Komposisi Pakan Buatan Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan

advertisement
BioSMART
Volume 7, Nomor 2
Halaman: 83-90
ISSN: 1411-321X
Oktober 2005
Komposisi Pakan Buatan Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Kandungan
Protein Ikan Tawes (Puntius javanicus Blkr.)
The composition of artificial diet to increase the growth and protein content of Java carp
(Puntius javanicus Blkr.).
NING PRABAN DANI, AGUNG BUDIHARJO♥, SHANTI LISTYAWATI
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
Diterima: 13 Nopember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.
ABSTRACT
The aim of this research was to find out the quality of artificial diet that consist of value of protein, lipid, ash, water, and carbohidrate,
and to find out the composition of artificial diet which was effective for the growth and the protein value of java carp. Complete
Randomised Design with 5 groups of the gift of diet consisting mixture which consist of fish powder, maizena, rice siftings, turi leaves
powder, tapioca and premix vitamin with ingredients in treatment A: 3%: 32%: 46%: 2%: 15%: 2%; treatment B: 12%: 25%: 39%:
10%: 12%: 2%; treatment C: 23%: 20%: 30%: 16%: 9%: 2%; treatment D: 33%: 14%: 21.5%: 22.5%: 7%: 2%; treatment E: 42%: 8%:
14%: 30%: 4%: 2%. Commercial pellet was given to positive control, no artificial diet was given to negative control. Each treatment had
three replications. The parameters measured were total length, body weight, the total of dead fish, protein value of meat, temperature
and pH. Data collected were then analyzed using Anova and continued with DMRT test at the level of 5% significancy. The result
showed that artificial diet in treatment E produced the best growth of java carp and the highest meat protein content.
Key words: diet composition, diet quality, growth, protein contens, java carp.
PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat lebih dari 4.000 jenis ikan yang
meliputi ikan laut, ikan payau, dan ikan tawar. Sebagian
besar di antaranya dapat dikonsumsi secara aman (Suseno,
2000). Kebutuhan manusia akan ikan, selain diperoleh dari
tangkapan alami, juga diperoleh dari hasil budidaya. Dalam
usaha untuk mencukupi kebutuhan konsumsi ikan yang
meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
perlu usaha peningkatan produksi ikan. Dalam usaha
budidaya ikan, perlu diperhatikan tentang penyediaan benih
dan pakan yang cukup memadai baik secara kuantitas
maupun kualitas. Untuk memperoleh hasil yang maksimal,
antara lain dicapai melalui sistem intensif. Menurut
Djajasewaka (1985), budidaya ikan yang intensif
merupakan suatu usaha pemeliharaan ikan dengan padat
penebaran tinggi dan keharusan memberi pakan buatan.
Salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan secara
intensif adalah ikan tawes. Budidaya tawes tidak
memerlukan modal yang besar. Ikan ini banyak digemari
masyarakat karena memiliki daging cukup tebal, rasa
daging yang enak, dan termasuk ikan prolifik.
Menurut Ardiwinata (1981) ikan tawes (Puntius
javanicus Blkr.) merupakan ikan herbivor, daun-daunan
♥ Alamat
Alamat korespondensi:
korespondensi:
Jl.
Ir. Sutami 36A,
Surakarta
57126
Candikuning,
Baturiti,
Tabanan,
Bali 82191.
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
+62-368-21273.
e-mail: [email protected],
[email protected]
[email protected]
merupakan pakan yang penting bagi tawes. Menurut
Mudjiman (2000), ikan tawes pada waktu masih benih suka
makan plankton. Setelah dewasa ikan tawes suka makan
lumut dan pucuk-pucuk ganggang muda. Selain itu, ikan
tawes juga makan daun-daun tanaman lain, misalnya daun
keladi, daun singkong, dan daun pepaya. Pertumbuhan
pakan alami dalam usaha budidaya ikan yang intensif, akan
mengalami kesulitan. Untuk mencapai laju pertumbuhan
ikan yang baik, selain diberi pakan alami perlu diberikan
pakan buatan sesuai kebutuhan ikan. Menurut Britner et al.
(1989), banyak bahan yang dapat digunakan untuk pakan
buatan. Tipe bahan yang digunakan tergantung dua faktor,
yaitu jenis ikan dan ketersediaan bahan.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam penyediaan
pakan buatan ini adalah biaya yang cukup tinggi untuk
pembelian pakan. Menurut Rasidi (1998), biaya pakan ini
dapat mencapai 60-70% dari komponen biaya produksi.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan
biaya produksi tersebut adalah dengan membuat pakan
buatan sendiri. Pembuatan pakan buatan ini menggunakan
teknik yang sederhana dengan memanfatkan sumbersumber bahan baku lokal, termasuk pemanfaatan limbah
hasil industri pertanian yang relatif murah.
Bahan yang dapat dipakai untuk pakan buatan, antara
lain tepung ikan, tepung jagung, dedak, dan daun turi.
Tepung ikan berasal dari afkir ikan, dedak diperoleh dari
hasil sampingan penggilingan padi, dan daun turi dapat
dipakai sebagai bahan baku karena banyak dijumpai di
pedesaan dan kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu
 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
84
kurang lebih 27%. Bahan baku yang ada tersebut dapat
dipakai sebagai pengganti pakan buatan pabrik apabila
disusun dalam komposisi yang tepat.
Untuk mendapatkan pertumbuhan ikan yang optimum,
perlu ditambahkan pakan tambahan yang berkualitas tinggi,
yaitu pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Nilai
gizi pakan ikan pada umumnya dilihat dari komposisi zat
gizinya, seperti kandungan protein, lemak, karbohidrat,
vitamin, dan mineral. Selain nilai gizi makanan, perlu
diperhatikan pula bentuk dan ukuran yang tepat untuk ikan
yang dipelihara. (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 1991; Sumantadinnata, 1983).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas
kombinasi pakan meliputi kadar protein, lemak, abu, air
dan karbohidrat dari pakan buatan yang terdiri atas tepung
ikan,tepung jagung, dedak, daun turi, kanji, dan premix
vitamin serta mengetahui kombinasi pakan yang paling
efektif untuk memacu pertumbuhan ikan tawes dan kadar
protein dagingnya.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan Oktober 2003 -Januari
2004, dilakukan di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Analisis kadar protein, lemak, karbohidrat, abu, dan air
dilakukan di Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta.
Bahan
Ikan tawes (Puntius javanicus Blkr.) dengan panjang 35 cm atau yang berumur ± 2 bulan. Bahan pakan berupa
tepung ikan, dedak, tepung daun turi, tepung jagung,
tepung kanji, dan premix vitamin. Pellet komersil, larutan
Lowry A, Lowry B, Lowry C, Lowry D, Lowry E, akuades,
kapas, air, kertas saring, dan petroleum eter.
Cara kerja
Macam perlakuan
Tabel 1. Macam perlakuan yang diberikan pada hewan uji.
Jenis
bahan
Tepung
ikan
Tepung
jagung
Dedak
Tepung
daun turi
Tepung
Kanji
Premix
vitamin
A
3%
B
C
D
12% 23% 33%
32% 25% 20% 14%
E
Kontrol Kontrol
Positif Negatif
42% Diberi
Tidak
8%
Diberi
Pakan
Pembuatan pakan
Semua bahan yang terdiri atas tepung ikan, tepung
jagung, dedak, tepung daun turi, kanji, dan premix vitamin
dicampur dengan komposisi sesuai pada macam perlakuan
yang diberikan. Campuran diseduh dengan air panas dan
diaduk hingga menjadi pasta. Selanjutnya, dicetak
menggunakan penggiling daging atau pencetak pellet dan
hasilnya dikeringkan di bawah sinar matahari.
Uji protein
Uji protein dilakukan dengan metode Lowry
(Sudarmadji dkk, 1997). Pakan sebanyak 3 g ditumbuk
halus kemudian ditambah aquadest sampai volumenya 100
ml. Larutan disaring menggunakan kertas saring, ditambah
aquadest sampai volume kembali 100 ml. Larutan sebanyak
1 ml dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan larutan Lowry D, dan segera digojog dengan
vortex. Kemudian, diinkubasikan pada suhu kamar selama
15 menit. Ditambahkan 3 ml larutan Lowry E ke dalam
cuplikan dan digojog dengan vortex. Kemudian, diinkubasi
pada suhu kamar selama 45 menit, dan diukur
absorbansinya pada 590 nm. Dibuat kurva standar serum
albumin dengan konsentrasi 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; dan 1/ml
H2O. Dan bahan-bahan ini, juga diukur absorbansinya pada
590 nm, sehingga diperoleh garis regeresi hubungan antara
absorbansi dengan konsentrasi protein. Berdasarkan garis
ini, kandungan protein cuplikan bisa diketahui. Kadar
protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Persen protein = c x FP x 100 x
3
1
1000
c = konsentrasi
FP = Faktor Koreksi
Uji lemak
Uji lemak dilakukan dengan metode Soxhlet
(Apriyantono dkk., 1987). Pakan sebanyak 1.5 g
dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring dan diberi
kapas pada bagian atas dan bawahnya, dan dimasukkan
dalam tabung ekstraksi soxhlet. Air pendingin dialirkan
melalui kondensor, selanjutnya diekstraksi pada alat
destilat soxhlet dengan pelarut petroleum eter secukupnya,
selama 3-4 jam. Botol timbang yang berisi hasil ekstraksi
soxhlet diuapkan di dalam oven 105o C sampai berat
konstan. Persentase lemak dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
46% 39% 30% 21,5% 14% Pellet
Pakan
Komer
2% 10% 16% 22,5% 30%
sil/ pakan
%lemak=
15% 12% 9%
7%
4%
Buatan
2%
2%
2%
Pabrik
Uji kadar air
Uji kadar air dilakukan dengan cara pemanasan
(Sudarmadji dkk, 1997). Pakan sebanyak a g ditimbang,
kemudian dikeringkan di dalam oven pada temperatur 100101oC selama 3 jam. Selanjutnya, didinginkan dan
ditimbang. Sampel dipanaskan kembali dalam oven 30
menit, didinginkan dan ditimbang lagi. Perlakuan ini
diulangi sampai tercapai berat konstan. Hasil penimbangan
sebagai b g dan kadar air dihitung sebagai berikut: Kadar
air = (a-b) g.
2%
2%
Pembuatan tepung ikan
Afkir ikan direbus selama ± 30 menit, air rebusannya
dibuang kemudian ikan dikeringkan dengan dijemur.
Selanjutnya, ikan digiling menjadi tepung.
penambahan berat terhadap labu atau botol timbang
x100%
berat sampel yang digunakan
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
Kadar abu
Pakan sebanyak 2 g diletakkan dalam krus porselin
yang kering dan telah diketahui beratnya. Dioven pada
suhu 105oC selama 2 jam, dipijarkan dalam furnace
bersuhu 600oC selama 2 jam sampai diperoleh abu
berwarna putih. Krus dan abu dimasukkan dalam eksikator,
kemudian ditimbang. Berat abu yang dihasilkan dari selisih
penimbangan merupakan kadar abu.
Penetapan kadar karbohidrat
Penetapan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode
“carbohidrat by difference “. Angka 100 dikurangi kadar
air, abu, protein, dan lemak (Nugroho, 1999).
Pemeliharaan ikan
Kolam diisi air dan diberi aerasi, masing-masing kolam
dimasukkan ikan tawes sebanyak 5 ekor yang sebelumnya
diaklimasi selama 1 minggu. Ikan diberi perlakuan dengan
perbedaan komposisi pakan yang diberikan seperti pada
Tabel 1. Pakan diberikan 3 kali sehari, yaitu pukul 08.00,
12.00 dan 16.00 sebanyak 5% berat biomassa ikan. Dan
setiap satu minggu sekali kolam dibersihkan.
Pengukuran pertumbuhan ikan, mortalitas, efisiensi
pakan dan retensi protein
• Laju pertumbuhan harian (Effendi,1997).
SGR = ln Wt − ln Wo x100%
t 2 − t1
Wt
Wo
t1
t2
SGR
•
= Berat akhir ikan
= Berat awal ikan
= Waktu awal (hr)
= Waktu akhir (hr)
= Laju pertumbuhan harian
x100%
L0
Mortalitas (Effendi, 1995)
Mortalitas = Σ ikan mati pada waktu penelitian
x100%
Efisiensi pakan (Huisman dalam Mokoginta et al,
1995).
FE
= (Wt + D − Wo ) x100%
F
Wt
Wo
D
F
•
= Berat akhir ikan
= Berat awal ikan
= Berat ikan yang mati
= Berat pakan yang diberikan
Pengukuran retensi protein (PR) berdasar rumus Viola
dan Rappaport dalam Mokoginta et al (1995).
PR = Berat protein tubuh akhir - Berat protein tubuh awal
Berat protein yang dimakan
Pengumpulan data
Pengamatan terhadap pertumbuhan ikan setiap 10 hari
sekali. Kadar protein ikan pada awal perlakuan sebanyak 3
kali ulangan untuk semua perlakuan dan pada akhir
perlakuan sebanyak 3 ulangan untuk masing-masing
perlakuan. Data pendukung meliputi pengukuran
temperatur dan pH air.
Analisis data
Menggunakan analisis varians (anava) yang kemudian
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf
signifikansi 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas pakan
Salah satu syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan
adalah tersedianya pakan yang bergizi. Uji kualitas pakan
tersebut meliputi pengukuran kadar air, abu, lemak, protein
dan karbohidrat. Komposisi dari tiap pakan yang diuji
dapat dilihat pada Tabel 2.
Perlakuan
Σ ikan yang digunakan dalam penelitian
•
Pengukuran temperatur dan pH
Pengukuran suhu menggunakan termometer air raksa
dan pengukuran pH menggunakan pH meter elektrik.
x100%
Wt / Lt = Berat/panjang pada akhir penelitian
Wo / Lo = Berat/panjang awal penelitian
•
Pengukuran kadar protein ikan
Pengukuran kadar protein ikan dilakukan dengan
metode Lowry dan dilakukan pada awal dan akhir
percobaan. Sampel yang diambil pada jaringan otot
(daging) ikan bagian dorsal (musculus epaxial) dari
masing-masing perlakuan.
Tabel 2. Kualitas pakan buatan yang digunakan untuk perlakuan
dalam percobaan.
Laju pertumbuhan relatif (Effendi,1997).
Pwt
= Wt − Wo
dan PLt = Lt − L0
Wo
85
x100%
A
B
C
D
E
Kadar
air
(%)
2,15a
2,42ab
2,82b
2,62ab
2,42ab
Uji kualitas pakan buatan
Kadar Kadar Kadar
Kadar
abu
lemak protein karbohidrat
(%)
(%)
(%)
(%)
8,65a
6,82d
6,95a
75,92e
19,48b
5,09b
10,14b
62,87d
21,14c
5,48c
13,27c
57,29c
d
a
d
24,21
4,54
20,73
47,91b
24,94d
5,41c
22,88e
44,35a
Dari Tabel 2 tentang kualitas pakan buatan, dapat
diketahui bahwa hasil analisis statistik menunjukkan kadar
air pakan pada perlakuan A menunjukkan beda nyata
dengan perlakuan C. Tetapi, perlakuan A tidak berbeda
nyata dengan perlakuan B, D, dan E. Nilai terendah kadar
air pakan adalah pada perlakuan A, yaitu 2,15% dan
tertinggi pada pakan C, yaitu 2,82%. Nilai tersebut tidak
terpaut jauh. Hal ini karena proses pengeringan pada pakan
dilakukan pada tempat yang sama. Oleh karena itu, tingkat
kekeringan dari pakan buatan relatif sama. Menurut
Sahwan (2002) kadar air pakan sebaiknya lebih baik tidak
lebih besar dari 10%. Jadi, kadar air pada pakan ini masih
dalam batas kisaran ideal. Tingkat kekeringan pakan ini
86
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
sangat menentukan daya tahan pakan karena apabila pakan
buatan mengandung banyak air maka akan menjadi
lembab. Dalam kondisi ini apabila pakan disimpan terlalu
lama akan ditumbuhi jamur. Dengan demikian, kualitas
dari pakan akan menurun, bahkan dapat berbahaya bagi
ikan. Kadar air pada pakan buatan ini sudah relatif rendah
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama.
Hasil pengukuran pada kadar abu pakan, perlakuan D
dan E tidak beda nyata. Tetapi perlakuan D dan E ini
berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C. Hal ini
karena komposisi bahan dari masing-masing perlakuan
mempunyai persentase yang berbeda-beda. Kadar abu pada
pakan menunjukkan indikator besarnya kandungan untuk
mineral yang terdapat dalam pakan tersebut (Jangkaru,
1974). Kadar abu tertinggi pakan buatan pada perlakuan E,
yang juga memberikan laju pertumbuhan yang tertinggi di
antara perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan pakan
perlakuan E tersebut mempunyai kandungan mineral yang
tertinggi. Perbedaan kadar abu pada pakan buatan,
dikarenakan persentase bahan yang berlainan antara
perlakuan satu dengan perlakuan lainnya.
Kadar lemak perlakuan C dan E tidak beda nyata, tetapi
perlakuan ini beda nyata dengan A, B dan D. Lemak dalam
makanan mempunyai peran yang penting sebagai sumber
tenaga, bahkan dibanding dengan protein dan karbohidrat,
lemak dapat menghasilkan tenaga yang besar. Protein dan
karbohidrat berisi sekitar 4,6 kcal/g, tetapi ikan hanya dapat
menghasilkan 3,9 kcal/g untuk protein dan 1,6 kcal/g untuk
karbohidrat. Lipid mengandung 9,6 kcal/g mempunyai nilai
kalori efektif sebesar 8 kcal/g untuk ikan (Wedemeyer,
1996). Dalam kaitan dengan pakan buatan, adanya lemak
dalam pakan berpengaruh terhadap rasa dan tekstur pakan
yang dibuat. Menurut Mudjiman (1989) kandungan lemak
ideal untuk makanan ikan berkisar 4-18%. Jadi, kadar
lemak pada pakan buatan ini masih dalam batas kisaran
kadar lemak ideal untuk pakan ikan.
Dari uji menggunakan DMRT ini, dapat diketahui
kadar protein pakan buatan pada semua perlakuan, yaitu
pada A, B, C, D, dan E menunjukkan beda nyata. Berarti
dari masing-masing perlakuan tersebut mempunyai kadar
protein yang berbeda-beda. Protein merupakan senyawa
kimia yang sangat diperlukan oleh tubuh ikan sebagai
sumber energi dan diperlukan dalam pertumbuhan,
pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan enzim dan
hormon steroid (Breet dan Grover dalam Dharma dan
Suhenda, 1986). Bagi ikan, protein merupakan sumber
tenaga yang paling utama. Pemberian protein dengan kadar
yang sesuai akan meningkatkan pertumbuhan ikan.
Kadar karbohidrat pakan buatan pada semua perlakuan
yaitu perlakuan A, B, C, D, dan E menunjukkan beda
nyata. Pada ikan, karbohidrat merupakan salah satu sumber
energi setelah protein dan lemak yang didapat dari pakan.
Kadar karbohidrat pada pakan A sebesar 75,92%.
Persentase yang besar ini diperoleh karena pakan A
komposisinya lebih banyak tepung jagung dan dedak yang
merupakan sumber karbohidrat. Sebaliknya, kadar
karbohidrat terendah adalah pada pakan E, yaitu sebesar
44,35%. Hal tersebut karena pada penyusunan komposisi
pakan, pada perlakuan E kadar tepung jagung dan dedak
tidak sebesar pada pakan A.
Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan
ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan
pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah
(Effendie, 1997). Dalam penelitian ini, parameter yang
digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah berat ikan,
laju pertumbuhan berat relatif, panjang total ikan, laju
pertumbuhan panjang relatif, dan laju pertumbuhan harian.
Setelah dipelihara selama 60 hari dengan tujuh perlakuan
yang berbeda, secara umum ikan tawes mengalami
peningkatan dalam hal berat maupun panjang. Data yang
diperoleh selama penelitian sebagai berikut.
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa pertambahan
berat terendah adalah pada perlakuan A. Namun demikian,
pertambahan berat pada perlakuan A tidak beda nyata
dengan perlakuan B dan C. Akan tetapi, perlakuan A beda
nyata dengan perlakuan D dan E. Hal ini karena perlakuan
A, B, dan C tersebut dari segi kualitas pakan, kadar
proteinnya semuanya masih di bawah 20%. Menurut
Khairuman (2002), pakan yang diberikan untuk
pembesaran ikan tawes yang optimum, kadar proteinnya ±
20%. Jadi, pakan yang diberikan pada ketiga perlakuan
tersebut tidak optimum. Perlakuan E tidak beda nyata
dengan kontrol positif, karena dari kelima perlakuan yang
diberikan, pakan pada perlakuan E mempunyai kadar
protein yang tertinggi, yaitu 22,88%.
Menurut Khans et. al. dalam Yanti dkk. (2003), salah
satu nutrien penting yang dibutuhkan ikan adalah protein.
Hal ini karena protein merupakan zat pakan yang sangat
diperlukan bagi pertumbuhan. Pemanfaatan protein bagi
pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
Tabel 3. Parameter pertumbuhan dan kandungan protein ikan tawes (Puntius javanicus Blkr.) selama percobaan.
Kadar protein
Laju
Laju
Laju
Mortalitas
Pertambahan
Pertambahan
daging
pertumbuhan
pertumbuhan
pertumbuhan
ikan tawes
panjang ikan
Perlakuan
berat ikan
setelah
panjang relatif
berat relatif
harian (%)
(%)
(%)
per ekor (g)
perlakuan (%)
ikan (%)
(%)
a
a
a
a
a
0.83
0,43
Kontrol Negatif
48,38
11,64
0,61
73,33a
12.84a
Perlakuan A
2.94b
183,40b
1,51b
29,69b
1.73b
20,00b
13.01a
bc
b
bc
b
bc
b
Perlakuan B
3.29
221,50
1,57
30,52
1,94
20,00
13.76a
Perlakuan C
3.87bc
299,69c
1,75bcd
35,86bc
2,28cd
13,33b
16.40b
Perlakuan D
4.25cd
285,72c
1,82bcd
36,00bc
2.25cd
20,00b
18.16c
Perlakuan E
5.06d
385,37d
2,16cd
42,72cd
2.63d
13,33b
18.43c
Kontrol Positif
5.21d
403,77d
2,30d
48,57d
2,63d
20,00b
17.36bc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
lain ukuran ikan, umur ikan, kualitas protein pakan,
kandungan energi pakan, suhu air dan frekuensi pemberian
pakan.
Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran berat ikan
setiap 10 hari sekali selama 60 hari penelitian. Pada hari
ke-0 sampai dengan hari ke-20, ikan tawes yang dipelihara
dengan 5 perlakuan yang berbeda komposisinya belum
menunjukkan perbedaan berat yang jelas. Akan tetapi,
apabila dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol
negatif, pertambuhan ikan pada kelima perlakuan sudah
terlihat berbeda. Mulai hari ke-30, semua perlakuan
termasuk kontrol menunjukkan pola pertumbuhan yang
berbeda. Pada perlakuan E, kenaikan berat ikan tawes
relatif konstan apabila dibandingkan dengan perlakuan lain.
Setelah hari ke-50, pertumbuhan ikan pada perlakuan E
mulai mengimbangi kontrol positif. Hal ini terjadi karena
pada pertumbuhan awal, pakan ikan masih tercukupi oleh
pakan alami. Setelah pakan alami berkurang, kemudian
ikan mulai mengandalkan pakan buatan yang diberikan.
Pakan buatan yang diberikan pada setiap perlakuan
mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda-beda, jadi
juga memberikan laju pertumbuhan yang berbeda.
Adanya perbedaan pertambahan berat ikan tawes
menunjukkan bahwa ikan benar-benar memanfaatkan
pakan yang diberikan selama penelitian. Perbedaan
komposisi pakan yang diberikan menghasilkan perbedaan
rerata pertambahan berat ikan. Ukuran ikan juga
berpengaruh terhadap konsumsi makan, ikan kecil
kebutuhan makanannya lebih rendah daripada ikan besar.
Jadi, adanya perbedaan ini membuktikan bahwa semakin
meningkat kualitas dan kuantitas protein pakan semakin
efektif untuk memacu pertumbuhan berat ikan.
Perlakuan A dan B tidak beda nyata. Tetapi, perlakuan
A dan B berbeda nyata dengan perlakuan C, D, dan E.
Kontrol negatif menunjukkan beda nyata dengan semua
perlakuan. Laju pertumbuhan berat relatif tertinggi pada
perlakuan E yaitu sebesar 385,37% yang tidak beda nyata
dengan kontrol positif. Sementara itu, empat perlakuan
lain, yaitu A, B, C, dan D beda nyata dengan kontrol positif
ini. Pada pertambahan berat dan laju pertumbuhan berat
relatif, terlihat bahwa pakan E tidak beda nyata dengan
kontrol positif. Hal ini menunjukkan pakan E dapat
mengimbangi pakan buatan pabrik dalam hal pertumbuhan
berat.
Tabel 3 menunjukkan pertumbuhan ikan, dilihat dari
pertambahan panjang total ikan. Nilai terendah pada
perlakuan A yang tidak beda nyata dengan perlakuan B, C,
dan D. Perlakuan E mempunyai nilai tertinggi dan tidak
beda nyata dengan C dan D. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk pemberian pakan buatan B, C, D, dan E tidak
memberikan beda nyata dalam pertambahan panjang total
ikan. Kontrol negatif mempunyai nilai pertambahan
panjang total dibawah semua perlakuan karena tanpa diberi
pakan tambahan. Apabila dibandingkan dengan kontrol
positif pakan C, D, dan E tidak menunjukkan beda nyata.
Jadi, dari pertambahan berat maupun panjang ikan jelas
terlihat bahwa pakan E yang dapat mengimbangi pakan
komersil buatan pabrik. Hal ini karena pakan E yang
mempunyai kadar protein tertinggi. Disamping itu, pakan
87
perlakuan E juga mempunyai kadar lemak dan abu yang
tinggi.
Dari grafik pengukuran panjang ikan selama 60 hari
percobaan ini terlihat bahwa pada awal percobaan sampai
hari ke-10 dan ke-20 antara kontrol negatif perlakuan A, B,
C, D, dan E tidak terpaut jauh untuk pertambahan panjang
ikan. Tetapi, setelah hari ke-30 dan seterusnya mulai
membentuk pola yang makin terpaut jauh antar perlakuan,
walaupun perlakuan B dan C masih relatif sama.
Selanjutnya, mulai hari ke-50 baru terlihat bahwa
perlakuan E mulai meningkat tajam dan mendekati kontrol
positif, hal ini terjadi karena pada tahap awal ikan masih
mencoba menyesuaikan dengan makanan tambahan yang
baru diberikan dan setelah 30 hari ikan telah menyesuaikan
dengan pakan tersebut. Dari pola pada grafik, dapat dilihat
bahwa perlakuan E setelah hari ke-60 dimungkinkan dapat
melebihi perlakuan kontrol positif.
Seperti halnya pada Tabel 3 pertambahan panjang dan
grafik panjang ikan selama percobaan, laju pertumbuhan
panjang relatif inipun meningkat seiring dengan
peningkatan kadar protein pada pakan tambahan berupa
pakan buatan ini. Laju pertumbuhan panjang relatif
tertinggi pada perlakuan E yang tidak beda nyata dengan
perlakuan C dan D. Nilai laju pertumbuhan panjang relatif
perlakuan E di bawah kontrol positif walaupun kadar
proteinnya masih dibawah perlakuan E, hal ini karena
komposisi bahan pakannya berbeda, jadi asam aminonya
juga berlainan. Pakan A, B, C, D dan E berbeda dalam hal
penyusunan komposisi sedangkan pada kontrol positif
berbeda dalam bahan penyusunnya. Jadi, walaupun kadar
protein kontrol positif lebih rendah dari perlakuan E, laju
pertumbuhan relatif panjangnya tidak berbeda nyata. Laju
pertumbuhan panjang relatif terendah pada perlakuan A,
karena kadar protein pakan perlakuan ini paling rendah.
Laju pertumbuhan panjang relatif perlakuan A masih diatas
kontrol negatif, jadi pemberian pakan tambahan masih
lebih efektif daripada hanya mengandalkan pakan alami
saja.
Dari data analisis kualitas pakan (Tabel 3), komposisi
dari makanan mempunyai pengaruh yang cukup besar
dalam memelihara tubuh dan untuk pertumbuhan ikan.
Setelah dilakukan percobaan dengan 7 perlakuan yang
berbeda, memperlihatkan laju pertumbuhan harian yang
berbeda pula. Pada penelitian ini laju pertumbuhan harian
tertinggi pada perlakuan E dengan pakan yang
mengandung protein sebesar 22,88%, serta pada perlakuan
kontrol positif, yaitu dengan pakan komersil buatan pabrik
yang mengandung protein 18,16%. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam pakan buatan yang dapat mengimbangi
perlakuan kontrol positif dengan pakan komersil buatan
pabrik dalam hal laju pertumbuhan harian adalah perlakuan
E dengan komposisi pakan seperti pada Tabel 1.
Faktor makanan sangat penting dalam pertumbuhan,
diperlukan jumlah dan mutu makanan yang bagus untuk
meningkatkan berat dan panjang dari ikan. Pakan yang
diberikan pada perlakuan E tersebut, kandungan proteinnya
paling tinggi di antara perlakuan lainnya (Tabel 3). Dengan
kandungan protein tersebut akan memberikan pengaruh
yang lebih efektif terhadap laju pertumbuhan harian.
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
Laju pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan
kontrol negatif yang tidak diberikan pakan tambahan jadi
hanya berupa pakan alami saja. Hal ini menunjukkan
bahwa sebesar apapun pakan tambahan yang diberikan
tetap berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan dari
ikan. Untuk laju pertumbuhan terendah pada perlakuan A,
karena kandungan protein pada pakannya paling rendah,
yaitu sebesar 6,95%. Pada kontrol positif dengan
pemberian pakan komersil buatan pabrik dapat
memberikan laju pertumbuhan harian yang sama dengan
perlakuan E, walaupun bila dilihat dari kadar protein pakan
perlakuan E diatas kontrol positif. Hal ini, karena
perbedaan dari komposisi bahan pakannya.
Mortalitas
Mortalitas pada ikan dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain pemeliharaan, kualitas air, penyakit, dan
makanan yang diberikan. Dari hasil pengamatan dan
pengukuran selama percobaan diperoleh hasil sebagaimana
tersaji pada Tabel 3. Angka mortalitas terbesar pada
kontrol negatif. Hal ini karena pada kontrol negatif ini tidak
diberikan pakan tambahan dan hanya mengandalkan pakan
alami saja. Jadi, tidak ada masukan pakan sehingga ikan
banyak yang mati karena selama 60 hari tidak diberikan
pakan, walaupun masih ada yang tetap bertahan hidup
dengan pakan alami tetapi hanya sebagian kecil saja. Untuk
perlakuan lainnya tidak ada beda nyata untuk persentase
mortalitas. Beberapa hal yang mempengaruhi mortalitas
pada ikan, antara lain juga karena penyakit. Pada percobaan
yang dilakukan terhadap ikan tawes ini, pada hari ke-10
beberapa ikan terserang penyakit sirip merah dengan ciriciri pangkal sirip berwarna merah, yaitu pada bagian antara
sirip dan badan. Akan tetapi setelah diberikan antibiotik,
warna merah pada sirip mulai menghilang sedikit demi
sedikit dan akhirnya bisa sembuh. Jadi, kemungkinan
mortalitas pada percobaan ini salah satunya karena
penyakit tersebut, selain itu juga dimungkinkan karena ikan
menjadi sedikit stres karena pengukuran panjang dan berat
ikan setiap 10 hari sekali. Angka mortalitas yang besar
pada kontrol negatif, bukan hanya karena penyakit dan
stres tersebut, melainkan yang utama karena tidak adanya
pakan tambahan. Hal ini karena kematian pada kontrol
negatif justru mulai pada pengukuran hari ke-20 dan
seterusnya. Jadi, pada 6 perlakuan selain kontrol negatif,
faktor makanan tidak banyak memberikan pengaruh pada
besarnya mortalitas.
Efisiensi pakan
Dari hasil yang diperoleh melalui penelitian selama 60
hari, dapat diketahui pengaruh pemberian pakan yang
berbeda terhadap efesiensi pakan. Seperti yang terlihat
pada Gambar 1.
Efisiensi pakan merupakan jumlah pakan yang masuk
dalam sistem pencernaan ikan untuk melangsungkan
metabolisme dalam tubuh dan dimanfaatkan untuk
pertumbuhan. Efisiensi pakan berkisar antara 32,79%55,89%. Semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka akan
semakin optimal dalam meningkatkan pertumbuhan.
Efisiensi pakan yang paling optimal untuk pertumbuhan
adalah pada perlakuan E. Pada perlakuan E ini efisiensi
pakan seimbang dengan kontrol positif. Efisiensi pakan
terendah adalah pada pakan perlakuan A.Menurut Efendie
(1997), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan
antara lain genetika, seks, umur, parasit, penyakit,
makanan, dan suhu perairan. Di daerah tropik, dalam
kaitannya dengan pertumbuhan, makanan merupakan
faktor yang lebih berpengaruh dari pada suhu perairan.
60
50
Efisiensi Pakan (%)
88
40
30
20
10
0
A
B
C
D
E
Kontrol
Positif
Perlakuan
Gambar 1. Efisiensi pakan pada penelitian.
Berdasarkan penelitian Martosewojo dkk. dalam
Pongsapan dkk. (1995) pada budidaya ikan beronang
pemberian pakan berkali-kali dalam sehari memberikan
respon pertumbuhan yang lebih baik jika dibanding
pemberian pakan sekali dalam sehari dengan jumlah pakan
yang sama. Sementara itu Schimittou (1991) mengatakan
bahwa tinggi rendahnya konversi pakan ditentukan oleh
beberapa faktor, terutama kualitas dan kuantitas pakan,
jenis dan ukuran ikan serta kualitas air.
Saluran pencernaan pada ikan terdiri dari mulut,
pharynx, oesofagus, ventrikulus, intestinum, dan anus.
Kelenjar pencernaan terdiri dari pankreas dan kantong
empedu. Pada ikan, makanan yang masuk ke mulut menuju
ventrikulus. Makanan dapat merangsang dinding
pencernaan untuk menghasilkan hormon gastrin yang akan
memacu pengeluaran HCl dan pepsinogen. HCl akan
mengubah pepsinogen menjadi pepsin yang merupakan
enzim pencernaan yang aktif sebagai pemecah protein
menjadi peptida. Tripsin yang dikeluarkan pankreas akan
mengubah peptida tersebut menjadi peptida yang lebih
sederhana yang selanjutnya akan diubah menjadi asam
amino oleh karboksipeptidase (Lovell, 1989).
Pada hewan, sumber energi adalah makanan, tetapi
energi dalam makanan tidak dapat digunakan sampai
makanan tersebut dicerna dan diserap oleh sistem
pencernaan. Ada komponen utama dari makanan yang
berperan dalam menghasilkan energi yaitu karbohidrat,
lemak, dan protein. Semua energi dari makanan dapat
dioksidasi dengan oksigen dalam sel dan pada proses ini
sejumlah besar energi dikeluarkan. Energi yang dihasilkan
digunakan untuk maintenance metabolisme basal aktivitas,
pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain (Fujaya, 2002).
Kadar protein daging dan retensi protein
Setelah 60 hari penelitian, dilakukan uji kadar protein
daging ikan tawes. Dari uji di laboratorium diperoleh hasil
sebagai berikut: kadar daging sebelum perlakuan sebesar
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
12.19%. Setelah 60 hari percobaan, kadar protein daging
antara kontrol negatif, perlakuan A dan perlakuan B
menunjukkan beda nyata dengan perlakuan C, D, E dan
kontrol positif. Kadar protein daging tertinggi pada
perlakuan E. Hal ini sesuai dengan kandungan protein
pakannya yang tertinggi di antara semua perlakuan. Pada
kontrol positif dengan pakan berupa pellet komersil buatan
pabrik yang setelah diuji di laboratorium mengandung
protein 18,16% ini, kadar protein dagingnya tidak beda
nyata dengan perlakuan C, D, dan E. Menurut Djuanda
(1981) sebagian dari makanan yang dimakan berubah
menjadi energi yang digunakan untuk aktivitas hidup dan
sebagian keluar dari tubuh. Jadi, tidak semua protein
makanan yang masuk diubah menjadi daging. Selain itu,
pembentukan protein daging juga tergantung kemampuan
fisiologis ikan.
Setelah dilakukan perhitungan terhadap data, diperoleh
diagram retensi protein sebagai berikut (Gambar 2).
52
Retensiprotein
Protein (%)
Retensi
(5)
50
48
46
44
42
40
38
A
B
C
Perlakuan
D
E
Kontrol
Positif
Gambar 2. Retensi protein.
Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya
protein yang diberikan, yang dapat diserap dan
dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki selsel tubuh yang rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi
metabolisme sehari-hari. Cepat tidaknya pertumbuhan ikan,
ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap dan
dimanfaatkan oleh ikan sebagai zat pembangun. Oleh
karena itu, agar ikan dapat tumbuh secara normal, pakan
yang diberikan harus memiliki kandungan energi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme dan
memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan sel-sel tubuh yang
baru.
Dari Gambar 2 terlihat bahwa retensi protein yang
mendekati kontrol positif adalah pada perlakuan E,
sehingga laju pertumbuhan perlakuan E juga dapat
mengimbangi kontrol positif. Retensi protein tertinggi pada
perlakuan A. Tetapi, laju pertumbuhan pada perlakuan A
lebih rendah dibanding perlakuan lain, karena pakan pada
perlakuan ini kadar proteinnya rendah. Sel memiliki batas
tertentu dalam menimbun protein, apabila telah mencapai
batas ini, setiap penambahan asam amino dalam cairan
tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau
disimpan sebagai lemak, yang dimulai dengan proses yang
dikenal sebagai deaminasi (pembuangan gugus amino dari
89
asam amino) dan diekskresi sebagai amoniak (NH3) atau
ion ammonium (NH4) (Fujaya, 2002).
Kualitas air
Kualitas air merupakan salah satu faktor luar yang
mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan.
Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini
meliputi pH dan suhu. Data yang diperoleh mulai hari ke-0
sampai hari ke-60 sebagai berikut.
Tabel 4. Rerata parameter kualitas air selama percobaan.
Parameter
pH
Suhu (0C)
Hari ke0
10
20
30
40
50
60
6,88 7,46 6,67 6,7167 6,8767 8,163 7,56
27,75 27,7 27,33 28,33 28,167 28,267 26,73
Dari data Tabel 4 terlihat bahwa pH selama 60 hari
percobaan berkisar antara 6,67 sampai 8,163. Menurut Evi
(2001) pH air untuk budidaya tawes berkisar antara 6,7
sampai 8,6, pH air selama masa penelitian ini masih dalam
batas kisaran pH optimum untuk budidaya tawes. Dari pH
yang masih optimum tersebut, dapat diketahui bahwa
pakan buatan yang diberikan selama percobaan, tidak
memberikan pengaruh buruk terhadap kualitas air. Derajad
keasaman (pH) merupakan salah satu indikator kualitas
lingkungan air. Air yang mendekati basa dapat lebih cepat
mendorong proses pembongkaran bahan anorganik menjadi
garam mineral seperti amonia, nitrat dan phosfat. Garam
mineral tersebut akan diserap oleh tumbuh-tumbuhan
dalam air, yang menjadi makanan alami bagi ikan. Pada
umumnya perairan yang basa lebih produktif dari perairan
yang asam (Soeseno, 1983). Jadi apabila dilihat pada
kisaran pH, perairan yang digunakan untuk penelitian ini
termasuk produktif. Hal ini karena pH pada air kolam yang
digunakan untuk penelitian mendekati basa.
Kisaran suhu air selama masa penelitian adalah antara
26,73-28,33oC. Setiap organisme mempunyai suhu
minimum, optimum, dan maksimum untuk hidupnya.
Organisme juga mempunyai kemampuan menyesuaikan
diri sampai batasan tertentu (Wardoyo,1978). Menurut
Santoso dan Wikatma (2001) suhu ideal untuk habitat ikan
tawes berkisar antara 20-33oC. Suhu air selama penelitian
ini masih dalam kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan
ikan tawes. Fluktuasi suhu air yang lebih besar dari 5oC
sudah dapat mengakibatkan stres sehingga proses
metabolisme dan aktivitas enzim dalam tubuh ikan menjadi
tidak normal (Boyd dan Lichtkopler, 1979).
Kenaikan suhu mempengaruhi kelarutan oksigen.
Menurut penelitian Harminani et al. (1979) kenaikan suhu
air yang dalam keadaan normal adalah 27-28oC menjadi
suhu 36,77oC dan 35,8oC. Selama 24 jam terhadap Tilapia
nilotica dan Cyprinus carpio menyebabkan antara lain: i)
Pergerakan ikan menjadi sangat lambat dan kurang
memberikan respon terhadap stimulan dan (ii) Penurunan
kadar oksigen terlarut, bertambahnya CO2 terlarut dengan
pH relatif tetap. Selain itu ada juga suhu optimum untuk
selera makan ikan yaitu berkisar antara 25-33oC (Jangkaru,
1974). Kisaran suhu selama penelitian ini, masih dalam
batas kisaran optimum untuk selera makan ikan.
90
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: (i)Tepung ikan, tepung jagung,
tepung daun turi , dedak, dan tepung kanji dapat digunakan
sebagai pakan ikan tawes. (ii) Berbagai variasi komposisi
bahan-bahan dalam pakan buatan menghasilkan
pertumbuhan yang berbeda bagi ikan tawes. (iii) Pakan
buatan dengan komposisi 42% tepung ikan, 8% tepung
jagung, 14% dedak, 30% tepung daun turi, 4% tepung
kanji, dan 2% premix vitamin menghasilkan pertumbuhan
ikan tawes paling baik, dan kandungan protein daging
paling tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.H. Puspitasari, Sudarnawati, dan S.
Budiyanto. 1987. Analisis Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Press.
Ardiwinata, R.O. 1981. Pemeliharaan Ikan Tawes. Bandung: Penerbit
Sumur.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1991. Petunjuk Teknis
Budidaya Ikan Nila. Edisi I. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Depatemen Pertanian.
Boyd, C.E. dan F. Lichtkopler. 1979. Water Quality Management in Pond
Fish Culture. International Center for Aquacultur, Agricultural
Station. Alabama: Auburn University.
Britner, A., E. Omar, A.M. Nour. 1989. Budidaya Air. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Dharma, L. dan N. Suhenda. 1986. Pengaruh pemberian pakan dengan
tangan dan alat self feeder terhadap pertumbuhan dan produksi ikan
mas di kolam air deras. Bulletin Penelitian Perikanan Darat 5 (1): 7984.
Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Edisi II. Jakarta:
Penerbit CV Yasaguna.
Djuanda, T. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Penerbit Armico
Effendie, M.I. 1995. Metode Biologi Perikanan. Jakarta: Yayasan Dewi
Sri.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama.
Evi, R. 2001. Usaha Perikanan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Mutiara
Sumber Widya.
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Harminani, S.Dj.T., H.S. Suntoro, dan T.S. Djohan. 1979. Beberapa Efek
Pencemaran Panas terhadap Kahidupan Ikan Air Tawar.
Yogyakarta: Laboratorium Penelitian UGM.
Jangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan. Bogor: Lembaga Penelitian Perikanan
Darat.
Khairuman. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Depok: Penerbit
Agromedia Pustaka.
Makfoeld, D. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta:
Penerbit Agritech.
Mokoginta, I., M.A. Suprayudi, dan M. Setiawati. 1995. Kebutuhan
optimum protein dan energi pakan benih ikan gurame (Osphronemus
gouramy). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1 (3): 82-94.
Mudjiman. 2000. Makanan Ikan. Jakarta: CV Simplex.
National Research Councill. 1977. Nutrien Requirements of Warm Water
Fishes. Washington D.C: National Academy of Sciences.
Nugroho, A. 1999. Pemanfaatan Limbah Abon Nila sebagai Makanan
Tambahan untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
[Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Pongsapan, D.S., Rachmansyah, N.N. Palinggi. 1995. Pengaruh frekuensi
pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
nener bandeng (Chanos chanos) dalam bak terkontrol. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 1 (1): 1-4.
Rasidi. 1998. Formulasi Pakan Lokal Alternatif Untuk Unggas. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Sahwan, F.M. 2002. Pakan Ikan dan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya.
Santoso, B. dan T.S. Wikatma. 2001. Petunjuk Praktis Budidaya
Tawes.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture: A Method of Fish Production in
Indonesia. FRDP Central Research Institute For Fisheries. Jakarta.
Indonesia.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Bandeng dalam Tambak. Jakarta:
Penerbit Gramedia.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk
Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Sumantadinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan Peliharaan di
Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.
Suseno, D. 2000. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Jakarta.
Penebar Swadaya.
Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Perikanan dalam
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Bogor: PPLN-PUSDIIPPSL. IPB.
Wedemeyer, G.A. 1996. Physhiology of Fish in Intensive Culture Systems.
New York: An International Thomson Publishing Company.
Yanti, S., A. Priyadi, dan H. Mundriyanto. 2003. Rasio energi dan protein
yang berbeda terhadap efisiensi pemanfaatan protein pada benih ikan
baung (Mystus nemurus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9
(1): 1-4.
Download