RENAISSANCE DAN PERUBAHAN MENYELURUH DALAM POLA PIKIR GEREJA Latar Belakang Sejak abad ke-14, landasan sebuah perubahan menyeluruh telah terbentuk lewat beragam faktor. Pertama, merebaknya nominalisme (kesejatian penamaan) dan pengingkaran atas keberadaan konseo-konsep universal di Inggris dan Perancis, yang berperan efektif menjatuhkan dasar-dasar filsafat. Kedua, percekcokan seputar filsafat alam Aristoteles di Universitas Paris. Ketiga, gemerutu ketakselarasan filsafat dan dogma-dogma Kristen, atau nalar dan agama. Keempat, mencoloknya perseteruan antara penguasa-penguasa masa itu dan otoritas-otoritas Gereja, dan antar-otoritas Gereja sendiri terjadi perselisihan yang berbuntut pada kemunculan Protestantisme. Kelima, menggilanya humanisme dan tendensi untuk berurusan dengan masalah-masalah kehidupan manusia, sembari mencampakkan masalah-masalah metafisika. Dan akhirnya, keenam, pada pertengahan abad ke-15, Kekaisaran Bizantium runtuh, perubahan utuh (secara politik, filosofis, kesusastraan, dan keagamaan) mencuat di seluruh penjuru Eropa, dan lembaga-lembaga kepausan diserang dari segala jurusan. Dalam keadaan ini, filsafat skolastik yang lemah itu pun menemui nasih akhirnya. Pemikiran Politik Pada Masa Abad Pertengahan di Eropa (Medieval Political Theory in Europe) Zaman pertengahan yang dimaksud di sini dimulai sejak abad ke-13 sampai awal abad ke17 di Eropa, dimana terdapat garis yang jelas antara teori politik pada masa itu. Hubungan public pada masa ini banyak dicampuri oleh gereja, dalam hal ini pola hubungan antara kerajaan dan gereja. Namun, pada abad ke-18 terjadi reformasi yang cukup besar dimana kalangan aristokrat tidak diperbolehkan mengontrol gereja sama seperti mereka mengontrol militer dan kekuatan politik masa itu. Hal di atas menujukkan sebuah revolusi kepausan dalam sejarah Eropa dan menyebabkan krisis kekuasaan antara gereja dengan kerajaan. Sepanjang abad ke-13, sering sekali terjadi konflik yang melibatkan Paus Gregory VII dengan Raja Henry IV, termasuk perubahan posisi antara Paus Innocent IV dengan Raja Frederick II. Terjadi ketidak pahaman mengenai konstitusi pemilihan Raja dan pangeran terpilih, dan persetujuan Paus, serta mengenai hubungan antara kerajaan Inggris dengan kerajaan Perancis dan Spanyol. Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi kontroversi karena Paus memberikan dukungan terhadap ‘mendicant orders’ dan hal itu semakin meruncingkan oposisi dari uskup dan pendeta. Juga terjadi sengketa antara otoritas gereja peraturan sekuler apakah pendeta dibebaskan dari pajak dan dari pengadilan criminal umum, dan apakah uang yang dikumpulkan oleh gereja lokal seharusnya digunakan oleh kepausan untuk membiayai pasukan Perang Salib melawan Saracens tapi juga kampanye militer di Eropa. Persengketaan semacam ini semakin meruncing di akhir abad ke-13 ketika studi mengenai hukum, filosofi, dan teologi berada pada level yang tinggi. Sampai pada abad ke14, perdebatan yang rumit dan panjang terjadi antara Paus Boniface VIII, Raja Philip dari Perancis, Paus John XXII, Raja Roma ‘Ludwig dari Bavaria’, orang-orang Perancis, dan Universitas Perancis. Hal ini terjadi karena pakar teologi menciptakan banyak sekali perjanjian yang mengkhawatirkan hubungan antara agama dan pemerintahan sekular, konstitusi Gereja, konstitusi pemerintahan sekuler, yang pada akhirnya berujung pada hukum dan filosifi pengikut Aristoteles. a. Separation: The Spiritual dan Temporal Powers Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan politik. Namun, sejak awal abad pertengahan, sudah ada usaha untuk memisahkan antara ‘priesthood’ dan ‘kingship’ di Eropa. Dua jenis kekuasaan ini menjadi tidak setara dalam hal kedudukan, karena yang menjadi teratas adalah kekuatan spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja bertindak untuk mensucikan gereja. Ada satu hal yang menarik dalam hal penyucian bagi gereja. Dimana secara eksplisit, gereja memperbolehkan para pendeta melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, gereja membiarkan adanya tindakan kekerasan dalam peraturan gereja. Pendeta biasa saja dipenjara oleh uskup tanpa izin dari pemerintah sekuler. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam prakteknya ada pemisahan yang sangat jelas antara kekuasaan dan peraturan gereja dengan kerajaan. Kedua elemen inipun tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain, walaupun dalam prakteknya kekuasaan gereja sering melampaui kekuasaan raja. b. Subjection Dalam gagasan lain, Gratian menyebut bahwa paus sebenarnya sangat menikmati plentitudo polestatis atau kekuasaan penuh. Hal ini bukan berarti bahwa paus memiliki kekuasaan tertinggi secara formal namun paus merupakan sumber dari hukum gereja, memiliki otoritas untuk mengintervensi secara langsung urusan apa saja dan dimana saja yang berkaitan dengan gereja. Gagasan yang menyatakan bahwa paus bisa menjalankan kekuasaan yang telah diberikan oleh Kristus tidak menyalahi prinsip pemisahan kekuasaan antara spiritual dan kekuasaan duniawi, selama gagasan tersebut diterima bahwa Kristus tirak memberikan kekuasaan duniawi bagi gereja, Paus menganggap bahwa gereja adalah perpanjangan dari komunitas Kristen di dunia dan paus sendiri adalah pemimpinnya di muka bumi. Prinsip Dou Sunt, pemisahan kekuasaan tidak begitu saja diabaikan. Para paus memperlihatkan intervensi dalam urusan duniawi sebagai pengecualian. Namun, tidak pernah ditemukan ada intervensi yang sangat mendasar selama abad pertengahan yang dilakukan oleh kerajaaan terhadap eksistensi gereja. Hubungan antara kepausan dan kerajaan tidak pernah terlepas satu sama lain. Terkadang mereka berjalan beriringan dan kadang pula terlibat konflik, namun satu hal yang pasti dalam kehidupan masyarakat saat itu. Rakyat tidak dapat berbicara menyatakan aspirasinya, jika kerajaan atau kepausan melakukan sesuatu yang salah seharusnya rakyat harus berbicara dengan lantang. Namun, jika ada rakyat yang berani bicara, maka mereka akan dianggap menolak kerajaan, menolak kehendak Tuhan, dan dengan kata lain mereka adalah pemberontak. Paus selalu berada dibalik semua hal ini dan bisa dikatakan bahwa sebenarnya umat Kristen mengalami masa ‘misleading’ di abad pertengahan ini dan pengaruhnya masih banyak yang bertahan sampai saat ini. Namun, paus yang masih berada dalam kantor kepausaan harus dipatuhi. Paus bisa menghakimi semua namun tidak dihakimi oleh siapapun. c. The Debate on The Power of The Pope Kekuasaan Paus yang tidak terbatas menimbulkan banyak sekali perdebatan sejak dulu sampai akhir abad pertengahan. Dua penulis yang cukup berkontribusi adalah Thomas Aquinas dan Giles of Rome yang menganggap bahwa kepausan berada di atas kerajaan. Sedangkan John of Paris, Marsilius of Padua, dan William of Ockham, dengan tegas menantang hal ini. 1. Thomas Aquinas Thomas telah menelurkan beberapa tulisan mengenai kekuasaan paus di Eropa. Tulisan pertamanya yaitu Scriptum super libros sentetiarum “ketika dua kekuasaan berkonflik, yang mana yang harus kita patuhi?”. Jawaban yang muncul adalah, jika yang otoritas yang asli datang dari yang lain, maka ketaatan yang semestinya adalah terhadap otoritas yang asli. Misalnya kekuasaan pendeta yang diberikan oleh paus, maka yang harus dipatuhi adalah paus. 2. Giles of Rome Dalam tulisannya yang berjudul On Ecclesiastical Power (1302), Giles of Rome menyatakan bahwa kerajaan termasuk bangsawan pemilik property, harus tunduk terhadap paus. “Dia (paus) yang menjadi hakim atas segala hal seharusnya menjadi tuan atas segala hal yang dihakiminya, termasuk pemerintah.” 3. John of Paris Salah satu penulis yang dengan lantang menentang kekuasaan Paus yang tidak berbatas dan mutlak adalah John of Paris dalam tulisannya On Royal and Papal Power (1302). Dia menolak anggapan bahwa sejak Paus dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan, dimana Kristus adalah Tuhan dan Tuhan adalah pemilik segalanya, maka serta merta paus adalah pemilik dari segalanya. Pernyataan ini menghancurkan dua poin penting. Pertama, Paus adalah wakil Tuhan dalam wujud manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus sebagai manusai bukanlah pemilik dari segalanya. Kedua, walaupun Kristus dalam wujud manusia merupakan pemilik dari segalanya, Kristus tidak memberikan semua kekuasaannya kepada wakilnya. Sehingga, tidak ada bukti nyata yang bisa mendukung kekuasaan mutlaknya di muka bumi. Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di akhirat dan dunia. Namun di dunia, tidak manusia yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut. Pemerintah merupakan wakil Tuhan di dunia dan Paus adalah wakil Tuhan di akhirat.