PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010) Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: RYCO PUTRA IRAWAN 107043203700 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2014 M PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (Ssy) Oleh: Ryco Putra Irawan NIM : 107043203700 Pembimbing Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA NIP : 194512301967122001 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M ii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplak karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 28 Desember 2013 Ryco Putra Irawan iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Pandangan Empat Imam Mazhab dan Ulama Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010). Telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum). Jakarta, Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12 PANITIA UJIAN Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191994031004 (…....……………) Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, MSi NIP. 1974121310031211002 (..…..……………) Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA (.....….…………..) NIP. 194512301967122001 Penguji I : Dr. H. A. Mukri Aji, MA NIP. 195703121985031003 (…....……………) Penguji II : Afwan Faizin, MA NIP. 197210262003121001 (….....……...……) iv ABSTRAK DSN-MUI mengeluarkan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai ini untuk menjawab pertanyaan tentang hukum apa yang melekat pada emas saat bertransaksin jual beli . dalil yang menjadi dasar adalah hadis Nabi Saw. dalam ijma’ para ulama bahwasannya emas adalah termasuk kedalam barang ribawi akan tetapi fatwa no: 77/DSN-MUI/V/2010 menghukumi mubah jual beli tersebut. Maka secara otomatis fatwa tersebut bertentangan dengan dengan hadis Nabi Saw dan ijma’ para ulama mazhab empat yang mengatakan bahwa jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara lain, agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba; sehingga emas dan perak dalam pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi). Dari latar belakang di atas, penulis akan menganalisa fatwa DSN-MUI tersebut dengan dua pokok permasalahan, yaitu apa alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai menurut fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSNMUI/ V/2010 dan bagaimana relevansi fatwa tersebut dengan pendapat para ulama mazhab Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan Jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang menurut uraian berkenaan dengan kepustakaan. Sumber data, baik data primer maupun data sekunder diperoleh dengan metode dokumentasi. Kemudian data yang sudah ada dianalisa dengan metode komparatif, metode komparatif ini digunakan untuk membandingkan fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli emas secara tidak tunai dengan pendapat ulama madzhab dan melihat relevansi fatwa tersebut dengan pendapat ulama madzhab. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa: Pertama, alasan DSN-MUI melalui fatwa No.77/DSN-MUI/V/2010 membolehkan jual beli emas secara tangguh DSN-MUI menafsirkan hadis Nabi saw tata cara penjualan / tukar menukarnya adalah secara kontekstual ini menjadikan hasil dari istinbath mereka dalam jual beli emas secara tidak tunai dihukumi mubah . Kedua, relevansi fatwa DSN-MUI relevan dengan ulama mazhab yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, yaitu pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar atau dapat dengan tangguh pada pembayaran jasa pembuatannya . v بسم اهلل الرحمن الرحيم KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih saying-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktunya. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menebarkan cahaya Islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam. Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua ini karena doa dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si. Selaku Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan meluangkan waktu dengan penuh keiklasan dan sabar, serta bimbingan kepada penulis. 4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari vi Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen. 5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adik-adik dan saudara-saudaraku tersayang yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi penulis. 7. Untuk Nesia Suci Aristawati yang selalu sabar menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan kepada teman-temanku, Andri Agus Salim, Arwani, Rizki DP, M. Hanafi “terima kasih atas masukannya kepada penulis”. 8. Terima kasih kepada Guru-Guruku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang insya Allah yang tidak mengurangi rasa ta’zim dan hormat penulis. 9. Teman- teman seperjuangan PMH 2007. Selama 4 tahun kenal dan kuliah bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis. Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Jakarta, 23 Januari 2014 M 21 Robiul Awal 1435 H Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………........................i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………….....................ii LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………......................iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………………...…iv ABSTRAK …………………………………………………………………………...v KATA PENGANTAR ……………………………………………….......................vi DAFTAR ISI …………………………………………………………....................viii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….1 B. Pembatasan Masalah ……………………………………………..5 C. Perumusan Masalah ………………………………………………5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………...6 E. Metode Penelitian ………………………………………………...7 F. Review Studi Terdahulu ………………………………………….9 G. Sistematika Penulisan ………………………………………..….10 BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM………………………….12 A. Pengertian Jual Beli …………..…………………………………12 B. Sumber Hukum ………………………………………………….14 C. Rukun dan Syarat Jual Beli ……………....……………………..19 D. Macam-macam Jual Beli ………………………………………..26 viii E. Jual Beli Yang Dilarang dalam Islam …….……………………..32 BAB III BIOGRAFI ULAMA EMPAT MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER………………………………………………....38 A. Riwayat Hidup Ulama Empat Imam Mazhab ….……………...38 1. Imam Abu Hanifah ………………………………………...38 2. Imam Malik ………………………………………………..42 3. Imam Syafi’I ……………………………………………….47 4. Imam Hanbali ………………………………………………52 B. Ulama Kontemporer…………………………………………….56 1. DSN-MUI ………………………………………………….56 2. Yusuf Al-Qardawi …………………………………………59 3. Wahbah al-Zuhaily...………………………………………..65 4. Syaikh Ali Jumu’ah………………………………………....70 BAB IV JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT DAN ULAMA KONTEMPORER…………74 A. Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut Para Imam Mazhab Empat dan Ulama Kontemporer…………………74 B. Analisis Pandangan Ulama Empat Imam Mazhab Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai……………………..84 C. Analisis Terhadap Relevansi Fatwa DSN-MUI Nomor: 77 / DSNMUI/ V/ 2010, Yusuf al-Qardhawi, Ibnu Qayyim, dan Ibnuu Taimiyyah………………………………………………………..93 ix BAB V PENUTUP…………………………………………………………100 A. Kesimpulan …………………………………………………….100 B. Saran-saran ………………………………………………….…102 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………103 LAMPIRAN……………………………………………………………………….107 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umat Islam dalam mensosialisasikan ajaran agama Islam dengan menggunakan berbagai macam cara, agar agama Islam dan ajarannya tetap tegak di dunia sampai akhir zaman. Kewajiban menegakkan dan melestarikan ajaran agama Islam tersebut, tentunya menyangkut segala aspek kehidupan manusia secara luas, baik merupakan amal duniawi maupun pencarian bekal untuk kehidupan akhirat yang dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat sampai kapanpun. Hukum Islam mengatur peri kehidupan manusia secara menyeluruh, mencakup segala aspeknya. Hubungan manusia dengan Allah di atur dalam bidang ibadah sedangkan hubungan manusia dengan manusia di atur dalam bidang muamalat1 dalam arti luas, baik dalam jual-beli, pewarisan, perjanjianperjanjian, hukum ketatanegaraan, hubungan antar negara, kepidanaan, peradilan dan lain sebagainya. Keseluruhan dari aturan-aturan ini telah tertuang dalam hukum muammalat, karena sebagaimana diketahui bahwa sekecil apapun amal perbuatan manusia di dunia pasti akan dimintai pertanggung jawaban kelak di kehidupan setelah mati. 1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muammalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 11 1 Hubungan antara sesame manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan dan diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecendrungan manusia kepada harta itu begitu besar dan sering menimbulkan persengketaan sesamanya, kalau tidak diatur, dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup antara sesame manusia. Disamping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan kehendak Allah yang berkaitan dengan harta itu. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat maka sudah semestinya jika mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya dalam bentuk hubungan guna mencukupi segala kebutuhannya.2 Sejarah dunia telah membuktikan, bahwa manusia tidak akan pernah bisa lepas dari pergaulan yang mengatur hubungan antara sesamanya di dalam segala keperluannya3 karena sejak dilahirkan sampai meninggal dunia manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan itu timbul berkenaan dengan pemenuhan kebuttuhan jasmani dan rohaninya. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia selalu mewujudkan dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai “tingkah laku”. Tingkah laku yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai hasil proses dari adanya minat yang 2 H. Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bag. I, cet I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) hlm. 40 3 Abdullah Siddiq al-Haji, Inti Dasar Hukum Dagam Islam, Cet I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) hlm. 55 2 diniatkan dalam suatu gerak untuk pemenuhan kebutuhan saat tertentu. Di dalam kegiatan itulah pada umumnya manusia melakukan kontak dengan manusia lainnya. Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Dalam jual beli, Islam juga telah menentukan aturan-aturan sehingga timbullah suatu perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terhadap peralihan hak atas suatu benda (barang) dari pihak penjual kepada pihak pembeli baik itu secara langsung maupun secara tidak (tanpa perantara). Maka dalam jual beli tidak lepas dari rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu, dalam praktek jual beli harus dikerjakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Islam. Sehubungan dengan hal itu, Islam sangat menekankan agar dalam bertransaksi harus didasari i’tikad yang baik, karena hal ini memberikan pedoman kepada umatnya untuk selalu berupaya semaksimal mungkin dalam usahanya, sehingga di antara kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Manusia sebagai makhluk individual yang memiliki berbagai keperluan hidup, manusia telah disediakan Allah swt berbagai benda yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut tidak mungkin hanya akan diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan, dengan kata lain ia harus bekerja sama dengan orang lain. 3 Syari’at juga mengatur larangan memperoleh harta dengan jalan batil seperti perjudian, riba, penipuan dalam jual beli, dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, bunga transaksi tersebut bukanlah cara yang dibenarkan untuk memperoleh dan mengembangkan harta. Batasan antara perkara yang halal dan haram sangatlah jelas. Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 275 : Artimya: Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dari ayat tersebut, Allah melarang mencampurkan yang hak dengan yang batil dalam semua perkara, terdapat batas yang jelas terhadap keduanya. Sesungguhnya segala yang halal dan yang haram telah dijelaskan-Nya, serta sesuatu yang ada di antara keduanya (syubhat) yang mana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Prinsip pokok dalam Islam adalah mengerjakan kedua hal yang ada (didunia dan diakhirat), kecuali segala seuatu yang telah diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Larangan tersebut sangatlah terbatas jumlahnya, baik berupa barang maupun perbuatan. Dalam praktek jual beli di masyarakat, kadangkala tidak mengindahkan hal-hal yang sekiranya dapat merugikan satu sama lain. Kerugian tersebut ada kalanya berkaitan dengan obyek ataupun terhadap harga. Kerugian ini disebabkan karena ketidaktahuan ataupun kesamaran dari 4 jual beli tersebut. Paktek jual beli emas yang terjadi pada masa sekarang, yaitu jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan atau kesamaran terhadap obyek yang telah diperjualbelikan, baik penjual maupun pembeli tidak dapat memastikan wujud dari obyek yang diperjualbelikan berdasarkan tujuan akad, yakni jual beli emas dengan sistem “investasi”. Kegiatan jual beli tersebut sudah terbiasa dilakukan dan sudah menjadi adat atau kebiasaan oleh masyarakat, sehingga hal tersebut suatu hal yang wajar dan dapat diterima secara umum. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang “Pandangan Empat Imam Mazhab Dan Ulama Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perlu adanya pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk mengefektifkan dan memudahkan pengelolahan data, maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada seputar pembahasan tentang pandangan ulama empat imam mazhab dan ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai. 2. Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Bagaimanakah pandangan Empat Imam mazhab tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai? 5 b. Bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 dan pandangan Ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para ulama empat mazhab? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para empat Imam mazhab tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai b. Untuk mengetahui bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 dan pandangan Ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para ulama empat mazhab 2. Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi masyarakat dalam hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai, dilihat dari segi manfaat dan mudharat dalam jual beli tersebut. b. Dapat mendorong masyarakat untuk bermuamalat sesuai dengan syariat Islam. c. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan sumber daya alam yang dimonopoli oleh seorang, atau pihak tertentu. 6 D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang menurut uraian berkenaan dengan kepustakaan.4 Penelitian deskripsi dari obyek-obyek yang diamati yaitu jenis penelitian studi yang relevan dengan pokok-pokok permasalahan dan diupayakan jalan penyelesaiannya 2. Sumber Data Sumber-sumber penelitian ini dapat dibedakan kepada dua jenis sumber data: data primer dan data sekunder. a. Sumber Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku fikih para imam empat mazhab, fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 tentang Kebolehan Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai, dan bukubuku karya ulama kontemporer. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder merupakan jenis data yang dapat dijadikan sebagai pendukung data pokok atau merupakan sumber data yang mendukung dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada data primer.5Dalam penelitian ini, sumber data sekundernya berupa buku- 4 Kartini Kartono, MetodologiSosial, Bandung : MandarMaju, 1991, hlm 32 Saifudin Anwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: PustakaPelajar, 1998, hlm.91 5 7 buku, dokumen-dokumen, karya-karya, atau tulisan-tulisan yang berhubungan atau relevan dengan kajian ini. 3. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dokumen dan literatur yang berupa buku-buku, tulisan dan fatwa DSN-MUI tentang jual beli emas.Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu menelaah dokumen-dokumen yang tertulis, baik data primer maupun sekunder. Kemudian hasil telaahan itu dicatat dalam komputer sebagai alat bantu pengumpulan data.6 4. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode Komparatif. Metode komparatif ini digunakan untuk membandingkan fatwa DSN-MUI dan ulama kontemporer tentang kebolehan jual-beli emas secara tidak tunai dengan pendapat ulama empat madzhab. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum. 6 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 131 8 E. Review Terdahulu 1. Siti Mubarokah (2103109) yang berjudul “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jual beli mata uang harus dilakukan secara tunai dan nilainya harus sama. Artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan mata uang pada saat yang bersamaan. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar pada saat transaksi dan secara tunai. Transaksi ini akan berubah menjadi haram apabila transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Fatwa relevan dengan pendapat ulama mazhab, transaksi jual beli mata uang disyari’atkan nilainya sama dan transaksi dilakukan secara tunai sesuai dengan akad yang dilakukan. 2. Mudrikah (2102185) yang berjudul “Persepsi Ulama Karanggede Tentang Praktek Penukaran Emas Di Toko Emas Pasar Karanggede Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali”. Membahas tentang Pertukaran (al-sharf) antara emas dengan emas hukumnya tidak boleh, kecuali memenuhi syaratsyarat dalam pertukaran barang sejenis yaitu: sepadan (sama timbangannya, dan takarannya, dan sama nilainya), spontan (seketika itu juga), saling bisa diserahkan terimakan. Adapun praktek penukaran emas tersebut dilakukan 9 oleh pedagang emas dengan pembeli. Faktor yang menjadi motivasi masyarakat untuk melakukan praktek penukaran emas dengan emas tersebut karena: Masyarakat merasa bosan dengan modelnya Masyarakat ingin menukarkan emas yang lebih besar ukuran gramnya (timbangannya) , Biasanya oleh masyarakat, emas dijadikan barang simpanan (untuk di tabung). Pendapat sebagian ulama di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali, bahwa praktek penukaran emas dengan emas tidak sah. Namun praktek penukaran emas tersebut sudah menjadi adat atau kebiasaan dari masyarakat sejak dulu, sehingga sulit untuk dihilangkan. Praktek penukaran emas dengan emas di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tidak sesuai dengan hukum Islam, karena syarat-syarat yang ada dalam penukaran barang sejenis banyak yang belum dipenuhi oleh kedua belah pihak. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu menetapkan suatu kerangka dasar penulisan. Secara garis besar dapat memberikan gambaran sebagai berikut: Bab Pertama, penulis memaparkan tentang pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika penulisan skripsi. 10 Bab kedua, membahas tentang pengertian jual beli dalam Islam meliputi pengertian jual beli, sumber hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli, dan jual beli yang dilarang dalam Islam Bab ketiga, membahas tentang profil ulama empat imam mazhab dan ulama kontemporer serta istinbat hukum masing-masing Bab keempat, menjelaskan analisis penelitian tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai menurut para imam mazhab empat dan ulama kontemporer, analisis pandangan ulama empat imam mazhab tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai, dan analisis terhadap relevansi fatwa DSN-MUI Nomor: 77/ DSN-MUI/V/ 2010, Yusuf al-Qardhawy, Ibnu Qayyim dan Ibnu Timiyah dengan pendapat para ulama mazhab. Bab kelima, mengemukakan kesimpulan yang diperoleh pada bab-bab sebelumnya disertai dengan pemberian saran-saran yang konstruktif sehubungan dengan masalah yang ditemui sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan penulis laiannya untuk perbaikan lebih lanjut. 11 BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al-tijarah, almubadalah (menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu).1 Menurut etimologi adalah: مقب بهت انشئ ببنشئ Artinya:“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya”2 Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Q.S. Fathir (35) ayat 29 )۹۲:ۺ۳/(فاطر Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (alQur‟an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagai rezeki yang kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terangterangan. Mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi”. Menurut kitab fikih Mazhab Syafi’i, yang dimaksud dengan jual beli adalah menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah pihak.3 1 Imam Ahmad bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya: al-Hidayah), hal. 30 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 67 3 Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi‟I, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), 2 hal. 22 12 Menurut mazhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta (maal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul. Menurut Imam Nawawi dalam kitab majmu’, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.Sedangkan menurut Ibnu Qudamah menyatakan jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan dimiliki.4 Jual beli menurut burgerlijk wetboek (BW) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.5 Dari beberapa definisi di atas dapat di pahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan syara‟ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum syara‟ maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada 4 5 Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 69 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 1 13 kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.6 B. Sumber Hukum Jual Beli Tidak sedikit kaum muslim yang lalai mempelajari hukum jual beli, bahkan melupakannya, sehingga tidak memperdulikan apakah yang dilakukan dalam jual beli itu haram atau tidak. Keadaan seperti itu merupakan kesalahan besar yang harus dicegah, agar semua kalangan yang bergerak pada bidang perdagangan mampu membedakan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak. Bagi mereka yang terjun dalam dunia usaha, khususnya perdagangan atau transaksi jual beli, berkewajiban mengetahui hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan jual beli tersebut sah atau tidak. Ini bertujuan supaya usaha dilakukan sah secara hukum terhindar dari hal-hal yang tidak dibenarkan. Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas yaitu: 1. Al-Qur’an diantaranya: a. Surah al-Baqarah (2) ayat 275 )۹۷۳:۹/ ) )البقرة Artinya :“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan 6 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, , (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 69 14 lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.7 Ayat di atas juga dipahami untuk melakukan jual beli dengan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam Islam dan tidak melakukan apa yang dilarang dalam Islam. b. Surah al-Baqarah (2) ayat 188 )۸۱۱:۹/ )البقرة Artinya :“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. c. Surah an-Nisa’(4) ayat 29 )۹۲:۴/ (النساء Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan 7 Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 71 15 perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 188 dan an-Nisa ayat 29 bahwa keharusan mengindahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan batil, yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. Penggunaan kata makan dalam kedua ayat diatas untuk melarang memperoleh harta secara batil dikarenakan kebutuhan pokok manusia adalah makan.Kalau makan yang merupakan kebutuhan pokok itu terlarang memperolehnya dengan batil, maka tentu lebih terlarang lagi bila perolehan dengan batil menyangkut kebutuhan sekunder maupun tersier. Selanjutnya dalam surat an-Nisa’ ayat 29 menekankan juga keharusan adanya keelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkan ( (عه تراض مىكم.Walaupun kerelaan adalah sesuatu tersembunyi dilubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan qabul atau apa saja yang dikenal adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.8 2. As-Sunah : ان انىبٌ صهي اهلل عهًَ وسهم انسئم اً انكسب اطَب ؟ قبل,ًعه رفبعت به رافع رضٌ اهلل عى 9 ) (رواي انبزار وصححً انحبكم. و كم بَع مبرور,عمم انرجم بَدي 8 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 413 Al Hafiz Ibn Hajar Asqalani, Bulughul Maram min Adillatul Ahkam, (Surabaya : Hidayat, tt), hal. 165 9 16 “Rifa‟ah bin Rafi‟ mengatakan bahwasannya Nabi saw. Ketika ditanya usaha apa yang terbaik. Jawab Nabi saw: Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap jual beli yang halal. (H.R. Al-Bazzar dan disyahkan oleh Al-Hakim) Berdasarkan hadis di atas, Nabi saw telah menghalalkan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri. Maksud dari pekerjaan dengan tangannya sendiri disini adalah sendiri untuk melakukan perniagaan atau jual beli. Jadi jual beli merupakan pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Nabi saw. 3. Ijma’ Jumhur ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.10 Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang harus mengetahui apa saja yang dapat mengakibatkan suatu perdagangan atau jual beli itu sah secara hukum. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Allah swt mengharamkan adanya riba dan usaha yang paling baik adalah usaha yang dihasilkan dari tangannya sendiri, tentunya dari hasil usaha yang halal pula. Dari beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, sabda Rasul dan ijma’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubah (boleh).Akan tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu. 10 Nasroen Haroen, Fiqih Mu'amalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), hal. 114 17 Menurut Imam Al-Syathibi (ahli fikih Mazhab Maliki) dalam buku Nasroen Haroen, hukum jual beli bisa menjadi wajib ketika situasi tertentu, beliau mencontohkan dengan situasi ketika terjadi praktek penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik, ketika hal ini terjadi maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual barang-barang dengan harga pasar sebelum terjadi kenaikan harga, dan pedagang wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.11 Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum jual beli dibentuk guna untuk mengetahui halhal apa saja yang dapat mengakibatkan jual beli tersebut menjadi sah atau tidak. Adapun yang disyariatkan untuk hukum jual beli berdasarkan AlQur’an, Al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Jika berdasarkan Al-Qur’an disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 275 yang menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, surah al-Baqarah ayat, 188 dan surah an-Nisa’ ayat 29. Jika menurut Al-Sunnah, Nabi saw menghalalkan perdagangan atau jual beli sebagai pekerjaan sendiri, dimana seseorang bekerja dengan usahanya sendiri yaitu perniagaan dan jual beli. Ijma di dapat dari jumhur ulama yang menyatakan jual beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, namun tidak boleh lepas dari yang disyaratkan 11 Nasroen Haroen, Fiqih Mu'amalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), hal. 114 18 Al-Qur’an dan hadis sehingga jual beli atau perniagaan tersebut dapat berjalan sesuai dengan syriat Islam. C. Rukun dan Syarat Jual Beli 1. Rukun-rukun jual beli Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi seperti dibawah ini: a. Penjual: ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin untuk menjualnya, dan sehat akalnya. b. Pembeli: ia disyratkan diperbolehkan dalam arti ia bukan yang kurang waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli. c. Barang yang dijual: barang yang dijual merupakan barang yang diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan barangnya jelas atau bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan ciri-cirinya. d. Ikrar atau akad (ijab qabul) ijab adalah perkataan penjual, sedangkan qabul adalah ucapan si pembeli. Penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) dilakukan dengan perkataan atau ijab qabul dengan perbuatan.12 12 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2003), hal. 135 19 e. Kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak.13 Adanya kerelaan tidak dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan qabul.14 2. Syarat-syarat jual beli Syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama’ adalah sebagai berikut: a. Penjual dan pembeli, syaratnya yaitu: 1) Berakal, agar tidak terkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. 2) Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan). 3) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya. 4) Baligh (berumur 15 tahun keatas atau dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umurnya, menurut pendapat sebagian ulama’ mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan 13 14 Ismail Nawawi,Fiqih Muamalah, (Surabaya: Vira Jaya Multi Press, 2009), hal. 46 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 70 20 menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.15 b. Uang dan benda yang dibeli, syaratnya yaitu: 1) Suci barangnya Suci barangnya adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang najis atau barang yang diharamkan oleh syara’ 2) Dapat dimanfaatkan Barang yang dapat dimanfaatkan adalah setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif.Sebab, pada hakekatnya seluruh barang yang dijadikan objek jual beli adalah barang yang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung ataupun tidak.Sejalan dengan perkembangan zaman yang makin canggih, banyak orang yang semula dikatakan tiodak bermanfaat kemudian di nilai bermanfaat. 3) Milik orang yang melakukan akad 15 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (tt: Sinar Baru al-Gensindo, 1986). 279 21 Barang harus milik orang yang melakukan akad ialah orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari pemilik sah barang.Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau tidak berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai jual beli yang batal. 4) Barang dapat diserahkan Barang dapat diserahkan adalah barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika.Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan objek akad dapat diserahkan karena memang benarbenar ada dibawah kekuasaan pihak yang bersangkutan. 5) Dapat diketahui barangnya (barang jelas) Barang dapat diketahui maksudnya ialah keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat dan kualitas barang.Apabila dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak di ketahui, maka perjanjian jual beli tersebut mengandung unsure penipuan (gharar). Hal ini sangat perlu untuk menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan. Misalnya dari akad yang terjadi kemungkinan timbul kerugian dipihak pembeli atau adanya cacat yang tersembunyi dari barang yang dibelinya. 22 6) Barang yang ditransaksikan ada ditangan Barang yang ditransaksikan ada ditangan maksudnya ialah objek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.16 c. Lafaz ijab dan qabul Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.17 Adapun macam-macam akad dalam ijab qabul, diantaranya adalah: 1) Akad dengan tulisan Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, akad jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan qabul secara lisan, namun sah pula hukumnya apabila dilakukan dengan tulisan, dengan syarat kedua belah pihak (pelaku akad) tempatnya berjauhan tempat atau pelaku akad 16 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 37-40 17 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), hal. 406 23 bisu. Jika pelaku akad dalam suatu tempat dan tidak ada halangan untuk mengucapkan ijab qabul, maka akad jual beli tidak dapat dilakukan dengan tulisan, karena tidak ada sebab atau alasan penghalang untuk tidak berbicara.18 2) Akad dengan perantara utusan Selain dapat menggunakan lisan dan tulisan, akad juga dapat dilakukan dengan perantara utusan kedua belah pihak yang berakad, dengan syarat utusan dari salah satu pihak menghadap ke pihak lainnya.Jika tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akad sudah menjadi sah.19 3) Akad orang bisu Sebuah akad juga sah apabila dilakukan dengan bahasa isyarat yang dipahami oleh orang bisu. Isyarat bagi orang merupakan ungkapan dari apa yang ada didalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang bisu boleh berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika si bisu memahami baca tulis. Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama’ fikih mengemukakan beberapa syarat lain yaitu: 18 19 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hal. 122 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hal 50-51 24 (1) Syarat sah jual beli Para ulama’ fikih menyatakan bahwa suatu jual beli baru dianggap sah apabila tersebut terhindar dari cacat dan apabila barang yang dijualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan barang tidak bergerak, boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan. (2) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. Misalnya, barang itu milik sendiri (barang yang dijual itu bukan milik orang lain atau hak orang lain terkait dengan barang itu). Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad. (3) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli Para ulama’ fikih sepakat menyatakan akad jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar. Apabila jual beli itu masih punya hak khiyar, maka jual beli itu belum mengikat dan masih boleh dibatalkan.20 20 Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah , hal. 115-120 25 Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, seperti yang sudah kita ketahui untuk melakukan jual beli tentunya harus adanya pedagang dan pembeli. Oleh karena itu, agar suatu perniagaan berjalan sesuai syariat Islam maka haruslah ada hukum dan syaratnya, adapun yang menjadi rukun jual beli meliputi penjual, pembeli, barang yang dijual, ikrar atau akad (ijab qabul), kerelaan kedua belah pihak. Untuk syaratnya meliputi 3 hal dari segi penjual dan pembeli, uang dan yang dibeli, dan lafaz ijab dan qabul, selain yang diwajibkan tersebut para ulama fikih mengemukakan beberapa pendapat mengenai syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli, yaitu syarat sah jual beli, syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli, dan syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli tersebut. D. Macam-Macam Jual Beli Adapun macam-macam jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain yaitu: 1. Jual beli yang sah Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual beli tersebut disyari’atkan memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak bergantung pula pada hak khiyar lagi, jual beli seperti ini dikatakan sebagai jual beli yang sahih.Misalnya, seseorang membeli sebuah kendaraan roda empat. Seluruh rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi, kendaraan roda empat itu telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, tidak ada 26 yang rusak, tidak ada manipulasi harga dan harga buku (kwitansi) itupun telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiyar dalam jual beli itu. Jual beli yang demikian ini hukumnya sahih dan telah mengikat kedua belah pihak.21 Ulama’ sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang balig, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasarruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini: a. Jual beli orang gila Ulama’ fikih sepakat jual beli orang gila tidak sah.Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk dan lain-lain.22 b. Jual beli anak kecil Ulama fikih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau kecil.Menurut ulama’ Syafi’iyah, jual beli anak mumayiz yang belum balig tidak sah. Adapun menurut ulama’ Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah jika ada izin walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberi keleluasaan untuk jual beli dan juga pengamalan, sesuai atas firman Allah swt dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 6: 21 22 Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah, hal. 121 Rachmat Syafe'i, Fiqih Mua'malah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal.93 27 Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. c. Jual beli orang buta Jual beli orang buta di kategorikan sah menurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.23 d. Jual beli terpaksa Menurut ulama’ Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauqữf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilangnya rasa terpaksa).Menurut ulama Malikiyah tidak lazim baginya ada khiyar.Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jual beli tersebut tidak sah, karena tidak ada kerida’an ketika akad.24 e. Jual beli fusul Jual beli fusul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya.Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah jual beli ini 23 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), h. 136 24 Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 12 ,( Bandung: al- Ma’arif, 1996), h. 71 28 ditangguhkan sampai ada izin pemilik.Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fusul tidak sah. f. Jual beli orang yang terhutang Jual beli orang yang terhutang merupakan jual beli yang terhalang.Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut, atau sakit.Jual beli orang bodoh yang suka mengharamkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan pendapat paling sahih dikalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah karena tidak ahli dan ucapannya tidak dapat dipegang.25Begitu pula di tangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah, dan Hanafiyah, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah. Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.Menurut ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak, seperti rumah, tanah, dan lain-lain. 25 Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, hal.94 29 g. Jual beli malja‟ Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.Jual beli tersebut fasid, menurut ulama hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah. 2. Jual beli yang batil Jual beli yang batil yaitu jual beli yang apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan anakanak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar. 3. Jual beli yang fasid Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli yang fasid dengan jual beli yang batil.Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan barang-barang haram (khamar, babi, darah).Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan fasid. Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan jual beli yang fasid dengan jual beli yang batil.Menurut mereka jual beli itu terbagi menjadi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli yang batil.Apabila syarat dan rukun jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah.Sebaliknya, 30 apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.26 4. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad, hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui dengan jelas klasifikasinya. Namun apabila barang tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan, akad jual beli akan menjadi tidak sah, maka pihak yang melakukan akad dibolehkan untuk memilih menerima atau menolak, sesuai dengan kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual. 5. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya Diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka kecuali pada saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang tersebut dan membahayakan.27 Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa macam-macam jual beli dibagi dalam lima kategori yang pertama yaitu jual beli yang sah, untuk jual beli yang sah dikategorikan menjadi beberapa pilahan diantaranya yaitu, 26 27 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, hal. 125-126 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006). hal. 131-132 31 jual beli orang gila, jual beli anak kecil, jual beli orang buta, jual beli terpaksa, jual beli fusul, jual beli orang yang terhutang, dan jual beli malja’. Yang kedua, yaitu jual beli yang bathil, ketiga jual beli yang fasid, keempat jual beli yang barangnya tidak ada ditempat akad, dan yang terakhir jual beli yang barangnya sulit dan bernahaya untuk melihatnya. E. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam 1. Bai‟ al-gharar Secara bahasa gharar bermakna ketidakpastian, ketidakpastian bagi dua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.Secara istilah gharar berarti suatu transaksi yang akibat atau risikonya terlipat bagi dua pihak yang bertransaksi.28 Bai‟ Al-Gharar adalah jual beli yang mengandung unsur risiko dan akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian financial. Gharar bermakna suatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitas dan kuantitas atau sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan.29 Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam. Menurut Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek 28 29 Al-Mu‟jam Al-Wasith, hal. 648 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, 32 akad terlaksana atau tidak seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak). ال تشتروا انسمك: قبل رسو ل اهلل صهي اهلل عهًَ و سهم: عه ابه مسعود رضٌ اهلل عىً قبل 30 )فٌ انمبء فإوً غرر (رواي أحمد Artinya:“Jangan membeli ikan yang masih dalam air, maka sesungguhnya itu tipuan.”(H.R Ahmad dari Ibnu Mas’ud). Pendapat Imam al-Qarafi diatas sejalan dengan pendapat Imam asSarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memanfang gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak, seperti penjual sapi yang sedang lepas.31 Sedangkan menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam: a. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. b. Tidak diketahui harga dan barangnya. c. Tidak diketahu sifat barang atau harga. d. Tidak diketahui ukuran barang dan harga. e. Tidak diketahui masa yang akan dating, seperti: “saya jual kepadamu, jika Jaed datang”. 30 31 Al Hafidh Ibn Hajar Asqolani, Buluqhul Maram min Adillatul ahkam, hal. 174 M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, hal.148 33 f. Menghargakan dua kali pada satu barang, seperti: kujual buku ini seharga Rp. 10.000 dengan tunai atau seharga Rp. 15.000 dengan cara utang. g. Menjual barang yang diharapkan selamat. h. Jual beli husda‟, misalnya pembeli memegang tongkat jatuh wajib membeli. i. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempar, seperti seorang melempar bajunya kemudian yang lainpun melempar bajunya, maka jadilah jual beli. j. Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.32 2. Jual Beli Barang yang tidak ada penjualnya (bai‟ al-ma‟dlum) Bentuk jual beli atas objek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan. Ulama mazhab sepakat atas ketidaksahan akad ini.Seperti menjual mutiara yang masih ada didasar lautan, wol yang masih dipunggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan lainnya. Mayoritas ulama sepakat tidak diperbolehkan akad ini, karena objek tidak bisa ditentukan secara sempurna.Kadar dan sifatnya tidak bisa teridentifikasi secara jelas serta objek tersebut tidak bisa diserahterimakan. 32 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 98 34 Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimyah memperbolehkan bai‟ al-ma‟dum dengan catatan objek transaksi dapat dipastikan adanya diwaktu mendatang karena adanya unsur kebiasaan.33 3. Jual beli suatu barang yang belum diterima. Dilarang menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diterimakan kepada pembelinya, kecuali jika barang itu diamanatkan oleh si pembeli kepada penjualnya, maka menjualnya itu sah, karena telah dimiliki dengan penuh. Sabda Rasul saw: مه اشترى طعبمب فال: ان رسول اهلل صهي اهلل عهًَ و سهم قبل: ًعَه ابٌ ٌرٍرة رضٌ اهلل عى 34 )ٍبعً حتي ٍكتبنً (رواي مسهم Artinya:“Abu Hurairah r.a mengatakan, sesungguhnya telah bersabda Rasulullah SAW: barang siapa yang membeli makanan janganlah ia menjualnya sehingga ia menerima takaran itu “. (HR. Muslim). 4. Jual beli barang najis Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi, bangkai dan darah tidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan harta secara asal. Tapi perniagaan atas anjing, macan, srigala, kucing diperbolehkan.Karena secara hakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan dan berburu sehingga digolongkan sebagai harta. Menjual barang najis dan manfaatnya diperbolehkan, asalkan tidak untuk dikonsumsi. Seperti kulit hewan, minyak dan lainnya.Intinya, setiap 33 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 34 Al Hafidh Ibn Hajar Asqolani, Buluqhul Maram min Adillatul ahkam, 169 hal. 83 35 barang yang memiliki nilai manfaat yang dibenarkan syara’, maka boleh ditransaksikan.35 5. Bai‟ al-„inah Bai‟ al-„inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli. Misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga Rp.125.000.000 kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya dari Najwa dengan harga Rp.100.000.000 secara kontan. Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar Rp.125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih Rp.25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan tambahan ribawi yang diharamkan. 6. Bai‟atan fi bai‟ah Imam Syafi’i menjelaskan 2 penafsiran, yaitu: a. Seorang penjual berkata, saya menjual barang ini Rp.2.000.000 secara tempo dan Rp.1.000.000 secara kontan, terserah mau pilih yang mana dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti dan jual beli mengikat salah satu pihak. b. Saya akan menjual rumahku, tapi kamu juga harus menjual mobil kamu kepadaku. 35 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,h.83-84 36 Alasan dilarangnya bentuk transaksi pertama adalah adanya unsur gharar karena ketidak jelasan harga, pembeli tidak tahu secara pasti harga dalam akad yang disepakati penjual. Bentuk transaksi kedua dilarang karena mengandung unsur eksploitasi kepada orang lain. Penjual memanfaatkan kebutuhan pembeli dan mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan kemungkinan akan mengurangi kerida’an pembeli. 7. Barang yang tidak bisa diserah terimakan. Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini walaupun objek tersebut merupakan milik penjual.Seperti menjual burung merpati yang keluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri dan lainnya.Ulama empat mazhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena objek transaksi tidak bisa di serahterimakan dan mengandung unsur gharar.36 Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya dalam Islam adapula jual beli yang dilarang, untuk jual beli yang termasuk didalamnya yaitu Ba’i al-Gharar dimana jual beli tersebut mengandung unsur risiko dan akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial, kemudian jual beli yang tidak ada penjualnya (ba‟i al-ma‟dlum) jual beli suatu barang yang belum diterima, jual beli barang najis, ba‟i al-inah yaitu pinjaman atau jual beli yang direkayasa, bai‟atan fi bai‟ah dan yang terakhir barang yang tidak bisa diserah terimakan. 36 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 93 37 BAB III BIOGRAFI EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER A. Riwayat Hidup Empat Imam Mazhab 1. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi.1Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qura‟an ataupun Hadis, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan. Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah „urf. Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalahmasalah baru, bahkan beliau banyak menetapakan hukum-hukum yang belum terjadi. Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri yakni: إَي أخرت ثكحبة اهلل إذا ٔجدجّ فإٌ نى أجدِ فيّ أخر ت ثسُة زسٕل اهلل صهٗ اهلل ػهيّ ٔسهى ٔاالثبز ّ فإٌ نى أجد في كحبة اهلل ٔالسُة زسٕل اهلل صهٗ اهلل ػهي.انصحبح ػُّ انحي فشث في أيدٖ انثقبت فإذا.ٔسهى أخر ت ثقٕل أصحبثّ يٍ شئث ٔأدع قٕل يٍ شئث ثى ال أخسج يٍ قٕنٓى إنٗ قٕل غيسْى 1 Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.98 38 اَحٓٗ االيس إنٗ إثسْيى ٔانشؼجي ٔانحسٍ ٔاثٍ سيسيٍ ٔسؼيد ثٍ انًسيت ٔػد زجبال قد اجحٓدٔا فهي 2 .أٌ أجحٓد كًب اجحٓدٔا Artinya:”Sesunggguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qura‟an) apabila menemukannyya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah saw dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas dikalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad. ّكالو أثي حُيفة أخر ثبنثقة ٔف ساز يٍ انقجح ٔانُظس في يؼبيالت انُبس ٔيباسحقبيٕا ػهيّ ٔصهّ ػهي فإذا نى.ّأيٕزْى يًضٗ األيس ػهٗ انقيبس فإذا قجح انقيبس يًضيٓب ػهٗ اسححسبٌ يب داو يًضٗ ن ٔ كبٌ يٕصم انحديث انًؼسٔف ثى يقيس ػهيّ يبداو.ّيًضٗ نّ زجغ إنٗ يب يحؼبيم انًسهًٌٕ ث 3 .ّانقيبس سبئغب ثى يسجغ إنٗ اإلسححسبٌ أيًٓب كبٌ أٔفق زجغ إني Artinya: “pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalahmuamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia, ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada „urf manusia. Dan ia mengamalkan hadis yang sudah terkenal dan kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadis itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika 2 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih wa auladuh, t.th),h.91-92 3 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah (al-Qahirah: Daar al-Fikr al-Arabiy, 1987), Juz II, h. 161 39 atau tertib aturannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah menempatkan Al-Qura‟an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, qiyas, istihsan, dan terakhir „urf. Tidak disebutkannya ijma‟ dalam rumusan ini bukan berarti Imam Abu Hanifah menolak ijma‟ tetapi menggunakan ijma‟ sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.4 Jika terjadi pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena ada pertimbangan maslahat. Dengan kata lain pengguna qiyas dapat digunakan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasuskasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.5 Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah: a. Al-Qur‟an sebagai sumber dari segala sumber hukum b. Al-Sunnah Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Qur‟an, merinci yang masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur‟an tidak dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila 4 5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.106 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 1999), h. 48 40 didalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-Sunnah tersebut harus diikuti. Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadis yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadis terpercaya.6 Perawi hadis harus beramal berdasarkan hadis yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari periwayatnya. Perawi hadis tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar dikalangan umum.7 c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat) Fatwa sahabat (Aqwalu al--Shahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbabun nuzul-nya serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah.8 d. Al-Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah e. Al-Istihsan Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan, 6 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100 8 Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 189. 7 41 berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.9 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode. f. „Urf Abu Hanifah berpegang kepada‟urf dalam menetapkan hukum.10 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan mauamalahmuamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. 2. Riwayat Hidup Imam Malik Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadis.11 Al-Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw atau dari sahabat dan tabi‟in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk beraliran al-Hadis. Adapun metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbath) adalah : 9 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 43 10 Muhammad Hasbi ash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 177 11 Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 105 42 a. Al-Qur‟an Imam Malik bersandarkan nash Al-Qur‟an sebagai pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash Al-Qur‟an atau keumumannya.12 b. Al-Sunnah Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadis seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadis. Imam Malik tidak menolak khobar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadis periwayatannya. Imam malik tidak mendahulukan qiyas dari khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadis mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.13 c. Amal Ahl al-Madinah Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah saw, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti azan ditempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma‟ semacam ini 12 13 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101 43 dijadikan hujjah oleh Imam Malik.14Akan tetapi terkadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah. d. Khabar Ahad dan al-Qiyas Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Kadangkadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.15 Jika khabar ahad tidak dikenal dikalangan masyarakat Madinah, maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyaas dan maslahah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang dating dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah. Kecuali khabar ahad itu dilakukan dengan dalil-dalil qat‟i. e. Al-Maslahah al-Mursalah Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung dalam nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara‟ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah 14 Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 106 15 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah,h. 215 44 itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur‟an, sunnah, dan ijma‟ ulama. Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah, sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang, kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam bentuk lain, misalnya istihsan.16 Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yakni sebagai berikut.17 1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. 3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma‟. f. Fatwa Sahabat Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik,18 para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah 16 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103 17 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 110 18 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 206 45 saw. Pada perkembangannya di kalangan muta‟akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah. g. Al-Istihsan Pendapat Imam malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini.19 h. Sadd al-Zara‟i Imam Malik menggunakan sad al-zara‟I sebagai landasan dalam menetapkan hukum.20 Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya juga hukumnya. i. Istishab Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan 19 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103 20 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219 46 yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.21 3. Riwayat Hidup Imam Syafi‟i Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i (150 H204 H) dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: ٍُ َإرا اجصم انحذيث مه رسُل اهلل َصح اإلسىاد ف.األصم قرأن َ سىة فإن نم يكه فقياس عهيٍما َاإلجماع أكبر مه انخبر انمفرد َ انحذيث عهى ظاٌر َ إرا اححمم انمعاوي فما أشبً مىٍا.انمىحٍى َ نيس انمىقطع بسيء ما عذا مىقطع ابه,ظاٌري أَالٌا بً َ إرا جكافأت االحاديث فأصحٍا إسىادا أَالٌا كيف ؟ َ إوما يقال نهفرع نم؟ فإرا صح قياسً عهى,انمسيب َال قياس أصم عهى أصم َال يقال ألصم نم 22 .االصم صح َ قامث بً حجة Artinya:”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur‟an dan AsSunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada AlQur‟an dan As-Sunnah. Apabila sanad hadis bersambung sampai kepada Rasulullah saw, dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma‟ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadis menurut zahirnya. Apabila suatu hadis mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadis itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadis munqathi‟ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”. Dari perkataan imam Syafi‟i tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah: 21 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits,t.th), h. 102 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih wa Awladuh, t.th), h. 105 22 47 a. Al-Qur‟an dan Al-Sunnah Imam Syafi‟i berpendapat bahwa Al-Qur‟an dan Al-Sunnah mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.23 Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan Al-Qur‟an oleh karenanya Al-Sunnah sejajar dengan Al-Qur‟an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadis ahad dengan Al-Qur‟an dan hadis mutawatir karena tidak sama nilainya. Al-Qur‟an dan Al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan AlQur‟an dan Al-Sunnah, maka perlu digaris bawahi:24 1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan Al-Qur‟an adalah Al-Sunnah alMutawatirah(Sabitah), sama-sama qath‟I al-wurud. Sedangkan hadis ahad tidak seperingkat dengan Al-Qur‟an karena zanni al-wurud. Akan tetapi, hadis ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat-ayat Al-qur‟an yang zanni al-dalalah. 2. Al-Qur‟an dan Al-sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum furu‟ bukan dalam menetapkan akidah. 3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai menurunkan Al-Qur‟an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama 23 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi‟i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 57 24 48 Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai menaikkan posisi Al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelasan Al-qur‟an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath hukum furu‟. Imam Syafi‟i mengambil Al-Qur‟an dengan makna (arti) yang lahir kecuali didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak hanya mewajibkan mengambil hadis yang mutawatir saja, tetapi beliau juga mengambil dan menggunakan hadis ahad sebagai dalil selam perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi saw.25 b. Ijma‟ Imam syafi‟i menyatakan bahwa ijma‟ menjadi hujjah setelah AlQur‟an dan Al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.26 Pengertian ijma‟ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma‟ mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma‟kan, seperti yang dikemukakannya bahwa (“saya dan tidak seorangpun dari kalangan ulama pernah mengatakan: “ini adalah persoalan yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak seorang ahli pun pernah 25 26 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253 49 mempersoalkannya lagi kepada anda dan meriwayatkannya dari orangorang yang mendahuluinya, seperti shalat zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan sebagainya”).27 Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka berijma‟ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma‟ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma‟ yang berasal dari ulam seluruh penjuru Islam bukan ijma‟ ulama ahl Madinah. Artinya, ijma‟ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi‟i menolak ijma‟ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa ijma‟ adalah ijma‟ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma‟ suatu negeri saja dan juga bukan ijma‟ kaum tertentu saja.28 c. Qiyas Imam Syafi‟i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum setelah Al-Qur‟an, Al-Sunnah, dan ijma‟. Beliau adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau 27 28 Muhammad Idris al-Syafi‟I, Al-Risalah, (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 534 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, (al-Qahirrah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987), h. 259 50 diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.29 Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini Imam Syafi‟i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas.30 Beliau menggunakan qiyas berdasarkan firman Allah dalam Q.S. AlNisa ayat 59: Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” 29 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi‟i, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 96 30 Muhammad Idris al-Syafi‟i, Al-Risalah, (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 477 51 Imam Syafi‟I berpendapat bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari keduanya yakni Al-Qur‟an atau Al-Sunnah.31 Selain berdasarkan kepada Al-Qur‟an, imam Syafi‟i juga berdasarkan kepada Al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mu‟adz Ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur disana. Mu‟adz Ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan Al-Qur‟an, jika beliau tidak menemukan dalam Al-Qur‟an maka diputuskan berdasarkan Al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam Al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya. 4. Riwayat Hidup Imam Hambali Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H) merupaka ahli hadis sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. Akan tetapi terjadi perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fikih. Ibn Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk ahlu al-Hadis. Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-pendapat imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fikih. Ibnu Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilangan muhadditsin, bukan fuqaha.32 31 32 Muhammad Idris al-Syafi‟I, Al-Risalah, Juz I, h. 81 Abu Zahrah, Tarikh al-Islamiyyah, h. 323 52 Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah: a. Nash dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yang shahih Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari Al-Qur‟an dari Al-Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut b. Fatwa para Sahabat Nabi saw Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari fatwa para sahabat Nabi saw yang tidak ada perselisihan diantara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash yang jelas dari Al-Qur‟an dan Rasul yang shahih. c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa sahabat yang lebih mendekati Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika beliau tidak menemukan nash yang jelas dari Al-Qur‟an, Al-Sunnah dan fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka. d. Hadis Mursal dan Hadis Dha‟if Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadis menjadi dua yakni hadis mursal dan hadis dha‟if tidak seperti ulama yang membagi hadis menjadi shahih, hasan dan dha‟if. Apabila dalam suatu perkara tidak terdapat penyelesaian, maka hadis mursal dan dha‟if digunakan 53 sebagai hujjah. Akan tetapi hadis dha‟if yang digunakan bukan berarti hadis dha‟if yang batil, mungkar dan hadis yang dalam periwayatnya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila hadis dha‟if tersebut tidak terdapat atsar yang membantah keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma‟, maka lebih mengamalkan hadis dha‟if lebih utama daripada melakukan qiyas.33 e. Qiyas Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qur‟an san Sunnah yang shahih seta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadis dha‟if dan mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan al-Mashaliha al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta‟zir terhadap orang yang selalu buat berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikutpengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishab dan dadd al-Zara‟I, sekalipun Imam Ahmad sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.34 33 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108 34 Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 143 54 Kesimpulan dari uraian di atas Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl alRa‟yi. Beliau mengistinbathkan hukum Islam dari Al-Qur‟an ataupun Hadis banyak menggunakan nalar, beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan dengan jalan qiyas dan ihtisan. Menurut imam Abu Hanafiah dalam menetapkan sumber hukum yaitu Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Aqwalu al- Shahabah, al-Qiyas, al-Ihtisan, „Urf. Jika menurut Imam Malik metode yang digunakan dalam menentapkan (Istinbath) didasarkan pada Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Amal Ahl al-Madinah, Khabar Ahad dan al-Qiyas, Al-Maslahah al-Mursalah, Fatwa Sahabat, Al-Istihsan, Saad al-Zara‟I, Istishab. Jika menurut Imam Syafi‟i metode yang digunakan dalam menetapakan hukum (istinbath) yaitu berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, Ijma‟ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah lebih diutamakan atas khabar mufrad, qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahinya, pendapat sahabat Nabi yang ikhtilaf, qiyas terhadap Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, hadis muttasil dan sanadnya shahih, makna dzahir hadits diutamakan, al-Ashl tidak boleh diqiyaskan kepada pokok, qiyas dapat menjadi hujjah, dan terakhir Imam bin Hanbal ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa dalam mazhab beliau, yaitu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, fatwa sahabat yang terkenal dan tak ada yang menentangnya, jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih pendapat yang dinilainya sesuai dan mendekati Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, mengambil hadis mursal dan yang terakhir qiyas. 55 B. Ulama Kontemporer 1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) a. Sejarah Lahirnya Sejalan dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syari‟ah di tanah air, berkembang pulalah jumlah Dewan Pengawas Syari‟ah yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya Dewan Pengawas Syari‟ah di masing-masing Lembaga Keuangan Syari‟ah adalah suatu hal yang harus disyukuri. Tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan ini berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbedabeda dari masing-masing Dewan Pengawas Syari‟ah dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syari'ah yang bersifat nasional dan memahami seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syari'ah. Lembaga ini kemudian dikenal dengan Dewan Syari‟ah Nasional. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah salah satu lembaga yang dibentuk merupakan perangkat kerja MUI. Kehadirannya merupakan implementasi dari orientasi, fungsi, dan tugas MUI, antara lain memberikan fatwa, pengayoman, dan bimbingan kepada umat dalam melaksanakan ajaran Islam, serta merupakan langkah proaktif MUI dalam merespon kebutuhan umat Islam untuk dapat memiliki sistem perekonomian Islami dan lembaga keuangan non ribawi. 56 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi lokakarya reksadana syariah pada bulan Juli tahun 1997. Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI), dipimpin oleh ketua umum Majelis Ulama Indonesia dan sekretaris (ex-oficio).35 Selanjutnya, pada tanggal 14 Oktober 1997, MUI mengadakan rapat tim pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN). Dua tahun setelah tim pembentukan DSN bekerja, dewan pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI mengadakan acara ta‟aruf dengan pengurus DSN-MUI tanggal 15 Februari 1999 di hotel Indonesia, jakarta dalam acara ta‟aruf ini Menteri Agama, saat itu, Prof. H. A. Malik Fadjar, M. Ed., melantik pengurus DSN-MUI. Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI ini pun merupakan langkah efisien dan koordinatif para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keungan. Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah. Penguru DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan rapat pleno I DSN-MUI 35 Mohammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) , hlm. 32 57 tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga DSN-MUI. b. Tugas DSN-MUI Tugas dan fungsi DSN-MUI adalah mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator. Saat ini, DSN MUI telah mengeluarkan fatwa sebanyak 81 fatwa. Fatwa-fatwa tersebut mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. Selain itu, fatwa-fatwa tersebut menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan syariah, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). c. Wewenang DSN-MUI 1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. 3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi namanama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan dan bisnis syariah. 58 4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. 5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. 6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.36 2. Yusuf Al-Qardhawi a. Riwayat Hidup Nama lengkap Yusuf al-Qardhawi adalah Muhammad Yūsuf alQaradhāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya meninggal dunia yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya pun taat menjalankan ajaran Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap anak kandungnya sendiri. Sehingga Yūsuf al-Qardhāwī menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri, maka tidak heran kalau Yūsuf al-Qardhāwī menjadi seorang yang kuat beragama. 36 Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, (Jakarta: Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 2001) , hlm. 178-180 59 Kecerdasan Yūsuf al-Qardhāwī sudah mulai tampak sejak usianya terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia di didik menghafalkan AlQur‟an secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh sudah hafal al-Qur‟an dengan fasih. Karena kemahirannya dalam bidang alQur‟an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil oleh orang-orang dengan sebutan Syekh Qardhāwī. Dan dengan kemahirannya serta suaranya yang merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah (salat yang mengeraskan bacaannya).37 Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qardhāwī telah lulus dari Ma‟had Tanta, selama empat tahun. Kemudian di Ma‟had Sanawi yang diselesaikan dalam waktu lima tahun. Yūsuf al-Qardhāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan predikat terbaik. Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qardhāwī masuk ke Ma‟had al-Buhus adDirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi di bidang bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian melanjutkan studinya ke lembaga tinggi riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat yang sama ia mengikuti kuliah pada program pasca sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā) di Universitas yang sama dengan mengambil jurusan 37 Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qardhāwy, Yūsuf ”. 60 Tafsir Hadis, berhasil diselesaikan pada tahun 1960. Setelah itu Yūsuf alQardhāwī melanjutkan program doktor yang selesai dalam dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Yūsuf al-Qardhāwī terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar, di sana Yūsuf al-Qardhāwī sempat mendirikan fakultas Syari‟ah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qardhāwī mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qardhāwī ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin.38 Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha, Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qardhāwī pernah mengenyam pendidikan penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Pada April tahun 1956, ia 38 David Commins, “Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133 61 ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober Yūsuf alQardhāwī kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.39 b. Metode ijtihad Yusuf Al-Qardhawi Yūsuf al-Qardhāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.40 Oleh karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepas begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qardhāwī tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan pada pribadi Yūsuf al-Qardhāwī. Sikap moderat tersebut tidak dapat diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf al-Qardhāwī selalu mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam pertengahan). Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari pemahaman Yūsuf al-Qardhāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan. Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi terhadap alQur‟an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qardhāwī telah berhasil dengan sangat jenius menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut. Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran Islam sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada saat yang sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat39 Yūsuf al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998, hlm. 58. 40 62 pendapatnya yang digalinya dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Yūsuf alQardhāwī dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihankelebihannya oleh umat-umat lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhatihati dan sangat selektif terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau Timur, termasuk dari karangan umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qardhāwī tidak pernah terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur.41 Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qardhāwī merupakan seorang ulama kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid yang berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak membaca dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam serta membaca kritik-kritik pihak lawan Islam.42 Yūsuf al-Qardhāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tak jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya. Keresahan menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qardhāwī berkeyakinan bahwa mengambil jalan pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai dengan warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui tulisan. 41 Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili, No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80 . 42 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449 63 Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qardhāwī berkomentar bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak memahami parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern ekstrem yang menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus dihapuskan meskipun telah mengakar dengan budaya masyarakat, sama dengan golongan di atas yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang sebenarnya. Yang diinginkannya adalah pembaharuan yang tetap berada di bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam, menurutnya bukan berarti ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada bidang pemikiran dan bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi bidang pemikiran sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.43 Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qardhāwī dalam berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut:44 1) Tidak fanatik dan tidak taqlid. 2) Mempermudah, tidak mempersulit. 3) Berbicara dengan bahasa aktual. 4) Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat. 5) Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat. 43 Yūsuf al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), h. 327. 44 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu‟asirah), alih bahasa As‟ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h: 21 64 6) Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan. 3. Wahbah al-Zuhaili a. Riwayat Hidup Wahbah al-Zuhaili lahir di Desa Dir Athiah, Damaskus, Syiria, pada tahun 1932 M, terlahir dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa Sadah. Wahbah Zuhaili mulai belajar al-Quran dan Ibtidaiyah di kampungnya. Menamatkan pendidikan ibtidaiyah di Damaskus pada tahun 1946 M. Wahbah Zuhaili lalu melanjutkan pendidikannya di kuliah syariah dan tamat pada tahun 1952 M. Dia sangat suka belajar, sehingga ketika pindah ke Kairo Mesir, dia mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan. Yaitu di fakultas Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar dan fakultas Hukum Universitas Ain Syams.45 Wahbah Zuhaili memperoleh ijazah takhasus pengajaran Bahasa Arab di al-Azhar pada tahun 1956, kemudian memperoleh ijazah Licence (Lc) bidang hukum di Universitas Ain Syams pada tahun 1957. Magister Syariah dari fakultas Hukum Universitas Kairo didapatnya pada tahun 1959. Sedangkan gelar Doktor diperoleh pada tahun 1963. Setelah memperoleh ijazah Doktor, Wahbah Zuhaili menjadi staf pengajar pada fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963, kemudian 45 Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran: Wizanah al Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993), cet. I., h. 684-685 65 menjadi asisten dosen pada tahun 1969, dan menjadi profesor pada tahun 1975. Sebagai guru besar, Wahbah Zuhaili juga menjadi dosen tamu di sejumlah Universitas di Negara-negara Arab, seperti pada fakultas Syariah dan Hukum, serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi Libya, Univeresitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan.46 Wahbah Zuhaili sangat produktif dalam menulis, mulai dari artikel dan makalah, sampai kitab besar yang terdiri dari 16 jilid. Badi al-Lahlam menyebutkan sebanyak 199 karya tulis Wahbah Zuhaili selain jurnal. Diantara karya-karya terpenting Wahbah Zuhaili adalah al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, at-Tafsir al-Munir, al-Fiqh al-Islam fi Uslubih al-Jadid, Nazariyat adh-Dharurah asy-Syariyah, Ushul al-Fiqh al-Islami, as-Zharaiah fi as-Siyasah asy-Syariah, al- Alaqat ad-Dualiyah fi al-Islam, Kitab karyanya yang membuat Wahbah Zuhaili menjadi terkenal dan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran fikih kontemporer adalah al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Kitab ini berisi fikih perbandingan, terutama madzhab-madzhab fikih yang masih hidup dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia.47 46 Muhammad Khoirudin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer, (Bandung: Pustaka Ilmu, 2003.) 47 wahbah Zuhaili, Fiqh IslamWa Adillatuha, Penerjemah Abdul Hayyi al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) 66 b. Ijtihad Wahbah Zuhaili Ijtihad kontemporer menjadi suatu kebutuhan primer terutama pada era globalisasi dengan dinamika problematika keumatan dan perkembangan teknologi yang cukup pesat. Hampir semua ulama kontemporer menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Bagi Wahbah Zuhali, tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen pengambilan hukum. Menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya al-Ijtihâd al-Mu‟âshir bain al-Indhibath wa al-Infirâth, ijtihad kontemporer bukan hanya jaiz (boleh) akan tetapi lebih kepada fardhu kifayah bagi setiap muslim. Beliau mengkritisi model ijtihad Intiqâi (elektis) yaitu pilihan terhadap pendapat ulama fiqh terdahulu yang lebih kuat atau utama dari pendapat-pendapat para ulama lainnya tentang fatwa atau hukum sesuatu. Beliau mengatakan hal semacam ini bukanlah proses ijtihad yang diinginkan, akan tetapi ini sebuah taklid buta karena hanya mengambil perkataan seorang yang tidak ma‟shum (suci) tanpa suatu alasan. Beliau lantas menganjurkan untuk menggunakan model ijtihad Insyâî (konstruktif) yaitu penemuan hukum baru terhadap suatu masalah, yang belum pernah difatwakan. Termasuk dalam kategori Ijtihad Insyâî mengkaji kembali permasalahan-permasalahan lama, hingga menemukan pendapat baru. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap 67 mujtahid dalam berijtihad di era kontemporer. Di antara rambu-rambu itu, seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Bu‟ud dalam bukunya , Ijtihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, adalah sebagai berikut: Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Yaitu penguasaan yang mendalam terhadap al-Quran dan Sunah, dan menghindari sedapat mungkin terjadi kesalahan dalam pemahaman. Oleh karena itu beberapa kaidah dalam memahami teks harus dimiliki oleh seorang mujtahid, diantaranya; a) memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab, b) mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), c) mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syari‟ah). Kedua, fikih realitas (al-waqa‟iy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi‟, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi‟ adalah: a) Memahami dan mengetahui pengaruhpengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. b) Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. c) Mempelajari 68 kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat, keduanya tidak bisa dipisahkan. Ketiga, ijtihad kolektif (jama‟iy). ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ‟îy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Dengan ijtihad kolektif, aktifitas musyawarah (syûrâ) dapat terwujud. Problem solving (Solusi masalah) akhirnya dapat ditemukan. Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada para ulama agar tidak tergelincir dalam melakukan ijtihad kontemporer. Diantara penyebabnya adalah: 1. Melupakan atau melalaikan nushush (Al-Quran dan Hadits serta hukum-hukum yang telah disepakati) 2. Pemahaman yang dangkal dan penyimpangan terhadap nushush. 3. Berpaling dari ijma‟ yang pasti. 4. Qiyas (analogi) tidak pada tempatnya. 5. Terhanyut kedalam apa yang 69 terjadi di masa kini. 6. Berlebih-lebihan dalam mengasumsi maslahat walaupun diikuti dengan adanya nushush.48 4. Syaikh Ali Jumu‟ah a. Riwayat Hidup Nama lengkap beliau adalah Ali Jum'ah Muhammad Abdul Wahhab (lahir 3 Maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir). Sejak 28 September 2003 beliau menjabat sebagai Mufti Republik Arab Mesir. b. Latar Belakang Syaikh Ali Jum'ah mulai menghafal Al-Qur'an pada usia sepuluh tahun. Meskipun beliau tidak masuk sekolah agama, beliau telah mempelajari kutubu sittah serta fiqih Maliki usai lulus dari bangku SMA. Kemudian beliau masuk fakultas teknik atau fakultas perdagangan. Beliau memilih Fakultas perdagangan karena bidang ini yang akan memungkinkan dia untuk mengisi waktu luang ketika melanjutkan studi agama. Setelah lulus dari perguruan tinggi, Sheikh Ali Jum'ah terdaftar di Universitas al-Azhar. Setelah menyelesaikan gelar sarjana kuliah Dirasat Islamiyyah wal Arabiyyah Universitas al-Azhar pada tahun 1979, Sheikh Ali Jum'ah terdaftar dalam program magister dalam Ushulul Fiqih kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas al-Azhar. Beliau memperoleh gelar 48 http://www.as-salafiyyah.com/ tanggal 24 januari 2014 wahbah-zuhaili-dan-ijtihad-kontemporer.html. Diakses 70 magister pada tahun 1985 dengan nilai mumtaz. Diikuti dengan gelar doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas alAzhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula. Selain studi resminya, Sheikh Ali Jum'ah juga belajar kepada banyak syekh dan ahli ilmu-ilmu syariah. Diantaranya ulama hadits Maroko dan Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Sehingga mereka menganggap Syekh Ali Jum'ah adalah salah satu mahasiswa yang paling berhasil. Selain itu Syeikh Ali Jum'ah juga belajar pada: Sheikh Abd al-Fattah Abu Ghuda, Sheikh Muhammad Abu Nur Zuhayr, Sheikh Jad al-Rabb Ramadan Goma', Sheikh al-Husayni Yusif al-Shaykh, Sheikh Muhammad Yasin al-Fadani, Sheikh Abd al-Jalil al-Qarnishawi al-Maliki, Sheikh alAzhar Sheikh Jad al-Haqq Ali Jadd al-Haq, Sheikh Abd al-'Aziz al-Zayat, Sheikh Ahmed Muhammad Mursi al-Naqshibandi, Sheikh Muhammad Zaki Ibrahim, and Sheikh Muhammad Hafidh al-Tijani. Sebelum diangkat menjadi Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau menjadi rujukan dalamManahij Fiqhiyyah di Universitas al-Azhar. Di pertengahan 1990 Sheikh Ali Jum'ah mencetuskan kembali tradisi lama yaitu memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, yang mana pelajaran ini terbuka untuk umum sehingga orang-orang yang ingin lebih mendalami tentang agama, bisa mengikuti pelajaran ini. Kuliah umum ini terletak di ruangan dekat masjid al-Azhar. 71 Pada tahun 2003 Sheikh Ali ditunjuk sebagai Grand Mufti Mesir. Sejak menjabat sebagai Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau membuat Dar al-Ifta menjadi sebuah institusi modern dengan dewan fatwa dan sistem checks and balances . Sheikh Ali Jum'ah juga menambahkan aspek teknologi untuk institusi tersebut dengan mengembangkan sebuah website canggih dancall center dimana orang semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke institusi tersebut. Sheikh Ali adalah seorang penulis yang produktif tentang isu-isu Islam dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir di mana ia membahas masalah-masalah kontemporer. c. Pendidikan 1. Beliau mendapat gelar Bachelor of Commerce dari Universitas 'Ain Syams tahun 1973 M. 2. Beliau juga mendapat gelar sarjana kuliah Dirasat Islamiyyah wal Arabiyyah Universitas al-Azhar tahun 1979 M. 3. Magister dalam Ushulul Fiqih kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas al-Azhar tahun 1985 M dengan nilai mumtaz. 4. Mendapat gelar doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas al-Azhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula. d. Karya-karya 1. al-Hukm al-Shar‟i 'inda al-Ushuliyyin 2. Atsr Dhihab al-Mahal fi al-Hukm 72 3. al-Madkhal li-Darasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah 4. 'Alaqah Ushul al-Fiqh bi al Falasifah 5. al-Nashkh 'inda al-Ushuliyyin 6. al-Ijma' inda al-Ushuliyyin 7. 'Aliyat al-Ijtihad 8. al-Imam al-Bukhari 9. al-Imam al-Syafi‟i wa Madrasatuhu al-Fiqhiyyah 10. al-Awamir wa al-Nawahi49 49 http://www.muslimedianews.com/ biografi-ulama-sunni-syaikh-ali-jumah.html. Diakses pada tanggal 24 januari 2014 73 BAB IV HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI MENURUT ULAMA EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER A. Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut Imam Mazhab Empat dan Ulama Kontemporer Jual beli secara tidak tunai atau kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai atau kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak tunai.1Emas merupakan komoditas unik. Emas mungkin satu-satunya komoditas yang ditimbun, sementara komoditas lain diolah kembali untuk dikonsumsi. Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma‟), dalam jual beli, emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi2 dikarenakan illat-nya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang modern.3 Oleh sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang berbeda. 1 Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis dan Perbankan. hlm. 124 Benda-benda yang telah ditetapkan ijma‟ atas keharamannya karena riba ada enam macam yaitu: emas, perak, gandum, syair, dan kurma, dan garam. Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, Jakarta: Hasyimi Press, 2010, hlm.226 3 Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis dan Perbankan. hlm. 86 2 74 Jika seseorang menjual barang yang mungkin mendatangkan riba (barang ribawi), bukan berdasarkan jenisnya, maka di sini ada dua persoalan. Pertama, jika barang itu dijual dengan barang yang tidak sepakat dalam illat riba, misalnya menjual barang makanan dengan salah satu mata uang, maka tidaklah ada riba padanya. Kedua, jika seseorang menjual dengan barang yang sepakat dalam sifat (illat) riba, tetapi tidak sejenis, seperti menjual dirham dengan dinar (menjual uang perak dengan emas), atau menjual makanan dengan makanan lain yang tidak sejenis, maka menjualnya boleh berlebih atau berkurang. Hanya disyariatkan padanya “kontan sama kontan, dan timbang terima di majelis akad”.4 Jual beli barang yang sejenis yang didalamnya terkena hukum riba, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, kurma dengan kurma, agar tidak terkena riba ada 3 syarat:5 1) Sepadan, sama timbangannya, dan takarannya, dan sama nilainya. 2) Spontan, artinya seketika itu juga. 3) Saling bisa diserah terimakan. Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat pada dua perkara, yakni pada jual beli dan pada penjualan atau pinjaman, atau hal lain yang berada dalam tanggungan. 4 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi‟i, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974, hlm.50 Mohammad Rifa,i, et al. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra Semarang, 1991, hlm. 190 5 75 Riba pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utang piutang, sedangkan riba jual beli juga terbagi dua yaitu riba fadl dan nasiah. Pada transaksi jual beli emas ini masuk kepada riba jual beli yaitu jika: a) Riba fadl, yaitu riba dengan pelebihan pembayarannya, 6 atau tambahan dalam salah satu baarang yang dipertukarkan. Illatnya menurut ibnu Taymiyyah yang dikutip oleh Saleh Al-Fauzan adalah takaran, atau timbangan.7 Makna “pelebihan pembayarannya” adalah tidak sama ukurannya, contohnya: - Menukar satu bakul kurma jenis ajwah dengan 2 bakul kurma jenis sukari dengan cara tunai. - Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas using dengan cara tunai - Menukar Rp.10.000,- kertas dengan Rp.9800,- logam dengan cara tunai. b) Riba nasi‟ah yaitu menukar harta riba dengan harta riba yang „illatnya (alasannya) sama dengan cara tidak tunai,8 1. Makna”„illatnya sama “barang yang berupa objek tukar menukar sama illatnya, seperti keduanya adalah alat tukar, atau keduanya makanan pokok yang tahan lama, baik jenisnya sama ataupun tidak. 6 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali, Achmad Zaidun, “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani, Cet III, 2007, hlm.705 7 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, et al, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 392 8 Syuhada Abu Syakir, Op, Cit, hlm.85 76 2. Maksud “tidak tunai” transaksi serah terima kedua barang dilakukan pada saat yang tidak sama, contohnya: a. Menukar 1 ember kurma dengan 1 ember gandum dengan tidak tunai. b. Menukar 100 gram emas dengan 100 gram emas secara tidak tunai. c. Menukar SR. 100,- dengan Rp. 2.000.000,- dengan cara tidak tunai. Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Ulama yang Tidak Membolehkan Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i dan Ahmad Hanbali) . Dinyatakan dalam hadis „Ubadah bin Shamit ra, ia berkata: سمعت زسىل اهلل ينهً عه بيع الرهب ببلرهب والفضة ببلفضة والبس ببلبس والشعيس ببلشعيس والتمس ببلتمس والملح ببلملح مثال بمثل سىاء بسىاء يدا بيد فإذا اختلفت هره األصنبف فبيعىا كيف شئتم إذا كبن 9 .يدا بيد Artinya:“Aku mendengar Rasulullah Saw melarangemas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam dan harus serupa dan sama utkurannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat tunai”.(HR. Muslim) Benda-benda yang diharamkan riba yang dinashkan dengan ijma‟ ada enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya‟ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat 9 Hadis, ”Shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalam Mausū‟at al-Hadīts al- Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997 77 emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Malik dan Syafi‟i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan benda-benda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang. 10 Menurut Imam Syafi‟I illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak saja. Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah, dan pendapat ini disetujui Imam Malik. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena bendabenda itu benda-benda yang disukat, dan sama hukumnya.11 Dalil mereka adalah banyaknya isyarat tentang itu dalam Al-Quran, diantaranya : QS. Asy Syu‟ara (42) ayat 181-183; )۱۸۱-۱۸۱ :۲۴/ (الشىزي Artinya:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orangorang yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; 10 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm.340-343 11 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5, Jilid V , Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003 , hlm.262 78 QS. Al-Muthaffifin (83) ayat 1-3 )۱-۱ :۸۱/ (المطففيه Artinya:“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi (2) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3)” Kemudian hadis Nabi Saw tentang keberadaan sebab (illat) yang juga dijadikan dalil oleh imam Ahmad bin Hanbal yaitu berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ِعيْه َ الَ َتبِيعُُا انذيىَبسَبِب نذيىَب َسيْهِ ََال انذسٌَْم بِبنذسٌْ َميْهِ ََنَب انصَبعَ بِبنصب Artinya:“jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar,jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha‟ dengan dua sha‟.”(HR. Ahmad)12 Sehingga dalam hadis diatas emas diangap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab. Menurut jumhur ulama, bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat, sedangkan kurma, gandum, sya‟ir, dan garam juga memiliki illat tersendiri. b. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu‟ah, mufti Mesir. 12 Hadis, ”Musnad Ahmad bin Hanbal”, hadis no. 5619 dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. 79 Dalil yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi Saw : ٍالَ َت ِبيْعُُا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إالّ ِمثْال بِ ِم ْثمٍ ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز Artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha‟ib(tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai.”(HR. al-Bukhari).13 Menurut Syekh Ali Jumu‟ah yang dikutip dalam fatwa, emas dalam hadis ini mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul : عذَ مًب َ ََ ج ُْدًا ُ َُ ًِِانحُكْمُ َي ُذَْسُ مَعَ عِهت Artinya: “Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya‟illat.”14 Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan „illat-nya, baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara‟ untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.15 Selanjutnya dalam fatwa DSN-MUI mengutip pendapat Ibnu Taymiyah yaitu,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran 13 Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. 14 „Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu‟ah al-Qawa‟id al-Dhawabith al- Fiqhiyah al-Hakimah lial-Mu‟amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar „Alam al-Ma‟rifah, 1999), h. 395 15 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 275 80 tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).”16 Selanjutnya kutipan dari Ibnul Qayyim lebih lanjut menjelaskan, “Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama.”17 Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai atau kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Sebagian besar ulama telah sepakat dalam jual beli emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi 16 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 279 17 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 280 81 dikarenakan illatnya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang modern. Oleh sebab itu enas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang sebagai mata uang yang sejenis yaitu emas. Jual beli barang yang sejenis yang didalamnya terkena hukum riba, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, kurma dengan kurma, agar tidak terkena riba ada 3 syarat diantaranya harus sepadan yaitu sama timbangannya, spontan artinya seketika itu juga, dan saling bisa diserah terimakan. Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat dua perkara, yakni jual beli dan pada penjualan atau pinjaman, atau hal lain yang berada dalam tanggungan. Riba pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utang piutang, sedangkan riba jual beli terbagi dua yaitu riba fadl dan riba nasiah. Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan. Ulama yang tidak membolehkan jual beli emas secara tidak tunai diantaranya ulama imam empat mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan Ahmad Hanbali). Menurut Imam Malik dan syafi‟i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan bendabenda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang, menurut Imam Syafi‟i illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak saja. Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah, dan pendapat ini disetujui Imam Malik. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara 82 tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, dan sama jenisnya. Kemudian hadis Nabi saw tentang keberadaan sebab (illat) yang juga dijadikan dalil oleh imam Ahmad bin Hanbal yaitu berdasarkan riwayat Ibnu Umar , bahwasannya Rasulullah saw bersabda “Janganlah kalian menjual satu dinar emas dengan dua dinar, dan jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha‟ dengan dua sha‟(HR. Ahmad), sehingga dalam hadis ini emas dianggap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyyah, dan Syekh Ali Jumu‟ah. Menurut Syekh Ali Jumu‟ah yang dikutip dalam fatwa, emas mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi dimasyarakat terdahulu, ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Selanjutnya pendapat Ibnu Taimiyyah yaitu boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya, dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli dengan cara tunai ataupun tidak tunai, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga. Selanjutnya kutipan dari ibnul Qayyim “perhiasan (emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diiperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis 83 harga (uang). Tidak wajib zakat atas perhiasan (emas dan perak) dan tidak berlaku pula riba (dalam pertuakaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga. B. Analisis Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan dalam ilmu fiqh yang dikenal dengan istilah istinbath hukum. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat Islam harus berpijak kepada al-Quran, as-Sunnah dan ijtihad. Pada fatwa DSN-MUI dalil yang menjadi acuan utama dalam menetapkan fatwa adalah hadis Nabi saw tentang jual beli emas. Dalam memahami hadis yang baik dalam pendekatannya menurut Yusuf Qardawi salah satunya dengan memperhatikan sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya satu hadis, atau kaitannya dengan sebab atau alasan (illat) tertentu. Yang dikemukakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Selain itu untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang.18 Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk kajian apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan 18 Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1993), hlm.132 84 terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya. Dalam fatwa DSN-MUI ada dalil-dalil dari hadis Nabi saw hadis yang digunakan untuk menjadi landasan dalam fatwa. Dari hadis Nabi tersebut,: 1. Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i, dan Ibnu Majah, dengan teks Muslim dari „Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda:19 ًانزٌَبُ بِبنزٌَبِ ََانْفضةُ بِبنْفِ ضةِ ََا ْنبُش بِب ْنبُش ََانش ِعيْشُ بِبنش ِعيْشِ ََانتمْشُ بِبنتمْشِ ََانْمِهْحُ بِبنْمِهْحِ ِم ْثال .ٍش ْئتُمْ ِإرَا كَبنَ َيذًا ِبيَذ ِ َف َف ِبيْ ُعُْا َكيْف ُ صىَب ْ ختَهَفَتْ ٌَ ِزيِ اْ َأل ْ فَإِرَا ا, ٍ َيذًا ِبيَذ, ٍسَُاءً بِسَُاَء َ , ٍبِ ِم ْثم “(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya‟ir dengan sya‟ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. 2. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda:20 ....َانزٌََبُ بِبنَُْسِقِ ِسبًب إِنَب ٌَبءَ ٌَََبء “(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan secara tunai”. 3. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa‟id al-Khurdi, Nabi saw bersabda:21 ًََالَ َت ِبيْ ُعُْا ا ْنَُسِقَ بِب ْنَُسِقِ إِال ِم ْثال, ٍضٍَبعَهَى ب َعض َ َال َت ِبيْ ُعُْا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إِال ِم ْثالً بِم ْثمٍ ََالَ تُشِفُْا ب َع ٍََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز, ٍضٍَب عَهَى ب َعض َ بِ ِم ْثمٍ ََالَ تُشِفُْا ب َع “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain, janganlah 19 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, 20 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, 21 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 269 hlm. 270 hlm. 270 85 menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai”. 4. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara‟ bin „Azib dan Zaid bin Arqam:22 س ُْلُ اهللِ صَهى اهللُ عََهيًِْ ََسَهمَ عَهْ بيَعِ ا ْنَُ ِسقِ بِبنزٌَبِ َد ْيىًب ُ َوٍَى س “Rasulullah Saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).” Dalam metode memahami hadis oleh Yusuf Qardawi bahwa Berubahnya adat kebiasaan yang menjadi nash seperti berubahnya illat emas yang sebelumnya tsaman menjadi sil‟ah adalah kondisi dimana saat ini emas sudah tidak lagi menjadi alat pembayar yang resmi. Dalam mempertimbangkan nash-nash yang berkaitan dengan tradisi yang muncul pada masa Nabi Saw yang bersifat temporer. Oleh ulama kontemporer membolehkan menghilangkan makna harfiah atau tekstualnya.23 Keempat hadis diatas yang melarang berjual beli emas secara tidak tunai ini telah menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata cara mentransaksikannya diingatkandengan begitu detail oleh Nabi Saw. Mengingat emas adalah logam mulia yang secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang menyimpan nilai dan sebagai pengukur nilai barang lain, sehingga emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran atau uang. 22 Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 270-271 23 Yusuf Qardawi, Studi Kritis Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995, hlm. 132 86 Para ulama juga menyepakati hadis-hadis diatas, bahwa mereka membatasi jenis ribapada keenam jenis komoditas tersebut (emas, perak, gandum, sya‟ir, kurma dan garam)24 dan juga berdasarkan penetapan nash dan ijma‟. Di dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa sebab musabab riba pada emas dan perak adalah karena mereka bisa ditimbang, sedangkan keempat barang lainnya karena bisa ditakar.25 Berdasarkan riwayat diatas, maka semua yang ditakar dan ditimbang menjadi riba apabila dijual dengan sesama jenis, baik itu berbentuk makanan atau bukan.Maka kesimpulan hadis-hadis diatas adalah: a. Haramnya menjual (menukar) emas dengan perak atau sebaliknya disertai rusaknya transaksi ini ketika kedua belah pihak yang melakukan transaksi tidak menyerahkan barangnya secara tunai dalam majelis akad. b. Haramnya menjual bur dengan bur atau sya‟ir dengan sya‟ir disertai rusaknya akad apabila kedua belah pihak yang bertransaksi tidak menyerahkan barangnya secara tunai sebelum berpisah dari majelis akad. c. Sahnya barter dalam musharafah (tukar menukar) apabila dilakukan secara tunai, demikian pula menjual bur dengan bur, sya‟ir dengan sya‟ir dalam majelis akad. 24 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali, Achmad Zaidun, “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani, Cet III , 2007, hlm.711 25 Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid 5, terj.Anshari Taslim, Al Mughni Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm.364 87 d. Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat melakukan transaksi, baik dengan duduk, kedua pihak sama-sama berjalan atau menaiki kendaraan. Sedangkan “perpisahan” adalah sesuatu yang dikenal dengan perpisahan menurut kebiasaan masyarakat. Menurut abu yusuf yang dikutip oleh Yusuf Qardawi berpendapat bahwa ketentuan memperhitungkan jenis-jenis tersebut dengan takaran atau timbangan adalah berlandaskan urf (kebiasaan setempat) . maka apabila kebiasaan setempat mengalami perubahan, maka jual beli mengacu kepada kebiasaan baru tersebut.26 Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nisa‟ (4) ayat 29: )۴9:۲/ (النسبء Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.” Sedangkan Abu Surai Abdul Hadi dalam bukunya Bunga Bank dalam Islam berpendapat bahwa harus memperhatikan kepentingan 26 Yusuf Qardawi, Studi Kritis Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995, hlm. 154 88 umum, semua macam transaksi itu halal sebelum ada pemerasan dan sesuai dengan keadaan ekonomi masing-masing negara.27 Menurut DSN-MUI hadis ini mengandung illat yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. kata “dzahab” (emas) itu bersifat umum bagi semua, baik yang dijadikan alat tukar maupun yang tidak demikian juga dengan “al waraq” (perak), dan sabdanya: "انزٌََبُ بِب ْنَُ ِسقِ ِسبًب:َس ُْلُ اهلل صَهّى اهللِ ََ آنًِِ ََسَهَم ُ َ قَبلَ س:َ قَبل,عهْ عُمَشَ ْبهِ انْخَطَبِ سضى اهلل َ ))سَاي مسهم.َ ََا ْنبُ ُش بِب ْنبُشِ سِببً إِالَ ٌَب َء ََ ٌَبء,َإِالَ ٌَب َء ََ ٌَبء Artinya:“Dari Umar bin Khattab, dia berkatabahwa Rasulullah Saw bersabda: “Menjual emas dengan perak itu riba kecuali dengan kontan seluruhnya, kurma dengan kurma itu riba kecuali dengan kontan seluruhnya, gandum dengan gandum itu riba kecuali dengan kontan seluruhnya, dan sya‟ir (sejenis gandum) dengansya‟iritu riba kecuali dengan kontan seluruhnya”28. Dan dalam jual belinya disebutkan kata َ إِالَ ٌَبءَ ََ ٌَبءmemiliki banyak cara pengucapan. Yang paling terkenal adalah dengan memanjangkan (huruf ha‟) dan memfathahkan hamzah. Maknanya adalah tunai.29 Ini 27 Abu Surai Hadi, Bunga Bank dalam Islam, terj.Thalibi, ar-Ribawal Qarudl , Surabaya: alIkhlas, 1993, hlm. 162 28 Hadis, ”Sunan al-Nasa‟i”, hadis no. 4482,dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997 29 Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, Taisirul „Allam Syarhu Umdatil Ahkam, Malang: Cahaya Tauhid Press, Cet.VII, 2010, hlm. 193 89 berarti dalam pembayarannya haruslah masih dalam keadaan bertatap muka antara penjual dan pembeli. Dalam hadis diatas Nabi Saw menjelaskan tata cara jual beli yang benar untuk macam-macam barang di atas yaitu barang-barang yang padanya terkena hukum riba. Caranya adalah orang yang hendak menjual emas dan perak atau sebaliknya harus dilakukan satu waktu dan kontan. Kalau tidak, maka akad jual beli tidak sah. Karena jual beli ini adalah tukar menukar dimana untuk sahnya disyaratkan dilakukan tunai. Hal ini dipertegas lagi oleh Abdullah Saeed dalam bukunya yang berjudul Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation bahwa, jika komoditi yang ditransaksikan meliputi emas, perak, gandum, gerst, kurma, dan garam, serta jenis komoditi lainnya yang semisal yang ditentukan dengan metode qiyas, maka transaksinya harus dilakukan secara langsung (dari person ke person), tidak boleh ditangguhkan, dan kadarnya harus sama (equal). Karena penangguhan penyerahan komoditi yang menyebabkan meningkatnya salah satu nilai tukar komoditi adalah termasuk riba.30 Berijtihad dengan „urf itu perlu karena disini hukum ditetapkan dengan yang biasanya terjadi bukan dengan yang jarang terjadi,31 penting 30 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, hlm. 63 Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 86 31 90 untuk meluruskan suatu masalah dengan syarat mujtahidnya adalah mereka yang mumpuni dalam hal-hal yang akan diijtihadkan. Adat kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari hukum Islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum Islam. Hukum Islam menerima adat yang baik dan tidak bertentangan dengan nash yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan Nabi-Nya. Jika dipahami secara kontekstual, maksud hadis-hadis diatas adalah tukar menukar emas selama emas tersebut dijadikan barang maka tidak akan terkena hokum riba padanya. Jika dilihat dari sosio historis juga pada saat itu emas dan perak memanglah menjadi alat tukar dunia dan sekarang sudah beralih mengikuti zaman. Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan bahwa, emas dan perak adalah barang (sil‟ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara 91 harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.32 Penulis berpendapat bahwa merubah illat emas yang sebelumnya tsaman (harga) menjadi sil‟ah (barang) ini sah-sah saja karena memang saat ini emas sudah jarang dijadikan alat tukar. Akan tetapi dalam hal jual belinya emas yang sudah berubah illat menjadi barang ini tentunya dilihat kembali barang ini tadinya adalah benda yang melekat sifat itu padanya penyimpan kekayaan dan juga disebutkan dalam ijma‟para ulama termasuk barang ribawi, maka hendaklah berhati-hati dalam memperjual belikannya agar tidak terjerumus pada praktek ribawi. Menurut Yusuf Qardhawi, emas pada zaman sekarang tidak kehilangan fungsinya sebagai alat pembayar hanya saja perannya tergantikan dengan uang kertas saat ini yang lebih efisien.33 Oleh karena itu haram hukumnya dikelola secara riba. Bahwa Allah tidak akan berlaku zalim pada hamba-hamba-Nya dan apa yang Dia peritahkan itu akan menjadi kebaikan kepada hamba-hambaNya dan apa yang Allah haramkanpun akan menjadi kebaikan jika hambahamba- Nya mematuhi-Nya. 32 Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010, Jual-beli Emas Secara Tidak Tunait, hlm. 280 33 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 1, terj. As‟ad Yasin, Hadyul Islam Fatawi Mu‟ashirah, Jakarta: Gema Insani, Cet I, 1995, hlm.771-772 92 C. Analisis Terhadap Relevansi Fatwa DSN-MUI Nomor: 77 / DSN-MUI/ V/ 2010, Yusuf al-Qardhawi, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Taimiyyah Dengan Pendapat Para Ulama Mazhab dan Pendapat Ulama Kontemporer Relevansi memiliki arti hubungan atau kaitan, secara umum relevansi adalah kecocokan, bersangkut paut.34 Dan dalam analisis disini penulis akan menganalisis relevansi fatwa DSN-MUI dengan pandangan para ulama mazhab yang akan menghasilkan fatwa lebih memiliki kecocokan dengan ulama mazhab yang mana. Fatwa adalah usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara‟ oleh seorang ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Ini mengindikasikan bahwa fatwa lebih khusus dari pada ijtihad, fatwa dilakukan setelah adanya orang bertanya sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.35 Sebenarnya antara ijtihad dan fatwa tidak dapat dibandingkan karena subyeknya berbeda. Ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangkan fatwa adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihad tersebut kepada orang lain melalui ucapan atau perbuatan seperti seorang hakim yang memutus suatu perkara yang harus dijalankan. Dalam pengambilan suatu ketetapan hukum Pengaruh adat dalam kehidupan hukum adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung proses dinamis 34 TimPenyusunKamusPusatBahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, 2008.hlm.1191 35 Abdul Fatah Idris, IstinbathHukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka Zaman,2007, hlm.109 93 penolakan bagi yang buruk dan penerimaan bagi yang baik sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat. Persoalan menjadi serius manakala pertumbuhan suatu kebiasaan masyarakat, secara absolut bertentangan dengan hukum. Hukum Islam mengakomodasi adat suatu masyarakat sebagai sumber hukum selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Qur'an maupun al-sunnah.36 Kegiatan ekonomi dewasa ini, dalam hal jual beli emas terdapat macammacam bentuk, seperti membeli emas secara kredit, menukar emas lama dengan emas yang baru, membeli emas dengan menggunakan cek, dan sebagainya yang sepertinya hal itu susah dihilangkan dari masyarakat dunia. Jual beli merupakan salah satu kegiatan bermuamalah, dan prinsip dalam bermuamalah adalah setiap kegiatan bermuamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Mengingat bahwa transaksi jual beli emas yang dilakukan masyarakat saat ini seringkali dilakukan dengan cara pembayaran tidak tunai, baik secara angsuran (taqsith) maupun secara tangguh (ta‟jil), maka DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai untuk dijadikan pedoman. Maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang kebolehan jual-beli emas secara tidak tunai yang isi keputusannya bahwa jual beli emas secara tidak tunai 36 Said Agil Husein al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas sosial, Jakarta: Permadani, 2004, hlm. 41 94 diperbolehkan selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang), dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut: 1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo. 2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn). 3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan37 Dalam hal jual beli emas secara tidak tunai para ulama berbeda pendapat di antaranya Pertama, Melarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali .Kedua , membolehkan; dan ini pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, disini terjadi perbedaan pandangan mengenai illat pada obyek jual belinya yaitu emas. Dan DSN-MUI menggunakan pada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, Ibnu Taimiyah berpendapat, “Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan 37 Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm.11 95 sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).”38 Ibnu Qayyim menjelaskan lebih lanjut, “Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jualbeli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama.” DSN-MUI menghukumi jual beli emas secara tidak tunai adalah mubah. Dalil yang mereka gunakan adalah: ٍالَ َت ِبيْعُُا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إالّ ِمثْال بِ ِم ْثمٍ ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز Artinya:“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha‟ib(tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai.”(HR. al-Bukhari).39 38 Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, hlm. 279 96 Hadis ini menurut mereka mengandung illat yaitubahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul : عذَ مًب َ ََ ج ُْدًا ُ َُ ًِِانحُكْمُ َي ُذَْسُ مَعَ عِهت Artinya: “Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‟illat.”40 Meskipun ada dalil yang melarang menjual atau membeli emas secara tangguh. Sebagaimana hadis berikut: سمعت زسىل اهلل ينهً عه بيع الرهب ببلرهب والفضة ببلفضة والبس ببلبس والشعيس ببلشعيس والتمس ببلتمس والملح ببلملح مثال بمثل سىاء بسىاء يدا بيد فإذا اختلفت هره األصنبف فبيعىا كيف شئتم إذا كبن .يدا بيد Artinya:”Aku mendengar Rasulullah Saw melarang emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam dan harus serupa dan sama utkurannya serta tunai. Apabila jenisnyaberbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat tunai”.(HR. Muslim)41 Imam Syafi'i berpendapat bahwa menjual emas dan perak (lain jenis) dengan berbeda lebih banyak adalah boleh, tetapi jika sejenis (emas dengan emas) tidak diperbolehkan dengan kata lain riba. sedangkan Imam Syafi'I 39 Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalamMausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997 40 Ali Ahmad al-Nadwiy, Mawsu‟ah al-Qawa‟id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah li-al-Mu‟amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar „Alam al-Ma‟rifah, 1991, J. I), h. 359 41 Hadis, ”Shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalamMausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997 97 mensyaratkan agar tidak riba yaitu sepadan (sama timbangannya, takarannya dan nilainya) spontan dan bisa diserahterimakan. Dan mereka sepakat bahwa jual beli mata uang harus dengan syarat tunai, tetapi mereka berbeda pendapat tentang waktu yang membatasi. Imam Hambali dan Syafi'i berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimanya pada saat transaksi atau penerimaannya terlambat. Tetapi imam Maliki berpendapat jika penerimaan pada majelis terlambat, maka jual beli tersebut batal, meski kedua belah pihak belum berpisah. Emas dan uang kertas itu sama pada dasarnya hal itu dikarenakan emas diterima oleh masyarakat sebagai alat penukar tanpa perlu dilegalisasi oleh pemerintah (bank sentral), sedangkan uang kertas diterima sebagai alat penukar karena pemerintah mengatakan behwa uang kertas itu adalah alat pembayar yang sah.42 Dalam hal inilah kita dapat melihat bahwa uang dapat mengambil bentuk barang yang nilainya dianggap sesuai dengan kemampuan tukarnya. Emas dan perak memiliki nilai yang dianggap sebagai komoditas untuk menyimpan kekayaan. Ibnu Khaldun menulis, tuhan menciptakan dua logam mulia (emas dan perak) itu untuk menjadi alat pengukur nilai atau harga bagi segala sesuatu.43 Al-Maqrizi dalam Ighatsah menambahkan, tuhan menciptakan dua logam mulia itu bukan sekedar sebagai alat pengukur nilai, atau untuk menyimpan kekayaan, tapi juga sebagai alat tukar. Para ulama 42 Prathama Rahardja, Uang Dan Perbankan, Jakarta: Rineka Cipta,Cet-III, 1997, hlm. 11 Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, Jakarta: Pt.Ufuk Publising House, 2012 , hlm. 92 43 98 mazhab yang berpendapat demikian itu ialah Imam Malik, Ahmad dan sebagian ulama Syafi‟iyah. Alasan mereka ialah karena dengan cara demikian itu agar tercapai tujuan agama Islam mencegah riba dan menutup kemungkinan dari praktek riba itu.44 Penulis melihat relevansi fatwa dengan ulama mazhab itu tidak bisa dipisahkan karena dalam mengeluarkan fatwa salah satu pijakannya adalah dengan ijtihad para ulama mazhab. Dapat disimpulkan bahwa fatwa DSNMUI tentang jual beli emas secara tidak tunai relevan dengan ulama mazhab yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, yaitu pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar atau penundaan pelunasan dierbolehkan dalam konteks pembayaran jasa pembuatannya . 44 As Shan‟ani, Terjemahan Subulussalam, Jilid III, terj. Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam III , Surabaya : Al-Ikhlas, 1995, hlm.142 99 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mendiskripsikan pembahasan secara keseluruhan sebagai upaya menjawab pokok-pokok permasalahan dalan menyusun skripsi ini, menarik dalam beberapa kesimpulan, tentang pelaksanaan dan sistem jual belii emas di GTIS sebagai berikut : 1. Menurut para ulama empat mazhab bahwa emas merupakan barang yang ditimbang dan ditakar, karena barang yang ditimbang, atau ditakar sama dengan jenis harta yang berpotensi riba. 2. Mengenai alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai dalam fatwa DSN-MUI No:77/DSN-MUI/V/2010 adalah: a. DSN-MUI menafsirkan hadis Nabi Saw tentang jual beli emas secara kontekstual ini menjadikan hasil dari istinbath mereka dalam jual beli emas secara tidak tunai dihukumi mubah. b. DSN-MUI tidak beristinbaht secara langsung akan tetapi dalam merumuskan fatwa mereka mengambil dari istinbath yang dilakukan oleh ulama mazhab yang membolehkan kemudian dijadikan dalil penguat dalam istinbath mereka. c. Pada zaman sekarang ini keadaan telah berubah semua, maka emas sudah bukan lagi menjadi alat tukar, akan tetapi menjadi barang seperti umumnya. 100 3. Berdasarkan hasil analisis maka Relevansi fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSNMUI/V/2010 tentang jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para ulama mazhab adalah relevan kepada ulama mazhab yang membolehkan. pada dasarnya jual beli emas ini ada dua pendapat ulama yang berbeda yaitu ada yang melarang dan ada yang membolehkan. pertama, para imam mazhab empat sepakat bahwa emas termasuk dalam jenis barang ribawi dan dalam jual belinya diisyaratkan tunai, mereka memandang emas walau dalam bentuk dan kondisi apapun tetap melekat sifat pada emas tersebut nilai . kedua, adalah ulama Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Maka fatwa DSN-MUI tentang jual beli emas secara tidak tunai relevan dengan ulama mazhab yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai , yaitu pendapat Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar atau penundaan pelunasan dierbolehkan dalam konteks pembayaran jasa pembuatannya. Pendapat ulama kontemporer diantaranya Syaikh Ali Jumu’ah bahwa emas dan perak mengandung illat merupakan media pertukaran dan 101 transaksi dimasyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan illatnya, baik ada maupun tiada. Dan pendapat dari Dr. Wahbah al-Zuhaily membeli perhiasaan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari pengrajin. B. Saran-saran 1. Kepada masyarakat untuk memperhatikan setiap transaksi jual beli emas hendaknya tidak untuk untung-untungan (spekulasi) dan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah. 2. Penulis menyarankan bahwa apabila seseorang masih ragu melakukan jual beli emas dengan transaksi tidak tunai seperti ini yang dikhawatirkannya ia akan terjerumus kedalam riba maka lebih baik menghindari jual belinya secara tidak tunai. 3. Suatu perkara yang membuat seseorang ragu ataupun bimbang, baik itu perkara duniawi dan ukhrawi, maka lebih baik kita menyerahkannya kembali kepada Allah, sehingga tidak terhinggapi perasaan bimbang dalam diri terhadap apa yang dikerjakan ataupun yang dilakukan. 102 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Al-karim Abullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi‟i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Syafi‟i, al, Muhammad bin Idris. Al-Risalah. Kairo: Dar al-Turas, 1979. Abdurrahman , Abdullah Bin, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, “Taisirul „Allam Syarhu Umdatil Ahkam”, Malang: Cahaya Tauhid Press, Cet.VII, 2010. Abu Syakir , Syuhada, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi, Bandung:Tim Toobagus, 2011. Ahmad , Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi‟i, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974. Ahmad Muhammad Al-Assal, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia, 1999 Al-Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husain, Jakarta : Gema Insani Press, 1999 Ali, Daud Muhammad,Hukum Islam , Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Amin, Muhammad, Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam, Jakarta : INIS, 1991. Antonio , Mohammad Syafi'i, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2003 . Anwar, H. Moch, Fiqh Islam, cet. 2, Bandung: Al-Ma‟arif, 1998 Azhar Basyir, Ahmad, Asas-asas Hukum Muammalat, Hukum Perdata Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004 103 104 Dimasyqi , Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Jakarta, Hasyimi Press, 2010. Djamil. R. Abdul. Hukum Islam; Asas-Asas Hukum Islam, cet. 1, Bandung : Mandar mau, 1992 Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007. Furhan, Arif, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya :Usaha Nasional, 1992 GhoZali, Halal, Haram dan Subhat, yang diterjemahkan oleh abdul hamid Zahwan, Pustaka Mentuq Ikapi, 1945 Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-1, 2002 Hadi, Sutrisno, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta : FP, UGM, 1987. Hadis, ”Musnad Ahmad bin Hanbal”, hadis no. 5619 dalam Mausū‟at al-Hadīts alSyarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. _____________, ”Shahih al-Bukhari”, Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. _____________, ”Shahih Muslim Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. _____________, ”Sunan al-Nasa‟i”, Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. Haroen, Nasroen, Fiqh Muamalat, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000. Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, Jakarta: Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 2001 . Ibnu Rusyid, Terjemah Bidayatu'l-Mujtahid, Asy-Syifa' Semarang, Semarang, cet. ke-1, 1990 105 Idris , Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka Zaman,2007. Jabir, Taha al-alwani, Bisnis Islam, Yogyakarta : AK Group, 2005 Khallaf, Wahhab Abdul, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002. M. Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis. UII Press Yogyakarta, 2000 Muh. Sjarief Sukandy, Terjemah Bulughul Maram, PT. Al Ma'Arif Bandung, tth Muhammad dan R Lukman Fauroni, Sisi Al-Qur'an Tentang Etika dan Bisnis, Salemba Diniyah Edisi Pertama, Jakarta, 2002 Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Praja, Juhaya.S¸ Filsafat Hukum Islam, Bandung : LPPM UNISBA, 1995 R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10, Bandung : Diponegoro, 1984 Rahmat Syafei, Figh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006 Rodoni, Ahmad, Investasi Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, cet 1. Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: GayaMedia Pratama, 1999. Salim, Joko, Jangan Investasi Emas Sebelum Baca Buku Ini!,Jakarta:visimedia, 2010. Sayis, al, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih wa auladuh, t. th -----------, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Qardhawi , Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 1, terj. As‟ad Yasin, Hadyul Islam Fatawi Mu‟ashirah, Jakarta: Gema Insani, Cet I, 1995. 106 ________, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma, 1993. ________, Studi Kritis As-Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995. Shiddieqy Hasby, Falsafah Hukum Islam, cet 2, Jakarta: Al-Ma‟arif, 1998 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta : Kencana Group, 2007 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Taimiyah, Ibnu, “ Majmu Fatawa”, Bairut: Darul Fikr 1920. -------------------“Al-Siyasah Al-syar‟iyyah Fi Islahir Raa‟i War Ra‟iyyah”,Terj.Rofi‟ Munawwar,”Siyasah Syari‟ah Etika Politik Islam”,Surabaya:Risalah Gusti,Cet.ke-1,1995. ------------------- Ash-Sharim Al-Maslul „Ala Syatim Al-Rasul, Beirut- Lebanon : Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah,t,th. ------------------ “Al-Furqan Baina Auliya Al-Rahman Wa Auliya ALSyaithan,” Terj. Pustaka Panjimas, “ Al-Furqan Antara Kekasih Allah Dan Kekasih Syaitan, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1989. ------------------ “Tafsir Al-Kabir”, Jilid 1, Beirut-Lebanon : Dar Al-Kutub AlIlmiyah, t,th, hlm 37, lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyah, Juz 2, Beirut- Lebanon : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987. ------------------ “Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah”, Riyadh: al-Riyad al-Hadisati, jilid I, tt. Teungku Muhammad Hasby Ash Shidieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997. Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Yanggo , Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet.I , 1997 . Zahrah, Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987. 107