model hubungan modal sosial, ocb

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang
disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumber daya yang digunakan untuk
investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks.
Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia (human
capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi
individu yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada modal
sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan antar kelompok dengan
ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama
yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Modal sosial (social capital) seringkali diartikan secara berbeda. Beberapa
periset menyatakan modal sosial merupakan community-level attribute, meskipun
periset lain memperlakukan modal sosial sebagai pendekatan yang berorientasi
pada individu. Keberagaman definisi modal sosial muncul dari perbedaan tingkat
analisis yang menjadi fokus para periset. Narayan dan Cassidy (2001) yang
memiliki fokus pada tingkat analisis makro, membagi modal sosial menjadi
beberapa dimensi yang meliputi:
1. Karakteristik kelompok (group characteristics)
2. Norma yang mengikat (generalized norms)
3. Kebersamaan (togetherness)
4. Pergaulan sehari-hari (everyday sociability)
5. Hubungan dalam network (network connections)
6. Kesukarelaan (volunteerism), dan kepercayaan (trust).
Di sisi lain, Nahapiet dan Ghoshal (1998) berfokus pada tingkat analisis individu
dalam menyusun dimensi modal sosial menjadi tiga dimensi, yaitu :
a) Dimensi struktural
b) Dimensi relasional
8
c) Dimensi kognitif.
Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial
adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan
ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sedangkan
Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial adalah sejenis perekat sosial yang
memfasilitasi
tindakan
di
tingkat
masyarakat
yang
pada
gilirannya,
memungkinkan berbagai manfaat bagi kegiatan sosial kemasyarakatan.
Fukuyama (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilainilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota
suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Sejalan dengan Fukuyama, Cox E. (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai
hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas
dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok
secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan modal
sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam
perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama
dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan
produktivitas.
Adler dan Kwon ( 2002) melakukan sintesis atas konsep modal sosial yang
berasal dari berbagai perspektif dan memberikan tiga hal yang ditekankan dalam
definisi modal sosial, yaitu:
a) Modal sosial melekat pada individu ataupun kelompok.
b) Sumber modal sosial terletak pada hubungan sosial yang dimiliki oleh
individu maupun kelompok.
c) Efek modal sosial berkaitan dengan informasi, pengaruh, dan solidaritas
yang dimiliki individu atau kelompok yang memungkinkan individu atau
kelompok tersebut mendapat keunggulan tertentu dan dapat berkinerja
dengan baik.
Penelitian ini akan menggunakan definisi Nahapiet dan Ghoshal (1998)
karena sesuai dengan tingkat analisis individual yang menjadi fokus tulisan ini,
9
dengan membagi modal sosial ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi struktural,
dimensi relasional, dan dimensi kognitif. Kerangka kerja tiga dimensional tersebut
dilakukan untuk menguji hubungan antara modal sosial dan fenomena-fenomena
intra-organisasional, seperti pembentukan modal intelektual (Nahapiet dan
Ghosal, 1998), pertukaran sumber daya inter-unit (Tsai dan Ghosal, 1998), dan
Organizational Citizenship Behavior (Bolino et al. 2000). Hasil-hasil penelitian
yang menunjukkan hubungan antara modal sosial dengan fenomena-fenomena
intra-organisasi ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Penelitian-penelitian tentang Modal Sosial yang terkait.
No.
1.
Penulis
Robert D. Putnam
(1993)
Variabel
Modal sosial, Good
Government.
Hasil
1. Besarnya
variasi
dari
kinerja
pemerintahan sangat berhubungan
dengan semangat kehidupan sosial di
masing-masing wilayah.
2. Modal sosial memiliki pengaruh
positif pada pemerintahan karena
membuat
anggota
komunitas
mengatasi dilemma tindakan kolektif
yang bisa menghambat upaya mereka
untuk bekerjasama dengan tujuan
melakukan perbaikan
kehidupan
sosial.
2.
Fukuyama (1995)
Modal
sosial,
efektivitas
organisasional,
biaya transaksi.
Modal sosial berhubungan positif dengan
efektivitas
organisasional
melalui
pengurangan
biaya
transaksi
organisasional.
3.
Wisnu
(2003)
Modal
Sosial,
Kepemimpinan
transaksional,
kepemimpinan
transformasional.
1. Adanya dukungan pada pengaruh
kepemimpinan transaksional dan
kepemimpinan transformasional pada
dimensi relasional modal sosial.
2. Tidak memberi dukungan pada
pengaruh kepemimpinan transaksional
dan kepemimpinan transformasional
pada dimensi struktural modal sosial.
3. Dimensi kognitif modal sosial tidak
akan dipengaruhi oleh kepemimpinan
transaksional.
Prajogo
2.1.1 Dimensi Struktural Modal Sosial
Dimensi struktural merupakan pola hubungan antar orang dan interaksi
sosial yang ada dalam organisasi. Nahapiet dan Ghoshal (1998) mendefinisikan
modal sosial struktural sebagai keseluruhan bentuk dari hubungan antar pelakupelaku sosial. Menurut McFayden dan Canella (2004), dimensi struktural
10
menyangkut kedekatan dan adanya hubungan antar anggota jaringan kerja baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dimensi struktural memiliki makna
bahwa posisi seseorang dalam struktur interaksi akan memberinya keuntungan
tertentu. Dengan demikian, seseorang yang memiliki interaksi yang baik dengan
rekan kerjanya akan berkinerja dengan lebih baik. Adanya interaksi yang baik
akan sangat kondusif untuk kerjasama yang baik antar anggota organisasi.
Interaksi yang baik akan mengakibatkan intensitas hubungan kerja yang semakin
baik dan menumbuhkan kedekatan antar karyawan. Dengan demikian, seseorang
akan lebih mudah mendapatkan bantuan dan dukungan dari rekan kerjanya,
misalnya seseorang akan bisa saling mengakses sumberdaya dan informasi
dengan sesama rekan kerja. Hal ini akan memperlancar proses kerja anggota
organisasi, yang akan membuat anggota organisasi tersebut berkinerja dengan
lebih baik. Dimensi ini juga menjelaskan model hubungan seperti pengukuran
keeratan, hubungan, hirarki, dan organisasi yang sesuai.
2.1.2 Dimensi Relasional Modal Sosial
Dimensi kedua dari konsep modal sosial menurut definisi Nahapiet dan
Ghosal (1998) adalah dimensi relasional modal sosial. Dimensi relasional
merupakan aset yang diciptakan dan tumbuh dalam hubungan antar anggota
organisasi
yang
mencakup
kepercayaan
(trust),
kelayakan
dipercaya
(trustworthiness), norma dan sangsi, kewajiban dan harapan, identitas dan
identifikasi. Kepercayaan adalah atribut yang melekat dalam suatu hubungan.
Kelayakan dipercaya merupakan atribut yang melekat pada individu yang terlibat
dalam hubungan tersebut. Makin tinggi tingkat kepercayaan antar rekan kerja
dalam suatu organisasi, orang-orang dalam organisasi tersebut dikatakan memiliki
tingkat kelayakan dipercaya yang tinggi. Dalam kondisi saling mempercayai yang
tinggi, orang akan lebih mampu bekerja dengan lebih baik dalam suatu pertukaran
sosial dalam bentuk kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, dimensi
relasional juga akan mempengaruhi proses kerja seseorang, sehingga akan
membuat orang bekerja dengan lebih baik.
Dimensi relasional mencakup pertukaran antar individu, rekan-rekan kerja
yang saling mengenal atau saling bertukar pendapat (McFayden dan Canella,
2004). Dengan kata lain dimensi relasional lebih merujuk pada sifat hubungan
11
(misalnya rasa hormat, saling menghargai, dan persahabatan) yang menentukan
perilaku anggota jaringannya.
2.1.3 Dimensi Kognitif Modal Sosial
Dimensi kognitif merupakan sumber daya yang memberikan representasi
dan interpretasi bersama, serta menjadi sistem makna (system of meaning) antar
pihak dalam organisasi. Nahapiet dan Ghoshal (1998) mendefinisikan dimensi
ketiga ini sebagai shared languages (codes), shared narratives dan shared vision
yang memfasilitasi pemahaman tentang tujuan kolektif dan cara bertindak dalam
suatu sistem sosial.
Shared language akan tampak pada penggunaan kata-kata tertentu sebagai
kata-kata (istilah-istilah) yang dipahami bersama dalam komunikasi antar anggota
organisasi. Shared narratives akan tampak jika anggota organisasi seringkali
menceritakan hal-hal yang sama dalam bentuk “mitos organisasi” ataupun tentang
hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kerja mereka. Jika ada shared languages
dan shared narratives, komunikasi antara anggota organisasi akan lebih baik dan
terbuka. Shared languages dan shared narratives juga akan mempengaruhi
persepsi anggota organisasi. Adanya shared languages dan shared narratives
akan menciptakan persepsi yang sama antar anggota organisasi yang akan
mempercepat proses komunikasi untuk menunjang kinerja. Umumnya dimensi
kognitif dalam bentuk shared languages dan shared narratives akan mengarah ke
pemahaman yang sama tentang tujuan organisasi (shared vision). Jika anggota
organisasi memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan organisasi,mereka
akan bisa bekerja dengan lebih baik.
2.2 Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Setiap organisasi dituntut selalu meningkatkan kinerja dan efektifitas agar
mampu bertahan di dalam globalisasi. Salah satu elemen penting yang
dipertimbangkan mampu meningkatkan kinerja dan efektifitas organisasi adalah
kemauan karyawan melakukan kinerja extra-role selain kinerja in-role. Smith et
al. (1983) menamakan kinerja extra-role dengan istilah Organizational
Citizenship Behaviors (OCB). Sementara ada beberapa peneliti lain menamakan
12
kinerja extra-role dengan istilah seperti perilaku prososial organisasi (George JM,
1991) dan kinerja kontekstual (Borman dan Motowildo, 1997).
2.2.1 Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
OCB merupakan kontribusi individu yang dilakukan melebihi tuntutan
peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini
melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi
sukarelawan untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedurprosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan „nilai tambah
pegawai‟ dan merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku
sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (George JM, 1991).
Organ (1988) yang mendefinisikan kinerja extra-role sebagai perilaku
individu yang fleksibel, tidak secara langsung diketahui atau dihargai oleh sistem
reward yang formal di perusahaan, namun secara keseluruhan memberikan
kontribusi terhadap efektifitas perusahaan. Beberapa contoh kinerja extra-role
adalah perilaku membantu teman sekerja yang mengalami kesulitan dalam
pekerjaan, mencegah terjadinya ancaman bahaya yang dapat merugikan
perusahaan, perilaku menjaga kebersihan dan kenyamanan tempat kerja,
berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan perusahaan atau menyelesaikan
pekerjaan melebihi standar yang dituntut. Sementara Van Dyne et al. (1995) yang
mengusulkan konstruksi dari Extra Role Bahavior (ERB), yaitu perilaku yang
menguntungkan perusahaan dan atau cenderung menguntungkan perusahaan,
secara sukarela dan melebihi apa yang menjadi tuntutan peran.
Borman dan Motowidlo (1997) mengkonstruksi Contextual Behavior tidak
hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri melainkan mendukung semakin
besarnya lingkungan organisasi, sosial dan psikologis, sehingga inti teknisnya
berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi istilah sukarela, reward atau niat sang
pelaku melainkan perilaku seharusnya mendukung lingkungan organisasi, sosial
dan psikologis lebih dari sekedar inti teknis.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan :
1. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa
terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi.
13
2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, tidak
diperintahkan secara formal.
3. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem reward
yang formal.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan OCB telah banyak dilakukan
sebelumnya termasuk penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang bisa
mempengaruhi kecenderungan pegawai untuk menunjukkan OCB dalam bekerja
maupun penelitian mengenai keterkaitan OCB dengan fenomena intra-organisasi
dalam suatu perusahaan. Hasil-hasil penelitian mengenai OCB yang telah
dilakukan bisa dilihat pada Tabel 2.
2.2.2 Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi OCB
adalah dimensi-dimensi yang telah dikembangkan oleh Organ (1988). Menurut
Organ, OCB dibangun dari lima dimensi primer yang masing-masing bersifat
unik, yaitu :
1. Altruism, yaitu : kesediaan untuk menolong rekan kerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya dalam situasi yang tidak biasa (situasi khusus).
Misalnya : menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat,
membantu orang lain yang pekerjaannya overload, membantu orientasi
pegawai baru meskipun tidak diminta, menjadi volunteer untuk mengerjakan
sesuatu tanpa diminta.
2. Conscientiousness, yaitu : prilaku yang menggambarkan pegawai yang
melaksanakan tugas dan tanggungjawab lebih dari apa yang diharapkan.
Misalnya : tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja
dimulai, tepat waktu setiap hari, tidak menghabiskan waktu untuk
pembicaraan di luar pekerjaan.
3. Sportsmanship, yaitu : prilaku yang menggambarkan pegawai yang lebih
menekankan untuk memandang aspek-aspek positif dibanding aspek-aspek
negatif dari perusahaan, sportsmanship menggambarkan sportivitas seorang
pegawai terhadap perusahaan.
14
Misalnya : menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat,
tidak membesar-besarkan masalah diluar proporsinya, tidak mencari-cari
kesalahan perusahaan.
4. Civic Virtue, yaitu : prilaku yang menyangkut dukungan pegawai atas fungsifungsi administratif dalam perusahaan.
Misalnya
:menyimpan
perubahan-perubahan
informasi
dalam
tentang
organisasi,
kejadian-kejadian
membaca
dan
maupun
mengikuti
pengumuman-pengumuman organisasi, membuat pertimbangan dalam menilai
apa yang terbaik untuk organisasi.
5. Courtesy, yaitu : prilaku yang menggambarkan bentuk loyalitas individu
pegawai terhadap perusahaan dengan keterlibatannya dalam fungsi-fungsi
organisasi.
Misalnya : memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu
image organisasi, menghadiri pertemuan-pertemuan yang dianggap penting,
membantu kebersamaan secara departemental.
Tabel 2 Penelitian-penelitian Tentang OCB yang Terkait.
No.
Penulis
Variabel
Hasil
1.
Organ (1988)
OCB,
tingkat
kesejahteraan,
kemampuan
transformasi
sumberdaya,
inovasi, adaptasi.
OCB memberikan kontribusi positif
terhadap kesejahteraan komunitasnya,
transformasi sumber daya, keinovasian
dan keadaptasian para anggotanya.
2.
Podsakoff
dan
MacKenzie (1997).
OCB dan kualitas
pelayanan.
Membuktikan bahwa semakin tinggi
tingkat OCB di kalangan karyawan dlam
sebuah perusahaan, akan membuat tingkat
kepuasan konsumen terhadap perusahaan
tersebut juga tinggi yang ditandai dengan
rendahnya tingkat komplain yang diterima
perusahaan.
3.
Slamet S. Sarwono
dan
Amiluhur Soeroso
(2001)
Faktor demografi
di Indonesia (jenis
kelamin,
umur,
status
kepegawaian,
status perkawinan),
OCB,
OCBI,
OCBO
1. Status kepegawaian dan status
perkawinan merupakan prediktor yang
nyata dengan arah negatif terhadap
OCB.
2. Umur berhubungan signifikan negatif
dengan OCBI.
3. Jenis kelamin terbukti berhubungan
secara signifikan dan negatif dengan
OCBO, sedangkan dengan OCB tidak
terbukti.
15
Tabel 2 Penelitian-penelitian Tentang OCB yang Terkait. (Lanjutan)
No.
Penulis
Variabel
Hasil
4. Hubungan positif jenis kelamin dengan
OCBO memperlihatkan bahwa tidak
ada perbedaan sifat kerelaan antara pria
dan wanita.
4.
Hannah Dara
Vanzuela Garay
(2006)
Kinerja extra-role,
kebijakan
kompensasi.
Kebijakan
kompensasi
perlu
dipertimbangkan di awal ketika manajemen
bermaksud mendorong tumbuhnya kinerja
extra-role pada pekerja agar dicapai aspek
keadilan bagi kedua pihak.
5.
Ferry Novliadi
(2007)
Persepsi terhadap
kualitas interaksi
atasan bawahan,
persepsi terhadap
dukungan
organisasional,
OCB
Kualitas interaksi atasan-bawahan dan
dukungan organisasi berpengaruh positif
pada pelaksanaan OCB pada karyawaan
sesuai dengan teori pertukaran sosial (social
exchange theory).
6.
Ariani (2008)
Motif individu,
motif organisasi,
kepribadian
evaluasi diri, OCB
Motif organisasi dan kepribadian evaluasi
diri merupakan faktor inti yang dapat
mendorong OCB anggota organisasi secara
individual
2.3 Kepercayaan (Trust)
2.3.1 Definisi Kepercayaan (Trust)
Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan. Atau
dapat dikatakan bahwa kepercayaan dapat dipandang sebagai syarat keharusan
(necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat
(atau
lemah)
dari
suatu
masyarakat.
Kepercayaan
memiliki
kekuatan
mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan
ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas atau bangsa. Hal tersebut sesuai
dengan definisi dari Putnam (1993) yang menyatakan bahwa kepercayaan sebagai
bentuk keinginan untuk mengambil risiko dalam hubungan-hubungan sosial yang
didasari oleh perasaan yakin, bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling
mendukung.
Fukuyama (1995) menyatakan kepercayaan sebagai sesuatu yang amat
besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul.
Digambarkannya kepercayaan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan,
16
kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas
yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama-sama oleh anggota
masyarakat. Norma-norma tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang
berkisar pada niai-nilai luhur, seperti hakekat Tuhan atau keadilan, ataupun
norma-norma sekuler seperti standar profesional dan kode etik perilaku.
Woolcok (1998) mendefiniskan kepercayaan sebagai rasa saling
mempercayai antar individu dan antar kelompok di dalam suatu masyarakat (atau
bangsa) yang dibangun oleh norma-norma dan nilai-nilai luhur yang melekat pada
budaya masyarakat (atau bangsa) tersebut. Adapun Dasgupta dan Ismail (2000)
dengan lebih tegas mendefinisikan kepercayaan sebagai daya atau semangat
kemanusiaan yang jujur (altruism), berupa keinginan masyarakat untuk saling
menghormati, mencintai, dan memperhatikan antar sesama manusia.
Melalui kepercayaan orang-orang dapat bekerjama secara lebih efektif,
oleh karena ada kesediaan di antara mereka untuk menempatkan kepentingan
kelompok di atas kepentingan individu (Fukuyama, 1995). Karena itu diyakini
bahwa kepercayaan merupakan sumber energi kolektif suatu masyarakat (atau
bangsa) untuk membangun institusi-institusi di dalamnya guna mencapai
kemajuan dan mempengaruhi semangat dan kemampuan berkompetisi secara
sehat di tengah masyarakat (atau bangsa).
2.3.2 Tingkatan Kepercayaan (Trust)
Menurut Quinhong Fu (2004) yang merujuk pada beberapa pandangan
sosiolog, pada dasarnya kepercayaan dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a) Tingkatan individual
Kepercayaan pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma,
dan nilai individual yang merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai
karakteristik individu. Merujuk Nahapiet dan Ghoshal (1998), pada tingkatan
individual kepercayaan bersumber dari nilai-nilai, diantaranya dari: agama yang
dianut, kompetensi seseorang, dan keterbukaan, yang telah menjadi norma di
masyarakat dan diyakini oleh seseorang.
b) Tingkatan relasi sosial.
Kepercayaan di dalam tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif
untuk mencapai tujuan kelompok yang didasari oleh semangat altruism, social
17
resiprocity, dan manusia sebagai makhluk sosial. Mengikuti Coleman (1999) pada
tingkatan relasi sosial sumber kepercayaan berasal dari norma sosial yang
memang telah melekat pada stuktur sosial komunitas (masyarakat/bangsa
/organisasi) yang diikat dengan nilai-nilai budaya. Hal ini terutama berkaitan
dengan kepatuhan anggota komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang
telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pada komunitas tersebut.
c) Tingkatan sistem sosial.
Kepercayaan pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik
komunitas, atau masyarakat, atau bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh
sistem sosial yang ada, dimana didasari pada nilai-nilai budaya unggul. Menurut
Putnam (1993), di tingkat sistem sosial kepercayaan bersumber dari karakteristik
sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap
anggota komunitas (masyarakat/bangsa/organisasi).
2.3.3 Kepercayaan (Trust) dalam Konteks Organisasi
Kepercayaan adalah wilayah yang spesifik, dan karena itu dibutuhkan
pemahaman mengenai prilaku „kepercayaan‟ dalam konteks yang spesifik.
Kepercayaan dalam konteks keluarga akan berbeda dengan kepercayaan yang
akan diteliti dalam konteks organisasi. Kepercayaan organisasional akan lebih
menunjukkan kepercayaan individu yang muncul di antara pegawai berdasarkan
reputasi dan pengalamannya. Ini bisa terlihat sebagai bagian dari peran, aturan
dan struktur yang berhubungan dengan organisasi.
Fox (1974) menyatakan bahwa kepercayaan organisasional terdiri dari dua
bentuk kepercayaan, yaitu :
a) Kepercayaan Lateral (Lateral Trust), yaitu : bentuk hubungan kepercayaan
antara sesama rekan kerja yang memiliki situasi kerja yang sama.
b) Kepercayaan Vertikal (Vertical Trust), yaitu : bentuk hubungan kepercayaan
antara individu pegawai dengan supervisor menengahnya, bawahan dan
manajemen puncaknya.
Sedangkan Tzafrir dan Dolan (2004) menemukan bahwa konstruk
kepercayaan dalam konteks hubungan pegawai, dibedakan dalam tiga dimensi,
yaitu:
18
a) Harmony
Harmony adalah pemikiran untuk memiliki identitas kolektif dan memiliki
nilai bersama (shared value) secara umum.
b) Reliability
Reliability adalah pernyataan bahwa kelompok/pihak yang mempercayai
memiliki ekspektasi positif mengenai konsistensi tentang apa yang dikatakan
dan tindakan dari kelompok/pihak yang dipercayai.
c) Concern
Concern adalah pemikiran untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan pihak lain.
Berbagai tindakan kolektif yang di dasari atas rasa saling mempercayai
yang tinggi akan meningkatkan partisipasi pegawai dalam berbagai ragam bentuk
dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan organisasi.
Kehancuran rasa saling percaya di antara pegawai akan mengundang hadirnya
berbagai problematik sosial yang serius. Pegawai yang kurang memiliki perasaan
saling mempercayai akan menyebabkan semangat kolektifitas tenggelam dan
partisipasi pegawai untuk membangun bagi kepentingan kehidupan organisasi
yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi
keberlangsungan organisasi karena pegawainya cenderung bersikap apatis dan
hanya menunggu apa yang ditugaskan oleh organisasi. Mereka tidak akan
bersedia untuk melakakukan pekerjaan-pekerjaan di luar tanggung jawab
formalnya. Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka yang akan terjadi
adalah sikap-sikap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.
Tabel 3 akan menunjukkan hasil-hasil penelitian mengenai peran
kepercayaan dalam perusahaan/organisasi.
19
Tabel 3 Penelitian-penelitian tentang Kepercayaan yang terkait.
No.
Penulis
Variabel
1.
McAllister (1995)
Trust, aksi kolektif
2.
Shay F.
(2006)
Trust, kinerja
perusahaan,
praktek HRM
(kompensasi,
partisipasi
karyawan, pasar
tenaga kerja
internal, training).
Tzafrir
Hasil
Trust
merupakan
anteceden
dan
sekaligus hasil dari suksesnya aksi
kolektif
dalam
suatu
komunitas/organisasi.
1. Ada hubungan signifikan antara trust
dengan praktek HRM.
2. Manajer HR dengan kepercayaan yang
tinggi
pada
karyawannya
akan
membentuk sistem HRMnya menjadi
HPWS.
3. Tingginya trust organisasional akan
mempengaruhi secara positif penilaian
usaha perbaikan HRM.
2.4 Modal Sosial dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Modal sosial didefinisikan sebagai serangkaian sumber yang melekat pada
hubungan sosial antara para pelaku sosial yang bisa dinyatakan sebagai aset yang
berharga dan mampu menjamin keuntungan bagi para pelaku sosial baik individu
maupun organisasi (Adler dan Kwon, 2002). Modal sosial bukan merupakan
konsep unidimensi dan meliputi banyak aspek dari konteks sosial, seperti ikatan
sosial, hubungan kepercayaan, dan sistem nilai yang memfasilitasi tindakan
individu dalam konteks tersebut (Tsai dan Ghosal, 1998). Putnam (1993),
berpendapat bahwa menjelaskan dimensi dari modal sosial merupakan prioritas
utama karena modal sosial memiliki hubungan yang rumit dengan konteks sosial.
Tiga kerangka kerja dimensional dari modal sosial yang diajukan oleh Nahapiet
dan Ghosal (1998) yaitu : struktural, relasional dan kognitif ditujukan untuk
menyelidiki hubungan antara modal sosial dengan fenomena-fenomena intraorganisasi, salah satunya adalah OCB.
Modal sosial struktural bisa dikonsepkan sebagai keseluruhan bentuk
hubungan antara para pelaku sosial dimana semua para pelaku yang ada di dalam
jaringan sosial saling terhubung. Jadi, modal sosial struktural menunjukkan
adanya hubungan yang dimiliki setiap individu pegawai dengan orang lain di
dalam suatu organisasi tertentu baik rekan kerja, bawahan maupun pimpinan.
Dengan adanya modal sosial struktural ini memungkinkan individu pegawau
untuk lebih terlibat dalam OCB. Seseorang yang memiliki hubungan baik dengan
20
orang lain (rekan kerja, bawahan dan pimpinan) akan merasa lebih nyaman dan
tidak keberatan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa memberikan
manfaat bagi kepentingan orang lain maupun organisasi secara keseluruhan
walaupun itu di luar dari tanggung jawab formal pekerjaannya. Ini terkait pula
dengan teori pertukaran sosial, yang menyatakan bahwa seorang individu secara
sukarela bersedia menyediakan keuntungan bagi pihak lain (orang maupun
organisasi) dalam hubungan timbal balik. Prinsip dasar pertukaran sosial adalah
distributive justice, yang menyatakan bahwa : seseorang dalam hubungan
pertukaran dengan pihak lain akan mengharapkan imbalan yang yang diterima
oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dilakukannya,
semakin besar pengorbanan, makin tinggi imbalan dan keuntungan yang diterima
(Hogan et al. 1984). Jadi, jika individu pegawai merasa apa yang dia kerjakan
akan mendapat penghargaan (reward) dan imbalan dari pihak lain, maka individu
tersebut akan dengan senang hati melakukannya, walaupun itu di luar tanggung
jawab formal dari pekerjaannya.
Modal sosial relasional dikonsepkan sebagai aset yang terbentuk dan
terdorong oleh hubungan yang mempengaruhi prilaku para pelaku sosial (Nahapet
dan Ghoshal, 1998). Dimensi ini bisa dimanifestasikan melalui kepercayaan,
norma, kewajiban dan identifikasi. Tidak seperti sifat dari modal sosial struktural,
modal sosial relasional ini lebih menggambarkan kualitas personal dari hubungan
interpersonal (Bolino et al. 2000), yang bisa dikelompokkan ke dalam hubungan
yang melekat pada modal sosial yang menunjukkan karakteristik motivasional
dari pertukaran sosial interpersonal. Salah satu hal yang mendapat perhatian lebih
dari modal sosial relasional ini adalah adanya aspek kepercayaan. McAllister
(1995) menyatakan bahwa ada dua faktor dari kepercayaan interpersonal yaitu:
a) Affect-based trust, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada ikatan emosional
individu, seperti hubungan pertemanan atau perhatian.
b) Cognition-based trust, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada pilihan secara
kognitif siapa yang akan kita percaya dengan peduli pada keadaannya, dan
kita dasarkan pilihan kita pada alasan yang baik terhadap sesuatu yang dapat
dipercaya.
21
Untuk keterkaitan dengan keterlibatan individu karyawan dalam OCB,
lebih didasarkan pada Affect-based trust, karena modal sosial relasional dalam
penelitian ini menunjukkan kualitas pengaruh dari hubungan interpersonal (Bolino
et al. 2000). Individu pegawai akan cenderung terlibat dalam OCB apabila
hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi sangat dekat. Mereka akan
bersedia melakukan pekerjaan di luar tanggung jawab formal dari tugasnya, jika
didukung dengan kondisi adanya kedekatan hubungan dengan individu lain di
dalam organisasi tersebut, misalnya adanya rasa saling menghargai, kepercayaan,
dan saling menghormati.
Modal sosial kognitif menurut Nahapet dan Ghoshal (1998) dikonsepkan
sebagai pemahaman bersama diantara para pelaku sosial melalui kesamaan bahasa
dan cerita. Ini ditambahkan dalam atribut-atribut seperti kesamaan visi atau
kesamaan nilai yang memfasilitasi tindakan individual dan kolektif dan
pemahaman bersama tentang tindakan yang tepat dan tujuan kolektif. Semakin
tingginya modal sosial kognitif memberikan rekan kerja kesamaan perspektif
yang memungkinkan mereka mengembangkan persepsi dan interpretasi yang
sama terhadap suatu kejadian.Dikaitkan dengan keterlibatan individu pegawai
dalam OCB, bisa dikatakan bahwa individu pegawai akan cenderung melakukan
OCB apabila tindakan-tindakan yang akan dia lakukan tersebut merupakan
tindakan yang dianggap benar dan bermanfaat oleh organisasi walaupun itu di luar
tanggung jawab formal dari pekerjaannya secara sukarela. Tetapi sebaliknya
apabila suatu tindakan dinilai salah dan merugikan organisasi maka tindakan
tersebut tidak akan dilakukan.
2.5 Peran Pemoderasian Kepercayaan
Tidak ada manfaat yang bisa dihasilkan dari modal sosial tanpa adanya
tingkat kepercayaan antar pegawai dan di antara pegawai dengan manajernya.
Tanpa pondasi dari kepercayaan, modal sosial tidak bisa berkembang, hubunganhubungan penting tidak akan bisa terbentuk. Jadi bisa dikatakan bahwa
kepercayaan adalah prekondisi dari modal sosial yang sehat.
Salah satu peran kepercayaan terhadap modal sosial adalah dalam
hubungannya dengan keterlibatan individu pegawai dalam OCB. Dengan adanya
pondasi kepercayaan yang tinggi dalam sebuah organisasi, maka hal itu akan
22
memperkuat modal sosial yang dimiliki organisasi tersebut (Quinhong Fu, 2004),
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesediaan individu pegawai untuk
melakukan tindakan-tindakan diluar tanggung jawab formal dari pekerjaannya
secara sukarela, karena dilandasi adanya kedekatan hubungan dengan sistem
hirarki organisasi, rasa saling menghargai dan kepercayaan antar anggota
organisasi dan tentu saja karena adanya kedekatan personal diantara mereka.
Tetapi apabila kepercayaan dalam sebuah organisasi rendah, maka hal tersebut
juga akan memperlemah modal sosial dari organisasi tersebut. Bahkan lambat
laun, dengan rendahnya tingkat kepercayaan justru bisa menimbulkan konflik
sosial dalam tubuh organisasi, sehingga bukan hanya tidak memungkinkan bagi
individu pegawainya untuk menunjukkan OCB tetapi juga akan berbahaya bagi
stabilitas organisasi apabila tidak segera dilakukan usaha perbaikan.
Seperti beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang
mencoba mengkaitkan hubungan antara modal sosial dan OCB, salah satunya
yang dilakukan oleh Prajogo (2001) yang menemukan bahwa hanya dimensi
relasioanal dari modal sosial yang memiliki pengaruh signifikan pada pelaksanaan
kinerja extra-role atau OCB, sedangkan 2 dimensi modal sosial yang lain tidak
berpengaruh signifikan. Hal tersebut salah satunya di karenakan dalam dimensi
modal sosial relasional, kepercayaan merupakan faktor pembentuk utama dari
dimensi tersebut, sedangkan 2 dimensi modal sosial yang lain tidak berhubungan
langsung dengan kepercayaan.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2008), yang juga
mencoba menghubungkan antara modal sosial dan OCB, justru sama sekali tidak
menemukan adanya hubungan signifikan antara ketiga dimensi dari modal sosial
(struktural, relasional dan kognitif) terhadap pelaksanaan OCB pegawai dengan
mengambil sampel pada pegawai bank yang bekerja pada bagian kasir. Hal
tersebut salah satunya disebabkan karena pekerjaan sebagai kasir bukanlah jenis
pekerjaan berkelompok yang membutuhkan adanya kepercayaan yang tinggi satu
sama lain. Dalam kondisi tersebut, modal sosial menjadi konstruk yang tidak bisa
dikembangkan dan tidak bisa dipelajari pengaruh dan hubungannya dengan
konstruk-konstruk organisasional yang lain termasuk dengan pelaksanaan OCB
pegawai.
23
Karena itulah, dalam penelitian ini kepercayaan diambil sebagai peran
pemoderasian dalam model hubungan dari modal sosial dan OCB yang ada di
PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Diharapkan dengan adanya
kepercayaan sebagai moderasi, ketiga dimensi dari modal sosial akan
menunjukkan pengaruh yang lebih kuat dalam mendorong
individu pegawai
bersedia menunjukkan OCB dalam bekerja. Sedangkan untuk hasil-hasil
penelitian lainnya mengenai hubungan antara konstruk modal sosial, OCB dan
kepercayaan dalam suatu perusahaan atau organisasi yang telah dilakukan bisa
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penelitian-penelitian Tentang Hubungan Modal Sosial, OCB dan Trust.
No.
Penulis
Variabel
Hasil
Dimensi-dimensi OCB berinteraksi dengan
modal sosial yang dimiliki organisasi yaitu
struktural, relasional dan kognitif yang
berpengaruh
signifikan
terhadap
peningkatan kinerja organisasi.
1.
Van Dyne (1994)
OCB, Modal Sosial,
Kinerja Organisasi.
2.
Adler and Kwon
(2000)
Modal sosial,
efektivitas
organisasional,
trust.
Dalam
konteks
organisasi,
untuk
kepentingan efektivitas organisasional
modal sosial dan trust berfungsi saling
menguatkan.
3.
Bolino, Turnley dan
Bloodgood (2000 –
2001)
Modal Sosial, OCB
Tingginya Modal Sosial yang dimiliki
individu akan mendorongnya melakukan
kegiatan
diluar
standar
minimal
pekerjaannya (OCB), sehingga dapat
meningkatkan keefektifan organisasi.
4.
Wisnu
(2001)
Dimensi
modal
sosial,
kinerja
individu (peran inrole dan extra-role)
1. Dimensi
kognitif
modal
sosial
berpengaruh signifikan pada inroleperformance.
2. Dimensi relasional modal sosial juga
mempengaruhi in-role performance,
walaupun pengaruhnya sangat lemah.
3. Helping behavior, civic virtue, dan
sportmanship menjadi satu variabel
tunggal extra-role performance.
4. Menemukan dukungan kuat pada
pengaruh dimensi relasional modal
sosial pada extra-role performance,
tetapi tidak pada dimensi struktural dan
relasional dari modal sosial.
5.
Quinhong Fu
(2004).
Trust, modal sosial,
efektifitas
organisasional.
Dalam konteks organisasi, trust dan modal
sosial merupakan konstruk yang saling
menguatkan, dimana modal sosial terbentuk
dari trust dan sebaliknya adanya trust dalam
sebuah organisasi akan memperkuat modal
sosial yang ada
Prajogo
24
Tabel 4 Penelitian-penelitian Tentang Hubungan Modal Sosial, OCB dan Trust.
(Lanjutan)
No.
6.
Penulis
Variabel
Wisnu Prajogo
(2005)
Trust,
kepemimpinan
transformasional,
OCB
Hasil
.Kepemimpinan transformasional tidak
secara
langsung
mempengaruhi
organizational
citizenship
behavior
(OCB), tetapi akan mempengaruhi trust
terlebih dahulu, yang nantinya trust akan
mempengaruhi organizational citizenship
behavior.
2.6 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan beberapa studi literatur di atas, setiap organisasi dituntut
selalu meningkatkan kinerja dan efektifitas agar mampu bertahan di dalam
globalisasi.
Salah
satu
elemen
penting
yang
dipertimbangkan
mampu
meningkatkan kinerja dan efektifitas organisasi adalah kemauan pegawai
menunjukkan OCB dalam bekerja selain kinerja in-role.
OCB adalah suatu perilaku individu pegawai yang bersifat sukarela, bukan
merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan
kepentingan organisasi, sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, tidak
diperintahkan secara formal dan tidak berkaitan secara langsung dan terangterangan dengan sistem reward yang formal. Berawal dari pemikiran tersebut,
dibutuhkan usaha untuk mengetahui faktor-faktor ataupun konstruk-konstruk lain
yang bisa mempengaruhi munculnya OCB dalam prilaku pegawai.
Modal
sosial
muncul
sebagai
konstruk
yang
pantas
untuk
dipertimbangkan sebagai faktor yang bisa mempengaruhi munculnya OCB dalam
suatu perusahaan dengan melihat hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
Karena secara inheren modal sosial mengandung social sense. Hampir semua
bentuk modal sosial terbentuk dan tumbuh melalui gabungan atau kombinasi
tindakan dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain atau pelaku
memiliki konsekwensi kepada semua anggota kelompok atau group. Sehingga hal
tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Modal sosial akan
tumbuh dan semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan sebaliknya
akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan dan
25
kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama. Jadi sangat
memungkinkan setiap organisasi akan memiliki modal sosial yang berbeda-beda,
dan karena itu pula perlu diteliti pengaruh dari modal sosial yang dimiliki oleh
organisasi tersebut dengan melihat dimensi sosial yang lebih fokus pada tingkat
analisis individu serta keterkaitannya dengan keterlibatan setiap individu pegawai
yang ada di dalamnya untuk melakukan OCB.
Kekuatan modal sosial dari suatu perusahaan dalam mempengaruhi
munculnya keterlibatan individu pegawai untuk melakukan OCB akan dimoderasi
dengan adanya kepercayaan. Karena tanpa adanya pondasi kepercayaan, sangat
mustahil konstruk modal sosial bisa berkembang dan bisa membentuk hubunganhubungan dengan konstruk-konstruk lain, termasuk OCB itu sendiri (Quinhong
Fu, 2004). Dengan adanya tingkat kepercayaan yang tingi dalam suatu
perusahaan, diasumsikan akan memperkuat modal sosial yang dimilikinya,
sehingga baik modal sosial struktural, relasional dan kognitif akan memiliki
pengaruh yang besar bagi munculnya keterlibatan individu pegawai untuk
melakukan OCB dalam perusahaan tersebut. Hubungan antara modal sosial,
kepercayaan dan OCB bisa dilihat pada Gambar 1.
Harmony
Reliability
Concern
Conscientioussness
Sportsmanship
TRUST
Struktural
Altruism
Relasional
H2
MODAL
SOSIAL
OCB
Civic Virtue
H1
Kognitif
Courtesy
Gambar 1 Hubungan Modal Sosial, Kepercayaan (Trust) dan OCB.
2.7 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan pembagian dimensi modal sosial yang berfokus pada tingkat
analisis individu menurut Nahapiet dan Ghoshal (1998) dibagi menjadi tiga
dimensi, yaitu : dimensi struktural, dimensi relasional, dan dimensi kognitif.
Masing-masing dimensi dari modal sosial tersebut dalam penelitian ini akan
26
diasumsikan memiliki pengaruh bagi keterlibatan pegawai untuk menunjukkan
OCB dalam bekerja. Dimana OCB sendiri menurut Organ (1988) memiliki lima
dimensi,
yang
masing-masing
adalah
:
altruism,
conscientiousness,
sportsmanship, civic virtue, dan courtesy. Dalam melihat pengaruh antara
konstruk modal sosial dan OCB ini, akan digunakan peran moderasi dari
kepercayaan.
Maka hipotesis yang dapat dibuat dalam penelitian ini adalah :
1. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara modal sosial terhadap
pelaksanaan OCB.
H1 : Modal sosial berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan OCB.
2. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepercayaan dalam
memoderasi hubungan modal sosial terhadap pelaksanaan OCB.
H1 : Kepercayaan berpengaruh signifikan dalam memoderasi hubungan
modal sosial dan pelaksanaan OCB.
Download