Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di

advertisement
Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan
di Indonesia (Sebuah Esai dalam Rangka
Mengenang Almarhum Prof. Koentjaraningrat)1
Amri Marzali
(Universitas Indonesia)
Abstrak
This article is dedicated to the late Prof. Koentjaraningrat. It attempts to trace the history
and the source of a concept and method used by Koentjaraningrat in a research and many of
his speeches in the period of 1960-70s. The concept is called ‘orientasi nilai-budaya’. The
author finds that the concept was borrowed from the concept ‘value orientation’ used by
Florence Kluckhohn and Fred Strodbeck, which was printed in their book, Variations in
Value Orientation (1961). The concept ‘value orientation’, was originally stems from the
concept ‘value’, which was once developed by Clyde Kluckhohn, the husband of Florence
Kluckhohn, at Harvard University USA. This explanation, according to the author, is important for the student of anthropology in Indonesia. In the final of the article, the author attempts
to apply the concept to the socio-cultural changes in contemporary Indonesia, particularly
among the members of Islamic community.
Key words: value orientation; value; socio-cultural changes.
Pengantar
Konsep ‘nilai-budaya’ atau ‘orientasi nilai
budaya’ telah menjadi beken di kalangan ahli
ilmu-ilmu sosial di Indonesia semenjak
diperkenalkan oleh Prof. Koentjaraningrat, pada
akhir dasawarsa 1960an.2 Koentjaraningrat
sendiri meminjam konsep di atas, beserta
1
Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang
sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol.
XXII, no. 57, 1998, hlm. 13–19.
2
Lihatlah buku-buku beliau antara lain, Kerangka
untuk Meneliti Faktor-faktor Sosial-Budaya Dalam
Pembangunan Ekonomi (Bhratara 1969), Rintanganrintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di
Indonesia (Bhratara 1969), dan Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan (Gramedia 1975).
metodologinya yang khas, dari konsep dan
metodologi value-orientation yang dipaparkan
oleh Florence R. Kluckhohn dan F.L. Strodtbeck
dalam buku mereka yang berjudul Variations
in Value Orientation (1961). (Untuk
selanjutnya kedua pengarang ini, sepanjang
berhubungan dengan buku di atas, kita sebut
dengan singkatan K & S).
Sebenarnya konsep value orientation
berasal dari konsep value, yaitu sebuah konsep
pokok dalam konteks theory of action.
Sebagaimana dipahami umum, theory of action
ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana besar
ilmu sosial Amerika (sosiologi, antropologi, dan
psikologi) yang bermarkas di Harvard University, pada dasawarsa 1940-1960. Para pelopor
Marzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia
237
dari theory of action ini antara lain adalah
Talcott Parsons, Edward Shills, Gordon Allport,
Henry Murray, dan Clyde Kluckhohn.3
Sementara itu ahli yang terutama mendalami
pengembangan konsep value ini adalah
almarhum Clyde Kluckhohn, seorang pakar
antropologi, suami dari Florence R. Kluckhohn.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
kembali sejarah perkembangan konsep
‘orientasi nilai budaya’ Koentjaraningrat, yang
berasal dari konsep value-orientation yang
diuraikan dalam buku karangan K & S, dan
yang seterusnya bersumber dari pemikiran C.
Kluckhohn tentang value. Dengan cara ini
diharapkan pembaca akan dapat memahami
konsep ini secara kontekstual dan tepat guna.
Konsep value
Karena sumber awal dari konsep ‘orientasi
nilai-budaya’ adalah konsep value dari C.
Kluckhohn, maka untuk mendalami pengertian
konsep ‘orientasi nilai-budaya’ tersebut kita
harus mengkaji dulu apa yang dimaksudkan
dengan value oleh C. Kluckhohn. Setelah itu
barulah kita meningkat membicarakan konsep
value orientation dari K & S.
Tentang konsep value , dikatakan oleh
Clyde Kluckhohn dkk. sebagai berikut:
A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a
group, of the desirable which influences the selection from available modes, means, and ends
of action (Parsons and Shills 1965:395).
(Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit
atau implisit, yang khas milik seseorang individu
atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya
diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang
tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan
tujuan-tujuan tindakan).
3
Silahkan lihat antara lain buku John Gillin (ed.), For
A Science of Social Man, New York: Macmillan Company, 1958 (1954) dan buku Talcott Parsons & Edward Shils (eds), Toward A General Theory of Action,
New York: Harper & Row, 1965 (1951).
238
Dari definisi di atas, yang perlu diperhatikan
adalah kalimat kuncinya, bahwa value, atau
‘nilai’ dalam bahasa Indonesia, adalah
‘konsepsi tentang hal yang seharusnya
diinginkan’. Di sini perlu diingatkan bahwa ‘hal
yang seharusnya diinginkan’ adalah berbeda
dari ‘hal yang diinginkan’. Kedua hal itu jangan
dikelirukan. Sebagai konsepsi, nilai adalah
abstrak, sesuatu yang dibangun dan berada di
dalam pikiran atau budi, tidak dapat diraba dan
dilihat secara langsung dengan pancaindera.
Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan
dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat
manusia. Ucapan, perbuatan dan materi adalah
manifestasi dari nilai.
Untuk memperoleh nilai yang terkandung
dalam suatu ucapan atau suatu perbuatan,
seseorang harus melakukan penafsiran dan
penarikan kesimpulan (inferensi). Misalnya,
ucapan ‘orang harus menghormati orang tua’
bukanlah sebuah nilai, tapi manifestasi dari
suatu nilai yang diungkapkan dalam kata-kata.
Contoh lain, perbuatan ‘membungkuk ketika
berjalan di depan orang tua’ bukanlah sebuah
nilai, tapi manifestasi dari suatu nilai yang
diungkapkan dalam bentuk perilaku. ‘Sebuah
keris yang indah dan bertuah’ bukanlah nilai
kultural, tapi manifestasi dari suatu nilai yang
diwujudkan dalam bentuk materi. Tugas dari
seorang peneliti adalah mengorek, atau
mencari, nilai-nilai yang dihargai oleh suatu
masyarakat melalui ucapan, perilaku dan hasil
kelakuan anggota masyarakat tersebut.
Jadi, untuk menangkap nilai yang hidup
dalam suatu masyarakat, seorang peneliti tidak
cukup hanya mengamati dan mencatat ucapan,
perbuatan, atau materi yang dihasilkan oleh
anggota masyarakat tersebut, tapi dia harus
pandai mengorek dan menemukan konsepsi
yang tersembunyi di bawah permukaan ucapan,
perbuatan, dan materi tersebut.
Robert Bellah, dalam bukunya Tokugawa
Religion (1957/1970), mengumpamakan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
ucapan, perbuatan, dan materi tersebut sebagai
the husk (kulit luar), atau sesuatu yang nyata,
yang terlihat, dan yang berada di permukaan.
Sedangkan nilai yang tersembunyi di bawah
kulit tersebut disebutnya sebagai the kernel
(inti).
Tentang sebuah agama dikatakan oleh
Bellah demikian:
In order to understand a people and their religion we need to know more than the formal creeds
and doctrines to which they subscribe and in
which they are enrolled. These are important
facts but they tell us only about the husk of a
religion. We must deal with the husk before we
can come to the kernel, but it is the kernel if such
we can call the inner meaning of a religion in the
personalities of individuals, which is really important for our understanding, though always
difficult to grasp. Once we can grasp even imperfectly the place of a religion has in the thoughts,
feelings, and aspirations of individuals, then we
can begin to see the way their religious commitment shapes and influences the whole of their
lives, and how other parts of their lives in turn
affect their religion (garis bawah oleh penulis).
(Dalam rangka memahami sebuah masyarakat
dan agama mereka, kita perlu mengetahui tidak
hanya sekedar pernyataan kepercayaan dan
doktrin yang dianut dan dijalankan oleh
penganutnya. Pernyataan dan doktrin tersebut
memang fakta-fakta penting, tapi mereka hanya
mengungkapkan kulit luar dari sebuah agama.
Kita memang harus mempelajari kulit luar
sebelum kita masuk mencapai inti, namun yang
inti inilah yang merupakan makna utama dari
sebuah agama yang terletak di dalam kepribadian
penganutnya, yang sangat penting bagi
pemahaman kita, meskipun hal ini selalu sukar
untuk ditangkap. Begitu kita dapat menangkap
tempat dari sebuah agama dalam pemikiran,
perasaan, dan aspirasi penganutnya, barulah
setelah itu kita dapat mulai melihat bagaimana
komitmen keagamaan mereka membentuk dan
mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka,
dan bagaimana aspek-aspek lain dari kehidupan
mereka, yang pada gilirannya, mempengaruhi
agama mereka).
Metode penyimpulan dan penafsiran dalam
kajian tentang nilai seperti di atas disebut
sebagai metode verstehen, lawannya adalah
metode erklaren. Dengan demikian, kajian
tentang nilai memerlukan tenaga peneliti yang
benar-benar mempunyai kemampuan, baik
dalam penguasaan konsep maupun dalam
ketrampilan metodologis.
Suatu nilai mencakup satu kode (tandatanda yang mengandung makna), dan satu
standar (pengukuran, penilaian) yang cukup
mantap dalam jangka waktu tertentu, yang
berfungsi dalam mengorganisasikan atau
mengatur satu sistem tindakan. Karena nilai
mengandung pengertian standar, dengan
demikian nilai menempatkan suatu hal, suatu
tindakan, suatu ucapan, cara bertindak, atau
tujuan dari tindakan dalam satu kontinuum
‘diterima-ditolak’. Nilailah yang menentukan
tempat dari sebuah tindakan, ucapan, dan
tujuan tindakan; apakah ditolak atau diterima,
atau terletak antara ditolak dan diterima.
Nilai, dalam pengertiannya sebagai standar,
adalah konsepsi tentang the desirable. The
desirable tidak sama dengan the desired. The
desirable adalah konsepsi tentang sesuatu
‘yang seharusnya diinginkan’, sedangkan the
desired adalah hal ‘yang diinginkan’. Nilai
merupakan kriteria dalam menentukan tentang
apa yang seharusnya diinginkan seseorang
sebagai anggota suatu masyarakat, bukan
tentang apa yang diinginkannya.
Nilai yang dianut seseorang, atau suatu
masyarakat, biasanya berbentuk samar-samar.
Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk
verbal secara komplit dan tepat oleh pemiliknya.
Dia lebih implisit daripada eksplisit. Dia
berbentuk ide, atau pemikiran, yang abstrak dan
sangat umum.
Namun demikian, setelah melakukan
penelitian yang mendalam, satu nilai dari suatu
masyarakat dapat diuraikan dalam bentuk katakata oleh sang peneliti. Kemudian makna yang
diperoleh sang peneliti ini diajukan kepada
anggota-anggota masyarakat tersebut untuk
diuji kebenarannya. Apakah kesimpulan sang
Marzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia
239
peneliti tentang nilai yang diungkapkan dalam
bentuk kata-kata tersebut benar atau tidak,
sang pemiliknya (anggota masyarakat) dapat
memberikan persetujuan atau penolakan.
Metode ini disebut verbalizability.
Verbalizability adalah satu cara untuk menguji
kebenaran dari kesimpulan tentang suatu nilai
yang diperoleh oleh seorang peneliti.
Pada umumnya ahli-ahli ilmu sosial,
termasuk ahli antropologi, menggunakan
konsep nilai secara kasar, kurang tajam, bahkan
kadang-kadang membingungkan. Sebagian ahli
antropologi, seperti Linton dalam buku The
Study of Man (1936) misalnya, menyamakan
konsep nilai dengan sikap atau sikap mental.
Sebagian sarjana lain menyamakan konsep nilai
tersebut dengan kode moral, kepercayaan yang
dipegang teguh, aspirasi kebudayaan, bahkan
sampai kepada sanksi.
Satu kecenderungan umum yang lain adalah
menyamakan konsep nilai dengan konsep
budaya. Ini jelas tidak betul. Budaya adalah
sesuatu yang lebih luas dari nilai. Jika kita
menerima pandangan bahwa budaya adalah
suatu sistem ideasional, maka nilai, bersama
dengan konsep-konsep sejenis itu, misalnya
ethos, kepercayaan, worldview adalah unsur
dari budaya. Satu pembicaraan khusus perlu
untuk menjelaskan perbedaan definisi dan isi
dari konsep-konsep tersebut: nilai, kepercayaan, ethos, dan worldview.
Satu titik penting yang membedakan nilai
dengan kepercayaan bisa juga diberikan seperti
berikut ini. Nilai mengacu kepada kategori good
dan bad, dan right dan wrong; sementara itu
kepercayaan mengacu kepada kategori true dan
false, dan correct dan incorrect. Kepercayaan
dalam pengertian populer sering juga diartikan
sebagai the desirable yang disetujui dan
diperintahkan oleh Tuhan. Jadi, bagaimanapun,
dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan
mempunyai suatu titik persamaan. Dua-duanya
240
mengandung pemikiran tentang standar, atau
pengukuran.
Dalam rangka pengembangan konsep nilai
ini, dan penerapannya dalam penelitian yang
empirikal, Department of Social Relations,
Harvard University, telah menyelenggarakan
satu proyek penelitian besar yang melibatkan
puluhan tenaga ahli, baik dosen maupun
mahasiswa, terhadap lima suku-bangsa Indian
yang mendiami daerah Rimrock di bagian barat
New Mexico, pada tahun 1949-1955. Proyek ini
diberi nama Comparative Study of Value in
Five Cultures. Hasil dari proyek penelitian ini
dilaporkan dalam buku People of Rimrock; A
Study of Value in Five Cultures, yang disunting
oleh Evon Z. Vogt dan Ethel M. Albert (1967).
Alasan untuk mengadakan penelitian ini
dikatakan oleh Clyde Kluckhohn sebagai
berikut: Pada masa kini terdapat kesepakatan
umum di kalangan ahli pemikir bahwa masalah
‘nilai’ merupakan masalah yang sangat penting,
baik secara praktis maupun secara teori
keilmuan. Telah banyak pembicaraan dilakukan
di kalangan ilmuan sosial tentang ‘nilai’ ini.
Demikian juga, sejumlah makalah yang
merangsang pun sudah ditulis orang tentang
hal tersebut. Namun demikian, sampai masa kini
baru ada sangat sedikit penelitian empiris
mengenai hal ini. Masalah ini sangat mendesak
untuk diteliti lebih jauh, baik secara teoritis
maupun secara praktis (Vogt dan Albert 1967:1).
Beberapa pertanyaan pokok yang menjadi
dasar dalam penelitian di Rimrock di atas adalah
sebagai berikut:
• nilai apakah yang menjadi ciri-ciri khas
masing-masing kelompok masyarakat di
daerah ini?;
• bagaimanakah posisi dari masing-masing
sistem nilai di dalam totalitas struktur dan
fungsi ekonomi masing-masing masyarakat?;
• dengan proses pengajaran dan pembelajaran
informal dan formal macam apa sistem nilai
diturunkan pada setiap masyarakat?;
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
•
•
•
•
•
perubahan macam apa yang telah terjadi
pada nilai dalam berbagai periode?;
tekanan situasi apakah yang membuat
perubahan pada nilai? Bagaimanakah
perbedaan reaksi dari masing-masing
kelompok terhadap tekanan yang sama,
karena masing-masing kelompok mempunyai tradisi kebudayaan yang berlainan,
dan juga perbedaan struktur sosial?;
seberapa jauhkah keanekaragaman tipe
kepribadian masing-masing kelompok?
Kalau keanekaragaman ini memang ada,
bagaimanakah hubungannya dengan
kelestarian dari beberapa sistem nilai,
perlawanan terhadap perubahan, pola
khusus perubahan yang terjadi pada
masing-masing kelompok?;
apakah artinya sistem nilai bagi individu
masing-masing kelompok?;
semua pertanyaan di atas dapat dikatakan
sebagai pecahan dari masalah pokok
penelitian, yaitu: Mengapa perbedaan
sistem nilai terus berlangsung pada lima (5)
kelompok masyarakat yang sebenarnya
menghadapi persoalan yang sama dalam hal
penyesuaian diri terhadap lingkungan
ekologi yang sama; padahal kesemua
kelompok tersebut mengalami kontak dan
dorongan difusi nilai satu sama lain.
Dalam penelitian ini data dikumpulkan
dengan berbagai teknik penelitian, yaitu:
• wawancara formal dan informal dalam
rangka mengorek pernyataan pernyataan
informan;
• observasi lapangan terhadap perilaku rutin
dan terhadap respon pada masalah-masalah
yang terjadi secara berulang;
• mencari pilihan-pilihan nilai melalui
kuestioner formal;
• menemukan respon terhadap stimulus yang
dapat diukur, seperti color chart, tachistoscope images, dan projective test;
•
•
tape recording dalam interaksi kelompok
kecil;
merekam, dengan berbagai cara yang
sesuai, sastra lisan, musik, dan kesenian.
Sementara itu data hasil penelitian dianalisis
dan diinterpretasikan dengan berbagai macam
cara, yaitu: analisis statistik, analisis isi dan
thema, deskripsi etnografi, dengan menggunakan berbagai konsep teoritis dari ilmu-ilmu
sosial.
Di samping buku utama seperti yang
disebutkan di atas, proyek penelitian ini juga
menghasilkan berbagai makalah dan buku yang
ditulis oleh perorangan anggota peneliti.
Masing-masing menerapkannya pada berbagai
sukubangsa, baik di dalam Amerika, maupun di
luar Amerika.4 Termasuk ke dalam hasil karya
individual ini adalah buku karangan K & S di
atas. Dua di antara buku hasil penelitian individual tentang nilai ini, yaitu buku Bellah
(Tokugawa Religion) dan buku H. Geertz (The
Javanese Family), beruntung sekali telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Konsep value-orientation secara umum
Sekarang kita beralih pada konsep value
orientation. Value-orientation, atau ‘orientasinilai’, sebagai sebuah konsep, di satu pihak
nampak lebih khusus daripada konsep nilai,
karena ditujukan kepada hal-hal yang sudah
tertentu. Namun di pihak lain konsep ini nampak
lebih luas, karena di samping menyangkut halhal yang seharusnya diinginkan juga
menyangkut hal-hal yang seharusnya tidak
diinginkan. Dikatakan oleh C. Kluckhohn bahwa
orientasi nilai adalah suatu konsepsi yang umum
dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat
manusia dalam alam, tentang hubungan manusia
dengan manusia, dan tentang the desirable dan
nondesirable.
4
Misalnya, O’Dea (1957), Rapoport (1954), Geertz
(1961), Bellah 1970 (1957).
Marzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia
241
Di sini konsepsi tersebut ditempatkan dalam
konteks hubungan manusia dengan lingkungannya dan hubungan antar manusia. Orientasinilai, sebagai sebuah konsepsi, mempengaruhi
perilaku manusia dalam berhubungan dengan
alam dan dengan manusia yang lain. Dikatakan
oleh C. Kluckhohn, dalam Parsons dan Shils
(1965:411), bahwa secara formal orientasi-nilai
dapat didefinisikan sebagai:
ahli-ahli lain adalah bahwa mereka menggunakan metode ‘kuesioner formal’ untuk
pengumpulan data dan metode statistik untuk
analisa data. Jadi metode penelitian mereka
adalah bersifat kuantitatif. Sementara itu ahliahli lain, ada yang menggunakan metode
etnografi kualitatif (yaitu Hildred Geertz dan
O’Dea), ada yang menggunakan Test
Roschach (yaitu Kaplan), dan ada pula yang
... a generalized and organized conception, in- menggunakan teknik rekaman atas diskusi
fluencing behavior, of nature, of man’s place in kelompok kecil (yaitu Von Mering).
it, of man’s relation to man, and of the desirable
Metode penelitian K & S ini dapat dipelajari
and nondesirable as they may relate to man- baik melalui buku mereka yang telah disebutkan
environment and interhuman relations.
di atas, atau dari buku-buku karangan
(... satu konsepsi yang umum dan bersistem Koentjaraningrat, maupun dari sebuah skripsi
(mempengaruhi perilaku) tentang alam, tentang
tempat manusia dalam alam, tentang hubungan seorang sarjana antropologi yang dibimbing
manusia dengan manusia, dan tentang yang oleh Prof. Koentjaraningrat.5
seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya
Sehubungan dengan metode kuantitatif ini,
diinginkan, sebagaimana mereka itu dapat
saya
masih ingat pengalaman pribadi saya
dikaitkan dengan hubungan manusia-lingkungan
bersama beberapa rekan mahasiswa antropologi,
dan antarmanusia).
baik di Universitas Indonesia maupun di UniKiranya konsep orientasi-nilai inilah
versitas Gadjah Mada, membantu Prof.
kemudian yang dikembangkan metode
Koentjaraningrat dalam menyebarkan
penelitiannya oleh Florence Kluckhohn dan
kuesioner ‘orientasi nilaibudaya’ di kalangan
Strodtbeck dalam buku Variations in Value
responden, yang terdiri dari berbagai sukuOrientation, dan yang kemudian diperkenalkan
bangsa di Indonesia pada sekitar akhir tahun
oleh Prof. Koentjaraningrat ke Indonesia
1960-an. Sayang sekali sampai kini kami tidak
dengan nama ‘orientasi nilai-budaya’.
mendengar lagi tentang hasil dari penelitian
Konsep ‘orientasi-nilai’ menurut F. skala besar ini.
Teori K & S tentang orientasi-nilai digunakan
Kluckhohn dan Strodtbeck
untuk melihat susunan variasi orientasi-nilai baik
Dalam rangka memahami konsep orientasi
di dalam satu masyarakat tertentu maupun untuk
nilai yang dipopulerkan oleh F. Kluckhohn dan
membandingkan perbedaan orientasi-nilai antara
Strodtbeck (atau disingkat K & S), sekali lagi
berbagai masyarakat. Dengan demikian berarti
diingatkan bahwa konsep tersebut dasarnya
bahwa K & S menerapkan metode dan tujuan
merupakan buah pemikiran Clyde Kluckhohn
penelitian sosiologis (kuantitatif) terhadap data
dalam konteks theory of action. Kedua, juga
dan masalah kajian nilai dalam antropologi. Juga
perlu diperhatikan bahwa penelitian K & S, yang
di sini kita menemukan aspek universal dari
hasilnya kemudian ditulis dalam buku Variations
orientasi nilai, karena penelitiannya menyangkut
in Value Orientation, dilakukan dalam rangka
masalah umum manusia yang muncul dari situasi
proyek penelitian nilai dari Harvard University.
hidup manusia.
Kekhasan dari penelitian K & S dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan 5 Silahkan lihat Budidharmono (1971).
242
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
Penggunaan masalah penelitian di atas
dalam kajian komparatif dilakukan atas dasar
asumsi bahwa semua masyarakat dalam semua
kurun waktu menghadapi sejumlah masalah
tertentu yang harus mereka selesaikan. Dalam
hal ini K & S mengajukan lima (5) masalah
pokok yang dihadapi manusia secara universal, yaitu:
• persoalan mengenai sifat dasar manusia
(human nature);
• persoalan hubungan manusia dengan alam;
• persoalan titik masa yang menjadi perhatian
kehidupan manusia;
• persoalan mengenai kegiatan manusia;
• persoalan hubungan antara manusia
dengan sesamanya.
Sebenarnya K & S mempunyai pikiran
bahwa masih ada satu lagi persoalan pokok
kehidupan manusia yang menjadi masalah
keenam, yaitu pandangan manusia tentang
ruang dan kedudukan mereka dalam ruang
tersebut. Kendatipun demikian, K & S belum
dapat mematangkan masalah yang satu ini
sampai waktu mereka melaksanakan penelitian.
Asumsi kedua mengatakan bahwa
meskipun terdapat berbagai macam variasi jalan
penyelesaian terhadap setiap masalah di atas,
namun jalan penyelesaian yang sangat
mungkin tidaklah bersifat random maupun
terbatas, tapi mempunyai variasi yang jelas.
Dalam hal ini K & S mengajukan tiga pilihan
jalan penyelesaian bagi setiap masalah yang
dipandang mereka umum dilakukan orang. Di
bawah ini dilampirkan skema pilihan jawaban
yang sudah dirancang oleh K & S yang dikutip
dari buku karangan Prof. Koentjaraningrat
(1969:22-25).
Asumsi ketiga, semua alternatif dalam
penyelesaian masalah terdapat dalam semua
masyarakat dalam semua waktu. Yang berbeda
hanya preferensinya. Setiap masyarakat
mempunyai sejumlah variasi pilihan atau pilihan
pengganti, di samping pilihan dominan atas
orientasi nilai.
Tabel 1: Kerangka Orientasi Nilai Budaya
MASALAH HIDUP
ORIENTASI NILAI BUDAYA
Hakekat dan sifat
hidup
hidup adalah buruk
hidup adalah baik
hidup adalah buruk
tapi harus diperbaiki
Hakekat kerja
kerja adalah untuk
hidup
kerja adalah untuk
mencari kedudukan
kerja adalah untuk
menambah mutu
karya
Hakekat kedudukan
manusia dalam ruang
dan waktu
masa lalu
masa kini
masa depan
Hakekat hubungan
manusia dengan alam
tunduk pada alam
mencari keselarasan
hidup dengan alam
menguasai alam
Hakekat hubungan
manusia dengan
manusia
memandang pada
tokoh-tokoh atasan
mementingkan rasa
ketergantungan pada
sesamanya (berjiwa
gotong royong)
mementingkan rasa
tidak tergantung pada
sesamanya (berjiwa
individualistik)
Marzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia
243
Sistem nilai dan perubahan sosialkultural di Indonesia
Di atas telah diuraikan secara sekilas konsep
dan metode penelitian ‘orientasi nilai-budaya’
dari Prof. Koentjaraningrat. Kini saya ingin
membicarakan konsep nilai dalam pengertian
yang lebih umum, dan mengaitkannya dengan
perubahan yang terjadi di Indonesia.
Seperti pola kehidupan sosial, nilai yang
hidup dalam suatu masyarakat juga mempunyai
pola dan sistem. Di dalam suatu masyarakat
dikenal adanya berbagai nilai yang saling
terkait satu sama lain, antara lain nilai dalam
bidang ekonomi, nilai bidang politik, nilai
bidang keagamaan, nilai dalam kehidupan
kekeluargaan, dan sebagainya. Dalam kenyataan, tidak semua nilai mendapatkan tempat yang
sama dalam kehidupan suatu masyarakat. Pada
satu masyarakat nilai keagamaan lebih
ditekankan daripada nilai ekonomi, sedangkan
pada masyarakat yang lain nilai kekeluargaan
mendapat tempat yang lebih penting dari pada
nilai politik.
Demikian juga, dalam suatu masyarakat
dapat terjadi perubahan pada nilai utamanya
dari satu masa ke masa yang lain. Indonesia
pada zaman demokrasi terpimpin (1959-1965)
memberi penekanan lebih berat pada nilai politik
dari pada nilai ekonomi. Kepedulian utama dari
nilai politik adalah pada tujuan hidup bersama
dan kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Tujuan utama dari revolusi Indonesia pada
zaman demokrasi terpimpin adalah suatu
masyarakat sosialisme Pancasila.
Pada zaman Orde Baru Suharto, nilai utama
dari masyarakat Indonesia adalah nilai ekonomi,
yang perhatian utamanya adalah pada
peningkatan produksi. Penilaian diletakkan
pada rasionalisasi metode produksi, yaitu
mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya
dengan cara pengeluaran energi dan biaya yang
sekecil-kecilnya.
244
Seterusnya, dalam zaman demokrasi
terpimpin Soekarno, buruh dan tani adalah
soko guru revolusi. Untuk kesejahteraan
merekalah terutama revolusi Indonesia
ditujukan. Pada zaman pembangunan ekonomi
Suharto, buruh dan tani adalah alat produksi
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Karena
pertumbuhan ekonomi dicapai dengan cara
meningkatkan produksi dengan penggunaan
enerji dan biaya yang murah, maka konsekuensinya buruh diupah serendah-rendahnya
dan nilai tukar petani ditekan pada paras yang
paling bawah.
Jadi kita melihat bahwa perubahan rejim
pemerintah dari Soekarno kepada Suharto
bukan hanya dalam arti perubahan pola perilaku
dan institusi politik, tapi juga perubahan pada
aspek nilai, yaitu dari penekanan pada nilai
politik ke penekanan pada nilai ekonomi. Karena
perubahan perilaku dan institusi politik berada
pada aspek sosial, yaitu perilaku empiris, dan
perubahan nilai berada pada aspek kultural,
yaitu ideasional dan abstrak, maka perubahan
yang terjadi dari rejim Soekarno kepada rejim
Suharto sekaligus merupakan perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan.
Pergeseran nilai keagamaan dalam
masyarakat Indonesia
Kini tibalah saya pada bagian terakhir dari
pembicaraan saya, yaitu tentang pergeseran
nilai keagamaan, khususnya agama Islam, dan
perubahan sosial di Indonesia. Gambaran
perubahan yang akan saya berikan dibatasi
pada kurun Orde Baru saja, yaitu kurang-lebih
dua dasawarsa dari awal tahun 1970-an sampai
awal 1990-an, kecuali kalau saya sebutkan
tentang kurun tertentu di luar kurun tersebut.
Di atas sudah saya nyatakan bahwa di Indonesia telah terjadi pergeseran nilai secara
umum, dari penekanan pada nilai politik ke nilai
ekonomi. Apakah dampak dari perubahan-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
penekanan nilai ini terhadap nilai-nilai
keagamaan bangsa Indonesia yang beragama
Islam? Untuk sementara saya belum mampu
mendiskusikan hal ini secara terinci. Saya hanya
akan memberikan beberapa petunjuk di bawah
ini, sebagai bahan pembicaraan lebih lanjut.
Pertama, pembangunan yang terlalu
menekankan nilai ekonomi cenderung membuat
masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam,
menjadi bersikap-pandang makin pragmatis,
materialistik, hedonistik dan individualistik.
Dalam hal tertentu, sikap pandang ini telah
menjauhkan umat Islam Indonesia dari akhlakul
korimah.
Kedua, sebaliknya, pembangunan juga
telah melahirkan sisi lain dalam sikap-pandang
umat Islam Indonesia. Sebagai sebuah
kelompok sosial politik, mereka mulai memiliki
rasa percaya diri. Makin lama mereka makin
menemukan identitas mereka sebagai kelompok
mayoritas dan pribumi di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dari gaya kehidupan sehari-hari
dan dalam perilaku beribadah.
Ketiga, pengaruh budaya politik dalam
birokrasi Indonesia yang didominasi oleh satu
orsospol (Golkar) dan budaya dari suatu
sukubangsa tertentu (Jawa), yang penekanan
perhatiannya sangat diberikan pada usaha
untuk mempertahankan mayoritas tunggal,
stabilitas pemerintahan, keamanan rakyat,
harmonis, hierarki tradisional, dan sebagainya.
cenderung lebih mengutamakan etika
pergaulan sosial, sebaliknya menurunkan moral
keislaman, khususnya dalam sektor birokrasi
pemerintahan. Demi keselamatan hidup pribadi,
orang cenderung berlaku hipokrit, atau
munafik.
Keempat, kemajuan dalam pendidikan
umum/sekuler di satu pihak, dan kehausan umat
Islam akan interpretasi ajaran agama yang lebih
tepat guna dan lebih relevan dengan situasi
kehidupan masa kini, telah melahirkan ulamaulama gaya baru dengan latar belakang urban
dan pendidikan universitas umum. Ulamaulama tradisional dengan latar belakang rural
dan pendidikan keagamaan makin kentara
keterbatasan wawasannya dalam membantu
umat Islam awam untuk memecahkan masalah
kehidupan yang makin kompleks.
Terakhir, urbanisasi yang terjadi secara
besar-besaran pada masa akhir-akhir ini, telah
menimbulkan keperluan baru di kalangan
migran Islam di perkotaan. Mereka telah
meninggalkan kerukunan kehidupan desa,
yang tidak ditemukan di kota. Mereka
memerlukan satu lembaga kerukunan baru.
Mungkin masjid dapat digunakan sebagai pusat
pengikat kerukunan umat, menggantikan
‘kerukunan desa’ dan ‘kerukunan kekerabatan’
yang mereka tinggalkan di desa.
Sayang sekali sampai kini, sebagian besar
kegiatan masjid baru pada sektor ibadah
sembahyang berjamaah. Akan lebih menolong
banyak bagi para migran baru dari desa ini kalau
masjid juga dapat mengembangkan diri dalam
fungsi pendidikan anak-anak dan berbagai
kegiatan sosial lain. Pokoknya masjid harus
dapat mengembangkan fungsinya sebagai
‘pusat komunitas’ yang mengikat umat yang
tinggal di sekelilingnya.
Referensi
Bellah, R.N.
1970 (1957)
Tokugawa Religion. Boston: Beacon Press.
Geertz, H.
1961 Javanese Family. New York: The Free Press of Glencoe.
Marzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia
245
Gillin, J. (peny.)
1958 (1954)
For A Science of Social Man. New York: Macmillan Company.
Budidharmono, H.
1971 Orientasi Nilai-Budaya pada Masyarakat Desa Klopoduwur. Skripsi Sarjana
Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Kluckhohn, F.R. dan F.L. Strodtbeck
1961 Variations in Value Orientation: A Theory Tested in Five Cultures. Evanston, Illinois: Row, Peterson and Co.
Koentjaraningrat
1969 Kerangka untuk Meneliti Faktor-faktor Sosial-Budaya dalam Pembangunan
Ekonomi. Jakarta: Bhratara.
1969 Rintangan-rintangan Mental dalam Pemabangunan Ekonomi di Indonesia. Jakarta:
Bhratara.
1975 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Linton, R.
1936 The Study of Man. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc.
O’Dea, T.F.
1957 The Mormons. Chicago: University of Chicago Press.
Parsons, T. dan E. Shils (peny.)
1965 (1951) Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Rapoport, R.N.
1954 Changing Navaho Religious Values: A Study of Christian Missions to the Rimrock
Navahos. Cambridge, Mass.: Papers of the Peabody Museum of American Archaelogy
and Ethnology, Vol. 41, No. 2.
Vogt, E.Z. dan E.M. Albert
1967 People of Rimrock; A Study of Value in Five Cultures. Cambridge-Massachusetts:
Harvard University Press.
246
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
Download