BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1 Auditing
Auditing menurut Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke yang diterjemahkan
oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
“Auditing adalah proses pengumpulan, dan pengevaluasian bahan bukti tentang
informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan
oleh seorang yang kompeten dan independen untuk dapat melaporkan dan
menentukan kesesuaian informasi yang dimaksud yang dengan kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang
independen dan kompeten.”
Ditinjau dari sudut lain, Mulyadi (2002) meninjau dari sudut Akuntan publik,
yaitu:
“Auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu
perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan
keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material,
posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.”
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa ada beberapa hal yang penting dalam auditing, yaitu:
11
a. Seseorang yang melaksanakan audit (auditor) harus orang yang memiliki
kompeten dan independen
b. Seorang auditor harus melakukan pengumpulan informasi, dokumen
pendukung dan mengevaluasi bukti audit untuk mendukung opini nya.
c. Informasi-informasi yang dikumpulkan dan dievaluasi harus sesuai dengan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
d. Pemeriksaan atas laporan keuangan harus dilakukan secara objektif.
e. Hasil akhir dari pekerjaan auditor adalah laporan audit yang harus
disampaikan kepada para pengguna laporan.
II.1.1 Standar Auditing
Standar auditing berbeda dengan prosedur auditing, yaitu “prosedur” berkaitan
dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan “standar” berkaitan dengan
kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut, dan berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai melalui penggunaan prosedur tersebut. Standar auditing, yang berbeda
dengan prosedur auditing, berkaitan dengan tidak hanya kualitas pelaksanaan auditnya
dalam laporannya.
Standar auditing yang terlah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) adalah sebagai berikut:
1. Standar Umum
i) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
12
ii) Dalam semua hal yang berkaitan dengan perikatan, independensi dalam sikap
mental harus dipertahankan seorang auditor.
iii) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2. Standar Pekerja Lapangan
i) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika menggunakan asisiten
harus disupervisi dengan semestinya.
ii) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk
merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup penyajian yang
akan dilakukan.
iii) Bukit audit kompeten yang cukup harus diperoleh untuk merencanakan audit
dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan
3. Standar pelaporan
i) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun
dengan prinsip akuntansi umum yang berlaku di Indonesia
ii) Laporan
auditor
harus
menunjukan
atau
menyatakan,
jika
ada,
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi
tersebut dalam periode berikutnya.
iii) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor
iv) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian
tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat
13
diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor
dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat
petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika
ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
Standar – standat tersebut diatas dalam banyak hal saling berhubungan dan saling
bergantung satu dengan lainnya. Keadaan yang berhubunga dengan erat dengan
penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang
lain. “Materialitas” dan “risiko audit” melandasi penerapan semua standar auditing,
terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.
II.1.2 Kantor Akuntan Publik
Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah tempat penyediaan jasa profesi
akuntan publik bagi masyarakat. Sedangkan akuntan publik atau auditor adalah akuntan
yang berpraktik dalam KAP yang menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam SPAP
dan melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis, yang menyediakan
jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam SPAP.
Dalam melakukan jasanya, auditor harus berada dalam suatu badan hukum yang
biasa disebut KAP. Auditor dapat bertindak baik sebagai partner maupun sebagai
pegawai pemeriksa dalam KAP tersebut dan KAP dapat berbentuk KAP perseorangan,
yang terdiri dari seorang partner, maupun KAP persekutuan, yang terdiri dari beberapa
partner.
Pola umum dari struktur hirarki personal dalam KAP adalah sebagai berikut :
1. Partner,
2. Manajer,
14
3. Supervisor,
4. Auditor senior,
5. Auditor junior.
II.1.2.1 Kantor Akuntan Publik Berafiliasi
Di Indonesia peraturan mengenai kententuan KAP berafiliasi diatur oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 Tentanga Akuntan Publik
pasal 35 samapi pasal 37dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008
Tentang Jasa Akuntan Publik pasal 27 sampai pasal 29. Kantor akuntan publik
berafiliasi adalah kantor akuntan publik yang melakukan kerjasama secara langsung
dengan satu Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA).
Kerja sama yang dilakukan bersifat berkelanjutan yaitu tidak terbatas hanya
untuk penugasan tertentu yang dinyatakan dalam perjanjian kerja sama.kerja sama yang
dilakukan paling sedikit mencakup bidang jasa audit umum atas laporan keuangan yang
dinyatakan dalam perjanjian kerja sama. KAP yang melakukan kerja sama dengan
KAPA atau OAA dapat mencantumkan nama KAPA atau OAA bersama-sama dengan
nama KAP pada nama kantor, kepala surat, dokumen, dan media lainnya setelah
mendapat persetujuan Sekretaris Jenderal atas nama Menteri. Terdapat reviu mutu paling
sedikit sekali dalam 4 tahun oleh KAPA atau OAA yang dinyatakan dalam perjanjian
kerja sama. KAPAharus lolos syarat-syarat administratif terlebih dahulu sebelum bisa
melakukan kerja sama dengan KAP di Indonesia. KAP tidak boleh menggunakan nama
KAP atau OAA yang sedang digunakan oleh KAP lain.
Menteri dapat mencabut persetujuan pencantuman nama KAPA atau OAA
apabila kerja sama antara KAP dengan KAPA atau OAA berakhir, status terdaftar
15
KAPA atau OAA dibekukan, atau setatus terdaftar KAPA atau OAA dibatalkan.
Sturktur hirarki dan jasa yang diberikan oleh KAPA tidak berbeda dengan jasa yang
diberikan KAP.
II.1.3 Bukti Audit
Mulyadi (2002) mendefinisikan bukti audit sebagai :
“Segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan, yang dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar
menyatakan pendapatnya. Bukti audit yang mendukung laporan keuangan terdiri
dari data akuntansi dan semua informasi penguat (corroborating information) yang
tersedia bagi auditor.”
Menurut Arens, Elder dan Beasley (2005 : 162) mendefinisikan bukti audit
sebagai “informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi
kuantitatif yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan”.
Luasnya informasi sangat bervariasi dalam meyakinkan auditor apakah laporan
keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bahan bukti
mencakup informasi yang meyakinkan seperti perhitungan auditor atas efek-efek
(marketable securities) dan informasi yang kurang meyakinkan seperti jawaban
pegawain perusahaan klien atas pernyataan yang diajukan. Penggunaan bahan bukti
tidak hanya khusus dilakukan oleh auditor. Bahan bukti juga digunakan secara ekstensif
oleh ilmuwan, pengacara dan sejarawan.
II.1.3.1 Hubungan Bukti Audit dengan Materialitas
16
Materialitas merupakan satu di antara faktor yang mempengaruhi pertimbangan
auditor tentang kecukupan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun
material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas maka semakin
besar jumlah bukti yang diperlukan dan begitu juga sebaliknya. Semakin besar atau
semakin signifikan suatu saldo akun, semakin banyak jumlah bukti yang diperlukan.
II.2 Profesionalisme
Dalam kamus kata – kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia, karangaan JS
Badudu (2003), definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata
profesional sendiri berarti (1) bersifat profesi (2) memiliki keahlian dan keterampilan
karena pendidikan dan latihan, (3) beroleh bayaran karena keahlian nya itu. Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua kriteria pokok, yaitu
keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan. Perilaku profesionalisme merupakan cerminan dari sikap profesionalisme,
demikian pula sebaliknya sikap profesionalisme tercermin dari perilaku yang
profesional.
Hall R (1968) mengemukakan terdapat lima dimensi profesionalisme yaitu
meliputi :
1. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional
melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah
ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan
didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar sebagai alat untuk
17
mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi, dan
sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan
kemudian kepuasan material.
2. Kewajiban sosial (Social Obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya peran
profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh
profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian (Autonomy Demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang
profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak
lain.
4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (Belief in self-regulation), yaitu suatu
keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah
rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi
dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5. Hubungan dengan sesama profesi (Profesional Community Affiliation), berarti
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan
kelompok – kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan.
Melalui ikatan profesi ini para profesional ini membangun kesadarannya.
Berdasarakan kelima dimensi profesionalisme tersebut, seorang auditor
membangun sikap profesionalisme mereka agar dapat memenuhi kewajiban mereka
dengan baik dan sungguh – sungguh.
II.2.1 Profesionalisme dalam Standar Auditing
18
Didalam standar auditing yang terdapat pada Standar Profesional Akuntan Publik
menyatakan bahwa : “Dalam Pelaksanan audit dan penyusunan laporannya, auditor
wajib menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama (SPAP :2011)”
Pernyataan diatas menunjukan bahwa dalam setiap kegiatan pelaksanaan audit termasuk
penentuan materialitas setiap auditor diwajibkan untuk menggunakan kemahiran
profesional nya. Ini membuktikan bahwa profesionalisme sangat berperan besar dalam
kegiatan audit laporan keuangan.
II.2.2 Etika Profesi
Jika berbicara mengenai profesionalisme, maka sangat erat kaitannya nya
dengan etika profesi. Menurut Arens & Loebbecke (2003 : 71) Etika secara umum
didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Masing masing orang memiliki
perangkat niliai, sekalipun tidak dapat diungkapkan seara eksplisit.
Dalam usaha untuk mewujudkan perilaku profesional akuntan publik memiliki
cara untuk mewujudkannnya melalui Ikatan Akuntan Indonesia membuat “Kode Etik
Akuntan Indonesia”. Kode etik tersebut dibuat untuk menerapkan standar perilaku bagi
para akuntan, terutama akuntan publik.
II.2.3 Kecakapan Profesional Akuntan Publik
Mulyadi (2002) dalam Kode Etik Akuntan Indonesia Bab II kecakapan
profesional dicantumkan dua pasal. Pasal 2 dalam kode etik tersebut mengatur:
1. Kewajiban baik setiap anggota IAI untuk melaksanakan pekerjaannya
berdasarkan standar profesional yang berlaku bagi pekerjaannya tersebut.
19
2. Kewajiban bagi setiap anggota IAI untuk mengikat orang orang lain yang bekerja
dalam pelaksanaan tugas profesionalnya untuk mematuhi Kode Etik Akuntan
Indonesia.
3. Kewajiban bagi setiap anggota IAI untuk senantiasa meningkatkan kecakapan
profesionalnya.
4. Kewajiban untuk menolak setiap penugasan yang tidak sesuai dengan kecakapan
profesionalnya.
II.3 Materialitas
Boynton, Johnson & Kell (2001:286) dalam bukunya mendefinisikan materialitas
sebagai berikut :
“The magnitude of an amission or misstatement of accounting information that, in the
light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgement of reasonable
person relying on the information would have been change or influenced by the omission
or misstatement”
Definisi lain dari materialitas menurut Arens & Loebbecke (2003:42) dalam
bukunya yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf mendefinisikan materialitas sebagai
berikut :
“Suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas
salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang
rasional”
Mulyadi (2002) mendefinisikan materialitas sebagai berikut:
20
“Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi,
yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas
atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap
informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.”
Berdasarkan definisi – definisi diatas dapat disimpulkan bahwa materialitas
adalah besaran jumlah nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana
salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat
mempengaruhi keputusan para pegguna laporan keuangan.
Dalam audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan
bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan
adalah akurat. Auditor tidak dapat memberikan jaminan karena ia tidak memeriksa
setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan
apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan
dikompilasi secara semestinya ke dalam laporan keuangan. Jika auditor diharuskan
untuk memberikan mengenai keakuratan laporan keuangan, hal ini tidak mungkin
dilakukan karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi manfaat yang
dihasilkan. Disamping itu tidaklah mungkin seseorang menyatakan keakuratan laporan
keuangan, mengingat bahwa laporan keuangan sendiri berisi pendapat, estimasi, dan
pertimbangan dalam proses penyusunannya, yang seringkali pendapat, estimasi dan
pertimbangan tersebut tidak tepat atau akurat seratus persen.
Oleh karena itu menurut Mulyadi (2002), dalam audit atas laporan keuangan,
auditor memberikan jasa assurance berikut ini :
21
1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah – jumlah yang disajikan
dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas,
digolongkan dan dikompilasi.
2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit
kompeten yang cukup sebahgai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas
laporan keuangan auditan.
3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat, bahwa laporan
keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji
material karena kekeliruan dan ketidakberesan.
II.3.1 Langkah – langkah dalam Penentuan Tingkat Materialitas
Dalam melakukan penentuan tingkat materialitas maka diperlukan langkah yang
sistematis agar proses yang dilakukan dapat efektif dan effisien. Di dalam bukunya
Arens & Loebbecke (2003) menggambarkan bagaimana langkah – langkah yang
dilakukan oleh auditor dalam menentuan tingkat materialitas pada proses audit laporan
keuangan
Tabel 2.1 Langkah Penentuan Materialitas
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Langkah 5
Tentukan pertimbangan awal mengenai
materialitas
Alokasi pertimbangan awal mengenai
materialitas kedalam segmen
Estimasikan total salah saji didalam
segmen
Estimasikan salah saji gabungan
Bandingkan estimasi dengan
pertimbangan awal materialitas
Perencanaan
Pelaksanaan
Audit
22
II.3.2 Tingkat Materialitas
Dalam menerapkan definisi diatas, menurut Arrens & Loebbecke (2003 : 42)
digunakan tiga tingkatan materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang
harus dibuat. Tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jumlahnya Tidak Material
Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak
mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak
material. Dalam hal ini pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan.
2. Jumlahnya Material Tetapi Tidak Mengganggu Laporan Keuangan Secara
Keseluruhan
Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan
keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan
keuangan tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Untuk
memastikan materialitas jika terdapat kondisi yang menghendaki adanya
penyuimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian, auditor harus
mengevaluasi segala pengaruhnya terhadap laporan keuangan,
3. Jumlah Sangat Material atau Pengaruhnya Sangat Meluas Sehingga
Kewajaran Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Diragukan
Tingkat materialitas tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat
keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara
keseluruhan. Dalam kondisi kesalahan sangat material, auditor harus
memberikan pernyataan tidak memberi pendapat atau pendapat tidak wajar,
tergantung pada kondisi yang ada. Dalam menentukan materialitas suatu
23
pengecualian,
harus
dipertimbangkan
sejauh
mana
pegeceualian
itu
mempengaruhi bagian – bagian lain laporan keuangan. Ini disebut kemeluasan
(pervasiveness). Salah klasifikasi antara kas dan piutang hanya akan
mempengaruhi dua akun itu dan oleh karenanya tidak mempengaruhi akun lain.
Di pihak lain, kelalaian mencatat penjualan yang material sangat akan
mempengaruhi penjualan, piutang usaha, beban pajak penghasilan, utang pajak
penghasilan, dan laba ditahan yang pada gilirannya mempengaruhi aktiva lancer,
total aktiva, kewajiban lancer, total kewajiban, kekayaan pemilik marjin kotor
dan laba operasi. Semakin meluas pengaruh suatu salah saji, kemungkinan untuk
menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada pendapat wajar
dengan pengecualian. Selain itu, tanpa mempedulikan berapa jumlah materialitas
nya, pernyataan untuk tidak memberikan pendapat harus diberikan apabila
auditor tidak independen. Ketentuan ketat ini mencerminkan betapa pentingnya
independensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor.
II.3.3 Pertimbangan Awal Tentang Materialitas
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam
perencanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan
materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang
digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan
audit karena keadaan yang melingkupi berubah, informasi tambahan tentang klien dapat
diperoleh selama berlangsungnya audit.
24
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif.
Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubugan salah saji dengan jumlah kunci
tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab
salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif
material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut. Berikut ini adalah
contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor dalam
memepertimbangkan materialitas.
II.3.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Awal Materialitas
Menurut Mulyadi (2002) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan
materialitas pada dua tingkat berikut ini:
a.
Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup
laporan keuangan sebagai keseluruhan
b.
Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai
kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang
materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini:
Materialitas pada tingkat laporan keuangan, auditor menggunakan dua cara
dalam menerapkan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat
mengevaluasi bukti audit dalam pelaksaaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor
perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara
jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah
pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.
25
Oleh karena itu auditor haru mempertimbangkan dengan baik penaksiran
materialitas pada tahap perencaan audit. Jika auditor menentukan jumlah rupiah
materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang
sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya, jika auditor mnentukan jumlah rupiah
materialitas terlalu tinggi, auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga
ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang berisi
salah saji material.
Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi
kekeliruan atau ketidakberesan yang dampaknya, secara individual atau secara
gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan
keuangan tesebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Dalam keadaan
ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi
berterima umum, penympangan dari fakta, atau penghilang informasi yang diperlukan.
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu
tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap
laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan
laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha,
laba bersih sebelum pajak, atau laba bershi setelah pakal. Untuk neraca, materialitas
dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham.
Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor
menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai
contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp 2 juta untuk laporan
laba-rugi dan Rp 4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini,
26
auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit
karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp 4 juta juga berdampak terhadap laporan
laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk mencapai
tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang
terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar
pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena laporan keuangan adalah saling
berhubungan satu dengan lainnya, banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari
satu laporan keuangan.
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai
dengan Sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut
dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternative,
pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang
telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, sepeti keadaan ekonomi umum
dan trend industri.
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan
contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:
a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah
saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.
b. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah
saji ½% sampai 1% dari total aktiva.
c. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah
saji 1% dari pasiva
27
d. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah
saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto
Materialitas pada tingkat saldo akun, Meskipun auditor memberikan pendapat
atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap
akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai
dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keunagan auditee. Oleh karena itu,
taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akunakun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang
dialokasikan ke akun-akun laporan keuangan secara individual ini dikenal dengan
sebutan salah saji yang dapat diterima ( tolerate misstatement) untuk akun tertentu.
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin
terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep
materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo
akun material. Saldo akun material adalah ukuran saldo akun yang tercatat, sedangkan
konsep materialitas berkatidan dengan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan
pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan
batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan
saldo yang jauh lebih kecil dibangdingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai
tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji
dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari
oleh auditor, bahwa akun yang kelugatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang
saji (understatement) yang melampaui materialitasnya.
28
Dalam memeprtimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus
mempertimbakan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan
keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna
mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika
digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap
laporan keuangan secara keseluruhan.
II.3.4 Keputusan Mengenai Materialitas
Sebagai konsep, pengaruh materialitas terhadap jenis opini yang diberikan
mudah sekali ditetapkan. Dalam penerapannya, mempertimbangkan materialitas dalam
situasi tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada petunjuk sederhana dan jelas
yang dapat membantu auditor untuk memutuskan apakah sesuatu tidak material,
material, atau sangat material.
Terdapat perbedaan dalam menerapkan materialitas untuk memutuskan apakah
kegagalan mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum berdampak material
dibandingkan dengan memutuskan apakah pembatasan lingkup berdampak material.
Berikut ini adalah pembahasan berkenaan dengan mengambiil keputusan materialitas
dalam dua situasi tersebut.
II.3.4.1 Kaitan Dengan Prinsip Akuntansi yang Berterima Umum
Jika seorang auditee tidak menerapkan prinsip akuntansi yang berlaku umum
dengan benar laporan audit dapat wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian,
29
atau tidak wajar, tergantung kepada materialitas dari penyimpangan tersebut. Harus
dipertimbangkan beberapa aspek dari materialitas.
Jumlah rupiah dibandingkan terhadap tolak ukur tertentu, Cara yang paling
lazim untuk mengukur materialitas, jika seorang klien telah menyimpang dari prinsip
akuntansi yang berlaku umum, adalah dengan membandingkan nilai uang dari kesalahan
di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji kealahan
di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji sebesar
Rp20 juta mungkin sangat berarti bagi perusahaan kecil, tetapi tidak bagi perusahaan
besar. Karena itu, salah saji yang terungkap harus dibandingkan terlebih dahulu terhadap
beberapa dasar ukuran sebelum keputusan dapat dibuat mengenai materialitas
penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum tersebut. Tolak ukur yang
lazim digunakan adalah laba bersih, jumlah aktiva lancar dan modal kerja.
Untuk mengevaluasi materialitas keseluruhan, auditor harus mencari semua salah
saji individual yang belum diperbaiki, yang bila digabungkan dapat menimbulkan
pengaruh yang cukup berarti terhadap laporan keuangan.
Pada saat membandingkan salah saji potensial dengan tolak ukuru tertentu,
auditor harus mempertimbangkan dengan hati-hati semua akun yang dipengaruhi oleh
suatu salah saji.
Daya ukur, Nilai uang yang terkandung pada beberapa salah saji tidak dapat
diukur secara akurat. Sebagai contoh, keengganan klien untuk mengungkapkan adanya
gugatan hukum atau akuisisi perusahaan anak yang baru setelah tanggal penutupan
neraca sulit atau malah tdak mungkin, untuk diukur dalam nilai uang. Tingkatan
materialitas harus dievaluasi auditor dalam situasi semacam ini bergantung pada
30
pengaruh dari tidak diungkapkannya penjelasan tersebut untuk membantu keputusan
yang dibuat oleh pada pemakai laporan keuangan.
Sifat salah saji, Keputusan para pemakai laporan keuangan dapat pula
dipengaruhi oleh jenis salah saji yang terdapat di dalam laporan keuangan. Salah saji
berikut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan, dan demikian juga
akan mempengaruhi pendapat auditor, dengan cara yang berbeda dari salah saji yang
lazim terjadi.
1. Transaksi-transaksi adalah melanggar hukum.
2. Sesuatu pos yang dapat mempengaruhi periode mendatang, meskipun jumlahnya
tidak berarti jika hanya periode sekarang yang diperhitungkan.
3. Sesuatu yang menimbulkan akbat “psikis”.
4. Sesuatu yang dapat menimbulkan konsekuensi penting bila dibandingkan dari
segi kewajiban kontrak.
II.3.4.2 Kaitan Dengan Pembatasan Lingkup Audit
Besar kecilnya salah saji yang mungkin terjadi akibat pembatasan lingkup audit
penting untuk diperhatikan dalam menentukan jenis pendapat yang sesuai, yaitu apakah
laporan wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian atau pernyataan tidak
memberikan pendapat.
Umumnya jauh lebih sulit untuk mengevaluasi materialitas dari salah saji yang
diakibatkan adanya ruang lingkup audit daripada pelanggaran terhadap prinsip akuntansi
yang berlaku umum atau penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum secara tidak
31
konsisten dapat diketahui. Tetapi yang berasal dari pembatasan lingkup audit biasanya
harus diukur secara subjektif untuk melihat kemungkinan terjadinya salah saji.
II.4 Pengaruh Dimensi Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat
Materialitas
Dalam penelitian ini yang menjadi variable dependen adalah pertimbangan
tingkat materialitas. Penelitian ini akan membahas pengaruh dimensi profesionalisme
auditor terhadap pertimbangan materialitas yang dilakukannya. Dalam melakukan audit
dibutuhkan akurasi-akurasi prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila
mungkin meminimalkan unsur risiko dalam suatu audit. Disinilah sikap profesionalisme
auditor dibutuhkan dalam menentukan materialitas dari laporan keuangan yang diaudit.
Soekrisno Agoes (2007:125) dalam bukunya menerangkan sebagai berikut
materialitas dan risiko audit dipertimbangkan oleh auditor saat perencanaan dan
pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan standar auditing yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di dalam PSA No.25, sebagai berikut :
1. Risiko audit dan materialitas, bersama dengan hal-hal lain perlu dipertimbangkan
dalam menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit serta dalam mengevaluasi
hasil prosedur tersebut.
2. Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau
keseluruhan, adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, sedangkan beberapa
hal lainnya adalah tidak penting. Frasa “menyajikan secara wajar, dalam semua
hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
32
indonesia” menunjukan keyakinan auditor bahwa laporan keuangan secara
keseluruhan tidak mengandung salah saji material.
3. Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan
tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual maupun
keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan
tidak disajikan secara wajiar, dalam hal semua yang material, sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berterima umum. Salah saji dapat terjadi sebagai akibat
penerapan yang keliru prinsip akuntans tersebut, penyimpangan fakta, atau
dihilangkannya informasi yang diperlukan.
4. Dalam perencanaan audit, auditor berkepentingan dengan masalah – masalah
yang mungkin material terhadap laporan keuangan, auditor tidak bertanggung
jawab untuk merencakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan
memadai bahwa salah saji, yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan,
tidak material terhadap laporan keuangan
5. Pada waktu mempertimbangkan tanggung jawab auditor memperoleh keyakinan
memadai bahwa laporan keuangan bebas salah saji material, tidak ada perbedaan
penting antara kekeliruan dan kecurangan. Namun, terdapat perbedaan, dalam
hal tanggapan auditor terhadap salah saji yang terdeteksi. Umumnya kekeliruan
yang terisolasi, tidak material dalam pengolahan data akuntansi atau penerapan
prinsip akuntansi yang tidak signifikan terhadap audit. Sebaliknya, bila
kecurangan dideteksi, auditor harus mempertimbangkan implikasi integritas
manajemen atau karyawan dan kemungkinan dampaknya terhadap aspek audit.
6. Dalam mengambil kesimpulan mengenai materialitas dampak suatu salah saji,
secara
individual
ataupun
keseluruhan,
auditor
umumnya
harus
33
mempertimbangkan sifat dan jumlahnya dalam hubungan dengan sifat nilai pos
laporan keuangan yang sedang diaudit
7. Pertimbangan
auditor
mengenai
materialitas
merupakan
pertimbangan
profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki
pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan
keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan auditor
dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangkan kualitatif
dan kuantitatif.
Seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama saat melakukan proses audit dan penyusunan laporan keuangan. Untuk itu
seorang auditor harus membuat perencanaan audit sebelum memulai proses audit.
Auditor diharuskan menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak
langsung dapat dikatakan bahwa semakin seirang auditor itu profesional maka semakin
auditor tersebut dalam menentukan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor tersebut
dapat diukur melalui: pengabdiian auditor terhadap profesi, kesadaran auditor akan
kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan
dengan sesama profesi.
34
II.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya seperti ditunjukan berikut ini:
No
1.
Nama Peneliti
Hendro
Wahyudi dan
Aida
Ainul
Mardiyah
(2006)
2.
Syafina
Khairiah
(2009)
3.
Iftitah
Anggraini
(2010)
Judul Penelitian
Kesimpulan
Pengaruh
a. A.
hasil
penelitian
menunjukan
Profesionalisme
bahwapengabdian
pada
profesi
Auditor
Terhadap
mempunyai pengaruh yang signifikan
Tingkat
Materialitas
terhadap tingkat materialitas.
Dalam
Pemeriksaan
b. B. kewajiban sosial tidak mempunyai
Laporan Keuangan
pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat materialitas.
c. C. kemandirian mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat
materialitas
d. D. hasil penelitian menunjukan bahwa
kepercayaan
terhada
profesi
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat materialitas
e. E. hubungan dengan sesama profesi
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap
penentuan
tingkat
materialitas
Pengaruh
Profesionalisme
dan
pengalaman
Profesionalisme
dan auditor BPK perwakilan Sumatera Utara
Pengalaman
Auditor berpengaruh simultan dan parsial
BPK
Perwakilan terhadap tingkat materialitas laporan
Provinisi
Sumatera keuangan pemerintah
Utara
Terhadap
Tingkat
Materialitas
dalam
Pemeriksaan
Laporan
Keuangan
Pemerintah
Profesionalisme
Pengabdian
pada
profesi
dan
Auditor
Eksternal kemandirian berpengaruh positif dan
Terhadap
signifikan
terhadap
pertimbangan
Pertimbangan Tingkat tingkat
materialitas,
sedangkan
Materialitas
Untuk kewajiban sosial dan keyakinan
Tujuan Audit Laporan terhadap profesi berhubungan positif
Keuangan Klien (Studi dan signifikan terhadap pertimbangan
Empiris Pada KAP di tingkat materialitas.
Wilayah
Surabaya
Pusat dan Timur)
35
4.
Hasan
Basri (2011)
Pengaruh
Dimensi
Profesionalisme
Auditor
Terhadap
Pertimbangan Tingkat
Materialitas
Dalam
Proses
Pengauditan
Laporan
Keuangan
(studi empiris pada
auditor KAP Kota
Makassar)
Pengabdian pada profesi, kewajiban
sosial, kebutuhan untuk mandiri,
hubungan dengan sesama profesi dan
keyakinan terhadap peraturan profesi
tidak berpengaruh terhadp pertimbangan
tingkat materialitasi auditor kecuali
variabel kemandirian
II.6 Hipotesis
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang sejenis dan yang telah
disebutkan diatas, tinjauan teoritis, perumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka
hipotesis yang diajukan pada penelitian ini berdasarkan pemikiran atas hubungan
dimensi profesionalisme dengan pertimbangan materialitas :
H1 :
Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi
pengabdian pada profesi terhadap
H2 :
pertimbangan tingkat materialitas
Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi
pengabdian kewajiban sosial secara parsial terhadap pertimbangan tingkat
materialitas
H3 :
Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi
kemandirian terhadap pertimbangan tingkat materialitas
H4 :
Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi
keyakinan terhadap profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas
H5 :
Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi
hubungan dengan sesama profesi terhadap pertimbangan tingkat
materialitas
36
H6 :
Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan pengabdian profesi,
kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan
dengan sesama rekan seprofesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
II.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Pengabdian pada
profesi
Kewajiban sosial
Kemandirian
X
Y
Profesionalisme
Tingkat materialitas
Keyakinan terhadap
peraturan profesi
Hubungan dengan
sesama proesi
37
Download