PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA

advertisement
PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER
TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS
SECARA TIDAK TUNAI
(Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.Sy)
Oleh:
RYCO PUTRA IRAWAN
107043203700
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2014 M
PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER
TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS
SECARA TIDAK TUNAI
(Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (Ssy)
Oleh:
Ryco Putra Irawan
NIM : 107043203700
Pembimbing
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA
NIP : 194512301967122001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplak karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Desember 2013
Ryco Putra Irawan
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Pandangan Empat Imam Mazhab dan Ulama
Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
(Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010). Telah
diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum).
Jakarta,
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 1955 0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN
Ketua
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 196511191994031004
(…....……………)
Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, MSi
NIP. 1974121310031211002
(..…..……………)
Pembimbing
: Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA (.....….…………..)
NIP. 194512301967122001
Penguji I
: Dr. H. A. Mukri Aji, MA
NIP. 195703121985031003
(…....……………)
Penguji II
: Afwan Faizin, MA
NIP. 197210262003121001
(….....……...……)
iv
ABSTRAK
DSN-MUI mengeluarkan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai ini
untuk menjawab pertanyaan tentang hukum apa yang melekat pada emas saat
bertransaksin jual beli . dalil yang menjadi dasar adalah hadis Nabi Saw. dalam ijma’
para ulama bahwasannya emas adalah termasuk kedalam barang ribawi akan tetapi
fatwa no: 77/DSN-MUI/V/2010 menghukumi mubah jual beli tersebut. Maka secara
otomatis fatwa tersebut bertentangan dengan dengan hadis Nabi Saw dan ijma’ para
ulama mazhab empat yang mengatakan bahwa jual beli emas dengan emas, perak
dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara lain,
agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan secara tidak tunai,
maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba;
sehingga emas dan perak dalam pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah
(barang ribawi).
Dari latar belakang di atas, penulis akan menganalisa fatwa DSN-MUI tersebut
dengan dua pokok permasalahan, yaitu apa alasan diperbolehkannya jual beli emas secara
tidak tunai menurut fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSNMUI/ V/2010 dan bagaimana
relevansi fatwa tersebut dengan pendapat para ulama mazhab
Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan Jenis penelitian
kepustakaan (library research) yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang
menurut uraian berkenaan dengan kepustakaan. Sumber data, baik data primer
maupun data sekunder diperoleh dengan metode dokumentasi. Kemudian data yang
sudah ada dianalisa dengan metode komparatif, metode komparatif ini digunakan
untuk membandingkan fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli
emas secara tidak tunai dengan pendapat ulama madzhab dan melihat relevansi fatwa
tersebut dengan pendapat ulama madzhab.
Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa: Pertama, alasan DSN-MUI
melalui fatwa No.77/DSN-MUI/V/2010 membolehkan jual beli emas secara tangguh
DSN-MUI menafsirkan hadis Nabi saw tata cara penjualan / tukar menukarnya adalah
secara kontekstual ini menjadikan hasil dari istinbath mereka dalam jual beli emas
secara tidak tunai dihukumi mubah . Kedua, relevansi fatwa DSN-MUI relevan
dengan ulama mazhab yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, yaitu
pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi
menjadi alat tukar atau dapat dengan tangguh pada pembayaran jasa pembuatannya .
v
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji serta rasa syukur yang tak terhingga penulis
panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
kasih saying-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktunya.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW yang telah menebarkan cahaya Islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis
dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam.
Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut
ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis
lalui. Semua ini karena doa dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada para
pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi,
S.Ag, M.Si. Selaku Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi program studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama
menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan dan meluangkan waktu dengan penuh keiklasan dan
sabar, serta bimbingan kepada penulis.
4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu,
pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari
vi
Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi
Bapak/Ibu dosen.
5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adik-adik dan saudara-saudaraku tersayang
yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi penulis.
7. Untuk Nesia Suci Aristawati yang selalu sabar menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, dan kepada teman-temanku, Andri Agus Salim,
Arwani, Rizki DP, M. Hanafi “terima kasih atas masukannya kepada penulis”.
8. Terima kasih kepada Guru-Guruku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang
insya Allah yang tidak mengurangi rasa ta’zim dan hormat penulis.
9. Teman- teman seperjuangan PMH 2007. Selama 4 tahun kenal dan kuliah
bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.
Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan
nilai kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Jakarta,
23 Januari 2014 M
21 Robiul Awal 1435 H
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………........................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………….....................ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………......................iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………………...…iv
ABSTRAK …………………………………………………………………………...v
KATA PENGANTAR ……………………………………………….......................vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………....................viii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….1
B. Pembatasan Masalah ……………………………………………..5
C. Perumusan Masalah ………………………………………………5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………...6
E. Metode Penelitian ………………………………………………...7
F. Review Studi Terdahulu ………………………………………….9
G. Sistematika Penulisan ………………………………………..….10
BAB II
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM………………………….12
A. Pengertian Jual Beli …………..…………………………………12
B. Sumber Hukum ………………………………………………….14
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ……………....……………………..19
D. Macam-macam Jual Beli ………………………………………..26
viii
E. Jual Beli Yang Dilarang dalam Islam …….……………………..32
BAB III
BIOGRAFI
ULAMA
EMPAT
MAZHAB
DAN
ULAMA
KONTEMPORER………………………………………………....38
A. Riwayat Hidup Ulama Empat Imam Mazhab ….……………...38
1. Imam Abu Hanifah ………………………………………...38
2. Imam Malik ………………………………………………..42
3. Imam Syafi’I ……………………………………………….47
4. Imam Hanbali ………………………………………………52
B. Ulama Kontemporer…………………………………………….56
1. DSN-MUI ………………………………………………….56
2. Yusuf Al-Qardawi …………………………………………59
3. Wahbah al-Zuhaily...………………………………………..65
4. Syaikh Ali Jumu’ah………………………………………....70
BAB IV
JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI MENURUT IMAM
MAZHAB EMPAT DAN ULAMA KONTEMPORER…………74
A. Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut Para
Imam Mazhab Empat dan Ulama Kontemporer…………………74
B. Analisis Pandangan Ulama Empat Imam Mazhab Tentang Hukum
Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai……………………..84
C. Analisis Terhadap Relevansi Fatwa DSN-MUI Nomor: 77 / DSNMUI/ V/ 2010, Yusuf al-Qardhawi, Ibnu Qayyim, dan Ibnuu
Taimiyyah………………………………………………………..93
ix
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………100
A. Kesimpulan …………………………………………………….100
B. Saran-saran ………………………………………………….…102
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………103
LAMPIRAN……………………………………………………………………….107
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat Islam dalam mensosialisasikan ajaran agama Islam dengan
menggunakan berbagai macam cara, agar agama Islam dan ajarannya tetap
tegak di dunia sampai akhir zaman. Kewajiban menegakkan dan melestarikan
ajaran agama Islam tersebut, tentunya menyangkut segala aspek kehidupan
manusia secara luas, baik merupakan amal duniawi maupun pencarian bekal
untuk kehidupan akhirat yang dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat
sampai kapanpun.
Hukum Islam mengatur peri kehidupan manusia secara menyeluruh,
mencakup segala aspeknya. Hubungan manusia dengan Allah di atur dalam
bidang ibadah sedangkan hubungan manusia dengan manusia di atur dalam
bidang muamalat1 dalam arti luas, baik dalam jual-beli, pewarisan, perjanjianperjanjian, hukum ketatanegaraan, hubungan antar negara, kepidanaan,
peradilan dan lain sebagainya. Keseluruhan dari aturan-aturan ini telah
tertuang dalam hukum muammalat, karena sebagaimana diketahui bahwa
sekecil apapun amal perbuatan manusia di dunia pasti akan dimintai
pertanggung jawaban kelak di kehidupan setelah mati.
1
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muammalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta:
UII Press, 2000), h. 11
1
Hubungan antara sesame manusia berkaitan dengan harta ini
dibicarakan dan diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecendrungan manusia
kepada harta itu begitu besar dan sering menimbulkan persengketaan
sesamanya, kalau tidak diatur, dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam
pergaulan hidup antara sesame manusia. Disamping itu penggunaan harta
dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan kehendak Allah yang
berkaitan dengan harta itu.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial, yaitu
makhluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat maka sudah semestinya
jika mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya dalam
bentuk hubungan guna mencukupi segala kebutuhannya.2
Sejarah dunia telah membuktikan, bahwa manusia tidak akan pernah
bisa lepas dari pergaulan yang mengatur hubungan antara sesamanya di dalam
segala keperluannya3 karena sejak dilahirkan sampai meninggal dunia
manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan itu
timbul berkenaan dengan pemenuhan kebuttuhan jasmani dan rohaninya.
Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia selalu mewujudkan
dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai “tingkah laku”. Tingkah laku
yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai hasil proses dari adanya minat yang
2
H. Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bag. I, cet I, (Jakarta: Balai Pustaka,
1997) hlm. 40
3
Abdullah Siddiq al-Haji, Inti Dasar Hukum Dagam Islam, Cet I, (Jakarta: Balai Pustaka,
1993) hlm. 55
2
diniatkan dalam suatu gerak untuk pemenuhan kebutuhan saat tertentu. Di
dalam kegiatan itulah pada umumnya manusia melakukan kontak dengan
manusia lainnya.
Islam
tidak
membatasi
kehendak
seseorang
dalam
mencari
memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum
yang berlaku yaitu halal dan baik.
Dalam jual beli, Islam juga telah menentukan aturan-aturan sehingga
timbullah suatu perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terhadap
peralihan hak atas suatu benda (barang) dari pihak penjual kepada pihak
pembeli baik itu secara langsung maupun secara tidak (tanpa perantara). Maka
dalam jual beli tidak lepas dari rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Oleh karena
itu, dalam praktek jual beli harus dikerjakan berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang sudah digariskan oleh Islam.
Sehubungan dengan hal itu, Islam sangat menekankan agar dalam
bertransaksi harus didasari i’tikad yang baik, karena hal ini memberikan
pedoman kepada umatnya untuk selalu berupaya semaksimal mungkin dalam
usahanya, sehingga di antara kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
Manusia sebagai makhluk individual yang memiliki berbagai keperluan
hidup, manusia telah disediakan Allah swt berbagai benda yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang
beragam tersebut tidak mungkin hanya akan diproduksi sendiri oleh individu
yang bersangkutan, dengan kata lain ia harus bekerja sama dengan orang lain.
3
Syari’at juga mengatur larangan memperoleh harta dengan jalan batil
seperti perjudian, riba, penipuan dalam jual beli, dan mengharamkan riba.
Oleh karena itu, bunga transaksi tersebut bukanlah cara yang dibenarkan
untuk memperoleh dan mengembangkan harta. Batasan antara perkara yang
halal dan haram sangatlah jelas. Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah
swt dalam surat al-Baqarah ayat 275 :
       
Artimya: Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dari ayat tersebut, Allah melarang mencampurkan yang hak dengan
yang batil dalam semua perkara, terdapat batas yang jelas terhadap keduanya.
Sesungguhnya segala yang halal dan yang haram telah dijelaskan-Nya, serta
sesuatu yang ada di antara keduanya (syubhat) yang mana kebanyakan
manusia
tidak
mengetahuinya.
Prinsip
pokok
dalam
Islam
adalah
mengerjakan kedua hal yang ada (didunia dan diakhirat), kecuali segala seuatu
yang telah diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Larangan tersebut
sangatlah terbatas jumlahnya, baik berupa barang maupun perbuatan.
Dalam
praktek
jual
beli
di
masyarakat,
kadangkala
tidak
mengindahkan hal-hal yang sekiranya dapat merugikan satu sama lain.
Kerugian tersebut ada kalanya berkaitan dengan obyek ataupun terhadap
harga. Kerugian ini disebabkan karena ketidaktahuan ataupun kesamaran dari
4
jual beli tersebut. Paktek jual beli emas yang terjadi pada masa sekarang, yaitu
jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan atau kesamaran terhadap
obyek yang telah diperjualbelikan, baik penjual maupun pembeli tidak dapat
memastikan wujud dari obyek yang diperjualbelikan berdasarkan tujuan akad,
yakni jual beli emas dengan sistem “investasi”. Kegiatan jual beli tersebut
sudah terbiasa dilakukan dan sudah menjadi adat atau kebiasaan oleh
masyarakat, sehingga hal tersebut suatu hal yang wajar dan dapat diterima
secara umum. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang
“Pandangan Empat Imam Mazhab Dan Ulama Kontemporer Tentang
Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perlu
adanya pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk
mengefektifkan
dan
memudahkan
pengelolahan
data,
maka
penulis
membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada seputar
pembahasan tentang pandangan ulama empat imam mazhab dan ulama
kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pandangan Empat Imam mazhab tentang hukum praktek jual
beli emas secara tidak tunai?
5
b. Bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 dan
pandangan Ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara
tidak tunai dengan pendapat para ulama empat mazhab?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para empat Imam mazhab
tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai
b. Untuk mengetahui bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor:
77/DSN-MUI/V/2010 dan pandangan Ulama kontemporer tentang
hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para
ulama empat mazhab
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi masyarakat
dalam hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai, dilihat dari
segi manfaat dan mudharat dalam jual beli tersebut.
b. Dapat mendorong masyarakat untuk bermuamalat sesuai dengan
syariat Islam.
c. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan
penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan sumber daya alam yang
dimonopoli oleh seorang, atau pihak tertentu.
6
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research)
yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang menurut uraian berkenaan
dengan kepustakaan.4 Penelitian deskripsi dari obyek-obyek yang diamati
yaitu
jenis
penelitian
studi
yang
relevan
dengan
pokok-pokok
permasalahan dan diupayakan jalan penyelesaiannya
2. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian ini dapat dibedakan kepada dua jenis
sumber data: data primer dan data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku fikih para
imam empat mazhab, fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010
tentang Kebolehan Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai, dan bukubuku karya ulama kontemporer.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder merupakan jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data pokok atau merupakan sumber data yang mendukung
dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada data
primer.5Dalam penelitian ini, sumber data sekundernya berupa buku-
4
Kartini Kartono, MetodologiSosial, Bandung : MandarMaju, 1991, hlm 32
Saifudin Anwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: PustakaPelajar, 1998, hlm.91
5
7
buku, dokumen-dokumen, karya-karya, atau tulisan-tulisan yang
berhubungan atau relevan dengan kajian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dokumen dan
literatur yang berupa buku-buku, tulisan dan fatwa DSN-MUI tentang jual
beli emas.Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode dokumentasi, yaitu menelaah dokumen-dokumen yang
tertulis, baik data primer maupun sekunder. Kemudian hasil telaahan itu
dicatat dalam komputer sebagai alat bantu pengumpulan data.6
4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah melakukan
analisis data. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode Komparatif.
Metode komparatif ini digunakan untuk membandingkan fatwa DSN-MUI
dan ulama kontemporer tentang kebolehan jual-beli emas secara tidak
tunai dengan pendapat ulama empat madzhab.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum.
6
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1993, hal. 131
8
E. Review Terdahulu
1. Siti Mubarokah (2103109) yang berjudul “Analisis Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual
Beli Mata Uang (al-Sharf)”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jual beli
mata uang harus dilakukan secara tunai dan nilainya harus sama. Artinya
masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan mata uang pada saat
yang bersamaan. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai
tukar pada saat transaksi dan secara tunai. Transaksi ini akan berubah menjadi
haram apabila transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan
datang, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan dan
penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga waktu penyerahan
tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Fatwa relevan dengan
pendapat ulama mazhab, transaksi jual beli mata uang disyari’atkan nilainya
sama dan transaksi dilakukan secara tunai sesuai dengan akad yang dilakukan.
2. Mudrikah (2102185) yang berjudul “Persepsi Ulama Karanggede Tentang
Praktek Penukaran Emas Di Toko Emas Pasar Karanggede Kecamatan
Karanggede Kabupaten Boyolali”. Membahas tentang Pertukaran (al-sharf)
antara emas dengan emas hukumnya tidak boleh, kecuali memenuhi syaratsyarat dalam pertukaran barang sejenis yaitu: sepadan (sama timbangannya,
dan takarannya, dan sama nilainya), spontan (seketika itu juga), saling bisa
diserahkan terimakan. Adapun praktek penukaran emas tersebut dilakukan
9
oleh pedagang emas dengan pembeli. Faktor yang menjadi motivasi
masyarakat untuk melakukan praktek penukaran emas dengan emas tersebut
karena: Masyarakat merasa bosan dengan modelnya Masyarakat ingin
menukarkan emas yang lebih besar ukuran gramnya (timbangannya) ,
Biasanya oleh masyarakat, emas dijadikan barang simpanan (untuk di
tabung). Pendapat sebagian ulama di Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali, bahwa praktek penukaran emas dengan emas tidak sah. Namun
praktek penukaran emas tersebut sudah menjadi adat atau kebiasaan dari
masyarakat sejak dulu, sehingga sulit untuk dihilangkan. Praktek penukaran
emas dengan emas di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tidak
sesuai dengan hukum Islam, karena syarat-syarat yang ada dalam penukaran
barang sejenis banyak yang belum dipenuhi oleh kedua belah pihak.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu
menetapkan suatu kerangka dasar penulisan. Secara garis besar dapat
memberikan gambaran sebagai berikut:
Bab Pertama, penulis memaparkan tentang pendahuluan yang
berisikan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu,
sistematika penulisan skripsi.
10
Bab kedua, membahas tentang pengertian jual beli dalam Islam
meliputi pengertian jual beli, sumber hukum jual beli, rukun dan syarat jual
beli, macam-macam jual beli, dan jual beli yang dilarang dalam Islam
Bab ketiga, membahas tentang profil ulama empat imam mazhab dan
ulama kontemporer serta istinbat hukum masing-masing
Bab keempat, menjelaskan analisis penelitian tentang hukum praktek
jual beli emas secara tidak tunai menurut para imam mazhab empat dan ulama
kontemporer, analisis pandangan ulama empat imam mazhab tentang hukum
praktek jual beli emas secara tidak tunai, dan analisis terhadap relevansi fatwa
DSN-MUI Nomor: 77/ DSN-MUI/V/ 2010, Yusuf al-Qardhawy, Ibnu Qayyim
dan Ibnu Timiyah dengan pendapat para ulama mazhab.
Bab kelima, mengemukakan kesimpulan yang diperoleh pada bab-bab
sebelumnya disertai dengan pemberian saran-saran yang konstruktif
sehubungan dengan masalah yang ditemui sebagai bahan pertimbangan bagi
perusahaan penulis laiannya untuk perbaikan lebih lanjut.
11
BAB II
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al-tijarah, almubadalah (menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu).1 Menurut etimologi
adalah:
‫مقب بهت انشئ ببنشئ‬
Artinya:“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya”2
Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Q.S. Fathir (35) ayat 29
            
)۹۲:‫ۺ‬۳/‫(فاطر‬
   
 
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (alQur‟an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagai rezeki
yang kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terangterangan. Mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan
rugi”.
Menurut kitab fikih Mazhab Syafi’i, yang dimaksud dengan jual beli adalah
menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan
kedua belah pihak.3
1
Imam Ahmad bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya: al-Hidayah), hal. 30
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 67
3
Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi‟I, (Bandung : Pustaka Setia, 2001),
2
hal. 22
12
Menurut mazhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta (maal) dengan
harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sini,
diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecendrungan manusia untuk
menggunakannya, cara tertentu dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan
qabul.
Menurut Imam Nawawi dalam kitab majmu’, jual beli adalah pertukaran
harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.Sedangkan menurut Ibnu
Qudamah menyatakan jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan
maksud untuk memiliki dan dimiliki.4
Jual beli menurut burgerlijk wetboek (BW) adalah suatu perjanjian
bertimbal balik dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli)
berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan
dari perolehan hak milik tersebut.5
Dari beberapa definisi di atas dapat di pahami bahwa inti jual beli ialah
suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak
lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan syara‟
dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum syara‟ maksudnya ialah
memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada
4
5
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 69
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 1
13
kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.6
B. Sumber Hukum Jual Beli
Tidak sedikit kaum muslim yang lalai mempelajari hukum jual beli, bahkan
melupakannya, sehingga tidak memperdulikan apakah yang dilakukan dalam jual
beli itu haram atau tidak. Keadaan seperti itu merupakan kesalahan besar yang
harus dicegah, agar semua kalangan yang bergerak pada bidang perdagangan
mampu membedakan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak.
Bagi mereka yang terjun dalam dunia usaha, khususnya perdagangan atau
transaksi jual beli, berkewajiban mengetahui hal-hal apa saja yang dapat
mengakibatkan jual beli tersebut sah atau tidak. Ini bertujuan supaya usaha
dilakukan sah secara hukum terhindar dari hal-hal yang tidak dibenarkan.
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas yaitu:
1. Al-Qur’an diantaranya:
a. Surah al-Baqarah (2) ayat 275
 
       
       
              
      
               
)۹۷۳:۹/‫ ) )البقرة‬

     
Artinya :“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
6
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, , (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 69
14
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.7 Ayat di atas juga dipahami untuk melakukan jual
beli dengan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam
Islam dan tidak melakukan apa yang dilarang dalam Islam.
b. Surah al-Baqarah (2) ayat 188

     
             
)۸۱۱:۹/‫ )البقرة‬    
Artinya :“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui.
c. Surah an-Nisa’(4) ayat 29

 

   
         
   
)۹۲:۴/‫ (النساء‬       
   
     
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
7
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 71
15
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 188 dan an-Nisa ayat 29 bahwa
keharusan mengindahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dan tidak
melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan batil, yakni
pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati.
Penggunaan kata makan dalam kedua ayat diatas untuk melarang
memperoleh harta secara batil dikarenakan kebutuhan pokok manusia
adalah makan.Kalau makan yang merupakan kebutuhan pokok itu terlarang
memperolehnya dengan batil, maka tentu lebih terlarang lagi bila perolehan
dengan batil menyangkut kebutuhan sekunder maupun tersier.
Selanjutnya dalam surat an-Nisa’ ayat 29 menekankan juga keharusan
adanya keelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkan ( ‫(عه تراض‬
‫مىكم‬.Walaupun kerelaan adalah sesuatu tersembunyi dilubuk hati, tetapi
indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan qabul atau apa saja
yang dikenal adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk
yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.8
2. As-Sunah
: ‫ ان انىبٌ صهي اهلل عهًَ وسهم انسئم اً انكسب اطَب ؟ قبل‬,ً‫عه رفبعت به رافع رضٌ اهلل عى‬
9
)‫ (رواي انبزار وصححً انحبكم‬.‫ و كم بَع مبرور‬,‫عمم انرجم بَدي‬
8
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 413
Al Hafiz Ibn Hajar Asqalani, Bulughul Maram min Adillatul Ahkam, (Surabaya : Hidayat,
tt), hal. 165
9
16
“Rifa‟ah bin Rafi‟ mengatakan bahwasannya Nabi saw. Ketika ditanya
usaha apa yang terbaik. Jawab Nabi saw: Pekerjaan seseorang dengan
tangannya sendiri dan tiap jual beli yang halal. (H.R. Al-Bazzar dan
disyahkan oleh Al-Hakim)
Berdasarkan hadis di atas, Nabi saw telah menghalalkan pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri. Maksud dari pekerjaan dengan
tangannya sendiri disini adalah sendiri untuk melakukan perniagaan atau
jual beli. Jadi jual beli merupakan pekerjaan yang disukai dan dianjurkan
oleh Nabi saw.
3. Ijma’
Jumhur ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan
orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya
yang sesuai.10
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang
harus mengetahui apa saja yang dapat mengakibatkan suatu perdagangan
atau jual beli itu sah secara hukum. Seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa Allah swt mengharamkan adanya riba dan usaha yang paling baik
adalah usaha yang dihasilkan dari tangannya sendiri, tentunya dari hasil
usaha yang halal pula.
Dari beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, sabda Rasul dan ijma’ di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubah (boleh).Akan
tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu.
10
Nasroen Haroen, Fiqih Mu'amalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), hal. 114
17
Menurut Imam Al-Syathibi (ahli fikih Mazhab Maliki) dalam buku
Nasroen Haroen, hukum jual beli bisa menjadi wajib ketika situasi tertentu,
beliau mencontohkan dengan situasi ketika terjadi praktek penimbunan
barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik, ketika hal
ini terjadi maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual
barang-barang dengan harga pasar sebelum terjadi kenaikan harga, dan
pedagang wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.11
Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa hukum jual beli dibentuk guna untuk mengetahui halhal apa saja yang dapat mengakibatkan jual beli tersebut menjadi sah atau
tidak. Adapun yang disyariatkan untuk hukum jual beli berdasarkan AlQur’an, Al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Jika berdasarkan Al-Qur’an
disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 275 yang menjelaskan bahwa
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, surah al-Baqarah
ayat, 188 dan surah an-Nisa’ ayat 29. Jika menurut Al-Sunnah, Nabi saw
menghalalkan perdagangan atau jual beli sebagai pekerjaan sendiri, dimana
seseorang bekerja dengan usahanya sendiri yaitu perniagaan dan jual beli.
Ijma di dapat dari jumhur ulama yang menyatakan jual beli diperbolehkan
dengan alasan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
tanpa bantuan orang lain, namun tidak boleh lepas dari yang disyaratkan
11
Nasroen Haroen, Fiqih Mu'amalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), hal. 114
18
Al-Qur’an dan hadis sehingga jual beli atau perniagaan tersebut dapat
berjalan sesuai dengan syriat Islam.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
1. Rukun-rukun jual beli
Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi
seperti dibawah ini:
a. Penjual: ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan
izin untuk menjualnya, dan sehat akalnya.
b. Pembeli: ia disyratkan diperbolehkan dalam arti ia bukan yang kurang
waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk
membeli.
c. Barang yang dijual: barang yang dijual merupakan barang yang
diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan
barangnya jelas atau bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan
ciri-cirinya.
d. Ikrar atau akad (ijab qabul) ijab adalah perkataan penjual, sedangkan
qabul adalah ucapan si pembeli. Penyerahan (ijab) dan penerimaan
(qabul) dilakukan dengan perkataan atau ijab qabul dengan
perbuatan.12
12
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta,2003), hal. 135
19
e. Kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak
sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak.13 Adanya kerelaan
tidak dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat
diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan
kerelaan adalah ijab dan qabul.14
2. Syarat-syarat jual beli
Syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama’ adalah sebagai berikut:
a. Penjual dan pembeli, syaratnya yaitu:
1) Berakal, agar tidak terkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
2) Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan).
3) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu
ditangan walinya.
4) Baligh (berumur 15 tahun keatas atau dewasa). Anak kecil tidak
sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi
belum sampai umurnya, menurut pendapat sebagian ulama’
mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena
kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan
kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan
13
14
Ismail Nawawi,Fiqih Muamalah, (Surabaya: Vira Jaya Multi Press, 2009), hal. 46
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 70
20
menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada
pemeluknya.15
b. Uang dan benda yang dibeli, syaratnya yaitu:
1) Suci barangnya
Suci barangnya adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah
barang yang dikategorikan barang najis atau barang yang
diharamkan oleh syara’
2) Dapat dimanfaatkan
Barang yang dapat dimanfaatkan adalah setiap benda yang akan
diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia
pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan
dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang
lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang yaitu
menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat
dimanfaatkan ini sangat relatif.Sebab, pada hakekatnya seluruh
barang yang dijadikan objek jual beli adalah barang yang dapat
dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung ataupun
tidak.Sejalan dengan perkembangan zaman yang makin canggih,
banyak orang yang semula dikatakan tiodak bermanfaat kemudian
di nilai bermanfaat.
3) Milik orang yang melakukan akad
15
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (tt: Sinar Baru al-Gensindo, 1986). 279
21
Barang harus milik orang yang melakukan akad ialah orang yang
melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah
dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari
pemilik sah barang.Dengan demikian, jual beli barang oleh
seseorang yang bukan pemilik sah atau tidak berhak berdasarkan
kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai jual beli yang batal.
4) Barang dapat diserahkan
Barang dapat diserahkan adalah barang yang ditransaksikan dapat
diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti
harus diserahkan seketika.Maksudnya adalah pada saat yang telah
ditentukan objek akad dapat diserahkan karena memang benarbenar ada dibawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.
5) Dapat diketahui barangnya (barang jelas)
Barang dapat diketahui maksudnya ialah keberadaan barang
diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk,
takaran, sifat dan kualitas barang.Apabila dalam suatu transaksi
keadaan barang dan jumlah harganya tidak di ketahui, maka
perjanjian jual beli tersebut mengandung unsure penipuan
(gharar). Hal ini sangat perlu untuk menghindari timbulnya
peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan. Misalnya dari akad
yang terjadi kemungkinan timbul kerugian dipihak pembeli atau
adanya cacat yang tersembunyi dari barang yang dibelinya.
22
6) Barang yang ditransaksikan ada ditangan
Barang yang ditransaksikan ada ditangan maksudnya ialah objek
akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan penjualan atas
barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah
dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau
tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.16
c. Lafaz ijab dan qabul
Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam
jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.Kerelaan ini dapat
terlihat pada saat akad berlangsung.Apabila ijab dan qabul telah
diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang dan uang
telah berpindah tangan.17
Adapun macam-macam akad dalam ijab qabul, diantaranya
adalah:
1) Akad dengan tulisan
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,
akad jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan
qabul secara lisan, namun sah pula hukumnya apabila
dilakukan dengan tulisan, dengan syarat kedua belah pihak
(pelaku akad) tempatnya berjauhan tempat atau pelaku akad
16
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.
37-40
17
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2003), hal. 406
23
bisu. Jika pelaku akad dalam suatu tempat dan tidak ada
halangan untuk mengucapkan ijab qabul, maka akad jual beli
tidak dapat dilakukan dengan tulisan, karena tidak ada sebab
atau alasan penghalang untuk tidak berbicara.18
2) Akad dengan perantara utusan
Selain dapat menggunakan lisan dan tulisan, akad juga
dapat dilakukan dengan perantara utusan kedua belah pihak
yang berakad, dengan syarat utusan dari salah satu pihak
menghadap ke pihak lainnya.Jika tercapai kesepakatan antara
kedua belah pihak, maka akad sudah menjadi sah.19
3) Akad orang bisu
Sebuah akad juga sah apabila dilakukan dengan bahasa
isyarat yang dipahami oleh orang bisu. Isyarat bagi orang
merupakan ungkapan dari apa yang ada didalam jiwanya tak
ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang
bisu boleh berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa
isyarat, ini jika si bisu memahami baca tulis.
Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun
jual beli di atas, para ulama’ fikih mengemukakan beberapa
syarat lain yaitu:
18
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hal. 122
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hal 50-51
24
(1)
Syarat sah jual beli
Para ulama’ fikih menyatakan bahwa suatu jual beli baru
dianggap sah apabila tersebut terhindar dari cacat dan apabila
barang yang dijualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu
boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai
penjual. Sedangkan barang tidak bergerak, boleh dikuasai
pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan.
(2)
Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli
Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad
mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. Misalnya,
barang itu milik sendiri (barang yang dijual itu bukan milik
orang lain atau hak orang lain terkait dengan barang itu). Akad
jual beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yang
melakukan akad tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan
akad.
(3)
Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli
Para ulama’ fikih sepakat menyatakan akad jual beli baru
bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala
macam khiyar. Apabila jual beli itu masih punya hak khiyar,
maka jual beli itu belum mengikat dan masih boleh
dibatalkan.20
20
Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah , hal. 115-120
25
Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, seperti yang sudah
kita ketahui untuk melakukan jual beli tentunya harus adanya
pedagang dan pembeli. Oleh karena itu, agar suatu perniagaan berjalan
sesuai syariat Islam maka haruslah ada hukum dan syaratnya, adapun
yang menjadi rukun jual beli meliputi penjual, pembeli, barang yang
dijual, ikrar atau akad (ijab qabul), kerelaan kedua belah pihak. Untuk
syaratnya meliputi 3 hal dari segi penjual dan pembeli, uang dan yang
dibeli, dan lafaz ijab dan qabul, selain yang diwajibkan tersebut para
ulama fikih mengemukakan beberapa pendapat mengenai syarat yang
berkaitan dengan rukun jual beli, yaitu syarat sah jual beli, syarat yang
terkait dengan pelaksanaan jual beli, dan syarat yang terkait dengan
kekuatan hukum akad jual beli tersebut.
D. Macam-Macam Jual Beli
Adapun macam-macam jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain yaitu:
1. Jual beli yang sah
Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual
beli tersebut disyari’atkan memenuhi rukun dan syarat yang
ditentukan, bukan milik orang lain, tidak bergantung pula pada hak
khiyar lagi, jual beli seperti ini dikatakan sebagai jual beli yang
sahih.Misalnya, seseorang membeli sebuah kendaraan roda empat.
Seluruh rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi, kendaraan roda
empat itu telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, tidak ada
26
yang rusak, tidak ada manipulasi harga dan harga buku (kwitansi)
itupun telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiyar dalam jual beli
itu. Jual beli yang demikian ini hukumnya sahih dan telah mengikat
kedua belah pihak.21
Ulama’ sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila
dilakukan oleh orang yang balig, berakal, dapat memilih, dan mampu
ber-tasarruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah
jual belinya adalah berikut ini:
a. Jual beli orang gila
Ulama’ fikih sepakat jual beli orang gila tidak sah.Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk dan lain-lain.22
b. Jual beli anak kecil
Ulama fikih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum
mumayiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang
ringan atau kecil.Menurut ulama’ Syafi’iyah, jual beli anak
mumayiz yang belum balig tidak sah. Adapun menurut ulama’
Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, jual beli anak kecil
dipandang sah jika ada izin walinya. Mereka antara lain beralasan,
salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberi
keleluasaan untuk jual beli dan juga pengamalan, sesuai atas
firman Allah swt dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 6:
21
22
Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah, hal. 121
Rachmat Syafe'i, Fiqih Mua'malah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal.93
27
       
      
  
  
Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin.kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya.
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta di kategorikan sah menurut jumhur ulama
jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak
sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang
baik.23
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama’ Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa
seperti jual beli fudul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni
ditangguhkan
(mauqữf).
Oleh
karena
itu,
keabsahannya
ditangguhkan sampai rela (hilangnya rasa terpaksa).Menurut ulama
Malikiyah tidak lazim baginya ada khiyar.Adapun menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah jual beli tersebut tidak sah, karena tidak
ada kerida’an ketika akad.24
e. Jual beli fusul
Jual beli fusul adalah jual beli milik orang tanpa seizin
pemiliknya.Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah jual beli ini
23
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2003), h. 136
24
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 12 ,( Bandung: al- Ma’arif, 1996), h. 71
28
ditangguhkan sampai ada izin pemilik.Adapun menurut ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fusul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhutang
Jual beli orang yang terhutang merupakan jual beli yang
terhalang.Maksud terhalang disini adalah terhalang karena
kebodohan, bangkrut, atau sakit.Jual beli orang bodoh yang suka
mengharamkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah,
Hanafiyah, dan pendapat paling sahih dikalangan Hanabilah, harus
ditangguhkan.Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut
tidak sah karena tidak ahli dan ucapannya tidak dapat
dipegang.25Begitu pula di tangguhkan jual beli orang yang sedang
bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah,
dan Hanafiyah, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah
yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari
hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli
tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.Menurut ulama
Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta
yang tidak bergerak, seperti rumah, tanah, dan lain-lain.
25
Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, hal.94
29
g. Jual beli malja‟
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.Jual beli
tersebut fasid, menurut ulama hanafiyah dan batal menurut ulama
Hanabilah.
2. Jual beli yang batil
Jual beli yang batil yaitu jual beli yang apabila salah satu atau
seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan
sifatnya tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan anakanak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang
diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.
3. Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli yang fasid dengan
jual beli yang batil.Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait
dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti
memperjualbelikan
barang-barang
haram
(khamar,
babi,
darah).Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang
dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan fasid.
Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan jual beli yang fasid
dengan jual beli yang batil.Menurut mereka jual beli itu terbagi
menjadi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli yang batil.Apabila
syarat dan rukun jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah.Sebaliknya,
30
apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka
jual beli itu batal.26
4. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad
Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad,
hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui dengan jelas
klasifikasinya. Namun apabila barang tersebut tidak sesuai dengan apa
yang diinformasikan, akad jual beli akan menjadi tidak sah, maka
pihak yang melakukan akad dibolehkan untuk memilih menerima atau
menolak, sesuai dengan kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual.
5. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya
Diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang
tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui
menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam
tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran
pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka kecuali pada
saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang tersebut dan
membahayakan.27
Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa macam-macam jual beli dibagi dalam
lima kategori yang pertama yaitu jual beli yang sah, untuk jual beli
yang sah dikategorikan menjadi beberapa pilahan diantaranya yaitu,
26
27
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, hal. 125-126
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006). hal. 131-132
31
jual beli orang gila, jual beli anak kecil, jual beli orang buta, jual beli
terpaksa, jual beli fusul, jual beli orang yang terhutang, dan jual beli
malja’. Yang kedua, yaitu jual beli yang bathil, ketiga jual beli yang
fasid, keempat jual beli yang barangnya tidak ada ditempat akad, dan
yang terakhir jual beli yang barangnya sulit dan bernahaya untuk
melihatnya.
E. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
1. Bai‟ al-gharar
Secara bahasa gharar bermakna ketidakpastian, ketidakpastian
bagi dua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.Secara istilah
gharar berarti suatu transaksi yang akibat atau risikonya terlipat bagi dua
pihak yang bertransaksi.28
Bai‟ Al-Gharar adalah jual beli yang mengandung unsur risiko dan
akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian
financial. Gharar bermakna suatu yang wujudnya belum bisa dipastikan,
diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitas dan kuantitas atau sesuatu
yang tidak bisa diserahterimakan.29
Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang
dilarang dalam syariat Islam. Menurut Imam al-Qarafi mengemukakan
gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek
28
29
Al-Mu‟jam Al-Wasith, hal. 648
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,
32
akad terlaksana atau tidak seperti melakukan jual beli ikan yang masih
dalam air (tambak).
‫ ال تشتروا انسمك‬: ‫ قبل رسو ل اهلل صهي اهلل عهًَ و سهم‬: ‫عه ابه مسعود رضٌ اهلل عىً قبل‬
30
)‫فٌ انمبء فإوً غرر (رواي أحمد‬
Artinya:“Jangan membeli ikan yang masih dalam air, maka sesungguhnya
itu tipuan.”(H.R Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Pendapat Imam al-Qarafi diatas sejalan dengan pendapat Imam asSarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memanfang gharar dari ketidakpastian
akibat yang timbul dari suatu akad.Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan,
bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan,
baik obyek itu ada maupun tidak, seperti penjual sapi yang sedang lepas.31
Sedangkan menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada
10 (sepuluh) macam:
a. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam
kandungan induknya.
b. Tidak diketahui harga dan barangnya.
c. Tidak diketahu sifat barang atau harga.
d. Tidak diketahui ukuran barang dan harga.
e. Tidak diketahui masa yang akan dating, seperti: “saya jual kepadamu,
jika Jaed datang”.
30
31
Al Hafidh Ibn Hajar Asqolani, Buluqhul Maram min Adillatul ahkam, hal. 174
M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, hal.148
33
f. Menghargakan dua kali pada satu barang, seperti: kujual buku ini
seharga Rp. 10.000 dengan tunai atau seharga Rp. 15.000 dengan cara
utang.
g. Menjual barang yang diharapkan selamat.
h. Jual beli husda‟, misalnya pembeli memegang tongkat jatuh wajib
membeli.
i. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempar,
seperti seorang melempar bajunya kemudian yang lainpun melempar
bajunya, maka jadilah jual beli.
j. Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib
membelinya.32
2. Jual Beli Barang yang tidak ada penjualnya (bai‟ al-ma‟dlum)
Bentuk jual beli atas objek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual
beli dilakukan. Ulama mazhab sepakat atas ketidaksahan akad ini.Seperti
menjual mutiara yang masih ada didasar lautan, wol yang masih
dipunggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan lainnya.
Mayoritas ulama sepakat tidak diperbolehkan akad ini, karena objek
tidak bisa ditentukan secara sempurna.Kadar dan sifatnya tidak bisa
teridentifikasi secara jelas serta objek tersebut tidak bisa diserahterimakan.
32
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 98
34
Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimyah memperbolehkan bai‟ al-ma‟dum
dengan catatan objek transaksi dapat dipastikan adanya diwaktu
mendatang karena adanya unsur kebiasaan.33
3. Jual beli suatu barang yang belum diterima.
Dilarang menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diterimakan
kepada pembelinya, kecuali jika barang itu diamanatkan oleh si pembeli
kepada penjualnya, maka menjualnya itu sah, karena telah dimiliki dengan
penuh. Sabda Rasul saw:
‫ مه اشترى طعبمب فال‬: ‫ ان رسول اهلل صهي اهلل عهًَ و سهم قبل‬: ً‫عَه ابٌ ٌرٍرة رضٌ اهلل عى‬
34
)‫ٍبعً حتي ٍكتبنً (رواي مسهم‬
Artinya:“Abu Hurairah r.a mengatakan, sesungguhnya telah bersabda
Rasulullah SAW: barang siapa yang membeli makanan
janganlah ia menjualnya sehingga ia menerima takaran
itu “. (HR. Muslim).
4. Jual beli barang najis
Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi, bangkai dan darah
tidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan harta secara asal. Tapi
perniagaan atas anjing, macan, srigala, kucing diperbolehkan.Karena
secara hakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan dan berburu
sehingga digolongkan sebagai harta.
Menjual barang najis dan manfaatnya diperbolehkan, asalkan tidak
untuk dikonsumsi. Seperti kulit hewan, minyak dan lainnya.Intinya, setiap
33
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
34
Al Hafidh Ibn Hajar Asqolani, Buluqhul Maram min Adillatul ahkam, 169
hal. 83
35
barang yang memiliki nilai manfaat yang dibenarkan syara’, maka boleh
ditransaksikan.35
5. Bai‟ al-„inah
Bai‟ al-„inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik
jual beli. Misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga Rp.125.000.000
kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan
mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya dari
Najwa dengan harga Rp.100.000.000 secara kontan.
Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar
Rp.125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang.
Selisih Rp.25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan
tambahan ribawi yang diharamkan.
6. Bai‟atan fi bai‟ah
Imam Syafi’i menjelaskan 2 penafsiran, yaitu:
a. Seorang penjual berkata, saya menjual barang ini Rp.2.000.000 secara
tempo dan Rp.1.000.000 secara kontan, terserah mau pilih yang mana
dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti dan
jual beli mengikat salah satu pihak.
b. Saya akan menjual rumahku, tapi kamu juga harus menjual mobil
kamu kepadaku.
35
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,h.83-84
36
Alasan dilarangnya bentuk transaksi pertama adalah adanya unsur
gharar karena ketidak jelasan harga, pembeli tidak tahu secara pasti harga
dalam akad yang disepakati penjual. Bentuk transaksi kedua dilarang
karena mengandung unsur eksploitasi kepada orang lain. Penjual
memanfaatkan kebutuhan pembeli dan mendapatkan sesuatu yang
diinginkan dan kemungkinan akan mengurangi kerida’an pembeli.
7. Barang yang tidak bisa diserah terimakan.
Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini walaupun objek
tersebut merupakan milik penjual.Seperti menjual burung merpati yang
keluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri dan lainnya.Ulama
empat mazhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena objek
transaksi tidak bisa di serahterimakan dan mengandung unsur gharar.36
Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwasanya dalam Islam adapula jual beli yang dilarang,
untuk jual beli yang termasuk didalamnya yaitu Ba’i al-Gharar dimana
jual beli tersebut mengandung unsur risiko dan akan menjadi beban bagi
salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial, kemudian jual beli
yang tidak ada penjualnya (ba‟i al-ma‟dlum) jual beli suatu barang yang
belum diterima, jual beli barang najis, ba‟i al-inah yaitu pinjaman atau
jual beli yang direkayasa, bai‟atan fi bai‟ah dan yang terakhir barang yang
tidak bisa diserah terimakan.
36
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 93
37
BAB III
BIOGRAFI EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER
A. Riwayat Hidup Empat Imam Mazhab
1. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah
Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai
ulama Ahl al-Ra‟yi.1Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qura‟an ataupun Hadis, beliau
banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad.
Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan
jalan qiyas dan istihsan. Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang
tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah
„urf. Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalahmasalah baru, bahkan beliau banyak menetapakan hukum-hukum yang belum
terjadi.
Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan
beliau sendiri yakni:
‫إَي أخرت ثكحبة اهلل إذا ٔجدجّ فإٌ نى أجدِ فيّ أخر ت ثسُة زسٕل اهلل صهٗ اهلل ػهيّ ٔسهى ٔاالثبز‬
ّ‫ فإٌ نى أجد في كحبة اهلل ٔالسُة زسٕل اهلل صهٗ اهلل ػهي‬.‫انصحبح ػُّ انحي فشث في أيدٖ انثقبت‬
‫ فإذا‬.‫ٔسهى أخر ت ثقٕل أصحبثّ يٍ شئث ٔأدع قٕل يٍ شئث ثى ال أخسج يٍ قٕنٓى إنٗ قٕل غيسْى‬
1
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
2003), h.98
38
‫اَحٓٗ االيس إنٗ إثسْيى ٔانشؼجي ٔانحسٍ ٔاثٍ سيسيٍ ٔسؼيد ثٍ انًسيت ٔػد زجبال قد اجحٓدٔا فهي‬
2
.‫أٌ أجحٓد كًب اجحٓدٔا‬
Artinya:”Sesunggguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qura‟an)
apabila menemukannyya. Jika saya tidak menemukannya, saya
berpegang kepada Sunnah Rasulullah saw dan atsar-atsar yang
memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas dikalangan perawi
terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya
berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang
saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah)
dari pendapat mereka yang lainnya. Maka jika persoalan sampai
kepada Ibrahim, al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn al-Musayyab
dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu
orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad
sebagaimana mereka telah berijtihad.
ّ‫كالو أثي حُيفة أخر ثبنثقة ٔف ساز يٍ انقجح ٔانُظس في يؼبيالت انُبس ٔيباسحقبيٕا ػهيّ ٔصهّ ػهي‬
‫ فإذا نى‬.ّ‫أيٕزْى يًضٗ األيس ػهٗ انقيبس فإذا قجح انقيبس يًضيٓب ػهٗ اسححسبٌ يب داو يًضٗ ن‬
‫ ٔ كبٌ يٕصم انحديث انًؼسٔف ثى يقيس ػهيّ يبداو‬.ّ‫يًضٗ نّ زجغ إنٗ يب يحؼبيم انًسهًٌٕ ث‬
3
.ّ‫انقيبس سبئغب ثى يسجغ إنٗ اإلسححسبٌ أيًٓب كبٌ أٔفق زجغ إني‬
Artinya: “pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan
dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalahmuamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi
manusia, ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik
dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya.
Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada „urf manusia. Dan
ia mengamalkan hadis yang sudah terkenal dan kemudian ia
mengqiyaskan sesuatu kepada hadis itu selama qiyas dapat dilakukan.
Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana
lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam
melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika
2
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih
wa auladuh, t.th),h.91-92
3
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah (al-Qahirah: Daar al-Fikr al-Arabiy, 1987), Juz
II, h. 161
39
atau tertib aturannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika
atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah
menempatkan Al-Qura‟an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada
urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, qiyas, istihsan,
dan terakhir „urf. Tidak disebutkannya ijma‟ dalam rumusan ini bukan berarti
Imam Abu Hanifah menolak ijma‟ tetapi menggunakan ijma‟ sahabat yang
tergambar dalam ucapannya di atas.4 Jika terjadi pertentangan qiyas dengan
istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah
meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena ada pertimbangan
maslahat. Dengan kata lain pengguna qiyas dapat digunakan sepanjang ia dapat
memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasuskasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan
dengan alasan maslahat.5
Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu
dasar hukum adalah:
a. Al-Qur‟an sebagai sumber dari segala sumber hukum
b. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Qur‟an, merinci yang
masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur‟an tidak dijumpai nash
mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila
4
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.106
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 1999), h. 48
40
didalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-Sunnah tersebut
harus diikuti.
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadis yang diriwayatkan harus
masyhur di kalangan perawi hadis terpercaya.6 Perawi hadis harus beramal
berdasarkan hadis yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari
periwayatnya. Perawi hadis tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya
tersebar dikalangan umum.7
c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat)
Fatwa sahabat (Aqwalu al--Shahabah) karena mereka semua
menyaksikan
turunnya
ayat
dan
mengetahui asbabun
nuzul-nya
serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para
tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah.8
d. Al-Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih
dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah
e. Al-Istihsan
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia
tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang
dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan,
6
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi
Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100
8
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.
189.
7
41
berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.9 Karena Abu
Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka
orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum
menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode.
f. „Urf
Abu Hanifah berpegang kepada‟urf dalam menetapkan hukum.10
Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan
dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan mauamalahmuamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia.
2. Riwayat Hidup Imam Malik
Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam Malik adalah
seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadis.11
Al-Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang merupakan karya Imam Malik. Kitab
ini banyak mengandung hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw atau
dari sahabat dan tabi‟in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal
termasuk beraliran al-Hadis.
Adapun
metode
yang
digunakan
dalam
menetapkan
hukum
(istinbath) adalah :
9
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), h. 43
10
Muhammad Hasbi ash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 177
11
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2003), h. 105
42
a. Al-Qur‟an
Imam Malik bersandarkan nash Al-Qur‟an sebagai pegangan pokok
dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan
zahir nash Al-Qur‟an atau keumumannya.12
b. Al-Sunnah
Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadis seperti yang
disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadis. Imam Malik tidak
menolak khobar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau
karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadis periwayatannya.
Imam malik tidak mendahulukan qiyas dari khabar wahid. Selain itu,
Imam Malik juga menggunakan hadis mursal dalam mengistinbathkan
hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar
ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur
dalam hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.13
c. Amal Ahl al-Madinah
Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-Madinah yang
asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah saw, bukan dari
hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat,
seperti tempat mimbar Nabi saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan
rutin seperti azan ditempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma‟ semacam ini
12
13
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101
43
dijadikan hujjah oleh Imam Malik.14Akan tetapi terkadang beliau menolak
hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama
madinah.
d. Khabar Ahad dan al-Qiyas
Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Kadangkadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.15 Jika khabar ahad
tidak dikenal dikalangan masyarakat Madinah, maka khabar ahad itu tidak
dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang
berasal dari Rasulullah saw. Dengan demikian, khabar ahad tidak
digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyaas dan
maslahah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik tidak mengakui
khabar ahad sebagai sesuatu yang dating dari Rasulullah jika khabar ahad
itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah. Kecuali khabar ahad itu dilakukan dengan dalil-dalil qat‟i.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
Al-maslahah
al-mursalah
adalah maslahah
yang tidak
ada
ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung dalam nash
dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara‟ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah
14
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2003), h. 106
15
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah,h. 215
44
itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat
dapat diketahui melalui al-Qur‟an, sunnah, dan ijma‟ ulama.
Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah,
sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang,
kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam
bentuk lain, misalnya istihsan.16
Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar
hukum yakni sebagai berikut.17
1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku
untuk orang-orang tertentu.
3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang
tidak bertentangan dengan nash atau ijma‟.
f. Fatwa Sahabat
Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka
dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan
pada al-naql. Menurut Imam Malik,18 para sahabat besar tersebut tidak
akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah
16
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi
Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103
17
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi
Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 110
18
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 206
45
saw. Pada perkembangannya di kalangan muta‟akhirin mazhab Maliki,
mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka
sebagai hujjah.
g. Al-Istihsan
Pendapat Imam malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat
pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang melihat
langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk
penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam
Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini.19
h. Sadd al-Zara‟i
Imam Malik menggunakan sad al-zara‟I sebagai landasan dalam
menetapkan hukum.20 Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan
semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya
juga hukumnya.
i. Istishab
Imam
Malik
menjadikan
istishab
sebagai
landasan
dalam
menetapkan hukum. Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan
19
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi
Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103
20
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219
46
yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan keadaan itu.21
3. Riwayat Hidup Imam Syafi‟i
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i (150 H204 H) dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut:
ٍُ‫ َإرا اجصم انحذيث مه رسُل اهلل َصح اإلسىاد ف‬.‫األصم قرأن َ سىة فإن نم يكه فقياس عهيٍما‬
‫ َاإلجماع أكبر مه انخبر انمفرد َ انحذيث عهى ظاٌر َ إرا اححمم انمعاوي فما أشبً مىٍا‬.‫انمىحٍى‬
‫ َ نيس انمىقطع بسيء ما عذا مىقطع ابه‬,‫ظاٌري أَالٌا بً َ إرا جكافأت االحاديث فأصحٍا إسىادا أَالٌا‬
‫ كيف ؟ َ إوما يقال نهفرع نم؟ فإرا صح قياسً عهى‬,‫انمسيب َال قياس أصم عهى أصم َال يقال ألصم نم‬
22
.‫االصم صح َ قامث بً حجة‬
Artinya:”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur‟an dan AsSunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada AlQur‟an dan As-Sunnah. Apabila sanad hadis bersambung sampai
kepada Rasulullah saw, dan shahih sanadnya, maka itulah yang
dikehendaki. Ijma‟ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan
hadis menurut zahirnya. Apabila suatu hadis mengandung arti lebih
dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau
hadis itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih
utama. Hadis munqathi‟ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika
diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat
diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat
dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat
dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada
pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”.
Dari perkataan imam Syafi‟i tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:
21
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits,t.th), h. 102
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali
Sabih wa Awladuh, t.th), h. 105
22
47
a. Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini
dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya
merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.23 Al-Sunnah
menurut beliau adalah menjelaskan Al-Qur‟an oleh karenanya Al-Sunnah
sejajar dengan Al-Qur‟an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadis
ahad dengan Al-Qur‟an dan hadis mutawatir karena tidak sama nilainya.
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk
menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan AlQur‟an dan Al-Sunnah, maka perlu digaris bawahi:24
1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan Al-Qur‟an adalah Al-Sunnah alMutawatirah(Sabitah), sama-sama qath‟I al-wurud. Sedangkan hadis
ahad tidak seperingkat dengan Al-Qur‟an karena zanni al-wurud.
Akan tetapi, hadis ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat-ayat Al-qur‟an
yang zanni al-dalalah.
2. Al-Qur‟an dan Al-sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum
furu‟ bukan dalam menetapkan akidah.
3. Kesamaan
peringkat
tersebut
tidak
boleh
diartikan
sebagai
menurunkan Al-Qur‟an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama
23
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep
Qiyas Imam Syafi‟i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 57
24
48
Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai menaikkan posisi
Al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelasan Al-qur‟an.
Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath
hukum furu‟.
Imam Syafi‟i mengambil Al-Qur‟an dengan makna (arti) yang
lahir kecuali didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir
itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak
hanya mewajibkan mengambil hadis yang mutawatir saja, tetapi beliau
juga mengambil dan menggunakan hadis ahad sebagai dalil selam
perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung
sanadnya langsung sampai kepada Nabi saw.25
b. Ijma‟
Imam syafi‟i menyatakan bahwa ijma‟ menjadi hujjah setelah AlQur‟an dan Al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.26
Pengertian ijma‟ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa
bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma‟ mereka
menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma‟kan, seperti yang
dikemukakannya bahwa (“saya dan tidak seorangpun dari kalangan
ulama pernah mengatakan: “ini adalah persoalan yang telah disepakati”,
kecuali menyangkut persoalan yang tidak seorang ahli pun pernah
25
26
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253
49
mempersoalkannya lagi kepada anda dan meriwayatkannya dari orangorang yang mendahuluinya, seperti shalat zuhur empat rakaat, bahwa
khamar itu diharamkan dan sebagainya”).27
Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka
berijma‟ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa
yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh
negeri Islam. Ijma‟ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma‟ yang berasal
dari ulam seluruh penjuru Islam bukan ijma‟ ulama ahl Madinah. Artinya,
ijma‟ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian, Imam Syafi‟i menolak ijma‟ ulama yang diakui
gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa
ijma‟ adalah ijma‟ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan
ijma‟ suatu negeri saja dan juga bukan ijma‟ kaum tertentu saja.28
c. Qiyas
Imam Syafi‟i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam
menetapkan hukum setelah Al-Qur‟an, Al-Sunnah, dan ijma‟. Beliau
adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau
adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan
kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau
27
28
Muhammad Idris al-Syafi‟I, Al-Risalah, (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 534
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, (al-Qahirrah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987),
h. 259
50
diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin
ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan
diajarkan.29
Sedangkan
mujtahid
sebelumnya
sekalipun
telah
menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat
rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad
secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit
diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini
Imam Syafi‟i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan
kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun
tetap praktis. Bahkan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah
qiyas.30
Beliau menggunakan qiyas berdasarkan firman Allah dalam Q.S. AlNisa ayat 59:
                
               

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
29
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep
Qiyas Imam Syafi‟i, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 96
30
Muhammad Idris al-Syafi‟i, Al-Risalah, (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 477
51
Imam Syafi‟I berpendapat bahwa maksud “kembalikan kepada Allah
dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari
keduanya yakni Al-Qur‟an atau Al-Sunnah.31
Selain
berdasarkan
kepada
Al-Qur‟an,
imam
Syafi‟i
juga
berdasarkan kepada Al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah,
yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama
Mu‟adz Ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur
disana. Mu‟adz Ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan Al-Qur‟an,
jika beliau tidak menemukan dalam Al-Qur‟an maka diputuskan
berdasarkan Al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam Al-Sunnah, maka
beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya.
4. Riwayat Hidup Imam Hambali
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H) merupaka ahli hadis sebagaimana
yang telah disepakati oleh para ulama. Akan tetapi terjadi perselisihan di antara
ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fikih. Ibn Jarir al-Thabary
berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk ahlu al-Hadis. Oleh
karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-pendapat imam Ahmad
dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fikih. Ibnu Qutaibah memasukkan
Ahmad ibn Hanbal dalam bilangan muhadditsin, bukan fuqaha.32
31
32
Muhammad Idris al-Syafi‟I, Al-Risalah, Juz I, h. 81
Abu Zahrah, Tarikh al-Islamiyyah, h. 323
52
Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hukum adalah:
a. Nash dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yang shahih
Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari Al-Qur‟an dari
Al-Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum
adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut
b. Fatwa para Sahabat Nabi saw
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan
mengambil dasar dari fatwa para sahabat Nabi saw yang tidak ada
perselisihan diantara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash
yang jelas dari Al-Qur‟an dan Rasul yang shahih.
c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa
sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa sahabat yang lebih
mendekati Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika
beliau tidak menemukan nash yang jelas dari Al-Qur‟an, Al-Sunnah
dan fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
d. Hadis Mursal dan Hadis Dha‟if
Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadis menjadi dua yakni
hadis mursal dan hadis dha‟if tidak seperti ulama yang membagi hadis
menjadi shahih, hasan dan dha‟if. Apabila dalam suatu perkara tidak
terdapat penyelesaian, maka hadis mursal dan dha‟if digunakan
53
sebagai hujjah. Akan tetapi hadis dha‟if yang digunakan bukan berarti
hadis dha‟if yang batil, mungkar dan hadis yang dalam periwayatnya
terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila hadis dha‟if
tersebut tidak terdapat atsar yang membantah keabsahannya, atau
pendapat sahabat, tidak pula ijma‟, maka lebih mengamalkan hadis
dha‟if lebih utama daripada melakukan qiyas.33
e. Qiyas
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qur‟an
san Sunnah yang shahih seta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadis dha‟if
dan mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum
menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan
al-Mashaliha al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai
contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta‟zir terhadap orang
yang selalu buat berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang
lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di
bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikutpengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishab dan dadd al-Zara‟I,
sekalipun Imam Ahmad sangat jarang menggunakannya dalam
menetapkan hukum.34
33
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi
Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108
34
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2003), h. 143
54
Kesimpulan dari uraian di atas Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl alRa‟yi. Beliau mengistinbathkan hukum Islam dari Al-Qur‟an ataupun Hadis
banyak menggunakan nalar, beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad.
Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan dengan jalan qiyas
dan ihtisan. Menurut imam Abu Hanafiah dalam menetapkan sumber hukum
yaitu Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Aqwalu al- Shahabah, al-Qiyas, al-Ihtisan, „Urf. Jika
menurut Imam Malik metode yang digunakan dalam menentapkan (Istinbath)
didasarkan pada Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Amal Ahl al-Madinah, Khabar Ahad dan
al-Qiyas, Al-Maslahah al-Mursalah, Fatwa Sahabat, Al-Istihsan, Saad al-Zara‟I,
Istishab. Jika menurut Imam Syafi‟i metode yang digunakan dalam menetapakan
hukum (istinbath) yaitu berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, Ijma‟ terhadap
sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah lebih diutamakan
atas khabar mufrad, qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahinya,
pendapat sahabat Nabi yang ikhtilaf, qiyas terhadap Al-Qur‟an dan Al-Sunnah,
hadis muttasil dan sanadnya shahih, makna dzahir hadits diutamakan, al-Ashl
tidak boleh diqiyaskan kepada pokok, qiyas dapat menjadi hujjah, dan terakhir
Imam bin Hanbal ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan
hukum dan fatwa dalam mazhab beliau, yaitu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, fatwa
sahabat yang terkenal dan tak ada yang menentangnya, jika para sahabat berbeda
pendapat maka beliau akan memilih pendapat yang dinilainya sesuai dan
mendekati Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, mengambil hadis mursal dan yang terakhir
qiyas.
55
B. Ulama Kontemporer
1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
a. Sejarah Lahirnya
Sejalan dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syari‟ah di tanah
air, berkembang pulalah jumlah Dewan Pengawas Syari‟ah yang berada dan
mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya
Dewan Pengawas Syari‟ah di masing-masing Lembaga Keuangan Syari‟ah
adalah suatu hal yang harus disyukuri. Tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan
ini berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbedabeda dari masing-masing Dewan Pengawas Syari‟ah dan hal itu tidak mustahil
akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di
Indonesia, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syari'ah yang bersifat
nasional dan memahami seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya
bank-bank syari'ah. Lembaga ini kemudian dikenal dengan Dewan Syari‟ah
Nasional. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
adalah salah satu lembaga yang dibentuk merupakan perangkat kerja MUI.
Kehadirannya merupakan implementasi dari orientasi, fungsi, dan tugas MUI,
antara lain memberikan fatwa, pengayoman, dan bimbingan kepada umat
dalam melaksanakan ajaran Islam, serta merupakan langkah proaktif MUI
dalam merespon kebutuhan umat Islam untuk dapat memiliki sistem
perekonomian Islami dan lembaga keuangan non ribawi.
56
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk
pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi lokakarya reksadana syariah
pada bulan Juli tahun 1997. Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dipimpin oleh ketua umum Majelis Ulama
Indonesia dan sekretaris (ex-oficio).35
Selanjutnya, pada tanggal 14 Oktober 1997, MUI mengadakan rapat
tim pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN). Dua tahun setelah tim
pembentukan DSN bekerja, dewan pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang pembentukan Dewan
Syariah Nasional MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI mengadakan acara
ta‟aruf dengan pengurus DSN-MUI tanggal 15 Februari 1999 di hotel
Indonesia, jakarta dalam acara ta‟aruf ini Menteri Agama, saat itu, Prof. H. A.
Malik Fadjar, M. Ed., melantik pengurus DSN-MUI.
Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI ini pun merupakan
langkah efisien dan koordinatif para ulama dalam menanggapi isu-isu yang
berhubungan dengan masalah ekonomi/keungan. Berbagai masalah/kasus
yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh
kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah. Penguru
DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan rapat pleno I DSN-MUI
35
Mohammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003) , hlm. 32
57
tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan pedoman dasar dan
pedoman rumah tangga DSN-MUI.
b. Tugas DSN-MUI
Tugas dan fungsi DSN-MUI adalah mengeluarkan fatwa tentang
ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator. Saat
ini, DSN MUI telah mengeluarkan fatwa sebanyak 81 fatwa. Fatwa-fatwa
tersebut mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga
keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. Selain itu,
fatwa-fatwa tersebut menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan syariah, dan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN).
c. Wewenang DSN-MUI
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait.
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia.
3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi namanama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada
suatu lembaga keuangan dan bisnis syariah.
58
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.36
2. Yusuf Al-Qardhawi
a. Riwayat Hidup
Nama lengkap Yusuf al-Qardhawi adalah Muhammad Yūsuf alQaradhāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di
Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang
taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya
meninggal dunia yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya pun
taat menjalankan ajaran Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap anak
kandungnya sendiri. Sehingga Yūsuf al-Qardhāwī menganggapnya sebagai
orang tuanya sendiri, maka tidak heran kalau Yūsuf al-Qardhāwī menjadi
seorang yang kuat beragama.
36
Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I,
(Jakarta: Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 2001) , hlm. 178-180
59
Kecerdasan Yūsuf al-Qardhāwī sudah mulai tampak sejak usianya
terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia di didik menghafalkan AlQur‟an secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh
sudah hafal al-Qur‟an dengan fasih. Karena kemahirannya dalam bidang alQur‟an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil oleh orang-orang dengan
sebutan Syekh Qardhāwī. Dan dengan kemahirannya serta suaranya yang
merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah (salat yang
mengeraskan bacaannya).37
Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qardhāwī telah lulus dari Ma‟had Tanta,
selama empat tahun. Kemudian di Ma‟had Sanawi yang diselesaikan dalam
waktu lima tahun. Yūsuf al-Qardhāwī kemudian melanjutkan pendidikannya
ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin,
jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan predikat terbaik.
Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qardhāwī masuk ke Ma‟had al-Buhus adDirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi di bidang
bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat pertama di
antara 500 mahasiswa. Kemudian melanjutkan studinya ke lembaga tinggi
riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan perkembangannya, selama
tiga tahun. Dan pada saat yang sama ia mengikuti kuliah pada program pasca
sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā) di Universitas yang sama dengan mengambil jurusan
37
Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qardhāwy, Yūsuf ”.
60
Tafsir Hadis, berhasil diselesaikan pada tahun 1960. Setelah itu Yūsuf alQardhāwī melanjutkan program doktor yang selesai dalam dua tahun, gelar
doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan
Dampaknya
Dalam
Penanggulangan
Kemiskinan”,
yang
kemudian
disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif
membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Yūsuf al-Qardhāwī terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang
diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya
rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar,
di sana Yūsuf al-Qardhāwī
sempat
mendirikan fakultas
Syari‟ah
di
Universitas Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qardhāwī mendirikan Pusat
Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.
Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qardhāwī
ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan
Ikhwanul
Muslimin.38
Setelah
keluar
dari
tahanan,
beliau
hijrah
ke Daha, Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qardhāwī pernah mengenyam
pendidikan penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia
masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya
dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Pada April tahun 1956, ia
38
David Commins, “Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih
bahasa Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133
61
ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober Yūsuf alQardhāwī kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.39
b. Metode ijtihad Yusuf Al-Qardhawi
Yūsuf al-Qardhāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.40 Oleh
karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya
tidak dapat dilepas begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qardhāwī
tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan
pada pribadi Yūsuf al-Qardhāwī. Sikap moderat tersebut tidak dapat
diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf al-Qardhāwī selalu
mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam pertengahan).
Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari pemahaman
Yūsuf al-Qardhāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan
antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas
dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan.
Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi terhadap alQur‟an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qardhāwī telah berhasil dengan sangat jenius
menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut.
Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran
Islam sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada
saat yang sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat39
Yūsuf al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004
A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paradigma
Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998, hlm. 58.
40
62
pendapatnya yang digalinya dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Yūsuf alQardhāwī dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihankelebihannya oleh umat-umat lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhatihati dan sangat selektif terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau
Timur, termasuk dari karangan umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qardhāwī tidak
pernah terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur.41
Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qardhāwī merupakan seorang ulama
kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid yang
berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak membaca
dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam serta
membaca kritik-kritik pihak lawan Islam.42
Yūsuf al-Qardhāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tak
jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya. Keresahan
menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat
terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya
menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qardhāwī berkeyakinan bahwa mengambil
jalan pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai
dengan warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui
tulisan.
41
Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili,
No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80 .
42
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449
63
Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk
pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qardhāwī berkomentar bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak
memahami parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern
ekstrem yang menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus
dihapuskan meskipun telah mengakar dengan budaya masyarakat, sama
dengan golongan di atas yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang
sebenarnya. Yang diinginkannya adalah pembaharuan yang tetap berada di
bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam, menurutnya bukan berarti
ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada bidang pemikiran dan
bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi bidang pemikiran
sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.43
Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qardhāwī dalam
berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut:44
1) Tidak fanatik dan tidak taqlid.
2) Mempermudah, tidak mempersulit.
3) Berbicara dengan bahasa aktual.
4) Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
5) Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.
43
Yūsuf al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih
bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), h. 327.
44
Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu‟asirah), alih bahasa As‟ad
Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h: 21
64
6) Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.
3. Wahbah al-Zuhaili
a. Riwayat Hidup
Wahbah al-Zuhaili lahir di Desa Dir Athiah, Damaskus, Syiria, pada tahun
1932 M, terlahir dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa
Sadah. Wahbah Zuhaili mulai belajar al-Quran dan Ibtidaiyah di kampungnya.
Menamatkan pendidikan ibtidaiyah di Damaskus pada tahun 1946 M. Wahbah
Zuhaili lalu melanjutkan pendidikannya di kuliah syariah dan tamat pada
tahun 1952 M. Dia sangat suka belajar, sehingga ketika pindah ke Kairo
Mesir, dia mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan. Yaitu di fakultas
Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar dan fakultas Hukum Universitas Ain
Syams.45
Wahbah Zuhaili memperoleh ijazah takhasus pengajaran Bahasa Arab di
al-Azhar pada tahun 1956, kemudian memperoleh ijazah Licence (Lc) bidang
hukum di Universitas Ain Syams pada tahun 1957. Magister Syariah dari
fakultas Hukum Universitas Kairo didapatnya pada tahun 1959. Sedangkan
gelar Doktor diperoleh pada tahun 1963.
Setelah memperoleh ijazah Doktor, Wahbah Zuhaili menjadi staf pengajar
pada fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963, kemudian
45
Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran:
Wizanah al Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993), cet. I., h. 684-685
65
menjadi asisten dosen pada tahun 1969, dan menjadi profesor pada tahun
1975. Sebagai guru besar, Wahbah Zuhaili juga menjadi dosen tamu di
sejumlah Universitas di Negara-negara Arab, seperti pada fakultas Syariah
dan Hukum, serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi Libya,
Univeresitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang
ketiganya berada di Sudan.46
Wahbah Zuhaili sangat produktif dalam menulis, mulai dari artikel dan
makalah, sampai kitab besar yang terdiri dari 16 jilid. Badi al-Lahlam
menyebutkan sebanyak 199 karya tulis Wahbah Zuhaili selain jurnal.
Diantara karya-karya terpenting Wahbah Zuhaili adalah al-Fiqh al-Islam
wa adillatuhu, at-Tafsir al-Munir, al-Fiqh al-Islam fi Uslubih al-Jadid,
Nazariyat adh-Dharurah asy-Syariyah, Ushul al-Fiqh al-Islami, as-Zharaiah
fi as-Siyasah asy-Syariah, al- Alaqat ad-Dualiyah fi al-Islam,
Kitab karyanya yang membuat Wahbah Zuhaili menjadi terkenal dan
banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran fikih kontemporer adalah al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu. Kitab ini berisi fikih perbandingan, terutama
madzhab-madzhab fikih yang masih hidup dan diamalkan oleh umat Islam di
seluruh dunia.47
46
Muhammad Khoirudin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer, (Bandung: Pustaka Ilmu,
2003.)
47
wahbah Zuhaili, Fiqh IslamWa Adillatuha, Penerjemah Abdul Hayyi al-Kattani, dkk
(Jakarta: Gema Insani, 2011)
66
b. Ijtihad Wahbah Zuhaili
Ijtihad kontemporer menjadi suatu kebutuhan primer terutama pada
era
globalisasi
dengan
dinamika
problematika
keumatan
dan
perkembangan teknologi yang cukup pesat. Hampir semua ulama
kontemporer menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang
telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Bagi Wahbah
Zuhali, tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa
ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen
pengambilan hukum. Menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya al-Ijtihâd
al-Mu‟âshir bain al-Indhibath wa al-Infirâth, ijtihad kontemporer bukan
hanya jaiz (boleh) akan tetapi lebih kepada fardhu kifayah bagi setiap
muslim. Beliau mengkritisi model ijtihad Intiqâi (elektis) yaitu pilihan
terhadap pendapat ulama fiqh terdahulu yang lebih kuat atau utama dari
pendapat-pendapat para ulama lainnya tentang fatwa atau hukum sesuatu.
Beliau mengatakan hal semacam ini bukanlah proses ijtihad yang
diinginkan, akan tetapi ini sebuah taklid buta karena hanya mengambil
perkataan seorang yang tidak ma‟shum (suci) tanpa suatu alasan. Beliau
lantas
menganjurkan
untuk
menggunakan
model
ijtihad
Insyâî
(konstruktif) yaitu penemuan hukum baru terhadap suatu masalah, yang
belum pernah difatwakan. Termasuk dalam kategori Ijtihad Insyâî
mengkaji kembali permasalahan-permasalahan lama, hingga menemukan
pendapat baru. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap
67
mujtahid dalam berijtihad di era kontemporer. Di antara rambu-rambu itu,
seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Bu‟ud dalam bukunya , Ijtihad, baina
haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, adalah sebagai berikut:
Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Yaitu
penguasaan yang mendalam terhadap al-Quran dan Sunah, dan
menghindari sedapat mungkin terjadi kesalahan dalam pemahaman. Oleh
karena itu beberapa kaidah dalam memahami teks harus dimiliki oleh
seorang mujtahid, diantaranya; a) memiliki kapabilitas dalam pengetahuan
bahasa Arab, b) mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab
al-nuzul wa al-wurud), c) mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya
ayat tersebut (maqashid al-Syari‟ah).
Kedua, fikih realitas (al-waqa‟iy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh
mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami
realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi‟, yaitu
pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang
dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang
mencakup fiqh al-waqi‟ adalah: a) Memahami dan mengetahui pengaruhpengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi
geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. b)
Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam
berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia, baik
dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. c) Mempelajari
68
kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi
dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat,
keduanya tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, ijtihad kolektif (jama‟iy). ijtihad kontemporer hanya bisa
dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ‟îy), kecuali
ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari
oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak
bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang
tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau
institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu,
mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Dengan ijtihad kolektif,
aktifitas musyawarah (syûrâ) dapat terwujud. Problem solving (Solusi
masalah) akhirnya dapat ditemukan.
Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada para ulama agar tidak
tergelincir dalam melakukan ijtihad kontemporer. Diantara penyebabnya
adalah: 1. Melupakan atau melalaikan nushush (Al-Quran dan Hadits serta
hukum-hukum yang telah disepakati) 2. Pemahaman yang dangkal dan
penyimpangan terhadap nushush. 3. Berpaling dari ijma‟ yang pasti. 4.
Qiyas (analogi) tidak pada tempatnya. 5. Terhanyut kedalam apa yang
69
terjadi di masa kini. 6. Berlebih-lebihan dalam mengasumsi maslahat
walaupun diikuti dengan adanya nushush.48
4. Syaikh Ali Jumu‟ah
a. Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Ali Jum'ah Muhammad Abdul Wahhab
(lahir 3 Maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir). Sejak 28 September 2003
beliau menjabat sebagai Mufti Republik Arab Mesir.
b. Latar Belakang
Syaikh Ali Jum'ah mulai menghafal Al-Qur'an pada usia sepuluh
tahun. Meskipun beliau tidak masuk sekolah agama, beliau telah
mempelajari kutubu sittah serta fiqih Maliki usai lulus dari bangku SMA.
Kemudian beliau masuk fakultas teknik atau fakultas perdagangan. Beliau
memilih
Fakultas
perdagangan
karena
bidang
ini
yang
akan
memungkinkan dia untuk mengisi waktu luang ketika melanjutkan studi
agama.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, Sheikh Ali Jum'ah terdaftar di
Universitas al-Azhar. Setelah menyelesaikan gelar sarjana kuliah Dirasat
Islamiyyah wal Arabiyyah Universitas al-Azhar pada tahun 1979, Sheikh
Ali Jum'ah terdaftar dalam program magister dalam Ushulul Fiqih kuliah
Syari'ah wal Qanun Universitas al-Azhar. Beliau memperoleh gelar
48
http://www.as-salafiyyah.com/
tanggal 24 januari 2014
wahbah-zuhaili-dan-ijtihad-kontemporer.html.
Diakses
70
magister pada tahun 1985 dengan nilai mumtaz. Diikuti dengan gelar
doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas alAzhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula.
Selain studi resminya, Sheikh Ali Jum'ah juga belajar kepada banyak
syekh dan ahli ilmu-ilmu syariah. Diantaranya ulama hadits Maroko dan
Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Sehingga mereka menganggap
Syekh Ali Jum'ah adalah salah satu mahasiswa yang paling berhasil.
Selain itu Syeikh Ali Jum'ah juga belajar pada: Sheikh Abd al-Fattah
Abu Ghuda, Sheikh Muhammad Abu Nur Zuhayr, Sheikh Jad al-Rabb
Ramadan Goma', Sheikh al-Husayni Yusif al-Shaykh, Sheikh Muhammad
Yasin al-Fadani, Sheikh Abd al-Jalil al-Qarnishawi al-Maliki, Sheikh alAzhar Sheikh Jad al-Haqq Ali Jadd al-Haq, Sheikh Abd al-'Aziz al-Zayat,
Sheikh Ahmed Muhammad Mursi al-Naqshibandi, Sheikh Muhammad
Zaki Ibrahim, and Sheikh Muhammad Hafidh al-Tijani.
Sebelum diangkat menjadi Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau
menjadi rujukan dalamManahij Fiqhiyyah di Universitas al-Azhar. Di
pertengahan 1990 Sheikh Ali Jum'ah mencetuskan kembali tradisi lama
yaitu memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, yang mana pelajaran
ini terbuka untuk umum sehingga orang-orang yang ingin lebih
mendalami tentang agama, bisa mengikuti pelajaran ini. Kuliah umum ini
terletak di ruangan dekat masjid al-Azhar.
71
Pada tahun 2003 Sheikh Ali ditunjuk sebagai Grand Mufti Mesir.
Sejak menjabat sebagai Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau
membuat Dar al-Ifta menjadi sebuah institusi modern dengan dewan
fatwa dan sistem checks and balances . Sheikh Ali Jum'ah juga
menambahkan
aspek
teknologi
untuk
institusi
tersebut
dengan
mengembangkan sebuah website canggih dancall center dimana orang
semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke institusi
tersebut. Sheikh Ali adalah seorang penulis yang produktif tentang isu-isu
Islam dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir di
mana ia membahas masalah-masalah kontemporer.
c. Pendidikan
1. Beliau mendapat gelar Bachelor of Commerce dari Universitas 'Ain
Syams tahun 1973 M.
2. Beliau juga mendapat gelar sarjana kuliah Dirasat Islamiyyah wal
Arabiyyah Universitas al-Azhar tahun 1979 M.
3. Magister dalam Ushulul Fiqih kuliah Syari'ah wal Qanun Universitas
al-Azhar tahun 1985 M dengan nilai mumtaz.
4. Mendapat gelar doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syari'ah wal
Qanun Universitas al-Azhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula.
d. Karya-karya
1. al-Hukm al-Shar‟i 'inda al-Ushuliyyin
2. Atsr Dhihab al-Mahal fi al-Hukm
72
3. al-Madkhal li-Darasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah
4. 'Alaqah Ushul al-Fiqh bi al Falasifah
5. al-Nashkh 'inda al-Ushuliyyin
6. al-Ijma' inda al-Ushuliyyin
7. 'Aliyat al-Ijtihad
8. al-Imam al-Bukhari
9. al-Imam al-Syafi‟i wa Madrasatuhu al-Fiqhiyyah
10. al-Awamir wa al-Nawahi49
49
http://www.muslimedianews.com/ biografi-ulama-sunni-syaikh-ali-jumah.html. Diakses
pada tanggal 24 januari 2014
73
BAB IV
HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI
MENURUT ULAMA EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA
KONTEMPORER
A. Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut Imam
Mazhab Empat dan Ulama Kontemporer
Jual beli secara tidak tunai atau kredit adalah cara menjual atau membeli
barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau
diangsur). Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai atau
kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak tunai.1Emas merupakan
komoditas unik. Emas mungkin satu-satunya komoditas yang ditimbun,
sementara komoditas lain diolah kembali untuk dikonsumsi.
Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma‟), dalam jual beli, emas
dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi2 dikarenakan illat-nya sama yaitu
sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama
fungsinya, seperti mata uang modern.3 Oleh sebab itu emas dan perak bisa
dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari
emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang
berbeda.
1
Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis dan Perbankan. hlm. 124
Benda-benda yang telah ditetapkan ijma‟ atas keharamannya karena riba ada enam macam
yaitu: emas, perak, gandum, syair, dan kurma, dan garam. Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh
Empat Mazhab, Jakarta: Hasyimi Press, 2010, hlm.226
3
Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis dan Perbankan. hlm. 86
2
74
Jika seseorang menjual barang yang mungkin mendatangkan riba (barang
ribawi), bukan berdasarkan jenisnya, maka di sini ada dua persoalan. Pertama,
jika barang itu dijual dengan barang yang tidak sepakat dalam illat riba, misalnya
menjual barang makanan dengan salah satu mata uang, maka tidaklah ada riba
padanya. Kedua, jika seseorang menjual dengan barang yang sepakat dalam sifat
(illat) riba, tetapi tidak sejenis, seperti menjual dirham dengan dinar (menjual
uang perak dengan emas), atau menjual makanan dengan makanan lain yang tidak
sejenis, maka menjualnya boleh berlebih atau berkurang. Hanya disyariatkan
padanya “kontan sama kontan, dan timbang terima di majelis akad”.4
Jual beli barang yang sejenis yang didalamnya terkena hukum riba, seperti
emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, kurma dengan
kurma, agar tidak terkena riba ada 3 syarat:5
1) Sepadan, sama timbangannya, dan takarannya, dan sama nilainya.
2) Spontan, artinya seketika itu juga.
3) Saling bisa diserah terimakan.
Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat pada dua perkara, yakni pada
jual beli dan pada penjualan atau pinjaman, atau hal lain yang berada dalam
tanggungan.
4
Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi‟i, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974, hlm.50
Mohammad Rifa,i, et al. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra
Semarang, 1991, hlm. 190
5
75
Riba pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utang piutang,
sedangkan riba jual beli juga terbagi dua yaitu riba fadl dan nasiah. Pada transaksi
jual beli emas ini masuk kepada riba jual beli yaitu jika:
a) Riba fadl, yaitu riba dengan pelebihan pembayarannya, 6 atau tambahan dalam
salah satu baarang yang dipertukarkan. Illatnya menurut ibnu Taymiyyah
yang dikutip oleh Saleh Al-Fauzan adalah takaran, atau timbangan.7
Makna “pelebihan pembayarannya” adalah tidak sama ukurannya,
contohnya:
- Menukar satu bakul kurma jenis ajwah dengan 2 bakul kurma jenis sukari
dengan cara tunai.
- Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas using dengan cara
tunai
- Menukar Rp.10.000,- kertas dengan Rp.9800,- logam dengan cara tunai.
b) Riba nasi‟ah yaitu menukar harta riba dengan harta riba yang „illatnya
(alasannya) sama dengan cara tidak tunai,8
1. Makna”„illatnya sama “barang yang berupa objek tukar menukar sama
illatnya, seperti keduanya adalah alat tukar, atau keduanya makanan pokok
yang tahan lama, baik jenisnya sama ataupun tidak.
6
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali, Achmad Zaidun, “Bidayatul Mujtahid
Wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani, Cet III, 2007, hlm.705
7
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, et al, Al-Mulakhkhasul
Fiqhi, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 392
8
Syuhada Abu Syakir, Op, Cit, hlm.85
76
2. Maksud “tidak tunai” transaksi serah terima kedua barang dilakukan pada
saat yang tidak sama, contohnya:
a. Menukar 1 ember kurma dengan 1 ember gandum dengan tidak tunai.
b. Menukar 100 gram emas dengan 100 gram emas secara tidak tunai.
c. Menukar SR. 100,- dengan Rp. 2.000.000,- dengan cara tidak tunai.
Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli
emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang
membolehkan, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Ulama yang Tidak Membolehkan Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah
para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i dan Ahmad Hanbali) .
Dinyatakan dalam hadis „Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
‫سمعت زسىل اهلل ينهً عه بيع الرهب ببلرهب والفضة ببلفضة والبس ببلبس والشعيس ببلشعيس والتمس‬
‫ببلتمس والملح ببلملح مثال بمثل سىاء بسىاء يدا بيد فإذا اختلفت هره األصنبف فبيعىا كيف شئتم إذا كبن‬
9
.‫يدا بيد‬
Artinya:“Aku mendengar Rasulullah Saw melarangemas ditukar dengan
emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan
gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang,
kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam dan
harus serupa dan sama utkurannya serta tunai. Apabila jenisnya
berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat tunai”.(HR.
Muslim)
Benda-benda yang diharamkan riba yang dinashkan dengan ijma‟ ada
enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya‟ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat
9
Hadis, ”Shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalam Mausū‟at al-Hadīts al- Syarīf, edisi 2,
Global Islamic Software Company, 1991-1997
77
emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Malik dan Syafi‟i
dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan benda-benda
tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang. 10 Menurut Imam Syafi‟I
illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak saja. Jika
melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah,
dan pendapat ini disetujui Imam Malik.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman
menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah
benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan
jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena bendabenda itu benda-benda yang disukat, dan sama hukumnya.11 Dalil mereka
adalah banyaknya isyarat tentang itu dalam Al-Quran, diantaranya :
QS. Asy Syu‟ara (42) ayat 181-183;
             
)۱۸۱-۱۸۱ :۲۴/‫ (الشىزي‬         
Artinya:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orangorang yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang
lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan;
10
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001, hlm.340-343
11
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5, Jilid V , Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2003 , hlm.262
78
QS. Al-Muthaffifin (83) ayat 1-3
      
        
  
)۱-۱ :۸۱/‫ (المطففيه‬ 
Artinya:“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (1) (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi (2) dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3)”
Kemudian hadis Nabi Saw tentang keberadaan sebab (illat) yang juga
dijadikan dalil oleh imam Ahmad bin Hanbal yaitu berdasarkan riwayat Ibnu
Umar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
ِ‫عيْه‬
َ ‫الَ َتبِيعُُا انذيىَبسَبِب نذيىَب َسيْهِ ََال انذسٌَْم بِبنذسٌْ َميْهِ ََنَب انصَبعَ بِبنصب‬
Artinya:“jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar,jangan pula
menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha‟
dengan dua sha‟.”(HR. Ahmad)12
Sehingga dalam hadis diatas emas diangap sebagai takaran atau
timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab.
Menurut jumhur ulama, bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat,
sedangkan kurma, gandum, sya‟ir, dan garam juga memiliki illat tersendiri.
b. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai
Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana
disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan
Syekh Ali Jumu‟ah, mufti Mesir.
12
Hadis, ”Musnad Ahmad bin Hanbal”, hadis no. 5619 dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf,
edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997.
79
Dalil yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi Saw :
ٍ‫الَ َت ِبيْعُُا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إالّ ِمثْال بِ ِم ْثمٍ ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز‬
Artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran
yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha‟ib(tidak diserahkan
saat itu) dengan emas yang tunai.”(HR. al-Bukhari).13
Menurut Syekh Ali Jumu‟ah yang dikutip dalam fatwa, emas dalam hadis ini
mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan
transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada
pula hukum tersebut. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul :
‫عذَ مًب‬
َ ََ ‫ج ُْدًا‬
ُ َُ ًِِ‫انحُكْمُ َي ُذَْسُ مَعَ عِهت‬
Artinya: “Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya‟illat.”14
Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena
hukum berputar (berlaku) bersama dengan „illat-nya, baik ada maupun tiada. Atas
dasar itu, maka tidak ada larangan syara‟ untuk menjualbelikan emas yang telah
dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.15
Selanjutnya dalam fatwa DSN-MUI mengutip pendapat Ibnu Taymiyah
yaitu,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya
tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai
kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran
13
Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2,
Global Islamic Software Company, 1991-1997.
14
„Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu‟ah al-Qawa‟id al-Dhawabith al- Fiqhiyah al-Hakimah lial-Mu‟amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar „Alam al-Ma‟rifah, 1999), h. 395
15
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 275
80
tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak
dimaksudkan sebagai harga (uang).”16
Selanjutnya kutipan dari Ibnul Qayyim lebih lanjut menjelaskan, “Perhiasan
(dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi
perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan
barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat
atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula
riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang),
sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga
(uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu
karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut
telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah
dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk
memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama.”17
Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwasannya hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai atau
kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara
tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Sebagian besar ulama telah
sepakat dalam jual beli emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi
16
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 279
17
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 280
81
dikarenakan illatnya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai
alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang modern. Oleh sebab itu
enas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami
uang sebagai mata uang yang sejenis yaitu emas. Jual beli barang yang sejenis
yang didalamnya terkena hukum riba, seperti emas dengan emas, perak dengan
perak, beras dengan beras, kurma dengan kurma, agar tidak terkena riba ada 3
syarat diantaranya harus sepadan yaitu sama timbangannya, spontan artinya
seketika itu juga, dan saling bisa diserah terimakan.
Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat dua perkara, yakni jual beli dan
pada penjualan atau pinjaman, atau hal lain yang berada dalam tanggungan. Riba
pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utang piutang, sedangkan riba
jual beli terbagi dua yaitu riba fadl dan riba nasiah. Terdapat perbedaan
pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai,
ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan. Ulama yang tidak
membolehkan jual beli emas secara tidak tunai diantaranya ulama imam empat
mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan Ahmad Hanbali). Menurut Imam
Malik dan syafi‟i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan bendabenda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang, menurut Imam Syafi‟i
illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak saja. Jika
melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah, dan
pendapat ini disetujui Imam Malik. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara
82
tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, dan sama
jenisnya. Kemudian hadis Nabi saw tentang keberadaan sebab (illat) yang juga
dijadikan dalil oleh imam Ahmad bin Hanbal yaitu berdasarkan riwayat Ibnu
Umar , bahwasannya Rasulullah saw bersabda “Janganlah kalian menjual satu
dinar emas dengan dua dinar, dan jangan pula menjual satu dirham dengan dua
dirham, dan jangan pula satu sha‟ dengan dua sha‟(HR. Ahmad), sehingga
dalam hadis ini emas dianggap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang
sama karena terwujudnya sebab.
Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana
disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyyah,
dan Syekh Ali Jumu‟ah. Menurut Syekh Ali Jumu‟ah yang dikutip dalam fatwa,
emas mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media
pertukaran dan transaksi dimasyarakat terdahulu, ketika saat ini kondisi itu telah
tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Selanjutnya pendapat Ibnu Taimiyyah
yaitu boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya
tanpa syarat harus sama kadarnya, dan kelebihannya dijadikan sebagai
kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli dengan cara tunai
ataupun tidak tunai, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga.
Selanjutnya kutipan dari ibnul Qayyim “perhiasan (emas atau perak) yang
diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diiperbolehkan,
berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis
83
harga (uang). Tidak wajib zakat atas perhiasan (emas dan perak) dan tidak berlaku
pula riba (dalam pertuakaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga.
B. Analisis Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan dalam ilmu fiqh
yang dikenal dengan istilah istinbath hukum. Setiap istinbath (pengambilan
hukum) dalam syariat Islam harus berpijak kepada al-Quran, as-Sunnah dan
ijtihad.
Pada fatwa DSN-MUI dalil yang menjadi acuan utama dalam menetapkan
fatwa adalah hadis Nabi saw tentang jual beli emas. Dalam memahami hadis yang
baik dalam pendekatannya menurut Yusuf Qardawi salah satunya dengan
memperhatikan sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya satu hadis,
atau kaitannya dengan sebab atau alasan (illat) tertentu. Yang dikemukakan dalam
hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian
yang menyertainya. Selain itu untuk memahami hadis harus diketahui kondisi
yang meliputinya serta dimana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian
maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan
yang menyimpang.18
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat,
haruslah diketahui kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk kajian apa ia
diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan
18
Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1993),
hlm.132
84
terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari pengertian
yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Dalam fatwa DSN-MUI ada dalil-dalil dari hadis Nabi saw hadis yang
digunakan untuk menjadi landasan dalam fatwa. Dari hadis Nabi tersebut,:
1. Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i, dan Ibnu Majah,
dengan teks Muslim dari „Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda:19
ً‫انزٌَبُ بِبنزٌَبِ ََانْفضةُ بِبنْفِ ضةِ ََا ْنبُش بِب ْنبُش ََانش ِعيْشُ بِبنش ِعيْشِ ََانتمْشُ بِبنتمْشِ ََانْمِهْحُ بِبنْمِهْحِ ِم ْثال‬
.ٍ‫ش ْئتُمْ ِإرَا كَبنَ َيذًا ِبيَذ‬
ِ َ‫ف َف ِبيْ ُعُْا َكيْف‬
ُ ‫صىَب‬
ْ ‫ختَهَفَتْ ٌَ ِزيِ اْ َأل‬
ْ ‫فَإِرَا ا‬, ٍ‫ َيذًا ِبيَذ‬, ٍ‫سَُاءً بِسَُاَء‬
َ , ٍ‫بِ ِم ْثم‬
“(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya‟ir dengan sya‟ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.
2. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda:20
....َ‫انزٌََبُ بِبنَُْسِقِ ِسبًب إِنَب ٌَبءَ ٌَََبء‬
“(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan secara tunai”.
3. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa‟id al-Khurdi, Nabi saw bersabda:21
ً‫ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ا ْنَُسِقَ بِب ْنَُسِقِ إِال ِم ْثال‬, ٍ‫ضٍَبعَهَى ب َعض‬
َ ‫َال َت ِبيْ ُعُْا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إِال ِم ْثالً بِم ْثمٍ ََالَ تُشِفُْا ب َع‬
ٍ‫ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز‬, ٍ‫ضٍَب عَهَى ب َعض‬
َ ‫بِ ِم ْثمٍ ََالَ تُشِفُْا ب َع‬
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain, janganlah
19
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
20
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
21
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 269
hlm. 270
hlm. 270
85
menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah
menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual
emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai”.
4. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara‟ bin „Azib dan Zaid bin Arqam:22
‫س ُْلُ اهللِ صَهى اهللُ عََهيًِْ ََسَهمَ عَهْ بيَعِ ا ْنَُ ِسقِ بِبنزٌَبِ َد ْيىًب‬
ُ َ‫وٍَى س‬
“Rasulullah Saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak
tunai).”
Dalam metode memahami hadis oleh Yusuf Qardawi bahwa
Berubahnya adat kebiasaan yang menjadi nash seperti berubahnya illat emas
yang sebelumnya tsaman menjadi sil‟ah adalah kondisi dimana saat ini emas
sudah
tidak
lagi
menjadi
alat
pembayar
yang
resmi.
Dalam
mempertimbangkan nash-nash yang berkaitan dengan tradisi yang muncul
pada masa Nabi Saw yang bersifat temporer. Oleh ulama kontemporer
membolehkan menghilangkan makna harfiah atau tekstualnya.23
Keempat hadis diatas yang melarang berjual beli emas secara tidak tunai
ini telah menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga
tata cara mentransaksikannya diingatkandengan begitu detail oleh Nabi Saw.
Mengingat emas adalah logam mulia yang secara kebendaan memiliki sifat
kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang
menyimpan nilai dan sebagai pengukur nilai barang lain, sehingga emas
menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran atau uang.
22
Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 270-271
23
Yusuf Qardawi, Studi Kritis Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995, hlm. 132
86
Para ulama juga menyepakati hadis-hadis diatas, bahwa mereka
membatasi jenis ribapada keenam jenis komoditas tersebut (emas, perak,
gandum, sya‟ir, kurma dan garam)24 dan juga berdasarkan penetapan nash dan
ijma‟.
Di dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa sebab musabab riba pada
emas dan perak adalah karena mereka bisa ditimbang, sedangkan keempat
barang lainnya karena bisa ditakar.25 Berdasarkan riwayat diatas, maka semua
yang ditakar dan ditimbang menjadi riba apabila dijual dengan sesama jenis,
baik itu berbentuk makanan atau bukan.Maka kesimpulan hadis-hadis diatas
adalah:
a. Haramnya menjual (menukar) emas dengan perak atau sebaliknya disertai
rusaknya transaksi ini ketika kedua belah pihak yang melakukan transaksi
tidak menyerahkan barangnya secara tunai dalam majelis akad.
b. Haramnya menjual bur dengan bur atau sya‟ir dengan sya‟ir disertai
rusaknya akad apabila kedua belah pihak yang bertransaksi tidak
menyerahkan barangnya secara tunai sebelum berpisah dari majelis akad.
c. Sahnya barter dalam musharafah (tukar menukar) apabila dilakukan
secara tunai, demikian pula menjual bur dengan bur, sya‟ir dengan sya‟ir
dalam majelis akad.
24
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali, Achmad Zaidun, “Bidayatul Mujtahid
Wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani, Cet III , 2007, hlm.711
25
Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid 5, terj.Anshari Taslim, Al Mughni Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008, hlm.364
87
d. Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat melakukan transaksi,
baik dengan
duduk, kedua pihak sama-sama berjalan atau menaiki
kendaraan. Sedangkan “perpisahan” adalah sesuatu yang dikenal dengan
perpisahan menurut kebiasaan masyarakat.
Menurut abu yusuf yang dikutip oleh Yusuf Qardawi berpendapat
bahwa ketentuan memperhitungkan jenis-jenis tersebut dengan takaran
atau timbangan adalah berlandaskan urf (kebiasaan setempat) . maka
apabila kebiasaan setempat mengalami perubahan, maka jual beli
mengacu kepada kebiasaan baru tersebut.26
Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nisa‟ (4) ayat 29:
    
    
       
     
)۴9:۲/‫ (النسبء‬        
 
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan
membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti
membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.”
Sedangkan Abu Surai Abdul Hadi dalam bukunya Bunga Bank
dalam Islam berpendapat bahwa harus memperhatikan kepentingan
26
Yusuf Qardawi, Studi Kritis Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995, hlm. 154
88
umum, semua macam transaksi itu halal sebelum ada pemerasan dan
sesuai dengan keadaan ekonomi masing-masing negara.27
Menurut DSN-MUI hadis ini mengandung illat yaitu bahwa emas
dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat
dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum
tersebut.
kata “dzahab” (emas) itu bersifat umum bagi semua, baik yang
dijadikan alat tukar maupun yang tidak demikian juga dengan “al waraq”
(perak), dan sabdanya:
‫ "انزٌََبُ بِب ْنَُ ِسقِ ِسبًب‬:َ‫س ُْلُ اهلل صَهّى اهللِ ََ آنًِِ ََسَهَم‬
ُ َ‫ قَبلَ س‬:َ‫ قَبل‬,‫عهْ عُمَشَ ْبهِ انْخَطَبِ سضى اهلل‬
َ
)‫)سَاي مسهم‬.َ‫ ََا ْنبُ ُش بِب ْنبُشِ سِببً إِالَ ٌَب َء ََ ٌَبء‬,َ‫إِالَ ٌَب َء ََ ٌَبء‬
Artinya:“Dari Umar bin Khattab, dia berkatabahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Menjual emas dengan perak itu riba kecuali dengan
kontan seluruhnya, kurma dengan kurma itu riba kecuali dengan
kontan seluruhnya, gandum dengan gandum itu riba kecuali
dengan kontan seluruhnya, dan sya‟ir (sejenis gandum)
dengansya‟iritu riba kecuali dengan kontan seluruhnya”28.
Dan dalam jual belinya disebutkan kata َ‫ إِالَ ٌَبءَ ََ ٌَبء‬memiliki banyak
cara pengucapan. Yang paling terkenal adalah dengan memanjangkan
(huruf ha‟) dan memfathahkan hamzah. Maknanya adalah tunai.29 Ini
27
Abu Surai Hadi, Bunga Bank dalam Islam, terj.Thalibi, ar-Ribawal Qarudl , Surabaya: alIkhlas, 1993, hlm. 162
28
Hadis, ”Sunan al-Nasa‟i”, hadis no. 4482,dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2,
Global Islamic Software Company, 1991-1997
29
Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib,
Taisirul „Allam Syarhu Umdatil Ahkam, Malang: Cahaya Tauhid Press, Cet.VII, 2010, hlm. 193
89
berarti dalam pembayarannya haruslah masih dalam keadaan bertatap
muka antara penjual dan pembeli.
Dalam hadis diatas Nabi Saw menjelaskan tata cara jual beli yang
benar untuk macam-macam barang di atas yaitu barang-barang yang
padanya terkena hukum riba. Caranya adalah orang yang hendak menjual
emas dan perak atau sebaliknya harus dilakukan satu waktu dan kontan.
Kalau tidak, maka akad jual beli tidak sah. Karena jual beli ini adalah
tukar menukar dimana untuk sahnya disyaratkan dilakukan tunai.
Hal ini dipertegas lagi oleh Abdullah Saeed dalam bukunya yang
berjudul Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba
and its Contemporary Interpretation bahwa, jika komoditi yang
ditransaksikan meliputi emas, perak, gandum, gerst, kurma, dan garam,
serta jenis komoditi lainnya yang semisal yang ditentukan dengan metode
qiyas, maka transaksinya harus dilakukan secara langsung (dari person ke
person), tidak boleh ditangguhkan, dan kadarnya harus sama (equal).
Karena
penangguhan
penyerahan
komoditi
yang
menyebabkan
meningkatnya salah satu nilai tukar komoditi adalah termasuk riba.30
Berijtihad dengan „urf itu perlu karena disini hukum ditetapkan
dengan yang biasanya terjadi bukan dengan yang jarang terjadi,31 penting
30
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, hlm. 63
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 86
31
90
untuk meluruskan suatu masalah dengan syarat mujtahidnya adalah
mereka yang mumpuni dalam hal-hal yang akan diijtihadkan.
Adat kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak
dinamis dari hukum Islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai
hukum Islam. Hukum Islam menerima adat yang baik dan tidak
bertentangan dengan nash yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan
Nabi-Nya.
Jika dipahami secara kontekstual, maksud hadis-hadis diatas adalah
tukar menukar emas selama emas tersebut dijadikan barang maka tidak
akan terkena hokum riba padanya. Jika dilihat dari sosio historis juga pada
saat itu emas dan perak memanglah menjadi alat tukar dunia dan sekarang
sudah beralih mengikuti zaman. Dalam fatwanya, DSN-MUI juga
mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan
transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim
dan
ulama
kontemporer
yang
sependapat.
Mereka
mengemukakan bahwa, emas dan perak adalah barang (sil‟ah) yang dijual
dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat
pembayaran, uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan
berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan
tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba
(dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang),
sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara
91
harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang
sama.32
Penulis berpendapat bahwa merubah illat emas yang sebelumnya
tsaman (harga) menjadi sil‟ah (barang) ini sah-sah saja karena memang
saat ini emas sudah jarang dijadikan alat tukar. Akan tetapi dalam hal jual
belinya emas yang sudah berubah illat menjadi barang ini tentunya dilihat
kembali barang ini tadinya adalah benda yang melekat sifat itu padanya
penyimpan kekayaan dan juga disebutkan dalam ijma‟para ulama
termasuk barang ribawi, maka hendaklah berhati-hati dalam memperjual
belikannya agar tidak terjerumus pada praktek ribawi.
Menurut Yusuf Qardhawi, emas pada zaman sekarang tidak
kehilangan fungsinya sebagai alat pembayar hanya saja perannya
tergantikan dengan uang kertas saat ini yang lebih efisien.33 Oleh karena
itu haram hukumnya dikelola secara riba.
Bahwa Allah tidak akan berlaku zalim pada hamba-hamba-Nya dan
apa yang Dia peritahkan itu akan menjadi kebaikan kepada hamba-hambaNya dan apa yang Allah haramkanpun akan menjadi kebaikan jika
hambahamba- Nya mematuhi-Nya.
32
Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010, Jual-beli Emas Secara Tidak Tunait, hlm.
280
33
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 1, terj. As‟ad Yasin, Hadyul Islam Fatawi
Mu‟ashirah, Jakarta: Gema Insani, Cet I, 1995, hlm.771-772
92
C. Analisis Terhadap Relevansi Fatwa DSN-MUI Nomor: 77 / DSN-MUI/ V/
2010, Yusuf al-Qardhawi, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Taimiyyah Dengan
Pendapat Para Ulama Mazhab dan Pendapat Ulama Kontemporer
Relevansi memiliki arti hubungan atau kaitan, secara umum relevansi
adalah kecocokan, bersangkut paut.34 Dan dalam analisis disini penulis akan
menganalisis relevansi fatwa DSN-MUI dengan pandangan para ulama
mazhab yang akan menghasilkan fatwa lebih memiliki kecocokan dengan
ulama mazhab yang mana. Fatwa adalah usaha memberikan penjelasan
tentang hukum syara‟ oleh seorang ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Ini mengindikasikan bahwa fatwa lebih khusus dari pada
ijtihad, fatwa dilakukan setelah adanya orang bertanya sedangkan ijtihad
dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.35
Sebenarnya antara ijtihad dan fatwa tidak dapat dibandingkan karena
subyeknya berbeda. Ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan
dalilnya, sedangkan fatwa adalah usaha menyampaikan hasil penggalian
melalui ijtihad tersebut kepada orang lain melalui ucapan atau perbuatan
seperti seorang hakim yang memutus suatu perkara yang harus dijalankan.
Dalam pengambilan suatu ketetapan hukum Pengaruh adat dalam
kehidupan hukum adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab,
hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung proses dinamis
34
TimPenyusunKamusPusatBahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.hlm.1191
35
Abdul Fatah Idris, IstinbathHukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka Zaman,2007, hlm.109
93
penolakan bagi yang buruk dan penerimaan bagi yang baik sesuai dengan
kebutuhan
objektif
masyarakat.
Persoalan
menjadi
serius
manakala
pertumbuhan suatu kebiasaan masyarakat, secara absolut bertentangan dengan
hukum. Hukum Islam mengakomodasi adat suatu masyarakat sebagai sumber
hukum selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Qur'an
maupun al-sunnah.36
Kegiatan ekonomi dewasa ini, dalam hal jual beli emas terdapat macammacam bentuk, seperti membeli emas secara kredit, menukar emas lama
dengan emas yang baru, membeli emas dengan menggunakan cek, dan
sebagainya yang sepertinya hal itu susah dihilangkan dari masyarakat dunia.
Jual beli merupakan salah satu kegiatan bermuamalah, dan prinsip dalam
bermuamalah adalah setiap kegiatan bermuamalah itu diperbolehkan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.
Mengingat bahwa transaksi jual beli emas yang dilakukan masyarakat
saat ini seringkali dilakukan dengan cara pembayaran tidak tunai, baik secara
angsuran (taqsith) maupun secara tangguh (ta‟jil), maka DSN-MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara
tidak tunai untuk dijadikan pedoman. Maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa
Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang kebolehan jual-beli emas secara tidak
tunai yang isi keputusannya bahwa jual beli emas secara tidak tunai
36
Said Agil Husein al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas sosial, Jakarta: Permadani,
2004, hlm. 41
94
diperbolehkan selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang),
dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut:
1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu
perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan
(rahn).
3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak
boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan
perpindahan kepemilikan37
Dalam hal jual beli emas secara tidak tunai para ulama berbeda pendapat
di antaranya Pertama, Melarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali .Kedua , membolehkan; dan ini
pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang
sependapat.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, disini terjadi perbedaan pandangan
mengenai illat pada obyek jual belinya yaitu emas. Dan DSN-MUI
menggunakan pada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang
membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, Ibnu Taimiyah berpendapat,
“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya
tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan
37
Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm.11
95
sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan
pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan
tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).”38
Ibnu Qayyim menjelaskan lebih lanjut, “Perhiasan (dari emas atau
perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang
diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan
merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas
perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula
riba (dalam pertukaran atau jualbeli) antara perhiasan dengan harga (uang),
sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga
(uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu
karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas)
tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan
bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada
larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama.”
DSN-MUI menghukumi jual beli emas secara tidak tunai adalah mubah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
ٍ‫الَ َت ِبيْعُُا انزٌَبَ بِبنزٌَبِ إالّ ِمثْال بِ ِم ْثمٍ ََالَ َت ِبيْ ُعُْا ِم ْىٍَب غَب ِئبًب ِبىَبجِز‬
Artinya:“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran
yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha‟ib(tidak
diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai.”(HR. al-Bukhari).39
38
Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai,
hlm. 279
96
Hadis ini menurut mereka mengandung illat yaitubahwa emas dan perak
merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat
ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Ini dikaitkan
dengan dengan kaidah ushul :
‫عذَ مًب‬
َ ََ ‫ج ُْدًا‬
ُ َُ ًِِ‫انحُكْمُ َي ُذَْسُ مَعَ عِهت‬
Artinya: “Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‟illat.”40
Meskipun ada dalil yang melarang menjual atau membeli emas secara
tangguh. Sebagaimana hadis berikut:
‫سمعت زسىل اهلل ينهً عه بيع الرهب ببلرهب والفضة ببلفضة والبس ببلبس والشعيس ببلشعيس والتمس‬
‫ببلتمس والملح ببلملح مثال بمثل سىاء بسىاء يدا بيد فإذا اختلفت هره األصنبف فبيعىا كيف شئتم إذا كبن‬
.‫يدا بيد‬
Artinya:”Aku mendengar Rasulullah Saw melarang emas ditukar dengan
emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan
gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang,
kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam dan
harus serupa dan sama utkurannya serta tunai. Apabila
jenisnyaberbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat
tunai”.(HR. Muslim)41
Imam Syafi'i berpendapat bahwa menjual emas dan perak (lain jenis)
dengan berbeda lebih banyak adalah boleh, tetapi jika sejenis (emas dengan
emas) tidak diperbolehkan dengan kata lain riba. sedangkan Imam Syafi'I
39
Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalamMausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2,
Global Islamic Software Company, 1991-1997
40
Ali Ahmad al-Nadwiy, Mawsu‟ah al-Qawa‟id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah
li-al-Mu‟amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar „Alam al-Ma‟rifah, 1991, J. I), h. 359
41
Hadis, ”Shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalamMausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global
Islamic Software Company, 1991-1997
97
mensyaratkan agar tidak riba yaitu sepadan (sama timbangannya, takarannya
dan nilainya) spontan dan bisa diserahterimakan. Dan mereka sepakat bahwa
jual beli mata uang harus dengan syarat tunai, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang waktu yang membatasi. Imam Hambali dan Syafi'i berpendapat bahwa
jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum
berpisah, baik penerimanya pada saat transaksi atau penerimaannya terlambat.
Tetapi imam Maliki berpendapat jika penerimaan pada majelis terlambat,
maka jual beli tersebut batal, meski kedua belah pihak belum berpisah.
Emas dan uang kertas itu sama pada dasarnya hal itu dikarenakan
emas diterima oleh masyarakat sebagai alat penukar tanpa perlu dilegalisasi
oleh pemerintah (bank sentral), sedangkan uang kertas diterima sebagai alat
penukar karena pemerintah mengatakan behwa uang kertas itu adalah alat
pembayar yang sah.42 Dalam hal inilah kita dapat melihat bahwa uang dapat
mengambil bentuk barang yang nilainya dianggap sesuai dengan kemampuan
tukarnya. Emas dan perak memiliki nilai yang dianggap sebagai komoditas
untuk menyimpan kekayaan. Ibnu Khaldun menulis, tuhan menciptakan dua
logam mulia (emas dan perak) itu untuk menjadi alat pengukur nilai atau
harga bagi segala sesuatu.43 Al-Maqrizi dalam Ighatsah menambahkan, tuhan
menciptakan dua logam mulia itu bukan sekedar sebagai alat pengukur nilai,
atau untuk menyimpan kekayaan, tapi juga sebagai alat tukar. Para ulama
42
Prathama Rahardja, Uang Dan Perbankan, Jakarta: Rineka Cipta,Cet-III, 1997, hlm. 11
Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, Jakarta: Pt.Ufuk Publising House, 2012 , hlm. 92
43
98
mazhab yang berpendapat demikian itu ialah Imam Malik, Ahmad dan
sebagian ulama Syafi‟iyah. Alasan mereka ialah karena dengan cara demikian
itu agar tercapai tujuan agama Islam mencegah riba dan menutup
kemungkinan dari praktek riba itu.44
Penulis melihat relevansi fatwa dengan ulama mazhab itu tidak bisa
dipisahkan karena dalam mengeluarkan fatwa salah satu pijakannya adalah
dengan ijtihad para ulama mazhab. Dapat disimpulkan bahwa fatwa DSNMUI
tentang jual beli emas secara tidak tunai relevan dengan ulama mazhab yang
membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, yaitu pendapat Ibnu Taimiyah
dan Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar
atau penundaan pelunasan dierbolehkan dalam konteks pembayaran jasa
pembuatannya .
44
As Shan‟ani, Terjemahan Subulussalam, Jilid III, terj. Abu Bakar Muhammad, Subulus
Salam III , Surabaya : Al-Ikhlas, 1995, hlm.142
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mendiskripsikan pembahasan secara keseluruhan sebagai
upaya menjawab pokok-pokok permasalahan dalan menyusun skripsi ini, menarik
dalam beberapa kesimpulan, tentang pelaksanaan dan sistem jual belii emas di GTIS
sebagai berikut :
1. Menurut para ulama empat mazhab bahwa emas merupakan barang yang
ditimbang dan ditakar, karena barang yang ditimbang, atau ditakar sama dengan
jenis harta yang berpotensi riba.
2. Mengenai alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai dalam fatwa
DSN-MUI No:77/DSN-MUI/V/2010 adalah:
a. DSN-MUI menafsirkan hadis Nabi Saw tentang jual beli emas secara
kontekstual ini menjadikan hasil dari istinbath mereka dalam jual beli emas
secara tidak tunai dihukumi mubah.
b. DSN-MUI tidak beristinbaht secara langsung akan tetapi dalam merumuskan
fatwa mereka mengambil dari istinbath yang dilakukan oleh ulama mazhab
yang membolehkan kemudian dijadikan dalil penguat dalam istinbath mereka.
c. Pada zaman sekarang ini keadaan telah berubah semua, maka emas sudah
bukan lagi menjadi alat tukar, akan tetapi menjadi barang seperti umumnya.
100
3. Berdasarkan hasil analisis maka Relevansi fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSNMUI/V/2010 tentang jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para
ulama mazhab adalah relevan kepada ulama mazhab yang membolehkan. pada
dasarnya jual beli emas ini ada dua pendapat ulama yang berbeda yaitu ada yang
melarang dan ada yang membolehkan. pertama, para imam mazhab empat sepakat
bahwa emas termasuk dalam jenis barang ribawi dan dalam jual belinya
diisyaratkan tunai, mereka memandang emas walau dalam bentuk dan kondisi
apapun tetap melekat sifat pada emas tersebut nilai . kedua, adalah ulama Ibnu
Taymiyah dan Ibnu Qayyim Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang
(sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman
(harga, alat pembayaran, uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi
perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan
tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam
pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana
tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan
barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Maka fatwa DSN-MUI
tentang jual beli emas secara tidak tunai relevan dengan ulama mazhab yang
membolehkan jual beli emas secara tidak tunai , yaitu pendapat Ibnu Taymiyah
dan Ibnu Qayyim dengan ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar atau
penundaan
pelunasan
dierbolehkan
dalam
konteks
pembayaran
jasa
pembuatannya. Pendapat ulama kontemporer diantaranya Syaikh Ali Jumu’ah
bahwa emas dan perak mengandung illat merupakan media pertukaran dan
101
transaksi dimasyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula
hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan illatnya, baik
ada maupun tiada. Dan pendapat dari Dr. Wahbah al-Zuhaily membeli perhiasaan
dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan
penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari pengrajin.
B. Saran-saran
1. Kepada masyarakat untuk memperhatikan setiap transaksi jual beli emas
hendaknya tidak untuk untung-untungan (spekulasi) dan dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip syari'ah.
2. Penulis menyarankan bahwa apabila seseorang masih ragu melakukan jual
beli emas dengan transaksi tidak tunai seperti ini yang dikhawatirkannya ia
akan terjerumus kedalam riba maka lebih baik menghindari jual belinya
secara tidak tunai.
3. Suatu perkara yang membuat seseorang ragu ataupun bimbang, baik itu
perkara duniawi dan ukhrawi, maka lebih baik kita menyerahkannya kembali
kepada Allah, sehingga tidak terhinggapi perasaan bimbang dalam diri
terhadap apa yang dikerjakan ataupun yang dilakukan.
102
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an Al-karim
Abullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian
Konsep Qiyas Imam Syafi‟i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Syafi‟i, al, Muhammad bin Idris. Al-Risalah. Kairo: Dar al-Turas, 1979.
Abdurrahman , Abdullah Bin, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul
Mujib, “Taisirul „Allam Syarhu Umdatil Ahkam”, Malang: Cahaya Tauhid
Press, Cet.VII, 2010.
Abu Syakir , Syuhada, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi,
Bandung:Tim Toobagus, 2011.
Ahmad , Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi‟i, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974.
Ahmad Muhammad Al-Assal, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan
Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia, 1999
Al-Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Zainal
Arifin dan Dahlia Husain, Jakarta : Gema Insani Press, 1999
Ali, Daud Muhammad,Hukum Islam , Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Amin, Muhammad, Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam, Jakarta : INIS,
1991.
Antonio , Mohammad Syafi'i, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003 .
Anwar, H. Moch, Fiqh Islam, cet. 2, Bandung: Al-Ma‟arif, 1998
Azhar Basyir, Ahmad, Asas-asas Hukum Muammalat, Hukum Perdata Islam,
Yogyakarta: UII Press, 2004
103
104
Dimasyqi , Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab,
Jakarta, Hasyimi Press, 2010.
Djamil. R. Abdul. Hukum Islam; Asas-Asas Hukum Islam, cet. 1, Bandung : Mandar
mau, 1992
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
Furhan, Arif, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya :Usaha Nasional,
1992
GhoZali, Halal, Haram dan Subhat, yang diterjemahkan oleh abdul hamid Zahwan,
Pustaka Mentuq Ikapi, 1945
Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cet ke-1, 2002
Hadi, Sutrisno, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta : FP, UGM, 1987.
Hadis, ”Musnad Ahmad bin Hanbal”, hadis no. 5619 dalam Mausū‟at al-Hadīts alSyarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997.
_____________, ”Shahih al-Bukhari”, Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global
Islamic Software Company, 1991-1997.
_____________, ”Shahih Muslim Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global
Islamic Software Company, 1991-1997.
_____________, ”Sunan al-Nasa‟i”, Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global
Islamic Software Company, 1991-1997.
Haroen, Nasroen, Fiqh Muamalat, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah,
Edisi I, Jakarta: Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank
Indonesia, 2001 .
Ibnu Rusyid, Terjemah Bidayatu'l-Mujtahid, Asy-Syifa' Semarang, Semarang, cet.
ke-1, 1990
105
Idris , Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka
Zaman,2007.
Jabir, Taha al-alwani, Bisnis Islam, Yogyakarta : AK Group, 2005
Khallaf, Wahhab Abdul, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
M. Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, Pilihan Setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosialis. UII Press Yogyakarta, 2000
Muh. Sjarief Sukandy, Terjemah Bulughul Maram, PT. Al Ma'Arif Bandung, tth
Muhammad dan R Lukman Fauroni, Sisi Al-Qur'an Tentang Etika dan Bisnis,
Salemba Diniyah Edisi Pertama, Jakarta, 2002
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Pt. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994
Praja, Juhaya.S¸ Filsafat Hukum Islam, Bandung : LPPM UNISBA, 1995
R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10, Bandung : Diponegoro, 1984
Rahmat Syafei, Figh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006
Rodoni, Ahmad, Investasi Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009,
cet 1.
Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: GayaMedia Pratama, 1999.
Salim, Joko, Jangan Investasi Emas Sebelum Baca Buku Ini!,Jakarta:visimedia, 2010.
Sayis, al, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo: Maktabah wa Matba‟ah
Ali Sabih wa auladuh, t. th
-----------, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad.
Penerjemah M. Ali Hasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Qardhawi , Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 1, terj. As‟ad Yasin, Hadyul Islam Fatawi
Mu‟ashirah, Jakarta: Gema Insani, Cet I, 1995.
106
________, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma, 1993.
________, Studi Kritis As-Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995.
Shiddieqy Hasby, Falsafah Hukum Islam, cet 2, Jakarta: Al-Ma‟arif, 1998
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta : Kencana Group, 2007
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Taimiyah, Ibnu, “ Majmu Fatawa”, Bairut: Darul Fikr 1920.
-------------------“Al-Siyasah Al-syar‟iyyah Fi Islahir Raa‟i War Ra‟iyyah”,Terj.Rofi‟
Munawwar,”Siyasah Syari‟ah Etika Politik Islam”,Surabaya:Risalah
Gusti,Cet.ke-1,1995.
------------------- Ash-Sharim Al-Maslul „Ala Syatim Al-Rasul, Beirut- Lebanon : Dar
Al- Kutub Al-Ilmiyah,t,th.
------------------ “Al-Furqan Baina Auliya Al-Rahman Wa Auliya ALSyaithan,” Terj.
Pustaka Panjimas, “ Al-Furqan Antara Kekasih Allah Dan Kekasih Syaitan,
Jakarta : Pustaka Panjimas, 1989.
------------------ “Tafsir Al-Kabir”, Jilid 1, Beirut-Lebanon : Dar Al-Kutub AlIlmiyah, t,th, hlm 37, lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahib
Al-Islamiyah, Juz 2, Beirut- Lebanon : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987.
------------------ “Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah”, Riyadh: al-Riyad al-Hadisati,
jilid I, tt.
Teungku Muhammad Hasby Ash Shidieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, PT. Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 1997.
Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
Yanggo , Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, Cet.I , 1997 .
Zahrah, Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy,
1987.
107
Download