Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan Morbili pada Anak Laki-Laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan Selvia Farahdina dan Anggraeni Janar Wulan Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Campak merupakan penyakit endemik di banyak negara terutama di negara berkembang. Di Indonesia, campak masih menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit utama pada bayi dan anak balita (1-4 tahun). Hal ini sangat disayangkan mengingat campak adalah salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Studi ini merupakan studi deskriptif dengan rancangan laporan kasus. Studi dilakukan pada seorang anak laki-laki berusia 31 bulan yang dirawat di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM) pada tanggal 7 Januari hingga 10 Januari 2016. Data yang ada diperoleh melalui alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa pasien. Dilakukan follow up untuk mengetahui perkembangan penyakit pasien. Hasil alloanamnesis didapatkan, keluhan demam terus-menerus, terutama pada malam hari, disertai menggigil tetapi tidak kejang. Pasien juga batuk berdahak, pilek, dan sariawan sejak 3 hari yang lalu. Mata merah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Bintik-bintik merah pada tubuh awalnya muncul di belakang telinga dan menyebar ke wajah, dada, dan perut. Riwayat imunisasi campak pada usia 10 bulan. Diagnosis dari pasien ini adalah morbili. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi edukasi kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita pasien dan komplikasi penyakit serta pemberian medikamentosa berupa infus D5 ¼ NS 500 cc/12 jam, Paracetamol sirup 4x1 cth, ranitidin 3x¼ tablet, Oxomemazine sirup 3x1 cth, Apialys sirup 2x1 cth, Cefadroxil sirup 2x5 ml. Pedoman pemberian imunisasi campak pada balita diberikan satu kali pada usia 9 bulan mengingat antibodi campak balita yang berasal dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan. Kata Kunci: campak, imunisasi, laporan kasus Measles in Child Aged 31 Months with Measles Immunization History when He was 10 Months Abstract Measles is an endemic disease in many countries, especially in developing countries. In Indonesia, measles still ranks 5th of 10 major diseases in infants and young children (1-4 years). This is unfortunate because measles is a disease that can be prevented by immunization. This study is a descriptive study with a draft report cases. Studies carried out on a boy aged 31 months were treated at The Abdul Moeloek General Hospital on 7 January to 10 January 2016. The existing data obtained through alloanamnesis, physical examination and investigations to diagnose patients. Do follow-up to determine the patient's disease progression. Obtained alloanamnesis, complaints of fever constantly, especially at night, with shivering but not seizures. Patients also cough up phlegm, runny nose, and mouth sores since three days ago. Red eyes since the first day of SMRS. Red spots on the body initially appears behind the ears and spreads to the face, chest, and abdomen. A history of measles immunization at the age of 10 months. The diagnosis of these patients is Morbili. Management is given to these patients includes educating the patient's parents about the patient's illness and complications of the disease and the provision of medical form of infusion D5 ¼ NS 500 cc / 12 hours, Paracetamol syrup 4x1 eg, ranitidine 3x¼ tablet, Oxomemazine syrup 3x1 eg, Apialys syrup eg 2x1, 2x5 ml syrup cefadroxil. Guidelines for measles immunization in infants given one at the age of 9 months given the measles antibody toddlers whose mothers had decreased at the age of 9 months. Keywords : case report, immunization, measles Korespondensi : Selvia Farahdina, S.Ked., Jl. S. Brojonegoro Gd.Meneng-UNILA Bandar Lampung, HP 08986771896, e-mail [email protected] Pendahuluan Campak merupakan penyakit endemik di banyak negara terutama di negara berkembang. Angka kesakitan di seluruh dunia mencapai 5-10 kasus per 10.000 dengan jumlah kematian 1-3 kasus per 1000 orang. Campak masih ditemukan di negara maju. Sebelum ditemukan vaksin pada tahun 1963 di Amerika serikat, terdapat lebih dari 1,5 juta kasus campak setiap tahun. Mulai pada tahun J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |60 1963 kasus campak menurun drastis dan hanya ditemukan kurang dari 100 kasus pada 1998.1,2 Pada tahun 2005 terdapat 345.000 kematian di dunia akibat penyakit campak dan sekitar 311.000 kematian terjadi pada anakanak usia dibawah lima tahun. Pada tahun 2006 terdapat 242.000 kematian karena campak atau 27 kematian terjadi setiap jamnya. Kematian campak di seluruh dunia Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan pada tahun 2007 adalah 197.000 dengan interval 141.000 hingga 267.000 kematian dimana 177.000 kematian terjadi pada anakanak usia dibawah lima tahun. Lebih dari 95% kematian campak terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dengan infrastruktur kesehatan lemah. Hal ini sangat disayangkan meningat campak adalah salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.2 Di Indonesia, campak masih menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit utama pada bayi dan anak balita (1-4 tahun) berdasarkan laporan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1985/1986. Kejadian luar biasa (KLB) masih terus dilaporkan. Dilaporkan terjadi KLB di pulau Bangka pada tahun 1971 dengan angka kematian sekitar 12%, KLB di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1981 (CFR= 15%), dan KLB di Palembang, Lampung, dan Bengkulu pada tahun 1998. Pada tahun 2003, di Semarang masih tercatat terdapat 104 kasus campak dengan CFR 0%. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2003, di Provinsi Bali terdapat 32,5 per 100.000 balita/tahun, dan di Jawa Barat terdapat 45 per 100.000 balita/tahun. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sumatera Selatan pada tahun 2005 terdapat 2.189 penyakit Campak, yaitu 42,5% di antaranya terjadi pada anak usia balita.3 Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar, dan measles dalam bahasa Inggris. Campak merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh Paramixovirus yang menyerang anak-anak bahkan juga orang dewasa. Seseorang yang terkena penyakit ini ditandai dengan demam tinggi, terjadi peradangan pada mata (mata merah), serta timbul bercak kemerahan pada kulit. Penyakit ini dapat menular melalui percikan droplet dari mulut, hidung, maupun dari tenggorokan penderita. Kelompok yang paling rentan untuk terkena penyakit ini adalah bayi dan anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak.4,5 Agen campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae anggota genus morbili virus. Virus campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 °C atau bila dimasukkan ke dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka infektivitasnya akan hilang.5 Virus berada dalam lendir di hidung dan tenggorokan orang yang terinfeksi, sehingga penularan biasanya terjadi melalui udara dan pernapasan (batuk dan bersin). Virus ditularkan secara langsung dari droplet infeksi. Setelah terinfeksi dengan virus, dibutuhkan beberapa hari untuk gejala muncul. Virus tetap aktif dan menular pada permukaan yang terinfeksi sampai dua jam. Penularan campak terjadi begitu mudah bahwa siapa saja yang tidak diimunisasi mungkin akan mendapatkan penyakit ini pada akhirnya. Transmisi campak terutama dari orang ke orang melalui droplet pernapasan besar. Transmisi udara melalu aerosol droplet nuklei telah didokumentasi diwilayah tertutup (misalnya kantor ruang pemeriksaan) hingga 2 jam orang yang terkena campak menduduki daerah tersebut. Campak sangat menular dengan >90% tingkat serangan sekunder dikalangan orang yang rentan. Campak dapat ditularkan 4 hari sebelum dan 4 hari setelah onset dari ruam. Penularan maksimum terjadi dari timbulnya prodromal pada 3-4 hari pertama ruam.5,6 Masa inkubasi (waktu terpapar sampai kena penyakit) penyakit campak adalah 10-12 hari, sebelum gejala muncul dan 14 hari ruam muncul. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinisasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir dari ibu yang telah kebal, berlangsung selama 1 tahun. Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi. Gejala yang nampak pada penderita campak antara lain: (a) Demam dengan suhu yang tinggi serta selsema, (b) mata merah (konjungtivitis), berair, dan sensitif pada cahaya (fotofobia), (c) nyeri tenggorokan, (d) hidung meler (Koriza), (e) batuk (Cough), (f) bercak Koplik, (g) nyeri otot. Sesudah melewati masa inkubasi sekitar 10-12 hari lamanya, penyakit campak akan menunjukkan gejalagejala klinik yang jelas berupa demam, malaise, mialgia, dan sakit kepala. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |61 Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan influenza. Stadium erupsi berlangsung selama 5-6 hari. Gejala yang biasanya terjadi adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal, sampai wajah bengkak. Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2 hingga 3 hari. Setelah 3 hari ruam berangsurangsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1 sampai 2 minggu.7-9 Reservoir penyakit campak adalah manusia dengan suseptibilitas pada semua orang (universal). Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T yang rentan terhadap infeksi turut aktif membelah. Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap, tetapi 5 sampai 6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari ke-9 sampai ke-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas yang diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |62 pada sistem saluran pernafasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulserasi kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak koplik, yang dapat merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.8 Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit selT. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainlain.8,9 Diperkirakan bahwa pada usia 5 tahun paling sedikit 90% dari anak-anak yang belum mendapat vaksinasi telah menderita campak. Virus campak hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan hanya dapat aktif di alam bebas sekitar 34 jam pada suhu kamar.10 Adapun penyulit yang dapat ditimbulkan oleh campak adalah laringitis akut, bronkopneumonia, kejang demam, ensefalitis, SSPE, otitis media, konjungtivitis, dan lainlain.10,11 Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas, yang bertambah berat pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distress pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik dan gejala akan menghilang.11 Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri. Ditandai dengan batuk, menigkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan sebagai kejang demam. Ensefalitis merupakan penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dari 1.000 kasus campak dengan mortalitas antara 30-40%. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma, dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, disorientasi juga dapat ditemukan. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE) merupakan kelainan degeneratif susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per 100.000 infeksi campak. Invasi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang telinga biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus akan terjadi otitis media purulenta. Pada hampir semua kasus campak terjadi konjuntivitis yang ditandai dengan adanya mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi, dan fotofobia.12 Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit campak yang dewasa ini dianggap paling efektif adalah dengan cara imunisasi, dengan tujuan menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit campak. Imunisasi dapat memberikan kekebalan aktif terhadap balita dimana kekebalan aktif dapat berlangsung lama daripada kekebalan pasif sehingga seseorang tidak mudah terkena campak, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik. 13 Imunisasi campak diberikan pada usia 9 bulan dan dosis ulangan (second opportunity pada crash program campak) pada usia 6-59 bulan serta saat SD kelas 1-6. Terkadang, terdapat program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) campak yang bertujuan sebagai penguatan (strengthening). Program ini bertujuan untuk mencakup sekitar 5% individu yang diperkirakan tidak memberikan respon imunitas yang baik saat diimunisasi dahulu. Bagi anak yang terlambat atau belum mendapat imunisasi campak: bila saat itu anak berusia 9-12 bulan, berikan kapan pun saat bertemu. Bila anak berusia >1 tahun, berikan Measles Mumps Rubella (MMR). Pemberian vaksin campak dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit campak. 14 Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982, kemudian pada tahun 1991 berhasil dicapai status imunisasi dasar lengkap atau Univesal Child Imunization (UCI) secara nasional. Sejak tahun 2000 imunisasi campak kesempatan kedua diberikan kepada anak sekolah kelas I-VI secara bertahap. 15 Studi ini merupakan studi deskriptif dengan rancangan laporan kasus. Studi dilakukan pada seorang anak laki-laki berusia 31 bulan yang dirawat di RSUAM pada tanggal 7 Januari hingga 10 Januari 2016. Data yang ada diperoleh melalui alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa pasien. Dilakukan follow up untuk mengetahui perkembangan penyakit pasien. Kasus Pasien Anak A berusia 31 bulan, diantar kedua orang tuanya ke RSAM dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Ibu pasien mengatakan demam dirasakan terus-menerus, terutama pada malam hari, disertai menggigil tetapi tidak kejang. Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya batuk berdahak, pilek, dan sariawan sejak 3 hari yang lalu. Batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Selain itu juga terdapat pilek dengan lendir encer, tidak disertai sesak napas. Pasien mengalami penurunan nafsu makan dikarenakan sariawan. Pasien juga dikeluhkan orang tuanya timbul bercak-bercak merah dan mata merah serta berair sejak 1 hari SMRS. Bintik-bintik merah pada tubuh awalnya muncul di belakang telinga dan menyebar ke wajah, dada, dan J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |63 Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan perut. Bintik-bintik merah tidak gatal atau nyeri. Pasien muntah berisi makanan sebanyak 2 kali, masing-masing sebanyak satu gelas belimbing, sehingga pasien terlihat lemas. Buang air besar konsistensi lembek, berampas, warna kecokelatan, tidak disertai lendir dan darah, tidak berbau busuk dan berbusa dengan intensitasnya 1 kali/hari. Buang air kecil dikatakan tidak terdapat keluhan. Keluhan serupa sebelumnya disangkal. Kejang demam disangkal. Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Keluhan batuk berdahak dan batuk lama disangkal. Riwayat kontak dengan orang yang terkena campak dan cacar disangkal. Riwayat kehamilan Ibu, kunjungan Ante Natal Care (ANC) teratur dengan bidan, ibu hanya mengonsumsi obat zat besi, kalsium, dan folat masa kehamilan, ibu tidak pernah sakit selama masa kehamilan, tidak ada penyulit selama kehamilan. Riwayat persalinan, lahir dari ibu G2P1A0, persalinan normal tanpa menggunakan alat, ditolong oleh bidan, lahir langsung menangis kuat, cukup bulan dan tidak ada kelainan bawaan. Berat badan lahir 2900 gr dengan panjang badan 46 cm. Riwayat makanan pasien saat berusia 0 sampai 6 bulan hanya diberikan ASI. Frekuensi pemberian tergantung permintaan bayi ±10 kali per hari. Pada usia 6 sampai 9 bulan meliputi susu formula dengan frekuensi ±8 kali per hari, sebanyak 60 ml tiap pemberian dan nasi tim instan diberikan 4 x/hari sebanyak ±60 ml tiap pemberian. Pada usia 9 sampai 12 bulan meliputi susu formula dengan frekuensi ±8 kali per hari, sebanyak 120 ml tiap pemberian, bubur nasi ditambah sayur bayam, wortel, buncis, jagung manis dengan lauk pauk seperti tempe atau telur yang diberikan 3 x/hari sebanyak 200 ml. Riwayat imunisasi pasien tedapat dalam buku Kartu Menuju Sehat (KMS). Pasien sudah mendapatkan imunisasi BCG (usia 0 bulan), DPT 3 kali (usia 2, 3, dan 4 bulan), polio 4 kali (usia 0, 2, 3, dan 4 bulan), hepatitis B 4 kali (usia 0, 2, 3, dan 4 bulan), dan imunisasi campak pada usia 10 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, suhu aksial 39,2 °C, frekuensi nadi 130 x/menit, frekuensi nafas 28 x/menit, berat badan awal 11 kg, berat badan J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |64 sekarang 11 kg, tinggi badan 101 cm dengan status gizi (Z-score) BB/U -2 SD s/d -1 SD (gizi baik), TB/U 2 SD s/d 3 SD (tinggi), BB/TB <-3 SD (sangat kurus). Status generalis kulit tampak papul eritematosa berbatas jelas, berkonfluensi menjadi bercak yang lebih besar, tidak gatal, di wajah, dada, dan perut. Pada status lokalis ditemukan konjungtiva hiperemis (+/+), stomatitis (+), akral hangat, auskultasi paru vesikuler, turgor kulit cukup baik. Pemeriksaan penunjang darah lengkap dalam batas normal dengan laju endap darah meningkat menjadi 15 mm/jam. Diagnosis dari pasien ini adalah morbili. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi edukasi kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita pasien dan komplikasi penyakit serta pemberian medikamentosa berupa infus D5 ¼ NS 500 cc/12 jam, Paracetamol sirup 4x1 cth, ranitidin 3x¼ tablet, Oxomemazine sirup 3x1 cth, Apialys sirup 2x1 cth, Cefadroxil sirup 2x5 ml. Pembahasan Diagnosis klinik pada pasien ini ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pasien ini dilakukan alloanamnesis didapatkan keluhan demam terus-menerus, terutama pada malam hari, disertai menggigil tetapi tidak kejang. Pasien juga batuk berdahak, pilek, dan sariawan sejak 3 hari yang lalu. Timbul bercak-bercak merah dan mata merah serta berair sejak 1 hari SMRS. Bintik-bintik merah pada tubuh awalnya muncul di belakang telinga dan menyebar ke wajah, dada, dan perut. Berdasarkan keluhan pada pasien, dapat dipikirkan diagnosis banding berupa Morbili, Rubela, Scarlet fever, Eritema infeksiosum, Miliaria, Roseola infantum, dan Meningococcemia.16 Rubella berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak. Gejala yang timbul tidak seberat campak. Anak dengan Scarlet fever, ruam bersifat papular, difus terutama di abdomen. Tanda patognomonik berupa lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau membranosa. Pada Eritema infeksiosum, terdapat gambaran slapped cheek selama 4-5 hari. Miliaria ditandai bintil-bintil kecil berwarna merah yang kadangkadang berisi air, disertai atau tidak kulit yang tampak kemerahan. Pada bayi sering disertai gejala rewel bahkan mengganggu tidurnya, Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan anak yang lebih besar akan sering menggaruk bagian-bagian yang terkena miliaria, hal ini disebabkan karena rasa gatal. Pada Roseola infantum, ruam muncul setelah demam menghilang. Meningococcemia didapatkan ptekie pada kulit, jarang di membran mukosa, ekstremitas, dan badan.16 Keluhan demam, ruam merah, mata berair dan merah, batuk serta pilek yang dirasakan pasien diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme (baik virus, bakteri maupun parasit). Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen eksogen (produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya) dan pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien (IL-1, IL6, TNF-α, dan IFN) yang akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.17 Pada pasien, demam terjadi akibat infeksi virus dan bakteri, hal ini diketahui berdasarkan gejala pada saat suhu tidak juga turun dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus.17,18 Virus tersebut akan menginfeksi epitel saluran nafas dan konjungtiva, yang akan menyebabkan nekrosis pada satu sampai dua lapis sel, menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada sistem saluran pernafasan yang selanjutnya diikuti dengan keluhan saluran pencernaan.17,18 Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2009, kriteria Morbili ditandai dengan gejala awal demam tinggi yang dimulai 10-12 hari setelah pajanan terhadap virus, dan bertahan selama 4-7 hari, Koriza, batuk dan konjungtivitis, bercak Koplik pada mukosa bukal pada stadium inisial, ruam biasanya pada muka dan leher menyebar ke tangan dan kaki, kemudian menetap selama 5 hingga 6 hari dan kemudian menghilang. Adapun menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2004, Stadium prodromal berlangsung 2-4 hari, ditandai demam yang diikuti batuk dan pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Stadium erupsi ditandai dengan timbulnya ruam makulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstermitas. Stadium penyembuhan (konvalesens) setelah 3 hari ruam berangsurangsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas.18 Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat asimtomatik dengan pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan. Sedangkan campak dengan penyulit perlu dirawat inap. 18 Pasien mendapatkan imunisasi campak pada saat berusia 10 bulan. Berdasarkan Pedoman Imunisasi IDAI 2009, jumlah pemberian imunisasi campak diberikan sebanyak 1 kali di usia 9 bulan. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR.18 Pemberian Paracetamol sebagai antipiretik dirasa sudah tepat dengan dosis 10 mg/kgBB tiap kali pemberian, dapat diberikan 3-4 kali sehari. Pada pasien diberikan: dosis x berat badan= 10 mg/kgBB x 11 kg = 110 mg, 34 x/hari. Sediaan Paracetamol sirup adalah 120 mg/5ml, jadi pada 1 sendok takar sebanyak 5 ml atau 1 sendok teh terdapat 120 mg Paracetamol. Pada pasien ini diberikan Paracetamol sirup dengan dosis 4x1 sendok takar.19 Ranitidin adalah antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada sel parietal mukosa lambung, oleh karena itu ranitidin efektif menghambat sekresi asam lambung. Bioavailabilitas ranitidin peroral sekitar 50%. Kadar puncak rata-rata dalam darah setelah 23 jam. Waktu paruh eliminasinya 2,5-3 jam. Ranitidin dieliminasi terutama melalui eksresi ginjal. Pemberian ranitidin pada pasien ini sudah tepat karena terdapat muntah berisi makanan sebanyak dua kali, masing-masing sebanyak satu gelas belimbing (peningkatan asam lambung dan gastroesofageal reflux).19 Penatalaksanaan pemberian cefadroksil dirasa tidak tepat karena menurut IDAI tahun J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |65 Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan 2009 pada pengobatan Morbili tidak dianjurkan menggunakan antibiotik jika tidak terdapat komplikasi. Komplikasi yang biasanya timbul adalah bronkopnemoni dan antibiotik yang digunakan untuk pasien penderita morbili dengan bronkopnemoni adalah kloramfenikol 75 mg/Kgbb/hari dan Ampisilin 100 mg/Kgbb/hari selama 7-10 hari.20 Pasien tidak diberikan vitamin A pada kasus ini. Menurut IDAI 2009, vitamin A 100.000 IU peroral diberikan satu kali, apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU/hari. WHO merekomendasikan dosis pemberian vitamin A yaitu bayi usia kurang 6 bulan diberikan 50.000 IU, 100.000 IU untuk usia 6 bulan sampai dengan 1 tahun dan 200.000 IU untuk usia lebih dari 1 tahun. Vitamin A merupakan mikronutrien penting yang diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh spesifik maupun non spesifik.21,22 Melihat follow up pasien mengalami kemajuan dari hari sebelumnya, maka prognosis pada pasien ini dalam hal quo ad vitam adalah dubia ad bonam yaitu dilihat dari kesehatan dan tanda-tanda vitalnya yang masih baik. Quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena pasien masih bisa bermain dan makan per oral setelah sembuh.22 Simpulan Diagnosis dari pasien ini adalah morbili dengan riwayat imunisasi campak pada usia 10 bulan. Pedoman pemberian imunisasi Campak pada balita diberikan satu kali pada usia 9 bulan mengingat antibodi campak balita yang berasal dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi edukasi kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita pasien dan komplikasi penyakit serta pemberian medikamentosa berupa infus D5 ¼ NS 500 11. varicella vaccine in healthy children: a systematic review and meta-analysis of immunogenicity and safety. Medicine (Baltimore). 2015; 94(44):e1721. 12. Ranuh IGN, Hariyono S, Rezeki S, Cissy B, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 13. Annee. Expanded program on immunization. standardization of the nomenclature for describing the genetic J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |66 cc/12 jam, Paracetamol sirup 4x1 cth, ranitidin 3x¼ tablet, Oxomemazine sirup 3x1 cth, Apialys sirup 2x1 cth, Cefadroxil sirup 2x5 ml. Daftar Pustaka 1. Subangkit. Kejadian Luar Biasa Campak di Indonesia tahun 2007. CDK. 2012; 39(3):192-3. 2. World Health Organization [internet]. Geneva: World Health Organization; 2009 [diakses tanggal 26 Agustus 2016]. Tersedia dari : http://www.who.int/mediacentrefachshe etsfs286/en/. 3. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe A, editors. Epidemiology and prevention of vaccinepreventable deseases. Edisi ke-13. USA: U.S. Departement of health and human services centers for desease control and prevention; 2015. 4. Cherry J.D. Measles Virus. Dalam: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan, editors. Textbook of Pediatrics Infectious Disease. Edisi ke-5. Philadelphia. Saunders; 2004. 5. De Vries RD , Duprex WP, De Swart RL. Morbillivirus Infections: An Introduction. Viruses. 2015; 7(2):699-706. 6. Nelson, Behrman, Kiegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi Ke 15. Jakarta: EGC; 2012. 7. Arvin, Klirgman B. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC; 2007. 8. Soedarmo S, Garna H, Rezeki S, Irawan HS. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI; 2010. 9. Feigin. Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders; 2004. 10. Ma SJ, Li X, Xiong YQ, Yao AL, Chen Q. Combination measles-mumps-rubellacharacteristics of wild type measles viruses (Update). Weekly Epidemiological Report 2001; 32: 241-8. 14. Ngaovithunvong V, Wanlapakorn N, Tesapirat L, Suratannon N, Poovorawan Y. Mumps antibody in the Thai population 17 years after the universal measles mumps rubella vaccination program. J Infect Dev Ctries. 2016; 10(7):735-40. 15. Jadwal pemberian Imunisasi Umur 0-18 Tahun. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. Selvia dan Anggraeni| Morbili pada Anak Laki-laki Usia 31 Bulan dengan Riwayat Imunisasi Campak pada Usia 10 Bulan 16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia [internet]. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007 [diakses tanggal 26 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.depkes.go.id. 17. Dinarello CA and Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. Dalam: Kasper DL, editor. Harrison’s Principle Of Internal Medicine. Edisi ke-16. Singapore: The McGraw Hill Company; 2005. 18. Pedoman Penatalaksanaan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 19. Garna H, Chaerulfatah A, Azhali MS, Setiabudi D. Morbili (campak, rubeola, measles). Dalam: Garna H, Melinda HDN, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-3. Bandung: 20. 21. 22. 23. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD; 2005. hlm 234-6. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Jakarta: Widya Medika; 2001. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Jakarta: World Health Organization; 2009. Zakiudin Munasir. Pengaruh Suplementasi Vitamin A Terhadap Campak. Sari Pediatri. 2000; 2(2):72-6. Vitamin A Supplements—A Guide to Their Usein The Treatment and Prevention of Vitamin A Deficiency and Xerophthalmia. Geneva: WHO; 1997. J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |67