8520Refrat Pembuat tugas : dr. Prima Ananda Madaze Pemberi tugas : dr. Henny A Sadeli, SpS (K) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- LESI MEDULA SPINALIS I.Pendahuluan Medula spinalis terletak di dalam kanalis vertebralis kolumna vertebralis yang dibungkus oleh tiga lapisan meningen, yaitu dura mater, arachnoidea mater dan pia mater. Struktur medula spinalis terdiri dari substansia grisea (dibagian dalam) dan substansia alba (dibagian luar, yang mengelilingi substansia grisea). Lesi pada medula spinalis dapat disebabkan oleh infeksi,trauma, tumor/neoplasma, degeneratif dan kongenital. Lesi medula spinalis berdasarkan lokasi dapat terbagi atas lesi ekstramedular dan lesi intramedular. II. Pembahasan A. Manifestasi Klinis lesi Medula spinalis 1,2,3 Lesi pada medula spinalis dapat didahului oleh terlibatnya radiks saraf dan kompresi pada medula spinalis terjadi akibat perluasan dari lesi tersebut. Manifestasi klinis terjadi akibat perluasan dari lesi tersebut. Manifestasi klinis dari kompresi medula spinalis dapat terbagi menjadi : 1. 2. 3. 4. Nyeri (midline spinal, radikuler atau tipe sentral) Motorik (paraparese/paraplegi) Sensoris (nyeri dan suhu, arah gerak dan posisi) Otonom (Buang air kecil, buang air besar dan fungsi seksual) Gejala neurologis yang terjadi berbeda-beda tergantung pada derajat lesi apakah terjadi ekstradural, ekstramedular atau intramedular yang menunjukkan lokalisasi melintang. Kompresi pada medula spinalis dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan proses patologis yang terjadi, yaitu : 1. Lesi Sentral 2. Lesi Kompresi Lesi sentral yang biasa terjadi pada tumor intrameduler akan memberikan gejala : a) Kerusakan segmental Lesi sentral pertama kali akan mempengaruhi jaras sensorik nyeri dan suhu yang menyilang di garis tengah sesuai dengan segmen yang terkena, dengan meluasnya lesi maka se kornu anterior akan terpengaruh juga sehingga muncul gejala motorik pada segmen tersebut yang bersifat lower motor neuron b) Efek long tract 1 Traktus yang terkena seiring dengan meluasnya lesi adalah traktus spinotalamikus dan kortikospinalis. Pasien akan merasa gejala sensorik dibawah tingkat lesi dan juga kelemahan motorik bersifat upper motor neuron di bawah segmen yang terlibat. Lesi kompresi lateral akan memberikan gejala-gejala berupa a) Kerusakan radiks/ segmental b) Gejala long tract sign, lesi komplit yang berlangsung lambat biasanya dengan distribusi asimetris c) Gejala sensoris lesi komplit melibatkan seluruh modalitas dan terjadi pada seluruh segmen di bawah lesi Berdasarkan Lokasi lesi medula spinalis mempunyai gambaran klinis sebagai berikut Tanda dan Gejala Nyeri Spontan Sensibilitas Lesi Ektramedular Mempunyai tipe dan distribusi radikuler dan merupakan gejala dini yang penting Tipe Brown-sequard Gangguan eksteroseptif Lebih jelas pada level pada daerah sakral lesi. Gangguan seakan bertambah ke arah kranial Lower motor neuron Segmental Upper motor neuron Jelas dan timbul dini Refleks regang otot Sejak dini meningkat dan sangat jelas Gangguan piramidalis Gangguan trophi traktus Pada saat dini Tidak jelas Lesi Intermedular Mempunyai tipe terbakar dan tidak mempunyai lokasi yang jelas Terdapat disosiasi sensibilitass dan patchy distribution Kurang jelas daripada level lesi. Gangguan seakan bertambah ke kranial dan kaudal Jelas dan tersebar, disertai atrofi dan fasikulasi Tidak jelas dan timbul pada fase lanjut Tidak terlalu meninggi dan timbul pada fase lanjut Pada saat lanjut Jelas a.1. Manifestasi Kompresi Mielum5,6,7,8 a.1.1 Gangguan Motorik Lesi pada mielum tanpa gangguan radiks menyebabkan gangguan pada traktus kortikospinalis dan berakibat timbulnya paralisis tipe upper motor neuron (mielopati) dengan gambaran berupa spastisitas (hipertonus), hiper refleks dan respon plantar pada ekstremitas. Pada fase akut seringkali ditemukan ekstremitas yang flassid (hipotonus) dan hilangnya refleks fisiologis (syok spinal). Lesi pada mileum setinggi segmen servikal dapat menyebabkan quadriparesis sedangkan lesi setinggi segmen thorakal menyebabkan terjadinya paraparesis. 2 Gangguan motorik ini merupakan keluhan utama yang dirasakan penderita. Tungkai terasa berat dan kaku menyebabkan kesulitan dalam berjalan. Adanya spastic gait merupakan salah satu tanda penting dalam mengetahui adanya gangguan pada mielum. Spastisitas pada lengan biasanya bermanifestasi berupa kecerobohan tangan dan ketidakmampuan melakukan gerakan halus dan repetitif. Refleks tendon mempunyai nilai yang penting untuk mengetahui tingginya lesipada mielum. Lesi di atas C5 akan menyebabkan peningkatan semua refleks. Lesi dibawah C7 akan menyebabkan hiperrefleks hanya pada tungkai saja. Lesi pada C6 akan menyebabkan hiporefleks pada refleks brachioradialis. Hiporefleks pada biceps, triceps dan patela dapat terjadi pada lesi mielum setinggi C5, C6 dan L4. Adanya refleks Hoffman-Tromner yang positif menunjukkan ada hiper refleks patologis pada ekstremitas atas, sedangkan pada ekstremitas bawah berupa respon plantar (refleks Babinski, Chaddock, Oppenheim, Gordon dan Schaefer) a.1.2. Gangguan sensorik5,6,7,8 Gangguan sensorik seringkali merupakan keluhan awal pada kasus-kasus kompresi neural. Adapun beberapa gambaran klinisnya seperti parestesia, hipaesthesia, hiperasthesia, hiperalgesia. Traktus Spinothalamikus Lateral Terdapat dua tempat lesi yang dapat mengganggu traktus ini pada kompresi mielum. Serat-serat yang menyilang dapat terganggu oleh lesi seperti syrinx atau tumor yang berlokasi di kanalis sentralis (intrameduler) dengan bermanifestasi klinis hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral segmen dermatom. Regio servikalis merupakan tempat yang tersering. Gangguan sensibilitas ini selektif sesuai dermatom dengan sensibilitas di atas dan di bawahnya masih normal. Gambaran sensibilitas ini menyerupai gambaran jaket. Dermatom tertinggi yang mengalami gangguan merupakan segmen mielum terbawah yang mengalami gangguan. Bila lesinya meluas hingga segmen servikal atas dan batang otak bawah, nukleus trigeminus juga dapat mengalami gangguan (distribusi cape with a hood ). Disosiasi sensibilitas merupakan ciri khas dari lesi intrameduler, dimana adanya gangguan eksteroseptif dibawah lesi, sedangkan sensasi propioseptif umumnya tidak terganggu. Pada susunan serat servikal terletak paling medial, maka gangguan sensibilitas lesi ekstrameduler akan berjalan naik ke atas. Dermatom sakral mengalami gangguan paling awal. Pada stadium awal sacral sparing sudah menunjukkan gangguan. Pada lesi ekstrameduler, traktus ini mengalami gangguan sebelum serat-seratnya mengalami penyilangan. Gambaran klinisnya adalah hilangnya sensibilitas kontralateral. Segmen sakral akan terganggu 3 terlebih dahulu pada lesi ekstrameduler ini dan gangguan sensibilitasnya akan berjalan naik ke atas. Kolumna Posterior Traktus ini rentan terhadap lesi yang mengkompresi mielum dari sisi dorsal. Kompresi dari lateral akan menyebabkan gangguan ipsilateral terlebih dahulu. Gangguan pada serat ekstremitas bawah akan menyebabkan sensory gait ataxia dikarenakan hilangnya sensibilitas posisi. Kaki akan diangkat tinggi-tinggi dan diturunkan secara perlahan seperti berat (steppage gait). Pasien akan merasa limbung bila mata tertutup (Romberg sign’s). Ataxia ini akan timbul pula dalam kamar gelap atau bila pasien mencuci mukanya (sink sign). Bila segmen lengan terlibat maka pasien seperti kikuk dalam melakukan tugas seperti mengancing baju, mengikat tali sepatu. Akan sulit juga bagi pasien untuk mengidentifikasi obyek berdasarkan perabaan (astereognosia) dan timbul pula graphaesthesia. a.1.3. Gangguan sfingter dan fungsi seksual 5,6,7,8 Gangguan kontrol sfingter (kandung kemih dan saluran cerna) dan fungsi seksual sering menyertai kompresi mielum. Gejala ini sebagai akibat gangguan pada jalur refleks otonom spinalis dan atau hubungannya dengan pusat yang lebih tinggi yang terletak di batang otak, lobus frontalis dan hipotalamus. Miksi5,6,7,8 Fungsi miksi merupakan campuran kontrol otot volunter. Pengosongan kandung kemih terutama diatur oleh sistem parasimpatis dimana stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi sfingter internal. Impuls ini berasal dari segmen sakral S2,3,4 (sacral bladder centre) bedasarkan impuls afferen yang menunjukkan kandung kemih penuh. Sensasi akan penuhnya kandung kemih dibawa ke pusat yang lebih tinggi yang terletak di pons, vermis serebelar, ganglia basalis dan lobus frontalis medialis. Sistem lain yang ikut mengatur proses miksi adalah sistem simpatis yang berasal dari mielum segmen Th12, L1 dan L2 dengan impuls eferen berjalan melalui pleksus hipogastrik. Stimulasi sistem ini menyebabakan kontraksi sfingter internal dan relaksasi detrusor. Otot volunter yang mengatur sfingter eksterna berasal dari segmen S2,3 dan 4. Impuls ini berjalan melalui nervus pudendus dan menyebabkan kontraksi sfingter. Mekanisme inilah yang mengatur miksi selam batuk dan memungkinkan menahan miksi sementara meskipun otot detrusor berkontraksi. Gangguan miksi pada umumnya dapat berupa urgensi, inkontinensia, retensi akut dan frekuensi. Gejala yang ada tidak dapat 4 digunakan secara pasti untuk melokalisir lokasi lesi. Kompresi mielum di atas S2, 3 dan 4 akan menghilangkan fungsi inhibisi normal dari pusat yang lebih tinggi dan menyebabkan urgensi dan inkontinensia akibat kontraksi refleks kandung kemih. Hal ini disebut neurogenik bladder reflex. Kompresi pada konus kauda dan kauda equina (tumor ekstradural dan ektrameduler) akan mempengaruhi jalur refleks di dalam mielum akan menyebabkan retensi akut dan inkontinensia overflow (neurogenik bladder autonomik). Kateterisasi dini dianjurkan pada fase akut untuk menghindari terjadinya infeksi dan perubahan kapasitas kandung kemih. Defekasi Mekanisme defekasi menyerupai sistem miksi dan dimediasi oleh persarafan parasimpatis yang berasal dari S2,3 dan 4. Keluhan terbanyak berupa konstipasi dibandingkan inkontinensia. Hilangnya refleks anal dapat menyebabkan inkontinensia fekal terutama fekal yang cair. Ereksi dan ejakulasi6,7,8 Ereksi dan ejakulasi dimediasi oleh jalur otonom, parasimpatis yang berasal dari segmen S2,3 dan 4 mengatur ereksi dan simpatis dari segmen L1,2 mengatur ejakulasi bersama dengan ereksi. Gangguan ini hanya terjadi pada pria, namun lesi yang mengenai radiks S2 akan menghilangkan sensasi di daerah genital sehingga menghilangkan rasa orgasme. Lesi mielum di atas L1 dapat menyebabkan impotensi dan lesi yang melibatkan S2,3 dan 4 akan menyebabkan hilangnya kemampuan ereksi dan ejakulasi. Lesi pada cauda equina memiliki efek yang sama namun dapat timbul ejakulasi spontan. Perlu diingat pula bahwa gangguan psikologis dan endokrin juga berperan dalam menyebabkan impotensi. a.2. Manifestasi Kompresi Radiks5,6,7,8 Kompresi pada radiks akan memberikan manifestasi klinis berupa rasa nyeri dengan distribusi saraf sesuai dengan dermatomnya. Pola ini sangata bermanfaat dalam melokalisir segmwn medula spinalis yang mengalami lesi. Rasa nyeri ini akan diperberat dengan batuk, bersin atau pada saat pergerakan segmen medulaspinalis yang terkena. Nyeri radikuler ekstremitas atas (brachialgia) berasal dari radiks C5,6,7 atau thorakal 1. Nyeri radiks thorakal akan menjalar di badan di daerah yang dipersarafi oleh saraf intercostal yang bersangkutan. Nyeri radiks thorakal bilateral digambarkan oleh pasien seperti rasa terikat oleh ikat pinggang. Nyeri yang unilateral dapat dikelirukan dengan bila berada di daerah viskus abdomen (seperti kandung empedu). Nyeri radikuler ektremitas bawah biasanya sesuai dengan distribusi nervus skiatika atau nervus femoralis (paha anterior). Penyebab tersering nyeri radikuler adalah kompresi radiks yang disebabkan oleh penyakit diskus vertebrae,namun juga perlu dipikirkan adanya tumor ekstrameduler maupun tumor intradural. Pada kasus dengan destruksi pedikel dapat ditemukan adanya rasa nyeri di daerah thorakal yang terus menerus sebagai kompresi radiks. 5 Keterlibatan radiks juga akan memberikan gejala dan tanda sensori di daerah yang dipersarafi. Gejala yang tersering adala hipestesia. Namun seringkali gejalanya bersifat samar akibat multi-inervasi pada daerah dermatom yang sama. Gejala motorik akan memberikan gambaran LMN berupa wasting, fasikulasi, kelemahan motorik, refleks tendon menurun atau menghilang. B. Sindrom Klinis Gangguan Medulla Spinalis7,8 Sindrom Brown-Sequard Sindrom ini timbul bila didapatkan adanya lesi hanya pada satu sisi medulla spinalis saja. Etiologi gangguan dapat bermacam – macam mulai dari trauma satu sisi, tumor yang hanya menekan satu sisi. Berdasarkan anatomi fungsional medulla spinalis maka akan terjadi gangguan pada traktus kortikospinalis, spinothalamikus dan kolumna posterior hanya pada satu sisi saja. Namun perlu diingat adalah traktus kortikospinalis dan kolumna posterior menyilang di medulla sedangkan traktus spinothalamikus menyilang di medulla spinalis 2 tingkat di tempat keluarnya persarafan. Perbedaan antara sensibilitas propioseptif dan eksteroseptif ini dikenal sebagai disosiasi sensibilitas. Adapun presentasi klinisnya sebagai berikut : Kelemahan ipsilateral LMN setinggi lesi Kelemahan ipsilateral UMN di bawah lesi Gangguan sensibilitas getar, posisi ipsilateral setinggi lesi ke bawah Gangguan sensibilitas nyeri dan suhu kontralateral 2 tingkat di bawah lesi. Sindrom Conus Medullaris7,8 Medulla spinalis berakhir setinggi vertebra lumbal 1 sehingga bila terjadi gangguan pada segmen vertebra ini akan timbul gangguan pada medulla spinalis sacral 3, 4 dan 5. Sindrom conus medullaris murni biasanya disebabkan oleh lesi intrameduller dengan gambaran klinis sebagai berikut : Anestesi distribusi ‘saddle’ Retensi urin akut, inkontinensia overflow Inkontinensia alvi Impotensi Hilangnya reflex anal Hilangnya reflex tumit ( APR ) Kelemahan otot yang dipersarafi radiks L5 dan S1 Sindrom Cauda Equina7,8 Sindrom cauda equine terjadi bila didapatkan lesi di bawah diskus L1/2 dan menyebabkan hanya radiks saraf. Radiks saraf L1, L2 dan L3 keluar dari kanalis di atas lesi sedangkan radiks saraf L4 dan L5 memiliki perjalanan yang lebih panjang di dalam kanalis sehingga dapat mengalami kompresi sepanjang kanalis. Gambaran klinisnya adalah sebagai berikutt : Nyeri radikuler sepanjang radiks L4 dan 5 bisa unilateral maupun bilateral. Kelemahan otot yang dipersarafi radiks L4, L5, S1 dan S2 Gangguan vegetative terjadi pada fase lanjut Hilangnya reflex patella dan tumit ( KPR, APR ) 6 - Anestesi distribusi ‘saddle’ Hilangnya reflex anal C. Etiologi pada Lesi Medula spinalis Lesi pada medula spinalis dapat disebabkan diantara: - Inflamasi, infeksi : myelitis (mielopati), Spondilitis Tuberculousa Neoplasma : ekstradural, intradural Vaskuler : sindrom arteri spinalis anterior, sindrom arteri spinalis posterior Trauma : fraktur, dekstruksi, luksasio Penyakit degeneratif : prolaps diskus intervertebral, kanalis stenosis Lesi kongenital : skoliosis, kanalis stenosis Berikut ini akan dibahas lesi medula spinalis yang tersering ditemukan berdasarkan lokasi, etiologi beserta karakteristik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan penegakan diagnosa. C.1. Lesi Intrameduler C.1.1. Inflamasi, Infeksi2,4,5 C.1.1.1 Mielitis (mielopati) Mielitis adalah inflamasi pada medula spinalis dan mengacu pada penyait yang disebabkan oleh infeksi langsung dan proses inflamasi serta melalui paska infeksi atau mekanisme penyebab lainnya.Etiologi mielitis diantaranya infeksi (virus, bateri atau jamur), paska infeksi, autoimun. Mielitis dapat mengenai seluruh penampang medula spinalis, sehingga selruh traktus asendens dan desendens terganggu (mielitis tranversa) atau hanya sebagian saja yang terkena (mielitis inkomplit) Pada referat ini yang akan dibahas adalah mielitis viral Menurut perjalanan klinis antara awitan hingga munculnya gejala klinis, mielitis dibedakan atas : 1. Akut : Gejala klinis berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari saja 2. Sub akut : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu 3. Kronis : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu Berdasarkan etiologinya, mielitis dapat dibedakan, dapat dilihat dari tabel di bawah ini 7 Tabel1. Klasifikasi Penyakit inflamasi pada medula spinalis (dikutip dari Adams Victor) I. Mielitis viral A. Enterovirus (grup A dan coxsackie virus, poliomielitis,dan lainnya) B. Herpes zoster C. Mielitis AIDS D. Epstein – Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), herpes simplex E. Rabies F. Arbovirus-flaviviruses (Japanese, West Nile, dan lainnya) G. HTLV-1 (tropical spastic paraparesis II. Mielitis sekunder (bakteri, fungal,parasit dan penyakit granulomatosis primer pada meningen dan medula spinalis) A. Mycoplasma pneumonia B. Lyme disease C. Mielitis piogenik 1. Acute epidural abscess and granuloma 2. Abses medula spinalis D. Mielitis Tuberkulosis 1. Penyakit Pott dengan kompresi medula spinalis 2. Meningomielitis Tuberkulosa 3. Medula spinalis Tuberkulosa E. Infeksi parasit dan fungal menghasilkan granuloma epidural, meningitis terlokalisir atau meningomielitis dan abses, terutama pada bentuk tertentu dari schistomatosis F. Mielitis sifilis 1. Meningoradikulitis kronis (tabes dorsalis) 2. Meningomielitis kronis 3. Meningovaskuler sifilis 4. Meningitis gumatosa termasuk chronic spinal pachymeningitis G. Mielitis sarcoid III. Mielitis (mielopati) tipe inflamasi non infeksi A. Mielitis paska infeksi dan pasca vaksinasi B. Acute and chronic relapsing or progressive multiple sclerosis (MS) C. Subacute necrotizing myelitis and Devic disease D. Mielopati dengan Lupus atau bentuk lainnya dari jaringan ikat dan antibodi antiphospholipid E. Mielopati paraneoplastik dan poliomielitis Mielitis Viral4,5 Terjadinya infeksi virus pada medula spinalis merupakan bagian dari meluasnya suatu infeksi pada sistem saraf pusat dan/atau sistem saraf perifer. Pada infeksi virus medula spinalis biasanya terjadi akut dan subakut. Mielitis viral biasanya didahului adanya infeksi saluran nafas akut (seperti flu) dan riwayat infeksi gastrointestinal. Penyebaran infeksi pada medula spinalis dapat melalui hematogen dan neuronal, yaitu : dua cara yaitu - Penyebaran hematogen 8 Virus pertama kali harus masuk atau melekat terlebih dahulu pada endotelial sel penjamu yang menyebabkan infeksi. Pada tahap awal penyebaran hematogen ke sistem saraf pusat terdiri atas replikasi dan viremia primer. Kemudian terjadi infeksi pada jaringan sekunder yang kemungkinan menimbulkan replikasi sekunder dan penyebaran viremia meluas ke SSP. Virus masuk ke dalam pembuluh darah SSP yang sebelumnya menyebrang ke sawar darah di medula spinalis membentuk jaringan yang kuat pada endothelial junction yang berlapis sel glial yang mengatur jalur molekular ke SSP. Virus yang menginfeksi sel endotel sehinggga terjadi kebocoran dan kerusakan di endothelium yang secara pasif masuk melalui saluran di endotelium atau jembatan endotelium sehingga leukosit bermigrasi. Sel-sel virus yang bebas dapat menyeberangi endotelium dan masuk ke parenkim atau CSF. Jembatan endothelium ini terjadi dalam pembuluh pleksus choroideus, pembuluh darah meningeal dan pembuluh darah serebral. - Penyebaran transneuronal Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti penyebaran virus melalui transneuronal. Penyebaran virus ke sistem saraf pusat melalui infeksi seluler yang berurutan, pergerakan dalam ruang ekstraseluler, transport neuronal axoplasmik dan perpindahan melalui limfosit atau sel glial. Virus dapat masuk ke dalam serabut saraf melalui lebih dari satu mekanisme. Beberapa virus masuk ke dalam sistem saraf pusat menyebar melalui sel-sel yang berdekatan. Sebagai contoh : virus herpes menyebar ke sistem saraf melalui transport axoplasmik pada neuron, virus HIV masuk dan bergerak pada sistem sarafpusat melalui limfosit dan makrofag. Gambaran klinis ditentukan oleh tingkatan besarnya lokasi dan luasnya proses yang mengenai kraniokaudal dan medula spinalis secara tranversa. Gambaran klinis merupakan petunjuk penting untuk mengetahui lokasi anatomi dari lesi medula spinalis. Gambaran karakteristik mielitis berupa kelemahan motorik, gangguan sensoris, gangguan otonom (vegetatif dan disfungsi seksual). - HERPES VIRUS Virus Herpes Simpleks Virus herpes simpleks yang dapat menyebabkan mielitis adalah HSV-1 dan HSV-2. HSV-2 paling sering ditemukan pada orang dewasa dan HSV-1 ditemukan pada anak-anak. Lebih dari 2/3 pasien menunjukkan keterlibatan medula spinalis dengan pola asending. Lokasi lesi lebih banyak pada daerah medula spinalis thorakal bagian atas dan servikal, namun dapat juga melibatkan daerah medula spinalis bawah termasuk konus medularis dan kauda equina. Pasien mielitis dengan HSV-2 seringkali mempunyai riwayat herpes genital. Acute necrotizing myelopathy adalah bentuk mielitis HSV yang berat, yang sering terjadi pada pasien dengan infesi HIV, keganasan dan diabetes. Gambaran klinis mielitis herpes adalah adanya parese atau paralisis, terutama pada daerah tungkai daripada lengan, refleks tendon menurun atau menghilang atau hiper-refleks, refleks patologis positif, sensasi nyeri, 9 suhu dan raba menurun dan pada keadaan yang lebih berat cenderung mengenai daerah dermatom sakral. Anal refleks menurun dan inkontinensia urin overflow. Pemeriksaan penunjang pada mielitis herpes, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis limfosit dan konsentrasi gula normal. Pada pasien dengan acute necrotizing myelopathy, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis dengan jumlah sel 10-200 sel/mm 3 dengan predominan PMN dibandingkan limfosit. Pemeriksaan MRI, T2 menunjukkan gambaran hiperintens yang khas berupa gambaran fusiform pada intrameduler atau spindle shaped area. Pada T1 menunjukkan hipointens. Dan didapatkan pembesaran atau pembengkakkan medula spinalis pada daerah lesi. Dengan kontras menunjukkan penyangatan pada daerah lesi, sekitar meningen dan radiks saraf. Terapi pada mielitis herpes, untuk pemberian obat antivirus belum ada uji kontrolnya. Namun berdasarkan laporan yang ada, pemberian kortikosteroid saja tidak terbukti perbaikan klinis. Terapi kortikosteroid harus dikombinasikan dengan terapi antiviral. Obat antiviral yang digunakan adalah acyclovir intravena selama 14 hari dengan dosis 10 mg/kg BB, diberika 3x sehari sampai dengan gejala selesai. Kortikosteroid yang dipakai methylprednisolone intravena dengan dosis 500-1000 mg per hari selama 35 hari, dilanjutkan dengan prednison oral dengan dosis 10 mg/hari dengan dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu. - Varicella Zoster virus Mielitis merupakan komplikasi yang tidak biasa terjadi pada infeksi virus varicella-zoster, biasanyanya ditemukan pada individu dengan keadaan imunocompromized. Mielitis dapat juga terjadi sebagai komplikasi primer pada infeksi varcella atau cacar air. Pada pasien dengan imunocompromized yang umumnya disertai dengan penyakit infeksi HIV, Hodgkin/non Hodgkin limfoma dan terapi imunosupresan. Sebelum terjadi mielitis, biasanya diawali dengan adanya infeksi di kulit. Patogenesa masih diduga yang berperan imunologis. Onset subakut diawali dengan kelemahan tungkai asimetris kemudian secara progresif menjadi bilateral. Defisit sensorik yang umumnya terlibat adalah nyeri dan suhu dibandingkan posisi dan getar. Dapat terjadi sindroma Brown-sequard, gangguan spinchter, refleks fisiologis yang meningkat dan refleks patologis (+). Pada pemeriksaan lumbal pungsi didapatkan adanya pleositosis limfositik dan peningkatan protein dan gula normal. Pemeriksaan MRI didapatkan pada T2 hipertintens dan adanya pembengkakkan medula spinalis difus, pada T1 menunjukkan iso/hipointense dan pada T1 dengan kontras didapatkan penyangatan. Terapi antiviral menunjukkan data yang ada hanya pada penderita dengan kelainan kulit, pada yang sudah terjadi komplikasi neurologik belum datanya, namun bisa diberikan Acyclovir (10 mg/kg setiap 8 jam selama 21-35 hari. Mielitis paska infeksi atau parainfeksi (autoimun) Pada paska infeksi atau parainfeksi seringkali didapatkan melitis transversa (TVM), mielitis transversa ini terjadi oleh berbagai sebab, diantaranya paska infeksi atau para infeksi (infeksi virus, biasanya rubeola, varicella) dan paska 10 vaksinasi (vaksinasi anti rabies, varicella,pertusis,polio, tetanus). Diduga prose yang mendasari mielitis paska infeksi adalah proses isoalergi, sedangkan pada paska vaksinasi adalah proses alergi. TVM merupakan diagnosa anatomi yang mengacu pada kelainan inflamasi fokal pada medula spinalis yang mempengaruhi motorik, sensorik dan otonom. Gambaran patologi, makroskopik : medula spinalis yang mengalami peradangan akan tampak edema, hiperemi dan pada kasus yang berat dapat terjadi perlunakan. Mikroskopik : terdapat kongesti dan infiltrasi sel radang pada leptomeningens. Kongesti pada medula spinalis atau trombosis pembuluh darah dengan infiltrasi pervaskuler sel radang dan edema. Dapat ditemukan degenerasi traktus asendens dan desendens pada jaras-jaras panjang. Pada mielitis paska infeksi terjadi reaksi autoimun, biasanya yang mengalami keruskan adalah substansia alba , terdapat demielinisasi. Gejala klinis : Onset bisa terjadi beberapa jam sampai dengan beberapa minggu, kelemahan motorik yang maksimal pada tungkai (paraplegi), gangguan sensoris berupa parestesi, baal, nyeri radikuler/nyeri mengikat, gangguan otonom ( konstipasi, inkontinens urin dan alvi). Pemeriksaan LCS menunjukkan gambaran pleositosis. Pemeriksaan MRI. Pada T2 gambaran hiperintens pada daerah sentral medula spinalis dan edema. Berdasarkan evidence base, tidak ada terapi definitif yang efektif dalam menangani TVM ini, namun pada beberapa kasus diberikan injeksi methylprednisolone ( dosis 1 g/1,73 m 2 per hari selama 3-5 hari) dilanjutkan dengan prednisone oral selama 2-3 minggu). Hal ini dapat memperpendek durasi penyakit dan perbaikan pada hasil akhir. Namun ada juga terapi dengan methylprednisolone intravena (dosis 500 mg selama 5 hari) tidak ditemukan perubahan pada hasil akhirnya. Prediktor prognosis adalah Barthel indeks, jika skoring Barthel indeks ≥ 12 menunjukkan prognosis baik. Prognosis buruk, jika pada pemeriksaan EMG adanya denervasi dan pada LCS didapatkan adanya protein yang meningkat. Gbr. MRI pada Acute Transversa Myelitis 11 C.2. Neoplasma Astrositoma Benigna7,8,9 Astrositoma intraspinal insidensinya lebih jarang dibandingkan serebral, dengan insidensi sekitar 8% dari semua tumor spinalis primer dan sekitar 30% dari seluruh tumor intrameduller. Pada anak – anak, astrositoma lebih sering ditemukan dengan insidensi sekitar 60% dari seluruh tumor intrameduller. Tumor ini lebih sering didapatkan pada daerah servikal dan thorakal. Astrositoma servikal dapat merupakan perluasan dari astrositoma batang otak. Astrositoma biasanya berkembang sangat lambat dan terbanyak berupa tipe benigna. Pembentukan kista sering ditemukan ( hampir sekitar 50% ) dan dapat terletak di akhir komponen padat tumor atau sepanjang medulla spinalis ( holocord tumor ). Lesi semacam itu lebih banyak ditemukan pada anak – anak dan dewasa muda. Kista tersebut mengandung cairan xantochrom berprotein, memiliki dinding yang halus dan tidak mengandung sel neoplastik. Secara makroskopik, medulla spinalis membesar tetapi seringkali tumor tidak terlihat di permukaan. Astrositoma benigna ini berwarna pucat , avaskuler dan dapat dibedakan dari medulla spinalis. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dibedakan menjadi tipe pilositik dan non-pilositik ( fibrillary diffuse ). Pada tipe infiltrative, tipe yang sangat jarang, astrositoma benigna bercampur dengan sel – sel saraf tanpa batas yang jelas. Gejala berjalan sangat lambat dari hitungan bulan sampai tahunan dan seringkali dengan periode stabil yang lama. Secara epidemiologi, laki – laki lebih sering menderita dengan insidensi puncak pada decade kedua atau ketiga. Skoliosis merupakan gambaran pada anak – anak dan remaja. Nyeri spinal midline atau sentral didapatkan pada setengah dari total pasien. Parastesia dapat berlanjut menjadi gambaran pola disosiasi sensibilitas. Paralisis tungkai biasanya berjalan lambat pada awalnya, mungkin hanya mengenai satu tungkai saja dan berkembang bertahap mengenai tungkai lainnya Gambar. MRI spinal pada kasus Astrositoma benigna memberikan gambaran massa hiperintens 12 Seperti halnya lesi intrameduller lainnya, MRI merupakan tekhik imajing terbaik untuk diagnostic. Media kontras paramagnetik akan menyebabkan penyangatan komponen solid. Adalah sangat penting untuk mengidentifikasi keberadaan dari kista tumor dan lokasi segmental komponen solid untuk menentukan panjang pasti dari ukuran operasi. Hal ini dapat didapatkan dengan MRI atau USG preoperative. Mielografi hanya sedikit menunjukkan gambaran medulla spinlais yang membesar di daerah tumor. CT scan tidak membantu dalam mendiagnosis lesi intrameduller. Ependimoma7,9,11 Seperti halnya astrositoma, ependimoma intraspinal lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan intraserebral. Insidensinya sekitar 5% dari seluruh tumor SSP primer dan hanya sekitar sepertiganya berlokasi di mielum. Sekitar 60% ependimoma spinal berlokasi di cauda equina. Pada orang dewasa, ependimoma merupakn tumor intraspinal terbanyak dengan insidensi 85%. Secara epidemiologi, laki – laki mempunyai predileksi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Rata – rata usia insidensinya adalah 35 tahun dan jarang di bawah 20 tahun. Gambar.Ependimoma pada MRi memberikan gambaran T1 dan T2 hiperintens Tumor ini berasal dari dari ependimal lining dari kanalis sentralis atau filum terminale dan secara histologist bersifat jinak dengan tingkat pertumbuhan yang sangat lambat dan jarang sekali terjadi infiltrasi. Secara makroskopis gambarannya adalah suatu massa kemerahan atau keunguanm, solid dan tampak memisahkan kolumna propioseptif dan berada di bawah permukaan pial di posterior midline. Tumornya sendiri tidak berkapsul namun memiliki lapisan gliotik yang memudahkan dilakukannya eksisi. Secara mikroskopik tumor ini selalu menunjukkan gambaran myxopapillary. Gejala yang ditimbulkan tumor ini bersifat gradual dan berjalan lambat. Rata – rata durasi sebelum terdiagnosis adalah sekitar 14 bulan. Fungsi neurologis pada fase awal biasanya masih tetap baik dikarenakan pertumbuhannya yang lambat. Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri punggung yang memberat saat malam, nyeri radikuler sesuai dengan distribusi skiatik dan disaesthesia. Perdarahan intratumoral dapat memberikan nyeri skiatik akut ( sindrom Fincher’s ). Pola dari parese dan 13 perubahan sensorik bergantung pada lokasi baik central cord atau cauda equine. Foto rontgen polos menunjukkan pembesaran kanalis spinalis pada sepertiga pasien MRI merupakan metode terbaik untuk diagnostic dan menunjukkan gambaran massa tegas dengan penyangatan gadolinium di kutub atas dan bawah. Kista polar dapat terlihat pada 30% pasien. Mielografi menunjukkan gambaran pembesaran mielum ataupun defek pengisian di cauda equine tergantung dari lokasi dan besarnya massa. Eksisi total dapat dilakukan pada sebagian besar pasien. Eksisi subtotal dapat dikombinasi dengan radioterapi tetapi hal ini tidak perlu dilakukan bila eksisi total dapat dilakukan. Pada kasus yang dilakukan eksisi total, progosisnya sangat baik. Hemangioblastoma7,9,11 Tumor ini terbanyak ditemukan di daerah serebellum dan jarang sekali di intraspinal. Terbanyak berupa tumor intrameduller dibangkan ekstradural. Predileksinya dapat di semua segmen namun lebih sering di daerah thorakal. Seringkali timbul sebagai suatu sindromyaitu retinal hemangioblastoma, kista hepatic dan pancreas dan karsinoma renal. Gambar. MRI pada hemangioblastoma, pada T1 memberikan gambaran hiperintens dan kemungkinansepanjang intracranial hingga spinalmultipel Bagian padat dari tumor ini berwarna oranye kemerahan dengan banyak pembuluh darah arteri pada permukaannya dan pembuluh darah vena besar di bagian kutubnya dimana susunannya menyerupai AVM. Gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung dari lokasi lesi, deficit neurologisnya bersifat progresif berupa kelemahan ekstremitas dan defisit sensoris. Seringkali didapatkan tumor yang multipel. Pemeriksaan MRI menunjukkan gambaran tumor yang solid atau kista dengan nodul mural. Pembuluh darah di sekitar lesi tampak sebagai gambaran hipointens. Adalah mutlak untuk men-scan seluruh segmen medulla spinalis dan cranial dikarenakan sifatnya yang multiple. Pemeriksaan mielografi hanya menunjukkan pembesaran mielum dan defek pengisian yang disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah di sekitarnya. Namun hal ini dapat dikelirukan dengan AVM di medulla 14 spinalis. Angiografi spinal memberikan informasi yang berguna sebelum merencanakan tindakan operasi namun dapat menyebabkan perburukan deficit neurologis. Gambaran yang diberikan adalah nodul tumor yang bersamaan dengan kista yang mungkin tidak terdeteksi oleh pemeriksaan lainnya. MRA dapat menunjukkan gambaran vaskularisasinya secara baik Penatalaksanaan terbaik adalah eksisi namun banyaknya vaskularisasi pada tumor akan menyulitkan tindakan ini. Sekitar 85% kasus yang dilakukan eksisi memberikan prognosis yang sangat baik dengan perbaikan simptomatis C.3 Motor Neuron Disease7,11,12 Gangguan ini merupakan kelainan progresif dan seringkali bersifat familial degeneratif pada motor neuron dengan gambaran klinis wasting, kelemahan dan paralisis otot. Secara epidemiologi, insidensi terbanyak pada usia pertengahan dan lanjut usia dan lebih banyak ditemukan pada laki – laki dibandingkan perempuan dan biasanya fatal dalam 2 – 3 tahun. Biasanya pasien meninggal dalam waktu kurang dari 12 bulan dan pernah dilaporkan pula yang bertahan hingga 10 tahun. Gambar. MRI spinal pada kasus PMA, pada T2 memberikan gambaran hiperintens Gambaran klinis utamanya adalah hilangnya fungsi motorik dengan masih baiknya fungsi sensorik, sfingter dan kognitif. MND memberikan gambaran patologis UMN dan LMN secara bersamaan. MND sendiri terdapat 3 varian klinis yang dikenal berdasarkan distribusi proses penyakit. Yang paling sering ditemukana dalah Progressive Muscular Atrophy ( PMA ) bila didapatkan keterlibatan segmen servikal secara selektif dengan gambaran klinis fibrilasi dan atrofi otot – otot kecil dari tangan. Gangguan kemudian berlanjut ke otot – otot lengan dan bahu. Istilah Amyotrophic Lateral Sclerosis ( ALS ) digunakan bila gangguan motor neuron berlanjut dengan degenerasi traktus kortikospinalis dan paraparese spastic. Progressive Bulbar Palsy bila secara selektif ditemukan gangguan berat pada nucleus motorik di batang otak bawah dengan gambaran atrofi dan paralisis otot lidah, bibir, rahang, laring dan faring. Pasien dengan MND biasanya meninggal akibat kegagalan respirasi dan terkadang pneumonia. Kelompok otot – otot tidak semuanya terkena dan otot – otot okuler eksternal biasanya masih baik. Pada pemeriksaan 15 autopsy didapatkan gambaran pengecilan ukuran radiks ventral dengan warna keabuan dibandingkan normalnya putih berukuran tebal. Siringomielia7,11,13 Siringomielia merupakan suatu gangguan dimana terbentuk suatu kavitas di dalam mielum yang dapat berkembang dan memanjang sehingga merusak mielum. Prevalensinya berkisar antara 8,4 per 100.000 penduduk. Siringomielia dahulu dianggap sebagai suatu gangguan degenerative sehingga muncul teori hidrodinamik. Teori ini menyebutkan bahwa pembentukan siring merupakan akibat dari obstruksi aliran LCS dari ventrikel keempat dengan patennya kanalis sentralis ( yang normalnya menutup pada fase embrionik awal ) yang mengakibatkan LCS dengan tekanan yang meningkat merembes ke dalam jaringan mielum. Adapun dikenal trias Gardner yaitu adanya kavitas pada mielum, obstruksi aliran LCS dari ventrikel dan hubungan antara kavitas dan ventrikel empat. Gambar. Salah satu bentuk siringomielia yang disertai dengan malformasi Arnold-Chiari Terdapat 2 macam siringomielia : yang pertama dikaitkan dengan malformasi otak yang disebut sebagai malformasi Arnold-Chiari dimana terjadi protrusi serebellum ke dalam kanalis spinalis cervikalis yang diikuti oleh terbentuknya siring dan disebut sebagai siringomielia komunikan, Yang kedua sebagai akibat dari trauma atau perdarahan dimana siring terbentuk pada segmen dan akan terus berkembang bentuk ini seringkali disebut sebagai siringomielia non komunikan. Gejalanya dapat timbul berbulan – bula sampai bertahun – tahunsetelah trauma awal. Defisit neurologis yang sering didapatkan pada kasus siringomielia adalah gambaran central cord syndrome. Disosiasi sensibilitas dapat bersifat unilateral maupun bilateral dengan bentuk distribusi cape yang mengenai segmen servikal dan thorakal. Gangguan sensibilitas yang tidak sesuai dengan dermatom seringkali membuat praktisi tidak awas. Biasanya sensibilitas propioseptif pada siringomielia tidak terganggu. Gangguan motorik yang didapatkan berupa gejala UMN : kelemahan yang spastic disertai hiperrefleks. 16 Penegakan diagnosis dari siringomielia didapatkan melalui pemeriksaan neuroimajing seperti CT scan spinal, mielografi dan MRI spinal. Pada pemeriksaan CT scan akan memberikan lesi hipodens di dalam mielum dan tidak memberikan penyangatan pada pemberian kontras. Bila siring terisi darah maka bias memberikan gambaran hiperdens. Pada pemeriksaan mielografi dapat memberikan gambaran defek pengisian akibat penekanan dan pemb esaran mielum. Pada pemeriksaan MRI akan memberikan lesi hipointens di dalam mielum pada T1 dan gambaran hiperintens pada T2 dikarenakan siring berisi cairan. Terapi dari siringomielia adalah pembedahan dengan tujuan menghilangkan penyebab dari terbentuknya siring. Drainase siring bukan berarti menghilangkan gejala yang akan diakibatkan oleh terbentuknya siring tetapi lebih kea rah menghentikan progresifitasnya. C.4.Vaskular Sindrom Arteri Spinalis Anterior7 Gangguan ini diakibatkan oleh infark pada 2/3 anterior mielum yang dikaitkan dengan oklusi dari arteri spinalis anterior akibat oklusi pada major radicular feeder atau pembuluh darah dimana feeder berasal. Gejala yang dialami saat onset dapat berupa nyeri punggung yang mendadak, dan terkadang dengan distribusi radikuler yang diikuti dengan paraplegia atau quadriplegia yang flasid selama beberapa menit hingga jam kemudian dan bergantung pada level segmen yang terlibat diikuti oleh retensi urin. Gejala pyramidal akan timbul di bawah segmen yang mengalami infark. Pada umumnya sensibilitas suhu dan nyeri mengalami gangguan dengan masih baiknya sensibilitas raba halus dan propioseptif. Sindrom Brown-Sequard dapat terjadi pada oklusi arteri sentralis atau arteri sulcocomissural yang memperdarahi hanya satu sisi dari mielum. Edema pada mielum dapat digambarkan dengan pemeriksaan neuroimajing. Prognosis fungsional dari sindrom ASA sangat jelek kecuali bila didapatkan perbaikan dalam waktu 48 jam pertama. Gbr. Penampang Medula spinalis ASA Sindrom Arteri Spinalis Posterior7 sindrom Sindrom ini ditandai dengan gangguan sensibilitas getar dan posisi sendi di bawah segmen mielum yang mengalami gangguan akibat keterlibatan kolumna posterior ipsilateral dan disertai dengan anestesi dan arefleksia segmental. Defisit piramidalis dapat ditemukan bila funikulus lateral terlibat, namun biasanya hanya sementara dan gangguannya lebih ringan dibandingkan dengan gangguan sensibilitas. Dikarenakan banyaknya feeder ke pembuluh darah ini, menyebabkan infark pada region posterior sangat jarang ditemukan. 17 D.Lesi Ekstrameduller Intradural D.1 Neoplasma Schwannoma Spinal7,11 Schwannoma merupakan tumor ekstrameduller intradural tersering. Tumor ini digolongkan ke dalam tumor selubung saraf dan memiliki insidensi sekitar 25% dari seluruh tumor intradural spinal. Diketahui bahwa tumor ini berasal dari sel Schwann. Secara mikroskopik tumor ini memiliki tipe seluler yang padat ( Antony tipe A ) dan renggang ( Antony tipe B ). Bersama meningioma, tumor ini merupakan 90% tumor spinal yang ada. Tumor ini memiliki keterkaitan yang erat dengan neurofibromatosis dimana dikatakan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe I kebanyakan tumornya adalah neurofibroma sedangkan pada tipe II kebanyakan adalah schwannoma. Secara epidemiologis, didapatkan perempuan lebih banyak dibandingkan laki – laki, sedangkan usia puncak tumor ini adalah decade kelima. Predileksi utama tumor ini adalah di daerah thorakal sekitar 50%, sedangkan sisanya setara di daeah cervical dan lumbal. Tumor selubung saraf bisanya seringkali timbul dari radiks dorsalis dan menempati daerah posterolateral, namun bila berasal dari radiks ventral maka akan berlokasi di daerah anterior atau anterolateral. Secara makroskopis tumor ini berwarna kuning kemerahan berukuran 2-3 cm berbentuk seperti sosis dan seringkali berlobus. Manifestasi klinis utamanya adalah nyeri radikuler. Defisit neurologis yang pertama kali timbul biasanya adalah kelemahan motorik yang akan diikuti oleh gangguan sensibilitas. Gangguan sfingter merupakan deficit terakhir yang akan timbul. Pada pemeriksaan LCS bias didapatkan peningkatan protein hingga 5gr/L dan dapat mengakibatkan suatu oklusi spinal akibat gangguan penyerapan LCS dan menyebabkan peningkatan tekanan intraspinal. Pada pemeriksaan radiologis polos didapatkan pembesaran foramen intravertebral dan atau pelebaran jarak interpedikuler. MRI merupakan sarana diagnostik terbaik. Terapi utamanya adalah eksisi tumor. . Gambar. MRi pada schwannoma spinal memberikan gambaran hipointens pada T! dan hiperintens pada T2 Meningioma Spinal7,11 18 Insidensi meningioma hampir mencapai 25% dari seluruh total tumor spinal. Tumor ini berasal dari bagian mesodermal yaitu sel arachnoid. Tumor ini biasanya memiliki predileksi di sisi lateral dan melekat ke dura. Pertumbuhan tumor ini bergantung pada hormone sex dimana insidensi pada perempuan ( 80% ) lebih banyak dibandingkan laki – laki. Hal ini ditunjang dengan ditemukannya reseptor estrogen dan progesterone pada meningioma dan dikaitkan dengan peningkatan insidensinya pada masa kehamilan. Predileksi utama meningioma spinal adalah di daerah thorakal ( 75% ) meskipun di daerah lain dapat ditemukan juga dengan paling sedikit di daerah lumbosacral ( 8% ). Usia insiden adalah 40 – 70 tahun dengan puncaknya usia dekade keenam. Gejala klinis utama adalah nyeri radikuler namun lebih sedikit dibandingkan pada kasus schwannoma ( 21% ). Nyeri midline merupakan salah satu karakteristik tumor ini dan bisanya mendahului gejala lainnya. Defisit berikutnya adalah gangguan motorik yang diikuti sensorik dan terakhir gangguan fungsi vegetative. Durasi rata – rata antara mulainya gejala dan terdiagnosis adalah sekitar 2 tahun. Gambar. Pada kasus meningioma spinal, MRI memberikan gambaran hipo-isointens pada T1 dan hipo-isointens pada T2 Pada pemeriksaan LCS protein akan meningkat tapi tidak seperti pada schwannoma. Pemeriksaan radiologis polos hanya didapatkan 20% kelainan berupa erosi pedikel dan 3% berupa kalsifikasi. MRI atau mielografi yang dikombinasikan dengan CT scan merupakan metode utama penegakan diagnosis. Terapi utama adalah dengan eksisi operatif dengan tingkat rekurensi yang kecil pada kasus eksisi radikal. Radioterapi dapat diberikan terutama pada kasus angioblastik yang agresif. Sekarang ini terapi hormone sex sedang dikembangkan untuk pengendalian pertumbuhan tumor atau setelah eksisi operatif. E. Lesi Ekstrameduller Ekstradural E.1.Tumor Metastase7,11,14 Penyebaran dari tumor primer pada kasus metastase medulla spinalis terutama melalui jalur arterial namun ditemukan adanya penyebaran retrograde melalui pleksus Batson selama maneuver Valsava. Invasi langsung melalui foramen intervertebra dapat juga terjadi. Efek masa pada kasus tumor metastase spinal menyebabkan gangguan mielum mengakibatkan demielinasi atau 19 destruksi aksonal. Gangguan vaskuler akan menyebabkan kongesti vena dan edema vasogenik pada mielum sehingga mengakibatkan infark atau perdarahan. Sekitar 70% pasien dengan lesi simptomatik ditemukan di daerah thorakal, terutama T4-T7, 20% ditemukan di daerah lumbal dan 10% di daerah servikal. Lebih dari 50% pasien dengan metastase spinal ditemukan lesi pada beberapa segmen vertebra dan sekitar 10-38% pasien lesinya tidak berdekatan. Kebanyakan lesi berlokasi di daerah anterior (60%). Pada 30% kasus, lesi menginfiltrasi pedikel atau lamina. Sumber primer tumor metastase spinal : - Paru – paru (31%) - Payudara (24%) - Traktus Gastrointestinal (9%) - Prostat (8%) - Limfoma (6%) Pada pemeriksaan rontgen polos berguna untuk menunjukkan adanya erosi pada pedikel atau korpus vertebra. Gambaran erosi owl-eye pada pedikel pada foto anteroposterior merupakan karakteristik dari metastase spinal dan ditemukan pada sekitar 90% pasien yang memberikan gejala. Tetapi gambaran ini baru akan muncul bila destruksi tulang sudah mencapai 30-50%, Perubahan osteoblastik atau osteosklerotik seringkali ditemukan pada kanker prostat, dan terkadang ditemukan pada kanker payudara. Gambar.Hilangnya pedikel pada tumor metastase (A). Fraktur kompresi tumor metastase vertebrakolumna (B) berguna dalam menentukan integritas vertebralis, terutama CT scan bila hendak dilakukan tindakan operatif. CT mielografi digunakan bila tidak tersedia MRI. CT scan juga dapat menilai jaringan lunak paraspinal. MRI potongan sagital dapat digunakan sebagai skrining cepat terhadap keseluruhan aksis spinal dan jaringan lunak sekitarnya. Dalam kasus ini MRI merupakan pilihan utama. MRI juga dapat membedakan antara tulang osteoporotik dengan metastase, dimana pada metastase memberikan gambaran hiperintens sedangkan osteoporotic hipointen E.2. Infeksi E.2.1 Spondilitis TB7,,11,15 Spondilitis TB pada umumnya merupakan akibat sekunder dari sumber infeksi ekstraspinal. Lesi pada spondilitis TB merupakan kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. 1,2 Segmen anterior dari korpus vertebra yang berdekatan dengan lempengan subchondral merupakan daerah utama yang mengalami infeksi. Tuberkulosis dapat pula menyebar dari area tersebut ke diskus intervertebral. Pada orang dewasa, 20 keterlibatan diskus merupakan akibat sekunder penyebaran infeksi dari korpus vertebra, sedangkan pada anak – anak dikarenakan diskus masih memiliki vaskularisasi maka tempat ini dapat menjadi fokus infeksi. 2 Destruksi tulang yang progresif dapat menyebabkan kolapsnya vertebra dan kifosis. Kanalis spinalis dapat menyempit dikarenakan timbulnya abses, jaringan granulasi yang kemudian akan diikuti oleh kompresi medulla spinalis dan timbulnya defisit neurologis.2 Deformitas kifosis disebabkan oleh kolapsnya segmen anterior spinalis. Lesi di segmen thorakal lebih cenderung menyebabkan kifosis dibandingkan lesi pada segmen lumbal. 2 Abses dingin dapat terjadi bila infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di sekitarnya. Abses di segmen lumbal dapat turun ke daerah psoas menuju trigonum femoralis dan meluas ke dalam kulit.2 Perubahan gambaran radiologis pada spondilitis TB pada umumnya berjalan lambat. Berikut gambaran radiologis yang merupakan karakteristik dari spondilitis TB : Destruksi litik pada segmen anterior korpus vertebra Gambaran baji pada segmen anterior Kolapsnya korpus vertebra Sklerotik reaktif pada proses litik yang progregresif Meluasnya bayangan psoas Lesi pada tulang dapat terjadi pada lebih dari satu level segmen Gambaran CT scan : CT scan memberikan gambaran yang lebih mendetail terhadap lesi litik tulang yang ireguler, sklerosis dan kolapsnya diskus Pada resolusi kontras rendah akan memberikan penilaian yang lebih baik terhdap jaringan lunak terutama daerah epidural dan area paraspinal CT scan dapat menunjukkan gambaran lesi awal dan lebih efektif untuk menentukan bentuk dan kalsifikasi abses jaringan lunak Gambaran MRI : MRI merupakan standar pemeriksaan untuk mengevaluasi infeksi pada ruang diskus dan osteomielitis pada spinal dan merupakan pemeriksaan yang paling efektif untuk menunjukkan perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak. MRI juga merupakan pemeriksaan yang paling efektif untuk menilai kompresi neural. Gambaran MRI berguna untuk membedakan spondilitism TB dengan spondilitis piogenik, dimana pada spondilitis TB memberikan gambaran penyangatan yang tipis dan halus pada dinding abses sedangkan pada spondilitis piogenik akan memberikan gambaran penyangatan yang tebal dan irregular pada dinding abses 21 Gambar. Fraktur kompresi pada spondilitis TB (A). Gambaran abses paraspinal pada spondilitis TB (B) 7,11,16 E.2.2.Infeksi Banal ( Pyogenic Vertebral Osteomyelitis) Dikenal juga sebagai osteomyelitis piogenik yang menyerang vertebra dan medulla spinalis. Faktor predisposisi terjadinya infeksi banal pada vertebra diantaranya adalah penggunaan obat – obatan intravena, keadaan immunocompromised, dan penyakit kronis. Staphylococcus aureus merupakan pathogen yang paling umum ditemukan. Sumber infeksi primer diantaranya infeksi saluran gastrointestinal, genitourinarius, paru – paru dan jantung. Penyebaran utamanya melalui aliran darah atau secara hematogen. Insidensi dari osteomirlitis piogenik vertebra ini sendiri berkisar antara 2 – 7% dari seluruh kasus osteomielitis di Amerika Serikat. Manifestasi klinis berupa demam, nyeri punggung akut atau kronik yang disertai dengan adanya lokasi yang lunak pada perabaan tulang belakang. Bila gejala berlanjut dapat menyebabkan kompresi medulla spinalis. Gambaran foto rontgen polos biasanya baru dapat ditemukan 2 – 8 minggu setelah onset dengan gambaran : 13 Osteolitik pada endplate dan vertebra yang diikuti oleh peningkatan densitas tulang Dapat pula ditemukan adanya massa jaringan lunak paraspinal dan pada tahap yang lebih lanjut dapat terjadi penyatuan diskus. Pada pemeriksaan CT scan memberikan gambaran : 13 Pembesaran jaringan lunak paraspinal yang bersifat iso-hipodens dan dapat disertai adanya gas jaringan lunak. Gambaran vertebranya berupa osteolitik / osteosklerotik pada endplate disertai dengan bony sequestra. Pada pemeriksaan MRI :13 Penyempitan diskus memberikan gambaran hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2. Gambaran sumsum tulangnya berupa hipointens T1 dan hiperintens T2. Bila disertai abses paraspinal memberikan gambaran isointens T1 dibandingkan terhadap otot, hiperintens T2 dan ditemukannya rim enhancement. E.3 Multipel Mieloma7,11,17,18 Mulipel mieloma merupakan keganasan yang berasal dari limfosit B dan merupakan keganasan primer sistem skletal yang paling sering ditemukan dengan insidensi sekitar 10 – 20%. 5,6,7 Sel yang mengalami proliferasi, limfosit B, terutama ditemukan di dalam sumsum tulang dan dapat menyebar ke tulang yang berdekatan dan kemudian ke tulang lainnya, darah dan jaringan viscera 22 A B C pada tahap lanjut. Sel tumornya sendiri menghasilkan berbagai macam paraprotein ( termasuk protein Bence Jones ) yang dapat dideteksi pada serum maupun urin. Gambar. Lesi litik pada multipel mieloma : pada kranium (A), vertebra (B) dan tulang panjang (C) Etiologi pasti dari multipel mieloma sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga riwayat radiasi sebagai salah satu predisposisi dari keganasan ini. Gambaran dari keganasan ini adalah meningkatnya proses osteoklas dan dihambatnya proses osteoblas.7,8,9 Manifestasi klinisnya berupa nyeri punggung sepanjang tulang belakang dan nyeri radikuler. Fraktur patalogis dapat terjadi sebagai akibat proses osteoklas yang berkelanjutan, disertai dengan gejala anemia, leukopenia dan trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang. Gambaran pada rontgen polos berupa : - Osteopenia difus pada 85% kasus Lesi litik yang multipel pada 80% kasus - Scalloping endosteal - Massa jaringan lunak yang berdekatan dengan destruksi tulang - Fraktur kompresi vertebra Gambaran CT scan : - Lesi litik multifokal Destruksi dan fraktur verebra Gambaran MRI : - Gambaran susmsum tulang iso-hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 Lokasi bersifat patchy dan gambarannya heterogen 23 Terapi multipel mieloma berupa kombinasi operatif dekompresi tulang belakang, radioterapi dan kemoterapi sistemik. E.4. Osteochondroma7,11 Merupakan tumor jinak tulang yang tersering ( 30 – 45% ) dan berkembang sangat lambat. Lokasi predileksi dapat pada beberapa tempat, lokasi di vertebra jarang dan memiliki kecenderungan genetik. Tumor ini banyak terdapat pada ujung tulang panjang, seringkali bilateral dan simetris. Gambar. Penonjolan tulang pada kasus osteochondroma vertebra Gambaran radiologi polos : Berupa protuberansi tulang Terkadang disertai kapsul kartilago. Pada CT scan ditemukan gambaran ‘arcs and ring’ yang merupakan suatu matriks kondroid. Pada MRI T1 ditemukan gambaran : - Hiperintens sentral yang dikelilingi oleh korteks yang hipointens dengan kapsul kartilago yang iso-hipointens. - T2 gambaran iso - hiperintens yang dikelilingi hipointens, dengan kapsul kartilago yang hiperintens. Manifestasi klinis berupa kompresi saraf disertai nyeri. Tatalaksananya hanya berupa eksisi dikarenakan tumor ini bersifat radioresisten. E.5. Trauma Vertebra – Medulla Spinalis7 Kejadian cedera pada vertebra sangat bergantung pada mekanisme cedera itu sendiri dan berdasarkan lokasinya maka antara vertebra cervical dan thorakolumbal memiliki mekanisme yang berbeda – beda dikaitkan dengan anatomi dan fungsi dari masing – masing kelompok vertebra tersebut. Pada vertebra cervical, dikenali beberapa mekanisme cedera flexion, flexion – rotation, extension – rotation, vertical compression, hyperextension,Lateral flexion,Uncinate process fracture, atlanto – occipital dislocation,odontoid fractures. Pada vertebra thorakolumbal dikenal bermacam – macam mekanisme cedera seperti Axial compression, Extension,Flexion, Flexion – rotatio, Shear, Flexion – distraction. 24 Akibat dari fraktur pada vertebra maka akan terjadi suatu kompresi mielum dan atau radiks saraf dengan gejala klinis yang berbeda – beda tergantung pada lokasi fraktur. Kemungkinan yang paling sering adalah kompresi sisi anterior dan posterior tapi tidak tertutup kemungkinan terjadi kompresi dari sisi lateral. Pada kasus trauma medulla spinalis seperti halnya kasus trauma lainnya maka harus dilakukan penilaian awal ABC ( airway – breathing – circulation ) yang dilanjutkan dengan fiksasi atau imobilisasi terutama bila dicurigai suatu fraktur yang tidak stabil yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Setelah memberikan terapi cedera dan kelainan penyerta maka dapat dilakukan dekompresi operatif pada kasus dengan perburukan deficit neurologis. E.6. Gangguan Degeneratif Diskus Intervertebralis : Protrusi, Stenosis 7 Gangguan degeneratif pada diskus intervertebralis seringkali didapatkan di daerah lumbal dan cervical yang pergerakannya sangat mobil dan memiliki diskus intervertebralis yang lebih luas. Gangguan degeneratif diskus sendiri dapat berupa spondylosis, stenosis dan prolaps. Cervical Vertebra cervical meskipun tidak menanggung berat badan secara keseluruhan seperti halnya vertebra lumbal, namun perlu diingat bahwa vertebra cervical menanggung cranium dan segala isinya dengan total berat berkisar 6,5kg dan merupakan daerah yang memiliki fungsi mobilitas selain vertebra lumbal. Segmen C4/5 dan C5/6 merupakan daerah pada vervical yang sering mengalami gangguan degeneratif . Pada usia lanjut biasanya kemungkinan gangguan dapat meluas hingga daerah C3/4 sebagai akibat degenerasi vertebral cervical secara keseluruhan dan menyisakan daerah C3/4 satu – satunya daerah dengan fungsi flexi-extensi. Beberapa individu dapat ditemukan adanya penyempitan vertebra cervical, namun seringkali gejalanya baru akan muncul setelah ligamentum flavum menebal seiring dengna bertambahnya usia. Pada kasus ini stenosis kanalis akan dapat terdeteksi secara radiologis. Namun jarang sekali stenosis terjadi pada daerah cervical disertai daerah lumbal. Gangguan degeneratif pada vertebra cervical dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada kasus akut bisanya didahului oleh kejadian trauma berat ( terjadi protrusi diskus ), sedangkan pada kasus kronis biasanya didapatkan riwayat trauma minor yang terjadi secara terus menerus, sebagai contoh adalah joki kuda yang secara terus menerus mengalami cedera flexi selama mengendarai kuda. Jarak antara trauma kronis dengan klinis dapat berselang beberapa tahun dengan rentang 5 – 10 tahun. Klinis yang ditmibulkan oleh gangguan diskus ini dapat berupa radikulopati, mielopati cervical. Penatalaksanaan untuk kasus degeneratif diskus adalah pemberian analgetik yang adekuat, fisioterapi, edukasi untuk menghindari gangguan lebih lanjut. Terapi terakhir adalah operatif bila didapatkan deficit neurologis yang progresif dan kegagalan dengan terapi konservatif. Thorakal 25 Gangguan degeneratif diskus pada daerah vertebra thorakal jarang sekali terjadi dan bisanya dikaitkan dengan adanya riwayat trauma. Namun gangguan ini juga bias didapatkan pada beberapa kasus non trauma seperti pada kasus achondroplasia, dan osifikasi ligamentumflavum yang dikaitkan dengan gangguan paratiroid. Lumbal Patofisiologi gangguan degeneratif pada daerah vertebra lumbal sama halnya dengan vertebra cervical dengan segmen terbanyak adalah L4/5 dan L5/S1, dan pada kasus stenosis lumbal dapat terjadi pada segmen di atasnya. Gangguan pada lumbal dikaitkan dengan vertebra lumbal yang menanggung berat badan tubuh bagian atas dengan konsekuensinya adalah vertebra lumbal memiliki tulang, ligament dan jaringan lunak yang lebih besar dibandingkan vertebra lainnya. Berbeda dengan daerah cervical, mengingat struktur anatomi dan fisiologi medulla spinalis, maka protrusi daerah lumbal lebih sering memberikan gejala berupa radikulopati atau sindrom cauda equine, pada kasus protrusi lumbal atas dapat ditemukan sindrom conus medullaris. Prinsip pentalaksanaan pada proses degeneratif medula spinalis adalah terapi konservatif dan operatif. Terapi Konservatif : biasanya pasien dianjurkan untuk beristirahat dan menghindari pekerjaan dengan mekanisme mengangkat barang berat. Fisioterapi dilakukan untuk mempertahamkan fungsi motorik yang masih ada disertai pemberian analgetik dapat berupa preparat anti inflamasi non steroid. Pasien diberikan edukasi terutama mengenai posisi dalam mengangkat barang. Terapi Operatif : dilakukan bila terapi konservatif selama 3 bulan tidak memberikan perbaikan. Tindakan operatif berupa dekompresi ( laminektomi, discectomi, foraminectomi ) dengan indikasi : nyeri yang berulang dan menetap meskipun sudah mendapat terapi konservatif dan terjadi perburukan defisit neurologis. Daftar Pustaka 1. Gilroy J. Basic of Neurology. 3 rd edition. McGraw Hill Co Inc. New York. 2000. 422-425 2. Allan H. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. McGraw-Hill. New York. 2005 3. The Spinal Cord taken from http://medinfo.ufl.edu/year2/neuro/review/sp.html 4. Elliot M. Frohman, M.D., Ph.D., and Dean M. Wingerchuk, M.D. Transverse Myelitis. N Engl J Med 2010;363:564-72. Copyright © 2010 Massachusetts Medical Society 5. Schield, W. Michael. Infection of Central Nervous System. . 3 rd edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004.57-69,305-318 6. Osborn. Spine and Spinal Cord, In Diagnostic Neuroradiology. Mosby Inc. USA. 1994.. 7. Critchley, Edmund. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. 1st edition. Springer – Verlag London Limited. London. 1997. 10: 145-174 26 8. Spinal Cord Compression taken from http://en.wikipedia.org/wiki/Spinal_cord_compression 9. Guidetti. Differential Diagnosis of Intramedullary and Extramedullary Tumours. Handbook of Clinical Neurology. North Holland Pub. Co. Amsterdam. 1975 10.Felice J Esposito. Spinal Astrocytoma, Emedicine Specialities, Neurology, Neuro-oncology. Juni 2008. Taken from www.emedicine.com 11.Woodruff. The Spine, In Fundamental of Neuroimaging, W.B Saunders Co. Philadelphia. 1993 12.Carmen Armon. Amyotrophic lateral Sclerosis, Emedicine Specialities, Neurology, Neuromuscular Diseases. Januari 2010. Taken from www.emedicine.com 13.Hassan Ahmad. Syringomyelia, Emedicine specialities, Neurology, Movement and neurodegenerative Diseases. September 2008. Taken from www.emedicine.com 14.Victor Tse. Spinal Metastasis and Metastatic Disease to the Spine and Related Structures. Emedicine Specialities, Neurology, Neuro-oncology. Maret 2009. Taken from www.emedicine.com 15.Jose Hidalgo. Pott Disease ( Tuberculous Spondylitis ). Emedicine Specialities, Infectious Disease, Bone and Joint Interface. Agustus 2008. Taken from www.emedicine.com 16.Federico Vinas. Spinal Infections. Emedicine Specialities, Orthopedic Surgery, Spine. November 2008. Taken from www.emedicine.com 17.Foerster. Multiple Myeloma in Cancer : Principles and Practice of Oncology. 4 th ed. JB Lippincott Co. Philadelphia. 1993 18.Sara Grethlein. Multiple Myeloma. Emedicine Specialities, Hematology, Plasma Cell Disorders. November 2009. Taken ffrom www.emedicine.com 27