Ophthalmol Ina 2016;42(2):195-202 195 ORIGINAL ARTICLE Clinical Characteristic and Management of Central Serous Chorioretinopathy Rio Rhendy, Andi Arus Victor Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta ABSTRACT Background: Central serous chorioretinopathy (CSCR) is an abnormality in posterior segment of the eye, characterized by detachment of retinal neurosensory caused by localized accumulation of serous fluid. CSCR is commonly found in male (90%) with age ranging of 25 to 55 years old and often occurs in white, Asia, and Hispanic. Subretinal fluid will be absorb spontaneously within 3-4 months, thus observation and risk factors modification are the initial management for CSCR for couple of months. However, drugs use on CSCR can be considered to accelerate fluid resorption. Methods: This study is a descriptive-retrospective study, done in Vitreoretina Division of Ophthalmology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from December 2015 to January 2016. The subjects were all CSCR patients, using medical records for data selection. Results: There were 90 patients with CSCR, but only 20 eyes from 19 patients could be included to the study. Most of CSCR patients were male (84%), with age ranging from 25 to 55 years old, mean age of 40.31 years. Conclusion: Management of CSCR in Cipto Mangunkusumo Hospital gave significant improvement in UCVA and CMT. C entral serous chorioretinopathy (CSCR) adalah kelainan segmen posterior mata yang ditandai dengan lepasnya lapisan neurosensoris retina akibat akumulasi cairan serosa yang terlokalisir akibat gangguan fungsi pompa epitel pigmen retina (EPR).1,2,3 CSCR umumnya bilateral dengan gambaran yang asimetris pada kedua mata dan dapat dijumpai kondisi multifokal yang meluas sampai ke perifer.1,2 Penderita CSCR akan mengeluhkan penglihatan buram mendadak, mikropsia, metamorfopsia, skotoma parasentral, penurunan fungsi penglihatan warna, dan dapat disertai nyeri kepala atau migrain.1,4,5 Tajam penglihatan pada awalnya berkisar di antara 6/6 – 6/60 dan paling banyak sekitar 6/30. Tajam penglihatan penderita CSCR sering dapat dikoreksi dengan kacamata sferis positif.1 CSCR pada umumnya ditemukan pada laki-laki (90%) dengan rentang usia antara 25-55 tahun dan banyak terjadi pada orangorang kulit putih, Asia, dan Hispanik.1,3-7 Beberapa tipe kepribadian dan gangguan kejiwaan yang merupakan faktor risiko penyakit ini antara lain ialah kepribadian tipe A, hipokondria, histeria, conventional neurosis, dan stres; meskipun kelainan tersebut belum dapat dibuktikan dengan jelas, akan tetapi beberapa penelitian menghubungkannya akibat peningkatan stimulasi sistem saraf simpatis. 1,3,5,6,8,9 Beberapa keadaan juga diketahui sebagai faktor risiko CSCR, seperti penggunaan steroid, penyakit 196 Cushing syndrome, transplantasi organ, penyakit Lupus, hipertensi, sleep apnea, gastroesofageal reflux disease, penggunaan obat-obat psikotropika dan kehamilan.1,5,10,11 Pemahaman tentang patogenesis CSCR berkembang selama beberapa dekade terakhir ini. Pada tahun 1866, von Graefe mendeskripsikan CSCR sebagai penyakit pada makula (recurrent serous macular detachment) dan dinamakan recurrent central retinitis.3 Istilan central serous retinopathy baru digunakan sejak tahun 1955 oleh Bennet.12 Pada tahun 1967, setelah ditemukan pemeriksaan fluorescein angiography (1961), Gass menemukan adanya keterlibatan koroid pada CSCR, sehingga menamakannya dengan idiopathic central serous choroidopathy. Akan tetapi, karena penyakit ini melibatkan retina dan koroid, maka istilah yang sering digunakan saat ini ialah central serous chorioretinopathy.3 Patogenesis CSCR lebih dipahami sejak ditemukannya ICGA pada tahun 1993.13 Pada pemeriksaan didapatkan kelainan berupa adanya kelainan sirkulasi koroid sehingga mengakibatkan iskemia koroid, hiperpermeabilitas vaskular, lepasnya EPR, dan akhirnya terjadi ablasio retina sensorik. Kelainan sirkulasi koroid ini dihubungkan dengan kondisi hiperkortisolisme. Cairan subretina pada umumnya dapat mengalami resorpsi secara spontan dalam waktu sekitar 3-4 bulan, sehingga penatalaksanaan awal berupa observasi beberapa bulan dan modifikasi faktor risiko dapat dilakukan.2,10,11,14 Meskipun demikian, penggunaan obat-obatan pada CSCR dapat dipertimbangkan untuk mempercepat proses resorpsi cairan, terutama pada kasus pasienpasien dengan gangguan penglihatan pada mata sebelahnya, pasien-pasien yang membutuhkan perbaikan visus dalam waktu cepat, dan pasien-pasien yang mengalami rekurensi.10,14 Walaupun saat ini sudah terdapat berbagai cara pengobatan yang dapat digunakan untuk tata laksana CSCR, akan tetapi belum terdapat tata laksana standar yang dijadikan sebagai baku emas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa berbagai terapi yang telah Clinical characteristic and management of CSCR dilakukan berupa penggunaan obat-obatan beta blocker, asetazolamid, vitamin, dan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) belum memberikan hasil yang signifikan dibanding dengan pemberian plasebo. Di RSCM Kirana sendiri berbagai jenis terapi telah digunakan, dimuali dari hanya observasi dan modifikasi faktor risiko sampai terapi tunggal maupun kombinasi antara obat tetes dan/atau oral (golongan carbonic anhidrase inhibitor, OAINS, dan roboransia) serta laser fotokoagulasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi efektifitas terapi yang telah diberikan selama ini untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penatalaksanaan CSCR di masa mendatang. Prognosis visual CSCR pada umumnya baik, yaitu pada 80-90% kasus dalam waktu kurang dari 3 bulan dapat terjadi perbaikan visus, kecuali pada kasus-kasus kronik (lebih dari 3 bulan), CSCR rekuren, dan pada CSCR bulosa.1,4 Perbaikan visus umumnya masih disertai dengan gangguan yang menetap berupa metamorfopsia ringan, skotoma ringan, abnormalitas sensitivitas kontras, dan defisit penglihatan warna.1,4,10 Angka rekurensi CSCR sekitar 40-50% dalam 1 tahun.5,10 Keadaan rekurensi ataupun kronik dapat menyebabkan atropi atau hipertropi EPR disertai gangguan penglihatan yang irreversibel.5 MATERIAL DAN METODE Desain penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dan dilakukan di Divisi Vitreoretina, Poliklinik Mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kirana, Jakarta dengan rentang waktu dari Desember 2015 hingga Januari 2016. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien CSCR di Divisi Vitreoretina Poliklinik Mata RSCM Kirana dalam periode 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2014. Subyek penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan subyek dilakukan dengan cara penelusuran rekam medis. Ophthalmol Ina 2016;42(2):195-202 Kriteria inklusi meliputi seluruh penderita CSCR akut, kronik, atau rekuren yang telah dilakukan tata laksana oleh Divisi Vitreoretina Poliklinik Mata RSCM Kirana yang tercatat pada registrasi di poliklinik. Sedangkan kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1) rekam medis pasien tidak dapat ditelusuri lebih lanjut; 2) pasien yang mengikuti follow up kurang dari tiga bulan; 3) tidak tersedia data pemeriksaan ocular computed tomography (OCT) pada awal datang; 4) angka ketebalan makula pada area fovea pada awal datang masih dalam kriteria ketebalan normal (≤252 μm) dengan menggunakan Stratus® OCT15,16; dan 5) pasien-pasien yang memiliki kelainan pada kornea, retina, dan retrobulbar yang tidak terkait dengan kondisi CSCR. Data-data dari rekam medis yang berupa variabel-variabel yang akan diteliti Tabel 1. Karakteristik dasar subyek CSCR Tanpa Terapi Terapi Terapi/ KomTunggal Variabel Roboransia binasi (n=8) (n=1) (n=10) <25 Usia 25-55 1 8 10 >55 Laki-laki 1 8 7 Jenis Perempuan 3 kelamin Kawin 1 6 8 Status Belum kawin Tidak ada data 2 2 1 2 Pekerjaan Pegawai negri Pegawai swasta 3 3 Wiraswasta 1 Ibu rumah tangga 2 Pegawai honorer 3 Tidak ada data 1 3 Lateralitas Mata kanan 3 6 Mata kiri 1 5 3 Kedua mata 1 Durasi 0-12 minggu 1 8 6 Gejala >12 minggu 2 Tidak ada data 2 HiperTidak dapat 6 metropisasi dikoreksi (D) S+0,25 – S+1,00 3 1 S+1,25 – S+2,00 1 3 2 >S+2,00 1 Tidak ada data 1 Tidak dapat 1 1 dinilai Faktor Riwayat CSCR 1 Risiko Hipertensi 1 2 3 Stres 2 1 Rokok 4 Alergi 1 Tidak ada data 2 6 197 90 pasien CSCR 71 pasien (78,8%) dieksklusi: rekam medis tidak dapat ditelusuri (11 pasien); follow up <3 bulan (52 pasien); tidak tersedia data OCT awal (8 pasien) 19 pasien (20 mata) yang dapat dianalisis Gambar 1. Diagram alur subyek penelitian dimasukkan ke dalam tabel induk. Variabel tersebut adalah usia, jenis kelamin, lateralitas, pekerjaan, faktor risiko, diagnosa saat dirujuk ke RSCM, keluhan saat datang, tajam penglihatan (visus) saat pertama kali datang, hipermetropisasi dan saat kontrol pada bulan ketiga, OCT saat awal datang dan saat kontrol pada bulan ke-tiga, tata laksana yang diberikan, fundus angiography (FFA), riwayat CSCR sebelumnya. Selanjutnya datadata yang sudah ada di-masukkan ke dalam tabel induk dan dilakukan analisis data dengan menggunakan program SPSS 16.0. HASIL Selama periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2014, terdapat 90 pasien CSCR yang datang ke Divisi Vitreoretina RSCM Kirana, namun hanya 20 mata dari 19 pasien yang dapat diteliti lebih lanjut pada studi ini. Sebanyak 71 pasien dieksklusi karena rekam medis tidak ditemukan pada 11 pasien, 52 pasien dengan durasi follow up kurang dari tiga bulan, dan 8 pasien tidak memiliki data OCT awal. Sebagian besar penderita CSCR adalah laki-laki, yaitu sebanyak 84% dan seluruh pasien menderita CSCR pada usia 25-55 tahun dengan rerata 40,31 tahun. Pasien datang ke Poliklinik Mata RSCM Kirana rata-rata setelah 6 minggu munculnya gejala. 198 Tabel 2 dan Gambar 2 di bawah ini menggambarkan peningkatan TPTK (tajam penglihatan tanpa koreksi) pada bulan pertama dan ketiga. Secara umum, peningkatan TPTK terjadi pada semua jenis tata laksana, akan tetapi peningkatan TPTK terbesar terjadi pada kelompok terapi tunggal. Pada kelompok tanpa terapi didapatkan penurunan kembali TPTK saat bulan ketiga. Penurunan CMT (central macular thickness) terjadi pada semua jenis terapi dengan perubahan terbesar juga terjadi pada kelompok terapi tunggal. Tabel 2. Perubahan (Δ) TPTK dan CMT Tanpa Terapi Terapi Nilai P Terapi Tunggal Kombinasi ΔTPTK 1 bulan 0,30 0,29±0,26 0,16±0,20 0,43 3 bulan 0,13 0,35±0,32 0,19±0,23 0,41 ΔCMT 1 bulan N/A N/A N/A N/A 3 bulan 345 440±238 243±110 0,12 Gambar 2. Grafik progresivitas perubahan TPTK Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0 dan didapatkan data tersebar secara normal, maka uji kemaknaan dilakukan dengan menggunakan uji Anova. Nilai P yang diperoleh pada kedua kategori (ΔTPTK dan ΔCMT) menunjukkan nilai yang tidak bermakna secara statistik, namun demikian secara klinis didapatkan perbaikan TPTK dan penurunan CMT yang lebih besar pada kelompok terapi tunggal. Tabel 3 dan 4 di bawah menunjukkan angka keberhasilan TPTK dan CMT dari masing-masing kelompok terapi setelah 3 bulan pengobatan. Sebanyak 14 pasien (70%) masuk ke dalam kategori sukses berdasarkan TPTK akhir dan sebanyak 18 pasien (90%) Clinical characteristic and management of CSCR masuk ke dalam kategori sukses berdasarkan CMT akhir. Dua pasien di kelompok terapi kombinasi tidak didapatkan data CMT akhir pada follow up bulan ketiga. Tabel 3. Angka keberhasilan TPTK akhir Tanpa Terapi Terapi Terapi Tunggal Kombinasi 1 6 7 Sukses 1 Perbaikan 2 3 Gagal Tabel 4. Angka keberhasilan CMT akhir Tanpa Terapi Terapi Terapi Tunggal Kombinasi 1 8 9 Sukses Perbaikan Gagal DISKUSI Pada penelitian ini, rerata usia penderita CSCR secara umum adalah 40,31 tahun dengan rentang 25-55 tahun. Kondisi ini hampir sama dengan hasil penelitian Spahn9, yang mendapatkan rerata usia 44,1 tahun dengan rentang usia 31-55 tahun; Klein 17 yang mendapatkan rerata usia 41,7 tahun dengan rentang usia 29-51 tahun; dan Tsai18 dengan rentang usia 35-39 tahun. Namun, kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Pikkel19, yang mendapatkan rerata usia 31,1 tahun dengan rentang 23-43 tahun. Seluruh penderitas CSCR (100%) pada penelitian ini didapatkan hanya mengalami gangguan pada satu mata dengan frekuensi mata kiri dan mata kanan yang sama (45%). Namun, How dan Koh20 pada tahun 2006 melaporkan CSCR pada populasi Asia umumnya bersifat bilateral. Rerata durasi gejala yang timbul saat datang berobat ke RSCM Kirana pada penelitian ini adalah 6,00 minggu dengan rentang waktu yang sangat bervariasi, mulai dari 1 hari sampai 42 minggu. Hal ini sangat berbeda dengan penelitian Pikkel19 di New York, yaitu rerata penderita datang berobat setelah 0,57 minggu setelah gejala muncul. Tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK) awal penderita pada semua kelompok umumnya berada dalam kategori moderate visual impairment Ophthalmol Ina 2016;42(2):195-202 (50%). Selanjutnya penelitian Klein15 dan Pikkel19 mendapatkan bahwa 76% dan 95% penderita mempunyai TPTK awal dalam kategori normal. Tajam penglihatan pasien CSCR umumnya hanya mengalami moderate visual impairment dan dapat dikoreksi dengan lensa sferis positif yang kecil.3 Pada penelitian ini, 11 penderita (57,0%) mengalami hipermetropisasi. Sebagian besar (57,1%) hipermetropisasi yang terjadi adalah hipermetropisasi sedang (antara S+1,25 dan S+2,00 D). Kondisi ini sesuai dengan kondisi anatomi yang terjadi pada CSCR, yaitu terangkatnya retina sensorik akibat penimbunan cairan serosa di dalam ruang subretina. Central serous chorioretinopathy sering menyerang individu yang mempunyai status refraksi emetropia dan hipermetropia, dan jarang sekali mengenai individu miopia. Namun, bagaimana hubungan antara status refraksi tersebut dengan CSCR belum dapat dijelaskan. Melalui penelitian retrospektif Haimovici21 mendapatkan bahwa pemakaian steroid sistemik, kehamilan, penggunaan antibiotik, konsumsi alkohol, hipertensi tidak terkontrol, dan penyakit saluran napas karena alergi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya CSCR. Penelitian yang dilakukan Tittl22 juga mengemukakan bahwa hipertensi dan penggunaan obat kortikosteroid dan psikofarmaka (ansiolitik dan antidepresan) merupakan faktor risiko terjadinya CSCR. Sebuah tinjauan pustaka oleh Mateo-Montoya23 tahun 2014 melaporkan bahwa merokok, hipertensi, kehamilan, penyakit pernapasan akibat alergi, konsumsi antibiotik dan alkohol, obat sidenafil sitrat, obat kortikosteroid, obat simpatomimetik, antibodi antifosfolipid, retinitis pigmentosa, psoriasis, dan disfungsi mineralokortikoid endogen merupakan faktor risiko tinggi penyebab CSCR. Pada penelitian ini, 31% penderita memiliki riwayat hipertensi, 21% penderita merupakan perokok. Beberapa pasien memiliki lebih dari satu faktor risiko, namun data faktor risiko ini tidak representatif dalam menggambarkan faktor risiko tersebut karena pencatatan yang tidak seragam terkait 199 dengan penelitian ini bersifat retrospektif. Perokok dinilai memiliki kecenderungan untuk memiliki TPTK yang lebih buruk dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk merehabilitasi tajam penglihatan.5 Sebagian besar (86%) penderita CSCR pada penelitian ini adalah laki-laki. Bouzas3 dan Liew11 melaporkan bahwa jumlah penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Spahn9 (92%), Klein17 (100%), Pikkel19 (73%), dan Tittl22 (72-88%). Hal ini terjadi karena tingkat stres pada pria cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita, paparan terhadap angka kejahatan yang lebih tinggi, jam kerja yang lebih panjang, tanggung jawab yang lebih besar, dan jenis pekerjaan yang lebih berbahaya. Kondisi berbeda didapatkan oleh Todd24 pada penelitian retrospektifnya di Kanada selama 30 tahun. Todd mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna rasio pria:wanita. Ia menyimpulkan jika stres merupakan faktor penyebab CSCR dan jika wanita mengalami peningkatan stres akibat perubahan status sosialnya, maka wanita mempunyai perbedaan adaptasi terhadap stres atau ada mekanisme pembentukan CSCR yang lain. Aspek psikosomatik sering dihubungkan dengan penderita CSCR. Data riwayat pekerjaan, menunjukkan bahwa CSCR dapat terjadi pada berbagai jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan sebagai pegawai swasta (31%) menunjukkan angka terbesar untuk terjadinya CSCR pada penelitian ini. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan beban kerja yang lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Sebanyak 78% penderita berstatus menikah, Spahn9 mengadakan penelitian cross-sectional pada tahun 2003 di Freiburg dan mendapatkan 75% penderita CSCR berstatus menikah atau hidup dengan pasangannya, 50% bekerja sebagai pegawai kantor. Semakin tinggi angka tekanan hidup, maka psikosomatik seseorang akan bertambah bebannya. Pada penelitian ini, pekerjaan sebagai pegawai swasta dan status menikah memiliki angka prevalensi yang tinggi di- 200 bandingkan yang lain, hal ini dimungkinkan karena beban kerja atau pikiran yang lebih berat menyebabkan meningkatnya angka stres penderita. Hubungan stres dan kepribadian terhadap timbulnya CSCR telah diketahui sejak tahun 1927.25 Kondisi ini akan memicu pembentukan endogenous hypercortisolism.2,3 Interaksi secara langsung antara kortisol dengan reseptor adrenergik pada vaskular koroid yang menimbulkan spasme pembuluh darah koroid.25 Penatalaksanaan CSCR yang banyak dianut saat ini adalah observasi selama 3-4 bulan sambil menunggu resolusi spontan. Pengobatan terhadap CSCR berkembang seiring dengan perkembangan pemahaman patogenesis CSCR. Glukokortikoid awalnya dinilai sebagai obat yang dapat digunakan dalam terapi CSCR, akan tetapi banyak kasus yang dilaporkan sejak tahun 1966 tentang timbulnya CSCR pada pasien-pasien yang menggunakan terapi glukokortikoid. Patofisiologi yang pasti mengenai glukokortikoid sebagai faktor risiko timbulnya perubahan eksudatif pada CSCR masih tidak diketahui. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara glukokortikoid dengan CSCR.3,21,26 Carvalho-Recchia et al27 melaporkan bahwa kadar kortikosteroid di dalam tubuh berbanding lurus dengan angka kejadian CSCR. Jampol et al25 menyatakan kortikosteroid dapat menyebabkan pembuluh darah koroid atau EPR menjadi sensitif terhadap katekolamin endogen. Obat-obatan glukokortikoid dapat mempengaruhi sirkulasi koroid. Sirkulasi ini diatur oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Obat-obatan glukokortikoid bersifat agonis dengan saraf simpatis dan antagonis dengan saraf parasimpatis sehingga menyebabkan penekanan produksi vasodilator (prostasiklin dan nitric oxide), meningkatkan agregasi trombosit dan meningkatkan pembentukan mikrotrombus dan kekentalan darah. Kondisi ini mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam lumen vaskular sehingga menyebabkan ekstravasasi cairan dari pembuluh darah koroid.26,28 Terjadinya penimbunan cairan ini menyebabkan peningkatan beban kerja dari sel EPR sehingga tidak mampu memompa Clinical characteristic and management of CSCR dengan baik. Gangguan pompa ini mengakibatkan akumulasi cairan di subretina.29 Beberapa penelitian dan laporan telah menunjukkan banyak jalur pemberian glukokortikoid (kortikosteroid eksogen) yang dapat meningkatkan terjadinya pembentukan CSCR, di antaranya ialah pemberian melalui oral, intravena, epidural, intraartikular, dan intranasal. Hal ini perlu diperhatikan oleh oftalmologis, terutama bila penderita mempunyai riwayat CSCR sebelumnya.11,20,30-32 Terapi lain yang digunakan untuk CSCR ialah asetazolamid. Penghambat carbonic anhydrase (CAI) dinilai mampu menghambat enzim carbonic anhydrase di dalam EPR, sehingga membantu absorbsi cairan subretina.7 penelitian pada hewan percobaan menunjukkan pemberian CAI dapat menimbulkan asidifikasi ruang subretinal yang selanjutnya memulihkan polarinasi normal EPR dan penyerapan cairan subretina. Penelitian prospektif tanpa randomisasi oleh Pikkel19 pada tahun 2002 didapatkan bahwa asetazolamid dapat memperpendek waktu resolusi klinis. Asetazolamid juga dapat mengurangi edema makula akibat inflamasi, dengan menghambat kerja γ-glutamyl transpeptidase pada jaringan okular. Obat anti-inflamasi non-steroid biasa digunakan sebagai terapi CSCR di RSCM, meskipun manfaatnya pada CSCR perlu penelitian lebih lanjut Fotokoagulasi laser untuk tata laksana CSCR telah digunakan secara luas, akan tetapi hasil dari beberapa penelitian masih diperdebatkan dan belum mendapatkan kesimpulan sehingga hanya direkomendasikan pada kasus-kasus tertentu saja, di antaranya adalah jika ada riwayat rekurensi, adanya kerusakan tajam penglihatan permanen pada mata sebelah yang mengalami CSCR sebelumnya, masih didapatkan ablasio eksudatif setelah 3-4 bulan, dan munculnya tanda-tanda kronik seperti perubahan kistik pada retina sensorik atau abnormalitas EPR yang luas. Fotokoagulasi laser hanya dapat memperpendek waktu resolusi klinis, tetapi tidak berpengaruh terhadap tajam penglihatan akhir atau angka rekurensi.1,5,18,33,34 Sebanyak empat pasien dilakukan fotokoagulasi laser Ophthalmol Ina 2016;42(2):195-202 pada penelitian ini, akan tetapi hanya dua pasien yang memenuhi indikasi dari yang direkomendasikan, yaitu masih didapatkan ablasio eksudatif setelah lebih dari 3 bulan keluhan. Sebuah penelitian retrospektif pada 15 pasien tahun 2004 oleh Surm et al35 menunjukkan bahwa penggunaan laser fotokoagulasi pada awal CSCR (2 hari – 8 minggu) memberikan hasil yang efektif dalam menurunkan CMT dan memperbaiki tajam penglihatan. Untuk menilai efektivitas terapi pada CSCR, banyak penelitian menggunakan 3 parameter klinis, yaitu: 1) tajam penglihatan akhir; 2) CMT akhir; dan 3) rekurensi. Penelitian ini hanya dapat menilai dua parameter, yaitu tajam penglihatan dan CMT karena keterbatasan data. Parameter pertama adalah perubahan TPTK, yaitu membandingkan TPTK bulan pertama dan ketiga pasca terapi dengan TPTK awal (dapat berupa perbaikan, menetap, atau perburukan). Parameter kedua adalah perubahan penurunan CMT pada bulan pertama dan ketiga pasca terapi. Perbandingan ini dinilai juga berdasarkan jenis terapi yang didapatkan pasien. Secara umum, pada semua kelompok terapi didapatkan peningkatan TPTK pada bulan pertama dan ketiga. Peningkatan TPTK pada terapi tunggal lebih besar dibanding terapi kombinasi. Kondisi ini mungkin terjadi karena terdapat satu pasien yang mengalami perburukan TPTK walaupun mengalami penurunan CMT, akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan data durasi gejalanya. Dua pasien pada kelompok terapi kombinasi termasuk dalam kategori CSCR persisten, akan tetapi TPTK tetap mengalami perbaikan. Selama 3 tahun terakhir, beberapa jenis terapi medikamentosa diberikan untuk penderita CSCR di RSCM. Berdasarkan perubahan TPTK dana perubahan CMT pada bulan pertama dan ketiga terapi dapat dilihat bahwa di antara tiga kelompok, kelompok terapi tunggal mengalami perubahan TPTK dan CMT terbesar. Walaupun secara perhitungan statistik kondisi ini tidak bermakna, akan tetapi jika dilihat secara klinis maka dinilai cukup bermakna. Penggunaan terapi 201 tunggal tidak dapat dinilai sebagai jenis terapi yang terbaik karena jumlah data yang diperoleh sangat terbatas. KESIMPULAN Penatalaksaan CSCR di RSCM Kirana memberikan hasil perbaikan TPTK dan CMT yang bermakna secara klinis. Secara statistik, efektivitas terapi pada masing-masing kelompok terhadap perbaikan TPTK dan CMT menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna secara statistik. Penderita CSCR di RSCM Kirana umumnya adalah laki-laki yang memiliki rentang usia 25-55 tahun. Faktor risiko tersering adalah hipertensi, stres, dan merokok. Data klinis penderita CSCR di RSCM Kirana perlu disempurnakan dengan pembuatan checklist CSCR, serta dibutuhkan penelitian prospektif untuk menilai efektivitas berbagai terapi yang tersedia di RSCM Kirana. Referensi 1. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 12. In: Retina and Vitreous. San Fransisco, California; 2014-2015.p.171-6 2. Daruich A, Matet A, Dirani A, Bousquet E, Zhao M, Farman N, et al. Central serous chorioretinopathy: recent findings and new physiopathology hypothesis. Progress in Retinal and Eye Research 2015;48:82-118 3. Bouzas EA, Karadimas P, Pournaras CJ. Central serous chorioretinopathy and glucocorticoids. Surv Ophthalmol 2002;47:431-48 4. Crick RP, Khaw PT. Retina. In: Pitts Crick (ed). A Text Book of Clinical Ophthalmology. 3rd ed. England: World Scientific; 2003.p.528-9 5. Abouammoh MA. Advances in the treatment of central serous chorioretinopathy. Saudi Journal of Ophthalmology 2015;29:278-86 6. Prakash G, Shephali J, Tirupati N, Ji PD. Recurrent central serous chorioretinopathy with dexamethasone eye drop used nasally for rhinitis. Middle East Afr J Ophthalmol 2013;20(4):363-5 7. Montero JA, Moreno JMR. Optical coherence tomography characterisation of idiopathic central serous chorioretinopathy. Br J Ophthalmol 2005;89: 562-4 8. Steeples L, Sharma V, Mercieca K. Traumatic central serous chorioretinopathy. Indian J Ophthalmol 2015; 20(4):363-5 9. Spahn C, Wiek J, Burger T, Hansen L. Psychosomatic aspects in patients with central serous chorioretinopathy. Br J Ophthalmol 2003;87:704-8 10. Nicholson B, Noble J, Forooghian F, Meyerle C. Central serous chorioretinopathy: update on pathophysiology and treatment. Survey of Ophthalmology 2013;58(2): 103-25 202 11. Liew G, Quin G, Gillies M, Fraser-Bell S. Central serous chorioretinopathy: a review of epidemiology and pathophysiology. Clin Experiment Ophthalmol 2013;41:201-14 12. Bennet G. Central serous retinopathy. Br J Ophthalmol 1955;39:605-18 13. Scheider A, Nasemann JE, Lund OE. Fluorescein and indocyanine green angiographies of central serous choroidopathy by scanning laser ophthalmoscopy. Am J Ophthalmol 1993;115:50-6 14. Chen SN. Treatment of central serous chorioretinopathy: might medical treatment play a role? Taiwan Journal of Ophthalmology 2013;3:1-2 15. Chan A, Duker JS, Ko TH, Fujimoto JG, Schuman J. Normal macular thickness measurements in healthy eyes using stratus optical coherence tomography. Arch Ophthalmol 2006;124(2):193-8 16. Duan XR, Liang YB, Friedman DS, Sun LP, Wong TY, Tao QS et al. Normal macular thickness measurements using optical optical coherence tomography in healthy eyes of adult chinese persons: the Handan eye study. Ophthalmology 2010;117:1585-94 17. Klein ML, Van Buskirk EM, Friedman E, Gragoudas E, Chandra S. Experience with nontreatment of central serous choroidopathy. Arch Ophthalmol 1974;91:24750 18. Spaide RF. Central serous chorioretinopathy. In: Regillo CD, Brown GC, Flyn HW, eds. Vitreoretinal Disease: The Essentials. New York: Thieme Medical Publisers, Inc.; 1999.p.255-65 19. Pikkel J, Beiran I, Ophir A, Miller B. Acetazolamide for central serous retinopathy. Ophthalmol 2002;109(9): 1723-5 20. How AC, Koh AH. Angiographic characteristics of acute central serous chorioretinopathy in an Asian population. Ann Acad Med Singap 2006;35:77-9 21. Haimovici R, Koh S, Gagnon DR, Lehrfeld T, Wellik S. Risk factors for central serous chorioretinopathy: a case-control study. Ophthalmology 2004;111:244-9 22. Tittl MK, Spaide RF, Wong D. Systemic findings associated with central serous chorioretinopathy. Am J Ophthalmol 1999;128:63-8 23. Mateo-Montoya A, Mauget-Fayse M. Helicobacter pylori as a risk factor for central serous chorioretinopathy: literature review. World J Gastrointest Pathophysiol 2014;5(3):355-8 Clinical characteristic and management of CSCR 24. Todd KC, Hainsworth DP, Lee LR, Madsen RW. Longitudinal analysis of central serous chorioretinopathy and sex. Can J Ophthalmol 2002;37: 405-8 25. Jampol LM, Weinreb R, Yannuzzi LA. Involvement of corticosteroids and catecholamines in the patogenesis of central serous chorioretinopathy: a rational for new treatment strategies. Ophthalmology 2002;109:1765-6 26. Yang S, Zhang L. Glucocorticoids and vascular reactivity. Curr Vasc Pharmacol 2004;2:1-12 27. Carvalho-Recchia C, Yannuzzi L, Negrao S, Spaide RF, Freund KB, Rodriguez-Coleman H et al. Corticosteroids and central serous chorioretinopathy. Ophthalmol 2002; 109:1834-7 28. Caccavale A, Romanazzi F, Imprato M, Negri A, Morano A, Ferentini F. Central serous chorioretinopathy: a pathogenetic model. Clin Ophthalmol 2011;5:239-43 29. Gemenetzi M, Salvo GD, Lotery AJ. Central serous chorioretinopathy: an update on pathogenesis and treatment. Eye 2010;24:1743-56 30. Kishi S, Yoshida O, Matsuoka R, Kojima Y. Serous retinal detachment in patients under systemic corticosteroid treatment. Jpn J Ophthalmol 2001;45:640-7 31. Haimovichi R, Gradoudas ES, Duker JS. Central serous chorioretinopathy associated with inhaled or intranasal corticosteroids. Ophthalmol 1997;104:165360 32. Koyama M, Mizota A, Igarashi Y, Adachi-Usami E. Seventeen cases of central serous chorioretinopathy associated with systemic corticosteroid therapy. Ophthalmologica 2004;218:10710 33. Wei ZY, Hu SX, Tang N, Wu J, Zang QH, Feng JY. Clinical study argon laser photocoagulation for central serous chorioretinopathy. Da Yi Jun Yi Da Xue Xue Bao 2003;23:1329-31 34. Burumcek E, Mudun A, Karacorlu S, Arslan MO. Laser photocoagulation for central serous chorioretinopathy: results of long-term follow-up. Ophthalmol 1997;104: 616-22 35. Sturm V, Schwartz R, Richard G. Early laser photocoagulation in central serous chorioretinopahy. Invest Ophth Vis Sci 2004;45(13):532 36. Dandona L, Dandona R. Revision of visual impairment definitions in the International Statistical Classification of Diseases. BMC Med 2006l4:7