BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri komensal yang dapat bersifat patogen, bertindak sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia (Tenailon et al., 2010). Berdasarkan taksonominya E. coli diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Bacteria Divisio : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Esherichia coli. (Todar, 2008) Escherichia coli diisolasi pertama kali oleh Theodore Escherich pada tahun 1885 dari tinja seorang bayi (Merchant dan Parker,1961). E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar 0,4-0,7 µm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata (Smith Keary, 1988; Jawetz et al., 1996). Pada umumnya bakteri memerlukan kelembaban yang cukup tinggi sekitar 85% (Madigan dan Martinko, 2005). Escherichia coli merupakan golongan bakteri mesofilik yaitu bakteri yang suhu pertumbuhan optimumnya 15-45°C dan dapat hidup pada pH 5,5-8. E. coli akan tumbuh secara optimal pada suhu 27° C. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hawa et al. (2011), E. coli memiliki suhu maksimum pertumbuhan 40-45°C, di atas suhu tersebut bakteri akan mengalami inaktivasi. Penentuan serotipe bakteri E. coli berdasarkan antigen dinding sel (O), kapsular (K), dan flagela (H). Diperkirakan terdapat 173 antigen O, 80 antigen kapsular (K), 56 antigen H yang telah diisolasi (Gyles dalam Gyles dan Thoen, 1993). 6 7 Escherichia coli biasanya berkolonisasi di saluran pencernaan dalam beberapa jam setelah masuk ke dalam tubuh dan membangun hubungan mutualistik. Namun, strain non-patogenik dari E. coli bisa menjadi patogen, ketika adanya gangguan di dalam pencernaan serta imunosupresi pada host (Sanz-Garcia et al., 2009; Sharma et al., 2011; Janny et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Jawetz et al. (1996), menyatakan bakteri E. coli pada media EMBA membentuk koloni khas berwarna hijau metalik dengan pusat koloni berwarna gelap. Pada media SIM, bakteri E. coli bersifat motil dan menghasilkan indol. E. coli secara khas memberi hasil positif pada tes indol, lisin, dekarboksilase dan peragian manitol serta membentuk gas dari glukosa. Berdasarkan sifat dan karakteristik virulensinya, Escherichia coli diklasifikasikan menjadi lima kelompok (Jawetz et al, 1996), yaitu: 1. Enteroinvasive E. coli (EIEC) Menyebabkan penyakit yang mirip dengan shigellosis dengan menyerang sel epitel mukosa usus. 2. Enteroagregative E. coli (EAEC) Menyebabkan diare yang akut dan kronis (dalam jangka waktu lebih dari 14 hari) dengan cara melekat pada mukosa intestinal, menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin, sehingga terjadi kerusakan mukosa, pengeluran sejumlah besar mukus, dan terjadi diare. 3. Enteropathogenic E. coli (EPEC) Merupakan penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. Bakteri ini melekat pada usus kecil. Infeksi EPEC dapat mengakibatkan diare cair yang sulit diatasi dan kronis. 4. Enterotoxigenic E. coli (ETEC) Beberapa strain ETEC memproduksi eksotoksin yang sifatnya labil terhadap panas (LT) dan toksin yang stabil terhadap panas (ST). Infeksi ETEC dapat mengakibatkan gejala sakit perut, kadang disertai demam, muntah, dan pada feses ditemukan darah. 8 5. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) Serotipe E. coli yang memproduksi verotoksin yaitu EHEC O157:H7. EHEC memproduksi toksin yang sifatnya hampir sama dengan toksin Shiga yang diproduksi oleh strain Shigella dysenteriae. Verotoksin yang dihasilkan menghancurkan dinding mukosa menyebabkan pendarahan. 2.2 Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli O157:H7 ditemukan pertama kali pada tahun 1982 pada hamburger yang terkontaminasi. E. coli tersebut diketahui menghasilkan shiga like toksin (SLT) sebagai penyebab utama wabah diare berdarah (Riley et al., 1983). Dari struktur segi morfologinya, bakteri E. coli O157:H7 berbentuk batang, Gram negatif dengan dinding sel yang memiliki lapisan luar dari lipopolisakarida dan peptidoglikan sebagai lapisan utamanya. Escherichia coli O157:H7 dapat hidup berbulan-bulan di dalam air dan di tanah namun dapat dimatikan dengan pemanasan 60°C dalam waktu 20 menit. Pada pH 7 pertumbuhan E. coli O157:H7 dapat berkembang secara optimal. Bakteri E. coli O157:H7 dapat bertahan hidup selama 49-56 hari dengan suhu 22°, di dalam tinja sapi pada suhu 37°C dengan kelembaban relatif 10%. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa E. coli O157:H7 dapat hidup lama dalam tinja (Wang et al., 1996). Ruminansia dianggap sebagai reservoir E. coli O157:H7 yang mampu menginfeksi. E. coli O157:H7 mudah menginfeksi ternak sapi dan dapat ditemukan di dalam tanah (Maule, 1997). Burung liar memainkan peran penting dalam penyebaran E. coli O157:H7 dan burung yang menjadi reservoir utama untuk E. coli O157:H7 adalah burung camar. Burung camar mampu menyebarkan E. coli O157:H7 pada ternak dan hewan lain. Serotipe E. coli O157:H7 dapat mengontaminasi daging dan menimbulkan penyakit pada manusia (Guyon et al., 2001). Hal tersebut juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Cliver (1990) menyatakan bahwa adanya infeksi 9 E. coli O157:H7 merupakan ancaman yang serius dan biasanya ditularkan dari konsumsi daging sapi atau susu yang kurang masak. Virotipe Enterohemorragic E. coli memproduksi shiga toksin yang dapat menginfeksi hewan dan manusia. Menurut laporan Faith et al. (1996), E. coli O157:H7 dapat diisolasi dari hewan sehat tetapi awalnya menderita diare saat muda yang kemudian berlanjut asimptomatik. Virulensi EHEC sebagai agen zoonosis pada manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan perlekatan dan penyerangan pada sekum dan kolon dan kemampuannya untuk menghasilkan toksin (Krauss et al., 2003 dalam Suardana et al., 2005). Escherichia coli O157:H7 memiliki fimbrie yang berperan dalam menginvasi inang dan menghasilkan toksin yang identik dengan toksin dari shigella disentri tipe 1 sehingga dikenal shiga like toxin (SLT) (Beutin et al, 1993). Pada manusia menimbulkan gejala diare berair, hemoragi kolitis, dan hemolitik uremic syndrome (HUS), sindrom tersebut terjadi pada manusia sekitar 2-7% akibat infeksi E. coli O157:H7 dan kasus gejala diare berdarah yang banyak terjadi di dunia. Menurut (Kudo et al. 2000. dalam Suardana et al. 2005), mengidentifikasi serotipe E. coli O157:H7, hasil dari uji EMBA maupun uji IMVIC selanjutnya diinokulasikan pada media sorbital MacConkey agar (SMAC) sebagai media penduga E. coli O157:H7. Pada media SMAC sebagai media penduga E. coli O157:H7, koloni yang diduga E. coli O157 akan berbentuk bundar, cembung, dan tidak berwarna karena tidak memfermentasi sorbitol. Sedangkan pada uji latex agglutination test berguna untuk konfirmasi hasil positif dari media SMAC sehingga dapat diketahui benar hasil positif E. coli O157 yang ditandai dengan bentukan pasir dalam waktu satu menit. Uji Motilitas dilakukan sebanyak dua kali yang bertujuan untuk mengetahui adanya antigen H7 sebagai alat gerak dan selanjutnya dilakukan uji antiserum H7 sebagai konfirmasi uji motilitas yang ditandai terbentuknya endapan berupa butiran pasir pada dasar tabung, menandakan E. coli positif mengandung H7. 10 1.3 Patogenitas E. coli O157:H7 Patogenitas adalah kemampuan agen patogen untuk menimbulkan penyakit. Patogenisitas mencakup inisiasi dari proses infeksi dan mekanisme yang menyebabkan gejala penyakit (Jawetz et al., 1996). Bakteri E. coli mampu menginfeksi tubuh dan diperoleh jika jumlah bakteri yang masuk ke dalam tubuh kurang dari 100 sel bakteri (Coia, 1998). Menurut sumber yang di dapat dari Xu et al. (1999), E. coli O157:H7 juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan faktor patogen, dalam kelompok Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) karena dapat menyebabkan kolitis hemoragik melalui produksi cytotoxins (disebut Shiga toksin). Berdasarkan patogenitasnya E. coli digolongkan sebagai patogen, patogen oppurtunistic dan non patogen. Beberapa faktor yang mempengaruhi virulensi bakteri ialah kemampuan perlekatan serta invasi sel inang dan jaringan, toksin yang meliputi eksotoksin lipo-polisakarida, peptidoglikan, dan faktor antifagosit (Jawetz et al., 1996). E. coli O157:H7 mampu menghasilkan Stx1, Stx2, atau keduanya. E. coli O157:H7 mampu menghasilkan Shiga like toxin, disebut sebagai shiga toksin E. coli (STEC) (O’Loughlin and Robins-Browned, 2001). Penularan E. coli O157:H7 dapat disebabkan dari feses hewan yang sehat yang awalnya menderita diare saat muda yang mengkontaminasi daging akibat kesalahan dalam penanganan mulai dari proses pemotongan sampai pengolahan untuk dikonsumsi oleh manusia. Infeksi bakteri E. coli O157:H7 dapat menimbulkan hemolytic uremic syndrome (HUS), dengan karakteristik hemolitik anemia, thrombocytopenia, dan kerusakan pada ginjal (Josefa et al., 2005). 1.4 Epidemiologi E. coli O157:H7 Escherichia coli O157:H7 ditemukan pertama kali pada tahun 1982 pada hamburger yang terkontaminasi. E. coli tersebut diketahui menghasilkan shiga like toksin (SLT) sebagai penyebab utama wabah diare berdarah (Riley et al., 1983). E. coli O157:H7 dapat bertahan dan bermultiplikasi pada lingkungan pertanian seperti dalam kotoran hewan, jerami, tanah dan air (Davies et al., 2005). Infeksi Verotoxigenic Escherichia coli telah dilaporkan sejak tahun 1990 di 11 Kanada. Escherichia coli O157:H7 memproduksi Verocytotoxin telah menyebabkan wabah utama dari sindrom uremik hemolitik di Inggris dan Amerika Utara (Fox, 1994). Meskipun kejadian kasus yang dilaporkan telah menurun pada tahun 2003 namun infeksi E. coli O157: H7 tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat. Wabah E. coli O157:H7 telah dipublikasikan terjadi di Pasifik Barat pada tahun 1993, sangat sedikit negara dilacak dan melaporkan kasus infeksi E. coli O157: H7. Pada tahun 1999 dan 2003, rata-rata 1.625 kasus dilaporkan setiap tahun di Kanada, yang terdiri tidak kurang dari seperempat kejadian yang sebenarnya (Majowicz et al., 2005; Michel et al., 2000; Public Health Agency of Canada, 2006). Saat ini hampir setiap negara mensyaratkan bahwa infeksi tersebut harus dilaporkan kepada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) (Fact Sheet, 2010). Daging sapi hanya mewakili sekitar 25 persen dari wabah dan kasus di seluruh dunia akibat infeksi E. coli O157: H7 terjadi sejak tahun 1982. Sumbersumber umum lainnya dari infeksi E. coli O157:H7 yaitu air, produk daging lainnya, lingkungan, susu dan penyebaran dari orang ke orang (Fact Sheet, 2010). Penelitian mengenai epidemiologi VTEC pada sapi perah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah dilakukan oleh Sumiarto (2002), menunjukan bahwa pravelensi infeksi VTEC pada tingkat peternak di Jawa Tengah dan DIY pada tingkat ternak 27,4% dan peternak 53,5%. Bukti terbaru telah mengindikasikan bahwa lalat rumah membawa virulen dalam lingkungan pertanian, dan mungkin memainkan peran penting dalam transmisi patogen ini antara ternak individual maupun berpotensi untuk pertanian sekitarnya dan lingkungan perkotaan (Alam dan Zurek, 2004). 1.5 Faktor Resiko Infeksi E. coli O157:H7 Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap penyebaran infeksi E. coli O157:H7 dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Menurut sumber yang didapat dari Dargatz et al. (1997), faktor resiko yang berkaitan dengan tingkat pelepasan E. coli O157:H7 pada feses meliputi umur hewan, perubahan pakan, 12 transportasi dan keadaan panas. Faktor penyebab lainnya yang berkaitan dengan infeksi E. coli O157:H7 yaitu sumber air terkontaminasi E. coli, kebersihan lantai, jarak sumber air dari kandang kebersihan sapi, kebersihan pemilik, kebersihan sekitar lantai kandang, kebersihan air, produksi susu, sumber air sumur dan tempat penampungan kotoran (Sumiarto, 2002). Menurut Hanif et al. (2003), pemeliharaan ternak di Indonesia umumnya masih sangat sederhana dan tradisional, limbah ternak dibiarkan tanpa dikelola dengan baik, ternak dipelihara di lahan yang sempit, maka resiko terjadinya infeksi E. coli O157:H7 pada sapi cukup tinggi dan pencemaran lingkungan peternakan pun dapat terjadi melalui kontaminasi terutama air. Peneliti lain menemukan bahwa pupuk kandang dan faktor lingkungan dapat menyebabkan kasus terinfeksi manusia dengan E. coli O157:H7. Tingkat terisolasinya E. coli berbeda antara spesies hewan bisa berkaitan dengan pupuk kandang, pakan ternak, pasokan air (Riley et al., 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Kudva et al. (1996) menunjukkan bahwa tingginya infeksi VTEC disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kepadatan ternak, pakan, kondisi geografi, musim dan stres. 1.6 Kondisi Geografis Kecamatan Mengwi Kecamatan Mengwi adalah salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Badung, Bali dan memiliki 20 desa.. Kecamatan Mengwi memiliki luas area sekitar 82,00 km² dan secara Geografis terletak antara 08°38ˈ44.2ˈˈ Lintang Selatan sampai 115°05ˈ20ˈˈ Bujur Timur, serta berada pada ketinggian 0350 Meter dari permukaan laut. Kecamatan Mengwi merupakan daerah beriklim tropis dan memiliki curah hujan rata-rata pertahun 192,3 mm. Suhu rata-rata Kecamatan Mengwi berkisar antara 25-30oC dengan kelembaban udara 79-82%. Menurut badan pusat statistik Kabupaten Badung, jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor peternakan sebanyak 24.087 rumah tangga pada tahun 2013. Jumlah sapi di Kecamatan Mengwi sebanyak 8.102 ekor. Sumur menjadi mayoritas sumber air minum di Kecamatan Mengwi. Sekitar 44,45% rumah tangga di Kecamatan Mengwi menggunakan air minum yang berasal dari air sumur.