lingkaran wina1

advertisement
LINGKARAN WINA1
Oleh Wilopo
I. PENDAHULUAN
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang
merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara tidak kritis dan merupakan
suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi.
Filsafat juga merupakan suatu usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang artinya
filsafat berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam ilm dan pengetahuan tentang
manusia sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional
tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya.
Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman.
Empiris
membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis
tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau
menghasilkan temuan-temuan.
Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya
berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan
pengetahuan dasar. Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data
empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsure-unsur yang
hakiki atau bicara tentang hakekatnya. Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang
hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari
masyarakat.
Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya
mitos dan dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia waktu itu
mencari asal usul alam semesta melalui mitos dan dongeng. Namun pemikiran tersebut yang tidak
didasarkan oleh control akal sehat, maka orang mulai mencari jawaban yang rasional tentang asal
usul dan kejadian alam semesta. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah dengan
1
Disampaikan pada Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP, UI, Jakarta, Oktober
2009
1|H a l
ditunjukkannya pengamatan pada gejala kosmik dan fisik sebagai iktiar untuk mendapatkan gejala,
seperti air (Thales, 640-550 SM), udara (Anaximenes, 588-524 SM) maupun angka-angka
(Pythagoras, 580-500 SM). Perkembangan selanjutnya dengan munculnya gagasan tentang ‘ada’
(Parmenides, 540-475 SM) yang merupakan cikal bakal munculnya filsafat ‘metafisika’, tentang
pluralism dan monism dalam bidang epistomologi antara ‘empirisme’ dan rasionalisme’.
Perkembangan filsafat selanjutnya semakin semarak dengan tampilnya filsuf Demokritos (460-370
SM) dengan konsep atomnya yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.
Filsuf Socrates (470-399 SM) tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis tapi langsung
menerapkan metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari dimana metode yang
diuraikannya disebut dialetika. Yang berarti bercakap-cakap, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya Plato (428-348 SM) tentang tradisi dialog dalam bersfilsafat. Pemikiran filsafat Yunani
mencapai puncak pada murid Plato yaitu Aristoteles (384 – 322 SM) dimana menurutnya tugas
ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab obyek yang diselidiki.
Perkembangan filsafat terus berlanjut sampai pada Zaman pertengahan (6-16 M) dimana muncul
para filsuf, seperti Thomas Aquinas. Selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans (1416 M) yang memunculkan para Tokoh seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon
(1561-1626). Setelah itu perkembangannya dimatangkan dengan munculnya gerakan Aufklaerung
pada abad 18, yang mana pengaruhnya bersama dengan Zaman Renaisans telah menyebabkan
peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas.
Dari dasar inilah muncullah wacana filsafat yang menjadi topic dalam abad 17 yaitu persoalan
epistemology yaitu tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan dan apakah sarana
yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan
kebenaran itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan dua aliran filsafat yang berbeda
yaitu rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan
yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio).
Para tokoh dalam aliran ini sepert
Descrates, Spinoza dan Leibniz. Sedangkan dan aliran empirisme mengatakan bahwa sumber
pengetahuan yang memadai adalah pengalaman yang menyangkut dunia dan pengalaman probadi
manusia. Filsuf Jerman yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) menjembatani kedua pendapat
ini dengan melahirkan aliran yang disebut Kritisime. Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran
filsafat positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857), dimana inti filsafatnya adalah anti-metafisis.
2|H a l
Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar dalam
perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat Ilmu Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu
pengetahuan untuk mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-unsur dan
hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu
pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai
macam hal dalam ilmu pengetahuan. Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika
dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari sejarah ilmu
pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat revolusi ilmu pengetahuan pada abad
17, ketika terjadi penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya seperti, Newton
dan Kepller. Pada abad ke-17 itu telah terjadi perubahan pemikiran yang sangat revolusioner
dibandingkan dengan sebelumnya. Revolusi Budaya, sebagai salah satu contoh yang mendorong
orang berpikir rasional dan empiris yang mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi
ilmu pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang sifatnya matematika, fisika dan
astronomi.
Revolusi ilmu pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan
empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu pengetahuan.
Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad 19, dimana Auguste Comte
memberikan sumbangan kreatif yang khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa
antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai keteraturan sosial: positivisme dan
organisme. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan perubahan sosial
dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya
akan berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan dilenyapkan. Titik
pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap
positivisme.
Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi kedalam dua
bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika mewakili
stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan. Dengan memakai analogi dari biologi, Comte
menyatakan bahwa hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan hubungan antara
anatomi dan fisiologi. Hal ini membuat Comte membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu :
Teologi yaitu pengetahuan yang didapat didasarkan pada Teologis (iman dan kepercayaan),
Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak
serta Positif yaitu ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang sifatnya empiris.
3|H a l
Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte
mendapat dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari mereka yang berpikir
positif. Sejak saat itu positivism mendapat pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan
dan pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivisme untuk
membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal
sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).
II. SEJARAH PERKEMBANGAN
Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825).
Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika
simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh
empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan
behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum. Tesis
Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang
mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis
ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan
positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan
tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.
Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun
1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut
pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokohtokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut
4|H a l
berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme
logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang
bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (17981857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu
positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk
bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejalagejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori
berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran
atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti
harus dikaitkan dengan suatu teori.
Metode positif Auguste Comte juga menekankan
pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan
filsafat yang penting bukan pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejalagejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan
metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat
atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’. Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat,
sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan.
Sosiologi ini
sekaligus suatu ‘filsafat sejarah’, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual
sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta tersebut.
Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural.
Istilah positivisme dipopulerkan oleh August Comte dalam sebuah karyanya “Cours de Philosophic
Positive" sebanyak enam jilid. Dari Comte inilah orang banyak mengenal tentang positivisme secara
luas. Positivisme berakar pada empirisme." Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan
pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Di samping itu juga bersama-sama
John Locke dan David Hume, kelompok positivis Prancis (Auguste Comte), kelompok logikal
positivis dan kelompok Wina serta aliran-aliran fisika analisis dari Inggris sangat concern terhadap
tradisi empiris. Sesungguhnya positivisme tidak dapat dipisahkan dengan empirisme. Oleh karena
5|H a l
itu tidak salah bila Hector Hawton menyebut positivisme tersebut bersinonim dengan empirisme
ilmiah. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan faktafakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme
menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan
metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Atas kesuksesan teknologi industry abad ke-18 positivisme mengembangkan pemikiran tentang
ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan juga agama
sebagai disiplin ilmu. Tentu menjadi etika, politik dan agama yang positivistik. Dalam
perkembangan filsafat, ada tiga bentuk positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner,
dan positivisme kritis. Ketiga aliran itu kemudian berkembang lebih lanjut menjadi positivisime
modern, yang dibagi kepada dua aliran besar, yaitu positivisme linguistik dan positivisme fungsional.
Selain itu juga berkembang aliran positivisme logik (logical positivisme) yang dikenal dengan
neopositivisme.
1. Positivisme Sosial
Posivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah.
August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh-tokoh utama positisme sosial. Sedangkan para
perintisnya adalah Saint Simon dan para penults sosialistik dan utilitarian; yang karyanya Juga
dekat dengan tokoh besar dalam ekonomi: Thomas Malthus dan David Ricardo.
a. Filsafat Positivistik August Comte
August Comte (1798-1875) terkenal dengan penjenjangan sejarah alam piker manusia,
yaitu: teologi, metafisik dan positif.
Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa
dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua,
tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum
umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut
dijelaskan secara ilmiah. Pada jenjang teologi, manusia memandang bahwa segala sesuatu
itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya.
Jenjang teologi ini dibagi lagi kepada tiga tahap, yaitu: pertama tahap animisme atau
fetishisme, yang memandang bahwa setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri, kedua
tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada
sejumlah obyek; dan ketiga tahap monotheisms yang memandang bahwa ada satu Tuhan
yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam fikir metafisik
6|H a l
abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam
semesta. Dan pada jenjang positif, yakni yang terakhir dan tertinggi, alam fikir manusia
mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama.
Ilmu pengetahuan positif model Comte adalah rasionalisme Descartes dan ilmu
pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, Isaac Newton dan
Francis Bacon. Comte menyebutkan ada enam ilmu pokok yaitu: matematika, astronomi,
fisika, kimia, biologi dan sosiologi.
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial memasyarakatan. Aliran ini
tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan
kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi
guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus
mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan
masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode
absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph,
yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap
akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika,
dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari
de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat
sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
7|H a l
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan,
eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu
alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
b. Positivisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) adalah dua orang tokoh
yang memberikan landasan positivisme. Menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu
yang dilandaskan pada fakta. Etik tradisional vang dilandaskan pada moral, diganti dengan
etik yang dilandaskan pada motif perilaku, pada kepatuhan manusia terhadap aturan.
Sebagat seorang utilitarian Mill menolak kekuasaan absolute dari agama. Mill berpendapat
bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a sacred fortress (benteng suci) yang aman dari
penyusupan otoritas apapun. Wawasan yang menjadi marak pada, akhir abad 20 ini. Sistem
positivis dipergunakan Mill untuk segala ilmu, baik logika, psikologi maupun etika.
2. Positivisme Evolusioner
Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi. Digunakan doktrin evolusi biologik.
a. Herbert Spencer
Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologi. Dalam konsepnya, evolusi
merupakan proses dari sederhana ke kompleks, Pengetahuan manusia menurut Spencer
terbatas pada kawasan fenomena. Agama yang otentik mengunakan kawasan yang penuh
misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang fenomena tunduk kepada
misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa sosiologi merupakan
disiplin umu teoritik yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat manusia.
Pandangan tersebut diterima oleh sosiolog positivistik seperti Emile Durkheim, Spencer,
dan selanjutnya positivist lainnya menerima penafsiran evolusi yang bersifat hal dan
abstrak yang materialistik ataupun kesadaran yang spritualistik.
b. Haeckel
Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualistik. Haeckel memandang
bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai
substansinva yang satu, monistik. Berbeda dengan Lombrosso yang berpendapat bahwa
perilaku kriminal itu bersifat positivistik biologik deterministik.
8|H a l
3. Positivisme Kritis
Yang termasuk tokoh-tokoh positivisme kritis adalah Ernst Mach, Richard Avenarius, Karl
Pearson dan Joseph Petzoldt.
a. Ernst Mach dan Richard Avenarius
Richard Avenarius dan Ernst Mach, dua tokoh yang dianggap sebagai pelopor kaum
neopositivisme, mencoba memberikan fundamen bagi kepastian filsafat dengan derajat
kepastian yang sama dengan ilmu pasti. Caranya adalah dengan menggunakan metode
matematik yang dikombinasikan dengan eksperimen. Penggunaan proposisi matematik ini
dapat menjauhkan filsafat dari segala suasana perasaan, subyektivitas dan metafisika
(Beerling, 1994: 96).
Di akhir abad 19 positivisme menampilkan bentuk yang lebih kritis dalam beberapa karya
Mach dan Avenarius, yang lebih dikenal dengan empiriocritistme. Bagi keduanya fakta
adalah satu-satunva unsur untuk membangun realitas. Realitas baginya adalah sejumlah
rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relative stabil. Unsur indrawi itu bisa
berupa fisik dan bisa pula psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi
indrawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu itu.
b. Pearson
Konsep hukum menurut positivisme klasik merupakan relasi konstan sejumlah fakta,
sedangkan menurut Kad Pearson merupakan suatu deskripsi tentang dunia luar, bukan
persepsi. Sementara Mach memandang hukum sebagai preskripsi tentang fenomena yang
diharapkan.
c. Petzoldt
Segaris dengan Marc, Joseph Petzoldt mengajukan konsep law of univocal determanition
sebagai pengganti prinsip kausalitas. Menurut Petzoldt hukum ini memungkinkan orang
memilih kondisi mana yang diperhatikan lebih efektif terhadap determinasi suatu
fenomena. Pearsen menyimpulkan hukum ilmiah adalah hukum yang hanya memberi efek
logis dan tidak perlu sampai kepada efek fisik."
4. Positivisme Linguistik
Yang mula-mula mengembangkan positivisme linguistik pada awal abad 20 adalah de
Saussure. Dia mengaplikasikan sistem logika yang menggunakan bahasa sebagai sistem logika
untuk pengembangan ilmu. Sistem logika bahasa ini disebut sebagai second order of logic yang pada
era sekarang dikenal dengan positivisme linguistik.
9|H a l
5. Positivisme Fungsional
Positivisme fungsional yang merupakan positivisme modem, masih tetap menggunakan
paradigma kuatitaif matematik yang diasumsikan isomorphic dengan ilmu pengetahuan alam.
Disebut positivisme fungsional karena ia mengadopsi analogi biologik dan analogi mekanik dalam
menelaah manusia. Sistem biologik dan sistem mekanik dipakai untuk memahami prilaku manusia.
6. Positivisme Logik (Neopositivisme)
Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivistik
logik. Yang memberi nama positivisme logik adalah A.E. Blumberg dan Herbert Feigel pada tahun
1932. Nama lain dari empirisme logik adalah neopositivisme. Tradisi kelompok Wina yang
empiristik mengembangkan terus diskusinya. Moritz Schlik dan Rudolph Camap ikut bergabung
pula, dan mereka menjadi tokoh sentralnya. Perlu dicatat di sini bahwa kelompok Wina ini
minoritas di Eropa; yang dominan adalah tradisi Jerman yang menganut idealism Kant.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin
membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang
berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan,
termasuk di dalamnya filsafat. Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah
pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan luas dari berbagai
kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logik masih terasa hingga
saat sekarang ini.
Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu
pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan mata
ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang
dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur
pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa
ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu tersebut adalah filsafat ilmu.
10 | H a l
Lingkaran Wina adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu-ilmu pasti dan alam
di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oelh Moritz Schlick pada tahun 1924, namun
pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun 1922, dan berlangsung terus menerus
sampai tahun 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn
(1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), dan Victor Kraft (18801975)
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap,
Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran
Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para
penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis
terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga,
penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan
empirisme.
III. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS
Para anggota Lingkaan Wina ini mendapat pengaruh dari tiga arah. Pertama, dari empirisme dan
positivism, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach (1838-1916). Kedua, dari metodologi ilmu empiris
yang dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, misalnya: Helmholz, Mach, Poencare,
Duhem, Boltzmann, dan Einsten. Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis yang
dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead dan Russell, serta Wittgenstein. Salah satu gerakan
ini adalah ingin memperbaharui positivisme klasik ciptaan Comte, sekaligus memperbaiki
kekurangan-kekurangan.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka
meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
11 | H a l
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,2
materialisme3 naturalisme filsafat dan empirisme4.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat
dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan
hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini
adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya
adalah etika5 dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam
bidang metafisika6. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber
pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data
inderawi.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal
yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilahistilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan
2
Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret, jadi "ada" menurut pandangan realisme adalah "ada" yang
bersifat konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai
pandangan bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret.
3
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah
materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah
satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori
ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas,
materialisme berseberangan dengan idealisme
4
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke
5
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika
terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika
terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
6
Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", υύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang
filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau
realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan
ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
12 | H a l
”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang
terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Kesatuan ilmu pengetahuan, berdasarkan pendapat Neurath, oleh Camap disebut dengan "
fisikalisme" (psysicalism). Istilah ini diciptakan oleh Carnap dalam suatu artikel yang berjudul "Die
psysikalische Sprache als Universalprache der Wissenschaft" terbit pada tahun 1931. Fisikalisme
bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipil antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan kultural. Karena semua ucapan empiris dapat diungkapkan dalam bahasa fisika, tidak
ada ilmu pengetahuan kultural (geistewissenschaften) yang berbeda dari ilmu pengetahuan alam.
Semua ilmu pengetahuan sama-sama bersifat "nsis" dan justru itulah memungkinkan kesatuan di
antaranya.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya.
Tekanan
positivistik
menggarisbawahi
penegasannya
bahwa
hanya
bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam
bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke
dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
IV. PENGAJARAN UTAMA POSITIVISME LOGIS
Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam
penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu
pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai contoh: definisi) atau sintetis
(pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif
(cognitively significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak
bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan
seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai
moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Untuk menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria yang
obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak bermakna. Salah satu
pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip dapat diverifikasi
13 | H a l
(verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam
bentuk universal (seperti: semua burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam
ilmu pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat ditolak
(falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap
menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability) ke dalam bahasa empiris dan dapat
dikonfirmasi (confirmability). Tetapi, tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu
membenarkan dalam memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori
dalam pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach dalam
mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi beberapa ilmuwan lain
memegang teguh pernyataan tersebut. Program akhir dari para ilmuwan positivis adalah
menggabungkan tesis dalam ilmu pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat
memanfaatkan metode yang sama.
Ada enam program pengajaran utama dalam logika empirisme. Program pertama adalah
menyatukan tesis ilmu pengetahuan. Tiga program berikutnya adalah berhubungan dengan
struktur dan tafsir terhadap teori. Model hipotetik-deduktif (hypothetical-deductive) dari struktur
teori menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempergunakan teori, yang dinyatakan dalam
bentuk formal seperti aksioma, struktur dari hipotetik-deduktif seperti itu tidak mempunyai arti
empiris sampai beberapa elemennya (biasanya kesimpulan teori atau prediksi dari teori) diberi
interpretasi empiris melalui penggunaan aturan yang sesuai. Tidak semua pernyataan mempunyai
interpretasi empiris. Yang hanya mengandung terminologi teoritis, pada khususnya, tidak dapat
diinterpretasikan. Apakah pernyataan seperti itu tidak bermakna? Tidak semuanya, sesuai dengan
tesis yang dapat diuji secara langsung (indirect testability thesis) pernyataan seperti itu mendapat
nilai nyata kognitif secara tidak langsung jika teori yang menyertainya dapat memperkuat.
Akhirnya, memperhatikan pernyataan tentang batas dan pengkajian teori, logika empiris
membentuk konfirmationisme (confirmationism) sebagai kriteria utama dalam penafsiran teori.
Teori mempunyai arti ilmiah jika dapat diuji. Pengujian segera dapat mengesahkan atau
membatalkan suatu teori. Penerimaan suatu teori tergantung dari derajat pengesahannya. Derajat
pengesahan diukur dari:
1. suatu kuantitas dan ketelitian dari hasil pengujian yang mendukung,
2. ketelitian prosedur observasi dan pengukuran,
3. bermacam-macam bukti yang mendukung, dan bahkan
4. situasi uji yang mendukung hipotesis.
14 | H a l
Kriteria non-empiris tambahan dalam penafsiran (seperti: kesederhanaan, kebagusan, bermanfaat,
berlaku umum, dapat dikembangkan) perlu diungkapkan jika teori yang dipilih belum mempunyai
dasar empiris. Dua pengajaran terakhir dari logika empirisme membahas logika dari penjelasan
ilmiah. Semua penjelasan dalam ilmu pengetahuan harus dinyatakan dalam bentuk bukti deduktif.
Kalimat penjelas terdiri atas kelompok kalimat, beberapa diantaranya menyatakan kondisi awal
dan salah satunya berisi pernyataan umum atau hukum statistik. Deduktif-nomologis (deductivenomological) mencakup model suatu hukum dalam penjelasan ilmiah. Sebagai tambahan penganut
logika empiris percaya tentang tesis simetri; penjelasan dan prediksi merupakan hal yang simetri
secara struktur, perbedaannya hanya dalam hal waktu. Pada penjelasan, fenomena yang dijelaskan
telah terjadi, sedangkan dalam prediksi, fenomena tersebut belum terjadi.
V.
CIRI-CIRI POSITIVISME
Beberapa ciri-ciri dari positivisme yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penekanan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar tentang realitas. Telah ada upaya-upaya untuk membangun sebuah sistem yang
menyatukan seluruh sains di bawah satu metodologi logis, matematis dan eksperiensial.
2. Positivisme mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, sebuah kriteria
untuk menentukan bahwa sebuah pemyataan meniiliki makna kognitif. Sebuah pernyataan
dikatakan bermakna Jika dapat diverifikasi secara empiris. Segala pengetahuan haruslah
sampai pada tingkat positif, barulah ia dapat memiliki makna kognitif.
3. Filsafat dalam pandangan positivisme hanyalah sebagai analisis dan penjelasan makna
dengan menggunakan logika dan metode ilmiah. Karena matematika dan logika sangat
diperlukan untuk menganalisa pemyataan-pemyataan yang bermakna.
4. Bahasa filsafat mereka bangun dalam sebuah bahasa yang artifisial dan sempuma secara
formal untuk filsafat, sehingga memperoleh efisiensi, ketelitian, kelengkapan seperti yang
dimiliki sains-sains fisika.
5. Ciri positivisme yang cukup radikal adalah penolakan terhadap metafisika. Mereka menolak
metafisika disebabkan hal-hal yang metafisika tersebut tidak dapat diverifikasi secara
empiris dan bukan merupakan tautologi yang bermanfaat. Sesungguhnya tidak ada cara
untuk menentukan kebenaran atau kesalahannya dengan merujuk pada pengalaman.
6. Penolakan positivisme yang sedemikian rupa terhadap metafisika ini juga mempengaruhi
pandangan mereka terhadap agama dan ctika. Bentuk agama yang tertinggi dalam
15 | H a l
evolusinya adalah agama kemanusiaan (religion of humanity) agama yang tiada merujuk
pada Tuhan. Sedangkan etika bagi mereka adalah bentuk dari pernyataan emosi manusia
yang mendiskripsikan sikap penolakan atau pencrimaan terhadap sesuatu, yang semuanya
tidak ada standamya dan hubungannya dengan suatu yang transcnden.
Beberapa pandangan positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:
1. Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman. Yang dimaksud ialah mengenal
data-data inderawi
2. Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu ilmu
penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris, teori, dan
hipotesa.
3. Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak
dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan tautologi – subjekpredikat- saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi satu
keseluruhan yang meliputi segala data.
4. Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara pernyataan yang
bermakna (meanigful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Oleh karena itu, filsafat
tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman.
5. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus disusun
berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan Aristoteles.
6. Tidak ada konteks penemuan (context of discovery) . Yang ada hanya konteks pengujian
dan pembenaran (context of justification).
VI. KRITIK POSITIVISME LOGIS
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh
Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang
teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat
dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah
yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau
dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan
mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk
eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif
16 | H a l
(misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan. Karl
Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der
Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari
teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang
dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang
membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara
pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik
tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu
masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan
selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode
penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti
berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat
digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial
lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut
asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara
pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini
bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat
dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Penolakan positivisme terhadap sumber-sumber pengetahuan yang nonempirik di sini
sesesungguhnya dapat mengakibatkan kemiskinan sumber pengetahuan, mengakibatkan reduksi
atas kebenaran. Padahal kebenaran suatu pengetahuan bukan hanya empirik, namun juga terkait
dengan rasionalistik, intuitif bahkan otoritas— kesaksian orang lain. Di antara sumber-sumber
pengetahuan yang bermacam-macam itu saling melengkapi dan tidak bertentangan dalam
usahanya mencapai kebanaran.
VII. PENUTUP
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang
merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia jadi filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis
dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris
lainnya. Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar
dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan.
17 | H a l
Pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya mitos dan
dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam yang terus berlanjut Zaman
pertengahan (6-16 M) dan selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans dan dalam abad
17 muncul persoalan epistemology yang memunculkan dua pandangan berbeda yaitu rasionalisme
dan empirisme, dimana akhirnya muncul pandangan kritisisme yang menjembatani kedua
pendangan yang berbeda tersebut. Pada abad 17 inilah dapat dikatakan sebagai Revolusi ilmu
Pengetahuan dengan dengan cara berpikir yang mekanistik (matematika, fisika dan astronomi).
Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran filsafat yang positivisme yang inti filsafatnya adalah
anti-metafisis.
Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta
sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak
keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di
luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Selanjtnya Ilmu pengetahuan yang positivisme memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
ilmu pengetahuan terlebih pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang
berorientasi positivisme untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana
kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).
Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivisme logis.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin
membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang
berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan,
termasuk di dalamnya filsafat.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai
sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas.
18 | H a l
Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme
filsafat dan empirisme.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka
meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,
materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat
dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan
hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini
adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya
adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam
bidang metafisika. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber
pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data
inderawi.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal
yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilahistilah.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh
Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten.
Sumber Bacaan
1.
2.
3.
4.
5.
ABDUL HAKIM, Epistemologi Positivistik dalam Kajian Historis dan Metodologis, limn
Ushtiluddin, Vol. 5. No.l, Januari-Juni 2006, hal. 72-84
http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis
Mustansyir. R. ; Munir, M., Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Verhaak, C.; Iman Haartini, R.; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Grmaedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1995
Wattimena, R.A.A; Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Grasindo, Jakarta, 2008 Wibowo
Arief, Positivisme dan Perkembangannya, http://staff.blog.ui.ac.id/arif51
19 | H a l
Download