
tindakan-tindakan medik atas dirinya.
2. Hak untuk menentukan nasib sendiri dikaitkan dengan "informed consent"
Hak-hak dasar individu, membuka hati para penyusun Code Neurenberg
untuk menerapkan dua hal. Pertama, mereka dapat memilih jalan untuk kembali
pada rumusan Hippocrates lama dengan menggarisbawahi bahwa pemeriksaan
hanya dapat dilakukan bilamana hal itu dapat dibenarkan karena membawa
keuntungan bagi pasien/naracoba. Kedua, mereka dapat berpaut pada pemeriksaan
sesuai dengan hukum yang berlaku, dan yang dilakukan demi kepentingan
masyarakat, dan mereka dapat mengendalikannya terhadap ekses yang mungkin
timbul dengan jalan memberikan bentuk pada salah satu asas yang mempunyai
87
daya membatasi kecenderungan-kecenderungan tersebut. Para penyusun dan perumusan kode tersebut telah memilih cara yang disebut terakhir. Pasal kedua kode
Neurenberg menjadikan terang-benderang bahwa asas bermanfaat bagi pergaulan
hidup,
namun, masalah "informed consent" sebagai pasal pertama ialah
dimasukkan ke dalam, bukan untuk memudahkan pencapaian keuntungankeuntungan sosial, melainkan sebagai syarat dan ketentuan pembatasan. Hal
tersebut akan menyebabkan pengambilan kesimpulan yang tidak dapat ditawartawar lagi. Setiap orang yang dalam pelayanan medik mengajukan persyaratan
"informed consent" untuk alasan-alasan lain kecuali nilai-nilai yang menganggap
persetujuan sebagai alat untuk memudahkan pemeriksaan bagi manfaat pergaulan
hidup, harus mengakui bahwa para individu mempunyai tuntutan-tuntutan tertentu
terhadap pergaulan hidup.
Walaupun "informed consent" dapat meningkatkan manfaat bagi pasien
dalam pergaulan hidup, namun akan transparan dari tujuan primernya berada di
atas tujuan lain pretensius ini. "Informed consent" dalam peristiwa-peristiwa
tersebut sebagai alasan untuk mengesampingkan hak-hak individu tertentu demi
kepentingan baik para pihak yang bersangkutan (manfaat-bagi-pasien/nara-coba,
maupun orang-orang lain serta manfaat bagi pergaulan hidup). Khususnya hak
individu menentukan nasib sendiri menyebabkan informed consent mutlak
diperlukan bagi semua tindakan dan bahkan atas semua pelanggaran terhadap
suasana kehidupan pribadi seseorang. Asas otonomi hak menentukan nasib sendiri
memberikan suatu dasar bebas dan mandiri bagi persyaratan informed consen,
yang terkadang dijabarkan dari kekhawatiran pemberian perlindungan individu
terhadap risiko-risiko, maupun melindungi pergaulan hidup terhadap penelitian-
88
penelitian yang paling luas. Dengan mempergunakan otonomi tersebut sebagai
dasar maka pemberian persetujuan dapat dipandang sebagai negosiasi pembuatan
kontrak. Sesungguhnya ada bukti yuridis yang kuat bahwa teori penentuan nasib
sendiri tentang informed consent ini merupakan dasar filosofis syarat pemberian
persetujuan.
Pada hakikatnya ada petunjuk-petunjuk bahwa para penyusun pedoman
pemeriksaan eksperimental mengakui bahwa baik "informed consent" maupun
hak-hak lainnya tidak tunduk pada permasalahan mengenai manfaat dan
mudaratnya hal tersebut bagi para pasien dan pergaulan hidup. Nah, dalam hal
pemberian pertimbangan merupakan suatu conditio sine qua non, maka komisikomisi pertimbangan mempunyai tiga buah tugas sensial, yakni untuk menetapkan
apakah:
a.
Risiko-risiko bagi para pasien diatur sedemikian rupa sehingga seimbang
dengan jumlah manfaat yang diperoleh pasien tersebut dan kepentingan
memperoleh pengetahuan, agar keputusan untuk memperkenankan pasien
dapat dibenarkan.
b.
Hak-hak dan kesehatan masing-masing pasien dilindungi sepatutnya; dan
c.
Diperoleh
informed
consent
yang
secara
yuridis
berhasilguna
dan berdayaguna serta menurut cara yang memadai dan serasi.
Jika benar asas menentukan nasib sendiri adalah dasar yang sebenarnya
bagi doktrin informed consent maka tampaknya hanya ada satu penjelasan yang
mungkin kita jumpai dalam kenyataan bahwa penilaian tentang perlindungan hakhak individu (sub 2) tergantung pada penilaian risiko bagi pasien (sub 3). Untuk
menjelaskan hal ini Veatch mengemukakan dua buah pikiran mengenai otonomi
89
(right to self-determination) sebagai dasar bagi "informed consent".
Dasar yang pertama disebutnya "doktrin penentuan nasib sendiri yang
berdayakerja lemah". Menurut teori ini sang individu hanya mempunyai hak
menentukan nasib sendiri atas tindakan-tindakan pada tubuh atau kepasiniannya
(privacy), bilamana penerapan penentuan nasib sendiri menyentuh secara hakiki
kesejahteraannya. Dalam hal ini hak individu untuk menentukan nasib sendiri
terbatas pada bidang, yang di dalamnya diambil risiko-risiko.
Pada sisi lain, kata beliau, kita dapat berbicara tentang "doktrin penentuan
nasib sendiri dengan daya kerja lengkap". Bilamana individu senantiasa harus
diperlakukan sebagai tujuan dan sebagai alat, maka orang tersebut memiliki
otonom di semua bidang kehidupan dan tidak hanya dalam peristiwa-peristiwa di
mana manfaat dan mudarat asasi dipertaruhkan. Sebenarnya perlu diperkirakan
dalam batas-batas tertentu bahwa hak menentukan nasib sendiri memberikan
kepada individu hak untuk mengadakan pilihan yang pada hakikatnya
bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Jika dirumuskan seperti
itu, maka tampaknya tidak mungkin bahwa hak atas kehidupan, hak atas
kebebasan dan hak atas ikhtiar untuk mengejar kesejahteraan, dilakukan dengan
syarat "hanya dalam situasi dan kondisi dimana risiko dan manfaat memainkan
peranan.
Dari apa yang diuraikan diatas, dan mengingat pula bahwa relasi antara
dokter dan pasien tersebut adalah persetujuan dalam arti hukum, maka kepada
pasien perlu diberikan kepastian hukum yang menjadi haknya. Hak atas informasi
perlu direalisasikan terutama karena sifat kondisi pelayanan medik sarat dengan
pembatasan-pembatasan yang kadang-kadang menghimpit perwujudan hak
90
tersebut dalam praktek. Van der Mijn merumuskannya sebagai berikut: "Tidak
dapat disangkal bahwa disini kita berhadapan dengan suatu hak mutlak dalam arti
bahwa dokter wajib mengemukakan semua peristiwa, pandangan dan harapan
kepada setiap pasien tentang semua kondisi dan koneksi. Disini kita jumpai suatu
hak relatif yang dibatasi oleh keadaan fisik dan psikhis pasien maupun oleh
ketidakpastian yang pada umumnya dihadapi sang dokter. Namun, demikian
lanjutnya, bagi pasien dan keluarganya, karena mulai disadari bahwa haruslah
lebih banyak keterbukaan diperlihatkan dalam hubungan dokter dengan pasien,
agar pasien merasakan tanggungjawabnya sendiri dalam tindakan-tindakan yang
diambil untuk mempertahankan kesehatannya".
Sesungguhnya hak atas informasi ini sudah diatur secara formal walupun
pada tahun 1981 dengan diterbitkannya peraturan pemerintah tentang bedah mayat
klinis dan bedah mayat anatomis serta transpiantasi alat dan atau jaringan tubuh.
Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi: "Sebelum persetujuan
tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon
donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh
dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi,
akibat-akibatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi". Kemudian
ayat (2 )pasal ini memuat ketentuan bahwa "Dokter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari
sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut".
'
Hak atas informasi, kalau tidak mau disebut "informed consent" anno 1981
dan anno 1989 mengandung beberapa perbedaan. Pertamaa, hanya mengatur
pemberian persetujuan mengenai pencangkokan alat dan jaringan tubuh yang
91
bersifat khusus, sedangkan yang disebut terakhir mengenai pemberian persetujuan
yang bersifat umum. Kedua, saat situasi dan urgensi penerbitan peraturan kedua
peraturan perundang-undangan tersebut jauh berbeda. Yang pertama berlangsung
dalam suasana yang relatif tenang, sedangkan yang kedua sarat dengan kasus
(Muhidin di Sukabumi, Adriani di Jakarta dan sebagainya). Ketiga, sanksi
terhadap pelanggaran pada yang satu lebih bersifat hukum pokok (hukum pidana,
perdata), sedangkan bagi yang lain hanya bersifat hukum tata-tertib.
3. Hak-hak Atas Keutuhan Tubuh
Manusia adalah jiwa, roh dan badan. Ia merupakan suatu kesatuan. Kita
tidak dapat berbicara mengenai manusia hanya tubuhnya dan tidak pula hanya roh
dan jiwanya. Dengan kata lain tubuh manusia ikut menentukan keberadaan
individu sebagai manusia. Dalam makna tersebut dapat disimpulkan bahwa
manusia tidak memiliki tubuhnya, melainkan ia adalah tubuh itu sendiri dan tubuh
ini pada hakikatnya menempatkan manusia dalam ruang dan waktu. Dengan
tubuh tersebut manusia dikenal oleh sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa
ketubuhan
manusia
mempunyai
nilai
besar
dimata
hukum.
Sesungguhnya relasi antara tubuh dan jiwa sejak dahulu merupakan problematik
filosofis yang utama.
Kenyataan bahwa manusia adalah tubuhnya tidak mengurangi peristiwa
bahwa selaku demikian secara holistik ia juga mempunyat aspek kebendaan, suatu
barang, yang dapat dimiliki. Strasser, dalam tulisannya "Bouwstenen voor een
filosofische anthropologie, 1965, 33 e.v."), mengemukakan bahwa manusia
mengalami dan menjalani tubuhnya melalui cara baik "quasi-objectief" maupun
"quasisubjectief". Dalam sudut pandangan objectif maka tubuh bagi manusia
92
merupakan sesuatu obyek yang dapat diikhtiarkan umtuk dikuasai . Namun,
tubuh dapat dipandang pula secara subjektif, karena ia adalah "het vehikel van
onrc intentionele acten". ia memberikan peluamg bagi manusia untuk menjadi
manusia.
Dalam ilmu pengetahuan hukum maka posisi yuridis tubuh manusia merupakan
materi pengkajian dan diskusi. Bukankah didalam lalu-lintas hukum tubuh
manusia ini mernpunyai posisi khusus? Sejajar denigan pertanyaan apakah
manusia adalah atau mempunyai tubuhnya, maka pada satu sisi tubuh ini
dipandang sebagai "benda berwujud", yang dapat menjadi obyek eigendom, pada
sisi lain ia merupakan bagian (atau pernah nrerupakan bagian) pribadi manusia,
sehingga ia dibedakan dari benda-benda lain yang beredar
dalam lalu lintas
hukum. Sebagai analogi dengan eigendom maka tampak dari manusia dapat
menentukan nasib tubuhnya. Misalnya menjalani atau menolak pengobatan dan
perawatan medik, menyerahkan organ-organ tertentu untuk maksud dan tujuan
transplantasi pada masa hidupnya (misalnya organ berpasangan seperti ginjal),
maupun setelah ia mati (misalnya ginjal, selaput bening atau kornea, jantung),
menyumbangkan darah atau sperma, menjual rambut, bahkan menghibahkan
tubuhnya pascamati kepada sebuah laboratorium anatomis untuk maksud dan
tujuan ilmiah. Selain itu manusia dapat menetapkan cara pengurusan tubuh
tersebut setelah ia meninggal dunia dikuburkan atau dikremasikan. Disini tampak
pula adanya kesejajaran dengan ketentuan-ketentuan hukum waris. Walaupun
demikian tubuh tersebut tidak sirna dengan benda-benda lain.
Kenyataan bahwa tubuh ikut membentuk atau telah membentuk pribadi
manusia, maka diletakkan pula pembatasan dalam memiliki tubuh tersebut.
93
Dengan demikian penghibahan jenazah kepada sebuah laboratorium anatomi
merupakan sesuatu yang terpuji, namun akan sangat bertentangan dengan asas
kepatutan dan kesucian untuk menyerahkan tubuh kepada sebuah kebun binatang
sebagai makanan bagi binatang-binatang buas.
Sesungguhnya tubuh manusia memainkan peran penting dalam pelayanan
kesehatan. Dengan sendirinya hak menentukan nasib sendiri tentang tubuh timbul
kepermukaan, misalnya mengizinkan tindakan-tindakan medik atas tubuh,
sedangkan permasalahan inseminasi buatan, sterilisasi, transeksualitas, eutanasia,
dan sebagainya maka hak menentukan nasib sendiri atas tubuh merupakan salah
satu inti permasalahan.
Dalam rangka donasi organ-organ, maka Dierkons dalam kaitan ini
mengutarakan dalam bukunya "Lichaam en lijk" bahwa donor tidak boleh
mengorbankan kehidupan dan kesehatannya untuk kepentingan pasien dan bahwa
dokter dalam hubungan ini hanya boleh bertindak bila ia tidak menghadapi resiko
kehilangan
donor
sebagaimana
harapannya
memenangkan
pasiennya.
Permasalahan lain yang berhubungan dengan hak atas keutuhan tubuh adalah hak
untuk mengurung diri sendiri
dan hak untuk mati, yang juga menyangkut
kekuasaan atas tubuh sendiri.
Kekuasaan orang lain atas tubuh tanpa izin orang yang bersangkutan
sangat terbatas jumlahnya. Para orang tua rnisalnya mempunyai kekuasaan orang
tua atas anak-anak mereka yang belum dewasa, namun mereka tidak mempunyai
kekuasaan memiliki tubuh anak-anak yang disebut tadi. Penguasa pun hanya
memiliki kekuasaan terbatas atas keutuhan tubuh para warganegaranya. Namun
untuk itu harus ada alasan-alasan khusus. Contoh, Undang-undang Pembasmian
94
Penyakit menular, ketentuan-ketentuan pengurusan jenazah di Amerika Serikat
misalnya tes darah wajib untuk pengemudi, dan sebagainya.
Dalam pelayanan kesehatan istilah penentuan nasib sendiri hanya muncul
kepermukaan secara sporadis. Pada umumnya dipakai istilah wajib wafak yang
mempunyai muatan yuridis yang tegas. Yang dimaksudkan dengan wajib wafak
ialah kewajiban pasien untuk membiarkan dirinya mengalami tindakan-tindakan
medik untuk mempertahankan kesehatannya. Di samping kewajiban tersebut
pasien mewafak banyak hal satu dan lain karena ketidaktahuan atau
kebelumdewasaan, sehingga dalam kenyataannya melebihi yang diperlukan,
seperti waktu tunggu yang panjang dan tindakan-tindakan kekanak-kanakan.
Namun ia sama sekali tidak menyadari hal tersebut dan ia menyesuaikan diri
dengan keadaan tersebut tanpa mengeluh. Dapat dikemukakan disini bahwa dalam
praktek pasien sedikit sekali menggunakan hak. Tidak ada pihak-pihak, termasuk
para penyelenggara pelayanan kesehatan, yang datang kesisi ranjang pasien untuk
memberitahukan hal tersebut.
Untuk menentukan apa yang akan dilakukan atas tubuh seseorang, maka
pertarna-tama diperlukan informasi. Bagaimana seseorang dapat menentukan apa
yang ia ingini atau tidak menghendakinya lagi, jika ia tidak mengetahui apa yang
menjadi permasalahan, bila ia tidak diberi informasi mengenai diagnosis, terapi
dan lain-lain. Tambahan pula selain terhadap pasien hak ini berperan pula bagi
lingkungan sang pasien (keluarga dekat, mitrakawin, apalagi hal-hal tersebut
menyangkut pasien-pasien tua-renta, anak-anak dan pasien koma). Jika kepada
pasien dan para dokter pada umumnya sangat hemat dengan informasi, maka
penyuluhan terhadap kaum keluarga pasien hanya ala kadarnya saja.
95
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa sekalipun pasien telah diberikan informasi
secara memadai namun harus ada pendamping agar dapat membentuk dan
mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka ia tidak akan
mengandalkan hak menentukan nasib sendiri yang ia miliki. Dokter dan
penyelenggara pelayanan medik lainnya pun tampaknya tidak memberikan pasien
hak
menentukan
nasibnya.
Mereka
pun
menghadapi
kendala,
bukan
menganggapnya sebagai ancaman. Pada umumnya dokter bukan penyuluh yang
baik padahal pemberian informasi yang memadai diikuti oleh pendamping
membantu pasien menerapkan hak menentukan nasib sendiri. Dalam situasi dan
kondisi tertentu dokter menghadapi permasalahan internal tentang apa yang
menurutnya layak dan dapat dipertanggungjawabkan. Dapat saja terjadi bahwa
dengan memegang teguh keyakinannya sendiri, secara etis ia dimintakan untuk
tidak saja melakukan tindakan medik tertentu, melainkan hal itu merupakan alasan
baginya untuk tidak merujuk lebih lanjut ke instansi penyelenggara pelayanan
kesehatan lainnya. Dengan demikian pada hakikatnya ia telah menutup pintu
pasien ke arah pernanfaatan hak menentukan nasib sendiri.
Salah satu kelemahan yang nampak dalam bidang ini ialah kurangnya
koordinasi dan kerjasama antara berbagai disiplin dan keahlian satu dengan yang
lain pada satu sisi, dan kurang diadakannya kontak langsung dengan pasien
berikut keluarganya. Akhirnya perlu disimak pula hal-ikhwal yang berkaitan
dengan tanggungjawab penyelenggara pelayanan medik, baik yuridis maupun etis.
4. Hak atas Kepasinian (privacy)
Kepasinian dapat dirumuskan sebagai kebebasan pribadi individu untuk
mengasingkan diri dari pergaulan hidup untuk berada dalam kalangan keluarga
96
sendiri atau berada sendirian sebatang kara. Pengisolasian diri inilah yang dicari
secara sukarela dan untuk sementara waktu oleh individu atau kelompok manusia.
Dalam pemisahan diri dari kalangan dan khalayak inilah, yang menurut Westin
(1970) dan beberapa peneliti, merupakan saripati pengertian kepasinian (privacy).
Saat ini pengertian kepasinian pada umumnya telah diberikan fungsifungsi positif. Salah satu ialah bahwa dengan mengundurkan diri untuk sementara
waktu atau hidup sebatang kara, terciptalah peluang untuk membebaskan diri dari
ketegangan- ketegangan emosional kehidupan sosial dan berbagai peran yang
dimainkan individu bersangkutan, mengharuskannya terpenuhi bermacam-macam
persyaratan, antara lain terus-menerus membulatkan tekad, kewaspadaan dan
sebagainya. Selama ia berada dalam pengasingan ia dapat men"charge" kembali
dirinya dengan memperoleh kekuatan baru dan gairah kerja yang meluap-luap.
Kepasinian yang dialami seperli ini merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan
Gejala kepasinian (privacy) ini ditandai dan diwarnai suatu proses materiil
dan non materiil. Yang menyangkut sisi non materiil disini ialah upaya
melindungi suasana kehidupan pribadi yang berhubungan dengan kesehatan, pola
hidup seseorang dan pendirian serta keyakinannya terhadap campur tangan pihak
ketiga yang tidak diingini. Sedangkan sisi materil terangkat dalam bentuk
kebutuhan dapat menarik diri untuk sementara waktu dalam suasana ruang dan
peluang yang memadai.
Kepasinian dan penentuan nasib sendiri, terkait erat satu dengan yang
lain. Inti hak atas kepasinian adalah hak atas khalwat, pengasingan diri ditempat
yang sunyi untuk menenangkan pikiran, menyepikan diri ditempat yang sunyi.
Bahkan hak atas kepasinian ini dalam pelayanan kesehatan terangkat ke
97
permukaan dalam suatu situasi hukum, yang melindungi individu dan keyakinan
pribadinya. Sebagai ajaran panutan diakui bahwa perlu dijunjung tinggi agar
setiap orang dapat mempercayakan sesuatu kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan atau instansi yang memberikan pelayanan kesehatan. Dasar hukum
tersebut meletakkan kewajiban diatas pundak dokter dan mitra kerjanya pada satu
sisi dan berbagai sarana kesehatan pada sisi lain. Mengenai hal ini diatur juga
dalam KUHP Pasal 322 yang berbunyi: "Barangsiapa sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang
maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Dapat dikemukakan disini bahwa karena rahasia tersebut adalah hak milik
pasien
sehingga ia dapat membebaskan dokter dari kewajiban berdiam diri,
setidak-tidaknya mengenai hal-ikhwal yang menyangkut kepentingannya. Namun,
bilamana dokter mengetahui bahwa pasien telah memberikan persetujuannya tidak
berdasarkan alasan-alasan yang memadai, maka kewajiban menyimpan rahasia
dokter tetap berlaku, karena pasien tidak dapat membebaskan dokter dari
kewajiban yuridisnya. Dalam situasi dan kondisi tertentu tanpa kewajiban yuridis
atau persetujuan pasien tampaknya kewajiban berdiam diri dokter dapat gugur.
Hal tersebut dapat terjadi demi kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Contoh kepentingan pribadi disini adalah pasien sakit ayan tinggal sebatang kara,
sedangkan contoh kepentingan umum disini ialah seorang pasien sedang
mengadakan rencana pembunuhan yang diketahui dokter. Kalau
kewajiban
yuridis rahasia profesi tetap ditetapkan pembuat undang-undang, kepentingan
mana yang harus dijunjung tinggi, maka dalam situasi dan kondisi seperti ini
98
timbang-menimbang antara kepentingan-kepentingan harus dilakukan sendiri oleh
pihak yang dibebani kewajiban. Dalam hal ini terjadi benturan antara dua
kepentingan tampaknya dokter harus mencari jalan keluar melalui etika medik.
Namun bagaimanapun juga keputusan ada ditangan dokter yang berhak
menerobos rahasia profesinya jika dalam mempertahankan kewajibannya tersebut
ada kekhawatiran terjadinya akibat-akibat yang dapat merugikan pasien, pihak
ketiga maupun kepentingan umum.
Dalam kerangka benturan antara berbagai kewajiban dapat pula diajukan
disini permasalahan khusus ialah pemberian keterangan kepada pihak kepolisian.
Demi kepentingan penyidikan misalnya dapat saja terjadi bahwa pihak kepolisian
mendatangi rumah sakit untuk memperoleh keterangan mengenai seseorang yang
diopname, katakan saja karena luka. Aturan dasar disini ialah bahwa dokter yang
mengobati dan merawat tidak boleh memberikan keterangan kepada polisi,
mengenai keberadaan seseorang dalam rumah sakit.
Pada dasarnya para pasien harus dapat mendatangi dokter dan rumah sakit
tanpa kekhawatiran untuk ditangkap. Rahasia profesi berada diatas penyidikan
kepolisian, yang merupakan salah satu latar belakang pengaturan kewajiban
berdiam diri dan hak untuk mengundurkan diri selaku saksi. Oleh karena itu,
pihak kepolisian harus tunduk pada aturan tersebut dan tidak berikhtiar
memperoleh keterangan mengenai kehadiran seseorang di rumah sakit atau
keadaannya melalui karyawan rumah sakit. Kepada karyawan rumah sakit harus
diinstruksikan untuk tidak memberikan keterangan yang berkaitan dengan apa
yang tersebut di atas kepada polisi. Pihak kepolisian harus mendatangi dokter
yang mengobati dan merawat, yang harus mengadakan timbang-menimbang
99
antara benturan berbagai kewajiban yang dihadapinya. Di negeri Belanda sendiri
hal tersebut dipecahkan dengan jalan menyerahkan persoalan tersebut kepada
kejaksaan dan bukan kepada pihak kepolisian. Dalam hal tertentu dokter dapat
memberikan keterangan kepada dokter yang telah ditunjuk oleh pihak kepolisian,
asalkan identitas orang yang bersangkutan sudah diketahui polisi. Bagaimanapun
juga hal tersebut tetap merupakan pengungkapan rahasia profesi, sekalipun dalam
benturan berbagai kewajiban sebagai pegangan, pada umumnya dokter akan luput
dari tuntutan. Tidak pula tertutup kemungkinan bahwa pasien sebagai pemilik
rahasia tersebut memberi persetujuan untuk memberikan keterangan kepada
polisi, maka dalam hal ini dokter berhak memberikannya.
Pembukaan rahasia disini mempunyai sifat yang sama sekali lain.
Kenyataan bahwa dokter memberikan keterangan-keteranaan mengenai pasien
kepada dokter-dokter lain, bagi rahasia profesi hal tersebut tidak mernpunyai
makna sama sekali, satu dan lain karena dokter tersebut juga berkewajiban
berdiam diri terhadap para teman sejawatnya. Bagaimanapun juga dalam penilaian
mutu pelayanan kesehatan sang dokter, hal tersebut diperlukan dan dalam kaitan
ini tidak dapat dicegah bahwa beberapa data pasien diungkapkan. Dengan
demikian, para dokter yang berperanserta pada "medical audit" tersebut memiliki
rahasia profesi sendiri. Penerobosan rahasia profesi oleh dokter yang mengobati
dan merawat pasien dalam forum "medical audit", selama tidak ada peraturan
perundang-undangan untuk itu, mempunyai sifat adanya pertentangan antara
berbagai kewajiban yang dihadapi dokter.
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Right to self determination tidak bisa menjadi dasar untuk pembenaran
praktek euthanasia bukan pelanggaran hak asasi manusia. Pada prinsipnya
seorang pasien yang dalam keadaan koma atau kritis tidak berdaya, tidak bisa
mempertahankan hak-haknya dan mengajukan pilihan hukum. Posisi yang
lemah (bargaining power) dari pasien rentan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan oleh dokter.
2. Keterkaitan etika kedokteran dan HAM terutama menyangkut kewenangan
dari dokter untuk menerapkan etika kedokteran atau perlindungan hak-hak
asasi manusia pasien dalam praktek euthanasia. Pilihan dari dokter itu
menentukan terlindungnya hak-hak hidup dari pasien. Kalau dokter memilih
untuk mengedepankan etika kedokteran maka hak-hak hidup dari pasien sulit
dilindungi.
3. Perlindungan hak asasi manusia terhadap pasien dalam praktek euthanasia
masih rentan dan belum jelas terutama menyangkut batasan-batasan
pelanggaran HAM yang dilanggar oleh dokter dan batasan-batasan
perlindungan terhadap pasien. Dalam praktek seringkali pasien menyerahkan
kepada keluarga untuk menentukan nasibnya. Sikap keluarga atau orang-orang
yang terdekat dari pasienlah yang sangat menentukan dilindunginya hak hidup
dari pasien atau tidak.
101
B. SARAN
1. Harusnya ada dana khusus baik dari Pemerintah, terutama Pemda untuk
meringankan beban keluarga bagi pasien yang menderita sakit parah.
2. Pemerintah harus segera menetapkan aturan mengenai euthanasia dalam
iusconstitutum.
102
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat. C.M. 2002. Euthanasia yang semakin Kontroversial. Medika/arsip/01
2002/top-1.htm.
Achadiat. C.M. 1996. dalam Suara Pembaharuan. 28 Nopember.
Anonimous. 1983. Grolier Academic Encyclopedia. Grolier International.
Anonimous. 2007. Undang-undang Hak Asasi Manusia. Penerbit. Visi Media.
Bertens. 2005. Etika. Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Budiarjo, M. 1987. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia, Jakarta.
Budiman. A. 1993. Posisi Tawar Menawar Rakyat Dalam Hak Asasi Manusia.
Jawa Pos. Selasa Pahing. 2 Februari
Effendi. H.A. M. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Hukum Nasional Dan
Hukum Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Gunawan. 1991. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Hadiwardoyo. P. 1989. Etika Medis. Jakarta: Pustaka filsafat.
Hilman, 2004. Euthanasia. Sebuah pemikiran. 1004/12/0801.htm
Karyadi. P.Y.2001. Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,Penerbit.
Media Pressindo.
Leenen. 1978. Rechten van mensen in de gezondheidszorg. Samson Uitgeverij
Alphen aan de Rijn/Brussel.
Mahasin. A. 1979. Hak-hak Asasi Manusia: Dari Konstitusional ke Persoalan
Struktural. PRISMA No. 12 Desember.
Notohamidjodjo. D. 1970. Demi Keadilan Dan Kemanusiaan. BPK. Gunung
Mulia. Jakarta.
Oemar. S. A. 1991. Etika Profesional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana
Dokter. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana. Ghalia Indonesia.
Prodjodikoro. W. 1977. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Sumur. Bandung.
Rahardjo. S. 1989. Asas-Asas Hukum Nasional. BPHN. Jakarta.
103
Runciman. W.H. 1972. The Three Dimension of Social Inequity, dalam Andree
Beteille (ed)., Social Inequality. Penguin Books. Englan.
Samil. R. S. 1994. Etika Kedokteran Indonesia (Kumpulan Naskah). Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sanit. A. 1985. Hak Asasi Manusia, Kelas dan Negara : Keperluan Akan Suatu
Mekanisme; KEADILAN No. 1 Tahun III.
Schuyt. C.J.M. 1980. Keadilan dan Efektifitas Dalam Pembangunan Kesempatan
Hidup, yang dikutip oleh T. Mulya Lubis, Pembangunan dan Hak-hak
Asasi Manusia. PRISMA No. 1.
Smith. H. 1995. The Religion of Man (Agama agama manusia). Diterjemahkan
oleh Yayasan Obor Indonesia.
Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Penerbit.
IND-Hill-Co. Jakarta.
Sunaryati. H. 1987. Peranan dan Kedudukan Azas-Azas Hukum Dalam Kerangka
Hukum Nasional. FH. UNPAR. Bandung.
Tengker. F. 2005. Hak Pasien. Penerbit. CV Mandar Maju. Jakarta.
Veronica. Ch 2005. Penyalahgunaan Euthanasia Pasif. 2005/0205/27/hikmah/
utama02.htm
William. J. R. 2006. Medical Ethics Manual. Sagiran. 2006 (alih Bahasa), Pusat
Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiya.
Yogyakarta.
Wiradharma. D. 1996. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.
Zaini. D. (Penerjemah). 2003. Qur,an Karim dan Terjemahan Artinya. UII Press.
Yogyakarta.
104
Download