SKRIPSI WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (Studi tentang Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa) OLEH : HENDERINA AR E 511 08 251 JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (Studi tentang Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa) OLEH : HENDERINA AR E 511 08 254 SKRIPSI SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA PADA JURUSAN ANTROPOLOGI PADA PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 ABSTRAK HENDERINA AR. WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (studi tentang Patron client germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa). (dibimbing oleh H. Pawennari Hijjang dan Ansar Arifin). Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012, di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah Patron client antara germo dengan PSK, hubungan antara Germo dengan PSK dan bagaimana peran secara timbal balik antara Germo (patron) dengan PSK (client) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tipe penelitian deskriftif (Deskriptive Research). Informan yang digunakan adalah pekerja seks komersial dan germo yang ada di kafe Bamba Lempan dan kafe Pelangi, lakilaki hidung belang dan tokoh masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (Indepth Interview) dan observasi, yang kemudian data yang telah diperoleh dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi Patron client antara germo dan PSK dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan hidup yang membuat germo sebagai patron membutuhkan pekerja dan PSK pun membutuhkan pekerjaan. Hubungan diantaranya dimulai dengan hubungan tanpa perjanjian tertulis namun didasari oleh rasa saling percaya dari masing-masing pihak. Sebagai patron, germo memiliki peran terhadap PSK (client) baik pada saat bekerja maupun dalam kehidupan sehari-harinya, untuk mengarahkan, mengontrol, dan melindungi PSK. Begitupun dengan PSK peran yaitu bekerja sesuai dengan perintah germo, melakukan kewajibannya sebagai pekerja, melayani dan menyenangkan pelanggan. Patron client antara germo dan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa merupakan simbiosis mutualisme. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman dewasa ini, telah merubah standarisasi kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi menyebabkan kesulitan beradaptasi dan menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau berbuat semau sendiri demi kepentingan pribadi. Adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Sehingga tingkah laku yang dianggap tidak cocok melanggar norma dan adat-istiadat atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum dianggap sebagai masalah sosial (Kartono, 1999:2). Salah satu bentuk penyimpangan norma (penyakit masyarakat) yang dianggap sebagai masalah sosial adalah prostitusi, yang mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh normanorma perkawinan) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. W.A. Berger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie menulis defenisi bahwa Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Ini menunjukkan bahwa Pelacuran atau prostitusi adalah peristiwa penjualan diri dengan menjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu dengan imbalan atau bayaran. Pekerja seks komersial sangat erat kaitannya dengan seks bebas. Sekarang seringkali ditemukan seks bebas pada remaja yang disebabkan beberapa faktor seperti: kemiskinan, tekanan yang datang dari teman pergaulannya, adanya tekanan dari pacar, adanya kebutuhan badaniah, rasa penasaran, ataupun pelampiasan diri. Kita dapat melihat bahwa alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Memburuknya kemiskinan pada wanita, baik akibat status yang rendah ataupun penurunan kondisi perekonomian global, berpengaruh terhadap meningkatnya pelacuran. (Koblinsky, dkk : 1997). Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berinteraksi dengan yang lain dan slalu terkait dengan hubungan sosial yang kompleks. Pada masyarakat ditemui beragam pola atau bentuk hubungan (relasi) yang terjalin di antara mereka. Salah satunya adalah hubungan patron klien. Dimana patron yang berarti orang yang memiliki kekuasaan atau power terhadap orang lain, dan klien yang berarti bawahan atau orang yang diperintah. Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’ (Usman, 2004: 132). Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Terdapat unsur pertukaran barang dan jasa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pola hubungan patron-klien. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa pola hubungan seperti ini merupakan teori pertukaran yang berasumsikan bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran tersebut. Hubungan-hubungan sosial yang menimbulkan interaksi sosial baik terhadap individu-individu atau pun kelompok pada suatu ruang dan tempat itu dapat terjadi ketika ada yang membutuhkan dan ada yang memberi serta ada yang mengayomi. Misalnya dalam kegiatan pelacuran dikenal adanya germo sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan mutlak adanya, germo diartikan sebagai orang (laki-laki atau wanita) yang mata pencahariannya baik sambilan maupun sepenuhnya menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan dan memimpin serta mengatur tempat untuk praktek pelacuran yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya wanita pelacur dengan laki-laki untuk bersetubuh. Kabupaten Mamasa sebagai kabupaten baru yang sedang berkembang dari keterbelakangan ekonomi, juga tidak lepas dari adanya praktek-praktek penyimpangan sosial (Pekeja Seks komersial), yang awalnya sangat dianggap tabu oleh masyarakat Mamasa yang kental dengan adatistiadat, dan memegang teguh iman Kristen namun seiring dengan perkembangan-perkembangan global yang ada kegiatan inipun semakin merajalela bahkan dengan mudahnya dilokalisasikan. Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa merupakan salah satu tempat kegiatan Prostitusi yang juga sebagai pusat kegiatan pelacuran di Kabupaten Mamasa, yang kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari luar Mamasa misalnya dari Palopo, Manado, Makassar, dan Jawa. namun ada juga segelintir orang Mamasa yang ikut dalam kegiatan tersebut. Germonya sendiri adalah orang Mamasa asli. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hans Joni telah membahas mengenai Pekerja Seks Komersial dalam hubungannya dengan Kehidupan sosial ekonomi para Pekerja Seks Komersial, juga oleh Suriany yang telah membahas mengenai respons budaya masyarakat Toraja terhadap kegiatan Prostitusi. Pada kesempatan ini penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan meneliti mengenai PSK dalam hubungannya dengan Patron-Client antara Germo dengan PSK Sehingga penulis memberi judul “Wanita Pekerja Seks Komersial (Studi tentang Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa). B. Fokus Penelitian Pelacur merupakan pekerjaan yang menyimpang dari norma-norma yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kepuasan materi serta kepuasaan nafsu yang mereka inginkan. Penulis hanya membuat beberapa fokus penelitian dalam mengkaji segi kehidupan PSK dalam hubungannya dengan hubungan kerja dengan Germo. Adapun batasan masalah yang peneliti buat untuk mengkaji Wanita Pekerja Seks Komersial (studi tentang Patron-Client antara Germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa) adalah : 1. Bagaimana sejarah patron client Germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa? 2. Bagaimana hubungan antara Germo dengan PSK? 3. Bagaimana fungsi dan peran secara timbal balik antara Germo (patron) dengan PSK (client) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Menerangkan sejarah patron client Germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa. b. Menggambarkan hubungan antara Germo dan PSK. c. Menggambarkan peran secara timbal balik antara Germo (patron) dengan PSK (klien) di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa. 2. Manfaat Penelitian a) Secara teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan atau sebagai bahan referensi untuk peneliti-peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian berkenaan dengan judul ini serta sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan. b) Secara praktis. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan dan mengantisipasi masalah pada obyek penelitian berikutnya yang berkenaan dengan penelitian ini. c) Manfaat bagi peneliti. Bagi peneliti sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat dalam menambah dan memperluas pengetahuan tentang realitas dan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat, dan juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. D. Kerangka Konseptual. Akibat berbagai tekanan sosial ekonomi dibarengi dengan kebutuhan hidup yang terus-menerus meningkat menimbulkan hasrat, dorongan untuk mencari lapangan kerja yang dapat memberi berbagai tingkat kebutuhan hidup yang lebih baik agar dapat memantapkan perekonomian keluarga. Kenyataan atau realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintah yang selalu terkait dengan politik ekonomi, dan tidak lepas dari luasnya sarana transportasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambah luasnya komunikasi merupakan dampak dari globalisasi yang semakin menebarkan pesona keindahan dalam kehidupan kita. Penggambaran ketergantungan masyarakat yang menunjuk pada tingkat perekonomian negara dan usaha pengembangan sumber daya manusia negara ini yang masih dalam tahap kurang diperdulikan yang nantinya akan berimbas pada kita sebagai masyarakat yang ingin bertahan hidup (kurang mampu). Hal seperti inilah yang memberikan beban tersendiri bagi beberapa orang atau kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan kehidupan ekonomi, yang berujung pada sikap tindakan yang kurang terpuji bahkan mendapat nilai yang sangat rendah ditengah-tengah masyarakat karena mau tidak mau (secara terpaksa) mereka akan melakukan sikap tindakan yang membuat mereka dapat bertahan hidup walaupun itu sangat beresiko. Nilai budaya merupakan pandangan mengenai apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Nilai-nilai itu bisa jadi dari pengalaman manusia berinteraksi dengan sesamanya. Kemudian nilai-nilai itu akan berpengaruh terhadap pola berfikir manusia dan akan menentukan sikapnya. Kemudian sikap menimbulkan pola tingkah laku tertentu yang diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah yang nantinya mengatur perilaku manusia ketika berinteraksi (Soekanto, 1990:36). Interaksi sosial merupakan proses dimana antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok berhubungan satu dengan yang lain. Interaksi sosial adalah syarat utama bagi terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial. Max Weber dalamNarwoko. Dwi J melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Ketika berinteraksi, seseorang atau kelompok sebenarnya tengah berusaha atau belajar bagaimana memahami tindakan sosial orang atau kelompok lain. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan. George Herbert Mead dalam Narwoko. Dwi J (2006) mengemukakan bahwa agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar anggota masyarakat bisa berfungsi secara normal maka yang diperlukan bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara obyektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Manusia merupakan makhluk yang memiliki dua hal dalam dirinya yaitu jasmaniah (raga) dan rohaniah (jiwa). Segi rohaniah manusia terdiri dari pikiran dan perasaan. Apabila disatukan maka akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindakan. Sikap tindakan inilah yang kemudian menjadi landasan gerak raga manusia. Apakah yang mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang tidak melanggar aturan-aturan hidup ataukah yang mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang mengesampingkan aturanaturan, norma-norma yang berlaku (perilaku menyimpang), tergantung dari kuantitas dan kualitas kehidupan mereka. Kuantitas dan kualitas hubungan manusia merupakan hubunganhubungan sosial yang terjalin diantara manusia dengan manusia lainnya. Hubungan yang terjalin tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan interaksi sosial. Pergaulan tersebut menghasilkan pandanganpandangan mengenai kebaikan dan keburukan dalam sikap dan tindakan mereka. Pandangan tersebut merupakan nilai-nilai abstrak yang secara langsung mempengaruhi cara dan pola berpikir. Pola berpikir yang dianuti seseorang akan mempengaruhi sikap tindakannya. Sikap tersebut merupakan kecenderungan untuk berbuat baik ataupun melanggar aturan. Jelasnya, sikap tindakan manusia merupakan cerminan dari kebudayaan. Pandangan koherensi tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang . Pandangan itu berisikan apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu perilaku yang harus diterima atau yang berkaitan dengan orang lain. (Pujileksono 2006: 23) Defenisi diatas menggambarkan tentang kemampuan pengetahuan manusia yang telah diperoleh melalui belajar yang melahirkan sikap tindakan untuk menciptakan hubungan-hubungan sosial berupa aturan-aturan nilai yang mengacu pada sesuatu hal dalam kehidupan manusia, yang secara langsung dapat dikatakan sikap tindakan seseorang merupakan hasil dari hubungan- hubungan sosial yang dilakukannya. Hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Suatu hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramaikan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya (Spradley 1972:8). Hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia lainnya, dapat menciptakan sikap tindakan tertentu dari hasil hubungan sosial, yang pada akhirnya hubungan tersebut akan membentuk jaringan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hubungan-hubungan sosial tidak terjadi atau terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan. Pada hakekatnya, didalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturanhubungan-hubungan sosial, yaitu : (1) keteraturan struktural (struktural order) adalah perilaku orang orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan , keluarga,asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis: (2) peraturan kategorikal (kategorical order) adalah perilaku orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras, dan kesukubangsaan: (3) keteratural personal (personal order) adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur ataupun tidak terstruktur, dapat ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial keluarga (Mitchell, 1969 :9-10). Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan struktur sosial. Struktur sosial dapat didefenisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing (Suparlan, 1982 : 31-34). Sekurang- kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur yaitu keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan perbedaan individuindividu tertentu yang secara nyata ada dan konkret. Suatu jaringan sosial akan merefleksikan pula suatu struktur sosial. Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memilki sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda. Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis yang pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan dalam satu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batas-batas dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam wacana jaringan sosial tidak semata-mata terletak pada atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristikdan polapola hubungan di antara individu-individu di dalam jaringan sebagai cara untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku mereka itu (Mitchell, 1969 : 4). Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasikonfigurasi saling keterkaitan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau disusun secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa intensif. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan- hubungan yang bemakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret seperti memperoleh pekerjaan, barang atau jasa maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial berdasarkan perasaan, dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai pelaku-pelaku lain dalam kegiatan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku. Dari konsep uraian diatas, penjelasan tentang jaringan sosial yang secara tidak langsung menggambarkan tentang hubungan sosial manusia yang dibagi dalam tiga jenis jaringan yang didapatkan dari proses interaksi atau hubungan-hubungan tertentu. Sesuai dengan sifat manusia, bahwa manusia mempunyai kebutuhan sosial yakni kebutuhan berinteraksi dengan sesama manusia, maka pengelompokan sosial akanterjadi ketika manusia melakukan hubungan dengan lainnya. Dalam masyarakat, hubungan sosial dapat berbentuk pertemanan dapat pula berbentuk patron-client atau hubungan yang bersifat mengayomi dan membutuhkan. Hubungan yang terbentuk secara pertemanan terwujud karena adanya kesamaan-kesamaan atribut oleh para pelaku yang mendorong untuk terwujudnya suatu pengelompokan sosial, sedangkan hubungan yang terbentuk secara patron-klien lebih ditekankan pada hubungan ketergantungan, sebagaimana si patron (leader) yang memilki kekuasaan penuh dan mengharap hasil kerja dari klien dan klien yang memiliki ketergantungan kepada patron. Hubungan ini mengambarkan tentang ketergantungan atas sikap dan tindakan yang mengatur ketentuan-ketentuan dalammenjalin hubungan tersebut. Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya (Scott, 1983: 14 dan Jarry, 1991: 458). Hubungan patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa yang dapat dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas pemberian tersebut (Scott, 1972: 91-92). Pada suatu relasi sosial yang terjadi, ada pihak yang merasa memerlukan dan ada pihak yang membantu, dan pihak yang memerlukan tadi akan merasa berhutangbudi dan merasa wajib untuk membalasnya kepada pihak yang telah membantu. E. Metode dan Prosedur Kerja Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini dimaksudkan bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan wawancara mendalam dengan informan yang sangat memahami permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriftif (Descriptive Research), yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang diperoleh di lapangan secara terperinci sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. 2. Prosedur Kerja Penelitian a. Teknik Penentuan Lokasi Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meneliti relasi Patron-Client antara Germo dengan PSK ditentukan berdasarkan wilayah dan lokasi yang dipandang baik dan sangat cocok untuk penelitian ini dan juga terdapat banyak PSK. Hal ini dimaksudkan agar penelitian berjalan dengan lancar. Penelitian ini dilakukan di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa tepatnya di dua kafe Tempat Hiburan Malam (THM) yaitu kafe Pelangi dan Bamba Lempan. b. Teknik Penentuan Informan Informan ditentukan secara sengaja (purposive). Informan yg dipilih adalah tiga orang PSK, dua orang germo,satu orang laki-laki hidung belang dan satu orang tokoh masyarakat yang dapat memberikan penjelasan dan memiliki informasi yang memadai berkenaan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. c. Teknik Pengumpulan Data 1. Data primer merupakan data yang secara langsung didapatkan oleh peneliti melalui pengamatan di lokasi penelitian dan wawancara mendalam dengan informan. a. Pengamatan (observasi) Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tempat pelacuran Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa (sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan). Maksudnya adalah mengamati bagaimana kehidupan para Pekerja Seks Komersial dan hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara Germo dengan PSK. b. Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Wawancara dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara ‘face to face’ untuk memperoleh keterangan yang sifatnya tertutup (covert behaviour). Dalam penelitian ini informan pada awalnya terkesan takut dan merasa curiga namun setelah mereka mengerti maksud dari wawancara ini akhirnya para informan sangat terbuka dalam memberikan informasi. 2. Data sekunder merupakan data yang memang sudah ada yang didapatkan dari instansi tertentu, misalnya di kantor Desa, kantor Camat, dan lain-lain, jika datanya masih relevan dengan fokus penelitian. Sebagai kelengkapan dari observasi dan wawancara mendalam yang telah dilakukan, peneliti mencari dan membaca buku-buku hasil penelitian atau literatur apa pun yang masih relevan dengan fokus penelitian yang bisa membantu agar data yang di dapatkan lebih lengkap. 3. Teknik Analisis Data. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-hubungkan berbagai keterangan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung kemudian ditarik makna dari keterkaitan hubungan antar berbagai makna yang ada. Selanjutnya ditarik makna yang dianggap paling tinggi tingkatannya sebagai kesimpulan akhir dalam penelitian ini. F. Sistematika Penulisan BAB I Merupakan pendahuluan yang menguraikan masalah dan cara yang ditempuh dalam melaksanakan penelitian. Pokok pikiran yang dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, prosedur kerja penelitian, dan bagaimana menganalisis data serta komposisi bab dari penulisan. BAB II Berisi tinjauan pustaka tentang konsep dan teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam pembahasan. BAB III Berisi gambaran khusus lokasi penelitian yang dimulai dari sejarah keberadaan PSK di Kabupaten Mamasa, bagaimana pandangan Masyarakat terhadap adanya PSK dan memberi sedikit gambaran mengenai dua kafe yaitu Bamba Lempan dan Pelangi. BAB IV Berisi hasil dan pembahasan mengenai Pekerja Seks Komersial (PSK) yang memuat analisa studi tentang patron-client antara Germo dengan PSK di Desa Osango Kecamatan Mamasa. BAB V Ialah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari peneliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pekerja Seks Komersial 1. Defenisi Pekerja Seks Komersial Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom. Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para pekerja seks komersial atau pelacur. Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut. Secara struktural, kinerja, germo, mucikari, calo, pekerja keamanan, hingga pekerja seks itu sendiri mempunyai batas-batas kerja yang jelas dan profesional. Jika melihat latar belakang kultural dan tempat transaksi ekonomi indonesia yang beragam maka transakasi seksualitas tak hanya ada lima kategori di atas. Banyak juga pekerja seks yang bekerja di mall (sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam kampus, pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan di tempat-tempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di kantor-kantor sebagai sekertaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi dan transaksi terkadang melalui kartu kredit. Dari hal di atas dapat kita lihat bahwa pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi dagang yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang strategis. Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang bersifat temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme kerja mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam, satu malam). PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut. Banyak perempuam PSK yang berperan sebagai pelacur dalam dunia pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan keempat. Di Eropa dan di tempat lain banyak dari mereka yang diiperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru, Organisasi Internasional pekerja (ILO) menaksir 12,3 juta orang diperbudak dalam kerja paksa dan 2,4 juta dari mereka adalah korban industri perdagangan dan penghasilan pertahunnya ditaksir sejumlah $10 milyar. Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai tingkatantingkatan operasional diantaranya : a. Segmen kelas rendah Dimana PSK tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan para PSK tersebut. b. Segmen kelas menengah Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman. c. Segmen kelas atas Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut. d. Segmen kelas tertinggi Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini. 2. Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi a. Penyebab adanya pekerja seks perspektif politik Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi bagian dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota dan industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga pariwisata. Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia mempunyai keragaman dalam menyikapi mencuatnya keberadaan kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari variasi latar belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja seks seakan menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan oleh masyarakat, begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang memperlakukan pekerja seks dengan tidak selayaknya karena profesi mereka yang dianggap juga tidak layak, bahkan ketika lokalisasi tempat mereka bekerja di razia seakan-akan posisi mereka selalu salah. b. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif pendidikan Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk memasuki ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang pendidkan setingkat sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai dalam memasuki berbagai sektor pekerjaan yang dianggap lebih terhormat dan bergengsi oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan membuat kaum pekerja seks tak mempunyai keleluasaan secara ekonomi dalam hal memilih pekerjaan. Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi. Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari, pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri. c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif sosial kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut pandang dan hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar belakang sosial kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas kultural, tekanan keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga lahirnya pemujaan simbol akibat hasrat konsumsi yang tinggi, yaitu merupakan fenomena pergeseran masyarakat dari yang sekedar mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan dasar dan mendesak kepada kebutuhan akan pemenuhan citra dan nilai simbolitas yang dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah pergaulan dengan sekitar. d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi unsur yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai prasyarat yang dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari profesionalitas, skill, disiplin dan pengalaman yang diiperlukan. Selain itu, ada terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan. Permasalahan kemudian adalah barang apa yang ditransaksikan dengan objek lawan interaksi/hubungan mereka. Jika seorang guru menjual otaknya, jika seorang kuli menjual tenaga dan pundaknya, maka seorang pekerja seks menjual kelaminnya. Kelamin yang dianggap privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan ketika berpindah atau ditransaksikan ke area publik. Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang tengah melakukan kesepakatan. Karena mudah, menjadi elemen yang dapt digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga merupakan bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan sandaran pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka dirusak seperti pembongkaran atau penggusuran lokalisasi, maka hilanglah mata pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal ini tentunya tak berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti petani, nelayan, dan guru. Jenis pekerjaan ini juga memiliki disversifikasi yang baik dalam struktur hingga operasional kerjanya. Dalam melihat fenomena di Indonesia, jenis pekerjaan seks dibagi kedalam dua kategori besar berdasarkan kriteria struktur dan sistem operasional, diantaranya : Pekerja seks jalanan Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di Indonesia. Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada perantara ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh yang ditawarkan pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips kepada pihak ketiga secara tetap. Kemolekan serta kecantikan mereka lebih dibawah serta seusia mereka terkadang lebih tua dibanding mereka yang berada di dalam lokalisasi. Pekerja seks bar dan kafe Para pegawai perempuan merupakan pelaku utama sebagai pekerja seks yang didukung oleh pegawai lainnya (laki-laki misalnya). Berperan sebagai mediator bagi pengunjung yang ingin membooking mereka. Transaksi bisa dilakukan di tempat kerja tersebut yang akan berlanjut dengan hubungan seks di tempat lain, di hotel misalnya. Pekerja seks di lokalisasi/rumah pelacuran (brothel). Sistem kerja ini merupakan area yang paling mudah diamati karena berbagai hal. Ia merupakan pekerjaan yang diakui oleh negara/pemerintah setempat karena dikenakan pajak atau retribusi daerah. Pekerja seks legal ini berada dibawah pengawasan dan aturan dinas sosial. Secara tempat, kawasan ini selalu dipisahkan dengan bentuk pembatasan yang jelas seperti tembok, pagar kawat, bahkan dipisahkan dari perkampungan masyarakat. Sistem kerja mereka pun sangat tertata dimana secara rutin tim kesehatan akan datang seminggu sekali, misalnya ke area lokalisasi untuk mengecek kesehatan para pekerja. Bentuk program kerja yang dijalankan oleh dinas sosial dan kesehatan dalam bentuk pemberian kondom cuma-cuma, pembuatan jadwal olahraga pagi dan sejenisnya. 3. Akibat-Akibat Pelacuran Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran yaitu : a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit. b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. c. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama. e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur ini. B. Patron Client 1. Defenisi Patron Client James Scott dalam tulisannya (Moral Petani, Perlawanan kaum Petani, dll) mengemukakan Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan menyediakan pengaruh perlindungan, serta dan sumber dayanya keuntungan-keuntungan untuk bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh james scott berkaitan dengan kehidupan petani adalah: Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocoktanam. Jaminan krisis subsistensi, patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu kehidupan kliennya. Perlindungan. Perlindungan dari tekanan luar. Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatanya untuk melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan/hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas perlindungannya. Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, mengelola berbagai bantuan secara kolektif bagi kliennya. Sedangkan arus dari klien ke patron, adalah: Jasa atau Tenaga yang berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut berupa jasa pekerjaan dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik dll. Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan penlegitimasiannya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patronklien itu menjadi sah dan legal. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usahausaha untuk merumuskan kembali hubungan tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam struktur interaksi itu sehingga sebenarnya kaum elitlah/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar posisi dikeduanya. Scott (1972) menyatakan hubungan patron-klien merupakan “Suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron". Adapun arus patron-klien yang dideteksi oleh James Scott berkaitan dengan kehidupan petani yaitu penghidupan susbsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok tanam, jaminan krisis subsistensi, patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan menggangu kehidupan kliennya. Perlindungan terhadap tekanan dari luar, makelar dan pengaruh. patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan atau hadiah sebagai imbalan atas perlindunganya. Agar hubungan patronase ini dapat berjalan dengan mulus, maka diperlukan adanya unsur-unsur tertentu, Unsur pertama yaitu bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang maupun jasa (pekerjaan), dan bisa dalam berbagai macam ragam bening pemberian. Unsur kedua yaitu adanya hubungan timbal-balik, dimana pihak yang menerima bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut. Ditambahkan Scott, bahwa dengan adanya unsur timbal-balik maka hubungan patronase ini dapat dibedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan (ooertion) atau hubungan dengan adanya wewenang formal, oleh karena itu hubungan patronase ini perlu didukung oleh norma-norrna masyarakat yang memberikan peluang kepada patron untuk melakukan penawaran, artinya apabila salah satu pihak merasa dirugikan, maka dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa dikenai sanksi apapun. Relevan dengan uraian di atas maka Scott (1972) mengemukakan ciri-ciri ikatan patron-klien sebagai berikut; 1. Terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of exchange) yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan dan kedudukan. Klien adalah seorang yang masuk dalam pertukaran yang tidak seimbang, dimana ia tidak mampu sepenuhnya mengembalikan pemberian patron, sehingga hutang kewajiban mengikatnya dan bergantung kepada patron. 2. Adanya sifat tatap muka (face to faoe character), dimana hubungan ini bersifat instrumental yakni, kedua belah pihak saling memperhitungkan untung-rugi, meskipun demikian masih terdapat unsur rasa yang tetap berpengaruh karena adanya kedekatan hubungan. 3. Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility), sifat meluas terlihat pada tidak terbatasnya hubungan pada kegiatan kerja saja, melainkan juga hubungan tetangga, kedekatan secara turuntemurun ataupun persahabatan di masa lalu, selain itu terdapat pertukaran bantuan tenaga (jasa), dan dukungan kekuatan selain jenis-jenis pertukaran uang dan barang. Senada dengan penjelasan Scott, Pelras (1981) menguraikan lagi hubungan patron-klien dengan mengatakan bahwa kata “patron” berasal dari bahasa latin “patronus” yang berarti bangsawan, “klien” berasal dari kata “clien” yang berarti pengikut, ditambahkan bahwa hubungan patronklien bermakna hubungan yang tidak setara antara seorang bangsawan dengan sejumlah jelata pengikut berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang di dalamnya ketergantungan klien kepada patron dibalas dengan dukungan perlindungan patron kepada klien. Dari kedua defenisi patronklien yang dikemukakan di atas terlihat ada perbedaan yang sangat mendasar. Defenisi oleh Scott (1972) yang menunjukkan bahwa ikatan patron-klien didasarkan dan berfokus pada pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta tidak didasarkan atas kriteria askripsi. Jadi siapa saja yang memiliki modal maka ia dapat berstatus sebagai patron. Sedangkan batasan yang dikemukakan oleh Pelias (1981) menunjuk pada kaitan antara ikatan patron-klien dengan kriteria askripsi dalam sistem status masyarakat, artinya bahwa apabila seorang individu adalah bangsawan maka otomatis berstatus sebagai patron dan sebaliknya apabila individu adalah rakyat jelata/budak/bukan bangsawan maka ia berstatus sebagai klien. Dari hubungan yang tidak setara di atas maka Esenstadt dan Roniger (1984) mengemukakan ciri-ciri dasar dalam hubungan patron-klien sebagai berikut : 1. Hubungan patron-klien biasanya partikularistik dan kabur. 2. Interaksi dalam hubungan didasarkan pada adanya pertukaran simultan dari tipe sumber daya yang berbeda, terutama instrumental dan ekonomis, sebagaimana pada politik (dukungan hak suara, kesetiaan dan perlindungan). Dan berjanji solider saling menolong serta setia terhadap lainnya. 3. Secara ideal, suatu elemen kuat dari adanya hubungan tanpa syarat dan kepercayaan jangka panjang yang dibangun dalam hubungan ini. 4. Hubungan yang terjadi adalah ambivalen, yang sangat kuat pada hubungan primer dan lemah pada hubungan yang bersifat mesin politik. 5. Pembentukan hubungan tidak sepenuhnya legal, bahkan lebih banyak bersifat infomial, meskipun sangat kuat dan sangat pengertian. 6. Meskipun ikatan ini berjangka panjang namun hubungan patron-klien merupakan hubungan sukarela dan dapat sewaktu-waktu diputuskan secara sukarela juga. 7. Hubungan ini dilakukan dengan suatu cara yang vertikal. Adanya ketidaksamaan yang merupakan elemen penting bagi monopoli patron tetapi dalam keadaan tertentu, ketidaksamaan ini sangat penting bagi klien. Selanjutnya Eisenstadt, menambahkan bahwa pada masyarakat yang politik dan ekonominya terkebelakanglah atau tingkat modernisasinya rendah, yang merupakan faktor penyebab masih bertahannya hubungan-hubungan patron-klien. Pada masyarakat atau negara dimana tingkat ekonomi masyarakat/negara pinggiran sangat rendah, sehingga tergantung pada penguasaan sumber daya yang lebih banyak dipegang oleh pusat juga akan berdampak pada terbentuknya hubungan patron-klien. Contoh sederhana bentuk organisasi IGGI, G7 dan IMF merupakan bentuk hubungan patron-klien yang terjadi antara negara dunia ketiga dengan negara-negara maju. Pada setiap lingkungan sosial terdapat aturan-aturan, nilai, pranata/institusi tertentu yang harus ditaati dalam proses sosial. nilai-nilai dan Pranata/institusi tersebut akan mewujudkan pola tingkah laku yang digunakan untuk menafsirkan perilaku tiap-tiap individu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dengan adanya ketidakseimbangan pertukaran dalam hubungan patron-klien dimaksudkan dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan, dan hal ini bisa saja menjadi seimbang menurut pandangan mereka yang terlibat dalam proses pertukaran tersebut. Jadi tidak ada ketimpangan dalam pertukaran tersebut, hal itu merupakan proses yang seimbang jika dilihat dan' aspek norma timbal-balik (norm of reciprocity) dalam masyarakat. Dikemukakan oleh Gouldner (1977) bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh bermacam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut dengan Heteromorphic Reciprocity. Dalam kaitan dengan eksploitasi yang dirasakan ada pada hubungan patron-klien masih menjadi perdebatan sengit di tingkat ahli. Scott, mengatakan bahwa pada saat klien dalam kondisi paceklik atau ketika statusnya benar-benar rendah sehingga bila putus hubungan dengan patron maka ia tidak punya altematif yang lebih rendah lagi, maka perlakuan apapun dibalik bantuan patron sulit dikaitkan dengan eksploitasi. Pada sisi lain, sejauh mana hubungan patron klien sama dengan hubungan kekerabatan, dibedah oleh Wolf dalam Ahimsa Putra (1988), menyatakan bahwa hubungan patron-klien berbeda dengan kekerabatan. Hubungan kekerabatan merupakan hasil kekerabatan yang di dalamnya terkandung rasa saling percaya untuk mencapai tujuan, sedangkan hubungan patron-klien bersifat persahabatan instrumental dimana relasi terjadi karena pihak-pihak mempunyai saling kepentingan. Pendapat ini sama dengan J. Boissevain, yang mengemukakan bahwa kekerabatan lebih bersifat askriptif sehingga tolong menolong di dalamnya tidak wajib dibalas, karena sudah dianggap lumrah, sedangkan di dalam hubungan patron-klien berlaku norma yang berbeda dengan kekerabatan dimana harus membayar pada setiap bantuan. Seperti pranata-pranata sosial lainnya, ikatan patron-klien juga memilih lahan subur tempat tumbuh berkembang. Scott, mengatakan bahwa hubungan patron-klien tumbuh dan berkembang dengan subur karena: 1. adanya perbedaan yang menyolok dalam penguasaan kekayaan, status yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. 2. tidak adanya jaminan keselamatan fisik, status, posisi atau kekayaan. 3. kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana pelindung bagi keamanan dan kesejahteraan pribadi. Ketiga unsur yang dikemukakan Scott di atas sangat relevan dengan berkembangnya hubungan patron-klien pada masyarakat nelayan pada umumnya hal ini telah dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian tentang masyarakat nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak menentu. Kondisi alam (musim/cuaca) mempengaruhi kondisi perekonomian para nelayan. Jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka akan berdampak pada putusnya sumber penghasilan nelayan. Situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa melakukan pinjaman atau kredit, berhutang barang kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasanya. Ahimsa Putra (1988) dalam penelitiannya tentang patron-klien di Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa, kondisi yang dinyatakan oleh Scott memang terbukti dalam tatanan masyarakat di masa lalu. Kondisi ini antara lain adalah adanya ketimpangan ketidakamanan kebangsawanan) ketimpangan kekuasaan, sosial. Pemilikan dan penguasaan sedangkan perang ketimpangan terhadap atas kekayaan gaukang tanah antar kerajaan menjadi dan dan (ornamen pangkal perampokan, merupakan ketidakamanan sosial yang membuat orang-orang terdorong untuk mencari perlindungan kepada orang yang lebih kuat. 2. Tujuan Dasar Hubungan Patron-Klien Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca pertukaran itu.Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Saya menemukan hubungan seperti sifatnya akan langgeng dan permanen jika masingmasing pihak menemukan kesesuaiannya dan manfaatnya. Dalam konteks hubungan antar kelompok atau suku bangsa, hubungan patron klien ini lambat laun menjadi hubungan yang sifatnya struktural dan dominatif. Dan diterima sebagai suatu kebenaran yang diwariskan secara turun-temurun. Seperti misalnya terhadap masyarakat Orang Rimba yang mendapatkan pengaruh yang kuat dari masyarakat melayu. Dalam kasus hubungan antara Orang Rimba dan Orang Melayu hubungan itu bahkan jauh ke dalam hingga mempengaruhi dasar kosmologis dan keyakinan keagamaan mereka. Namun hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif/kelompok dll. Sedangkan dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar/minimun yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi makan, memberi bantuan untuk org sakit, dll. Hubungan ketergantungan yang memasok jaminan-jaminan minimal ini akan mempertahankan legitimasi hubungan antara patron-kliennya. Jika para patron tidak sanggup memenuhi dua dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif. Untuk menjaga agar sikap klien tetap konsisten terhadap patronnya maka patron selalu mengembangkan sistem yang sifatnya mengawasi keberadaan kliennya. Namun demikian ada keterbatasan kemampuan patron untuk mengawasi kliennya karena : 1. Kemampuan relatif dari struktur kerabat dan desa sebagai pengganti bagi beberapa fungsi patron. 2. Tersedianya lahan yang tidak berpenghuni. 3. Kelemahan negara pusat yang tidak mempunyai ketangguhan untuk mendukung kekuasaan elit lokal/lokalisasi kekuasaan. 4. Ada sumber daya yang menjadi daya tawar-menawar bagi klien kepada patron. Pada dasarnya sifat ikatan patronase juga bervariasi, namun lebih kuat tertanam dalam sistem stratifikasi kerajaan, dimana pembagian peran otoritas lokal/daerah kadang didasarkan atas hubungan patronase tersebut. Peran otoritas pada tingkat lokal diambil alih/terletak pada tokohtokoh yang mampu untuk menggerakan pengikutnya sehingga diakui sebagai agen pemimpin di daerah. Ketika seiring melemahnya sistem kerajaan tradisional dan menguatnya sistem pemerintahan modern maka yang terjadi adalah jaringan patron-kliern yang terstruktur tidak teratur dilokasi sekitar jalur-jalur perdagangan, pemajakan. Atau secara kultural dan geografis dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari pusat. pada tempat dan kebudayaan pinggir dan pada dasar dari hirarki sosial- ikatan patron klien kurang terlembaga dan karenanya sifatnya menjadi fleksibel. Dalam konteks desa dan pertanian, Scott menyebutkan bahwa faktor lahan menjadi faktor yang dominan untuk dijadikan bahan bargaining antara patron -klien. Penghalang utama bagi bentuk-bentuk ikatan patron klien yang lebih eksploitatif di Asia Tenggara adalah tersedianya lahan lusa yang dapat ditanami. Dengan investasi yang murah dan mudah seseorang dapat dengan cepat berpindah dan membentuk pemukiman baru. Dalam hal ini tidak secara otomatis kemudian menciptakan klien yang tergantung pada patronnya demi kehidupan subsistensinya, seperti lahan-lahan langka yang subur. Kendali tenaga kerja menjadi lebih penting untuk dipertahankan daripada sekedar penyediaan lahan baru. Ketersediaan lahan yang banyak membuat situasi dan kondisi yang menguntungkan bagi klien karena patron tidak bisa membuat jaminan subsistensi menjadi dasar ketergantungan yang memperbudaknya. C. Peran Dalam seseorang peranan yang diharapkan berhubungan menjalankan dengan pekerjaannya, kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Masson, dan McEachren mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan- harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari normanorma sosial dan oleh karena itu detentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat. Selanjutnya Berry mengungkapkan bahwa di dalam peranan terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu : 1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban dari pemegang peran. 2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang behubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Sedangkan Hendropuspito mengungkapkan bahwa istilah peranan (dalam sandiwara) oleh para ahli sosiologi diahlikan ke panggung sandiwara, diberi isi dan fungsi baru yang disebut peranan sosial. Istilah peranan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai lakon, bahkan masyarakat lakon itu sendiri. Masyarakat adalah suatu lakon yang masih aktual, lakon yang besar, yang terdiri dari bagian-bagian dan pementasannya diserahkan kepada anggota-anggota masyarakat. Lakon masyarakat itu disebut fungsi atau tugas masyarakat. Jadi peranan sosial adalah bagian dari fungsi sosial masyarakat. Kata sosial dalam peranan sosial mengandung maksud bahwa peranan tersebut terdiri atas sejumlah pola kelakuan lahiriah maupun batiniah yang diterima dan diikuti banyak orang. Bertolak dari sudut pandang di atas, peranan sosial dapat didefinisikan sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah ditentukan. Dari analisis pengertian peranan sosial, dapat disimpulkan bahwa: 1. Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. 2. Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. 3. Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu. 4. Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga masyarakat. 5. Dalam peranan sosial terkandung harapan yang khas dari masyarakat, dan 6. Dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu. Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa peranan adalah : 1. Aspek dinamis dari kedudukan, 2. Perangkat hak-hak dan kewajiban, 3. Perilaku aktual dari pemegang kedudukan, dan 4. Bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh sesorang. Sedangkan Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah perilaku yang di harapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan dalam suatu status tunggal pun orang dihadapkan dengan sekelompok peran yang disebut sebagai perangkat peran. Istilah seperangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok. Konsepsi peran mengandaikan seperangkat harapan. Kita diharapkan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu dan mengharapkan orang lain untuk bertindak dengan cara-cara tertentu pula. D. Struktural Fungsional Keberadaan PSK bagaimanapun masih dalam koridor sebuah struktural dalam masyarakat. Oleh karena itu untuk mengkaji Patron-Client Germo dengan PSK Di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa menggunakan pendekatan struktural fungsional. Orientasi umum Parsons (dalam Ritzer, 2003: 315) dengan asumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Menurut Parsons, teori Struktural Fungsional didasarkan pada terjadinya evolusi (kebudayaan) dalam masyarakat, termasuk terjadinya perubahan cara pandang terhadap subsistem tertentu. Menurut teori Struktural Fungsional, PSK terbentuk karena adanya proses diferensiasi dalam masyarakat. Pemisahan tersebut diakibatkan kurangnya kemampuan PSK dalam memperoleh mata pencaharian yang dipandang layak oleh masyarakat umum, artinya sumber penghidupan yang tidak melanggar norma. Ini artinya keberadaan PSK sebenarnya merupakan salah satu mata rantai dari evolusi itu sendiri. Sebagai bagian dari evolusi masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk tidak menerima profesi PSK mengingat walaupun persepsinya negatif akan tetapi keberadaan PSK merupakan bagian dari struktur fungsional masyarakat. Teori fungsional selanjutnya, Merton (dalam Ritzer, 2007 : 136) menunjukan bahwa struktur mungkin bersifat disfungsional untuk sistem secara keseluruhan namun demikian struktur itu terus bertahan hidup (ada). Contoh kasusnya adalah diskriminasi. Diskriminasi terhadap kulit hitam, wanita, dan terhadap kelompok minoritas lainnya adalah disfungsional. namun demikian diskriminasi terus bertahan hidup (ada) karena fungsional bagi sebagi sistem fungsional. Misalnya, diskriminasi terhadap wanita umumnya adalah fungsional terhadap lelaki. Tetapi, bentuk diskriminasi ini bukannya tanpa disfungsi tertentu, bahkan untuk kelompok yang fungsional sekalipun. Orang dapat menyatakan bahwa bentuk diskriminasi ini berpengaruh buruk terhadap mereka yang mendiskriminasi karena tetap ada sejumlah besar penduduk yang tidak produktif dan karena meningkatnya kemungkinan terjadinya konflik sosial. Merton berpendapat bahwa tak semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial. Beberapa bagian dari sistem sosial kita (Barat) dapat dilenyapkan. Ini dapat membantu teori fungsional mengatasi kecenderung, konservatifnya yang lain. Dengan mengakui bahwa struktur tertentu dapat dilenyapkan maka fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh makna. Sebagai contoh, masyarakat kita akan terus eksis (ada) dan bahkan diperbaiki dengan melenyapkan diskriminasi terhadap berbagai jenis kelompok minoritas. Merton mendefinisikan kultur sebagai sebagai “seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok”. Struktur sosial adalah “seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya” (1968 : 216). Anomie terjadi “bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural" (Merton, 1968:216). Artinya, karena posisi mereka di dalam struktur sosial masyarakat, beberapa orang tak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif. Kultur menghendaki tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur sosial. Misalnya, dalam masyarakat Indonesia, kulturnya menekankan pada kesuksesan material. Tetapi karena posisi mereka di dalam struktur sosial, banyak orang tercegah dari upaya mencapai sukses material. Jika seseorang terlahir dalam kelas sosioekonomi yang lebih rendah, dan sebagai akibatnya hanya mampu mencapai tingkatan pendidikan terbaik di sekolah menengah, maka peluang orang itu untuk mencapai kesuksesan ekonomi menurut cara yang diterima secara umum (misalnya, melalui kesuksesan di lapangan kerja konvensional) adalah tipis atau tak ada sama sekali. Berdasarkan keadaan demikian (dan mereka tersebar luas dalam masyarakat Indonesia masa kini) anomie dapat dikatakan ada, dan sebagai akibatnya terdapat kecenderungan ke arah perilaku menyimpang.Penyimpangan dalam keadaa ini sering mengambil bentuk alternatif yang tak dapat diterima dan kadang-kadang berbentuk cara-cara ilegal dalam mencapai kesuksesan ekonomi. Karenanya, menjadi penyalur obat-obatan terlarang atau menjadi pelacur untuk mencapai kesuksesan ekonomi adalah contoh perilaku menyimpang yang disebabkan oleh ketidakbertautan antara nilai kultural dan cara-cara struktur sosial mencapai nilai kultural itu. Inilah satu cara yang ditempuh fungsionalis struktural dalam upaya untuk menjelaskan perilaku menyimpang dan tindak kejahatan. Dengan demikian, maka dalam contoh fungsionalisme struktural di atas, Merton memperhatikan struktur sosial dan budaya, namun tidak tertarik kepada fungsi dari berbagai struktur tersebut. Alih-alih bersikap konsisten dengan paradigma fungsional miliknya, Merton malah tertarik dengan disfungsi yang dalam kasus ini adalah anomie. Lebih spesifik, Merton menghubungkan anomie dengan penyimpangan yang berarti penolakan terhadap adanya konsekuensi disfungsional dalam kesenjangan antara kebudayaan dan struktur yang mengarah pada penyimpangan dalam masyarakat. Dalam konteks struktural fungsional, prostitusi tidak selamanya berkonotasi negatif melainkan mempunyai fungsi positif yang tentunya terlepas dari aspek moral maupun norma. Fungsi positifnya merupakan efek multifier dari prostitusi itu sendiri misalnya dalam bidang ekonomi. Langsung maupun tidak langsung, masyarakat di sekitar kegiatan prostitusi mendapat imbas adanya tambahan penghasilan misalnya dengan menyediakan warung-warung di sekitar lokasi prostitusi. BAB III GAMBARAN KHUSUS LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Keberadaan PSK di Kabupaten Mamasa. Untuk menentukan tahun yang tepat sebagai pertanda mulainya PL ada di Kabupaten Mamasa memang terlalu sulit. Hal ini disebabkan karena tidak adanya catatan khusus yang menceritakan awal mula keberadaan PL tersebut di Kabupaten Mamasa. Sebenarnya keberadaan PL di Kabupaten Mamasa tidak terlepas dari sejarah Mamasa yang dulu merupakan jajahan kolonial belanda yang kemudian masyarakat setempat mengenal dengan Istilah Pitu Ulunna Salu yang berarti tujuh sungai bagian atas yang artinya simbol dari tujuh pemimpin lokal di daerah pegunungan yang selanjutnya dikenal dengan nama kondosapata’ Uaisapalelean . Pemimpin adat saat itu tidak terbatas hanya sekedar menguasai segalanya termasuk tanah dan segala isinya serta rakyatnya (hamba). Semua orang diharuskan patuh pada pemimpin, tidak boleh ada yang membangkang atau membantah apa pun keinginan pemimpin. Mereka berkuasa penuh hingga bisa mendapatkan perempuan sebanyak mungkin yang dalam istilah dulu disebut selir. Bahkan uniknya pada waktu itu justru rakyat bangga jika ada anggota keluarga yang dijadikan selir oleh pemimpin dan sebagian diantara penduduk justru menawarkan anak gadisnya untuk dijadikan selir oleh pemimpin. Semakin banyak selir yang dimiliki oleh pemimpin semakin menambah kuat posisi pemimpin di mata masyarakat. Sekalipun pada waktu itu tidak dikatakan pelacuran, namun dari cara-caranya tetap berupa pelacuran namun dulu dilegalisir atau mendapat pengakuan di masyarakat Mamasa. Menurut perkiraan sebagaimana yang di kemukakan oleh seorang informan pak AF bahwa PL mulai ada di Kabupaten Mamasa sekitar tahun 1998 yaitu sejak pertama kali beliau membuka Tempat Hiburan Malam (THM) di Kecamatan Mamasa dan waktu itu Mamasa belum menjadi sebuah Kabupaten atau dengan kata lain masih bagian dari Kabupaten Polewali Mamasa. Seperti yang dikemukakan oleh informan sebagai berikut : “Boleh di kata saya yang pertama kali membuka kafe di Mamasa dan saya beri nama Bamba Lempan. Waktu itu saya buka kafe karena saya berpikir sepertinya lebih baik untuk memajukan daerah Mamasa dari ketertinggalan. tapi karena ada masalah rumah tangga, saya jual ke ibu TN dengan harga Rp. 30.000.000,- bersama lokasi dan nama kafe. PSK yang ada saat pertama membuka Tempat Hiburan Malam (THM) di Mamasa ada sekitar 10 orang. Semua berasal dari makassar yang di rekrut dari Tempat Hiburan Malam (THM) di Makassar yaitu Nusantara dan saya yang langsung menjemput. (AF, 40 tahun, Germo) Seiring dengan berjalannnya waktu Tempat Hiburan di Mamasa pun semakin berkembang dan itu menandakan bahwa PL pun semakin banyak dan terus bertambah. Di luar juga semakin tersebar bahwa di Mamasa ada mata pencaharian berupa pekerjaan sebagai Pekerja seks dan semakin banyak PL yang memilih bekerja sebagai PL di Mamasa. Pada tahun 2002 Mamasa terbentuk menjadi sebuah Kabupaten baru dan ini menjadi hal yang baik dan menguntungkan bagi para PL karena sebagai Kabupaten yang baru uang yang berputar akan lebih banyak dan semakin banyak pula penghasilan yang mereka dapatkan. Seperti yang dikemukakan oleh informan sebagai berikut : ”Paling banyak uang saya dapat waktu baru-baru jadi Kabupaten Mamasa karna banyak pejabat yang masuk di kafe, banyak juga uang di kasi’ka’. Biasa sampai 3 juta saya dapat dalam 2 minggu. Orang tuaku juga senang karena banyak penghasilanku yang bisa ku kirim ke kampungku di Manado”. (DD, 26 tahun, PSK ) Bersama dengan itu juga muncul beberapa kafe , yaitu kafe Biru, Pelangi, Dian satria. Ini menunjukkan bahwa Tempat Hiburan Malam di Mamasa memang mengalami perkembangan. Pada tahun 2005 kafe biru tutup dan tidak beroperasi lagi karena berbagai alasan, namun kafe-kafe yang lain masih tetap buka sampai saat ini. Pada tahun 2003 ibu TN (germo) membeli kafe milik pak AF. Ibu TN meresmikan kafe tersebut pada tanggal 20 September 2003 sekaligus peresmian bahwa kafe tersebut sudah menjadi milik ibu TN. Selama 7 tahun usaha ibu TN mengalami peningkatan (semakin banyak yang menunjungi), pelayannya pun (PL) semakin banyak. Belajar dari pengalaman seseorang dapat menginspirasikan dirinya untuk membuka sebuah usaha untuk memajukan perekonomian. Seperti halnya ketika seseorang membuka usaha Tempat Hiburan Malam, tidak terlepas dari adanya pengalaman orang tersebut. Seperti dikemukakan oleh seorang informan : “Saya lihat pengalaman di kota, lihat situsi. Kalau tidak ada THM di Kabupaten Mamasa, orang Mamasa keluar dan itu artinya uang yang ada dalam daerah keluar. Untuk apa membiarkan orang lain datang mengelola kalau orang dalam bisa? Orang Mamasa masih sangat haus hiburan. Untuk mencega pikiran kalut di Kantor dan di keluarga perlu adanya THM”. (TN, 50 tahun, germo) Pada awalnya para PL melakukan aktifitasnya secara sembunyisembunyi dan masih sangat tertutup. Namun seiring berjalannya waktu semakin banyak orang mulai mengunjungi tempat-tempat hiburan malam di Mamasa dan mulai di kenal oleh masyarakat luas. Dalam melihat keberadaan PL di Kabupaten Mamasa yang dari tahun ke tahun semakin mengalami perkembangan dan juga penambahan jumlah PL maka pemerintah kabupaten Mamasa memberikan kebijaksanaan yaitu berupa perijinan tempat atau surat izin tempat dan memberikan waktu khusus kepada para Pluntuk melakukan kegiatannya agar tidak mengganggu kenyamanan warga. Langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah ini bukan berarti telah melegalisir tempat itu sebagai tempat khusus bagi beroperasinya Wanita Pekerja Seks, tapi karena pemerintah daerah telah merasa kewalahan dalam mengatasi keberadaan Wanita Pekerja Seks yang ada di Mamasa yang tumbuh dan berkembang dengan cepatnya. B. Pandangan Masyarakat Mamasa terhadap adanya PL di Kabupaten Mamasa Setiap individu akan mempunyai pandangan yang berbeda dengan individu lain mengenai keberadaan PL di Kabupaten Mamasa. Hal ini dikarenakan informasi, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh tiap individu tidak sama, selain itu juga sejauh mana objek stimulus tersebut bernilai bagi dirinya. Ini berarti akan menimbulkan penilaian dari karakter masyarakat yang berbeda-beda terhadap adanya PL itu karena dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada. Dalam sistem masyarakat tradisional, yang mana hukum adat dan norma sangat mempengaruhi kehidupan mereka, kegiatan ini dianggap sebagai aib yang sangat memalukan. Kehadiran PL di Kabupaten Mamasa, daerah kondosapata’ Wisapalelean sangat di tentang oleh masyarakat Mamasa, hal itu dilihat dari sudut pandang agama, norma dan adat istiadat yang berlaku dalam daerah Mamasa yang mana kegiatan itu di anggap sangat buruk dan merupakan perbuatan dosa atau aib. Awalnya PL memulai aksinya secara sendiri-sendiri yaitu setelah ada transaksi pelanggan dan PL mencari tempat untuk melakukan hubungan seks, yang biasanya di sediakan oleh germo dan juga kadang dicari sendiri. Tempat yang sering digunakan adalah motel, penginapan kadang juga di kost PL yang tidak tinggal di tempat hiburan malam bersama bos (pemilik kafe). Masyarakat Mamasa cenderung diam, pasif, acuh tak acuh seakan tidak peduli terhadap kegiatan itu karena pada umumnya yang bekerja sebagai PL di Kabupaten Mamasa adalah berasal dari luar daerah dan kerjanya pun secara sembunyi-sembunyi, tertutup, tersembunyi dibalik usaha hiburan Malam (kafe). Masyarakat Mamasa sangat menentang adanya pekerja seks komersial di Kabupaten Mamasa. Hal ini dianggap buruk namun yang buruk itu tetap ada dan sebagian orang menerimanya. Yang buruk itu bernilai merusak tatanan norma yang ada di dalam masyarakat adat istiadat (budaya). Sadar atau tidak sadar sebenarnya masyarakat menganut peran ganda yaitu disatu pihak Tempat hiburan malam dan para PL bisa diterima sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun di lain pihak hal itu dilarang dan dipandang buruk. Dahulu kebiasaan pemimpin adat orang mamasa bangga bila memiliki istri lebih dari satu atau memiliki selir namun Ketika misionaris dari belanda menyebarkan agama kristen, kekristenan mulai mengakar dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Mamasa. Sebagian besar masyarakat menganut agama Kristen yang mengajarkan untuk hidup suci dan kudus dan menjaga keutuhan rumah tangga (dalam perjanjian lama, Imamat 19 ; 2. “kududslah kamu sebab Aku Tuhan Allahmu Kudus”) dan perjanjian baru, Kitab Roma 12 ; 1. “ karena itu saudaraku-saudara dari kemurahan Allah aku nasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah itulah ibadahmu yang sejati”. Hal-hal seperti ini juga dipertegas dalam 10 hukum Allah (Keluaran 20 ; 14), yang menyatakan : “Jangan berzinah, (Keluaran 20 ; 17), yang mengatakan bahwa ‘jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan atau lembuhnya atau keledainya atau apapun yang dipunyai sesamamu. Sangat jelas bahwa dari segi agama dalam hal ini agama kristen yang secara umum di anut oleh masyarakat mamasa tidak menerima atau mentolerir adanya pekerja seks komersial karena perbuatan seperti ini jelas bertentangan dengan ajaran agama kristen, merupakan suatu pelanggaran terhadap ajaran agama yang mengakibatkan dosa dan akan mendapat hukuman dari Allah. Sebenarnya jika ini difungsikan dengan baik, tidak seperti di kotakota besar tapi hanya betul-betul hadir dalam rangka satu upaya untuk menghibur, itu masih di beri toleransi oleh masyarakat, budaya dan agama. Jika sudah berlebihan harus di antisipasi. Seperti yang di kemukakan seorang informan : “Secara khusus dalam kalangan Desa saya, peranan pemerintah sudah ada misalnya mengantisipasi munculnya hal-hal yang bisa meresahkan masyarakat. Jika pelayan kafe sudah berkeliaran dan mengganggu masyarakat misalnya sudah ada korban Rumah Tangga, anak sekolah dan remaja, pemerintah dan tokoh adat akan bekerja sama untuk menghapus, namun kenyataannya sampai saat ini belum ada dampak yang terlalu mencolok”. (MR, 49 tahun, tokoh masyarakat) Di sisi lain sesuai dengan perkembangan zaman tidak bisa dihindari hanya saja pemerintah dan masyarakat tetap mewaspadai dan mengarahkan. Sebenarnya sangat bertolak belakang dengan budaya orang Mamasa dan apabila hal-hal yang tidak diinginkan timbul karena adanya hal itu dengan sendirinya akan ditiadakan. Namun sampai saat ini belum ada masyarakat yang mengadu kepada pemerintah . C. Kafe Bamba Lempan dan kafe Pelangi Bamba lempan merupakan salah satu Tempat Hiburan Malam (THM) di Kabupaten Mamasa. Menurut informan AF Bamba Lempan didirikan pada tahun 1998 silam yang diberi dukungan dari pemerintah Kabupaten Mamasa sebagai Tempat Hiburan Malam (THM) di Kabupaten Mamasa. Bamba Lempan terletak di Desa Osango Kecamatan Mamasa di apit oleh sungai dan jalan raya, yang pada dasarnya tempat ini jauh dari pemukiman warga tapi merupakan tempat yang strategis karena berada di dekat pusat kota Mamasa. Bamba Lempan merupakan THM yang pertama di Mamasa, yang lebih dulu di kenal oleh orang mamasa bahkan orang luar di bandingkan dengan kafe yang lain. Bamba lempan merupakan tempat favorit bagi laki-laki hidung belang karena selain dekat dengan kota juga banyak Pekerja Seks Komersial yang cantik-cantikdan menggiurkan. Seperti yang di kemukakan oleh seorang informan : “Saya suka’ masuk di kafe Bamba lempan karena langgananmi juga baru cewe’-cewe’nya cantik-cantik tawwa, dilayani baik-baikki’ juga. Baru kalau sampai disana cewe’-cewe’nya langsung merapat, seksiseksi dan menggiurkan, juga langsung mengundang nafsu untuk berbuat seks”. (RJ, 50 tahun, laki-laki hidung belang) Dapat di analisa bahwa laki-laki hidung belang yang datang di bamba Lempan adalah mereka yang menginginkan PL yang cantik, seksi dan bisa memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan dan tentunya memberi dorongan hasrat kepada mereka. pelanggan yang mengunjungi kafe Bamba Lempan umumnya adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, ada yang bekerja sebagai PNS, kontraktor dan yang lebih banyak mengunjungi Bamba Lempan adalah polisi. Mereka juga masih tetap memilih Bamba Lempan sebagai tempat untuk mencari kepuasan seks dan refresing karena mereka menganggap tempai ini sangat nyaman untuk privasi mereka sendiri, ditempat ini privasi mereka terjaga sehingga mereka tidak terganggu. “Lamamaka’ selalu kesini dan sampai sekarang masih baik-baikji rumah tanggaku. Tidak natau’i istriku kalau seringka’ kesini, memang tawwa disini dijagai rahasiata’, coba tidak di jaga rahasiata’ dsini lamamika’ diceraikan istriku tapi ya itumi bagusnya”. (RJ, 50 tahun, laki-laki hidung belang) Kafe Bamba Lempan sangat di sukai oleh laki-laki hidung belang, karena tempatnya strategis juga pelayanannya sangat memuaskan. Begitupun para Pekerja seks komersial memilih untuk bekerja di tempat ini, karena banyak dikunjungi oleh pelanggan. pelanggan yang mengunjungi Bamba Lempan umumnya datang pada jam 10 malam dan pulang setelah jam 1 karena izin yang diberikan pleh pihak kepolisian hanya sampai jam 1 malam. Namun jika ada yang lewat dari itu akan diberikan kebijakan oleh bos sang pemilik kafe, yaitu memberikan waktu sampai minuman yang sudah di pesan habis baru tutup. Kadang juga setelah waktu izin untuk kafe selesai pelanggan membawa PL ke hotel, penginapan dan lain-lain. Pelangi juga merupakan salah satu kafe yang ada di Kecamatan Mamasa. Letaknya di Desa Osango Kecamatan Mamasa. Jarak dengan pemukiman masyarakat sekitar 100-500 m. Pelangi juga merupakan salah satu kafe yang mulai di sukai oleh para laki-laki hidung belang. Nuansa tempat yang di buat seindah mungkin dan pelayan-pelayan yang masih muda dan cantik mampu menarik minat laki-laki hidung belang. Pelangi didirikan pada tahun 2009 . Sejak itu, sebagai kafe yang baru pelangi dengan kreatifitas-kreatifitas pemiliknya di buat untuk bersaing dengan kafe lain. Dapat dikatakan bahwa pelangi cukup menguasai hiburan malam di Mamasa dan turut meramaikan kehidupan dunia malam di Mamasa. Tempat ini sudah menjadi salah satu ikon Tempat Hiburan Malam bagi Kota Mamasa lengkap dengan perempuan kupu-kupu malamnya alias Pekerja seks Komersial (PSK). Meski Tempat ini di kemas dalam bentuk THM, seperti karaoke atau bar, sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat inilah terjadinya transaksi seks dan minuman keras. Bila orang menyebut kafe Pelangi maka sudah tentu pikiran orang akan tertuju pada kegiatan seksnya. Hampir setiap malam Pelangi ramai dikunjungi oleh para pelanggan. Kebanyakan dari mereka adalah yang bekerja sebagai polisi. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat kenalan bagi pelanggan dengan PL lalu memutuskan untuk keluar bersama ke hotel atau ke penginapan. Seperti yang diungkapkan seorang informan : “kita biasa kenal-kenal di kafe ji sama bapak-bapak yang mau booking, setelah itu ditemanimi dulu minum sambil cerita-cerita dan baku tawartawarmiki’ juga, berapa dia mau bayar untuk ditemani, tapi lebih baguski kalau begini baku tawar sendiri karena semua uang yang dikasi’ jadi milikta’ tidak adaji di potong-potong sama ibu (germo)”. (DD, 26 tahun, PSK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan dan membahas tentang temuan data lapangan yang telah di peroleh dari hasil penelitian, terdiri dari beberapa bagian yang akan dibahas secara berurutan. Pada bagian pertama membahas mengenai sejarah singkat Patron Client Germo (bos) dengan PSK (PL), Bagian kedua membahas bagaimana hubungan antara Germo dengan PSK dan bagian ketiga membahas tentang peran secara timbal balik antara Germo (patron) dengan PSK (klien). A. Sejarah Singkat Patron Client Germo dengan PSK. Dalam bagian ini membahas mengenai bagaimana awal permulaan hubungan yang terjadi antara germo dengan PSK. Sebagaimana halnya dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan manusia lain, karena kodratnya sebagai makhluk sosial. Dalam setiap hubungan tersebut ada alasan-alasan atau hal yang melatarbelakangi. Misalnya ketika orang ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, ia membutuhkan orang lain yang bisa memberikan pekerjaan kepadanya yang lazimnya dikenal dengan bos atau manager (patron). Membahas mengenai pekerjaan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada dalam pikiran peneliti adalah ketika mereka bekerja sebagai bawahan (klien) berarti ada atasan yang membawahi mereka atau yang memberikan pekerjaan kepada mereka, yang dikenal dengan istilah germo. Hubungan bos (sebutan untuk germo) dengan PL (sebutan bagi PSK yang ada di Mamasa dan memiliki dua arti yaitu pelayan kafe dan pelacur) umumnya dikarenakan adanya maksud dan tujuan dari masing-masing pihak, tidak lain karena kebutuhan ekonomi. Mereka yang berstatus sebagai bos awalnya adalah orang biasa yang ingin memenuhi kebutuhan sehari-harinya, begitupun sebaliknya mereka yang berstatus sebagai PL awalnya hanya wanita pencari kerja, ada yang memang menginginkan hal itu, namun ada pula yang terjebak dalam persaingan ekonomi. Hubungan bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa di mulai sejak tahun 1998 sejak adanya kafe di Mamasa yaitu kafe Bamba lempan, di awali dengan hubungan atas persetujuan kedua belah pihak tanpa menggunakan perjanjian tertulis dalam suatu bentuk ikatan kerja. Semua dilakukan dengan saling percaya dan pengertian yang dilandasi satu tekat bekerjasama untuk memberikan kepuasan dan keuntungan pada masingmasing pihak. Dengan kata lain kedua belah pihak berharap mendapatkan keuntungan dalam kerjasama tersebut. Seperti yang dikemukakan seorang informan : “Tidak adaji yang namanya kontrak kerja tertulis begitu karena kurang menguntungkan, kalau misalnya sudah dikontrak dua bulan pasti sudah tidak kerja dengan baik, dia sudah santai-santai karena sudah dikontrak. Kemudian kasian juga sama pelayanku yang datang kerja karena sedang sakit sama suaminya atau ada masalah, nanti kalau suaminya bujuk-bujuk baru baikan lagi pasti maumi pulang jadi kalau di kontrak misalnya 2 bulan kasian dia mau tunggu gajinya dulu”. (TN, 50 tahun, germo) Dalam hubungan kerja yang terjalin ini bos (germo) memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya yaitu berupa tempat, untuk memberikan lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan dan mau bekerjasama serta bersedia untuk bekerja. Tentu saja germo menekankan tujuan utamanya pada keuntungan ekonomi karena memang sifat usahanya adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kedudukannya sebagai pemberi kerja atau patron. Demikian pula dengan PL, mereka memanfaatkan tubuh mereka untuk memberikan jasa berupa kepuasan nafsu terhadap laki-laki hidung belang demi mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan utama mereka yaitu mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil menjual tubuhnya. Hubungan kerja antara bos dan PL yang terjalin didasarkan atas pertimbangan kepercayaan dan kejujuran. PL yang rajin serta sungguhsungguh dalam bekerja biasanya diperlakukan denga baik oleh bos. Proses terjadinya hubungan kerja antara bos dan PL berbeda-beda, tergantung kepada pihak yang sedang megadakan hubungan itu sendiri. Terjadinya hubungan kerja antara bos dan PL setelah adanya perjanjian kerja tak tertulis. Suatu perjanjian dimana pihak PL mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima gaji dari bos. Tiga asas yang melandasi hubungan kerja antara bos dan PL yaitu: 1. Asas kepentingan bersama. 2. Asas saling menghargai. 3. Asas saling percaya. Asas tersebut terus berjalan meskipun tanpa perjanjian tertulis sebagai sifat hubungan kerjasama. Faktor yang mendasari hubungan kerja antara bos dengan PL yaitu sikap sebagai bos dalam kegiatan kerja yang menginginkan kedisiplinanan para PL sebagai pekerja agar benar-benar melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang telah di buat oleh bos harus ditaati oleh PL. Ketentuan-ketentuan itu lebih condong dikatakan keharusan dalam bekerja yang tidak boleh dilanggar oleh para PL. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan berakibat buruk. Ketentuan ini dipegang teguh oleh para PL dan justru hal itu banyak mendasari sikap atau tingkah laku para PL dalam kehidupan sehari-sehari dan menjadikan PL disiplin dalam bekerja. Sebaliknya bos juga harus bersifat lunak serta penuh rasa tanggung jawab dan kebijaksanaan. Mengerti dan berusaha membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh PL. Sebab seorang bos yang kasar akan menyebabkan PL memutuskan untuk pindah ke germo yang lain. Dalam penelitian ini, perempuan yang bekerja sebagai PL berusia antara 19-30 tahun. Dengan usia belia dan sehat serta kebebasan yang dimilikinya sangat memungkinkan mereka bekerja sebagai PL. Kondisi perekonomian keluarga menjadi salah satu faktor pendorong serta rendahnya pengetahuan ataupun keterampilan yang dimiliki oleh informan, disisi lain kebutuhan hidup yang mendesak untuk dipenuhi sehingga timbul keinginan bekerja untuk menghasilkan uang yang banyak tanpa harus bersusah payah. Selain itu masalah-masalah keluarga juga dapat menjadi faktor pendorong yang membuat informan mengambil jalan pintas untuk mengatasi kesulitan hidup agar tetap dapat bertahan. Pendidikan sebagian informan dalam penelitian ini, berstatus putus sekolah dengan tidak memperoleh ijazah SLTP maupun SMU. Meskipun demikian dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebahagian besar informan dapat membaca dan menulis walaupun tidak memiliki ijazah sekolah. Tersendatnya pendidikan informan disebabkan oleh faktor ekonomi untuk melanjutkan sekolah. Selain itu pergaulan yang bebas pada masa sekolah menyebabkan sebagian informan menikah di usia muda. Perkawinan yang tidak terencana secara matang menyebabkan keretakan rumah tangganya yang berakibat mendorong dirinya untuk memilih menjadi PL. Rendahnya tingkat pendidikan yang pernah mereka tempuh tentu saja sangat mempengaruhi jenis pekerjaan yang akan dipilihnya. Apalagi mereka yang tidak tamat SLTP, rendahnya pengetahuan dan tidak adanya keterampilan membuat mereka kesulitan dalam persaingan di dunia kerja akhirnya mendorong mereka untuk lebih memilih bekerja sebagai PL dari pada mencari pekerjaan lain. Dari beberapa informan dalam penelitian ini diketahui bahwa suku mereka berbeda-beda yaitu di antaranya berasal dari jawa, palopo, manado dan lain-lain. Sebahagian besar beragama Islam dan selebihnya beragama Kristen. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perilaku informan umumnya peramah dan selalu menyenangi kehidupan bebas tanpa ada kekangan dari pihak keluarga, dalam bertutur kata pun mereka terkesan cerewet dan “ceplos” (berbicara tanpa dilandasi dengan pikiran), bahkan seringkali berbohong kepada konsumen untuk memperoleh tip yang banyak. Namun di sisi lain adapula informan yang terkesan sangat pendiam. Diantara informan ada yang memilih menjadi PL disebabkan karena ajakan teman mereka yang tidak ingin melihat informan menderita karena kekurangan uang atau kemiskinan, dan ada juga informan yang menjadi PL karena kekecewaan atas suami yang selingkuh. Dari latar belakang informasi yang diperoleh dari informan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa adapun yang menjadi alasan informan menjadi PL sangat bervariasi, diantaranya karena adanya faktor internal dan eksternal yang menjadi alasan kuat untuk menjadi PL yaitu: a. Faktor internal - Aspek historis informan. Sebab-sebab informan tertarik menjadi PL sangat bervariasi, dari hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa sebagian informan tertarik menjadi PL disebabkan oleh rasa putus asa serta adanya keinginan untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras, cukup dengan rayuan gombal dan rabaan maka mereka dapat mengantongi uang sesuai dengan keinginan mereka. Keserderhanaan pola pikir seiring dengan rendahnya penidikan yang dimilikinya menyebabkan mereka menuruti apa saja kata hatinya. - Terjadinya disharmonis dalam kehidupan psikis. Hal ini ditandai dengan bertumpuknya konflik batin akibat kekecewaan-kekecewaan yang pernah dialami bersama dengan teman lelakinya serta adanya kekecewaan-kekecewaan terhadap lingkungan keluarganya sehingga mereka memilih kehidupan sendiri dan akhirnya terjerat pada kehidupan malam. Keiniginan informan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga membuatnya tidak mempunyai pilihan lain untuk memperoleh uang dengan cepat kecuali bekerja sebagai PL. - Adanya sifat fatalistic (menerima keadaan begitu saja). Persoalan yang terjadi pada dirinya membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak ada sama sekali keinginan dari mereka untuk mencari pekerjan lain. b. Faktor Eksternal - Hubungan dengan teman atau tetangga. Dari hasil penelitian terlihat bahwa teman dan tetangga turut mendukung informan menjadi PL, dimana mereka pertama kali menjadi PL karena adanya ajakan dari teman mereka yang telah terlebih dahulu menjalani kehidupan seperti itu, mereka menceritakan hal-hal yang glamour sehingga informan tertarik untuk bekerja menjadi PL. - Hubungan dengan lingkungan keluarga. Sebagian lingkungan keluarga mendukung mereka untuk bekerja sebagai seorang PL, hal ini terbukti bahwa ia bekerja sebagai PL atas sepengetahuan keluarga mereka, walau tidak semua keluarga tahu kalau mereka bekerja sebagai PL. B. Hubungan antara Germo (bos) dengan PSK (PL) 1. Bos Perempuan Ibu TN, Umur 50 tahun, agama Kristen, asal daerah Mamasa, pendidikan terakahir SMA. Alasan mengelola kafe yaitu karena beliau menganggap bahwa orang-orang Mamasa masih sangat haus dengan hiburan. Seperti yang diungkapkan : “Saya lihat pengalaman di kota, lihat situasi. kalau tidak ada THM di Mamasa, org Mamasa keluar artinya uang dalam keluar, dan juga orng mamasa masih sangat haus hiburan, mencegah pikiran kalut di kantor atau di keluarga, juga bisa meringankan pikiran kalau masuk kafe. Untuk apa membiarkan orang lain datang mengelola kalau orang dalam bisa”. (TN, 50 tahun, Germo) Tugas sebagai bos adalah mencarikan pelanggan bagi para PL untuk di booking, sekaligus sebagai pemilik tempat. Ada juga pelanggan yang dengan sendirinya menghubungi untuk dicarikan PL. Ibu TN juga menyediakan tempat dan sarana bagi PL dalam mencari uang. Kadang juga memberikan perlindungan kepada PL yang sedang mengalami masalah. Selain itu PL yang dicari adalah yang masih muda dan cantik dan tentunya yang paling utama adalah orangnya disiplin dan mau mengikuti aturan. PL yang dipekerjakan oleh Ibu TN adalah mba’ AN dan mba’ FY. Mba’ AN, umur 30 tahun, Agama Islam, asal daerah Jakarta (Cengkareng), pendidikan terakhir SD. Dia berasal dari keluarga yang sederhana, anak pertama dari 2 bersaudara. Bapaknya sudah meninggal dunia yang tersisa hanya ibu, adik dan kedua anaknya. Suaminya bekerja mencari barang bekas. Dulu mba’ AN bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan dari hasil itu uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan makan ibu, adik dan anakanaknya dan itu dianggap tidak pernah cukup. Akhirnya mba’ AN memilih jadi PL. Seperti yang diungkapkan : “Jadi pembantu Rumah tangga gaji yang saya dapat 500ribu perbulan, g cukup buat keperluan sehari-hari. Pusing mikirin makanan sehari-hari, kalau kerja gini saya dapet 700ribuan ke atas/ 2 minggu. Jadi lebih baik kerja yang seperti ini saja. Mama juga sakit di rumah, uda g bisa kerja ya uda biar saya aja yang nyari uang yang penting ada yang jagain anak”. (AN, 30 tahun, PSK) Pada suatu hari ibu TN jalan-jalan ke Jakarta berkunjung ke rumah anaknya di Jakarta. Tantenya Mba’ AN, kerja sebagai pembantu rumah tangga di Rumahnya Ibu TN. Waktu itu dia ikut dengan tantenya ke rumah anaknya ibu TN, sampai disana ketemu sama ibu TN dan ditawarin pekerjaan di Mamasa dengan iming-iming dan janji-janji yang menggiurkan yaitu sebagai PL. Ibu mulai berkata kepada Mba’ AN bahwa nanti di Mamasa dia akan bekerja sebagai PL alias pelacur, pekerjaan yang hina dan dianggap sampah oleh masyarakat, tapi karena alasan untuk menghidupi orang tua, dan kedua anaknya serta menyekolahkan adiknya, dan juga karena Rumah Tangganya sedang bermasalah mba’ AN tidak menghiraukan perkataan ibu yang penting bisa mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Seperti yang di ungkapkan : “Awalnya saya g mau tapi setelah pikir-pikir saya lebih baik ikut karena selain nyari uang pengen lupain suami juga, biar dia g tau saya dimana soalnya saya minta cerai dia g mau padahal saya uda pengen banget cerai ma dia abisnya dia selingkuh sih”. (AN, 30 tahun, PSK) Inilah latar belakang dan salah satu alasan atau motivasi untuk menghasilkan uang dengan cepat dan lebih banyak. Masalah kemiskinan dan Rumah tangga menjadi salah satu penyebab menjadi PL. seperti yang diungkapkan seorang informan : “Saya pengen lupain suami, Lum cerai sih tapi lagi bermasalah. Saya ngelahirin anaknya di rumah sakit dia ena’ena’an ngamilin perempuan lain da gitu perempuan kafe juga’, jadi saya kerja gini g tau apa saya dendam atau gimana? dan kebetulan adik saya juga mau masuk SD jadi saya harus berusaha dapatin uang supaya dia bisa masuk sekolah. (AN, 30 tahun, PSK) Akhirnya mba’ AN sepakat untuk ikut dengan ibu TN ke Mamasa. Tapi ternyata mba’ AN menginginkan seorang teman dan akhirnya mengajak adik sepupunya, anak dari tantenya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah anaknya ibu. Namanya Mba’ FY, Sebelumnya Mba FY juga sudah ditawarin pekerjaan oleh ibu, tapi kerja di rumah makan milik ibu bukan sebagai PL. Mba’ FY berumur 22 tahun. Agama Islam Pendidikan terakhir SMA. Anak ketiga dari 4 orang bersaudara. Dulu dia kerja di swalayan, tokoh sepatu. Mamanya kerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya ibu, papanya kerja sebagai supir pribadi. Sudah punya anak 1 berumur 2 tahun. Suaminya kerja sebagai kuli bangunan. Satu minggu kemudian mereka bertiga, Mba’ AN, Mba FY, dan Ibu TN berangkat dari Jakarta bandara Soekarno Hatta dan tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar kemudian menuju ke Mamasa, dan sehari kemudian tiba di Mamasa. Bos yang biasanya di sapa Ibu memperkenalkan mereka pada pelayan-pelayan lain. Kemudian membawa mereka ke kamar ukuran 3 x 3 meter persegi, yang juga merupakan tempat ibu. Di dalam kamar itu tidak terdapat perabotanperabotan yang mewah, yang ada hanya barang-barang sederhana yang bisa mereka pergunakan untuk huburan seperti Televisi, radio dan sebagainya. Beberapa hari berada di kafe Bamba Lempan, salah satu tempat hiburan Malam di Kabupaten Mamasa milik ibu TN Mba FY juga tertarik untuk mulai bekerja di Kafe tanpa sepengetahuan orang tua dan suaminya. Ini menunjukkan bahwa suasana dan tempat sehari-hari ia berada mempengaruhi pikiran untuk kemudian terjun dalam pekerjaan seks. Seperti yang diungkapkan bahwa : “Awalnya saya datang cuman nemanin kakak saya, Mba AN. Sekalian juga saya kerja di rumah makannya ibu tapi sekarang saya mulai tertarik untuk bekerja di kafe, suami saya taunya saya bekerja di rumah makannya ibu, tapi g papa, yang penting dapat uang bisa di kirim ke kampung untuk bantu-bantu mama sama papa”. (FY, 22 tahun, PSK) Seiring berjalannya waktu mereka mulai bekerja tanpa mengenal rasa lelah dan rasa bersalah. Dari hasil kerjanya diperoleh hasil rata-rata dalam 2 minggu yaitu 1.900.000,- atau bahkan dapat mencapai 2.000.000,- jika banyak konsumen yang datang ke kafe dan ada yang boking. Sistem penggajiannya adalah tergantung pada banyaknya tip dan banyaknya bokingan yang diperoleh. Tarif bokingan sekali keluar bersama konsumen biasanya 600.000,- sampai 700.000,- itu menjadi bagian pelayan (PSK) sepenuhnya, untuk germo dan kasir biasanya di bicarakan tersendiri dengan konsumen. Pendapatannya juga tergantung pada botol bir yang diperoleh tiap malam. Seperti diungkapkan seorang informan : “Gaji saya tergantung juga ma botol bir yang abis, dalam setiap 1 botol bir saya dapat 6000,- .klo yang layanin tamu disitu saya sendiri, uang 6000,-itu buat saya sendiri tapi klo ada teman yang lain ya 6000,- itu di bagi berapa pelayan yang nemanin disitu”. (AN, 30 tahun, PSK) Mba’ AN sekarang menjalani hidupnya sebagai seorang PL, walaupun kurang mendapat tempat di hati orang lain yang melihatnya namun itu semua hanya sebagai suatu pandangan atau pendapat orang lain yang harus diterima. Dia tidak menanggapi apa pun pandangan orang asalkan bisa mendapatkan uang dan juga memuaskan diri. Seperti yang di ungkapakan : “Walaupun ini pekerjaan yang kotor dan hina di mata orang lain, namun yang utama bagi saya adalah ngumpulin uang untuk kebutuhan keluarga dan pribadi”. Juga bisa buat saya senang karena selain dapat uang saya juga jauh dari suami, jadi saya merasa lebih tenang, belum lagi saya juga mendapatkan kenikmatan”. (AN, 30 tahun, PSK) Selama hampir 3 bulan berada di Mamasa dan bekerja sebagai PL kalau mau mengikuti kemauannya sebenarnya mba’ AN tidak ingin jadi PL tetapi karena masalah keluarga dan tuntutan ekonomi yang semakin meningkat mengharuskan ia bekerja sebagai pekerja seks komersial untuk memenuhi kebutuhannya sendiri beserta ibu, adik dan anak-anaknya. Mba’ FY pun mengalami hal yang sama. Selama 2 bulan menjadi PL banyak sekali godaan yang datang sehingga membuat dirinya merasa terganggu. Namun dia tetap berjuang dan tetap bertahan, menutup telinga untuk semua kata orang. Hasil yang sekarang mba’ FY dapatkan tidak saja bermanfaat bagi dirinya atau hanya untuk dirinya saja tetapi untuk keluarga dan orang tuanya juga. Sebagian besar masalah yang di dapat mba’ FY ketika menjadi PL tidaklah sedikit dan gampang karena dia baru menggeluti pekerjaan sebagai PL tapi kadang itu hanya dijadikan sebagai motivasi untuk menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga khususnya anaknya yang masih kecil. Seperti yang diungkapakan : “Resiko yang saya dapat saat menjadi seorang PL adalah wajar”. Karena pekerjaan yang seperti ini memang sudah di benci oleh masyarakat. Olok-olok dan kata-kata hinaan itu sudah menjadi hal yang harus bisa saya terima dan saya harus belajar terbiasa dengan hal itu”. (FY, 22 tahun, PSK) Dia mengaku selama ini banyak pengalaman yang dia dapat selama bekerja sebagai PL di Bamba Lempan sebab ada kejadian yang menarik baginya untuk dilupakan dan ada juga kejadian atau hal yang tidak baik yaitu ketika diperlakukan kasar oleh orang sekitar. Terkadang mba’ fany merasa jenuh dan malu bekerja sebagai PL”. Tapi ia mengakui bahwa apa yang dilakukan saat ini hanya untuk keluarganya. Meski pun begitu, mba’ FY juga memiliki harapan dan cita-cita semasa ia kecil dan duduk di bangku pendidikan. Sebagaimana orang- orang lainnya yang memiliki cita-cita kelak ia dewasa. Namun semua itu harus di redam karena keterbatasan ekonomi. Seperti yang di ungkapkan : “Dulu waktu kelas 5 SD saya mulai bercita-cita untuk menjadi seorang perawat. Saya sangat berharap bisa jadi perawat karena waktu itu yang saya pikirkan adalah orang tua saya. Saya ingin merawat mereka kalau sakit supaya ngga’ perlu di bawa ke rumah sakit. Tapi ya ternyata ngga’ kesampaian. Setelah selesai SMA saya ngga’ bisa lanjut ke perguruan tinggi karena ngga’ ada uang. (FY, 22 tahun, PSK) Sikap germo maupun PL layaknya ibu dan anak. Teguran dari germo hanya ibarat pengarahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan PL jujur mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Aspek kesehatan merupakan salah satu sisi yang cukup penting dalam setiap kehidupan manusia. Dalam hubungan kerja antara ibu TN dan PL yang peneliti temukan adalah adanya rasa tanggung jawab dari ibu TN terhadap PL dalam hal kesehatan. Ketika ada PL yang sakit dan penyakitnya tidak parah seperti sakit gigi biayanya ditanggung oleh PL itu sendiri dengan pertimbangan bahwa penyakit yang dideritanya tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar sehingga PL itu sendiri masih bisa membayarnya, tetapi pada saat PL mengalami sakit yang parah seperti yang kena penyakit malaria, dll biaya pengobatannya di tanggung oleh bos. Seperti yang di ungkapkan oleh seorang informan : “Kalau ada pelayanku sakit dan sakitnya ringanji kaya’ sakit gigi, demam, dia sendiriji yang pergi ke Rumah Sakit, dia bisa urus sendiri karena bukanmi lagi anak kecil, kecuali kalau memang sudah sakit parah ya saya yang harus bawa dia ke Rumah sakit baru biayanya juga mahal jadi saya yang harus bayarkan.sudah pernah ada pelayanku kena malaria jadi saya yang tanggung semuanya tapi karena belum sembuh-sembuh saya kasi biaya pulang ke kampungnya”. (TN, 50 tahun, Germo) Dalam hubungan kerja yang penuh dengan keakraban antara bos dan PL tampak seolah-olah mereka menciptakan suasana kekeluargaan. Seperti yang dikemukakan seorang informan : “Ibu uda kami anggap sebagai orang tua sendiri disini, ibu selalu memberikan kami arahan supaya tetap bisa bekerja dengan baik dan menghasilkan uang yang banyak, jadi kalau ibu kasi arahan kami berusaha menurutinya karena memang dia sudah seperti orang tua kedua bagi kami”. (FY, 22 tahun, PSK) Berdasarkan pernyataan informan tersebut dapat kita peroleh gambaran bahwa kepuasaan antara bos dan PL dalam hubungan kerja dapat terlihat saat bos sebagai atasan memberikan pengarahan yang baik kepada PL untuk bisa menghasilkan uang yang banyak dan PL pun mendapatkan gaji yang banyak. Hubungan kekerabatan antara bos dan PL jelas tidak ada tetapi nampaknya mereka sangat akrab. Hal ini dikarenakan adanya tanggung jawab moril untuk saling menjaga keselamatan. Seperti yang dikemukakan seorang informan : “Saya merasa bertanggung jawab sama pelayan-pelayanku karena mereka sudah mau bekerja di tempatku dan ada juga yang tinggal disini sama jadi sudah di anggap seperti saudara, jadi kalau ada yang bisa saya bantu saya pasti usahakan”. (TN, 50 tahun, Germo) Walaupun patron klien adalah hubungan yang tidak setara tetapi dengan adanya rasa saling percaya dan akrab membuat hubungan ini tetap lestari. Namun demikian kedua belah pihak baik bos (patron) maupun PL (klien) menganut asas saling menguntungkan. Selama kedua belah pihak masih merasakan adanya keuntungan yang bakal diperoleh dalam jalinan hubungan patron klien tersebut maka keduanya akan tetap melanjutkan hubungan kerja. Tetapi sebaliknya apabila salah satu pihak sudah merasakan tidak adanya keuntungan yang bisa diperoleh minimal dalam jangka pendek atau sudah merasakan adanya kerugian dari pihak lain maka saat itu juga diadakan pemutusan hubungan, baik dengan kesepakatan bersama maupun tidak. Seperti yang di ungkapkan oleh seorang informan : ”Kalau ada saya punya pelayanku sudah mulai lebih mementingkan pacar-pacarnya dari pada melayani tamu saya masih berikan teguran tapi kalau terus-terusan begitu saya langsung pecat karena artinya dia sudah tidak bisa bekerja dengan baik dan kita sama-sama rugi”. (TN, 50 tahun, germo) 2. Germo laki-laki. AF, 40 tahun. Pendidikan terakhir SMA. Agama Kristen. berasal dari Mamasa. Alasan membuka kafe yaitu supaya orang-orang di Mamasa punya Tempat Hiburan Malam (THM), sesuai dengan perkembangan karena maju tidaknya sebuah daerah tidak terlepas dari Tempat Hiburan Malam (THM), dan juga sebagai kesibukan untuk keseharian karena tidak ada pekerjaan. Bekerja di kafe sebagai germo (bos) memberikan keuntungan bagi saya. Penghasilan per 2 minggu berkisar Rp. 3.000.000,- Rp 5.000.000,. Dalam mencari PSK, pak AF lebih menekankan pada faktor fisik, cantik, berpenampilan menarik juga masih muda. PSK yang bekerja di kafe milik pak AF dalam penelitian ini adalah DD , itulah nama samaran yang sering di panggil oleh teman-temannya, dia berasal dari Manado, umurnya 26 tahun, Agama Kristen, pendidikan terakhir SMP. Anak bungsu dari 5 orang bersaudara. DD memilki seorang anak yang tinggal bersama kakaknya di Malaysia. DD sudah 6 tahun menjadi pekerja seks komersial, kondisi keluarga kurang mampu. Pekerjaan ayah DD adalah seorang petani dan ibu hanya sebagai ibu rumah tangga. Pada usia 13 tahun DD menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Toraja. Keluarga laki-laki tersebut tidak menyetujui hubungan mereka tapi karena DD sudah hamil sehingga harus menikah dan setelah menikah langsung cerai. Seperti yang diungkapkan : “Tidak direstuika’ keluarganya suamiku karena mungkin mereka keluarga besar sedangkan saya hanya orang biasa tapi sudah terlajur hamil jadi harus nikah tapi dengan kesepakatan selesai nikah langsungka’ di ceraikan baru dia pergi menikah dengan wanita lain pilihan orang tuanya”. (DD, 26 tahun, PSK) Akibat pergaulan bebas atau kenakalan remaja sehingga DD menjadi seorang PL. Awalnya DD bekerja di diskotik di Manado tapi tidak lama kemudian dia mulai berpikir untuk keluar dari Manado, merantau untuk mendapatkan uang dan juga adanya dorongan dari orang tua untuk bekerja di luar. “Orang tuaku tidak mau kalau saya nakal di kampung sendiri, lebih baik nakal di kampung orang, tapi sebenarnya mereka tidak tau kalau saya bekerja sebagai PL yang mereka tau saya kerjanya di restoran dan kalau pun tidak direstoran mereka taunya saya kerja di diskotik yang hanya berjoget tapi bukan sebagai PSK” (DD, 26 tahun, PSK) DD pernah bekerja di Iryan jaya selama 2 tahun, setelah itu berangkat ke Makassar dan disana ia bekerja selama 3 bulan di jalan Nusantara, setelah itu dia ke Sidrap karena ajakan teman, dan juga sampai di Malaysia. DD tak pernah menyerah untuk tetap bisa menghasilkan uang untuk keluarga dan anaknya, walau pun dengan berpindah-pindah tempat. Suatu ketika DD mendengar dari temannya bahwa di Mamasa ada kafe, dan di Mamasa juga orangnya baik-baik, tanpa pikir-pikir DD langsung menuju ke Mamasa dengan Mobil panter yang menuju ke Mamasa, yang menunjukkan jalan dan tempat adalah sopir mobil tersebut. Akhirnya sopir mobil menurunkan DD di kafe Pelangi. Seperti yang di ungkapkan : “Temanku cerita, kalau di Mamasa ada kafe jadi saya langsung cari mobil yang menuju ke Mamasa baru saya tanya adakah kafe di Mamasa, sopir itu bilang ia ada, mau di kasi’ turun dimana saya bilang sembarang asalkan saya bisa kerja disitu jadi di kasi’ turunmaka’ diPelangi.” (DD, 26 tahun, PSK) Menjadi PL adalah pilihan DD untuk melanjutkan atau meneruskan hidupnya, juga untuk menghilangkan stress, menghidupi keluarga utamanya menghidupi anaknya. Bagi DD dengan keadaan dia seperti itu dia siap bekerja dimana saja yang penting bisa menghasilkan uang sekali pun itu menjadi PL. Selama bekerja sebagai PL DD juga sangat membutuhkan perjuangan bertahun-tahun untuk dapat bertahan. Berbagai pengalaman sudah ia dapatkan. Seperti yang diungkapkan : “Pengalamanku banyakmi. Biasa tamu ribut dan bikin masalah, tamu berkelahi dengan tamu, pelayan jadi sasaran. Kerja di kafe sangat berat, kita korban perasaan.tidak dekat dengan tamu, tamu marah. Biar tidak suka juga harus dekat. Kadang juga dapat tamu yang kasar mulutnya, dia maki-maki kita tapi mau diapa sudah kerja begini”. (DD, 26 tahun, PSK) Dia sadar bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan yang hina dan kotor dan karena adanya kebutuhan hidup yang semakin tinggi sehingga dia berani ambil resiko untuk bekerja sebagai PL. Dia juga ingin hidup sebagai wanita terhormat seperti perempuan lain yang tidak menjual dirinya kepada laki-laki hidung belang “pengguna jasa” untuk sesuap nasi dan untuk kebutuhan yang lain. Seperti yang di ungkapakan : “saya maumi juga berhenti dari pekerjaan ini kalau ada yang mau perbaiki hidupku, mau terima saya apa adanya. Saya sudah pernah dilamar tapi orang ada istrinya jadi saya tidak mau karena saya sudah pengalaman berkelahi dengan istrinya orang, dia datang mengamuk di kafe jadi saya hantam sampai berurusan dengan polisi”. (DD, 26 tahun, PSK) Ternyata sangat jelas bahwa mereka juga menginginkan untuk hidup dengan baik seperti perempuan-perempuan lainnya yang hidup secara normal, berkeluarga dan memiliki anak. Namun hal itu bisa terwujud ketika ada laki-laki yang mau betul-betul mencintai dan menjadikannya istri. Dari upah yang dia peroleh selama bekerja sebagai PL di kafe Pelangi, rata-rata penghasilan dalam 2 minggu 1.500.000 bahkan sampai 2.000.000,-. Ini jika ia menerima bokingan, karena melayani tamu di kafe biasanya hanya berkisar 400.000 – 700.000,- / 2 minggu yang di hitung dari berapa botol minuman bir yang laku saat ia bekerja. Biasanya pelanggan yang booking bayar 700.000 sekali keluar, dan uang ini seluruhnya untuk PL, tak ada potongan untuk pak AF karena sebelumnya sudah ada pembicaraan tersendiri dengan konsumen. Terkadang juga laki-laki hidung belang sendiri yang berbicara kepada PL untuk di booking pada saat bertemu di kafe tanpa sepengetahuan germo, PL hanya meminta izin kepada kasir untuk keluar. Pendapatan yang diperoleh oleh DD dikirimkan ke kakaknya yang ada di Malaysia yang mengasuh anaknya dan juga dikirim ke orang tuanya di Manado, serta sisanya dipergunakan untuk kebutuhan membeli pakaian dan kosmetik. Untuk urusan makanan dijamin oleh pak AF dengan hasil uang meja sebanyak Rp 30.000/ meja. Dalam hubungan yang terjadi antara pak AF dengan PL, aspek kesehatan juga sangat diperhatikan oleh Pak AF sebagai patron dalam hubungan ini. Namun sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh ibu TN dimana pada saat PL sakit parah pak AF hanya memberikan uang sebagai bentuk kepedulian untuk biaya Rumah Sakit, sedangkan Ibu TN memberikan uang dan juga mengantar PL ke Rumah Sakit. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan : “Dulu ada temanku kena penyakit Malaria kodong, tidak cukup uangnya untuk bayar Rumah Sakit tapi untungji di bantu sama bapak karena bapak juga memang sudah bilang kalau ada yang sakit dan tidak cukup uangnya nanti bapak yang bantu. Tapi saya juga baru-baru sakit gigi, sakit biasaji, tidak pake uang yang terlalu banyak jadi saya bayar sendiriji. (DD, 26 tahun, PSK) Nampak jelas bahwa meskipun germo dan PL terlibat dalam hubungan yang bersifat ekonomi, namun unsur perasaan juga tetap memainkan peranannya. Mereka saling memaafkan atau merasa bodoh terhadap pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pihak lain sepanjang yang dilakukan tidak berakibat total menghancurkan usaha. Baik antara PL dengan PL ataupun PL dengan bos. Namun pada kenyataannya belum pernah ada masalah antara bos dan PL, hanya saja PL dengan PL lain kadang ada sedikit masalah, jika hal ini terjadi bos mendamaikan mereka dengan cara menasehati masing-masing pihak. Terjadilah tingkah laku paradoks antara tujuan ekonomi di satu pihak dengan tenggang rasa di pihak lain. Tenggang rasa dipihak lain mengakibatkan rasionalitas ekonomi terpaksa diabaikan. Sifat ketimuran yang lebih mengandalkan perasaan dari pada rasio belum bisa ditanggalkan. Sementara pengelolaan suatu usaha ekonomi menuntut tingkat rasionalitas tinggi. Pada tahap ini ide moral yang terkandung dalam norma hubungan timbal-balik berupa keharusan membalas pemberian atau jasa yang pernah diterima sangat berperan penting. Tipologi Tindakan Germo Terhadap PSK Relasi Sosial Partron Client Tipe germo laki-laki 1. Pinjaman uang 2. PL sakit (parah) Tipe germo perempuan PL segan meminta PL tidak segan pinjaman pada germo meminta pinjaman dan bos lebih pada bos dan bos juga mempertimbangkan memberikan pinjaman untung rugi secara langsung Bos hanya Memberikan uang memberikan uang sekaligus mengantar sebagai bentuk ke Rumah sakit kepedulian 3. Merekrut PL 4. Tempat tinggal Lebih menekankan Fisik juga penting tapi pada faktor fisik tapi lebih menekankan juga disiplin pada kedisiplinan Membuat kost PL dapat tinggal tersendiri bagi para PL bersama sang bos dalam satu atap 5. Penyelesaian Bos memberikan Bos mempertemukan masalah Pada nasehat kepada kedua bela pihak dan saat PL masing-masing pihak menyelesaikan mengalami (PL) permasalahannya masalah dengan bersama-sama PL lain 6. Status PL dan bos adanya batasan antara Tidak ada batasan PL dengan bos karena karena PL dengan bos adanya perbedaan layaknya Ibu dan anak biologis C. Peran Secara Timbal Balik antara Germo dan PSK. Struktur Relasi Germo dan PL. PL BOS PELANGGAN TEMAN Biasanya pelanggan (laki-laki hidung belang) memesan PL melalui jasa bos dengan memberikan gambaran PL seperti apa yang diinginkannya dan mentransaksikan mulai dari tarif hingga tempat yang akan digunakan. PL juga meminta bantuan kepada bos untuk mencarikan pelanggan. Pelanggan dapat bertransaksi secara langsung dengan PL dan hal ini biasa terjadi ketika laki-laki hidung belang dan PL sebelumnya telah terjadi hubungan yang sangat dekat atau sudah menjadi pelanggan tetap dengan konsekuensi pihak bos tidak mendapat keuntungan langsung sebagai mediator. Bos disini bertindak sebagai mediator ataupun yang memfasilitasi sehingga transaksi antara pelanggan dapat terjadi dengan imbalan ataupun bayaran yang didapatkan dari pihak pelanggan dan PL. PL sewaktu-waktu dapat bertindak sebagai bos yang memediasi transaksi pengguna jasa dengan PL yang lainnya. Teman dapat memiliki peran seperti bos yang dapat bertindak sebagai penghubung atau pun yang mencari informasi tentang PL dan bos serta pelanggan sehingga transaksi dapat terjadi diantara mereka. Relasi antara bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa menimbulkan kewajiban dan hak. Kewajiban atau tugas dan hak masing-masing pihak antara bos dan PL tidak pernah di buat secara tertulis dan terperinci. Namun secara umum dilaksanakan atas kesadaran kedua belah pihak menurut tradisi yang berlaku. Hubungan kerja yang terjalin antara bos dengan PL mengacu pada kemampuan beradaptasi antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut di dorong oleh terciptanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara kedua bela pihak yang telah disepakati bersama dan menyadari akan kedudukan dan peranannya masing-masing. PL berhak mendapat gaji sebagai bayaran dari hasil kerjanya. Sebagai pekerja, maka PL berhak mendapat gaji. Sedangkan bos berhak menikmati hasil kerja dari PL. Kewajiban dari PL yaitu melakukan tugas yang telah dibebankan oleh bos, kedua macam hak tersebut merupakan hak dasar dari PL dan bos. Sedangkan kewajiban PL pada dasarnya hanya melakukan seluruh perintah bos berkenaan dengan kegiatannya. Bekerja dengan sungguh-sungguh sebagai suatu keharusan dan mempergunakan keahlian dan keterampialan yang dimiliki dalam pelaksanaan tugas yang dipercayakan oleh bos kepadanya dan disertai rasa tanggung jawab yang besar atas keberhasilan pelaksaanan tugas tersebut. Setelah semua terselesaikan maka bos berkewajiban memberikan upah kepada PL sesuai dengan jumlah yang telah disepakati. Suatu hubungan kerja yang terjalin antara bos dan PL akan berjalan serasi dan harmonis bila terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing yang memang sudah diakui keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Selain itu seorang bos yang nota bene mempunyai hak untuk menetapkan serangkaian kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PL, sebagai pekerja harus taat pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh bos. Kewajiban bos : 1. Memperlakukan PL sesuai dengan harkat dan martabat sebagai pekerja, dan juga adil terhadap PL. 2. Memberikan pengarahan-pengarahan kepada PL sebelum bekerja ataupun sesudah bekerja. 3. Memberikan kebebasan kepada PL untuk berkreasi. 4. Memenuhi segala keperluan atau fasilitas yang di gunakan PL dalam bekerja. 5. Memberikan gaji kepada PL sesuai dengan yang telah disepakati. 6. Memberikan perlindungan bagi PL. kewajiban PL : 1. Disipilin terhadap waktu kerja yang telah ditetapkan oleh bos. 2. Keharusan mempergunakan keahlian dan keterampilan dalam bekerja. 3. Taat terhadap ketentuan-ketentuan dan kebijaksanaan yang telah diberlakukan oleh bos. 4. Menjaga nama baik masing-masing pihak sebagai wujud jalinan kerja yang baik. 5. Bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga yang ingin dicapainya bersama dapat terwujud. Kewajiban bos di satu pihak merupakan hak PL di pihak lain. Sebaliknya kewajiban PL disatu pihak merupakan hak bos di pihak lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewajiban bos merupakan hak para PL, sebaliknya kewajiban PL merupakan hak bos. Hak dan kewajiban yang demikian merupakan dasar utama dalam melaksanakan peran atau kegiatannya masing-masing. Peranan bos - Memberikan Pengarahan Pengarahan dilakukan untuk membimbing PL dengan jalan memberi perintah, bagaimana PL saat melayani tamu agar bisa melayani dengan baik, memberikan teguran atau koreksi saat PL mulai lebih mementingkan yang lain daripada pekerjaannnya dan usaha yang semacamnya agar PL dalam melakukan pekerjaan mengikuti arah yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan seorang informan : “Saya selalu beri arahan sama pelayanku supaya kalau ada tamu dia layani dengan baik, supaya banyak pemasukan dan dia juga dapat uang yang lebih banyak. Pernahmi juga ada pelayanku yang saya tegur karena sudah lebih mementingkan pacar-pacarnya daripada pekerjaannya, kalau saya biarkan begitu kita sama-sama rugi”. (TN, 50 tahun, Germo) Oleh karena itu bos dalam hal ini tentunya diharapkan mampu untuk memahami kebutuhan para PL, sikap-sikap termasuk perasaan PL untuk diperlakukan secara manusiawi sebagaimana yang terdapat pada kewajiban bos yang telah disebutkan di atas salah satunya adalah memberikan kebebasan kepada PL untuk meningkatkan mutu pekerjaan yang dilakukan dan tidak senantiasa mendapatkan tekanan. Para PL tidak ada yang tidak patuh bila di beri bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa antara PL dan bos sudah diawali oleh rasa saling menghargai dan ketaatan yang cukup tinggi. Dasar inilah yang akan mencerminkan hubungan kerja yang selanjutnya berjalan baik sebagaimana yang mereka harapkan bersama. Seperti yang diungkapkan : “Selama ini belum pernah ada pelayanku yang membangkang, sampai saat ini masih naturutiji semua aturanku, saya senang mereka bisa hargaika’ sebagai bos. Jadi karena tidak membangkangji makanya lama saya pekerjakan”. (AF, 49 tahun, Germo) - Mengontrol Selanjutnya kegiatan bos yaitu yang menyangkut pengontrolan (controlling) dalam arti merupakan kegiatan yang mengusahakan agar pelaksanaan pekerjaan yang dipercayakan kepada PL serta hasil kerja yang dicapai sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan maupun berdasarkan perintah baik yang diberikan sebelum melaksanakan pekerjaan maupun yang sifatnya insidentil, ataupun berdasarkan berbagai macam petunjuk dan ketentuan-ketentuan lainnya yang telah ditetapkan. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa keberhasilan suatu pekerjaan sebagai PL tergantung pada sejauh mana keuletan dan kedisiplinan PL dalam bekerja dan sejauh mana pula usaha pengontrolan dari bos. Hal tersebut tentunya dimaksudkan agar segala usaha yang dilakukan dapat berjalan secara efektif dan efisien (berhasil guna dan berdaya guna). Berdasarkan hal tersebut diatas, jelas bahwa hubungan kerja yang terjalin antara PL dan bos dapat peneliti simpulkan sebagai”simbiosis mutualisme”. Dalam arti hubungan kerja yang terjalin pada prinsipnya didasarkan pada hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Hal ini merupakan wujud dari kehidupan sosial yang merupakan suatu sistem, dalam arti keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan untuk mengadakan kerja dalam melaksanakan pekerjaan. - Melindungi Bos juga mempunyai peran untuk melindungi PL dari kekerasan atau perlakuan yang tidak layak yang dilakukan oleh pelanggan yang membooking. Bos sebagai patron dalam penelitian ini memiliki peran utama yaitu menyediakan tempat untuk bekerja bagi PL. Karena tempat adalah salah satu sarana yang sangat penting dalam usaha ini, misalnya kafe. Di Desa Osango Kecamatan Mamasa ada dua kafe yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Bamba Lempan dan Pelangi. Dalam menyediakan tempat, pemilik (germo) telah mempertimbangkan semuanya, utamanya proses berjalannya usaha tersebut, dan bagaimana orang lainnya memandangnya itu tidak menjadi halangan untuk pengadaan kafe tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh seorang informan : “Saya sudah melakukan berbagai macam pekerjaan dan yang bisa saya tekuni adalah kafe. Mungkin ini juga takdir walaupun banyak hinaan dari orang, tapi saya senang karena bisa menghasilkan uang dan membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan yang tidak sekolah atau di tinggal suami untuk mendapat sesuap nasi, apapun tanggapan orang yang penting saya tidak merugikan orang lain”. (TN, 50 tahun, Germo) Selain menyediakan tempat, bos juga memiliki peran sebagai penyedia modal. Karena untuk berjalannya suatu usaha membutuhkan modal, jadi sebagai pemilik usaha bos juga harus menyediakan modal. Dalam hal ini modal yang dimaksud adalah modal yang dipergunakan untuk keperluan di kafe misalnya untuk membeli minuman bir, dll. Seperti yang dikemukakan seorang informan : “Untuk membuka usaha seperti ini, kita harus punya modal yang banyak dulu untuk keperluan di kafe karena biasanya lebih gampang orang booking pelayan kalau di lihat dulu di kafe. Layani tamu minum di kafe dulu nanti kalau sudah mabuk biasanya dia bawami pelayanku keluar”. (AF, 49 tahun, Germo ) Mencari konsumen untuk dipertemukan dengan PL juga merupakan salah satu peran dari bos. Menyediakan tempat, dan menyediakan modal kemudian mencari konsumen untuk PL. Meskipun terkadang PL sendiri yang langsung bertemu dengan pelanggan di kafe Bamba Lempan atau pun Pelangi atau juga tidak menutup kemungkinan teman PL yang mngenalkan temannnya kepada pelanggan yang akan membawanya keluar. Biasanya di bawa ke Mamasa Cottage, dan penginapan-penginapan lainnya yang ada di Mamasa. Peranan PL Sebagai seorang Pekerja Seks Komersial, memiliki peran sebagai pekerja (klien) bagi bos sebagai atasan dalam menghasilkan uang. Untuk berlangsungnya usaha tersebut membutuhkan pekerja, dalam hal ini PL. Peran yang paling menonjol adalah untuk mencari uang yaitu dengan cara menarik minat pelanggan, melayani dengan baik, dan menyenangkan pelanggan. Bos selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk para PL, dengan cara tidak membeda-bedakan PL, baik yang sudah lama bekerja atau yang baru diperlakukan secara adil agar mereka dapat melaksanakan perannya dengan baik sebagai pencari uang. Seperti yang dikemukakan oleh seorang informan : “Baguski tawwa bapak (AF), tidak pernahki’ dia beda-bedakan, mau yang lama atau yang baru datang di kasi’ samaji. Saya sudah lamamaka’ kerja disini, enjoy trusjika’ enak ki kerja disini karena bapak (AF) juga sudah seperti orang tuakumi”. (DD, 26 tahun, PSK) Apa yang dikerjakan oleh PL adalah sekedar memberi pelayanan. Tanpa memperoleh pendidikan atau latihan persiapan khusus untuk itu. Namun jasa-jasa itu sesungguhnya sangat berharga dalam hal mencari keuntungan ekonomi bagi bos dan PL itu sendiri. PL berperan sebagai dasar dalam usaha ini karena sesungguhnya ekonomi yang dihasilkan adalah hasil dari keuletan PL dalam menggoda pelanggan sehingga bisa mendapatkan uang. Mereka melakukan pekerjaan sebagai PL sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dari pihak kepolisian yaitu bekerja mulai jam 6 sore sampai jam 1 malam. Adapun jika lewat dari itu akan diberikan kebijaksanaan yang terpenting bahwa kegiatannya tidak mengganggu warga sekitar. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Patron client bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa di awali dengan hubungan atas persetujuan kedua belah pihak tanpa menggunakan perjanjian tertulis dalam suatu bentuk ikatan kerja. Semua dilakukan dengan saling percaya dan pengertian yang dilandasi satu tekat bekerjasama untuk memberikan kepuasan dan keuntungan pada masingmasing pihak. Dalam hubungan kerja yang terjalin ini bos memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya yaitu berupa tempat, untuk memberikan lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan dan mau bekerjasama serta bersedia untuk bekerja. Demikian pula dengan PL, mereka memanfaatkan tubuh mereka untuk memberikan jasa berupa kepuasan nafsu terhadap laki-laki hidung belang demi mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan utama mereka yaitu mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil menjual tubuhnya. 2. Sebagai patron, peran terhadap PL (client) baik pada saat bekerja maupun dalam kehidupan sehari-harinya, untuk mengarahkan, mengontrol, dan melindungi PL. Begitupun dengan PL memiliki fungsi dan peran yaitu bekerja sesuai dengan perintah bos, melakukan kewajibannya sebagai pekerja, melayani dan menyenangkan pelanggan. Patron client antara bos dan PL di Desa Osango Kecamatan Mamasa merupakan simbiosis mutualisme. Walaupun patron klien adalah hubungan yang tidak setara tetapi dengan adanya rasa saling percaya dan akrab membuat hubungan ini tetap lestari. Namun demikian kedua belah pihak baik bos (patron) maupun PL (klien) menganut asas saling menguntungkan. B. Saran 1. Orang tua, pemerintah, tokoh- tokoh adat dan agama serta seluruh lapisan masyarakat harus memiliki persepsi yang sama dalam melihat PL sebagai patologi sosial yang harus diselesaikan secara arif dan bijaksana tanpa harus menimbulkan masalah baru. 2. Pemerintah Kabupaten Mamasa secara khusus, untuk lebih memperhatikan realitas ini. Jika PL tidak dilokalisikan maka semakin lama PL akan merajalela dan menimbulkan penyakit kelamin yang bermacammacam seperti HIV/AIDS. DAFTAR PUSTAKA Buku: Bugin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group : Jakarta. Devilie, Philippe dkk. 1987. Manusia, Keputusan, Masyarakat Teori Dinamika antara Aktor dan Sistem untuk Ilmuwan Sosial. PT. Pradnya Paramita : Jakarta. Giddens Anthony, Bell Daniel, etc. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana. James, P. Spradley. 1997. Metode Etnografi. P.T. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta Jarry, David. and Julia Jary, 1991. Dictionary of Sociology. London: Harper-Collins Publishers. Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial (jilid 1). PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya: Edisi kedua. Perspektif Komtemporer. Penerbit Erlangga: Jakarta. Koblinsky, Marge. Timyan, Judith. Gay, Jill. 1997. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. Gadjah Mada Univercity press: Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Aksara baru : Jakarta. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (cetakan kesembilan belas). PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. 1990. Sejarah Teori Antropologi 1. Universitas Indonesia Pers. Jakarta. Latief, Aqsa. 2001. Hubungan Kerja dalam Proses Pembuatan Batubata di Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa (Suatu Tinjauan Antropologi Ekonomi). SKRIPSI. Tidak diterbitkan. Lembaga Alkitab Indonesia. 2000. Alkitab. Lembaga Alkitab Indonesia. Edisi ke-3. Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Remaja Rusda Karya : Bandung. Narwoko, Dwi J. Bagong Suyanto. 2006. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Pujileksono, Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi. Universitas Muhammadiyah: Malang. Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah Berubah. Program Studi kajian Wanita, PPS. UI : Jakarta. Ritzer, George-Goodman j. Dougles. 2008. Teori Sosiologi Modern. RawamanganJakarta : Kencana Prenada Media Grup, Edisi ke-6. Satori, Djam’an. Komariah, Aan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatf. Penerbit Alfabeta : Bandung. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Cetakan Kedua. Jakarta: LP3S. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Obor. Setyawati, Lugina. 2000. “Negara dan Prostitus”: Diskursus Ideologi, Perempuan dan Kebijakan di Indonesia. Program Studi kajian Wanita, PPS. UI : Jakarta. Short, Ray E. 2002. Seks, Pacaran dan Cinta. Yogyakarta : Yayasan Kalam Hidup. Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta. Tamawawi, Hans Johni. 1992. Kehidupan Sosial Ekonomi Wanita Tuna Susila di Tondo Kota Admistrasif Palu. SKRIPSI. Tidak diterbitkan. Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Center for Indonesian Research and Development [CIReD]. Sumber Internet dan Koran: ADIB’S Jati diri BLOG – BLOG Archive- Teori Jaringan Sosial (didownload 7 April 2012). Anonim. 2009. Jaringan Sosial dari Wikipedia Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas. (http://www.makassarkota.co.id) diakses 23 April 2011. Bahar, Ramlan. 2011. Pattodong. Skripsi antropologi FISIP UNHAS (diakses 7 April 2012). file:///f:/makalah dan Pengertian Hubungan Sosial smart click.htm. (didownload pada tanggal 20 November 2011). Hilman, Alda. Jaringan Sosial dalam Perspektif Antropologi. Artikel. (diakses 2 Mei 2012). http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2165744-definisi-peran-atauperanan/#ixzz1r51qhLP9 http://ariefhilmanarda. Wordpress. Com/2010/24 Konsep-Sosial-dalam-PerspektifAntropologi. Mitchell J. Clyde. “the concept and use of social Network” dalam social Network in Urban Situation. Analysis of Personal Relationship in Central Africa Town (ed Mitchell) hal 1-50. Manchester : University of Manchester Prfess. 1969. Racana, Yudha Setia. Representasi Graft Dalam Jaringan Sosial. (Artikel February 2007) Institute Teknologi Bandung. Bandung. Scott, J. (1972) Patron-client polities and political change in Southeast Asian American political Science Review, 66, hal. 91-113. (didownload pada tanggal 3 Juni 2011).