Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model Prosiding Seminar

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
ANALISA STABILITAS MODEL INFEKSI HTLV-I
PADA SEL CD4+T DENGAN LAJU INFEKSI NONLINIER
DAN RESPON IMUN CTL YANG TERTUNDA
Nur Aini S., Subiono
Pascasarjana Matematika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya, Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Human T-cell Lymphotropic Virus type I (HTLV-I) merupakan anggota
retrovirus yang menyebabkan penyakit Adult T-cell Leukemia (ATL) dan dapat
menyerang susunan syaraf pusat yang menimbulkan penyakit “Tropical Spastic
Paraparesis” (TSP) atau “HTLV-I Associated Myelopathy” (HAM). HTLV-I menyerang
sel CD4+T yang merupakan salah satu komponen sistem imun sehingga menyebabkan
terjadinya respon imun yang kuat dari sel CD8+T atau Cytotoxic T-Lymphocyte (CTL).
Stimulus antigen yang membangkitkan CTL membutuhkan periode waktu 𝜏 yaitu
respon CTL pada waktu t bergantung pada populasi antigen pada waktu sebelumnya
yaitu 𝑡 − 𝜏. Dalam makalah ini dibahas analisa stabilitas dari model infeksi HTLV-I
pada sel CD4+T dengan respon imun CTL yang tertunda. Pada model ini diasumsikan
laju infeksi antara sel CD4+T yang sehat dan yang terinfeksi adalah nonlinier, yaitu pada
saat jumlah individu yang terinfeksi sangat banyak atau mencapai titik jenuh
maka laju infeksi semakin menurun. Hal ini disebabkan karena adanya suatu tindakan
perlindungan terhadap individu yang terinfeksi. Parameter waktu tunda 𝜏 dan parameter
tindakan perlindungan terhadap individu yang terinfeksi menyebabkan terjadinya
bifurkasi.
Kata kunci: bifurkasi, HTLV-I, model infeksi virus, respon imun CTL, waktu tunda.
PENDAHULUAN
Human T-cell Lymphotropic Virus type I (HTLV-I) merupakan anggota retrovirus yang
menyebabkan penyakit “Adult T-cell Leukemia” (ATL) dan dapat menyerang susunan saraf pusat
serta menimbulkan penyakit “Tropical Spastic Paraparesis” (TSP) atau “HTLV-I Associated
Myelopathy” (HAM) (Kumala W, 1999). Virus HTLV-I terutama menginfeksi sel CD4+T walaupun
sel CD8+T juga bisa digunakan sebagai sel inang (Mylonas I, 2010).
Pada penelitian Kumala W (1999) telah ditemukan daerah endemik virus HTLV-I di
Indonesia yaitu pada suku Bisman Asmat di Irian Jaya. Sebagian besar individu yang terinfeksi
HTLV-I akan terus membawa virus tersebut selama hidupnya (Lang J, 2011). Penyakit yang
disebabkan oleh virus HTLV-I dengan tingkat keganasan tinggi memberikan kesulitan dalam hal
pengobatan. Beberapa pengobatan kemoterapi atau pemakaian obat antiviral ternyata tidak efektif
dan hasilnya kurang memuaskan. Mengenai pemberian vaksin, masih dalam penjajakan
pembuatannya, karena pengembangan pembuatan vaksin untuk infeksi retrovirus sangat sulit
(Kumala W, 1999). Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah model matematika infeksi virus HTLV-I
sehingga dapat membantu dalam pengembangan terapi obat antiviral.
Banyak peneliti yang mengkaji tentang model infeksi HTLV-I. Katri P (2004) meneliti
sifat-sifat dinamik infeksi HTLV-I pada sel CD4+T. Cai L (2011) meneliti tentang analisis dinamik
M-1
Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model
model matematika infeksi HTLV-I pada sel CD4+T. Lang J (2011) meneliti tentang kestabilan dan
osilasi periodik transien dari model matematika respon CTL pada infeksi HTLV-I. Y.Li M (2012)
meneliti tentang sifat-sifat dinamik model infeksi HTLV-I pada sel CD4+T dengan respon imun
CTL yang tertunda. Pada penelitian Katri P, Lang J dan Y.Li M diasumsikan laju infeksi antara sel
CD4+T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah bilinier. Sedangkan pada penelitian Cai L
diasumsikan laju infeksi antara sel CD4+T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah nonlinier.
Ada beberapa proses transmisi suatu penyakit. Pertama adalah laju infeksi bilinier 𝛽𝑆𝐼, S
dan I masing-masing adalah jumlah individu yang susceptible dan individu yang terinfeksi dalam
suatu populasi. Laju infeksi bilinier sering digunakan dalam penelitian-penelitian model epidemi
𝛽𝑆𝐼
𝛽𝑆𝐼
(Enatsu Y dkk, 2011). Kedua adalah laju infeksi nonlinier 1+𝛼 𝑆 atau 1+𝛼 𝐼 , 𝛼1 , 𝛼2 > 0 adalah efek
1
2
dari faktor kejenuhan atau crowded, yaitu pada saat jumlah individu yang terinfeksi sangat
banyak atau mencapai titik jenuh maka laju infeksi semakin menurun. Hal ini disebabkan
karena adanya suatu tindakan pencegahan terhadap individu yang susceptible (𝛼1 ) atau
tindakan perlindungan terhadap individu yang terinfeksi (𝛼2 ) (Kaddar A, 2009).
Wang Z (2012) melakukan penelitian tentang stabilitas dan bifurkasi model infeksi virus
dengan laju infeksi nonlinier dan respon imun yang tertunda. Waktu tunda memiliki peran yang
penting dalam sifat model dinamik respon imun. Dalam penelitian Wang KF dkk (2007)
menyatakan bahwa stimulus antigen yang membangkitkan CTL mungkin membutuhkan periode
waktu 𝜏 yaitu respon CTL pada waktu t mungkin bergantung pada populasi antigen pada waktu
sebelumnya yaitu 𝑡 − 𝜏.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, akan diusulkan suatu penelitian tentang analisa
stabilitas model infeksi HTLV-I pada sel CD4+T. Model yang digunakan adalah pengembangan dari
model Y.Li M (2012) dengan asumsi laju infeksi antara sel CD4+T yang susceptible dan yang
terinfeksi adalah nonlinier dan respon imun CTL bergantung pada waktu tunda. Model ini
berbentuk persamaan diferensial tundaan. Untuk menganalisa kestabilannya digunakan pendekatan
ruang kompleks dan teorema dari Forde, JE (2005). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sifat-sifat atau perilaku dinamik khususnya kestabilan dari model infeksi virus HTLV-I
pada sel CD4+T dengan laju infeksi nonlinier dan respon imun yang tertunda sehingga dapat
digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan terapi obat antiviral.
PEMBAHASAN
Model Infeksi Virus HTLV-I
Pada bagian ini akan dibahas model infeksi virus HTLV-I pada sel CD4+T. Model
matematika diambil dari penelitian Y.Li M (2012) dengan memodifikasi laju infeksi pada sel
CD4+T. Model infeksi virus ini terdiri dari tiga variabel yaitu populasi sel CD4+T yang sehat,
populasi sel CD4+T yang terinfeksi virus HTLV-I dan populasi sel CTL yang masing-masing
dinotasikan dengan 𝑥(𝑡), 𝑦(𝑡) dan 𝑧(𝑡).
xt yt 
x t     d1 xt   
1   yt 
xt yt 
(1)
y t   
 d 2 yt   yt z t 
1   yt 
zt   y t   z t     d 3 z t 
dengan 𝜆 dan 𝜇 masing-masing adalah laju produksi sel CD4+T dan sel CTL. Parameter 𝑑1 , 𝑑2 dan
𝑑3 masing-masing merepresentasikan laju kematian alami pada sel CD4+T yang sehat, sel CD4+T
yang terinfeksi dan sel CTL. 𝛽 adalah laju kontak antara sel CD4+T yang sehat dan yang terinfeksi
dan 𝛾 adalah laju kematian yang diakibatkan oleh sel CTL pada sel CD4+T yang terinfeksi. Pada
penelitian Y.Li M (2012) laju infeksi antara sel CD4+T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah
bilinier yaitu 𝛽𝑥(𝑡)𝑦(𝑡). Sedangkan pada penelitian ini diasumsikan laju infeksi antara sel
CD4+T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah non linier yaitu
M-2
𝛽𝑥(𝑡)𝑦(𝑡)
1+𝛼𝑦(𝑡)
dengan 𝛼
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
merepresentasikan faktor tindakan yang dilakukan terhadap sel CD4+T yang terinfeksi.
Diasumsikan semua parameter 𝜆, 𝜇, 𝑑1 , 𝑑2 , 𝑑3 , 𝛽, 𝛾 dan 𝛾 adalah konstanta positip.
Syarat awal   1 ,  2 ,  3  dari (1) didefinisikan di ruang Banach berikut ini:
C     C  ,0, R30 : 1    x , 2    y , 3    z ,   ,0
dengan R30  x, y, z  : x  0, y  0, z  0 dan C  ,0, R30  adalah ruang Banach fungsi kontinu
dari interval   ,0 ke R30 . Kemudian norma dari  didefinisikan sebagai   sup   0   
untuk setiap   C .
Teorema 1.1
Solusi dari (1) terbatas dan berada di dalam domain  .





  x, y, z  R30 : x  ; x  y  ~ ; x  y  z   
d1

d
d


~
dengan d  min d1 , d 2  dan d  min d1 , d 2 , d 3  .
Bukti:
Dari persamaan pertama pada (1) yaitu 𝑥̇ (𝑡) = 𝜆 − 𝑑1 𝑥(𝑡) −
x t     d 1 xt  sehingga
xt  

 Ce t d
1
𝛽𝑥(𝑡)𝑦(𝑡)
1+𝛼𝑦(𝑡)
dan lim sup t  xt  
d1
menambahkan
persamaan
pertama
dan
x t   y t     d 1 xt   d 2 y t   yt z t  maka diperoleh
maka diperoleh

. Selanjutnya dengan
d1
kedua
pada
(1)
yaitu
~
x t   y t     d xt   yt  dengan
t
~

~

d  min d1 , d 2  sehingga xt   y t   ~  Ce d dan lim sup t  xt   y t   ~ . Jika seluruh
d
d
persamaan
pada
(1)
dijumlahkan
maka
didapat






x t   y t   zt       d 1 xt   d 2 y t   d 3 z t       d  xt   y t   z t    dengan





t




d  min d1 , d 2 , d 3  sehingga xt   y t    z t       Ce d dan untuk t   maka

d


diperoleh lim sup t  xt   y t   z t      .

d
𝜆
Sistem persamaan (1) memiliki sebuah titik setimbang bebas penyakit yaitu 𝑃0 (𝑑 , 0,0)
1
dan dua buah titik setimbang endemik yaitu 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) dan 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) dengan
d R  1
d  
  d1 d 2

, y
, R0 
x 2
 1 0
d 1  
d 1 d 2  d 2
d1  
d1 d 2
   d 3 
d
d

, y *  3 , z *  2 R1  1 , R1 
x* 


d 3   d1   d1 d 3
d 2 d 3   d1   d1 d 3 
𝜆
, 0,0)
𝑑1
Titik setimbang 𝑃0 (
merepresentasikan suatu kondisi dimana semua populasi sel
+
CD4 T adalah sehat atau tidak ada sel CD4+T yang terinfeksi (𝑦 = 0) sehingga tidak menyebabkan
adanya pertumbuhan sel CTL (𝑧 = 0). Titik setimbang 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) merepresentasikan suatu keadaan
dimana terdapat populasi sel CD4+T yang terinfeksi (𝑦 ≠ 0) namun sel CTL belum sempat
diproduksi (𝑧 = 0). Sedangkan titik setimbang 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) merepresentasikan suatu keadaan
semua populasi sel CD4+T yang sehat, sel CD4+T yang terinfeksi dan sel CTL ada di dalam sistem.
M-3
Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model
Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa:
𝜆
1. Jika 𝑅0 ≤ 1 maka terdapat satu titik setimbang yaitu 𝑃0 ( , 0,0).
𝑑1
2. Jika 𝑅1 ≤ 1 < 𝑅0 maka terdapat satu titik setimbang yaitu 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0).
3. Jika 𝑅1 > 1 maka terdapat satu titik setimbang yaitu 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ).
Selanjutnya R 0 disebut sebagai Angka Reproduksi Dasar (Basic Reproduction Number)
untuk infeksi virus yaitu angka yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam populasi. Sedangkan
R1 disebut sebagai Angka Reproduksi Dasar (Basic Reproduction Number) untuk respon CTL
yaitu angka yang menyebabkan terjadinya respon CTL.
Kestabilan Lokal
Sistem persamaan (1) merupakan sistem persamaan diferensial tundaan nonlinier sehingga
untuk menganalisa kestabilan maka sistem (1) dilinierisasi dengan menggunakan deret Taylor di
sekitar titik setimbang x*, y*, z * . Misalkan u  x  x * ; v  y  y * ; w  z  z * , maka didapat
sistem yang linier yaitu
 u 
u 
 u t   
 v   J  v   J  vt    
0 
 
 

 w 
 w
 wt   
dengan J 0 adalah matriks Jacobian untuk parameter non delay dan J  adalah matriks Jacobian
untuk parameter delay dan didapatkan:
y
 x


0 
2
  d 1  1  y
1  y 


y
x


(2)
J0 

d


z


y
2
2
 1  y

1  y 

0
0
 d 3 


  x*, y *, z*
0 
0 0

J   0 0
0 
0  z  y 
 x *, y *, z * 
(3)
Selanjutnya untuk menentukan kestabilan titik setimbang, maka akan dicari persamaan
karakteristik dari sistem persamaan (1). Persamaan karakteristik diperoleh dari
s I 3  J 0  J  e  s  0 dengan I 3 adalah matriks identitas berukuran 3x3.
𝝀
Kestabilan pada Titik Setimbang 𝑷𝟎 (𝒅 , 𝟎, 𝟎)
𝟏
Secara biologi, jika 𝑅0 < 1 maka virus tidak akan menyebar. Hal ini dikarenakan suatu
kondisi dimana tidak terdapat sel CD4+T yang terinfeksi sehingga mengakibatkan titik setimbang
𝜆
𝑃0 ( , 0,0) stabil.
𝑑1
Teorema 1.2
𝜆
Diketahui titik setimbang 𝑃0 (𝑑 , 0,0).
1
(i).
Jika 𝑅0 ≤ 1 maka
(ii). Jika 𝑅0 > 1 maka
𝜆
𝑃0 (𝑑 , 0,0)
1
𝜆
𝑃0 (𝑑 , 0,0)
1
stabil untuk setiap 𝜏 ≥ 0.
tidak stabil untuk setiap 𝜏 ≥ 0.
M-4
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
Bukti:
𝜆
Diketahui titik setimbang pada saat sel CD4+T belum terinfeksi adalah 𝑃0 (𝑑 , 0,0) sehingga dari
1
persamaan (2) dan persamaan (3) diperoleh matriks Jacobian yaitu




0 
 d 1
d1
0 0 0 





J0  0
 d2
0
dan J   0 0 0


d1
0 0 0
 0
0
 d3 




dengan persamaan karakteristik


s  d1  s    d 2 s  d 3   0
d1


dan akar-akar karakteristiknya adalah:
s1   d 1  0
 

 d 2  d 2 
 1  d 2 R0  1
d1
 d1 d 2

s 3  d 3  0
Nilai eigen s 2 dapat bernilai positip atau negatip bergantung pada nilai R 0 . Jika R0  1 maka s 2
bernilai positip sehingga titik setimbang P0 tidak stabil untuk setiap   0 . Sebaliknya jika R0  1
maka s 2 bernilai tak positip sehingga titik setimbang P0 stabil untuk setiap   0 . Jadi titik
setimbang P0 stabil jika dan hanya jika R0  1 untuk setiap   0 . Hal ini menginterpretasikan
bahwa adanya waktu tunda tidak mempengaruhi kestabilan dari P0 . Hal ini terjadi karena pada titik
setimbang ini tidak terdapat populasi sel CTL yang membutuhkan waktu tunda dalam proses
produksinya.
s2 

̅, 𝒚
̅, 𝟎)
Kestabilan pada Titik Setimbang 𝑷𝟏 (𝒙
𝜆
Dari teorema 1.2 yaitu jika R0  1 maka 𝑃0 (𝑑 , 0,0) menjadi tidak stabil dan pada saat
1
yang sama kestabilan akan cenderung pada titik setimbang 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0). Selanjutnya 𝑅1 < 1
merepresentasikan suatu keadaan dimana tidak terjadi respon CTL sehingga mengakibatkan titik
setimbang 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) stabil dalam domain Ω.
Teorema 1.3
Titik setimbang 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) stabil untuk setiap 𝜏 ≥ 0 jika dan hanya jika 𝑅1 ≤ 1 < 𝑅0 .
Bukti:
Diketahui titik setimbang endemik namun belum tidak ada respon CTL yaitu 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) dengan
d R  1
d  
  d1 d 2
dan y 
sehingga dari persamaan (2) dan persamaan (3)
x 2
 1 0
d 1  
d 1 d 2  d 2
d1  
diperoleh matriks Jacobian yaitu:
M-5
Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model
y
x



0 
2
  d 1  1  y
1  y 
0 0 0 



y

x


J0 
d
 y dan J   0 0 0 


 1  y

1  y 2 2
0 0 y 


0
0
 d3 



dengan persamaan karakteristik


(4)
s  d 3  ye s s 2    x 2  y  d1  d 2 s    xd12   yd 2  d1 d 2   0
1


y
1


y




1


y
1


y








Jika tidak ada waktu tunda (𝜏 = 0) maka persamaan (4) menjadi


   x d 1

 yd 2

s  d 3  y s 2    x 2  y  d1  d 2 s  

 d1 d 2   0
2
1  y
1  y

 1  y 
  1  y 



Akar-akarnya adalah
d d   d 3   d1
(5)
R1  1
s1  d 3  y  1 3
d1  
Dari persamaan (5) didapat bahwa jika R1  1 maka s 1 bernilai negatip dan jika R1  1 maka s 1
bernilai positip. Selanjutnya dua akar-akar karakteristik yang lainnya yaitu s 2 dan s 3 diberikan
oleh persamaan berikut:
(6)
s 2  A1 s  A2  0
dengan
 x d 1
 yd 2
y
 x
A1 

 d1  d 2 dan A2 

d d
2
2
1  y  1  y
1  y  1  y 1 2
Selanjutnya dengan menggunakan aturan Routh-Hurwitz maka diperoleh:
  d1  d 2 y  d1
A1 
0
1  y
  d1 d 2 y
A2 
0
1  y
d R  1
dengan y  1 0
sehingga R0  1 .
d1  
Karena memenuhi kriteria Routh-Hurwitz sehingga persamaan (6) memiliki akar-akar yang
bertanda negatip pada bagian realnya. Oleh karena itu titik setimbang 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) adalah stabil
untuk 𝜏 = 0 jika dan hanya jika 𝑅1 ≤ 1 < 𝑅0 .
Selanjutnya untuk 𝜏 ≠ 0 persamaan karakteristiknya adalah


(7)
s  d 3  ye s s 2    x 2  y  d1  d 2 s    xd12   yd 2  d1 d 2   0
1  y
1  y

 1  y 
  1  y 



Persamaan (7) ekivalen dengan
(8)
s  d 3  ye  s  0
atau
  x
   x d 1

 yd 2
y
s 2  

 d 1  d 2  s  

 d 1 d 2   0
(9)
2
2
1  y
1  y
 1  y 
  1  y 

Persamaan (9) telah diselesaikan dengan persamaan (6) yaitu jika R0  1 maka persamaan (9)
memiliki akar-akar yang bertanda negatip pada bagian realnya. Sedangkan pada persamaan (8)
memiliki banyak akar-akar karakteristik. Telah dibahas bahwa untuk 𝜏 = 0 jika R1  1 maka akar
M-6
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
polinomial (8) adalah real negatip. Sedangkan untuk nilai 𝜏 yang bervariasi (𝜏 > 0) maka terjadi
perubahan tanda bagian real pada akar karakteristik. Misalkan persamaan karakteristik (8) memiliki
akar imajiner murni 𝑠 = 𝑖𝜎 ( 𝜎 > 0).
Untuk 𝜏 > 0, jika 𝑖𝜎 (𝜎 > 0) adalah akar dari persamaan (8) maka
i  d 3  ye i  0
i  d 3  y cos   i sin    0
Dengan memisahkan antara bagian real dan bagian imajiner maka diperoleh
(10)
d 3  y cos 
   y sin  
(11)
Persamaan (10) dan (11) masing-masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan diperoleh
2
(12)
 2  d3   2 y 2  0
   2 y 2  d3
2
2
Jika  2 y 2  d 3  0 atau ekivalen dengan R1  1 maka persamaan (12) memiliki akar imajiner
murni. Akibatnya, persamaan (8) memiliki akar real negatip untuk 𝜏 > 0 sehingga tidak terjadi
perubahan tanda pada bagian realnya atau tidak terjadi bifurkasi. Dengan kata lain titik setimbang
𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) stabil untuk 𝜏 > 0 jika R1  1 dan R0  1 . Hal ini menginterpretasikan bahwa adanya
waktu tunda juga tidak mempengaruhi kestabilan dari P1 . Waktu tunda dibutuhkan untuk
memproduksi sel CTL. Sedangkan pada titik setimbang P1 , sel CTL tidak diproduksi walaupun
terdapat sel CD4+T yang terinfeksi sehingga titik setimbang P1 akan tetap stabil untuk setiap 𝜏 ≥ 0
jika 𝑅1 ≤ 1 < 𝑅0 .
Kestabilan pada Titik Setimbang 𝑷𝟐 (𝒙∗ , 𝒚∗ , 𝒛∗ )
Teorema 1.4 (Forde, JE, 2005)
Titik setimbang 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) stabil untuk 𝜏 = 0 dan menjadi tidak stabil untuk 𝜏 > 𝜏0 jika dan
hanya jika 𝐴, 𝐵 dan 𝐶 semuanya tak positip dan
(𝐻1 ): 𝑅1 > 1
(𝐻2 ): C  0 atau C  0 , A 2  3B  0 dan 4B 2  3 AC A 2  3B   9C  AB 2  0
dengan
2
2
2
2
2
2
A  A1  B1  2A2 , B  A2  B2  2 A3 A1  2B1 B3 dan C  A3  B3
Bukti:
Diketahui titik setimbang endemik yaitu 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) dengan x * 
   d 3 
d
, y*  3 ,

d 3   d1   d1 d 3
d2
R1  1 sehingga dari persamaan (2) dan persamaan (3) diperoleh matriks Jacobian



y *
x *

d


0 
 1
*
2
*
1  y
1  y 


0 
0 0
*

y *
x
*
*

J0  
 d 2  z  y  dan J   0 0
0  .
*

* 2
1


y
1  y 


0 z * y * 
0
0
 d3 





Persamaan karakteristiknya diberikan oleh
s 3  A1 s 2  A2 s  A3  B1 s 2  B2 s  B3 e  s  0
z* 
M-7
(13)
Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model
dengan
A1  d 3 
A2 
x *
1  y 
* 2
 x * d 3
1  y 
* 2
A3  
y *
1  y *
 d 2 d 3  d 3 z *  d 1 d 3 
x * d 1 d 3
1  y 
 d 2  z *  d 1 
* 2
 d 1 d 2 d 3  d 1 d 3 z * 
x * d 1
1  y 
* 2
 d 1 d 2  d 1 z * 
y * d 3
y * d 2 y *z *


1  y * 1   y * 1   y *
d 2 d 3 y * d 3 y * z *

1  y *
1  y *
B1  y *
B2 
x * y *
1  y 
* 2
d 1 x * y *
y *
 y d 2 
 y * d 1
*
1  y
2
*
d 2 y *
B3 


y
d
d

1
2
1  y *
1  y * 2
Jika tidak ada waktu tunda (𝜏 = 0) maka persamaan (13) menjadi
2
*
s 3   A1  B1 s 2   A2  B2 s   A3  B3   0
Selanjutnya dengan menggunakan aturan Routh-Hurwitz maka diperoleh:
  d1  d 2  z * y *  d1  0
A1  B1 
1  y *
A3  B3 
d 3  d 1  d 1 d 3  
1  y
y* z*
*
0
(14)
(15)
(16)
d2
R1  1 sehingga pertidaksamaan (16) terpenuhi jika dan hanya jika 𝑅1 > 1.

Kemudian dapat dibuktikan bahwa  A1  B1  A2  B2    A3  B3   0 .
 A1  B1  A2  B2    A3  B3   1 * 2   d1 y *  d1y *  d1 y * z
1  y 
 d 2  z     d1  d 3  y *2 z *
 d 2  d1 d 2   d1  d 2  z y *2  d 2  d1 d 2 d1 y *   0
(17)
Dari pertidaksamaan (15), (16) dan (17), maka persamaan karakteristik (14) memenuhi kriteria
Routh-Hurwitz jika dan hanya jika 𝑅1 > 1. Jadi jika 𝑅1 > 1 saat 𝜏 = 0, maka titik setimbang
𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) stabil. Hal ini terjadi karena saat 𝜏 = 0 semua akar-akar karakteristik (13) berada di
sebelah kiri sumbu imajiner. Perubahan kestabilan 𝑃2 hanya dapat terjadi saat akar-akar
karakteristik (13) melewati sumbu imajiner dan selanjutnya berada di sebelah kanan sumbu
imajiner. Misalkan persamaan (13) memiliki akar imajiner murni yaitu 𝑠 = 𝑖𝜎.
Untuk 𝜏 > 0, jika 𝑖𝜎 (𝜎 > 0) adalah akar dari persamaan (13) maka
i 3  A1 i 2  A2 i   A3  B1 i 2  B2 i   B3 e i  0
 i 3  A1 2  iA2  A3   B1 2  iB2  B3 cos   i sin    0
Dengan memisahkan antara bagian real dan bagian imajiner maka diperoleh
(18)
 A1 2  A3  B1 2  B3 cos   B2 sin    0
3
2
(19)
   A2  B1  B3 sin    B2 cos 
Persamaan (18) dan (19) masing-masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan diperoleh
2
2
2
2
2
2
(20)
 6  A1  B1  2 A2  4  A2  B2  2 A3 A1  2B1 B3  2  A3  B3  0
dengan z * 






M-8


Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
Misalkan
   2 , A  A1 2  B1 2  2A2 , B  A2 2  B2 2  2 A3 A1  2B1 B3 dan C  A3 2  B3 2
Maka persamaan (20) dapat ditulis sebagai berikut:
(21)
 3  A 2  B  C  0
Jika 𝑖𝜎 (𝜎 > 0) adalah akar imajiner murni dari persamaan (13), maka persamaan (21) harus
memiliki akar real positip    2 .
Persamaan (21) adalah persamaan polinomial derajat tiga dan mempunyai akar-akar bilangan real
2
positif jika C  0 atau C  0 , A 2  3B  0 dan 4B 2  3 AC A 2  3B   9C  AB   0 . Dengan
demikian 𝑖𝜎 adalah akar imajiner murni dari persamaan (13). Dengan kata lain, terdapat nilai 𝜏
kritis (𝜏𝑐 ) sehingga persamaan (13) memiliki akar imajiner murni. Untuk 𝜏 > 𝜏𝑐 maka sebuah akar
berada di sebelah kanan sumbu imajiner yang menyebabkan titik setimbang 𝑃2 tidak stabil.
Selanjutnya akan ditentukan nilai 𝜏𝑐 yang menyebabkan terjadinya perubahan kestabilan pada titik
setimbang 𝑃2 yaitu
 B  2  B3  A1 3  A3   B2   3  A2  2k
1
; k  0,1,2,...
  arc cos 1



B1 2  B3 2  B2 2 2


Nilai 𝜏 yang terkecil merupakan suatu nilai yang menyebabkan perubahan kestabilan titik
setimbang 𝑃2 sehingga didapatkan
 B  2  B3  A1 3  A3   B2   3  A2 
1
 c   0  arc cos 1


B1 2  B3 2  B2 2 2


Jadi jika memenuhi (𝐻1 ) – (𝐻2 ) maka titik setimbang 𝑃2 stabil untuk 𝜏 ∈ [0, 𝜏0 ), pada saat 𝜏 = 𝜏0
terjadi bifurkasi dan untuk 𝜏 > 𝜏0 titik setimbang 𝑃2 tidak stabil. Hal ini menginterpretasikan
bahwa kestabilan sistem pada titik setimbang 𝑃2 dipengaruhi oleh keberadaan waktu tunda. Artinya
bahwa jumlah sel CTL pada waktu sekarang yang dipengaruhi jumlah CTL dan sel yang terinfeksi
sebelum waktu 𝜏 satuan waktu dapat merubah sifat atau perilaku sistem.
KESIMPULAN
Dari analisa yang dilakukan pada sistem model infeksi HTLV-I maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Model infeksi HTLV-I pada selCD4+T dengan laju infeksi non linier dan respon imun CTL
𝜆
yang tertunda memiliki tiga titik setimbang yaitu 𝑃0 ( , 0,0), 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) dan 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ).
2. 𝑅0 =
𝛽𝜆
𝑑1 𝑑2
dan 𝑅1 =
𝛽𝜆𝜇
𝑑2 (𝑑3 𝛽+𝑑1 𝜇+𝑑1 𝑑3 𝛼)
𝑑1
masing-masing adalah angka reproduksi dasar untuk
infeksi virus HTLV-I dan respon CTL. Jika 𝑅0 ≤ 1 maka virus tidak menyebar sehingga hanya
𝜆
terdapat sebuah titik setimbang bebas penyakit yaitu 𝑃0 (𝑑 , 0,0). Jika 𝑅0 > 1 maka virus
1
mulai menginfeksi sel CD4+T yang sehat sehingga terdapat dua titik setimbang endemik yaitu
𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) dan 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ). Jika 𝑅1 ≤ 1 maka sel CTL tidak diproduksi sehingga hanya
terdapat satu titik setimbang endemik yaitu 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0). Jika 𝑅1 > 1 maka sel CTL mulai
diproduksi dan dapat mengembangkan responnya untuk melawan virus HTLV-I sehingga
terdapat satu titik setimbang endemik yaitu 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ).
𝜆
3. Kestabilan sistem pada titik setimbang 𝑃0 ( , 0,0) dan 𝑃1 (𝑥̅ , 𝑦̅, 0) tidak dipengaruhi oleh
𝑑1
waktu tunda sehingga kedua titik setimbang ini stabil untuk setiap 𝜏 ≥ 0. Hal ini dikarenakan
waktu tunda hanya diperlukan untuk memproduksi sel CTL, sedangkan kedua titik setimbang
ini merepresentasikan suatu keadaan dimana tidak terdapat sel CTL.
4. Adanya waktu tunda mempengaruhi kestabilan sistem pada titik setimbang 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) yaitu
titik setimbang 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) stabil untuk 𝜏 ∈ [0, 𝜏0 ) dan terjadi bifurkasi pada saat 𝜏 = 𝜏0 .
M-9
Nur Aini S., Subiono /Analisa Stabilitas Model
Sedangkan saat 𝜏 > 𝜏0 titik setimbang 𝑃2 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ , 𝑧 ∗ ) menjadi tidak stabil dan terjadi osilasi
periodik.
DAFTAR PUSTAKA
Cai L, Li X, Ghosh M. (2011), “Global Dynamics of A Mathematical Model for HTLV-I Infection
of CD4+ T-Cells”, Journal of Applied Mathematical Modelling, 35. 3587-3595.
Enatsu Y, dkk. (2011), “Global Stability of SIRS Epidemic Models With A Class of Nonlinear
Incidence Rates And Distributed Delays”, J.Acta Mathematica Scientia.
Forde JE. (2005), Delay Differential Equation Models in Mathematical Biology, Dissertation Ph.D,
University of Michigan.
Kaddar A. (2009), “On The Dynamics of A Delayed SIR Epidemic Model With A Modified
Saturated Incidence Rate”, Electronic Journal of Differential Equations. Vol. 2009. No. 133,
pp. 1-7.
Katri P, Ruan S. (2004), “Dynamics of Human T-cell Lymphotropic Virus I (HTLV-I) Infection of
CD4+ T-cells”, Biological Modelling, 327, 1009-1016.
Kumala, W. (1999), “Epidemiologi dan Penanganan Infeksi Human T-cell Leukemia”. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2.
Lang J, Y.Li M. (2011), “Stable and Transient Periodic Oscillations in A Mathematical Model for
CTL Response to HTLV-I Infection”, J.Mathematical Biology.
Mylonas I, dkk. (2010). “HTLV Infection and Its Implication in Gynaecology And Obstetrics”,
Arch Gynecol Obstet 282:493-501.
Y.Li M, Shu H. (2012), “Global Dynamics of Mathematical Model for HTLV-I Infection of CD4+T
cells With Delayed CTL Response”, Nonlinear Analysis, 13. 1080-1092.
Wang KF. (2007), “Complex Dynamic Behavior in A Viral Model With Delayed Immune
Response”, Physica D, 226. 197-208.
Wang Z., Xu R. (2012), “Stability and Hopf Bifurcation in A Viral Infection Model With Nonlinear
Incidence Rate and Delayed Immune Response”, Communications in Nonlinear Science
Numerical Simulation, 17. 964-978.
M-10
Download