Pemikiran Soekarno Tentang Keadilan Dan Kemerdekaan Bagi

advertisement
BAB II
TEORI KEADILAN SUSAN MOLLER OKIN
Pada bab ini, akan dibahas mengenai teori keadilan yang dikemukakan oleh
Susan Moller Okin berkaitan dengan nilai-nilai keadilan yang seharusnya terjamah
dalam konteks keluarga. Topik-topik yang akan menjadi pendukung dalam
pembahasan teori ini diawali dengan konteks yang mendukung terbentuknya
pandangan-pandangan dari Susan Moller Okin, kemudian akan diikuti dengan
pembahasan tentang Okin dan pergumulannya, yang terbagi dalam beberapa sub
topik
yaitu;
Keadilan dan
Gender,
Keluarga
Sebagai
Sekolah
Keadilan,
Libertarianisme: Matriarki, Perbudakan, dan Distopia, Justice As Fairness, Dikotomi
Publik/Domestik, dan Menuju Keadilan Yang Humanis. Pembahasan ini akan
dilanjutkan dengan Inti Kritik Susan Okin, Kelebihan dan Kekurangan dari Teori
Keadilan Okin, dan akan diakhiri dengan Kesimpulan. Berikut ini akan dijelaskan
tentang konteks yang mendukung pandangan Okin.
A. Konteks Yang Mendukung Pandangan Okin
Teori keadilan dari Susan Moller Okin dilatarbelakangi oleh beberapa hal:
Pertama, ia beranjak dari suasana politik, kedudukan bahkan peran kaum perempuan
di Amerika Serikat pada tahun 1980.1 Amerika dikenal sebagai bangsa yang
menganut paham demokrasi liberal yang mencakup asas demokrasi dalam bidang
politik, kapitalisme dalam bidang ekonomi, dan individualisme yang terkait dengan
kedudukan dan hak asasi manusia. Konsep demokratis yang dibangun adalah konsep
yang menghargai hak asasi manusia. Oleh karena itu manusia bebas mengeluarkan
pendapat, bebas mengkritik dan dikritik, berhak berpartisipasi dalam berbagai
1
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), vii.
13
kegiatan masyarakat, berhak memperoleh kesempatan dalam: pendidikan, ekonomi,
dan politik. Dan hak asasi manusia dijunjung setinggi-tingginya. Sedangkan
individualisme diartikan untuk mengutamakan hak asasi manusia, yang melindungi
kemerdekaan dan kepentingan individu.2 Berikut ini akan dijelaskan mengenai situasi
politik dan perkembangan kaum perempuan pada beberapa era yang terjadi di
Amerika.
Situasi politik di Barat masih didominasi oleh sistim patriarki, karena itu
politik perempuan dianggap mengacu pada hubungan dalam negeri. Hal ini dilihat
melalui perannya sebagai istri dan ibu di dalam rumah tangga. Misalnya; sanitasi
perkotaan yang efisien, makanan dan obat-obatan. Ini merupakan hukum murni bagi
perempuan sebagai perluasan dari tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu.
Kerber di dalam buku yang berjudul Public Opinion, the First Ladyship and Hillary
Rodham, mengutarakan bahwa kaum perempuan memiliki peran untuk mendidik
anak-anaknya dan membimbing mereka di jalan moralitas dan kebajikan. Dengan
demikian, perempuan bisa berperan dalam dunia politik meskipun dimainkan dalam
keluarga. Aristoteles pun
mengklaim bahwa jika perempuan terlibat dalam
pembicaraan di depan umum dan kegiatan politik lainnya mereka akan merusak rahim
mereka dan akan mengancam dominasi laki-laki. 3
Dengan demikian penulis menanggapi bahwa pada belahan dunia Barat,
nuansa sistem patriarki masih mendominasi sektor publik. Walaupun perempuan telah
diberikan kesempatan berkarya pada dunia publik dalam hal ini politik tetapi tugas
yang diberikan masih berkaitan dengan tugas-tugas utama yang dikerjakan pada ranah
domestik. Bagi penulis, hal ini merupakan sebuah masalah yang semestinya
2
Albertine Minderop, Pragmatisme Sikap Hidup dan Prinsip Politik Luar Negeri Amerika (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006), 1, 20, 23, 24.
3
Barbara Burrell, Public Opinion, the First Ladyship and Hillary Rodham Clinton (New York: Taylor
& Francis e-library, 2002), 9-11.
14
ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan
pada dunia politik. Berikut ini akan dibahas mengenai posisi kaum perempuan dalam
memperjuangkan haknya pada beberapa era yang terjadi di AmerikaEra pertama
disebut sebagai era revolusioner Amerika tahun 1776. Pada masa ini, perempuan
berjuang aktif dalam pencarian kemerdekaan dan dalam perlawanan terhadap
pemerintahan Inggris. Walaupun mereka terkucil dari kehidupan politik sehari-hari,
kaum perempuan digetarkan oleh semangat revolusioner yang sama dengan kaum
laki-laki. Gerakan revolusioner yang diberlakukan oleh kaum perempuan didasari
sejak adanya gerakan massa Stamp Act di tahun 1760-an sampai pada aksi
pemboikotan konsumen tahun 1770-an, hingga sengketa militer antara tahun 17761781, kaum perempuan seperti tidak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam
penyebaran gejolak revolusioner. Selain itu, perempuan seringkali mengadakan
protes-protes ketidakadilan ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika. Disamping
itu, bahasa revolusi semakin memperkuat pandangan bahwa kegiatan dan tujuan
politik selalu bersifat laki-laki karena itu dipisahkan dari lingkungan rumah tangga
yang sering diasosiasikan sebagai ruang lingkup perempuan.4
Bagi penulis, ada pembedaan antara ruang publik dan domestik. Ruang publik
digambarkan sebagai sesuatu yang lebih jantan, gagah berani, tegas, dan sebagainya
yang menggambarkan sifat-sifat umum dari seorang laki-laki. Sedangkan ruang
domestik digambarkan sebagai sesuatu yang lebih ramah, feminis, anggun, dan halhal lainnya lagi yang menggambarkan tentang sifat-sifat dari seorang perempuan.
Pembedaan ini secara jelas mengesahkan posisi yang tepat antara laki-laki dan
perempuan sehingga baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk
4
Lihat, Sara M. Evans, Lahir Untuk Kebebasan: Sejarah Perempuan Amerika (Jakarta: Yayasan Obor
Indoesia, 1994), 72-74. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum perempuan pada saat
itu ialah dengan menciptakan huru-hara pangan guna merampas barang yang dibutuhkan oleh mereka dan
keluarganya.
15
menyeberang ke arah yang berlawanan dengan posisinya sebagai laki-laki maupun
perempuan. Sebaliknya, kondisi tersebut tidak memperpendek langkah kaum
perempuan untuk memperjuangkan haknya. Keadaan tersebut semakin menyemangati
kaum perempuan untuk merebut kebebasannya, dan tindakan-tindakan dalam merebut
kebebasan terlihat secara jelas pada masa-masa pasca revolusi.
Setelah Revolusi Amerika, perempuan terus dibungkam di ranah publik, tetapi
mereka mulai menentang hal tersebut. Dimulai dengan konvensi hak-hak perempuan
di New York, pada tahun 1848, perempuan menyerukan peran politik yang lebih
langsung untuk diri mereka sendiri. Peran tersebut akhirnya berpusat untuk
mendapatkan suara. Aktivis merasa bahwa perempuan tidak hanya harus
berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin politik, mereka harus menjadi pemimpin itu
sendiri. Sementara itu, Feminis kontemporer juga berusaha untuk menghilangkan
garis kaku antara ruang publik dan domestik. Dan organisasi-organisasi lain telah
dibentuk dengan tujuan utama pemilihan lebih banyak perempuan untuk jabatan
publik, tetapi perempuan belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam kehidupan politik
karena kendala dari kehidupan pribadi mereka, terutama peran mereka sebagai isteri
dan ibu rumah tangga.5
Perjuangan kaum perempuan tidak berhenti pada era revolusi, sebaliknya
perempuan terus berusaha untuk memperoleh hak dan kebebasan pada wilayah publik.
Di tahun-tahun awal Republik yakni sekitar tahun 1780-an, terdapat gagasan bahwa
seorang ibu, berkomitmen untuk melayani keluarga dan negara, dan terdapat
kemungkinan untuk melayani tujuan politik. Identitas baru ini memiliki keuntungan
5
Barbara Burrell, Public Opinion, the First Ladyship and Hillary Rodham Clinton (New York: Taylor
& Francis e-library, 2002), 13.
16
untuk tampil dan mendamaikan politik dan rumah tangga.6 Pada buku yang berjudul
Lahir Untuk Kebebasan, gagasan komitmen perempuan dalam melayani keluarga dan
negara disebut dengan “keibuan republiken” yang berarti suatu peran pokok yang
dilakukan oleh perempuan dalam mencapai kesejahteraan negara. Ide tentang keibuan
republiken kemudian merangsang munculnya polemik tentang pendidikan perempuan
dan memprovokasi berdirinya akademi-akademi perempuan; yang merupakan institusi
pertama di mana kaum perempuan muda menerima pelatihan akademik secara serius.
Hal ini didasarkan pada pembagian secara adil yang memungkinkan perempuan ikut
dalam pemerintahan negara.7
Beralih pada era berikutnya ialah era persatuan yang berlangsung pada tahun
1820-1845. Pada era ini terjadinya pemisahan kehidupan antara laki-laki dan
perempuan yakni tugas-tugas yang dilakukan didasarkan pada sifat-sifat dari tiap jenis
kelamin. Secara terang-terangan dikatakan bahwa bekerja didefinisikan oleh kaum
laki-laki sebagai sebuah persaingan dan dunia pekerjaan yang menghasilkan
imbalan/upah. Sebaliknya, kegiatan kaum perempuan di dalam rumah, meski secara
fisik sangat melelahkan, tidak dapat disebut sebagai “pekerjaan” karena tidak dibayar.
Karena itu, di tahun 1820-an dan tahun 1830-an, oleh Emma Willard, Catherine
Beecher,dan Mary Lyon, dibentuklah perhimpunan kaum perempuan yang tidak
hanya mampu menjadi ibu-ibu republiken yang sangat berpengaruh pada anak-anak
mereka, tetapi juga sebagai guru-guru yang mengenal pencerahan. Profesi guru
dianggap mencerminkan aktivitas publik perempuan yang didasari atas kewajibannya
di dalam rumah tangga dan tanggung jawab moral. Karena itu, profesi guru dipegang
oleh kaum perempuan. Hal ini diyakini sebagai sebuah jembatan untuk menjembatani
6
Barbara Burrell, Public Opinion, the First Ladyship and Hillary Rodham Clinton (New York: Taylor
& Francis e-library, 2002), 9-10.
7
Sara M. Evans, Lahir Untuk Kebebasan: Sejarah Perempuan Amerika (Jakarta: Yayasan Obor
Indoesia, 1994), 94-96.
17
perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat bahkan
dipercaya bahwa perempuan yang terpelajar mampu melindungi negara pada zaman
kekacauan. Ironisnya, dalam hal ini pula masih terjadi ketidakadilan terhadap kaum
perempuan dimana upah yang didapatkan ialah separuh bahkan sepertiga dari gaji
laki-laki.8
Dengan demikian, penulis mencoba memahami situasi yang terjadi pada era
persatuan dimana secara perlahan, kaum perempuan memperoleh hak dan kebebasan
untuk bergabung pada wilayah publik walaupun kesempatan dan kebebasan yang
diperoleh masih terkait dengan kewajiban yang seharusnya dilakukan dalam rumah
tangga yaitu mendidik dan menumbuhkan moralitas anak. Situasi ini setidaknya
memberikan sebuah penjelasan bahwa kaum perempuan tidak hanya berdiri pada
tempat yang sama atau tidak mengalami stagnasi, perempuan setidaknya telah berhasil
mengayunkan langkah dan keluar dari cengkeraman wilayah domestik sehingga pada
akhirnya memperoleh kebebasan. Kesempatan yang diperoleh kaum perempuan pada
era persatuan kemudian menjadi pemacu dalam meraih kesempatan pada era
berikutnya yang disebut dengan era pembagian.
Era pembagian berlangsung pada tahun 1845-1865. Era ini ditandai dengan
munculnya pemikiran-pemikiran yang lebih radikal. Misalnya tahun 1848 sebagian
dari kaum perempuan berkumpul di Waterloo, New York, guna membentuk
kelompok masyarakat baru yang idealnya tanpa ada hierarki, tanpa aturan tentang
kegiatan politik, tanpa aturan keras dalam penerimaan anggota, dan menawarkan
persamaan hak secara rasial dan jenis kelamin. Mereka hadir dengan pembicaraan
tentang hak kaum perempuan yang berhadapan dengan masalah-masalah pemikiran
dasar tentang ideologi rumah tangga, pemisahan ruang lingkup kehidupan antara
8
Ibid., 111-118.
18
kaum laki-laki dan perempuan melalui tuntutan persamaan hak partisipasi dalam
kegiatan masyarakat. Inti dari radikalisme yang ditimbulkan oleh kaum perempuan
ialah: perempuan adalah juga warga negara; hubungan perempuan dengan pemerintah
seharusnya bersifat langsung dan tidak melalui perantaraan suami atau anak laki-laki.
Selain itu, sepanjang tahun 1850-an dan 1860-an, para pendukung hak perempuan
mendirikan serangkaian sekolah yang berhubungan dengan dunia medis bagi kaum
perempuan. Lembaga-lembaga ini menawarkan suatu ruang gerak baru bagi
perempuan, memperluas upaya-upaya perempuan memasuki dimensi-dimensi baru,
dan menawarkan peluang memasuki profesi yang sebelumnya tertutup bagi
perempuan. Pada akhirnya, banyak kelompok perempuan muncul dari berbagai jenis
kepentingan guna mempersiapkan tuntutan kebebasan-kebebasan baru yang ditandai
dengan era persemakmuran kaum perempuan. Antara tahun 1865 dan 1890 (era
persemakmuran kaum perempuan), arena pemilihan umum terisi penuh oleh kaum
perempuan. Perempuan bahkan diberi hak pilih dan mulai dapat mencalonkan diri
pada ajang politik. Bidang kegiatan kaum perempuan secara evolusi terus berkembang
dan gaya keibuan republiken mengajukan pengakuan status kewarganegaraan penuh
bagi kaum perempuan.9
Memasuki tahun 1890-an hingga 1990-an yang ditandai dengan era
modernitas, Amerika mulai ditandai dengan meningkatnya gaya hidup perkotaan dan
industri yang melanda sebagian besar masyarakat kecil tradisional, yang sebelumnya
diidentikkan sebagai ciri khas masyarakat Amerika. Pada masa ini, laki-laki dan
perempuan sama-sama bekerja di pabrik-pabrik. Bahkan, bukti yang paling jelas
tentang adanya perubahan di kalangan perempuan adalah munculnya perempuanperempuan modern yang berpendidikan akademis, tidak kawin, dan mandiri. Pada
9
Ibid., 166-196, 260.
19
masa ini juga, kaum perempuan bergabung dalam profesi-profesi yang sedang
berkembang seperti profesi di bidang pengajaran dan perawatan. Di sisi lain,
perempuan tetap diperhadapkan dengan penolakan dari sebagian masyarakat yang
berupaya membuktikan bahwa pendidikan yang terlalu tinggi pada perempuan dapat
merugikan sistem reproduksi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti
Women’s Christian Temperance Union (WCTU) berupaya meyakinkan para
pengkritik bahwa perempuan yang berpendidikan pasti akan mampu menjadi ibu yang
sangat baik, serta mampu menyebarkan kecakapan-kecakapan keibuannya kepada
dunia yang membutuhkannya. Meskipun pada masa ini standar hidup secara perlahan
mulai naik, kondisi dalam bekerja terus dianggap membahayakan, dimana jam kerja
masih panjang dengan upah yang sangat rendah.10
Memasuki
tahun
1980-an,
kaum
perempuan
membelokkan
arah
perjuangannya. Jika pada era revolusi kemerdekaan sampai pada awal era
modernisasi, perempuan memperjuangkan hak suara, hak milik, dan hak dalam
berpolitik, maka pada tahun 1970-an sampai 1980-an perempuan memperjuangkan
berbagai topik yakni; ketidakadilan dalam hukum, seksualitas (yang mencakup
masalah pornografi, pekerja seks, dan perdagangan manusia dalam hal seksualitas
perempuan) keluarga, tempat kerja, dan hak-hak reproduksi. Awal tahun 1980-an,
secara luas dianggap bahwa perempuan telah mencapai tujuan mereka dan berhasil
dalam mengubah sikap masyarakat Amerika terhadap peran gender, mencabut
undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan, termasuk mengubah rasio
jenis kelamin pada institusi-institusi yang dulu didominasi oleh kaum laki-laki seperti
akademi militer, ketentaraan, universitas khusus laki-laki, klub-klub khusus untuk
10
Ibid.
20
pria, mahkamah agung, dan melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di
tempat kerja.11
Berdasarkan penjelasan yang telah dirangkum di atas maka bagi penulis
menanggapi bahwa sejak tahun 1776 sampai 1980-an, terlihat adanya pasang surut
yang dialami oleh kaum perempuan berkaitan dengan perjuangan mereka dalam
memperoleh hak, kebebasan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Kebebasan yang didapatkan oleh kaum perempuan di awal perjuangannya
hingga era pembagian masih diwarnai dengan tugas-tugas yang bernuansa domestik.
Dalam pemikiran awal penulis, perempuan telah berhasil keluar dari lingkaran
domestik dan menuju lingkaran publik dengan status sebagai manusia yang bebas.
Kenyataannya, perempuan masih dibayang-bayangi dengan lingkaran domestik
sehingga tidak mendapatkan kebebasan penuh dalam menggenggam haknya sebagai
manusia yang bebas bersaing dengan laki-laki pada wilayah publik. Namun,
setidaknya kesempatan itu yang kemudian menghantarkan kaum perempuan dalam
perjuangannya (pada tahun 1890-an hingga tahun 1980-an) untuk memperoleh
keadilan dan penghargaan yang selayaknya sebagai manusia.
Hal kedua yang menjadi latarbelakang pendukung terbentuknya teori keadilan
dari Susan Moller Okin ialah berkaitan dengan kekagumannya terhadap upaya dari
kaum feminis yang hadir pada tahun 1960-1970.12 Asal mula gerakan pembebasan
perempuan di Amerika pada tahun 1970-an dipengaruhi oleh terbentuknya NOW
(National Organization for Women) pada tahun 1966. Organisasi ini dibentuk sebagai
akibat langsung dari adanya kegagalan Komisi Kesempatan Lapangan Kerja yang
Setara (Equal Employment Opportunity Commission) untuk bersikap serius atas
persoalan
11
12
diskriminasi seks.
NOW
berusaha
membawa
perempuan untuk
http://id.wikipedia.org/wiki/Gelombang_feminisme_kedua, diunduh tanggal 8 Mei 2014.
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989),, vii.
21
berpartisipasi penuh dalam arus utama masyarakat Amerika yang memiliki hak
istimewa dan tanggung jawab dalam kemitraan yang benar-benar setara dengan lakilaki. Selain itu munculnya kelompok-kelompok feminis radikal yang berasal dari
gerakan hak sipil, anti-Perang Vietnam dan gerakan mahasiswa yang menggunakan
infrastruktur komunitas radikal, pers bawah tanah, dan Universitas bebas (free
university). Pada tahun 1968 kelompok-kelompok feminis Amerika mengorganisasi
demonstrasi melawan penjualan seksual (the sexual sell) dalam konteks Miss
America. Bagi mereka, para kontestan dilambangkan peran yang dipaksa untuk
dimainkan oleh semua perempuan dalam masyarakat’.13
Dengan demikian penulis memahami bahwa melalui upaya-upaya yang
dilakukan oleh kaum feminis dalam memperjuangkan hak, kebebasan, dan
kemanusiaan bagi perempuan, maka Okin juga mengambil langkah melalui teori
keadilannya untuk menegaskan bahwa sejatinya keperempuanan seorang perempuan
harus dihargai dan mendapat tempat yang layak. Artinya, kehadiran kaum feminis
dengan ideologi-ideologi yang mereka anut seharusnya tidak menghentikan langkah
banyak perempuan yang berada di luar untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai
keadilan yang setara antara laki-laki dan perempuan pada wilayah publik maupun
domestik.
Selaras dengan pokok pemikiran yang dibangun oleh Okin tentang keadilan
dalam keluarga, dunia Barat mengasumsikan keluarga sebagai unit sosial yang paling
mendasar, unit tempat ibu dan bapak harus bekerja sama untuk menciptakan,
memasyarakatkan, dan mendidik anak-anak. James Coleman mengatakan bahwa
keluarga merupakan suatu komunitas yang sangat berguna bagi pengembangan
kognitif dan sosial seorang anak. Namun, pada pergantian abad ke-19 banyak teori
13
Siti Jamilah (Editor), Sue Thornham, Teori Feminis dan Cultural Studies: Tentang Relasi Yang
Belum Terselesaikan (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 59-62.
22
sosial klasik yang muncul dan mengasumsikan bahwa ketika masyarakat sudah
termodernkan, peran keluarga akan semakin berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis
ikatan sosial yang lebih impersonal. Jadi, dalam masyarakat yang benar-benar
modern, arti penting sebuah keluarga menjadi semakin berkurang. Peran keluarga
yang awalnya mendidik anak dan menghormati yang tua menjadi bergeser bahkan
lenyap. Pada pertengahan abad ke-20, teori-teori modern tidak lagi melihat kehidupan
keluarga sebagai persoalan yang penting karena kondisi kehidupan masyarakat yang
telah terkontaminasi dengan sistem industri.14 Bahkan, semakin meningkatnya
keterpurukan yang dialami oleh keluarga-keluarga di Amerika dan Eropa Barat pada
tahun 1950-an dan akhir 1960-an memberikan penegasan terhadap fungsi keluarga
sebagai unit terpenting.15
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mengartikan bahwa dari masa ke masa
peran keluarga sebagai unit terpenting dalam pembentukan jati diri dan moralitas
seorang anak akan menjadi semakin berkurang, karena sebagian besar orang tua tidak
lagi bertanggungjawab terhadap perannya dalam mendidik anak. Peran tersebut
dialihkan kepada institusi-intitusi yang disinyalir memiliki peran dan tanggungjawab
yang sama dalam mendidik dan membentuk moralitas seorang anak. Padahal
sejatinya, keluarga merupakan tempat awal terbentuknya moralitas yang baik dari
seorang anak. Keadaan yang seperti ini memungkinkan terjadinya praktek-praktek
ketidakadilan dalam sebuah keluarga. Hal ini dikarenakan tidak optimalnya hubungan
yang dekat antara orang tua dan anak, bahkan suami dan isteri.
14
Ruslani (Penerjemah), Dede Nurdin (Penyunting), The Great Disruption: Hakikat Manusia dan
Rekonstitusi Tatanan Sosial (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002). Diterjemahkan dari Judul Asli: The Great
Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Karya: Francis Fukuyama. 53-56
15
Ibid., 60. Penjelasan yang terkait dengan hal ini ialah meningkatnya jumlah perceraian dan
meningkatnya jumlah anak-anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan, atau mengalami kehancuran lain dari
perkawinan orang tua mereka saat mereka masih kecil. Keluarga inti telah lama mengalami penurunan dan telah
memiliki berbagai akibat serius bagi anak-anak. Depresi Perang Dunia II telah menyebabkan kerusakan
signifikan dalam pola-pola keluarga.
23
Hal ketiga yang mendukung teori keadilan dari Susan Moller Okin ialah
pengalaman hidupnya sebagai orang tua tunggal (single parent). Dan hal lain yang
turut mendukung teori yang ia kembangkan ialah berkaitan deng teori-teori keadilan
klasik yang menurutnya tidak banyak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan
dalam menghadapi isu-isu ketidakadilan dan gender.16 Semua teori keadilan yang ada
mulai dari masa lampau hingga sekarang sangat mengabaikan masalah ketidakadilan
di dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Baginya, konsep
keadilan yang dibutuhkan umat manusia adalah didasarkan pada kesederajatan
martabat kemanusiaan. Okin menegaskan bahwa konsep-konsep keadilan dalam
tradisi pemikiran Barat belum menjawab persoalan ketidakadilan yang dialami
perempuan dan anak-anak, di dalam masyarakat, khususnya di dalam institusi rumah
tangga. Ketidakadilan dalam rumah tangga mempunyai andil yang besar bagi
tumbuhnya ketidakadilan di dalam masyarakat.17
Okin mengamati masyarakat Amerika Serikat yang menganut sistem
liberalisme dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan individu.
Tetapi, pandangan tradisional tentang dikotomi publik-domestik masih kuat dalam
masyarakat Amerika Serikat. Laki-laki dipandang sebagai insan publik, sementara
perempuan adalah insan domestik yang dikhususkan dalam lingkup kehidupan rumah
tangga. Bahkan ada yang beranggapan bahwa pemisahan ini merupakan kodrat hidup
manusia. Bukan saja mengandung dan melahirkan anak menjadi tugas kodrati
perempuan, melainkan tugas-tugas dalam rumah tangga pada umumnya dipandang
harus menjadi kewajiban perempuan.18 Semua faktor ini menginsprirasinya untuk
16
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), vii.
Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University Press –
Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 77.
18
Ibid., 78.
17
24
menghadirkan dan mengembangkan teori keadilan yang berpusat pada keadilan bagi
kaum wanita dan anak-anak.
Berdasarkan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan berkaitan dengan
alasan pengembangan teori keadilan Susan Moller Okin, maka hal berikut yang akan
menjadi pokok pembicaraan dari pembahasan ini adalah pemikiran-pemikiran dari
Okin mengenai keadilan dalam keluarga, teori keadilan Rawls dan Nozick sebagai
bahan kritik, dan konsep keadilan yang humanis.
B. Okin dan Pergumulannya
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang teori keadilan yang
dikemukakan oleh Okin. Adapun sub-sub pokok bahasan yang digumuli ialah
keadilan dan gender, Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan, Libertarianisme: Matriarki,
Perbudakan, dan Distopia, Justice as Fairness, Dikotomi Publik/Domestik, dan
Keadilan Yang Humanis. Berikut ini adalah pembahasannya:
B.1. Keadilan dan Gender
Menurut Okin, sebuah pembagian yang sama antara kedua jenis kelamin
merupakan tanggung jawab keluarga. Contohnya kepedulian terhadap anak-anak.
Sayangnya kepedulian terhadap anak-anak belum terjadi secara merata di dalam
keluarga. Okin melanjutkan pandangannya tentang keadilan terhadap perempuan pada
skala yang lebih besar. Perempuan yang mencapai posisi tingkat tinggi di bidang
politik, bisnis, dan profesi memiliki jumlah yang sangat tidak proporsional
dibandingkan dengan jutaan perempuan yang bekerja paruh waktu dengan gaji yang
rendah dan jutaan perempuan lainnya yang tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan
rumah tangga tanpa dibayar bahkan seringkali pekerjaan mereka tidak diakui sebagai
25
sebuah pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan akan sulit memperoleh
kesetaraan dalam bidang politik, di tempat kerja, atau di bidang lainnya.19
Okin mengatakan bahwa dalam pandangan teori feminis, gender diakui
sebagai sebuah faktor sosial yang penting dalam suatu masyarakat. Namun
pemahaman yang baru mencerminkan adanya pemikiran yang tradisional berkaitan
dengan gender sebagai sebuah perbedaan secara seksual yang sebagaian besar
dianggap sebagai hasil produksi masyarakat. Para penganut paham feminis yang
berasal dari berbagai disiplin ilmu secara radikal memberikan pandangan yang
berbeda dalam mendefinisikan gender secara komprehensif. Salah satunya
menjelaskan tentang gender sebagai posisi subordinat dari seorang perempuan
terutama dalam perbedaan secara biologis. Argumen yang lain menjelaskan bahwa
terdapat kemungkinan inti perbedaan secara biologis merupakan hasil konstruksi
sosial dari suatu masyarakat. 20
Dalam pemahaman secara luas sebagian besar kaum feminis telah jatuh pada
ekstrimisme. Banyaknya penolakan dari kaum feminis yang menekankan bahwa
perbedaan gender ditentukan dari adanya perbedaan secara biologis, sebaliknya
merupakan karakter dari hasil konstruksi sosial. Secara khusus relevansinya terletak
pada pekerjaan di bidang psikologi, dimana telah dilakukan penyelidikan yang sangat
penting berkaitan dengan keberadaan seorang perempuan dalam mengasuh sebagai
bagian dari identitas gender, dan dalam sejarah antropologi gender telah ditekankan
pada faktor sejarah dan budaya. Menurut Okin, banyak hal yang telah dilakukan oleh
kaum feminis dalam menyikapi pembicaraan mengenai gender structure, diantaranya
ialah memikirkan kembali, meneliti, menganalisis, bahkan tidak setuju dengan
19
20
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 4.
Ibid., 6
26
kehidupan politik dan institusi-intitusi legal yang semakin diperhadapkan dengan isuisu tentang ketidakadilan gender dan dampak dari ketidakadilan tersebut.21
Masalah-masalah diskriminasi seks, gangguan seksual, aborsi, hamil di luar
nikah, dan sebagainya telah menjadi isu dalam pembicaraan pada ranah publik.
Selebihnya Okin mengatakan bahwa isu-isu mengenai keadilan dalam keluarga,
khususnya kasus-kasus seperti perceraian, kekerasan seksual terhadap isteri dan anak
semakin terlihat jelas dan menjadi sebuah permasalahan yang semakin ditekankan,
tetapi juga kurang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai macam pihak
sehingga terlihat jelas adanya “krisis keadilan” dalam masyarakat. 22
Dalam bukunya yang berjudul Is multiculturalism bad for women, Okin juga
membahas mengenai budaya dan gender. Kebanyakan budaya diliputi dengan praktik
dan ideologi mengenai gender. Budaya juga mendukung dan memfasilitasi kontrol
laki-laki atas perempuan dalam berbagai cara (bahkan dalam lingkup pribadi dan
kehidupan rumah tangga) sehingga ada perbedaan yang cukup jelas dalam kekuasaan
antara jenis kelamin. Laki-laki pada umumnya berada pada posisi sebagai penentu.23
Menurutnya, ada dua hubungan yang
sangat penting antara budaya dan
gender.24 Pertama: lingkup pribadi, seksual, dan fungsi rerpoduksi sebagai fokus
utama dari kebanyakan budaya dan merupakan tema yang dominan dalam praktekpraktek budaya. Kelompok agama atau budaya memberikan perhatian terhadap
hukum pribadi: hukum perkawinan, perceraian, hak asuh anak, pembagian dan kontrol
harta keluarga, dan warisan. Hal-hal ini cenderung memiliki dampak yang lebih besar
pada kehidupan perempuan dan anak perempuan dari pada orang-orang laki-laki dan
21
Ibid.
Ibid., 7
23
Susan Moller Okin, Is Multiculturalism Bad For Women? (New Jersey: Princeton University Press,
1999), 12.
24
Ibid., 13
22
27
anak laki-laki, di mana aturan dan peraturan yang dibuat dalam sebuah budaya sangat
membutuhkan dan mengharapkan perempuan berada di ranah domestik. Kedua:25
sebagian besar budaya memiliki kontrol terhadap perempuan. Jadi, banyak budaya
bertujuan untuk mengontrol perempuan terutama secara seksual dan reproduktif, dan
membuat mereka sebagai budak sesuai dengan keinginan dan kepentingan laki-laki.
Melalui pandangan yang dikemukakan oleh Okin, maka dapat dikatakan
bahwa ketidakadilan berasal dari adanya pembagian kerja antar jenis kelamin
sehingga mempengaruhi hampir semua lapisan masyarakat. Berbagai masalah sosial
yang muncul secara luas semakin menimbulkan persoalan serius bagi anak-anak
maupun perempuan, dan mempengaruhi potensi dalam keluarga sebagai lembaga
pendidikan pertama yang penting bagi anak dalam mengembangkan rasa keadilan.
Ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan membangkitkan aksi dari kaum
feminis untuk menyikapi masalah yang sedang dihadapi secara bersama.
Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan berasal dari lingkungan yang sangat
dekat dengan kehidupannya yaitu keluarga.
B.2. Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan
Ketidaksetaraan yang terus ada antara laki-laki dan perempuan telah
memberikan dampak serius pada kehidupan perempuan dan anak-anak. Hal itu
tampak dalam distribusi kerja yang diskriminatif dimana perempuan hanya di ranah
25
Ibid., 13-14. Alasan yang kedua, Okin memperkuat pandangannya dengan mempertimbangkan
cerita-cerita bahkan mitos-mitos yang memposisikan perempuan sebagai kaum yang rendah dibandingkan
dengan laki-laki. Misalnya, mitos Yunani kuno dan Romawi, dan Yahudi, Kristen, dan Islam: mereka penuh
dengan upaya untuk membenarkan kontrol dan subordinasi perempuan. Mitos ini terdiri dari penolakan
kombinasi peran perempuan dalam reproduksi, penokohan perempuan sebagai sosok yang terlalu emosional,
tidak dapat dipercaya, jahat, atau berbahaya secara seksual. Bandingkan lagi dengan cerita-cerita dari Athena
mengenai kemunculan Zeus, Romulus dan Remus yang dibesarkan tanpa seorang ibu manusia. Atau Adam yang
dibuat oleh Allah laki-laki, yang kemudian menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Pikiran-pikiran ini
berujung adanya pandangan tentang kelemahan perempuan, dimana adanya pengabaian terhadap peran
perempuan dalam hal reproduksi. Bahkan dalam cerita Alkitab yang mengisahkan tentang Abraham yang
hendak megorbankan anaknya Isak. Abraham melakukan persiapan tanpa memberitahu bahkan bertanya kepada
Sarah yang adalah seorang ibu.
28
domestik dan laki-laki di ranah publik serta diskriminasi terhadap perempuan yang
membuat sehingga keluarga tidak terjamah oleh aspek keadilan. Pada bagian ini akan
dibahas mengenai peran keluarga sebagai basis terbentuknya keadilan.
B.2.1. Keadilan dan Keluarga Ideal
Dalam mengemukakan teorinya tentang keadilan bagi kaum perempuan yang
diawali dari dalam keluarga, terdapat beberapa pandangan yang dikritik oleh Okin,
diantaranya Rousseau dan Hume. Rousseau berpendapat bahwa: 26
“Pemerintahan keluarga, tidak seperti masyarakat politik, tidak perlu
bertanggungjawab kepada anggotanya atau diatur oleh prinsip-prinsip keadilan dengan
merujuk pada gagasan bahwa keluarga tidak seperti masyarakat. Argumen ini bertumbuh
dengan pradigma bahwa, ayah dari sebuah keluarga sebagai pemimpin hanya perlu
bertindak menurut kata hatinya untuk menciptakan keadilan, sementara perempuan tidak
mempunyai hak atau otoritas apapun. Oleh sebab itu perempuan memiliki ranah yang
berbeda dengan laki-laki dimana perempuan ditempatkan dalam ranah domestik dan lakilaki ditempatkan dalam ranah publik. Hal ini membuat sehingga di dalam masyarakat,
peran perempuan diwakili oleh kaum laki-laki.”
Dari pandangan Rousseau, penulis memahami bahwa perempuan hanyalah
sebagai pelengkap bagi seorang laki-laki dan tidak memiliki kuasa apapun untuk
mengatur kelangsungan kehidupan keluarga. Perempuan layaknya anak-anak yang
harus patuh terhadap semua keputusan yang dibuat oleh laki-laki dalam hal ini suami.
Kondisi ini kemudian membentuk pola pikir bahwa tempat yang layak bagi seorang
perempuan ialah wilayah domestik.
Sedangkan Hume berargumen yang sama dengan Rousseau bahwa penerapan
keadilan di dalam keluarga bukanlah sebuah standar yang cocok untuk diterapkan di
dalam keluarga, ia berpendapat bahwa:27
“Keadilan harus dimulai dengan penerapan kasih sayang yang besar dan
penyatuan hak milik yang ada karena keadilan merupakan kasih sayang dan
kesatuan kepentingan yang berlaku dalam keluarga.”
26
27
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 26
Ibid., 27
29
Dari pandangan Hume, bagi penulis tampaknya terdapat pergeseran pendapat.
Dalam pandangannya, Hume mengatakan bahwa yang dinamakan keluarga
seharusnya menerapkan cara-cara yang adil yang diawali dengan sebuah kesepakatan
untuk saling mengasihi. Penerapan kasih sayang ini kemudian diinterpretasikan
sebagai jembatan untuk dapat menghantarkan sebuah keluarga tiba pada tindakantindakan yang lebih adil.
Okin menanggapi pandangan yang dikemukakan oleh Rousseau dan Hume.
Kedua pandangan ini menyatakan bahwa pada kenyataannya ketika terjadi pernikahan
dan terbentuknya keluarga maka perempuan sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki
dan hanya akan menunjukan sikap ketergantungan yang menggambarkan perempuan
tidak mampu melakukan sesuatu jika tidak bergantung pada laki-laki.28 Selama tahun
1970 banyak terjadinya tindakan kekerasan yang fatal dalam hubungan keluarga
sehingga institusi hukum dalam hal ini pengadilan dan polisi sibuk menangani
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat (laki-laki) kepada
pihak yang lemah (perempuan). Untuk itu melalui kedua pandangan ini ditemukan
bahwa keluarga yang ideal ialah keluarga yang mendahulukan nilai-nilai keadilan
dibandingkan dengan semangat kemurahan hati. Semangat kemurahan hati atau kasih
sayang tidak cukup untuk membentuk nilai-nilai yang adil.
Okin menanggapi kedua pandangan di atas dengan menyatakan bahwa
ternyata beban tugas yang dilakukan oleh seorang perempuan di dalam sebuah
keluarga melebihi tugas yang dikerjakan oleh laki-laki. Hal ini terjadi bukan hanya
karena semangat kemurahan hati dari perempuan, melainkan karena ideologi yang
terbentuk di dalam masyarakat terhadap keberadaan seorang perempuan dalam sebuah
keluarga. Ia juga menambahkan bahwa di dalam keluarga, keamanan fisik maupun
28
Ibid., 27.
30
pembagian waktu untuk istirahat tidak terbagi atau terstruktur secara merata antara
laki-laki dan perempuan. Karena itu, harus diterapkan nilai-nilai keadilan yang benarbenar adil dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan semangat kemurahan hati
karena akan mengancam peluang cita-cita dari jutaan perempuan dan anak-anak.
Artinya ialah, keluarga sebagai institusi pertama dalam mengembangkan moralitas
seseorang haruslah menerapkan bahkan mengembangkan rasa keadilan dan kesetaraan
dalam memberikan kesempatan bagi setiap anggota keluarga. Dengan tegas pula ia
menekankan bahwa sebuah keluarga haruslah dibangun atas dasar keadilan.29
B.2.2. Ketidakadilan dalam keluarga sebagai keadaaan alamiah dan kewajiban
sosial
Dalam visi Rousseau, kehidupan keluarga merupakan tempat di mana seorang
istri bergantung terhadap suaminya, mendapatkan perlindungan, dan tempat di mana
terjadinya subordinasi. Dalam penggembangannya, suami dan ayah sering
mengabaikan, melecehan, dan meninggalkan orang yang seharusnya mereka
perhatikan. Ia melihat posisi ketergantungan dari perempuan dianggapnya sebagai
paksaan oleh alam. Dalam pandangan Rousseau, perempuan selalu bersandar "pada
belas kasihan laki-laki." Karena itu perempuan selalu merasakan subordinasi dari
kebutuhan dan keinginan suaminya. Secara terus terang Rousseau mengungkapkan
ketidakadilan yang terjadi dalam beberapa kalimat yang berbunyi demikian:30
As she is made to obey a being who is so imperfect, often so full if vices, and
always so full of defects as man, she ought to learn early to endure even injustice and to
bear a husband’s wrongs without complaining. It is not for his sake, it is for her own,
that she ought to be gentle. The bitterness and the stubbornness of women never do
anything but increase their ills and the bad behavior of their husbands.
Melalui kalimat di atas, secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa
perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna. Sebagai manusia, perempuan
29
30
Ibid., 30-32
Ibid., 33
31
memiliki banyak kekurangan karena itu ia harus patuh terhadap suaminya. Walaupun
mengalami situasi yang tidak adil, perempuan harus belajar untuk memikul bahkan
belajar untuk menutupi kesalahan-kesalahan suaminya tanpa melakukan protes.
Timbulnya pandangan yang demikian dikarenakan oleh adanya anggapan bahwa
perempuan bergantung secara penuh kepada laki-laki atau keberadaan perempuan
tergantung pada keberadaan seorang laki-laki, sebagai akibatnya maka perempuan
harus bersedia memikul kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki dengan
sebuah pembenaran bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh isteri bukan untuk
kepentingan laki-laki/suami tetapi untuk kepentingan si perempuan/isteri. Dapat
dikatakan pula bahwa hal tersebut bagaikan sebuah syarat atau kewajiban yang harus
dipenuhi oleh perempuan yang pada konteks ini berperan sebagai seorang isteri untuk
mendapatkan sebuah pengakuan yang sah berkaitan dengan keberadaannya.
Menurut pemikiran Bloom, secara alami terdapat perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Laki-laki tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak. Namun
perempuan secara alami memiliki keinginan untuk mempunyai anak, dan karena itu
harus mengurus mereka. Untuk mendapatkan ayah dari anak-anak, maka harus ada
daya tarik dari perempuan yang membuat laki-laki terpesona ke dalam pernikahan,
dan kemudian harus memenuhi kebutuhan mereka dan merawat mereka. Menyadari
dasar alami dari ketergantungan mereka, wanita tidak harus mengembangkan karier
karena akan mengancam kesatuan keluarga. Bagi Bloom, hal ini merupakan sebuah
ketimpangan sebab perempuan tidak mampu untuk membuat sehingga laki-laki
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap proses menjaga dan mengasuh anak
dalam lingkup keluarga. Dalam keadaan yang demikian maka Bloom mengeluarkan
tulisan seksisme sebagai pembuktian bahwa selama ini paradigma yang bertumbuh
bahwa perempuan hanya berfikir dari segi irasional saja dan bukan bersifat rasional.
32
Situasi ini yang membuat sehingga perempuan dikesampingkan dan dapat dengan
mudah terlupakan.31
Bagi penulis, banyaknya pandangan yang dikemukakan menyatakan bahwa
perempuan adalah makhluk yang lemah sehingga membuat posisi perempuan semakin
tersudutkan dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan keluarga. Timbulnya
pandangan-pandangan tersebut seakan menyatakan bahwa perempuan tidak lebih
unggul daripada laki-laki. Dengan demikian laki-laki yang menjadi penentu dalam
keluarga. Sementara itu, kondisi alamiah dari seorang perempuan yang menginginkan
kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga dijadikan sebagai salah satu dari
banyaknya alasan untuk lebih menekan hak dan kebebasan seorang perempuan.
B.3. Libertarianisme: Matriarki, Perbudakan, dan Distopia
Para
penganut Libertarianisme mengklaim bahwa untuk memperoleh
kebebasan individu, maka kegiatan-kegiatan pemerintah harus diminimalisasikan.
Setiap individu memiliki hak untuk mengelola hidupnya dan untuk mempertahankan
hasil kerjanya sendiri. Tujuan pemerintah hanya untuk melindungi setiap individu dari
gangguan-gangguan dan melawan invasi dari orang asing. Pemerintah tidak boleh
mengambil aset, rumah, atau cara hidup setiap warga negaranya kecuali sejauh hal
tersebut diperlukan untuk tujuan melindungi. Namun dukungan libertarian terhadap
kebebasan individu tidak mempertimbangkan hak-hak kaum perempuan. Dalam
pembahasan ini, Okin melihat teori yang dikembangkan oleh Robert Nozick berkaitan
dengan hak prerogatif individu. Di dalam Okin, dengan jelas Nozick mengklaim
bahwa hak prerogatif individu pada barang-barang yang mereka miliki adalah
prioritas yang melebihi hak-hak manusia lainnya, bahkan hak manusia untuk hidup.32
31
32
Ibid., 35
Ibid., 74, 77
33
Seperti yang dikatakan Nozick: individu memiliki hak, sehingga tidak
seorangpun atau kelompok tertentu boleh mencampurinya. Kuatnya hak-hak individu,
sehingga setiap individu memiliki hak untuk mempergunakan miliknya, tetapi tidak
boleh merugikan orang lain. Dan di pihak lain, orang boleh mendapatkan kekayaan
atau keuntungan lebih tanpa harus mengorbankan maupun merugikan orang lain.
Maka rumus distribusi yang adil adalah setiap orang memberikan sesuai dengan
pilihannya, dan setiap orang menerima sesuai dengan apa yang dipilihnya. Sedangkan
campur tangan pemerintah hanya sebatas mengingatkan bahaya yang mengancam hak
individu, tetapi tidak mengatur hak individu. Nozick memberi gambaran tentang
keadilan dalam kepemilikan. Baginya jika setiap orang memiliki suatu barang yang
sesuai prinsip-prinsip keadilan, maka hal itu dianggap sah. Karena itu, keadilan
menjadi landasan perlakuan adil terhadap manusia yang menjadi warga masyarakat.33
Matriarki, perbudakan, dan distopia dalam pembahasan ini berkaitan dengan
dibentuknya anak-anak sebagai properti atau barang yang dimiliki oleh orang tua.
Pandangan ini berkaitan erat dengan asumsi bahwa perempuan merupakan produk
juga berkaitan dengan sistem matriarki bahwa anak adalah milik orang tua
(perempuan). Karena itu, terdapat anggapan bahwa dalam kehidupan keluarga,
perempuan diwajibkan untuk
melanjutkan kinerjanya dalam merawat dan
menyediakan hubungan-hubungan yang intim dengan anak-anak. Di sinilah letak
maksud dari perbudakan bagi seorang perempuan. Nozick gagal memasukkan
perempuan untuk diperhitungkan dalam teori keadilannya. 34
33
Pernyataan ini diperoleh dari hasil diskusi kelas yang disampaikan oleh kelompok (Mahasiswa
Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana: John R Purba, Juliza Ransum, Hardek R Masua,
2012) yang membahas mengenai Teori Keadilan Nozick. Buku-buku yang dipakai sebagai penunjang dalam
melengkapi makalah kelompok ialah: Thobias Messak, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana, 2007); Robert Nozick, Anarchy, State, And Utopia.
34
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 85-88.
34
Okin mengkritisi bahwa teori yang dikemukakan oleh Robert Nozick
mengabaikan keberadaan perempuan. Selain itu Okin juga berpendapat bahwa Nozick
tidak melihat berbagai permasalahan yang terjadi seputar masalah seks, dan
kompensasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, Okin
kembali berpendapat bahwa Nozick tidak memperhatikan fakta bahwa manusia terdiri
dari dua jenis kelamin. Okin juga menanggapi pandangan yang dikemukakan oleh
Nozick bahwa semua manusia (laki-laki dan perempuan) adalah milik perempuan.
Dengan begitu dipahami bahwa seseorang dapat dimiliki oleh orang lain selain diri
mereka sendiri. Okin mempertanyakan apakah pribadi seseorang bisa dimiliki oleh
orang lain? Menurut Okin, hal ini berkaitan dengan masalah perbudakan pribadi.
Pertanyaan lain yang timbul ialah apakah dengan adanya sistem “bebas”
memungkinkan seseorang dapat menjadi budak? Berdasarkan kedua pertanyaan dan
pengembangan teori yang dikemukakan oleh Nozick maka tanggapan yang diberikan
oleh Okin ialah pada dasarnya dalam teori keadilan, setidaknya harus dipahami bahwa
setiap manusia/individu berdiri pada diri sendiri. Jika individu dilahirkan sebagai
milik orang lain, maka mereka tidak dapat memiliki haknya secara keseluruhan.35
Okin juga mengkritik pernyataan yang dikemukakan oleh Nozick bahwa
keluarga sebagai sebuah hambatan bagi seseorang untuk mengembangkan
kemampuannya serta menghambat seseorang beralih dari satu komunitas ke
komunitas lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pertumbuhan seorang anak belum
dapat menimbulkan suatu masalah yang sulit. Namun, bagi Okin disinilah letak
permasalahannya.
Keluarga
merupakan
tempat
pertama
dan
utama
untuk
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai moral semenjak masa kanak-kanak.
Jika bagi Nozick, dalam masa pertumbuhannya, seorang anak belum dapat
35
Ibid., 74-88.
35
menghadirkan suatu masalah yang sulit, maka Okin menanggapi bahwa semenjak
kanak-kanak, mereka harus diberitahu mengenai berbagai alternatif yang harus
diambil dan diputuskan ketika pada akhirnya mereka berada pada wilayah publik.
Okin menjelaskan bahwa sebenarnya anak-anak sangat membutuhkan peran besar dari
dalam keluarga agar dapat menjadi agen-agen moral dan mampu menjalani hidup
yang bermakna. Menurutnya, hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
pengembangan moral tidaklah bertumbuh bahkan berkembang dalam rentang waktu
yang singkat, sebaliknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat
terbentuknya moralitas yang matang. Bagi Okin, teori yang dikemukakan oleh Nozick
telah mengabaikan fakta-fakta ini. Karena itu bagi Okin, keluarga merupakan wadah
yang paling penting dalam membentuk karakter moral seorang anak. Melalui keluarga
anak dididik sejak dini untuk dapat mengambil keputusan yang adil.36
Berdasarkan pandangan Nozick maka penulis menyimpulkan bahwa ia
mengambil arah yang berbeda dengan Rawls yakni menekankan tentang keadilan
terhadap hak milik pribadi. Baginya, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh
dan mempertahankan milik pribadi. Hal itu berarti bahwa semua cara yang ditempuh
dilanggengkan semata-mata untuk kesenangan pribadi. Analisa yang dibangun
berkaitan dengan pernyataan ini ialah akan adanya penyelewengan bahkan
ketidakadilan jika semua orang diberikan kebebasan untuk melakukan segala cara
bagi pemenuhan kepentingan pribadinya. Jika yang lain telah berhasil memperoleh
kesenangan dan keadilan maka akan ada sebagian orang yang tidak dapat menikmati
kebebasan dan keadilan dalam menjaga hak milik pribadinya. Dan jika semua orang
menuntut harus adanya perlindungan terhadap barang-barang miliknya maka tidak
menutup kemungkinan akan timbulnya tindakan yang mengabaikan hak dari sebagian
36
Ibid., 74-88
36
orang. Nozick sangat menekankan tentang hak kepemilikan pribadi, sehingga tidak
memperhatikan tentang keadilan yang harus terjamah dalam kehidupan keluarga. Jika
teori keadilan yang dikembangkan oleh Nozick dimasukkan ke dalam hubungan
keluarga maka tidak menutup kemungkinan akan adanya tindakan yang tidak adil
karena setiap individu dalam rumah tangga pun memperjuangkan hak masing-masing,
dan artinya ketika anggota keluarga yang lain secara tegas menghendaki bahwa
haknya harus didahulukan maka sangat dimungkinkan akan adanya pengabaian
terhadap hak dari anggota keluarga yang lainnya.
B.4. Justice as Fairness
Justice as Fairness merupakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John
Rawls. Teori ini berdasarkan pada asumsi dasar sebagai berikut: Pertama, pandangan
tentang manusia sebagai individu. Bertolak dari pandangan Kant,
Rawls
berpandangan bahwa manusia adalah insan otonom, rasional dan moral. Ia
mempunyai kemampuan pertimbangan moral. Kemampuan pertimbangan moral ini
mencakup dua kemampuan sekaligus, yaitu pertimbangan rasional (rationality) dan
pertimbangan kepatutan (reasonableness). Sebagai insan otonom, setiap individu
memiliki kebebasan untuk mengatur hidupnya secara rasional. Kedua, pandangan
Rawls tentang masyarakat yang didasarkan pada teori kontrak sosial. Manusia sebagai
insan otonom, rasional dan moral, membentuk masyarakat. Masyarakat, menurut
Rawls adalah wadah kerjasama yang adil dari generasi ke generasi (a fair system of
coorperation from one generation to the next).37
Rawls juga menyinggung tentang kebebasan yang setara bagi setiap
masyarakat. Ia melanjutkan apa yang menjadi pemahamannya tentang keadilan
sebagai fairness di mana sesuatu yang adil itu adalah sesuatu yang berdasarkan pada
37
Thobias Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University PressProgram Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 56-57.
37
kesepakatan. Prinsip pertama dari kebebasan yang setara merupakan standar pokok
bagi konvensi konstitusional. Syarat utama dalam mewujudkan kebebasan setara yang
konstitusional yakni setiap orang harus dihargai kebebasan kata hatinya serta harus
dilindungi kebebasan berpikirnya. Kemudian prinsip kedua dalam kebebasan setara
yang konstitusional yakni kebijakan politik, ekonomi dari sebuah negara atau institusi
harus memaksimalkan terwujudnya harapan-harapan jangka panjang bagi mereka
yang paling sedikit memperoleh manfaat dari kebebasan setara. Dari perspektif
konvensi konstitusional, argumen-argumen ini mengantar kita pada pemilihan sebuah
rezim yang menjamin kebebasan moral, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, dan
praktik keagamaan, meskipun mungkin selalu diatur kepentingan negara dalam
ketenteraman dan keamanan publik.38
Kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan. Sistem hukum
adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang
rasional dengan tujuan mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja
bagi kerja sama sosial.39 Ketika aturan-aturan ini adil, maka dapat menegakkan
sebuah dasar bagi harapan-harapan yang sah. Aturan-aturan ini merupakan landasan
setiap orang untuk bersandar dan berhak berkeberatan ketika harapan-harapan mereka
tidak terpenuhi.
Okin menyatakan bahwa, Rawls membahas panjang lebar tentang keadilan
untuk hampir semua institusi dalam struktur sosial. Tetapi dari seluruh diskusi itu,
Rawls hanya mengalami sedikit kemajuan dalam membicarakan keadilan keluarga. Ia
masih mengabaikan fakta-fakta luas tentang ketidakadilan dalam keluarga. Persoalan
keluarga dibahas hanya dalam tiga konteks, yaitu: sebagai penghubung antara
38
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), 247-248, 266.
39
Ibid., 298
38
generasi karena itu sangat penting prinsip tabungan (ayah dianggap peduli bagi anakanak, ini mendiskriminasi perempuan), sebagai hambatan untuk kesetaraan atau
kesempatan yang adil dan sebagai sekolah pertama bagi perkembangan moral.40
Okin meresponi bahwa Rawls gagal dalam membentuk sebuah teori yang di
dalamnya membahas tentang keadilan dalam keluarga. Rawls hanya mengemukakan
pandangannya tentang keluarga sebagai salah satu lembaga sosial dasar yang paling
mempengaruhi kehidupan, karena itu harus menjadi subjek utama keadilan. Namun,
tidak terlihat tindakan lanjut dari apa yang dikemukakan oleh Rawls. Komentar Okin
terhadap teori keadilan yang dikembangkan oleh Rawls ialah adanya tindakan
pengabaian yang dilakukan oleh Rawls atas masalah keadilan dalam rumah tangga.
Bagi Okin, pengabaian semacam ini akan berakibat pada beberapa hal yaitu; pola asuh
anak di dalam keluarga yakni akan terjadinya gangguan terhadap kapasitas psikologis
dan moralitas anak karena nilai-nilai dasar keadilan dan moralitas berakar dari dalam
keluarga. Selain itu akan berdampak juga pada masalah keadilan dalam lingkup
masyarakat, serta berdampak pada kesetaraan dan pencapaian keadilan terhadap kedua
jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang berada dalam kehidupan keluarga
maupun pada masyarakat umum.41
Dengan demikian dapat dilihat secara jelas bahwa dalam pandangan yang
dikemukakan oleh Rawls tentang prinsip keadilannya tidak dibedah secara mendalam
tentang keadilan di dalam keluarga atau keadilan individu yang dalam hal ini berfokus
pada keadilan individu dari seorang perempuan. Ia hanya sebatas menyinggung
tentang keadilan sebagai sekolah moral, tetapi tidak menyentuhnya secara mendalam.
Ia mengemukakan pandangannya secara lebih mendalam kepada keadilan sosial. Jika
dipahami dengan teliti maka untuk dapat tercapainya keadilan sosial seharusnya
40
41
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 94.
Ibid., 97, 107-108
39
keadilan dalam keluarga merupakan pokok dari terwujudnya keadilan sosial yaitu
keadilan yang berskala besar bagi setiap individu. Inilah tujuan dari kritik Okin
terhadap teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls.
B.5. Dikotomi Publik/Domestik
Okin mengatakan bahwa dikotomi publik-domestik menyesatkan dan
melanggengkan siklus ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian
kerja dalam gender structure di keluarga, menimbulkan hambatan praktis dan
psikologis terhadap perempuan di semua bidang kehidupan lainnya. Hal ini
merupakan pesan utama dari kritik feminis kontemporer terhadap dikotomi publikdomestik. Gerakan feminis radikal di tahun 1960-an dan 1970-an berpendapat bahwa
keluarga adalah akar dari penindasan perempuan maka penindasan itu harus
dihancurkan. Dalam keluarga terjadi gender structure, sehingga sulit mengharapkan
kesetaraan bagi perempuan baik dalam keluarga atau lingkup masyarakat.
Kecenderungan politik yang diskriminatif di beberapa daerah menyebabkan
penindasan terhadap perempuan. Banyak analisis akademik mengungkapkan
interkoneksi antara peran domestik perempuan dengan ketidaksetaraan, seksualitas,
pekerjaan rumah tangga, perawatan anak dan kehidupan perempuan.42
Selanjutnya Okin menduga bahwa konsep rasionalitas merupakan sebuah
dasar yang ada di dalam tradisi kita untuk menunjukkan keunggulan seorang laki-laki.
Teori-teori yang ada secara bersamaan juga mengungkapkan adanya kecenderungan
untuk memperkuat sistem patriarki yang berdampak pada sistem dominasi yang ada
42
Informasi ini diperoleh dari hasil presentasi pada mata kuliah teori keadilan yang dipresentasikan
oleh kelompok tiga (Florensye Gaspersz, Lita Nayoan, Marice Dimara), 2012. Adapun buku-buku yang dipakai
sebagai penunjuang penulisan makalah kelompok ialah: Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1985), Marianne Katoppo, Compassionate And Free (Tersentuh dan
Bebas); Teologi Seorang Perempuan Asia (Jakarta: Aksara Karunia, 2007), Thobias Messakh, Konsep
Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: UKSW, 2007), Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family
(USA: Chicago Press, 1989).
40
pada masa lampau dan sekarang. Okin menambahkan bahwa diharuskan adanya
penjelasan mengenai masalah yang ada antara dunia publik yaitu kehidupan politik
dan dunia domestik dalam kehidupan keluarga bahkan hubungan-hubungan personal.
Dalam pembahasan ini secara penuh ia berargumen bahwa teori keadilan tidak dapat
tercapai jika tidak didahului dengan meneliti dan mengkritik dikotomi publikdomestik.43
Okin memaparkan 4 kelemahan utama dalam dikotomi publik-domestik
yakni: 44
a) Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan pribadi tidak terlepas dari
dinamika kekuasaan politik.
b) Campur tangan negara dalam kehidupan keluarga tidak bisa dihindari. Negara
tidak hanya mengurus kehidupan keluarga namun juga mengatur pernikahan.
c) Kehidupan rumah tangga adalah tempat paling awal terjadinya sosialisasi antara
individu baik laki-laki dan perempuan, termasuk sosialisasi isu politik. Karena
itu, sulit melakukan dikotomi antara lingkup non-politik kehidupan keluarga dan
ruang publik.
d) Merusak sistem pembagian kerja dalam keluarga dan menimbulkan masalah
psikologis serta hambatan praktis terhadap perempuan dalam bidang-bidang yang
lainnya.
Salah satu kritik feminis bahwa perempuan belum diberi kebebasan
mengambil peran penting di ruang publik. Perempuan direndahkan atau dilecehkan
secara seksual. Persepsi dikotomi yang tajam antara laki-laki dan perempuan sangat
43
44
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 111.
Ibid., 111
41
dipengaruhi oleh pandangan masyarakat dan social culture yang masih sangat
tradisional. Untuk mengembangkan pemahamannya, Okin mengacu pada pemikiran
teori kontemporer yang dikembangkan oleh Michael Walzer45 yang ber-argumen
bahwa secara signifikan keluarga adalah sebuah konstitusi “lingkup keadilan” dan
secara spesifik merupakan referensi dari adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara
laki-laki dan perempuan serta diskriminasi.
Pembagian antara wilayah publik dan domestik pada gilirannya berdampak
negatif bagi posisi kaum perempuan. Berpatokan pada penjelasan di awal bahwa
kaum perempuan diasumsikan sebagai kaum produksi karena itu bertanggungiawab
penuh terhadap keutuhan keluarga dalam mendidik anak-anak, melayani anak-anak
dan suami. Pandangan tersebut kemudian menjadi salah satu alasan terbentuknya
pembagian antara wilayah publik-domestik di mana wilayah yang dianggap tepat bagi
seorang perempuan untuk mengembangkan kepribadiannya ialah wilayah domestik
karena memiliki sifat yang lebih peka dalam mengurusi urusan-urusan rumah tangga.
Sebaliknya tempat yang dianggap tepat bagi seorang laki-laki dalam mengembangkan
kemampuannya adalah pada wilayah publik karena memiliki kepribadian yang
tangguh, pandai berbicara dan sebagainya. Kondisi ini secara jelas menghadirkan
ketidakadilan dan ketidakbebasan bagi kaum perempuan. Karena itu bagi Okin hal
utama yang harus diperhatikan adalah kemanusiaan seseorang sehingga ia
mengemukakan sebuah konsep keadilan yang humanis yang akan dibahas pada
pembahasan berikut ini.
B.6. Menuju Keadilan Yang Humanis
Menurut Okin, kehidupan keluarga di dalam masyarakat kita tidak adil, baik
bagi perempuan maupun anak-anak. Teori-teori keadilan kontemporer selama ini
45
Ibid., 112
42
masih mengabaikan isu perempuan dan gender. Okin mengungkap fakta bahwa
selama ini ternyata kita telah menumbuhkembangkan sebuah masyarakat yang
dibangun berdasarkan pembedaan gender. Pembedaan gender atau jenis kelamin
dalam keluarga yang masih berlaku hingga sekarang ini sebenarnya merupakan suatu
pandangan tradisional yang belum dikonstruksi oleh masyarakat. Belum lagi terdapat
kenyataan lainnya di dalam masyarakat, di mana hampir setengah dari pernikahan
berakhir dengan perceraian. Alasan-alasan inilah yang mendorong agar keluarga
menjadi sebuah institusi yang adil dalam masyarakat.
Okin menyarankan bahwa solusi yang adil untuk masalah kerentanan yang
dialami oleh perempuan dan anak-anak yaitu; mendorong dan memfasilitasi
pembagian yang sama (kesetaraan) antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan
(dengan dan tanpa nafkah, produksi dan reproduksi, peran dalam keluarga). Keadilan
harus dimulai dengan kesamaan posisi dan kesempatan bagi siapapun. Dengan kata
lain, masyarakat keluar dari konsep tradisional. Untuk mencapai demokrasi yang
ideal, dunia sosial membutuhkan perubahan besar, terutama di dalam berbagai
institusi yang ada di dalamnya. Kebijakan-kebijakan publik harus menghargai
pandangan dan pilihan masyarakat.46 Okin menginginkan suatu konsep keadilan yang
humanistis. Menurut Okin, konsep keadilan yang sungguh-sungguh mengatasi
ketidakadilan yang dialami perempuan dan anak-anak adalah keadilan yang menjamin
adanya tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam menanggung beban pekerjaan
publik (yang diupah) dan pekerjaan rumah tangga (yang tidak diupah), pekerjaanpekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan reproduksi.
Okin mengusulkan reformasi sosial, antara lain, melalui perubahan di bidang
kebijakan publik dan reformasi hukum. Kebijakan publik dan hukum harus didasarkan
46
Ibid., 171
43
pada prinsip tidak ada perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Ekualitas
sosial ini harus berlaku dalam publik sphere dan famili sphere. Pekerjaan rumah
tangga harus dikerjakan bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan, agar perempuan
mempunyai waktu untuk dapat mengaktualisasikan diri dan potensinya di luar
pekerjaan rumah tangga. Laki-laki dan perempuan, sama-sama adalah insan publik
dan domestik. Menurut Okin, hanya dalam masyarakat yang bebas dari dikotomi
publik-domestik, perempuan dapat memperoleh perlakuan yang adil. Dalam
masyarakat yang demikian, semua institusi sosial harus dirancang dengan
memperhatikan prinsip ekualitas laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan humanis
adalah konsep keadilan yang menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak sebagai
manusia. Martabat sebagai manusia inilah yang menjadi standar acuan keadilan dalam
masyarakat. Semua manusia adalah sama dan karena itu memiliki hak yang sama
untuk dilindungi oleh keadilan dalam masyarakat.47
Pernyataan yang dibangun oleh Okin berkaitan dengan konsep keadilan yang
humanis secara langsung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk keluar dari
zona domestik sehingga membantu kaum perempuan mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya. Melalui konsep tersebut dapat disinyalir bahwa tidak akan ada lagi
ketidakadilan dan ketimpangan terhadap keberadaan kaum perempuan karena yang
diutamakan adalah sisi kemanusiaannya. Jika kemanusiaan seseorang ditempatkan
pada posisi utama, diperhatikan dengan baik bahkan dihargai maka hal tersebut
menjadi syarat terwujudnya keadilan bagi semua individu tanpa adanya pola
pengecualian.
C. Inti Kritik Susan Okin
47
Thobias Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University PressProgram Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 80.
44
Dari pandangan Okin tentang konsep keadilan dalam rumah tangga, saya
menarik kesimpulan bahwa kritik yang dilayangkannya terhadap Rawls dan Nozick
bertolak kepada konsep keadilan yang tidak menjawab persoalan ketidakadilan yang
dialami perempuan dan anak-anak. Rawls hanya melihat pada keadilan yang
bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan keadilan yang bertumpu pada kehidupan
keluarga. Sejatinya, jika hendak menginginkan tumbuhnya keadilan dalam
masyarakat maka penerapannya harus didahului dari dalam keluarga. Selain itu
keadilan yang digambarkan sebagai sentimen-sentimen yang berlebihan seperti
kepahlawanan, pengorbanan diri, penerimaan tanggung jawab yang lebih menjadi
landasan yang kuat terhadap diskriminasi dan ketidakadilan terhadap pihak
perempuan. Okin juga mengkritik bahwa Rawls sepenuhnya gagal untuk mengatasi
keadilan dari sudut pandang jender yakni peran jenis kelamin yang berakar pada
kehidupan keluarga yang merupakan struktur dasar masyarakat bahkan meluas sampai
ke lembaga-lembaga institusi masyarakat, dan juga pada setiap sudut kehidupan kita.
Dalam kritiknya, Okin menyinggung tentang masalah jender. Ia menekankan bahwa
dalam kehidupan bermasyarakat, sangat dibutuhkan pemberlakuan dan penegakan
hukum yang netral dan adil terhadap masalah gender khususnya bagi kaum
perempuan (misalnya: mengenai kehamilan, cuti melahirkan, dan sebagainya) yang
seringkali mengalami diskriminasi. Menanggapi hal ini, Okin mengatakan bahwa
diperlukan tindakan yang konsisten untuk mempertimbangkan, merumuskan, dan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan bagi kedua jenis kelamin. Akhirnya Okin sampai
pada sebuah kesimpulan bahwa hanya dengan menghilangkan struktur gender maka
pengembangan praktek keadilan yang benar-benar adil dapat tercapai.48
48
Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), 103-104.
45
Okin mengkritik teori yang dikembangkan oleh Nozick yang hanya
menekankan tentang perjuangan keadilan bagi hak kepemilikan secara pribadi
sehingga mengabaikan penerapan nilai-nilai keadilan bagi sesama anggota di dalam
keluarga. Dengan demikian bagi Okin; keluarga, struktur gender, dan peran seks
dalam masyarakat, jauh dari argumen yang dikembangkan oleh Nozick. Okin juga
mengkritik bahwa sepertinya Nozick tidak memperhatikan bahwa manusia terdiri dari
dua jenis kelamin. Yang dimaksudkan dengan kritiknya ini ialah seringkali terjadi
pengabaian terhadap hak- hak kaum perempuan. Laki-laki lebih mengutamakan hak
mereka, sehingga kaum perempuan menuruti apa yang diinginkan oleh kaum laki-laki
dan hal semacam ini seringkali terjadi dalam hubungan pernikahan. Bagi Okin, inilah
yang tidak dilihat oleh Nozick. Ia juga menambahkan bahwa tindakan-tindakan
pengabaian seperti inilah yang akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan
perempuan dan anak-anak yang merupakan salah satu dari krisis terbesar yang
dihadapi oleh masyarakat.
Okin juga mengkritik pandangan yang dikemukakan oleh Rousseau dan Hume
mengenai kemurahan hati. Baginya, poin yang paling penting adalah keadilan.
Keadilan adalah kebutuhan utama yang paling mendasar, kebajikan moral yang paling
dibutuhkan dalam kelompok sosial karena itu harus dimulai dari kehidupan keluarga.
Okin menyatakan bahwa jika hanya mengandalkan sikap kemurahan hati, nilai-nilai
keadilan tidak dapat tersalur secara maksimal. Jika keadilan berlaku dalam keluarga
dan masyarakat, maka konsep kasih sayang, kemurahan hati dan kebajikan-kebajikan
lainnya akan kelihatan. Ia menafsirkan bahwa keadilan yang berlaku dari dalam
keluarga sebagai jalan pembuka terhadap tindakan kepedulian pada skala umum.
D. Kelebihan dan Kekurangan dari Teori Keadilan Okin
46
Setelah mempelajari dan memahami teori keadilan yang dikembangkan oleh
Okin, penulis menyimpulkan bahwa kelebihan dari teori ini adalah Okin mampu
melihat ketidakadilan yang selama ini tidak terlihat dari dalam keluarga. Ia berani
mengungkapkan dan mengkritik teori-teori keadilan yang menurutnya mengabaikan
nilai-nilai yang adil yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.
Melalui kritik yang ia lakukan, ia berhasil merumuskan dan mengembangkan sebuah
teori keadilan baru yang berbasis gender terutama dalam keluarga. Okin berangkat
dari unit terkecil yang ada dalam struktur masyarakat. Unit terkecil yang seharusnya
membentuk moralitas yang baik dan pada akhirnya berdampak besar bagi unit yang
lebih luas. Selain kelebihan yang ada dalam teori keadilan Okin, dalam pandangan
penulis terdapat juga kekurangan pada teori ini yaitu ia tidak menjelaskan tentang
akibat yang dialami oleh perempuan secara holistik yakni yang dikaji dari berbagai
sudut pandang misalnya pendidikan, kesehatan, kekerasan dan hal-hal lainnya yang
ditimbulkan dari ketidakadilan yang terjadi di dalam keluarga.
E. Kesimpulan
Dalam pandangan banyak orang, keluarga adalah tempat bagi seorang isteri
dan ibu mengabdikan hidupnya kepada suami dan anak-anak. Secara sederhana dapat
disimpulkan
bahwa
ruang
yang
tepat
bagi
seorang
perempuan
untuk
mengaktualisasikan dirinya ialah keluarga. Sebaliknya, laki-laki yang dalam hal ini
berperan
sebagai
seorang
suami
memiliki
kebebasan
sepenuhnya
untuk
mengaktualisasikan dirinya pada ruang publik. Laki-laki memiliki kekuasaan yang
tidak terbatas untuk membuat peraturan yang harus ditaati oleh semua anggota
keluarga serta memiliki hak paten untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan
kehidupan keluarganya. Kondisi seperti inilah yang sering terjadi pada banyak
47
keluarga yang tidak jarang berakibat negatif sehingga menimbulkan perselisihan
antara suami dan isteri.
Wajah ketidakadilan merupakan latar belakang timbulnya perselisihan dalam
sebuah keluarga dan berdampak besar terhadap pihak perempuan yang tidak
mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
bahkan juga kurang adanya penghargaan yang diberikan oleh suami terhadap isteri.
Karena itu, Okin membuat sebuah konsep keadilan yang mengutamakan martabat dan
kemanusiaan umat manusia. Dasar pemikiran yang dimiliki oleh Okin ialah bahwa
semua manusia adalah sederajat, karena itu tidak seharusnya dilakukan pembedaan
yang berujung pada tindakan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.
Penghargaan yang seharusnya diberikan oleh seseorang tidak ditentukan melalui
status, kedudukan, bahkan kekuasaan tetapi karena setiap manusia layak untuk
diberikan penghargaan. Situasi yang adil dalam kehidupan keluarga harus melihat
pada adanya peran yang sama dan kedudukan yang sama dalam prospek
pengembangan diri baik perempuan maupun laki-laki, serta memiliki tanggung jawab
bersama dalam keluarga.
48
Download