PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENCEGAH RADIKALISME ISLAM DI SMA SEJAHTERA 0I DEPOK Rd. Arif Mulyadi Dosen dan Ketua LP3M di STAI Madinatul Ilmi Depok [email protected] Lativa Novidasari Pengajar di SD Cakrabuana Depok [email protected] ABSTRAK Fakta-fakta menunjukkan bahwa ideologi radikal atau paham radikalisme telah berkembang demikian marak sehingga menembus batas-batas pendidikan formal dan nonfomal. Sekolah-sekolah menengah di perkotaan khususnya SMA merupakan target potensial yang disasar kaum radikalis melalui kegiatan ekstrakurikuler khususnya rohani Islam atau kegiatan rohis. Melalui kegiatan rohis tersebut, yang sering kali mentornya dari sesama siswa atau alumni, kaum radikalis berusaha merekrut siswa-siswa sekolah untuk dijadikan pengikut mereka. Tulisan ini berusaha mengungkapkan bagaimana peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mencegah paham radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok. Kata- kata kunci: radikalisme, rohis, guru PAI. PENDAHULUAN Fenomena radikalisme Islam yang sering terjadi di beberapa negara, terutama negara Timur Tengah bukanlah fenomena yang baru dalam sejarah Islam. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi munculnya fenomena tersebut, di antaranya adalah faktor budaya, teologi, sosial ekonomi dan politik. Sepertinya dari faktor teologi itulah muncul gerakan Islam radikal pertama yang ditampilkan oleh kaum Khawarij, yaitu kaum yang membangkang perintah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinannya (Gulpaygani 2014, 340). Pembelotan ini pada akhirnya menjadi preseden buruk pada perkembangan Islam kemudian. Di Indonesia juga terjadi hal yang demikian meskipun kita tidak boleh menyamakan antara kaum Khawarij dengan sekelompok orang yang mengadakan pemberontakan terhadap suatu sistem yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sah karena mereka mempunyai latar belakang yang bisa dikatakan berbeda. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosuwiryo yang dahulunya menjadi teman Soekarno dalam melakukan perjuangan tetapi kemudian Kartosuwiryo memisahkan diri dari Soekarno karena, beberapa alasan di antaranya perbedaan pendapat tentang hukum yang digunakan di Indonesia (Effendy dan Hadi 2007, 3). Kemudian Kartosuwiryo dan pengikutnya berusaha membentuk sebuah kelompok organisasi seperti Hizbut Tahrir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikhwanul Muslimin, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan lain-lain. Mereka adalah kelompok Islam garis keras yang ingin menjadikan syariat Islam sebagai hukum di Indonesia. Mereka mendakwahkan maksud dan tujuannya kepada masyarakat sekitar untuk mendukung keinginannya dalam mewujudkan pemerintahan Islam di Indonesia (Effendy dan Hadi 2007, 3). Dalam mendakwahkan maksud dan tujuannya mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka dengan menggunakan cara kekerasan dan menampilkan aksi-aksi yang dapat merugikan banyak orang. Akan tetapi selain itu, mereka juga menggunakan cara yang halus bahkan hampir tidak kelihatan, yaitu dengan masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal (Rokhmad 2012, 10). 50 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Meskipun di dalam suatu lembaga pendidikan semua komponennya telah diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag), dalam hal ini adalah kurikulum yang sudah dipastikan tidak mengandung unsur radikalisme Islam, tetapi menurut Azyumardi Azra di dalam situs Republika Online, ternyata pendidikan dan pembelajaran juga melibatkan hidden curriculum. Rohani Islam (rohis) dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) merupakan salah satu dari hidden curriculum yang sering ada di dalam lembaga pendidikan (Azra 2015). Adapun rohis dan beberapa kegiatan ekstrakuler lainnya seperti halaqah atau mabit diadakan di sekolah dengan dalih untuk membentuk individu-individu yang lebih agamis dikarenakan kurangnya jam pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas. Awalnya kegiatan tersebut memang di dasari dengan niat dan tujuan yang baik namun seiring dengan berjalannya waktu kegiatan-kegiatan tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber yang paling efektif untuk menyebarkan paham radikalisme di kalangan pelajar yang kemudian memicu peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain (Rokhmad 2012, 3). Momen dawrah, halaqah, mabit, dan juga rohis merupakan sasaran empuk bagi mereka untuk menyebarkan benih-benih radikalisme. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut terutama kegiatan rohis yang ada di sebuah sekolah terkadang tidak diawasi langsung oleh gurugurunya, melainkan diserahkan langsung kepada alumi-alumni tersebut yang sudah dianggap mumpuni dalam masalah ilmu yang berkaitan dengan Islam, tanpa mereka ketahui di manakah para alumni tersebut mendapatkan ilmu tentang Islam. Di sini peran guru sangat penting dalam mencegah radikalisme Islam di sekolah karena guru merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang mampu memberikan pengaruh terhadap pola pikir siswa-siswinya, terutama sekali guru Pendidikan Agama Islam (PAI), yang dipandang sebagai sosok yang sangat moderat dalam menyampaikan ajaran Agama Islam di sekolah. Pasalnya, dalam Permendikbud atau silabus yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang kemudian dijadikan acuan dasar bagi Guru Pendidikan Agama Islam, materi pengajaran tidak mengandung unsur radikalisme. Guru PAI dituntut untuk dapat menciptakan iklim keagaman yang sehat di sekolah agar peserta didik SMA terhindar dari paham radikalisme Islam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 51 PAI adalah dengan melakukan praktik deradikalisasi pendidikan Islam melalui pengintegrasian nilai-nilai pendidikan antiradikalisme pada pembelajaran PAI di SMA. Tulisan ini merupakan hasil penelitian ilmiah tentang bagaimanakah peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah radikalisme Islam di sekolah yang objek penelitiannya adalah SMA Sejahtera 01 Depok Jl. Anyelir Raya, yang memiliki kegiatan Kerohanian Islam (rohis) yang sudah terindikasi sebagai salah satu cara yang digunakan oleh kelompok umat Islam tertentu untuk meyebarkan paham radikalisme. PEMBAHASAN A. Guru Pendidikan Agama Islam 1.Guru Dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (UU RI 2006, 2). Menurut Ali Rohmadi guru merupakan tenaga profesional yang langsung melaksanakan proses pendidikan lapangan secara langsung. Jadi, gurulah yang menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan (Rohmadi 2004, 40). Adapun menurut Zamroni, guru adalah kreator proses belajar mengajar dan ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi peserta didik untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batasbatas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten (Zamroni 2001, 74-75). Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru bisa disebut dengan berbagai macam sebutan seperti sebagai ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris dan mu’addib. Kata-kata ustadz, biasa digunakan oleh profesor. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Kata mu’allim berasal dari kata ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu yang mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang 52 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktis, serta berusaha membangkitkan peserta didik untuk mengamalkannya. Kata murabbi, berasal dari kata dasar rabb. Tuhan sebagai Rabb al-‘âlamîn dan Rabb al-nâs yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk menumbuhkembangkan kreativitas agar mampu mengkreasi, mengatur, memelihara alam seisinya. Dilihat dari pengertian ini tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Ini maknanya bahwa seorang mursyid (guru) yang berusaha menularkan penghayatan akhlak dan atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba lillâhi ta’âla (karena mengharap rida Allah semata). Kata berasal dari kata (baca dari kanan) ”, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadi usang, melatih dan mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, tugas guru adalah berusaha mencerdaskan, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat dan minat serta memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan (Muhaimin 2003, 209-213). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah seseorang yang mempunyai tenaga profesional untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak didik. Adapun sebutan untuk guru tergantung pada objek yang dihadapinya. 2. Pendidikan Agama Islam Di dalam GBPP PAI di sekolah umum, di elaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang dilakukan secra sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan dengan memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional (Muhaimain 2008, 75-76). safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 53 Menurut Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (Daradjat 2011, 86). Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana untuk menyiapkan siswa guna memahami ajaran Islam secara menyeluruh dengan cara membina, mengasuh dan mengajar sebagai aktivitas asasi dan sebagai profesi dalam masyarakat. 3. Kode Etik Guru Pendidikan Agama Islam Kode etik berfungsi untuk menjadi pedoman dalam menjalankan tugas profesinya. Menurut Kelly Young, sebagaimana dikutip oleh M. Nurdin, kode etik merupakan salah satu ciri persyaratan profesi, yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan, peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi (Nurdin 2004, 127). Secara harfiah kode artinya aturan dan etik artinya kesopanan, atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaaan. Jadi kode etik profesi diartikan sebagai tata susila keprofesian (NK 1998, 183-184). Adapun kode etik pendidik dalam Pendidikan Agama Islam dibagi menjadi tiga yang pertama adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan dirinya, yang kedua berhubungan dengan pelajaran, dan yang ketiga berhubungan dengan muridnya (Ramayulis 2010, 232). a. 1) 2) 3) 54 Syarat-syarat guru yang berhubungan dengan dirinya Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan oleh Allah SWT. Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkan ilmunya terhadap orang yang tidak berhak menerimanya yaitu orang-orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan dunia semata. Hendaknya guru bersifat zuhud. Artinya, mengambil dari rezeki dunia hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan keluarganya Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 4) 5) 6) 7) 8) 9) secara sederhana; tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebagai seorang yang berilmu ia lebih tahu ketimbang orang awam bahwa kesenangan itu tidak abadi. Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain. Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga di mata orang banyak sebagaimana Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadanya kamu menyembah (2:172). Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam seperti salat berjamaah di masjid, mengucap salam, serta menjalankan amar makruf nahi mungkar. Dalam melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dalam menghadapi cobaan dan celaan, sebagaimana Allah firmankan, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (2:153). Guru hendaknya melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama baik lisan maupun perbuatan, seperti membaca Alquran, berzikir dan salat tengah malam. Hal ini sejalan dengan firman Allah, Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (11:114) Guru hendaknya memlihara akhlak mulia dalam pergaulan dengan orang orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris nabi sudah sepantasnya seorang pendidik untuk memperlihatkan akhlak terpuji, sebagaimana peran yang dimainkan oleh Rasulullah dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan). Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan halhal yang bermanfaat seperti, beribadah, membaca dan menga­rang ini berarti bahwa seorang pendidik harus selalu pandai me­man­faatkan segala kondisi sehingga hari-harinya tidak ada yang terbuang. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 55 10) 11) Guru hendaknya selalu belajar dan merasa malu untuk menerima ilmu yang lebih rendah darinya, baik secara kedudukan maupun usiannya. Artinya seorang pendidik hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap masukan apa pun yang bersifat positif dan darimana pun datangnya. Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memerhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan. b. Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat yang berhubungan dengan pedagogis didaktis, yaitu: 1) Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadas dan kotoran serta menggenakan pakaian yang baik dengan niat mengagungkan syariat dan ilmu. 2) Untuk keluar rumah guru hendaknya selalu berdoa agar tidak sesat dan menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT hingga sampai ke majelis pengajaran. Ini menegaskan bahwa sebelum mengajarkan ilmunya, seorang guru sepantasnya untuk menyucikan hati dan niatnya. 3) Hendaknya seorang guru mengambil tempat pada posisi yang dapat dilihat oleh semua murid. Artinya ia harus berusaha agar apa yang disampaikannya hendaklah diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh siswanya dengan baik. 4) Sebelum memulai mengajar hendaknya, guru hendaknya membaca sebagian dari ayat Alquran agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah. 5) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hierarki nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu tafsir Alquran, kemudian hadis, ushuluddin, ushul fikih, dan seterusnya. Barangkali untuk seorang guru pemegang mata pelajaran umum, hendaklah mendasarkan materi pelajarannya sesuai dengan Alquran dan Hadis, dan kalau perlu meninjau dari kaca mata Islam. 6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh murid atau siswa. 7) Hendaknya guru menjaga ketertiban majelis dengan mengarah­ kan pembahasan pada objek tertentu. Artinya dalam memberi­ kan materi pelajaran seorang guru memerhatikan tatacara penyampaian yang baik sistematis, sehingga apa yang disampaikan 56 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok akan mudah dicerna oleh murid. Guru hendaknya menegur murid-muridnya yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas, seperti menghina teman, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak menerima kebenaran. Ini berarti bahwa seorang guru atau pendidik dituntut untuk menanamkan dasar-dasar akhlak terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di luar ruangan. 9) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan menjawab pertanyaan. Apabila dia ditanya tentang suatu yang tidak ia tahu hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Hal ini menegaskan bahwa seorang guru tidak boleh pura-pura tahu. Sedangkan diri Rasulullah saja, tidak pernah menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu dengan jawaban yang diterka-terka tapi beliau hanya menjawab dengan la adriy (saya tidak tahu). Sebab jika seseorang mencoba menjawab dalam ketidaktahuannya ia akan dikategorikan sebagai orang yang sesat dan menyesatkan. 10) Terhadap murid baru, guru hendaknya bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya. 11) Guru hendaknya menutup setiap akhir kegiatan belajar mengajar dengan kata-kata Wallahu a’lam (Allah yang Maha Mengetahui) yang menunjukan keikhlasan kepada Allah Swt. Hal ini bermaksud agar setelah proses belajar mengajar berlangsung seorang guru hendaklah menyerahkan kembali urusannya kepada Allah SWT. 12) Guru hendaknya tidak mengasuh mata pelajaran yang tidak dikuasainya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang sifatnya memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar. 8) c. 1) 2) Kode etik guru di tengah-tengah para muridnya Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan rida Allah menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan serta memelihara kemaslahatan umum. Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus untuk belajar. Sebagian ulama memang pernah berkata, “Kami pernah menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga guru menolak kecuali jika kami safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 57 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) B. menuntut ilmu karena Allah”. Kata-kata itu hendaknya diartikan bahwa pada akhirnya niat menuntut ilmu harus karena Allah. Sebab kalau niat tulus ini disyaratkan pada awal penerimaan murid, maka murid akan mengalami kesulitan. Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Artinya seorang hendaknya guru hendaknya menganggap bahwa muridnya itu adalah bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain). Guru hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin. Sebagaimana pernah dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”, Hadis ini menyiratkan bahwa menuntut ilmu tidak ada batasanya, kapan dan di manapun tempatnya. Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahsa yang mudah dan berusaha agar muridnya memahami pelajaran. Artinya seorang guru harus memahami kondisi murid-muridnya dan mengetahui tingkat kemampuannya dalam tingkat berbahasa Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar mengajar yang dilakukannya. Hal ini dimaksudkan agar guru selalu memerhatikan tingkat pemahaman siswanya dan pertam­ bahan keilmuan yang diperolehnya. Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan ataupun hartanya. Apabila murid sakit, hendaknya ia menjenguknya, dan apabila kehabisan bekal, hendaknya ia membantunya. Hal ini menggambarkan bahwa seorang guru dianjurkan memperlakukan muridnya dengan baik, sebagaimana ia memperlakukan anaknya sendiri, dengan penuh kasih sayang. Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya. Murid yang saleh akan menjadi tabungan bagi guru baik di dnunia maupun di akhirat. Tujuan Pendidikan Agama Islam Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat 58 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup (Sudiyono 2009, 31). Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003, 12). Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun kemanusiaan pada umumnya (Daradjat 2011, 94). C. Peran dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam Tugas dan tanggung jawab guru sebenarnya bukan berakhir hanya di sekolah saja, tetapi tugas guru bisa dimana saja mereka berada. Peran (role) guru, menurut Tohirin, artinya semua perilaku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai peran yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan di dalam masyarakat. Di sekolah guru berperan sebagai perancang atau perencana, pengelola pengajaran dan pengelola hasil pembelajaran siswa (Tohirin 2005, 165). Peran guru di sekolah ditentukan oleh kedudukannya sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik serta sebagai pegawai. Namun yang paling utama adalah kedudukannya sebagai pengajar dan pendidik. Berdasarkan kedudukannya sebagai guru, ia harus menunjukkan perilaku yang baik, sehingga bisa dijadikan teladan oleh siswanya. Sedangkan di masyarakat guru sering dipandang sebagai tokoh teladan bagi orang-orang sekitarnya. Pandangan pendapat atau buah pikirannya sering menjadi ukuran atau pedoman bagi orang-orang sekitarnya, karena guru dianggap telah memiliki pengetahuan lebih luas dan lebih mendalam dalam berbagai hal keilmuan. Meskipun anggapan ini terlalu berlebihan, kenyataannya banyak guru yang dipilih sebagai ketua atau pengurus di berbagai perkumpulan safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 59 atau organisasi-organisai yang ada di masyarakat misalnya, organisasi sosial, ekonomi, kesenian atau yang lainnya. Hal itu terjadi karena guru dianggap oleh masyarakat sebagai seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan kecakapan dalam memimpin suatu organisasi di desa tersebut. Di dalam keluarga, masih menurut Tohirin, guru berperan sebagai Family educator . Sedangkan di tengah-tengah masyarakat, guru berperan sebagai social developer (Pembina masyarakat, social motivator (pendorong masyarakat), social inovator (penemu masyarakat), dan sebagai social agent (agen masyarakat) (Tohirin 2005, 165). Tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan tugas pokok profesi guru, sebagai pengajar guru harus lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah, tanggung jawab sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Tanggung jawab mengembangkan kurikulum membawa implikasi bahwa guru dituntut untuk selalu mencari gagasangagasan baru, penyempurnaan praktik pendidikan khususnya bidang pengajaran, tanggung jawab mengembangkan profesi pada dasarnya ialah tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas tanggung jawab profesinya dan yang keenam adalah tanggung jawab dalam membina hubungan sekolah dan masyarakat, yang itu artinya guru harus dapat berperan menempatkan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat serta sekolah sebagai pembaharu masyarakat. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang baik adalah guru yang dapat memainkan peran-peran di atas secara baik. Guru harus senantiasa sadar akan kedudukannya selama dua puluh empat jam. Di mana dan kapan saja, guru akan selalu dipandang sebagai guru yang harus memperlihatkan perilaku yang dapat diteladani oleh khususnya anak didik udan masyarakat luas (Tohirin 2005, 165). Ketiga tugas guru tersebut merupakan tugas pokok profesi guru. Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis 60 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok mengajar, selain harus menguasai ilmu materi yang akan diajarkan. Adapun guru sebagai pembimbing adalah guru diharapkan mampu untuk membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan tugas sebagai administrator kelas hakikatnya merupakan jalinan ketatalaksanaan pada umumnya. Sedangkan menurut Piet A. Sahertian dan Ida Aleida, menge­ mukakan bahwa tugas guru dikategorikan ke dalam tiga hal, yaitu: tugas professional, tugas personal dan tugas sosial (Sahertian & Aleida 1990, 38). D. Teori-Teori Tentang Radikalisme Islam Untuk memberikan istilah terhadap gerakan Islam, yang menolak tatanan sosial yang sudah ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan, sampai sekarang para pengamat Islam masih belum mendapatkan kesepakatan tentang istilah tersebut. Adapun isilah yang paling umum untuk memberikan label terhadap paham gerakan Islam tersebut adalah fundamentalisme (Taher 1998, 6). Oliver Roy menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat sebagai Islam Fundamentalis, yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Hizbuttahrir, Jamaah Islamiyah, dan Front Islamic Salvation (FIS). Namun istilah fundamentalis bagi Esposito terasa lebih provokatif dan bahkan pejoratif sebagai gerakan yang pernah dilekatkan pada Kristen sebagai kelompok literalis, statis dan ekstrem. Namun pada gilirannya fundamentalisme sering merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstremisme, fanatisme politik, aktivisme politik, terorisme dan Anti Amerika. Karena itu, John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam yang memiliki akar tradisi Islam. Negarawan senior Singapura, Lee Kuan Yew, menggunakan istilah gerakan militan Islam ketika melihat militansi Islam secara global yang berasal dari Negara Islam seperti Afganistan dan Pakistan. Komentar Lee ditujukan dengan maraknya ormas Islam yang siap jihad ke Afganistan seperti FPI, Majelis Mujahidin, dan PPMI. Istilah ini juga digunakan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dengan menunjuk kelompok militan Islam di Malaysia (PAS dan Mujahidin). (Taher 1998, 6) safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 61 Sedangkan Robert W. Hefner menggunakan istilah antiliberal. Hefner secara jelas menunjuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai kelompok Islam antiliberal. Kelompok ini tidak setuju dengan apa yang dianggap sebagai bias liberal di lingkungan IAIN maupun DEPAG. Muhammad Said al-Asmawi juga menggunakan istilah ekstremisme yang telah menjadi gejala global: menyebar keseluruh pelosok dunia di setiap negara timur tengah, di timur, Barat, Selatan dan Utara. Disebutkan oleh Asymawi, bahwa faktor yang paling menonjol dari kemunculan ekstremisme Islam adalah krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga politik (Zada 2002, 13). E. Pengertian Radikalisme Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Bahasa 2008, 1130). Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang berarti akar, dan radikal adalah “(sesuatu) yang bersifat mendasar atau hingga ke akar-akarnya”. Label ini ini bisa dikenakan pada pemikiran atau paham tertentu, sehingga muncul istilah “pemikiran yang radikal” dan bisa pula “gerakan”. Berdasarkan itu, radikalisme diartikan dengan paham atau aliran keras yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrem suatu aliran politik. (Bakri 2004, 2) Seorang tokoh agama terkemuka, KH. Hasyim Muzadi, yang ditemui ketika mengisi seminar nasional tentang deradikalisasi agama melalu peran mubalig di Jawa Tengah, mengatakan bahwa seseorang boleh saja berpikir secara radikal (berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya) dan memang seharusnya seseorang seharusnya berpikir secara radikal (Rokhmad 2012, 4). Akan tetapi hasil pemikiran tersebut akan berbahaya jika sudah menjadi isme yaitu mazhab atau ideologi, karena jika sudah menjadi mazhab seseorang tersebut akan keras dalam memaksakan hasil pemikirannya terhadap orang lain atau kelompok lain. Menurut Rokhmad, inilah yang disebut dengan radikalisme (Rokhmad 2012, 4). 62 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok F. Ciri-Ciri Radikalisme Islam Lebih detail, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalism Islam. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya—di Timur Tengah—secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadis hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadis, maka purifikasi ini sangat berhatihati untuk menerima segala budaya non-asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bidah. Keempat, menolak ideologi nonTimur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Alquran dan Hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (Rubaidi 2010, 63). G. Akar Radikalisme Islam di Indonesia Lahirnya Islam radikal dapat dilacak dengan munculnya Darul Islam di beberapa kota dan ditambah lagi dengan anggota partai politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kerap membangun jaringan transnasional dengan beberapa gerakan di Timur Tengah. Gerakan yang dimaksud beragam, misalnya Wahabi di Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di kemudian hari muncul Hizbut-Tahrir dari Yordania. Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer. Beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955 (Umar 2010, 173). safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 63 Kata-kata Darul Islam di Indonesia digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara Islam Indonesia. Lebih spesifik Darul Islam adalah nama yang diberikan kepada sebuah gerakan pemberontakan Islam di Jawa Barat, yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka antara tahun 19481962 yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (19051962) untuk memaksakan terbentuknya Negara Islam Indonesia (NII) dibantu dengan kekuatan militer Darul Islam yang dikenal dengan Tentara Islam Indonesia (TII) yang berbasis di dataran tinggi Jawa Barat. Benih ide berdirinya Darul Islam sendiri sebenarnya sudah tampak sejak Kartosoewirjo duduk di kursi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Selanjutnya untuk melaksanakan niatnya ia tidak bergerak sendiri tetapi ia berhubungan dengan pemberontak Islam di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh dan di Sulawesi selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955. H. Keterkaitan Gerakan Islam Garis Keras Gerakan Transnasional Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, pendapat yang menga­ takan bahwa tidak ada keterkaitan antara radikalisme Islam yang terjadi di Indonesia dengan Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir atau gerakan Hizbut Tahrir yang ada di Yordania, tetapi mereka hanya mempunyai keinginan sama yaitu ingin mewujudkan syariat Islam di dalam negara (Umar 2010, 173); kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ada keterkaitan antara gerakan Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir. Pada tahun 1970 saat Indonesia mengalami kesulitan utuk memberikan biaya terhadap mahasiswa yang ingin belajar di luar negeri, Wahabi melalui DII (Darul Islam Indonesia) menyediakan dana yang lumayan besar untuk mereka. Kebanyakan alumni tersebut kemudian menjadi agen penyebar paham transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak berhenti di situ dengan dukungan Wahabi pula DII mendirikan LIPIA yang 64 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok kemudian alumninya memainkan peran yang berpengaruh sebagai agen Salafi (Wahabi) dan tarbiyah (Ikhwanul Muslimin). DII pula meletakkan dasar gerakan dakwahnya di kampuskampus. Masih dengan dukungan dana Wahabi DII juga mengambil peran penting dalam menerjemahkan buku-buku dan gagasan tokohtokoh pembaharu transnasional seperti Hasan al-Banna, al-Maududi dan Yusuf Qaradhawi. Penerbitan Majalah Sabili yang (dulu) sampai 100.000 eksemplar diduga tidak lepas dari campur tangan Wahabi. Selain DII setelah tumbangnya Orde Baru di Indonesia muncul beberapa gerakan Islam yang begitu banyak di antaranya, adalah FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, FKASWJ (Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamaah) , MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) FUI (Forum Umat Islam), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), KPPSI (Komiter Persiapan Penerapan Syariat Islam). Mereka menampakkan diri secara terbuka di Indonesia. Hingga saat ini gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah meyebar seperti kanker yang menyebar ke seluruh tubuh bangsa. Mereka menyusup mulai dari istana sampai ke pegunungan. Adapun pola penyusupannya pun sangat beragam seperti hal-hal financial, sampai hal-hal yang tidak terpikirkan seperti pembersihan gratis di masjid bahkan dengan pola akademis dengan berbagai pengetahuan. Penyerobotan masjid merupakan salah satu cara yang digunakan oleh gerakan Islam garis keras. Penyusupan dengan pola akademis lazim dilakukan kepada dewan penyantun, pemimpin kampus pengurus senat mahasiswa dan lain-lain bahkan mereka juga mendirikan sekolah-sekolah tersendiri di antaranya adalah Sekolah Islam Terpadu. Dari situ jelas bahwa kelompok Islam garis keras ingin menguasai dunia pendidikan dan masa depan Indonesia dengan pandangan Wahabi, Hizbut Tahrir maupun Ikhwanul Muslimin (Wahid 2009, 95-99). I. Penyebaran Radikalisme Islam Melalui Lembaga Pendidikan SMA Sebuah riset yang dilakukan Center for Religious and CrossCultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta dalam Politik Ruang Publik Sekolah, safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 65 melaporkan bahwa di Yogyakarta terdapat beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kecenderungan keras (radikal) dalam memahami keagamaan yang selama ini dianut (Azekiyah dll 2011). Radikalisme yang mereka anut terjadi karena peran para mentor yakni para alumni SMA tersebut dalam memberikan pemahaman tentang keislaman kepada para siswa SMA tersebut. Mereka adalah kaum muda (youth) yang rata-rata berumur 18-19 tahun. Mereka melakukan aktivitas keislaman di sekolah dengan mendominasi ruang publik seperti menjadi pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), sebuah organisasi resmi milik sekolah menengah atas serta mendominasi kegiatan keislaman dalam organisasi. Unit Kerohanian Islam (Rohis) yang sejak tahun 1990 menjalar di mana-mana, hampir di setiap sekolah negeri yang ada di Yogyakarta, termasuk sekolah-sekolah unggulan bahkan sekolah berstandar internasional. Mereka menegosiasikan kepentingan keislamannya dengan melawan struktur yang dilakukan melalui agensi-agensi yang dirawat melalui jaringan alumni sekolah tersebut (Azekiyah dll 2011). Dari hal di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa jika modal sosial tersebut terus berlangsung dan terpupuk dalam arena yang sama, akan terjadi kecenderungan untuk menjadi radikal. Karenanya, perlu mendapatkan perhatian oleh banyak pihak agar siswa-siswa SMA tidak lebih banyak dikenalkan dan direcoki dengan paham keagamaan yang disinyalir radikal. Aktivitas ekstrakurikuler semacam pengajian, pelatihan dan kelompok studi tentu saja sangat baik untuk mendukung kreativitas para siswa (Qodir 2013, 95-99). Akan tetapi, memberikan pengawasan atau pendampingan yang memadai agar mereka tetap santun dan damai sebagai tugas sekolah dan negara tidak bisa dikesampingkan. HASIL PENELITIAN Setelah mengumpulkan data dari hasil penelitian, peneliti men­ dapat­kan data berikut analisisnya sebagai berikut. A. Analisis tentang Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Jika melihat latar belakang dari temuan penelitian Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Imran Rosyadi, MM adalah tenaga 66 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok pendidik yang sudah mumpuni di SMA Sejahtera 01 Depok, baik jika dilihat dari segi keilmuannya mapun dari gelar-gelar yang sudah beliau peroleh. Imran Rosyadi juga tidak menyetujui adanya radikalisme dalam Islam. Dengan begitu guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ada di SMA Sejahtera 01 Depok dapat dijadikan sebagai salah satu dari komponen PAI yang dapat mencegah radikalisme Islam. Pasalnya, jika beliau menyetujui radikalisme Islam, kemungkinan guru tersebutlah yang juga ikut mengarahkan pemikiran siswa ke dalam radikalisme Islam. B. Analisis Bentuk Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Masalah radikalisme Islam yang terjadi di sekolah merupakan masalah yang sangat menarik jika dikaji karena masuknya paham tersebut sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen pendidikan yang ada di sekolah. Bahkan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapkan menjadi pelopor utama dalam mencegah radikalisme Islam tidak menyadari bahwa radikalisme Islam berhasil masuk di sekolah dan berhasil dalam memengaruhi atau mengarahkan pemikiran sebagian siswanya. Hal ini disebabkan kecakapan sebagian kaum muslimin dalam mengemas radikalisme Islam supaya tidak ada pihak sekolah yang menyadari keberadaan radikalisme Islam di sekolah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa radikalisme Islam masuk di sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Islam (rohis). Miris sekali kegiatan ekstrakurikuler yang dianggap mampu menambah wawasan keagamaan siswa telah disusupi oleh paham radikal Islam. Akan tetapi, jarang sekali komponen-komponen sekolah yang menyadari karena [kegiatan] ekstrakurikuler rohis selalu menampilkan kegiatan-kegiatan yang tampak bagus dan bermanfaat dari luarnya. Bahkan siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tidak menyadari bahwa dia sedang berada dalam lingkaran radikalisme Islam. Boleh jadi jika siswa yang mengikuti rohis mengetahui bahwa dirinya sedang dijadikan alat untuk mendukung tegaknya pemerintahan Islam di Indonesia, dia akan mengundurkan diri sebagai anggota rohis. Kegiatan ekstrakurikuler rohis memang sengaja dibuat sangat menarik dibandingkan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler lainnya yang safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 67 ada di sekolah. Selain dapat menambah wawasan keagamaan isi dari program-progam kegiatan rohis juga sangat menarik seperti tafakur alam, yaitu pergi jalan-jalan ke alam bebas ke curug (air terjun) misalnya. Selain memikirkan ciptaan Tuhan dan mendapatkan pahala mereka juga dapat refreshing bersama teman-temannya yang mengikuti kegiatan rohis di sekolah, mabit (malam bina takwa) riyadhah, dan sebagai pelopor penyelenggara kegiatan-kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) di sekolah. Namun karena terbatasnya waktu dan kesempatan, peneliti hanya dapat menemukan penanaman radikalisme Islam melalui tiga kegiatan yang dilakukan di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan tersebut adalah sebagai berikut. 1.Mentoring Dari kegiatan mentoring yang merupakan salah satu program rohis dapat dianalisis bahwasanya kegiatan mentoring merupakan langkah awal yang digunakan oleh sebagian kaum muslimin yang menginginkan tegaknya Khilafah Islam di Indonesia (Ghoffar 2016). Meskipun materi yang disampaikan masih belum terlalu menjurus kepada unsur-unsur radikalisme Islam, dari kegiatan mentoring mereka diarahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lain setelah kegiatan rohis di sekolah. Begitu juga dengan mentornya, menurut Nazrah, salah satu mentor putri mengatakan bahwasanya untuk menjadi mentor tidaklah mudah. Seorang yang ingin menjadi mentor harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adalah sebagai berikut: a. b. c. Merupakan alumni Sejahtera yang sedang mengikuti liqa’ diluar sekolah. Mampu berkomitmen. Memiliki wawasasan Islam yang luas yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah yang luas. (Nazah 2016) Meskipun tidak ada pedoman dalam menyampaikan materimateri mentoring, menurut ketua rohis Muhammad Fajar, materimateri yang biasa disampaikan di antaranya sebagai berikut: a)Makna Lâ ilâha illallâh 68 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok b) c) d) Makna syahadatain Sirah Nabawiyah Sirah shahabat Dari materi-materi yang biasa disampaikan dapat disimpulkan bahwa tauhid, sejarah Nabi Muhammad, dan sahabat merupakan nilai penting yang harus ditanamkan di benak siswa. Dua kategori materi ini merupakan langkah awal yang digunakan oleh sebagian kaum muslimin yang menginginkan tegaknya Khilafah Islamiyah. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh ulama mereka di dalam website yang telah direferensikan oleh mantan ketua rohis. Abdul Hakim Amir Abdat mengatakan bahwa untuk menegakkan Daulah Islamiyah yang pertama adalah menanamkan tauhid dan yang kedua adalah mengikuti sunah Nabi Muhammad atas manhaj Sahabat. Menurut Abdat, sebelum membentuk Daulah Islamiyyah, mereka mengajarkan ilmu tauhid dan memerintahkan seseorang supaya berjalan di atas manhaj sahabat yang merupakan kunci kesuksesan dalam menegakkan Daulah Islamiyah. Para anggota rohis dari kalangan SMA memang sengaja diajak untuk berorganisasi suapaya mereka mudah untuk dikoordinasikan, jika pada suatu saat mereka dibutuhkan. (Kebaikan yang tidak dikoordinasikan akan dikalahkan dengan kebatilan yang dikoordinasikan dengan baik). 2. Ceris (Cerita Islam) Menurut observasi yang peneliti dapatkan di lapangan ceris (cerita Islam) juga merupakan sarana yang digunakan untuk mengingatkan betapa pentingnya hukum Islam dalam suatu negara. Kesempatan para mentor untuk memasukkan unsur radikalisme Islam semakin besar karena di dalam momen itu peserta rohis dapat menemukan sendiri permasalahan-permasalahan umat Islam yang ada di Indonesia seperti konflik yang berkepanjangan antara Sunni dan Syi’ah, NU dan Muhammadiyah permasalahan ummat Islam yang cukup kompleks namun tidak pernah mendapat solusi dari pemerintah. Keinginan untuk menegakkan syariat Islam dari siswa lebih besar karena mereka sendiri yang mengemukakan permasalahanpermasalahannya sendiri kemudian dia sendiri yang menyimpulkannya sesuai dengan materi-materi yang pernah ia dapat di dalam kegiatan mentoring. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 69 Selain kegiatan mentoring dan ceris ada juga kegiatan namanya JRF (Jasmani Rohani Fikriah). Sesuai dengan observasi yang peneliti dapatkan JRF digunakan untuk mengikat hubungan emosionalnya antara mentor dan anggota rohis. Melalui kegiatan tersebut para mentor dapat mengetahui perkembangan spiritual anggota rohis. Ketika kondisi spritualnya menurun para mentor pasti memberikan wejangan-wejangan supaya meningkatkan ibadahnya terhadap Allah Swt.1 Selain kondisi spiritualnya para mentor juga mengetahui kondisi jasmani dan fikriah atau perasaan anggota rohis yang dirasakan pada dirinya. Dari sini sebenarnya timbul permasalahan untuk apa para mentor mengetahui kondisi fikriah dan jasmaninya. Alasan yang dikemukakan oleh mereka adalah selain untuk memotivasi, kita mengetahui juga bagaimana kondisi sesama anggota rohis sehingga dari sini akan timbul rasa kepedulian terhadap sesama. Kegiatan tersebut memang tampak mulia sekali tetapi dari kegiatan tersebut juga dapat menimbulkan pertanyaan di antaranya adalah, untuk apakah para mentor mengetahui kondisi peserta rohis terlebih lagi mengetahui hubungan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya? Untuk apakah seorang mentor menanyakan kondisi fisik seseorang? Tidak cukupkah bagi seorang mentor mengetahui dari tindakan anggota rohis saja karena kalau fisik seseorang bermasalah atau terganggu maka hal itu akan berpengaruh dengan tindakannya atau sikapnya. Begitu pula dengan kondisi fisik. Perlukah seseorang menanyakan kepada orang lain apa yang sedang dipikirkan? Padahal tidak semua yang dipikirkan oleh seseorang boleh diketahui oleh orang lain. Jika bukan untuk mengikat hubungan emosional antara mentor dan anggota rohis, seorang mentor tidak akan melakukan hal yang semacam itu karena dengan mengikat emosional siswa, dengan mudah seseorang mengarahkan seseorang ke arah yang dia kehendaki. Kondisi tersebut memang sengaja dimanfaatkan oleh sebagian kaum radikalis Islam. Hal ini sudah diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat melalui tulisannya mengenai ciri-ciri radikalisme Islam yaitu salah satunya adalah mengikat emosional anggota rohis dengan mentornya. 1 70 Buku kecil Catatan observasi rohis putri di lapangan. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 3. Liqa’ Liqa’ artinya bertemu. Liqa’ dalam penelitian ini adalah pertemuan rutin yang dilakukan oleh beberapa orang dengan satu murabbi dengan waktu dan tempat yang sudah diatur dan direncanakan. Kegiatan tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan rohis di sekolah. Sebagaimana kegiatan rohis di sekolah, liqa’ dijadikan sebuah wadah untuk mempelajari Islam secara kafah menurut pandangan mereka.2 Di dalam liqa’ masih terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan semakin tinggi tingkatan liqa’nya semakin tinggi pula tingkat pelajaran Islam yang kafaah. Pelan tapi pasti itulah yang dilakukan mereka dalam merekrut para kalangan muda yang berilmu ke dalam lingkaran mereka untuk mendukung cita-citanya dalam mewujudkan tujuan mereka yaitu ingin menegakkan syariat Islam di negara Indonesia atau mereka lebih suka disebut dengan menegakkan sistem khilafah yang pernah membuahkan hasil yang sangat bagus saat diterapkan pada zaman sahabat atau salaf al-shalih.3 Karena itu, supaya tetap bisa eksis mereka tidak menampakkan keyakinannya di depan orang-orang awam. Hal ini dilakukan supaya mereka dapat leluasa merekrut siswa-siswi yang berada di sekolah yang sudah ditampung melalui rohis. Hal ini dapat di ketahui dari hasil wawancara dengan Raihan Muhammad Goffar yang mengatakan, “Kita tidak diharuskan menyampaikan kepada orang-orang tentang apa yang kita yakini sekiranya akan menimbulkan perse­lisihan di kalangan kaum muslimin umumnya. Misalnya kegiatan maulid sebenarnya ‘kan tidak ada di dalam Islam tapi kita tidak akan memaksakan keyakinan kita di lingkungan sekolah. Karena kebanyakan mereka masih belum tahu yang sebenarnya. Maka kita, terlebih saya, ketika masih menjadi ketua rohis tetap mengadakan maulid Nabi Muhammad di lingkungan sekolah.” Selain itu mereka juga sangat tertutup. Mereka tidak ingin kegiatannya diketahui oleh selain anggotanya. Seandainya kegiatankegiatan tersebut tidak ada motif lain selain untuk mempelajari agama Islam dengan baik mungkin mereka akan sangat terbuka saat peneliti ingin mengikuti kegiatan liqa’. 2 3 Transkrip wawancara dengan mantan ketua rohis. Transkrip wawancaea dengan Luluk, mentor rohis putri. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 71 Nazrah mengatakan untuk mengikuti liqa’ harus ada izin dari murabbi-nya. Menurutnya, saat ia menyakan kepada murabbinya, murabbinya tidak mengizinkan orang lain selain anggota rohis untuk dapat mengikuti liqa’.4 Kegiatan liqa’ merupakan salah satu kegiatan lanjutan dari kegiatan rohis di sekolah yang sangat efektif untuk menyebarkan radikalisme Islam di kalangan pemuda baik dari kalangan SMA bahkan mahasiswa. Karenanya sangat tidak heran jika radikalisme Islam berkembang sangat pesat di Indonesia karena setiap tahun anggota mereka selalu bertambah. Anggota-anggota yang direkrut oleh mereka adalah para pemuda dari kalangan pelajar yang memang sudah diarahkan secara perlahanlahan oleh kegiatan rohani Islam di sekolah, sehingga mudah sekali bagi sebagian kaum muslimin yang menghendaki tegaknya hukum Allah di negara Indonesia untuk melakukan brainwashing terhadap para pelajar SMA mengingat mereka masih berusia sekitar 21 tahun, masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Peserta didik SMA berada pada tahap ketiga, yaitu tahap kepercayaan sintetik-konvensional sebagaimana teori yang telah diungkapkan oleh James W. Fowler dalam bukunya yang berjudul Stages of Faith yang dikutip oleh Desminta menyatakan bahwa pada tahapan ini peserta didik SMA patuh terhadap pendapat dan kepercayaan orang lain (Desmita 200, 37). Pada tahap ini peserta didik SMA cenderung ingin mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya dan menerima sistem kepercayaan tersebut tanpa diikuti dengan sikap kritis dalam meyakininya. Kegiatan liqa’ tidak mengenal usia. Jika sudah menjadi anggota liqa’ meskipun siswa tersebut sudah berstatus mahasiswa, kegiatan tersebut masih terus berlanjut. Semakin lama mereka mengikuti liqa’ maka semakin tinggi level liqa’nya. Jika sudah demikian mereka juga semakin mengetahui Islam yang kafah. Konsekuensi dari mengetahui mereka pasti akan berbuat seperti apa sudah diketahui. Barangkali inilah yang menjadi alasan sebagian kaum muslimin yang ingin menanamkan radikalisme Islam di dalam otak siswa. Oleh karena itu mereka segera menyusun sistem yang sangat bagus 4 72 Transkrip wawancara. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok untuk mewujudkan cita-citanya dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia. Demikian pula tidak mengherankan jika seorang yang terlibat pelaku teroris adalah seorang pelajar yang mengenyam pendidikan tinggi, karena radikalisme Islam merupakan langkah awal untuk menuju aksi teror. 4.Baiat Baiat merupakan modal utama yang digunakan untuk mengikat kese­ tiaan siswa dalam mengikuti tahapan-tahapan kegiatan di luar kegiatan sekolah. Kegiatan tersebut merupakan lanjutan dari rohis yang ada di sekolah seperti liqa’ KPMD (Kesatuan Pelajar Muslim Depok) Rohis, dan Halaqah. Paling tidak baiat telah berhasil membuat siswa mengikuti secara rutin kegiatan-kegiatan yang telah diagendakan. Meskipun enggan menye­butkan kepada siapa para siswa yang sedang mengikuti kegiatan di luar sekolah melakukan baiat, bisa dipastikan jika seseorang sudah dibaiat untuk setia terhadap pemimpinnya secara otomatis dia akan selalu taat dan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh pimpinan mereka. Salah satu sikap yang merupakan konsekuensi dari setia terhadap pemimpin adalah taat. Hal ini bisa dicontohkan oleh sikap siswa yang mengikuti kegiatan lanjutan rohis di luar sekolah mereka tampak solid sekali. Jika mereka melihat anggota atau teman liqa’-nya sering tidak hadir dalam liqa’, mereka akan mendatangi teman tersebut untuk ditanya mengapa tidak pernah liqa’? Mereka (baik yang berstatus siswa atau alumni) akan membantu memecahkan permasalahan jika salah satu anggotanya benar-benar mem­ punyai masalah yang menghalanginya untuk liqa’.5 Misalnya masalah ekonomi yang kerap menghalanginya untuk tidak bisa mengikuti liqa’. Hal ini terbukti bahwa efek dari baiat sangatlah besar. Ia benarbenar menanamkan kesetiaan untuk taat kepada pemimpin. Salah satu bentuk atau ekspresi ketaaatan atau kesetiaan para siswa yang mengikuti kelan­jutan program rohis di sekolah adalah dengan rutin 5 Transkrip Wawancara dengan Raihan Muhammad Goffar. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 73 menghadiri kegiatan-kegitan yang memang telah diagendakan. Dengan begitu, para pemuda sudah berhasil dikuasainya. Para penye­bar radikalisme Islam juga dengan leluasa memberikan materimateri yang mengandung radikalisme Islam tanpa rasa ragu dan khawatir. Setelah ideologi mereka terbentuk dengan kuat dan didukung dengan keinginan yang sama yaitu ingin menegakkan khilafah Islam maka mereka akan bersatu padu melawan pemerintah yang sudah ada demi menegakkan sistem khilafah. 5. Website (Keterkaitan atara satu Website dengan WebsiteWebsite yang Direferensikan oleh Mantan Ketua Rohani Islam) Website merupakan salah satu media sosial yang dapat memengaruhi ideologi seseorang jika dijadikan sumber bacaan bagi seseorang, seperti baru-baru ini yang sedang ramai diperbincangkan oleh media, baik media cetak maupun media online tentang pemblokiran 22 situs yang dianggap sebagai salah satu sarana yang digunakan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan Website mereka. Meskipun pada akhirnya Website tersebut diaktifkan kembali oleh Kemenkoinfo, citra buruk mereka masih dapat dilihat dari bagaimana isi Website tersebut memposting ulasan-ulasan materi tentang Islam yang sangat sempit pemahamannya dengan dalil bahwa yang dilakukan oleh mereka sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dari dua puluh dua situs yang akan diblokir oleh pemerintah terdapat dua situs yang direferensikan oleh Raihan Muhammad Goffar untuk dijadikan sebagai sumber bacaan. Website tersebut ialah Website muslim dan eramuslim.com. Selain kedua Website tersebut masih ada sepuluh website lagi yang direferensikan oleh Raihan Muhammad Goffar untuk dijadikan sumber bacaan sebagaimana kedua Website tersebut. Dari kesepuluh website tersebut (selain muslim dan eramuslim), namanya memang berbeda-beda. Ada www.yufid.com, rumaysho.com, badaronline.com, kajian.net, tanyajawabsyariah.com, konsultasisyariah. com dan lain-lain, sekalipun sebenarnya isinya tak jauh berbeda dengan website muslim dan eramuslim.com yang mengacu pada unsur radikalisme Islam. Meskipun mereka terkesan memerangi kelompok radikal, tanpa disangka dan diduga ada satu website yang di antara kesepuluh website 74 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok tersebut, (selain website muslim dan era muslim) menyetujui tindakan yang dilakukan oleh ISIS. Artikel tersebut berada di dalam website konsultasisyariah.com Begitu juga dengan website-website lain yang saling berkaitan dalam mengajarkan radikalisme Islam dengan mengtasnamakan Islam padahal mereka mempunyai kepentingan tersendiri. Seperti website www.yufid.com misalnya yang mungkin pada saat ini tidak diblokir oleh pemerintah tetapi jika kita mengakses informasi maka nanti website www.muslim.com akan muncul dalam rangka menjawab informasi yang kita cari dalam kategori yang sudah disediakan di dalam website yufid.com. Informasi-informasi yang dipostingkan juga kebanyakan sama misalnya sama-sama mereferensikan untuk membuka sepuluh website sebagaimana yang telah disebutkan di atas dengan memasukkannya menjadi sepuluh website top Islami misalnya website rumaysho.com. Dalam isi website misalnya mereka membuat kategori-kategori yang sama seperti kategori Manhaj, Aqidah, Tafsir al-Quran, Akhlak, Tokoh teladan dan lain-lain dengan informasi yang tidak jauh berbeda. Bahkan peneliti informasi yang sama, pendistribusian yang sama dan lain-lain. Selain melaui tulisan mereka menyebarkan ceramah-ceramah agama melalui audio-audio yang mereka unggah pada beberapa website dari sepuluh website tersebut, di antaranya adalah yufid.com dan kajiannet.com. Di dalam website tersebut banyak sekali kumpulan ceramah agama yang disampaikan oleh beberapa ulama mereka tentang berbagai macam permasalahan dalam kehidupan. Di dalam salah satu ceramah dari ulama mereka terdapat dialog yang menarik dengan durasi kurang lebih satu jam mengenai Daulah Islamiyah yang pada intinya mereka menyetujui berdirinya Daulah Islamiyah meskipun dalam dialognya mereka tidak menyetujui tindakantindakan kekerasan. Mereka mengatakan bahwasanya demokrasi itu bukan dari Allah dan sangat bertentangan dengan hukum Allah. Sistem demokrasi juga disebut dengan sistem Yahudi. Di dalam dialog itu juga masih banyak pernyataan dari Abdul Hakim Abdat yang mengecam sistem demokrasi. Dengan demikian sudah jelas sekali bahwasanya media-media yang direferensikan oleh para mentor rohis sangat mengandung unsur radikalisme dalam Islam. Meskipun belum tentu siswa yang mengikuti safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 75 rohis mendengarkan auidio tersebut tetapi paling tidak jika ada informasi yang dibutuhkan mereka akan mencari di dalam websitewebsite yang sudah direferensikan oleh para mentor mereka. Dengan mengakses informasi-informasi, peluang untuk menjadi radikalisme Islam semakin besar. Ada kemungkinan mereka juga akan mereferensikan website tersebut kepada orang lain, di luar kelompoknya. sebagaimana yang dilakukan oleh mantan ketua rohis yang mereferensikan website tersebut kepada peneliti saat peneliti melakukan wawancara dengannya. C. Peran guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah radikalisme Islam di sekolah Ternyata Guru Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah SMA Sejahtera 01 Depok masih belum menyadari bahwa radikalisme Islam yang keberadaaannya sering membuat orang resah kini berhasil masuk kesekolah melalui kegiatanan rohani Islam di sekolah. Mereka mengatakan, radikalisme Islam tidak mungkin terjadi di sekolah karena guru PAI di sini tidak mungkin mengajarkan radikalisme Islam. Kalaupun ada mereka membawanya dari luar kemudian. Anggapan yang demikian mungkin sah-sah saja karena guru PAI merasa bahwa dirinya tidak mengajarkan radikalisme Islam terhadap siswasiswinya di sekolah. Faktor-faktor yang dijelaskan oleh guru PAI tentang radikalisme yang menyebar di sekolah juga bisa diterima karena memang pada kenyataannya radikalisme Islam dapat menjangkiti siapa saja. Faktor radikalisme Islam yang dapat dijelaskan oleh guru PAI di antaranya adalah sebagai berikut: sempitnya pengetahuan, terbatasnya sumber bacaan yang dijadikan referensi, faktor lingkungan, faktor pergaulan dan faktor tempat belajar agama siswa di luar sekolah. Meskipun pihak sekolah terutama guru Pendidikan Agama Islam belum mengetahui bahwasanya radikalisme Islam telah berhasil masuk di sekolah melalui kegiatan rohis, guru Pendidikan Agama Islam menyadari bahwasanya melakukan pencegahan terhadap terhadap radikalisme Islam sangatlah penting karena kita tidak mengetahui bagaimana kehidupan siswa di luar sekolah. Paling tidak jika guru PAI mengambil peran dalam mencegah radikalisme Islam, siswa mempunyai bekal pengetahuan sehingga jika 76 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok suatu saat ia dipengaruhi oleh sebagian kaum muslimin garis keras, ia tidak akan mudah dipengaruhi. Dalam hal ini peran guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah radikalisme Islam di SMA Sejahtera adalah sebagai berikut: 1. Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Teladan Bagi Siswa Guru adalah sosok yang seharusnya dapat dijadikan idola oleh siswa-siswinya karena sangat sayang jika seorang siswa mengidolakan seseorang yang dapat merusak kepribadiannya. Karena konsekuensi dari mengidolakan seseorang, ia akan meneladani tindak tanduknya. Untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam memilih idola sudah seharusnya guru menjadi sosok yang dapat dijadikan idola oleh siswa-siswinya. Selama ini idola yang dicari oleh para remaja dilihat berdasarkan, ketampanan atau kecantikan, kekayaan, dll. Seorang guru dapat menampilkan akhlak-akhlak mulia sebagaimana yang ditampilkan oleh bapak Imran Rosyadi. Beliau selalu menampilkan akhlak mulia seperti menjaga pandangannya ketika saat di depan nonmuhrim di depan guru perempuan misalnya. Karena menundukkan pandangan bukan berarti memalingkan muka. Bahkan beliau sangat menyimak pembicaraan jika beliau melakukan pembicaraan dengan guru perempuan tetapi ia tidak memberlakukannya di hadapan siswanya. Saat pembelajaran di kelas beliau juga menampilkan akhlakakhlak yang sangat terpuji seperti beliau sabar dalam menghadapi siswasiswinya, tidak mudah marah, ramah, tegas tetapi tidak pernah membuat para siswa menjadi takut juga tidak membuat siswa menjadi ngelunjak. Meskipun guru PAI tidak menampilkan seperti yang ditampilkan oleh kebanyakan orang yang dijadikan idola tetapi akhlak terpuji yang ditampilkan oleh seorang guru PAI dapat diterima oleh setiap orang karena nilainya yang universal sehingga lama kelamaan siswa akan meneladani sikap baik yang ditampilkan oleh guru PAI karena pada dasarnya setiap manusia akan menerima kebaikan meskipun hatinya menolak. 2. Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Pembimbing Seorang Guru PAI yang berada di jenjang SMA harus mampu membimbing siswa siswinya menuju sesuatu yang baik. Karena dari segi usia mereka masih berada berada pada masa remaja (12-21 tahun) safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 77 yang merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Itulah sebabnya para peserta didik SMA pada masa ini banyak melakukan berbagai aktivitas untuk menemukan jati dirinya (ego identity). Sebagaimana yang telah dikatakan oleh dalam buku yang dikutip oleh Desita yang mengungkapkan bahwa pada tahap kepercayaan sintetik konvensional peserta didik SMA dapat dengan mudah didoktrin termasuk dengan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan nilainilai agama yang dipercayainya sehingga hal itu dapat membahayakan dirinya. Itulah sebab mengapa para peserta didik SMA sering dijadikan sebagai target rekruitmen anggota teroris. Jika ia telah tergabung dalam kelompok radikal, kelompok radikal tersebut akan dengan mudah memengaruhi cara peserta didik SMA dalam beragama. Jadi di satu sisi pada tahap kepercayaan sintetik-konvensional, perkembangan keagamaan peserta didik SMA dapat diarahkan dengan baik jika mereka bergabung dengan kelompok keagamaan yang membangun iklim beragama secara sehat. Kemudian di sisi lain perkembangan keagamaan peserta didik SMA bisa menjadi buruk jika mereka bergabung dengan kelompok radikal dan hal itu dapat membahayakannya. Itulah problem perkembangan keagamaan peserta didik SMA saat ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh berbagai pihak, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA. Oleh karena itu peran seorang guru PAI sangat dibutuhkan untuk menciptakan pandangan tentang Islam yang moderat, Islam yang damai terhadap pemikiran siswa dengan cara membimbingnya karena mengingat tahapan siswa yang dihadapinya masih berada di dalam tahap kepercayaan sintetik konvensional. Bagi seorang guru, terutama sekali guru Pendidikan Agama Islam ia mempunyai banyak kesempatan jika ingin meluruskan pandanganpandangan siswa yang salah , karena guru lebih mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan siswa setiap hari. Mungkin guru Pendidikan Agama Islam bisa memanggilnya secara pribadi di waktu istirahat jika ia mendapati sikap siswa yang terindikasi ke dalam radikalisme Islam Atau meskipun guru PAI tidak mendapati sikap radikal ia dapat melakukan pencegahan sebelum semuanya terjadi karena radikalisme Islam sangat berpotensi terjadi di kalangan pemuda. Sesuai dengan hasil wawancara dengan guru Pendidikan Agama 78 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Islam banyak sekali faktor yang menyebabkan siswa terindikasi ke dalam radikalisme Islam. Begitu pula caranya sebenarnya juga banyak dan sangat mudah sebagaimana mudahnya radikalisme Islam masuk ke dalam pemikiran siswa. Untuk mencegahnya guru tidak hanya melarang saja supaya siswa jangan sampai terpengaruhi oleh radikalisme Islam. Akan tetapi guru menjelaskan bahwa Islam itu toleran, Islam itu agama yang damai tanpa kekerasan, demikian dilakukan supaya siswa terbiasa bepikir kritis, dan supaya siswa tidak mudah terpengaruhi doktrin-doktrin yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin untuk menanamkan radikalisme Islam di dalam benak siswa. Meskipun bukan guru mata Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) guru PAI juga berhak menganjurkan untuk menghargai dan menghormat sistem demokrasi yang ada yang sudah dibentuk di Indonesia, karena sistem tersebut sudah bagus, jadi tidak perlu diubah sebagaimana yang [ingin] dilakukan oleh segelintir dari kaum muslimin yang ingin mengubah sistem yang sudah mapan dengan menggantikannya dengan sistem yang Islami dalam pandangan mereka. Karena pada dasarnya di dalam Islam juga terdapat anjuran untuk mencintai negerinya masing-masing dan konsekuensi dari mencintai adalah mematuhi terhadap segala sesuatu yang sudah ditetapkan oleh negeri tersebut selama aturan-aturan yang ditetapkannya tetap pada koridor Islam, dan menghidari kerusakan–kerusakan yang dapat merugikan terhadap sesama makhluk Tuhan, terlebih lagi sesama kaum muslimin sebagaimana terhadap hadis yang mengatakan bahwa hubbul wathani minal imân, mencintai negeri adalah sebagian dari iman. Arahan atau bimbingan yang diberikan oleh guru PAI akan membuka wawasan Islam siswa tentang bagaimana Islam agama yang sangat menganjurkan perdamaian dan keselamatan, untuk bertoleransi terhadap hal-hal yang berbeda. Bimbingan dan pengetahuan yang semacam ini sangat berguna untuk memberi bekal terhadap siswa buat masa depannya dan meluruskan pemikirannya terhadap agama Islam, serta menampilkan ajaran-ajaran agama Islam yang damai. 3. Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Pengintegrasi MateriMateri ke dalam Nilai-Nilai Antiradikal Guru merupakan kunci awal sukses tidaknya pembelajaran, tergantung terhadap seorang guru. Bahkan melalui mata pelajaran safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 79 Pendidikan Agama Islam guru mampu menjadikan siswa menjadi radikal dalam memahami Islam sekaligus guru juga mampu mencegah radikalisme Islam melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Sebelum menganalisis tentang Guru PAI sebagai pengintegrasi materi-materi ke dalam nilai-nilai antiradikal, di sini peneliti perlu memberikan penekanan sekali lagi bahwa guru Pendidikan Agama Islam yang ada di SMA Sejahtera 01 Depok tidak menyetujui adanya radikalisme Islam. Oleh karena itu guru Pendidikan Agama Islam Bapak Imran Rosyadi berusaha semampu beliau untuk memasukkan sebagian materi-materi yang ada di dalam mata pelajaran PAI ke dalam nilai-nilai pendidikan antiradical. Untuk merealisasikannya, guru PAI di SMA dapat mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan antiradikalisme ke dalam pembelajaran PAI di SMA. Nilai-nilai pendidikan antiradikalisme tersebut dapat diadopsi dari kurikulum karakter di Negara Bagian Georgia berikut ini: a. b. c. d. e. f. g. h. 80 Citizenship, yaitu kualitas pribadi seseorang terkait hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Misalnya hak dan kewajiban dalam memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan bangsa dan negara. Compassion, yaitu peduli terhadap penderitaan atau kesedihan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka. Courtesy, yaitu berperilaku santun dan berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain. Fairness, yaitu perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan. Moderation, yaitu menjauhi pandangan dan tindakan yang radikal dan ekstrem yang tidak rasional. Respect for other, yaitu menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain. Respect for the Creator, menghargai segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya serta senantiasa bersyukur kepada-Nya. Self control, yaitu mampu mengendalikan diri melalui keterlibatan emosi dan tindakan seseorang. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok i. Tolerance, yaitu dapat menerima penyimpangan dari hal yang dipercayai atau praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat menerima hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan diri. Guru Pendidikan Agama Islam yang ada di SMA Sejahtera 01 Depok yaitu bapak Imran Rosyadi, MM selalu memasukkan nilainilai pendidikan antiradikalisme ke dalam penyampaian materi meskipun beliau tidak mengetahui secara pasti bahwasanya ternyata ada kurikulum berkarakter antiradikal di Negara Bagian Georgia yang sangat efektif jika diterapkan untuk mencegah radikalisme Islam di sekolah (Sarmani & Hariyanto 2011, 54). Untuk memasukkan nilai-nilai antiradikal ke dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebenarnya guru tidak dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu bahwasanya telah terdapat kurikulum berbasis antiradikal di beberapa negara. Pada dasarnya guru PAI pasti mengetahui nilai-nilai pendidikan yang dapat digunakan untuk mencegah radikalisme Islam di sekolah karena nilai-nilai pendidikan antiradikalisme dapat dipahami oleh siapa saja. Sehingga tanpa mengetahui kurikulum tersebut guru PAI tetap dapat melakukan pencegahan radikalisme Islam di sekolah melalui materi-materi PAI. Banyak sekali materi Pendidikan Agama Islam yang dapat diintegrasikan ke dalam nilai-nilai pendidikan antiradikal, baik materi yang ada di kelas X, XI maupun XII karena pada dasarnya tujuan PAI sangat mulia, sehingga jika mata pelajaran PAI dilaksanakan sesuai prosedurnya dari pemerintah maka bisa dipastikan bahwa materimateri yang ada di dalam Pendidikan Agama Islam dapat mencegah radikalisme Islam. Meskipun materi Pendidikan Agama Islam telah dirancang dengan sedemikian rupa sehingga materi tersebut dapat digunakan untuk mencegah radikalisme Islam, tetapi jika guru Pendidikan Agama Islam mendukung radikalisme Islam, materi-materi tersebut tidak dapat mencegah radikalisme bahkan malah menimbulkan radikalisme Islam melalui materi PAI. Karena betapapun bagusnya suatu sistem atau materi tergantung pada bagaimana guru mengolah materi sebelum disampaikan terhadap siswa ketika proses pembelajaran di kelas berlangsung. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 81 KESIMPULAN Dari hasil pemaparan data dan temuan yang didapatkan di lapangan maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SMA Sejahtera 01 Depok tidak mengetahui bahwa radikalisme Islam telah berhasil masuk di sekolah—seperti melalui kegiatan Rohani Islam (rohis)—mereka tetap berusaha untuk mencegah radikalisme Islam di sekolah dengan cara mengoptimalkan diri sebagai teladan bagi siswa, pembimbing, dan pengintegrasi materi-materi PAI ke dalam nilai-nilai antiradikal. Peneliti menyarankan agar (1) pemerintah menetapkan kurikulum atau panduan mengajar terhadap kegiatan mentoring dalam kegiatan ekstrakurikuler rohis sehingga dapat meminimalisasi berkembangnya radikalisme Islam terutama di lingkungan sekolah; (2) pihak sekolah terutama guru PAI lebih memerhatikan kegiatankegiatan keagamaan yang dikelola oleh siswa sendiri; (3) sekolah terus mengembangkan budaya positif yang berkaitan dengan akhlak siswa, karena siswa yang cerdas saja tidak cukup tanpa memiliki akhlak yang mulia serta sering mengadakan seminar-seminar tentang Islam yang moderat untuk para siswanya agar wawasan siswa lebih luas sehingga siswa mampu berpikir kritis dan tidak mudah didoktrin oleh orang lain; (4) perpustakaan sekolah memiliki koleksi buku-buku pendidikan lain selain buku paket sebagai penunjang mata pelajaran dari sekolah dan juga sebagai pengetahuan baru bagi siswa. DAFTAR PUSTAKA Azekiyah dll. Politik Ruang Publik Sekolah. Yogyakarta: LKiS & CRCS, 2011. Bakri, Syamsul. ““Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer”.” Dinika 3 (2004): 2. Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik: Panduan Orang Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Ghoffar, Raihan Muhammad, wawancara oleh Latifah. “Kegiatan Mentoring” (2015). 82 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Gulpaygani, Ali Rabbani. Kalam Islam: Kajian Teologis dan Isu-Isu Kemazhaban. 1. Dialih bahasakan oleh Muhammad Jawad Bafaqih. Jakarta: Nur Al-Huda, 2014. Hadi, Bachtiar Effendy dan Soetrisno. Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta Timur: Nuqtah, 2007. Muchlas Sarmani & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Muhaimain. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PSAPM), 2003. NK, Roestiyah. Masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bina Aksara, 1998. Nurdin. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Primashophie, 2004. Piet A. Sahertian & Ida Aleida. Supervisi Pendidikan Islam Dalam Rangka Insevice Educatio. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Qodir, Zuly. Perspektif Sosiologi tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2013. Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2010. Rohmadi, Ali. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bina Ilmu, 2004. Rokhmad, Abu. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.” Jurnal Kependidikan Walisongo 20 (2012): 10. Rubaidi, A. Nahdlatul Ulama dan Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010. Sudiyono. Ilmu Pendidikan Islam. Vol. 1. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Taher, Tarmizi. ““Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”.” Dalam Radikalisme Agama, oleh Bahtiar Effendy & Hendro Prasetyo, 6. Jakarta : PPIM-IAIN, 1998. Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 83 Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. ““Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia”.” Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, 2010: 173. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003. Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara, 2006. Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Zada, Khamami. Islam Radikal. Jakarta Selatan: Teraju, 2002. Zamroni. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bayu Inda Grafika, 2001. Wawancara: Nazah, wawancara oleh Latifah. “Mentoring” (2016). 84 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok