Draft 12 Desember 2004 BAB 33 PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Selama ini pembangunan infrastruktur menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelnjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah pentingnya untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari Sabang sampai Merauke serta Sangir Talaud ke Rote merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antarkawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi wilayah, serta ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya.. Di sisi lain, kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur yang meliputi transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumberdaya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan, mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya. Berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru dapat menghambat laju pembangunan nasional. Rehabilitasi dan pembangunan kembali berbagai infrastruktur yang rusak, serta peningkatan kapasitas dan fasilitas baru akan menyerap biaya yang sangat besar sehingga tidak dapat dipikul oleh pemerintah sendiri. Untuk itu, mencari solusi inovatif guna menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan masalah yang mendesak untuk diselelesaikan. Di bidang infrastruktur masih banyak kegiatan non cost recovery yang menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, antara lain sub sektor jalan, fasilitas keselamatan transportasi, sumber daya air, fasilitas persampahan dan sanitasi. Pada kegiatan lain peran pemerintah melalui peneyertaan modal negara kepada BUMN terkait yang bergerak di infrastruktur antara lain: jalan tol, pelabuhan, bandara, air minum, perumahan, pos, listrik, dan telekomunikasi, yang belum sepenuhnya sistem tarif yang berlaku menarik bagi investor swasta. Kegiatan-kegiatan ini terutama yang berkaitan dengan public service obligation/PSO. Di sisi lain telah pula terdapat kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh swasta, seperti pembangkit listrik, telekomunikasi di daerah perkotaan, pelabuhan peti kemas, bandara internasional dan bandara pada lokasi tujuan wisata, jalan tol pada ruas-ruas yang memiliki kondisi lalu lintas yang tinggi. Bagian IV.33 – 1 Draft 12 Desember 2004 Berkaitan dengan masalah tersebut di atas pada 5 tahun kedepan perlu dipertegas penanganan kegiatan pemeliharaan/rehabilitasi, dan pembangunan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan PSO tentunya menjadi kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaannya tentunya akan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan oleh pemerintah. Untuk ini perlu adanya sinkronisasi penanganan program melalui APBN dan APBD. Sedang kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh BUMN terkait perlu diupayakan optimalisasi penggunaan sumber dana perusahaan. Apabila terkait dengan kegiatan yang menyangkut hajat hidup masyarakat yang harus mendapat perlindungan dari pemerintah, atau dengan kata lain untuk menghindari penguasaan usaha sepenuhnya oleh swasta, maka pola penyertaan modal negara terhadap BUMN terkait perlu diupayakan seeffisien mungkin. Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta perlu diperjelas peraturan perundang-undangan yang terkait, terutama menyangkut garansi dan sisten tarif. Berkaitan dengan keikutsertaan swasta membangun infrastruktur perlu diperjelas kewenangan masing-masing investor swasta dengan BUMN terkait, hindarkan bahwa BUMN memilki hak monopoli untuk berusaha pada bidangnya. I. SUMBER DAYA AIR 1.1 PERMASALAHAN SUMBER DAYA AIR Ketidakseimbangan antara supply dan demand dalam perspektif ruang dan waktu. Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu. Dari segi spasial, Pulau Jawa yang dihuni sekitar 65 persen penduduk Indonesia hanya mempunyai 4,5 persen dari potensi air tawar nasional. Dari segi distribusi waktu sepanjang tahun, 80 persen air tersedia pada musim hujan yang berdurasi lima bulan, sedangkan 20 persen lainnya tersedia pada musim kemarau dengan durasi tujuh bulan. Ketersediaan air yang sangat melimpah pada musim hujan, yang selain menimbulkan manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah pula menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang berkepanjangan. Tahun 2002, banjir telah melanda 20 provinsi dengan tingkat intensitas rendah sampai dengan tinggi, dan secara ironis pada tahun yang sama terjadi kekeringan pada 17 propinsi. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Pada tahun 1984, dari 470 DAS hanya terdapat 22 DAS yang rusak. Namun, tahun 1999 jumlah DAS yang rusak telah mencapai 62 DAS. Kecenderungan meluas dan bertambahnya jumlah DAS kritis telah mengarah pada tingkat kelangkaan dan peningkatan daya rusak air yang semakin serius. Selain itu, kelangkaan air yang terjadi Bagian IV.33 – 2 Draft 12 Desember 2004 cenderung mendorong pola penggunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan ”amblesan” permukaan tanah. Kerusakan air tanah sangat sulit untuk dipulihkan, sehingga apabila hal tersebut terjadi terus-menerus secara pasti akan berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang berimplikasi luas. Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam. Meningkatnya kebutuhan air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada tahun 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air. Pada musim kemarau tahun 2003, Pulau Jawa dan Bali telah mengalami defisit sebanyak 13,1 miliar meter-kubik. Demikian pula wilayah Nusa Tenggara juga mengalami defisit air sebesar 0,1 miliar meter-kubik. Semakin parahnya kelangkaan tersebut berpeluang memicu terjadinya berbagai bentuk konflik air, baik antar kelompok pengguna, antar wilayah, maupun antar generasi. Konflik air yang tidak terkendali berpotensi berkembang menjadi konflik dengan dimensi yang lebih luas, bahkan lebih jauh dapat memicu berbagai bentuk disintegrasi. Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Pada tahun 2002, jaringan irigasi terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Sekitar 47,0 persen jaringan irigasi berada di Jawa, 24,5 persen di Sumatera, 11,5 persen di Sulawesi, dan 10,6 persen di Kalimantan; sedangkan sisanya, 6,5 persen di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Irian Jaya Barat. Dari jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir 25 persen, masih belum berfungsi. Belum berfungsinya jaringan irigasi dengan luasan yang sangat signifikan tersebut disebabkan antara lain oleh belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah ataupun ketidaksiapan petani penggarap. Hal yang sama juga terjadi pada jaringan irigasi rawa; dari 1,80 juta hektar yang telah dibangun hanya sekitar 0,8 juta hektar (47 persen) yang berfungsi. Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga mengalami kerusakan yang terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan pemeliharaan. Diperkirakan total area kerusakan jaringan irigasi tersebut mencapai sekitar 30 persen. Hal yang cukup mengkhawatirkan, sebagian besar kerusakan tersebut justru terjadi pada daerah-daerah penghasil beras nasional di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian terutama untuk perumahan. Alih fungsi lahan secara nasional mencapai 35 ribu hektar per tahun yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa. Bagian IV.33 – 3 Draft 12 Desember 2004 Makin meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai pada beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis pantai mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antar instansi telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan. Rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber daya air belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data dan informasi belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan. Selain itu, akses publik terhadap data masih belum dapat terlayani secara baik. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi. 1.2 SASARAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR Sasaran umum pembangunan sumber daya air adalah: (1) tercapainya pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan; (2) terkendalinya potensi konflik air; (3) terkendalinya pemanfaatan air tanah; (4) meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat; (5) berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; (6) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; (7) meningkatnya partisipasi aktif masyarakat; (8) meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar instansi; (9) terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; dan (10) tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat dan mudah diakses. 1.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR Pengelolaan sumber daya air dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah, antara pengelolaan demand dan pengelolaan supply, serta antara pemenuhan Bagian IV.33 – 4 Draft 12 Desember 2004 kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada masa lalu fokus pembangunan lebih ditujukan pada pendayagunaan. Ke depan upaya konservasi akan lebih diutamakan. Pola hubungan hulu - hilir akan terus dikembangkan agar tercapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan. Pengembangan dan penerapan sistem conjuctive use antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Penitikberatan pada upaya penyediaan (supply) terbukti kurang efisien dan efektif dalam rangka memecahkan masalah pengelolaan sumber daya air. Untuk itu, upaya tersebut perlu disertai dengan upaya melakukan rasionalisasi permintaan dan penggunaan air melalui demand management. Pola pengelolaan yang berorientasi pada jangka pendek cenderung menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya air, yang berarti mengorbankan kepentingan jangka panjang. Pendekatan vegetatif dalam rangka konservasi sumber-sumber air adalah hal yang sangat perlu dilakukan karena penting dan tak-tergantikannya fungsi vegetatif dalam konteks lingkungan. Namun disadari bahwa hasil dari upaya vegetatif tersebut bersifat jangka panjang. Untuk itu, dalam 5 (lima) tahun kedepan upaya vegetatif perlu diimbangi upaya-upaya lain, antara lain rekayasa keteknikan, yang lebih bersifat quick yielding. Pembangunan tampungan air berskala kecil akan lebih dikedepankan, sedangkan pembangunan tampungan air dalam sekala besar perlu pertimbangan yang lebih hati-hati karena menghadapi masalah yang lebih kompleks, terutama terkait dengan isu sosial dan lingkungan. Pola pembangunan berskala kecil ini akan mengurangi derajat konsentrasi biaya dan resiko pada suatu areal dan penduduk tertentu. Upaya konservasi sumbersumber air dilakukan tidak hanya untuk melestarikan kuantitas air, tapi juga diarahkan untuk memelihara kualitas air. Selain itu, upaya konservasi air tanah terus akan ditingkatkan dengan pengisian kembali (recharging) atau dengan aplikasi teknologi lain yang tersedia dan layak. Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi pada lima tahun ke depan difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi befungsi yang mengalami kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan. Upaya peningkatan fungsi jaringan akan dilakukan hanya pada areal yang ketersediaan airnya terjamin dan petani penggarapnya sudah siap, dengan prioritas areal irigasi di luar pulau Jawa. Upaya rehabilitasi akan diprioritaskan pada areal irigasi di daerah lumbung padi. Mengingat luasnya jaringan irigasi yang belum bersungsi, maka pada lima tahun kedepan tidak perlu lagi dilakukan upaya pengembangan jaringan sawah beririgasi baru, kecuali menyelesaikan proyek-proyek yang sudah dimulai dan tengah dikerjakan. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi diselenggarakan dengan berbasis partisipasi masyarakat dalam seluruh proses kegiatan. Untuk mengendalikan kecenderungan meningkatnya alih fungsi lahan, akan dikembangkan berbagai skema insentif kepada petani agar bersedia mempertahankan lahan sawahnya. Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis. Pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air baku akan dikendalikan dan sejalan dengan itu akan dilakukan upaya peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan. Bagian IV.33 – 5 Draft 12 Desember 2004 Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir mengutamakan pendekatan non-konstruksi melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir diutamakan pada wilayah berpenduduk padat dan wilayah strategis. Pengamanan pantai-pantai dari abrasi terutama dilakukan pada daerah perbatasan, pulau-pulau kecil serta pusat kegiatan ekonomi. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan penataan kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan. Lembaga dewan sumber daya air dan komisi irigasi akan dibentuk, yang ditujukan selain sebagai instrumen kelembagaan untuk mengendalikan berbagai potensi konflik air, juga untuk memantapkan mekanisme koordinasi baik antar institusi pemerintah maupun antara institusi pemerintah dengan institusi masyarakat. Walaupun domain kewenangan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan, upaya kerjasama kemitraan antar ketiga tingkatan pemerintah tersebut akan terus didorong agar keterpaduan pengelolaan sumber daya air dalam satu wilayah sungai dapat dijamin. Dalam upaya memperkokoh civil society, keterlibatan masyarakat, BUMN/D dan swasta perlu dipertegas. Terkait dengan hal tersebut dalam lima tahun ke depan, akan diselesaikan penyusunan peraturan perundangan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004. Peran modal sosial dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting, terutama dalam hal mendorong rasa memiliki masyarakat pengguna air, yang merupakan factor penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur. Pengembangan modal social akan dilakukan dengan pendekatan budaya, terutama untuk menggali dan merevitalisasi kearifan lokal (local wisdom) yang secara tradisi bayak tersebar di masyarakat Indonesia. Kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air perlu didukung dengan ketersediaan data yang tepat, akurat dan dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang memerlukan. Untuk itu, penataan dan penguatan sistem pengolahan data dan informasi sumber daya air dilakukan secara terencana dan dikelola secara berkesinambungan sehingga tercipta basis data yang dapat dijadikan dasar acuan perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Potensi pemerintah daerah, pengelola, dan pemakai sumber daya air perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. 1.4 PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR Untuk mencapai sasaran umum dan melaksanakan kebijakan di atas dilakukan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam 5 (lima) program, yaitu: (1) pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya; (2) pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya; (3) penyediaan dan pengelolaan air baku; (4) pengendalian banjir dan pengamanan pantai; serta (5) penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan. Bagian IV.33 – 6 Draft 12 Desember 2004 1. PROGRAM PENGEMBANGAN, PENGELOLAAN, DAN KONSERVASI SUNGAI, DANAU, DAN SUMBER AIR LAINNYA Program ini ditujukan untuk meningkatkan keberlanjutan fungsi dan pemanfaatan sumber daya air, mewujudkan keterpaduan pengelolaan, serta menjamin kemampuan keterbaharuan dan keberlanjutannya. Sasaran program ini antara lain: (1) dapat dicapainya pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan; dan (2) terkendalinya eksploitasi air tanah. Sasaran di atas akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan: (1) penatagunaan sumber daya air; (2) menyelenggarakan konservasi air tanah di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang; (3) operasi dan pemeliharaan waduk, danau, situ, embung, serta bangunan penampung air lainnya; (4) rehabilitasi 100 situ di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; serta beberapa situ/danau di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah lainnya; (5) pembangunan 18 waduk antara lain di Keuliling (Nanggroe Aceh Darussalam), Genteng (Banten), Ciawi, Jatigede (Jawa Barat), Lodan, Logung (Jawa Tengah), Nipah, Blega, Bajulmati, Kedungbrubus, Gonggong (Jawa Timur), Telaga Tunjung, Muara, Tukad Ayung (Bali), Pelaperado, Pandanduri Swangi (Nusa Tenggara Barat), Mbay (Nusa Tenggara Timur), Ponre-Ponre (Sulawesi Selatan); (6) pembangunan 500 buah embung dan bangunan penampung air lainnya dalam skala kecil terutama di Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan wilayah rawan kekeringan lainnya; (7) peningkatan pemanfaatan potensi kawasan dan potensi air waduk, danau, situ, embung, dan bangunan penampung air lainnya, termasuk untuk pengembangan wisata tirta; (8) melaksanakan pembiayaan kompetitif (competitive fund) untuk konservasi air oleh kelompok masyarakat maupun pemerintah daerah; (9) menggali dan mengembangkan budaya masyarakat dalam konservasi air; dan (10) perkuatan 44 balai pengelolaan sumber daya air yang tersebar di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang akan dilakukan memerlukan biaya sebesar Rp13,5 triliun yang akan bersumber dari dana pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat bekerjasama membiayai dan melaksanakan program pembangunan tersebut atas dasar kesepakatan untuk kepentingan nasional. 2. PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI, RAWA, DAN JARINGAN PENGAIRAN LAINNYA Program ini ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, serta jaringan pengairan lainnya dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Sasaran yang ingin dicapai antara lain: (1) meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air untuk pertanian; (2) terkendalinya pemanfaatan air tanah untuk irigasi; dan (3) meningkatnya partisipasi masyarakat pemakai air irigasi. Sasaran program tersebut akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan: (1) pemberdayaan petani pemakai air terutama dalam pengelolaan jaringan irigasi; (2) peningkatan jaringan irigasi yang belum berfungsi seluas 1,1 juta hektar di luar Jawa; (3) rehabilitasi jaringan irigasi seluas 2,6 juta hektar terutama pada daerah penghasil pangan nasional dan jaringan Bagian IV.33 – 7 Draft 12 Desember 2004 rawa seluas 0,8 juta hektar di luar Jawa ; (4) pengelolaan jaringan irigasi seluas 5,1 juta hektar dan rawa serta jaringan pengairan lainnya seluas 0,8 juta hektar yang tersebar di seluruh provinsi; dan (5) optimalisasi pemanfaatan lahan irigasi dan rawa yang telah dikembangkan. Kegiatan-kegiatan di atas memerlukan biaya sebesar Rp22 triliun yang bersumber dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat. Untuk itu, perlu didorong kerjasama pembiayaan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan npemerintah kabupaten/kota. 3. PROGRAM PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN AIR BAKU Program ini ditujukan untuk meningkatkan penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan domestik, perkotaan, dan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan mayarakat dan mendukung kegiatan perekonomian. Sasaran yang akan dicapai adalah (1) meningkatnya kemampuan pemenuhan air baku untuk rumah tangga, permukiman, dan industri dengan prioritas untuk kebutuhan pokok mayarakat; (2) terkendalinya pemanfaatan air tanah untuk rumah tangga, permukiman, dan industri; serta (3) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyediaan air baku. Sasaran di atas akan dicapai melalui kegiatan: (1) operasi dan pemeliharaan serta rehabilitasi saluran pembawa dan prasarana air baku lainnya; (2) pembangunan prasarana pengambilan dan saluran pembawa air baku terutama pada kawasan-kawasan dengan tingkat kebutuhan air baku tinggi di wilayah strategis dan daerah tertinggal antara lain di Lampung (Tanjungkarang), Jakarta (Saluran Tarum Barat dan Kanal-2), Jawa Tengah (Rawa Pening dan Seropan), Jawa Timur (Saluran Pelayaran, Madura, dan Bajulmati), Pontianak (Kalimntan Barat), Sulawesi Selatan (Jeneberang), dan Pangkal Pinang (Bangka Belitung); (3) pembangunan sumur-sumur air tanah dengan memperhatikan prinsipprinsip conjuctive use pada daerah-daerah rawan air dan daerah tertinggal; (4) sinkronisasi kegiatan antara penyediaan air baku dengan kegiatan pengolahan dan distribusi; dan (5) peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan air baku. Untuk kegiatan di atas diperlukan dana sebesar Rp15 triliun dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, BUMN/BUMD, dan swasta akan didorong untuk berpartisipasi. 4. PROGRAM PENGENDALIAN BANJIR DAN PENGAMANAN PANTAI Program ini ditujukan untuk mengurangi tingkat risiko dan periode genangan banjir, serta menanggulangi akibat bencana banjir dan abrasi pantai yang menimpa daerah produksi, permukiman, dan sarana publik lainnya. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; (2) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; serta (3) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penangulangan banjir dan mengatasi kekeringan. Sasaran-sasaran program tersebut akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan: (1) operasi dan pemeliharaan serta perbaikan alur sungai terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bagian IV.33 – 8 Draft 12 Desember 2004 Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat; (2) rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan prasarana pengendali banjir dan pengamanan pantai, termasuk tanggul dan normalisasi sungai terutama di Jawa, Sumatera dan Kalimantan; (3) pembangunan prasarana pengendali banjir dan pengamanan pantai terutama pada daerah-daerah rawan bencana banjir dan abrasi air laut pada wilayah strategis, daerah tertinggal, serta pulau-pulau terluar di daerah perbatasan antara lain di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau Kepulauan, Bengkulu, Pantai Utara Jawa, Jawa Bagian Selatan, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara; (4) mengendalikan aliran air permukaan (run off) di daerah tangkapan air dan badan-badan sungai melalui pengaturan dan penegakkan hukum; (5) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai dan pantai; serta (6) menggali dan mengembangkan budaya masyarakat setempat dalam mengendalikan banjir. Kegiatan di atas memerlukan dana sebesar Rp17,5 triliun yang akan dibiayai dengan dana pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. BUMN/BUMD dan swasta juga diharapkan partisipasinya. 5. PROGRAM PENATAAN KELEMBAGAAN DAN KETATALAKSANAAN Program ini ditujukan untuk mewujudkan kelembagaan yang efektif. Sasaran yang hendak dicapai adalah: (1) terkendalinya potensi konflik air; (2) meningkatnya partisipasi masyarakat; (3) meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar instansi; (4) terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; (5) tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat, dan berkelanjutan; dan (6) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber air. Untuk mencapai sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan: (1) penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Sungai, Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Peraturan Pemerintah tentang Irigasi, Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Peraturan Pemerintah tentang Perum Jasa Tirta I, Peraturan Pemerintah tentang Perum Jasa Tirta II; (2) penyusunan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Pengelola Wilayah Sungai Jratun Seluna, Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Pengelola Wilayah Sungai Serayu- Bogowonto, Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Pengelola Wilayah Sungai Jeneberang; dan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, serta peraturan menteri dan peraturan daerah untuk operasionalnya; (3) penataan dan perkuatan kelembagaan pengelola sumber daya air tingkat pusat, daerah provinsi, maupun daerah kabupaten/kota; (4) pembentukan wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat SWS, dan/atau tingkat kabupaten/kota; (5) membangun sistem informasi dan pengelolaan data yang dapat memenuhi kebutuhan data dan informasi yang akurat, aktual, dan mudah diakses; (6) pembentukan jaringan dan kelembagaan pengelola data dan sistem informasi serta penyiapan dan pengoperasian decision support system (DSS); (7) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya; (8) penegakan hukum dan peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya air. Untuk melaksanakan kegiatan di atas diperlukan dana sebesar Rp900 miliar. Pendanaan untuk kegiatan yang sifatnya nasional dibiayai oleh pemerintah pusat, Bagian IV.33 – 9 Draft 12 Desember 2004 sedangkan untuk skala daerah dibiayai oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. II. TRANSPORTASI Pembangunan sektor transportasi merupakan bagian yang amat penting dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan transportasi adalah meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau dan mewujudkan sistem transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayahnya dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa-kota yang memadai. Kendala yang dihadapi sektor transportasi meliputi aspek kelembagaan dan peraturan, sumber daya manusia, teknologi, pendanaan investasi, kapasitas, serta operasi dan pemeliharaan. Pada aspek kelembagaan dan peraturan masih banyak terjadi ketidakefisienan pengelolaan dan pembinaan infrastruktur yang diakibatkan kurang efektifnya koordinasi dan pembagian peran dan fungsi antar lembaga, terutama dalam hal ketidakjelasan hubungan antar regulator, owner dan operator. Dari aspek pendanaan akibat karakteristik infrastruktur transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang besar dan jangka waktu pengembalian yang panjang, sedang sebagian besar tarip tidak dapat mencapai tingkat full cost recovery secara finansial, serta masih banyaknya penyelenggaraan infrastruktur transportasi yang dilakukan secara monopoli, sehingga peran pemerintah sebagi regulator masih sangat diperlukan. 2.1 PRASARANA JALAN Prasarana jaringan jalan masih merupakan kebutuhan pokok bagi pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri. Selain itu terutama di era desentralisasi, jaringan jalan juga merupakan perekat keutuhan bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan. Sehingga keberadaan sistem jaringan jalan yang menjangkau seluruh wilayah tanah air merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi. 2.1.1 PERMASALAHAN PRASARANA JALAN A. KONDISI JARINGAN JALAN SAAT INI Kondisi kinerja prasarana jalan sampai akhir tahun 2002, umumnya masih rendah, diantaranya dari total panjang jalan 330.495 kilometer, kondisi jalan yang rusak mencapai 11,7 persen jalan nasional, 34,6 persen jalan propinsi, 48,0 persen jalan kabupaten, dan 4,0 persen jalan kota. Kondisi sistem jaringan jalan pada tahun 2002 baik jalan nasional, provinsi, kabupaten maupun kota mencapai 60 persen dari panjang jalan yang ada dalam kondisi baik dan sedang. Bagian IV.33 – 10 Draft 12 Desember 2004 Tabel 1. Kerusakan Jaringan Jalan Nasional (2002) Kondisi Jalan (Persen) Panjang Jenis Jalan Rusak Rusak (km) Baik Sedang Ringan Berat Jalan Nasional 26.866 64,3 24,0 6,9 4,8 Jalan Propinsi 37.164 34,1 32,1 16,9 16,9 Jalan Kabupaten 240.946 19,0 34,0 28,5 18,5 Jalan Kota 25.518 9.0 87,0 4,0 0,0 Total 330.495 23,6 37,1 23,6 15,8 Sumber: Ditjen Praswil (2002) Namun demikian, dari seluruh sistem jaringan jalan, kondisi jalan provinsi dan kabupaten masih belum menunjukkan perbaikan tingkat kinerjanya. Sedangkan untuk jalan nasional dan kota mengalami peningkatan yang cukup berarti yang mengarah kepada pelayanan yang optimal terhadap distribusi arus penumpang dan barang. Kondisi sedang merupakan prosentase terbesar dari kondisi sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini disebabkan sebagian besar panjang jalan kabupaten dan propinsi berada pada kondisi sedang yang mengarah pada kondisi rusak ringan. Perkembangan kondisi jalan nasional sejak tahun 1997 sampai dengan 2003 lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi jalan propinsi dan jalan kabupaten. Kondisi baik dan sedang jalan nasional secara umum mengalami peningkatan dari 74,5 persen pada tahun 1997 menjadi 85 persen sampai tahun 2003. Gambar 1. Kondisi Jalan Nasional 1997-2003 100% 9.3% 6.8% 90% 80% 16.2% 16.4% 4.8% 15.7% 5.1% 10.1% 8.8% 2.4% 16.9% Gambar 2. Kondisi Jalan Propinsi 1997-2003 5.2% 5.3% 4.68% 5.85% 21.6% 25.40% 100% 15.5% 16.9% 23.7% 22.7% 80% 28.7% 70% 20.2% 90% 19.3% 70% 15.2% 21.0% 17.5% 14.5% 15.8% 16.87% 18.7% 17.26% Prosentase Prosentase 29.0% 60% 50% 42.8% 52.5% 40% 70.5% 30% 50.5% 67.9% 64.07% 57.4% 60% 50% 40% 30.3% 32.4% 33.84% 34.9% 34.3% 33.1% 32.03% 2000 R. Ringan 2001 2002 R. Berat 45.6% 30% 20% 20% 31.7% 24.3% 10% 32.4% 30.1% 36.6% 30.3% 23.9% 10% 15.3% 0% 0% 1997 Baik 1998 1999 Sedang 2000 2001 R. Ringan 2002 1997 Baik 2003 R. Berat Sumber: Ditjen Praswil 1998 1999 Sedang Sumber: Ditjen Praswil Gambar 3. Kondisi Jalan Kabupaten 1998- 2003 100% 90% 15% 15% 16% 17% 19% 16% 26% 30% 28% 29% 28% 31% 35% 34% 34% 34% 32% 20% 22% 21% 19% 20% 1999 2000 2001 2002 2003 80% Prosentase 70% 60% 50% 40% 36% 30% 20% 10% 23% 0% 1998 Baik Sedang Rusak Ringan Sumber: Ditjen Praswil Bagian IV.33 – 11 Rusak Berat 2003 Draft 12 Desember 2004 Sedangkan kondisi baik dan sedang jalan propinsi terus mengalami peningkatan dari 60,5 persen pada tahun 1997, menjadi sekitar 65 persen mulai tahun 2001-2003. Di lain pihak, kondisi baik dan sedang jalan kabupaten sejak tahun 1997 tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dan bahkan terus mengalami penurunan dari 56 persen pada tahun 2000 menjadi 53 persen pada tahun 2003. Sementara itu kerusakan jalan kabupaten terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Studi yang dilakukan pada tahun 2000 oleh Bapekin Kimpraswil (Dep. PU) mengindikasikan kebutuhan dana sekitar Rp6-8 triliun per tahun untuk merehabilitasi kerusakan jalan sampai dengan kondisi sebelum krisis. Karena dana tersebut tidak pernah direalisasikan, terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kemantapan kondisi jalan nasional. B. KINERJA PRASARANA JALAN DALAM MENDUKUNG PENGGUNA JALAN. Kinerja prasarana jalan pada tahun 2002, yang didasarkan atas kecepatan yang mampu dicapai kendaraan, secara rata-rata kondisi permukaan jalan nasional dan propinsi cukup memadai dengan tingkatan kecepatan laju kendaraan mendekati kecepatan rata-rata rencana (design speed). Namun demikian, kondisi kecepatan untuk jalan nasional di Pulau Jawa masih lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Jalan lintas yang cukup padat adalah lintas Pantura yang mempunyai kecepatan rata-rata adalah 54,10 km per jam. Berdasarkan hasil survey tahun 2003, V/C ratio di Jawa ≥ 0.6 sudah mencapai 890 Km terutama pantai utara Jawa (Banten, Jabar dan Jateng) dan jalur tengah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Sementara itu, studi Java Arterial Road Network (JARN) tahun 2001 menyatakan bahwa jaringan jalan arteri di Pulau Jawa tahun 2000 yang bebas dari kemacetan adalah sekitar 52 persen dan memproyeksikan pada tahun 2010 yang bebas dari kemacetan hanya tinggal 7 persen. C. IMPLIKASI KINERJA PRASARANA JALAN SAAT INI Tingkat kerusakan jalan akibat over loading dan sistem penanganan yang belum memadai, berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi suatu jalan. Hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya alokasi untuk jalan yang lain sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan, yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transport pada proses distribusi barang semakin bertambah. Kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan terjadinya kemacetan masif (bottlenecks) di berbagai ruas jalan yang merupakan lintas ekonomi serta telah meningkatkan secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan. Prediksi tahun 2000: road user costs selama setahun mencapai sekitar Rp200 triliun (SEPM-IRMS). Sedangkan menurut data hasil IRMS tahun 2002, road user costs untuk pengguna jalan nasional dan propinsi adalah sebesar Rp1,546 triliun per hari. Biaya yang dikeluarkan cukup besar adalah untuk penggunan jalan di Pulau Jawa yaitu sebesar Rp721,93 miliar. RUC untuk per pulau dan jalan lintas dapat dilihat pada tabel berikut ini: Bagian IV.33 – 12 Draft 12 Desember 2004 Tabel 2. Road User Cost pada seluruh Jaringan Jalan (Nasional, Propinsi, dan Non Status) per hari Klasifikasi I 1. 2. 3. 4. II 1. 2. 3. 4. VOC Rp. Milyar Seluruh Jaringan Jalan P. Sumatera P. Jawa P. Lainnya Total Indonesia Khusus Lintas Per Pulau P. Sumatera P. Jawa P. Lainnya Total Indonesia T-Time Cost Rp. Milyar RUC Rp. Milyar 424,72 641,09 312,16 1.377,96 53,82 80,84 33,67 168,33 478,54 721,93 345,82 1.546,28 204,33 240,36 156,37 601,06 29,32 33,86 18,16 81,34 233,65 274,21 174,53 682,39 Apabila hal ini terus berlanjut dan tidak segera diatasi, diperkirakan dapat mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Mempertimbangkan kondisi di atas, rencana pembangunan jalan tol harus segera diwujudkan. Jalan tol merupakan satu kesatuan dengan jaringan jalan non tol, dan dapat berfungsi baik jalan alternatif maupun bukan alternatif. Jalan tol ditujukan terutama untuk mempertahankan tingkat pelayanan level of service, mengurangi inefisiensi akibat kemacetan pada ruas jalan utama, serta untuk meningkatkan pelayanan jasa distribusi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. D. PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN PENANGANAN JALAN Pembiayaan prasarana jalan nasional melalui APBN baik yang bersumber dari Rupiah Murni (RM) maupun Pinjaman Luar Negeri (PLN) sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 total pendanaan untuk program rehabilitasi/pemeliharaan dan peningkatan/pembangunan prasarana jalan adalah sekitar Rp2.510 miliar, terus meningkat tajam mencapai Rp4.151 miliar pada tahun 2002, Rp4.585 miliar tahun 2003, dan Rp5.906 miliar tahun 2004. Namun demikian, ketergantungan porsi pendanaan yang bersumber dari PLN pada tahun 2004 hanya 12,8 persen dari total pendanaan apabila dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai porsi sekitar 28,1 persen. Bagian IV.33 – 13 Draft 12 Desember 2004 Gambar 4: Perkembangan Pembiayaan Jalan 6 5 Rp. Triliun 4 3 2 1 Tahun- 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rp. Murni 1.531.2 1.622.7 1.678.3 1.652.8 1.395.4 1.032.0 377.21 672.78 1.102.5 1.533.4 3.297.0 5.149.5 BLN 436.62 535.77 475.66 742.19 679.55 1.540.6 1.828.0 1.275.3 1.408.0 2.618.0 1.288.4 757.45 Total 1.967.8 2.158.5 2.154.0 2.395.0 2.075.0 2.572.7 2.205.2 1.948.1 2.510.6 4.151.4 4.585.5 5.906.9 Sumber: Ditjen Praswil Sumber pembiayaan prasarana jalan diperoleh dari dana RM dan PLN bilateral maupun multilateral. Sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 4, total anggaran jalan meningkat secara konsisten dari hanya sekitar Rp1,97 triliun pada tahun anggaran 1993/94 menjadi lebih dari Rp3,94 triliun di tahun 2002, Rp4,6 triliun pada tahun 2003, dan Rp5,9 triliun pada tahun 2004. Terlihat terjadi perubahan komposisi pendanaan antara yang berasal dari RM dan PLN yang cukup drastis dan fluktuatif. Sebelum tahun 1998/1999, sumber pendanaan prasarana jalan bertumpu pada sumber dalam negeri yang secara tidak langsung memperlihatkan kemampuan kemandirian pembiayaan jalan. Setelah krisis ekonomi moneter sampai dengan tahun 2002, terjadi perubahan komposisi pembiayaan jalan, dimana peran PLN menjadi dominan dan bahkan saat ini dimana kondisi keuangan pemerintah sangat lemah, menjadi tumpuan utama pendanaan prasarana jalan disamping rupiah murni. Namun mulia tahun 2003, komposisi sumber pendanaan APBN untuk prasarana jalan terlihat mulai kembali seperti sebelum krisis ekonomi. E. KEMAMPUAN PEMBIAYAAN Secara umum, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara visual Gambar 5 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dimulai pada tahun 1990/91 dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 1998/99 saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Namun demikian, peningkatan tersebut belum menunjukkan peningkatan kemampuan pemenuhan dana untuk pemeliharaan atau pembangunan prasarana jalan yang ada. Hal ini dapat ditunjukkan pada harga konstan tahun 1979/80, yaitu kemampuan pembiayaan dengan adanya inflasi yang cukup beragam dari tahun ke tahun, kemampuan pembiayaan (purchasing power) dari tahun ke tahun relatif sama, bahkan kemampuan tersebut mengalami penurunan sejak tahun 1998/99. Kemampuan tersebut mengalami kenaikan mulai tahun 2002, walaupun masih di bawah rata-rata tahun-tahun sebelum krisis ekonomi. Bagian IV.33 – 14 Draft 12 Desember 2004 Gambar 5: Perkembangan Pembiayaan Jalan 6.0 5.0 Rp. Triliun 4.0 3.0 2.0 1.0 2004 2003 2002 2001 2000 1999/00 1998/99 1997/98 1996/97 1995/96 1994/95 1993/94 1992/93 1991/92 1990/91 1989/90 1988/89 1987/88 1986/87 1985/86 1984/85 1983/84 1982/83 1981/82 1980/81 1979/80 - Tahun Pembiayaan Prasarana Jalan Harga Konstan Tahun 1979/80 Sumber: Ditjen Praswil Mekanisme pendanaan dan penanganan jalan tol, nasional, propinsi, kabupaten, kota, dan desa belum jelas sejak diberlakukannya otonomi daerah. Terkait juga mencari alternatif sumber pembiayaan jalan diluar APBN maupun APBD, karena APBN (DIP/DAU/DAK), APBD propinsi/kabupaten/kota, maupun pinjaman lunak (soft loan) tidak dapat membiayai sepenuhnya pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan. Sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang belum membentuk suatu jaringan transportasi intermoda yang terpadu bahkan masih mengacu kepada batasbatas administrasi wilayah. Oleh karena itu, upaya teroboson untuk memperoleh alternatif lain sumber pendanaan jalan sangat diperlukan. 2.1.2 SASARAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN Sasaran umum pembangunan subsektor prasarana jalan adalah meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat serta meningkatkan aksesibilitas wilayah melalui dukungan pelayanan prasarana jalan untuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan khususnya pada koridor-korodor utama di masing-masing pulau, wilayah KAPET, wilayah perbatasan, terpencil, maupun pulau-pulau kecil. 2.1.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN a. Mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan jalan dengan kebijakan tata ruang wilayah nasional yang merupakan acuan pengembangan wilayah dan meningkatkan keterpaduannya dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam b. konteks pelayanan intermoda dan SISTRANAS yang menjamin efisiensi pelayanan transportasi. c. Pengembangan sistem jaringan prasarana jalan berbasis pulau (Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). d. Mempertahankan kinerja pelayanan prasarana jalan yang telah terbangun dengan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana jalan melalui pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan teknologi jalan. Bagian IV.33 – 15 Draft 12 Desember 2004 e. Menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi dan SDM bidang penyelenggaraan prasarana jalan. f. Mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaran dan penyediaan prasarana jalan. 2.1.4 PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN Untuk mewujudkan sasaran tersebut di atas, maka akan dilaksanakan beberapa program yang akan dibiayai dana pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dan BUMN upaya melalui program-program utama sebagai berikut: a. Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan mencakup kegiatankegiatan rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala sistem jaringan jalan nasional terutama pada ruas-ruas yang merupakan jalur utama perekonomian dan memiliki prioritas tinggi yaitu:  Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan nasional sekitar 151.267 km;  Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan propinsi 180.291 km;  Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan kabupaten/kota sepanjang 721.696 km. b. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan sistem jaringan jalan nasional baik jalan non tol dan jalan tol mencakup kegiatan-kegiatan utama antara lain:  Peningkatan/pembangunan jalan arteri primer sepanjang 33.538 km dan 88.950 m jembatan yang merupakan jalur utama perekonomian seperti lintas utara Jawa, lintas Selatan Jawa, Lintas Tengah Jawa, Lintas Timur Sumatera, Lintas Tengah Sumatera, Lintas Barat Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan, Lintas Tengah Kalimantan, Lintas Utara Kalimantan, Lintas Barat Sulawesi, Lintas Timur Sulawesi, dan Lintas Tengah Sulawesi., serta ruas-ruas strategis penghubung lintas-lintas tersebut.  Peningkatan/pembangunan jalan-jalan arteri primer dan strategis di kawasan perkotaan terutama untuk mengurangi kemacetan pada persimpangan ataupun perlintasan dengan moda KA melalui penyelesaian pembangunan beberapa fly-over di wilayah Jabodetabek yang berlokasi antara lain di Persimpangan Jl. Pramuka, Jl. Tanjung Barat, Jl. Raya Bogor, dan Bekasi serta persiapan pembangunan fly-over di beberapa kota di jalur utama Pantai Utara Jawa antara lain berlokasi di Merak, Balaraja, Nagrek, Gebang, Tanggulangin, Peterongan, Palimanan, dan Mangkang  Penanganan jalan sepanjang 300 km jalan pada daerah perbatasan dengan negara tetangga seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.  Penanganan jalan sepanjang 200 km untuk kawasan terisolir seperti Lintas Barat Sumatera, Lintas Timur Sulawesi, Lintas Flores, Lintas Seram, Lintas Halmahera, dan ruas-ruas strategis di Papua, wilayah KAPET, serta akses ke kawasan pedesaan, kawasan terisolir termasuk pulau kecil, dan pesisir sepanjang seperti seperti Simelue, Nias, Alor, Wetar, dll  Peningkatan/pembangunan jaringan jalan propinsi sepanjang 2.390 km dan jalan kabupaten sepanjang 81.742 km Bagian IV.33 – 16 Draft 12 Desember 2004  Pengembangan/Pembangunan 1.593 km jalan tol untuk pendukung jalan arteri mencakup kegiatan-kegiatan: - Pembangunan jalan tol di wilayah Jabodetabek sepanjang 257,5 Km, antara lain penyelesaian Jakarta Outer Ring Road (JORR) Section W1, W2, E1, E2, dan E3; akses ke Pelabuhan Tanjung Priok; pembangunan tahap awal Jakarta Outer Outer Ring Road (JOOR); Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu; Bogor Ring Road, dll. - Penyelesaian pembangunan jembatan antar pulau Surabaya-Madura yang mencapai panjang 5,4 km dan ruas tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang sepanjang 40 km. - Pembangunan hi-grade road/Toll Trans Java dan beberapa ruas di Sumatera dan Sulawesi yang mencapai 1.290 km. - Penyusunan peraturan perundangan, pembinaan pengelolaan, perencanaan, serta pengawasan teknis jalan dan jembatan; - Pelaksanaan kajian dan persiapan pembangunan hi-grade road/Toll Trans Java dan Sumatera. 2.2. TRANSPORTASI DARAT 2.2.1 LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN Transportasi jalan merupakan moda transportasi utama yang berperan penting dalam pendukung pembangunan nasional serta mempunyai kontribusi terbesar dalam pangsa angkutan dibandingkan moda lain. Oleh karena itu, visi transportasi jalan adalah sebagai penunjang, penggerak dan pendorong pembangunan nasional serta berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Misi transportasi jalan adalah untuk mewujudkan sistem transportasi jalan yang andal, berkemampuan tinggi dalam pembangunan serta meningkatkan mobilitas manusia dan barang, guna mendukung pengembangan wilayah untuk mewujudkan wawasan nusantara. Dalam melaksanakan visi dan misi tersebut, maka sasaran pembangunan transportasi jalan terutama adalah untuk menciptakan penyelenggaraan transportasi yang efisien dan efektif. Efektivitas pelayanan jasa transportasi jalan dapat diukur melalui: (1) tersedianya kapasitas dan prasarana transportasi jalan yang sesuai dengan perkembangan permintaan/kebutuhan; (2) tercapainya keterpaduan antar dan intramoda transportasi jalan dalam jaringan prasarana dan pelayanan; (3) tercapainya ketertiban yaitu penyelenggaran sistem transportasi yang sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat; (4) tercapainya ketepatan dan keteraturan yaitu sesuai dengan jadwal dan adanya kepastian pelayanan; (5) aman atau terhindar dari ganguan alam maupun manusia; (6) tercapainya tingkat kecepatan pelayanan yang diinginkan atau waktu perjalanan yang singkat tetapi dengan tingkat keselamatan tinggi; (7) tercapainya tingkat keselamatan atau terhindar dari berbagai kecelakaan; (8) terwujudnya kenyamanan atau ketenangan dan kenikmatan pengguna jasa; dan (9) tercapainya penyediaan jasa sesuai dengan kemampuan daya beli penguna jasa dan tarif/biaya yang wajar. Sedangkan efisiensi pelayanan biasanya diukur melalui perbandingan penggunaan beban publik rendah dengan utilitas yang cukup tinggi di dalam penyelenggaran kesatuan jaringan transportasi jalan. Bagian IV.33 – 17 Draft 12 Desember 2004 1) PERMASALAHAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Ketidakcukupan kapasitas jalan, terutama dilihat dari perkembangan kapasitas prasarana jalan, dibandingkan dengan perkembangan armada di jalan; selain itu kondisi prasarana jalan yang rata-rata semakin menurun pelayanannya (optimasi kapasitas jalan yang masih rendah, terutama masih banyaknya daerah rawan kemacetan akibat penggunaan badan dan daerah milik jalan untuk kegiatan sosial ekonomi, pasar, parkir, dsb, serta sistem manajemen lalu lintas yang belum optimal). b. Rendahnya kondisi prasarana akibat kerusakan di jalan, serta banyaknya pungutan dan retribusi di jalan, yang membuat biaya angkut di jalan belum efisien; Tabel 3: Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor 1998-2002 Jenis Kendaraan Mobil Penumpang Mobil Beban Mobil Bus Sepeda Motor TOTAL 1998 2.772.531 1.592.572 627.696 12.651.813 17.644.612 Gambar 6. Perkembangan Jumlah Armada Lalu Lintas Angkutan Jalan Tahun 1998-2002 20,0 1999 2.897.803 1.628.561 644.667 13.053.148 18.224.179 2000 3.038.913 1.707.134 666.280 13.563.017 18.975.344 2001 3.261.807 1.759.747 687.570 15.492.148 21.201.272 2002 3.862.579 2.015.347 731.990 18.061.414 24.671.330 Gambar 7. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 1971-2002 60.000 Juta Unit 18,0 16,0 50.000 14,0 40.000 12,0 30.000 10,0 8,0 20.000 6,0 10.000 4,0 2,0 Mobil Penumpang Bis Truk Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah. Kejadian Sepeda Motor Meninggal Luka Berat Luka Ringan Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah. c. Tingginya jumlah kecelakaan: disiplin pengguna jalan, rendahnya tingkat kelaikan armada; rambu dan fasilitas keselamatan di jalan; law-enforcement dan pendidikan ber-lalu lintas. d. Persaingan antarmoda meningkat, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi dalam sistem transportasi jalan; e. Banyaknya kasus pelanggaran muatan di jalan mengakibatkan kerugian ekonomi:  Pengawasan melalui jembatan timbang tidak optimal karena keterbatasan fisik/peralatan, SDM dan sistem manajemen;  Dalam era otonomi daerah terdapat pergeseran fungsi jembatan timbang yang cenderung untuk menambah PAD bukan sebagai alat pengawasan muatan lebih;  Terdapat 5.000 km jalan (di pulau Jawa dan Sumatera) yang rata-rata berkurang 50 persen umur rencananya; Bagian IV.33 – 18 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 1988 1987 1986 1985 1984 1983 1982 1981 1980 1979 1978 1977 1976 2002 1975 2001 1974 2000 1973 1999 1972 1998 1971 - - Draft 12 Desember 2004   Berdasarkan pengamatan survai terakhir di Sumatera bagian utara, sepanjang 1.360 km terdapat 30–40 persen kendaraan yang melanggar muatan lebih melampaui 100 persen, yang pada umumnya dari perusahaan kayu/kayu lapis, pulp, semen, kelapa sawit dan batu bara. Jumlah pelanggaran lalu lintas di jalan meningkat. Pelanggaran lalu lintas dibedakan menjadi pelanggaran batas muatan, perlengkapan kendaraan, kelengkapan surat, dan pelanggaran rambu jalan. Masalah disiplin berlalu lintas merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tabel 4. Jumlah Pelanggaran Lalu Lintas Tahun 1998-2002 1998 Jenis Pelangaran Jumlah 1999 Jumlah 2000 Jumlah 2001 % Jumlah 2002 % Jumlah % persen persen Kelebihan Muatan 107.005 8,9 87.535 10,2 103.854 7,1 124.966 7,0 150.693 6,9 Batas Kecepatan 52.457 4,4 40.009 4,7 18.672 1,3 30.426 1,7 35.590 1,6 Marka/Rambu 311.962 25,9 24.882 2,9 404.601 27,7 395.984 22,2 458.881 20,9 Surat-surat 350.196 29,1 376.143 44,0 455.905 31,2 724.412 40,7 889.268 40,5 Perlengkapan 241.321 20,1 190.906 22,3 270.654 18,5 377.710 21,2 417.158 19,0 Lain-lain 140.016 11,6 135.272 15,8 207.923 14,2 127.577 7,2 246.357 11,2 TOTAL 1.202.957 100,0 854.747 100,0 1.461.609 100,0 1.781.075 100,0 2.197.947 100,0 Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah. Kenaikan 1998-2002 29,0 -47,4 32,0 60,6 42,2 43,2 45,3 f. Pelayanan angkutan umum yang masih terbatas dan rendah kualitasnya, walaupun terjadi peningkatan ijin trayek angkutan umum (ijin trayek angkutan bus antarkota antarpropinsi); namun tingkat kelaikan armada umumnya masih rendah. g. Dalam transportasi jalan, sebagian besar pelayanan angkutan umum sudah menjadi domain swasta. Peran BUMN hanya untuk penugasan pelayanan yang kurang komersial lintas/trayeknya (angkutan perintis dan perbatasan untuk Perum Damri). Peran Perum PPD dalam sistem transportasi umum di Jakarta semakin kecil, karena semenjak desentralisasi, transportasi perkotaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. h. Masalah dampak lingkungan (polusi udara dan kemacetan; keterjangkauan dan pemerataan pelayanan; mobilitas transportasi jalan: keterpaduan pelayanan antar moda, penetapan kelas jalan dan pengaturan sistem terminal; lemahnya manajemen lalu lintas; rendahnya ketertiban pengguna jalan, banyaknya kegiatan parkir dan masyarakat yang menggunakan badan jalan; kerusakan jalan). 2) SASARAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN Meningkatnya keselamatan transportasi jalan. a. Meningkatnya keterpaduan antar moda dan efisiensi dalam mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa. b. Menurunnya jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih di jalan. c. Menurunnya tingkat kecelakaan dan fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan. d. Meningktanya ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi jalan, terutama angkutan umum di perkotaan, perdesaan dan antar kota. e. Menurunnya kerugian ekonomi akibat pelanggaran muatan lebih di jalan. f. Meningkatnya kelancaran dan keterjangkauan pelayanan transportasi umum bagi masyarakat luas. g. Mendukung perwujudan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal), dan terciptanya pola distribusi nasional. Bagian IV.33 – 19 Draft 12 Desember 2004 h. Meningkatnya dukungan pelayanan transportasi jalan terhadap pengembangan wilayah. i. Meningkatnya efektivitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan. j. Melanjutkan desentralisasi dan otonomi daerah serta meningkatkan kerjasama pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan transportasi jalan, terutama untuk angkutan perkotaan, perdesaaan dan antar kota dalam propinsi. k. Meningkatnya peran serta swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transportasi jalan (angkutan perkotaan, perdesaan, dan antarkota). l. Meningkatnya kesadaran dan penanganan dampak polusi udara. m. Memperjelas peran regulator, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta BUMN dan BUMD dalam pelayanan transportasi publik. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif dan terpadu dari berbagai aspek (pencegahan, pembinaan dan penegakan hukum, penanganan dampak kecelakaan dan daerah rawan kecelakaan; sistem informasi kecelakaan lalu lintas dan kelaikan sarana serta ijin pengemudi di jalan); b. Meningkatkan manajemen dan rekayasa lalu lintas serta pembinaan teknis tentang pelayanan operasional transportasi; c. Menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran angkutan serta kesediaan aksesibilitas angkutan pada daerah terpencil; d. Penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi terkait; e. Penataan sistem transportasi jalan sejalan dengan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal); diantaranya melalui penyusunan RUJTJ (Rancangan Umum Jaringan Transportasi Jalan) meliputi penataan simpul, ruang kegiatan, ruang lalu lintas serta penataan pola distribusi nasional sesuai dengan rencana kelas jalan; f. Melanjutkan revisi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas angkutan jalan dan peraturan pelaksanaannya; g. Mengantisipasi, merencanakan serta melaksanakan secara bertahap regulasi dan standardisasi global di bidang lalu lintas angkutan jalan; h. Menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan transparan dalam penyelenggaraan transportasi, serta pembinaan terhadap operator dan pengusaha di bidang lalu lintas angkutan jalan; i. Meningkatkan peran serta, investasi swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transportasi jalan; j. Peningkatan pembinaan teknis transportasi di daerah; k. Sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dibuat sistem standar pelayanan minimal dan standar teknis di bidang LLAJ serta skema untuk peningkatan pelaksanaan pengendalian dan pengawasan LLAJ di daerah; l. Mendukung pengembangan transportasi yang berkelanjutan; m. Meningkatkan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu: penataan sistem jaringan dan terminal, manajemen lalu lintas, fasilitas dan rambu jalan, penegakan hukum dan disiplin di jalan; n. Mendorong efisiensi transportasi barang dan penumpang di jalan melalui deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan ijin trayek; kerjasama antar lembaga pemerintah (pusat dan daerah); Bagian IV.33 – 20 Draft 12 Desember 2004 o. Meningkatkan profesionalisme SDM petugas, disiplin operator dan pengguna di jalan; p. Penerapan teknologi angkutan jalan yang ramah lingkungan/berkesinambungan; q. Restrukturisasi BUMN (Perum Damri dan Perum PPD) dan BUMD dalam pelayanan umum transportasi jalan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum transportasi. 4) PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Program penataan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal)  Mewujudkan sistem jaringan transportasi jalan yang tertata baik; penataan jaringan lintas (angkutan barang) dan jaringan trayek (angkutan penumpang); pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.  Rehabilitasi dan pembangunan terminal di Jawa Barat, Kalbar, NTT, dan Papua. b. Program peningkatan keselamatan transportasi jalan  Mewujudkan pemenuhan pelayanan jasa dan keselamatan; global road safety partnership (GRSP) Indonesia; sosialisasi keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; sosialisasi penggunaan sabuk keselamatan pada kendaraan bermotor;  Penambahan fasilitas pengujian kendaraan bermotor di Lampung Tengah, Batang, Sumsel, NTT, NTB, Bengkulu, Sultra, Sulteng, Sulut, Sultra, dan Kalsel.  Meningkatkan kinerja dan keahlian personil LLAJ; penyusunan petunjuk teknis PPNS. c. Program pembangunan transportasi berkelanjutan  Harmonisasi-regulasi dan standarisasi bidang LLAJ terkait dengan globalisasi dan lingkungan hidup, penyesuaian teknologi atau antisipasinya (alternatif energi). d. Program peningkatan pelayanan dan kelancaran angkutan umum dan barang  Kebijakan tarif angkutan umum dan sistem kompetisi terhadap penawaran pelayanan yang paling efisien;  Antisipasi terhadap penyerahan tarif kepada mekanisme pasar;  Koordinasi dan peningkatan angkutan lintas batas negara (penumpang dan barang);  Penetapan standarisasi perlengkapan jalan; standar regulasi dan sertifikasi kendaraan bermotor;  Penyusunan perencanan teknis bidang LLAJ terkait dengan jaringan transportasi jalan, sarana angkutan jalan, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, lalu lintas jalan serta angkutan jalan;  Pembinaan terhadap pengusaha dan pengemudi angkutan; kerjasama dengan pihak swasta dalam mendukung penyelenggaraan LLAJ; peningkatan bengkel umum kendaraan bermotor yang ditunjuk sebagai unit pengujian berkala kendaraan bermotor; akreditasi unit-unit pelaksana pengujian di seluruh pengujian kendaraan bermotor. Bagian IV.33 – 21 Draft 12 Desember 2004 e. Program pembinaan peran pemerintah daerah, BUMN/D dan partisipasi swasta:  Peran Perum PPD perlu direstrukturisasi, dan mulai digantikan oleh BUMD atau swasta;  Peran Perum Damri, harus dapat bersaing dengan swasta, dalam penugasan sistem pelayanan perintis yang dapat dikompetisikan (competition for the market).  Perlu dilakukan desentralisasi BUMN (Perum DAMRI), berdasarkan wilayah operasi/regional (kepulauan), outsourcing kepada swasta dapat dilakukan untuk sistem pemeliharaan dan sistem manajemen (kerjasama operasi dan kerjasama manajemen);  Peningkatan peran pemerintah daerah dan sistem kerjasama swasta dan koperasi dalam pelayanan angkutan perintis (pengadaan sarana dan operasi) dan angkutan perkotaan dan perdesaaan. f. Program penanggulanan muatan lebih (over loading)  Penanggulanan muatan lebih secara komprehensif;  Pembangunan dan pengoperasian jembatan timbang di Jambi, Lampung, Jabar dan Kalimantan. 5) INDIKASI RENCANA KEBUTUHAN INVESTASI a. Pemerintah: membiayai dan membangun fasilitas keselamatan jalan. b. Swasta: investasi sarana, biaya operasi dan pemeliharaan angkutan umum dan barang, investasi dan operator terminal, operator uji kelaikan kendaraan dan jembatan timbang (kerjasama dengan pemerintah; c. Indikasi kebutuhan investasi di bidang Lalu lintas Angkutan Jalan (2005-2009):  Rencana Investasi Pemerintah dalam APBN (Tabel)  Rencana Investasi BUMN (Perum DAMRI dan Perum PPD): menyusul 2.2.2 PERKERETAAPIAN Perkeretaapian diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, berdasarkan kepada keseimbangan kepentingan umum, keterpaduan dan percaya diri sendiri, dan bahwa perkeretaapian ditujukan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong dan penggerak pembangunan nasional. Kenyataan yang terjadi, perkeretaapian masih berkembang terbatas di Jawa dan sebagian Sumatera, serta kontribusi berdasarkan pangsa angkutan yang dihasilkan secara nasional masih sangat rendah dibandingkan moda angkutan lain, baik di Jawa, Sumatera dan di wilayah perkotaan seperti di Jabotabek. Secara umum kendala perkeretaapian sebagai suatu industri jasa angkutan yang mandiri sulit dapat berkembang secara komersial ataupun menguntungkan. Perkeretaapian harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya, seperti keterpaduan jaringan pelayanan transportasi antar moda dengan “feeder service”-nya, agar pelayanan secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis properti dan fasilitas stasiun yang aman, nyaman dan mudah terjangkau, sistem pelayanan terpadu antar moda, kondisi struktur kelembagaan dan regulasi pemerintah yang efisien dan kondusif, dukungan industri teknologi perkeretaapian yang murah dan tepat guna, kualitas SDM, serta manajemen yang profesional dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada Bagian IV.33 – 22 Draft 12 Desember 2004 umumnya masih memiliki fungsi untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari pemerintah (public service obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh Pemerintah. Keterpaduan pelayanan antar moda secara door to door di bidang perkeretaapian masih sangat terbatas. Sampai saat ini belum ada program yang jelas dari pelaku usaha perkeretaapian untuk memfaatkan peluang bisnis angkutan barang terutama angkutan peti kemas. Saat ini selain pada lintas angkutan batu bara di Sumatera Selatan yang telah melaksanakan sistem pelayanan antar moda, hanya Bandung dan Solo yang sudah memiliki fasilitas dry port yang dilengkapi dengan track siding, itu pun masih dalam skala kecil dan terbatas. Di tempat lain seperti jalur utama lintas Jawa tidak memiliki fasilitas terminal barang, apalagi jaringan rel yang menuju pusat-pusat industri dan menuju ke pelabuhan sampai sekarang belum dikembangkan atau tidak dimanfaatkan secara baik. Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan keretaapi nasional, baik dalam aspek pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan keterbatasan pendanaan, SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik prasarana dan sarana keretaapi saat ini masih banyak mengalami “backlog” pemeliharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik oleh perencanaan, pengoperasian dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang maka diperlukan redefinisi tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai regulator, peran owner, dan operator di bidang perkeretaapian. Perkeretaapian nasional mengalami kejenuhan di setiap aspek, seperti manajemen, struktur kelembagaan, kapasitas lintas, kondisi sarana (lokomotif dan gerbong), kondisi rel yang sudah tua dan aus, kekurangan investasi dan dana pemeliharaan, citra pelayanan kepada konsumen dan masyarakat, kekakuan investasi karena sifat “natural monopoly”, masalah regulasi kelembagaan dan struktur pasarnya. Pangsa angkutan penumpang kereta api nasional saat ini baru mencapai 7,3 persen dari seluruh pangsa angkutan penumpang di Indonesia (tahun 2000, produksi angkutan kereta api adalah 187,4 juta penumpang, dimana 118 juta diantaranya adalah angkutan penumpang di wilayah Jabodetabek); dan pangsa angkutan barang adalah 22,7 juta ton atau hanya 0.6 persen total pangsa angkutan barang di Indonesia.1. Walaupun selama 10 tahun terakhir terus menerus terjadi pertumbuhan permintaan angkutan kereta api (ratarata 6 persen penumpang dan 5,8 persen barang), namun di sisi lain kapasitas dan daya dukung serta kondisi prasarana dan sarana semakin menurun akibat terjadi “backlog” dalam hal pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api. Sarana angkutan perkeretaapian cenderung semakin menurun karena sebagian besar telah melampaui umur teknis serta kondisi perawatannya yang tidak terpenuhi, sehingga banyak sarana yang tidak siap operasi. Kondisi perawatan sarana sangat terbtas,disebabkan oleh keterbatasan pendanaan, sistem perawatan yang kurang efisien, dukungan struktur organisasi/kelembagaan sebagai unit perawatan kurang independen dan profesional serta peralatan dan teknologi serta SDM yang masih terbatas, sistem pengoperasian dan pemeliharaan yang kurang terpadu, penggunaan berbagai teknologi yang kurang didukung sistem pendidikan, pelatihan, dan industri perkeretaapian maupun supply materialnya. 1 Data OD Survey 1998.. Transport Sector Strategy Study. Bappenas. ADB. Jakarta. 2000. Bagian IV.33 – 23 Draft 12 Desember 2004 Terjadinya penurunan jumlah penumpang (-1 persen) dan barang (-5,6 persen) sejak tahun 2000 akibat kondisi parasarana dan sarana, ketertinggalan teknologi, serta dukungan kualitas pelayanan dan SDM. Perbandingan kapasitas lintas dilihat dari batas kecepatan maksimum di Jawa pada tahun 2002 dibanding tahun 1995 terlihat semakin menurun, akibat kondisi prasarana dan sarana yang menurun kapasitasnya dan kepadatan lintas (Gambar 8). Gambar 8: Penurunan Kondisi Kapasitas Lintas di Jawa Tahun 2002 (17 Aspek Pembatasan Kecepatan) •Jak-Jng •70 •55 •Jng-Bks •100 •75 •Bks-Ckp •Pwk-Ckp •Ckp-Cra •Cn-Bka •Bka-Tg •Kns-Sm •Bbt-Sbi •110 •80 •90 •65 •110 •80 •105 •80 •105 •80 •100 •75 •100 •75 •Cra-Jtb •Cn-Ppk •Tg-Pk •Sm-Gbn •Slo-Crm •100 •80 •90 •70 •95 •70 •95 •70 •95 •70 •JAKARTA •MERAK •CIKAMPEK •LABUAN •DEPOK •BOGOR •Purwakarta •CIREBON • •Cicalengka •Sukabumi •Mri-Dp •Prupuk •BANDUNG •Ciawi •90 •70 •Maos •Dp-Boo •80 •60 •SEMARANG •TEGAL •Pekalongan •PW.KERTO •KROYA •Bd-Ccl •70 •50 •Ccl-Caw •50 •30 •Babat •SOLO •105 •80 LINTAS •LINTAS •Vh 95 •V 2002 V 1995 V 2002 •Kediri •Blitar •Yk-Dl •SURABAYA •Curahmalang •Kertoson •Delanggu •Ky-Yk •100 •70 •90 •65 •o •MADIUN •YOGYAKARTA •Wo-Bg •80 •60 •B•ojonegor •Gundih •Boo-Pdl •60 •50 •Cepu •Crm-Wo •Bangil •MALANG •Bg-Jr •Jr-Klt •75 •50 •60 •50 •Panarukan •Kalisat •JEMBER •Klt-Pnr •50 •30 •BANYUWANGI •Dl-Slo •105 •80 •Ml-Bl •Bg-Ml •75 •60 •90 •60 •Kts-Krs •50 •30 Sumber: PT. KAI 1) PERMASALAHAN BIDANG PERKERETAAPIAN a. Kondisi prasarana (rel, jembatan KA dan system sinyal dan telekomunikasi kereta api) serta sarana KA yang telah melampui batas umur teknis, serta masalah backlog perawatannya. Terbatasnya sumber pendanaan pemerintah untuk pemeliharaan dan investasi prasarana sedangkan peran serta swasta belum berkembang; banyak terjadi backlog pemeliharaan prasarana di satu sisi dan timbulnya bottleneck akibat kepadatan dan kejenuhan lintas; b. Masih banyaknya perlintasan sebidang (di Jawa: rata-rata terdapat 1 perlintasan setiap 0,49 km jalan rel dan di Sumatera setiap 1,6 km) yang dapat mengancam keselamatan operasi dan membatasi kapasitas lintas dalam frekuensi dan kecepatan; c. Sistem persinyalan masih tidak optimal, terutama masih terdapat bebagai macam teknologi dan tipe sistem persinyalan kereta api yang diinvestasikan, sehingga kurang efisien dalam sistem pemeliharaan, pengadaan sparepart serta sistem operasi serta pendidikan dan pelatihan SDM-nya; d. Tingginya tingkat kecelakaan KA; Bagian IV.33 – 24 Draft 12 Desember 2004 Tabel 5. Data Kecelakaan KA/Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH) 1995-2003 No Uraian KLASIFIKASI 1. Tabrakan KA vs KA 2. Tabrakan KA vs Ranmor 3. Anjlogan/Terguling 4. Banjir/Longsor 5. Lain-lain Tahun Rata-rata Jumlah 1990-2001 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*) 3 115 72 7 24 221 KORBAN 1. MeninggalDunia 70 2. Luka Berat 103 3. Luka Ringan 119 TOTAL 292 *) Data s.d Triwulan I Sumber: PT. KAI, 2002 (data diolah) 7 88 65 15 21 196 9 112 82 16 16 235 8 35 66 12 5 126 6 54 89 9 38 196 13 27 68 10 17 135 10 42 40 10 32 134 10 PM PM PM PM 10 11 18 7 21 57 120 820 1.003 160 316 2.419 8,57 63,08 77,15 12,31 24,31 196,00 105 151 171 427 100 131 60 291 35 46 47 128 74 84 93 251 96 104 108 308 145 PM 219 PM 45 PM 409 - PM PM PM - 997 1.995 643 3.635 83,08 166,25 91,86 302,92 e. Rendahnya kinerja pelayanan KA (produktivitas angkutan, ketepatan jadwal, kenyamanan); f. Sebagian lintas perkeretaapian sudah mulai jenuh kapasitasnya, sehingga berdampak terhadap kerawanan operasi kereta api; g. Pengembangan lintas jaringan pelayanan yang terbatas, akibat sumber daya yang terbatas dan bahkan sebagian lintas kereta api sudah tidak dioperasikan; h. Masalah keamanan dan ketertiban (sterilisasi) gangguan di stasiun dan jalur sepanjang jalan KA yang rawan terhadap penumpang gelap (free rider), bangunan liar, pencurian fasilitas pendukung prasarana dan sarana, daerah rawan banjir dan longsor; i. Masalah akuntabilitas dan efektivitas kelembagaan perkeretaapian (kejelasan peran regulator, owner dan operator); j. Skema pendanaan dan investasi yang belum konsisten diterapkan dan terencana dengan baik; k. Perencanaan (blueprint dan rencana investasi) pengembangan jaringan antar moda serta restrukturisasi perkeretaapian yang kurang terpadu dan kurang didukung sistem data dan informasi serta kemampuan SDM; l. Rendahnya disiplin dan tindak penertiban dalam pengamanan daerah milik jalan dan pengguna angkutan yang dapat membahayakan keselamatan angkutan; m. SDM dan kelembagaan perkeretaapian yang masih terbatas dan tidak efisien; n. Teknologi perkeretaapian dan industri penunjang yang belum berkembang; o. Peran BUMN Perkeretaapian dan Partisipasi Swasta saat in masih terbatas, karena:  Masih terjadi monopoli BUMN penyelenggara perkeretaapian  Belum ada kejelasan dan pemisahan peran BUMN sebagai operator prasarana dan sarana  Belum ada pemisahan BUMN angkutan antar kota dan perkotaan  Belum berkembang sistem kerjasama swasta – BUMN dan Pemerintah  Risk management dalam investasi swasta dan BUMN di bidang perkeretaapian perlu direncanakan secara menyeluruh dan detail, untuk mempercepat dan meningkatkan iklim investasi di bidang perkeretaapian. Bagian IV.33 – 25 Draft 12 Desember 2004 2) SASARAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN Sasaran utama pembangunan perkeretaapian adalah untuk meningkatkan kinerja pelayanan terutama keselamatan angkutan, melalui penurunan tingkat kecelakaan dan fatalitas akibat kecelakaan di perlintasan sebidang dengan jalan dan penanganan pada lintas utama yang padat. Sararan pembangunan sarana dan prasarana KA dalam 5 tahun dibagi dalam 3 tahapan, yaitu: upaya bertahan sesuai dengan standar pelayanan minimal; dilanjutkan tahapan kedua dengan upaya optimalisasi sumber daya dan tahap ketiga adalah tahap pengembangan. a. Sasaran dalam upaya bertahan adalah pencapaian operasi yang aman pada umumnya untuk jangka pendek langsung pada kondisi yang sangat jelek, melalui kegiatan-kegiatan: (1) mengadakan audit kinerja prasarana dan sarana KA; dan mengatasi kondisi kritis; (2) kanibalisme & daur ulang suku cadang; (3) penurunan kecepatan/mengurangi frekuensi; (4) menutup jalur yang merugi; (5) penajaman skala prioritas; (6) keandalan 60 persen. b. Pada tahap optimalisasi, sasarannya adalah pemulihan kondisi jaringan existing ke kondisi awal, pencapaian operasi aman dan nyaman untuk jangka panjang; peningkatan kecepatan dan menambah kapasitas, melalui kegiatan-kegiatan: (1) peningkatan efisiensi dan efektifitas; (2) keandalan 75 persen; dan (3) peningkatan kecepatan dan kapasitas jalur yang ada. c. Sasaran dalam tahap pengembangan adalah pengembangan jaringan baru dan peningkatan kapasitas, melalui kegiatan: (1) pengembangan jaringan baru dan armada; (2) peningkatan kecepatan/kapasitas; (3) keandalan dan kelaikan 100 persen. Sasaran dalam bidang regulasi dan kelembagaan adalah meningkatnya peran Pemda, BUMN dan swasta dalam bidang perkeretaapian. Sedangkan sasaran dalam bidang SDM dan teknologi perkeretaapian adalah meningkatnya sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi dan standardisasi perkeretapian nasional secara terpadu agar kesinambungan investasi, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana perkeretaapian nasional dapat tercapai secara efisien. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN a. Meningkatan keselamatan angkutan dan kualitas pelayanan serta pemulihan kondisi pelayanan angkutan perkeretaapian; b. Melaksanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian. c. Meningkatkan strategi pelayanan angkutan yang lebih berdaya saing secara antar moda dan inter moda; d. Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pada koridor yang telah jenuh; e. Melaksanakan perencanaan, pendanaan dan evaluasi kinerja perkeretaapian secara terpadu, dan berkelanjutan; f. Melanjutkan reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dan BUMN perkeretaapian; g. Meningkatkan peran serta Pemerintah daerah dan swasta di bidang perkeretaapian; h. Meningkatkan peran angkutan perkeretaapian nasional dan lokal Bagian IV.33 – 26 Draft 12 Desember 2004 4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PRASARANA DAN SARANA KA  Ikhtiar Bertahan: - Melalui penyelesaian masalah backlog pemeliharaan:  Jalan: lintas Semarang-Surabaya, Solo-Surabaya, Malang-Blitar-Kertosono, Surabaya-Banyuwangi, Bandung-Banjar, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati.  Jembatan: Purwakarta-Padalarang, Prupuk-Kroya, Malang-Blitar, SurabayaBanyuwangi, Lahat-Lubuk Linggau; Prabumulih-Kertapati.  Sistem sinyal dan telkom di lintas: Semarang-Surabaya, SurabayaBanyuwangi, Malang-Blitar-Kertosono, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati. - Rehabilitasi sarana KA sebanyak 80 unit kereta K3, 5 unit KRL dan 34 unit KRD. - Rehabilitasi sistem sinyal dan telekomunikasi; - Perbaikan dan penanganan perlintasan sebidang perkeretaapian di 95 lokasi; - Melasanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian; - Menyelesaikan blueprint perkeretapian nasional dan pentahapannya, sejalan dengan pemantapan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal). - Revitalisasi prasarana dan sarana angkutan KA Jabotabek  Optimalisasi melalui: - Modernisasi dan rehabilitasi sinyal 24 paket, telekomunikasi 486 km serta perbaikan listrik aliran atas 94 paket pekerjaan; - Penggantian armada sarana KA yang telah tua meliputi pengadaan 90 unit K3, 10 set KRL dan 15 unit KRDE. - Peningkatan kapasitas jalan KA sepanjang 1.146 km yang tersebar di Sumut, Sumbar, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Lintas Selatan Jawa, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan wilayah Jabotabek; dan 34 unit jembatan pada jalur yang ada.  Pengembangan: melalui: - Pembangunan jalan KA sepanjang 645 km secara bertahap tersebar di Aceh, Sumut, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Yogyakarta, Lintas Selatan Jawa, dan Jawa Tengah. - Pembangunan 55 unit jembatan KA; - Revitalisasi dan pengembangan angkutan masal perkereaapian di wilayah Jabotabek. - Persiapan dan pengembangan angkutan kereta api barang di Sumatera secara bertahap; - Percepatan penyelesaian pembangunan jalur ganda Cikampek-Padalarang; Cirebon-Tegal, Kroya-Kutoarjo-Yogya-Solo; serta - Persiapan dan pembangunan jalur ganda Cirebon-Kroya dan Serpong-Tanah Abang Tahap I dan II. Bagian IV.33 – 27 Draft 12 Desember 2004 2. PROGRAM PENINGKATAN KELANCARAN ANGKUTAN KERETA API UNTUK BARANG/LOGISTIK NASIONAL MELALUI:  Penyelesaian SISTRANAS untuk sistem transportasi antarmoda;  Perencanaan dan pembangunan akses jalan KA ke pelabuhan (Tg. Priok, Belawan, Tg. Perak, Merak-Bakauheni, Cilacap, dan Banyuwangi) dan ke bandara (Soekarno-Hatta),  Perencanaan dan peningkatan kerjasama dan pembangunan akses fasilitas pelayanan di dry-port (Solo, Bandung, Jember, Tebing Tinggi, Kertapati) dan persiapan pembangunan dry-port baru (Bekasi, Tangerang, Tegal, Malang). 3. PROGRAM PENINGKATAN KESELAMATAN KA DAN PENANGANAN PERLINTASAN SEBIDANG SECARA KOMPREHENSIF DAN SECARA BERTAHAP. Diutamakan pada lintas yang padat dan rawan terjadi kecelakaan, termasuk tindak pengamanan dan penertiban daerah milik jalan sepanjang jalur utama perekeretaapian. 4. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN PERKERETAAPIAN, melalui:  Menyempurnakan pelaksanaan mekanisme pendanaan PSO-IMO-TAC yang lebih efektif yang didukung oleh perencanaan yang matang, kesiapan lembaga dan peraturan, kualitas pemahaman dan motivasi yang kuat dari SDM, koordinasi antar instansi  pengembangan profesionalitas manajemen, SDM, penerapan teknologi tepat guna, standardisasi teknis dan sistem informasi perkeretaapian nasional.  Melanjutkan restrukturisasi struktur korporat/bisnis kereta api, melalui “vertical dan horizontal unbundling”, diversifikasi sistem pelayanan.  Merealisasikan spin-off Kereta Api Jabotabek: Pemisahan jalur KA regional dan komuter dan restruktusasi kelembagaan dan SDM.  Merencanakan dan melaksanakan kerjasama untuk meningkatkan peran serta swasta di bidang sarana, stasiun, sistem manajemen, pelayanan, pemeliharaan prasarana dan aset-aset KA.  Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian 5. PROGRAM PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI SWASTA DI BIDANG PERKERETAAPIAN MELALUI:      Perencanaan dan penetapan arah BUMN (unbundling vertical dan horisontal) untuk menuju kebijakan multi operator sarana Pelaksanaan spin-off Kereta api Jabotabek Perencanaan dan tahapan pemisahan prasarana dan sarana sesuai dengan pemisahan sumber pendanaan PSO (Public Service Obligation); IMO (Infrastructure Maintenance and Operation); TAC (Track Access Charges). Perencanaan dan persiapan alternatif pembentukan anak perusahaan atau divisi regional berdasarkan wilayah pelayanan/divisi regional maupun jenis usaha angkutan. Mendukung Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan pelaksananya sehingga: - Sarana: peran serta swasta lebih terbuka - Prasarana: peran serta Pemda dan BUMD lebih terbuka. BUMN dan swasta sebagai penyelenggara prasarana semakin terbuka. Bagian IV.33 – 28 Draft 12 Desember 2004  Melaksanakan analisis dan perencanaan secara matang serta kebijakan terpadu berbagai pola “Risk Management” proyek-proyek strategis yang dibiayai pemerintah, BUMN dan swasta, untuk mempercepat investasi pemerintah daerah, BUMN dan swasta di bidang perkeretaapian 2.2.3 ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) di Indonesia didefinisikan sebagai jembatan “mengapung” yang berfungsi menghubungkan jaringan transportasi darat yang terputus; kegiatan angkutan feri yang mengangkut penumpang dan kargo melalui sungai dan perairan; mempunyai rute tetap dan jadwal reguler serta bangunan kapal ferry yang berbentuk khusus. Transportasi sungai, danau dan penyeberangan (SDP) merupakan bagian dari sistem transportasi darat yang mempunyai misi untuk mewujudkan transportasi yang handal, unggul dan bersaing serta mampu menjangkau pelosok wilayah daratan, menghubungkan antarpulau dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara yang efektif dan efisien, sehingga mampu berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan guna memperkokoh ketahanan nasional. Angkutan sungai, danau dan penyeberangan mengemban misi pemerintah terutama dalam upaya melayani angkutan keperintisan, untuk membuka daerah-daerah terbelakang/terisolasi, melalui penyediaan angkutan perintis. Pembangunan ASDP diperlukakan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikan aksebilitas yang lebih baik sehingga dapat mengakomodasi peningkatan kebutuhan mobilitas penduduk melalui jaringan transportasi darat yang terputus di perairan antar pulau, sepanjang daerah aliran sungai dan danau, serta berfungsi melayani transportasi yang menjangkau daerah terpencil dan daerah pedalaman. 1) PERMASALAHAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN Gambar 9. Umur Kapal Berdasarkan Pemilik Kapal Tahun 2004 >30 0 26 - 30 0 13 3 21 - 25 1 16 - 20 1 11 - 15 1 6 - 10 0-5 12 7 13 8 29 9 15 10 14 1 0 36 5 12 PT.ASDP (Persero) KSO ASDP SWASTA Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah. Pengembangan ASDP selama ini belum optimal karena masih kurangnya keterpaduan pembangunan antarsektor dengan rencana pengembangan wilayah serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam sistem pengembangan prasarana dan sarana ASDP dalam era otonomi. Belum optimalnya pelayanan ASDP ditandai Bagian IV.33 – 29 Draft 12 Desember 2004 dengan keterjangkauan pelayanan angkutan yang masih terbatas dalam melayani kebutuhan angkutan antarpulau dan wilayah terpencil serta kondisi sarana perintis ASDP yang telah berumur tua. Keterbatasan jumlah prasarana dan sarana penyeberangan dibanding kondisi geografis dan jumlah pulau di Indonesia (sekitar 17.000 pulau), namun penetapan lintas penyeberangan sebanyak 172 lintas, tetapi yang beroperasi baru 130 lintas dan sarana yang tersedia hanya 205 unit kapal penyeberangan (46 persen BUMN, 2 persen KSO, dan 52 persen swasta). Sedangkan peran serta swasta dan Pemda belum berkembang dalam dalam penyelenggaraan ASDP, baik pembangunan, operasi dan pemeliharaan, pendanaan serta subsidi perintis untuk lintas dalam propinsi dan dalam kabupaten. Di lain pihak, pemanfaatan sungai, kanal dan danau untuk kebutuhan transportasi rakyat/lokal/kota masih rendah serta kurangnya pemanfaatan potensi untuk mendukung transportasi pariwisata dan pengembangan wilayah. Kelembagaan, peraturan serta SDM dan pendanaan dalam sistem pelestarian dan pemeliharaan alur transportasi sungai dan kanal yang perlu dikoordinasikan dengan penanganan masalah lingkungan, pengembangan pariwisata, budaya masyarakat dan tata ruang wilayah. Peran pemerintah daerah dan swasta dalam pengembangan angkutan penyeberangan masih terbatas. Peran BUMN (PT ASDP) masih terbatas dalam penyelenggaraan (operator) prasarana dan sarana ASDP, terutama dalam pengoperasian kapal perintis dan penggusahaan beberapa lintas/dermaga penyeberangan. Pemerintah pusat masih dominan dalam pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana ASDP. Oleh sebab itu, diperlukan deregulasi dan restrukturisasi agar peran pemerintah daerah lebih optimal, serta peningkatan peran BUMN dan swasta lebih didorong. Dalam penyelenggaraan transportasi sungai dan danau, peran swasta dan masyarakat lebih berkembang, sebagai owner dan operator prasarana dan sarana angkutan masyarakat. Peran BUMN hanya terbatas pada beberapa lintas penyeberangan sungai dan danau di Kalimantan dan Sumatera. Peran pemerintah sebagai regulator, pemerintah daerah sebagai penyedia prasarana dan sarana sungai untuk keperluan publik. Dalam penyelenggaraan angkutan penyeberangan, peran BUMN (PT ASDP) masih dominan sebagai operator penyelenggaraan prasarana penyeberangan sekaligus juga sebagai operator sarana. Operator prasarana lain adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT/Pemda), dan operator sarana lain adalah swasta atau KSO swasta dan PT ASDP. Penyediaan prasarana dan sarana ASDP untuk BUMN umumnya masih dibiayai dari APBN (pemerintah pusat); peran Pemda masih terbatas dalam penyediaan sarana dan prasarana ASDP. Tabel 8. Jumlah Kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2004 Jumlah No. Pemilik/Operator Prosentase (unit) 1 PT. ASDP Persero 85 44,7 2 Kerjasama operasi PT. ASDP dengan Swasta 4 2,1 3 Swasta 101 53,2 Jumlah 190 100,0 Bagian IV.33 – 30 Draft 12 Desember 2004 Gambar 10. Jumlah Kapal Komersial Berdasarkan Umur > 30 18 26 - 30 17 11,04% 10,43% 22 16 - 20 40 11 - 15 22 6 - 10 24,54% 11 0 5 15 4,76% 26 - 30 2 4,76% 7 16 - 20 2 25 30 35 40 Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah) 4,76% 4 9,52% 19 0-5 20 16,67% 6 - 10 20,25% 6,75% 10 2 11 - 15 13,50% 33 0-5 > 30 21 - 25 13,50% Tahun Tahun 21 - 25 Gambar 11. Jumlah Kapal Perintis Berdasarkan Umur 45 6 0 45,24% 14,29% 5 10 15 20 25 Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah) 2) SASARAN a. Meningkatkan jumlah lintas penyeberangan baru yang beroperasi dan terhubungkannya wilayah terisolir; b. Meningkatnya kalaikan dan jumlah sarana ASDP; c. Meningkatkan jumlah penumpang, kendaraan dan penumpang yang diangkut; d. Meningkatkan kelancaran lintas penyeberangan yang padat; e. Meningkatnya kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan; f. Meningkatnya keselamatan ASDP; g. Meningkatnya peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam pembangunan dan pengelolaan ADSP; h. Meningkatnya kinerja BUMN di bidang ASDP. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ASDP a. Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana serta pengelolaan angkutan ASDP; b. Meningkatkan kapasitas pelayanan di lintas yang telah jenuh serta memperluas jaringan pelayanan ASDP; c. Mengembangkan angkutan sungai terutama di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua yang telah memiliki sungai cukup besar; d. Mengembangkan angkutan danau untuk menunjang program wisata; e. Meningkatkan pelayanan sebagai penghubung jalur jalan yang terputus perairan terutama Sabuk Selatan (Sumatera-Jawa-Bali-NTB-NTT); f. Memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antar moda dan kesinambungan transportasi darat yang terputus di dalam pulau (sungai & danau) dan antarpulau dengan pelayanan point to point; sejalan dengan system transportasi nasional dan wilayah (local) g. Mendorong penyelesaian revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 serta peraturan pelaksanaanya. h. Melaksanakan restrukturisasi BUMN dan kelembagaan dalam moda ASDP, agar tercapai efisiensi, transparansi serta meningkatkan peran swasta dalam bidang ASDP; Bagian IV.33 – 31 Draft 12 Desember 2004 i. Mendorong peran serta pemda dan swasta dalam penyelenggaraan ASDP 4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN ASDP a. REHABILITASI PRASARANA DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN  Rehabilitasi dermaga sungai di 23 lokasi yang tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.  Rehabilitasi dermaga penyeberangan di 23 lokasi, dimana 5 diantaranya milik PT. ASDP. b. PEMBANGUNAN DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN:  Pembangunan sistem transportasi sungai/kanal di pulau Kalimantan yang terpadu dengan sistem transportasi darat Trans Kalimantan, terutama pembangunan dan pemeliharaan terusan/anjir yang dapat menghubungkan sungai-sungai besar, seperti anjir Sungai Kapuas (Kalimantan Barat), Sungai Sampit, Sungai Kahayan (Kalimantan Tengah), Sungai Barito (Kalimantan Selatan) dan Sungai Mahakam (Kalimantan Timur);  Pembangunan prasarana dermaga penyeberangan terutama pada lintas lintas antar propinsi (sabuk selatan, dan perbatasan);  Pembangunan dermaga danau di Danau Toba, Ranau, Kerinci, Gajah Mungkur, Kedong Ombo dan Cacaban. c. PENGEMBANGAN AKSESIBILITAS PELAYANAN ASDP, melalui: pembangunan prasarana dan sarana ASDP untuk wilayah/lintas perintis serta subsidi operasi perintis ASDP; bekerjasama dengan Pemda serta melalui pendekatan pembangunan transportasi wilayah.  Penambahan 14 kapal perintis.  Subsidi operasi ASDP perintis. d. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN ASDP:  Penataan sistem jaringan transportasi darat antar moda secara terpadu (JTJ dengan lintas ASDP) dalam Sistranas dan Sistrawil.  Koordinasi perencanaan dan penataan sistem jaringan pelayanan terpadu antara lintas penyeberangan dengan lintas pelayanan angkutan laut, serta pemanfaatan dermaga perintis bersama yang dikelola oleh UPT (Pemda)  Koordinasi antar lembaga dalam pengembangan dan pemanfaatan angkutan sungai dan kanal terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Kegiatan sosialisasi dan pengelolaan prasarana dan sarana angkutan sungai dan danau  Perencanaan konsep pembangunan transportasi sungai terpadu dengan program penghijauan dan lingkungan hidup, program kebersihan sungai, irigasi dan SDA, program pariwisata dan pertamanan, serta akses ke/dari dermaga sungai.  pengembangan pemanfaatan teknologi kanal dan pintu air/dam/sistem pengawasan dan keselamatan alur sungai, persyaratan teknis dan pengerukan termasuk pengembangan jenis kapal, sistem terminal, peralatan “cargo handling”, dermaga, peralatan navigasi dan komunikasi angkutan sungai. Bagian IV.33 – 32 Draft 12 Desember 2004   Peningkatan SDM, pembangunan kelembagaan dan manajemen yang didukung sistem informasi di bidang perencanaan, pengembangan dan pengawasan angkutan sungai dan danau. Pengembangan peningkatan dermaga sungai yang merupakan swadaya masyarakat yang tidak memadai menjadi dermaga yang permanen seperti dermaga di sungai Kapuas, Punggur besar, S.Sambas, S.Landak, S.Kubu, S.Padang Tikar di Kalimantan Barat, S.Kuala Kapuas, S.Sampit, S.Kahayan di Kalimantan Tengah, Sungai Musi, S.Gasing, S.Musi Rawas di Sumatera Selatan dan sungai-sungai lain yang berada di Jambi, Riau dan Papua. e. PROGRAM PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI SWASTA DALAM PENGEMBANGAN ASDP:           Restrukturisasi BUMN secara bertahap, melalui unbundling vertical (prasarana dan sarana) dan unbundling horisontal (Divisi Regional menuju multi operator prasarana BUMN). BUMN terbuka untuk membangun dan mengoperasikan prasarana sendiri atau bekerjasama dengan swasta. Kerjasama BUMN dengan Pemda/BUMD dalam pengelolaan dermaga dan kapal perintis di daerah. BUMN harus berkompetisi untuk penugasan pelayanan perintis yang dikompensasi (subsidi perintis), sehingga lebih efisien. Kerjasama swasta dan BUMN, melalui “outsourcing” pengelolaan parkir dan terminal serta sistem ticketing sampai investasi sarana dan prasarana. Kerjasama BUMN ASDP dengan BUMN Pelindo untuk pengelolaan dermaga bersama di daerah terpencil/komersial. Kerjasama dengan swasta dan BUMN transportasi darat lain (kereta api; jalan tol dan angkutan umum) untuk pelayanan terpadu antarmoda. Membuka sistem kompetisi pelayanan angkutan perintis ASDP, melalui sistem kompetisi kontrak performance berdasarkan penawaran dengan biaya yang paling efisien; dengan sistem jaminan Pemerintah (sistem kontrak multi years, agar swasta dapat melakukan efisiensi pengadaan/sewa sarana sesuai dengan economic of scale ). Membuka kerjasama pendanaan investasi Pemda dan Pusat dalam penyediaan prasarana dan subsidi operasi perintis dan outsourcing investasi dan pengelolaan bagian terminal dan parking yang lebih komersial kepada swasta. Membuat format dan rencana sitem kerjasama swasta pemerintah, termasuk manajemen resiko dan alternatif pendanaan melalui konsesi pengelolaan lahan dan pengembangan wilayah, untuk meningkatkan investasi dalam penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana ASDP. 2.3 TRANSPORTASI LAUT 2.3.1 PERMASALAHAN TRANSPORTASI LAUT Kondisi dan perkembangan subsektor transportasi laut adalah terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dan belum diberlakukan sepenuhnya Azas Cabotage. Rata-rata pangsa pasar armada nasional pada angkutan dalam negeri dan ekspor-impor masing-masing hanya 51,4 persen dan 3,6 persen. Hal ini Bagian IV.33 – 33 Draft 12 Desember 2004 ditunjukkan pada Grafik pangsa pasar armada pelayaran nasional dan asing baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor 1996-2003. Gambar 12. Pangsa Pasar Angkutan Laut Dalam Negeri Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002) Gambar 13. Pangsa Pasar Angkutan Ekspor-Impor Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002) 200,000.0 450,000.0 180,000.0 400,000.0 160,000.0 350,000.0 300,000.0 120,000.0 Ton (000) Ton (000) 140,000.0 100,000.0 80,000.0 250,000.0 200,000.0 150,000.0 60,000.0 100,000.0 40,000.0 50,000.0 20,000.0 - 1996 1997 1998 1999 2000 Armada Nasional 2001 2002 1996 2003 Armada Asing 1997 1998 Armada Nasional 1999 2000 T ahun 2001 2002 2003 Armada Asing Sumber: Ditjen Hubla Dephubtel, 2002, diolah. Masih adanya biaya ekonomi tinggi dan kurangnya fasilitas prasarana di pelabuhan, sehingga menambah beban bagi pengguna jasa yang pada akhirnya menambah biaya bagi masyarakat secara umum. Tabel 9. Kinerja SBNP di Indonesia Tahun 2003 Variabel Kecukupan Keandalan *) Rasio Kinerja 86,75% 95% 6,5 SBNP/100 Nautical mile **) Persyaratan IALA 95% 99% 25 SBNP/100 Nautical mile (negara maju) *) Rasio antara jumlah total hari tak berfungsi/jumlah sbnp X 275 X100%. **) Target Indonesia: kebutuhan 2000 SBNP saat ini baru ada 1735 sbnp. Sumber: Maritime Traffic Safety System, 2004 Tingkat kecukupan fasilitas keselamatan pelayaran seperti sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) belum memenuhi persyaratan internasional. Pada saat ini kecukupan dan keandalan SBNP baru 64,02 persen dan 95 persen. Menurut International Association of Lighthouse Authority (IALA) standar ratio kecukupannya adalah 95 persen dan keandalannya 99 persen. Adanya kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten dan kota tentang siapa yang berhak mengelola pelabuhan. Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 namun kontroversi masih berlanjut. Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, belum direvisi sehingga sulit mengharapkan dapat diselesaikannya perselisihan antara pemerintah pusat dan asosiasi pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di pelabuhan. Bagian IV.33 – 34 Draft 12 Desember 2004 2.3.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT Sasaran pembangunan transportasi laut adalah menaikkan pangsa pasar armada pelayaran nasional baik untuk angkutan laut dalam negeri maupun ekspor-impor. Sasaran lain adalah meningkatkan kinerja dan efisiensi pelabuhan khususnya yang ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena sebagian besar muatan ekspor-impor dan angkutan dalam negeri ditangani oleh pelabuhan yang ada dibawah pengelolaan BUMN. Sasaran yang tak kalah pentingnya adalah melengkapi prasarana SBNP dan fasilitas pemeliharaannya sehingga SBNP yang ada dapat berfungsi 24 jam. Sementara itu uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran khususnya yang berkaitan dengan keharusan bekerjasama dengan BUMN apabila pihak swasta ingin berinvestasi pada prasarana pelabuhan harus segera diselesaikan guna menarik pihak swasta berinvestasi pada prasarana pelabuhan. 2.3.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT a. Meningkatkan peran armada pelayaran nasional baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor dengan memberlakukan azas cabotage. Untuk itu diperlukan dukungan perbankan dalam penyediaan kredit murah bagi peremajaan armada. b. Mengurangi bahkan menghapuskan pungutan-pungutan tidak resmi di pelabuhan sehingga tarif yang ditetapkan otoritas pelabuhan tidak jauh berbeda dengan biaya yang secara riil dikeluarkan oleh pengguna jasa kepelabuhanan, melalui peningkatan koordinasi bagi semua instansi yang terkait dalam proses bongkar muat barang. c. Memenuhi standar pelayaran internasional yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization) maupun IALA guna meningkatkan keselamatan pelayaran baik selama pelayaran maupun pada saat berlabuh dan bongkar muat di pelabuhan di wilayah Indonesia. d. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor trasnsportasi laut guna menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta swasta dalam pembangunan prasarana transportasi laut. e. Menyerahkan secara bertahap aset pelabuhan lokal yang dikelola Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2.3.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi laut adalah: (1) rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi laut; (2) pembangunan prasarana transportasi laut; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi laut. Langkah-langkah yang akan dlakukan adalah merehabilitasi prasarana transportasi laut yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana yang kurang serta merevisi peraturan dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan laut. Adapun kegiatan yang akan dilaksanakan dalam lima tahun ke depan adalah: Bagian IV.33 – 35 Draft 12 Desember 2004 A. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT MENCAKUP KEGIATAN: 1. Rehabilitasi SBNP: menara suar 94 unit, rambu suar 279 unit, dan pelampung suar 72 unit; 2. Rehabilitasi kapal navigasi 49 unit kapal; 3. Rehabilitasi Dermaga 493 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Laut; 4. Rehabilitasi 15 unit kapal marine surveyor; 5. Rehabilitasi kantor Unit Pelaksana Tugas Administrator Pelabuhan/Kantor Pelabuhan di 15 lokasi; 6. Rehabilitasi kapal patroli 97 unit kapal; 7. Rehabilitasi atau pembersihan kolam pelabuhan dari kerangka kapal di 3 lokasi; 8. Rehabilitasi dermaga 27.104 M’ milik BUMN yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. Kegiatan rehabilitasi tersebut di atas sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah karena kegiatan tersebut termasuk proyek yang non cost recovery dan berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sedangkan kegiatan rehabilitasi aset milik BUMN termasuk proyek yang cost recovery sehingga bisa dikerjasamakan dengan pihak swasta. B. PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT MENCAKUP KEGIATAN: 1. Pembangunan SBNP: Menara Suar 88 unit, Rambu Suar 276 unit, dan Pelampung suar 70 unit. 2. Pembangunan kapal navigasi 11 unit kapal. 3. Pembangunan GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System) 30 unit. 4. Pembangunan Dermaga 6.164 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Laut, dan dermaga untuk kapal navigasi 440 M’ serta dermaga untuk pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) 3 lokasi 180 M’ 5. Pembangunan 25 unit kapal marine surveyor 6. Pembangunan gedung kantor kenavigasian 5.350 M2, gedung tertutup 6.558 M2, gedung terbuka 2.000 M2, gedung bengkel 2.460 M2, taman pelampung 10.500 M2 dan peralatan bengkel 19 unit serta alat angkut 29 unit. 7. Pembangunan kapal kapal patroli 113 unit kapal. 8. Pengadaan oil boom atau gelang cemar 5 unit. 9. Pembangunan dermaga 900 M’ milik BUMN berikut alat bongkar muat yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, antara lain di Bojonegara, Muara Sabak, Surabaya. Seperti halnya dengan kegiatan rehabilitasi, pembangunan fasilitas pelabuhan milik BUMN dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. Selain itu khusus untuk pembangunan fasilitas baru untuk peti kemas, car terminal, pelabuhan khusus untuk komoditi tertentu dapat sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta. C. PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI LAUT: 1. Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran untuk mendorong keikutsertaan investor swasta membangun prasarana pelabuhan. Bagian IV.33 – 36 Draft 12 Desember 2004 2. 3. 4. 5. Pengembangan sistem informasi kelaiklautan kapal. Sosialisasi/penyuluhan peraturan bidang kelaiklautan kapal. Evaluasi dan kajian peraturan bidang kelaiklautan kapal. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan pelatihan untuk pengukuran kapal, auditor International Safety Management (ISM) Code, uji petik dan verifikasi kelaiklautan kapal. 6. Marpol (Marine Pollution) exercise (pelatihan pencegahan polusi laut yang diakibatkan oleh kapal) pemerintah Indonesia bersama dengan Jepang dan Pilipina. 7. Pelaksanaan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diberlakukan mulai 1 Juli 2004. 2.4. TRANSPORTASI UDARA 2.4.1 KONDISI PERMASALAHAN TRANSPORTASI UDARA Moda transportasi udara adalah moda transportasi yang menuntut tingkat akurasi paling tinggi dibanding moda transportasi yang lain untuk dapat menjaga keselamatan baik selama penerbangan maupun saat ada di bandara. Kondisi dan permasalahan di sub-sektor transportasi udara yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat dan ancaman terorisme. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 10 Jumlah Kecelakaan Udara dan Korban Meninggal/Hilang. Tabel 10. Jumlah Kecelakaan Udara & Korban Meninggal/Hilang Tahun 1992 – 2002 Korban Tahun Jumlah Kecelakaan Kecelakaan Fatal Hilang/Meninggal (Jiwa) 1992 38 5 106 1993 32 7 83 1994 41 8 53 1995 46 6 30 1996 35 6 42 1997 38 8 398 1998 36 2 4 1999 31 3 12 2000 16 1 2 2001 37 7 17 2002 25 6 25 Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, 2003 Tabel 11. Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Negeri Tahun 1998 – 2002*) Penumpang Barang Tahun (orang) (Ton) 1998 7.863.838 147.718 1999 6.673.713 155.439 2000 8.654.181 161.200 2001 10.394.330 164.135 2002 12.686.932 136.207 Sumber: BPS, 2003 *) Data keberangkatan Bagian IV.33 – 37 Draft 12 Desember 2004 Kebutuhan akan tenaga pengawas kelaikan udara meningkat seiring dengan meningkatnya lalu lintas udara. Dalam lima tahun terakhir di mana pemerintah menetapkan kebijakan pertumbuhan nol persen untuk pegawai negeri maka jumlah pegawai yang menangani keselamatan dan sertikasi udara yakni yang bekerja di Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat Fasilitas Listrik dan Elektronika relatif konstan sekitar 400 orang seperti pada tahun 2003 berjumlah 374 orang. Sementara dalam lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan lalu lintas angkutan udara yang meningkat tajam. Hal ini tercermin pada tabel kedatangan dan keberangkatan pesawat, penumpang dan cargo untuk penerbangan domestik dan internasional. Tabel 12. Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Cargo untuk Penerbangan Luar Negeri Tahun 1998 – 2002 Kedatangan Keberangkatan Total Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Tahun Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Unit) (Unit) (Unit) 1998 37.205 3.778.509 119.570 37.829 3.833.025 226.268 75.034 7.611.534 1999 40.064 3.877.617 148.889 39.552 3.924.275 226.230 79.616 7.801.892 2000 40.571 4.243.327 173.791 40.052 4.728.389 215.240 80.623 8.971.716 2001 42.813 4.520.028 95.741 42.617 4.675.007 147.008 85.430 9.195.035 2002 36.705 4.725.068 96.957 36.787 4.745.681 145.917 73.492 9.470.749 Sumber: BPS, 2003 Cargo (Ton) 345.838 375.119 389.031 242.749 242.874 Tabel 13. Kinerja Keuangan AP I & AP II Tahun 2002 Jml Bandara Menguntungkan Merugikan AP-I 13 5 8 AP-II 10 4 6 Sumber: The Master Plan Study on The Strategic Policy of The Air Transport Sector in The Republic Indonesia, July 2004. Masalah lain adalah rendahnya kinerja bandara bandara yang dikelola oleh PT Angkasa Pura baik PT AP I dan II. Hal ini tercermin dari begitu banyaknya unit bandara yang masih merugi sebagaimana terlihat pada Tabel Kinerja Keuangan PT AP I dan II 2002. Kondisi dan masalah lain yang harus diperhatikan adalah banyaknya fasilitas yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan operasi pesawat yang aman seperti lebar landasan dan bahu landasan. 2.4.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA Sasaran pembangunan transportasi udara adalah menjamin keselamatan, kelancaran dan kesinambungan pelayanan transportasi udara baik untuk angkutan penerbangan domestik dan internasional, maupun perintis. Di samping itu sasaran yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan persaingan usaha di dunia industri penerbangan yang wajar sehingga tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli. Bagian IV.33 – 38 Draft 12 Desember 2004 2.4.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA a. Memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) guna meningkatkan keselamatan penerbangan baik selama penerbangan maupun di bandara di wilayah Indonesia. b. Menciptakan persaingan usaha pada industri penerbangan nasional yang lebih transparan dan akuntabtel sehingga perusahaan penerbangan yang ada mempunyai landasan yang kokoh untuk kesinambungan operasi penerbangannya. c. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor trasnsportasi udara guna menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta dalam pembangunan prasarana transportasi udara. 2.4.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi udara adalah: (1) rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi udara; (2) pembangunan prasarana transportasi udara; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi udara. Langkah-langkah yang akan diambil oleh adalah merehabilitasi prasarana transportasi udara yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana transportasi udara yang kurang serta merevisi peraturan dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan udara dengan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Adapun kegiatan yang akan diusulkan dalam lima tahun ke depan (2005-2009) adalah: 1. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Penggantian dan rekondisi kendaraan PKPPK (Penolong Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran) 31 bandara. 2. PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Pembangunan landas pacu 15.150 x 45 m2 antara lain di Makasar, Medan, Ternate, Sorong. 2. Pembangunan terminal penumpang 171.085 m2 antara lain di Makasar, Medan, Ternate, Sorong dan Lombok. 3. Pembangunan apron 938.150 m2 4. Sistem navigasi udara 5 paket. 5. Pelaksanaan Automated Dependent Surveillance–Broadcast di Indonesia dengan pengadaan dan pemasangan peralatan di 5 stasiun. 6. Pengadaan dan pemasangan peralatan CNS/ATM (Communication, Navigation, Surveillance/Air Traffic Management) 7. Pengadaan dan pemasangan Instrument Landing System (ILS) dan Runway Visual Range (RVR) di 10 lokasi. 3. PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bagian IV.33 – 39 Draft 12 Desember 2004 Di Subsektor Transportasi Udara, pembangunan fasilitas bandara baru seperti di Medan dan Lombok sangat dimungkinkan investor swasta untuk berpartisipasi, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. 2.5 PROGRAM PEMBANGUNAN PENDUKUNG TRANSPORTASI Program pengembangan transportasi antar moda mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyusunan peraturan bidang pos; (2) pembahasan Revisi Undang-Undang Transportasi diantaranya Undang-Undang Tatanan Transportasi Nasional, Lalu Lintas Angkutan Jalan, Perkeretaapian, Tranportasi Laut dan Angkutan Udara, serta Telekomunikasi; (3) penyusunan dan sosialisasi peraturan bidang transportasi; (4) peningkatan KSLN Perhubungan; (5) kajian perencanaan, evaluasi dan kebijakan serta kajian strategis perhubungan dan transportasi intermoda; (6) penyusunan evaluasi dan operasional pemantauan kinerja keuangan dan pendanaan transportasi; (7) penyusunan pembinaan kinerja kepegawaian; (8) peningkatan Pusdatin; dan (9) Operasional belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan. Program peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan mencakup kegiatan-kegiatan pelaksanaan peningkatan sarana dan prarana perhubungan sistem, prosedur dan standar administrasi, penyediaan fasilitas pendukung pelayanan operasional serta penyelenggaraan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian/lembaga. Program pencarian dan penyelamatan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyusunan dan penyiapan petunjuk teknis; (2) evaluasi dan pembinaan proyek SAR; (3) pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan fasilitas, sarana dan operasional pencarian dan penyelamatan; (4) pembinaan dan pengembangan prasarana dan sarana pencarian dan penyelamatan; dan (5) operasional pemerintah dalam rangka pencarian dan penyelamatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan. Program penelitian dan pengembangan perhubungan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) pelaksanaan penelitian dan pengembangan perhubungan meliputi transoprtasi darat, laut, udara, postel dan manajemen transportasi intermoda; (2) penyusunan program monitoring dan evaluasi; dan (3) operasional pemerintah dalam rangka penelitian dan pengembangan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja perjalanan Program pengelolaan kapasitas sumber daya manusia aparatur dan pendidikan kedinasan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) pelaksanaan studi/kajian di bidang transportasi, manajemen transportasi intermoda, transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, dan pos dan telekomunikasi; (2) penyusunan program monitoring dan evaluasi; (3) pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan; (4) pengembangan kelembagaan METI; (5) pengembangan dan pembinaan Badan Diklat Perhubungan yang meliputi pengadaan sarana and prasarana, diklat teknis, rintisan pendidikan gelar (S2), pembangunan rating school dan kampus diklat Semplak; (6) pengembangan sarana, prasarana kelembagaan dan operasional penyelenggaraan diklat yang meliputi Pusdiklat perhubungan darat, laut dan udara, STTD Bekasi, STIP Jakarta dan STIP Curug; dan (7) operasional pemerintah dalam rangka pendidikan dan pelatihan perhubungan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan. Bagian IV.33 – 40 Draft 12 Desember 2004 Program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan pemerintahan; dan (2) penyusunan dan pembinaan kinerja kepegawaian/sumberdaya manusia perhubungan. Program pengawasan aparatur negara mencakup kegiatan-kegiatan: (1) menata dan menyempurnakan sistem, struktur dan pengawasan yang efektif, efisien, transparan, terakunkan; (2) meningkatkan intensitas pelaksanaan pengawasan internal, fungsional dan masyarakat; (3) meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum; dan (4) operasional pemerintah dalam rangka pengawasan aparatur negara yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pemeliharaan. Program pengembangan dan pembinaan meteorologi dan geofisika mencakup kegiatan: (1) penyusunan RUU meteorologi dan geofisika; (2) penyusunan RPP PNBP; (3) penyusunan petunjuk teknis penyelenggaraan meteorologi dan geofisika; (4) restrukturisasi kelembagaan; (5) pengembangan sistem observasi meteorologi dan geofisika, melalui otomatisasi sistem peralatan utamanya pada stasiun-stasiun di ibukota provinsi serta stasiun yang berada di daerah rawan bencana, daerah produksi pangan dan padat penduduk; (6) modernisasi peralatan untuk memproduksi dan penyebaran informasi meteorologi dan geofisika hingga tingkat kabupaten; (7) pengembangan sistem pelayanan data dan informasi meteorologi dan geofisika; (8) penelitian dan pengembangan bidang meteorologi dan geofisika yang bermanfaat untuk penanggulangan bencana, peningkatan produksi pangan, mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa serta keselamatan masyarakat; (9) peningkatan kerjasama dengan instansi lain baik di dalam maupun di luar negeri untuk peningkatan kualitas pelayanan serta peningkatan kemampuan SDM; (10) pelaksanaan pengawasan; dan (11) operasional meteorologi dan geofisika. 2.6 RENCANA PEMBIAYAAN Sumber pembiayaan program rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan sektor transportasi diperoleh dari dana Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN), BUMN, dan swasta sebagaimana tabel berikut: Tabel 14. Rencana Pembiayaan Sektor Transportasi Tahun 2005-2009 No. Subsektor/Program Sasaran Pusat 1. 1.1 Subsektor Prasarana Jalan Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan 1.2. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan a. Jalan Arteri b. Jalan Tol 2. Subsektor Transportasi Darat 2.1 Program Pengembangan Lalu Lintas Angkutan Jalan a. Keselamatan dan Fasilitas LLAJ b. Terminal c. Penanganan Muatan Lebih d. Pembinaan Angkutan Perkotaan e. Penyediaan Angkutan Perintis f. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring 2.2 Program Pengembangan Transportasi Sumber Pembiayaan (Rp Milyar) Pemerintah BUMN Swasta Propinsi Kab/Kota 1.053.254 km 7.597,7 8.115,1 42.404,5 118.170 km 1.593 km 66.376,8 5.050,0 3.243,4 30.421,1 58.117,3 5.237,0 2.926,8 19.095,6 Bagian IV.33 – 41 Total 80.392,9 100.041,3 90.679,9 2.926,8 4.440,3 23.535,9 Draft 12 Desember 2004 No. Subsektor/Program Sumber Pembiayaan (Rp Milyar) Pemerintah BUMN Swasta Propinsi Kab/Kota Sasaran Pusat 2.3 2.4 3. 3.1 3.2 3.3 4. 4.1 4.2 4.3 5. Kereta Api a. Pembangunan Prasarana b. Rehab dan Pengembangan Sarana c. PSO d. IMO e. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring Program Pengembangan Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan a. Rehab dan Pengembangan Dermaga b. Rehab dan Pengembangan Sarana c. Penyediaan Subsidi Perintis d. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Darat Subsektor Transportasi Laut Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Transportasi Laut a. Dermaga b. Kapal c. Sarana Bantu Navigasi Program Pembangunan Prasarana Transportasi Laut a. Dermaga b. Kapal c. Sarana Bantu Navigasi Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Laut Subsektor Transportasi Udara Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Transportasi Udara  Landasan  Terminal Program Pembangunan Prasarana Transportasi Udara  Landasan  Terminal Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Udara Rehabilitasi dan Subsektor Penunjang Transportasi Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Program Pencarian danPenyelamatan Program Pembangunan SDM Aparatur Program Penelitian dan Pengembangan 3.054,5 Total 3.054,5 6.381,0 618,0 12.790,2 3167,5 6.999,0 27.597 M’ 161 Unit 445 Unit 3707,3 19.665,0 7.034 M’ 258 Unit 434 Unit 26,0 26,0 7.004,0 413,0 7.417,0 14.798,0 1.780,0 16.578,0 3.503.221 m2 177052 m2 681.750 m2 171.085 m2 20 20,0 1.174,6 1.174,6 9.833,2 3.233,7 147,2 9.833,2 3.233,7 III. ENERGI, LISTRIK, POS, DAN TELEMATIKA 3.1 ENERGI 3.1.1 PERMASALAHAN ENERGI Dalam kehidupan modern saat ini, kesejahteraan manusia sangat ditentukan oleh ketersediaan, jumlah, harga dan mutu energi yang dapat dimanfaatkannya, secara berkesinambungan oleh masyarakatnya. Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pula pertumbuhan sektor lainnya. Namun demikian pembangunan ekonomi yang melibatkan kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa Bagian IV.33 – 42 Draft 12 Desember 2004 memperhatikan pengelolaan sumber daya alam yang selain memberikan manfaat untuk saat ini juga harus menjamin kehidupan dan ketersediaan di masa datang. Sumber daya alam yang terbarukan harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat dipertahankan lebih lama. Sedangkan sumber daya alam yang tidak terbarukan harus pula digunakan sehemat mungkin dan diupayakan memperlambat penghabisan cadangannya. Dengan demikian, energi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan proses pembangunan, dan oleh karena itu pembangunan energi harus dilaksanakan secara berdaya guna dan berkelanjutan. Penyediaan energi saat ini merupakan isu nasional yang membutuhkan penanganan yang tepat. Potensi energi Indonesia yang besar dan beragam harus diintegrasikan dan dikonsolidasikan secara optimal dan efisien dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat banyak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945. Walaupun kebijakan nasional untuk itu sudah ada, namun implementasi dari kebijakan tersebut dan praktek bisnis energi yang ada saat ini belum secara penuh mengacu kepada optimasi kepentingan nasional dan sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Krisis ekonomi yang mengakibatkan berbagai perubahan mendasar pada perekonomian dan pola supply-demand energi mengakibatkan perubahan dalam biaya operasi penyediaan energi. Dengan terjadinya krisis ekonomi, ketimpangan biaya produksi yang dipengaruhi oleh nilai tukar valuta asing dengan pendapatan sektor energi sangatlah terasa. Disisi lain, penyesuaian harga energi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan sudah merupakan komitmen pemerintah dalam rangka mengurangi subsidi harga energi. Terbatasnya cadangan energi fosil yang ada saat ini, maka dirasakan perlu untuk mulai memanfaatkan energi alternatif secara bertahap dan berorientasi pasar. Upaya pemanfaatan energi alternatif dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang semakin mahal dan yang ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif dapat dipergunakan gas dalam bentuk LPG, briket batubara, dan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, fuell cell (sel bahan bakar) dan biomasa. Upaya ini telah sejalan dengan kecenderungan global dalam penggunaan energi. Sejalan dengan terkurasnya energi fosil, maka impor minyak mentah juga meningkat setiap tahunnya. Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rata 10,46 persen per tahun. Jumlah impor minyak mentah selama tahun 2000 mencapai 80 juta barel. Hingga saat ini Indonesia mengimpor minyak mentah untuk kebutuhan dalam negeri dan optimalisasi kilang dari Arab Saudi (Arab Light Crude), Iran, Australia dan Malaysia. A. EVALUASI PEMBANGUNAN ENERGI Pada dasarnya kebijakan pembangunan energi yang telah diambil pemerintah selama ini diarahkan bagi terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai adalah menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembanganya pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Untuk mencapai sasaran tersebut diatas, maka ditetapkan pokok kebijaksanaan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, yaitu meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya Bagian IV.33 – 43 Draft 12 Desember 2004 manusia dan menguasai teknologi; serta meningkatkan peranserta masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi. Untuk melaksanakan kebijakan dalam mencapai berbagai sasaran pembangunan energi tersebut diatas, dikembangkan pembangunan sektor energi yang meliputi program pokok dan program penunjang. Program pokok meliputi program pengembangan tenaga migas, batubara, ketenagalistrikan dan energi lainnya. Program penunjang mencakup program pengendalian pencemaran lingkungan hidup; program penelitian dan pengembangan energi; program pengembangan informasi energi; serta program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan energi. Secara umum pembangunan prasarana energi sebelum krisis ekonomi mengalami peningkatan yang cukup berarti, baik untuk prasarana pengilangan dan pemrosesan minyak bumi, penyaluran gas bumi, pemanfaatan panas bumi serta pemanfaatan batubara. Kapasitas pengilangan minyak di dalam negeri terus ditingkatkan seiring dengan laju pembangunan nasional. Pada awal Repelita I (1969/1970), jumlah minyak yang dikilang didalam negeri hanya sebesar 77,1 juta barel. Jumlah ini pada tahun 2003 meningkat menjadi 348 juta barel, sedangkan kebutuhan dalam negeri 429 juta barel. Seluruh hasil pengilangan tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM di dalam negeri. Namun karena kebutuhan BBM di dalam negeri cukup tinggi, maka sebagian kebutuhan sebesar 81 juta barel dipenuhi melalui pengadaan impor minyak mentah dan BBM terutama avtur, mogas, diesel dan solar. Di sisi lain, konsumsi gas bumi terus meningkat dalam tahun 2003 mencapai 8.237 MMSCFD. Peningkatan konsumsi gas bumi tersebut didukung oleh penambahan jaringan transmisi gas. Secara umum pemanfaatan batubara dan energi terbarukan seperti panas bumi dan tenaga air menunjukkan angka yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan penggunaan yang meningkat dari sumber energi tersebut untuk beberapa pembangkit listrik tenaga uap, batubara, dan panasbumi serta kebutuhan sumber energi untuk beberapa industri semen, peleburan nikel, dan timah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas memprioritaskan pembangunan prasarana energi diarahkan kepada tiga program pokok yaitu: (1) mempertahankan tingkat jasa pelayanan sarana dan prasarana; (2) melanjutkan restrukurisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana energi; dan (3) peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana. Tujuan program yang pertama adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana energi yang telah ataupun sedang dibangun agar tingkat pelayanannya dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kualitas yang memadai, serta tetap dapat dioperasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektorsektor produktif. Untuk itu diprioritaskan pemeliharaan sarana dan prasarana energi yang sudah dibangun ataupun sedang dalam proses pembangunan agar nilai ekonomis dari sarana dan prasarana tersebut tidak menurun. Sedangkan untuk peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana diarahkan hanya untuk menunjang pertumbuhan permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitasnya (bottleneck) dan untuk menunjang ekspor. Program restrukturisasi dan reformasi energi bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi maupun usaha di bidang jasa pelayanan sarana dan prasarana energi serta menyehatkan dan meningkatkan kinerja perusahaan yang bergerak di bidang sarana dan prasarana. Sasaran dilakukannya restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana Bagian IV.33 – 44 Draft 12 Desember 2004 dan prasarana energi adalah: (1) pulihnya kelayakan keuangan (financial feasibility); (2) terciptanya kompetisi dan pengaturan dalam pembangunan sarana dan prasarana; (3) meningkatnya efisiensi pemanfatan dan ketersediaan sumber pendanaan baru sejalan dengan peningkatan peran swasta; dan (4) meningkatnya transparansi dan efisiensi pemerintah dalam pengelolaan sarana dan prasarana energi sejalan dengan berkurangnya peran pemerintah. Untuk mencapai sasaran kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi, dan partisipasi swasta diperlukan perubahan yang mendasar. Beberapa perubahan telah dimulai, tetapi kecepatannya perlu ditingkatkan, dan ruang lingkup perubahannya diperluas. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran tersebut, telah dilakukan enam langkah-langkah kegiatan menuju restrukturisasi secara penuh, sebagai berikut (1) restrukturisasi industri dan pemecahan (unbundling system); (2) pengembangan hubungan komersial dan memperkenalkan kompetisi; (3) pendekatan baru dalam penetapan tarif berdasarkan mekanisme pasar dan subsidi; (4) rasionalisasi dan ekspansi partisipasi swasta; (5) memperjelas peran pemerintah; (6) memperkuat fungsi pengaturan; dan (7) pengembangan kerangka hukum baru. Program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana energi bertujuan untuk memperluas jangkauan jasa pelayanan sarana dan prasarana sampai ke daerah-daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. Perluasan jaringan sarana dan prasarana energi tersebut diprioritaskan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik perdesaan. Untuk menunjang tersedianya pelayanan jasa sarana dan prasarana energi di daerah-daerah terisolasi, terpencil, dan kawasan tertinggal akan dilakukan intervensi pemerintah melalui upaya-upaya perintisan. Upaya perintisan tidak semata-mata didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi semata, tetapi merupakan upaya pemerintah dalam membuka isolasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahdaerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan menyediakan fasilitas prasarananya, sedangkan untuk pengoperasiannya akan ditunjang melalui kebijakan subsidi dari pemerintah. Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat akan dilakukan penghapusan subsidi secara bertahap dan sistimatis, agar harga tarif untuk pelayanan jasa sarana dan prasarana dapat dilaksanakan secara komersial oleh badan usaha milik negara/daerah, swasta, koperasi dan masyarakat. Mengingat keterbatasan yang ada baik disisi pemerintah maupun swasta, belum semua langkah-langkah dalam Propenas tersebut diatas terlaksana selama periode krisis. Namun beberapa kebijakan dan langkah-langkah operasional yang telah dilaksanakan dan ditempuh pada sektor energi meliputi antara lain: (a) mencegah dan mengurangi kerugian (losses) berkaitan dengan pengusahaan komoditas; (b) mempertahankan dan meningkatkan keuntungan (gain); (c) menciptakan kondisi yang kondusif, terutama menyangkut kepastian hukum, jaminan keamanan, serta praktek usaha pertambangan yang baik (good mining practice); (d) mengoptimalkan fungsi ketatalaksanaan penyelenggaraan dan aparatur Departemen teknis terkait berdasarkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government); (e) mengoptimalkan potensi sumber daya energi dan mineral secara berkelanjutan dalam upaya memperoleh devisa, pengembangan dan penciptaan nilai tambah; (f) mengoptimalkan penyediaan energi dan tenaga listrik; serta (g) mengoptimalkan implementasi otonomi daerah di bidang energi dan pertambangan umum. Bagian IV.33 – 45 Draft 12 Desember 2004 Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi besarnya subsidi BBM di dalam negeri yaitu dengan memberlakukan harga jual BBM di dalam negeri berdasarkan MOPS (Mid Oil Platts Singapore)+5 persen sebagai formula penghitungan harga BBM. Selain itu mekanisme ceiling price dan floor price pun tetap digunakan. Mekanisme bertahap untuk pasar BBM ini telah dimulai sejak Januari 2002, dengan meninjau harga jual setiap bulan. Dengan demikian harga jual BBM berubah setiap bulan, tergantung pada harga pasar minyak internasional. Kebijakan ini telah berhasil menekan subsidi BBM dari sekitar Rp41 triliun pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp30 triliun pada tahun 2002. Beberapa perangkat regulasi dan pengaturan juga telah dibuat dalam rangka mengatasi krisis. Dalam upaya meningkatkan pasokan listrik dari berbagai sumber eserta untuk lebih melibatkan masyarakat, maka pemerintah pada tanggal 12 Juni 2002 telah menerbitkan Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar, yang biasa disingkat dengan PSK Tersebar. Regulasi ini memungkin masyarakat dalam skala Usaha Kecil, sesuai definisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, untuk mengusahakan pembangkit tenaga listrik dan menjual listriknya kepada PT. PLN (Persero). Kemajuan berarti lainnya dalam bidang regulasi dan pengaturan adalah dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang baru Nomor 20 Tahun 2002. Namun demikian, pasar industri migas masih didominasi oleh Pertamina dan KPS (Kontraktor Production Sharing) di bagian hulu, sedangkan di hilir jumlah pemain masih terbatas. Walaupun kompetisi baru dimulai, industri migas dari sisi regulasi terasa cukup reformis melalui Undang-Undang Migas dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang reposisi Pertamina telah membebaskan Pertamina dari berbagai tugas dan fungsi regulasi yang pernah diemban sewaktu masih memonopoli sektor migas. Dengan demikian Ditjen Migas harus mampu menyiapkan regulasi, sumber daya, anggaran dan keperluan penunjang lainnya untuk mendorong pembangunan dan pemanfaatan minyak dan gas. Proses pembentukan dua badan, yaitu Badan Pelaksana (hulu) dan Badan Pengatur (hilir) yang berfungsi sebagai wasit. Badan Pelaksana yang sering disingkat dengan BP Migas dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 dan telah pula berfungsi, sedangkan Badan Pengatur yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 juga telah memulai tugasnya. B. B.1 PRODUKSI, KONSUMSI, DAN EKSPOR ENERGI PRODUKSI ENERGI Produktivitas energi Indonesia dan konsumsinya selama dua dekade belakangan ini secara agregat mengindikasikan meningkatnya secara konsisten produksi dan konsumsi energi nasional selama periode 20 tahun yang lalu (1980-2000) dalam satuan Quadrillion BTU2. Produksi energi nasional meningkat dari 4,21 Q-BTU di tahun 1980 menjadi 7,64 Q-BTU di tahun 2000. Permintaan energi pada kurun waktu yang sama juga meningkat dari 1,11 Q-BTU menjadi 3,85 Q-BTU. Sampai dengan tahun 2000, permintaan atau konsumsi energi nasional secara agregat masih dibawah tingkat produksinya. Namun Quadrillion BTU = 1015 BTU dimana 1.000 BTU setara dengan 1 cubic foot gas alam sehingga 1 Q-BTU ekivalen dengan 1 triliun kaki kubik gas alam 2 Bagian IV.33 – 46 Draft 12 Desember 2004 demikian persentase dari permintaan terhadap produksi energi meningkat secara konsisten dari dari sekitar 26 persen di tahun 1980 menjadi 50,4 persen di tahun 2000. Produksi minyak mentah dan produk sampingannya, berupa kondensat, antara tahun 1993 sampai 2000. Selama periode 8 tahun tersebut, produksi minyak bumi relatif konstan dan bervariasi sempit dari sekitar 441 juta barel sampai 485 juta barel untuk minyak mentah dan dari 52 juta barel sampai 62 juta barel untuk kondensat. Pada tahun 2000 produksi minyak mentah Indonesia masih sebesar 465,4 juta barel, menurun dari produksi tahun sebelumnya, walaupun pendapatan dari ekspor meningkat dari US$ 4,9 miliar di tahun 1999 menjadi US$ 6,3 miliar di tahun 2000. Produksi minyak sebesar itu dihasilkan antara lain dari 9 pengilangan dengan kapasitas 1,06 juta barel per hari (bph), antara lain yang terbesar adalah Cilacap (348.000 bph), Balikpapan (260.000 bph), dan di Balongan (125.000 bph). Hasil pengilangan dalam negeri yang hanya sebesar 276,7 juta barel di tahun 2000 tidak mencukupi kebutuhan permintaan BBM sekitar 54,8 juta kiloliter sehingga masih diperlukan impor minyak mentah untuk memenuhinya yang pada tahun 2000 masih sebesar 87 juta barel dengan nilai US$ 2,9 miliar. Sementara itu pertumbuhan produk sektor energi selama 1995-2000: (a) produksi gas alam yang berkisar sekitar 3 juta kaki kubik per tahun; (b) produksi LNG yang berkisar sekitar 25,2 sampai 29,8 juta ton per tahun; (c) produksi LPG sebesar 2,1 sampai 3,2 juta ton; serta (d) produksi batubara yang sekitar 50,3 sampai 70,7 juta ton per tahun. Sekilas ada kecenderungan yang sama dalam produksi energi Indonesia setelah tahun 2000, yakni terjadi penurunan setelah mencapai puncak produksi di tahun-tahun sebelumnya. B.2 KONSUMSI ENERGI Konsumsi energi dunia meningkat dari 349,14 Q-BTU di tahun 1991 menjadi 397,4 Q-BTU di tahun 2000. Negara-negara di Amerika Utara adalah pengguna terbesar energi dengan konsumsi sebesar rata-rata 109,1 Q-BTU per tahun sementara Eropah Barat menghabiskan sekitar 67,5 Q-BTU per tahun. Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak mengkonsumsi energi dengan 98,8 Q-BTU di tahun 2000, lebih besar dari konsumsi seluruh negara-negara di Eropa Barat, diikuti oleh China dengan 36,7 Q-BTU, Rusia dengan 28,1 Q-BTU, dan Jepang dengan 21,8 Q-BTU. Indonesia sendiri pada tahun 2000 hanya menghabiskan sekitar 3,85 Q-BTU, hanya sekitar 10 persen dari konsumsi China. Konsumsi agregat energi primer nasional selama kurun waktu 1991-2000 dalam satuan juta SBM. Konsumsi meningkat secara konsisten dari sekitar 375,1 juta SBM pada tahun 1991 menjadi sekitar 644,7 juta SBM di tahun 2000. Komposisi dari pemakaian energi primer ini adalah rata-rata sekitar 60,6 persen minyak bumi, 24,7 persen gas bumi, 8,9 persen batubara, 5,1 persen energi air (mikrohidro), dan sisanya sebesar 0,7 persen energi panas-bumi. Bagian IV.33 – 47 Draft 12 Desember 2004 Gambar 14. Distribusi Konsumsi Energi Final 1994-1998 (%) 1998 1997 1996 1995 1994 0 20 BBM 40 Minyak 60 Bat ubara List rik 80 LP G Pemakaian energi final berupa BBM dan produk minyak lainnya mencakup sekitar rata-rata 83,8 persen dari total konsumsi. Listrik hanya menggunakan sekitar 10,1 juta SBM. Sektor rumahtangga meningkat dari 62,3 juta SBM menjadi 118,2 juta SBM. persen dari produk energi primer, sedangkan batubara yang langsung digunakan sebagai energi final hanya berkisar 4,5 persen, dan LPG masih berkisar sekitar kurang dari 2,0 persen. Gambar 14. Konsumsi Energi Nasional Per Sektor 1991-2000 (Juta SBM) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1991 1994 Industri Rumahtangga 1997 2000 Transportasi Sumber: IEOS-PEUI, 2002 Dalam kurun waktu 10 tahun sektor industri dan transportasi merupakan pemakai terbesar energi nasional dengan konsumsi rata-rata sekitar 37,86 persen dan 37,59 persen dari konsumsi nasional, sementara sektor rumahtangga hanya menggunakan sekitar 24,55 persen. Selama 1991-2000, konsumsi sektor industri meningkat dari 92,3 juta SBM menjadi 155,3 juta SBM, sementara sektor transportasi juga mengimbanginya dengan peningkatan konsumsi dari 90,9 juta SBM menjadi 160,9 juta. B.3 EKSPOR ENERGI Ekspor Energi Indonesia yang cenderung meningkat untuk minyak mentah dan LNG dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000. Terlihat bahwa dalam kurun tahun tersebut hasil ekspor tersebut sebagian besar dari hasil minyak mentah dan LNG. Ekspor minyak Bagian IV.33 – 48 Draft 12 Desember 2004 mentah dan LNG pada tahun 2000 masing-masing sebesar 42 persen dan 45 persen dari penghasilan ekspor energi Indonesia. Tabel 15. Ekspor Energi Indonesia Jenis Ekspor Minyak Mentah Hasil Kilang LNG LPG Batu bara *) Unit Million USD Million USD Million USD Million USD Million USD 1995 5,147.7 1,287.6 3,856.3 471.1 NA 1996 5,711.8 1,511.8 4,730.2 547.9 NA 1997 5,479.9 1,291.1 4,735.0 516.2 NA 1998 3,444.9 695.4 3,389.8 257.1 NA 1999 4,949.5 912.2 4,489.1 339.2 1,106.3 2000 6,282.5 1,675.9 6,802.1 393.7 1,176.3 Sumber: Mining and Energy Yearbook of Indonesia, 2000, (page:xx-xxi), Ministry of Mines and Energy Catatan: *) Asumsi harga 1 ton batu bara = USD 20., Angka Perkiraan C. KONSOLIDASI DAN INTEGRASI ENERGI Konsumsi minyak bumi (BBM) yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan sekitar 6-7 persen setahun cukup mengkhawatirkan dan bisa menggiring Indonesia menjadi negara pengimpor minyak (net importer country). Pada tahun 2000, konsumsi BBM mencapai sekitar 390 juta barel sementara produksinya mencapai sekitar 520 juta barel. Namun sejak tahun 1994, produksi BBM sudah mengalami penurunan secara cukup berarti dari sekitar 580 juta barel menjadi sekitar kurang dari 500 juta barel di tahun 2001. Kecuali ditemukan dan dieksploitasi sumur-sumur baru, maka produksi akan terus menurun di tahun-tahun mendatang sampai kepada tingkat kritis sebesar 460 juta barel di tahun 2004, yakni tingkat yang sama dengan tingkat konsumsinya. Apabila kecenderungan ini berjalan terus Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit minyak bumi sebesar 300 juta barel setahun pada tahun 2010 dan sekitar 400 juta barel di tahun 2015. Kelangkaan minyak bumi tentunya akan diiringi oleh meningkatnya harga. Pada tahun 2010 tersebut, harga minyak mentah di Indonesia diperkirakan sudah mencapai US$ 30,4 per barel dan terus meningkat hingga US$ 54 per barel di tahun 20353. Konsumsi energi dapat digolongkan dalam tiga sektor pemakai: industri, rumah tangga dan transportasi. Sektor transportasi dan industri merupakan pemakai energi paling banyak dengan menggunakan BBM. Bila pemakai BBM di Indonesia tetap boros, maka tidak sampai 10 tahun kedepan diperkirakan Indonesia akan menjadi net oil importer country dan pada tahun 2020 menjadi total importer country. Dengan mengasumsikan harga minyak dunia sebesar US$ 25 per barrel, biaya impor yang harus dikeluarkan pada tahun 2020 adalah sebesar US$ 11 miliar atau 11 kali lipat biaya impor pada tahun 1998. Namun apakah energi primer lain, khususnya gas alam dan batubara dapat mensubstitusi minyak bumi dalam suatu kebijakan ”energy mix”? Atau apakah gas dan batubara dapat berfungsi sebagai ”trade-off” bagi defisit minyak bumi kedepan? Sulit untuk menjawabnya sekarang sebelum dilakukan suatu studi yang mendalam tentang kombinasi yang paling optimal mengenai peran dari masing-masing energi primer tersebut dalam suatu tatanan ekonomi makro dan strategi energi nasional mendatang. Sampai saat ini belum ada satu dokumen formal pun yang mengatur tentang Energy Mix Policy (EMP) ini. 3 Berdasarkan kajian BPPT dan NEDO, Jepang , lihat KOMPAS, 13 Des.2002, hal.14. Bagian IV.33 – 49 Draft 12 Desember 2004 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi bahkan belum menyinggung perlunya ada keseimbangan yang optimal dari pemakaian dan alokasi energi primer. Gambar 15. Produksi dan Konsumsi BBM Nasional Produksi Minyak Nasional 800 567 jt barel/thn (1.58 jt barel/hari) 561 jt barel/thn (1.56 jt barel/hari) 700 540 jt barel/thn (1.54 jt barel/hari) 468 jt barel/thn (1.30 jt barel/hari) 600 Defisit minyak: 300 juta barel/tahun 500 400 Produksi Konsumsi Produksi Nasional Total 300 200 Laju pertumbuhan konsumsi BBM dalam negeri: 6-7% 100 0 1975 1980 1985 1990 1995 2000 Kemungkinan Indonesia menjadi "Net Importer Country" 2005 2010 2015 2020 Susutnya produksi minyak bumi dan meningkatnya konsumsi mengharuskan kita mencari strategi baru pemenuhan kebutuhan energi nasional untuk menunjang perekonomian mendatang, khususnya pasca 2005 dimana defisit minyak bumi akan terjadi dalam skala yang makin lama makin besar. Substitusi energi primer lainnya terhadap minyak bumi menjadi opsi yang tidak terhindarkan. Gas alam dan batubara harus dioptimalkan penggunaannya bagi kepentingan nasional. Kebijakan terpadu mengenai energi primer ini harus segera disusun dalam satu strategi nasional mengenai Keterpaduan Energi Nasional (Energy Mix Policy, EMP), yang menjadi acuan bagi pengembangan masing-masing energi primer dengan memperhatikan intervensi pemerintah dalam regulasi, penetapan harga (pricing policy), strategi investasi (financial scheme), kelembagaan, peran serta sektor swasta, serta instrumen fiskal lainnya yang terkait. D. POTENSI Tahun 1999 2000 2002 2003 Tabel 16. Potensi Cadangan Minyak Bumi Minyak Bumi (Milyar Barel) Terbukti Potensi Total 5,20 4,62 9,82 5,12 4,49 9,61 4,72 5,02 9,74 4,73 4,09 8,82 Sumber: Ditjen Migas, 2003 Sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah, Indonesia memiliki cadangan sumber energi yang cukup banyak dan beragam. Potensi minyak bumi (terbukti dan cadangan potensial) yang pada tahun 2003 masih sebesar 8,82 miliar barel (cadangan terbukti 4,73 miliar barel dan potensi 4,09 miliar barel). Daerah penghasil minyak bumi yang terbesar selama ini adalah Sumatera bagian tengah, khususnya Riau, dengan cadangan terbukti dan potensial tahun 2003 sebesar 4,10 miliar barel, disusul oleh Kalimantan Timur dengan cadangan sebesar 1,06 miliar barel dan Jawa Barat dengan cadangan sebesar 1,13 miliar barel. Walaupun minyak bumi sudah dieksplorasi dan diproduksi secara besarbesaran sejak akhir tahun 1970-an, sampai dengan tahun 2003 cadangan terbukti masih berada dibawah 5 miliar barel. Namun demikian produksi minyak bumi diperkirakan akan Bagian IV.33 – 50 Draft 12 Desember 2004 menurun sejalan dengan makin tua nya sumur-sumur yang ada dan kuota yang diterapkan oleh OPEC. Tabel 17. Potensi Cadangan Gas Alam Tahun 1997 1998 1999 2000 2002 2003 Gas Alam (TCF) Terbukti Potensi Total 76,17 61,62 137,79 77,06 59,39 136,45 92,48 65,78 158,26 94,75 75,56 170,31 90,30 86,29 176,59 91,17 86,96 178,13 Sumber: Ditjen Migas, 2003 Potensi gas alam tahun 2003 yang tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Papua sebesar 178,13 triliun kaki kubik (TCF)4 terdiri dari 91,17 TCF cadangan terbukti dan 86,69 TCF cadangan potensi (probable reserve). Penggunaan gas alam sebagai pengganti minyak bumi lebih memungkinkan karena cadangan depositnya yang tiga kali lebih besar dari minyak bumi dan karena sifatnya yang ramah lingkungan apabila dibandingkan dengan batubara. Sementara itu walaupun potensi gas alam lebih besar dari potensi minyak bumi, sampai saat ini pemakaian energi terbesar, sekitar 60 persen dari kebutuhan nasional, masih pada minyak bumi, yang terutama digunakan oleh tiga sektor terbesar yakni industri, transportasi, dan rumah tangga. Pemakaian pada ketiga sektor ini pun, khususnya transportasi, sangat tidak efisien, terlepas dari program diversifikasi dan konservasi energi yang sudah dicanangkan pemerintah sejak lama. Dari 170,31 triliun kaki kubik (TCF) cadangan gas alam terbukti dan potensial pada tahun 2000, Natuna merupakan penyimpan terbesar dengan deposit total sekitar 53,8 TCF diikuti oleh Kalimantan Timur dengan cadangan sebesar 51,3 TCF dan di Papua (23,9 TCF) serta Sumatera Selatan (14,9 TCF). Gambar 16. Cadangan Gas Asean (TCF) Pilipina 5 Brunei 12 Vietnam 25 T hailand 32 Malaysia 99 Indonesia 170 0 50 100 150 200 Dengan cadangan sebesar 178,13 TCF, Indonesia merupakan negara penghasil terbesar gas alam di ASEAN. Pada tahun 2000, ekspor gas alam Indonesia berupa LNG dan LPG menghasilkan penerimaan negara sebesar US$ 7,2 miliar, meningkat 49,0 persen dibandingkan penerimaan tahun 1999 yang sebesar US$ 4,83 miliar. Dalam beberapa tahun kedepan, ekspor gas Indonesia diperkirakan akan tetap besar. 4 TCF: trillion cubic feet atau triliun kaki kubik Bagian IV.33 – 51 Draft 12 Desember 2004 Tabel 18. Potensi Cadangan Batubara, 2000 Wilayah Terukur NAD Riau Jambi Bengkulu Sumbar Sumsel Jawa Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Sulsel Papua Lain lain Indonesia Potensi (Juta Ton) Indikasi Total 64,14 289,00 222,17 68,98 158,02 4.099,72 0,63 1,00 4.054,11 206,70 2.377,64 21,20 1.763,35 1.157,52 566,48 97,43 221,54 8.792,96 4,86 185,12 9.699,57 706,36 3.981,97 96,13 - 25,53 5,42 7,31 11.568,73 27.306,13 1.827,49 1.446,52 788,65 166,41 379,56 12.892,68 5,49 186,12 13.753,68 913,06 6.359,61 117,33 25,53 12,73 38.874,86 Sumber: Pusat Informasi Energi UI, 2001 Sementara itu potensi batubara yakni sebesar 38,9 miliar ton atau setara dengan 170,08 miliar SBM5 pada tahun 2000 atau sekitar hampir 18 kali lebih besar dari potensi cadangan minyak bumi. Deposit batubara ini terdiri dari sekitar 11,57 miliar ton dalam kondisi cadangan terukur dan 27,31 miliar ton dalam kondisi terindikasi, termasuk 5,37 miliar ton cadangan yang dapat ditambang. Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia dengan total potensi masing-masing sebesar 12,9 miliar ton (sekitar 56,44 miliar SBM) dan 13,8 miliar ton (sekitar 60,38 miliar SBM), disusul oleh Kalimantan Selatan dengan potensi sebesar 6,36 miliar ton (sekitar 27,83 miliar SBM). Ketiga daerah tersebut memiliki potensi sekitar 82 persen dari cadangan batubara nasional. Selain itu, sebagai daerah vulkanik yang kaya dengan gunung berapi, Indonesia mempunyai potensi panas bumi yang cukup besar yang terdapat di sepanjang pulau Sumatera, Jawa-Bali, NTT, NTB, kepulauan Banda, Halmahera, dan Pulau Sulawesi. Di sepanjang jalur kepulauan tersebut terdapat sekitar 70 daerah sumber energi panas bumi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Tabel 19. Potensi Panas Bumi Indonesia (MWe) Sumber Propinsi Daya Cadangan Total Sumatera 7,983.0 5,837.0 13,820.0 Jawa 3,953.5 5,300.0 9,253.5 Bali Nusa Tenggara 602.0 885.0 1,487.0 Sulawesi 1,050.0 896.0 1,946.0 Maluku dan Irian 442.0 142.0 584.0 Kalimantan 50.0 50.0 Total 14,080.5 13,060.0 27,140.5 Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2004 Potensi energi panas bumi (geothermal) Indonesia yang merupakan terbesar di dunia secara total mengandung kekuatan untuk menghasilkan tenaga listrik sebesar ekivalen 5 1 ton batubara setara dengan 4,375 barel minyak mentah Bagian IV.33 – 52 Draft 12 Desember 2004 dengan 27.140,5 MWe atau 27,14 GWe (Giga Watt Equivalen) terdiri dari 14.080 MWe sumber daya dan 13.060 MWe cadangan6). Propinsi Jawa Barat memiliki potensi terbesar panas bumi dengan total sebesar 5.626 MWe. Sumatera Utara merupakan propinsi kedua penghasil panas bumi dengan total potensi panas bumi sebesar 3.626 MWe. Pemanfaatan panas bumi sebagai energi listrik membutuhkan investasi yang besar dan lokasinya biasanya jauh dari jalur transmisi, maka pemanfaatan panas bumi sejauh ini masih terbatas. Energi primer lain yang cukup potensial di Indonesia dan termasuk enegi yang terbarukan (renewable energy) adalah Tenaga Air (Mikrohidro) yang biasanya didapat dengan memanfaatkan aliran sungai dengan debit yang memadai untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Potensi energi mikrohidro dengan besaran tidak kurang dari 20 kVA dengan total 459,91 MWe, termasuk sekitar 258 MWe yang potensial dipergunakan bagi sistem irigasi teknis. Potensi terbesar tenaga air untuk irigasi teknis ini berada di Kalimantan Barat dengan cadangan sekitar ekivalen 233,7 MWe. Potensi energi terbarukan lainnya adalah tenaga matahari (solar), energi angin, biomasa, biogas, dan tanah gambut (peat soil). Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai ketersediaan energi solar yang cukup potensial. Pengukuran potensi tenaga solar yang dilakukan selama 10 tahun belakangan ini oleh beberapa lembaga pemerintah terkait di beberapa daerah di Indonesia memberikan angka rata-rata radiasi harian sinar matahari yang berpotensi membangkitkan listrik yang bervariasi dari 4,10 sampai 5,75 kWh per meter persegi. Energi surya ini tersedia diseluruh wilayah Indonesia yang dapat dimanfaatkan sepanjang tahun. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada dua teknologi yang sudah diterapkan yaitu teknologi energi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), pengering hasil pertanian dan perikanan, serta pemanas air. Energi surya fotovoltaik telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, pompa air, televisi, telekomunikasi dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total 5 MW. Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk Solar Home System sudah mencapai tahap komersial. Sementara itu pengukuran terhadap kekuatan angin pada ketinggian 24 meter diatas tanah di beberapa daerah menunjukkan kecepatan angin rata-rata yang bervariasi dari 2,39 meter per detik sampai 5,57 meter per detik. Kecepatan angin berpotensi menggerakkan turbin pembangkit listrik, namun kecepatan angin berapa yang potensial sangat tergantung kepada teknologi dari pembangkitnya. Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang cukup besar, terdiri dari solid bio mass, gas mass, dan liquid biomass. Sumber biomasa terbesar berasal dari sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan, dan diperkirakan potensi seluruh energi biomasa setara dengan 50 GW. Limbah kayu dari sektor kehutanan merupakan potensi terbesar energi biomasa. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama digunakan. Melalui proses pembakaran langsung dan teknologi konversi lainnya seperti pirolisa dan gasifikasi, maka biomasa dapat diubah menjadi energi panas, mekanik dan listrik. Energi yang dihasilkan telah digunakan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, penggerak mesin penggilingan padi, pengering hasil pertanian dan industri kayu, serta pembangkit listrik pada industri kayu dan gula. Selain biomasa yang berasal dari sektor pertanian dan kehutanan, terdapat pula potensi energi terbarukan biogas yang berasal dari limbah sektor peternakan dengan besaran Cadangan merupakan perjumlahan dari cadangan yang sudah terbukti (proven), probable, dan possible, sedangkan Sumber Daya merupakan cadangan yang bersifat hipotetis dan spekulatif. 6 Bagian IV.33 – 53 Draft 12 Desember 2004 sekitar 684,8 MW. Pulau Jawa menyimpan potensi terbesar cadangan energi biomasa dan biogas ini. Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh samudera besar, potensi energi gelombang dan pasang laut secara umum cukup besar walaupun masih memerlukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kelayakan ekonomi dan teknologinya. Energi yang dapat dimanfaatkan dari samudera terdiri atas energi gelombang, energi pasang surut, dan energi yang berasal dari perbedaan suhu kedalaman dengan permukaan laut (OTEC, Ocean Thermal Energy Conversion). Energi yang terkandung dalam gelombang cukup besar, yaitu rata-rata pada garis khatulistiwa dengan gelombang besarnya sekitar 20-70 kW per meter. Dengan kata lain, pantai sepanjang 1 kilometer secara teoritis dapat menerima daya sekitar 20-70 MW. Jika daya tersebut dikonversikan menjadi listrik dengan efisiensi 50 persen maka akan dihasilkan listrik sebesar 10-35 MW. Tanah gambut di Indonesia tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Gambut adalah bentuk energi lain yang sangat potensial di Indonesia yang merupakan suatu campuran heterogen zat-zat organik dan mineral organik yang sebagian telah membusuk dan terkumpul dalam lingkungan yang mengandung banyak air tawar atau campuran dengan air asin. Dengan adanya lingkungan yang jenuh air, zat-zat organik yang terkumpul dapat membusuk secara biologis namun unsur karbonnya tersimpan berupa gas. Ciri-ciri gambut tergantung pada jenis tumbuhan asalnya dan pada tingkat pembusukan (dekomposisi) secara biologis. Semakin tinggi tingkat dekomposisinya, kandungan karbonnya semakin tinggi pula. Potensi gambut di Indonesia diperkirakan sebesar 97,93 triliun MJ7. Potensi paling besar terdapat di Riau (39,1 triliun MJ), Kalimantan Barat (16,2 triliun MJ) dan Kalimantan Tengah (12,2 triliun MJ). Daerahdaerah lain yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi masing-masing mempunyai potensi kurang dari 7 triliun MJ. Energi terbarukan masa depan termasuk pengembangan Sel Bahan Bakar (SBB) yang merupakan suatu teknologi konversi energi langsung yang berlangsung secara proses elektro-kimia. Sumber energi utama untuk konversi SBB pada dasarnya berupa bahan bakar berbasis hidrogen baik berupa hidrogen murni atau bahan bakar gas lainnya, seperti biogas, methanol, gas alam, biomas producer gas (gasifier) dan gas batubara, yang diperkaya dengan hidrogen melalui suatu unit reformer. Untuk jangka panjang bahan bakar hidrogen dapat diperoleh dari elektrolisa air menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya, OTEC, atau energi angin. Dengan demikian potensi sumber energi untuk operasional SBB cukup bervariasi dan besar. Tabel 20. Potensi Energi Tenaga Air (Mikrohidro), Mwe Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku Papua 101,53 6,47 244,25 75,19 2,34 9,73 Sumber: Indonesia Energy Outlook & Statistics, PEUI, 2002 E. Bali & NT 20,40 Indonesia 459,91 PERMASALAHAN UTAMA Persoalan utama pembangunan energi di Indonesia adalah tidak sesuainya antara suplai dan permintaan energi untuk konsumsi dalam negeri. Walaupun tahun 2000 produksi energi di Indonesia sebesar 7,64 Quadrillion BTU, namun sebahagian besar 7 1 MJ atau 1 juta Joule (J) setara dengan 0,28 kWh atau 975 BTU Bagian IV.33 – 54 Draft 12 Desember 2004 diekspor ke luar negeri seperi minyak mentah dan gas alam, sehingga Indonesia masih mengimpor BBM dari luar negeri. Masalah lain yang dihadapi adalah belum bakunya sistem penetapan harga energi yang belum mencerminkan nilai ekonominya sehingga mendorong penggunaan energi secara maksimal dan tidak mengembangkan prakarsa masyarakat untuk melakukan penghematan energi. Masih rendahnya tingkat diversifikasi energi juga merupakan masalah. Hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap BBM masih tinggi. Pembangunan dan pangsa pengguna energi selama ini masih bertumpu kepada pengguna energi tidak terbarukan seperti minyak bumi. Sementara cadangan minyak bumi semakin menipis. Masalah lainnya adalah belum efisiennya pemanfaatan energi oleh konsumen rumah tangga, indsutri dan transportasi. Konsumen masih belum sadar untuk menggunakan energi sehemat mungkin. Hal ini tercermin dari perilaku pemilihan jenis dan daya lampu serta tingkat efisiensi mesin. Beberapa permasalahan lain diluar permasalahan utama di atas antara lain meliputi: struktur harga, pajak dan subisdi untuk minyak telah memperlambat kebijakan diversifikasi energi, sikap menunggu pelaku bisnis masih tentang kebijakan pemerintah yang lebih kondusif untuk manajemen bisnis minyak disisi hilir; ketidakpastian regulasi antara pemerintah pusat dan daerah, kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil; dan kemampuan kilang minyak dalam negeri yang masih terbatas. F. TANTANGAN Tantangan yang paling dekat untuk dihadapi adalah APEC 2020 khusus negara berkembang yang memerlukan kesiapan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menghadapinya. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya energi fosil. Minyak bumi merupakan sumber energi utama di dalam negeri. Di samping itu, minyak bumi juga merupakan komoditas ekspor penting yang menghasilkan devisa cukup besar. Untuk masa yang akan datang masih tetap penting sebagai sumber utama energi. Walaupun pangsa minyak bumi sebagai sumber daya energi di dalam negeri berhasil diturunkan, volume pemakaiannya masih bertambah dari tahun ke tahun. Belum optimalnya pemanfaatan sumber energi terbarukan juga merupakan tantangan yang tidak mudah. Hingga saat ini lebih dari 50 persen energi yang dikomsumsi rakyat berasal dari minyak bumi, dan pemanfaatan sumber energi alternatif seperrti gas bumi, batu bara, dan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, energi surya, energi angin, dan biomassa, perlu ditingkatkan. Minyak bumi masih banyak dipergunakan masyarakat karena selain relatif mudah diperoleh, relatif murah, dapat dipergunakan untuk berbagai kebutuhan dan masih ditemukan cara yang benar-benar efektif untuk menggantikannya. Energi panas bumi, walaupun bersih lingkungan, ketersediaannya relatif jauh dari penduduk dan sentra industri, sehingga membutuhkan biaya yang relatif mahal. Bagian IV.33 – 55 Draft 12 Desember 2004 Pembangunan energi masih menghadapi tantangan dalam kemampuan penguasaan teknologi dan rekayasa. Disamping itu, kurangnya tenaga terdidik dan terampil serta terbatasnya sarana untuk pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan. Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang semakin tinggi juga menyebabkan semakin ketatnya persayaratan pemilihan jenis bahan bakar dan teknologi yang digunakan. Sejalan dengan itu, pembangunan sarana penyediaan energi menghadapi masalah dengan daya dukung yang tidak seimbang seperti di Pulau Jawa. G. KENDALA Kondisi geografis yang terdiri atas kepulauan dan luasnya wilayah nusantara merupakan kendala dalam penyediaan energi maupun penyaluran serta transportasinya secara efisien, andal dan memenuhi skala produksi yang ekonomis. Industri energi bersifat padat modal, memerlukan teknologi tinggi serta beresiko tinggi. Untuk itu pengembengan sektor energi memerlukan pendanaan yang besar. Dalam situasi saat ini, kemampuan pemerintah untuk melakukan pendanaan bagi sektor energi sangat terbatas. Partisipasi investasi swasta masih terbatas, mengingat iklim investasi yang kondusif masih sulit diwujudkan dengan situasi peraturan dan perundang-undangan serta kebijaksanaan harga energi yang ada pada saat ini. Di samping itu pembangunan yang makin meningkat dan bertambahnya jumlah penduduk serta sebaran cadangan energi yang tidak merata akan dihadapkan pada kondisi sumber daya yang makin terbatas, khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kendala lain yang timbul dalam pengolahan energi adalah konflik penggunaan lahan. Sebagai contoh adalah belum sinkronnya peraturan pemerintah tentang Hutan Lindung dengan kebijakan untuk mengembangkan sumber energi panas bumi. Kendala lainnya adalah meningkatnya penggunaan energi mengakibatkan memburuknya kualitas udara terutama di daerah perkotaan dan memberikan dampak lainnya seperti pemanasan suhu bumi. Pembuangan limbah industri dari hasil pembakaran dan pengangkutan bahan bakar di laut dan sungai yang dapat menyebabkan pencemaran air. Peningkatan produksi dan konsumsi energi di masa mendatang dikhawatirkan akan makin memperburuk keadaan. 3.1.2 SASARAN PEMBANGUNAN ENERGI Sesuai dengan rencana jangka menengah sampai dengan tahun 2010, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen per tahun, maka permintaan energi total diperkirakan naik sebesar 7,1 persen pertahunnya. Namun dengan adanya kebijakan penghematan dan penganekaragaman energi baik infratruktur yang sudah ada melalui rehabilitasi maupun yang akan dibangun diharapkan pertumbuhan permintaan energi dapat ditekan menjadi di bawah 6 persen. Selain itu sasaran akhir pembangunan energi adalah harga jual energi yang mencerminkan nilai keekonomiannya agar beban pemerintah Bagian IV.33 – 56 Draft 12 Desember 2004 untuk mensubsidi BBM semakin berkurang pada lima tahun mendatang secara bertahap dan sistematis serta tetap memperhatikan subsidi langsung kepada masyarakat yang kurang mampu. A. PROYEKSI ENERGI Seiring dengan masih belum pulihnya perekonomian nasional, maka tidaklah mudah memperkirakan apa yang akan terjadi di masa datang. Begitu pula dengan perkiraan perkembangan sektor energi. Tabel 21. Supply dan Demand Energi (Juta SBM) Supply Demand 2005 2010 2005 2010 Energi Primer Minyak Bumi 450 500 Gas Bumi 250 320 Batu Bara 120 150 EBT 190 310 Energi Final BBM 325 400 Gas Bumi 250 300 Batu Bara 190 200 Listrik 100 170 Konsumsi persektor Trasportasi 200 250 Rumah Tangga dan Komersial 290 320 Industri 210 300 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – UI, 2003 Menggunakan hasil kajian dari Bappenas dan Pusat Energi Universitas Indonesia pada Kajian Energy Mix tahun 2003 dengan mempergunakan model dari perangkat lunak INOSYD diperoleh gambaran supply dan demand untuk energi primer, energi final dan konsumsi persektor. TABEL 22. BIAYA INVESTASI INFRASTRUKTUR ENERGI TOTAL NASIONAL JENIS ENEGI JENIS INFRASTRUKTUR INVESTASI YANG DIPERLUKAN SAMPAI 2010(MILIAR USD) MINYAK BUMI KILANG 9,72 GAS BUMI 6,53 BATUBARA LISTRIK MINYAK, TANGKI TIMBUN KILANG LNG, JARINGAN PIPA TRANSMISI, LN RECEIVING TERMINAL PELABUHAN BATUBARA, REL KERETA API BATUBARA PEMBANGKIT, JARINGAN TRANSMISI TOTAL 0,47 38,11 54,82 Berdasarkan hasil proyeksi tersebut hingga tahun 2010 biaya investasi bidang energi Indonesia untuk infrastruktur minyak bumi, gas bumi, batubara dan listrik diperlukan dana sebesar USD 54,82 miliar. Bagian IV.33 – 57 Draft 12 Desember 2004 B. STRATEGI PEMBANGUNAN ENERGI BERKELANJUTAN Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi untuk masa datang dalam jumlah yang memadai dan dalam upaya menyediakan akses berbagai macam jenis energi untuk segala lapisan masyarakat, maka perlu diciptakan suatu sistem baru penyediaan dan transportasi energi yang lebih kompetitif dan mencerminkan harga pasar. Hal ini dapat ditempuh dengan menyiapkan sarana dan prasarana lintas sektor, menghilangkan monopoli baik disisi bisnis hulu maupun disisi bisnis hilir untuk sektor migas, maupun disisi pembangkit, transmisi dan distribusi di sektor energi baru dan terbarukan lainnya. Dengan adanya pasar energi (energy market) akan diperoleh beberapa keuntungan antara lain; (a) subsidi BBM akan dinikmati oleh masyarakat ekonomi lemah, karena harga jual telah ditentukan oleh mekanisme pasar; (b) peranserta sektor swasta baik dari PMDN maupun PMA ataupun foreign direct investment akan semakin terbuka mengingat bisnis di sektor energi semakin kompetitif dan memberikan keuntungan kepada semua stake holders; (c) konsep energi mix semakin nyata dalam pelaksanaannya karena di pasar akan tersedia berbagai macam jenis energi, baik dari sumber renewable energi maupun non-renewable energi; (d) terciptanya kompetisi disegala lini bisnis energi baik dari sisi supplier, transporter dan konsumer; (e) masyarakat pengguna energi secara alamiah akan menyadari pentingnya penghematan penggunaan energi. Untuk menciptakan pasar energi di Indonesia, pemerintah telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada investor swasta yang ingin berkecimpung dalam pembangunan sector energi, dengan menerbitkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Tujuan utama pemberlakuan undang-undang tersebut yaitu dalam rangka untuk dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Reformasi yang cukup menonjol yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, usaha kecil, maupun badan usaha swasta. Guna memisahkan peran regulator, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minydak dan Gas Bumi atau lebih dikenal dengan BP Migas. Sementara itu di sektor hilir pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 juga telah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas melalui Pipa atau lebih dikenal dengan Badan Pengatur. Langkah ini juga telah dilanjutkan dengan mereposisi Pertamina menjadi Perseroan Terbatas (PT) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003. Dengan demikian diharapakan tidak terjadi lagi monopoli dalam pengusahaan, penyediaan dan transportasi migas, karena badan usaha atau bentuk usaha tetap, yang melakukan kegiatan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir. Pasar energi memerlukan prasarana yang terintegrasi. Sebagai contoh pasar energi gas alam untuk kepentingan industri, pupuk, pembangkit listrik akan lebih berkembang di masa datang apabila didukung oleh jaringan transmisi gas yang terintegrasi, yang menghubungkan antara lading gas dengan konsumen, dan yang menghubungkan antara Bagian IV.33 – 58 Draft 12 Desember 2004 ladang gas yang satu dengan ladang gas yang lainnya. Selain itu pasar energi juga memerlukan perangkat hukum yang menjamin keberlangsungan mekanisme pasar energi itu sendiri, meliputi hak dan kewajiban konsumen dan produsen, transmission code, distribution code, dan independen regulator. Di samping memperhatikan kecenderungan (trend) pasar energi baik internasional dan nasional, perencanaan pembangunan energi pasca krisis juga mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi politik nasional dan geopolitik dunia. Dalam penyelesaian masalah infrastruktur energi untuk pemerataan akses terhadap energi, peran pemerintah daerah sangat diperlukan. Selama ini perencanaan energi bersifat Top-Down (dari pusat ke daerah). Dengan telah ditetapkannya perangkat undang-undang mengenai otonomi daerah No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 maka daerah mempunyai kewenangan dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan daerah (mekanisme bottom-up). Penerapan mekanisme Top-Down hanya untuk sarana sinkronisasi dan koordinasi perencanaan energi antar daerah dan daerah dengan pusat. Koordinasi perencanaan energi antar daerah dan pusat yang bertujuan untuk terciptanya pembagian kemampuan dan keahlian di bidang energi, terpenuhinya skala ekonomi teknologi energi dan terwujudnya harmonisasi kebijakan dan peraturan pada tingkat daerah dan nasional tentulah harus terus menerus ditingkatkan. Pedoman penyediaan jasa-jasa pelayanan infrastruktur, termasuk untuk sektor Energi, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. 3.1.3 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ENERGI Untuk mengatasi permasalahan di bidang pembangunan energi dirumuskan kebjakan utama energi yaitu: (a) Intensifikasi pencarian sumber energi, (b) Penentuan harga energi, (c) Diversifikasi energi, (d) Konservasi energi, (e) Energi Mix dan (f) Pengendalian lingkungan hidup. A. KEBIJAKAN UTAMA A.1 INTENSIFIKASI PENCARIAN SUMBER ENERGI Mendorong secara lebih aktif kegiatan pencarian cadangan energi baru secara intensif dan berkesinambungan terutama minyak bumi, gas dan batu bara dengan menyisihkan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan survei cadangan baru, seperti pola dana reboasasi pada sektor kehutanan. Dana cadangan ini dapat diterapkan pada Kontraktor Production Sharing (KPS) yang beroperasi di Indonesia. Upaya pencarian sumber energi terutama dilakukan di daerah-daerah yang belum pernah disurvei, sedangkan di daerah yang sudah terindikasi diperlukan upaya peningkatan status cadangan menjadi lebih pasti. A.2 PENENTUAN HARGA ENERGI Harga energi perlu diperhitungkan dengan harga produksi dan mengikuti harga pasar, namun harus memperhitungkan kondisi ekonomi masyarakat. Pengguna energi dapat memilih jenis energi primer yang akan digunakan sesuai dengan nilai keekonomiannya Bagian IV.33 – 59 Draft 12 Desember 2004 untuk mendapatkan biaya produksi yang paling rendah sehingga akan meningkatkan efisiensinya. Harga energi ditetapkan dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu optimasi pemanfaatan sumber daya energi dan optimasi pemakaian energi, bagi hasil untuk explorasi dan pemanfaatannya, pajak dan meningkatkan daya saing ekonomi, melindungi konsumen dan asas pemerataan. Penentuan harga energi seyogyanya disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada untuk setiap jenis energi, daerah dan wilayah konsumsi yang akan mempengaruhi transportasi. Karena itu perlu diteliti lebih lanjut kemungkinan penentuan harga berdasarkan dedicated price, menurut harga pasar dan harga yang dikendalikan pemerintah (regulated price). A.3 DIVERSIFIKASI ENERGI Diversifikasi energi diarahkan untuk penganekaragaman pemanfaatan energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, sehingga dicapai optimasi penyediaan energi regional dan nasional untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Agenda diversifikasi energi yang perlu terus dilanjutkan adalah mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dalam komposisi penggunaan energi (energy mix) Indonesia. Hal ini dilakukan, antara lain, dengan mengembangkan infrastruktur untuk memproduksi dan menyalurkan energi (bahan bakar) fossil selain minyak bumi, yaitu batubara dan gas alam. Batu bara dan gas alam tersedia dalam jumlah yang memadai di berbagai wilayah Indonesia dan secara ekonomi lebih murah dibandingkan minyak bumi, namun pembangunan infrastruktur untuk menyalurkan batubara dan gas alam tersebut ke lokasilokasi konsumen di dalam negeri membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sehingga akan lebih efisien bila memanfaatkan batu bara dan gas alam dengan lokasi industri yang terdekat untuk memanfaatkannya yang akan mengurangi biaya transportasi. Agenda lain diversikasi energi adalah memasyarakatkan penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi, meningkatkan pangsa pemakaian sumber-sumber energi terbarukan (renewables) seperti panas bumi, biomasa, pembangkit mikro hidro, tenaga surya, tenaga angin, dan sebagainya. Pemakaian energi terbarukan didorong khususnya untuk pemakaian setempat. A.4 KONSERVASI ENERGI Upaya konservasi diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan, mulai dari penyediaan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir guna menjamin kepentingan generasi mendatang. Upaya konservasi dilaksanakan dalam dua sisi, yaitu sisi sumberdaya (sisi hulu) dan sisi pemanfaatan akhir (sisi hilir). Konservasi di sisi hulu adalah upaya mengkonservasi sumberdaya energi yang pemanfaatannya berdasarkan pada pertimbangan nilai tambah dan kepentingan generasi mendatang agar sumberdaya energi dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu selama mungkin, sedangkan konservasi disisi hilir dilaksanakan melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan energi akhir di semua bidang. Program ini perlu didukung dengan kebijaksanaan tata ruang perkotaan, transportasi, industri dan program lainnya. Kebijaksanaan tata ruang dan transportasi diperlukan untuk meningkatkan mobilitas penyaluran energi. Bagian IV.33 – 60 Draft 12 Desember 2004 A.5 ENERGI MIX Kebijakan energy mix dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi penggunaan energi yang optimum pada suatu kurun waktu tertentu bagi seluruh wilayah Indonesia. Komposisi pemanfaatan energi yang optimum tersebut coba diperoleh dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber-sumber energi di Indonesia yang beraneka, profil permintaan energi yang bervariasi serta biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menyalurkan energi dari lokasi-lokasi tempatnya tersedia ke lokasi-lokasi permintaan. Kebijakan energy mix juga akan mengidentifikasikan kebutuhan pengembangan suatu jenis energi tertentu maupun kebutuhan pengembangan infrastruktur energi tertentu yang harus dilakukan. Energy mix harus memenuhi kriteria security of supply, ramah lingkugan, pemberdayaan partisipasi masyarakat setempat dan efisiensi ekonomi. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi laju pengurasan sumber daya energi tak terbarukan, khususnya minyak bumi dan gas bumi, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan sehingga akan meningkatkan efisiensi. A.6 PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP Aspek-aspek lingkungan harus diperhatikan dalam semua tahapan pembangunan energi, yaitu mulai dari proses eksplorasi dan eksploatasi sumberdaya energi perlu diikuti dengan usaha reklamasi dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dalam tahap pemakaian energi akhir dilakukan melalui pemanfaatan energi bersih lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih lingkungan. Pemanfaatan energi bersih, yaitu dengan memberi prioritas bagi pemanfaatan energi yang memiliki produksi pencemar yang paling rendah namun layak secara teknis dan ekonomis, seperti penggunaan bensin yang bebas timbal (Pb) ditingkatkan serta pemanfaatan teknologi energi bersih diberbagai sektor juga ditingkatkan. Pada sektor transportasi secara bertahap diarahkan mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor seperti CO, HO, dan Nox untuk kendaraan bermotor yang berbahan bakar solar. Di sector pembangkit listrik dengan memakai bahan bakar batubara dilakukan melalui penerapan clean coal technology dan pengurangan emisi gas buang. Di sektor industri kebijaksanaannya diarahkan untuk mengurangi dan mengendalikan emisi gas buang. Indonesia dapat secara lebih aktif menawarkan konsep pengembangan energi terbarukan kepada masyarakat internasional sebagai bagian dari penerapan tiga fleksibilitas (JI, CDM, dan emission trading) dalam upaya pengurangan emisi CO yang ditawarkan oleh Kyoto Protocol. Pencemaran dan polusi dapat dianggap tindak kejahatan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup jadi indikator moral. Dan agar langit bumi kita tetap biru, maka gas bumi menjadi salah satu pilihan pemakaian bahan bakar Keuntungan menggunakan gas bumi adalah tidak menyebabkan polusi, lebih bersih, mudah dideteksi bila terjadi kebocoran. Untuk mengatasi permasalahan di bidang pembangunan energi dirumuskan kebjaksanaan utama energi yaitu: (a) intensifikasi pencarian sumber energi; (b) penentuan Bagian IV.33 – 61 Draft 12 Desember 2004 harga energi dan kompetisi; (c) diversifikasi pemanfaatan energi; (d) konservasi atau penghematan energi, serta (e) pengendalian lingkungan hidup. B. KEBIJAKAN PENDUKUNG Di samping kebijaksanaan utama juga disiapkan beberapa kebijaksanaan pendukung yaitu: 1) Kebijaksanaan di bidang investasi 2) Kebijakan Penggunaan produksi dalam negeri 3) Kebijaksanaan standardisasi dan sertifikasi 4) Peningkatan sumber daya manusia 5) Peningkatan sistem informasi manajemen energi 6) Kebijaksanaan penelitian dan pengembangan 7) Kebijaksanaan kelembagaan 8) Kebijaksanaan pengaturan 3.1.4 PROGRAM PEMBANGUNAN ENERGI 1. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS JASA PELAYANAN SARANA ENERGI DAN PRASARANA Program ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana energi agar aksesibilitas masyarakat untuk mengkonsumsi segala produk energi semakin mudah, efisien dan harga yang terjangkau serta didukung oleh kualitas dan kuantitas yang memadai sesuai standar yang berlaku. Sasaran yang hendak dicapai yaitu mengurangi biaya operasi melalui peningkatan kapasitas pembangkit listrik non BBM dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Begitu pula jaringan transmisi dan distribusi harus diperluas untuk mengoptimalkan penyaluran energi kepada konsumen yang menghubungkan antar daerah. Untuk lebih menjamin pasokan energi, peningkatan penggunaan gas, panas bumi, batubara kalori rendah, briket batubara, dan Upgraded Brown Coal (UBC) diharapkan dapat menggantikan peranan minyak tanah, terjadinya kompetisi terhadap jenis energi, dan jaminan pasokan energi. Dalam rangka peningkatan pemanfaatan energi agar lebih efisien, maka di sisi hilir diperlukan perluasan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi dengan memberikan paket insentif pajak yang disesuaikan dengan Master Plan Asean Gas Grid, pengembangan transportasi batu bara, pengkajian pemanfaatan batu bara berkalori rendah serta implementasi briket dan UBC untuk memenuhi peningkatan kebutuhan industri padat energi termasuk pembangkit listrik dan rumah tangga. Sedangkan disisi hulu, diperlukan peningkatan kapasitas kilang minyak bumi untuk mengolah produk minyak yang efisien dan harga yang terjangkau konsumen dalam negeri. Secara keseluruhan perlu antisipasi peningkatan pemakaian BBM selama 20 tahun terakhir yang meningkat dengan laju pertumbuhan 5-6 persen pertahun dengan pemanfaatan energi alternatif yang cadangannya berlimpah dengan optimal. Disamping itu perlunya kegiatan ”langit biru” yang dilakukan dengan mengurangi/menghapus kadar timbal untuk mengurangi pencemaran udara yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor. Pemanfaatan gas bumi juga akan terus ditingkatkan dalam rangka mengurangi Bagian IV.33 – 62 Draft 12 Desember 2004 ketergantungan akan BBM sebagai sumber energi perekonomian nasional. Salah satu langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan melanjutkan pembangunan transmisi gas bumi dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat. Begitu pula saat ini sedang dilakukan studi jaringan transmisi gas dari Kalimantan Timur ke Jawa Tengah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gas bumi di pulai Jawa yang mencapai 13 persen per tahun dan akan mencapai 1,8 Miliar Cubic Feet pada tahun 2025, terdiri dari 55 persen untuk kebutuhan pembangkit listrik, 25 persen untuk gas kota dan 20 persen untuk keperluan industri. 2. PROGRAM PENYEMPURNAAN RESTRUKTURISASI PRASARANA ENERGI DAN REFORMASI SARANA DAN Program ini secara bertahap bertujuan untuk menciptakan industri energi yang mandiri, efisien, handal dan berdaya saing tinggi di pasar energi. Sasaran pada program ini yaitu meningkatkan efisiensi, open access untuk menciptakan investasi yang kondusif di bidang energi. Langkah-langkah dalam pelaksanaan restrukturisasi meliputi: penyehatan industri yang ada, Privatisasi, mengatur pemain dengan unbundling dan pendatang baru serta kompetisi. Selain itu melanjutkan program restrukturisasi Undang-Undang Minyak dan Gas, serta panas bumi. Diharapkan akan tercipta kompetisi yang sehat di industri energi pada sektor hulu maupun sektor hilir. Kegiatan pokok dalam program ini adalah melakukan berbagai kajian untuk menentukan skema/struktur industri energi dalam rangka mendorong pengembangan sektor ekonomi. Untuk meningkatkan investasi di bidang migas perlunya peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Pemberlakuan PPN bagi Kontraktor dalam Tahap Eksplorasi, dan pemberlakuan bea masuk terhadap barangbarang impor migas. Pembenahan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menjamin keamanan bagi investor 3. PROGRAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PEMERINTAH DAERAH, KOPERASI DAN MASYARAKAT TERHADAP JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA ENERGI Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih terlibat dalam pengelolaan usaha energi. Khusus untuk Pemda, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika memungkinkan untuk pelaku lainnya. Sasaran program ini adalah peningkatan kemampuan investasi pemerintah daerah, swasta, koperasi dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan sarana dan prasarana energi untuk mengurangi beban pemerintah. Kegiatan pokok dalam progarm ini adalah pemerintah daerah, swasta, koperasi dan masyarakat (pelaku) dapat membangun infrastruktur dan penyaluran energi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelaku juga dapat melakukan bisnis di hulu untuk gas dan batubara termasuk briket dan UBC. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik perlu upaya pemisahan yang jelas antara wilayah kompetisi dan non kompetisi berikut kriteria-kriteria pembatasan untuk wilayah dimaksud. Bagian IV.33 – 63 Draft 12 Desember 2004 4. PROGRAM PENGUASAAN ENERGI DAN PENGEMBANGAN APLIKASI SERTA TEKNOLOGI Program ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada dunia bisnis swasta, BUMN dan Koperasi serta masyarakat untuk berpartisipasi sebagai penyedia, pengelola dan pembeli energi, khususnya dalam penguasaan teknologi, manajemen, serta pemasaran produk energi. Sasaran program ini meliputi penguasaan barang energi produksi dalam negeri serta peningkatan kemampuan dalam mengelola dan memasarkan produk energi yang berkualitas. Kegiatan yang akan dilakukan meliputi pengembangan teknologi tepat guna yang diarahkan pada barang-barang mass production. Begitu pula mendorong industri dalam negeri melalui pemaketan pelelangan disisi hulu untuk menjamin kelangsungan industri dalam negeri, melalui prioritas penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu perlu dilakukan strandarisasi dan pengawasan kualitas produksi dalam negeri. Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan batubara maka diperlukan kajian pengembangan teknologi Coal Bed Methane (CBM). Untuk dibidang migas, diperlukan kajian yang meliputi penelitian cadangan migas baru dan kajian teknologi pengolah limbah migas. Dari selutuh program pembangunan yang ada pembangunan infrastruktur energi terdiri atas rencana pembangunan jaringan pipa gas, skenario pembangunan pelabuhan batubara, skenario penambahan dan pembangunan jalur rel ganda di Sumatera, skenario pembangunan jalur rel kereta api di Kalimantan, skenario penambahan kapasitas infrastruktur energi regional, dan wilayah panas bumi yang siap dikembangkan. Kilang Minyak yang yang akan dibangun berkapasitas total 600 ribu Bpd di Sumbawa, Sabang, Tuban dan Situbundo Tabel 23. Rencana Pembangunan Kilang Minyak Lokasi Kapasitas Tahun Operasi Ribu Bpd Sumbawa 150 2005 Sabang 150 2005 Tuban 150 2010 Situbondo 150 2010 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003 Bagian IV.33 – 64 Draft 12 Desember 2004 Jaringan pipa BBM perlu dibangun dipulau Jawa dengan panjang pipa 780 km Lokasi Tabel 24. Rencana Pembangunan Jaringan Pipa BBM Jarak Dia Pipa Tahun Operasi (Km) Tuban – Semarang Tuban – Surabaya Surabaya – Situbondo Situbondo – Banyuwangi Situbondo – Jember Surabaya – Malang Malang – Lumajang 200 100 180 80 80 80 60 16” &16” & 16” 16” &16” & 16” 16” &16” & 16” 16” &16” & 16” 16” &16” & 16” 12” &12” & 12” 12” &12” & 12” 2005 2005 2005 2005 2010 2010 2010 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003 Pembangunan jaringan pipa gas di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi sepanjang 3.116 km untuk dimanfaatkan oleh sektor industri dan ketenagalistrikan. Tabel 25. Rencana Pembangunan Jaringan Pipa Gas Lokasi Jarak (Km) 174 370 180 222 1100 100 390 200 300 Dia Pipa Cost (Juta US$)/Schedule West Java Distribution 8 - 16 120/Studi 1999-2002 Pagar Dewa –Cilegon 36 460/Studi 1999-2002 Pagar Dewa-Grissik 28 180/Studi 1999 – 2002 Jambi – Lampung 4 – 8 50/Design 1999- 2002 East Kalimantan – Java 32 1100/2002-2005 Samarinda – Balikpapan 4 – 6 35/2003-3005 Gresik – Semarang 28 210/2004-2007 Sengkang – Ujung Pandang 16 80/Studi 2004-2007 East and Central Java 4 – 16 105/Studi 2004-2007 Distribution Kondur - Minas 80 28 80/MOU Signed Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003 Tabel 26. Skenario Pembangunan Pelabuhan Batubara di Indonesia hingga 2010 Tambahan Maximum kapasitas Tahun Terminal Operator Lokasi Vessel handling Operasi (DWT) (Juta Ton/Thn) Kertapati PTBA SumSel 7.000 0.5 2005 Tarahan PTBA SumSbel 60.000 6 2010 Teluk Bayur PTBA Sumbar 40.000 2 2008 Governme 2005 Pulau Baai nt Bengkulu 35.000 1 Kaltim 2008 Tanjung Bara Prima Kaltim 200.000 4 Tanah merah Kideco Kaltim 20.000 3 2007 North Pulau Laut Arutmin Kalsel 150.000 5 2005 Balikpapan PT DPP Kaltim 60.000 2 2008 Indonesia Bulk Term. IBT Kalsel 70.000 5 2010 Tanjung Redep* Berau Kaltim 5.000 2 2008 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003 Bagian IV.33 – 65 Draft 12 Desember 2004 Pelabuhan Batubara yang akan dibangun di Sumatera dan Kalimantan dengan total maximum vessel sebesar 647.000 DWT dan kapasitas handling sebesar 30,5 juta ton/tahun ditujukan untuk memperlancar kegiatan ekspor batubara dan kebutuhan dalam negeri. Tabel 27. Skenario penambahan dan pembangunan jalur rel ganda di Sumatera Jarak Tahun No Jalur Kereta (km) Operasi 1 Tanjung Enim-Muara Enim 40 2007 2 Tanjung Enim-Baturaja 80 2008 3 Muara Enim-Prabumulih 100 2010 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – UI, 2003 Jalur Rel ganda akan dibangun di Sumatera Selatan dengan panjang 220 km untuk keperluan peningkatan volume pengangkutan batubara dari lokasi tambang ke pelabuhan. Tabel 28. Skenario pembangunan jalur rel kereta api di Kalimantan Jarak Tahun No Jalur Kereta (km) Operasi 285 2008 1 Mangkapdie Line 120 2010 2 Senggata Line Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – UI, 2003 Jalur rel kereta api akan dibangun di Kalimantan sepanjang 405 km untuk keperluan pengangkutan batubara. Penambahan kapasitas infrastruktur energi secara regional berdasarkan jumlah konsumen masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali disusul oleh Sumatera dan Kalimantan. Bagian IV.33 – 66 Draft 12 Desember 2004 Tabel 29. Skenario Penambahan Kapasitas Infrastruktur Energi Regional Minyak  Kilang minyak (MBSD)  Depot minyak (MMB)  Pipa minyak (km) Gas  Kilang LNG (Jt Ton/Thn)  Pipa Gas (km)  LNG Rcving Term. (BCF) Batubara  Pelabuhan BB: (juta ton / thn)  Rel Kereta (km): Listrik  Pembangkit Total (MW):  Pembangkit Listrik Panas Bumi (MW):  Transmisi listrik (km): Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi, Papua dan lainnya 150 3.1 - 450 8.8 2340 1.2 - 3.0 - 852 270 864 7.5 864 9.5 21 220 405 200 5200 20 35600 785 1100 - 1900 70 3834 26502 795 1447 Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003 Panas Bumi dipergunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Wilayah yang siap dikembangkan terutama di Sumatera dan Jawa dengan total 2.972 MW yang terdiri atas sumber daya sebesar 1.055 MW dan cadangan sebesar 1.917 MW. Tabel 30. Panas Bumi yang Siap dikembangkan (Mwe) Sumber daya Cadangan Total Sabang (Iboh Jabai) 123 123 Seulawah 282 282 Rantau Dedap 225 225 Suoh Sekincau 0 G. Sekincau 100 130 230 Suoh Antatai 163 300 463 5 Gunung Rajabasa (Kalianda) 40 40 80 6 Kaldera D. Banten 0 Rawa Dano 115 115 Gunung Karang 170 170 7 Cisolok-Sukarame 0 Cisukarame 83 83 Cisolok 50 50 8 Tangkuban Perahu 100 90 190 9 Ngebel-Wilis 70 70 10 Ijen 92 185 277 11 Ungaran 50 52 102 12 Sorik Merapi 420 420 13 Telomoyo 92 92 Total 1055 1917 2972 Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, 2003 1 2 3 4 Bagian IV.33 – 67 Draft 12 Desember 2004 3.2 KETENAGALISTRIKAN 3.2.1 PERMASALAHAN KETENAGALISTRIKAN Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi pasti memerlukan dukungan pasokan energi yang handal termasuk tenaga listrik. Dengan kata lain bidang ketenagalistrikan memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat modal, teknologi dan resiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama. Sebelum krisis ekonomi terjadi, dalam kurun waktu 1969-1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat tajam dari 542 MW menjadi 13.569 MW atau meningkat lebih dari 24 kali lipat. Peningkatan kapasitas pembangkit yang sangat tinggi ini terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Hal ini tampak pada kurun waktu tahun 1984 hingga tahun 1993 terjadi peningkatan kapasitas daya listrik nasional yang meningkat hampir 9.000 MW. Pada era tersebut, khususnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996, investasi dalam pembangunan fasilitas ketenagalistrikan meliputi pembangunan pembangkit dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepajang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya. Berbagai kegiatan pembangunan fasilitas ketenagalistrikan tersebut mampu mengimbangi perkembangan kebutuhan tenaga listrik untuk sistem Jawa-Bali yang berkembang rata-rata 13 persen per tahun antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1997. Dengan demikian rasio elektrifikasi nasional pada tahun 1997 telah mencapai 53 persen. Perkembangan produksi dan daya terpasang dalam empat tahun sebelum masa krisis juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi yaitu untuk sistem Jawa-Bali masing-masing sebesar 43,1 persen dan 12,7 persen, sedangkan untuk sistem Luar JawaBali masing-masing sebesar 46,7 persen dan 31,4 persen. Untuk listrik perdesaan pada periode yang sama telah meningkat dari 36.243 desa yang telah memperoleh aliran listrik menjadi 45.941 desa. Pada umumnya pertambahan desa yang memperoleh aliran listrik berada di kawasan timur Indonesia. Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi mengakibatkan roda pembangunan ketenagalistrikan dan penyediaan tenaga listrik menjadi sangat terpuruk. Dalam masa krisis tersebut pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami penurunan sebesar 0,5 persen pada tahun 1998, sekalipun meningkat lagi sejak tahun 1999 sampai saat ini yaitu rata-rata 10,5 persen untuk Jawa-Bali dan 8,5 persen untuk Luar Jawa-Bali yang berarti lebih rendah dibandingkan masa sebelum krisis terjadi. Pada kurun waktu tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 relatif tidak ada pembangunan proyek pembangkit listrik yang baru dalam rangka penambahan kapasitas daya tenaga listrik baik pada sistem Jamali maupun sistem Luar Jamali. Kondisi ini diperparah oleh penundaan penyelesaian proyek-proyek pembangkit yang pada tahun 1997 tengah berjalan. Dengan kondisi demikian mengakibatkan sejak tahun 1997 Bagian IV.33 – 68 Draft 12 Desember 2004 khususnya tahun 2001 sampai 2004 relatif tidak ada penambahan daya yang masuk ke sistem. Kondisi sistem pembangkitan pada sistem Jamali sampai tahun 2003 memiliki kapasitas terpasang sebesar 18.658 MW, dengan daya mampu sekitar 14.319 MW dan beban puncak sebesar 14.187 MW. Ini berarti hanya memiliki cadangan (reserved margin) mendekati 24 persen dan mendekati kondisi ideal reserved margin yang cukup handal yaitu 25 persen. Sedangkan kondisi sistem penyalurannya saat ini memiliki 379 gardu induk dengan kapasitas 44.219 MVA, dengan jaringan transmisi yang ada sepanjang 18.203 km. Pada sistem Luar Jamali kapasitas terpasang pembangkit yang dioperasikan PT. PLN sebesar 5.573 MW, sedangkan daya mampu pembangkit hanya sebesar 4.000 MW (71 persen dari kapasitas terpasang). Kondisi ini disebabkan dominasi pembangkit oleh PLTD yang sebesar 2.445 MW (44 persen dari seluruh pembangkit yang ada) dan sebesar 1.500 MW (62 persen) PLTD dimaksud telah berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan kapasitas efektif dan beban puncak maka daerah-daerah pada sistem Luar Jamali telah mengalami krisis listrik. Untuk menanggulangi keadaan ini, maka unit-unit usaha PT. PLN telah melakukan sewa pembangkit dari pihak swasta atau partisipasi Pemerintah Daerah (pemda) dengan total daya sekitar 400 MW. Gambar 17. Neraca Kelistrikan Sistem Jamali Neraca Kelistrikan Jaw a-Madura-Bali (Jamali) Gambar 18. Neraca Kelistrikan Sistem Luar Jamali kapasitas terpasang Neraca Kelistrikan Luar Jamali Daya mampu 20000 Daya mampu 8000 6000 10000 5000 0 1996 1997 1998 2000 2002 2004 Kapasitas terpasang yang seharusnya tersedia Beban puncak MW 15000 MW kapasitas terpasang 4000 2000 0 1996 1997 1998 2000 2002 2004 Kapasitas terpasang yang seharusnya tersedia Beban puncak Berdasarkan rasio elektrifikasinya pada akhir tahun 2002 masih berkisar 54,8 persen. Selain itu untuk listrik perdesaan sampai bulan Maret 2003, jumlah desa terlistriki berturutturut untuk Jawa sebesar 23.412 desa dari jumlah total 25.116 desa (93,2 persen) sedangkan untuk Luar Jawa sebesar 28.594 desa dari jumlah total 41.098 desa (69,6 persen). Secara keseluruhan total desa terlistriki sekitar 78 persen, jadi masih terdapat 22 persen atau sebesar 14.208 desa yang belum terlistriki. Dengan demikian terlihat rasio elektrifikasi desa terlistriki di luar Jawa masih rendah dibandingkan di Jawa. Bagian IV.33 – 69 Draft 12 Desember 2004 Gambar 19. Rasio Elektrifikasi Beberapa Negara ASEAN Rasio Elektrifikasi Beberapa Negara Asean 120 100 % 80 60 1994 2000 40 20 Si ng ap ur a M al ay si a Th ai la nd Ph i li pi na Vi et na m In do ne si a Ka m bo ja M ya nm ar 0 Kondisi rasio elektrifikasi Indonesia ini masih jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina yang pada umumnya telah mencapai lebih dari 75 persen, bahkan Singapura , Malaysia dan Thailand sudah mencapai lebih dari 90 persen. Rasio elektrifikasi Indonesia dalam kurun waktu tahun 1994-2000 mengalami pertumbuhan sekitar 6,6 persen lebih per tahun. Namun dengan adanya krisis ekonomi sejak tahun 1997 pertumbuhan rasio elektrifikasi nasional dalam kurun waktu 2000 sampai akhir tahun 2003 hanya tumbuh rata-rata sekitar 0,4 persen per tahun dengan rasio elektrifikasi pada tahun 2003 sebesar 53,9 persen. Berdasarkan perbandingannya dengan Philipina dengan karakteristik geografis dan demografis negara yang serupa, perbandingan densitas permintaan tenaga listrik Indonesia hanya sepertiganya, yaitu Indonesia 8,6 kW per km2 sedangkan philipina telah mencapai 26,8 kW per km2. Pembangunan listrik perdesaan merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang pembangunan sosial ekonomi khususnya wilayah-wilayah yang belum berkembang. Saat ini upaya pengembangan listrik perdesaan masih mengalami masalah utama yaitu selain keterbatasan dana pemerintah baik pusat maupun daerah juga orientasi badan usaha milik pemerintah sebagai penyedia tenaga listrik nasional sudah diarahkan pada usaha-usaha yang komersial penuh. Bagian IV.33 – 70 Draft 12 Desember 2004 Gambar 20. Pertumbuhan Rasio Elektrifikasi NegaraNegara ASEAN (1994-2000) Pertumbuhan RE per tahun Negara-Negara Asean (1994-2000) 100 % 80 60 40 20 Si ng ap ur a M al ay s ia Th ail an d Ph i li p ina Vi et na m In do ne si a Ka m bo ja M ya nm ar 0 Kedua kondisi ini mengakibatkan pengembangan listrik perdesaan menjadi tertinggal dibandingkan pengembangan listrik komersial. Dengan demikian sampai dengan tahun 2004 sistem kelistrikan nasional yang handal belum dapat dicapai. Hal ini terlihat dari adanya kondisi yang cukup kritis bila terjadi kondisi musim kemarau yang mengakibatkan pengurangan daya pembangkit-pembangkit tenaga air, ataupun jika terjadi pembangkit listrik yang harus keluar dari sistem kelistrikan nasional akibat mengalami kerusakan atau harus menjalani pemeliharaan sebagaimana beberapa kali terjadi baik di wilayah Jamali maupun Luar Jamali. Kebutuhan listrik yang relatif masih tumbuh cukup tinggi pada masa krisis tidak dapat diimbangi oleh pengembangan di sisi penyediaan tenaga listrik. Proyek-proyek pembangkit tenaga listrik termasuk listrik swasta dan jaringan transmisi yang sudah terencana pada saat sebelum krisis tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan, dalam pengertian terjadi cadangan listrik yang lebih rendah dari yang dipersyaratkan sebagai sebuah sistem yang handal, terutama kemampuan antisipasi menghadapi kemunginan terjadinya gangguan. Sejak itu krisis penyedian tenaga listrik masih terjadi di berbagai wilayah di sistem Luar Jamali dan sampai saat ini masih ada enam wilayah sistem ini yang mengalami krisis tenaga listrik. Demikian pula sebelum terjadi krisis ekonomi, tarif dasar listrik rata-rata di Indonesia telah mencapai lebih 7 sen USD/ kWh yang membuat pendapatan operasi PT. PLN mencukupi untuk mencapai tingkat Rate of Return sebesar 7 persen. Tarif terendah yang pernah dialami PT. PLN akibat devaluasi nilai rupiah pernah mencapai 2,6 sen/kWh terjadi pada tahun 1998 sehingga memperburuk kondisi keuangan PT. PLN. Bagian IV.33 – 71 Draft 12 Desember 2004 Tabel 31. Struktur Tarif di Beberapa Negara ASEAN Th. 2002 (sen USD/kWh) Negara Brunei Darussalam Kamboja Rumah Tangga Komersial Industri 2,91 – 14,61 2,98 -11,69 2,91 -11,69 8,77 – 16,29 15,03-16,29 Indonesia 5,81 6,64 – 8,09 12,03 – 15,04 5,29 – 7,75 Lao PDR 2,71 2,98 – 3,72 2,50 Malaysia 5,53 – 8,9 2,63 – 10,52 2,63 – 10,52 Myanmar 8,42 8,42 8,42 Philipina 3,10 – 10,55 3,62 – 9,71 3,30 – 10,68 9,35 4,48 – 7,27 4,23 – 6,78 Thailand 3,36 – 7,35 2,89 – 7,35 2,89 – 7,01 Vietnam 2,89 – 8,09 4,20 – 13,83 2,80 – 13,83 Singapore Asumsi USD 1 = Rp 9.100,- Penentuan tarif dasar listrik saat ini masih diatur oleh pemerintah dan bersifat rata (uniform) padahal Indonesia memiliki banyak wilayah yang sangat bervariasi sebagai contoh untuk Luar Jamali pada umumnya memanfaatkan diesel tersebar (scattered diesel) dan memiliki demand yang relatif kecil dibandingkan Jamali yang memiliki kepadatan penduduk dan demand listrik yang sangat besar. Tarif listrik di Indonesia merupakan yang paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Tabel 31). Pada sisi lain, tarif yang ada saat ini rata-rata sebesar Rp555,-/kWh atau ekivalen dengan 6.10 sen USD/kWh masih belum mencerminkan nilai keekonomiannya dan pada kenyataannya lebih dari 90 persen pelanggan listrik yang termasuk golongan R1 sehingga membayar dibawah biaya pokok produksi. Sementara itu persentase total biaya valuta asing terhadap biaya operasi terus meningkat setiap tahun sejak tahun 1996 hingga tahun 2000, yaitu berturut-turut 8,8 persen; 9,7 persen; 39,3 persen; 63,9 persen dan 79,7 persen. Begitu pula pembelian listrik dari swasta yang meningkat menjadi 28 persen dari biaya total biaya operasi PT. PLN. Gambar 21. Perbandingan HPP dan Harga Jual 600 500 400 300 200 100 0 1996 1997 HPP 1998 1999 Harga Jual Bagian IV.33 – 72 2000 Draft 12 Desember 2004 Dampak dari krisis tersebut adalah tampak pula dari menurunnya kinerja finansial PT. PLN sebagai penyedia utama tenaga listrik nasional yang mengakibatkan kemampuan investasinya melemah. Sejak 1997 sampai tahun 2002 PT. PLN mengalami financial losses lebih kurang Rp47 triliun atau sekitar USD 5,3 miliar (Tabel 32). Selain itu PLN sebagai badan usaha milik negara yang diberi tugas untuk menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik selain dituntut untuk melaksanakan misi komersial, masih dibebankan pula untuk melaksanakan tanggung jawab sosial pemerintah di bidang listrik perdesaan. Oleh karena itu sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang mengisyaratkan adanya kompetisi maka perlu dilaksanakan migrasi yang tepat dan sesuai dengan arah pembangunan ketenagalistrikan nasional. Gambar 22. Perbandingan Biaya dan Keuntungan Tabel 32. Indikator Keuangan PT. PLN No 1 2 3 4 5 6 8 Indikator 1 Des 1998 31 Des 1999 31 Des 2000 31 Des 2001 31 Des 2002 Tarif rata-rata 211 220 279 333 443 Revenue 15.966 15.997 22.557 35.360 44.635 Biaya Operasi 16.809 21.503 27.216 31.939 51.359 Pendapatan Operasi (843) (5.506) (4.659) 3.421 (6.724) Net Income (9.546) (11.368) (24.611) 180 1.537 Aset total 74.460 73.219 78.003 79.907 199.237*) % Rate of Return (1,8) (10,7) (8,9) 6,2 (4,0) Sampai saat ini berbagai pembangkit tenaga listrik di Indonesia sebagian besar masih memanfaatkan energi primer berupa bahan bakar minyak. Di sisi lain, saat ini cadangan minyak semakin menipis dan harganya pun semakin mahal.Untuk itu perlu adanya kebijakan indeksasi dan diversifikasi melalui kajian pemanfaatan per jenis energi untuk pembangkit listrik yang terfokus pada pemanfaatan jenis energi yang langsung dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik seperti tenaga air dan energi terbarukan (mikrohidro, surya, angin dan biomasa). Lebih lanjut apabila ditinjau dari potensi sumberdaya energi terlihat sebenarnya persentase potensi sumberdaya energi yang ada di Indonesia dibandingkan potensi yang ada di dunia relatif kecil dan hanya satu potensi dengan persentase besar yaitu potensi panas bumi (40 persen dari potensi dunia). Potensi panas bumi Indonesia pada tahun 2003 sebesar 27.140 MW namun baru dimanfaatkan sebesar 807 MW (3 persen) (Tabel 33). Bagian IV.33 – 73 Draft 12 Desember 2004 Tabel 33. Potensi Sumberdaya Energi Primer No. Sumber Energi Potensi 1. 2. 3. 4. Potensi Cadangan Terbukti Produksi (Tahun) Dunia Minyak Bumi 321 milliar barel 1,2% 5 milliar 500 juta barel Gas Bumi 507 TSCF 3,3% 90 TSCF 3 TCF Batubara 50 milliar ton 3% 5 milliar ton 100 juta ton Tenaga Air 75 ribu MW 0,02% 75 ribu MW 4200 MW 5. Panas Bumi 27 ribu MW 40% 2.305 MW 807 MW Keterangan Habis dalam 10 tahun, ekspor Habis dalam 30, ekspor Habis dalam 50 tahun, ekspor Sulit untuk pengembangan skala besar, domestik Untuk domestik 30 tahun, cadangan mungkin 728 MW dan cadangan terduga 10.027 MW Sumber: DJGSDM, 2003 Tabel 34. Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik di Indonesia Jenis Pembangkit Kapasitas Terpasang MW % Combine Cycle 4,240 22 Steam 4,417 23 Hydro 6,650 36 Diesel 2,536 13 Gas Turbine 765 4 Geothermal 380 2 Sumber: PLN, Juli 2002 Pada sisi lain kondisi pemanfaatan energi untuk pembangkit listrik terlihat bahwa saat ini kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia porsi terbesar adalah pembangkit yang memanfaatkan potensi sumberdaya air (36 persen). Tabel 35. Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Baru Terbarukan (EBT) Jenis Energi Potensi Kapasitas Terpasang Hidro 75.67 GW 4200 MW Geothermal 27 GW 802 MW Mini/mikro hidro 712 MW 206 MW Biomass 49.81 GW 302.4 MW Surya 4.8 kWh/m2/hari 5 MW Angin 3 – 6 m/dt 0.5 MW Sumber: DJLPE dengan modifikasi, 2004 Persentase Pemanfaatan (%) 5,55 2,97 28,93 0,61 - Pemanfaatan potensi air untuk pembangkit skala besar dibandingkan potensi yang ada sebenarnya masih relatif kecil yaitu hanya sebesar 5,55 persen (Tabel 34 dan 35). Oleh karena itu masih terbuka luas peluang untuk mengembangkan pembangkit-pembangkit listrik skala menengah dan kecil terutama yang sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia. Selain itu dimungkinkan pula diversifikasi energi melalui pengembangan pembangkit listrik dengan memanfaatkan EBT sehingga meningkatkan jaminan pasokan listrik terutama di daerah pada sistem Luar Jamali dan off-grid. Pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik saat ini relatif masih kecil dan persentase paling besar yang termanfaatkan adalah potensi mini/mikro hidro (28,93 persen). Selain itu, kinerja sarana dan prasarana ketenagalistrikan saat ini masih memprihatinkan terutama disebabkan pemeliharaan yang tidak memadai selama beberapa Bagian IV.33 – 74 Draft 12 Desember 2004 tahun terakhir karena alasana keterbatasan dana dan pasokan daya sehingga banyak pembangkit yang dipaksa beroperasi secara terus menerus tanpa dilakukan pemeliharaan yang memadai. Hal ini mengakibatkan penurunan efisiensi mesin yang selanjutnya mengakibatkan pemakaian bahan bakar yang semakin boros yang pada gilirannya meningkatkan biaya operasi. Penurunan efisiensi ini terjadi pula pada sistem penyaluran akibat adanya bottleneck dan losses yang berakibat menurunnya keandalan sistem untuk memasok tenaga listrik. Sebagai gambaran tingkat losses sistem kelistrikan PLN pada tahun 2001 yaitu 11,7 persen di sisi distribusi dan 2,4 persen di sisi transmisi baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 juga masih diatas 10 persen. Gambar 23. Tingkat losses PT. PLN s,d Tahun 2001 15 Losses Distribusi 10 % Losses Transmisi 5 Losses Total 0 1995 1997 1999 2001 Berdasarkan kondisi dan permasalahan yang ada pemerintah telah mengupayakan berbagai langkah untuk mengatasi krisis ketenagalistrikan. Untuk krisis di sistem Luar Jamali, beberapa wilayah telah mampu ditangani. Beberapa penambahan kapasitas daya di sistem ini meliputi: di Sumatera Utara yaitu PLTA Sipansihaporas (17 MW) dan di Sumatera bagian selatan telah beroperasi PLTU Palembang Timur (150 MW), PLTU Borang (2x40 MW), PLTA Batutegi (3x14MW). Selain itu terdapat beberapa proyek yang committed akan mulai dilaksanakan yaitu PLTU Labuan Angin (2x115MW) di Sumatera Utara, PLTP Lahendong (2x20 MW) di Sulawesi Utara, serta berbagai pembangkit lainnya. Untuk krisis listrik yang selama ini dikhawatirkan di sistem Jamali telah mampu diatasi yaitu dengan beroperasinya pembangunan crash program PLTGU Muara Tawar (858 MW), sekalipun belum mencapai tingkat reserved margin yang seharusnya dimiliki (minimal 25 persen). Selain itu berbagai pembangunan pembangunan pembangkit listrik berupa rehabilitasi, repowering beberapa pembangkit listrik yang ada serta pembangunan pembangkit baru yang akan segera mulai dilaksanakan akan dapat membantu terjaminnya pasokan tenaga listrik di Jamali hingga tahun 2009. Rehabitasi dan repowering tersebut meliputi rencana penambahan kapasitas yang sudah committed yaitu PLTGU Muara Tawar (210 MW), PLTGU Muara Karang (720 MW), PLTGU Tanjung Priok (720 MW), PLTGU Semarang (80 MW), PLTGU Cilegon (620 MW), serta terdapat proyek listrik swasta (Independent Power Producers/IPP’s) yang diperkirakan dalam waktu dekat akan masuk ke sistem terutama PLTU Tanjung Jati B (1.320MW). Bagian IV.33 – 75 Draft 12 Desember 2004 Berkaitan dengan listrik swasta/IPP, pemerintah telah berupaya melakukan renegoisasi dengan 27 buah IPP dan telah diselesaikan sebanyak 26 buah IPP yang terdiri dari 14 buah long term agreement (Drajat, Paiton 1, Paiton 2, Sengkang, Tanjung Jati B, Pare-Pare, Salak, Amurang, Sibolga, Palembang Timur, Cikarang, Asahan, Sibayak dan Bedugul), 7 buah closed out (Tanjung Jati A, Tanjung Jati C, Cilacap, Serang, Pasuruan, Cilegon dan Kamojang) dan 5 buah acquisition (Wayang Windu, Cibuni, Sarulla, Dieng dan Patuha). Sisanya 1 buah IPP melalui jalur hukum yaitu Karaha Bodas. 3.2.2 SASARAN PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN Berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen per tahun, maka proyeksi pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik nasional tahun 2005 – 2009 adalah sebesar 8,3 persen per tahun. Sasaran tahun 2005-2009 untuk bidang kelistrikan adalah (i) dengan perkiraan pertumbuhan tenaga listrik tersebut dan perkiraan kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik sebesar 28.356 MW pada akhir tahun 2005, maka pembangunan pembangkit tenaga listrik baru serta hasil rehabilitasi dan repowering ditargetkan pada tahun 2009 kapasitas terpasang mencapai 40.623 MW atau bertambah sekitar 12.267 MW; (ii) rasio elektrifikasi yang meningkat menjadi 67,9 persen pada akhir tahun 2009 atau ratarata sebesar 2,36 persen per tahun; (iii) meningkatnya efisiensi di pembangkit melalui rehabilitasi dan repowering; (iv) terlaksananya rehabilitasi, debottlenecking dan uprating serta interkoneksi transmisi dan distribusi di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi; (v) berkurangnya susut jaringan terutama non-teknis melalui pelaksanaan kegiatan berbasis teknologi informasi seperti enterprise resource planning/ERP dan consumer information system/CIS; (vi) terlaksananya penyempurnaan restrukturisasi ketenagalistrikan melalui pengkajian model/struktur industri kelistrikan; (vii) meningkatnya pemanfaatan potensi gas, batubara dan panas bumi serta energi baru terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik; (viii) meningkatnya rasio elektrifikasi listrik perdesaan pada akhir tahun 2009 sebesar 97 persen; (viii) meningkatnya partisipasi masyarakat, koperasi dan swasta baik sebagai penyedia, pembeli dalam bentuk curah maupun konsumen listrik sebagai pelanggan dan pengelola usaha penunjang ketenagalistrikan, baik di daerah kompetisi maupun non-kompetisi; dan (viii) berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia nasional yang mendukung industri ketenagalistrikan. Adapun berbagai sasaran fisik pembangunan ketenagalistrikan 2005-2009 secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Tabel 36. Sasaran Tambahan Kapasitas Pembangkit (MW) Kebutuhan kapasitas tambahan Berdasarkan kepastian pendanaan Proyek berjalan/ committed Pendanaan belum tersedia Berdasarkan perkiraan sumber pendanaan Dapat didanai PT. PLN Perlu dipenuhi oleh Swasta Jamali 7.905 5.625 2.280 4.755 3.150 Luar Jamali 4.362 1.048 3.314 2.957 1.405 Bagian IV.33 – 76 Draft 12 Desember 2004 Untuk Sistem Jamali tambahan pembangkit listrik dan fasilitas distribusinya tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut: Tabel 37. Tambahan Kapasitas Pembangkit Sistem Jamali (MW) Tipe (MW) GAS FIRED COMBINED CYCLED GEOTHERMAL COAL FIRED Owner PLN IPP PLN IPP PLN IPP PLN IPP Status Plan Plan 2005 Plan Committed On Going Plan Plan Committed/ On Going Plan On Going 580 2009 400 TOTAL 400 1.500 220 180 1.870 1.665 810 750 10 480 1.725 1.920 7.905 2006 2007 2008 145 225 650 795 230 750 120 10 180 1.920 580 TOTAL 2.415 1.065 2.120 Tabel 38. Tambahan Fasilitas Distribusi Sistem Jamali 2005 2006 2007 2008 2009 TOTAL Switch Yard MVA 3.870 1.126 1.050 870 1.290 8.206 IBT 500/150 kV MVA 2.000 1.000 1.750 0 1.000 5.750 IBT 150/70 kV Capacitors SUTET 500 kV SUTT 150 kV SUTT 70 kV MVA MVAr Kms Kms Kms 320 50 1.038 1.451 0 0 345 38 226 0 0 0 20 303 0 0 0 0 214 0 0 0 10 420 0 320 395 1.106 2.614 0 Adapun untuk Sistem Luar Jamali tambahan pembangkit listrik dan fasilitas distribusinya tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut: Tabel 39. Tambahan Kapasitas Pembangkit Sistem Luar Jamali (MW) Type (MW) HYDRO DIESEL GAS FIRED COMBINED CYCLE Owner PLN IPP PLN PLN IPP PLN IPP Status Committed On Going Plan Committed On Going Plan Plan Committed On Going Plan Plan Plan 2005 2006 2007 19 2008 30 2009 312 180 28 10 365 47 220 32 185 33 150 20 125 Bagian IV.33 – 77 160 60 105 150 31 205 Total 49 312 180 28 10 509 760 20 125 160 105 210 Draft 12 Desember 2004 MYCROHYDRO GEOTHERMAL COAL FIRED PLN PLN IPP PLN IPP Committed Committed Plan On Going Plan On Going Plan Total 8 3 3 20 200 85 20 110 200 485 160 1,153 1,181 50 75 919 473 636 475 11 43 110 400 730 50 550 4,362 Tabel 40. Tambahan Gardu Induk Sistem Luar Jamali (MVA) PLN Kalsel Kaltim Kitlur Sumbagsel Kitlur Sumbagut NTB NTT Sulselra Suluttenggo TOTAL Status On Going Plan Committed On Going Ongoing Plan Committed On Going Plan Ongoing Plan Ongoing Plan Plan Plan 2005 30 50 2006 2007 2008 2009 100 30 60 210 130 1.100 90 40 90 170 680 120 30 20 110 60 110 90 30 40 80 590 70 60 500 Bagian IV.33 – 78 100 20 570 30 60 2.020 40 50 80 440 Total 30 210 30 30 20 1.640 60 110 1.100 90 30 40 40 250 300 4.120 Draft 12 Desember 2004 Tabel 41. Tambahan Jaringan Transmisi Sistem Luar Jamali (kms) PLN 70 kV APLN Kalsel Kaltim Kitlur Sumbagsel Kitlur Sumbagut NTB NTT 25 Sulselra Suluttenggo TOTAL 25 150 kV ADB APLN 129 248 20 35 377 186 36 277 275 kV Unallocated On Going Unallocated 185 20 52 102 481 390 130 488 154 234 1.310 618 TOTAL 314 288 663 980 35 25 186 270 2.761 Tabel 42. Tambahan Fasilitas Distribusi Sistem Luar Jamali PLN Wilayah Wilayah NAD Wilayah Sumut Wilayah Riau Wilayah Sumbar Wilayah S2JB Wilayah Lampung Wilayah Babel Wilayah Kalbar Wilayah Kalselteng Wilayah Kaltim Wilayah Sulselra Wilayah Suluttenggo Wilayah Maluku Wilayah Papua Wilayah NTT Wilayah NTB Total JTM (kms) 1.455 4.571 2.861 1.310 3.060 1.345 494 1.212 1.865 1.894 3.005 1.726 578 496 566 421 26.859 JTR (kms) 1.945 3.750 2.427 1.425 4.920 1.806 631 2.063 2.439 1.981 3.511 2.932 361 486 728 423 31.827 Bagian IV.33 – 79 Trafo (MVA) 111 402 260 134 351 129 42 153 174 142 326 209 34 46 78 35 2.626 Customers 319.236 729.642 252.648 291.060 652.434 380.891 65.416 217.912 294.985 243.527 404.626 238.883 95.381 91.433 72.502 125.389 4.475.964 Draft 12 Desember 2004 Sedangkan untuk sasaran listrik perdesaan sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 43. Sasaran Pengembangan Listrik Perdesaan Wilayah/Propinsi A. Jawa-Bali 1. Jabar 2. Jateng 3. DIY 4. Jatim 5. Bali Sub Total B. Luar Jawa-Bali 1. Nangro Aceh Darusalam a) 2. Sumatera Utara 3. Sumbar dan Riau - Sumbar - Riau 4. Sumsel, Bengkulu, Jambi, dan Lampung Sumatera Selatan Bengkulu Jambi Lampung Jumlah Desa Seluruhnya Jumlah Desa yang telah dilistriki S/d 2000 Rencana Desa dilistriki 2001-2009 Total Desa Dilistriki S/d 2009 Jumlah % 6.696 7.876 393 7.743 570 23.278 6.679 7.841 378 7.370 538 22.806 17 1.735 15 373 32 472 6.696 7.876 393 7.743 570 23.278 100 100 100 100 100 100 5.395 4.793 2.821 1.761 1.060 5.113 4.025 1.993 1.499 494 282 768 652 199 453 5.395 4.793 2.645 1.698 947 100 100 94 96 89 6.358 2.475 1.051 1.021 1.811 4.909 1.933 850 744 1.382 1.165 437 163 221 344 6.074 2.370 1.013 965 1.726 96 96 96 95 95 5. KalimantanBarat 1.325 903 338 1.241 94 6. Kalsel Kalteng dan Kaltim Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur 4.249 2.096 1.083 1.070 2.634 1.791 439 404 1.353 305 515 533 3.987 2.096 954 937 94 100 88 88 7. Sulut dan Sulteng Sulawesi Utara Sulawesi Tengah 2.462 1.194 1.268 2.056 1.160 896 331 34 297 2.387 1.194 1.193 97 100 94 8. Sulsel dan Sul.Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara 3.244 2.168 1.076 2.164 1.638 526 971 530 441 3.135 2.168 967 97 100 90 9. Maluku Maluku 1.463 1.463 798 798 532 532 1.330 1.330 91 91 10. Irian Jaya 2.341 407 1.554 1.961 84 11. NTB dan NTT Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur 2.890 558 1.762 1.902 538 826 799 20 747 2.701 558 1.573 93 100 89 36.871 26.366 8.375 34.741 95 Sub Total B Total A + B 60.049 49.172 8.847 58.019 Sumber: Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Tahun 2000. (unpublished) Bagian IV.33 – 80 97 Draft 12 Desember 2004 Tabel 44. Kebutuhan Dana Pembangunan 2005-2009 (dalam juta USD) Jamali Luar Sistem Jamali Pembangkit 5,340 3,926 Jar. Transmisi 754 175 Gardu Induk 461 400 Distribusi 1,645 599 Listrik Perdesaan 201.6 417.2 Untuk memenuhi target dimaksud perkiraan kebutuhan dana pembangunan dalam kurun waktu 2005-2009 dibutuhkan pembiayaan sekitar USD 13.918,8 juta. Kemampuan investasi pemerintah diperkirakan hanya sekitar USD 250 juta yang pada umumnya digunakan untuk pembangunan listrik perdesaan. Sedangkan PT PLN sekalipun memperoleh tarif yang sesuai dengan keekonomiannya tetap tidak akan mampu memenuhi total permintaan kebutuhan listrik yang ada. 3.2.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN Program jangka panjang pembangunan ketenagalistrikan terutama diarahkan pada terwujudnya penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan energi nasional bagi seluruh rakyat Indonesia dengan kuantitas cukup, kualitas yang baik, harga wajar, berkesinambungan serta berwawasan lingkungan melalui penyelenggaraan industri ketenagalistrikan yang mandiri, transparan, kompetitif, efisien, andal, aman dan ramah lngkungan. Selain itu kebijakan substiutsi dan diversifikasi energi yang mengarah pada perubahan pola pemanfaatan energi BBM ke arah energi pemanfaatan non BBM. Secara umum pembangunan ketenagalistrikan nasional 2205-2009 diarahkan pada: (1) pemulihan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik untuk menjamin ketersediaan pasokan tenaga listrik serta kehandalannya terutama di daerah krisis listrik serta daerah terpencil dan perdesaan, (2) peningkatan infrastruktur tenaga listrik yang efektif dan efisien (3) meningkatkan kemandirian industri ketenagalistrikan nasional (4) meningkatkan kualitas jasa pelayanan penyediaan tenaga listrik (5) meningkatkan perhatian aspek keselamatan dan lingkungan dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional. 3.2.4 PROGRAM PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN Untuk mewujudkan Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional, beberapa program prioritas akan dilaksanakan meliputi: 1. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA. Program ini bertujuan untuk memulihkan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan baik dari aspek ketersediaan tenaga listrik yang memadai sehingga aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik semakin mudah dengan semakin memperhatikan kehandalan sistem, efektifitas dan efisensi agar, efisien dengan harga yang wajar. Bagian IV.33 – 81 Draft 12 Desember 2004 Kegiatan pokok yang dilakukan terutama untuk pembangunan pembangkit serta jaringan transmisi dan distribusi termasuk pembangunan listrik perdesaan. Ruang lingkup kegiatan meliputi rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta melakukan pembangunan pembangkit baru dengan memberikan kesempatan partisipasi yang semakin luas kepada investasi pihak swasta terutama swasta nasional atau koperasi atau pemerintah daerah. Dari 7.905 MW kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit di Jamali untuk 20052009, 3.150 MW dapat diserahkan kepada swasta. Untuk luar Jamali dari 4.362 MW , sekitar 1.405 MW dapat diserahkan kepada swasta. Selain perlunya dukungan iklim investasti yang terkait kebijakan nasional tentang tenaga kerja, kebijakan nasional tentang kredit perbankan, kebijakan pembebasan tanah, perpajakan/reribusi, dalam pembangunan pembangkit listrik perlu pula didukung terutama oleh hal lainnya yaitu kebijakan pendanaan pembangunan termasuk penyesuaian tarif, diversifikasi dan konservasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik, pengurangan losses. Kebijakan pendanaan pembangunan sistem kelistrikan nasional perlu didasarkan atas tingkat komersialisasinya. Untuk proyek yang bersifat komersial perlu didukung oleh: regulasi mengenai partisipasi investasi swasta baik untuk pembangkit yang bersifat on grid maupun of grid sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan, yang diikuti oleh regulasi ditingkat yang lebih rendah (peraturan daerahnya); dilakukan investasi pembangunan usaha kelistrikan yang bersifat pioner dengan memanfaatkan bantuan agen-agen pendanaan nasional dan internasional yang dekat dengan pemerintah ADB, WB, JBIC, KADIN sebagai stimulan menarik investasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan kemungkinan pembagian risk costs; mendorong produser Captive Power dan PT PLN untuk berpartisipasi dalam Load Adjustment Contract, Surplus Power Purchase Agreement, Integrated Resource Program dan program-program lainnya sehingga menjamin secara optimal kapasitas kelistrikan nasional. Untuk kegiatan semi komersial, selain didukung oleh regulasi yang disebutkan di atas, dalam implementasinya perrlu dilakukan dengan cara tender akan tetapi ditunjang oleh bantuan pemerintah yaitu melalui beberapa alternatif bantuan yaitu: melalui pemberian pinjaman lunak kepada BUMN/BUMD yang diteruspinjamnkan atau unbudling proyek, yaitu prasarana jalan, tanah, dan sejenisnya disediakan pemerintah. Sedangkan untuk proyek yang tidak komersial pembangunan perlu dilakukan oleh pemerintah (pusat/daerah), dengan tetap memperhatikan kemungkinan kemandiriannya di masa mendatang melalui pembinaan pemerintah mengenai pengelolaanya serta memanfaatkan semaksimalkan mungkin potensi energi setempat, ekonomi produkstif, sumber-sumber daya lainnya Dalam rangka menarik investasi swasta maka penyesuaian tarif regional yang merefleksikan nilai keekonomiannya yang memperhitungkan biaya pembangkitan, transmisi, distribusi, losses, investasi dan keuntungan bagi investor (BUMN, swasta, pemerintah pusat/daerah, atau campuran) termasuk pembebenannya bagi setiap group konsumen sesuai dengan harga pokok produksi (HPP) masing-masing.. Sejalan dengan itu, pengurangan subsidi kepada pelaku usaha harus dikurangi dan menggantikannya dengan subsidi langsung kepada masyarakat. Pembangunan kelistrikan sudah saatnya mengalakkan konversi pemanfaatan energi untuk pembangkit listrik dari BBM ke alternatif energi lainnya seperti panas bumi, gas, batu bara serta energi terbarukan (RE) khususnya yang bersumber dari energi setempat. Bagian IV.33 – 82 Draft 12 Desember 2004 Sebagai contoh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLTU Batu Bara Mulut Tambang (Mine Mouth) kalori rendah dan serta pembangkit dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti PLT Piko/Mikro/Mini Hidro dan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). Khusus untuk wilayah Jamali, pembangunan pembangkit akan semakin banyak memanfaatkan pembangit listrik yang menggunakan energi primer panas bumi dan gas yang bersumber terutama dari wilayah Sumatera dan Kalimantan Timur. Kebijakan ini dilakukan melalui kegiatan: meningkatkan upaya perolehan energi primer non BBM untuk pembangkit listrik yaitu batu bara, gas, panas bumi, dan RE; rasionalisasi pembangkit tua atau yang sudah tidak efisien antara lain dengan cara rehabilitasi atau repowering; mengalihkan penggunaan energi primer BBM kepada energi primer gas bagi pembangkit listrik berbahan bakar gas yang selama ini menggunakan bahan bakar BBM; memprioritaskan nembangunan pembangkit baru memanfaatkan energi non BBM. mendorong upaya pemerintah dalam pembangunan infrastruktur energi yang bersifat open access. Mendorong upaya peningkatan efisiensi sistem kelistrikan nasional terutama pengurangan losses di sisi pembangkitan, transmisi, distribusi, baik losess in use maupun losses non teknis termasuk efisensi manajemen dan administrasi. Selain itu, efisiensi di sisi konsumen sangat diperlukan (jaringan konsumen maupun peralatan konsumen). Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi akan terus ditingkatkan, terutama ditujukan untuk mengurangi terjadi bottlenecking dan pengurangan losses. Selain itu upaya untuk membangung sistem jaringan interkoneksi yang semakin luas terus ditingkatkan, sehingga menghasilkan jaringan penyaluran listrik yang semakin optimal. Kegiatan pembangunan listrik perdesaan diarahkan terutama untuk ekstensifikasi dan intensifikasi jaringan listrik perdesaan melalui pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah perdesaan dan daerah yang belum berkembang. Ruang lingkup kegiatan meliputi penambahan pembangkit tenaga listrik termasuk pembangkit skala kecil, pembangunan jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah serta gardu distribusi. 2. PROGRAM PENYEMPURNAAN RESTRUKTURISASI PRASARANA DAN REFORMASI SARANA DAN Program ini secara bertahap bertujuan untuk menciptakan industri ketenagalistrikan yang mandiri, efisien, handal dan berdaya saing tinggi di pasar tenaga listrik . Kegiatan pokok yang dilakukan meliputi pengkajian mengenai model/struktur industri ketenagalistrikan serta route map model migrasi struktur industri ketenagalistrikan termasuk migrasi PT. PLN mengahadapi struktur pasar ketenagalistrikan yang baru di antaranya persiapan unbundling yaitu pemecahan unit usaha menurut fungsi penyediaannya yaitu usaha pembangkit, unit usaha transmisi dan unit usaha distribusi, penyehatan asset, organisasi dan manajerial serta finansial secara bertahap dan sistematis; percepatan pembentukan Bapetal sebagai pengawas pasar kompetisi tenaga listrik; konsep migrasi struktur industri kelistrikan tersebut juga perlu dipersiapkan konsep tatanan pembangunan ketenagalistrikan bagi wilayah yang belum dikompetisikan; serta serta berbagai penyusunan peraturan pemerintah dan petunjuk teknis yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan agar tercipta iklim yang kondusif untuk investasi, termasuk peraturan-peraturan lain yang mendukungnya. Bagian IV.33 – 83 Draft 12 Desember 2004 3. PROGRAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PEMERINTAH DAERAH, KOPERASI DAN MASYARAKAT TERHADAP JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih terlibat dalam pengelolaan usaha kelistrikan. Khusus untuk Pemda, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika memungkinkan untuk pelaku lainnya. Kegiatan pokok program ini adalah di daerah yang belum dilistriki, swasta, koperasi, Pemda dan masyarakat (pelaku) dapat membangun pembangkit dan penyalurannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan untuk daerah yang sudah terinterkoneksi jaringan listrik (on grid), pelaku dapat menjual listriknya ke jaringan dengan memanfaatkan potensi energi setempat untuk pembangkit listrik termasuk pembangkit skala kecil melalui skema PSK Tersebar (Pembangkit Skala Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi Terbarukan). Para pelaku dapat juga diberi peluang untuk memanfaatkan skema curah dan menyalurkan kepada konsumen di kawasan tertentu. 4. PROGRAM PENGUASAAN DAN PENGEMBANGAN APLIKASI DAN TEKNOLOGI SERTA BISNIS KETENAGALISTRIKAN Program ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada dunia bisnis swasta, BUMN dan Koperasi serta masyarakat untuk berpartisipasi sebagai penyedia, pengelola dan pembeli tenaga listrik, khususnya dalam penguasaan aplikasi dan teknologi, manajemen, serta pemasaran produk ketenagalistrikan. Kegiatan pokok yang akan dilakukan meliputi pengembangan teknologi tepat guna yang diarahkan pada barang-barang mass production. Begitu pula mendorong industri dalam negeri melalui pemaketan pelelangan disisi hulu untuk menjamin kelangsungan industri dalam negeri, melalui prioritas penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu perlu dilakukan pengawasan kualitas produksi dalam negeri yang berdasarkan peraturan pemerintah mengenai standarisasi dan sertifikasi ketenagalistrikan. pemenuhan industri ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan termasuk pemanfaatan potensi energi baru terbarukan serta penguasaan aplikasi dan teknologi serta bisnis ketenagalistrikan untuk mendukung nilai tambah kegiatan produktif dan memberikan efek ganda bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. 3.3 POS DAN TELEMATIKA 3.3.1 PERMASALAHAN POS DAN TELEMATIKA Dalam era globalisasi, penguasaan dan pemanfaatan informasi melalui peningkatan kemampuan sektor, industri dan masyarakat pengguna, tidak saja akan memicu pertumbuhan ekonomi tetapi juga mewujudkan daya saing bangsa. Oleh karena itu, kesiapan dan kemampuan suatu bangsa untuk mengubah informasi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi merupakan hal yang mutlak dimiliki. Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia masih belum mempunyai kesiapan dan kemampuan yang memadai. Untuk indeks Readiness for the Network World tahun 2002, Indonesia hanya berada pada peringkat Bagian IV.33 – 84 Draft 12 Desember 2004 ke 64 dari 82 negara, sedangkan untuk indeks Growth Competitiveness, Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 75 negara, jauh tertinggal dari negara ASEAN lain seperti Singapura (peringkat ke-4), Malaysia (30), Thailand (33), Philipina (48), dan Vietnam (60). Kurang memadainya kesiapan dan kemampuan tersebut terkait langsung dengan terbatasnya ketersediaan infrastruktur informasi (pos dan telematika) yang pembangunannya terus mengalami penurunan terutama sejak krisis. Keterbatasan infrastruktur dimaksud dapat dilihat dengan membandingkannya dengan negara lain di Asia. Teledensitas (tingkat penetrasi) layanan telepon tetap, telepon bergerak, dan pengguna internet Indonesia pada tahun 2003 masing-masing baru mencapai 3,65 persen, 5,52 persen dan 3,77 persen. Pada tahun yang sama, rata-rata negara Asia telah mencapai 13,64 persen, 15,03 persen, dan 6,74 persen. Secara umum, terbatasnya pembangunan infrastruktur informasi di daerah komersial disebabkan oleh lingkungan berusaha yang masih belum mampu menciptakan penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien, seperti masih adanya peraturanperaturan yang membatasi ruang gerak penyelenggara baik BUMN maupun swasta. Sementara itu, tingginya biaya investasi yang diperlukan untuk menyediakan infrastruktur informasi di daerah non komersial menyebabkan rendahnya tingkat kelayakan pembangunan di daerah ini secara finansial. Masih terbatasnya mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta dalam membiayai pembangunan di daerah non komersial, memaksa pemerintah untuk menanggung seluruh beban investasi. Padahal, kemampuan pembiayaan pemerintah juga sangat terbatas. Pembangunan pos dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas layanan melalui perluasan jangkauan dan peningkatan kecepatan waktu tempuh. Di daerah komersial, pelayanan pos selain dilakukan oleh PT Pos Indonesia sebagai BUMN pos, juga dilakukan oleh beberapa penyelenggara swasta (perusahaan jasa titipan dan multinasional). Dalam penyelenggaraan di daerah komersial, PT Pos Indonesia harus berkompetisi dengan lebih dari 600 penyelenggara swasta dengan 2.000 kantor cabang yang terpusat di pulau Jawa (60,9 persen dari total kantor cabang penyelenggara swasta) dan Sumatera (23,3 persen). Sementara itu, pelayanan pos di daerah non komersial dilakukan oleh PT Pos Indonesia melalui kewajiban pelayanan universal (Public Service Obligation atau PSO). Pada dasarnya program PSO mengharuskan PT Pos Indonesia untuk menyediakan layanan di seluruh wilayah Indonesia dengan tarif yang terjangkau (prinsip accessibility dan affordability). Kewajiban PSO ini dirasakan berat karena terbatasnya jaringan transportasi yang ada, serta besarnya biaya investasi dan operasional yang jauh melebihi pendapatan. Pada kondisi volume produksi rendah, dengan sendirinya tarif --yang besarannya ditentukan oleh pemerintah-- tidak mampu menutup biaya layanan antaran. Dari total 3.398 kantor pos cabang yang sebagian besarnya (2.496 kantor) terletak di perdesaan, 71 persen diantaranya mengalami kerugian. Bagian IV.33 – 85 Draft 12 Desember 2004 Gambar 24 Tingkat Profitabilitas PT Pos Indonesia 18 Profitabilitas (%) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1995 1996 1997 Profitabilitas (%) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber: Ditjen Postel, Departemen Perhubungan, 2004 Untuk mempertahankan pelayanan pos di daerah PSO, PT Pos Indonesia harus melakukan subsidi dari layanan komersial. Keadaan ini selanjutnya mengakibatkan rendahnya kemampuan pembangunan dan daya saing perusahaan dalam penyelenggaraan pos di daerah komersial. Selama lima tahun terakhir (1999-2003), hanya terjadi perluasan jangkauan di 1 kecamatan sehingga jangkauan pelayanan pos bertambah dari 3.759 menjadi 3.760 kecamatan. Dalam lima tahun terakhir, profitabilitas perusahaan menurun dari 8,07 persen di tahun 1999 menjadi 0,56 persen di tahun 2003 (Gambar 24). Untuk meningkatkan kinerja perposan nasional, pemerintah sedang mempersiapkan RUU Pos pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos yang merestrukturisasi penyelenggaraan pos. Berlarut-larutnya restrukturisasi penyelenggaraan pos yang telah dimulai sejak tahun 2000 menyebabkan semakin rendahnya daya saing BUMN pos. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat akan layanan pos, sejak tahun 2003 pemerintah melakukan intervensi langsung dengan membiayai program PSO melalui APBN. Dengan adanya keterbatasan keuangan pemerintah, keberlanjutkan program PSO ini dikhawatirkan menjadi tidak terjamin. Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi selama lima tahun terakhir (1999-2003) mengalami pertumbuhan sebesar 16,18 persen, yang terdiri dari penambahan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap, dari 8,36 juta ss menjadi 10,15 juta ss, dan penambahan 16,43 juta pelanggan telepon bergerak, dari 2,22 juta orang menjadi 18,65 juta. Lambatnya pertumbuhan pembangunan sambungan tetap yang diantaranya disebabkan oleh terjadinya pergeseran fokus bisnis penyelenggara telekomunikasi tetap ke telekomunikasi bergerak, telah menimbulkan bottleneck dalam penyediaan fasilitas telekomunikasi (Gambar 2). Tidak terpenuhinya target pembangunan baru sebanyak 4 juta ss hingga tahun 2004 sebagaimana ditetapkan dalam pokok-pokok kesepakatan antara pemerintah dengan PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2000, menjadikan pembangunan sambungan tetap semakin tertinggal. Lambatnya laju pertumbuhan pembangunan sambungan tetap yang terjadi sejak krisis harus diantisipasi sejak awal mengingat pesatnya pertumbuhan telepon bergerak dan berbagai aplikasi nir kabel lainnya pada akhirnya akan dibatasi oleh ketersediaan spektrum frekuensi radio sebagai sumberdaya terbatas (scarce resource). Bagian IV.33 – 86 Draft 12 Desember 2004 Gambar 25 Pembangunan Lima Tahunan (1968-2003) 9,000,000 25 0 20 0 7,000,000 6,000,000 15 0 5,000,000 4,000,000 3,000,000 10 0 2,000,000 50 Pertumbuhan (%) Liine in Serv ice (ss) 8,000,000 1,000,000 - 5 tahun I 5 tahun II 5 tahun III 5 tahun IV 5 tahun V 5 tahun VI 5 tahun VII Pembangunan 5 Tahunan Sumber: Lampiran Pidato, PT Telkom (berbagai tahun) Untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya sambungan tetap, serta untuk mengantisipasi tuntutan pasar yang lebih global dan kompetitif, pemerintah melakukan penataan ulang penyelenggaraan telekomunikasi. Tidak seperti penyelenggaraan telekomunikasi bergerak yang dilakukan secara kompetisi, pada awalnya penyelenggaraan telekomunikasi tetap sambungan lokal dilakukan oleh PT Telkom secara eksklusif hingga tahun 2010, sedangkan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) diselenggarakan secara eksklusif masing-masing oleh PT Telkom hingga tahun 2005 dan PT Indosat hingga tahun 2004. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, praktik monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap diakhiri. Menindaklanjuti Undang-Undang Telekomunikasi tersebut, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah diantaranya adalah (a) mereposisi dan merestrukturisasi penyelenggara telekomunikasi melalui peniadaan kepemilikan silang (cross ownership) dan kepemilikan bersama (joint ownership) oleh PT Telkom dan PT Indosat dalam suatu perusahaan afiliasi bidang telekomunikasi; (b) melakukan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan lokal dan SLJJ, serta PT Indosat sebagai penyelenggara SLI; (c) menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi PT Telkom dan PT Indosat sebagai Full Network and Service Provider; (d) menetapkan besaran dan metode perhitungan kompensasi sebagai konsekuensi dari terminasi dini dan kebijakan duopoli; (e) menyelesaikan penyempurnaan dan penyusunan peraturan pelaksana kompetisi; dan (f) membentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia sebagai badan regulasi untuk menjamin transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Sejak diberlakukannya duopoli pada penyelenggaraan sambungan lokal pada 1 Agustus 2002 serta SLJJ dan SLI pada 1 Agustus 2003, pelaksanaan duopoli belum berjalan efektif. Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru yang berarti, pertambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga. Kurang efektifnya pelaksanaan duopoli selama ini terutama disebabkan oleh belum lengkapnya peraturan pelaksana kompetisi seperti interkoneksi dan penomoran, serta masih lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan kompetisi. Kondisi ini tidak saja menyulitkan penyelenggara baru untuk menciptakan basis pelanggan yang signifikan, tetapi juga bahkan menimbulkan tindakan anti-kompetisi oleh incumbent. Pada akhirnya, kebijakan duopoli menjadi tidak efektif. Bagian IV.33 – 87 Draft 12 Desember 2004 Ketimpangan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi tidak saja terjadi antara Indonesia dengan negara lain, tetapi juga antara satu daerah di Indonesia dengan daerah lain. Sampai dengan tahun 2003, sebagian besar (86 persen) dari infrastruktur yang ada terdapat di Sumatera, Jawa dan Bali (Tabel 1). Dengan demikian, hanya 14 persen dari infrastruktur eksisting terdapat di wilayah Indonesia timur. Kesenjangan infrastruktur juga terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Teledensitas wilayah Jabodetabek dan daerah perkotaan lainnya masing-masing telah mencapai 35 persen dan 11-25 persen, sedangkan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2 persen. Hingga tahun 2003 masih terdapat 43 ribu desa (64 persen dari total desa) yang tidak memiliki fasilitas telekomunikasi. Tabel 45 Penyebaran Pembangunan Sentral Telepon Tetap (1996-2003) Region Regional I Regional II Regional III Regional IV Regional V Regional VI Regional VII TOTAL 1996 598.651 1.635.545 400.939 339.047 667.200 172.824 371.824 4.186.030 1997 701.479 1.903.581 504.984 395.730 842.447 218.638 415.607 4.982.466 1998 770.857 2.079.452 567.358 475.410 935.372 254.315 488.880 5.571.644 1999 835.167 2.208.436 621.134 531.593 1.048.556 279.958 555.349 6.080.193 2000 897.323 2.412.221 639.913 579.647 1.198.142 302.948 632.411 6.662.605 2001 1.007.468 2.632.521 645.479 618.101 1.317.384 320.338 677.649 7.218.940 2002 1.115.875 2.824.556 672.597 646.701 1.427.660 342.336 720.310 7.750.035 2003 1.239.409 3.036.372 733.462 668.261 1.594.827 425.979 780.805 8.479.115 Sumber: PT Telkom (berbagai tahun) Keterangan: Regional I (Sumatera), II (Jabodetabek), III (Jawa Barat dan Banten), IV (Jawa Tengah), V (Jawa Timur), VI (Kalimantan) dan VII (kawasan Indonesia timur) Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melaksanakan program Universal Service Obligation (USO) di daerah non komersial sejak tahun 2003. Program ini bertujuan untuk membangun fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan termasuk daerah perintisan, perbatasan, pedalaman, pinggiran dan terpencil. Pada tahap pertama (tahun 2003) dan kedua (2004) telah dilakukan pembangunan masing-masing di 3.016 dan 3.500 desa di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah Indonesia timur dengan menggunakan dana APBN. Saat ini pemerintah masih menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Perhubungan yang mengatur kontribusi penyelenggara telekomunikasi sebesar 0,75 persen dari pendapatan kotor sebagai sumber pembiayaan program USO. Dengan demikian, pelaksanaan program USO sejak tahun 2005 diharapkan tidak lagi didanai dari APBN. Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994. Selama tahun 1999-2003 diperkirakan jumlah pelanggan internet meningkat lebih dari 238 persen, yaitu dari 256 ribu orang menjadi 865 ribu, sedangkan pengguna internet meningkat dari 1 juta orang menjadi 8 juta atau meningkat sebesar 700 persen. Walaupun dalam waktu relatif singkat perkembangan internet mengalami banyak kemajuan, namun internet belum menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya penyediaan perangkat keras dan akses internet, serta masih rendahnya tingkat e-literacy penduduk Indonesia. Belum lengkapnya peraturan pendukung pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi seperti transaksi elektronik dan kerahasiaan dan perlindungan data juga merupakan kendala bagi pengembangan berbagai aplikasi berbasis teknologi informasi. Disamping itu, kejahatan Bagian IV.33 – 88 Draft 12 Desember 2004 dunia maya yang meluas juga masih belum dapat ditanggulangi secara efektif karena belum lengkapnya peraturan yang terkait. Pada subsektor penyiaran, penyelenggaraan di daerah komersial dilakukan oleh BUMN penyelenggara penyiaran dan penyelenggara swasta. Terbatasnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya kualitas pengembangan konten penyiaran, dan terbatasnya tingkat pemanfaatan teknologi tinggi, menjadikan BUMN penyiaran tidak mampu bersaing dengan penyelenggara swasta. Selain itu, BUMN penyiaran juga harus melaksanakan program USO. Besarnya ketergantungan BUMN penyiaran kepada APBN, serta tidak memadainya pendapatan perusahaan telah menghambat pembangunan pemancar baru dan terbatasnya kegiatan pembaharuan pemancar yang ada. Kondisi ini menyebabkan beberapa stasiun daerah terpaksa menghentikan kegiatan operasionalnya. 3.3.2 SASARAN PEMBANGUNAN POS DAN TELEKOMUNIKASI Dalam era informasi, pos dan telematika mempunyai arti strategis karena tidak saja berperan dalam percepatan pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam berbagai aspek lain seperti peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta pendukung aspek politik dan pertahanan keamanan. Dalam rangka menjamin kelancaran arus informasi, perlu dilakukan perluasan jangkauan serta peningkatan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan pos dan telematika. Sasaran umum yang hendak dicapai dalam pembangunan pos dan telematika dalam lima tahun mendatang adalah (a) terwujudnya penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien, yaitu yang mampu mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kemanfaatan aspek sosial dan komersial; dan (b) meningkatnya aksesibilitas masyarakat akan layanan pos dan telematika. Kedua sasaran utama tersebut dapat dijabarkan ke dalam beberapa sasaran pendukung, yaitu (a) terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan; (b) tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan STB 20 persen; (c) selesainya pembangunan 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa; dan (d) terjaganya kualitas layanan penyiaran televisi dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia. Untuk pembangunan telekomunikasi sambungan tetap selama tahun 2005-2009 dalam lingkungan duopoli diindikasikan sebagai berikut (Tabel 2): Tabel 2 Indikasi Pembangunan Sambungan Tetap 2005 – 2009 Rencana Pembangunan (ss) 2005 2006 2007 2008 PT Telkom 1.740.803 2.450.894 PT Indosat 500.000 500.000 Sumber: PT Telkom, PT Indosat (2004) 2.822.724 750.000 2.819.692 750.000 2009 Total 2.999.443 12.833.556 750.000 3.250.000 Pembangunan pos dalam lima tahun ke depan diprioritaskan pada program PSO yang pembiayaannya akan disediakan oleh pemerintah sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh BUMN pos. Untuk pembangunan telekomunikasi baik sambungan tetap maupun bergerak, pembiayaan akan disediakan oleh para penyelenggara, termasuk pembangunan di daerah USO. Sementara itu, pembiayaan pembangunan penyiaran akan dilakukan oleh pemerintah mengingat pada akhir tahun 2005 baik PT TVRI (persero) maupun Perjan Bagian IV.33 – 89 Draft 12 Desember 2004 RRI harus sudah ditransformasikan menjadi lembaga penyiaran publik sesuai UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 3.3.3 ARAH KEBIJAKAN SUBSEKTOR POS DAN TELEMATIKA Sesuai dengan karakteristik dan tingkat kematangan setiap subsektor, diperlukan pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan laju pembangunan infrastruktur informasi pos, telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran. Walau berbeda, setiap pendekatan tersebut haruslah mampu menciptakan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan pengguna jasa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien. Pada penyelenggaraan pos dan penyiaran, pemerintah masih mempunyai fungsi operasi sehingga masih dibutuhkan investasi pemerintah dalam melakukan pembangunan fisik. Di sisi lain, pemerintah tidak lagi berperan dalam aspek operasi pada penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan demikian, pemerintah lebih bersifat sebagai fasilitator dalam pembangunan fisik telekomunikasi. Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan lima tahun mendatang, kebijakan yang ditempuh adalah: a. Merestrukturisasi penyelenggaraan pos dan telematika Kebijakan ini ditujukan untuk (a) menciptakan iklim investasi dan berusaha yang kondusif; serta (b) menyehatkan dan meningkatkan kinerja penyelenggara pos dan telematika. Pelaksanaan restrukturisasi tidak terfokus pada BUMN penyelenggara, tetapi lebih kepada sektor secara.menyeluruh termasuk restrukturisasi tatanan hukum dan peraturan, tatanan industri, serta iklim berusaha. Kebijakan ini juga diperlukan untuk mengantisipasi konvergensi teknologi telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran. Konvergensi teknologi selanjutnya mengakibatkan konvergensi pasar dan industri yang harus diantisipasi oleh kebijakan, peraturan dan kelembagaan yang dinamis agar pemanfaatannya dapat lebih optimal. b. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur pos dan telematika Penyediaan infrastruktur pos dan telematika yang memadai sangat diperlukan untuk memperkecil kesenjangan digital bukan saja antardaerah di Indonesia tetapi juga antara Indonesia dengan negara lain. Terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, termasuk sumber pembiayaan, secara langsung telah membatasi kemampuan pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan efisiensi baik dalam pemanfaatan infrastruktur yang ada maupun pembangunan infrastruktur baru, seperti optimasi pemanfaatan infrastruktur non-telekomunikasi yang berpotensi untuk digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan pemakaian bersama suatu infrastruktur oleh beberapa penyelenggara (resource sharing). c. Meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan aplikaasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi Pentingnya ketersediaan infrastruktur dalam pengembangan berbagai aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Di lain pihak, pengembangan serta pemanfaatan isi dan aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan prasyarat yang harus diperhatikan karena sesungguhnya informasilah yang mempunyai nilai ekonomi. Bagian IV.33 – 90 Draft 12 Desember 2004 Dalam upaya pengembangan berbagai aplikasi yang padat teknologi, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat kemampuan industri nasional dan mempersiapkan perangkat peraturan yang dapat mendorong pemanfaatan aplikasi telematika secara luas. 3.3.4 PROGRAM PEMBANGUNAN POS DAN TELEKOMUNIKASI Pembangunan bidang pos dan telematika dilaksanakan melalui tiga program, yakni (1) Program penyelesaian restrukturisasi pos dan telematika; (2) Program pengembangan, pemerataan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika; dan (3) Program penguasaan serta pengembangan aplikasi dan teknologi informasi dan komunikasi. 1. PROGRAM PENYELESAIAN RESTRUKTURISASI POS DAN TELEMATIKA. Program ini bertujuan untuk: (a) menciptakan kompetisi yang sehat dan setara; (b) menciptakan iklim investasi yang kondusif; (c) membuka peluang bagi penyelenggara baru yang dinilai layak dan berkemampuan; serta (d) menyehatkan dan meningkatkan kinerja penyelenggara. Sasaran yang hendak dicapai adalah: (a) meningkatnya kinerja kesehatan dan penyelenggara pos dan telematika; (b) tergalinya berbagai sumber pembiayaan non pemerintah; (c) meningkatnya peran serta swasta; (d) terciptanya efisiensi dan kompetisi yang sehat dan setara. 2. PROGRAM PENGEMBANGAN, PEMERATAAN DAN PENINGKATAN KUALITAS SARANA DAN PRASARANA POS DAN TELEMATIKA Program ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan pos dan telematika; dan (b) mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana pos dan telematika. Sasaran yang hendak dicapai adalah: (a) meningkatnya efisiensi pemanfaatan infrastruktur yang telah dibangun dan pembangunan infrastruktur baru; (b) tersedianya infrastruktur pos dan telematika hingga ke daerah PSO/USO; dan (c) tersedianya pelayanan jasa pos dan telematika yang memadai. 3. PROGRAM PENGUASAAN SERTA PENGEMBANGAN APLIKASI DAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Program ini bertujuan untuk: (a) mendayagunakan informasi serta teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya guna mewujudkan tata-pemerintahan yang lebih transparan, efisien, dan efektif; (b) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi serta teknologi informasi dan komunikasi guna meningkatkan taraf dan kualitas hidup; dan (c) meningkatkan kemampuan industri dalam negeri dalam memanfaatkan dan mengembangkan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. Bagian IV.33 – 91 Draft 12 Desember 2004 Sasaran program ini adalah (a) meningkatnya literasi masyarakat di bidang teknologi informasi dan komunikasi; (b) meningkatnya kualitas industri informasi dan komunikasi dalam negeri. Selanjutnya langkah-langkah utama yang akan ditempuh meliputi: (a) menyelesaikan penyusunan dan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan pendukung restrukturisasi pos dan telematika; (b) menyelesaikan penyusunan peraturan perundang-undangan terkait pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya, seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik; (c) menyusun mekanisme dan besaran bantuan pemerintah dalam rangka pelaksanaan program PSO pos dan USO penyiaran; (d) melakukan pembangunan baru 18 juta sambungan telepon tetap, 25 juta sambungan bergerak, dan 43 ribu ss di daerah perdesaan; (e) menyusun migrasi penyelenggaraan telekomunikasi dari bentuk duopoli ke bentuk kompetisi penuh; (f) memperkuat Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia; (g) meningkatkan efisiensi pengalokasian dan pemanfaatan spektrum frekuensi; (h) memperkuat kelembagaan lembaga penyiaran; (i) meningkatkan porsi industri dalam negeri melalui produk unggulan, standarisasi, perkuatan kemampuan SDM di bidang teknologi informasi dan komunikasi untuk menciptakan pasar bagi mass product. IV. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 4.1 PERUMAHAN A. PERMASALAHAN PERUMAHAN Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah. Pada tahun 2000, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sebanyak 4.338.864 rumah tangga yang merupakan akumulasi dari kebutuhan tahun sebelumnya yang belum terakomodasi oleh penyediaan rumah yang dilakukan oleh BUMN dan developer swasta serta swadaya masyarakat dan adanya pertumbuhan jumlah rumah tangga. Bila pemerintah berkeinginan agar dalam waktu 10 tahun kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dan pemerintah juga memperhatikan kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk (pertumbuhan rumah tangga) maka sejak tahun 2000 total kebutuhan rumah per tahun sebesar 1.163.533 unit, sehingga pada tahun 2004 akhir terdapat kebutuhan total sebanyak 5.832.665 unit rumah dan pada akhir tahun 2009 kebutuhan tersebut mencapai 11.665.330 unit. Meningkatnya luasan kawasan kumuh. Pada tahun 1996 luas kawasan kumuh mencapai 40.053 ha dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 47.500 Ha yang tersebar di 10.000 lokasi dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa. Luasan kawasan kumuh cenderung terus meningkat setiap tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin tidak terkendalinya pertumbuhan kota utama (primacy city) yang menjadi penarik meningkatnya arus migrasi. Selain itu, laju pertumbuhan kawasan kumuh juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan dan ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah (home improvement). Hal lain yang juga menjadi pemicu adalah ketidakharmonisan antara struktur infrastruktur kota, khususnya jaringan jalan dengan kawasan permukiman yang terbangun. Di pinggir kota hal tersebut yang menimbulkan urban sprawl yang membawa dampak kepada kemacetan (congestion), ketidak-teraturan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakefisienan dan pemborosan energi dan waktu. Bagian IV.33 – 92 Draft 12 Desember 2004 Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaan perumahan. Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umumnya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada umumnya mempunyai tenor jangka panjang. Belum adanya sumber pembiayaan perumahan jangka panjang selalu menjadi kendala bagi pengembangan pasar perumahan yang sehat. Kesenjangan tersebut dalam jangka panjang menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat karena ketidakstabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan selain itu pasar perumahan juga sangat terpengaruh (volatile) terhadap perubahan ekonomi makro. Tidak adanya sumber pembiayaan perumahan jangka panjang juga merupakan salah satu penyebab berkembangnya pola penjualan rumah sistem pre-sale dimana konsumen tidak membeli rumah tetapi membeli peta yang akan dibangun bila konsumen telah melunasi uang muka. Kondisi tersebut secara tidak langsung merugikan konsumen dan juga menyebabkan pasar tidak sehat karena agunan (collateral) hanya berdasarkan kepada satu surat hingga rumah yang diinginkan terbangun sehingga sulit untuk di disclosure bila terjadi wan prestasi (default). Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan. Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam pembangunan perumahan merupakan satu persoalan yang senantiasa dihadapi dalam pembangunan perumahan. Biaya perijinan untuk pembangunan perumahan saat ini mencapai 20 persen dari nilai rumah. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan pasar perumahan karena biaya tersebut akan diteruskan (pass-through) kepada konsumen sehingga semakin menjauhkan ketrjangkauan (affordability) masyarakat terhadap harga yang ditawarkan. Pola subsidi yang memungkinkan terjadinya salah sasaran. Pola subsidi terhadap tingkat bunga (interest rate) dalam KPR pertama diterapkan pada tahun 1975-1976 pada saat pemerintah melalui Perum Perumnas memulai pembangunan rumah sederhana di Depok. Kebijakan pola subsidi tersebut masih terus dipakai hingga saat ini walaupun banyak kelemahan di dalamnya antara lain, memungkinkan dipergunakan sebagai alat untuk melakukan spekulasi, dan mendistorsi pasar perumahan. Pola subsidi tersebut sangat tergantung kepada alokasi tahunan melalui APBN sehingga tidak memiliki kestabilan dalam ketersediaan setiap tahunnya. Hal ini semakin diperparah karena penempatan subsidi tersebut sebagai subsidi program yang seringkali kalah prioritas dibandingkan sektor yang lain. B. SASARAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN Untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang mempergunakan kredit pemilikan rumah sebagai cara untuk memiliki rumah maka sasaran umum pembangunan perumahan adalah pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat melalui terciptanya pasar primer yang sehat, efisien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang market friendly, efisien, dan akuntabel. Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang terbatas kemampuannya maka sasaran umum yang harus dicapai adalah terbentuknya pola subsidi yang tepat sasaran, tidak mendistorsi pasar, akuntabel, dan mempunyai kepastian dalam hal ketersediaan setiap tahunnya. Selain itu, sasaran yang juga harus dicapai adalah terbentuknya kredit mikro bagi Bagian IV.33 – 93 Draft 12 Desember 2004 perbaikan dan pembangunan rumah baru (home improvement and home development credit) yang terkait dengan kredit peningkatan pendapatan (income generating credit). Sebagaimana telah digariskan dalam Millenium Development Goals, maka sasaran yang juga harus dicapai adalah penurunan luasan kawasan kumuh sebesar 50 persen dari luas yang ada saat ini pada akhir tahun 2009. C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN Arah kebijakan yang akan dikembangkan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Pemantapan pasar primer perumahan Berkembangnya secondary mortgage facility (SMF) dan secondary mortgage market (SMM). Terbentuknya peraturan perundang-undangan dan kelembagaan pendukung SMF dan SMM (UU Sekuritisasi, Biro Kredit, Surat Hak Tanggungan, insentif perpajakan dan sebagainya); 4. Meningkatkan penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpendapatan rendah; 5. Mengembangkan kredit mikro pembangunan dan perbaikan rumah yang terkait dengan kredit mikro peningkatan pendapatan (income generating); 6. Menciptakan pola subsidi baru yang lebih tepat sasaran; 7. Mengembangkan insentif fiskal bagi swasta yang menyediakan hunian bagi buruh/karyawannya; 8. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan teknis keamanan dan keselamatan gedung; 9. Menciptakan kepastian hukum dalam bermukim (secure tenure); serta 10. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana lingkungan pada kawasan kumuh; D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN Untuk mencapai sasaran dan arah kebijakan sebagaimana disebutkan di atas maka kegiatan-kegiatan pokok akan dilakukan melalui 2 (dua) program yaitu program pengembangan perumahan dan program pemberdayaan komunitas perumahan. 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PERUMAHAN Program ini bertujuan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, sehat, aman, dan terjangkau, dengan menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, melalui pemberdayaan dan peningkatan kinerja pasar primer perumahan; pengembangan sistem pembiayaan perumahan jangka panjang; pengembangan kredit mikro dan pemberdayaan ekonomi lokal; pengembangan Kasiba/Lisiba; serta pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), rumah sederhana, dan rumah sederhana sehat. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dalam program ini meliputi: 1. Deregulasi dan reregulasi peraturan perundang-undangan pertanahan, perbankan, perpajakan, pengembang (developer), dan pasar modal yang terkait dengan upaya pemantapan pasar primer perumahan; Bagian IV.33 – 94 Draft 12 Desember 2004 2. Pembentukan lembaga pembiayaan perumahan nasional beserta instrumen regulasi pendukungnya; 3. Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman bagi perumahan PNS, TNI/Polri dan masyarakat berpendapatan rendah; 4. Pengembangan lembaga kredit mikro (income generating credit, home improvement and home development credit) untuk mendukung perumahan swadaya; 5. Pengembangan pola subsidi yang tepat sasaran, efisien dan efektif sebagai pengganti subsidi selisih bunga; 6. Penyediaan 1.350.000 unit rumah baru layak huni bagi masyarakat yang belum memiliki rumah; 7. Peningkatan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap kredit mikro (small scale credit) untuk pembangunan dan perbaikan rumah sebanyak 3.600.000 unit rumah; 8. Pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) bagi masyarakat berpendapatan rendah sejumlah 60.000 unit; 9. Revitalisasi kawasan perkotaan yang mengalami degradasi kualitas permukiman pada 79 kawasan; 10. Pengembangan tata keselamatan dan keamanan gedung pada kota-kota menengah dan besar; 11. Peningkatan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara; dan 12. Penyusunan norma, standar, peraturan, dan manual (NSPM) di bidang perumahan dan keselamatan bangunan gedung. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas maka diperlukan anggaran sebesar Rp20 triliun yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMS. Anggaran pemerintah dipergunakan untuk membiayai kebutuhan yang terkait dengan pembentukan regulasi, pembinaan dan pengawasan teknis, penyusunan NSPM, dan subsidi bagi masyarakat berpendapatan rendah. 2. PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PERUMAHAN Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan lembaga komunitas dalam rangka pemberdayaan sosial kemasyarakatan agar tercipta masyarakat yang produktif secara ekonomi dan berkemampuan mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang sehat, harmonis dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dari program ini adalah: 1. Peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan, dan desa eks transmigrasi; 2. Fasilitasi dan bantuan teknis perbaikan rumah pada kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan, dan desa eks transmigrasi; 3. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya yang berbasis pemberdayaan masyarakat; 4. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan dan rehabilitasi rumah akibat bencana alam dan kerusuhan sosial; 5. Pengembangan sistem penanggulangan kebakaran (fire fighting system); 6. Penataan, peremajaan dan revitalisasi kawasan; dan Bagian IV.33 – 95 Draft 12 Desember 2004 7. Penyusunan NSPM di bidang pemberdayaan komunitas perumahan Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas maka diperlukan anggaran sebesar Rp10 triliun yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMS. Anggaran pemerintah dipergunakan untuk membiayai kebutuhan yang terkait dengan pemberdayaan komunitas masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan bagi masyarakat berpendapatan rendah, fasilitasi pembentukan skema kredit mikro, pembinaan dan pengawasan teknis, dan penyusunan NSPM. 4.2 AIR MINUM DAN AIR LIMBAH A. PERMASALAHAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH Stagnasi dalam peningkatan pelayanan air minum perpipaan selama 10 tahun terakhir (1992-2002). Pada tahun 1992 jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan) yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 14,7 persen, pada tahun 1997 meningkat sedikit menjadi 19,2 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi 18,3 persen. Pada kawasan perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 5,5 persen berubah menjadi 7,0 persen pada tahun 1997, dan turun menjadi 6,2 persen pada tahun 2002, sedangkan pada kawasan perkotaan tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 35,3 persen, pada tahun 1997 berubah menjadi 39,9 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya 33,3 persen. Pelayanan air minum perpipaan di kawasan perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan di kawasan perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Rendahnya kualitas pengelolaan pelayanan air minum yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil audit terhadap PDAM pada tahun 2000 menunjukkan hanya 57,53 persen PDAM memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang berarti menurun dibandingkan tahun sebelumnya (1999) sebesar 59,43 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada tahun 2000 sebesar 25,27 persen yang berarti meningkat dari audit tahun 1999 sebesar 23,58 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Pendapat Tidak Wajar pada tahun 2000 sebesar 0,54 persen yang berarti membaik dibandingkan dengan tahun 1999 sebesar 0,94 persen, sedangkan proporsi PDAM dengan predikat Tidak Menyatakan Pendapat pada tahun 2000 sebesar 16,67 persen yang berarti memburuk dibandingkan dengan audit tahun 1999 sebesar 16,04 persen. Stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air minum. Tingkat kebocoran yang disebabkan oleh kebocoran teknis (rusaknya water meter dan pipa bocor) dan non teknis (illegal connection dan administrasi) yang masih berkisar pada kisaran antara 30 persen40 persen, yang berarti masih jauh di atas ambang batas normal (20 persen). Tingkat kebocoran pada tahun 1996 sebesar 39,85 persen, pada tahun 1999 bisa ditekan hingga 30,01 persen, namun pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 33,26 persen. Angka kebocoran ini akan terus meningkat apabila kinerja pengelolaan PDAM tidak diperbaiki. Terdapat korelasi yang kuat antara menurunnya kinerja pengelolaan PDAM dengan meningkatnya kebocoran. Bagian IV.33 – 96 Draft 12 Desember 2004 Meningkatnya kecenderungan kabupaten/kota yang baru terbentuk untuk membentuk PDAM baru yang terpisah dari PDAM kabupaten/kota induk. Kecenderungan pembentukan PDAM baru dipicu dengan alasan kabupaten/kota baru memerlukan sumber pendapatan asli daerah yang diharapkan berasal dari BUMD dalam hal ini PDAM. Kecenderungan ini membawa pengaruh negatif yaitu meningkatnya ketidakefisienan dalam pelayanan air minum yang diakibatkan oleh hambatan skala ekonomi (economic of scale) yaitu menciutnya pasar akibat pecahnya PDAM, meningkatnya biaya overhead (gaji, operasi, dan pemeliharaan) karena pembentukan PDAM baru, dan meningkatnya biaya produksi air minum karena munculnya transaksi baru (additional cost) terhadap ketersediaan air baku antara kabupaten/kota induk dengan kabupaten/kota baru. Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisi pemulihan biaya (full cost recovery). Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini beroperasi dengan kondisi rugi. Tarif rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp430,00 per m3 sedangkan biaya produksi air minum rata-rata sebesar Rp1.100,00 - Rp1.700,00 per m3. Biaya produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya kualitas dan kuantitas air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas lingkungan. Menurunnya kualitas lingkungan juga menyebabkan pelayanan air minum di kawasan perdesaan semakin memburuk. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya jumlah mata air, semakin dalamnya air tanah dangkal, semakin rendahnya kualitas air permukaan (sungai, danau, embung, dan waduk). Belum diolahnya lumpur tinja (sludge) secara baik. Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir (1992-2002) cukup baik yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,58 persen per tahun. Jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan) pada tahun 1992 yang mendapatkan pelayanan dasar air limbah sebesar 30,9 persen, pada tahun 1997 bertambah menjadi 59,3 persen, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 63,5 persen. Tingkat pelayanan air limbah di kawasan perdesaan pada tahun 1992 mencapai 19,1 persen, berubah menjadi 49 persen pada tahun 1997, dan meningkat menjadi 52,2 persen pada tahun 2002, sedangkan tingkat pelayanan air limbah di kawasan perkotaan pada tahun 1992 sebesar 57,5 persen, meningkat menjadi 76,9 persen pada tahun 1997, dan meningkat menjadi 77,5 persen pada tahun 2002. Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap lumpur tinja domestik dari tangki septik dan jamban. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah lumpur tinja domestik tersebut yaitu lebih kecil dari dari 30 persen serta masih tingginya pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan lumpur tinja domestik tersebut. Menurunnya persentase masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah (sewerage system). Hal ini disebabkan laju pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan tidak mampu diikuti oleh laju penyediaan prasarana dan sarana sistem pembuangan air limbah. Rendahnya laju pembangunan sistem pembuangan air limbah bagi kota-kota metropolitan dan besar pada umumnya disebabkan oleh semakin mahalnya nilai konstruksi, semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan, sementara di lain pihak kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk pelayanan air limbah domestik masih sangat rendah sehingga tidak dapat menutup biaya pelayanan. Bagian IV.33 – 97 Draft 12 Desember 2004 B. SASARAN PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH Sasaran umum pembangunan air minum adalah meningkatnya cakupan pelayanan air minum perpipaan secara nasional hingga mencapai 40 persen pada akhir tahun 2009 dengan perincian cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan diharapkan dapat meningkat hingga mencapai 66 persen dan di kawasan perdesaan meningkat hingga mencapai 30 persen. Sasaran umum pembangunan air limbah adalah open defecation free untuk semua kabupaten/kota hingga akhir tahun 2009 yang berarti semua rumah tangga minimal mempunyai jamban sebagai tempat pembuangan faeces dan meningkatkan kualitas air permukaan yang dipergunakan sebagai air baku bagi air minum. Selain itu sasaran pembangunan air limbah adalah meningkatkan utilitas IPLT dan IPAL yang telah dibangun hingga mencapai minimal 60 persen pada akhir tahun 2009 serta pengembangan lebih lanjut pelayanan sistem pembuangan air limbah serta berkurangnya pencemaran sungai akibat pembuangan tinja hingga 50 persen pada akhir tahun 2009 dari kondisi saat ini. C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH Pelayanan yang ingin dikembangkan dalam pembangunan air minum dan air limbah hingga akhir tahun 2009 adalah pelayanan air minum dan air limbah yang berkualitas, efisien, dengan harga terjangkau, menjangkau semua lapisan masyarakat, dan berkelanjutan yang akan dilaksanakan melalui kebijakan sebagai berikut: 1. Menciptakan kesadaran seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap pentingnya peningkatan pelayanan air minum dan air limbah dalam pengembangan sumber daya manusia dan produktivitas kerja. 2. Meningkatkan peranserta seluruh pemangku kepentingan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan air minum dan air limbah hingga akhir tahun 2009. 3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan air minum dan air limbah melalui deregulasi dan reregulasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kemitraan pemerintah-swasta (public-private-partnership). 4. Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan air minum dan air limbah sebagai upaya meningkatkan efisiensi pelayanan dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam (air baku). 5. Meningkatkan kinerja pengelola air minum dan air limbah melalui restrukturisasi kelembagaan dan revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMD bidang air minum dan air limbah. 6. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pelayanan air minum dan air limbah melalui uji kompetensi, pendidikan, pelatihan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. 7. Mengurangi tingkat kebocoran pelayanan air minum hingga mencapai ambang batas normal sebesar 20 persen hingga akhir tahun 2009. Bagian IV.33 – 98 Draft 12 Desember 2004 D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH Untuk mencapai sasaran dan melaksanakan kebijakan di atas maka dilakukan kegiatankegiatan yang tercakup dalam 3 (tiga) program yaitu: (1) program pengembangan pemberdayaan masyarakat, (2) program pengembangan kelembagaan, (3) program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah. 1. PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peranan air minum dan air limbah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan produktivitasnya dengan sasaran yang akan dicapai meliputi (1) meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perlunya perilaku hidup bersih dan sehat, (2) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Kampanye publik, mediasi, dan fasilitasi, kepada masyarakat mengenai perlunya perilaku hidup bersih dan sehat; 2. Peningkatan peran sekolah dasar dalam mendukung perilaku hidup bersih dan sehat; 3. Pelaksanaan percontohan dan pengembangan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber air baku; 4. Pelaksanaan percontohan dan pengembangan peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan; 5. Pelestarian budaya dan kearifan lokal yang mendukung pelestarian dan penjagaan kualitas air baku; 6. Pengembangan budaya penghargaan dan hukuman (reward and punishment) terhadap partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan; 7. Peningkatan peran charity fund dan LSM/NGO; serta 8. Peningkatan kapasitas masyarakat dengan berdasar kepada pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach/demand driven), partisipatif, pilihan yang diinformasikan (informed choice), keberpihakan pada masyarakat miskin (pro-poor), gender, pendidikan, dan swadaya (self-financing). Untuk mencapai sasaran program tersebut hingga akhir tahun 2009 melalui kegiatankegiatan yang akan dilakukan tersebut maka diperlukan anggaran sebesar Rp500 miliar yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah (BUMD), serta badan usaha milik swasta (BUMS) 2. PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN Program ini ditujukan untuk melakukan penataan kembali peraturan perundangundangan dan pengembangan kelembagaan yang terkait dengan pembangunan air minum dan air limbah untuk mewujudkan sistem kelembagaan dan tata laksana pembangunan air minum dan air limbah yang efektif dengan sasaran pokok: 1. Meningkatnya koordinasi dan kerjasama antarsektor dan antarwilayah dalam pembangunan air minum dan air limbah; 2. Terciptanya peraturan perundang-undangan yang mengatur kemitraan pemerintahswasta (public private partnership) di bidang air minum dan air limbah; Bagian IV.33 – 99 Draft 12 Desember 2004 3. Meningkatnya peranan badan usaha milik swasta dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah; 4. Tersedianya sumber pembiayaan yang murah dan berkelanjutan; 5. Terselesaikannya revisi peraturan perundang-undangan yang melakukan pengaturan terhadap BUMD yang bergerak dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah. Untuk mencapai sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan: 1. Penyusunan peraturan presiden tentang kerjasama antar wilayah (regionalisasi) dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah; 2. Penyusunan peraturan presiden tentang kerjasama antara BUMN/BUMD dengan BUMS; 3. Peningkatan kerjasama BUMD dengan BUMS yang saling menguntungkan, akuntabel, transparan; 4. Pengembangan water supply and wastewater fund; serta 5. Penyusunan peraturan presiden tentang penerbitan obligasi oleh BUMD. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok tersebut maka diperlukan anggaran sebesar Rp250 miliar yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN/BUMD, dan BUMS. 3. PROGRAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGELOLAAN AIR MINUM LIMBAH DAN AIR Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) dan yang dilaksanakan oleh komunitas masyarakat secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah: (1) meningkatnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dikelola oleh BUMD, (2) meningkatnya kinerja BUMD pengelola air minum dan air limbah hingga berpredikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), (3) meningkatnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dikelola secara langsung oleh masyarakat. Untuk mencapai sasaran tersebut maka akan dilaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1. Restrukturisasi manajemen PDAM dan PDAL; 2. Meningkatkan jumlah PDAM dan PDAL yang berpredikat WTP; 3. Capacity building bagi PDAM dan PDAL melalui uji kompetensi, pendidikan dan pelatihan, optimasi rasio pegawai dan pelanggan; 4. Revisi peraturan struktur dan penentuan tarif; 5. Penurunan kebocoran melalui penggantian pipa bocor dan berumur, penggantian pipa air, penegakan hukum terhadap sambungan liar (illegal connection), peningkatan efisiensi penagihan; 6. Peningkatan operasi dan pemeliharaan; 7. Penurunan kapasitas tidak terpakai (idle capacity); 8. Refurbishment terhadap sistem penyediaan air minum dan pembuangan air limbah yang telah terbangun; 9. Peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah; 10. Pengembangan pelayanan air limbah yang berbasis masyarakat; Bagian IV.33 – 100 Draft 12 Desember 2004 11. Pengembangan pelayanan sistem pembuangan air limbah pada kota-kota metropolitan dan besar; 12. Pengembangan teknologi di bidang pengolahan lumpur tinja; serta 13. Restrukturisasi hutang PDAM dan PDAL khususnya yang terkait dengan pinjaman luar negeri melalui subsidiary loan agreement (SLA). Untuk mencapai sasaran program tersebut hingga akhir tahun 2009 melalui kegiatankegiatan yang akan dilakukan tersebut maka diperlukan anggaran sebesar Rp25 triliun (terdiri dari investasi untuk air minum sebesar Rp16 triliun dan air limbah sebesar Rp9 triliun) yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah, serta badan usaha milik swasta. Anggaran pemerintah diperlukan khususnya untuk meningkatkan pelayanan air minum dan air limbah yang berbasis masyarakat, sedangkan anggaran non pemerintah (masyarakat maupun badan usaha milik swasta) diutamakan untuk meningkatkan pelayanan air minum dan air limbah yang berbasis kelembagaan seperti PDAM dan PDAL, baik yang dikelola secara mandiri oleh PDAM dan PDAL atau yang dikerjasamakan dengan pihak BUMS melalui kontrak manajemen (contract management), sewa beli (leasing), BOT, BOO, dan sebagainya. 4.3 PERSAMPAHAN DAN DRAINASE A. PERMASALAHAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainase secara baik dan berwawasan lingkungan (environment friendly). Hal ini dapat dilihat dari cakupan pelayanan persampahan di kawasan perkotaan selama 10 tahun (1992-2002) hanya mampu melayani sebanyak 18,15 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase hanya mampu melayani 2,51 juta jiwa. Stagnasi terjadi karena rendahnya kesadaran seluruh stakeholder, khususnya pengambil keputusan, terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup yang baik. Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat meningkatnya jumlah sampah yang berasal dari rumah tangga (domestik) dan non rumah tangga yang dibuang ke sungai dan atau dibakar. Persentase sampah yang dibuang ke sungai dan di bakar pada tahun 1998 sebesar 65 persen dan meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2001. Walaupun kenaikannya relatif kecil namun diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Di kawasan perkotaan, laju penanganan sampah jauh lebih lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan anggaran untuk penanganan sampah hanya berkisar 1-2 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di perkotaan mencapai rata-rata 4,6 persen per tahun sehingga terjadi kekurangan cakupan pelayanan (lack of services). Menurunnya kualitas manajemen tempat pembuangan akhir (TPA). Berubahnya sistem pengelolaan TPA yang didesain sebagai sanitary landfill dan atau control landfill menjadi open dumping mencerminkan penurunan kinerja tersebut. Kegagalan mempertahankan manajemen TPA sesuai dengan kriteria teknis sanitary landfill mencapai 99 persen. Hal ini dapat dilihat dengan tidak ada satu kotapun yang mengelola TPA sesuai dengan desain teknisnya yaitu sanitary landfill. Kondisi tersebut semakin Bagian IV.33 – 101 Draft 12 Desember 2004 memperburuk kualitas lingkungan perkotaan akibat merebaknya pencemaran udara akibat sampah yang terbakar akibat tidak terkendalinya gas methane dan proses pembusukan sampah, rusaknya air tanah dangkal dan air permukaan akibat meresapnya air lindi yang tidak terkendali, merebaknya gas dioxin yang karsinogen Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan. Kelangkaan lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan masyarakat membuang sampah ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan persentase kawasan tergenang dan persentase terhambatnya fungsi drainase. Pada tahun 1996 persentase luasan kawasan tergenang hanya 2,31 persen dan meningkat menjadi 3,52 persen pada tahun 2001, sedangkan saluran drainase yang tidak lancar pada tahun 1996 sebanyak 8,74 persen meningkat menjadi 10,04 persen pada tahun 2001. Kecenderungan akan terus meningkat di masa mendatang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berarti juga bertambahnya timbulan sampah dan semakin sulitnya mendapatkan areal yang memadai untuk tempat pembuangan sampah (baik tempat pembuangan sementara maupun tempat pembuangan akhir). Selain itu, migrasi ke kawasan perkotaan, terbatasnya lahan yang tersedia, dan rendahnya penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang pada akhirnya membawa dampak peningkatan perambahan badan-badan air, termasuk saluran drainase, baik yang secara alami telah ada sejak dahulu (sungai, kali, dan selokan), maupun saluran drainase buatan (kanal dan got). Kehilangan luasan badan air di kawasan perkotaan, khususnya di kota-kota metropolitan dan besar) paling tidak mencapai 5-10 persen per tahun. B. SASARAN PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE Sasaran umum pembangunan dan pengelolaan persampahan yang hendak dicapai adalah meningkatnya jumlah sampah terangkut hingga 75 persen hingga akhir tahun 2009 serta meningkatnya kinerja pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota-kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang. Sasaran umum pembangunan drainase adalah terbebasnya saluran-saluran drainase dari sampah sehingga mampu meningkatkan fungsi saluran drainase sebagai pematus air hujan dan berkurangnya wilayah genangan permanen dan temporer hingga 75 persen dari kondisi saat ini. C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE Pelayanan yang akan dikembangkan dalam pembangunan persampahan dan drainase hingga akhir tahun 2009 adalah pelayanan persampahan dan drainase yang berkualitas, terjangkau, efisien, menjangkau seluruh lapisan masyarakat, serta berwawasan lingkungan yang akan dilaksanakan melalui kebijakan sebagai berikut: 1. Menciptakan kesadaran seluruh stakeholders terhadap pentingnya peningkatan pelayanan persampahan dan drainase. 2. Meningkatkan peranserta seluruh stakeholder dalam upaya mencapai sasaran pembangunan air minum dan air limbah hingga akhir tahun 2009. 3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan persampahan, baik dalam handling-transportation maupun dalam pengelolaan TPA. Bagian IV.33 – 102 Draft 12 Desember 2004 4. Menciptakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kemitraan pemerintah-swasta (public-private-partnership) dalam bidang persampahan. 5. Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan persampahan dan drainase. 6. Meningkatkan kinerja pengelola persampahan dan drainase melalui restrukturisasi kelembagaan dan revisi peraturan perundang-undangan yang terkait. 7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola persampahan dan drainase melalui uji kompetensi, pendidikan, pelatihan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE Untuk mencapai sasaran dan arah kebijakan sebagaimana telah disebutkan di atas maka dilakukan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam 3 (tiga) program yaitu: (1) program pemberdayaan masyarakat, (2) program pengembangan kelembagaan, (3) program peningkatan kinerja pengelolaan persampahan dan drainase. 1. PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penanganan persoalan persampahan dan drainase dengan sasaran khusus yang hendak dicapai adalah berkurangnya timbulan sampah, menurunnya perambahan terhadap sungai, kanal, dan saluran drainase, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam penanganan persampahan dan drainase. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan guna mencapai sasaran khusus tersebut antara lain: 1. Kampanye penyadaran publik (public awareness campaign) mengenai 3R (reduce, reuse, recycle); 2. Pengembangan pusat daur ulang (recycle center) yang berbasis masyarakat di kota metropolitan dan kota besar; 3. Pemasyarakatan struktur pembiayaan dalam penanganan persampahan dan drainase; 4. Pengembangan kapasitas bagi pemulung dan lapak di kota metropolitan dan kota besar; 5. Pengembangan vermi compost dan pengomposan yang berbasis masyarakat di kota besar dan kota sedang; 6. Proyek percontohan pengembangan produk pertanian organik skala kecil sebagai upaya pengembangan pasar kompos; 7. Kampanye penyadaran publik (public awareness campaign) mengenai perlunya saluran drainase dalam mengurangi genangan di kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang; serta 8. Peningkatan pemeliharaan dan normalisasi saluran drainase yang berbasis masyarakat pada kawasan-kawasan kumuh di kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok yang terkait dengan upaya pencapaian sasaran program maka diperlukan anggaran Rp500 miliar yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan BUMD. BUMS khususnya yang berskala kecil dapat berperan serta dalam proyek percontohan pengembangan pusat daur ulang (recycle center), vermi-compost, dan pengomposan. Bagian IV.33 – 103 Draft 12 Desember 2004 2. PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN Program ini ditujukan untuk mewujudkan tata kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan transparan. Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah tersedianya perangkat perundang-undangan yang mengatur hubungan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan persampahan dan drainase, terciptanya sumber-sumber pembiayaan baru bagi penanganan persampahan dan drainase, meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antarwilayah dalam penanganan persampahan dan drainase. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk mencapainya antara lain: 1. Review dan revisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan persampahan dan drainase; 2. Penyusunan naskah akademik rencana undang-undang persampahan, 3. Penyusunan kebijakan, strategi, dan rencana tindak penanggulangan sampah secara nasional; 4. Pelaksanaan proyek percontohan regionalisasi penanganan persampahan dan drainase; 5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan; serta 6. Proyek percontohan kerjasama pemerintah dan BUMS dalam pengelolaan persampahan. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok guna menunjang pencapaian sasaran program maka diperlukan anggaran Rp250 miliar yang diharapkan semua berasal dari pemerintah pusat. 3. PROGRAM PENINGKATAN DRAINASE KINERJA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN Program ini bertujuan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah disebutkan di atas secara cepat, tepat, bermanfaat, efisien, dan berwawasan lingkungan (environmental friendly). Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah meningkatnya cakupan pelayanan persampahan, berkurangnya luasan wilayah tergenang, meningkatnya pemanfaatan teknologi tepat guna, meningkatnya kinerja pengelola persampahan dan drainase. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain; 1. Restrukturisasi dan korporitisasi PD Kebersihan dan atau Dinas Kebersihan yang menangani persampahan; 2. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan bagi aparat maupun pegawai institusi yang menangani persampahan dan drainase; 3. Peningkatan kualitas dan kuantitas pengangkutan persampahan; 4. Pengembangan pemisahan sampah organik dan anorganik; 5. Penerapan teknologi tinggi untuk pengurangan volume sampah bagi kota-kota metropolitan; 6. Peningkatan kualitas pengelolaan tempat pembuangan akhir dengan standar sanitary landfill system untuk kota-kota besar; 7. Penyusunan studi kelayakan pemanfaatan WTE-incenerator (waste to energy) dalam pengolahan sampah; Bagian IV.33 – 104 Draft 12 Desember 2004 8. Peningkatan kapasitas (capacity building) bagi institusi yang menangani pembangunan dan pemeliharaan drainase; 9. Penegakan hukum terhadap permukiman liar yang memanfaatkan lahan di jaringan drainase; 10. Peningkatan dan normalisasi saluran drainase; 11. Pembangunan jaringan drainase primer dan sekunder bagi kota-kota besar; 12. Peningkatan operasi dan pemeliharaan jaringan drainase primer dan sekunder; serta 13. Peningkatan kerjasama antara pemerintah dan BUMS baik melalui kontrak manajemen (contract management), sewa beli (leasing), BOT, dan BOO dalam pengelolaan persampahan dan drainase. Untuk dapat memberikan hasil yang optimal dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagaimana disebutkan di atas maka diperlukan anggaran Rp6 triliun (terdiri dari investasi untuk persampahan sebesar Rp4 triliun dan untuk drainase sebesar Rp2 triliun) yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMD, dan BUMS. BUMS dapat terlibat dalam penanganan persampahan, baik dalam pengolahan sampah organik, pengelolaan penanganan persampahan, pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA), dan dalam kemitraan pemerintah-swasta (public-privatepartnership) seperti melalui kontrak manajemen (contract management), sewa beli (leasing), BOT, dan BOO. Bagian IV.33 – 105