Sistem Perkebunan Masa Hindia

advertisement
Sistem Perkebunan Masa Hindia-Belanda
Bab I
Pendahuluan
Sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak
dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Di
negara berkembang, perkebunan hadir sebagai perpanjangan kapitalisme agraris Barat yang
diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Awalnya, ia hadir sebagai sistem
perekonomian baru yang belum dikenal yaitu sistem perekonomian pertanian komersial
(commercial agriculture) yag bercorak kolonial. Sistem perekonomian yang dibawa oleh
pemerintah kolonial atau oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem
perkebunan Eropa (European plantation), yang berbeda dengan sistem kebun (garden system)
yang telah berlaku di negara-negara berkembang. Sebelum mengenal sistem dari Barat, di
negara-negara berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian
pertanian tradisional yang merupakan usaha tambahan atau pelengkap. Sistem kebun biasanya
berbentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja
berpusat pada anggota keluarga (extended family), kurang berorientasi pada pasar, akan tetapi
lebih berorientasi subsisten. Sedangkan sistem perkebunan Barat berbentuk usaha pertanian skala
besar dan kompleks, padat modal, lahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja
rinci, sistem upah buruh, struktur rapi, menggunakan teknologi modern, serta penanaman
tanaman komersial untuk komoditi ekspor pasar dunia.
1. 1. Kolonialisme
Hampir seluruh negara berkembang (developing countries atau underdeveloped
countries) memiliki pengalaman historis dengan perkembangan kolonialisme. Ekspansi
kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar
pengaruhnya dalam membawa dampak perubahan berbagai aspek di negara-negara yang
mengalami penjajahan serta terjadi transformasi struktur politik ekonomi tradisional ke arah
struktur politik ekonomi kolonial dan modern. Dampak penting gerakan kolonialisme adalah
timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial situation) di negara
jajahan yang pada akhirnya menciptakan sistem hubungan kolonial antara penguasa kolonial dan
penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak negara jajahan dengan negara induknya. Ciri
pokok kolonial adalah prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi yang
berpangkal pada doktrin pengejaran kejayaan (glory), kekayaan (gold), dan penyebaran agama
(gospel). Sistem dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial telah
menciptakan jurang perbedaan serta hubungan ketergantungan antara pusat dengan daerah, dan
antara negara induk dengan jajahan. Hubungan ketergantungan ini mencakup berbagai hal seperti
modal, teknologi, pengetahuan, keterampilan, organisasi dan kekuasaan. Perbedaan yang ada
sejak hadirnya sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris tradisional di tanah jajahan
(oleh beberapa pihak) dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave
economics) yang bersifat dualistis (dualistic economy) yakni kehadiran komunitas sektor
perekonomian modern (yang berorientasi ekspor dan pasaran dunia) di tengah-tengah lingkungan
komunitas sektor perekonomian tradisional (yang bersifat subsisten).
1. 2. Kolonialisme dan Modernisasi di Indonesia
Seperti negara-negara berkembang lainnya (sebelum masuknya sistem perkebunan
kolonial), di Indonesia juga telah berkembang sistem kebun terlebih dahulu. Sistem ini bahkan
berlaku sampai masa penjajahan VOC pada abad ke-17—18. Proses perkembangan sistem
perkebunan berlangsung sejajar/sinergis dengan perkembangan politik kolonial. Pertumbuhan
sistem perkebunan berlangsung dalam dua fase perkembangan yaitu fase perkembangan industri
perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta, serta beriringan dengan perkembangan
orientasi politik kolonial dari orientasi politik konservatif ke politik liberal. Pada masa awal abad
ke-19, golongan konservatif menguasai pemerintahan. Mereka melakukan politik eksploitasi
dengan penyerahan paksa (1830-1870). Eksploitasi produksi pertanian diwujudkan dalam bentuk
usaha perkebunan negara berdasar sistem tanam wajib/tanam paksa. Pelaksanaan sistem ini
dijalankan melalui alat birokrasi pemerintah sehingga menuntut perangkat birokrasi yang mapan
yang mengimbangi perkembangan sistem perkebunan. Hal itu ditandai dengan proses
birokratisasi berupa sentralisasi administrasi pemerintahan dari tingkat pusat hingga ke tingkat
desa. Perkembangan ini juga menuntut kebutuhan pegawai perkebunan sehingga terjadi gejala
peningkatan edukasi yang ditandai dengan lahirnya sekolah calon pegawai. Selain itu,
sebelumnya, proses agro-industrialisasi juga melahirkan perkembangan komunikasi dan
transportasi seperti jalan Anyer-Panarukan. Selanjutnya, sejak tahun 1870-an terjadi pergeseran
kebijaksanaan politik dari politik konservatif ke politik liberal. Hal ini diikuti dengan perubahan
kebijaksanaan politik drainage, yaitu politik eksploitasi tanah jajahan yang semula dikelola
negara, kemudian diganti oleh perusahaan awasta. Perubahan kebijaksanaan politik tersebut
dalam perkembangannya menuntut peningkatan intensifikasi sistem administrasi serta penekanan
orientasi kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Perkembangan pada awal abad ke-20 ini
mendasari perubahan orientasi kebijaksanaan politik yang baru lagi yaitu Politik Etis.
Bab II
Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun pada Masa Tradisional
2. 1. Dari Ladang ke Kebun
Dari berbagai perkembangan ragam pertanian di kepulauan nusantara, terdapat empat
sistem pertanian yang telah lama dikenal di daerah Indonesia yaitu (1) sistem perladangan
(shifting cultivation), yaitu jenis kegiatan pertanian yang berpindah-pindah, penanaman tanaman
yang berumur pendek; (2) sistem persawahan (wet rice cultivation sistem); (3) sistem kebun yang
menggarap tanaman (perdu) berusia panjang (perennial) atau tanaman penghasil panenan (crops)
yang ditanam pada lahan tetap; dan (4) sistem tegalan (dry field), yaitu tipe kegiatan penanaman
tanaman pangan (food crops) secara tetap pada daerah lahan kering. Semua sistem tersebut telah
berlaku sebelum kedatangan bangsa Eropa, bahkan masih ada yang berlaku hingga saat ini.
Sistem perladangan ditandai oleh sifat imitasi ekologis, pertanian tidak tetap, aneka ragam
tanaman, dan berkaitan dengan kepadatan penduduk yang rendah. Sedangkan sistem persawahan
merupakan bangunan alam sekitar artifisial yang ditanami tanaman khusus, didukung lingkungan
pedesaan padat penduduk, sistem irigasi yang kompleks yang determinan dengan pertumbuhan
penduduk yang kompleks pula. Selain itu, sistem persawahan juga memiliki kecendrungan untuk
merespon kenaikan penduduk melalui intensifikasi. Seperti halnya sistem peladangan dan
persawahan, sistem kebun juga telah tua, setidaknya sejak 1200 M. Dalam perkembangannya,
sistem kebun mengalami berbagai ragam bentuk, baik penanaman tanaman campuran,
penanaman satu jenis tanaman, tanaman usia pendek maupun panjang. Berbeda dengan sawah,
kebun kurang menuntut tenaga kerja besar. Kebun juga tidak menuntut lokasi istimewa, asalkan
iklim dan pengeringan tanah yang baik serta jarak pasar yang tidak jauh. Sekali dibangun di
suatu tempat, kebun bisa terus berlangsung lama sehingga hal ini mendasarkan dugaan Terra
bahwa sistem perkebunan campuran di Jawa Timur telah berlangsung lama, yaitu sejak tahun
1200 M. Di Jawa Tengah bahkan lebih jauh sebelum itu. Begitu juga dengan kebun karet dan
kopi di Sumatera sejak akhir abad ke-19, serta berbagai perkebunan lain di wilayah nusantara.
2. 2. Kebun Komoditi Perdagangan
Salah satu perubahan yang lebih penting daripada variasi daerah ialah perubahan dari
sistem ladang ke sistem kebun permanen yang menanam tanaman perdagangan. Kebun
bertanaman campuran merupakan salah satu tipenya. Kebun ini diduga telah berkembang di
Jawa Tengah sebelum abad ke-10. Perkembangan yang sudah cukup tua juga terjadi di Sumatera
dan Sulawesi Selatan, disamping di daerah Nusa Tenggara. Berbeda dengan kebun campuran
yang subsisten, sejumlah daerah di luar Jawa sebelum abad ke-19 telah mengembangkan kebun
tanaman perdagangan (gardens of commercial crops) seperti kopi, lada, kapur barus, dan
rempah-rempah. Berdasarkan laporan perjalanan yang ada, berbagai komoditi tersebut telah lama
diperdagangkan serta telah mendorong pertumbuhan kebun-kebun tanaman komersial dan
mendongkrak aktivitas perdagangan internasional. Proses komersialisasi itu diawali dengan
hubungan simbiotik antar daerah yang diwujudkan dalam bentuk hubungan perdagangan.
Maksud dari hubungan simbiotik adalah hubungan perdagangan yang saling menguntungkan
bukan hanya dilihat dari sisi pendapatan, akan tetapi dilihat dari pemenuhan komoditi yang
dibutuhkan satu sama lain. Contoh corak pertukaran komoditi perdagangan simbiotik antara lain
adalah pesisir Jawa-Sulawesi yang menukar emas ditukarkan dengan tekstil India.
Selain meningkatnya pertumbuhan kebun komoditi komersial, meningkatnya proses
komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-16 juga mendorong pertumbuhan kelahiran
kerajaan-kerajaan Islam, dan pertumbuhan kota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Pertumbuhan kerajaan dan kota-kota emporium
ini sekaligus diikuti dengan kemunduran kerajaan Majapahit dan kota-kota emporiumnya. Kotakota Bandar emporium di jawa yang tumbuh dari abad ke-11 sampai abad ke-16 seperti Tuban,
Sidayu, Jaratan, Lasem, Brondong, Canggu, Gresik, Surabaya, Demak, dan Jepara. Kota-kota ini
memiliki hubungan perdagangan dengan kota Bandar emporium di daerah timur seperti Ternate,
Tidore, Makasar, dan Banjarmasin. Kota Bandar emporium yang ada di daerah barat adalah
Malaka, Aceh, dan Palembang. Kedudukan pusat Jawa sebagai daerah persawahan juga
dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan agraris yang berlangsung silih berganti pada
masa pra-kolonial. Kerajaan itu antara lain adalah Mataram lama, Jenggala, Kediri, Singasari,
Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Berbeda dengan di Jawa, kerajaan-kerajaan lain
di Maluku (Ternate dan Tidore) mengandalkan surplus tanaman kebun, yaitu bahan rempahrempah karena mereka tidak memiliki basis persawahan seperti yang dimiliki kerajaan Jawa.
Surplus poduksi komoditi perdagangan yang dimiliki kerajaan umumnya didasarkan atas hak
monopoli raja terhadap bahan perdagangan yang ada di wilayah kekuasaannya. Ada beberapa
bentuk organisasi proses produksi. Pertama, raja menerima produksi komoditi perdagangan dari
para kepala penguasa lokal, atas dasar penyerahan wajib/upeti. Pala dan cengkih lebih banyak
dikelola oleh penguasa lokal, Orang Kaya. Kedua, raja selain menerima upeti juga memilki
kebun sendiri.
Menurut van Leur, sturktur perekonomian dan perdagangan Indonesia dengan Eropa pada
hakikatnya mirip. Akan tetapi, mengapa kegiatan perdagangan dan masyarakat Indonesia tidak
meningkatkan kemajuan perkembangan ekonomi seperti yang dicapai oleh Eropa? Mengenai hal
ini, ada beberapa faktor yang mendasarinya yakni struktur geografis wilayah perdagangannya,
struktur sosial, serta perkembangan pengetahuan dan teknologi yang melatarbelakangi
perkembangan selanjutnya, terutama perkembangan kapitalisme dan kolonialisme. Struktur
geografi kepulauan Indonesia yang luas dan jarak yang cukup jauh satu dengan yang lainnya
menyebabkan biaya pengangkutan perdagangan menjadi mahal sehingga yang “bermain” hanya
golongan raja dan bangsawan saja. Selain itu, di Indonesia belum mengenal organisasi
perdagangan seperti di Eropa sehingga perdagangan di Indonesia menjadi lemah dalam
menghadapi persaingan dengan pihak luar. Perkembangan pengetahuan dan teknologi di Eropa
tidak dijmpai di Indonesia sehingga kegiatan perdagangan dan ekonomi berjalan lambat dan
statis selama beberapa periode.
Bab IV
Perkebunan pada Masa Pemerintahan Konservatif
(1800—1830)
4.1. Konflik Politik Konservatif dan Liberal: 1800—1812
Peralihan pemerintahan VOC ke pemerintahan Hindia Belanda dalam rentang waktu abad
ke-18 sampai abad ke-19 memberikan latar perkembangan sistem perkebunan di Indonesia pada
abad ke-19. Pergantian politik pemerintahan ini ditandai dengan kebangkrutan VOC yang
disebabkan berbagai faktor seperti kecurangan pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah, sistem
monopoli dan sistem paksa yang membawa kemerosotan moral dan penderitaan penduduk. Pada
saat yang sama, Negeri Belanda juga sedang mengalami dampak buruk akibat perang
menghadapi Inggris. Sementara itu, Negeri Belanda sendiri sedang berada dalam pengaruh
kekuasaan kekaisaran Perancis di bawah Napoleon sebagai akibat dari perang yang dilakukan
Perancis dengan negeri-negeri tetangganya. Oleh karena itu semua, maka perpindahan
pemerintahan VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad itu tidak membawa
banyak perubahan. Masih pada saat yang sama, di Eropa sedang terjadi perluasan paham dan
cita-cita liberal sebagai akibat dari Revolusi Perancis. Paham liberal itupun masuk ke Negeri
Belanda. Salah satu tokohnya adalah Dirk van Hogendorp. Ia adalah juru bicara kaum liberal
Belanda yang sering mengajukan gagasan baru kepada pemerintahan Belanda untuk menjalankan
politik kolonialnya di Indonesia dengan berdasarkan kebebasan dan kesejahteraan umum. Kaum
liberal juga mengusulkan perubahan sistem pemerintahan tidak langsung ke sistem pemerintahan
langsung serta mengusulkan untuk mengganti sistem tanam paksa dengan sistem pajak. Gagasan
itu tentu saja ditentang oleh kelompok lain khususnya kaum konservatif yang hendak
mempertahankan sistem dagang dari politik VOC. Dua gagasan tersebut (sistem pajak dan sistem
dagang) mempengaruhi poltik kolonial Belanda selama periode tahun 1800 sampai sekitar tahun
1870.
Dihadapkan kepada kenyataan tersebut, pemerintah kolonial lebih cenderung memilih
kebijaksanaan politik kaum konservatif yang dianggap realistis dan mudah dilaksanakan. Namun
dalam perkembangan penerapannya, idealisme liberal banyak dilaksanakan pendukungnya di
tengah-tengah menjalankan garis politik konservatif. Daendels (1808—1816) dan Raffles
(1811—1816) adalah dua contoh penguasa yang menganut idealisme liberal. Mereka
memperjuangkan kebebasan perseorangan baik dalam hak milik tanah, bercocok tanam,
berdagang, menggunakan hasil tanaman, maupun dalam kepastian hukum dan keadilan. Banyak
upaya yang dilakukan Daendels dengan berbagai cara untuk mewujudkan idealismenya, namun
tidak semua gagasan tersebut dilaksanakanya karena kenyataan yang mendesak untuk
mempertahankan Jawa dari ancaman Inggris. Pada masa Raffles, upaya pembaharuan yang
paling menonjol adalah pengenalan sistem pemungutan pajak tanah (land rent).
4.2. Sistem Pajak Tanah: 1812—1816
Pengenalan sistem pajak tanah oleh Raffles adalah bagian integral dari gagasannya
tentang sistem sewa tanah (landelijk stelsel) di tanah jajahan yang berupaya memperbaiki sistem
paksa VOC yang dianggapnya memberatkan dan merugikan penduduk. Ia menganggap bahwa
gagasannya akan menguntungkan kedua belah pihak, baik negara maupun penduduk). Dalam
pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan dengan dua pilihan, antara penetapan pajak secara
perseorangan atau satu desa. Akhirnya Raffles lebih memilih penetapan pajak secara
perseorangan karena khawatir adanya ketergantungan peduduk kepada penguasa pribumi serta
menghindari penindasan yang sangat mungkin terjadi dialami rakyat. Penetapan pajak tersebut
berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah
maupun di lahan tegal, dan didasarkan pada kesuburan tanah yang diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III), dengan rincian sebagai berikut:
A. Pajak Tanah Sawah:
Golongan I
1/2 hasil panenan
Golongan II
2/5 hasil panenan
Golongan III
1/3 hasil panenan
B. Pajak Tanah Tegal:
Golongan I
2/5 hasil panenan
Golongan II
1/3 hasil panenan
Golongan III
1/4 hasil panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras.
Penarikannya dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Dalam pelaksanaannya, sistem
pemungutan pajak tanah ini mengalami berbagai hambatan yang timbul di lapangan. Berbagai
penyelewengan, ukuran tanah, dan berbagai masalah lainnya mengakibatkan gagalnya
pelaksanaan sistem tersebut.
Setelah Belanda menerima kembali tanah jajahannya dari Inggris, mereka dihadapkan
keraguan dalam memilih sistem yang akan diterapkan karena melihat realitas di lapangan serta
dihadapkan dengan tuntutan negeri induk yang mendesak. Para penguasa kolonial sesudah tahun
1816, seperti para Komisaris Jenderal (1816—1819), Gubernur Jenderal Van der Capellen
(1819—1826), dan Du Bus de Gisignies pada awalnya berniat untuk melanjutkan gagasan
liberal, akan tetapi realitas keuangan negeri induk yang mengalami kemerosotan membuat
mereka terpaksa menerapkan politik eksploitasi tanah jajahan. Akan tetapi, mereka mencari cara
untuk menerapkan kebebasan sehingga kebijakan politiknya bersifat dualistis. Sementara itu,
sistem pemungutan pajak tetap berjalan seperti masa Raffles tetapi mengalami beberapa
perubahan seperti penetapan pajak kepada desa. Berbeda dengan masa Raffles, pemerintah
kolonial Belanda sesudah tahun 1816 menjalankan fungsionalisasi dengan mempertahankan
kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal (tradisional) di samping sebagai pegawai
pemerintah kolonial yang bertanggung jawab terhadap pungutan pajak.
4.3 Sistem Sewa Tanah (Landelijk Stelsel): 1816—1830
Sistem sewa tanah (landelijk stelsel) yang menjadi dasar kebijaksanaan ekonomi
pemerintahan Raffles membawa pengaruh arah kebijaksanaan politik pemerintah kolonial
Belanda selama periode 1816—1830. Gagasan Raffles pada dasarnya ingin melepaskan segala
unsur paksaan dan sifat feodalisme dalam pemerintahan yang pernah dijalankan oleh VOC.
Semangat Revolusi Perancis dan keberhasilannya dalam memerintah India membuat ia begitu
yakin dengan penerapan gagasannya. Padahal, banyak perbedaan struktur dan kondisi sosial
yang membedakan semuanya dengan masyarakat Jawa yang dipimpinnya. Persamaan gagasan
Raffles dengan tokoh liberal Belanda Dirk van Hogendorp adalah mengenai defungsionalisasi
penguasa pribumi untuk menghapuskan sistem feodal yang berlaku karena dianggapnya
mematikan kreativitas dan swadaya rakyat. Dalam hal perdagangan, Raffles maupun Dirk
menginginkan keleluasaan petani dalam menamam tanaman perdagangan yang dapat diekspor,
sedangkan pemerintah bertugas untuk menyediakan perangkat dan prasarana yang dibutuhkan.
Untuk menyusun kebijaksanaan politik perekonomian baru itu, Raffles merumuskan tiga asas
perubahan. Pertama, menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi, dan memberikan
kebebasan penuh kepada rakyat untuk menentukan jenis tnaman yang hendak ditanam dan
diperdagangkan tanpa adanya unsur paksaan. Kedua, pengawasan tanah secara terpusat dan
langsung serta penarikan pendapatan dan pungutan sewa oleh pemerintah tanpa perantaraan para
bupati. Bupati tetap sebagai pegawai dengan bedasar asas pemerintahan Barat. Ketiga,
didasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemilik tanah, maka para petani dianggap
sebagai penyewa tanah (tenant) milik pemerintah. Oleh karena itu, mereka diwajibkan
membayar sewa tanah (land rent). Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah tidak dapat
diberlakukan di seluruh Jawa karena terbentur dengan banyaknya tanah partikelir (tanah milik
swasta).
Pada masa pemerintahan Komisaris Jenderal Elout, Busykes, dan Van der Capellen
(1816—1819), sistem sewa tanah mengalami berbagai kesulitan dari para petaninya yang
walaupun telah diberikan kebebasan tetapi tidak memiliki semangat tinggi dalam melakukan
garapannya sehingga hasilnya tidak memuaskan (seperti yang terjadi di Cirebon dan sebelah
timurnya). Dalam upaya meningkatkan ekspor dan kemakmuran rakyat, pemerintah Komisaris
Jenderal membuka kontrak-kontrak antara pengusaha Eropa dengan kepala desa. Akan tetapi hal
itu juga mengalami kendala karena berbagai faktor seperti lemahnya lalu lintas komersial di
desa, tidak adanya pengalaman dagang, belum meresapnya ekonomi uang, serta berbagai
kecurangan yang terjadi.
Melihat kenyataan bahwa banyak faktor yang tidak mendorong rakyat untuk melakukan
pertanian ekspor, maka Van der Capellen pada masa pemerintahannya melakukan politik
perlindungan dengan melakukan berbagai pembatasan kegiatan perdagangan, kepemilikan tanah,
dan lain-lain terhadap orang asing (Cina, Eropa, dsb).
Berbeda dengan Van der Capellen yang memberikan pembatasan bagi orang asing, Du
Bus de Gisignies (1826—1830) justru menarik dan mendorong pengusaha-pengusaha swasta
untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan perekonomian di tanah jajahan. Menurut Du Bus,
untuk meningkatkan produksi ekspor, perlu dilakuakan dua tindakan. Pertama, milik tanah
bersama (communal bezit) perlu diganti dengan milik tanah perseorangan (individueel grondbezit). Pada intinya, di satu sisi Du Bus ingin mendorong kinerja petani agar bekerja lebih keras
sedangkan di sisi lain Du Bus hendak menjalankan sistem sewa tanah dengan jalan memperkuat
pengaruh Barat dalam kegiatan ekonomi di pedesaan. Namun upaya Du Bus hanyalah mimpi
yang mustahil diwujudkan karena saat itu terjadi Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama
lima tahun (1825—1830).
Dari seluruh gambaran upaya yang dilakukan oleh setiap pemerintahan yang mencoba
menerapkan sistem sewa tanah tadi, dapat disimpulkan bahwa selama hampir 20 tahun (1810—
1830), sistem sewa tanah mengalami kegagalan mewujudkan tujuannya untuk memakmurkan
rakyat dan meningkatkan produksi ekspor. Pada awalnya, gagasan yang dilontarkan Raffles ini
memang memilki berbagai kelemahan dikarenakan persepsi Raffles yang menganggap sistem
yang berhasil diterapkan di India ini juga akan berhasil diterapkan di Jawa. Akan tetapi, Raffles
tidak memikirkan bahwa struktur sosial serta kondisi sosial yang jauh berbeda antara sebagian
daerah India yang sudah dapat melepaskan diri dari ikatan feodalisme serta sudah cukup lama
mengenal sistem ekonomi dibandingkan dengan keadaan Jawa yang masih kental dengan ikatan
feodal dan kondisi masyarakatnya yang sebagian besar masih belum memahami sistem ekonomi.
Pada masa selanjutnya, setelah tahun 1830, ketika Gubernur Jenderal Van den Bosh
memegang pemerintahan, sistem sewa tanah dihapuskan. Sebagai gantinya, ia menghidupkan
kembali sistem penanaman dengan unsur paksaan bahkan dengan cara yang lebih keras
dibandingkan masa sebelumnya.
Download