Pendidikan Agama Kristen Protestan

advertisement
Pendidikan Agama
Kristen Protestan
Modul ke:
12
Fakultas
Psikologi
RENAISSANCE DAN
PERUBAHAN MENYELURUH
DALAM POLA PIKIR GEREJA
Program Studi
Psikologi
Drs. Sugeng Baskoro,M.M.
Latar Belakang
Sejak abad ke-14, landasan sebuah perubahan
menyeluruh telah terbentuk lewat beragam faktor.
Pertama, merebaknya nominalisme (kesejatian
penamaan) dan pengingkaran atas keberadaan
konseo-konsep universal di Inggris dan Perancis, yang
berperan efektif menjatuhkan dasar-dasar filsafat.
Kedua, percekcokan seputar filsafat alam Aristoteles di
Universitas Paris. Ketiga, gemerutu ketakselarasan
filsafat dan dogma-dogma Kristen, atau nalar dan
agama. Keempat, mencoloknya perseteruan antara
penguasa-penguasa masa itu dan otoritas-otoritas
Gereja, dan antar-otoritas Gereja sendiri terjadi
perselisihan yang berbuntut pada kemunculan
Protestantisme. Kelima, menggilanya humanisme dan
tendensi untuk berurusan dengan masalah-masalah
kehidupan manusia, sembari mencampakkan
masalah-masalah metafisika.

Dan akhirnya, keenam, pada pertengahan abad
ke-15, Kekaisaran Bizantium runtuh,
perubahan utuh (secara politik, filosofis,
kesusastraan, dan keagamaan) mencuat di
seluruh penjuru Eropa, dan lembaga-lembaga
kepausan diserang dari segala jurusan. Dalam
keadaan ini, filsafat skolastik yang lemah itu
pun menemui nasih akhirnya.


Pemikiran Politik Pada Masa Abad
Pertengahan di Eropa (Medieval Political
Theory in Europe)
Zaman pertengahan yang dimaksud di sini
dimulai sejak abad ke-13 sampai awal abad ke17 di Eropa, dimana terdapat garis yang jelas
antara teori politik pada masa itu. Hubungan
public pada masa ini banyak dicampuri oleh
gereja, dalam hal ini pola hubungan antara
kerajaan dan gereja. Namun, pada abad ke-18
terjadi reformasi yang cukup besar dimana
kalangan aristokrat tidak diperbolehkan
mengontrol gereja sama seperti mereka
mengontrol militer dan kekuatan politik masa
itu.

Hal di atas menujukkan sebuah revolusi
kepausan dalam sejarah Eropa dan
menyebabkan krisis kekuasaan antara gereja
dengan kerajaan. Sepanjang abad ke-13, sering
sekali terjadi konflik yang melibatkan Paus
Gregory VII dengan Raja Henry IV, termasuk
perubahan posisi antara Paus Innocent IV
dengan Raja Frederick II. Terjadi ketidak
pahaman mengenai konstitusi pemilihan Raja
dan pangeran terpilih, dan persetujuan Paus,
serta mengenai hubungan antara kerajaan
Inggris dengan kerajaan Perancis dan Spanyol.

Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi
kontroversi karena Paus memberikan
dukungan terhadap ‘mendicant orders’ dan hal
itu semakin meruncingkan oposisi dari uskup
dan pendeta. Juga terjadi sengketa antara
otoritas gereja peraturan sekuler apakah
pendeta dibebaskan dari pajak dan dari
pengadilan criminal umum, dan apakah uang
yang dikumpulkan oleh gereja lokal
seharusnya digunakan oleh kepausan untuk
membiayai pasukan Perang Salib melawan
Saracens tapi juga kampanye militer di Eropa.

Persengketaan semacam ini semakin
meruncing di akhir abad ke-13 ketika studi
mengenai hukum, filosofi, dan teologi berada
pada level yang tinggi. Sampai pada abad ke14, perdebatan yang rumit dan panjang terjadi
antara Paus Boniface VIII, Raja Philip dari
Perancis, Paus John XXII, Raja Roma ‘Ludwig
dari Bavaria’, orang-orang Perancis, dan
Universitas Perancis. Hal ini terjadi karena
pakar teologi menciptakan banyak sekali
perjanjian yang mengkhawatirkan hubungan
antara agama dan pemerintahan sekular,
konstitusi Gereja, konstitusi pemerintahan
sekuler, yang pada akhirnya berujung pada
hukum dan filosifi pengikut Aristoteles.
a. Separation: The Spiritual dan Temporal
Powers
 Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan
kekuasaan antara agama dan politik. Namun,
sejak awal abad pertengahan, sudah ada usaha
untuk memisahkan antara ‘priesthood’ dan
‘kingship’ di Eropa. Dua jenis kekuasaan ini
menjadi tidak setara dalam hal kedudukan,
karena yang menjadi teratas adalah kekuatan
spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja
bertindak untuk mensucikan gereja.


Ada satu hal yang menarik dalam hal
penyucian bagi gereja. Dimana secara eksplisit,
gereja memperbolehkan para pendeta
melakukan bunuh diri. Dengan kata lain,
gereja membiarkan adanya tindakan kekerasan
dalam peraturan gereja. Pendeta biasa saja
dipenjara oleh uskup tanpa izin dari
pemerintah sekuler.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa
dalam prakteknya ada pemisahan yang sangat
jelas antara kekuasaan dan peraturan gereja
dengan kerajaan. Kedua elemen inipun tidak
bisa saling mengintervensi satu sama lain,
walaupun dalam prakteknya kekuasaan gereja
sering melampaui kekuasaan raja.


b.
Subjection
Dalam gagasan lain, Gratian menyebut bahwa
paus sebenarnya sangat menikmati plentitudo
polestatis atau kekuasaan penuh. Hal ini bukan
berarti bahwa paus memiliki kekuasaan
tertinggi secara formal namun paus
merupakan sumber dari hukum gereja,
memiliki otoritas untuk mengintervensi secara
langsung urusan apa saja dan dimana saja
yang berkaitan dengan gereja.

Gagasan yang menyatakan bahwa paus bisa
menjalankan kekuasaan yang telah diberikan
oleh Kristus tidak menyalahi prinsip
pemisahan kekuasaan antara spiritual dan
kekuasaan duniawi, selama gagasan tersebut
diterima bahwa Kristus tirak memberikan
kekuasaan duniawi bagi gereja,

Paus menganggap bahwa gereja adalah
perpanjangan dari komunitas Kristen di dunia
dan paus sendiri adalah pemimpinnya di muka
bumi. Prinsip Dou Sunt, pemisahan kekuasaan
tidak begitu saja diabaikan. Para paus
memperlihatkan intervensi dalam urusan
duniawi sebagai pengecualian. Namun, tidak
pernah ditemukan ada intervensi yang sangat
mendasar selama abad pertengahan yang
dilakukan oleh kerajaaan terhadap eksistensi
gereja.

Hubungan antara kepausan dan kerajaan tidak
pernah terlepas satu sama lain. Terkadang
mereka berjalan beriringan dan kadang pula
terlibat konflik, namun satu hal yang pasti
dalam kehidupan masyarakat saat itu. Rakyat
tidak dapat berbicara menyatakan aspirasinya,
jika kerajaan atau kepausan melakukan sesuatu
yang salah seharusnya rakyat harus berbicara
dengan lantang. Namun, jika ada rakyat yang
berani bicara, maka mereka akan dianggap
menolak kerajaan, menolak kehendak Tuhan,
dan dengan kata lain mereka adalah
pemberontak.

Paus selalu berada dibalik semua hal ini dan
bisa dikatakan bahwa sebenarnya umat Kristen
mengalami masa ‘misleading’ di abad
pertengahan ini dan pengaruhnya masih
banyak yang bertahan sampai saat ini. Namun,
paus yang masih berada dalam kantor
kepausaan harus dipatuhi. Paus bisa
menghakimi semua namun tidak dihakimi oleh
siapapun.


c.
The Debate on The Power of The Pope
Kekuasaan Paus yang tidak terbatas
menimbulkan banyak sekali perdebatan sejak
dulu sampai akhir abad pertengahan. Dua
penulis yang cukup berkontribusi adalah
Thomas Aquinas dan Giles of Rome yang
menganggap bahwa kepausan berada di atas
kerajaan. Sedangkan John of Paris, Marsilius of
Padua, dan William of Ockham, dengan tegas
menantang hal ini.


1. Thomas Aquinas
Thomas telah menelurkan beberapa tulisan
mengenai kekuasaan paus di Eropa. Tulisan
pertamanya yaitu Scriptum super libros
sentetiarum “ketika dua kekuasaan berkonflik,
yang mana yang harus kita patuhi?”. Jawaban
yang muncul adalah, jika yang otoritas yang
asli datang dari yang lain, maka ketaatan yang
semestinya adalah terhadap otoritas yang asli.
Misalnya kekuasaan pendeta yang diberikan
oleh paus, maka yang harus dipatuhi adalah
paus.


2. Giles of Rome
Dalam tulisannya yang berjudul On
Ecclesiastical Power (1302), Giles of Rome
menyatakan bahwa kerajaan termasuk
bangsawan pemilik property, harus tunduk
terhadap paus. “Dia (paus) yang menjadi
hakim atas segala hal seharusnya menjadi tuan
atas segala hal yang dihakiminya, termasuk
pemerintah.”


3. John of Paris
Salah satu penulis yang dengan lantang
menentang kekuasaan Paus yang tidak
berbatas dan mutlak adalah John of Paris
dalam tulisannya On Royal and Papal Power
(1302). Dia menolak anggapan bahwa sejak
Paus dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan,
dimana Kristus adalah Tuhan dan Tuhan
adalah pemilik segalanya, maka serta merta
paus adalah pemilik dari segalanya.
Pernyataan ini menghancurkan dua poin
penting.


Pertama, Paus adalah wakil Tuhan dalam wujud
manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus
sebagai manusai bukanlah pemilik dari segalanya.
Kedua, walaupun Kristus dalam wujud manusia
merupakan pemilik dari segalanya, Kristus tidak
memberikan semua kekuasaannya kepada
wakilnya. Sehingga, tidak ada bukti nyata yang
bisa mendukung kekuasaan mutlaknya di muka
bumi.
Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di
akhirat dan dunia. Namun di dunia, tidak manusia
yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut.
Pemerintah merupakan wakil Tuhan di dunia dan
Paus adalah wakil Tuhan di akhirat.
Download