View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
SKRIPSI
WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL
(Studi tentang Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa
Kabupaten Mamasa)
OLEH :
HENDERINA AR
E 511 08 251
JURUSAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL
(Studi tentang Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa
Kabupaten Mamasa)
OLEH :
HENDERINA AR
E 511 08 254
SKRIPSI SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA PADA
JURUSAN ANTROPOLOGI PADA PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL
JURUSAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
ABSTRAK
HENDERINA AR. WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (studi tentang Patron
client germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten
Mamasa). (dibimbing oleh H. Pawennari Hijjang dan Ansar Arifin).
Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012, di Desa
Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa bertujuan untuk mengetahui
bagaimana sejarah Patron client antara germo dengan PSK, hubungan antara
Germo dengan PSK dan bagaimana peran secara timbal balik antara Germo
(patron) dengan PSK (client) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten
Mamasa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tipe
penelitian deskriftif (Deskriptive Research). Informan yang digunakan adalah pekerja
seks komersial dan germo yang ada di kafe Bamba Lempan dan kafe Pelangi, lakilaki hidung belang dan tokoh masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam (Indepth Interview) dan observasi, yang kemudian data yang
telah diperoleh dianalisa secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi Patron client antara germo dan
PSK dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan hidup yang membuat germo sebagai
patron membutuhkan pekerja dan PSK pun membutuhkan pekerjaan. Hubungan
diantaranya dimulai dengan hubungan tanpa perjanjian tertulis namun didasari oleh
rasa saling percaya dari masing-masing pihak. Sebagai patron, germo memiliki
peran terhadap PSK (client) baik pada saat bekerja maupun dalam kehidupan
sehari-harinya, untuk mengarahkan, mengontrol, dan melindungi PSK. Begitupun
dengan PSK peran yaitu bekerja sesuai dengan perintah germo, melakukan
kewajibannya sebagai pekerja, melayani dan menyenangkan pelanggan. Patron
client antara germo dan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa merupakan
simbiosis mutualisme.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman dewasa ini, telah merubah standarisasi
kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan
urbanisasi
menyebabkan
kesulitan
beradaptasi
dan
menyebabkan
kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan
eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri,
sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari
norma-norma umum atau berbuat semau sendiri demi kepentingan pribadi.
Adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai
sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Sehingga tingkah laku
yang dianggap tidak cocok melanggar norma dan adat-istiadat atau tidak
terintegrasi dengan tingkah laku umum dianggap sebagai masalah sosial
(Kartono, 1999:2).
Salah satu bentuk penyimpangan norma (penyakit masyarakat) yang
dianggap sebagai masalah sosial adalah prostitusi, yang mempunyai sejarah
yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh normanorma perkawinan) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua
negara di dunia.
W.A. Berger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der
Prostitutie menulis defenisi bahwa Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan
dimana wanita menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai
mata pencaharian. Ini menunjukkan bahwa Pelacuran atau prostitusi adalah
peristiwa penjualan diri dengan menjualbelikan badan, kehormatan dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu dengan imbalan
atau bayaran. Pekerja seks komersial sangat erat kaitannya dengan seks
bebas. Sekarang seringkali ditemukan seks bebas pada remaja yang
disebabkan beberapa faktor seperti: kemiskinan, tekanan yang datang dari
teman pergaulannya, adanya tekanan dari pacar, adanya kebutuhan
badaniah, rasa penasaran, ataupun pelampiasan diri.
Kita dapat melihat bahwa alasan penting yang melatarbelakangi
adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak
memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin semakin miskin
dan yang kaya semakin kaya. Memburuknya kemiskinan pada wanita, baik
akibat status yang rendah ataupun penurunan kondisi perekonomian global,
berpengaruh terhadap meningkatnya pelacuran. (Koblinsky, dkk : 1997).
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berinteraksi dengan yang lain
dan slalu terkait dengan hubungan sosial yang kompleks. Pada masyarakat
ditemui beragam pola atau bentuk hubungan (relasi) yang terjalin di antara
mereka. Salah satunya adalah hubungan patron klien. Dimana patron yang
berarti orang yang memiliki kekuasaan atau power terhadap orang lain, dan
klien yang berarti bawahan atau orang yang diperintah. Istilah ‘patron’
berasal dari ungkapan bahasa spanyol yang secara etimologis berarti
‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan
pengaruh’ (Usman, 2004: 132). Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau
orang yang diperintah dan yang disuruh. Terdapat unsur pertukaran barang
dan jasa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pola hubungan patron-klien.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa pola hubungan seperti ini merupakan
teori pertukaran yang berasumsikan bahwa transaksi pertukaran akan terjadi
apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari
adanya pertukaran tersebut.
Hubungan-hubungan sosial yang menimbulkan interaksi sosial baik
terhadap individu-individu atau pun kelompok pada suatu ruang dan tempat
itu dapat terjadi ketika ada yang membutuhkan dan ada yang memberi serta
ada yang mengayomi. Misalnya dalam kegiatan pelacuran dikenal adanya
germo sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan mutlak adanya, germo
diartikan sebagai orang (laki-laki atau wanita) yang mata pencahariannya baik
sambilan maupun sepenuhnya menyediakan, mengadakan atau turut serta
mengadakan, membiayai, menyewakan dan memimpin serta mengatur
tempat untuk praktek pelacuran yakni dengan mempertemukan atau
memungkinkan bertemunya wanita pelacur dengan laki-laki untuk bersetubuh.
Kabupaten
Mamasa
sebagai
kabupaten
baru
yang
sedang
berkembang dari keterbelakangan ekonomi, juga tidak lepas dari adanya
praktek-praktek penyimpangan sosial (Pekeja Seks komersial), yang awalnya
sangat dianggap tabu oleh masyarakat Mamasa yang kental dengan adatistiadat, dan memegang teguh iman Kristen namun seiring dengan
perkembangan-perkembangan global yang ada kegiatan inipun semakin
merajalela bahkan dengan mudahnya dilokalisasikan.
Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa merupakan
salah satu tempat kegiatan Prostitusi yang juga sebagai pusat kegiatan
pelacuran di Kabupaten Mamasa, yang kebanyakan dari mereka adalah
pendatang dari luar Mamasa misalnya dari Palopo, Manado, Makassar, dan
Jawa. namun ada juga segelintir orang Mamasa yang ikut dalam kegiatan
tersebut. Germonya sendiri adalah orang Mamasa asli.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hans Joni telah
membahas mengenai Pekerja Seks Komersial dalam hubungannya dengan
Kehidupan sosial ekonomi para Pekerja Seks Komersial, juga oleh Suriany
yang telah membahas mengenai respons budaya masyarakat Toraja
terhadap kegiatan Prostitusi. Pada kesempatan ini penulis merasa tertarik
untuk mengkaji dan meneliti mengenai PSK dalam hubungannya dengan
Patron-Client antara Germo dengan PSK Sehingga penulis memberi judul
“Wanita Pekerja Seks Komersial (Studi tentang Patron-Client Germo
dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa).
B. Fokus Penelitian
Pelacur merupakan pekerjaan yang menyimpang dari norma-norma
yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kepuasan materi serta kepuasaan nafsu yang mereka inginkan. Penulis
hanya membuat beberapa fokus penelitian dalam mengkaji segi kehidupan
PSK dalam hubungannya dengan hubungan kerja dengan Germo. Adapun
batasan masalah yang peneliti buat untuk mengkaji Wanita Pekerja Seks
Komersial (studi tentang Patron-Client antara Germo dengan PSK di Desa
Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa) adalah :
1. Bagaimana sejarah patron client Germo dengan PSK di Desa Osango
Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa?
2. Bagaimana hubungan antara Germo dengan PSK?
3. Bagaimana fungsi dan peran secara timbal balik antara Germo (patron)
dengan PSK (client) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten
Mamasa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Menerangkan sejarah patron client Germo dengan PSK di Desa Osango
Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa.
b. Menggambarkan hubungan antara Germo dan PSK.
c. Menggambarkan peran secara timbal balik antara Germo (patron) dengan
PSK (klien) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa.
2. Manfaat Penelitian
a) Secara teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan atau
sebagai bahan referensi untuk peneliti-peneliti selanjutnya yang akan
mengadakan penelitian berkenaan dengan judul ini serta sebagai bentuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
b) Secara praktis.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan
permasalahan dan mengantisipasi masalah pada obyek penelitian
berikutnya yang berkenaan dengan penelitian ini.
c) Manfaat bagi peneliti.
Bagi peneliti sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat dalam
menambah dan memperluas pengetahuan tentang realitas dan fenomena
sosial yang terjadi dalam masyarakat, dan juga sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
D. Kerangka Konseptual.
Akibat berbagai tekanan sosial ekonomi dibarengi dengan kebutuhan
hidup yang terus-menerus meningkat menimbulkan hasrat, dorongan untuk
mencari lapangan kerja yang dapat memberi berbagai tingkat kebutuhan
hidup yang lebih baik agar dapat memantapkan perekonomian keluarga.
Kenyataan atau realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat dan
pemerintah yang selalu terkait dengan politik ekonomi, dan tidak lepas dari
luasnya sarana transportasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
serta bertambah luasnya komunikasi merupakan dampak dari globalisasi
yang semakin menebarkan pesona keindahan dalam kehidupan kita.
Penggambaran ketergantungan masyarakat yang menunjuk pada tingkat
perekonomian negara dan usaha pengembangan sumber daya manusia
negara ini yang masih dalam tahap kurang diperdulikan yang nantinya akan
berimbas pada kita sebagai masyarakat yang ingin bertahan hidup (kurang
mampu). Hal seperti inilah yang memberikan beban tersendiri bagi beberapa
orang atau kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi
kebutuhan kehidupan ekonomi, yang berujung pada sikap tindakan yang
kurang terpuji bahkan mendapat nilai yang sangat rendah ditengah-tengah
masyarakat karena mau tidak mau (secara terpaksa) mereka akan melakukan
sikap tindakan yang membuat mereka dapat bertahan hidup walaupun itu
sangat beresiko.
Nilai budaya merupakan pandangan mengenai apa yang dianggap
baik dan yang dianggap buruk. Nilai-nilai itu bisa jadi dari pengalaman
manusia berinteraksi dengan sesamanya. Kemudian nilai-nilai itu akan
berpengaruh terhadap pola berfikir manusia dan akan menentukan sikapnya.
Kemudian sikap menimbulkan pola tingkah laku tertentu yang diabstraksikan
menjadi kaidah-kaidah yang nantinya mengatur perilaku manusia ketika
berinteraksi (Soekanto, 1990:36).
Interaksi sosial merupakan proses dimana antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok
berhubungan satu dengan yang lain. Interaksi sosial adalah syarat utama
bagi terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial. Max Weber
dalamNarwoko. Dwi J melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang
didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Ketika
berinteraksi, seseorang atau kelompok sebenarnya tengah berusaha atau
belajar bagaimana memahami tindakan sosial orang atau kelompok lain.
Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang
berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang
mereka lakukan.
George Herbert Mead dalam Narwoko. Dwi J (2006) mengemukakan
bahwa agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar
anggota masyarakat bisa berfungsi secara normal maka yang diperlukan
bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya,
tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara obyektif perilaku
kita sendiri dari sudut pandang orang lain.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki dua hal dalam dirinya yaitu
jasmaniah (raga) dan rohaniah (jiwa). Segi rohaniah manusia terdiri dari
pikiran dan perasaan. Apabila disatukan maka akan menghasilkan kehendak
yang kemudian menjadi sikap tindakan. Sikap tindakan inilah yang kemudian
menjadi landasan gerak raga manusia. Apakah yang mereka hadirkan adalah
sikap tindakan yang tidak melanggar aturan-aturan hidup ataukah yang
mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang mengesampingkan aturanaturan, norma-norma yang berlaku (perilaku menyimpang), tergantung dari
kuantitas dan kualitas kehidupan mereka.
Kuantitas dan kualitas hubungan manusia merupakan hubunganhubungan sosial yang terjalin diantara manusia dengan manusia lainnya.
Hubungan yang terjalin tersebut menghasilkan pola pergaulan yang
dinamakan interaksi sosial. Pergaulan tersebut menghasilkan pandanganpandangan mengenai kebaikan dan keburukan dalam sikap dan tindakan
mereka. Pandangan tersebut merupakan nilai-nilai abstrak yang secara
langsung mempengaruhi cara dan pola berpikir. Pola berpikir yang dianuti
seseorang akan mempengaruhi sikap tindakannya. Sikap tersebut merupakan
kecenderungan untuk berbuat baik ataupun melanggar aturan. Jelasnya,
sikap tindakan manusia merupakan cerminan dari kebudayaan.
Pandangan koherensi tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi,
atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang . Pandangan itu berisikan
apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan,
tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu perilaku
yang harus diterima atau yang berkaitan dengan orang lain. (Pujileksono
2006: 23)
Defenisi diatas menggambarkan tentang kemampuan pengetahuan
manusia yang telah diperoleh melalui belajar yang melahirkan sikap tindakan
untuk menciptakan hubungan-hubungan sosial berupa aturan-aturan nilai
yang mengacu pada sesuatu hal dalam kehidupan manusia, yang secara
langsung dapat dikatakan sikap tindakan seseorang merupakan hasil dari
hubungan- hubungan sosial yang dilakukannya. Hubungan sosial merupakan
hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang
atau lebih. Suatu hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat
meramaikan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain
terhadap dirinya (Spradley 1972:8). Hubungan yang terjadi antara manusia
dengan manusia lainnya, dapat menciptakan sikap tindakan tertentu dari hasil
hubungan sosial, yang pada akhirnya hubungan tersebut akan membentuk
jaringan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Hubungan-hubungan sosial tidak terjadi atau terbentuk secara acak,
melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan. Pada hakekatnya,
didalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan,
dijumpai adanya tiga jenis keteraturanhubungan-hubungan sosial, yaitu : (1)
keteraturan struktural (struktural order) adalah perilaku orang orang
ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang
mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu
perusahaan , keluarga,asosiasi-asosiasi sukarela,
partai politik atau
organisasi-organisasi sejenis: (2) peraturan kategorikal (kategorical order)
adalah perilaku orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan
dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras, dan kesukubangsaan: (3)
keteratural personal (personal order) adalah perilaku orang-orang, baik dalam
situasi-situasi terstruktur ataupun tidak terstruktur, dapat ditafsirkan dalam
istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok atau
hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan
sosial keluarga (Mitchell, 1969 :9-10).
Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan
struktur sosial. Struktur sosial dapat didefenisikan sebagai pola dari hak dan
kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari
rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka
waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan
status dan peranan masing-masing
(Suparlan, 1982 : 31-34). Sekurang-
kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur yaitu keseluruhan
hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan perbedaan individuindividu tertentu yang secara nyata ada dan konkret. Suatu jaringan sosial
akan merefleksikan pula suatu struktur sosial.
Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan
hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memilki
sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan memasuki
sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu,
situasi dan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang individu dapat menjadi
anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota
jaringan sosial yang berbeda.
Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan
dinamis yang pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan
selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila
seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda
sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan
merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula.
Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan
hubungan dalam satu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana
memahami batas-batas dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang
terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, salah
satu aspek penting dalam wacana jaringan sosial tidak semata-mata terletak
pada atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristikdan polapola hubungan di antara individu-individu di dalam jaringan sebagai cara
untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku mereka itu (Mitchell,
1969 : 4).
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan
menjadi tiga jenis. Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan
jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan
sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasikonfigurasi saling keterkaitan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen.
Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan
kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau
disusun secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus
mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang
kinerja
(performance)
unit-unit
sosialnya,
dan
mempolakan
kembali
strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak
memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan
sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe
ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk
memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa intensif.
Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang
bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-
hubungan yang bemakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila
tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret seperti memperoleh pekerjaan,
barang atau jasa maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh
pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang muncul
dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya,
jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik itu atau tujuan-tujuan
tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan
permanen.
Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang
terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial berdasarkan perasaan, dan
hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial.
Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung
mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk biasanya
cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku
cenderung menyukai pelaku-pelaku lain dalam kegiatan. Oleh karena itu
muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku.
Dari konsep uraian diatas, penjelasan tentang jaringan sosial yang
secara tidak langsung menggambarkan tentang hubungan sosial manusia
yang dibagi dalam tiga jenis jaringan yang didapatkan dari proses interaksi
atau hubungan-hubungan tertentu. Sesuai dengan sifat manusia, bahwa
manusia mempunyai kebutuhan sosial yakni kebutuhan berinteraksi dengan
sesama manusia, maka pengelompokan sosial akanterjadi ketika manusia
melakukan hubungan dengan lainnya. Dalam masyarakat, hubungan sosial
dapat
berbentuk pertemanan dapat pula berbentuk patron-client atau
hubungan yang bersifat mengayomi dan membutuhkan.
Hubungan yang terbentuk secara pertemanan terwujud karena adanya
kesamaan-kesamaan atribut oleh para pelaku yang mendorong untuk
terwujudnya suatu pengelompokan sosial, sedangkan hubungan yang
terbentuk
secara
patron-klien
lebih
ditekankan
pada
hubungan
ketergantungan, sebagaimana si patron (leader) yang memilki kekuasaan
penuh dan mengharap hasil kerja dari klien dan klien yang memiliki
ketergantungan kepada patron. Hubungan ini mengambarkan tentang
ketergantungan atas sikap dan tindakan yang mengatur ketentuan-ketentuan
dalammenjalin hubungan tersebut.
Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok
komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status,
kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam
kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang
lebih tinggi (superior). Dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang
berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya (Scott, 1983: 14 dan
Jarry, 1991: 458).
Hubungan patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau
jasa yang dapat dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan
oleh salah satu pihak, bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut
berkewajiban untuk membalas pemberian tersebut (Scott, 1972: 91-92).
Pada suatu relasi sosial yang terjadi, ada pihak yang merasa
memerlukan dan ada pihak yang membantu, dan pihak yang memerlukan tadi
akan merasa berhutangbudi dan merasa wajib untuk membalasnya kepada
pihak yang telah membantu.
E. Metode dan Prosedur Kerja Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini dimaksudkan
bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan
wawancara
mendalam
dengan
informan
yang
sangat
memahami
permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian
deskriftif
(Descriptive
Research),
yaitu
penelitian
yang
menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan secara terperinci sesuai dengan fokus penelitian yang
telah ditetapkan.
2. Prosedur Kerja Penelitian
a. Teknik Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meneliti relasi
Patron-Client antara Germo dengan PSK ditentukan berdasarkan wilayah
dan lokasi yang dipandang baik dan sangat cocok untuk penelitian ini dan
juga terdapat banyak PSK. Hal ini dimaksudkan agar penelitian berjalan
dengan lancar. Penelitian ini dilakukan di Desa Osango Kecamatan
Mamasa Kabupaten Mamasa tepatnya di dua kafe Tempat Hiburan
Malam (THM) yaitu kafe Pelangi dan Bamba Lempan.
b. Teknik Penentuan Informan
Informan ditentukan secara sengaja (purposive). Informan yg dipilih
adalah tiga orang PSK, dua orang germo,satu orang laki-laki hidung
belang dan satu orang tokoh masyarakat yang dapat memberikan
penjelasan dan memiliki informasi yang memadai berkenaan dengan
rumusan masalah dalam penelitian ini.
c. Teknik Pengumpulan Data
1. Data primer merupakan data yang secara langsung didapatkan oleh
peneliti melalui pengamatan di lokasi penelitian dan wawancara
mendalam dengan informan.
a. Pengamatan (observasi)
Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung
tempat pelacuran Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten
Mamasa (sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan). Maksudnya
adalah mengamati bagaimana kehidupan para Pekerja Seks Komersial
dan hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara Germo dengan
PSK.
b. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Wawancara dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
‘face to face’ untuk memperoleh keterangan yang sifatnya tertutup
(covert behaviour). Dalam penelitian ini informan pada awalnya
terkesan takut dan merasa curiga namun setelah mereka mengerti
maksud dari wawancara ini akhirnya para informan sangat terbuka
dalam memberikan informasi.
2. Data sekunder merupakan data yang memang sudah ada yang
didapatkan dari instansi tertentu, misalnya di kantor Desa, kantor Camat,
dan lain-lain,
jika datanya masih relevan dengan fokus penelitian.
Sebagai kelengkapan dari observasi dan wawancara mendalam yang
telah dilakukan, peneliti mencari dan membaca buku-buku hasil penelitian
atau literatur apa pun yang masih relevan dengan fokus penelitian yang
bisa membantu agar data yang di dapatkan lebih lengkap.
3. Teknik Analisis Data.
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-hubungkan berbagai
keterangan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung
kemudian ditarik makna dari keterkaitan hubungan antar berbagai makna
yang ada. Selanjutnya ditarik makna yang dianggap paling tinggi
tingkatannya sebagai kesimpulan akhir dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
BAB I
Merupakan pendahuluan yang menguraikan masalah dan cara
yang ditempuh dalam melaksanakan penelitian. Pokok pikiran
yang dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, prosedur kerja penelitian,
dan bagaimana menganalisis data serta komposisi bab dari
penulisan.
BAB II
Berisi tinjauan pustaka tentang konsep dan teori yang
digunakan sebagai landasan pemikiran dalam pembahasan.
BAB III
Berisi gambaran khusus lokasi penelitian yang dimulai dari
sejarah keberadaan PSK di
Kabupaten Mamasa, bagaimana
pandangan Masyarakat terhadap adanya PSK dan memberi
sedikit gambaran mengenai dua kafe yaitu Bamba Lempan dan
Pelangi.
BAB IV
Berisi hasil dan pembahasan mengenai Pekerja Seks Komersial
(PSK) yang memuat analisa studi tentang patron-client antara
Germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa.
BAB V
Ialah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari
peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pekerja Seks Komersial
1. Defenisi Pekerja Seks Komersial
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya
untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur
(pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai
sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu
sangat buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap
digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur
karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke
pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal
sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan
banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal
selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai
menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman
bernama kondom.
Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan
lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan
dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan
yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif
yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem
pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis
pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama
yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis
jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks
komersial itu ditujukan bagi para pekerja seks komersial atau pelacur.
Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang
dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut.
Secara struktural, kinerja, germo, mucikari, calo, pekerja keamanan,
hingga pekerja seks itu sendiri mempunyai batas-batas kerja yang jelas
dan profesional. Jika melihat latar belakang kultural dan tempat transaksi
ekonomi indonesia yang beragam maka transakasi seksualitas tak hanya
ada lima kategori di atas. Banyak juga pekerja seks yang bekerja di mall
(sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang
tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam
kampus, pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan
di tempat-tempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di
kantor-kantor sebagai sekertaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi
dan transaksi terkadang melalui kartu kredit. Dari hal di atas dapat kita lihat
bahwa pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi
dagang yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang
strategis. Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang
bersifat temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme
kerja
mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang
semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam,
satu malam).
PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual
dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah
memakai jasa mereka tersebut. Banyak perempuam PSK yang berperan
sebagai pelacur dalam dunia pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan
keempat. Di Eropa dan di tempat lain banyak dari mereka yang
diiperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah
pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru, Organisasi
Internasional pekerja (ILO) menaksir 12,3 juta orang diperbudak dalam
kerja paksa dan 2,4 juta dari mereka adalah korban industri perdagangan
dan penghasilan pertahunnya ditaksir sejumlah $10 milyar.
Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai tingkatantingkatan operasional diantaranya :
a. Segmen kelas rendah
Dimana PSK tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang
ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya
pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau,
bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan
para PSK tersebut.
b. Segmen kelas menengah
Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan
tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di
booking semalaman.
c. Segmen kelas atas
Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang
relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama
untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus
hanya untuk menerima pelanggan tersebut.
d. Segmen kelas tertinggi
Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita
model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita
kelas atas ini.
2. Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan
Ekonomi
a. Penyebab adanya pekerja seks perspektif politik
Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan
dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa
opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi
pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi bagian
dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota dan
industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga pariwisata.
Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia
mempunyai
keragaman
dalam
menyikapi
mencuatnya
keberadaan
kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari variasi latar
belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja seks seakan
menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan oleh masyarakat,
begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang memperlakukan pekerja
seks dengan tidak selayaknya karena profesi mereka yang dianggap juga
tidak layak, bahkan ketika lokalisasi tempat mereka bekerja di razia
seakan-akan posisi mereka selalu salah.
b. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif pendidikan
Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu
lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk memasuki
ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang pendidkan setingkat
sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai dalam memasuki berbagai
sektor pekerjaan yang dianggap lebih terhormat dan bergengsi oleh
masyarakat. Rendahnya pendidikan membuat kaum pekerja seks tak
mempunyai keleluasaan secara ekonomi dalam hal memilih pekerjaan.
Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks
juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya
kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi.
Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta
kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari,
pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri.
c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial
Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan
ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari
perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif sosial
kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut pandang dan
hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar belakang sosial
kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas kultural, tekanan
keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga lahirnya pemujaan simbol
akibat hasrat konsumsi yang tinggi, yaitu merupakan fenomena pergeseran
masyarakat dari yang sekedar mengkonsumsi barang berdasarkan
kebutuhan dasar dan mendesak kepada kebutuhan akan pemenuhan citra
dan nilai simbolitas yang dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah
pergaulan dengan sekitar.
d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi
Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi unsur
yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai prasyarat yang
dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari profesionalitas, skill, disiplin
dan pengalaman yang diiperlukan. Selain itu, ada terdapat pula unsur yang
diperdagangkan dan ditransaksikan. Permasalahan kemudian adalah
barang apa yang ditransaksikan dengan objek lawan interaksi/hubungan
mereka. Jika seorang guru menjual otaknya, jika seorang kuli menjual
tenaga dan pundaknya, maka seorang pekerja seks menjual kelaminnya.
Kelamin yang dianggap privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan
ketika berpindah atau ditransaksikan ke area publik.
Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi
yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek
menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga
yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa
ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang
atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang
tengah melakukan kesepakatan. Karena mudah, menjadi elemen yang
dapt digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga merupakan
bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan sandaran
pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka dirusak seperti
pembongkaran
atau penggusuran
lokalisasi, maka
hilanglah
mata
pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal ini tentunya tak
berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti petani, nelayan, dan
guru.
Jenis pekerjaan ini juga memiliki disversifikasi yang baik dalam
struktur hingga operasional kerjanya. Dalam melihat fenomena di
Indonesia,
jenis pekerjaan seks dibagi kedalam dua kategori besar
berdasarkan kriteria struktur dan sistem operasional, diantaranya :

Pekerja seks jalanan
Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di Indonesia.
Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada
perantara ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh
yang ditawarkan pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips kepada
pihak ketiga secara tetap. Kemolekan serta kecantikan mereka lebih
dibawah serta seusia mereka terkadang lebih tua dibanding mereka yang
berada di dalam lokalisasi.

Pekerja seks bar dan kafe
Para pegawai perempuan merupakan pelaku utama sebagai pekerja seks
yang didukung oleh pegawai lainnya (laki-laki misalnya). Berperan sebagai
mediator bagi pengunjung yang ingin membooking mereka. Transaksi bisa
dilakukan di tempat kerja tersebut yang akan berlanjut dengan hubungan
seks di tempat lain, di hotel misalnya.
Pekerja seks di lokalisasi/rumah pelacuran (brothel). Sistem kerja ini
merupakan area yang paling mudah diamati karena berbagai hal. Ia
merupakan pekerjaan yang diakui oleh negara/pemerintah setempat
karena dikenakan pajak atau retribusi daerah. Pekerja seks legal ini berada
dibawah pengawasan dan aturan dinas sosial. Secara tempat, kawasan ini
selalu dipisahkan dengan bentuk pembatasan yang jelas seperti tembok,
pagar kawat, bahkan dipisahkan dari perkampungan masyarakat. Sistem
kerja mereka pun sangat tertata dimana secara rutin tim kesehatan akan
datang seminggu sekali, misalnya ke area lokalisasi untuk mengecek
kesehatan para pekerja. Bentuk program kerja yang dijalankan oleh dinas
sosial dan kesehatan dalam bentuk pemberian kondom cuma-cuma,
pembuatan jadwal olahraga pagi dan sejenisnya.
3. Akibat-Akibat Pelacuran
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran yaitu :
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit.
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh
pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga,
sehingga keluarga menjadi berantakan.
c. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika.
d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali
menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat
kebiasaan, norma hukum dan agama.
e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya
wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari
pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus
diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia
benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur ini.
B. Patron Client
1. Defenisi Patron Client
James Scott dalam tulisannya (Moral Petani, Perlawanan kaum
Petani, dll) mengemukakan Hubungan patron klien adalah pertukaran
hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus
khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana
seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi
(patron)
menggunakan
menyediakan
pengaruh
perlindungan,
serta
dan
sumber
dayanya
keuntungan-keuntungan
untuk
bagi
seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien).
Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum
dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola
pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh
patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber
daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh james scott
berkaitan dengan kehidupan petani adalah:

Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau
tanah untuk bercocoktanam.

Jaminan krisis subsistensi, patron menjamin dasar subsistensi bagi
kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh
permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu
kehidupan kliennya.

Perlindungan. Perlindungan dari tekanan luar.

Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatanya untuk
melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk
menarik keuntungan/hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas
perlindungannya.

Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok
dapat melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, mengelola
berbagai bantuan secara kolektif bagi kliennya.
Sedangkan arus dari klien ke patron, adalah:

Jasa atau Tenaga yang berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan
patron.
Adapun
jasa-jasa
tersebut
berupa
jasa
pekerjaan
dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa domestik
pribadi, pemberian makanan secara periodik dll.
Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan
dan penlegitimasiannya kepada patron adalah perbandingan antara jasa
yang diberikannya kepada patron dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin
besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia
kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patronklien itu menjadi sah dan legal.
Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron
dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri
dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh
memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usahausaha untuk merumuskan kembali hubungan tersebut kemudian dianggap
sebagai usaha pelanggaran yang mengancam struktur interaksi itu
sehingga sebenarnya kaum elitlah/patronlah yang selalu berusaha untuk
mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya.
Hubungan ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial
adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing
membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi
masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat,
sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar posisi dikeduanya.
Scott (1972) menyatakan hubungan patron-klien merupakan “Suatu
kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan
persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial
ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya
untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang
dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas
pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi
kepada patron".
Adapun arus patron-klien yang dideteksi oleh James Scott berkaitan
dengan kehidupan petani yaitu penghidupan susbsistensi dasar yaitu
pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok tanam, jaminan
krisis subsistensi, patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan
menyerap
kerugian-kerugian
yang
ditimbulkan
oleh
permasalahan
pertanian (paceklik dll) yang akan menggangu kehidupan kliennya.
Perlindungan terhadap tekanan dari luar, makelar dan pengaruh. patron
selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga
menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan atau hadiah
sebagai imbalan atas perlindunganya.
Agar hubungan patronase ini dapat berjalan dengan mulus, maka
diperlukan adanya unsur-unsur tertentu, Unsur pertama yaitu bahwa apa
yang diberikan oleh satu pihak adalah merupakan sesuatu yang berharga
di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang maupun jasa
(pekerjaan), dan bisa dalam berbagai macam ragam bening pemberian.
Unsur kedua yaitu adanya hubungan timbal-balik, dimana pihak yang
menerima bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas
pemberian tersebut. Ditambahkan Scott, bahwa dengan adanya unsur
timbal-balik maka hubungan patronase ini dapat dibedakan dengan
hubungan yang bersifat pemaksaan (ooertion) atau hubungan dengan
adanya wewenang formal, oleh karena itu hubungan patronase ini perlu
didukung oleh norma-norrna masyarakat yang memberikan peluang
kepada patron untuk melakukan penawaran, artinya apabila salah satu
pihak merasa dirugikan, maka dia dapat menarik diri dari hubungan
tersebut tanpa dikenai sanksi apapun. Relevan dengan uraian di atas maka
Scott (1972) mengemukakan ciri-ciri ikatan patron-klien sebagai berikut;
1. Terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of exchange)
yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan dan
kedudukan. Klien adalah seorang yang masuk dalam pertukaran
yang tidak seimbang, dimana ia tidak mampu sepenuhnya
mengembalikan pemberian patron, sehingga hutang kewajiban
mengikatnya dan bergantung kepada patron.
2. Adanya sifat tatap muka (face to faoe character), dimana hubungan
ini
bersifat
instrumental
yakni,
kedua
belah
pihak
saling
memperhitungkan untung-rugi, meskipun demikian masih terdapat
unsur rasa yang tetap berpengaruh karena adanya kedekatan
hubungan.
3. Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility), sifat meluas
terlihat pada tidak terbatasnya hubungan pada kegiatan kerja saja,
melainkan juga hubungan tetangga, kedekatan secara turuntemurun ataupun persahabatan di masa lalu, selain itu terdapat
pertukaran bantuan tenaga (jasa), dan dukungan kekuatan selain
jenis-jenis pertukaran uang dan barang.
Senada dengan penjelasan Scott, Pelras (1981) menguraikan lagi
hubungan patron-klien dengan mengatakan bahwa kata “patron” berasal
dari bahasa latin “patronus” yang berarti bangsawan, “klien” berasal dari
kata “clien” yang berarti pengikut, ditambahkan bahwa hubungan patronklien bermakna hubungan yang tidak setara antara seorang bangsawan
dengan sejumlah jelata pengikut berdasarkan pertukaran barang dan jasa
yang di dalamnya ketergantungan klien kepada patron dibalas dengan
dukungan perlindungan patron kepada klien. Dari kedua defenisi patronklien yang dikemukakan di atas terlihat ada perbedaan yang sangat
mendasar. Defenisi oleh Scott (1972) yang menunjukkan bahwa ikatan
patron-klien didasarkan dan berfokus pada pertukaran yang tidak setara
yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta tidak didasarkan atas
kriteria askripsi. Jadi siapa saja yang memiliki modal maka ia dapat
berstatus sebagai patron. Sedangkan batasan yang dikemukakan oleh
Pelias (1981) menunjuk pada kaitan antara ikatan patron-klien dengan
kriteria askripsi dalam sistem status masyarakat, artinya bahwa apabila
seorang individu adalah bangsawan maka otomatis berstatus sebagai
patron dan sebaliknya apabila individu adalah rakyat jelata/budak/bukan
bangsawan maka ia berstatus sebagai klien. Dari hubungan yang tidak
setara di atas maka Esenstadt dan Roniger (1984) mengemukakan ciri-ciri
dasar dalam hubungan patron-klien sebagai berikut :
1. Hubungan patron-klien biasanya partikularistik dan kabur.
2. Interaksi dalam hubungan didasarkan pada adanya pertukaran
simultan dari tipe sumber daya yang berbeda, terutama instrumental
dan ekonomis, sebagaimana pada politik (dukungan hak suara,
kesetiaan dan perlindungan). Dan berjanji solider saling menolong
serta setia terhadap lainnya.
3. Secara ideal, suatu elemen kuat dari adanya hubungan tanpa syarat
dan kepercayaan jangka panjang yang dibangun dalam hubungan ini.
4. Hubungan yang terjadi adalah ambivalen, yang sangat kuat pada
hubungan primer dan lemah pada hubungan yang bersifat mesin
politik.
5. Pembentukan hubungan tidak sepenuhnya legal, bahkan lebih banyak
bersifat infomial, meskipun sangat kuat dan sangat pengertian.
6. Meskipun ikatan ini berjangka panjang namun hubungan patron-klien
merupakan hubungan sukarela dan dapat sewaktu-waktu diputuskan
secara sukarela juga.
7. Hubungan ini dilakukan dengan suatu cara yang vertikal.
Adanya ketidaksamaan yang merupakan elemen penting bagi
monopoli patron tetapi dalam keadaan tertentu, ketidaksamaan ini sangat
penting bagi klien. Selanjutnya Eisenstadt, menambahkan bahwa pada
masyarakat yang politik dan ekonominya terkebelakanglah atau tingkat
modernisasinya
rendah,
yang
merupakan
faktor
penyebab
masih
bertahannya hubungan-hubungan patron-klien. Pada masyarakat atau
negara dimana tingkat ekonomi masyarakat/negara pinggiran sangat
rendah, sehingga tergantung pada penguasaan sumber daya yang lebih
banyak dipegang oleh pusat juga akan berdampak pada terbentuknya
hubungan patron-klien. Contoh sederhana bentuk organisasi IGGI, G7 dan
IMF merupakan bentuk hubungan patron-klien yang terjadi antara negara
dunia ketiga dengan negara-negara maju.
Pada
setiap
lingkungan
sosial terdapat aturan-aturan, nilai,
pranata/institusi tertentu yang harus ditaati dalam proses sosial. nilai-nilai
dan Pranata/institusi tersebut akan mewujudkan pola tingkah laku yang
digunakan untuk menafsirkan perilaku tiap-tiap individu.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
maka
dengan
adanya
ketidakseimbangan pertukaran dalam hubungan patron-klien dimaksudkan
dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan,
dan hal ini bisa saja menjadi seimbang menurut pandangan mereka yang
terlibat dalam proses pertukaran tersebut. Jadi tidak ada ketimpangan
dalam pertukaran tersebut, hal itu merupakan proses yang seimbang jika
dilihat dan' aspek norma timbal-balik (norm of reciprocity) dalam
masyarakat. Dikemukakan oleh Gouldner (1977) bahwa equivalence dapat
berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun
sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai
sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh bermacam faktor, misalnya
kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai
pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas
pemberian
tersebut.
Keseimbangan
ini
sering
disebut
dengan
Heteromorphic Reciprocity.
Dalam kaitan dengan eksploitasi yang dirasakan ada pada
hubungan patron-klien masih menjadi perdebatan sengit di tingkat ahli.
Scott, mengatakan bahwa pada saat klien dalam kondisi paceklik atau
ketika statusnya benar-benar rendah sehingga bila putus hubungan
dengan patron maka ia tidak punya altematif yang lebih rendah lagi, maka
perlakuan apapun dibalik bantuan patron sulit dikaitkan dengan eksploitasi.
Pada sisi lain, sejauh mana hubungan patron klien sama dengan
hubungan kekerabatan, dibedah oleh Wolf dalam Ahimsa Putra (1988),
menyatakan bahwa hubungan patron-klien berbeda dengan kekerabatan.
Hubungan kekerabatan merupakan hasil kekerabatan yang di dalamnya
terkandung rasa saling percaya untuk mencapai tujuan, sedangkan
hubungan patron-klien bersifat persahabatan instrumental dimana relasi
terjadi karena pihak-pihak mempunyai saling kepentingan. Pendapat ini
sama dengan J. Boissevain, yang mengemukakan bahwa kekerabatan
lebih bersifat askriptif sehingga tolong menolong di dalamnya tidak wajib
dibalas, karena sudah dianggap lumrah, sedangkan di dalam hubungan
patron-klien berlaku norma yang berbeda dengan kekerabatan dimana
harus membayar pada setiap bantuan. Seperti pranata-pranata sosial
lainnya, ikatan patron-klien juga memilih lahan subur tempat tumbuh
berkembang. Scott, mengatakan bahwa hubungan patron-klien tumbuh
dan berkembang dengan subur karena:
1. adanya perbedaan yang menyolok dalam penguasaan kekayaan,
status yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.
2. tidak adanya jaminan keselamatan fisik, status, posisi atau kekayaan.
3. kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana
pelindung bagi keamanan dan kesejahteraan pribadi.
Ketiga unsur yang dikemukakan Scott di atas sangat relevan
dengan berkembangnya hubungan patron-klien pada masyarakat nelayan
pada umumnya hal ini telah dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian
tentang masyarakat nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan
pekerjaan yang berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak
menentu.
Kondisi
alam
(musim/cuaca)
mempengaruhi
kondisi
perekonomian para nelayan. Jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak
memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka akan berdampak pada
putusnya sumber penghasilan nelayan. Situasi yang demikian maka para
nelayan terpaksa melakukan pinjaman atau kredit, berhutang barang
kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasanya. Ahimsa
Putra (1988) dalam penelitiannya tentang patron-klien di Sulawesi Selatan
menyimpulkan bahwa, kondisi yang dinyatakan oleh Scott memang terbukti
dalam tatanan masyarakat di masa lalu. Kondisi ini antara lain adalah
adanya
ketimpangan
ketidakamanan
kebangsawanan)
ketimpangan
kekuasaan,
sosial.
Pemilikan
dan
penguasaan
sedangkan
perang
ketimpangan
terhadap
atas
kekayaan
gaukang
tanah
antar kerajaan
menjadi
dan
dan
(ornamen
pangkal
perampokan,
merupakan ketidakamanan sosial yang membuat orang-orang terdorong
untuk mencari perlindungan kepada orang yang lebih kuat.
2. Tujuan Dasar Hubungan Patron-Klien
Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya
adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan.
Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan
patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial
dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan
hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang
terjadi kemudian legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca
pertukaran itu.Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari
pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan
dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Saya menemukan
hubungan seperti sifatnya akan langgeng dan permanen jika masingmasing pihak menemukan kesesuaiannya dan manfaatnya. Dalam konteks
hubungan antar kelompok atau suku bangsa, hubungan patron klien ini
lambat laun menjadi hubungan yang sifatnya struktural dan dominatif. Dan
diterima sebagai suatu kebenaran yang diwariskan secara turun-temurun.
Seperti misalnya terhadap masyarakat Orang Rimba yang mendapatkan
pengaruh yang kuat dari masyarakat melayu. Dalam kasus hubungan
antara Orang Rimba dan Orang Melayu hubungan itu bahkan jauh ke
dalam hingga mempengaruhi dasar kosmologis dan keyakinan keagamaan
mereka.
Namun hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa
diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien
berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan
yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi
kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan
sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para
klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual,
kebutuhan sosial kolektif/kelompok dll. Sedangkan dimensi obyektif lebih
cenderung
kepada
pemenuhan
kebutuhan
dasar/minimun
yang
mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk
memberi makan, memberi bantuan untuk org sakit, dll. Hubungan
ketergantungan
yang memasok jaminan-jaminan
minimal ini akan
mempertahankan legitimasi hubungan antara patron-kliennya. Jika para
patron tidak sanggup memenuhi dua dimensi kebutuhan tersebut dalam
konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir
hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan
eksploitatif.
Untuk menjaga agar sikap klien tetap konsisten terhadap patronnya
maka patron selalu mengembangkan sistem yang sifatnya mengawasi
keberadaan kliennya. Namun demikian ada keterbatasan kemampuan
patron untuk mengawasi kliennya karena :
1. Kemampuan relatif dari struktur kerabat dan desa sebagai pengganti
bagi beberapa fungsi patron.
2. Tersedianya lahan yang tidak berpenghuni.
3. Kelemahan negara pusat yang tidak mempunyai ketangguhan untuk
mendukung kekuasaan elit lokal/lokalisasi kekuasaan.
4. Ada sumber daya yang menjadi daya tawar-menawar bagi klien
kepada patron.
Pada dasarnya sifat ikatan patronase juga bervariasi, namun lebih
kuat tertanam dalam sistem stratifikasi kerajaan, dimana pembagian peran
otoritas lokal/daerah kadang didasarkan atas hubungan patronase
tersebut. Peran otoritas pada tingkat lokal diambil alih/terletak pada tokohtokoh yang mampu untuk menggerakan pengikutnya sehingga
diakui
sebagai agen pemimpin di daerah. Ketika seiring melemahnya sistem
kerajaan tradisional dan menguatnya sistem pemerintahan modern maka
yang terjadi adalah jaringan patron-kliern yang terstruktur tidak teratur
dilokasi sekitar jalur-jalur perdagangan, pemajakan. Atau secara kultural
dan geografis dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari pusat. pada
tempat dan kebudayaan pinggir dan pada dasar dari hirarki sosial- ikatan
patron klien kurang terlembaga dan karenanya sifatnya menjadi fleksibel.
Dalam konteks desa dan pertanian, Scott menyebutkan bahwa
faktor lahan menjadi faktor yang dominan untuk dijadikan bahan bargaining
antara patron -klien. Penghalang utama bagi bentuk-bentuk ikatan patron
klien yang lebih eksploitatif di Asia Tenggara adalah tersedianya lahan lusa
yang dapat ditanami. Dengan investasi yang murah dan mudah seseorang
dapat dengan cepat berpindah dan membentuk pemukiman baru. Dalam
hal ini tidak secara otomatis kemudian menciptakan klien yang tergantung
pada patronnya demi kehidupan subsistensinya, seperti lahan-lahan langka
yang
subur.
Kendali
tenaga
kerja
menjadi
lebih
penting
untuk
dipertahankan daripada sekedar penyediaan lahan baru. Ketersediaan
lahan yang banyak membuat situasi dan kondisi yang menguntungkan bagi
klien karena patron tidak bisa membuat jaminan subsistensi menjadi dasar
ketergantungan yang memperbudaknya.
C. Peran
Dalam
seseorang
peranan
yang
diharapkan
berhubungan
menjalankan
dengan
pekerjaannya,
kewajiban-kewajiban
yang
berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Masson, dan
McEachren mendefinisikan
peranan
sebagai seperangkat
harapan-
harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial
tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari normanorma sosial dan oleh karena itu detentukan oleh norma-norma di dalam
masyarakat.
Selanjutnya Berry mengungkapkan bahwa di dalam peranan
terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu :
1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban dari
pemegang peran.
2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap
masyarakat atau terhadap orang-orang yang behubungan dengannya
dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.
Sedangkan Hendropuspito mengungkapkan bahwa istilah peranan
(dalam sandiwara) oleh para ahli sosiologi diahlikan ke panggung
sandiwara, diberi isi dan fungsi baru yang disebut peranan sosial. Istilah
peranan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai lakon, bahkan
masyarakat lakon itu sendiri. Masyarakat adalah suatu lakon yang masih
aktual,
lakon
yang
besar,
yang
terdiri
dari
bagian-bagian
dan
pementasannya diserahkan kepada anggota-anggota masyarakat. Lakon
masyarakat itu disebut fungsi atau tugas masyarakat. Jadi peranan sosial
adalah bagian dari fungsi sosial masyarakat.
Kata sosial dalam peranan sosial mengandung maksud bahwa
peranan tersebut terdiri atas sejumlah pola kelakuan lahiriah maupun
batiniah yang diterima dan diikuti banyak orang. Bertolak dari sudut
pandang di atas, peranan sosial dapat didefinisikan sebagai bagian dari
fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau kelompok
tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah ditentukan.
Dari analisis pengertian peranan sosial, dapat disimpulkan bahwa:
1. Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat.
2. Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah
ditentukan.
3. Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu.
4. Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga
masyarakat.
5. Dalam peranan sosial terkandung harapan yang khas dari masyarakat,
dan
6. Dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu.
Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa peranan adalah :
1. Aspek dinamis dari kedudukan,
2. Perangkat hak-hak dan kewajiban,
3. Perilaku aktual dari pemegang kedudukan, dan
4. Bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh sesorang.
Sedangkan Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah
perilaku yang di harapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan
dalam suatu status tunggal pun orang dihadapkan dengan sekelompok
peran yang disebut sebagai perangkat peran. Istilah seperangkat peran
(role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya
mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling
berhubungan dan cocok.
Konsepsi
peran
mengandaikan
seperangkat
harapan.
Kita
diharapkan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu dan mengharapkan
orang lain untuk bertindak dengan cara-cara tertentu pula.
D. Struktural Fungsional
Keberadaan PSK bagaimanapun masih dalam koridor sebuah
struktural dalam masyarakat. Oleh karena itu untuk mengkaji Patron-Client
Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten
Mamasa menggunakan pendekatan struktural fungsional.
Orientasi umum Parsons (dalam Ritzer, 2003: 315) dengan asumsi
bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda
berdasarkan
strukturnya
maupun
berdasarkan
makna
fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Menurut Parsons, teori
Struktural Fungsional didasarkan pada terjadinya evolusi (kebudayaan)
dalam masyarakat, termasuk terjadinya perubahan cara pandang terhadap
subsistem tertentu. Menurut teori Struktural Fungsional, PSK terbentuk
karena adanya proses diferensiasi dalam masyarakat. Pemisahan tersebut
diakibatkan
kurangnya
kemampuan
PSK
dalam
memperoleh
mata
pencaharian yang dipandang layak oleh masyarakat umum, artinya sumber
penghidupan yang tidak melanggar norma.
Ini artinya keberadaan PSK sebenarnya merupakan salah satu mata
rantai dari evolusi itu sendiri. Sebagai bagian dari evolusi masyarakat tidak
mempunyai kekuatan untuk tidak menerima profesi PSK mengingat
walaupun persepsinya negatif akan tetapi keberadaan PSK merupakan
bagian dari struktur fungsional masyarakat.
Teori fungsional selanjutnya, Merton (dalam Ritzer, 2007 : 136)
menunjukan bahwa struktur mungkin bersifat disfungsional untuk sistem
secara keseluruhan namun demikian struktur itu terus bertahan hidup (ada).
Contoh kasusnya adalah diskriminasi. Diskriminasi terhadap kulit hitam,
wanita, dan terhadap kelompok minoritas lainnya adalah disfungsional.
namun demikian diskriminasi terus bertahan hidup (ada) karena fungsional
bagi sebagi sistem fungsional. Misalnya, diskriminasi terhadap wanita
umumnya adalah fungsional terhadap lelaki. Tetapi, bentuk diskriminasi ini
bukannya tanpa disfungsi tertentu, bahkan untuk kelompok yang fungsional
sekalipun. Orang dapat menyatakan bahwa bentuk diskriminasi ini
berpengaruh buruk terhadap mereka yang mendiskriminasi karena tetap
ada
sejumlah
besar
penduduk
yang
tidak
produktif
dan
karena
meningkatnya kemungkinan terjadinya konflik sosial.
Merton berpendapat bahwa tak semua struktur diperlukan untuk
berfungsinya sistem sosial. Beberapa bagian dari sistem sosial kita (Barat)
dapat dilenyapkan. Ini dapat membantu teori fungsional mengatasi
kecenderung, konservatifnya yang lain. Dengan mengakui bahwa struktur
tertentu dapat dilenyapkan maka fungsionalisme membuka jalan bagi
perubahan sosial yang penuh makna. Sebagai contoh, masyarakat kita
akan terus eksis (ada) dan bahkan diperbaiki dengan melenyapkan
diskriminasi terhadap berbagai jenis kelompok minoritas.
Merton mendefinisikan kultur sebagai sebagai “seperangkat nilai
normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota
masyarakat atau anggota kelompok”. Struktur sosial adalah “seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan
anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya” (1968 : 216). Anomie
terjadi “bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan
dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok
untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural" (Merton, 1968:216). Artinya,
karena posisi mereka di dalam struktur sosial masyarakat, beberapa orang
tak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif. Kultur menghendaki tipe
perilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur sosial.
Misalnya, dalam masyarakat Indonesia, kulturnya menekankan pada
kesuksesan material. Tetapi karena posisi mereka di dalam struktur sosial,
banyak orang tercegah dari upaya mencapai sukses material. Jika
seseorang terlahir dalam kelas sosioekonomi yang lebih rendah, dan
sebagai akibatnya hanya mampu mencapai tingkatan pendidikan terbaik di
sekolah menengah, maka peluang orang itu untuk mencapai kesuksesan
ekonomi menurut cara yang diterima secara umum (misalnya, melalui
kesuksesan di lapangan kerja konvensional) adalah tipis atau tak ada sama
sekali. Berdasarkan keadaan demikian (dan mereka tersebar luas dalam
masyarakat Indonesia masa kini) anomie dapat dikatakan ada, dan sebagai
akibatnya
terdapat
kecenderungan
ke
arah
perilaku
menyimpang.Penyimpangan dalam keadaa ini sering mengambil bentuk
alternatif yang tak dapat diterima dan kadang-kadang berbentuk cara-cara
ilegal dalam mencapai kesuksesan ekonomi. Karenanya, menjadi penyalur
obat-obatan terlarang atau menjadi pelacur untuk mencapai kesuksesan
ekonomi adalah contoh perilaku menyimpang yang disebabkan oleh
ketidakbertautan antara nilai kultural dan cara-cara struktur sosial mencapai
nilai kultural itu. Inilah satu cara yang ditempuh fungsionalis struktural dalam
upaya untuk menjelaskan perilaku menyimpang dan tindak kejahatan.
Dengan demikian, maka dalam contoh fungsionalisme struktural di
atas, Merton memperhatikan struktur sosial dan budaya, namun tidak
tertarik kepada fungsi dari berbagai struktur tersebut. Alih-alih bersikap
konsisten dengan paradigma fungsional miliknya, Merton malah tertarik
dengan disfungsi yang dalam kasus ini adalah anomie. Lebih spesifik,
Merton menghubungkan anomie dengan penyimpangan yang berarti
penolakan terhadap adanya konsekuensi disfungsional dalam kesenjangan
antara kebudayaan dan struktur yang mengarah pada penyimpangan dalam
masyarakat.
Dalam konteks struktural fungsional, prostitusi tidak selamanya
berkonotasi negatif melainkan mempunyai fungsi positif yang tentunya
terlepas dari aspek moral maupun norma. Fungsi positifnya merupakan efek
multifier dari prostitusi itu sendiri misalnya dalam bidang ekonomi. Langsung
maupun tidak langsung, masyarakat di sekitar kegiatan prostitusi mendapat
imbas adanya tambahan penghasilan misalnya dengan menyediakan
warung-warung di sekitar lokasi prostitusi.
BAB III
GAMBARAN KHUSUS LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Keberadaan PSK di Kabupaten Mamasa.
Untuk menentukan tahun yang tepat sebagai pertanda mulainya PL
ada di Kabupaten Mamasa memang terlalu sulit. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya catatan khusus yang menceritakan awal mula keberadaan PL
tersebut di Kabupaten Mamasa. Sebenarnya keberadaan PL di Kabupaten
Mamasa tidak terlepas dari sejarah Mamasa yang dulu merupakan jajahan
kolonial belanda yang kemudian masyarakat setempat mengenal dengan
Istilah Pitu Ulunna Salu yang berarti tujuh sungai bagian atas yang artinya
simbol dari tujuh pemimpin lokal di daerah pegunungan yang selanjutnya
dikenal dengan nama kondosapata’ Uaisapalelean .
Pemimpin adat saat itu tidak terbatas hanya sekedar menguasai
segalanya termasuk tanah dan segala isinya serta rakyatnya (hamba). Semua
orang diharuskan patuh pada pemimpin, tidak boleh ada yang membangkang
atau membantah apa pun keinginan pemimpin. Mereka berkuasa penuh
hingga bisa mendapatkan perempuan sebanyak mungkin yang dalam istilah
dulu disebut selir. Bahkan uniknya pada waktu itu justru rakyat bangga jika
ada anggota keluarga yang dijadikan selir oleh pemimpin dan sebagian
diantara penduduk justru menawarkan anak gadisnya untuk dijadikan selir
oleh pemimpin. Semakin banyak selir yang dimiliki oleh pemimpin semakin
menambah kuat posisi pemimpin di mata masyarakat. Sekalipun pada waktu
itu tidak dikatakan pelacuran, namun dari cara-caranya tetap berupa
pelacuran namun dulu dilegalisir atau mendapat pengakuan di masyarakat
Mamasa.
Menurut perkiraan sebagaimana yang di kemukakan oleh seorang
informan pak AF bahwa PL mulai ada di Kabupaten Mamasa sekitar tahun
1998 yaitu sejak pertama kali beliau membuka Tempat Hiburan Malam (THM)
di Kecamatan Mamasa dan waktu itu Mamasa belum menjadi sebuah
Kabupaten atau dengan kata lain masih bagian dari Kabupaten Polewali
Mamasa. Seperti yang dikemukakan oleh informan sebagai berikut :
“Boleh di kata saya yang pertama kali membuka kafe di Mamasa dan
saya beri nama Bamba Lempan. Waktu itu saya buka kafe karena
saya berpikir sepertinya lebih baik untuk memajukan daerah Mamasa
dari ketertinggalan. tapi karena ada masalah rumah tangga, saya jual
ke ibu TN dengan harga Rp. 30.000.000,- bersama lokasi dan nama
kafe. PSK yang ada saat pertama membuka Tempat Hiburan Malam
(THM) di Mamasa ada sekitar 10 orang. Semua berasal dari makassar
yang di rekrut dari Tempat Hiburan Malam (THM) di Makassar yaitu
Nusantara dan saya yang langsung menjemput.
(AF, 40 tahun, Germo)
Seiring dengan berjalannnya waktu Tempat Hiburan di Mamasa pun
semakin berkembang dan itu menandakan bahwa PL pun semakin banyak
dan terus bertambah. Di luar juga semakin tersebar bahwa di Mamasa ada
mata pencaharian berupa pekerjaan sebagai Pekerja seks dan semakin
banyak PL yang memilih bekerja sebagai PL di Mamasa.
Pada tahun 2002 Mamasa terbentuk menjadi sebuah Kabupaten baru
dan ini menjadi hal yang baik dan menguntungkan bagi para PL karena
sebagai Kabupaten yang baru uang yang berputar akan lebih banyak dan
semakin banyak pula penghasilan yang mereka dapatkan. Seperti yang
dikemukakan oleh informan sebagai berikut :
”Paling banyak uang saya dapat waktu baru-baru jadi Kabupaten
Mamasa karna banyak pejabat yang masuk di kafe, banyak juga uang
di kasi’ka’. Biasa sampai 3 juta saya dapat dalam 2 minggu. Orang
tuaku juga senang karena banyak penghasilanku yang bisa ku kirim ke
kampungku di Manado”.
(DD, 26 tahun, PSK )
Bersama dengan itu juga muncul beberapa kafe , yaitu kafe Biru,
Pelangi, Dian satria. Ini menunjukkan bahwa Tempat Hiburan Malam di
Mamasa memang mengalami perkembangan. Pada tahun 2005 kafe biru
tutup dan tidak beroperasi lagi karena berbagai alasan, namun kafe-kafe yang
lain masih tetap buka sampai saat ini.
Pada tahun 2003 ibu TN (germo) membeli kafe milik pak AF. Ibu TN
meresmikan kafe tersebut pada tanggal 20 September 2003 sekaligus
peresmian bahwa kafe tersebut sudah menjadi milik ibu TN. Selama 7 tahun
usaha ibu TN mengalami peningkatan (semakin banyak yang menunjungi),
pelayannya pun (PL) semakin banyak.
Belajar dari pengalaman seseorang dapat menginspirasikan dirinya
untuk membuka sebuah usaha untuk memajukan perekonomian. Seperti
halnya ketika seseorang membuka usaha Tempat Hiburan Malam, tidak
terlepas dari adanya pengalaman orang tersebut. Seperti dikemukakan oleh
seorang informan :
“Saya lihat pengalaman di kota, lihat situsi. Kalau tidak ada THM di
Kabupaten Mamasa, orang Mamasa keluar dan itu artinya uang yang
ada dalam daerah keluar. Untuk apa membiarkan orang lain datang
mengelola kalau orang dalam bisa? Orang Mamasa masih sangat
haus hiburan. Untuk mencega pikiran kalut di Kantor dan di keluarga
perlu adanya THM”.
(TN, 50 tahun, germo)
Pada awalnya para PL melakukan aktifitasnya secara sembunyisembunyi dan masih sangat tertutup. Namun seiring berjalannya waktu
semakin banyak orang mulai mengunjungi tempat-tempat hiburan malam di
Mamasa dan mulai di kenal oleh masyarakat luas.
Dalam melihat keberadaan PL di Kabupaten Mamasa yang dari tahun
ke tahun semakin mengalami perkembangan dan juga penambahan jumlah
PL maka pemerintah kabupaten Mamasa memberikan kebijaksanaan yaitu
berupa perijinan tempat atau surat izin tempat
dan memberikan waktu
khusus kepada para Pluntuk melakukan kegiatannya agar tidak mengganggu
kenyamanan warga.
Langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah ini bukan berarti telah
melegalisir tempat itu sebagai tempat khusus bagi beroperasinya Wanita
Pekerja Seks, tapi karena pemerintah daerah telah merasa kewalahan dalam
mengatasi keberadaan Wanita Pekerja Seks yang ada di Mamasa yang
tumbuh dan berkembang dengan cepatnya.
B. Pandangan Masyarakat Mamasa terhadap adanya PL di Kabupaten Mamasa
Setiap individu akan mempunyai pandangan yang berbeda dengan
individu lain mengenai keberadaan PL di Kabupaten Mamasa. Hal ini
dikarenakan informasi, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh tiap
individu tidak sama, selain itu juga sejauh mana objek stimulus tersebut
bernilai bagi dirinya. Ini berarti akan menimbulkan penilaian dari karakter
masyarakat yang berbeda-beda terhadap adanya PL itu karena dianggap
bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada.
Dalam sistem masyarakat tradisional, yang mana hukum adat dan
norma sangat mempengaruhi kehidupan mereka, kegiatan ini dianggap
sebagai aib yang sangat memalukan. Kehadiran PL di Kabupaten Mamasa,
daerah kondosapata’ Wisapalelean sangat di tentang oleh masyarakat
Mamasa, hal itu dilihat dari sudut pandang agama, norma dan adat istiadat
yang berlaku dalam daerah Mamasa yang mana kegiatan itu di anggap
sangat buruk dan merupakan perbuatan dosa atau aib.
Awalnya PL memulai aksinya secara sendiri-sendiri yaitu setelah ada
transaksi pelanggan dan PL mencari tempat untuk melakukan hubungan
seks, yang biasanya di sediakan oleh germo dan juga kadang dicari sendiri.
Tempat yang sering digunakan adalah motel, penginapan kadang juga di
kost PL yang tidak tinggal di tempat hiburan malam bersama bos (pemilik
kafe).
Masyarakat Mamasa cenderung diam, pasif, acuh tak acuh seakan
tidak peduli terhadap kegiatan itu karena pada umumnya yang bekerja
sebagai PL di Kabupaten Mamasa adalah berasal dari luar daerah dan
kerjanya pun secara sembunyi-sembunyi, tertutup, tersembunyi dibalik
usaha hiburan Malam (kafe).
Masyarakat Mamasa sangat menentang adanya pekerja seks
komersial di Kabupaten Mamasa. Hal ini dianggap buruk namun yang buruk
itu tetap ada dan sebagian orang menerimanya. Yang buruk itu bernilai
merusak tatanan norma yang ada di dalam masyarakat adat istiadat
(budaya). Sadar atau tidak sadar sebenarnya masyarakat menganut peran
ganda yaitu disatu pihak Tempat hiburan malam dan para PL bisa diterima
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun di lain pihak hal itu
dilarang dan dipandang buruk.
Dahulu kebiasaan pemimpin adat orang mamasa
bangga bila
memiliki istri lebih dari satu atau memiliki selir namun Ketika misionaris dari
belanda menyebarkan agama kristen, kekristenan mulai mengakar dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat Mamasa.
Sebagian besar masyarakat menganut agama Kristen yang
mengajarkan untuk hidup suci dan kudus dan menjaga keutuhan rumah
tangga (dalam perjanjian lama, Imamat 19 ; 2. “kududslah kamu sebab Aku
Tuhan Allahmu Kudus”) dan perjanjian baru, Kitab Roma 12 ; 1. “ karena itu
saudaraku-saudara dari kemurahan Allah aku nasihatkan kamu supaya
kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang kudus dan
yang berkenan kepada Allah itulah ibadahmu yang sejati”. Hal-hal seperti
ini juga dipertegas dalam 10 hukum Allah (Keluaran 20 ; 14), yang
menyatakan : “Jangan berzinah, (Keluaran 20 ; 17), yang mengatakan
bahwa ‘jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya
atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan atau lembuhnya atau
keledainya atau apapun yang dipunyai sesamamu.
Sangat jelas bahwa dari segi agama dalam hal ini agama kristen
yang secara umum di anut oleh masyarakat mamasa tidak menerima atau
mentolerir adanya pekerja seks komersial karena perbuatan seperti ini jelas
bertentangan dengan ajaran agama kristen, merupakan suatu pelanggaran
terhadap ajaran agama yang mengakibatkan dosa dan akan mendapat
hukuman dari Allah.
Sebenarnya jika ini difungsikan dengan baik, tidak seperti di kotakota besar tapi hanya betul-betul hadir dalam rangka satu upaya untuk
menghibur, itu masih di beri toleransi oleh masyarakat, budaya dan agama.
Jika sudah berlebihan harus di antisipasi. Seperti yang di kemukakan
seorang informan :
“Secara khusus dalam kalangan Desa saya, peranan pemerintah
sudah ada misalnya mengantisipasi munculnya hal-hal yang bisa
meresahkan masyarakat. Jika pelayan kafe sudah berkeliaran dan
mengganggu masyarakat misalnya sudah ada korban Rumah Tangga,
anak sekolah dan remaja, pemerintah dan tokoh adat akan bekerja
sama untuk menghapus, namun kenyataannya sampai saat ini belum
ada dampak yang terlalu mencolok”.
(MR, 49 tahun, tokoh masyarakat)
Di sisi lain sesuai dengan perkembangan zaman tidak bisa dihindari
hanya saja pemerintah dan masyarakat tetap mewaspadai dan mengarahkan.
Sebenarnya sangat bertolak belakang dengan budaya orang Mamasa dan
apabila hal-hal yang tidak diinginkan timbul karena adanya hal itu dengan
sendirinya akan ditiadakan. Namun sampai saat ini belum ada masyarakat
yang mengadu kepada pemerintah .
C. Kafe Bamba Lempan dan kafe Pelangi
Bamba lempan merupakan salah satu Tempat Hiburan Malam (THM)
di Kabupaten Mamasa. Menurut informan AF Bamba Lempan didirikan pada
tahun 1998 silam yang diberi dukungan dari pemerintah Kabupaten Mamasa
sebagai Tempat Hiburan Malam (THM) di Kabupaten Mamasa.
Bamba
Lempan terletak di Desa Osango Kecamatan Mamasa di apit oleh sungai dan
jalan raya, yang pada dasarnya tempat ini jauh dari pemukiman warga tapi
merupakan tempat yang strategis karena berada di dekat pusat kota
Mamasa.
Bamba Lempan merupakan THM yang pertama di Mamasa, yang lebih
dulu di kenal oleh orang mamasa bahkan orang luar di bandingkan dengan
kafe yang lain. Bamba lempan merupakan tempat favorit bagi laki-laki hidung
belang karena selain dekat dengan kota juga banyak Pekerja Seks Komersial
yang cantik-cantikdan menggiurkan. Seperti yang di kemukakan oleh seorang
informan :
“Saya suka’ masuk di kafe Bamba lempan karena langgananmi juga
baru cewe’-cewe’nya cantik-cantik tawwa, dilayani baik-baikki’ juga.
Baru kalau sampai disana cewe’-cewe’nya langsung merapat, seksiseksi dan menggiurkan, juga langsung mengundang nafsu untuk
berbuat seks”.
(RJ, 50 tahun, laki-laki hidung belang)
Dapat di analisa bahwa laki-laki hidung belang yang datang di bamba
Lempan adalah mereka yang menginginkan PL yang cantik, seksi dan bisa
memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan dan tentunya memberi
dorongan hasrat kepada mereka. pelanggan yang mengunjungi kafe Bamba
Lempan umumnya adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, ada yang
bekerja sebagai PNS, kontraktor dan yang lebih banyak mengunjungi Bamba
Lempan adalah polisi.
Mereka juga masih tetap memilih Bamba Lempan sebagai tempat
untuk mencari kepuasan seks dan refresing karena mereka menganggap
tempai ini sangat nyaman untuk privasi mereka sendiri, ditempat ini privasi
mereka terjaga sehingga mereka tidak terganggu.
“Lamamaka’ selalu kesini dan sampai sekarang masih baik-baikji
rumah tanggaku. Tidak natau’i istriku kalau seringka’ kesini, memang
tawwa disini dijagai rahasiata’, coba tidak di jaga rahasiata’ dsini
lamamika’ diceraikan istriku tapi ya itumi bagusnya”.
(RJ, 50 tahun, laki-laki hidung belang)
Kafe Bamba Lempan sangat di sukai oleh laki-laki hidung belang,
karena
tempatnya
strategis
juga
pelayanannya
sangat
memuaskan.
Begitupun para Pekerja seks komersial memilih untuk bekerja di tempat ini,
karena banyak dikunjungi oleh pelanggan. pelanggan yang mengunjungi
Bamba Lempan umumnya datang pada jam 10 malam dan pulang setelah
jam 1 karena izin yang diberikan pleh pihak kepolisian hanya sampai jam 1
malam. Namun jika ada yang lewat dari itu akan diberikan kebijakan oleh bos
sang pemilik kafe, yaitu memberikan waktu sampai minuman yang sudah di
pesan habis baru tutup. Kadang juga setelah waktu izin untuk kafe selesai
pelanggan membawa PL ke hotel, penginapan dan lain-lain.
Pelangi juga merupakan salah satu kafe yang ada di Kecamatan
Mamasa.
Letaknya di Desa Osango Kecamatan Mamasa. Jarak dengan
pemukiman masyarakat sekitar 100-500 m. Pelangi juga merupakan salah
satu kafe yang mulai di sukai oleh para laki-laki hidung belang. Nuansa
tempat yang di buat seindah mungkin dan pelayan-pelayan yang masih muda
dan cantik mampu menarik minat laki-laki hidung belang.
Pelangi didirikan pada tahun 2009 . Sejak itu, sebagai kafe yang baru
pelangi dengan kreatifitas-kreatifitas pemiliknya di buat untuk bersaing
dengan kafe lain. Dapat dikatakan bahwa pelangi cukup menguasai hiburan
malam di Mamasa dan turut meramaikan kehidupan dunia malam di Mamasa.
Tempat ini sudah menjadi salah satu ikon Tempat Hiburan Malam bagi Kota
Mamasa lengkap dengan perempuan kupu-kupu malamnya alias Pekerja
seks Komersial (PSK). Meski Tempat ini di kemas dalam bentuk THM, seperti
karaoke atau bar, sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat inilah
terjadinya transaksi seks dan minuman keras. Bila orang menyebut kafe
Pelangi maka sudah tentu pikiran orang akan tertuju pada kegiatan seksnya.
Hampir setiap malam Pelangi ramai dikunjungi oleh para pelanggan.
Kebanyakan dari mereka adalah yang bekerja sebagai polisi. Tempat ini juga
dijadikan sebagai tempat kenalan bagi pelanggan dengan PL lalu
memutuskan untuk keluar bersama ke hotel atau ke penginapan. Seperti
yang diungkapkan seorang informan :
“kita biasa kenal-kenal di kafe ji sama bapak-bapak yang mau booking,
setelah itu ditemanimi dulu minum sambil cerita-cerita dan baku tawartawarmiki’ juga, berapa dia mau bayar untuk ditemani, tapi lebih
baguski kalau begini baku tawar sendiri karena semua uang yang
dikasi’ jadi milikta’ tidak adaji di potong-potong sama ibu (germo)”.
(DD, 26 tahun, PSK)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan dan membahas tentang temuan data lapangan yang telah
di peroleh dari hasil penelitian, terdiri dari beberapa bagian yang akan dibahas
secara berurutan. Pada bagian pertama membahas mengenai sejarah singkat
Patron Client Germo (bos) dengan PSK (PL), Bagian kedua membahas bagaimana
hubungan antara Germo dengan PSK dan bagian ketiga membahas tentang peran
secara timbal balik antara Germo (patron) dengan PSK (klien).
A.
Sejarah Singkat Patron Client Germo dengan PSK.
Dalam bagian ini membahas mengenai bagaimana awal permulaan
hubungan yang terjadi antara germo dengan PSK. Sebagaimana halnya
dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan manusia lain, karena
kodratnya sebagai makhluk sosial. Dalam setiap hubungan tersebut ada
alasan-alasan atau hal yang melatarbelakangi. Misalnya ketika orang ingin
bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, ia membutuhkan orang
lain yang bisa memberikan pekerjaan kepadanya yang lazimnya dikenal
dengan bos atau manager (patron).
Membahas mengenai pekerjaan sebagai Pekerja Seks Komersial
(PSK) yang ada dalam pikiran peneliti adalah ketika mereka bekerja sebagai
bawahan (klien) berarti ada atasan yang membawahi mereka atau yang
memberikan pekerjaan kepada mereka, yang dikenal dengan istilah germo.
Hubungan bos (sebutan untuk germo) dengan PL (sebutan bagi PSK
yang ada di Mamasa dan memiliki dua arti yaitu pelayan kafe dan pelacur)
umumnya dikarenakan adanya maksud dan tujuan dari masing-masing pihak,
tidak lain karena kebutuhan ekonomi. Mereka yang berstatus sebagai bos
awalnya adalah orang biasa yang ingin memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
begitupun sebaliknya mereka yang berstatus sebagai PL awalnya hanya
wanita pencari kerja, ada yang memang menginginkan hal itu, namun ada
pula yang terjebak dalam persaingan ekonomi.
Hubungan bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa di mulai
sejak tahun 1998 sejak adanya kafe di Mamasa yaitu kafe Bamba lempan, di
awali dengan hubungan atas persetujuan kedua belah pihak tanpa
menggunakan perjanjian tertulis dalam suatu bentuk ikatan kerja. Semua
dilakukan dengan saling percaya dan pengertian yang dilandasi satu tekat
bekerjasama untuk memberikan kepuasan dan keuntungan pada masingmasing pihak. Dengan kata lain kedua belah pihak berharap mendapatkan
keuntungan dalam kerjasama tersebut.
Seperti yang dikemukakan seorang informan :
“Tidak adaji yang namanya kontrak kerja tertulis begitu karena kurang
menguntungkan, kalau misalnya sudah dikontrak dua bulan pasti
sudah tidak kerja dengan baik, dia sudah santai-santai karena sudah
dikontrak. Kemudian kasian juga sama pelayanku yang datang kerja
karena sedang sakit sama suaminya atau ada masalah, nanti kalau
suaminya bujuk-bujuk baru baikan lagi pasti maumi pulang jadi kalau di
kontrak misalnya 2 bulan kasian dia mau tunggu gajinya dulu”.
(TN, 50 tahun, germo)
Dalam hubungan kerja yang terjalin ini bos (germo) memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya yaitu berupa tempat, untuk memberikan
lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan dan mau bekerjasama serta
bersedia untuk bekerja. Tentu saja germo menekankan tujuan utamanya
pada keuntungan ekonomi karena memang sifat usahanya adalah mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kedudukannya sebagai pemberi
kerja atau patron.
Demikian pula dengan PL, mereka memanfaatkan tubuh mereka untuk
memberikan jasa berupa kepuasan nafsu terhadap laki-laki hidung belang
demi mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan utama mereka yaitu
mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil menjual tubuhnya.
Hubungan kerja antara bos dan PL yang terjalin didasarkan atas
pertimbangan kepercayaan dan kejujuran. PL yang rajin serta sungguhsungguh dalam bekerja biasanya diperlakukan denga baik oleh bos. Proses
terjadinya hubungan kerja antara bos dan PL berbeda-beda, tergantung
kepada pihak yang sedang megadakan hubungan itu sendiri.
Terjadinya hubungan kerja antara bos dan PL setelah adanya
perjanjian kerja tak tertulis. Suatu perjanjian dimana pihak PL mengikatkan
diri untuk bekerja dengan menerima gaji dari bos. Tiga asas yang melandasi
hubungan kerja antara bos dan PL yaitu:
1. Asas kepentingan bersama.
2. Asas saling menghargai.
3. Asas saling percaya.
Asas tersebut terus berjalan meskipun tanpa perjanjian tertulis sebagai
sifat hubungan kerjasama. Faktor yang mendasari hubungan kerja antara bos
dengan PL yaitu sikap sebagai bos dalam kegiatan kerja yang menginginkan
kedisiplinanan para PL sebagai pekerja agar benar-benar melaksanakan
pekerjaannya dengan baik.
Ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan
yang telah di buat oleh bos harus ditaati oleh PL. Ketentuan-ketentuan itu
lebih condong dikatakan keharusan dalam bekerja yang tidak boleh dilanggar
oleh para PL. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan berakibat
buruk.
Ketentuan ini dipegang teguh oleh para PL dan justru hal itu banyak
mendasari sikap atau tingkah laku para PL dalam kehidupan sehari-sehari
dan menjadikan PL disiplin dalam bekerja. Sebaliknya bos juga harus bersifat
lunak serta penuh rasa tanggung jawab dan kebijaksanaan. Mengerti dan
berusaha membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh PL. Sebab
seorang bos yang kasar akan menyebabkan PL memutuskan untuk pindah ke
germo yang lain.
Dalam penelitian ini, perempuan yang bekerja sebagai PL berusia
antara 19-30 tahun. Dengan usia belia dan sehat serta kebebasan yang
dimilikinya sangat memungkinkan mereka bekerja sebagai PL. Kondisi
perekonomian keluarga menjadi salah satu faktor pendorong serta rendahnya
pengetahuan ataupun keterampilan yang dimiliki oleh informan, disisi lain
kebutuhan hidup yang mendesak untuk dipenuhi sehingga timbul keinginan
bekerja untuk menghasilkan uang yang banyak tanpa harus bersusah payah.
Selain itu masalah-masalah keluarga juga dapat menjadi faktor pendorong
yang membuat informan mengambil jalan pintas untuk mengatasi kesulitan
hidup agar tetap dapat bertahan.
Pendidikan sebagian informan dalam penelitian ini, berstatus putus
sekolah dengan tidak memperoleh ijazah SLTP maupun SMU. Meskipun
demikian dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebahagian besar informan
dapat membaca dan menulis walaupun tidak memiliki ijazah sekolah.
Tersendatnya pendidikan informan disebabkan oleh faktor ekonomi untuk
melanjutkan sekolah. Selain itu pergaulan yang bebas pada masa sekolah
menyebabkan sebagian informan menikah di usia muda. Perkawinan yang
tidak terencana secara matang menyebabkan keretakan rumah tangganya
yang berakibat mendorong dirinya untuk memilih menjadi PL.
Rendahnya tingkat pendidikan yang pernah mereka tempuh tentu saja
sangat mempengaruhi jenis pekerjaan yang akan dipilihnya. Apalagi mereka
yang tidak tamat SLTP, rendahnya pengetahuan dan tidak adanya
keterampilan membuat mereka kesulitan dalam persaingan di dunia kerja
akhirnya mendorong mereka untuk lebih memilih bekerja sebagai PL dari
pada mencari pekerjaan lain. Dari beberapa informan dalam penelitian ini
diketahui bahwa suku mereka berbeda-beda yaitu di antaranya berasal dari
jawa, palopo, manado dan lain-lain. Sebahagian besar beragama Islam dan
selebihnya beragama Kristen.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perilaku informan umumnya
peramah dan selalu menyenangi kehidupan bebas tanpa ada kekangan dari
pihak keluarga, dalam bertutur kata pun mereka terkesan cerewet dan
“ceplos” (berbicara tanpa dilandasi dengan pikiran), bahkan seringkali
berbohong kepada konsumen untuk memperoleh tip yang banyak. Namun di
sisi lain adapula informan yang terkesan sangat pendiam. Diantara informan
ada yang memilih menjadi PL disebabkan karena ajakan teman mereka yang
tidak ingin melihat informan menderita karena kekurangan uang atau
kemiskinan, dan ada juga informan yang menjadi PL karena kekecewaan atas
suami yang selingkuh.
Dari latar belakang informasi yang diperoleh dari informan tersebut
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa adapun yang menjadi alasan
informan menjadi PL sangat bervariasi, diantaranya karena adanya faktor
internal dan eksternal yang menjadi alasan kuat untuk menjadi PL yaitu:
a. Faktor internal
-
Aspek historis informan.
Sebab-sebab informan tertarik menjadi PL sangat bervariasi,
dari hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa sebagian
informan tertarik menjadi PL disebabkan oleh rasa putus asa serta
adanya keinginan untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras,
cukup dengan rayuan gombal dan rabaan maka mereka dapat
mengantongi uang sesuai dengan keinginan mereka. Keserderhanaan
pola pikir seiring dengan rendahnya penidikan yang dimilikinya
menyebabkan mereka menuruti apa saja kata hatinya.
-
Terjadinya disharmonis dalam kehidupan psikis.
Hal ini ditandai dengan bertumpuknya konflik batin akibat
kekecewaan-kekecewaan yang pernah dialami bersama dengan teman
lelakinya serta adanya kekecewaan-kekecewaan terhadap lingkungan
keluarganya sehingga mereka memilih kehidupan sendiri dan akhirnya
terjerat pada kehidupan malam. Keiniginan informan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarga membuatnya tidak mempunyai
pilihan lain untuk memperoleh uang dengan cepat kecuali bekerja
sebagai PL.
-
Adanya sifat fatalistic (menerima keadaan begitu saja).
Persoalan yang terjadi pada dirinya membuatnya tidak bisa
berbuat apa-apa, dan tidak ada sama sekali keinginan dari mereka
untuk mencari pekerjan lain.
b. Faktor Eksternal
-
Hubungan dengan teman atau tetangga.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa teman dan tetangga turut
mendukung informan menjadi PL, dimana mereka pertama kali
menjadi PL karena adanya ajakan dari teman mereka yang telah
terlebih dahulu menjalani kehidupan seperti itu, mereka menceritakan
hal-hal yang glamour sehingga informan tertarik untuk bekerja menjadi
PL.
-
Hubungan dengan lingkungan keluarga.
Sebagian lingkungan keluarga mendukung mereka untuk
bekerja sebagai seorang PL, hal ini terbukti bahwa ia bekerja sebagai
PL atas sepengetahuan keluarga mereka, walau tidak semua keluarga
tahu kalau mereka bekerja sebagai PL.
B.
Hubungan antara Germo (bos) dengan PSK (PL)
1.
Bos Perempuan
Ibu TN, Umur 50 tahun, agama Kristen, asal daerah Mamasa,
pendidikan terakahir SMA. Alasan mengelola kafe yaitu karena beliau
menganggap bahwa orang-orang Mamasa masih sangat haus dengan
hiburan. Seperti yang diungkapkan :
“Saya lihat pengalaman di kota, lihat situasi. kalau tidak ada
THM di Mamasa, org Mamasa keluar artinya uang dalam keluar,
dan juga orng mamasa masih sangat haus hiburan, mencegah
pikiran kalut di kantor atau di keluarga, juga bisa meringankan
pikiran kalau masuk kafe. Untuk apa membiarkan orang lain
datang mengelola kalau orang dalam bisa”.
(TN, 50 tahun, Germo)
Tugas sebagai bos adalah mencarikan pelanggan bagi para PL
untuk di booking, sekaligus sebagai pemilik tempat. Ada juga
pelanggan yang dengan sendirinya menghubungi untuk dicarikan PL.
Ibu TN juga menyediakan tempat dan sarana bagi PL dalam mencari
uang. Kadang juga memberikan perlindungan kepada PL yang sedang
mengalami masalah. Selain itu PL yang dicari adalah yang masih
muda dan cantik dan tentunya yang paling utama adalah orangnya
disiplin dan mau mengikuti aturan. PL yang dipekerjakan oleh Ibu TN
adalah mba’ AN dan mba’ FY.
Mba’ AN, umur 30 tahun, Agama Islam, asal daerah Jakarta
(Cengkareng), pendidikan terakhir SD. Dia berasal dari keluarga yang
sederhana, anak pertama dari 2 bersaudara. Bapaknya sudah
meninggal dunia yang tersisa hanya ibu, adik dan kedua anaknya.
Suaminya bekerja mencari barang bekas. Dulu mba’ AN bekerja
sebagai pembantu rumah tangga dan dari hasil itu uangnya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan makan ibu, adik dan anakanaknya dan itu dianggap tidak pernah cukup. Akhirnya mba’ AN
memilih jadi PL. Seperti yang diungkapkan :
“Jadi pembantu Rumah tangga gaji yang saya dapat 500ribu
perbulan, g cukup buat keperluan sehari-hari. Pusing mikirin
makanan sehari-hari, kalau kerja gini saya dapet 700ribuan ke
atas/ 2 minggu. Jadi lebih baik kerja yang seperti ini saja. Mama
juga sakit di rumah, uda g bisa kerja ya uda biar saya aja yang
nyari uang yang penting ada yang jagain anak”.
(AN, 30 tahun, PSK)
Pada suatu hari ibu TN jalan-jalan ke Jakarta berkunjung ke
rumah anaknya di Jakarta. Tantenya Mba’ AN, kerja sebagai pembantu
rumah tangga di Rumahnya Ibu TN. Waktu itu dia ikut dengan tantenya
ke rumah anaknya ibu TN, sampai disana ketemu sama ibu TN dan
ditawarin pekerjaan di Mamasa dengan iming-iming dan janji-janji yang
menggiurkan yaitu sebagai PL.
Ibu mulai berkata kepada Mba’ AN bahwa nanti di Mamasa dia
akan bekerja sebagai PL alias pelacur, pekerjaan yang hina dan
dianggap sampah oleh masyarakat, tapi karena alasan untuk
menghidupi orang tua, dan kedua anaknya serta menyekolahkan
adiknya, dan juga karena Rumah Tangganya sedang bermasalah mba’
AN tidak menghiraukan perkataan ibu yang penting bisa mendapatkan
uang dengan cepat dan mudah. Seperti yang di ungkapkan :
“Awalnya saya g mau tapi setelah pikir-pikir saya lebih baik ikut
karena selain nyari uang pengen lupain suami juga, biar dia g
tau saya dimana soalnya saya minta cerai dia g mau padahal
saya uda pengen banget cerai ma dia abisnya dia selingkuh sih”.
(AN, 30 tahun, PSK)
Inilah latar belakang dan salah satu alasan atau motivasi untuk
menghasilkan uang dengan cepat dan lebih banyak. Masalah
kemiskinan dan Rumah tangga menjadi salah satu penyebab menjadi
PL.
seperti yang diungkapkan seorang informan :
“Saya pengen lupain suami, Lum cerai sih tapi lagi bermasalah.
Saya ngelahirin anaknya di rumah sakit dia ena’ena’an ngamilin
perempuan lain da gitu perempuan kafe juga’, jadi saya kerja
gini g tau apa saya dendam atau gimana? dan kebetulan adik
saya juga mau masuk SD jadi saya harus berusaha dapatin
uang supaya dia bisa masuk sekolah.
(AN, 30 tahun, PSK)
Akhirnya mba’ AN sepakat untuk ikut dengan ibu TN ke
Mamasa. Tapi ternyata mba’ AN menginginkan seorang teman dan
akhirnya mengajak adik sepupunya, anak dari tantenya yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di rumah anaknya ibu. Namanya
Mba’ FY, Sebelumnya Mba FY juga sudah ditawarin pekerjaan oleh
ibu, tapi kerja di rumah makan milik ibu bukan sebagai PL.
Mba’ FY berumur 22 tahun. Agama Islam Pendidikan terakhir
SMA. Anak ketiga dari 4 orang bersaudara. Dulu dia kerja di swalayan,
tokoh sepatu. Mamanya kerja sebagai pembantu rumah tangga di
rumahnya ibu, papanya kerja sebagai supir pribadi. Sudah punya anak
1 berumur 2 tahun. Suaminya kerja sebagai kuli bangunan.
Satu minggu kemudian mereka bertiga, Mba’ AN, Mba FY, dan
Ibu TN berangkat dari Jakarta bandara Soekarno Hatta dan tiba di
Bandara Sultan Hasanuddin Makassar kemudian menuju ke Mamasa,
dan sehari kemudian tiba di Mamasa. Bos yang biasanya di sapa Ibu
memperkenalkan mereka pada pelayan-pelayan lain. Kemudian
membawa mereka ke kamar ukuran 3 x 3 meter persegi, yang juga
merupakan tempat ibu. Di dalam kamar itu tidak terdapat perabotanperabotan yang mewah, yang ada hanya barang-barang sederhana
yang bisa mereka pergunakan untuk huburan seperti Televisi, radio
dan sebagainya.
Beberapa hari berada di kafe Bamba Lempan, salah satu
tempat hiburan Malam di Kabupaten Mamasa milik ibu TN Mba FY
juga tertarik untuk mulai bekerja di Kafe tanpa sepengetahuan orang
tua dan suaminya. Ini menunjukkan bahwa suasana dan tempat
sehari-hari ia berada mempengaruhi pikiran untuk kemudian terjun
dalam pekerjaan seks. Seperti yang diungkapkan bahwa :
“Awalnya saya datang cuman nemanin kakak saya, Mba AN.
Sekalian juga saya kerja di rumah makannya ibu tapi sekarang
saya mulai tertarik untuk bekerja di kafe, suami saya taunya
saya bekerja di rumah makannya ibu, tapi g papa, yang penting
dapat uang bisa di kirim ke kampung untuk bantu-bantu mama
sama papa”.
(FY, 22 tahun, PSK)
Seiring
berjalannya
waktu
mereka
mulai
bekerja
tanpa
mengenal rasa lelah dan rasa bersalah. Dari hasil kerjanya diperoleh
hasil rata-rata dalam 2 minggu yaitu 1.900.000,- atau bahkan dapat
mencapai 2.000.000,- jika banyak konsumen yang datang ke kafe dan
ada yang boking. Sistem penggajiannya adalah tergantung pada
banyaknya tip dan banyaknya bokingan yang diperoleh.
Tarif bokingan sekali keluar bersama konsumen biasanya
600.000,- sampai 700.000,-
itu menjadi bagian pelayan (PSK)
sepenuhnya, untuk germo dan kasir biasanya di bicarakan tersendiri
dengan konsumen. Pendapatannya juga tergantung pada botol bir
yang diperoleh tiap malam.
Seperti diungkapkan seorang informan :
“Gaji saya tergantung juga ma botol bir yang abis, dalam setiap
1 botol bir saya dapat 6000,- .klo yang layanin tamu disitu saya
sendiri, uang 6000,-itu buat saya sendiri tapi klo ada teman
yang lain ya 6000,- itu di bagi berapa pelayan yang nemanin
disitu”.
(AN, 30 tahun, PSK)
Mba’ AN sekarang menjalani hidupnya sebagai seorang PL,
walaupun kurang mendapat tempat di hati orang lain yang melihatnya
namun itu semua hanya sebagai suatu pandangan atau pendapat
orang lain yang harus diterima. Dia tidak menanggapi apa pun
pandangan orang asalkan bisa mendapatkan uang dan juga
memuaskan diri.
Seperti yang di ungkapakan :
“Walaupun ini pekerjaan yang kotor dan hina di mata orang lain,
namun yang utama bagi saya adalah ngumpulin uang untuk
kebutuhan keluarga dan pribadi”. Juga bisa buat saya senang
karena selain dapat uang saya juga jauh dari suami, jadi saya
merasa lebih tenang, belum lagi saya juga mendapatkan
kenikmatan”.
(AN, 30 tahun, PSK)
Selama hampir 3 bulan berada di Mamasa dan bekerja sebagai
PL kalau mau mengikuti kemauannya sebenarnya mba’ AN tidak ingin
jadi PL tetapi karena masalah keluarga dan tuntutan ekonomi yang
semakin meningkat mengharuskan ia bekerja sebagai pekerja seks
komersial untuk memenuhi kebutuhannya sendiri beserta ibu, adik dan
anak-anaknya.
Mba’ FY pun mengalami hal yang sama. Selama 2 bulan
menjadi PL banyak sekali godaan yang datang sehingga membuat
dirinya merasa terganggu. Namun dia tetap berjuang dan tetap
bertahan, menutup telinga untuk semua kata orang. Hasil yang
sekarang mba’ FY dapatkan tidak saja bermanfaat bagi dirinya atau
hanya untuk dirinya saja tetapi untuk keluarga dan orang tuanya juga.
Sebagian besar masalah yang di dapat mba’ FY ketika menjadi
PL tidaklah sedikit dan gampang karena dia baru menggeluti pekerjaan
sebagai PL tapi kadang itu hanya dijadikan sebagai motivasi untuk
menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga khususnya anaknya
yang masih kecil. Seperti yang diungkapakan :
“Resiko yang saya dapat saat menjadi seorang PL adalah
wajar”. Karena pekerjaan yang seperti ini memang sudah di
benci oleh masyarakat. Olok-olok dan kata-kata hinaan itu
sudah menjadi hal yang harus bisa saya terima dan saya harus
belajar terbiasa dengan hal itu”.
(FY, 22 tahun, PSK)
Dia mengaku selama ini banyak pengalaman yang dia dapat
selama bekerja sebagai PL di Bamba Lempan sebab ada kejadian
yang menarik baginya untuk dilupakan dan ada juga kejadian atau hal
yang tidak baik yaitu ketika diperlakukan kasar oleh orang sekitar.
Terkadang mba’ fany merasa jenuh dan malu bekerja sebagai PL”.
Tapi ia mengakui bahwa apa yang dilakukan saat ini hanya untuk
keluarganya.
Meski pun begitu, mba’ FY juga memiliki harapan dan cita-cita
semasa ia kecil dan duduk di bangku pendidikan. Sebagaimana orang-
orang lainnya yang memiliki cita-cita kelak ia dewasa. Namun semua
itu harus di redam karena keterbatasan ekonomi.
Seperti yang di ungkapkan :
“Dulu waktu kelas 5 SD saya mulai bercita-cita untuk menjadi
seorang perawat. Saya sangat berharap bisa jadi perawat
karena waktu itu yang saya pikirkan adalah orang tua saya.
Saya ingin merawat mereka kalau sakit supaya ngga’ perlu di
bawa ke rumah sakit. Tapi ya ternyata ngga’ kesampaian.
Setelah selesai SMA saya ngga’ bisa lanjut ke perguruan tinggi
karena ngga’ ada uang.
(FY, 22 tahun, PSK)
Sikap germo maupun PL layaknya ibu dan anak. Teguran dari
germo hanya ibarat pengarahan yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu dan PL jujur mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Aspek kesehatan merupakan salah satu sisi yang cukup penting
dalam setiap kehidupan manusia. Dalam hubungan kerja antara ibu TN
dan PL yang peneliti temukan adalah adanya rasa tanggung jawab dari
ibu TN terhadap PL dalam hal kesehatan. Ketika ada PL yang sakit
dan penyakitnya tidak parah seperti sakit gigi biayanya ditanggung
oleh PL itu sendiri dengan pertimbangan bahwa penyakit yang
dideritanya tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar sehingga PL
itu sendiri masih bisa membayarnya, tetapi pada saat PL mengalami
sakit yang parah seperti yang kena penyakit malaria, dll biaya
pengobatannya di tanggung oleh bos. Seperti yang di ungkapkan oleh
seorang informan :
“Kalau ada pelayanku sakit dan sakitnya ringanji kaya’ sakit gigi,
demam, dia sendiriji yang pergi ke Rumah Sakit, dia bisa urus
sendiri karena bukanmi lagi anak kecil, kecuali kalau memang
sudah sakit parah ya saya yang harus bawa dia ke Rumah sakit
baru biayanya juga mahal jadi saya yang harus bayarkan.sudah
pernah ada pelayanku kena malaria jadi saya yang tanggung
semuanya tapi karena belum sembuh-sembuh saya kasi biaya
pulang ke kampungnya”.
(TN, 50 tahun, Germo)
Dalam hubungan kerja yang penuh dengan keakraban antara
bos dan PL tampak seolah-olah mereka menciptakan suasana
kekeluargaan. Seperti yang dikemukakan seorang informan :
“Ibu uda kami anggap sebagai orang tua sendiri disini, ibu selalu
memberikan kami arahan supaya tetap bisa bekerja dengan
baik dan menghasilkan uang yang banyak, jadi kalau ibu kasi
arahan kami berusaha menurutinya karena memang dia sudah
seperti orang tua kedua bagi kami”.
(FY, 22 tahun, PSK)
Berdasarkan pernyataan informan tersebut dapat kita peroleh
gambaran bahwa kepuasaan antara bos dan PL dalam hubungan kerja
dapat terlihat saat bos sebagai atasan memberikan pengarahan yang
baik kepada PL untuk bisa menghasilkan uang yang banyak dan PL
pun mendapatkan gaji yang banyak. Hubungan kekerabatan antara
bos dan PL jelas tidak ada tetapi nampaknya mereka sangat akrab.
Hal ini dikarenakan adanya tanggung jawab moril untuk saling menjaga
keselamatan. Seperti yang dikemukakan seorang informan :
“Saya merasa bertanggung jawab sama pelayan-pelayanku
karena mereka sudah mau bekerja di tempatku dan ada juga
yang tinggal disini sama jadi sudah di anggap seperti saudara,
jadi kalau ada yang bisa saya bantu saya pasti usahakan”.
(TN, 50 tahun, Germo)
Walaupun patron klien adalah hubungan yang tidak setara tetapi
dengan adanya rasa saling percaya dan akrab membuat hubungan ini
tetap lestari. Namun demikian kedua belah pihak baik bos (patron)
maupun PL (klien) menganut asas saling menguntungkan. Selama
kedua belah pihak masih merasakan adanya keuntungan yang bakal
diperoleh dalam jalinan hubungan patron klien tersebut maka
keduanya akan tetap melanjutkan hubungan kerja. Tetapi sebaliknya
apabila salah satu pihak sudah merasakan tidak adanya keuntungan
yang bisa diperoleh minimal dalam jangka pendek atau sudah
merasakan adanya kerugian dari pihak lain maka saat itu juga
diadakan pemutusan hubungan, baik dengan kesepakatan bersama
maupun tidak. Seperti yang di ungkapkan oleh seorang informan :
”Kalau ada saya punya pelayanku sudah mulai lebih
mementingkan pacar-pacarnya dari pada melayani tamu saya
masih berikan teguran tapi kalau terus-terusan begitu saya
langsung pecat karena artinya dia sudah tidak bisa bekerja
dengan baik dan kita sama-sama rugi”.
(TN, 50 tahun, germo)
2.
Germo laki-laki.
AF, 40 tahun. Pendidikan terakhir SMA. Agama Kristen. berasal
dari Mamasa. Alasan membuka kafe yaitu supaya orang-orang di
Mamasa punya Tempat Hiburan Malam (THM), sesuai dengan
perkembangan karena maju tidaknya sebuah daerah tidak terlepas dari
Tempat Hiburan Malam (THM), dan juga sebagai kesibukan untuk
keseharian karena tidak ada pekerjaan. Bekerja di kafe sebagai germo
(bos) memberikan keuntungan bagi saya. Penghasilan per 2 minggu
berkisar Rp. 3.000.000,- Rp 5.000.000,. Dalam mencari PSK, pak AF
lebih menekankan pada faktor fisik, cantik, berpenampilan menarik
juga masih muda. PSK yang bekerja di kafe milik pak AF dalam
penelitian ini adalah DD , itulah nama samaran yang sering di panggil
oleh teman-temannya, dia berasal dari Manado, umurnya 26 tahun,
Agama Kristen, pendidikan terakhir SMP. Anak bungsu dari 5 orang
bersaudara. DD memilki seorang anak yang tinggal bersama kakaknya
di Malaysia.
DD sudah 6 tahun menjadi pekerja seks komersial, kondisi
keluarga kurang mampu. Pekerjaan ayah DD adalah seorang petani
dan ibu hanya sebagai ibu rumah tangga. Pada usia 13 tahun DD
menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Toraja. Keluarga
laki-laki tersebut tidak menyetujui hubungan mereka tapi karena DD
sudah hamil sehingga harus menikah dan setelah menikah langsung
cerai. Seperti yang diungkapkan :
“Tidak direstuika’ keluarganya suamiku karena mungkin mereka
keluarga besar sedangkan saya hanya orang biasa tapi sudah
terlajur hamil jadi harus nikah tapi dengan kesepakatan selesai
nikah langsungka’ di ceraikan baru dia pergi menikah dengan
wanita lain pilihan orang tuanya”.
(DD, 26 tahun, PSK)
Akibat pergaulan bebas atau kenakalan remaja sehingga DD
menjadi seorang PL. Awalnya DD bekerja di diskotik di Manado tapi tidak
lama kemudian dia mulai berpikir untuk keluar dari Manado, merantau
untuk mendapatkan uang dan juga adanya dorongan dari orang tua untuk
bekerja di luar.
“Orang tuaku tidak mau kalau saya nakal di kampung sendiri, lebih
baik nakal di kampung orang, tapi sebenarnya mereka tidak tau
kalau saya bekerja sebagai PL yang mereka tau saya kerjanya di
restoran dan kalau pun tidak direstoran mereka taunya saya kerja
di diskotik yang hanya berjoget tapi bukan sebagai PSK”
(DD, 26 tahun, PSK)
DD pernah bekerja di Iryan jaya selama 2 tahun, setelah itu
berangkat ke Makassar dan disana ia bekerja selama 3 bulan di jalan
Nusantara, setelah itu dia ke Sidrap karena ajakan teman, dan juga
sampai di Malaysia. DD tak pernah menyerah untuk tetap bisa
menghasilkan uang untuk keluarga dan anaknya, walau pun dengan
berpindah-pindah tempat.
Suatu ketika DD mendengar dari temannya bahwa di Mamasa ada
kafe, dan di Mamasa juga orangnya baik-baik, tanpa pikir-pikir DD
langsung menuju ke Mamasa dengan Mobil panter yang menuju ke
Mamasa, yang menunjukkan jalan dan tempat adalah sopir mobil tersebut.
Akhirnya sopir mobil menurunkan DD di kafe Pelangi. Seperti yang di
ungkapkan :
“Temanku cerita, kalau di Mamasa ada kafe jadi saya langsung cari
mobil yang menuju ke Mamasa baru saya tanya adakah kafe di
Mamasa, sopir itu bilang ia ada, mau di kasi’ turun dimana saya
bilang sembarang asalkan saya bisa kerja disitu jadi di kasi’
turunmaka’ diPelangi.”
(DD, 26 tahun, PSK)
Menjadi PL adalah pilihan DD untuk melanjutkan atau meneruskan
hidupnya, juga untuk menghilangkan stress, menghidupi keluarga
utamanya menghidupi anaknya. Bagi DD dengan keadaan dia seperti itu
dia siap bekerja dimana saja yang penting bisa menghasilkan uang sekali
pun itu menjadi PL. Selama bekerja sebagai PL DD juga sangat
membutuhkan perjuangan bertahun-tahun untuk dapat bertahan. Berbagai
pengalaman sudah ia dapatkan. Seperti yang diungkapkan :
“Pengalamanku banyakmi. Biasa tamu ribut dan bikin masalah,
tamu berkelahi dengan tamu, pelayan jadi sasaran. Kerja di kafe
sangat berat, kita korban perasaan.tidak dekat dengan tamu, tamu
marah. Biar tidak suka juga harus dekat. Kadang juga dapat tamu
yang kasar mulutnya, dia maki-maki kita tapi mau diapa sudah kerja
begini”.
(DD, 26 tahun, PSK)
Dia sadar bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan
yang hina dan kotor dan karena adanya kebutuhan hidup yang semakin
tinggi sehingga dia berani ambil resiko untuk bekerja sebagai PL. Dia juga
ingin hidup sebagai wanita terhormat seperti perempuan lain yang tidak
menjual dirinya kepada laki-laki hidung belang “pengguna jasa” untuk
sesuap nasi dan untuk kebutuhan yang lain. Seperti yang di ungkapakan :
“saya maumi juga berhenti dari pekerjaan ini kalau ada yang mau
perbaiki hidupku, mau terima saya apa adanya. Saya sudah pernah
dilamar tapi orang ada istrinya jadi saya tidak mau karena saya
sudah pengalaman berkelahi dengan istrinya orang, dia datang
mengamuk di kafe jadi saya hantam sampai berurusan dengan
polisi”.
(DD, 26 tahun, PSK)
Ternyata sangat jelas bahwa mereka juga menginginkan untuk
hidup dengan baik seperti perempuan-perempuan lainnya yang hidup
secara normal, berkeluarga dan memiliki anak. Namun hal itu bisa
terwujud ketika ada laki-laki yang mau betul-betul mencintai dan
menjadikannya istri.
Dari upah yang dia peroleh selama bekerja sebagai PL di kafe
Pelangi, rata-rata penghasilan dalam 2 minggu 1.500.000 bahkan sampai
2.000.000,-. Ini jika ia menerima bokingan, karena melayani tamu di kafe
biasanya hanya berkisar 400.000 – 700.000,- / 2 minggu yang di hitung
dari berapa botol minuman bir yang laku saat ia bekerja.
Biasanya pelanggan yang booking bayar 700.000 sekali keluar, dan
uang ini seluruhnya untuk PL, tak ada potongan untuk pak AF karena
sebelumnya sudah ada pembicaraan tersendiri dengan konsumen.
Terkadang juga laki-laki hidung belang sendiri yang berbicara kepada PL
untuk di booking pada saat bertemu di kafe tanpa sepengetahuan germo,
PL hanya meminta izin kepada kasir untuk keluar.
Pendapatan yang diperoleh oleh DD dikirimkan ke kakaknya yang
ada di Malaysia yang mengasuh anaknya dan juga dikirim ke orang
tuanya di Manado, serta sisanya dipergunakan untuk kebutuhan membeli
pakaian dan kosmetik. Untuk urusan makanan dijamin oleh pak AF
dengan hasil uang meja sebanyak Rp 30.000/ meja.
Dalam hubungan yang terjadi antara pak AF dengan PL, aspek
kesehatan juga sangat diperhatikan oleh Pak AF sebagai patron dalam
hubungan ini. Namun sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh ibu TN
dimana pada saat PL sakit parah pak AF hanya memberikan uang
sebagai bentuk kepedulian untuk biaya Rumah Sakit, sedangkan Ibu TN
memberikan uang dan juga mengantar PL ke Rumah Sakit. Seperti yang
diungkapkan oleh seorang informan :
“Dulu ada temanku kena penyakit Malaria kodong, tidak cukup
uangnya untuk bayar Rumah Sakit tapi untungji di bantu sama
bapak karena bapak juga memang sudah bilang kalau ada yang
sakit dan tidak cukup uangnya nanti bapak yang bantu. Tapi saya
juga baru-baru sakit gigi, sakit biasaji, tidak pake uang yang terlalu
banyak jadi saya bayar sendiriji.
(DD, 26 tahun, PSK)
Nampak jelas bahwa meskipun germo dan PL terlibat dalam
hubungan yang bersifat ekonomi, namun unsur perasaan juga tetap
memainkan peranannya. Mereka saling memaafkan atau merasa bodoh
terhadap pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pihak lain
sepanjang yang dilakukan tidak berakibat total menghancurkan usaha.
Baik antara PL dengan PL ataupun PL dengan bos. Namun pada
kenyataannya belum pernah ada masalah antara bos dan PL, hanya saja
PL dengan PL lain kadang ada sedikit masalah, jika hal ini terjadi bos
mendamaikan mereka dengan cara menasehati masing-masing pihak.
Terjadilah tingkah laku paradoks antara tujuan ekonomi di satu pihak
dengan tenggang rasa di pihak lain. Tenggang rasa dipihak lain
mengakibatkan rasionalitas ekonomi terpaksa diabaikan. Sifat ketimuran
yang lebih mengandalkan perasaan dari pada rasio belum bisa
ditanggalkan. Sementara pengelolaan suatu usaha ekonomi menuntut
tingkat rasionalitas tinggi. Pada tahap ini ide moral yang terkandung
dalam norma hubungan timbal-balik berupa keharusan membalas
pemberian atau jasa yang pernah diterima sangat berperan penting.
Tipologi Tindakan Germo Terhadap PSK
Relasi Sosial Partron Client
Tipe germo laki-laki
1. Pinjaman uang
2. PL sakit (parah)
Tipe germo perempuan
PL segan meminta
PL tidak segan
pinjaman pada germo
meminta pinjaman
dan bos lebih
pada bos dan bos juga
mempertimbangkan
memberikan pinjaman
untung rugi
secara langsung
Bos hanya
Memberikan uang
memberikan uang
sekaligus mengantar
sebagai bentuk
ke Rumah sakit
kepedulian
3. Merekrut PL
4. Tempat tinggal
Lebih menekankan
Fisik juga penting tapi
pada faktor fisik tapi
lebih menekankan
juga disiplin
pada kedisiplinan
Membuat kost
PL dapat tinggal
tersendiri bagi para PL
bersama sang bos
dalam satu atap
5. Penyelesaian
Bos memberikan
Bos mempertemukan
masalah Pada
nasehat kepada
kedua bela pihak dan
saat PL
masing-masing pihak
menyelesaikan
mengalami
(PL)
permasalahannya
masalah dengan
bersama-sama
PL lain
6. Status PL dan
bos
adanya batasan antara
Tidak ada batasan
PL dengan bos karena
karena PL dengan bos
adanya perbedaan
layaknya Ibu dan anak
biologis
C. Peran Secara Timbal Balik antara Germo dan PSK.
 Struktur Relasi Germo dan PL.
PL
BOS
PELANGGAN
TEMAN

Biasanya pelanggan (laki-laki hidung belang) memesan PL melalui jasa bos
dengan memberikan gambaran PL seperti apa yang diinginkannya dan
mentransaksikan mulai dari tarif hingga tempat yang akan digunakan. PL juga
meminta bantuan kepada bos untuk mencarikan pelanggan.

Pelanggan dapat bertransaksi secara langsung dengan PL dan hal ini biasa
terjadi ketika laki-laki hidung belang dan PL sebelumnya telah terjadi
hubungan yang sangat dekat atau sudah menjadi pelanggan tetap dengan
konsekuensi pihak bos tidak mendapat keuntungan langsung sebagai
mediator.

Bos disini bertindak sebagai mediator ataupun yang memfasilitasi sehingga
transaksi antara pelanggan dapat terjadi dengan imbalan ataupun bayaran
yang didapatkan dari pihak pelanggan dan PL.

PL sewaktu-waktu dapat bertindak sebagai bos yang memediasi transaksi
pengguna jasa dengan PL yang lainnya.

Teman dapat memiliki peran seperti bos yang dapat bertindak sebagai
penghubung atau pun yang mencari informasi tentang PL dan bos serta
pelanggan sehingga transaksi dapat terjadi diantara mereka.
Relasi antara bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa
Kabupaten Mamasa menimbulkan kewajiban dan hak. Kewajiban atau tugas
dan hak masing-masing pihak antara bos dan PL tidak pernah di buat secara
tertulis dan terperinci. Namun secara umum dilaksanakan atas kesadaran
kedua belah pihak menurut tradisi yang berlaku.
Hubungan kerja yang terjalin antara bos dengan PL mengacu pada
kemampuan beradaptasi antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut di
dorong oleh terciptanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara
kedua bela pihak yang telah disepakati bersama dan menyadari akan
kedudukan dan peranannya masing-masing. PL berhak mendapat gaji
sebagai bayaran dari hasil kerjanya.
Sebagai pekerja, maka PL berhak
mendapat gaji. Sedangkan bos berhak menikmati hasil kerja dari PL.
Kewajiban dari PL yaitu melakukan tugas yang telah dibebankan oleh bos,
kedua macam hak tersebut merupakan hak dasar dari PL dan bos.
Sedangkan kewajiban PL pada dasarnya hanya melakukan seluruh perintah
bos
berkenaan dengan kegiatannya. Bekerja dengan sungguh-sungguh
sebagai suatu keharusan dan mempergunakan keahlian dan keterampialan
yang dimiliki dalam pelaksanaan tugas yang dipercayakan oleh bos
kepadanya dan disertai rasa tanggung jawab yang besar atas keberhasilan
pelaksaanan tugas tersebut. Setelah semua terselesaikan maka bos
berkewajiban memberikan upah kepada PL sesuai dengan jumlah yang telah
disepakati.
Suatu hubungan kerja yang terjalin antara bos dan PL akan berjalan
serasi dan harmonis bila terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban
masing-masing yang memang sudah diakui keberadaannya dalam kehidupan
masyarakat. Selain itu seorang bos yang nota bene mempunyai hak untuk
menetapkan serangkaian kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PL,
sebagai pekerja harus taat pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh bos.

Kewajiban bos :
1. Memperlakukan PL sesuai dengan harkat dan martabat sebagai pekerja,
dan juga adil terhadap PL.
2. Memberikan
pengarahan-pengarahan
kepada
PL
sebelum bekerja
ataupun sesudah bekerja.
3. Memberikan kebebasan kepada PL untuk berkreasi.
4. Memenuhi segala keperluan atau fasilitas yang di gunakan PL dalam
bekerja.
5. Memberikan gaji kepada PL sesuai dengan yang telah disepakati.
6. Memberikan perlindungan bagi PL.

kewajiban PL :
1. Disipilin terhadap waktu kerja yang telah ditetapkan oleh bos.
2. Keharusan mempergunakan keahlian dan keterampilan dalam bekerja.
3. Taat terhadap ketentuan-ketentuan dan kebijaksanaan yang telah
diberlakukan oleh bos.
4. Menjaga nama baik masing-masing pihak sebagai wujud jalinan kerja
yang baik.
5. Bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga yang ingin dicapainya
bersama dapat terwujud.
Kewajiban bos di satu pihak merupakan hak PL di pihak lain.
Sebaliknya kewajiban PL disatu pihak merupakan hak bos di pihak lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewajiban bos merupakan hak para
PL, sebaliknya kewajiban PL merupakan hak bos. Hak dan kewajiban yang
demikian merupakan dasar utama dalam melaksanakan peran atau
kegiatannya masing-masing.

Peranan bos
-
Memberikan Pengarahan
Pengarahan dilakukan untuk membimbing PL dengan jalan
memberi perintah, bagaimana PL saat melayani tamu agar bisa
melayani dengan baik, memberikan teguran atau koreksi saat PL mulai
lebih mementingkan yang lain daripada pekerjaannnya dan usaha
yang semacamnya agar PL dalam melakukan pekerjaan mengikuti
arah yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan seorang
informan :
“Saya selalu beri arahan sama pelayanku supaya kalau ada
tamu dia layani dengan baik, supaya banyak pemasukan dan
dia juga dapat uang yang lebih banyak. Pernahmi juga ada
pelayanku yang saya tegur karena sudah lebih mementingkan
pacar-pacarnya daripada pekerjaannya, kalau saya biarkan
begitu kita sama-sama rugi”.
(TN, 50 tahun, Germo)
Oleh karena itu bos dalam hal ini tentunya diharapkan mampu
untuk memahami kebutuhan para PL, sikap-sikap termasuk perasaan
PL untuk diperlakukan secara manusiawi sebagaimana yang terdapat
pada kewajiban bos yang telah disebutkan di atas salah satunya
adalah memberikan kebebasan kepada PL untuk meningkatkan mutu
pekerjaan yang dilakukan dan tidak senantiasa mendapatkan tekanan.
Para PL tidak ada yang tidak patuh bila di beri bimbingan
tentang apa yang harus mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa
antara PL dan bos sudah diawali oleh rasa saling menghargai dan
ketaatan yang cukup tinggi. Dasar inilah yang akan mencerminkan
hubungan kerja yang selanjutnya berjalan baik sebagaimana yang
mereka harapkan bersama. Seperti yang diungkapkan :
“Selama ini belum pernah ada pelayanku yang membangkang,
sampai saat ini masih naturutiji semua aturanku, saya senang
mereka bisa hargaika’ sebagai bos. Jadi karena tidak
membangkangji makanya lama saya pekerjakan”.
(AF, 49 tahun, Germo)
-
Mengontrol
Selanjutnya kegiatan bos yaitu yang menyangkut pengontrolan
(controlling) dalam arti merupakan kegiatan yang mengusahakan agar
pelaksanaan pekerjaan yang dipercayakan kepada PL serta hasil kerja
yang dicapai sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan maupun
berdasarkan perintah baik yang diberikan sebelum melaksanakan
pekerjaan maupun yang sifatnya insidentil, ataupun berdasarkan
berbagai macam petunjuk dan ketentuan-ketentuan lainnya yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa keberhasilan
suatu pekerjaan sebagai PL tergantung pada sejauh mana keuletan
dan kedisiplinan PL dalam bekerja dan sejauh mana pula usaha
pengontrolan dari bos. Hal tersebut tentunya dimaksudkan agar segala
usaha yang dilakukan dapat berjalan secara efektif dan efisien
(berhasil guna dan berdaya guna).
Berdasarkan hal tersebut diatas, jelas bahwa hubungan kerja
yang
terjalin
antara
PL
dan
bos
dapat
peneliti
simpulkan
sebagai”simbiosis mutualisme”. Dalam arti hubungan kerja yang
terjalin pada prinsipnya didasarkan pada hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lain. Hal ini merupakan wujud dari
kehidupan
sosial
yang
merupakan
suatu
sistem,
dalam
arti
keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan
sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan untuk mengadakan kerja
dalam melaksanakan pekerjaan.
-
Melindungi
Bos juga mempunyai peran untuk melindungi PL dari kekerasan
atau perlakuan yang tidak layak yang dilakukan oleh pelanggan yang
membooking.
Bos sebagai patron dalam penelitian ini memiliki peran utama yaitu
menyediakan tempat untuk bekerja bagi PL. Karena tempat adalah salah satu
sarana yang sangat penting dalam usaha ini, misalnya kafe. Di Desa Osango
Kecamatan Mamasa ada dua kafe yang dipilih dalam penelitian ini yaitu
Bamba Lempan dan Pelangi. Dalam menyediakan tempat, pemilik (germo)
telah mempertimbangkan semuanya, utamanya proses berjalannya usaha
tersebut, dan bagaimana orang lainnya memandangnya itu tidak menjadi
halangan untuk pengadaan kafe tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh
seorang informan :
“Saya sudah melakukan berbagai macam pekerjaan dan yang bisa
saya tekuni adalah kafe. Mungkin ini juga takdir walaupun banyak
hinaan dari orang, tapi saya senang karena bisa menghasilkan uang
dan membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan yang tidak sekolah
atau di tinggal suami untuk mendapat sesuap nasi, apapun tanggapan
orang yang penting saya tidak merugikan orang lain”.
(TN, 50 tahun, Germo)
Selain menyediakan tempat, bos juga memiliki peran sebagai penyedia
modal. Karena untuk berjalannya suatu usaha membutuhkan modal, jadi
sebagai pemilik usaha bos juga harus menyediakan modal. Dalam hal ini
modal yang dimaksud adalah modal yang dipergunakan untuk keperluan di
kafe misalnya untuk membeli minuman bir, dll. Seperti yang dikemukakan
seorang informan :
“Untuk membuka usaha seperti ini, kita harus punya modal yang
banyak dulu untuk keperluan di kafe karena biasanya lebih gampang
orang booking pelayan kalau di lihat dulu di kafe. Layani tamu minum
di kafe dulu nanti kalau sudah mabuk biasanya dia bawami pelayanku
keluar”.
(AF, 49 tahun, Germo )
Mencari konsumen untuk dipertemukan dengan PL juga merupakan
salah satu peran dari bos. Menyediakan tempat, dan menyediakan modal
kemudian mencari konsumen untuk PL. Meskipun terkadang PL sendiri yang
langsung bertemu dengan pelanggan di kafe Bamba Lempan atau pun
Pelangi atau juga tidak menutup kemungkinan teman PL yang mngenalkan
temannnya kepada pelanggan yang akan membawanya keluar. Biasanya di
bawa ke Mamasa Cottage, dan penginapan-penginapan lainnya yang ada di
Mamasa.

Peranan PL
Sebagai seorang Pekerja Seks Komersial, memiliki peran sebagai
pekerja (klien) bagi bos sebagai atasan dalam menghasilkan uang. Untuk
berlangsungnya usaha tersebut membutuhkan pekerja, dalam hal ini PL.
Peran yang paling menonjol adalah untuk mencari uang yaitu dengan cara
menarik minat pelanggan, melayani dengan baik, dan menyenangkan
pelanggan.
Bos selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk para PL, dengan
cara tidak membeda-bedakan PL, baik yang sudah lama bekerja atau yang
baru diperlakukan secara adil agar mereka dapat melaksanakan perannya
dengan baik sebagai pencari uang. Seperti yang dikemukakan oleh seorang
informan :
“Baguski tawwa bapak (AF), tidak pernahki’ dia beda-bedakan, mau
yang lama atau yang baru datang di kasi’ samaji. Saya sudah
lamamaka’ kerja disini, enjoy trusjika’ enak ki kerja disini karena bapak
(AF) juga sudah seperti orang tuakumi”.
(DD, 26 tahun, PSK)
Apa yang dikerjakan oleh PL adalah sekedar memberi pelayanan.
Tanpa memperoleh pendidikan atau latihan persiapan khusus untuk itu.
Namun jasa-jasa itu sesungguhnya sangat berharga dalam hal mencari
keuntungan ekonomi bagi bos dan PL itu sendiri. PL berperan sebagai dasar
dalam usaha ini karena sesungguhnya ekonomi yang dihasilkan adalah hasil
dari keuletan PL dalam menggoda pelanggan sehingga bisa mendapatkan
uang.
Mereka melakukan pekerjaan sebagai PL sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan dari pihak kepolisian yaitu bekerja mulai jam 6 sore sampai
jam 1 malam. Adapun jika lewat dari itu akan diberikan kebijaksanaan yang
terpenting bahwa kegiatannya tidak mengganggu warga sekitar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Patron client bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa di awali
dengan
hubungan
atas
persetujuan
kedua
belah
pihak
tanpa
menggunakan perjanjian tertulis dalam suatu bentuk ikatan kerja. Semua
dilakukan dengan saling percaya dan pengertian yang dilandasi satu tekat
bekerjasama untuk memberikan kepuasan dan keuntungan pada masingmasing pihak. Dalam hubungan kerja yang terjalin ini bos memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya yaitu berupa tempat, untuk memberikan
lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan dan mau bekerjasama
serta bersedia untuk bekerja. Demikian pula dengan PL, mereka
memanfaatkan tubuh mereka untuk memberikan jasa berupa kepuasan
nafsu terhadap laki-laki hidung belang demi mendapatkan keuntungan
sesuai dengan tujuan utama mereka yaitu mendapatkan keuntungan
ekonomi dari hasil menjual tubuhnya.
2. Sebagai patron, peran terhadap PL (client) baik pada saat bekerja
maupun
dalam
kehidupan
sehari-harinya,
untuk
mengarahkan,
mengontrol, dan melindungi PL. Begitupun dengan PL memiliki fungsi dan
peran yaitu bekerja sesuai dengan perintah bos, melakukan kewajibannya
sebagai pekerja, melayani dan menyenangkan pelanggan. Patron client
antara bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa merupakan
simbiosis mutualisme. Walaupun patron klien adalah hubungan yang tidak
setara tetapi dengan adanya rasa saling percaya dan akrab membuat
hubungan ini tetap lestari. Namun demikian kedua belah pihak baik bos
(patron) maupun PL (klien) menganut asas saling menguntungkan.
B.
Saran
1. Orang tua, pemerintah, tokoh- tokoh adat dan agama serta seluruh lapisan
masyarakat harus memiliki persepsi yang sama dalam melihat PL sebagai
patologi sosial yang harus diselesaikan secara arif dan bijaksana tanpa
harus menimbulkan masalah baru.
2. Pemerintah
Kabupaten
Mamasa
secara
khusus,
untuk
lebih
memperhatikan realitas ini. Jika PL tidak dilokalisikan maka semakin lama
PL akan merajalela dan menimbulkan penyakit kelamin yang bermacammacam seperti HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bugin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
Devilie, Philippe dkk. 1987. Manusia, Keputusan, Masyarakat Teori Dinamika antara
Aktor dan Sistem untuk Ilmuwan Sosial. PT. Pradnya Paramita : Jakarta.
Giddens Anthony, Bell Daniel, etc. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
James, P. Spradley. 1997. Metode Etnografi. P.T. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta
Jarry, David. and Julia Jary, 1991. Dictionary of Sociology. London: Harper-Collins
Publishers.
Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial (jilid 1). PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya: Edisi kedua. Perspektif Komtemporer.
Penerbit Erlangga: Jakarta.
Koblinsky, Marge. Timyan, Judith. Gay, Jill. 1997. Kesehatan Wanita Sebuah
Perspektif Global. Gadjah Mada Univercity press: Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Aksara baru : Jakarta.
2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (cetakan
kesembilan belas). PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
1990. Sejarah Teori Antropologi 1. Universitas Indonesia Pers.
Jakarta.
Latief, Aqsa. 2001. Hubungan Kerja dalam Proses Pembuatan Batubata di
Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa (Suatu Tinjauan Antropologi Ekonomi).
SKRIPSI. Tidak diterbitkan.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2000. Alkitab. Lembaga Alkitab Indonesia. Edisi ke-3.
Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Remaja Rusda
Karya : Bandung.
Narwoko, Dwi J. Bagong Suyanto. 2006. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana.
Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Pujileksono, Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi. Universitas Muhammadiyah:
Malang.
Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah
Berubah. Program Studi kajian Wanita, PPS. UI : Jakarta.
Ritzer, George-Goodman j. Dougles. 2008. Teori Sosiologi Modern. RawamanganJakarta : Kencana Prenada Media Grup, Edisi ke-6.
Satori, Djam’an. Komariah, Aan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatf. Penerbit
Alfabeta : Bandung.
Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Cetakan Kedua. Jakarta: LP3S.
1993. Perlawanan Kaum Tani. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan
Obor. Setyawati, Lugina. 2000. “Negara dan Prostitus”: Diskursus Ideologi,
Perempuan dan Kebijakan di Indonesia. Program Studi kajian Wanita, PPS.
UI : Jakarta.
Short, Ray E. 2002. Seks, Pacaran dan Cinta. Yogyakarta : Yayasan Kalam Hidup.
Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta.
Tamawawi, Hans Johni. 1992. Kehidupan Sosial Ekonomi Wanita Tuna Susila di
Tondo Kota Admistrasif Palu. SKRIPSI. Tidak diterbitkan.
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Center for Indonesian Research and Development [CIReD].
Sumber Internet dan Koran:
ADIB’S Jati diri BLOG – BLOG Archive- Teori Jaringan Sosial (didownload 7 April
2012).
Anonim. 2009. Jaringan Sosial dari Wikipedia Bahasa Indonesia. Ensiklopedia
Bebas. (http://www.makassarkota.co.id) diakses 23 April 2011.
Bahar, Ramlan. 2011. Pattodong. Skripsi antropologi FISIP UNHAS (diakses 7 April
2012).
file:///f:/makalah dan Pengertian Hubungan Sosial smart click.htm. (didownload pada
tanggal 20 November 2011).
Hilman, Alda. Jaringan Sosial dalam Perspektif Antropologi. Artikel. (diakses 2 Mei
2012).
http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2165744-definisi-peran-atauperanan/#ixzz1r51qhLP9
http://ariefhilmanarda. Wordpress. Com/2010/24 Konsep-Sosial-dalam-PerspektifAntropologi.
Mitchell J. Clyde. “the concept and use of social Network” dalam social Network in
Urban Situation. Analysis of Personal Relationship in Central Africa Town (ed
Mitchell) hal 1-50. Manchester : University of Manchester Prfess. 1969.
Racana, Yudha Setia. Representasi Graft Dalam Jaringan Sosial. (Artikel February
2007) Institute Teknologi Bandung. Bandung.
Scott, J. (1972) Patron-client polities and political change in Southeast Asian
American political Science Review, 66, hal. 91-113. (didownload pada tanggal
3 Juni 2011).
Download