KONSEP BUDAYA DALAM ANTROPOLOGI Tim Dosen MK. Antropologi Sosial Konsep Budaya Dalam antropologi masa kini terdapat dua aliran besar dalam mendefinisikan budaya: 1. 2. Aliran behavioral : melihat budaya sebagai a total way of life. Tujuh unsur universal. Aliran ideational: melihat budaya sebagai sesuatu yang abstrak yang bersifat gagasan atau pemikiran, yang berfungsi membentuk pola perilaku yang khas suatu kelompok masyarakat. Dapat berbentuk: sistem pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind dsb. Aliran Behavioral Pada masa kini konsep ini masih digunakan oleh para antropolog yang menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Pemilahan konsep ini ke dalam tujuh unsur universal tidak banyak lagi dibicarakan orang sebagai sesuatu yang sangat berguna sebagai pisau analisis. Merupakan metode pemilahan pada masa awal perkembangan antropologi. Pemilahan ini hanya berguna dalam rangka kerja etnografi (kerja mengumpulkan data tentang sistem sosial-budaya dari suatu suku bangsa selengkap-lengkapnya. Budaya Menurut Antropologi Terdapat ratusan definisi tentang kebudayaan, tetapi umumnya para antropolog generasi baru sepakat untuk memahami kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada. Lanjutan Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisible power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dsb. Kebudayaan bukan hanya terbatas pada kegiatan kesenian, peninggalan sejarah atau upacaraupacara tradisional seperti yang dipahami oleh banyak kalangan selama ini. Lanjutan Sebagai pedoman bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, maka pada dasarnya kebudayaan mempunyai kekuatan untuk ”memaksa” manusia pendukung kebudayaan itu untuk mematuhi segala pola aturan yang telah digariskan kebudayaan. Kebudayaan VS Bukan Kebudayaan Manusia sebenarnya memiliki pelbagai sistem pengetahuan dan gagasan, namun demikian perlu dibedakan dengan tegas bahwa sistem pengetahuan dan gagasan yang tidak mampu menjadi pengarah dan pedoman bagi sikap dan tingkah laku manusia, tidak dapat disebut sebagai kebudayaan. Hal ini hanya dapat dikategorikan sebagai ”pengetahuan” saja. Lanjutan Mereka yang memiliki pengetahuan dan gagasan tentang disiplin dan keadaan sosial misalnya, tetapi tidak menjadikan pengetahuan dan gagasan itu sebagai landasan dari sikap dan perilaku mereka, maka pengetahuan dan gagasan tsb tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Itu hanya terbatas pada ”pengetahuan” dalam arti khusus saja. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah sesuatu pengetahuan atau gagasan sudah menjadi kebudayaan suatu masyarakat, dapat dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat itu sendiri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dua Tinjauan Berbeda Goodenough (1961), ada perbedaan penting antara pola untuk perilaku dengan pola dari perilaku: Pertama, budaya digunakan untuk mengacu pada ”pola kehidupan suatu masyarakat – kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur” yang merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Dalam pengertian ini, istilah budaya telah mengacu pada kedalaman fenomena benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang bisa diamati ”di sana” di dunia. Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih diantara alternatif yang ada. Pengertian budaya yang demikian ini mengacu pada dunia gagasan. Alat Ukur Budaya?? Budaya tidak terdiri dari bendabenda dan peristiwa-peristiwa yang dapat kita amati, dihitung dan diukur. Budaya terdiri dari gagasan-gagasan dan maknamakna yang dimiliki bersama. Lanjutan Clifford Geertz, meminjam dari pakar filsafat Gilbert Ryle, memberikan contoh yang menarik: kejapan mata (tidak disengaja) dengan kedipan mata yang disengaja. Sebagai peristiwa lahiriah, keduanya mungkin serupa – pengukuran keduanya tidak akan menemukan perbedaan. Yang satu adalah tanda, kode yang mengandung makna yang sama bagi orang Amerika (tetapi yang mungkin tdak akan bisa dimengerti oleh orang Eskimo atau Aborigin Australia. Lanjutan Hanya dalam kesemestaan makna yang dimiliki bersama bunyi-bunyi dan peristiwa-peristiwa fisik bisa dipahami dan meneruskan informasi. Kita dapat mengukur sepuas hati tanpa bisa menangkap makna kejapan mata dan membedakannya dari kedipan. Manusia Dan Kebudayaan Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya. Budaya Yang Berubah Selain kebudayaan harus melalui proses belajar mengajar yang terus menerus tanpa henti-hentinya, dalam membicarakan kebudayaan, kita juga tidak dapat lepas dari sifat utama lainnya dari kebudayaan, yaitu sifat kebudayaan yang selalu berubah. Proses Internalisasi Kebudayan Pada dasarnya ada dua cara proses belajar yang dilalui manusia dalam rangka internalisasi kebudayaan. 1) Melalui pewarisan (transmission). Pewarisan nilai itu dilakukan dengan mengajarkan pelbagai gagasan untuk dijadikan pedoman dalam praktik kehidupan. 2) Manusia juga mengalami pelbagai proses interaksi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. Dari interaksi dengan lingkungannya itu manusia juga berupaya untuk menginternalisasikan bermacam-macam makna yang ditangkapnya. Pewarisan Kebudayaan Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk proses internalisasi dari sistem ”pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikian formal lainnya, tetapi juga diperoleh melalui proses balajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya. Lanjutan Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Lanjutan Dalam proses kebudayaan, sistem pewarisan dan interaksi manusia dengan lingkungan itu selalu saling berhadapan. Keduanya bertemu dalam proses dialektika secara terus menerus. Proses seperti itu tidak pernah berhenti dan berlangsung terus dlm kehidupan masyarakat. Gagasan-gagasan baru yang muncul sebagai hasil dialektika itulah yang kemudian menjadi milik masyarakat, dan hal inilah yang kemudian menjadi pengarah dan pedoman bagi sikap dan perilaku warga masyarakat pendukung kebudayaan itu. Oleh karena itu, berubah adalah sifat utama dari kebudayaan. Karakteristik Kebudayaan 1. Kebudayaan adalah milik bersama: Tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat 2. Kebudayaan adalah hasil belajar (bukan sebagai warisan biologis): kebudayaan sebagai “warisan sosial” (Ralph Linton) → melalui proses enkulturasi. 3. Kebudayaan didasarkan pada lambang.: kebudayaan diteruskan melalui komunikasi gagasan, emosi, dan keinginan yang diekspresikan dalam bahasa. 4. Kebudayaan adalah terpadu (integrasi kebudayaan): semua aspek kebudayaan berfungsi sebagai kesatuan yang integral. Orientasi Nilai Budaya Konsep “orientasi nilai budaya” (value orientation) digunakankan oleh Florence Kluckhohn dan Fred Strodbeck dalam buku mereka “Variations in Value Orientation (1961). Di Indonesia konsep ini dikembangkan oleh Koentjaraningrat pada akhir dasawarsa 1960-an. Berasal dari konsep “value” yang dikembangkan oleh Clyde Kluckhohn, suami dari Florence Kluckhohn, di Universitas Harvard USA. Konsep Value (nilai) Konsep “value” dijelaskan sbb: “Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau inplisit, yang khas milik seseorang individu atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diingin-kan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan” Di sini perlu diingat bahwa “hal yang seharusnya diinginkan” (the desirable)adalah berbeda dari “hal yang diinginkan” (the desired). Lanjutan Nilai merupakan kriteria dalam menentukan tentang apa yang seharusnya diinginkan seseorang sebagai anggota suatu masyarakat, bukan tentang apa yang diinginkannya. Contohnya, ada banyak keluarga dalam masyarakat Batak yang ingin memiliki anak laki-laki. Ini bukan nilai, bukan the desirable . Ini hanya suatu keinginan, tapi kalau masyarakat Batak mengatakan bahwa setiap keluarga seharusnya ingin punya anak lakilaki, maka ini barulah nilai. Ini adalah the desirable.. Lanjutan Sebagai konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu yang dibangun dan berada di dalam pikiran atau budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung dengan pancaindra. Nilai yang dianut seseorang atau suatu masyarakat, biasanya berbentuk samar-samar, Nilai tsb tidak diungkapkan dalam bentuk verbal secara komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih implisit dari pada eksplisit. Dia berbentuk ide, atau pemikiran yang abstrak dan sangat umum (intangible). Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan, dan materi yang dibuat manusia. Ucapan, perbuatan, dan materi adalah manifestasi dari nilai. Lanjutan Namun demikiann, setelah melakukan penilaian yang mendalam, satu nilai dari suatu masyarakat dapat dirumuskan dalam bentuk kata-kata oleh sang peneliti. Kemudian makna yang diperoleh sang peneliti ini diajukan kepada anggota masyarakat tersebut untuk diuji kebenarannya. Apakah kesimpulan peneliti tentang nilai yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata tersebut benar atau tidak. Sang pemiliknya (anggota masyarakat) dapat memberikan persetujuan atau penolakan. Metode ini disebut verbalizability (suatu cara untuk menguji kebenaran dari kesimpulan tentang suatu nilai yang diperoleh seorang peneliti dari suatu masyarakat) Lanjutan Untuk memperoleh nilai yang terkandung dalam suatu ucapan atau suatu perbuatan, seseorang harus melakukan penafsiran (interpretasi) dan penarikan kesimpulan (inferensi). Misalnya, ucapan “orang harus menghormati orang tua” bukanlah sebuah nilai, tapi manifestasi dari suatu nilai yang diungkapkan dalam kata-kata. Lanjutan Contoh lain: Perbuatan “membungkuk ketika berjalan di depan orang tua” bukanlah sebuah nilai,tapi manifestasi dari suatu nilai yang diungkapkan dalam bentuk perilaku. “ Sebuah keris yang indah dan bertuah” bukanlah nilai kultural, tapi manifestasi dari suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk materi. Tugas dari seorang peneliti antropologi adalah mengorek atau mencari nilai-nilai yang dihargai oleh suatu masyarakat melalui ucapan, perilaku, dan hasil kelakuan anggota masyarakat tersebut. Peneliti VS Nilai Jadi untuk menangkap nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, seorang peneliti tidak cukup hanya mengamati dan mencatat ucapan, perbuatan, atau materi yang dihasilkan oleh anggota masyarakat tersebut, tapi dia harus pandai pengorek dan menemukan konsepsi yang tersembunyi di bawah permukaan ucapan, perbuatan, dan materi tersebut. Lanjutan Robert Bellah, dalam bukunya Tokugawa Religion (1957/1970), mengupamakan ucapan, perbuatan dan materi tersebut sebagai “the husk” (kulit luar), atau sesuatu yang nyata, yang terlihat (tangible), dan yang ada di permukaan. Sedangkan nilai yang tersembunyi di bawah kulit tersebut disebutnya sebagai “the kernel” (inti). Nilai ini tidak terlihat dan tidak teraba (intangible). Lanjutan Metode penafsiran dan penyimpulan dalam kajian tentang nilai disebut sebagai metode verstehen,lawannya adalah metode erklaren. Dengan demikian, kajian tentang nilai memerlukan tenaga peneliti yang benarbenar mempunyai kemampuan, baik dalam penguasaan konsep maupun dalam keterampilan metodologis. Pengunaan konsep nilai yg salah Banyak para akhli limu sosial sering menggunakan konsep nilai secara kasar atau kurang tajam, bahkan membingungkan: Linton dalam bukunya “Study of Man” (1936) menyamakan konsep nilai dengan sikap atau sikap mental. Sebagian sarjana lain menyamakan konsep nilai tersebut dengan kode moral, kepercayaan yang dipegang teguh, aspirasi kebudayaan, bahkan sampai kepada sangsi. Lanjutan Satu kecenderungan umum yang lain adalah menyamakan konsep nilai dengan konsep budaya (culture). Ini jelas tidak betul. Budaya adalah sesuatu yang lebih luas dari pada nilai. Jika kita menerima pandangan bahwa budaya adalah suatu sistem ideasional, maka nilai, bersama dengan konsep-konsep sejenis seperti ethos, kepercayaanm worldview adalah unsur dari budaya. Lanjutan Yang membedakan nilai (value) dari kepercayaan (belief) : Nilai mengacu kepada kategori “good” dan “bad”, dan “right” dan “wrong”; sedangkan kepercayaan mengacu kepada kategori “true” dan “false”, dan “correct” dan “incorrect”. Kepercayaan dalam pengertian populer sering juga diartikan sebaga the desirable yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan. Jadi bagaimanapun, dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan mempunyai suatu titik persamaan. Dua-duanya mengandung pemikiran tentang standar dan alat pengukuran. Konsep “Orientasi Nilai” (Value Orientation) Value Orientation sebagai sebuah konsep, di satu pihak tampak lebih khusus dari pada konsep “value” (nilai), karena ditujukan kepada hal-hal yang sudah tertentu. Namun di pihak lain konsep ini tampak lebih luas, karena di samping menyangkut hal-hal yang seharusnya diinginkan juga menyangkut hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan. Lanjutan Dikatakan oleh C. Kluckhohn bahwa orientasi nilai adalah suatu konsepsi yang umum dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusua dengan manusia, dan tentang the desirable dan non disarable.Di sini konsepsi tersebut ditempatkan dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungannya dan hubungan manusia antar manusia. Orientasi nilai, sebagai sebuah konsepsi mempengaruhi perilaku mjanusia dalam berhubungan dengan alam dan dengan manusia yang lain. Definisi “Orientasi Nilai” Secara formal orientasi nilai dapat didefinisikan sebagai: “.......... satu konsepsi yang umum dan bersistem (mempengaruhi perilaku) tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dengan manusia, dan tentang yang seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya diinginkan, sebagaimana mereka itu dapat dikaitkan dengan hubungan manusia-lingkungan dan antar manusia” Selanjutnya di Indonesia Koentjaraningrat mengembangkan konsep ini dengan nama “orientasi nilai budaya”. KERANGKA ORIENTASI NILAI BUDAYA MASALAH HIDUP ORIENTASI NILAI BUDAYA Hakikat dan sifat hidup Hidup adalah buruk Hidup adalah baik Hidup adalah buruk tapi hrs diperbaiki Hakikat kerja Kerja adalah untuk hidup Kerja adalah untuk mencari kedudukan Kerja adalah untuk menambah mutu karya Hakikat kedudukan manusia dlm ruang waktu Masa lalu Masa kini Masa depan Tunduk kpd alam Mencari keselaras an hidup dengan alam Menguasai alam Hakikat hubungan manusia dgn alam Hakikat hubungan manusia dgn manusia Memandang kpd tokoh-tokoh atasan Mementingkan ra- Mementingkan rasa ketergantungsa tdk tergantung an pd sesama pada sesama Lanjutan Kerangka di atas dibuat berdasar pada asumsi yang dipakai dalam penelitian komparatif tentang orientasi nilai yang dilakukan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck: 1. Semua masyarakat dalam semua kurun waktu menghadapi sejumlah masalah tertentu yang harus mereka selesaikan. Ada lima masalah pokok yang secara universal dihadapi manusia yaitu: Persoalan mengenai sifat dasar manusia Persoalan manusia dengan alam Persoalan titik masa yang menjadi perhatian kehidupan manusia Persoalan mengenai kegiatan manusia. Persoalan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Lanjutan 1. Meskipun terdapat berbagai macam variasi jalan penyelesaian terhadap setiap masalah di atas, namun jalan penyelesaian yang sangat mungkin tidaklah bersifat random maupun terbatas, tapi mempunyai variasi yang jelas. 1. Semua alternatif dalam penyelesaian masalah terdapat dalam semua masyarakat dalam semua waktu. Yang berbeda hanya preferensinya. Setiap masyarakat mempunyai sejumlah variasi pilihan atau pilihan pengganti, di samping pilihan dominan atas orientasi-nilai. Kebudayaan Ind Masa Kini Masyarakat Indonesia sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industrial modern yang materialistik. Warna kehidupan masyarakat industrial sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap sama sekali. Dalam terminologi Durkheim keadaan bangsa Indonesia ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang penuh solidaritas organik. Lanjutan Dalam masyarakat seperti itu kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya (pada tingkat individual) yang disebut oleh Durkheim (1951) dengan istilah anomie. Pada tingkat sosial Victor Turner (1976) menyebutnya sebagai fenomena liminality. Lanjutan Masyarakat yang mengalami fenomena anomie seperti itu akan ” ”tidak berada di sini dan tidak pula berada di sana” , tidak dalam budaya tradisional yang sudah mulai ditinggalkannya, dan tidak pula dalam budaya modern yang sedang dicicipinya. Untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada kehidupan tradisional tidak mungkin lagi karena dianggap tidak cocok dan ketinggalan zaman, tetapi untuk meninggalkannya secara keseluruhan jugfa tidak mungkin, karena model kehidupan unia baru pun belum jelas dalam sistem gagasan mereka. Akibat perilaku masyarakat menjadi sangat ambigu atau mendua. Lanjutan Konsep pewarisan nilai luhur yang selama menjadi slogan politik kebudayaan kita harus dikaji ulang. Pewarisan nilai budaya harus dipahami sebagai suatu proses yang rumit dan tidak sederhana, karena menyangkut semua dimensi dinamika kehidupan masyarakat. Terdapat kendalakendala yang membutuhkan kecermatan yang mendalam dalam proses pewarisan nilai budaya itu. Lanjutan Kendala pertama menyangkut penentuan nilai-nilai yang perlu diwariskan, yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia di masa depan. Bangsa Indonesia yang mempunyai ratusan kelompok etnik dengan beragam kebudayaannya mempunyai sistem nilai budayanya sendiri-sendiri. Bukan hal yang mudah untuk menentukan nilai mana yang akan diwariskan. Lanjutan Kendala kedua adalah menyangklut ”agen” yang bertugas untuk mewariskan nilai-nilai luhur itu. Apakah ”agen” yang akan mewariskan nilai itu sendiri memahami benar keunggulan nilai budaya, dan meyakininya sebagai ”suatu” yang patut untuk diwariskan. Hal itu hanya dapat dibuktikan dari sikap dan perilaku para ”agen” itu sendiri. Pewarisan akan lebih mudah dilakukan jika diiringi dengan praktik kehidupan. Di sinilah pentingnya pelaksanaan hukum (law enforcement order) dalam praktik kehidupan masyarakat. Lanjutan Kendala ketiga, proses globalisasi yang telah kita rasakan denyutnya dalam arah kehidupan bangsa itu, selain telah membentuk corak budaya masyarakat yang mengarah pada gagasan yang relatif sama (borderless), tetapi juga telah menumbuhkan gelombang perlawanan pada sebagian masyarakat (Feathrstonhe, 1995 dalam Sairin 2002). Munculnya kelompok-kelompok sosial baru dengan sistem nilainya sendiri, menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Hal ini menyebabkan nilai budaya yang ingin diwariskan akan mendapatkan respon yang beragam pula, dan bahkan kemungkinan akan berbeda antara satu kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya, dan mungkin saja hal ini dapat mengganggu keutuhan bangsa. Lanjutan Dalam keadaan seperti itu masyarakat cnderung untuk memungut simbol-simbol budaya dunia baru yang diambil secara sepotong-sepotong, sementara memilih sebagian simbol-simbol tradisional untuk tetap dipertahankan. Masyarakat cenderung mengadopsi kedua sistem budaya itu secara bersamaan, walaupun yang diambil umumnya hanya unsur-unsur yang dipandang bermanfaat guna kepentingan tertentu saja. Budaya Dan Globalisasi Akibat Globalisasi: Mentalitas nerabas: menghindari kerja keras, tidak disiplin, tidak bertanggungjawab. Dengan mentalitas nerabas itu secara perlahan membawa masyarakat kepada menipisnya bahkan hilangnya rasa malu (shameless). Perilaku konsumtif dan luarnegri minded. Krisis nilai dan orientasi nilai, identitas: reidentifikasi dan revitalisasi unsur budaya etnik muncul di berbagai belahan dunia: Bosnia.