Oey Mayasari - HIMPSI

advertisement
PEMAKNAAN AGAMA PADA DEWASA MUDA PENGANUT AGAMA BUDDHA SEKTE
NICIREN SYOSYU INDONESIA YANG BERDOMISILI DI DKI JAKARTA
Oleh: Oey Mayasari, S.Psi., M.Si.
Abstrak
James W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith Development
Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada psikologi agama. Namun pendekatannya ini membantu
kita dalam memahami tahapan perkembangan kepercayaan seorang manusia dan satu komunitas.
Atau membantu dalam memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang menjadi percaya
atau beragama. Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu
menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna
dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief)
atau agama. Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun
suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomenafenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak
teratur). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari
suatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu.
Karena itu menjadi percaya, atau iman adalah juga suatu proses semantik yang dibuat oleh manusia.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kental dengan nuansa agama, setiap acara besar
diawali oleh ritual agama, sumpah menjadi pemimpin negara diiringi dengan sumpah agama,
adegan drama pun dibumbui dengan dialog dan adegan beragama. Menjadi sebuah gambaran,
memang benar, kita adalah negara beragama dan apapun yang dilakukan akan didasari oleh agama.
Permasalahannya, bagaimana jadinya jika seseorang sudah mampu mengatasi permasalahan
hidup dan sudah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dalam hidupnya? Apakah dia masih mau
mempertahankan keyakinan terhadap agamanya. Jika hidup sudah serba nyaman, apakah kita masih
perlu agama? Karena agama ada untuk menjaga supaya hidup tidak kacau, lalu jika hidup sudah
sempurna, orang-orang akan berhenti beragama dan tidak lagi memiliki keinginan untuk
memperbaiki kualitas hidupnya. Seorang remaja belasan tahun tentunya akan berbeda dengan orang
dewasa dalam menyikapi iman yang ada dalam dirinya. Orang dewasa lebih memiliki kesadaran
yang tinggi, sehingga tidak heran jika kita menemukan orang dewasa yang begitu taat beragama,
padahal di masa mudanya ia adalah seorang yang acuh tak acuh. Namun tidak menutupi pula, pada
usia yang lebih dini, sebelum dikatakan dewasa sepenuhnya, seorang individu sudah berkembang
lebih cepat dalam pemahaman imannya. Selain itu tanpa agama, seseorang bisa mendapatkan apa
yang diinginkan: pernikahan bahagia, pasangan hidup yang ideal, dan membangun keluarga yang
sempurna seperti di dongeng-dongeng sebelum tidur. Tanpa agama juga, seseorang tidak lagi
merasa ada yang kurang dalam hidupnya, sehingga, lagi-lagi, tidak ada alasan yang begitu serius
untuk beragama. Semuanya serba baik-baik saja, tanpa dan dengan agama. Selain itu agama yang
dulu dijadikan sebagai jawaban dari pertanyaan hidup, tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik bagi
sebagian besar orang, setelah ditemukannya berbagai kemudahan hidup, fasilitas teknologi yang
canggih, dan juga jawaban-jawaban instan soal kehidupan.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apa yang membuat para dewasa muda yang
sudah mencapai kenyamanan karier dan financial masih mau melaksanakan kegiatan beragama dan
spiritualnya. Dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dan in-depth interview dengan
responden yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Kata kunci: Agama, Kebahagiaan, Remaja
Biodata Pengarang:
Oey Mayasari (Passionezee Indonesia, S3 Psikologi YAI)
087883793550/ [email protected]
Download