BAB II TEORI KEADILAN JENDER 2.1. Pendahuluan Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama, kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya. Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender. Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan dengan sebuah tafsir keagamaan.1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia, tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi lahirnya ketidakadilan jender tersebut. 1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran. 18 Pada bab ini, dipaparkan tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi Jender; Konsep Keadilan dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran; Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan; Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat; dan Teori Keadilan Humanis Berbasis Jender Susan Moller Okin. 2.2. Studi Jender. Istilah „jender‟ secara etimologis berasal dari bahasa Inggris „gender‟ yang berati „jenis kelamin‟.2 Konsep jender baru dapat dipahami dengan benar, ketika kata jender dan kata seks (jenis kelamin) dibedakan.3 Dalam Ensiklopedia Feminisme, jender diartikan sebagai kelompok karakter yang melekat pada lakilaki dan perempuan sebagai hasil konstruksi budaya masyarakat, sedangkan seks (jenis kelamin) lebih menunjuk kepada kondisi biologis seseorang dimana lakilaki dan perempuan dibedakan secara anatomi.4 Menurut Mansour Fakih, konsep jender menunjuk pada pensifatan kepada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Disini, perempuan diasumsikan sebagai sosok yang cantik, lembut, emosional, dan keibuan. Adapun laki-laki adalah sosok yang kuat, jantan, rasional, dan perkasa. Sedangkan konsep seks (jenis kelamin) menunjuk pada pensifatan yang secara biologis melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki memiliki penis, 2 Lihat Hendra Prijana dalam Modul Studi Gender, (Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan sosial, UNIBBA, 2012), 3. dan Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir AlQur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42. Dalam hal ini, baik Prijana maupun Yunahar merujuk pada John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus InggrisIndonesia. 3 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 7. 4 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj. Mundi Rahayu), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), 177, 421. 19 jakala dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki rahim, vagina, alat menyusui (payudara) dan memproduksi telur. Sebagai hasil konstruksi sosial dan budaya, konsep jender memiliki sifat yang dapat dipertukarkan, sedangkan konsep jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, dan karenanya tidak dapat dipertukarkan.5 Sejalan dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa secara umum, jender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya, sedangkan seks (jenis kelamin) dilihat dari segi anatomi biologi.6 Dari beberapa pengertian mengenai konsep jender dan seks di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa jender dan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang berbeda. Jender membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran, sikap, sifat, tanggungjawab, dan kesemuanya itu masih dapat dipertukarkan. Adapun jenis kelamin (seks) membedakan manusia secara biologis kepada dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Misalnya, bahwa laki-laki memiliki penis, jakala dan memproduksi sperma, adapun perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur dan memiliki payudara untuk menyusui, dan kesemuanya itu bersifat kodrati dan tidak dapat dipertukarkan. Saat ini, studi jender telah menjadi kajian pada berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti: sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, politik, dan bahkan keagamaan. Studi jender menjadi kian marak seiring dengan munculnya 5 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 7-9. Mansour Fakih adalah salah seorang aktivis penegakan HAM di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut Fakih. 6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 31. 20 kesadaran manusia akan arti pentingnya kesetaraan/keadilan jender. Kesadaran ini berawal dari banyaknya ketimpangan/ketidakadilan jender yang dirasakan dan dialami, khususnya oleh kaum perempuan. Bagi kaum feminis, ketidakadilan jender terlahir sebagai akibat dari adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.7 Terkait hal tersebut, Fakih berpendapat bahwa perbedaan jender (gender differences) pada gilirannya telah melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities) baik pada laki-laki, dan lebih khususnya lagi pada perempuan. Bentuk ketidakadilan jender tersebut dapat berupa: marginalisasi, subordinasi, pelabelan negatif (stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda pada perempuan.8 Sementara itu, Yunahar Ilyas berpendapat bahwa dalam lingkungan umat Islam, pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran merupakan akar dari diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan jender, dan salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui sebuah dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan.9 Sebagai bahan kajian dalam studi jender, pandangan atau pemikiran kaum feminis memiliki kedudukan yang sangat penting. Feminisme merupakan sebuah istilah pendefinisian tentang advokasi/pembelaan terhadap kesetaraan perempuan 7 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42. 8 Fakih, Analisis Gender & Transformasi social, 12-13, 72-76. 9 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 58. Terkait pentingnya dilakukan dekonstruksi terhadap Hukum Islam, juga disampaikan oleh Dr. A. Qodri Azizy, M.A. dalam pengantar buku Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Menurutnya, untuk mendobrak stagnasi berfikir terkait adanya kejumudan perkembangan hukum Islam, maka diperlukan sebuah langkah radikal, yakni hukum Islam harus dibongkar (didekonstruksi) untuk selanjutnya diperbaiki kembali (direkonstruksi). Lihat, Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), v. 21 dan laki-laki dengan tujuan untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam masyarakat. Dalam pandangan feminisme, kondisi yang tidak sederajat antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: dominasi laki-laki, patriarki, ketimpangan jender atau efek sosial dari perbedaan jenis kelamin.10 Feminisme merupakan wadah perjuangan bagi terwujudnya persamaan hak antara kaum perempuan dengan hak kaum laki-laki.11 Menurut Yunahar Ilyas, yang menjadi pusat perhatian feminisme adalah “kesadaran akan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.”12 Dari beberapa pengertian mengenai feminisme di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa feminisme adalah sebuah paham dan gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap arti pentingnya kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, sehingga nantinya dapat terwujud posisi yang sederajat diantara kedua jenis kelamin tersebut baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Feminisme bertujuan untuk menghapus atau paling tidak, meminimalisir ketimpangan/ketidakadilan jender sebagai efek dari kesalahpahaman dalam memaknai konsep jender dan jenis kelamin yang telah di kontruksi sedemikian rupa oleh budaya dan masyarakat. Pandangan atau pemikiran kaum feminis sangatlah beragam. Terkait hal tersebut, Lapian menyatakan bahwa pada dasarnya studi feminis itu berangkat 10 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), 313. 11 Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 997. 12 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan kontemporer, 42. 22 dari pengalaman perempuan yang bersifat partikular. Hal ini karena pada hakikatnya tidak semua perempuan itu sama.13 Adapun, Tong berpendapat bahwa feminisme bukanlah ideologi monolitik karena didalamnya terdapat pemikiran dan ruang waktu yang berbeda di kalangan feminis. Pemikiran feminis sangat beragam dengan berbagai pelabelannya, seperti: “liberal”, “radikal”, “Marxissosialis”, dan sebagainya. Menurut Tong, label tersebut telah sangat membantu para feminis di dalam menjelaskan tentang opresi14 perempuan dengan menawarkan pemecahannya melalui berbagai cakupan pendekatan, perspektif dan bingkai kerja yang berbeda. Meski demikian, pelabelan tersebut suatu saat harus diganti dengan penamaan yang lebih mengedepankan komitmen intelektual dan politis terhadap kaum perempuan.15 Adapun Fakih, ia telah membagi aliran feminisme ke dalam dua aliran besar di dalam ilmu sosial, yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran konflik. 1. Aliran Fungsionalisme struktural atau aliran fungsionalisme. Aliran ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Meski teori Fungsionalisme tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan, tetapi dengan keyakinan mereka bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik 13 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), 226. 14 Opresi dalam bahasa Inggris “oppression” berarti penindasan. Humm menyatakan bahwa penindasan merupakan pengalaman seksisme sebagai sebuah sistem dominasi. Lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 322. 15 Rosemarie Putnam Tong, dalam prakata Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro), (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 2. 23 sampai keluarga) dimana masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, maka secara tidak langsung telah dapat menjelaskan tentang bagaimana kedudukan/posisi kaum perempuan dalam masyarakat. Bagi penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner. Perubahan hanya boleh terjadi melalui sebuah “reformasi” yang terkontrol tanpa boleh mengganggu stabilitas sosial yang ada. Konflik dalam masyarakat harus dihindarkan, sedangkan harmoni dan integrasi sebagai fungsional harus ditegakkan. Status quo harus dipertahankan. Pengaruh fungsionalisme tersebut menurut Fakih terdapat dalam pemikiran Feminis Liberal. 2. Aliran Konflik. Aliran ini berkeyakinan bahwa setiap hubungan sosial yang terjadi dalam kelompok masyarakat, pasti memiliki kepentingan (interes) dan kekuasaan (power) yang berbeda-beda. Untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka gagasan dan nilai-nilai akan digunakan sebagai senjata. Dalam aliran ini, konflik memiliki peran penting dalam sebuah perubahan. Perubahan posisi dan hubungan antar laki-laki dan perempuan, dengan demikian dapat terjadi melalui sebuah konflik kepentingan antar kedua jenis kelamin tersebut. Aliran konflik dalam feminisme terdapat dalam pemikiran feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme sosialis.16 Untuk lebih mengenal aliran-aliran dalam feminisme, berikut diuraikan tentang: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Sosialis, Feminisme Muslim dan Feminis Kristen. 16 Fakih, Analisis Gender, 79-98. 24 1. Feminisme Liberal Megawangi menyebutkan bahwa feminisme liberal berkembang dengan pesat di Barat pada abad ke-18, yakni bersamaan dengan arus pemikiran baru “zaman pencerahan” (enlightment atau age of reason). Dasar asumsi yang dipakai Feminis Liberal adalah doktrin John Lock tentang natural rights (hak asasi manusia), yakni meliputi: hak hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak mencari kebahagiaan.17 Pernyataan mengenai “Feminisme Liberal”, pertama kali dikemukakan oleh Mary Wollstonecraft.18 Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pendidikan yang rendah telah menjadikan perempuan sebagai agen rasional yang inferior. Akar penindasan bagi perempuan adalah perbedaan hak sipil antara kaum perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Dalam hal seksualitas, dikotomi publik-domestik dianggap sebagai hal yang wajar. Kehidupan pribadi seseorang bagi mereka tidak semestinya menjadi objek peraturan masyarakat. Dengan kata lain, bahwa feminis Liberal berupaya memperbaiki status perempuan di dalam sistem, namun mereka tidak mempermasalahkan opresi sistem tersebut atau legitimasinya. Sependapat dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyatakan bahwa Feminisme Liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Khususnya, dalam hal ini adalah terkait dengan fungsi 17 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. Mengenai hal ini Megawangi merujuk pada pernyataan L.M. Clarck dan L. Lange. 18 Istilah “Feminis Liberal” pertama kali ditemukan di dalam sebuah karya Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Right of Women yang diterbitkan pada tahun 1789. Lihat, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 250. 25 reproduksi. Menurutnya, fungsi reproduksi pada perempuan diyakini akan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan masyarakat.19 Lebih lanjut dikatakan, bahwa kelompok Feminisme Liberal adalah kelompok yang paling moderat dikalangan feminisme. Kelompok ini beranggapan bahwa perubahan struktural tidak mesti dilakukan secara menyeluruh. Disini, perempuan cukup dilibatkan dalam berbagai peran, misalnya: peran sosial, ekonomi dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.20 Berbeda dengan pendapat diatas, Megawangi justeru menyatakan sebaliknya, bahwa dalam perjuangannya mewujudkan persamaan hak antara pria dan wanita, feminis Liberal sangat memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, fokus perjuangan feminis liberal adalah pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriarkat.21 Tokoh feminis Liberal yang cukup terkenal diantaranya adalah Elizabeth Cady Stanton dan Betty Friedan.22 Feminis Liberal banyak mendapat kritikan antara lain: Jean Berthke Elshtain dan Shulamith Firestone. Elshtain menyatakan bahwa feminisme liberal mereduksi nilai motivasi manusia sebatas utilitarian 19 Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 57-58. Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 58. Dalam hal ini Nasaruddin mengutip Bryson. 21 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 120-121. 22 Mengenai hal ini, dapat dibaca di dalam Tong, Feminist Thought. Elizabeth Cady Stanton adalah penganjur Seneca Falls dan merupakan tokoh feminis Amerika yang paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. Lihat, Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. Adapun Betty Friedan adalah pengarang buku The Feminine Mystique (1963), pendiri dan sekaligus presiden pertama dari sebuah organisasi perempuan “National Organization for Woman” atau NOW di tahun 1966. The Feminine Mystique (1963) disebut sebagai penanda bagi munculnya feminis gelombang kedua. Lihat, Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. dan Tong, Feminist Thought, 36. 20 26 terhadap kepentingan diri, sedangkan Firestone menggambarkan dan menuding feminis Liberal itu sebagaimana National Organization of Women (NOW) yang hanya berkonsentrasi pada indikator seksisme yang lebih dangkal.23 2. Feminisme Radikal Teori Feminisme Radikal berkembang pesat di AS pada era 1960-an dan 1970-an. Feminisme Radikal berpandangan bahwa sumber ketidakadilan jender adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita. Menurut mereka, dalam institusi keluarga, peran kehamilan dan keibuan (sifatnya biologis) harus selalu diperankan oleh perempuan. Keluarga, dengan demikian dianggap sebagai institusi yang melahirkan dominasi pria sehingga perempuan menjadi tertindas. Alasan inilah yang dijadikan dasar oleh feminis Radikal untuk menyerang keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarkat.24 Jones menyatakan bahwa, sebuah kebebasan mungkin baru akan diperoleh perempuan apabila secara teknologi telah dimungkinkan adanya pembuahan hingga mengandung di luar rahim. Jika keadaan tersebut tercapai maka perbedaan gender tidak lagi relevan dan peranan biologis perempuan dalam keluarga akan hilang.25 Sementara itu, Humm, dalam hal ini menyitir Zillah R. Eisenstein, menyatakan bahwa bagi feminisme Radikal, akar dominasi dan penindasan lakilaki terhadap perempuan adalah patriarki. Penindasan perempuan menurut mereka berasal dari penempatan perempuan ke dalam kelas yang lebih rendah dibanding 23 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 251. Mengenai NOW, dapat dilihat pada teori keadilan jender, tepatnya pada bahasan tentang konteks lahirnya pemikiran Susan Moller Okin. 24 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178. 25 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme, (Alih bahasa: Achmad Fedyani Saifuddin), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 129. 27 kelas laki-laki. Oleh karena itu, mereka bertujuan menghancurkan sistem kelas jenis kelamin tersebut.26 Perintis Feminis Radikal antara lain; Charlotte Perkins Gilman, Emma Goldman dan Margaret Sanger. Adapun teori utama Feminisme Radikal kontemporer dikembangkan oleh Ti-Grace-Atkinson dan Anne Koedt. Atkinson menyatakan bahwa sistem peran laki-laki dan perempuan yang secara politik menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Sementara itu Koedt menyatakan bahwa penindasan perempuan terutama terjadi secara psiologis dan bukan ekonomis.27 3. Feminisme Marxis Dalam pemahaman materialisme Marx, konflik dalam masyarakat bersumber dari aktivitas ekonomi masyarakat dimana pola relasi materialistis dan ekonomi dianggap sebagai pondasi masyarakat yang mendasari segala hukum, moral, agama, dan institusi politik kemasyarakatan. Hukum, moral, agama dan sistem politik tersebut oleh Marx disebut sebagai superstructure atau superstruktural yang kesemuanya merupakan produk sosial yang bersifat relatif sehingga tidak ada esensi kebenaran absolut dari sistem tersebut.28 Kedudukan agama sebagai superstruktur dalam masyarakat kapitalis oleh Marx disebut sebagai opium (candu) bagi masyarakat. Menurutnya, agama yang berisikan segala peraturan dan norma telah dipakai oleh pemilik modal untuk mengajarkan kepada kaum proletar (penulis disini mengartikan: kaum yang tertindas, seperti halnya juga dengan kaum perempuan), untuk senantiasa sabar, 26 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 383-384. Humm, Ensiklopedia Feminisme, 384. 28 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 78-79. 27 28 karena hidup yang sebenarnya adalah di akhirat. Agama disini berfungsi sebagai bius terhadap masyarakat untuk dapat menerima begitu saja keadaan yang kurang menguntungkan. Agama telah membuat kaum tertindas lupa bahwa mereka sesungguhnya dapat mengubah keadaan di dunia menjadi lebih baik. Salah satu bentuk penyadaran bagi kaum yang tertindas tersebut adalah dengan cara menghilangkan pengaruh opium (agama). Atau dengan kata lain, menuntut seorang untuk mengabaikan ajaran agama tersebut atau menjadi seorang yang atheis.29 Mengenai “agama sebagai candu” juga dijelaskan oleh Ramly yang menyatakan bahwa fungsi agama oleh Marx telah diubah citranya menjadi alat yang “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan penderitaan. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama tidak lagi berperan sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama hanya dijadikan sebagai alat pelegalisasi kekuasaan negara yang memihak segelintir elit, yang kemudian melahirkan istilah agama sebagai pendukung status quo.30 Dalam pola relasi materialistis dan ekonomi pada masyarakat kapitalis yang memiliki struktur produksi industri, Marx telah membagi mayarakat ke dalam dua kelas; yakni kaum borjuis dan proletar, kelas tuan-tuan dan kelas budak, kelas penguasa dan rakyat, serta kelas feodal dan kelas hamba.31 Dalam hal ini, kaum laki-laki dapat dikatakan telah mewakili kelas borjuis, tuan-tuan, penguasa dan feodal sedangkan perempuan sebagai kelas proletar, budak, rakyat dan hamba. 29 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80. Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 164-165. 31 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80. 30 29 Terkait kelas di dalam masyarakat, filsafat Feminisme Marxis menganggap bahwa segala pemilikan pribadi, termasuk disini pria memiliki wanita (peneliti mengartikan: keluarga, yakni pria memiliki wanita melalui sebuah perkawinan) adalah sumber penindasan. Pria sebagai “pemilik sumber daya” yang telah dilegitimasi oleh budaya dan nilai-nilai patriarkat, telah menempatkan perempuan sebagai “abdi” atau kelas yang lebih rendah yang terus bergantung pada suami.32 Menurut Tong, Feminis Marxis lebih cenderung mengidentifikasi kelasisme (classism) dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap perempuan.33 Bagi Marx, jalan terbaik untuk menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat adalah melalui sebuah revolusi sosial.34 4. Feminis Sosialis Pandangan dasar Feminisme Sosialis adalah bahwa masalah ekonomi dan struktur sosial telah melahirkan subordinasi wanita.35 Pandangan Feminisme Sosialis tidak jauh beda dari Feminisme Marxis karena Feminisme Sosialis ini bersumber dari formulasi teori dan ideologi Karl Marx dan Frederich Engels, bahwa kedudukan kaum perempuan itu identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Mereka mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan pria memiliki istri secara pribadi. Seorang istri yang dimiliki suami merupakan bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan hanya dapat terbebaskan dari penindasan tersebut, manakala sistem ekonomi kapitalis diganti dengan 32 33 34 35 Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 87. Tong, Feminist Thought, 139. Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 81. Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178. 30 masyarakat sosialis, yakni masyarakat egaliter tanpa kelas.36 Karena adanya kesamaan antara Feminisme Marxis dan Feminis Sosialis tersebut, maka tidak jarang keduanya disebut sebagai Feminisme Maxis-sosialis. Bagi Feminisme Sosialis, perempuan adalah penduduk kelas dua dalam masyarakat kapitalis patriarkis yang menggantungkan hidupnya pada eksploitasi orang-orang yang bekerja (khususnya perempuan). Dalam pandangan mereka, yang menjadi akar penindasan terhadap perempuan adalah sistem ekonomi kapitalisme. Disini, laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam mendominasi perempuan, dan bahwa laki-laki mengkonstruksikan berbagai tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi tersebut.37 Menurut Feminis Sosialis, penyebab fundamental opresi terhadap perempuan adalah lebih kepada kapitalisme dan patriarki, bukan “kelasisme” atau “seksisme”.38 Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antara Feminis Marxis dan feminis Sosialis adalah penyebab utama terjadinya opresi (penindasan) bagi kaum perempuan. Menurut Feminis Marxis, penyebab opresi adalah kelasisme (classism) dan bukan seksisme, sedangkan menurut feminis sosialis, bukan “kelasisme” atau “seksisme” tetapi lebih kepada kapitalisme dan patriarki. 5. Feminisme Muslim Di kalangan umat Islam, gerakan feminis dikenal dengan gerakan Feminis Muslim. Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, disebutkan bahwa yang 36 Dalam hal ini, Megawangi mengutip Josephine Donovan (1994). Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 128-129. 37 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 447-448. 38 Tong, Feminist Thought, 139. 31 menjadi tuntutan bagi perjuangan kaum Feminis Muslim adalah emansipasi perempuan sebagai warga negara di bidang publik, dan menerima komplementaritas peran di bidang keluarga.39 Adapun dalam wacana sekular yang mengakomodasi Islam, feminis Muslim mengupayakan masyarakat nonseksis dan pascapatriarkal, yakni, bahwa perempuan mempunyai hak serta peluang dalam pengembangan potensi diri baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.40 Tokoh feminis muslim tidak hadir dari kalangan perempuan saja, tetapi juga dari kalangan laki-laki.41 Terkait dengan hal tersebut, Yunahar Ilyas tidak sependapat dengan Margot Badran, yang menyatakan bahwa syarat seseorang untuk dapat disebut sebagai feminis (feminis Muslim), maka orang tersebut harus memenuhi tiga kriteria, yakni; 1) Mereka memiliki kesadaran jender dan memperjuangkan penghapusan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan. 2) Beragama Islam atau datang dari lingkungan dunia Islam dan mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi normativitas maupun historisitasnya. 3) Berjenis kelamin perempuan. Disini, Yunahar Ilyas tidak setuju dengan kriteria yang ketiga. Menurutnya seorang laki-laki juga dapat disebut sebagai Feminis Muslim. Dalam hal ini, ia mencontohkan Asghar Ali Engineer dari India. Selain itu, Yunahar juga 39 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), 57. 40 Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 61. Tokoh feminis Muslim laki-laki diantaranya adalah Qosim Amin (Mesir), dan Asghar Ali Engineer (India). http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses pada Rabu, 22 Juni 2016. 41 32 berpendapat bahwa tidak semua feminis yang beragama Islam itu dapat dikategorikan sebagi feminis Muslim. Mereka yang dimaksud adalah feminis yang beragama Islam, yang meskipun mereka tetap mendasarkan pada perspektif feminisme (liberal, radikal, marxis, sosialis dan lainnya) tapi tidak mempersoalkan ajaran Islam (baik normativitas maupun historisitas).42 Di kalangan Islam banyak dikenal feminis perempuan, antara lain: Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), Amina Wadud Muchsin (Amerika Serikat).43 Adapun dalam lingkup Indonesia, antara lain; Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Budi Munawar Rachman, dan Nasaruddin Umar. 44 42 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 55-56. Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 34. Pemikiran Fatima Mernissi yang cukup terkenal adalah mengenai “Islam dan Demokrasi”. Baca, Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, (terj. Amirudin Ar-Rany), (Yogyakarta: LKis, 2007). Adapun pemikiran yang terkenal dari Nawal El-Saadawi adalah mengenai “Perempuan dalam Budaya Patriarki”. Baca, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj. Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Pemikiran terkenal dari Amina Wadud Muhsin adalah “Perempuan dalam Islam” yang terdapat dalam bukunya Qur‟an and Woman. Adapun pemikiran Riffat Hasan yang terkenal adalah mengenai pentingnya dekonstruksi pemikiran teologis. http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses, Rabu, 22 Juni 2016. 44 Andik Wahyun Muqoyyidin, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal studi-studi Islam) IAIN Gorontalo, Vol. 13 No. 2 (Desember 2013), 503-504. Pemikiran yang cukup terkenal dari Siti Ruhaini Dzuhayatin adalah “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia”; Budi Munawar Rachman: “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme”; Nasaruddin Umar: “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender”. Baca, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Selanjutnya, pemikiran yang sangat terkenal dari Siti Musdah Mulia adalah “Islam Menggugat Poligami”. Baca, Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007) dan “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”. Lihat, Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara & Demokrasi, 302. Adapun pemikiran dari Ratna Megawangi adalah “Membiarkan Berbeda”. Baca, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999). 43 33 6. Feminis Kristen Selain lima jenis aliran feminis yang telah dipaparkan diatas, masih ada banyak jenis aliran feminis lainnya, satu diantaranya adalah feminis Kristen. Humm menyatakan bahwa teori feminis tentang kekristenan terbagi kedalam tiga kategori: mereka yang meragukan pandangan teologis tentang perempuan dan androsentrisitas teologi tradisional; mereka yang meragukan hukum teologis yang menghalangi perempuan dari pentahbisan; dan mereka yang mengevaluasi gereja sebagai institusi yang bertujuan untuk peningkatan status profesional perempuan dalam gereja.45 Selanjutnya, dengan merujuk pada Daly, Humm menyatakan bahwa, dalam teolog feminis, hanya ada dua citra perempuan dalam gereja dan dalam sejarah Kristen, yaitu sebagai pendosa (Eva) dan sebagai perawan suci (Mary), yang dalam hal ini mewakili sikap “keibuan” dan ketaatan. 46 Dalam beberapa tahun terakhir, feminis dari gereja Kristen dalam konteks non-kulit putih dan dunia ketiga membuat kajian mendalam untuk membaca tradisi Kristen dari perspektif-perspektif yang berbeda.47 Hingga saat ini, ada sederet nama terkenal dari feminis Kristen, diantaranya adalah: Jacquelyn Grant (dari lingkungan Afrika-Amerika), Maria Isasi-Diaz (Amerika-Hispanik), Mercy Amba Oduyoye (Nigeria) Kwok Puilan (Cina), dan Chung Hyun Kyung (Korea).48 Dari pembahasan mengenai berbagai aliran feminisme di atas, terlihat bahwa keluarga sebagai institusi yang dibentuk melalui lembaga perkawinan 45 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 47 Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 261. 48 Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 261. 46 34 merupakan hal yang paling disorot dalam perjuangan para feminis. Menurut Humm, alasan mengapa feminis begitu peduli terhadap keluarga adalah bahwa selain diasumsikan sebagai sumber utama bagi penindasan perempuan, keluarga juga merupakan pewaris utama dan fokus kerja bagi perempuan serta sumber identitas perempuan yang paling mendasar, yakni sebagai ibu. Capaian paling berharga dari teori feminis tentang keluarga adalah bahwa keluarga sebagai unit alamiah telah direkonstruksi menjadi sebuah ideologi, sebagai nexus institusional yang memiliki makna sosial dan kultural serta relasi.49 Selanjutnya, Humm mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkis yang memperantarai struktural dan individual.50 Sedangkan menurut Esposito, salah satu kecenderungan dari gerakan feminisme abad ke-20 adalah memperbaharui hukum keluarga.51 Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, selama ini, keluarga telah menjadi fokus kajian yang sangat penting di dalam gerakan feminisme. Hal ini karena keluarga telah dianggap sebagai unit patriarkis yang menjadi sumber utama bagi penindasan kaum perempuan. Untuk dapat mewujudkan keadilan jender di dalam keluarga, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah diadakannya perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriarkat tersebut. 49 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 2007), 143. Dalam hal ini Maggie Humm mengutip Thorne dan Yalom (1982). 50 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 143. 51 Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 58. 35 2.3. Keadilan dalam Studi Jender. 2.3.1. Pengertian Keadilan Keadilan berasal dari kata dasar “adil”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adil diartikan tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Keadilan berarti sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil di dalam mempertahankan hak bagi masyarakat.52 Konsep keadilan secara umum diartikan “memberikan sesuatu sesuai dengan haknya.” Keadilan dapat dibedakan menjadi dua macam yakni keadilan formal (keadilan hukum) dan keadilan material (keadilan substantif). Keadilan formal melibatkan standar keadilan prosedural yang diarahkan kepada fairness dan akurasi dalam penerapan aturan-aturan tersebut. Intinya, bahwa setiap orang harus diperlakukan berdasarkan aturan yang sama secara setara. Sementara itu, keadilan material sangat terkait dengan identifikasi kriteria distribusi (misalnya: hak, kewajiban, kebutuhan, atau pilihan), sebagai konsepsi keadilan yang saling bersaing. Keadilan material sering dikaitkan dengan keadilan sosial.53 John Rawls berpendapat bahwa “keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.54 Adapun Faturochman, menyatakan bahwa keadilan merupakan suatu situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.55 Selanjutnya, Messakh, menyatakan bahwa keadilan merupakan fenomena sosiologis. Keadilan sebagai 52 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 6-7 53 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, 417. 54 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (terj.Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 3. 55 Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologis, (Yogyakarta: Unit Publikasi Fak. Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar, 2012), 20. 36 nilai moralitas sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan berfungsi sebagai nilai yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat agar kerja sama yang terjalin dapat bermanfaat secara maksimal bagi kepentingan individual dan sekaligus bagi kepentingan bersama. Nilai keadilan diwujudkan dalam hak dan kewajiban yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat.56 Berbicara mengenai konsep “keadilan”, tentu tidak terlepas dari konsep “keadilan sosial”. Keadilan sosial dalam KBBI diartikan sebagai “kerjasama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organik sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.”57 Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, keadilan sosial memiliki makna sebagai dasar tata kehidupan bermasyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencapai keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Keadilan sosial mencakup semua segi keadilan, yakni komutatif (keadilan dalam perjanjian/tukar-menukar), distributif (keadilan dalam pembagian jasa, sumbangan, tugas dan pengorbanan), dan keadilan legal (keadilan dalam tuntutan ketaatan maupun perlakuan yang sama di depan undang-undang/hukum). Untuk dapat mewujudkan suatu keadilan sosial, masyarakat diwajibkan mempunyai atau membentuk tata cara, proses kehidupan 56 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2007), 9-10. 57 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 6-7. 37 atau mekanisme-mekanisme sosial, yang memungkinkan hak-hak dasar warga negara terjamin dan terlaksana secara wajar.58 Dari beberapa pengertian tentang konsep keadilan diatas, dapat disimpulkan bahwa keadilan merupakan norma/nilai moral tentang pengaturan pembagian hak dan kewajiban yang layak diterima dan dilaksanakan secara seimbang baik oleh individu/kelompok sebagai anggota institusi/masyarakat dalam suatu sistem. Adapun ketidakadilan merupakan sebuah fenomena yang ditimbulkan akibat sistem pembagian yang timpang. Keadilan merupakan hal yang paling disorot dalam studi jender. Terkait hal tersebut, Lapian menyatakan bahwa studi feminis lahir dalam rangka memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas.59 Adapun Stevi Jackson dan Jackie Jones menyatakan bahwa teori feminis berusaha menganalisis pelbagai kondisi termasuk didalamnya budaya yang telah membentuk kehidupan kaum perempuan. Pentingnya mempertanyakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, berawal dari pandangan kaum feminis yang menolak anggapan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tak terelakkan.60 Pembahasan mengenai keadilan di dalam studi jender, dikemas dengan istilah “kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah perlakuan adil yang diberikan baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun ketidakadilan jender adalah proses marginalisasi dan pemiskinan khususnya bagi kaum perempuan. 58 Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 1701. L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, 226. 60 Stevi Jackson dan Jackie Jones, (ed.), Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, (terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009), 1. 59 38 Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; kebijakan pemerintah, keyakinan tradisi, tafsir agama, kebiasaan dan asumsi ilmu pengetahuan.61 Ketidakadilan jender termanifestasi dalam beberapa bentuk, yakni; marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja.62 Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam kehidupan bermasyarakat, yakni: 1) Pada tingkat negara. Adanya kebijakan dan hukum negara, perundangundangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari wujud ketidakadilan jender. 2) Pada tempat kerja, organisasi, dan dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, dan kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan jender. 3) Dalam adat istiadat, kultur dan penafsiran keagamaan juga banyak melahirkan ketidakadilan jender. 4) Dalam Lingkungan rumahtangga. Hal ini dapat dilihat dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antar anggota keluarga. 5) Ideologi yang berisikan ketidakadilan jender yang telah mengakar dalam masyarakat.63 61 Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 1-2. 62 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 12-13, 72-76. Lihat juga Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 17-18, Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 41-42. 63 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 17-18. 39 2.3.2. Prinsip-prinsip Keadilan Untuk menetapkan standar keadilan, bukanlah hal yang mudah. Ini disebabkan karena standar keadilan selalu terkait erat dengan pemahaman dan ekspektasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Dengan merujuk pada teori “komunitarian”, Walzer berpendapat bahwa kriteria keadilan akan tergantung pada “ruang” distribusi, sehingga antara keadilan politik dan ekonomi juga akan berbeda pula.64 Meski bukan hal yang mudah, namun teori keadilan kontemporer John Rawls telah berupaya mengkombinasikan sejumlah kriteria keadilan material menjadi dua prinsip keadilan yang sangat terkenal, yakni: Pertama, setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan mendasar dengan sistem kebebasan yang serupa. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti ditata sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) memberi manfaat terbesar bagi yang paling kurang diuntungkan; dan (b) dikaitkan dengan posisi yang terbuka untuk semua orang di dalam kondisi kesempatan yang setara.65 Prinsip keadilan Rawls ini, kemudian dikenal dengan istilah “justice as fairness”. 2.4. Konsep Keadilan Dalam Alquran 2.4.1. Keadilan dalam Alquran. Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, dinyatakan bahwa keadilan berasal dari kata dasar “adil” yang diserap dari kata berbahasa Arab „adl. Secara literal, kata „adl adalah bentuk masdar (kata jadian) dari kata kerja „adala – ya‟dilu – adlan – wa „udulan – wa „adalatan. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf „ain, dal, dan lam, yang makna pokoknya adalah al-istiwa‟ (posisi lurus) dan al-i‟wijaj (posisi 64 Mengenai kriteria keadilan ini, lihat William Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), 418. 65 Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 418. 40 bengkok). Rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni “lurus” atau “sama,” dan “bengkok” atau “berbeda.” Makna pertama dari kata „adl adalah “menetapkan hukum dengan benar.” Orang yang „adl adalah dia yang berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan standar yang sama. Orang yang „adl selalu berpihak pada kebenaran dan tidak berbuat sewenang-wenang. Dalam makna „adl, pihak yang benar dan yang salah samasama harus memperoleh haknya.66 Kata „adl dan derivatnya di dalam Alquran terulang sebanyak 28 kali. Kata „adl dalam bentuk aslinya disebutkan sebanyak 13 kali, yakni pada surah alBaqarah/2: 48, 123, dan 282 (dua kali), an-Nisa‟/4: 58, al-Ma‟idah/5: 95 (dua kali) dan 106, al-An‟am/6: 70, an-Nahl/16: 76 dan 90, al-Hujurat/49: 9, serta atTalaq/65: 2.67 Kata „adl, memiliki beberapa definisi, diantaranya; “memberi pembagian yang sama (al-Asfahani); “sikap proporsional yang tidak berlebihan (ifrat) dan tidak kekurangan (tafrit) (al-Jurjani); “menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif (al-Maraghi).68 2.4.2. Aspek, Objek dan Subjek Keadilan dalam Alquran Keadilan didalam Alquran, selain disebut dengan terma „adl, juga disebut dengan terma al-qist dan al-mizan. Ketiga terma tersebut, selanjutnya mengarahkan keadilan kepada aspek, objek dan subjek yang cukup beragam. Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, tepatnya dalam hal ini didasarkan pada 66 Muchlis M. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Departemen RI, 2010), 2-3. 67 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3 68 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3. 41 penelitian M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa sedikitnya ada empat makna berbeda dari kata „adl, sebagai berikut; 1) „adl berarti “sama.” „adl dalam pengertian ini terdapat pada beberapa surah di dalam Alquran, antara lain: an-Nisa‟/4: 3, 58, 129; asy-Syura/42: 15; al-Ma‟idah/5: 8, an-Nahl/16: 76, 90 dan al-Hujurat/49: 9. Makna kata „adl pada ayat-ayat tersebut menunjuk pada persamaan dalam persoalan hak, termasuk didalamnya mencakup sikap dan perlakuan hakim ketika proses pengambilan keputusan berjalan. 2) „adl berarti “seimbang”. Arti ini ditemukan dalam surah al-Maidah/5:95 dan al-Infitar/82:7. Keadilan dalam pengertian “keseimbangan” ini mengarah pada sebuah keyakinan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Allah telah menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu. Keyakinan ini selanjutnya mengantarkan kepada pengertian keadilan Ilahi. 3) „adl berarti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya.” Pengertian ini kemudian didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat.” Pengertian ini pada tahap selanjutnya melahirkan konsep mengenai “keadilan sosial”. 4) „adl dalam arti “yang dinisbahkan kepada Allah”. Makna ini sebagaimana terdapat pada kandungan surah Ali Imran/3:18, yang menunjukkan Allah swt sebagai qa‟iman bil-qist (Yang menegakkan keadilan).69 69 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3-5. 42 Selanjutnya beralih pada terma al-qist dan al-mizan. Kata al-qist mengandung arti “bagian” yang wajar dan patut. Disini, pengertian sama, tidak harus persis sama, tetapi dapat berbeda bentuk asal substansinya sama. Sedangkan kata al-mizan mengandung arti seimbang atau timbangan, merujuk pengertian bahwa keadilan itu mendatangkan harmoni karena segala sesuatu diperlakukan atau ditempatkan sesuai dengan semestinya. Sebagai contoh disini adalah alam tata surya, diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan (ar-Rahman/55: 7).70 Kata al-qist beserta derivatnya disebutkan dalam Alquran sebanyak 25 kali. Ada yang mengikuti pola fa‟ala, seperti al-qist dan al-qistun; dan ada pula yang mengikuti pola af„ala, seperti aqsata, aqsatu, al-muqsitun, atau al-muqsitin. Semua berarti “adil, berlaku adil, atau orang-orang yang adil,” kecuali bentuk alqasitun (al-Jin/72: 14-15) yang berarti “menyimpang dari kebenaran.”71 Menurut Al-Qur‟an Tematik, dalam hal ini menyitir Ibnu „Asyur, bahwa kata al-qist, sebenarnya berasal dari kata non-Arab yang mengalami proses arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam putusan (qada‟) dan hukum.72 Sementara itu, term al-mizan digunakan untuk menunjukkan sikap adil, namun penekanannya lebih pada keseimbangan, tidak berlebihan, tidak memihak pada salah satu pihak. Hal yang menarik disini adalah bahwa kesimbangan sebagai refleksi sikap keadilan dikaitkan dengan alam raya.73 Dari bahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, aspek adil dalam Alquran meliputi: Persamaan kedudukan di dalam hukum; Keseimbangan alam; dan Hak 70 71 72 73 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 6. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 166. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 167. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 175. 43 individu dalam keadilan sosial. Objek keadilan meliputi: Keadilan Hukum, Keadilan Ilahi, dan Keadilan Sosial. Adapun, subjek/pelaku dari keadilan adalah Allah swt (sebagai pelaku keadilan yang sempurna) dan manusia selaku umatNya yang merupakan khalifah di muka bumi. 2.4.3. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Alquran. Sebagaimana teori-teori keadilan pada umumnya, prinsip-prinsip keadilan juga disebutkan dengan jelas di dalam Alquran. Tafsir Al-Qur‟an Tematik menyatakan bahwa keadilan dalam Alquran memiliki dua prinsip utama, yakni: 1) al-Musawah dan at-Taswiyah (Prinsip Persamaan Hak). Prinsip al-musawah berarti memperlakukan semua pihak secara sejajar didepan hukum atau peradilan. Adapun prinsip at-taswiyah, yaitu upaya menyamakan antara hak satu dengan hak yang lain. Itu hanya bisa ditempuh dengan mengambil sesuatu dari tangan orang yang tidak berhak, dan mengembalikannya kepada yang berhak.74 Q.S. An-Nisa‟/4:1 adalah landasan ideal bagi prinsip taswiyah. Bahwa setiap manusia, apapun latar belakangnya, berasal dari asal yang satu. Karena itu, tidak boleh seorang merasa berhak diprioritaskan mengalahkan yang lain. Persamaan hak sebagai salah satu prinsip keadilan terkait dengan banyak hal, sebagian di antaranya dianggap paling mendasar, seperti hak setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar dalam pergaulan sosial, posisi yang setara di depan hukum dan peradilan, pendidikan 74 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 176-177. 44 yang baik, pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan bekerja secara wajar dan bermartabat untuk memperoleh kehidupan yang layak.75 2) Proporsional. Proporsional berarti meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai dengan proporsinya atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, yang menjadi titik tekan pada kata adil adalah unsur proporsionalnya, bukan unsur kesamaan. Dalam hal ini, adil merupakan antonim dari zalim, yang didefinisikan sebagai “meletakkan sesuatu pada posisi yang tidak sesuai dengan proporsinya.”76 2.5. Jender dalam Perspektif Alquran Kata “jender” berbeda dari kata jenis kelamin (sex). Jender diartikan sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi budaya masyarakat. Sedangkan jenis kelamin menunjuk kepada kondisi biologis seseorang dimana laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari anatominya.77 Adapun perspektif, diartikan sebagai: pandangan, sudut pandang.78 Dengan mengacu pada kedua pengertian tersebut, jender dalam perspektif Alquran yang dimaksud disini adalah perbedaan laki-laki dan perempuan ditinjau dari sudut pandang Alquran. Kata yang sepadan dengan istilah “jender” tidak ditemukan di dalam Alquran. Namun demikian, bukan berarti bahwa Alquran tidak membahas masalah jender didalamnya. Sejumlah istilah yang terkait dengan konsep jender, 75 Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 178. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 182. 77 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 177, 421. 78 http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul 14.45 76 WIB. 45 seperti misalanya: perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara laki-laki dan perempuan, dapat ditemukan dalam Alquran. Istilah-istilah yang digunakan terhadap laki-laki dan perempuan, seperti: al-rajul/al-rijal dan al-mar‟ah/al-nisa‟ serta al-dzakar dan al-untsa dapat dijadikan sebagai obyek penelusuran terkait jender di dalam Alquran. 79 Senada dengan hal tersebut, Umar berpendapat bahwa identitas jender dapat dipahami melalui simbol dan bentuk jender yang digunakan di dalam Alquran. Istilah-istilah jender dapat diidentifikasi dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya al-rijal (bentuk jamak dari kata al-rajul yang berarti laki-laki) dan al-nisa (bentuk jamak dari kata al-mar‟ah yang berarti perempuan dewasa). 2. Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin. Misal: Suami (alzawj) dan isteri (al-zawjah); Ayah (al-„Ab) dan Ibu (al-„Umm); Anak lakilaki (al-Ibn) dan anak perempuan (al-Bint). 3. Kata ganti (pronoun/dlamir) yang berhubungan dengan jenis kelamin. Misal: Kata ganti orang pertama: saya (ana) dan kami (nahnu); Kata ganti orang kedua: seorang laki-laki disebut dengan anta, dua orang laki-laki disebut dengan antum; Kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki (huwa) dan kata ganti untuk orang ketiga untuk orang lebih dari satu (huma). 4. Kata sifat disandarkan kepada bentuk mudzakkar dan mu‟annats. Misalnya: orang muslim laki-laki (muslimun) dan orang muslim 79 Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), 50. 46 perempuan (muslimat); orang mukmin laki-laki (mu‟minun) dan orang mukmin perempuan (mu‟minat).80 Prinsip-prinsip mengenai kesetaraan jender juga dapat ditemukan di dalam sejumlah ayat di dalam Alquran. Terkait hal ini, Nasaruddin Umar telah mengkaji ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan jender di dalam penelitiannya. Dalam hal ini, Umar menggunakan variabel-variabel persamaan laki-laki dan perempuan dalam hal: sebagai Hamba Allah; sebagai Khalifah di bumi; potensi meraih prestasi; serta Keterlibatan Adam dan Hawa (sebagai simbol laki-laki dan perempuan) dalam Drama Kosmis. Kesimpulan dari penelitian tersebut, adalah bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan variabel-variabel tersebut telah mengisyaratkan adanya konsep kesetaraan jender yang ideal, dimana prestasi individual baik dalam urusan spiritual maupun urusan karier profesional tidak dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Kedua jenis kelamin memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal. Meski terdapat konsep yang ideal tersebut, namun pada kenyataannya akan terlihat berbeda di masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya kendala budaya yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu konsep ideal kesetaraan jender dalam Alquran masih harus melalui tahapan dan sosialisasi.81 2.6. Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan. Dalam pandangan Fakih, pada dasarnya inti ajaran setiap agama adalah penegakkan prinsip keadilan. Dalam Islam, Alquran berisikan prinsip-prinsip 80 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 127-183. 81 Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, 229-246. 47 dasar yang menganjurkan penegakkan keadilan, baik di bidang ekonomi, politik, kultural termasuk didalamnya adalah keadilan jender. Untuk dapat memahami dan menganalisis tentang apa yang dianggap adil dan tidak adil serta untuk mengetahui bagaimana mekanisme ketidakadilan yang menjadi prinsip dasar agama, maka dibutuhkan sebuah pisau analisis dengan meminjam analisis ilmu lain seperti ilmu-ilmu sosial maupun politik-ekonomi.82 Terkait hal tersebut, Fakih juga menjelaskan, bahwa di dalam Alquran terdapat dalil qoth‟iy dan dalil dhanny. Dalil qoth‟iy (qoth‟iyul dalalah) adalah dalil yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan dari satu pengertian. Adapun dalil dhanny (dhanniyul dalalah) adalah dalil yang berisi ayat-ayat Alquran yang dapat menimbulkan penafsiran. Untuk mendapatkan pemahaman pada dalil dhanny inilah, pisau analisis seperti analisis jender bisa digunakan. Dengan meminjam pisau analisis jender, maka pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran keadilan akan sesuai dengan realitas sosial yang ada. Dengan demikian, prinsip keadilan yang menjadi inti dasar ajaran Islam akan tetap bisa relevan sepanjang zaman.83 Pemahaman terhadap paradigma di balik gerakan dan teori feminisme juga menjadi sangat diperlukan ketika sebuah analisis jender hendak dilakukan. 84 Dari pandangan Fakih tersebut, dapat disimpulkan, bahwa prinsip keadilan adalah inti dasar dari ajaran Islam. Agar sesuai dengan realitas sosial yang ada, maka penafsiran terhadap ajaran keadilan harus dilakukan dengan meminjam analisis ilmu lain. Untuk dapat menganalisis sebuah tafsir agama tentang keadilan jender, maka analisis jender menjadi sangat diperlukan sebagai pisau analisisnya. 82 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 135. Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 136. 84 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 78. 83 48 2.7. Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat Patriarki adalah sistem sosial dimana kaum perempuan mengalami dominasi, penindasan dan eksploitasi dari kaum laki-laki.85 Patriarki merupakan suatu sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya perempuan mengalami penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial, politik maupun ekonomi.86 Dalam bentuk historis masyarakat patriarkis, baik feodal, kapitalis maupun sosialis, sebuah sistem berdasarkan jender dan jenis kelamin beserta diskriminasi ekonomi beroperasi secara simultan. Pada sistem patriarki, akses laki-laki memiliki kekuatan lebih besar dibanding perempuan terhadap, bahkan menjadi mediasi dari, sumber daya yang ada dan ganjaran.87 Penindasan perempuan, eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem politik, ekonomi dan budaya yang terjadi baik pada masyarakat feodal yang terbelakang, maupun masyarakat industri modern di hampir seluruh dunia.88 Bagi feminisme kontemporer, konsep patriarki sangat diperlukan sebagai istilah untuk mengekspresikan totalitas relasi yang menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan. Setiap teori feminis menemukan bahwa patriarki memunculkan gaya yang beragam dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan. Humm, menyatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan akibat dari sistem jender-seks. Humm mendefinisikan patriarki sebagai bentuk kontrol lakilaki terhadap reproduksi perempuan.89 Bagi feminis Sosialis atau Marxis, patriarki 85 Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 602. Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 87 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 88 Lihat Pengantar Penulis Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj. Zulhimiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), v. 89 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332-333. 86 49 ditempatkan dalam konteks materialis. Menurut mereka, model produksi kapitalis dibentuk oleh pembagian kerja secara seksual yang patriarkis. Sementara itu, feminis Radikal menyamakan patriarki dengan dominasi laki-laki. Mereka beranggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas kelas perempuan karena perempuan secara seksual lebih rendah nilainya daripada laki-laki.90 Sementara itu, terkait dengan nilai-nilai patriarki dalam hukum agama, Engineer menyatakan bahwa, masyarakat tradisional adalah patriarkis, dan masyarakat modern telah mewarisi nilai-nilai patriarkis tersebut. Patriarki adalah penghalang terbesar bagi terwujudnya keadilan jender. Dalam perihal hukum agama, tidak jarang nilai-nilai patriarkis dibentuk dan dilegitimasi dengan menggunakan kitab-kitab keagamaan sehingga terbentuk anggapan bahwa hukum agama tersebut bersifat ilahiah, suci dan tidak dapat diubah.91 Terkait dengan dominasi kaum laki-laki dalam hal penafsiran teks kitab suci, Hasan menyatakan, bahwa sejumlah faktor historis menunjukkan bahwa dominasi kaum laki-laki dalam penafsiran teks-teks suci agama Islam telah terjadi sejak periode klasik Islam. Hal tersebut selanjutnya berdampak pada peminggiran pengalaman perempuan dalam penafsiran teologi.92 Untuk terciptanya kemerdekaan sejati bagi perempuan di seluruh dunia, maka salah satu cara yang harus ditempuh adalah dihapuskannya sistem patriarkat beserta nilai-nilainya. Berikut kutipan lengkap dari Nawal el-Saadawi: “Kemerdekaan wanita yang sejati dan utuh, baik di negara-negara Arab, di Barat atau di Timur Jauh, hanya terwujud bila kemanusiaan mengenyahkan masyarakat kelas dan 90 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 333-334. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKis, 2007), 4. 92 Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 218. 91 50 eksploitasi selama-lamanya, dan bila sistem patriarkat berikut nilai-nilainya, struktur dan bekas-bekasnya dihapus dari kehidupan dan pikiran masyarakat. dengan kata lain, wanita hanya bisa benar-benar merdeka dibawah sistem masyarakat sosialis bila kelas-kelas sosial dihapuskan dan, lebih jauh lagi, bila sistem, konsep dan hukum patriarkalisme 93 benar-benar dihapus.” Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan jender merupakan perihal yang sangat sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat patriarkat. Hal ini karena perempuan masih saja ditempatkan sebagai kelas yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan terus mengalami penindasan melalui berbagai institusi, baik: sosial, politik, hukum, ekonomi, dan bahkan juga agama. 2.8. Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin Pada sub bab ini, akan dibahas mengenai Teori Keadilan Humanis Berbasis Jender yang dikembangkan oleh Susan Moller Okin (1946-2004).94 Pembahasan diawali dengan biografi Okin, dilanjutkan dengan konteks yang melatarbelakangi pemikiran Okin tentang teori keadilan jender. Setelah itu dilanjutkan dengan mengulas beberapa bagian penting dari buku Justice, Gender and The Family, sebuah buku karangan Okin yang didalamnya memuat teori keadilan jender tersebut. Ada beberapa sub topik yang dibahas di sini, diantaranya: Keadilan dan Gender; Keluarga: Di Luar Jangkauan Keadilan; Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin; Pandangan Okin terkait Justice as Fairness; Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomik Publik/Domestik; Kerentanan oleh Pernikahan; dan Menuju Keadilan Humanis. 93 Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriark, (terj. Zulhimiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 365. 94 Susan Moller Okin adalah seorang ahli filsuf Barat dan sekaligus seorang feminis Liberal yang mengembangkan sebuah teori keadilan humanis berbasis jender. Untuk selanjutnya di dalam tesis ini disebut dengan nama Okin. Adapun untuk teori keadilan humanis berbasis jender, selanjutnya dipersingkat menjadi teori keadilan jender. 51 Pembahasan berikutnya adalah Inti Kritik Susan Moller Okin, Kelebihan dan Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin, dan diakhiri dengan Kesimpulan. 2.8.1. Biografi Susan Moller Okin (1946-2004) Susan Moller Okin atau lebih dikenal dengan sebutan Okin, lahir pada tanggal 19 Juli 1946.95 Okin lahir di Aucklan, Selandia Baru. Dia adalah seorang ahli filsuf politik ternama yang juga berkonsentrasi pada masalah jender dan keluarga. Terkait pendidikannya, Okin berhasil menyelesaikan gelar sarjana pada University of Aucklan (1967), gelar master filsafat pada Oxford (1970), dan gelar doktor pada Harvard (1975). Sebelum bergabung dengan fakultas di Stanford, Okin telah mengajar di berbagai universitas seperti: Universitas Auckland, Vassar, Brandeis, dan Harvard. Selain kesibukannya mengajar, Okin juga dipercaya menjadi direktur Program Etika Masyarakat (1993-1996). Selama karirnya, Okin menerima banyak penghargaan, diantaranya: “The American Political Science Association‟s Victoria Schuck Prize” untuk buku terbaik tentang perempuan dan politik Justice, Gender and The Family (1989), dan “Allan V. Cox Medal” untuk keunggulan fakultas dalam pembinaan penelitian tingkat sarjana pada tahun 2002.96 Pada tahun 2000 Okin juga memperoleh penghargaan Radcliffe “Graduate Society Medal” sebagai alumni Harvard yang membuat kontribusi luar biasa di dalam bidangnya. 97 95 http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducation, diakses pada Kamis, 10 Maret 2016. 96 http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2 Maret 2016. 97 http://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405, diakses pada Senin, 29 Pebruari 2016. 52 Okin meninggal pada tanggal 3 Maret 2004 dalam usia 57 tahun. Hingga saat ini, penyebab kematian Okin masih belum dapat dipastikan. Okin meninggalkan seorang puteri bernama Laura Moller Okin (Boston) dan seorang putera bernama Justin Moller Okin (New York) serta dua saudara perempuannya: Catherine Pitt (Notingham, Inggris) dan Janice Mei (Aucklan, Selandia Baru). Pernikahannya dengan Bob Okin dari Los Altos berakhir dengan perceraian.98 2.8.2. Konteks yang melatarbelakangi Pemikiran Susan Moller Okin Teori keadilan jender Okin yang diangkat dalam tesis ini, terdapat dalam buku karangan Okin yang berjudul Justice, Gender and The Family (1989). Terkait dengan konteks yang melatarbelakangi pemikirannya, Okin di dalam pengantar bukunya menyebutkan, bahwa ada tiga faktor utama yang telah mendorongnya untuk menulis karya tersebut, yakni: pertama, beberapa teori feminis telah terjatuh ke dalam perangkap akademik sehingga kemudian menjadi sulit untuk dipahami, bahkan sekalipun oleh sebagian besar kaum yang berpendidikan. Kedua, iklim politik Amerika Serikat tahun 1980-an telah berdampak pada lemahnya perjuangan menuju kesetaraan perempuan. Ketiga, pengalaman kehidupan pribadi Susan Moller Okin, baik sebagai ahli teori politik maupun sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya.99 Terkait dengan ketiga faktor tersebut, disini peneliti hanya membahas faktor yang pertama dan kedua, yakni mengenai kejatuhan teori feminis ke dalam perangkap akademik dan situasi politik Amerika yang mendorong Okin dalam menulis karyanya tersebut. Kedua faktor tersebut dibahas peneliti dalam satu 98 http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2 Maret 2016. 99 Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, (USA: Chicago Press, 1989), vii. 53 rangkaian yang tak terpisahkan karena keduanya memang saling bersangkutan satu dengan lainnya. Valerie Sanders dalam Gamble (ed.,) menyatakan bahwa aktivisme feminis Amerika telah dimulai pada saat menjelang diadakannya konvensi Seneca Falls tahun 1848, yakni sebuah pertemuan yang memiliki agenda untuk menuntut penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 300 orang, termasuk didalamnya adalah 40 laki-laki. Penganjur utama dari Seneca Falls adalah Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Lucretia Mott. Dalam perjuangan tersebut, mereka menggunakan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) tahun 1776 sebagai model untuk Declaration of Sentiment, yakni sebuah Deklarasi Pernyataan Sikap yang dihasilkan pada konvensi tersebut.100 Selain Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of Sentiments), dalam Seneca Falls, New York, juga dihasilkan dua belas resolusi. Deklarasi Pernyataan Sikap menekankan isu yang telah dicanangkan oleh Mill dan Tylor di Inggris, terutama kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Adapun dua belas resolusi menekankan hak-hak perempuan untuk mengutarakan pendapatnya didepan umum. Satu-satunya dari resolusi Seneca Falls yang tidak didukung secara penuh adalah resolusi dari Susan B. Anthony mengenai resolusi atas hak pilih.101 100 Valerie Sanders, “Gerakan Feminis Gelombang Pertama”, dalam Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Sarah Gamble ed., terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. Di sini, Elizabeth Cady Stanton disebut Sander sebagai tokoh feminis Amerika yang paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. 101 Tong, Feminist Thought, 31. 54 Mengingat begitu mendesaknya hak-hak perempuan untuk diperjuangkan, maka pada tahun 1886, Konvensi hak-hak Perempuan Nasional memutuskan untuk membentuk Equal Right Association (Asosiasi Kesetaraan hak). Dibawah kepemimpinan Frederick Douglass dan Elizabeth Cady Stanton, asosiasi ini mengumumkan tujuan organisasinya, yakni penyatuan perjuangan (laki-laki) kulit hitam dan perempuan dalam memperoleh hak pilih. Namun dalam perkembangan selanjutnya, muncullah tanda-tanda, bahwa asosiasi ini akan mendukung bagian dari Amandemen Kelima Belas, yakni memberikan hak pilih bagi laki-laki kulit hitam, tetapi tidak bagi perempuan. Karena hal tersebut, Anthony dan Stanton mengajukan pendapat bagi pembubaran Equal Right Association. Setelah keluar dari Equal Right Association, Anthony dan Stanton membentuk National Woman Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional). Adapun, Lucy Stone, seseorang yang memiliki perbedaan filosofis dengan Stanton, dan terutama dengan Anthony mengenai peran agama yang terorganisir dalam opesi terhadap perempuan, mendirikan American Woman Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika). Sejak saat itu, gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat terpecah menjadi dua. National Woman Suffrage Association memiliki agenda feminis yang revolusioner dan radikal, sementara itu American Woman Suffrage Association mengusung agenda feminis yang reformis dan liberal. Pada tahun 1890, kedua asosiasi tersebut melebur menjadi satu dengan nama National American Woman Suffrage Association dan bertransformasi menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih yang relatif jinak, dan 55 hanya berfokus pada satu isu saja. Dari tahun 1890 hingga tahun 1920, tepatnya ketika Amandemen Kesembilan Belas diloloskan, National American Woman Suffrage Association membatasi seluruh kegiatannya untuk mencapai hak pilih bagi perempuan.102 Dalam Garis Besar Sejarah Amerika, disebutkan bahwa pemilihan presiden tahun 1920 merupakan pertama kalinya perempuan di seluruh negeri dapat menggunakan hak pilihnya.103 Menurut Humm, pada tahun 1960-an, muncul sebuah gerakan sosial yang diorganisir untuk melawan segregasi di Amerika Serikat. Gerakan tersebut dikenal dengan Gerakan Hak Sipil (Civil Right Movement). Feminis gelombang kedua muncul dari gagasan para anggota perempuan gerakan hak sipil tersebut. Mereka adalah para aktivis perempuan yang mengalami penindasan dari anggota laki-laki gerakan tersebut.104 Sementara itu, Sara Evans dalam Humm, menyebutkan bahwa penyebab terbentukya liberasi perempuan di Amerika adalah kekecewaan terhadap politik Civil Rights, gerakan anti-perang, dan gerakan mahasiswa untuk masyarakat demokratis.105 Humm menyatakan bahwa istilah gelombang kedua dirangkai oleh Marsha Weinman Lear untuk menunjuk pada pembentukkan kelompok liberasi perempuan di Amerika, Inggris dan Jerman di akhir tahun 1960-an. Istilah “gelombang kedua” berarti bahwa feminisme “gelombang pertama” telah berakhir di tahun 1920.106 102 Tong, Feminist Thought, 31-34. Garis Besar Sejarah Amerika, 279. 104 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 60. 105 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415-416. 106 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415. 103 56 Terkait hal tersebut, Humm juga menyatakan bahwa pergeseran dari gerakan hak-hak sipil ke pembebasan perempuan telah menjadi penanda bagi dimulainya gelombang feminis kedua, dan ini merupakan pengulangan sejarah feminisme gelombang pertama. Tercatat dua kali dalam sejarah Amerika Serikat, perjuangan persamaan rasial telah menjadi bidan yang membantu lahirnya gerakan feminisme, yakni gerakan abolisi tahun 1830-an dan Civil Right Movement di tahun 1960-an.107 Menurut Humm, pembebasan perempuan (Woman Liberation) adalah nama dari gerakan perempuan kontemporer yang telah didopsi oleh para feminis di tahun 1960-an. Penamaan ini merupakan suatu upaya sadar untuk menghindari konotasi awal mengenai permasalahan perempuan.108 Sementara itu menurut Deckard, masih dalam Humm, menyatakan bahwa pembebasan perempuan muncul dari pengalaman kelompok perempuan dalam kelompok penyadaran dan diperluas ke dalam studi teoritis yang lebih khusus mengenai relasi sosial patriarkhi kapitalis. Liberasi perempuan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya: persamaan upah, pendidikan dan peluang kerja, bebas dari kontrasepsi dan aborsi atas dasar permintaan, bebas dari perawatan anak 24 jam, mengakhiri diskriminasi terhadap lesbian.109 Dengan adanya liberasi perempuan, maka kemudian muncul sebuah debat mengenai sampai di mana teori feminis bisa seiring dengan tujuan-tujuan gerakan liberasi perempuan tersebut. Beberapa feminis melihat adanya kontradiksi yang mendasar antara metode ilmiah sosial dalam teori tersebut dan prinsip-prinsip 107 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 1. Humm, Ensiklopedia Feminisme, 509. 109 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510. 108 57 gerakan. Sementara itu, feminis lainnya menyatakan bahwa teori tersebut hanya mempunyai tujuan jika seiring dengan politik liberasi perempuan. Intinya, bahwa keberhasilan utama liberasi perempuan telah menjadikan debat mengenai perbedaan jender sebagai kritik menyeluruh terhadap peradaban yang ada, dan telah membawa pada proses perubahan yang tidak terelakkan.110 Pada tahun 1961, Presiden John F. Kennedy mendirikan Commission on The Status of Women (Komisi mengenai Status Perempuan), yang diantaranya menghasilkan diberlakukannya Equal Pay Act (Kebijakan Kesetaraan Pengupahan) dan Civil Right Act (Kebijakan Hak-hak Sipil) yang pada tahun 1964 diloloskan dalam kongres.111 Gelombang feminisme di Amerika Serikat semakin meningkat di era reformasi. Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya sebuah buku The Feminine Mystique karya Betty Friedan pada tahun 1963, yang kemudian disusul dengan dibentuknya sebuah organisasi perempuan “National Organization for Woman” atau NOW di tahun 1966 oleh Betty Friedan.112 Menurut Sue Thornham dalam Gamble (ed.,), NOW dibentuk sebagai reaksi atas kegagalan America‟s Equal Employment Opportunity Commission (Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja AS) dalam menanggapi isu diskriminasi seks.113 Betty Friedan dipilih menjadi presiden pertama NOW oleh 300 anggota pengurus yang terdiri dari laki-laki dan 110 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510-512. Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro), (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 35-36. 112 Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. 113 Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36. 111 58 perempuan.114 Tujuan dibentuknya Undang-undang Hak Perempuan dalam konferensi nasional pertama NOW di tahun 1967 adalah untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tuntutan NOW bagi perempuan, antara lain: agar segera diloloskannya Amandemen Hak-hak yang Setara oleh Kongres Amerika Serikat; adanya jaminan bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam hal kesempatan kerja; adanya perlindungan hukum bagi perempuan yang melahirkan, termasuk didalamnya untuk mendapat cuti melahirkan; adanya ketentuan hukum yang mengatur fasilitas bagi pengasuhan anak; hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan; hak perempuan untuk menguasai kehidupan reproduktifnya.115 Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan perempuan mulai mengalami pergeseran, yakni mulai terbentuknya kelompok-kelompok pembebasan perempuan non-hierarkis lokal. Berbeda dengan NOW, kelompok-kelompok baru tersebut tidak memiliki organisasi nasional. Untuk mencapai tujuannya, kelompok-kelompok tersebut melakukan berbagai aksi seperti: pendekatan terhadap infrastruktur komunitas radikal, gerakan bawah tanah, dan universitasuniversitas terbuka.116 Pada bulan Februari tahun 1968, Anne Koedt menyampaikan sebuah pidato di Universitas Terbuka di Kota New York terkait dengan perkembangan yang terjadi pada gerakan perempuan tersebut. Koedt menyebutnya sebagai proses “Conciousness Raising” (peningkatan kesadaran) yang selanjutnya melahirkan 114 Tong, Feminist Thought, 36. Tong, Feminist Thought, 36-38. 116 Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36. 115 59 asumsi bahwa “masalah pribadi adalah masalah politik”, artinya bahwa, kekuatan laki-laki dilatih dan dikuatkan melalui institusi personal seperti pernikahan, membesarkan anak dan kegiatan seksual. Proses peningkatan kesadaran menjadi ciri khusus kelompok-kelompok pembebasan perempuan.117 Pada tahun 1969, Cellestine Ware bersama Shulamith Firestone dan Anne Koedth mendirikan feminis Radikal New York.118 Pada awal tahun 1970-an, feminisme, atau kegiatan terorganisir atas nama hak dan kepentingan kaum perempuan mencapai titik puncaknya. Jurnalis Gloria Steinem dan beberapa orang wanita lain mendirikan majalah baru, Ms., yang terbit pertama kali tahun 1972. Selain itu, juga ada Our Bodies, Ourselves, buku pedoman kesehatan wanita. Akan tetapi, pada pertengahan hingga akhir tahun 1970-an, gerakan kaum perempuan mengalami kemandekan. Saat itu terjadi perpecahan antara feminis moderat dengan feminis radikal. Kaum konservatif yang menjadi lawan mereka melakukan kampanye menentang Amandemen Hak yang Setara (Equal Rights Amandement, ERA). Pada tahun 1982 ERA mati tanpa memperoleh persetujuan dari 38 negara bagian yang dibutuhkan untuk ratifikasi.119 Dengan melihat runtutan sejarah di atas, maka dapat dipahami bahwa Okin merupakan sosok filosof perempuan Barat dan juga feminis Liberal yang hidup di tengah masa peralihan dari feminis Gelombang Pertama ke feminis Gelombang Kedua, dan sekaligus hidup di tengah suasana kelesuan politik kenegaraan. Dalam 117 Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36-37. 118 Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 38-39. 119 Garis Besar Sejarah Amerika, 369-370. 60 kehidupan politik kenegaraan, bahwa gerakan perempuan di Amerika telah berhasil memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, yakni dengan diloloskannya Amandemen Kesembilas Belas di parlemen tahun 1920. Setelah hak pilih perempuan diraih, gerakan perempuan justeru mengalami kelesuan dalam perjuangannya hingga tahun 1960-an. Sementara itu, jika dilihat dari gerakan feminis yang ada, maka NOW yang dibentuk tahun 1966 telah menjadi salah satu penyebab bagi terjadinya perpecahan dikalangan feminis, dan kemudian memunculkan sebuah gerakan feminis Radikal. Feminis Liberal yang pada dasarnya menerima keluarga dalam dikotomi publik-privat, selanjutnya justeru diserang oleh feminis Radikal yang beranggapan bahwa keluarga telah menjadi sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan, dan oleh karenanya, keluarga harus dihancurkan karena telah dianggap sebagai sebuah institusi yang telah melahirkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain terjadi perpecahan di tubuh feminis, kaum feminis juga diperhadapkan pada munculnya gerakan pembebasan perempuan. Berbagai kejadian tersebut telah menjadi penyebab kegelisahan di kalangan akademisi. Teori feminis yang berkembang pun terjebak pada perubahan yang diusung oleh feminis Radikal dan gerakan pembebasan perempuan. Dalam situasi yang demikian, Okin sebagai seorang filsuf politik dan feminis Liberal yang begitu peduli terhadap masalah jender dan keluarga merasa terpanggil dan tergerak hatinya untuk membuat sebuah karya yang berisikan kritik terhadap situasi yang ada. Terlebih lagi, Okin juga melihat bahwa keluarga (khususnya dalam hal ini perempuan dan anak-anak), juga belum menjadi subyek yang pasti di dalam teori keadilan yang berkembang saat itu. Dari berbagai 61 kejadian inilah kegelisahan Okin bermuara, dan selanjutnya ia tuangkan ke dalam sebuah karya besar yang berjudul Justice, Gender and The Family. Justice, Gender and The Family adalah sebuah karya yang memuat tentang teori keadilan humanis, dan untuk selanjutnya dikenal dengan teori keadilan jender. 2.8.3. Keadilan, Jender dan Keluarga 2.8.3.1.Keadilan dan Jender a. Pengantar: Keadilan dan Jender Terwujudnya keadilan dan kesejahteraan umum adalah tujuan dari setiap negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Adalah hal yang sangat tidak diinginkan, ketika perbedaan bawaan (jenis kelamin) telah menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan dalam masyarakat. Bahwa, dalam kenyataannya, masih saja terdapat kesenjangan besar yang terjadi antara kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan, adalah disebabkan karena adanya ketidaksetaraan dalam distribusi kerja yang tidak diupah di dalam keluarga. Terlebih yang berkaitan dengan tanggungjawab keluarga, khususnya dalam hal pengasuhan anak, Okin dengan meminjam istilah Shirley Williams, menyebutnya sebagai “revolusi besar yang belum terjadi”. Perempuan tetap menjadi sosok yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Pembagian kerja secara seksual adalah sumber ketidakadilan bagi perempuan. Meskipun terkadang perempuan bekerja di ranah publik, namun mereka tidak dapat lepas dari pekerjaan domestik rumahtangganya, sehingga ada istilah “keberhasilan palsu”. Bagi Okin, selama belum terwujud keadilan di dalam keluarga, maka perempuan belum akan 62 memperoleh kesetaraan di bidang politik, di tempat kerja dan pada bidang lainnya.120 Pernikahan jender terstruktur adalah lembaga yang membuat wanita rentan secara ekonomi dan sosial.121 Menurut Okin, siklus ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki telah diabadikan oleh keluarga melalui sebuah pernikahan jender terstruktur. Bahwa sebuah pernikahan secara tidak disadari telah menyembunyikan ketimpangan sosial yang dibangun perempuan melalui pernikahannya. Terkait hal ini, Okin mencontohkan beberapa hal, diantaranya; Dalam hal perempuan bekerja: bahwa diskriminasi ditempat kerja telah menyebabkan perbedaan upah antara laki-laki dengan perempuan, selain itu, istri maju lebih lambat dari suami dalam senioritas kerja; Dalam hal pengambilan keputusan di dalam keluarga: bahwa suami adalah pengambil utama keputusan dalam keluarga. Di sini laki-laki dianggap lebih rasional dari pada istri.122 Intinya, menurut Okin, bahwa selama ini pembagian kerja secara seksual sudah menjadi bagian fundamental dari kontrak pernikahan. Adapun “jender”, hingga saat ini masih diresapi sebagai pelembagaan yang tertanam kuat atas perbedaan seksual.123 b. Pembangunan Jender Jender merupakan arti baru dari apa yang secara tradisional dianggap sebagai sesuatu yang kodrati, yang disebabkan karena adanya perbedaan jenis 120 Okin, Justice, Gender, and The Family, 3-4. Okin, Justice, Gender, and The Family, 24. 122 Okin, Justice, Gender, and The Family, 5. 123 Okin, Justice, Gender, and The Family, 6. 121 63 kelamin. Kemudian dengan berhutang pada feminisme dan teori feminis, jender kemudian datang dan diakui sebagai faktor sosial yang sangat penting. Jender banyak dikaji dari berbagai spektrum dan disiplin ilmu seperti psikologi, sejarah dan antropologi, sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul beragam pemikiran terkait jender. Ada pandangan yang menyatakan bahwa subordinasi perempuan itu bukan hanya disebabkan karena pebedaan biologis semata, tetapi akibat kontruksi sosial. Bukan hal yang aneh, ketika para feminis harus menuai banyak kritikan yang disebabkan karena mereka telah mengembangkan teori-teori jender yang tidak memperhitungkan perbedaan perempuan yang didasarkan pada ras, kelas, agama dan etnis. Intinya bahwa, banyak ketidakadilan yang dialami perempuan karena terlahir sebagai perempuan, apapun perbedaan diantara mereka, mereka tetap menderita dalam apa pun bentuk ketidakadilannya.124 c. Keluarga sebagai Jender Terstruktur yang tersembunyi. Pada masa lalu para ahli teori politik telah mengembangkan istilah “privat” dan “publik” untuk dua bidang operasional dengan prinsip yang berbeda. “privat” menunjuk pada kehidupan rumahtangga dan “publik” untuk kehidupan politik dan pasar. Beralih pada teori keadilan kontemporer, keluarga masih terabaikan dimana terdapat penghakiman bahwa keluarga sebagai ranah “nonpolitik”, adapun “individu” yang menjadi subjek dari dasar teori mereka adalah laki-laki kepala rumahtangga.125 Jika demikian adanya, maka dimanakah kedudukan perempuan sebagai subjek teori? Intinya bahwa, keluarga (khususnya dalam hal ini perempuan) tidak pernah dipertimbangkan dalam pandangan standar 124 125 Okin, Justice, Gender, and The Family, 6-7. Okin, Justice, Gender, and The Family, 8-9. 64 apapun mengenai keadilan dari para ahli teori yang ada.126 Keluarga, dengan demikian telah menjadi “jender terstruktur yang tersembunyi” dari sebuah teori keadilan. d. Jender sebagai sebuah Isu Keadilan Jender sebagai sebuah isu keadilan, adalah sebuah keadaan yang tidak dapat diterima. Hal ini karena ada tiga alasan utama; Pertama, titik jelas bahwa perempuan harus sepenuhnya dimasukkan dalam teori keadilan yang memuaskan. Kedua, bahwa kesetaraan kesempatan, tidak hanya untuk wanita tetapi untuk anak-anak dari kedua jenis kelamin, serius dirusak oleh ketidakadilan jender saat ini di masyarakat kita. Dan ketiga, bahwa, seperti yang telah disarankan, keluarga -saat ini yang terpenting dari struktur jenis kelamin- harus adil jika kita memiliki masyarakat yang adil, karena keluarga merupakan sekolah pertama bagi perkembangan moral.127 e. Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan128 Hampir setiap orang di masyarakat kita hidup di mulai dalam keluarga. Keluarga menjadi sebuah lembaga yang sangat dibutuhkan bagi awal kehidupan seseorang. Meski bentuknya bervariasi, keluarga, dimana anak tumbuh dibesarkan, terutama pada tahun-tahun awal, jelas keluarga menjadi sangat penting bagi perkembangan moral awal anak dan untuk pembentukan sikap dasar terhadap orang lain, khususnya dalam hal ini adalah sikap adil. Mengenai pentingnya keluarga bagi perkembangan moral individu, telah dimulai dari para 126 Okin, Justice, Gender, and The Family, 10. Okin, Justice, Gender, and The Family, 14. 128 Okin, Justice, Gender, and The Family, 17. 127 65 ahli teori politik masa lalu seperti Hegel, Rousseau, Tocqueville, Mill, dan Dewey.129 Bahwa keluarga itu harus adil. Hal ini karena pengaruh besarnya terhadap pengembangan moral anak-anak. Anak-anak akan belajar mengembangkan rasa keadilan mereka dari keluarga yang dimilikinya sehingga nantinya mereka diharapkan dapat menjadi warga masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan. Terkait dengan peran keluarga sebagai sekolah keadilan, Okin berpendapat bahwa, peningkatan keadilan dengan menghapus peran jender di dalam keluarga akan menjadikan keluarga sebagai sekolah keadilan pertama yang terbaik bagi anak-anak dalam mengembangkan rasa keadilan.130 2.8.3.2.Keluarga: “Di Luar Jangkauan” Keadilan Kesenjangan substansial yang terus ada di antara jenis kelamin dalam masyarakat kita telah memiliki efek serius pada kehidupan di hampir semua wanita dan jumlah yang semakin besar pada anak-anak. Mendasari semua ketidaksetaraan ini adalah distribusi yang tidak merata dari kerja yang tidak dibayar dalam keluarga.131 Menurut Okin, keluarga harus mendapat perhatian yang cukup serius terkait dengan pembahasan tentang keadilan, hal ini bukan untuk kepentingan perempuan semata, tapi lebih jauh dari semua itu adalah bagi terwujudnya keadilan sosial secara menyeluruh. Keluarga berada “diluar jangkauan” keadilan. Istilah tersebut mengandung makna, bahwa, ketika membahas masalah keadilan, keluarga belum menjadi subjek dari keadilan tersebut. Terkait hal ini, ada dua pendapat terkenal yang 129 Okin, Justice, Gender, and The Family, 18. Okin, Justice, Gender, and The Family, 185. 131 Okin, Justice, Gender, and The Family, 25. 130 66 mengarah pada kesimpulan bahwa “keluarga secara internal adil adalah sesat”. Kedua pendapat tersebut berasal dari Michael Sandel dalam Liberalism and the Limits of Justice dan Allan Bloom‟s dalam The Closing of the American Mind. Bagi Sandel yang dimaksud dengan keluarga “di luar jangkauan” keadilan mengandung makna, bahwa, keluarga tidak ditandai oleh keadaan keadilan. Keadilan akan beroperasi hanya ketika terdapat perbedaan kepentingan dan barang yang didistribusikan langka. Bagi Sandel, keluarga adalah sebuah kelompok yang akrab, yang diselenggarakan bersama oleh cinta dan identitas kepentingan, keluarga ditandai dengan kebajikan yang lebih mulia. Sementara itu menurut Bloom, keluarga dianggap sebagai “diluar jangkauan” keadilan dalam arti bahwa “alam” telah mendikte struktur hirarki. Bloom mengakui terus terang bahwa pembagian kerja yang ditemukan dalam keluarga jender terstruktur adalah tidak adil, setidaknya menurut standar keadilan yang berlaku, tetapi menurutnya, memegang pendapat kedua tersebut adalah alami dan diperlukan.132 a. Keadilan dan Keluarga Ideal “Keadilan bukan merupakan kebajikan yang tepat bagi keluarga” merupakan gagasan dari Rousseau dan Hume. Rousseau berpendapat bahwa kehidupan keluarga tidak seperti masyarakat politik, tidak perlu bertanggung jawab kepada anggotanya atau diatur oleh prinsip-prinsip keadilan, hal ini karena kehidupan keluarga didirikan atas dasar cinta. Lebih lanjut, Rosseau menyimpulkan 132 bahwa, tanpa bermaksud mengurangi kesejahteraannya, Okin, Justice, Gender, and The Family, 25-26. 67 perempuan, akan lebih baik mengatur keluarga dan ditolak haknya untuk berpartisipasi pada ranah politik karena suami mereka telah mewakilinya.133 Sementara itu, Hume berpendapat bahwa, keadilan bukan merupakan standar yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan keluarga. Hal ini karena keluarga merupakan tempat memperluas kasih sayang yang besar dan karena eratnya persahabatan menjadikan terhapusnya pembagian harta diantara mereka. Intinya bahwa, standar keadilan tidak relevan untuk diterapkan di dalam institusi keluarga.134 Pendapat Hume tersebut telah dijadikan sebagai landasan alat kritik bagi Michael Sandel terhadap teori keadilan liberal John Rawls, khususnya tentang “keadilan sebagai kebajikan moral yang utama”. Gagasan Rawls tersebut terdapat dalam A Theory of Justice, bahwa keluarga sebagai bagian dari “struktur dasar masyarakat”, adalah tempat dimana seharusnya keadilan berawal. Namun dalam teorinya tersebut, Rawls ternyata tidak mempertimbangkan keluarga untuk dijadikan sebagai subyek keadilan, keluarga berada diluar keadilan. 135 Dalam kritikannya tersebut, Sandel berpendapat bahwa klaim Rawls untuk keutamaan keadilan telah dirusak dengan adanya berbagai kelompok sosial di mana keadaan keadilan tidak mendominasi. Di antara kelompok tersebut, ditandai dengan mereka “kurang lebih jelas didefinisikan identitas umum dan tujuan bersama,” di sini, keluarga “dapat mewakili kasus ekstrim.” Dia berpendapat bahwa keberadaan asosiasi tersebut membantah dalam dua klaim Rawls bahwa keadilan adalah kebajikan pertama atau utama lembaga-lembaga sosial. 133 Okin, Justice, Gender, and The Family, 26-27. Okin, Justice, Gender, and The Family, 27. 135 Okin, Justice, Gender, and The Family, 27. 134 68 Di sini Okin mempertanyakan kritik Sandel terhadap Rawls tersebut, sebagai berikut; “keadilan entah bagaimana telah mengambil dari keintiman, harmoni dan cinta, tetapi apakah itu kemudian berarti bahwa kasih sayang yang harmonis dan cinta yang mendalam tidak dapat dipersandingkan dengan standar keadilan secara terus menerus? Mengapa kita harus dipaksa untuk memilih dan dengan demikian untuk mencela dasar dan penting kebajikan, keadilan, memainkannya dimulai dengan melawan apa yang diklaim sebagai kebajikan yang lebih tinggi? Kami pasti tidak dihadapkan dengan pilihan seperti jika, melihat pengelompokan manusia seperti keluarga realistis, kita bersikeras 136 bahwa mereka dibangun di atas dasar keadilan.” Untuk menengahi dua pendapat yang berseberangan tersebut, Okin mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa keadilan diperlukan sebagai hal primer, yang paling mendasar, adapun kebajikan moral ditempatkan sebagai tujuan umum dalam kelompok sosial dimana kasih sayang sering berlaku.137 Selanjutnya, bagi Okin, keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadikan keadilan sebagai sebuah kebajikan yang penting.138 b. Ketidakadilan Keluarga sebagai kepentingan Sosial dan Alam Rousseau dalam karyanya, idealized menyatakan bahwa alam telah mengharuskan perempuan untuk tunduk kepada laki-laki. Ketidaksempurnaan yang dimiliki kaum laki-laki telah memaksa perempuan untuk mengalami ketidakadilan dan subordinasi melalui adanya pembagian kerja yang kaku antara jenis kelamin (pembagian kerja secara seksual) yang telah dikonstruksi oleh masyarakat (masyarakat patriarki). Intinya bahwa, “kecenderungan perempuan mengalami ketidakadilan adalah disebabkan karena alam telah mengharuskan perempuan untuk tunduk dengan laki-laki”.139 136 Okin, Justice, Gender, and The Family, 32. Okin, Justice, Gender, and The Family, 29. 138 Okin, Justice, Gender, and The Family, 32. 139 Okin, Justice, Gender, and The Family, 33. 137 69 Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari pendapat Rousseau adalah meski pada dasarnya pembagian kerja secara seksual di dalam keluarga telah menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan dan subordinasi bagi kaum perempuan (istri), namun hal tersebut tetap harus dipahami sebagai sesuatu yang kodrati yang diakibatkan dari adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya beralih pada karya Bloom, The Closing of the American Mind. Karya tersebut menceritakan tentang kehancuran demokrasi liberal Amerika yang disebabkan karena universitas telah gagal mendidik elit mudanya. Tanpa memiliki pendidikan dengan pemikiran rasional yang memadai, hanya dengan belajar serius dari literatur dan buku-buku besar tentang filsafat Barat, para elit muda tanpa memiliki tujuan pasti telah berkeliaran di dalam kekacauan relativisme, sebuah “toleransi tidak terkontrol” yang mengancam kehidupan masyarakat. Feminisme merupakan musuh utama Bloom. Hal ini karena menurutnya, feminisme “tidak didirikan pada alam”, seperti menentang pada takdir biologis alami perempuan. Feminisme telah banyak menyalahkan dan merusak prestise dari buku-buku besar dan untuk mempercepat kemerosotan keluarga yang sudah terkepung.140 Menurut Bloom, feminisme telah mengikis keluarga dengan menentang terhadap peran seks tradisional, seperti yang dilakukan banyak gerakan modern lainnya yang mencari keadilan abstrak, feminism telah melupakan alam dan menggunakan kekuatan untuk mengamankan keadilan itu.141 Alam, telah menjadikan ibu sama sekali berbeda dari ayah. Pria tidak memiliki keinginan alami atau butuh anakanak. Tapi wanita tentu ingin anak-anak, dan karena itu harus merawat mereka. 140 141 Okin, Justice, Gender, and The Family, 34. Okin, Justice, Gender, and The Family, 35. 70 Dan perempuan harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang secara efektif dapat membuat kebanyakan pria berbagi sama rata dalam tanggung jawabnya terhadap peran melahirkan dan membesarkan anak.142 Seperti banyak antifeminis lainnya, Bloom sangat bergantung pada “alam” dan terutama pada biologi reproduksi untuk mendebat perihal rasionalitas dan perlunya peran seks tradisional. Selanjutnya, menurut Bloom, upaya feminis untuk menciptakan pembagian peran dan tanggung jawab yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga adalah merusak maskulinitas.143 Bloom tetap dalam keyakinan bahwa membesarkan anak secara keseluruhan adalah tanggungjawab “alami” perempuan.144 2.8.3.3.Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin. a. Rasionalitas dan Keadilan dalam Konteks Tradisi MacIntyre membuat klaim bahwa untuk dapat memahami keadilan secara menyeluruh, maka kita harus kembali dan membenamkan diri pada pengetahuan tentang tradisi, khususnya tradisi yang membentuk latar belakang budaya Barat. Dengan membenamkan diri pada tradisi dan mempelajari narasi sejarah, maka akan diperoleh jawaban rasional yang kita perlukan ketika dalam berbagai situasi kehidupan, kita harus menjawab sebuah pertanyaan tentang “apa yang harus saya lakukan?.”145 MacIntyre mengajak kepada semua orang, bahwa, jika ingin mencapai pemahaman menyeluruh tentang keadilan, maka kita harus berbalik dan 142 Okin, Justice, Gender, and The Family, 35. Okin, Justice, Gender, and The Family, 36. 144 Okin, Justice, Gender, and The Family, 38. 145 Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 143 71 membenamkan diri pada pengetahuan tentang tradisi, khususnya, yang membentuk latar belakang budaya Barat.146 Lebih tepatnya adalah sebuah “tradisi klasik” tentang etika, yang berbicara seputar “konsep kebajikan.147 Ciri dari etika tradisi MacIntyre berpusat pada gagasan Aristoteles, bahwa, peran sosial tertentu merupakan asumsi yang paling mendasar dimana tradisi dibangun, dan pusat etika mereka pada kebajikan yang diperlukan untuk menunjukkan peran sosial tersebut.148 Melalui karyanya yang kedua, MacIntyre mencoba memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang belum terjawab tuntas pada buku terdahulunya After Virtue, yakni mengenai apa itu rasionalitas, memberi evaluasi mengenai siapa saingan dan argumen yang tidak serasi dalam After Virtue, agar menjadi lebih memadai.149 Secara umum, buku Whose Justice? Which Rationality? membahas tentang beberapa etika tradisi.150 Pada akhir buku, MacIntyre berpendapat bahwa sintesis Thomas Aquinas mengenai Aristotelian dan tradisi Kristen Augustinian adalah yang terbaik untuk mencontohkan tentang rasionalitas dan keadilan.151 Menurut Okin, meskipun dalam penggunaan istilahistilahnya terkadang begitu absurd namun karya kedua MacIntyre tersebut telah menggunakan bahasa netral jender.152 146 Pernyataan ini terdapat dalam buku MacIntyre yang berjudul After Virtue (1981). Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 147 Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 148 Okin, Justice, Gender, and The Family, 43-44. 149 Karya MacIntyre yang kedua berjudul Whose Justice? Which Rationality? (1988). 150 Etika tradisi yang dibahas MacIntyre mencakup: tradisi Aristotelian, yakni dari awal Homer sampai puncaknya Aquinas; tradisi kekristenan Augustinian; dan tradisi campuran antara Calvinis Augustinianisme dengan Renaissance Aristotelianisme yang menjadi tradisi Pencerahan Skotlandia (akhirnya ditumbangkan oleh Hume). Okin, Justice, Gender, and The Family, 46. 151 Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 152 Okin, Justice, Gender, and The Family, 44-45. 72 Bagi Okin, karya kedua MacIntyre tersebut telah gagal di dalam tujuan utamanya untuk memberikan penjelasan tentang rasionalitas tradisi. Hal ini disebabkan karena telah terjadi adanya satu “krisis epistemologis” yang ditandai dengan “dissolution of historically founded certitudes”, yang kemudian, penulis maknai sebagai “pembubaran sejarah, sebagai hal yang secara pasti ditemukan”. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya suatu perubahan sosial dalam masyarakat. 153 b. Feminisme Sebagai Sebuah Tradisi Terkait dengan apa yang dimaksud dengan tradisi oleh MacIntyre, Okin menyatakan bahwa feminisme bukan tradisi dalam pengertiannya sebagai pendefinisian konteks, yang didalamnya menekankan sifat otoritatif dari “teks”. Hal ini disebabkan karena kebanyakan feminis tidak memiliki teks otoritatif sebagaimana dimaksud. Ahli teori feminis banyak yang tidak setuju satu dengan lainnya dalam banyak hal. Mereka berdebat baik dengan para pendahulunya maupun yang sezaman, tapi isu paling utama dari mereka, bahwa perempuan adalah manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang berhak mendapat tempat yang sama dengan laki-laki dalam teori politik atau moral.154 Feminisme adalah tradisi dalam arti sebagai “argumen yang hidup”. Di sini banyak ahli teori feminis besar yang berbeda pendapat mengenai penyebab, jenis dan solusi dari penindasan perempuan. Meski berbeda pendapat, namun mereka sependapat bahwa ketika sebuah tradisi tidak bisa menjawab pertanyaan 153 154 Okin, Justice, Gender, and The Family, 46. Okin, Justice, Gender, and The Family, 61. 73 dan tidak bisa mengatasi tentang apa itu “manusia baik” maka ia tidak bisa lagi dianggap sebagai adil atau rasional.155 Dari semua pembahasan MacIntyre tentang tradisi, menurut Okin hanya tradisi liberal yang isinya dapat menjawab pertanyaan para feminis. Banyak teori feminis yang mengakui sejumlah prinsip dasar liberalisme seperti tentang penggantian keyakinan dalam hirarki alam dengan keyakinan dalam kesetaraan dasar manusia dan menempatkan kebebasan individu, prinsip yang juga pernah dikembangkan oleh feminis. Menurut Okin, feminisme telah berhutang besar terhadap liberalisme. Tanpa liberalisme, feminis akan sulit untuk muncul ke permukaan.156 c. Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin Berbeda dengan kepatuhan MacIntyre terhadap tradisi, Walzer dalam karyanya berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan itu harus berdasarkan pada “pemahaman bersama” atas masing-masing kebudayaan. Hal ini karena menurutnya, untuk menjawab atas pertanyaan kontemporer tentang keadilan, tidak ditemukan dalam tradisi-tradisi masa lalu, dan dia percaya bahwa pemahaman bersama dari budaya adalah sesuatu yang secara fundamental egaliter.157 Walzer, disini menafsirkan makna “pemahaman bersama” dengan cara yang mengarah pada sebuah kesimpulan yang jauh lebih egaliter. Walzer berpendapat bahwa pemahaman bersama yang dimiliki oleh masyarakat biasa, meskipun bersifat laten 155 156 157 Okin, Justice, Gender, and The Family, 61. Okin, Justice, Gender, and The Family, 61. Okin, Justice, Gender, and The Family, 62. 74 tetapi itu harus dibawa sepenuhnya kepada kesadaran. Dan makna laten tersebut merupakan tugas kritikus sosial.158 Dengan pendapatnya tentang “pemahaman bersama” tersebut, Walzer dikatakan telah jatuh kepada sebuah relativisme. Namun, masalah relativisme tersebut, kemudian mendapat terang ketika Walzer menyatakan tentang adanya dominasi terhadap distribusi keadilan yang disebabkan karena nilai (kelahiran dan darah) yang terjadi dalam sistem fundamental hirarkis seperti dalam masyarakat feodal dan kasta. Walzer, disini mengakui, bahwa dalam sistem kasta, dimana makna sosial yang terintegrasi dan hierarkis, telah menjadikan “keadilan datang kepada sebuah ketidaksetaraan.”159 Berbeda dengan masyarakat kasta sebagaimana dicontohkan Walzer, patriarki ternyata juga memiliki ideologi yang mengabadikan legitimasi hirarki.160 Menurut Okin, meski teori Walzer tentang “pemahaman bersama” tidak dapat memberikan kriteria yang tepat untuk mengadili perbedaan antar sudut pandang yang berbeda mengenai keadilan, namun disini dapat ditemukan sebuah pemahaman laten, yakni: “sudah menjadi sebuah keharusan, bahwa segala sesuatu itu akan terus berada dibawah perbedaan pendapat.”161 2.8.3.4. Pandangan Okin terhadap Justice As Fairness Menurut Okin, Rawls dalam A Theory of Justice, sebagaimana hampir semua ahli teori politik, telah menempatkan laki-laki menjadi acuan umum.162 Meski dalam teorinya Rawls telah menempatkan struktur dasar, dalam hal ini, 158 159 160 161 162 Okin, Justice, Gender, and The Family, 42. Okin, Justice, Gender, and The Family, 63. Okin, Justice, Gender, and The Family, 65-66. Okin, Justice, Gender, and The Family, 68. Okin, Justice, Gender, and The Family, 90. 75 keluarga sebagai subyek utama dimana prinsip-prinsip keadilan harus diterapkan tetapi keluarga sebagian besar diabaikan, meski diasumsikan di akhir teorinya. 163 “Apakah teori keadilan ini berlaku untuk wanita?”164, adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan feminis terhadap teori Keadilan Liberal Rawls. Jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata tidak ditemukan pada istilah “selubung ketidaktahuan” dalam A Teory of Justice karya Rawls, yakni sederetan daftar dari hal-hal yang tidak diketahui oleh seseorang dalam posisi asli, sebagaimana tempatnya di masyarakat, status sosialnya, kekayaannya, kecerdasan dan kekuatan, dan sejenisnya,…. Bahwa, jenis kelamin tidak termasuk didalamnya.165 Menurut Okin, kalimat “dan sejenisnya,” selain merupakan hal yang disengaja Rawls untuk mengaburkan perihal jender terstruktur sebagai fakta yang ada dalam masyarakat, juga ada kemungkinan Rawls tidak menganggap hal itu penting.166 Ambiguitas menjadi kian melebar ketika Rawls menyebutkan bahwa individu yang dimaksud dalam posisi asli adalah bukan sebagai “individu tunggal”, tetapi sebagai “kepala keluarga” atau “perwakilan dari keluarga”. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang dalam posisi semula peduli tentang kesejahteraan beberapa orang pada generasi berikutnya.167 Ia membuat asumsi “kepala keluarga” dengan tujuan untuk mengatasi masalah keadilan antar generasi, namun tanpa Rawls sadari, ia telah terjebak sendiri ke dalam dikotomi publik/domestik, dimana “kepala keluarga” secara otomatis menunjuk pada kaum pria, bukan perempuan. Hal ini karena di Amerika 163 164 165 166 167 Okin, Justice, Gender, and The Family, 93. Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. Okin, Justice, Gender, and The Family, 91-92. 76 Serikat jika disebut sebagai “perempuan-kepala keluarga”, maka itu menunjuk pada referensi rumahtangga tanpa adanya laki-laki dewasa didalamnya.168 Dengan demikian, Okin menyimpulkan bahwa kehidupan dalam keluarga dan hubungan antar jenis kelamin adalah tidak dianggap sebagai bagian dari subyek dari teori keadilan sosial.169 Dalam pembahasannya tentang “Keluarga yang hampir tak terlihat” Okin menyatakan bahwa ada tiga konteks keluarga dalam teori keadilan Rawls, yakni ; pertama, sebagai penghubung antara generasi yang diperlukan untuk penghematan prinsip keadilan; kedua, sebagai hambatan untuk persamaan kesempatan yang adil (karena ketidaksetaraan antara keluarga); dan ketiga, sebagai sekolah pertama perkembangan moral. Terkait keluarga sebagai lembaga yang adil, Rawls tidak menjelaskan bentuk keluarga yang mana, apakah keluarga “dalam beberapa bentuk” itu merupakan lembaga yang adil? 170 Meski demikian, namun menurut Okin, dengan mengesampingkan asumsi liberal tradisional tentang publik-domestik, dan politik-nonpolitik, teori Rawls dapat digunakan sebagai alat untuk berpikir tentang bagaimana untuk mencapai keadilan antara jenis kelamin baik di dalam keluarga dan di masyarakat pada umumnya.171 2.8.3.5.Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomi Publik/Domestik. Teori-teori keadilan di masa lalu banyak bergantung pada asumsi-asumsi patriarkal, baik itu tersembunyi dengan baik di balik penggunaan bahasa palsu 168 169 170 171 Okin, Justice, Gender, and The Family, 92. Okin, Justice, Gender, and The Family, 92. Okin, Justice, Gender, and The Family, 94. Okin, Justice, Gender, and The Family, 109. 77 netral jender maupun yang tidak tersembunyi dengan baik. Teori-teori yang mengandalkan “pemahaman bersama” juga mengungkapkan kecenderungan mereka untuk memperkuat patriarki dengan mengabaikan untuk mempertimbangkan efek dari dominasi masa lalu dan sekarang.172 Menurut Okin, melalui teori justice as fairness, kita dapat menemukan sebuah cara berpikir, bahwa dengan menghapus premis “kepala keluarga”, memiliki potensi nyata untuk mempertanyakan jender. Namun sebelum mempertanyakan lebih dalam, sebaiknya terlebih dahulu dipahami perihal dikotomi publik/domestik, sebuah istilah yang sejauh ini telah diterima sebagai dasar untuk pemikiran liberal, yakni “publik” menunjuk pada kehidupan politik dan pasar, adapun “privat” menunjuk pada kehidupan keluarga dan hubungan pribadi.173 Bagi Okin, teori keadilan humanis sepenuhnya tidak dapat dicapai tanpa pemeriksaan yang cermat dan kritis dari dikotomi publik/domestik. Michael Walzer dan Roberto Unger- telah berkontribusi terhadap kritik tersebut. Meski tidak satupun dari argumen keduanya berimplikasi terhadap feminis, namun keduanya telah menjadi point awal yang baik untuk mengkritik dikotomi publik/domestik dan gagasan tentang keluarga sebagai ranah “non-politik”.174 Salah satu pendapat Walzer adalah bahwa pekerjaan rumah tangga harus dibagi tanpa memandang jenis kelamin, sementara untuk pengasuhan anak adalah hal yang berbeda, karena tidak memenuhi definisi negatif tentang kerja keras 172 Okin, Justice, Gender, and The Family, 110. Okin, Justice, Gender, and The Family, 110-111. 174 Okin, Justice, Gender, and The Family, 111. 173 78 (setidaknya, bagi mereka yang keadaannya beruntung). 175 Adapun Unger, memandang bahwa penerapan hukum kontrak untuk hubungan dalam keluarga adalah tidak sepantasnya dilakukan. Hal ini karena dua alasan; Pertama, kepercayaan, bukan negosiasi dan kesepakatan, seharusnya menjadi dasar kehidupan keluarga, dan “bahasa hak resmi” akan membahayakan kesatuan. Kedua, yang, seperti katanya, biasanya dibiarkan implisit, adalah ketimpangan kekuasaan dalam keluarga. Keluarga merupakan struktur kekuasaan tertentu. Pemeliharaan keluarga diadakan tergantung pada otoritas kepalanya.176 a. Keadilan dalam pemisahan ruang lingkupnya. Menurut Okin, berbeda dengan teori keadilan kontemporer lainnya, Michael Walzer dalam Spheres of Justice telah memberi perhatian lebih terhadap perempuan dan jender. Dalam teorinya tersebut, sebagian besar bahasa nonseksis digunakan Walzer untuk mendesak bahwa keluarga merupakan sebuah “lingkup keadilan” yang penting dan referensi yang spesifik untuk ketidakseimbangan kekuasaan antara jenis kelamin dan diskriminasi.177 Sebagai sebuah teori, Okin melihat adanya kelemahan dan kelebihan dari teori Walzer. Kelemahannya adalah bahwa istilah “pemahaman bersama” yang dimunculkan dalam teori, lebih menunjuk pada makna hasil dari dominasi beberapa kelompok atas orang lain, yang kemudian dibungkam atau diberikan “koheren” oleh yang lebih kuat. Adapun kelebihan dari teori Walzer ada pada kerangka teoritisnya yakni, bahwa, -terpisahnya lingkup keadilan harus memungkinkan kesenjangan yang berbeda untuk hidup berdampingan hanya 175 Okin, Justice, Gender, and The Family, 115. Okin, Justice, Gender, and The Family, 121. 177 Okin, Justice, Gender, and The Family, 111. 176 79 sejauh situasi yang dia sebut “dominasi” tidak tercipta- kelebihan ini memiliki kekuatan besar sebagai alat sosial, dan terutama untuk kritik feminis. Walzer berpendapat bahwa keadilan tidak menuntut pemerataan pada setiap barang sosial dalam masing-masing lingkupnya. Selanjutnya dalam bahasan Walzer tentang “kesetaraan kompleks”, dijelaskan bahwa lingkup keadilan harus ditempatkan secara otonom dimana ketimpangan yang ada dalam masing-masing lingkup tidak harus diterjemahkan sebagai kesenjangan terhadap orang lain.178 Bagi Walzer, distribusi adalah hal yang sangat penting dalam pembahasan keadilan. Menurutnya, di mana ada distribusi, apakah itu; tanggung jawab, hak, nikmat, barang, atau kekuasaan, maka disana akan ada potensi untuk keadilan dan ketidakadilan.179 Dengan mengingat sejarah jender, Okin berpendapat bahwa kesetaraan antara jenis kelamin, apakah itu di dalam keluarga atau di mana pun, tidak mungkin terjadi selama tidak ada perubahan hukum, politik, dan sosial.180 b. Personal sebagai Politik. “Pribadi adalah politik” merupakan pesan utama dari kritik feminis terhadap dikotomi publik/domestik. Klaim awal “pribadi adalah politik” berasal dari feminis radikal 1960-an dan 1970-an yang berpendapat bahwa institusi keluarga harus “dihancurkan”, karena keluarga adalah akar dari penindasan perempuan. Anti-keluarga dari feminis radikal tersebut kemudian mendapat serangan balik dari anti-feminis dan feminis konservatif. Mereka telah fokus untuk menyerang semuanya melalui versi masing-masing. Tetapi banyak feminis 178 Okin, Justice, Gender, and The Family, 112. Okin, Justice, Gender, and The Family, 114. 180 Okin, Justice, Gender, and The Family, 117. 179 80 kontemporer, yang ketika mengkritisi keluarga jender terstruktur, tidak menyerang semua jenis keluarga. Hal ini disebabkan karena banyak advokat yang mendefinisikan bahwa “keluarga” itu mencakup kelompok yang memiliki komitmen dan berhubungan secara akrab, khususnya menyetujui pernikahan homoseksual. Kebanyakan dari mereka menolak kedua hal tersebut, yakni menolak untuk menyerah pada institusi keluarga, dan menolak untuk menerima pembagian kerja antara jenis kelamin sebagai kodrat yang tidak dapat diubah.181 Sementara itu, sehubungan dengan pembahasan feminis mengenai sifat dasar politik kehidupan pribadi dan keluarga, Okin berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga adalah harus adil, dan keadilan harus diperkuat oleh negara dan sistem hukumnya.182 Adapun kaitannya dengan “pribadi adalah politik”, Okin menyebutkan ada empat kelemahan utama dari dikotomi publik/domestik; 1) Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan pribadi tidak kebal dari dinamika kekuasaan, sebagai ciri khusus dari politik. Kekuasaan dalam keluarga, apakah itu suami atas istri atau orang tua atas anak, sering tidak diakui seperti itu, baik karena telah dianggap sebagai alami atau karena diasumsikan bahwa, dalam keluarga, altruisme dan harmoni dari kepentingan menjadikan kekuasaan sebagai faktor yang penting. 2) Dengan dikotomi publik/domestik, bahwa sebagai feminis ahli sejarah dan pengacara telah menunjukkan, sejauh yang lebih pribadi, wilayah domestik tidak ada. Keberadaannya, batas-batas yang mendefinisikan, dan jenis perilaku yang diterima dan tidak dapat diterima di dalamnya semua 181 182 Okin, Justice, Gender, and The Family, 124-125. Okin, Justice, Gender, and The Family, 126. 81 hasil dari keputusan politik. Namun pada kenyataannya, negara tidak adil “dijauhkan dari” kehidupan keluarga. Dalam banyak cara, negara menentukan dan memberlakukan persyaratan pernikahan. Selama ratusan tahun, hukum umum kehilangan wanita dari kepribadian hukum pada saat mereka menikah. 3) Tidak berlaku untuk menganggap dikotomi yang jelas antara ruang “nonpolitik” dari kehidupan keluarga dan ruang publik/politik, bahwa kehidupan domestik adalah tempat di mana sebagian dari kita, sosialisasi awal berlangsung. 4) Pembagian kerja dalam kebanyakan keluarga telah menimbulkan hambatan psikologis serta praktis terhadap perempuan di semua bidang.183 2.8.3.6.Kerentanan oleh Pernikahan a. Kerentanan dalam Pernikahan. Menurut Okin, berpikir mengenai keadilan dalam hal pernikahan dan keluarga bukanlah hal yang mudah. Satu penyebabnya adalah karena tidak mudah mengasosiasikan keadilan dengan keintiman, yang merupakan salah satu alasan beberapa teori mengidealkan keluarga. Menurut Okin, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktekkan dalam masyarakat kita adalah lembaga yang tidak adil. Padahal keduanya merupakan poros dari sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan terhadap ketergantungan, eksploitasi, dan kekerasan. Hal ini dapat terlihat pada konstruksi sosial ketidaksetaraan diantara suami-istri, misalnya 183 Okin, Justice, Gender, and The Family, 128-132. 82 pekerjaan (dibayar dan belum dibayar), kekuasaan, prestise, harga diri, peluang untuk pengembangan diri.184 Filsuf moral Robert Goodin dan ekonom Albert O. Hirschman telah memperlihatkan tentang ketidakadilan jender terstruktur yang didalamnya membahas tentang kekuatan dan kerentanan yang akan sangat berguna saat melihat data tentang pernikahan kontemporer. Dalam salah satu kesimpulannya, Goodin menyatakan bahwa, kerentanan itu diciptakan, dibentuk, atau ditopang oleh pengaturan sosial saat ini. Kita harus selalu berusaha untuk melindungi yang rentan, kami juga harus berusaha untuk mengurangi semacam kedua kerentanan sejauh mereka menyebabkan kerentanan terhadap eksploitasi.185 Sementara itu terkait dengan teorinya, Hirschman menyiratkan bahwa sebuah pernikahan, sebagaimana sebuah hubungan internasional, memiliki dinamika khusus yang menghasilkan fakta bahwa keluar dari satu pasangan tidak hanya akan melemahkan institusi, melainkan dapat membubarkannya. Bahwa dalam perjalanan hubungan sebuah pernikahan, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya ketergantungan asimetris yang disebabkan karena adanya satu pihak yang memiliki kekuasaan lebih besar dibanding lainnya. Disini, pihak yang berkuasa akan menjadikan pihak lainnya (dalam hal ini istri) untuk terus memiliki ketergantungan pada pihak yang berkuasa (suami).186 Bagi Okin, pembagian kerja dalam sebagian besar perkawinan telah membuat istri jauh lebih mungkin mengalami eksploitasi dibandingkan suami di dalam hubungan suami istri dan di dunia kerja di luar rumah. Untuk sebagian 184 Okin, Justice, Gender, and The Family, 135. Okin, Justice, Gender, and The Family, 137. 186 Okin, Justice, Gender, and The Family, 138. 185 83 besar dan dalam berbagai cara, perempuan kontemporer dalam masyarakat kita dibuat rentan oleh pernikahan itu sendiri.187 Ada banyak teori sosial nonfeminis gagal mengenali pola kerentanan perempuan dalam pernikahan. Hal ini karena menurut mereka secara kodrati, pengasuhan anak-anak adalah tugas perempuan.188 b. Kekuasaan dalam Keluarga Dalam tulisan Okin disebutkan bahwa, selama ini hanya ada sedikit penelitian tentang kekuasaan dalam perkawinan. Penelitian dari Robert O. Blood, Jr., dan Donald M. Wolfe 1960 Husbands and wives -adalah salah satu hasil penelitian yang seringkali dijadikan sebagai rujukan banyak orang. Meskipun cukup informatif, namun sekarang telah usang dan tidak dapat diandalkan dalam cara menafsirkan temuannya sendiri. Temuan Blood dan Wolfe adalah tentang variabel yang mempengaruhi kekuasaan dalam keluarga. Dari kesimpulannya, mereka telah gagal karena mereka hanya melihat distribusi kekuasaan sebagai satu-satunya sumberdaya yang mempengaruhi kekuatan sebuah perkawinan, sementara itu sumberdaya lain seperti pendapatan, keberhasilan, dan prestasi dihargai diluar perkawinan. Bahkan sumberdaya lainnya seperti layanan domestik dari istri, seperti halnya melahirkan, membesarkan anak, dan tenaga kerja berkorelasi negatif terhadap kekuatan perkawinan.189 Sementara itu Blumstein dan Schwartz dalam American Couple telah memberikan pemahaman baru mengenai pengambilan keputusan oleh pasangan dalam sebuah perkawinan. Pertama, meskipun jumlah pernikahan di mana 187 188 189 Okin, Justice, Gender, and The Family, 138. Okin, Justice, Gender, and The Family, 139. Okin, Justice, Gender, and The Family, 156-157. 84 pasangan menganggap bahwa mereka berbagi kekuasaan relatif sama telah meningkat pesat, kecenderungan pada orang lain masih jelas ke arah dominan laki-laki daripada perempuan. Kedua, masih jelas kasus yang kepemilikan pengambilan keputusan oleh masing-masing pasangan dari sumber dihargai oleh dunia luar, khususnya pendapatan dan status pekerjaan, daripada sumber daya berharga terutama dalam keluarga, memiliki efek signifikan pada distribusi kekuasaan dalam hubungan.190 c. Kerentanan karena Perpisahan atau Perceraian Gangguan perkawinan yang disebabkan karena kematian pasangan, perceraian, atau perpisahan, secara konsisten dinilai sebagai peristiwa kehidupan yang paling menekan secara psikologis baik untuk pria maupun wanita. Namun bagi perempuan, gangguan pribadi yang disebabkan oleh peristiwa ini sering diperburuk oleh dislokasi sosial dan ekonomi yang serius yang menyertai mereka. Perceraian dan efek ekonomi memberikan kontribusi yang signifikan pada fakta bahwa pada hampir satu per empat dari semua anak, sekarang hidup dalam rumah tangga orang tua tunggal, dan lebih dari setengahnya berada di bawah tingkat kemiskinan. 191 Perbedaan situasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan pasca perceraian dapat diketahui melalui sebuah hasil penelitian. Banyak penelitian menunjukkan, bahwa sementara status ekonomi rata-rata laki-laki meningkat setelah perceraian, perempuan dan anak-anak justru memburuk. Studi Lenore Weitzman dalam The Divorce Revolution, dalam satu kesimpulannya menyatakan, 190 191 Okin, Justice, Gender, and The Family, 158. Okin, Justice, Gender, and The Family, 160. 85 bahwa situasi ekonomi laki-laki dan perempuan dan anak-anak biasanya berbeda setelah terjadinya perceraian.192 Ada berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan pasca terjadinya perceraian. Bentuk ketidakadilan tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal; pertama, setelah terjadinya perceraian maka pengasuhan anak seolah menjadi tanggung jawab istri. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah terjadi perceraian, sekitar 90 persen kasus, anak-anak hidup dengan ibu daripada ayah. Kedua, bahwa tidak ada hukum perceraian yang cacat, dengan mencabut perempuan dari kekuasaan, mereka sering dinyatakan sebagai sosok “tidak bersalah” dan kurang bersedia pihak perceraian, telah sangat mengurangi kapasitas mereka untuk mencapai divisi yang adil dari aset nyata pasangan.193 Selain hak asuh anak, ada hal yang secara sosial menghambat perempuan yang sudah bercerai untuk menikah lagi, terlebih lagi untuk menikah dengan pria yang lebih muda usianya. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksetujuan sosial yang melekat pada seorang perempuan, bahwa perempuan itu tidak pantas untuk menikah lagi, apalagi dengan pria yang lebih muda usianya. Hal ini berbeda dengan pria. Seorang pria yang bercerai akan dengan cepat mencari istri kembali dan biasanya dengan perempuan yang lebih muda usianya. Dengan kata lain, bahwa bertambahnya usia pada laki-laki, tidak menjadi halangan baginya untuk menikah lagi pasca perceraian. Adapun bagi seorang perempuan, mereka akan 192 193 Okin, Justice, Gender, and The Family, 161. Okin, Justice, Gender, and The Family, 162. 86 lebih memilih untuk mengasuh anak yang dimilikinya daripada harus menikah kembali.194 Bahasan tentang ketidakadilan yang dialami perempuan pasca perceraian diakhiri Okin dengan sebuah kesimpulan, bahwa, ketika terjadi sebuah perceraian, maka perempuan akan menanggung beban lebih banyak dibanding laki-laki, terlebih pada perempuan yang anak-anaknya ada dalam pengasuhannya.195 2.8.3.7.Menuju Keadilan Humanis Menurut Okin, teori-teori keadilan kontemporer yang ada selama ini telah mengabaikan perempuan dan jender. Perempuan mengalami kerentanan dalam hal keadilan. Adapun keluarga, yang dalam hal ini sebagai pengikat jenis kelamin yang mereproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya, kurang mendapat perhatian dari teori-teori yang ada. Berawal dari hal tersebut, Okin selanjutnya berupaya menempatkan keluarga (termasuk didalamnya perempuan dan anakanak) sebagai subyek dalam teori keadilan. Menurutnya, keluarga harus menjadi sebuah lembaga yang berkeadilan jender. Lebih lanjut, Okin mengatakan, bahwa pada kenyataannya kita tumbuh dalam masyarakat jender terstruktur, dimana perbedaan jenis kelamin telah menyebabkan peranan yang berbeda antara dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Fakta jender di masa lalu telah menjadi struktur yang sangat mempengaruhi psikologis kehidupan masyarakat saat ini. Perubahan kebijakan 194 195 Okin, Justice, Gender, and The Family, 166. Okin, Justice, Gender, and The Family, 166. 87 publik dan reformasi hukum keluarga adalah solusi yang ditawarkan Okin untuk mengatasi ketidakadilan jender.196 Okin menginginkan suatu konsep keadilan yang humanistis (humanist justice). Menurut Okin, konsep keadilan yang sungguh-sungguh mengatasi ketidak-adilan yang dialami perempuan dan anak-anak, adalah keadilan yang menjamin adanya ekualitas kewajiban/tanggungjawab laki-laki dan perempuan dalam menanggung beban pekerjaan publik (yang diupah) dan pekerjaan rumahtangga (yang tak diupah), pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan reproduksi. Dalam perkembangannya, ekualitas kewajiban/ tanggung-jawab laki-laki dan perempuan ini harus menjadi pola kehidupan lakilaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Struktur kehidupan dan asumsi-asumsi gender sungguh-sungguh harus ditinggalkan. Untuk mencapai pola hidup masyarakat yang bebas gender dan dikotomi publik-domestik, membutuhkan proses yang panjang. Sebab dalam masyarakat Amerika Serikat belum terbentuk kesepemahaman tentang perbedaan peran lakilaki dan perempuan, tentang peran laki-laki dan perempuan yang seharusnya, tentang bentuk rumah-tangga dan pembagian kerja yang paling bermanfaat bagi laki-laki dan perempuan sebagai individu dan sebagai ayah-ibu. Namun demikian, menurut Okin, jender harus ditinggalkan dalam pola hidup masyarakat yang demokratis. Sebab jender bertentangan dengan asas demokrasi. Dalam paham liberalism, setiap orang memiliki hak kebebasan untuk berpendapat dan memilih apa yang menurutnya baik untuk hidupnya. Akan tetapi seharusnya, tidak boleh 196 Okin, Justice, Gender, and The Family, 170-172. 88 memilih sesuatu yang mengakibatkan ketidak-adilan bagi perempuan dan anakanak. Okin mengusulkan reformasi sosial, antara lain melalui perubahan di bidang kebijakan publik dan reformasi hukum. Kebijakan publik dan hukum harus didasarkan pada prinsip tidak ada perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Ekualitas sosial ini harus berlaku dalam public sphere dan family sphere. Pekerjaan rumah-tangga harus dilaksanakan bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan, agar perempuan mempunyai waktu untuk dapat mengaktualisasikan potensinya di luar pekerjaan rumahtangga, tanpa harus menelantarkan pekerjaan rumahtangga. Laki-laki dan perempuan, sama-sama, adalah insan publik dan domestik. Harus ada undang-undang perlindungan anak yang sungguh-sungguh melindungi kepentingan anak dan ibu yang tidak berpenghasilan, bila terjadi perceraian. Pendidikan seks dan pendidikan rumahtangga (membangun rumah-tangga bebas gender) diberikan kepada anak muda sejak dini, sehingga mereka dapat dicegah dari melakukan perilaku seks yang merusak masa depan mereka sebagai individu dan calon ayah-ibu bagi anak-anak mereka. Menurut Okin, hanya dalam masyarakat yang bebas gender dan dikotomi publik-domestik, perempuan dapat memperoleh perlakuan yang adil. Dalam masyarakat yang demikian, semua institusi sosial harus dirancang dengan memperhatikan prinsip ekualitas laki-laki dan perempuan, sama-sama, adalah insan publik dan domestik. Konsep keadilan humanis adalah konsep keadilan yang menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak, sebagai manusia. Martabat 89 mereka sebagai manusia inilah yang menjadi standar acuan keadilan dalam masyarakat. Kemanusiaan yang menjadi acuan bukan kelaki-lakian, keperempuanan, atau keanakan. Mereka semua adalah sama manusia, dan karena itu mereka memiliki hak yang sama untuk dilindungi oleh keadilan masyarakatnya.197 2.8.4. Inti Kritik Susan Moller Okin Teori keadilan jender Susan Moller Okin merupakan sebuah kritikan terhadap teori-teori keadilan yang telah ada sebelumnya. Menurut Okin, teori-teori keadilan, baik teori klasik maupun kontemporer, telah mengabaikan perempuan dan jender. Keluarga sebagai pengikat jenis kelamin yang mereproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya masih kurang mendapat perhatian dari teori-teori yang ada. Keluarga masih dianggap sebagai ranah “nonpolitik”, adapun “individu” yang menjadi subjek dari dasar teori mereka adalah laki-laki sebagai kepala rumahtangga.198 Okin tidak sependapat dengan gagasan Rosseau dan Hume, yang menyatakan bahwa keadilan bukan merupakan kebajikan yang tepat untuk diterapkan pada institusi keluarga. Dalam hal ini, Rosseau berpendapat bahwa, tidak seperti pemerintahan pada masyarakat yang lebih luas yang didasarkan atas kepentingan politik, institusi keluarga itu lebih didirikan karena cinta. Oleh karena itu, maka pemerintahan dalam keluarga tidak harus bertanggungjawab kepada anggotanya atau pun diatur oleh prinsip-prinsip keadilan. Adapun hak berpartisipasi dalam ranah politik, kepentingan keluarga 197 198 Maesak, Konsep Keadilan dalam Pancasila, 80-81 Okin, Justice, Gender, and The Family, 8-9. 90 hanya diwakili oleh suami selaku kepala keluarga.199 Sementara itu, menurut Hume, keadilan bukan merupakan standar yang sesuai untuk diterapkan pada institusi keluarga. Keluarga merupakan bentuk “perluasan kasih sayang” dan kesatuan kepentingan, sehingga standar keadilan menjadi tidak relevan untuk diterapkan didalamnya.200 Visi Hume tentang kehidupan keluarga tersebut digunakan Sandel dalam kritiknya terhadap klaim Rawls bahwa keadilan merupakan kebajikan pertama dan utama lembaga-lembaga sosial. Kritik Sandel lainnya bahwa meski keluarga telah dianggap sebagai bagian dari “struktur dasar masyarakat” (dalam Theory of Justice), tetapi Rawls tidak mempertimbangkan bahwa dalam teorinya, keluarga berada di luar jangkauan keadilan.201 Bagi Okin, keadilan dibutuhkan karena keutamaannya sebagai hal yang penting, bukan karena dianggap sebagai kebajikan moral yang tertinggi. Atau dengan kata lain, bahwa, keadilan diperlukan sebagai hal primer, yang paling mendasar, adapun kebajikan moral ditempatkan sebagai tujuan umum dalam kelompok sosial dimana kasih sayang sering berlaku. Keadilan tidak dapat disejajarkan dengan sentimen-sentimen lain seperti: belas kasihan, kemurahan hati, kepahlawanan dan pengorbanan diri, yang dianggap Rawls sebagai kebajikan utama yang biasa terjadi dalam kehidupan keluarga.202 2.8.5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin Sebagaimana teori keadilan lain pada umumnya, Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin juga tentu tidak lepas dari adanya kelebihan dan kekurangan. 199 Okin, Justice, Gender, and The Family, 26-27. Okin, Justice, Gender, and The Family, 27. 201 Okin, Justice, Gender, and The Family, 27-28. 202 Okin, Justice, Gender, and The Family, 28-29. 200 91 Menurut peneliti, kelebihan teori Okin terletak pada kemampuannya sebagai seorang feminis, ia mampu melihat kekurangan pada teori keadilan yang telah ada sebelumnya dari sudut pandang perempuan. Bahwa, selama ini, subjek dari teori keadilan hanya bertumpu pada laki-laki sebagai pengaruh umum budaya patriarkat, sementara perempuan dan anak-anak terabaikan. Padahal menurut Okin, keadilan itu seyogyanya diperuntukkan bagi semua manusia tanpa terkecuali perempuan dan anak-anak. Adapun keluarga, sebagai unit terkecil di dalam masyarakat, dimana seharusnya menjadi pusat pengembangan moral bagi generasi penerus terkait keadilan, meski selama ini telah dijadikan sebagai subjek teori namun hal tersebut tidaklah proporsional karena didalamnya bukan makna keluarga yang sesungguhnya, melainkan lebih memihak kepada laki-laki sebagai kepala keluarga. Keluarga dalam arti sesungguhnya dimana selain suami, isteri dan anak merupakan bagian didalamnya, ternyata masih belum mendapat sentuhan perhatian yang memadai. Adapun kekurangan dari teori Okin adalah bahwa Okin seolah hanya memandang penting fungsi keluarga dalam penanaman moral keadilan bagi anak, sementara itu keberadaan institusi agama sebagai bagian yang tidak kalah penting dalam pembentukan moral keadilan di dalam kehidupan masyarakat ia abaikan. Menurut peneliti, moral sebuah masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah moral tentang keadilan, sedikit banyak akan sangat bergantung pada kondisi keberagamaan pada masyarakatnya. 92 2.8.6. Kesimpulan Dari pembahasan tentang teori keadilan jender, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Jender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Jender membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran, sikap, sifat, tanggungjawab. Adapun jenis kelamin (seks) membedakan manusia secara biologis kepada dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. 2. Dalam studi jender, dikenal berbagai aliran feminis, diantaranya: Feminis Liberal, Feminis Radikal, Feminis Marxis, Feminis Sosialis, Feminis Muslim, dan Feminis Kristen. 3. Dalam pandangan kaum feminis, ketidakadilan jender terlahir sebagai akibat dari kesalahpahaman di dalam menafsirkan konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sementara itu, bagi kalangan umat Islam, yang menjadi penyebab dari diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan jender adalah pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan. 4. Pembahasan tentang keadilan di dalam studi jender dikemas dengan istilah “kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah sebuah perlakuan adil yang diberikan, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun 93 ketidakadilan jender adalah proses marginalisasi dan pemiskinan, khususnya bagi kaum perempuan. 5. Dalam pandangan studi jender, perbedaan jender adalah penyebab utama bagi terjadinya ketidakadilan jender di dalam masyarakat. 6. Ketidakadilan jender di dalam masyarakat, termanifestasi ke dalam beberapa bentuk, yakni: marginalisasi, subordinasi, pelabelan negatif (stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda. 7. Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya: kebijakan pemerintah/hukum negara, keyakinan tradisi, tafsir agama, kebiasaan dan asumsi ilmu pengetahuan. 8. Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam kehidupan bermasyarakat, yakni: pada tingkat negara; pada tempat kerja, organisasi dan tempat pendidikan; dalam adat istiadat, kultur dan penafsiran keagamaan; dalam lingkungan Rumah tangga; dan ideologi. 9. Ketidakadilan jender memiliki kaitan erat dengan ideologi patriarki. Patriarki merupakan sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya perempuan mengalami penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Pada sistem patriarki, penindasan perempuan, eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem politik, ekonomi, dan budaya. 10. Susan Moller Okin adalah seorang filsuf Politik Barat dan feminis Liberal yang memiliki perhatian sangat besar terhadap masalah jender dan keluarga. Salah satu karya terbesar Okin adalah sebuah teori keadilan 94 humanis berbasis jender atau lebih di kenal dengan teori keadilan jender yang tertuang di dalam bukunya Justice, Gender and the Family. Ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari karya Okin tersebut, diantaranya adalah: a) Bahwa, teori-teori keadilan masa lalu sangat bergantung pada asumsiasumsi patriarki, baik itu tersembunyi dibalik penggunaan bahasa palsu netral jender maupun tidak. Selain itu, teori juga bertumpu pada pemahaman bersama. b) Teori-teori keadilan terdahulu dirasa Okin belum memihak pada kaum perempuan dan anak-anak. Kuatnya pengaruh budaya patriarkat yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dibawah laki-laki, telah begitu mempengaruhi teori-teori besar pendahulunya sehingga perempuan dan anak-anak telah terabaikan dari subjek teori keadilan. Terkait hal ini, bahasa yang digunakan Okin adalah “keluarga berada di luar jangkauan keadilan”. c) Okin menawarkan sebuah teori keadilan humanis yang menempatkan perempuan dan anak-anak menjadi bagian dari keluarga sebagai subjek teorinya. Konsep keadilan humanis adalah konsep keadilan yang menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak, sebagai manusia. d) Keluarga adalah pusat perhatian utama teori Okin. Disini, Okin menempatkan keluarga sebagai “sekolah moral pertama bagi pengembangan nilai-nilai keadilan”. Menurut Okin, Keluarga harus adil karena perannya sebagai sekolah keadilan pertama yang terbaik bagi anak- 95 anak. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan moral anak. Sebagai generasi penerus bangsa, anak-anak pertama kali akan belajar tentang nilai-nilai keadilan dari keluarga yang dimilikinya. Dengan tertanamnya nilai-nilai keadilan pada anak-anak sejak dini, diharapkan nantinya mereka dapat tumbuh menjadi warga masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, yang pada gilirannya akan mengarah pada terwujudnya sebuah negara demokratis yang berkeadilan sosial. Terkait peran keluarga sebagai sekolah keadilan, maka hal yang pertama kali harus dilakukan adalah peningkatan keadilan dengan menghapus peran jender di dalam keluarga. Selanjutnya, struktur dan praktik dari keluarga juga harus dapat memberikan perempuan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas mereka, untuk berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan pengaruh pilihan sosial, dan menjadi aman secara ekonomi. e) Untuk terciptanya keadilan dalam masyarakat, Okin mengusulkan diadakannya sebuah reformasi sosial, antara lain melalui perubahan di bidang kebijakan publik dan reformasi hukum. f) Keluarga merupakan institusi/lembaga yang tidak adil. Hal ini disebabkan karena adanya pembagian kerja secara seksual, sebagai akibat dari “dikotomik publik/domestik” yang telah menjadi bagian fundamental dari kontrak pernikahan. Pernikahan dan keluarga telah menjadi poros dari sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. 96 g) Keluarga itu harus adil. Keadilan harus diperkuat oleh negara dan sistem hukumnya. Ketika perempuan dan anak-anak mengalami ketidakadilan di dalam keluarga, maka hal yang harus dilakukan adalah hukum keluarga yang bersifat patriarkat yang ada selama ini, harus dirombak untuk menjadi lebih berkeadilan jender, sehingga dengan demikian, cita-cita negara demokrasi yang berkeadilan sosial akan dapat terwujud nyata. h) Secara keseluruhan, pesan inti yang dapat ditarik dari teori Okin adalah, bahwa untuk terwujud keadilan yang sesungguhnya di dalam keluarga, maka sumber ketidakadilan bagi laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh perbedaan jender, perkawinan jender terstruktur, bahasa palsu netralitas jender, kerentanan karena perceraian, dan dikotomik publik/domestik harus dihapuskan. 97