Outline - Bappenas

advertisement
Draft 12 Desember 2004
BAB 33
PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Selama ini pembangunan infrastruktur menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan
sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun
penumpang. Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan
upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting
untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan
permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan
sumber daya air yang berkelnjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah pentingnya untuk
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Jaringan transportasi dan telekomunikasi
dari Sabang sampai Merauke serta Sangir Talaud ke Rote merupakan salah satu perekat
utama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan
pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan
antarkawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi
diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis
wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa
infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi wilayah, serta
ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan
sektor-sektor lainnya..
Di sisi lain, kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur yang meliputi transportasi,
ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumberdaya air, serta
perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan, mengalami penurunan baik
kuantitas maupun kualitasnya. Berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya
pembangunan infrastruktur baru dapat menghambat laju pembangunan nasional.
Rehabilitasi dan pembangunan kembali berbagai infrastruktur yang rusak, serta
peningkatan kapasitas dan fasilitas baru akan menyerap biaya yang sangat besar sehingga
tidak dapat dipikul oleh pemerintah sendiri. Untuk itu, mencari solusi inovatif guna
menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan
masalah yang mendesak untuk diselelesaikan.
Di bidang infrastruktur masih banyak kegiatan non cost recovery yang menjadi tanggung
jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, antara lain sub sektor jalan,
fasilitas keselamatan transportasi, sumber daya air, fasilitas persampahan dan sanitasi. Pada
kegiatan lain peran pemerintah melalui peneyertaan modal negara kepada BUMN terkait
yang bergerak di infrastruktur antara lain: jalan tol, pelabuhan, bandara, air minum,
perumahan, pos, listrik, dan telekomunikasi, yang belum sepenuhnya sistem tarif yang
berlaku menarik bagi investor swasta. Kegiatan-kegiatan ini terutama yang berkaitan
dengan public service obligation/PSO. Di sisi lain telah pula terdapat kegiatan yang
sepenuhnya dapat dilakukan oleh swasta, seperti pembangkit listrik, telekomunikasi di
daerah perkotaan, pelabuhan peti kemas, bandara internasional dan bandara pada lokasi
tujuan wisata, jalan tol pada ruas-ruas yang memiliki kondisi lalu lintas yang tinggi.
Bagian IV.33 – 1
Draft 12 Desember 2004
Berkaitan dengan masalah tersebut di atas pada 5 tahun kedepan perlu dipertegas
penanganan kegiatan pemeliharaan/rehabilitasi, dan pembangunan infrastruktur.
Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan PSO tentunya menjadi kewajiban pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaannya tentunya akan disesuaikan dengan
kemampuan pendanaan oleh pemerintah. Untuk ini perlu adanya sinkronisasi penanganan
program melalui APBN dan APBD.
Sedang kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh BUMN terkait perlu diupayakan
optimalisasi penggunaan sumber dana perusahaan. Apabila terkait dengan kegiatan yang
menyangkut hajat hidup masyarakat yang harus mendapat perlindungan dari pemerintah,
atau dengan kata lain untuk menghindari penguasaan usaha sepenuhnya oleh swasta, maka
pola penyertaan modal negara terhadap BUMN terkait perlu diupayakan seeffisien
mungkin.
Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta perlu diperjelas
peraturan perundang-undangan yang terkait, terutama menyangkut garansi dan sisten tarif.
Berkaitan dengan keikutsertaan swasta membangun infrastruktur perlu diperjelas
kewenangan masing-masing investor swasta dengan BUMN terkait, hindarkan bahwa
BUMN memilki hak monopoli untuk berusaha pada bidangnya.
I.
SUMBER DAYA AIR
1.1
PERMASALAHAN SUMBER DAYA AIR
Ketidakseimbangan antara supply dan demand dalam perspektif ruang dan
waktu. Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di
dunia dalam hal ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala
dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial
maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan,
baik dalam perspektif jumlah maupun mutu. Dari segi spasial, Pulau Jawa yang dihuni
sekitar 65 persen penduduk Indonesia hanya mempunyai 4,5 persen dari potensi air tawar
nasional. Dari segi distribusi waktu sepanjang tahun, 80 persen air tersedia pada musim
hujan yang berdurasi lima bulan, sedangkan 20 persen lainnya tersedia pada musim
kemarau dengan durasi tujuh bulan. Ketersediaan air yang sangat melimpah pada musim
hujan, yang selain menimbulkan manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi
bahaya kemanusiaan berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah
pula menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang
berkepanjangan. Tahun 2002, banjir telah melanda 20 provinsi dengan tingkat intensitas
rendah sampai dengan tinggi, dan secara ironis pada tahun yang sama terjadi kekeringan
pada 17 propinsi.
Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air.
Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah
menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan
menyimpan air. Pada tahun 1984, dari 470 DAS hanya terdapat 22 DAS yang rusak.
Namun, tahun 1999 jumlah DAS yang rusak telah mencapai 62 DAS. Kecenderungan
meluas dan bertambahnya jumlah DAS kritis telah mengarah pada tingkat kelangkaan dan
peningkatan daya rusak air yang semakin serius. Selain itu, kelangkaan air yang terjadi
Bagian IV.33 – 2
Draft 12 Desember 2004
cenderung mendorong pola penggunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola
eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
permukaan dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan ”amblesan” permukaan tanah.
Kerusakan air tanah sangat sulit untuk dipulihkan, sehingga apabila hal tersebut terjadi
terus-menerus secara pasti akan berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang
berimplikasi luas.
Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman
dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan
dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk
dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga
menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku. Kondisi ini
diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah sehingga tingkat
layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam.
Meningkatnya kebutuhan air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga,
permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara
nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada tahun
2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang semakin
meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara
pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air. Pada musim kemarau tahun 2003, Pulau
Jawa dan Bali telah mengalami defisit sebanyak 13,1 miliar meter-kubik. Demikian pula
wilayah Nusa Tenggara juga mengalami defisit air sebesar 0,1 miliar meter-kubik. Semakin
parahnya kelangkaan tersebut berpeluang memicu terjadinya berbagai bentuk konflik air,
baik antar kelompok pengguna, antar wilayah, maupun antar generasi. Konflik air yang
tidak terkendali berpotensi berkembang menjadi konflik dengan dimensi yang lebih luas,
bahkan lebih jauh dapat memicu berbagai bentuk disintegrasi.
Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Pada tahun 2002, jaringan
irigasi terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Sekitar 47,0
persen jaringan irigasi berada di Jawa, 24,5 persen di Sumatera, 11,5 persen di Sulawesi,
dan 10,6 persen di Kalimantan; sedangkan sisanya, 6,5 persen di Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, Papua, dan Irian Jaya Barat. Dari jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut
diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir 25 persen, masih belum berfungsi.
Belum berfungsinya jaringan irigasi dengan luasan yang sangat signifikan tersebut
disebabkan antara lain oleh belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum
siapnya lahan sawah ataupun ketidaksiapan petani penggarap. Hal yang sama juga terjadi
pada jaringan irigasi rawa; dari 1,80 juta hektar yang telah dibangun hanya sekitar 0,8 juta
hektar (47 persen) yang berfungsi. Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga
mengalami kerusakan yang terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan
pemeliharaan. Diperkirakan total area kerusakan jaringan irigasi tersebut mencapai sekitar
30 persen. Hal yang cukup mengkhawatirkan, sebagian besar kerusakan tersebut justru
terjadi pada daerah-daerah penghasil beras nasional di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain
penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin
menurun karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian terutama untuk perumahan. Alih
fungsi lahan secara nasional mencapai 35 ribu hektar per tahun yang sebagian besar terjadi
di Pulau Jawa.
Bagian IV.33 – 3
Draft 12 Desember 2004
Makin meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai
mengancam keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai
pada beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan
dengan negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis
pantai mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma
pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah
penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran
swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat,
pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas
dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk
peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan operasional.
Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antar instansi telah menimbulkan pola
pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan.
Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai prasyarat terjaminnya
keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang
diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan.
Rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber
daya air belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data
dan informasi belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat
diperlukan. Selain itu, akses publik terhadap data masih belum dapat terlayani secara baik.
Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan informasi tentang sumber daya
air, namun pertukaran data dan informasi antar instansi masih banyak mengalami
hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah sikap kurang perhatian dan penghargaan
akan pentingnya data dan informasi.
1.2
SASARAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR
Sasaran umum pembangunan sumber daya air adalah: (1) tercapainya pola pengelolaan
sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan; (2) terkendalinya potensi konflik air; (3)
terkendalinya pemanfaatan air tanah; (4) meningkatnya kemampuan pemenuhan
kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri dengan prioritas
utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat; (5) berkurangnya dampak
bencana banjir dan kekeringan; (6) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut
terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; (7)
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat; (8) meningkatnya kualitas koordinasi dan
kerjasama antar instansi; (9) terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; dan (10)
tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat dan mudah diakses.
1.3
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR
Pengelolaan sumber daya air dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara
konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan
dan air tanah, antara pengelolaan demand dan pengelolaan supply, serta antara pemenuhan
Bagian IV.33 – 4
Draft 12 Desember 2004
kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada masa lalu fokus
pembangunan lebih ditujukan pada pendayagunaan. Ke depan upaya konservasi akan lebih
diutamakan. Pola hubungan hulu - hilir akan terus dikembangkan agar tercapai pola
pengelolaan yang lebih berkeadilan. Pengembangan dan penerapan sistem conjuctive use
antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menjaga
keberlanjutan ketersediaan air tanah. Penitikberatan pada upaya penyediaan (supply)
terbukti kurang efisien dan efektif dalam rangka memecahkan masalah pengelolaan
sumber daya air. Untuk itu, upaya tersebut perlu disertai dengan upaya melakukan
rasionalisasi permintaan dan penggunaan air melalui demand management. Pola pengelolaan
yang berorientasi pada jangka pendek cenderung menimbulkan ancaman terhadap
keberlanjutan sumber daya air, yang berarti mengorbankan kepentingan jangka panjang.
Pendekatan vegetatif dalam rangka konservasi sumber-sumber air adalah hal yang
sangat perlu dilakukan karena penting dan tak-tergantikannya fungsi vegetatif dalam
konteks lingkungan. Namun disadari bahwa hasil dari upaya vegetatif tersebut bersifat
jangka panjang. Untuk itu, dalam 5 (lima) tahun kedepan upaya vegetatif perlu diimbangi
upaya-upaya lain, antara lain rekayasa keteknikan, yang lebih bersifat quick yielding.
Pembangunan tampungan air berskala kecil akan lebih dikedepankan, sedangkan
pembangunan tampungan air dalam sekala besar perlu pertimbangan yang lebih hati-hati
karena menghadapi masalah yang lebih kompleks, terutama terkait dengan isu sosial dan
lingkungan. Pola pembangunan berskala kecil ini akan mengurangi derajat konsentrasi
biaya dan resiko pada suatu areal dan penduduk tertentu. Upaya konservasi sumbersumber air dilakukan tidak hanya untuk melestarikan kuantitas air, tapi juga diarahkan
untuk memelihara kualitas air. Selain itu, upaya konservasi air tanah terus akan
ditingkatkan dengan pengisian kembali (recharging) atau dengan aplikasi teknologi lain yang
tersedia dan layak.
Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi pada lima
tahun ke depan difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah
dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi befungsi yang mengalami
kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan. Upaya peningkatan fungsi
jaringan akan dilakukan hanya pada areal yang ketersediaan airnya terjamin dan petani
penggarapnya sudah siap, dengan prioritas areal irigasi di luar pulau Jawa. Upaya
rehabilitasi akan diprioritaskan pada areal irigasi di daerah lumbung padi. Mengingat
luasnya jaringan irigasi yang belum bersungsi, maka pada lima tahun kedepan tidak perlu
lagi dilakukan upaya pengembangan jaringan sawah beririgasi baru, kecuali menyelesaikan
proyek-proyek yang sudah dimulai dan tengah dikerjakan. Operasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi diselenggarakan dengan berbasis partisipasi masyarakat dalam seluruh
proses kegiatan. Untuk mengendalikan kecenderungan meningkatnya alih fungsi lahan,
akan dikembangkan berbagai skema insentif kepada petani agar bersedia mempertahankan
lahan sawahnya.
Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku diprioritaskan
pada pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air,
wilayah tertinggal, dan wilayah strategis. Pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan
kebutuhan air baku akan dikendalikan dan sejalan dengan itu akan dilakukan upaya
peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan.
Bagian IV.33 – 5
Draft 12 Desember 2004
Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir mengutamakan
pendekatan non-konstruksi melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah
aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. Peningkatan
partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan
tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan
pasca bencana. Penanggulangan banjir diutamakan pada wilayah berpenduduk padat dan
wilayah strategis. Pengamanan pantai-pantai dari abrasi terutama dilakukan pada daerah
perbatasan, pulau-pulau kecil serta pusat kegiatan ekonomi.
Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan penataan kelembagaan
melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku
kepentingan. Lembaga dewan sumber daya air dan komisi irigasi akan dibentuk, yang
ditujukan selain sebagai instrumen kelembagaan untuk mengendalikan berbagai potensi
konflik air, juga untuk memantapkan mekanisme koordinasi baik antar institusi
pemerintah maupun antara institusi pemerintah dengan institusi masyarakat. Walaupun
domain kewenangan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota telah
ditetapkan, upaya kerjasama kemitraan antar ketiga tingkatan pemerintah tersebut akan
terus didorong agar keterpaduan pengelolaan sumber daya air dalam satu wilayah sungai
dapat dijamin. Dalam upaya memperkokoh civil society, keterlibatan masyarakat,
BUMN/D dan swasta perlu dipertegas. Terkait dengan hal tersebut dalam lima tahun ke
depan, akan diselesaikan penyusunan peraturan perundangan sebagai pelaksanaan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004.
Peran modal sosial dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting, terutama dalam
hal mendorong rasa memiliki masyarakat pengguna air, yang merupakan factor penting
untuk menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur. Pengembangan modal social akan
dilakukan dengan pendekatan budaya, terutama untuk menggali dan merevitalisasi kearifan
lokal (local wisdom) yang secara tradisi bayak tersebar di masyarakat Indonesia.
Kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air perlu didukung dengan
ketersediaan data yang tepat, akurat dan dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak
yang memerlukan. Untuk itu, penataan dan penguatan sistem pengolahan data dan
informasi sumber daya air dilakukan secara terencana dan dikelola secara
berkesinambungan sehingga tercipta basis data yang dapat dijadikan dasar acuan
perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Potensi pemerintah daerah,
pengelola, dan pemakai sumber daya air perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin.
1.4
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR
Untuk mencapai sasaran umum dan melaksanakan kebijakan di atas dilakukan
kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam 5 (lima) program, yaitu: (1) pengembangan,
pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya; (2) pengembangan dan
pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya; (3) penyediaan dan
pengelolaan air baku; (4) pengendalian banjir dan pengamanan pantai; serta (5) penataan
kelembagaan dan ketatalaksanaan.
Bagian IV.33 – 6
Draft 12 Desember 2004
1. PROGRAM
PENGEMBANGAN, PENGELOLAAN, DAN KONSERVASI SUNGAI, DANAU,
DAN SUMBER AIR LAINNYA
Program ini ditujukan untuk meningkatkan keberlanjutan fungsi dan pemanfaatan
sumber daya air, mewujudkan keterpaduan pengelolaan, serta menjamin kemampuan
keterbaharuan dan keberlanjutannya. Sasaran program ini antara lain: (1) dapat dicapainya
pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan; dan (2) terkendalinya
eksploitasi air tanah.
Sasaran di atas akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan:
(1) penatagunaan sumber daya air; (2) menyelenggarakan konservasi air tanah di
Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang; (3) operasi dan pemeliharaan waduk, danau,
situ, embung, serta bangunan penampung air lainnya; (4) rehabilitasi 100 situ di wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; serta beberapa situ/danau di wilayah Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan daerah lainnya; (5) pembangunan 18 waduk antara lain di
Keuliling (Nanggroe Aceh Darussalam), Genteng (Banten), Ciawi, Jatigede (Jawa Barat),
Lodan, Logung (Jawa Tengah), Nipah, Blega, Bajulmati, Kedungbrubus, Gonggong (Jawa
Timur), Telaga Tunjung, Muara, Tukad Ayung (Bali), Pelaperado, Pandanduri Swangi
(Nusa Tenggara Barat), Mbay (Nusa Tenggara Timur), Ponre-Ponre (Sulawesi Selatan); (6)
pembangunan 500 buah embung dan bangunan penampung air lainnya dalam skala kecil
terutama di Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan wilayah rawan kekeringan lainnya; (7)
peningkatan pemanfaatan potensi kawasan dan potensi air waduk, danau, situ, embung,
dan bangunan penampung air lainnya, termasuk untuk pengembangan wisata tirta; (8)
melaksanakan pembiayaan kompetitif (competitive fund) untuk konservasi air oleh kelompok
masyarakat maupun pemerintah daerah; (9) menggali dan mengembangkan budaya
masyarakat dalam konservasi air; dan (10) perkuatan 44 balai pengelolaan sumber daya air
yang tersebar di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan yang akan dilakukan memerlukan biaya sebesar Rp13,5 triliun yang akan
bersumber dari dana pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat
bekerjasama membiayai dan melaksanakan program pembangunan tersebut atas dasar
kesepakatan untuk kepentingan nasional.
2. PROGRAM
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI, RAWA, DAN
JARINGAN PENGAIRAN LAINNYA
Program ini ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, serta
jaringan pengairan lainnya dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.
Sasaran yang ingin dicapai antara lain: (1) meningkatnya kemampuan pemenuhan
kebutuhan air untuk pertanian; (2) terkendalinya pemanfaatan air tanah untuk irigasi; dan
(3) meningkatnya partisipasi masyarakat pemakai air irigasi.
Sasaran program tersebut akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan: (1) pemberdayaan
petani pemakai air terutama dalam pengelolaan jaringan irigasi; (2) peningkatan jaringan
irigasi yang belum berfungsi seluas 1,1 juta hektar di luar Jawa; (3) rehabilitasi jaringan
irigasi seluas 2,6 juta hektar terutama pada daerah penghasil pangan nasional dan jaringan
Bagian IV.33 – 7
Draft 12 Desember 2004
rawa seluas 0,8 juta hektar di luar Jawa ; (4) pengelolaan jaringan irigasi seluas 5,1 juta
hektar dan rawa serta jaringan pengairan lainnya seluas 0,8 juta hektar yang tersebar di
seluruh provinsi; dan (5) optimalisasi pemanfaatan lahan irigasi dan rawa yang telah
dikembangkan.
Kegiatan-kegiatan di atas memerlukan biaya sebesar Rp22 triliun yang bersumber dari
anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
masyarakat. Untuk itu, perlu didorong kerjasama pembiayaan antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan npemerintah kabupaten/kota.
3. PROGRAM PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN AIR BAKU
Program ini ditujukan untuk meningkatkan penyediaan air baku untuk memenuhi
kebutuhan domestik, perkotaan, dan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan
mayarakat dan mendukung kegiatan perekonomian. Sasaran yang akan dicapai adalah (1)
meningkatnya kemampuan pemenuhan air baku untuk rumah tangga, permukiman, dan
industri dengan prioritas untuk kebutuhan pokok mayarakat; (2) terkendalinya
pemanfaatan air tanah untuk rumah tangga, permukiman, dan industri; serta (3)
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyediaan air baku.
Sasaran di atas akan dicapai melalui kegiatan: (1) operasi dan pemeliharaan serta
rehabilitasi saluran pembawa dan prasarana air baku lainnya; (2) pembangunan prasarana
pengambilan dan saluran pembawa air baku terutama pada kawasan-kawasan dengan
tingkat kebutuhan air baku tinggi di wilayah strategis dan daerah tertinggal antara lain di
Lampung (Tanjungkarang), Jakarta (Saluran Tarum Barat dan Kanal-2), Jawa Tengah
(Rawa Pening dan Seropan), Jawa Timur (Saluran Pelayaran, Madura, dan Bajulmati),
Pontianak (Kalimntan Barat), Sulawesi Selatan (Jeneberang), dan Pangkal Pinang (Bangka
Belitung); (3) pembangunan sumur-sumur air tanah dengan memperhatikan prinsipprinsip conjuctive use pada daerah-daerah rawan air dan daerah tertinggal; (4) sinkronisasi
kegiatan antara penyediaan air baku dengan kegiatan pengolahan dan distribusi; dan (5)
peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan air baku.
Untuk kegiatan di atas diperlukan dana sebesar Rp15 triliun dari pemerintah pusat,
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, BUMN/BUMD,
dan swasta akan didorong untuk berpartisipasi.
4. PROGRAM PENGENDALIAN BANJIR DAN PENGAMANAN PANTAI
Program ini ditujukan untuk mengurangi tingkat risiko dan periode genangan banjir,
serta menanggulangi akibat bencana banjir dan abrasi pantai yang menimpa daerah
produksi, permukiman, dan sarana publik lainnya. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1)
berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; (2) terlindunginya daerah pantai
dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah
strategis; serta (3) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penangulangan banjir dan
mengatasi kekeringan.
Sasaran-sasaran program tersebut akan dicapai melalui kegiatan-kegiatan: (1) operasi
dan pemeliharaan serta perbaikan alur sungai terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo,
Bagian IV.33 – 8
Draft 12 Desember 2004
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat; (2) rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan
prasarana pengendali banjir dan pengamanan pantai, termasuk tanggul dan normalisasi
sungai terutama di Jawa, Sumatera dan Kalimantan; (3) pembangunan prasarana
pengendali banjir dan pengamanan pantai terutama pada daerah-daerah rawan bencana
banjir dan abrasi air laut pada wilayah strategis, daerah tertinggal, serta pulau-pulau terluar
di daerah perbatasan antara lain di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Riau Kepulauan, Bengkulu, Pantai Utara Jawa, Jawa Bagian Selatan, Bali,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara; (4) mengendalikan aliran air permukaan (run off) di
daerah tangkapan air dan badan-badan sungai melalui pengaturan dan penegakkan hukum;
(5) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai dan pantai; serta (6)
menggali dan mengembangkan budaya masyarakat setempat dalam mengendalikan banjir.
Kegiatan di atas memerlukan dana sebesar Rp17,5 triliun yang akan dibiayai dengan
dana pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
BUMN/BUMD dan swasta juga diharapkan partisipasinya.
5. PROGRAM PENATAAN KELEMBAGAAN DAN KETATALAKSANAAN
Program ini ditujukan untuk mewujudkan kelembagaan yang efektif. Sasaran yang
hendak dicapai adalah: (1) terkendalinya potensi konflik air; (2) meningkatnya partisipasi
masyarakat; (3) meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar instansi; (4)
terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; (5) tersedianya data dan sistem informasi
yang aktual, akurat, dan berkelanjutan; dan (6) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber air.
Untuk mencapai sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan: (1) penyusunan Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Sungai, Peraturan Pemerintah tentang
Pengusahaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Peraturan Pemerintah tentang Irigasi,
Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai,
Peraturan Pemerintah tentang Perum Jasa Tirta I, Peraturan Pemerintah tentang Perum
Jasa Tirta II; (2) penyusunan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Pengelola
Wilayah Sungai Jratun Seluna, Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Pengelola
Wilayah Sungai Serayu- Bogowonto, Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan
Pengelola Wilayah Sungai Jeneberang; dan Peraturan Presiden tentang Pembentukan
Dewan Sumber Daya Air Nasional, serta peraturan menteri dan peraturan daerah untuk
operasionalnya; (3) penataan dan perkuatan kelembagaan pengelola sumber daya air
tingkat pusat, daerah provinsi, maupun daerah kabupaten/kota; (4) pembentukan wadah
koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat SWS,
dan/atau tingkat kabupaten/kota; (5) membangun sistem informasi dan pengelolaan data
yang dapat memenuhi kebutuhan data dan informasi yang akurat, aktual, dan mudah
diakses; (6) pembentukan jaringan dan kelembagaan pengelola data dan sistem informasi
serta penyiapan dan pengoperasian decision support system (DSS); (7) peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber
air lainnya; (8) penegakan hukum dan peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya
air.
Untuk melaksanakan kegiatan di atas diperlukan dana sebesar Rp900 miliar.
Pendanaan untuk kegiatan yang sifatnya nasional dibiayai oleh pemerintah pusat,
Bagian IV.33 – 9
Draft 12 Desember 2004
sedangkan untuk skala daerah dibiayai oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
II. TRANSPORTASI
Pembangunan sektor transportasi merupakan bagian yang amat penting dalam
pembangunan nasional. Tujuan pembangunan transportasi adalah meningkatkan
pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau
dan mewujudkan sistem transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan
pembangunan wilayahnya dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu
memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan
jaringan desa-kota yang memadai.
Kendala yang dihadapi sektor transportasi meliputi aspek kelembagaan dan peraturan,
sumber daya manusia, teknologi, pendanaan investasi, kapasitas, serta operasi dan
pemeliharaan. Pada aspek kelembagaan dan peraturan masih banyak terjadi
ketidakefisienan pengelolaan dan pembinaan infrastruktur yang diakibatkan kurang
efektifnya koordinasi dan pembagian peran dan fungsi antar lembaga, terutama dalam hal
ketidakjelasan hubungan antar regulator, owner dan operator. Dari aspek pendanaan
akibat karakteristik infrastruktur transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang
besar dan jangka waktu pengembalian yang panjang, sedang sebagian besar tarip tidak
dapat mencapai tingkat full cost recovery secara finansial, serta masih banyaknya
penyelenggaraan infrastruktur transportasi yang dilakukan secara monopoli, sehingga
peran pemerintah sebagi regulator masih sangat diperlukan.
2.1 PRASARANA JALAN
Prasarana jaringan jalan masih merupakan kebutuhan pokok bagi pelayanan distribusi
komoditi perdagangan dan industri. Selain itu terutama di era desentralisasi, jaringan jalan
juga merupakan perekat keutuhan bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan keamanan. Sehingga keberadaan sistem jaringan jalan yang
menjangkau seluruh wilayah tanah air merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi.
2.1.1 PERMASALAHAN PRASARANA JALAN
A.
KONDISI JARINGAN JALAN SAAT INI
Kondisi kinerja prasarana jalan sampai akhir tahun 2002, umumnya masih rendah,
diantaranya dari total panjang jalan 330.495 kilometer, kondisi jalan yang rusak mencapai
11,7 persen jalan nasional, 34,6 persen jalan propinsi, 48,0 persen jalan kabupaten, dan 4,0
persen jalan kota. Kondisi sistem jaringan jalan pada tahun 2002 baik jalan nasional,
provinsi, kabupaten maupun kota mencapai 60 persen dari panjang jalan yang ada dalam
kondisi baik dan sedang.
Bagian IV.33 – 10
Draft 12 Desember 2004
Tabel 1. Kerusakan Jaringan Jalan Nasional (2002)
Kondisi Jalan (Persen)
Panjang
Jenis Jalan
Rusak
Rusak
(km)
Baik
Sedang
Ringan
Berat
Jalan Nasional
26.866 64,3
24,0
6,9
4,8
Jalan Propinsi
37.164 34,1
32,1
16,9
16,9
Jalan Kabupaten
240.946 19,0
34,0
28,5
18,5
Jalan Kota
25.518
9.0
87,0
4,0
0,0
Total
330.495 23,6
37,1
23,6
15,8
Sumber: Ditjen Praswil (2002)
Namun demikian, dari seluruh sistem jaringan jalan, kondisi jalan provinsi dan
kabupaten masih belum menunjukkan perbaikan tingkat kinerjanya. Sedangkan untuk
jalan nasional dan kota mengalami peningkatan yang cukup berarti yang mengarah kepada
pelayanan yang optimal terhadap distribusi arus penumpang dan barang. Kondisi sedang
merupakan prosentase terbesar dari kondisi sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini
disebabkan sebagian besar panjang jalan kabupaten dan propinsi berada pada kondisi
sedang yang mengarah pada kondisi rusak ringan.
Perkembangan kondisi jalan nasional sejak tahun 1997 sampai dengan 2003 lebih baik
bila dibandingkan dengan kondisi jalan propinsi dan jalan kabupaten. Kondisi baik dan
sedang jalan nasional secara umum mengalami peningkatan dari 74,5 persen pada tahun
1997 menjadi 85 persen sampai tahun 2003.
Gambar 1. Kondisi Jalan Nasional 1997-2003
100%
9.3%
6.8%
90%
80%
16.2%
16.4%
4.8%
15.7%
5.1%
10.1%
8.8%
2.4%
16.9%
Gambar 2. Kondisi Jalan Propinsi 1997-2003
5.2%
5.3%
4.68%
5.85%
21.6%
25.40%
100%
15.5%
16.9%
23.7%
22.7%
80%
28.7%
70%
20.2%
90%
19.3%
70%
15.2%
21.0%
17.5%
14.5%
15.8%
16.87%
18.7%
17.26%
Prosentase
Prosentase
29.0%
60%
50%
42.8%
52.5%
40%
70.5%
30%
50.5%
67.9%
64.07%
57.4%
60%
50%
40%
30.3%
32.4%
33.84%
34.9%
34.3%
33.1%
32.03%
2000
R. Ringan
2001
2002
R. Berat
45.6%
30%
20%
20%
31.7%
24.3%
10%
32.4%
30.1%
36.6%
30.3%
23.9%
10%
15.3%
0%
0%
1997
Baik
1998
1999
Sedang
2000
2001
R. Ringan
2002
1997
Baik
2003
R. Berat
Sumber: Ditjen Praswil
1998
1999
Sedang
Sumber: Ditjen Praswil
Gambar 3. Kondisi Jalan Kabupaten 1998- 2003
100%
90%
15%
15%
16%
17%
19%
16%
26%
30%
28%
29%
28%
31%
35%
34%
34%
34%
32%
20%
22%
21%
19%
20%
1999
2000
2001
2002
2003
80%
Prosentase
70%
60%
50%
40%
36%
30%
20%
10%
23%
0%
1998
Baik
Sedang
Rusak Ringan
Sumber: Ditjen Praswil
Bagian IV.33 – 11
Rusak Berat
2003
Draft 12 Desember 2004
Sedangkan kondisi baik dan sedang jalan propinsi terus mengalami peningkatan dari
60,5 persen pada tahun 1997, menjadi sekitar 65 persen mulai tahun 2001-2003. Di lain
pihak, kondisi baik dan sedang jalan kabupaten sejak tahun 1997 tidak mengalami
peningkatan yang signifikan, dan bahkan terus mengalami penurunan dari 56 persen pada
tahun 2000 menjadi 53 persen pada tahun 2003. Sementara itu kerusakan jalan kabupaten
terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Studi yang dilakukan pada tahun 2000
oleh Bapekin Kimpraswil (Dep. PU) mengindikasikan kebutuhan dana sekitar Rp6-8
triliun per tahun untuk merehabilitasi kerusakan jalan sampai dengan kondisi sebelum
krisis. Karena dana tersebut tidak pernah direalisasikan, terjadi backlog maintenance yang
berdampak besar bagi kemantapan kondisi jalan nasional.
B.
KINERJA PRASARANA JALAN DALAM MENDUKUNG PENGGUNA JALAN.
Kinerja prasarana jalan pada tahun 2002, yang didasarkan atas kecepatan yang mampu
dicapai kendaraan, secara rata-rata kondisi permukaan jalan nasional dan propinsi cukup
memadai dengan tingkatan kecepatan laju kendaraan mendekati kecepatan rata-rata
rencana (design speed). Namun demikian, kondisi kecepatan untuk jalan nasional di Pulau
Jawa masih lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Jalan lintas yang cukup
padat adalah lintas Pantura yang mempunyai kecepatan rata-rata adalah 54,10 km per jam.
Berdasarkan hasil survey tahun 2003, V/C ratio di Jawa ≥ 0.6 sudah mencapai 890 Km
terutama pantai utara Jawa (Banten, Jabar dan Jateng) dan jalur tengah (Jawa Tengah dan
Jawa Timur). Sementara itu, studi Java Arterial Road Network (JARN) tahun 2001
menyatakan bahwa jaringan jalan arteri di Pulau Jawa tahun 2000 yang bebas dari
kemacetan adalah sekitar 52 persen dan memproyeksikan pada tahun 2010 yang bebas dari
kemacetan hanya tinggal 7 persen.
C.
IMPLIKASI KINERJA PRASARANA JALAN SAAT INI
Tingkat kerusakan jalan akibat over loading dan sistem penanganan yang belum
memadai, berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai,
sehingga diperlukan biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi suatu jalan. Hal
tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya alokasi untuk jalan yang lain sehingga pada
akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling
besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan, yaitu bertambahnya waktu
tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat
tak langsung komponen biaya transport pada proses distribusi barang semakin bertambah.
Kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan terjadinya kemacetan masif (bottlenecks)
di berbagai ruas jalan yang merupakan lintas ekonomi serta telah meningkatkan secara
dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan. Prediksi tahun 2000: road
user costs selama setahun mencapai sekitar Rp200 triliun (SEPM-IRMS). Sedangkan
menurut data hasil IRMS tahun 2002, road user costs untuk pengguna jalan nasional dan
propinsi adalah sebesar Rp1,546 triliun per hari. Biaya yang dikeluarkan cukup besar
adalah untuk penggunan jalan di Pulau Jawa yaitu sebesar Rp721,93 miliar. RUC untuk per
pulau dan jalan lintas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Bagian IV.33 – 12
Draft 12 Desember 2004
Tabel 2. Road User Cost pada seluruh Jaringan Jalan
(Nasional, Propinsi, dan Non Status) per hari
Klasifikasi
I
1.
2.
3.
4.
II
1.
2.
3.
4.
VOC
Rp. Milyar
Seluruh Jaringan Jalan
P. Sumatera
P. Jawa
P. Lainnya
Total Indonesia
Khusus Lintas Per Pulau
P. Sumatera
P. Jawa
P. Lainnya
Total Indonesia
T-Time Cost
Rp. Milyar
RUC
Rp. Milyar
424,72
641,09
312,16
1.377,96
53,82
80,84
33,67
168,33
478,54
721,93
345,82
1.546,28
204,33
240,36
156,37
601,06
29,32
33,86
18,16
81,34
233,65
274,21
174,53
682,39
Apabila hal ini terus berlanjut dan tidak segera diatasi, diperkirakan dapat mengganggu
kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana,
yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Mempertimbangkan kondisi di atas, rencana pembangunan jalan tol harus segera
diwujudkan. Jalan tol merupakan satu kesatuan dengan jaringan jalan non tol, dan dapat
berfungsi baik jalan alternatif maupun bukan alternatif. Jalan tol ditujukan terutama untuk
mempertahankan tingkat pelayanan level of service, mengurangi inefisiensi akibat kemacetan
pada ruas jalan utama, serta untuk meningkatkan pelayanan jasa distribusi untuk
menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi
tingkat perkembangannya.
D.
PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN PENANGANAN JALAN
Pembiayaan prasarana jalan nasional melalui APBN baik yang bersumber dari Rupiah
Murni (RM) maupun Pinjaman Luar Negeri (PLN) sejak tahun 1997 sampai dengan tahun
2004 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 total pendanaan untuk program
rehabilitasi/pemeliharaan dan peningkatan/pembangunan prasarana jalan adalah sekitar
Rp2.510 miliar, terus meningkat tajam mencapai Rp4.151 miliar pada tahun 2002, Rp4.585
miliar tahun 2003, dan Rp5.906 miliar tahun 2004. Namun demikian, ketergantungan
porsi pendanaan yang bersumber dari PLN pada tahun 2004 hanya 12,8 persen dari total
pendanaan apabila dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai porsi sekitar 28,1
persen.
Bagian IV.33 – 13
Draft 12 Desember 2004
Gambar 4: Perkembangan Pembiayaan Jalan
6
5
Rp. Triliun
4
3
2
1
Tahun-
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Rp. Murni 1.531.2 1.622.7 1.678.3 1.652.8 1.395.4 1.032.0 377.21 672.78 1.102.5 1.533.4 3.297.0 5.149.5
BLN
436.62 535.77 475.66 742.19 679.55 1.540.6 1.828.0 1.275.3 1.408.0 2.618.0 1.288.4 757.45
Total
1.967.8 2.158.5 2.154.0 2.395.0 2.075.0 2.572.7 2.205.2 1.948.1 2.510.6 4.151.4 4.585.5 5.906.9
Sumber: Ditjen Praswil
Sumber pembiayaan prasarana jalan diperoleh dari dana RM dan PLN bilateral
maupun multilateral. Sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 4, total anggaran jalan
meningkat secara konsisten dari hanya sekitar Rp1,97 triliun pada tahun anggaran 1993/94
menjadi lebih dari Rp3,94 triliun di tahun 2002, Rp4,6 triliun pada tahun 2003, dan Rp5,9
triliun pada tahun 2004. Terlihat terjadi perubahan komposisi pendanaan antara yang
berasal dari RM dan PLN yang cukup drastis dan fluktuatif. Sebelum tahun 1998/1999,
sumber pendanaan prasarana jalan bertumpu pada sumber dalam negeri yang secara tidak
langsung memperlihatkan kemampuan kemandirian pembiayaan jalan. Setelah krisis
ekonomi moneter sampai dengan tahun 2002, terjadi perubahan komposisi pembiayaan
jalan, dimana peran PLN menjadi dominan dan bahkan saat ini dimana kondisi keuangan
pemerintah sangat lemah, menjadi tumpuan utama pendanaan prasarana jalan disamping
rupiah murni. Namun mulia tahun 2003, komposisi sumber pendanaan APBN untuk
prasarana jalan terlihat mulai kembali seperti sebelum krisis ekonomi.
E.
KEMAMPUAN PEMBIAYAAN
Secara umum, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Secara visual Gambar 5 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan
dimulai pada tahun 1990/91 dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 1998/99 saat
krisis ekonomi melanda Indonesia. Namun demikian, peningkatan tersebut belum
menunjukkan peningkatan kemampuan pemenuhan dana untuk pemeliharaan atau
pembangunan prasarana jalan yang ada. Hal ini dapat ditunjukkan pada harga konstan
tahun 1979/80, yaitu kemampuan pembiayaan dengan adanya inflasi yang cukup beragam
dari tahun ke tahun, kemampuan pembiayaan (purchasing power) dari tahun ke tahun relatif
sama, bahkan kemampuan tersebut mengalami penurunan sejak tahun 1998/99.
Kemampuan tersebut mengalami kenaikan mulai tahun 2002, walaupun masih di bawah
rata-rata tahun-tahun sebelum krisis ekonomi.
Bagian IV.33 – 14
Draft 12 Desember 2004
Gambar 5: Perkembangan Pembiayaan Jalan
6.0
5.0
Rp. Triliun
4.0
3.0
2.0
1.0
2004
2003
2002
2001
2000
1999/00
1998/99
1997/98
1996/97
1995/96
1994/95
1993/94
1992/93
1991/92
1990/91
1989/90
1988/89
1987/88
1986/87
1985/86
1984/85
1983/84
1982/83
1981/82
1980/81
1979/80
-
Tahun
Pembiayaan Prasarana Jalan
Harga Konstan Tahun 1979/80
Sumber: Ditjen Praswil
Mekanisme pendanaan dan penanganan jalan tol, nasional, propinsi, kabupaten, kota,
dan desa belum jelas sejak diberlakukannya otonomi daerah. Terkait juga mencari
alternatif sumber pembiayaan jalan diluar APBN maupun APBD, karena APBN
(DIP/DAU/DAK), APBD propinsi/kabupaten/kota, maupun pinjaman lunak (soft loan)
tidak dapat membiayai sepenuhnya pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan
dan jembatan. Sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang belum membentuk
suatu jaringan transportasi intermoda yang terpadu bahkan masih mengacu kepada batasbatas administrasi wilayah. Oleh karena itu, upaya teroboson untuk memperoleh alternatif
lain sumber pendanaan jalan sangat diperlukan.
2.1.2 SASARAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN
Sasaran umum pembangunan subsektor prasarana jalan adalah meningkatkan kapasitas
dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya
berkembang pesat serta meningkatkan aksesibilitas wilayah melalui dukungan pelayanan
prasarana jalan untuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal
kecepatan maupun kenyamanan khususnya pada koridor-korodor utama di masing-masing
pulau, wilayah KAPET, wilayah perbatasan, terpencil, maupun pulau-pulau kecil.
2.1.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN
a. Mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan jalan dengan kebijakan tata
ruang wilayah nasional yang merupakan acuan pengembangan wilayah dan
meningkatkan keterpaduannya dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam
b. konteks pelayanan intermoda dan SISTRANAS yang menjamin efisiensi pelayanan
transportasi.
c. Pengembangan sistem jaringan prasarana jalan berbasis pulau (Jawa dan Bali,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua).
d. Mempertahankan kinerja pelayanan prasarana jalan yang telah terbangun dengan
mengoptimalkan pemanfaatan prasarana jalan melalui pemanfaatan hasil penelitian
dan pengembangan teknologi jalan.
Bagian IV.33 – 15
Draft 12 Desember 2004
e. Menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi dan SDM bidang
penyelenggaraan prasarana jalan.
f. Mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaran
dan penyediaan prasarana jalan.
2.1.4 PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN
Untuk mewujudkan sasaran tersebut di atas, maka akan dilaksanakan beberapa
program yang akan dibiayai dana pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi,
kabupaten/kota dan BUMN upaya melalui program-program utama sebagai berikut:
a. Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan mencakup kegiatankegiatan rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala sistem jaringan jalan nasional
terutama pada ruas-ruas yang merupakan jalur utama perekonomian dan memiliki
prioritas tinggi yaitu:
 Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan nasional sekitar 151.267
km;
 Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan propinsi 180.291 km;
 Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan kabupaten/kota sepanjang
721.696 km.
b. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan sistem jaringan jalan
nasional baik jalan non tol dan jalan tol mencakup kegiatan-kegiatan utama antara
lain:
 Peningkatan/pembangunan jalan arteri primer sepanjang 33.538 km dan
88.950 m jembatan yang merupakan jalur utama perekonomian seperti lintas
utara Jawa, lintas Selatan Jawa, Lintas Tengah Jawa, Lintas Timur Sumatera,
Lintas Tengah Sumatera, Lintas Barat Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan,
Lintas Tengah Kalimantan, Lintas Utara Kalimantan, Lintas Barat Sulawesi,
Lintas Timur Sulawesi, dan Lintas Tengah Sulawesi., serta ruas-ruas strategis
penghubung lintas-lintas tersebut.
 Peningkatan/pembangunan jalan-jalan arteri primer dan strategis di kawasan
perkotaan terutama untuk mengurangi kemacetan pada persimpangan ataupun
perlintasan dengan moda KA melalui penyelesaian pembangunan beberapa
fly-over di wilayah Jabodetabek yang berlokasi antara lain di Persimpangan Jl.
Pramuka, Jl. Tanjung Barat, Jl. Raya Bogor, dan Bekasi serta persiapan
pembangunan fly-over di beberapa kota di jalur utama Pantai Utara Jawa
antara lain berlokasi di Merak, Balaraja, Nagrek, Gebang, Tanggulangin,
Peterongan, Palimanan, dan Mangkang
 Penanganan jalan sepanjang 300 km jalan pada daerah perbatasan dengan
negara tetangga seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua.
 Penanganan jalan sepanjang 200 km untuk kawasan terisolir seperti Lintas
Barat Sumatera, Lintas Timur Sulawesi, Lintas Flores, Lintas Seram, Lintas
Halmahera, dan ruas-ruas strategis di Papua, wilayah KAPET, serta akses ke
kawasan pedesaan, kawasan terisolir termasuk pulau kecil, dan pesisir
sepanjang seperti seperti Simelue, Nias, Alor, Wetar, dll
 Peningkatan/pembangunan jaringan jalan propinsi sepanjang 2.390 km dan
jalan kabupaten sepanjang 81.742 km
Bagian IV.33 – 16
Draft 12 Desember 2004

Pengembangan/Pembangunan 1.593 km jalan tol untuk pendukung jalan
arteri mencakup kegiatan-kegiatan:
- Pembangunan jalan tol di wilayah Jabodetabek sepanjang 257,5 Km, antara
lain penyelesaian Jakarta Outer Ring Road (JORR) Section W1, W2, E1,
E2, dan E3; akses ke Pelabuhan Tanjung Priok; pembangunan tahap awal
Jakarta Outer Outer Ring Road (JOOR); Tol Bekasi-Cawang-Kampung
Melayu; Bogor Ring Road, dll.
- Penyelesaian pembangunan jembatan antar pulau Surabaya-Madura yang
mencapai panjang 5,4 km dan ruas tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang
sepanjang 40 km.
- Pembangunan hi-grade road/Toll Trans Java dan beberapa ruas di
Sumatera dan Sulawesi yang mencapai 1.290 km.
- Penyusunan
peraturan
perundangan,
pembinaan
pengelolaan,
perencanaan, serta pengawasan teknis jalan dan jembatan;
- Pelaksanaan kajian dan persiapan pembangunan hi-grade road/Toll Trans
Java dan Sumatera.
2.2. TRANSPORTASI DARAT
2.2.1 LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN
Transportasi jalan merupakan moda transportasi utama yang berperan penting dalam
pendukung pembangunan nasional serta mempunyai kontribusi terbesar dalam pangsa
angkutan dibandingkan moda lain. Oleh karena itu, visi transportasi jalan adalah sebagai
penunjang, penggerak dan pendorong pembangunan nasional serta berperan sebagai urat
nadi kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Misi
transportasi jalan adalah untuk mewujudkan sistem transportasi jalan yang andal,
berkemampuan tinggi dalam pembangunan serta meningkatkan mobilitas manusia dan
barang, guna mendukung pengembangan wilayah untuk mewujudkan wawasan nusantara.
Dalam melaksanakan visi dan misi tersebut, maka sasaran pembangunan transportasi
jalan terutama adalah untuk menciptakan penyelenggaraan transportasi yang efisien dan
efektif. Efektivitas pelayanan jasa transportasi jalan dapat diukur melalui: (1) tersedianya
kapasitas dan prasarana transportasi jalan yang sesuai dengan perkembangan
permintaan/kebutuhan; (2) tercapainya keterpaduan antar dan intramoda transportasi
jalan dalam jaringan prasarana dan pelayanan; (3) tercapainya ketertiban yaitu
penyelenggaran sistem transportasi yang sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku
di masyarakat; (4) tercapainya ketepatan dan keteraturan yaitu sesuai dengan jadwal dan
adanya kepastian pelayanan; (5) aman atau terhindar dari ganguan alam maupun manusia;
(6) tercapainya tingkat kecepatan pelayanan yang diinginkan atau waktu perjalanan yang
singkat tetapi dengan tingkat keselamatan tinggi; (7) tercapainya tingkat keselamatan atau
terhindar dari berbagai kecelakaan; (8) terwujudnya kenyamanan atau ketenangan dan
kenikmatan pengguna jasa; dan (9) tercapainya penyediaan jasa sesuai dengan kemampuan
daya beli penguna jasa dan tarif/biaya yang wajar. Sedangkan efisiensi pelayanan biasanya
diukur melalui perbandingan penggunaan beban publik rendah dengan utilitas yang cukup
tinggi di dalam penyelenggaran kesatuan jaringan transportasi jalan.
Bagian IV.33 – 17
Draft 12 Desember 2004
1) PERMASALAHAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN
a. Ketidakcukupan kapasitas jalan, terutama dilihat dari perkembangan kapasitas
prasarana jalan, dibandingkan dengan perkembangan armada di jalan; selain itu
kondisi prasarana jalan yang rata-rata semakin menurun pelayanannya (optimasi
kapasitas jalan yang masih rendah, terutama masih banyaknya daerah rawan
kemacetan akibat penggunaan badan dan daerah milik jalan untuk kegiatan sosial
ekonomi, pasar, parkir, dsb, serta sistem manajemen lalu lintas yang belum
optimal).
b. Rendahnya kondisi prasarana akibat kerusakan di jalan, serta banyaknya pungutan
dan retribusi di jalan, yang membuat biaya angkut di jalan belum efisien;
Tabel 3: Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor 1998-2002
Jenis Kendaraan
Mobil Penumpang
Mobil Beban
Mobil Bus
Sepeda Motor
TOTAL
1998
2.772.531
1.592.572
627.696
12.651.813
17.644.612
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Armada Lalu Lintas
Angkutan Jalan Tahun 1998-2002
20,0
1999
2.897.803
1.628.561
644.667
13.053.148
18.224.179
2000
3.038.913
1.707.134
666.280
13.563.017
18.975.344
2001
3.261.807
1.759.747
687.570
15.492.148
21.201.272
2002
3.862.579
2.015.347
731.990
18.061.414
24.671.330
Gambar 7. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 1971-2002
60.000
Juta Unit
18,0
16,0
50.000
14,0
40.000
12,0
30.000
10,0
8,0
20.000
6,0
10.000
4,0
2,0
Mobil Penumpang
Bis
Truk
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
Kejadian
Sepeda Motor
Meninggal
Luka Berat
Luka Ringan
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
c. Tingginya jumlah kecelakaan: disiplin pengguna jalan, rendahnya tingkat kelaikan
armada; rambu dan fasilitas keselamatan di jalan; law-enforcement dan pendidikan
ber-lalu lintas.
d. Persaingan antarmoda meningkat, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan
efisiensi dalam sistem transportasi jalan;
e. Banyaknya kasus pelanggaran muatan di jalan mengakibatkan kerugian ekonomi:
 Pengawasan melalui jembatan timbang tidak optimal karena keterbatasan
fisik/peralatan, SDM dan sistem manajemen;
 Dalam era otonomi daerah terdapat pergeseran fungsi jembatan timbang yang
cenderung untuk menambah PAD bukan sebagai alat pengawasan muatan
lebih;
 Terdapat 5.000 km jalan (di pulau Jawa dan Sumatera) yang rata-rata berkurang
50 persen umur rencananya;
Bagian IV.33 – 18
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
2002
1975
2001
1974
2000
1973
1999
1972
1998
1971
-
-
Draft 12 Desember 2004


Berdasarkan pengamatan survai terakhir di Sumatera bagian utara, sepanjang
1.360 km terdapat 30–40 persen kendaraan yang melanggar muatan lebih
melampaui 100 persen, yang pada umumnya dari perusahaan kayu/kayu lapis,
pulp, semen, kelapa sawit dan batu bara.
Jumlah pelanggaran lalu lintas di jalan meningkat. Pelanggaran lalu lintas
dibedakan menjadi pelanggaran batas muatan, perlengkapan kendaraan,
kelengkapan surat, dan pelanggaran rambu jalan. Masalah disiplin berlalu lintas
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Tabel 4. Jumlah Pelanggaran Lalu Lintas Tahun 1998-2002
1998
Jenis Pelangaran
Jumlah
1999
Jumlah
2000
Jumlah
2001
%
Jumlah
2002
%
Jumlah
%
persen
persen
Kelebihan Muatan
107.005
8,9 87.535
10,2 103.854
7,1 124.966
7,0 150.693
6,9
Batas Kecepatan
52.457
4,4 40.009
4,7
18.672
1,3
30.426
1,7
35.590
1,6
Marka/Rambu
311.962 25,9 24.882
2,9 404.601 27,7 395.984 22,2 458.881 20,9
Surat-surat
350.196 29,1 376.143
44,0 455.905 31,2 724.412 40,7 889.268 40,5
Perlengkapan
241.321 20,1 190.906
22,3 270.654 18,5 377.710 21,2 417.158 19,0
Lain-lain
140.016 11,6 135.272
15,8 207.923 14,2 127.577
7,2 246.357 11,2
TOTAL
1.202.957 100,0 854.747 100,0 1.461.609 100,0 1.781.075 100,0 2.197.947 100,0
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
Kenaikan
1998-2002
29,0
-47,4
32,0
60,6
42,2
43,2
45,3
f. Pelayanan angkutan umum yang masih terbatas dan rendah kualitasnya, walaupun
terjadi peningkatan ijin trayek angkutan umum (ijin trayek angkutan bus antarkota
antarpropinsi); namun tingkat kelaikan armada umumnya masih rendah.
g. Dalam transportasi jalan, sebagian besar pelayanan angkutan umum sudah menjadi
domain swasta. Peran BUMN hanya untuk penugasan pelayanan yang kurang
komersial lintas/trayeknya (angkutan perintis dan perbatasan untuk Perum
Damri). Peran Perum PPD dalam sistem transportasi umum di Jakarta semakin
kecil, karena semenjak desentralisasi, transportasi perkotaan menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah.
h. Masalah dampak lingkungan (polusi udara dan kemacetan; keterjangkauan dan
pemerataan pelayanan; mobilitas transportasi jalan: keterpaduan pelayanan antar
moda, penetapan kelas jalan dan pengaturan sistem terminal; lemahnya manajemen
lalu lintas; rendahnya ketertiban pengguna jalan, banyaknya kegiatan parkir dan
masyarakat yang menggunakan badan jalan; kerusakan jalan).
2) SASARAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN
Meningkatnya keselamatan transportasi jalan.
a. Meningkatnya keterpaduan antar moda dan efisiensi dalam mendukung mobilitas
manusia, barang dan jasa.
b. Menurunnya jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih di jalan.
c. Menurunnya tingkat kecelakaan dan fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan.
d. Meningktanya ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi jalan, terutama
angkutan umum di perkotaan, perdesaan dan antar kota.
e. Menurunnya kerugian ekonomi akibat pelanggaran muatan lebih di jalan.
f. Meningkatnya kelancaran dan keterjangkauan pelayanan transportasi umum bagi
masyarakat luas.
g. Mendukung perwujudan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal), dan
terciptanya pola distribusi nasional.
Bagian IV.33 – 19
Draft 12 Desember 2004
h. Meningkatnya dukungan pelayanan transportasi jalan terhadap pengembangan
wilayah.
i. Meningkatnya efektivitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan.
j. Melanjutkan desentralisasi dan otonomi daerah serta meningkatkan kerjasama
pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan transportasi jalan, terutama untuk
angkutan perkotaan, perdesaaan dan antar kota dalam propinsi.
k. Meningkatnya peran serta swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan
transportasi jalan (angkutan perkotaan, perdesaan, dan antarkota).
l. Meningkatnya kesadaran dan penanganan dampak polusi udara.
m. Memperjelas peran regulator, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
BUMN dan BUMD dalam pelayanan transportasi publik.
3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN
a. Peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif dan terpadu dari
berbagai aspek (pencegahan, pembinaan dan penegakan hukum, penanganan
dampak kecelakaan dan daerah rawan kecelakaan; sistem informasi kecelakaan lalu
lintas dan kelaikan sarana serta ijin pengemudi di jalan);
b. Meningkatkan manajemen dan rekayasa lalu lintas serta pembinaan teknis tentang
pelayanan operasional transportasi;
c. Menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran angkutan serta kesediaan
aksesibilitas angkutan pada daerah terpencil;
d. Penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi
terkait;
e. Penataan sistem transportasi jalan sejalan dengan sistem transportasi nasional dan
wilayah (lokal); diantaranya melalui penyusunan RUJTJ (Rancangan Umum
Jaringan Transportasi Jalan) meliputi penataan simpul, ruang kegiatan, ruang lalu
lintas serta penataan pola distribusi nasional sesuai dengan rencana kelas jalan;
f. Melanjutkan revisi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas
angkutan jalan dan peraturan pelaksanaannya;
g. Mengantisipasi, merencanakan serta melaksanakan secara bertahap regulasi dan
standardisasi global di bidang lalu lintas angkutan jalan;
h. Menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan transparan dalam penyelenggaraan
transportasi, serta pembinaan terhadap operator dan pengusaha di bidang lalu
lintas angkutan jalan;
i. Meningkatkan peran serta, investasi swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan
transportasi jalan;
j. Peningkatan pembinaan teknis transportasi di daerah;
k. Sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dibuat sistem standar pelayanan
minimal dan standar teknis di bidang LLAJ serta skema untuk peningkatan
pelaksanaan pengendalian dan pengawasan LLAJ di daerah;
l. Mendukung pengembangan transportasi yang berkelanjutan;
m. Meningkatkan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu: penataan
sistem jaringan dan terminal, manajemen lalu lintas, fasilitas dan rambu jalan,
penegakan hukum dan disiplin di jalan;
n. Mendorong efisiensi transportasi barang dan penumpang di jalan melalui
deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan ijin trayek;
kerjasama antar lembaga pemerintah (pusat dan daerah);
Bagian IV.33 – 20
Draft 12 Desember 2004
o. Meningkatkan profesionalisme SDM petugas, disiplin operator dan pengguna di
jalan;
p. Penerapan teknologi angkutan jalan yang ramah lingkungan/berkesinambungan;
q. Restrukturisasi BUMN (Perum Damri dan Perum PPD) dan BUMD dalam
pelayanan umum transportasi jalan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum
transportasi.
4) PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN
a. Program penataan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal)
 Mewujudkan sistem jaringan transportasi jalan yang tertata baik; penataan
jaringan lintas (angkutan barang) dan jaringan trayek (angkutan penumpang);
pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.
 Rehabilitasi dan pembangunan terminal di Jawa Barat, Kalbar, NTT, dan
Papua.
b. Program peningkatan keselamatan transportasi jalan
 Mewujudkan pemenuhan pelayanan jasa dan keselamatan; global road safety
partnership (GRSP) Indonesia; sosialisasi keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan; sosialisasi penggunaan sabuk keselamatan pada kendaraan bermotor;
 Penambahan fasilitas pengujian kendaraan bermotor di Lampung Tengah,
Batang, Sumsel, NTT, NTB, Bengkulu, Sultra, Sulteng, Sulut, Sultra, dan
Kalsel.
 Meningkatkan kinerja dan keahlian personil LLAJ; penyusunan petunjuk teknis
PPNS.
c. Program pembangunan transportasi berkelanjutan
 Harmonisasi-regulasi dan standarisasi bidang LLAJ terkait dengan globalisasi
dan lingkungan hidup, penyesuaian teknologi atau antisipasinya (alternatif
energi).
d. Program peningkatan pelayanan dan kelancaran angkutan umum dan barang
 Kebijakan tarif angkutan umum dan sistem kompetisi terhadap penawaran
pelayanan yang paling efisien;
 Antisipasi terhadap penyerahan tarif kepada mekanisme pasar;
 Koordinasi dan peningkatan angkutan lintas batas negara (penumpang dan
barang);
 Penetapan standarisasi perlengkapan jalan; standar regulasi dan sertifikasi
kendaraan bermotor;
 Penyusunan perencanan teknis bidang LLAJ terkait dengan jaringan
transportasi jalan, sarana angkutan jalan, keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan, lalu lintas jalan serta angkutan jalan;
 Pembinaan terhadap pengusaha dan pengemudi angkutan; kerjasama dengan
pihak swasta dalam mendukung penyelenggaraan LLAJ; peningkatan bengkel
umum kendaraan bermotor yang ditunjuk sebagai unit pengujian berkala
kendaraan bermotor; akreditasi unit-unit pelaksana pengujian di seluruh
pengujian kendaraan bermotor.
Bagian IV.33 – 21
Draft 12 Desember 2004
e. Program pembinaan peran pemerintah daerah, BUMN/D dan partisipasi swasta:
 Peran Perum PPD perlu direstrukturisasi, dan mulai digantikan oleh BUMD
atau swasta;
 Peran Perum Damri, harus dapat bersaing dengan swasta, dalam penugasan
sistem pelayanan perintis yang dapat dikompetisikan (competition for the market).
 Perlu dilakukan desentralisasi BUMN (Perum DAMRI), berdasarkan wilayah
operasi/regional (kepulauan), outsourcing kepada swasta dapat dilakukan untuk
sistem pemeliharaan dan sistem manajemen (kerjasama operasi dan kerjasama
manajemen);
 Peningkatan peran pemerintah daerah dan sistem kerjasama swasta dan
koperasi dalam pelayanan angkutan perintis (pengadaan sarana dan operasi)
dan angkutan perkotaan dan perdesaaan.
f. Program penanggulanan muatan lebih (over loading)
 Penanggulanan muatan lebih secara komprehensif;
 Pembangunan dan pengoperasian jembatan timbang di Jambi, Lampung, Jabar
dan Kalimantan.
5) INDIKASI RENCANA KEBUTUHAN INVESTASI
a. Pemerintah: membiayai dan membangun fasilitas keselamatan jalan.
b. Swasta: investasi sarana, biaya operasi dan pemeliharaan angkutan umum dan
barang, investasi dan operator terminal, operator uji kelaikan kendaraan dan
jembatan timbang (kerjasama dengan pemerintah;
c. Indikasi kebutuhan investasi di bidang Lalu lintas Angkutan Jalan (2005-2009):
 Rencana Investasi Pemerintah dalam APBN (Tabel)
 Rencana Investasi BUMN (Perum DAMRI dan Perum PPD): menyusul
2.2.2 PERKERETAAPIAN
Perkeretaapian diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata,
berdasarkan kepada keseimbangan kepentingan umum, keterpaduan dan percaya diri
sendiri, dan bahwa perkeretaapian ditujukan untuk memperlancar perpindahan orang
dan/atau barang secara massal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta
sebagai pendorong dan penggerak pembangunan nasional. Kenyataan yang terjadi,
perkeretaapian masih berkembang terbatas di Jawa dan sebagian Sumatera, serta
kontribusi berdasarkan pangsa angkutan yang dihasilkan secara nasional masih sangat
rendah dibandingkan moda angkutan lain, baik di Jawa, Sumatera dan di wilayah
perkotaan seperti di Jabotabek.
Secara umum kendala perkeretaapian sebagai suatu industri jasa angkutan yang
mandiri sulit dapat berkembang secara komersial ataupun menguntungkan. Perkeretaapian
harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya, seperti keterpaduan
jaringan pelayanan transportasi antar moda dengan “feeder service”-nya, agar pelayanan
secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis properti dan fasilitas stasiun yang aman,
nyaman dan mudah terjangkau, sistem pelayanan terpadu antar moda, kondisi struktur
kelembagaan dan regulasi pemerintah yang efisien dan kondusif, dukungan industri
teknologi perkeretaapian yang murah dan tepat guna, kualitas SDM, serta manajemen yang
profesional dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada
Bagian IV.33 – 22
Draft 12 Desember 2004
umumnya masih memiliki fungsi untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari
pemerintah (public service obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh
Pemerintah.
Keterpaduan pelayanan antar moda secara door to door di bidang perkeretaapian masih
sangat terbatas. Sampai saat ini belum ada program yang jelas dari pelaku usaha
perkeretaapian untuk memfaatkan peluang bisnis angkutan barang terutama angkutan peti
kemas. Saat ini selain pada lintas angkutan batu bara di Sumatera Selatan yang telah
melaksanakan sistem pelayanan antar moda, hanya Bandung dan Solo yang sudah
memiliki fasilitas dry port yang dilengkapi dengan track siding, itu pun masih dalam skala kecil
dan terbatas. Di tempat lain seperti jalur utama lintas Jawa tidak memiliki fasilitas terminal
barang, apalagi jaringan rel yang menuju pusat-pusat industri dan menuju ke pelabuhan
sampai sekarang belum dikembangkan atau tidak dimanfaatkan secara baik.
Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan keretaapi nasional,
baik dalam aspek pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan
keterbatasan pendanaan, SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik
prasarana dan sarana keretaapi saat ini masih banyak mengalami “backlog” pemeliharaan
yang berlangsung secara terus menerus, baik oleh perencanaan, pengoperasian dan
dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang maka diperlukan redefinisi
tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai regulator, peran owner, dan
operator di bidang perkeretaapian.
Perkeretaapian nasional mengalami kejenuhan di setiap aspek, seperti manajemen,
struktur kelembagaan, kapasitas lintas, kondisi sarana (lokomotif dan gerbong), kondisi rel
yang sudah tua dan aus, kekurangan investasi dan dana pemeliharaan, citra pelayanan
kepada konsumen dan masyarakat, kekakuan investasi karena sifat “natural monopoly”,
masalah regulasi kelembagaan dan struktur pasarnya.
Pangsa angkutan penumpang kereta api nasional saat ini baru mencapai 7,3 persen dari
seluruh pangsa angkutan penumpang di Indonesia (tahun 2000, produksi angkutan kereta
api adalah 187,4 juta penumpang, dimana 118 juta diantaranya adalah angkutan
penumpang di wilayah Jabodetabek); dan pangsa angkutan barang adalah 22,7 juta ton
atau hanya 0.6 persen total pangsa angkutan barang di Indonesia.1. Walaupun selama 10
tahun terakhir terus menerus terjadi pertumbuhan permintaan angkutan kereta api (ratarata 6 persen penumpang dan 5,8 persen barang), namun di sisi lain kapasitas dan daya
dukung serta kondisi prasarana dan sarana semakin menurun akibat terjadi “backlog” dalam
hal pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api.
Sarana angkutan perkeretaapian cenderung semakin menurun karena sebagian besar
telah melampaui umur teknis serta kondisi perawatannya yang tidak terpenuhi, sehingga
banyak sarana yang tidak siap operasi. Kondisi perawatan sarana sangat terbtas,disebabkan
oleh keterbatasan pendanaan, sistem perawatan yang kurang efisien, dukungan struktur
organisasi/kelembagaan sebagai unit perawatan kurang independen dan profesional serta
peralatan dan teknologi serta SDM yang masih terbatas, sistem pengoperasian dan
pemeliharaan yang kurang terpadu, penggunaan berbagai teknologi yang kurang didukung
sistem pendidikan, pelatihan, dan industri perkeretaapian maupun supply materialnya.
1
Data OD Survey 1998.. Transport Sector Strategy Study. Bappenas. ADB. Jakarta. 2000.
Bagian IV.33 – 23
Draft 12 Desember 2004
Terjadinya penurunan jumlah penumpang (-1 persen) dan barang (-5,6 persen) sejak
tahun 2000 akibat kondisi parasarana dan sarana, ketertinggalan teknologi, serta dukungan
kualitas pelayanan dan SDM. Perbandingan kapasitas lintas dilihat dari batas kecepatan
maksimum di Jawa pada tahun 2002 dibanding tahun 1995 terlihat semakin menurun,
akibat kondisi prasarana dan sarana yang menurun kapasitasnya dan kepadatan lintas
(Gambar 8).
Gambar 8: Penurunan Kondisi Kapasitas Lintas di Jawa Tahun 2002
(17 Aspek Pembatasan Kecepatan)
•Jak-Jng
•70 •55
•Jng-Bks
•100 •75
•Bks-Ckp
•Pwk-Ckp
•Ckp-Cra
•Cn-Bka
•Bka-Tg
•Kns-Sm
•Bbt-Sbi
•110 •80
•90 •65
•110 •80
•105 •80
•105 •80
•100 •75
•100 •75
•Cra-Jtb
•Cn-Ppk
•Tg-Pk
•Sm-Gbn
•Slo-Crm
•100 •80
•90 •70
•95 •70
•95 •70
•95 •70
•JAKARTA
•MERAK
•CIKAMPEK
•LABUAN
•DEPOK
•BOGOR
•Purwakarta
•CIREBON
•
•Cicalengka
•Sukabumi
•Mri-Dp
•Prupuk
•BANDUNG
•Ciawi
•90 •70
•Maos
•Dp-Boo
•80 •60
•SEMARANG
•TEGAL •Pekalongan
•PW.KERTO
•KROYA
•Bd-Ccl
•70 •50
•Ccl-Caw
•50 •30
•Babat
•SOLO
•105 •80
LINTAS
•LINTAS
•Vh
95 •V 2002
V 1995
V 2002
•Kediri
•Blitar
•Yk-Dl
•SURABAYA
•Curahmalang
•Kertoson
•Delanggu
•Ky-Yk
•100 •70
•90 •65
•o
•MADIUN
•YOGYAKARTA
•Wo-Bg
•80 •60
•B•ojonegor
•Gundih
•Boo-Pdl
•60 •50
•Cepu
•Crm-Wo
•Bangil
•MALANG
•Bg-Jr
•Jr-Klt
•75 •50
•60 •50
•Panarukan
•Kalisat
•JEMBER
•Klt-Pnr
•50 •30
•BANYUWANGI
•Dl-Slo
•105 •80
•Ml-Bl
•Bg-Ml
•75 •60
•90 •60
•Kts-Krs
•50 •30
Sumber: PT. KAI
1) PERMASALAHAN BIDANG PERKERETAAPIAN
a. Kondisi prasarana (rel, jembatan KA dan system sinyal dan telekomunikasi kereta
api) serta sarana KA yang telah melampui batas umur teknis, serta masalah
backlog perawatannya. Terbatasnya sumber pendanaan pemerintah untuk
pemeliharaan dan investasi prasarana sedangkan peran serta swasta belum
berkembang; banyak terjadi backlog pemeliharaan prasarana di satu sisi dan
timbulnya bottleneck akibat kepadatan dan kejenuhan lintas;
b. Masih banyaknya perlintasan sebidang (di Jawa: rata-rata terdapat 1 perlintasan
setiap 0,49 km jalan rel dan di Sumatera setiap 1,6 km) yang dapat mengancam
keselamatan operasi dan membatasi kapasitas lintas dalam frekuensi dan
kecepatan;
c. Sistem persinyalan masih tidak optimal, terutama masih terdapat bebagai macam
teknologi dan tipe sistem persinyalan kereta api yang diinvestasikan, sehingga
kurang efisien dalam sistem pemeliharaan, pengadaan sparepart serta sistem operasi
serta pendidikan dan pelatihan SDM-nya;
d. Tingginya tingkat kecelakaan KA;
Bagian IV.33 – 24
Draft 12 Desember 2004
Tabel 5. Data Kecelakaan KA/Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH) 1995-2003
No
Uraian
KLASIFIKASI
1. Tabrakan KA vs KA
2. Tabrakan KA vs Ranmor
3. Anjlogan/Terguling
4. Banjir/Longsor
5. Lain-lain
Tahun
Rata-rata
Jumlah
1990-2001
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*)
3
115
72
7
24
221
KORBAN
1. MeninggalDunia
70
2. Luka Berat
103
3. Luka Ringan
119
TOTAL
292
*) Data s.d Triwulan I
Sumber: PT. KAI, 2002 (data diolah)
7
88
65
15
21
196
9
112
82
16
16
235
8
35
66
12
5
126
6
54
89
9
38
196
13
27
68
10
17
135
10
42
40
10
32
134
10
PM
PM
PM
PM
10
11
18
7
21
57
120
820
1.003
160
316
2.419
8,57
63,08
77,15
12,31
24,31
196,00
105
151
171
427
100
131
60
291
35
46
47
128
74
84
93
251
96
104
108
308
145 PM
219 PM
45 PM
409
-
PM
PM
PM
-
997
1.995
643
3.635
83,08
166,25
91,86
302,92
e. Rendahnya kinerja pelayanan KA (produktivitas angkutan, ketepatan jadwal,
kenyamanan);
f. Sebagian lintas perkeretaapian sudah mulai jenuh kapasitasnya, sehingga
berdampak terhadap kerawanan operasi kereta api;
g. Pengembangan lintas jaringan pelayanan yang terbatas, akibat sumber daya yang
terbatas dan bahkan sebagian lintas kereta api sudah tidak dioperasikan;
h. Masalah keamanan dan ketertiban (sterilisasi) gangguan di stasiun dan jalur
sepanjang jalan KA yang rawan terhadap penumpang gelap (free rider), bangunan
liar, pencurian fasilitas pendukung prasarana dan sarana, daerah rawan banjir dan
longsor;
i. Masalah akuntabilitas dan efektivitas kelembagaan perkeretaapian (kejelasan peran
regulator, owner dan operator);
j. Skema pendanaan dan investasi yang belum konsisten diterapkan dan terencana
dengan baik;
k. Perencanaan (blueprint dan rencana investasi) pengembangan jaringan antar moda
serta restrukturisasi perkeretaapian yang kurang terpadu dan kurang didukung
sistem data dan informasi serta kemampuan SDM;
l. Rendahnya disiplin dan tindak penertiban dalam pengamanan daerah milik jalan
dan pengguna angkutan yang dapat membahayakan keselamatan angkutan;
m. SDM dan kelembagaan perkeretaapian yang masih terbatas dan tidak efisien;
n. Teknologi perkeretaapian dan industri penunjang yang belum berkembang;
o. Peran BUMN Perkeretaapian dan Partisipasi Swasta saat in masih terbatas, karena:
 Masih terjadi monopoli BUMN penyelenggara perkeretaapian
 Belum ada kejelasan dan pemisahan peran BUMN sebagai operator prasarana
dan sarana
 Belum ada pemisahan BUMN angkutan antar kota dan perkotaan
 Belum berkembang sistem kerjasama swasta – BUMN dan Pemerintah
 Risk management dalam investasi swasta dan BUMN di bidang perkeretaapian
perlu direncanakan secara menyeluruh dan detail, untuk mempercepat dan
meningkatkan iklim investasi di bidang perkeretaapian.
Bagian IV.33 – 25
Draft 12 Desember 2004
2) SASARAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN
Sasaran utama pembangunan perkeretaapian adalah untuk meningkatkan kinerja
pelayanan terutama keselamatan angkutan, melalui penurunan tingkat kecelakaan dan
fatalitas akibat kecelakaan di perlintasan sebidang dengan jalan dan penanganan pada lintas
utama yang padat.
Sararan pembangunan sarana dan prasarana KA dalam 5 tahun dibagi dalam 3
tahapan, yaitu: upaya bertahan sesuai dengan standar pelayanan minimal; dilanjutkan
tahapan kedua dengan upaya optimalisasi sumber daya dan tahap ketiga adalah tahap
pengembangan.
a. Sasaran dalam upaya bertahan adalah pencapaian operasi yang aman pada
umumnya untuk jangka pendek langsung pada kondisi yang sangat jelek, melalui
kegiatan-kegiatan: (1) mengadakan audit kinerja prasarana dan sarana KA; dan
mengatasi kondisi kritis; (2) kanibalisme & daur ulang suku cadang; (3) penurunan
kecepatan/mengurangi frekuensi; (4) menutup jalur yang merugi; (5) penajaman
skala prioritas; (6) keandalan 60 persen.
b. Pada tahap optimalisasi, sasarannya adalah pemulihan kondisi jaringan existing ke
kondisi awal, pencapaian operasi aman dan nyaman untuk jangka panjang;
peningkatan kecepatan dan menambah kapasitas, melalui kegiatan-kegiatan: (1)
peningkatan efisiensi dan efektifitas; (2) keandalan 75 persen; dan (3) peningkatan
kecepatan dan kapasitas jalur yang ada.
c. Sasaran dalam tahap pengembangan adalah pengembangan jaringan baru dan
peningkatan kapasitas, melalui kegiatan: (1) pengembangan jaringan baru dan
armada; (2) peningkatan kecepatan/kapasitas; (3) keandalan dan kelaikan 100
persen.
Sasaran dalam bidang regulasi dan kelembagaan adalah meningkatnya peran Pemda,
BUMN dan swasta dalam bidang perkeretaapian. Sedangkan sasaran dalam bidang SDM
dan teknologi perkeretaapian adalah meningkatnya sumberdaya manusia dan penguasaan
teknologi dan standardisasi perkeretapian nasional secara terpadu agar kesinambungan
investasi, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana perkeretaapian nasional dapat
tercapai secara efisien.
3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN
a. Meningkatan keselamatan angkutan dan kualitas pelayanan serta pemulihan
kondisi pelayanan angkutan perkeretaapian;
b. Melaksanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian.
c. Meningkatkan strategi pelayanan angkutan yang lebih berdaya saing secara antar
moda dan inter moda;
d. Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pada koridor yang telah jenuh;
e. Melaksanakan perencanaan, pendanaan dan evaluasi kinerja perkeretaapian secara
terpadu, dan berkelanjutan;
f. Melanjutkan reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dan BUMN
perkeretaapian;
g. Meningkatkan peran serta Pemerintah daerah dan swasta di bidang perkeretaapian;
h. Meningkatkan peran angkutan perkeretaapian nasional dan lokal
Bagian IV.33 – 26
Draft 12 Desember 2004
4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN
1. PROGRAM PENGEMBANGAN PRASARANA DAN SARANA KA
 Ikhtiar Bertahan:
- Melalui penyelesaian masalah backlog pemeliharaan:
 Jalan: lintas Semarang-Surabaya, Solo-Surabaya, Malang-Blitar-Kertosono,
Surabaya-Banyuwangi, Bandung-Banjar, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati.
 Jembatan: Purwakarta-Padalarang, Prupuk-Kroya, Malang-Blitar, SurabayaBanyuwangi, Lahat-Lubuk Linggau; Prabumulih-Kertapati.
 Sistem sinyal dan telkom di lintas: Semarang-Surabaya, SurabayaBanyuwangi, Malang-Blitar-Kertosono, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati.
- Rehabilitasi sarana KA sebanyak 80 unit kereta K3, 5 unit KRL dan 34 unit
KRD.
- Rehabilitasi sistem sinyal dan telekomunikasi;
- Perbaikan dan penanganan perlintasan sebidang perkeretaapian di 95 lokasi;
- Melasanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian;
- Menyelesaikan blueprint perkeretapian nasional dan pentahapannya, sejalan
dengan pemantapan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal).
- Revitalisasi prasarana dan sarana angkutan KA Jabotabek

Optimalisasi melalui:
- Modernisasi dan rehabilitasi sinyal 24 paket, telekomunikasi 486 km serta
perbaikan listrik aliran atas 94 paket pekerjaan;
- Penggantian armada sarana KA yang telah tua meliputi pengadaan 90 unit K3,
10 set KRL dan 15 unit KRDE.
- Peningkatan kapasitas jalan KA sepanjang 1.146 km yang tersebar di Sumut,
Sumbar, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Lintas Selatan Jawa, Yogyakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan wilayah Jabotabek; dan 34 unit jembatan pada
jalur yang ada.

Pengembangan: melalui:
- Pembangunan jalan KA sepanjang 645 km secara bertahap tersebar di Aceh,
Sumut, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Yogyakarta, Lintas Selatan Jawa,
dan Jawa Tengah.
- Pembangunan 55 unit jembatan KA;
- Revitalisasi dan pengembangan angkutan masal perkereaapian di wilayah
Jabotabek.
- Persiapan dan pengembangan angkutan kereta api barang di Sumatera secara
bertahap;
- Percepatan penyelesaian pembangunan jalur ganda Cikampek-Padalarang;
Cirebon-Tegal, Kroya-Kutoarjo-Yogya-Solo; serta
- Persiapan dan pembangunan jalur ganda Cirebon-Kroya dan Serpong-Tanah
Abang Tahap I dan II.
Bagian IV.33 – 27
Draft 12 Desember 2004
2. PROGRAM PENINGKATAN KELANCARAN ANGKUTAN KERETA API UNTUK
BARANG/LOGISTIK NASIONAL MELALUI:
 Penyelesaian SISTRANAS untuk sistem transportasi antarmoda;
 Perencanaan dan pembangunan akses jalan KA ke pelabuhan (Tg. Priok, Belawan,
Tg. Perak, Merak-Bakauheni, Cilacap, dan Banyuwangi) dan ke bandara
(Soekarno-Hatta),
 Perencanaan dan peningkatan kerjasama dan pembangunan akses fasilitas
pelayanan di dry-port (Solo, Bandung, Jember, Tebing Tinggi, Kertapati) dan
persiapan pembangunan dry-port baru (Bekasi, Tangerang, Tegal, Malang).
3. PROGRAM PENINGKATAN KESELAMATAN KA DAN PENANGANAN PERLINTASAN
SEBIDANG SECARA KOMPREHENSIF DAN SECARA BERTAHAP.
Diutamakan pada lintas yang padat dan rawan terjadi kecelakaan, termasuk tindak
pengamanan dan penertiban daerah milik jalan sepanjang jalur utama perekeretaapian.
4. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN PERKERETAAPIAN,
melalui:
 Menyempurnakan pelaksanaan mekanisme pendanaan PSO-IMO-TAC yang lebih
efektif yang didukung oleh perencanaan yang matang, kesiapan lembaga dan
peraturan, kualitas pemahaman dan motivasi yang kuat dari SDM, koordinasi antar
instansi
 pengembangan profesionalitas manajemen, SDM, penerapan teknologi tepat guna,
standardisasi teknis dan sistem informasi perkeretaapian nasional.
 Melanjutkan restrukturisasi struktur korporat/bisnis kereta api, melalui “vertical dan
horizontal unbundling”, diversifikasi sistem pelayanan.
 Merealisasikan spin-off Kereta Api Jabotabek: Pemisahan jalur KA regional dan
komuter dan restruktusasi kelembagaan dan SDM.
 Merencanakan dan melaksanakan kerjasama untuk meningkatkan peran serta
swasta di bidang sarana, stasiun, sistem manajemen, pelayanan, pemeliharaan
prasarana dan aset-aset KA.
 Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian
5. PROGRAM
PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PEMERINTAH DAERAH DAN
PARTISIPASI SWASTA DI BIDANG PERKERETAAPIAN MELALUI:





Perencanaan dan penetapan arah BUMN (unbundling vertical dan horisontal)
untuk menuju kebijakan multi operator sarana
Pelaksanaan spin-off Kereta api Jabotabek
Perencanaan dan tahapan pemisahan prasarana dan sarana sesuai dengan
pemisahan sumber pendanaan PSO (Public Service Obligation); IMO (Infrastructure
Maintenance and Operation); TAC (Track Access Charges).
Perencanaan dan persiapan alternatif pembentukan anak perusahaan atau divisi
regional berdasarkan wilayah pelayanan/divisi regional maupun jenis usaha
angkutan.
Mendukung Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan
pelaksananya sehingga:
- Sarana: peran serta swasta lebih terbuka
- Prasarana: peran serta Pemda dan BUMD lebih terbuka. BUMN dan swasta
sebagai penyelenggara prasarana semakin terbuka.
Bagian IV.33 – 28
Draft 12 Desember 2004

Melaksanakan analisis dan perencanaan secara matang serta kebijakan terpadu
berbagai pola “Risk Management” proyek-proyek strategis yang dibiayai pemerintah,
BUMN dan swasta, untuk mempercepat investasi pemerintah daerah, BUMN dan
swasta di bidang perkeretaapian
2.2.3 ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN
Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) di Indonesia didefinisikan
sebagai jembatan “mengapung” yang berfungsi menghubungkan jaringan transportasi
darat yang terputus; kegiatan angkutan feri yang mengangkut penumpang dan kargo
melalui sungai dan perairan; mempunyai rute tetap dan jadwal reguler serta bangunan
kapal ferry yang berbentuk khusus.
Transportasi sungai, danau dan penyeberangan (SDP) merupakan bagian dari sistem
transportasi darat yang mempunyai misi untuk mewujudkan transportasi yang handal,
unggul dan bersaing serta mampu menjangkau pelosok wilayah daratan, menghubungkan
antarpulau dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara yang efektif dan
efisien, sehingga mampu berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya,
politik dan pertahanan keamanan guna memperkokoh ketahanan nasional.
Angkutan sungai, danau dan penyeberangan mengemban misi pemerintah terutama
dalam upaya melayani angkutan keperintisan, untuk membuka daerah-daerah
terbelakang/terisolasi, melalui penyediaan angkutan perintis. Pembangunan ASDP
diperlukakan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikan
aksebilitas yang lebih baik sehingga dapat mengakomodasi peningkatan kebutuhan
mobilitas penduduk melalui jaringan transportasi darat yang terputus di perairan antar
pulau, sepanjang daerah aliran sungai dan danau, serta berfungsi melayani transportasi
yang menjangkau daerah terpencil dan daerah pedalaman.
1) PERMASALAHAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN
Gambar 9. Umur Kapal Berdasarkan Pemilik Kapal
Tahun 2004
>30
0
26 - 30
0
13
3
21 - 25
1
16 - 20
1
11 - 15
1
6 - 10
0-5
12
7
13
8
29
9
15
10
14
1
0
36
5
12
PT.ASDP (Persero)
KSO ASDP
SWASTA
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
Pengembangan ASDP selama ini belum optimal karena masih kurangnya keterpaduan
pembangunan antarsektor dengan rencana pengembangan wilayah serta lemahnya
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam sistem pengembangan prasarana
dan sarana ASDP dalam era otonomi. Belum optimalnya pelayanan ASDP ditandai
Bagian IV.33 – 29
Draft 12 Desember 2004
dengan keterjangkauan pelayanan angkutan yang masih terbatas dalam melayani
kebutuhan angkutan antarpulau dan wilayah terpencil serta kondisi sarana perintis ASDP
yang telah berumur tua. Keterbatasan jumlah prasarana dan sarana penyeberangan
dibanding kondisi geografis dan jumlah pulau di Indonesia (sekitar 17.000 pulau), namun
penetapan lintas penyeberangan sebanyak 172 lintas, tetapi yang beroperasi baru 130 lintas
dan sarana yang tersedia hanya 205 unit kapal penyeberangan (46 persen BUMN, 2 persen
KSO, dan 52 persen swasta). Sedangkan peran serta swasta dan Pemda belum
berkembang dalam dalam penyelenggaraan ASDP, baik pembangunan, operasi dan
pemeliharaan, pendanaan serta subsidi perintis untuk lintas dalam propinsi dan dalam
kabupaten.
Di lain pihak, pemanfaatan sungai, kanal dan danau untuk kebutuhan transportasi
rakyat/lokal/kota masih rendah serta kurangnya pemanfaatan potensi untuk mendukung
transportasi pariwisata dan pengembangan wilayah. Kelembagaan, peraturan serta SDM
dan pendanaan dalam sistem pelestarian dan pemeliharaan alur transportasi sungai dan
kanal yang perlu dikoordinasikan dengan penanganan masalah lingkungan, pengembangan
pariwisata, budaya masyarakat dan tata ruang wilayah.
Peran pemerintah daerah dan swasta dalam pengembangan angkutan penyeberangan
masih terbatas. Peran BUMN (PT ASDP) masih terbatas dalam penyelenggaraan
(operator) prasarana dan sarana ASDP, terutama dalam pengoperasian kapal perintis dan
penggusahaan beberapa lintas/dermaga penyeberangan. Pemerintah pusat masih dominan
dalam pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana ASDP. Oleh sebab itu, diperlukan
deregulasi dan restrukturisasi agar peran pemerintah daerah lebih optimal, serta
peningkatan peran BUMN dan swasta lebih didorong. Dalam penyelenggaraan
transportasi sungai dan danau, peran swasta dan masyarakat lebih berkembang, sebagai
owner dan operator prasarana dan sarana angkutan masyarakat. Peran BUMN hanya
terbatas pada beberapa lintas penyeberangan sungai dan danau di Kalimantan dan
Sumatera. Peran pemerintah sebagai regulator, pemerintah daerah sebagai penyedia
prasarana dan sarana sungai untuk keperluan publik.
Dalam penyelenggaraan angkutan penyeberangan, peran BUMN (PT ASDP) masih
dominan sebagai operator penyelenggaraan prasarana penyeberangan sekaligus juga
sebagai operator sarana. Operator prasarana lain adalah Unit Pelaksana Teknis
(UPT/Pemda), dan operator sarana lain adalah swasta atau KSO swasta dan PT ASDP.
Penyediaan prasarana dan sarana ASDP untuk BUMN umumnya masih dibiayai dari
APBN (pemerintah pusat); peran Pemda masih terbatas dalam penyediaan sarana dan
prasarana ASDP.
Tabel 8. Jumlah Kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan
Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2004
Jumlah
No. Pemilik/Operator
Prosentase
(unit)
1
PT. ASDP Persero
85
44,7
2
Kerjasama operasi PT. ASDP dengan Swasta
4
2,1
3
Swasta
101
53,2
Jumlah
190 100,0
Bagian IV.33 – 30
Draft 12 Desember 2004
Gambar 10. Jumlah Kapal Komersial
Berdasarkan Umur
> 30
18
26 - 30
17
11,04%
10,43%
22
16 - 20
40
11 - 15
22
6 - 10
24,54%
11
0
5
15
4,76%
26 - 30
2
4,76%
7
16 - 20
2
25
30
35
40
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah)
4,76%
4
9,52%
19
0-5
20
16,67%
6 - 10
20,25%
6,75%
10
2
11 - 15
13,50%
33
0-5
> 30
21 - 25
13,50%
Tahun
Tahun
21 - 25
Gambar 11. Jumlah Kapal Perintis
Berdasarkan Umur
45
6
0
45,24%
14,29%
5
10
15
20
25
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah)
2) SASARAN
a. Meningkatkan jumlah lintas penyeberangan baru yang beroperasi dan
terhubungkannya wilayah terisolir;
b. Meningkatnya kalaikan dan jumlah sarana ASDP;
c. Meningkatkan jumlah penumpang, kendaraan dan penumpang yang diangkut;
d. Meningkatkan kelancaran lintas penyeberangan yang padat;
e. Meningkatnya kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan;
f. Meningkatnya keselamatan ASDP;
g. Meningkatnya peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam pembangunan dan
pengelolaan ADSP;
h. Meningkatnya kinerja BUMN di bidang ASDP.
3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ASDP
a. Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana serta
pengelolaan angkutan ASDP;
b. Meningkatkan kapasitas pelayanan di lintas yang telah jenuh serta memperluas
jaringan pelayanan ASDP;
c. Mengembangkan angkutan sungai terutama di wilayah Kalimantan, Sumatera dan
Papua yang telah memiliki sungai cukup besar;
d. Mengembangkan angkutan danau untuk menunjang program wisata;
e. Meningkatkan pelayanan sebagai penghubung jalur jalan yang terputus perairan
terutama Sabuk Selatan (Sumatera-Jawa-Bali-NTB-NTT);
f. Memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antar moda dan kesinambungan
transportasi darat yang terputus di dalam pulau (sungai & danau) dan antarpulau
dengan pelayanan point to point; sejalan dengan system transportasi nasional dan
wilayah (local)
g. Mendorong penyelesaian revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 serta
peraturan pelaksanaanya.
h. Melaksanakan restrukturisasi BUMN dan kelembagaan dalam moda ASDP, agar
tercapai efisiensi, transparansi serta meningkatkan peran swasta dalam bidang
ASDP;
Bagian IV.33 – 31
Draft 12 Desember 2004
i.
Mendorong peran serta pemda dan swasta dalam penyelenggaraan ASDP
4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN ASDP
a. REHABILITASI PRASARANA DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN
 Rehabilitasi dermaga sungai di 23 lokasi yang tersebar di Pulau Sumatera dan
Kalimantan.
 Rehabilitasi dermaga penyeberangan di 23 lokasi, dimana 5 diantaranya milik
PT. ASDP.
b. PEMBANGUNAN DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN:
 Pembangunan sistem transportasi sungai/kanal di pulau Kalimantan yang
terpadu dengan sistem transportasi darat Trans Kalimantan, terutama
pembangunan dan pemeliharaan terusan/anjir yang dapat menghubungkan
sungai-sungai besar, seperti anjir Sungai Kapuas (Kalimantan Barat), Sungai
Sampit, Sungai Kahayan (Kalimantan Tengah), Sungai Barito (Kalimantan
Selatan) dan Sungai Mahakam (Kalimantan Timur);
 Pembangunan prasarana dermaga penyeberangan terutama pada lintas lintas
antar propinsi (sabuk selatan, dan perbatasan);
 Pembangunan dermaga danau di Danau Toba, Ranau, Kerinci, Gajah
Mungkur, Kedong Ombo dan Cacaban.
c. PENGEMBANGAN AKSESIBILITAS PELAYANAN ASDP, melalui: pembangunan
prasarana dan sarana ASDP untuk wilayah/lintas perintis serta subsidi operasi
perintis ASDP; bekerjasama dengan Pemda serta melalui pendekatan
pembangunan transportasi wilayah.
 Penambahan 14 kapal perintis.
 Subsidi operasi ASDP perintis.
d. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN ASDP:
 Penataan sistem jaringan transportasi darat antar moda secara terpadu (JTJ
dengan lintas ASDP) dalam Sistranas dan Sistrawil.
 Koordinasi perencanaan dan penataan sistem jaringan pelayanan terpadu
antara lintas penyeberangan dengan lintas pelayanan angkutan laut, serta
pemanfaatan dermaga perintis bersama yang dikelola oleh UPT (Pemda)
 Koordinasi antar lembaga dalam pengembangan dan pemanfaatan angkutan
sungai dan kanal terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua.
 Kegiatan sosialisasi dan pengelolaan prasarana dan sarana angkutan sungai dan
danau
 Perencanaan konsep pembangunan transportasi sungai terpadu dengan
program penghijauan dan lingkungan hidup, program kebersihan sungai, irigasi
dan SDA, program pariwisata dan pertamanan, serta akses ke/dari dermaga
sungai.
 pengembangan pemanfaatan teknologi kanal dan pintu air/dam/sistem
pengawasan dan keselamatan alur sungai, persyaratan teknis dan pengerukan
termasuk pengembangan jenis kapal, sistem terminal, peralatan “cargo handling”,
dermaga, peralatan navigasi dan komunikasi angkutan sungai.
Bagian IV.33 – 32
Draft 12 Desember 2004


Peningkatan SDM, pembangunan kelembagaan dan manajemen yang
didukung sistem informasi di bidang perencanaan, pengembangan dan
pengawasan angkutan sungai dan danau.
Pengembangan peningkatan dermaga sungai yang merupakan swadaya
masyarakat yang tidak memadai menjadi dermaga yang permanen seperti
dermaga di sungai Kapuas, Punggur besar, S.Sambas, S.Landak, S.Kubu,
S.Padang Tikar di Kalimantan Barat, S.Kuala Kapuas, S.Sampit, S.Kahayan di
Kalimantan Tengah, Sungai Musi, S.Gasing, S.Musi Rawas di Sumatera Selatan
dan sungai-sungai lain yang berada di Jambi, Riau dan Papua.
e. PROGRAM
PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH
DAN PARTISIPASI SWASTA DALAM PENGEMBANGAN ASDP:










Restrukturisasi BUMN secara bertahap, melalui unbundling vertical (prasarana
dan sarana) dan unbundling horisontal (Divisi Regional menuju multi operator
prasarana BUMN).
BUMN terbuka untuk membangun dan mengoperasikan prasarana sendiri atau
bekerjasama dengan swasta.
Kerjasama BUMN dengan Pemda/BUMD dalam pengelolaan dermaga dan
kapal perintis di daerah.
BUMN harus berkompetisi untuk penugasan pelayanan perintis yang
dikompensasi (subsidi perintis), sehingga lebih efisien.
Kerjasama swasta dan BUMN, melalui “outsourcing” pengelolaan parkir dan
terminal serta sistem ticketing sampai investasi sarana dan prasarana.
Kerjasama BUMN ASDP dengan BUMN Pelindo untuk pengelolaan dermaga
bersama di daerah terpencil/komersial.
Kerjasama dengan swasta dan BUMN transportasi darat lain (kereta api; jalan
tol dan angkutan umum) untuk pelayanan terpadu antarmoda.
Membuka sistem kompetisi pelayanan angkutan perintis ASDP, melalui sistem
kompetisi kontrak performance berdasarkan penawaran dengan biaya yang
paling efisien; dengan sistem jaminan Pemerintah (sistem kontrak multi years,
agar swasta dapat melakukan efisiensi pengadaan/sewa sarana sesuai dengan
economic of scale ).
Membuka kerjasama pendanaan investasi Pemda dan Pusat dalam penyediaan
prasarana dan subsidi operasi perintis dan outsourcing investasi dan
pengelolaan bagian terminal dan parking yang lebih komersial kepada swasta.
Membuat format dan rencana sitem kerjasama swasta pemerintah, termasuk
manajemen resiko dan alternatif pendanaan melalui konsesi pengelolaan lahan
dan pengembangan wilayah, untuk meningkatkan investasi dalam penyediaan
dan pengelolaan prasarana dan sarana ASDP.
2.3 TRANSPORTASI LAUT
2.3.1 PERMASALAHAN TRANSPORTASI LAUT
Kondisi dan perkembangan subsektor transportasi laut adalah terpuruknya peran
armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dan belum diberlakukan
sepenuhnya Azas Cabotage. Rata-rata pangsa pasar armada nasional pada angkutan dalam
negeri dan ekspor-impor masing-masing hanya 51,4 persen dan 3,6 persen. Hal ini
Bagian IV.33 – 33
Draft 12 Desember 2004
ditunjukkan pada Grafik pangsa pasar armada pelayaran nasional dan asing baik untuk
angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor 1996-2003.
Gambar 12. Pangsa Pasar Angkutan Laut Dalam Negeri
Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002)
Gambar 13. Pangsa Pasar Angkutan Ekspor-Impor
Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002)
200,000.0
450,000.0
180,000.0
400,000.0
160,000.0
350,000.0
300,000.0
120,000.0
Ton (000)
Ton (000)
140,000.0
100,000.0
80,000.0
250,000.0
200,000.0
150,000.0
60,000.0
100,000.0
40,000.0
50,000.0
20,000.0
-
1996
1997
1998
1999
2000
Armada Nasional
2001
2002
1996
2003
Armada Asing
1997
1998
Armada Nasional
1999
2000
T ahun
2001
2002
2003
Armada Asing
Sumber: Ditjen Hubla Dephubtel, 2002, diolah.
Masih adanya biaya ekonomi tinggi dan kurangnya fasilitas prasarana di pelabuhan,
sehingga menambah beban bagi pengguna jasa yang pada akhirnya menambah biaya bagi
masyarakat secara umum.
Tabel 9. Kinerja SBNP di Indonesia Tahun 2003
Variabel
Kecukupan
Keandalan *)
Rasio
Kinerja
86,75%
95%
6,5 SBNP/100
Nautical mile **)
Persyaratan IALA
95%
99%
25 SBNP/100 Nautical
mile (negara maju)
*) Rasio antara jumlah total hari tak berfungsi/jumlah sbnp X 275 X100%.
**) Target Indonesia: kebutuhan 2000 SBNP saat ini baru ada 1735 sbnp.
Sumber: Maritime Traffic Safety System, 2004
Tingkat kecukupan fasilitas keselamatan pelayaran seperti sarana bantu navigasi
pelayaran (SBNP) belum memenuhi persyaratan internasional. Pada saat ini kecukupan
dan keandalan SBNP baru 64,02 persen dan 95 persen. Menurut International Association of
Lighthouse Authority (IALA) standar ratio kecukupannya adalah 95 persen dan keandalannya
99 persen.
Adanya kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten dan kota
tentang siapa yang berhak mengelola pelabuhan. Walaupun Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 namun kontroversi masih berlanjut. Sementara itu Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom, belum direvisi sehingga sulit mengharapkan dapat
diselesaikannya perselisihan antara pemerintah pusat dan asosiasi pemerintah
kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di
pelabuhan.
Bagian IV.33 – 34
Draft 12 Desember 2004
2.3.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT
Sasaran pembangunan transportasi laut adalah menaikkan pangsa pasar armada
pelayaran nasional baik untuk angkutan laut dalam negeri maupun ekspor-impor. Sasaran
lain adalah meningkatkan kinerja dan efisiensi pelabuhan khususnya yang ditangani oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena sebagian besar muatan ekspor-impor dan
angkutan dalam negeri ditangani oleh pelabuhan yang ada dibawah pengelolaan BUMN.
Sasaran yang tak kalah pentingnya adalah melengkapi prasarana SBNP dan fasilitas
pemeliharaannya sehingga SBNP yang ada dapat berfungsi 24 jam. Sementara itu uji
materiil Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan revisi
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran khususnya yang berkaitan
dengan keharusan bekerjasama dengan BUMN apabila pihak swasta ingin berinvestasi
pada prasarana pelabuhan harus segera diselesaikan guna menarik pihak swasta
berinvestasi pada prasarana pelabuhan.
2.3.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT
a. Meningkatkan peran armada pelayaran nasional baik untuk angkutan dalam negeri
maupun ekspor-impor dengan memberlakukan azas cabotage. Untuk itu
diperlukan dukungan perbankan dalam penyediaan kredit murah bagi peremajaan
armada.
b. Mengurangi bahkan menghapuskan pungutan-pungutan tidak resmi di pelabuhan
sehingga tarif yang ditetapkan otoritas pelabuhan tidak jauh berbeda dengan biaya
yang secara riil dikeluarkan oleh pengguna jasa kepelabuhanan, melalui
peningkatan koordinasi bagi semua instansi yang terkait dalam proses bongkar
muat barang.
c. Memenuhi standar pelayaran internasional yang dikeluarkan oleh IMO
(International Maritime Organization) maupun IALA guna meningkatkan keselamatan
pelayaran baik selama pelayaran maupun pada saat berlabuh dan bongkar muat di
pelabuhan di wilayah Indonesia.
d. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di
subsektor trasnsportasi laut guna menciptakan kondisi yang mampu menarik
minat swasta swasta dalam pembangunan prasarana transportasi laut.
e. Menyerahkan secara bertahap aset pelabuhan lokal yang dikelola Unit Pelaksana
Teknis/Satuan Kerja kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
2.3.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT
Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi laut adalah: (1)
rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi laut; (2) pembangunan prasarana
transportasi laut; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi laut.
Langkah-langkah yang akan dlakukan adalah merehabilitasi prasarana transportasi laut
yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana yang kurang serta merevisi peraturan
dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan laut. Adapun kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam lima tahun ke depan adalah:
Bagian IV.33 – 35
Draft 12 Desember 2004
A.
PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT
MENCAKUP KEGIATAN:
1. Rehabilitasi SBNP: menara suar 94 unit, rambu suar 279 unit, dan pelampung
suar 72 unit;
2. Rehabilitasi kapal navigasi 49 unit kapal;
3. Rehabilitasi Dermaga 493 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen
Perhubungan Laut;
4. Rehabilitasi 15 unit kapal marine surveyor;
5. Rehabilitasi kantor Unit Pelaksana Tugas Administrator Pelabuhan/Kantor
Pelabuhan di 15 lokasi;
6. Rehabilitasi kapal patroli 97 unit kapal;
7. Rehabilitasi atau pembersihan kolam pelabuhan dari kerangka kapal di 3 lokasi;
8. Rehabilitasi dermaga 27.104 M’ milik BUMN yang dapat dikerjasamakan
dengan pihak swasta.
Kegiatan rehabilitasi tersebut di atas sebagian besar menjadi tanggung jawab
pemerintah karena kegiatan tersebut termasuk proyek yang non cost recovery dan
berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sedangkan kegiatan
rehabilitasi aset milik BUMN termasuk proyek yang cost recovery sehingga bisa
dikerjasamakan dengan pihak swasta.
B.
PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT MENCAKUP
KEGIATAN:
1. Pembangunan SBNP: Menara Suar 88 unit, Rambu Suar 276 unit, dan
Pelampung suar 70 unit.
2. Pembangunan kapal navigasi 11 unit kapal.
3. Pembangunan GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System) 30 unit.
4. Pembangunan Dermaga 6.164 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen
Perhubungan Laut, dan dermaga untuk kapal navigasi 440 M’ serta dermaga
untuk pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) 3 lokasi 180 M’
5. Pembangunan 25 unit kapal marine surveyor
6. Pembangunan gedung kantor kenavigasian 5.350 M2, gedung tertutup 6.558
M2, gedung terbuka 2.000 M2, gedung bengkel 2.460 M2, taman pelampung
10.500 M2 dan peralatan bengkel 19 unit serta alat angkut 29 unit.
7. Pembangunan kapal kapal patroli 113 unit kapal.
8. Pengadaan oil boom atau gelang cemar 5 unit.
9. Pembangunan dermaga 900 M’ milik BUMN berikut alat bongkar muat yang
dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, antara lain di Bojonegara, Muara
Sabak, Surabaya.
Seperti halnya dengan kegiatan rehabilitasi, pembangunan fasilitas pelabuhan milik
BUMN dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. Selain itu khusus untuk
pembangunan fasilitas baru untuk peti kemas, car terminal, pelabuhan khusus
untuk komoditi tertentu dapat sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta.
C.
PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI
LAUT:
1. Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran untuk
mendorong keikutsertaan investor swasta membangun prasarana pelabuhan.
Bagian IV.33 – 36
Draft 12 Desember 2004
2.
3.
4.
5.
Pengembangan sistem informasi kelaiklautan kapal.
Sosialisasi/penyuluhan peraturan bidang kelaiklautan kapal.
Evaluasi dan kajian peraturan bidang kelaiklautan kapal.
Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan pelatihan untuk
pengukuran kapal, auditor International Safety Management (ISM) Code, uji petik
dan verifikasi kelaiklautan kapal.
6. Marpol (Marine Pollution) exercise (pelatihan pencegahan polusi laut yang
diakibatkan oleh kapal) pemerintah Indonesia bersama dengan Jepang dan
Pilipina.
7. Pelaksanaan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang
diberlakukan mulai 1 Juli 2004.
2.4. TRANSPORTASI UDARA
2.4.1 KONDISI PERMASALAHAN TRANSPORTASI UDARA
Moda transportasi udara adalah moda transportasi yang menuntut tingkat akurasi
paling tinggi dibanding moda transportasi yang lain untuk dapat menjaga keselamatan baik
selama penerbangan maupun saat ada di bandara. Kondisi dan permasalahan di sub-sektor
transportasi udara yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat
dan ancaman terorisme. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 10 Jumlah Kecelakaan Udara dan
Korban Meninggal/Hilang.
Tabel 10. Jumlah Kecelakaan Udara & Korban Meninggal/Hilang
Tahun 1992 – 2002
Korban
Tahun
Jumlah Kecelakaan Kecelakaan Fatal
Hilang/Meninggal (Jiwa)
1992
38
5
106
1993
32
7
83
1994
41
8
53
1995
46
6
30
1996
35
6
42
1997
38
8
398
1998
36
2
4
1999
31
3
12
2000
16
1
2
2001
37
7
17
2002
25
6
25
Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, 2003
Tabel 11. Jumlah Penumpang dan Barang
Dalam Negeri Tahun 1998 – 2002*)
Penumpang
Barang
Tahun
(orang)
(Ton)
1998
7.863.838
147.718
1999
6.673.713
155.439
2000
8.654.181
161.200
2001
10.394.330
164.135
2002
12.686.932
136.207
Sumber: BPS, 2003
*) Data keberangkatan
Bagian IV.33 – 37
Draft 12 Desember 2004
Kebutuhan akan tenaga pengawas kelaikan udara meningkat seiring dengan
meningkatnya lalu lintas udara. Dalam lima tahun terakhir di mana pemerintah
menetapkan kebijakan pertumbuhan nol persen untuk pegawai negeri maka jumlah
pegawai yang menangani keselamatan dan sertikasi udara yakni yang bekerja di Direktorat
Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat
Fasilitas Listrik dan Elektronika relatif konstan sekitar 400 orang seperti pada tahun 2003
berjumlah 374 orang. Sementara dalam lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan
lalu lintas angkutan udara yang meningkat tajam. Hal ini tercermin pada tabel kedatangan
dan keberangkatan pesawat, penumpang dan cargo untuk penerbangan domestik dan
internasional.
Tabel 12. Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Cargo
untuk Penerbangan Luar Negeri Tahun 1998 – 2002
Kedatangan
Keberangkatan
Total
Pergerakan
Penumpang
Cargo
Pergerakan
Penumpang
Cargo
Pergerakan
Penumpang
Tahun
Pesawat
(Orang)
(Ton)
Pesawat
(Orang)
(Ton)
Pesawat
(Orang)
(Unit)
(Unit)
(Unit)
1998
37.205 3.778.509 119.570
37.829 3.833.025 226.268
75.034 7.611.534
1999
40.064 3.877.617 148.889
39.552 3.924.275 226.230
79.616 7.801.892
2000
40.571 4.243.327 173.791
40.052 4.728.389 215.240
80.623 8.971.716
2001
42.813 4.520.028 95.741
42.617 4.675.007 147.008
85.430 9.195.035
2002
36.705 4.725.068 96.957
36.787 4.745.681 145.917
73.492 9.470.749
Sumber: BPS, 2003
Cargo
(Ton)
345.838
375.119
389.031
242.749
242.874
Tabel 13. Kinerja Keuangan AP I & AP II Tahun 2002
Jml Bandara Menguntungkan Merugikan
AP-I
13
5
8
AP-II
10
4
6
Sumber: The Master Plan Study on The Strategic Policy of The Air
Transport Sector in The Republic Indonesia, July 2004.
Masalah lain adalah rendahnya kinerja bandara bandara yang dikelola oleh PT Angkasa
Pura baik PT AP I dan II. Hal ini tercermin dari begitu banyaknya unit bandara yang
masih merugi sebagaimana terlihat pada Tabel Kinerja Keuangan PT AP I dan II 2002.
Kondisi dan masalah lain yang harus diperhatikan adalah banyaknya fasilitas yang tidak
memenuhi persyaratan sesuai dengan operasi pesawat yang aman seperti lebar landasan
dan bahu landasan.
2.4.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA
Sasaran pembangunan transportasi udara adalah menjamin keselamatan, kelancaran
dan kesinambungan pelayanan transportasi udara baik untuk angkutan penerbangan
domestik dan internasional, maupun perintis. Di samping itu sasaran yang tak kalah
pentingnya adalah menciptakan persaingan usaha di dunia industri penerbangan yang
wajar sehingga tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli.
Bagian IV.33 – 38
Draft 12 Desember 2004
2.4.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA
a. Memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh
ICAO (International Civil Aviation Organization) guna meningkatkan keselamatan
penerbangan baik selama penerbangan maupun di bandara di wilayah Indonesia.
b. Menciptakan persaingan usaha pada industri penerbangan nasional yang lebih
transparan dan akuntabtel sehingga perusahaan penerbangan yang ada mempunyai
landasan yang kokoh untuk kesinambungan operasi penerbangannya.
c. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di
subsektor trasnsportasi udara guna menciptakan kondisi yang mampu menarik
minat swasta dalam pembangunan prasarana transportasi udara.
2.4.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA
Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi udara adalah: (1)
rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi udara; (2) pembangunan prasarana
transportasi udara; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi udara.
Langkah-langkah yang akan diambil oleh adalah merehabilitasi prasarana transportasi
udara yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana transportasi udara yang kurang
serta merevisi peraturan dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan
udara dengan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Adapun kegiatan yang akan
diusulkan dalam lima tahun ke depan (2005-2009) adalah:
1. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI
UDARA, mencakup kegiatan:
1. Penggantian dan rekondisi kendaraan PKPPK (Penolong Kecelakaan
Penerbangan dan Pemadam Kebakaran) 31 bandara.
2. PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI UDARA, mencakup
kegiatan:
1. Pembangunan landas pacu 15.150 x 45 m2 antara lain di Makasar, Medan, Ternate,
Sorong.
2. Pembangunan terminal penumpang 171.085 m2 antara lain di Makasar, Medan,
Ternate, Sorong dan Lombok.
3. Pembangunan apron 938.150 m2
4. Sistem navigasi udara 5 paket.
5. Pelaksanaan Automated Dependent Surveillance–Broadcast di Indonesia dengan
pengadaan dan pemasangan peralatan di 5 stasiun.
6. Pengadaan dan pemasangan peralatan CNS/ATM (Communication, Navigation,
Surveillance/Air Traffic Management)
7. Pengadaan dan pemasangan Instrument Landing System (ILS) dan Runway Visual
Range (RVR) di 10 lokasi.
3. PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI
UDARA, mencakup kegiatan:
1. Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Bagian IV.33 – 39
Draft 12 Desember 2004
Di Subsektor Transportasi Udara, pembangunan fasilitas bandara baru seperti di
Medan dan Lombok sangat dimungkinkan investor swasta untuk berpartisipasi, baik
secara parsial maupun secara keseluruhan.
2.5
PROGRAM PEMBANGUNAN PENDUKUNG TRANSPORTASI
Program pengembangan transportasi antar moda mencakup kegiatan-kegiatan: (1)
penyusunan peraturan bidang pos; (2) pembahasan Revisi Undang-Undang Transportasi
diantaranya Undang-Undang Tatanan Transportasi Nasional, Lalu Lintas Angkutan Jalan,
Perkeretaapian, Tranportasi Laut dan Angkutan Udara, serta Telekomunikasi; (3)
penyusunan dan sosialisasi peraturan bidang transportasi; (4) peningkatan KSLN
Perhubungan; (5) kajian perencanaan, evaluasi dan kebijakan serta kajian strategis
perhubungan dan transportasi intermoda; (6) penyusunan evaluasi dan operasional
pemantauan kinerja keuangan dan pendanaan transportasi; (7) penyusunan pembinaan
kinerja kepegawaian; (8) peningkatan Pusdatin; dan (9) Operasional belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan.
Program peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan mencakup kegiatan-kegiatan
pelaksanaan peningkatan sarana dan prarana perhubungan sistem, prosedur dan standar
administrasi, penyediaan fasilitas pendukung pelayanan operasional serta penyelenggaraan
koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian/lembaga.
Program pencarian dan penyelamatan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyusunan
dan penyiapan petunjuk teknis; (2) evaluasi dan pembinaan proyek SAR; (3) pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan fasilitas, sarana dan operasional
pencarian dan penyelamatan; (4) pembinaan dan pengembangan prasarana dan sarana
pencarian dan penyelamatan; dan (5) operasional pemerintah dalam rangka pencarian dan
penyelamatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja
pemeliharaan.
Program penelitian dan pengembangan perhubungan mencakup kegiatan-kegiatan: (1)
pelaksanaan penelitian dan pengembangan perhubungan meliputi transoprtasi darat, laut,
udara, postel dan manajemen transportasi intermoda; (2) penyusunan program monitoring
dan evaluasi; dan (3) operasional pemerintah dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja perjalanan
Program pengelolaan kapasitas sumber daya manusia aparatur dan pendidikan
kedinasan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) pelaksanaan studi/kajian di bidang
transportasi, manajemen transportasi intermoda, transportasi darat, transportasi laut,
transportasi udara, dan pos dan telekomunikasi; (2) penyusunan program monitoring dan
evaluasi; (3) pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan; (4) pengembangan
kelembagaan METI; (5) pengembangan dan pembinaan Badan Diklat Perhubungan yang
meliputi pengadaan sarana and prasarana, diklat teknis, rintisan pendidikan gelar (S2),
pembangunan rating school dan kampus diklat Semplak; (6) pengembangan sarana,
prasarana kelembagaan dan operasional penyelenggaraan diklat yang meliputi Pusdiklat
perhubungan darat, laut dan udara, STTD Bekasi, STIP Jakarta dan STIP Curug; dan (7)
operasional pemerintah dalam rangka pendidikan dan pelatihan perhubungan yang
meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan.
Bagian IV.33 – 40
Draft 12 Desember 2004
Program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan mencakup
kegiatan-kegiatan: (1) penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan pemerintahan; dan (2)
penyusunan dan pembinaan kinerja kepegawaian/sumberdaya manusia perhubungan.
Program pengawasan aparatur negara mencakup kegiatan-kegiatan: (1) menata dan
menyempurnakan sistem, struktur dan pengawasan yang efektif, efisien, transparan,
terakunkan; (2) meningkatkan intensitas pelaksanaan pengawasan internal, fungsional dan
masyarakat; (3) meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum; dan (4)
operasional pemerintah dalam rangka pengawasan aparatur negara yang meliputi belanja
pegawai, belanja barang, dan belanja pemeliharaan.
Program pengembangan dan pembinaan meteorologi dan geofisika mencakup
kegiatan: (1) penyusunan RUU meteorologi dan geofisika; (2) penyusunan RPP PNBP; (3)
penyusunan petunjuk teknis penyelenggaraan meteorologi dan geofisika; (4) restrukturisasi
kelembagaan; (5) pengembangan sistem observasi meteorologi dan geofisika, melalui
otomatisasi sistem peralatan utamanya pada stasiun-stasiun di ibukota provinsi serta
stasiun yang berada di daerah rawan bencana, daerah produksi pangan dan padat
penduduk; (6) modernisasi peralatan untuk memproduksi dan penyebaran informasi
meteorologi dan geofisika hingga tingkat kabupaten; (7) pengembangan sistem pelayanan
data dan informasi meteorologi dan geofisika; (8) penelitian dan pengembangan bidang
meteorologi dan geofisika yang bermanfaat untuk penanggulangan bencana, peningkatan
produksi pangan, mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa serta keselamatan
masyarakat; (9) peningkatan kerjasama dengan instansi lain baik di dalam maupun di luar
negeri untuk peningkatan kualitas pelayanan serta peningkatan kemampuan SDM; (10)
pelaksanaan pengawasan; dan (11) operasional meteorologi dan geofisika.
2.6
RENCANA PEMBIAYAAN
Sumber pembiayaan program rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan sektor
transportasi diperoleh dari dana Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN),
BUMN, dan swasta sebagaimana tabel berikut:
Tabel 14. Rencana Pembiayaan Sektor Transportasi Tahun 2005-2009
No.
Subsektor/Program
Sasaran
Pusat
1.
1.1
Subsektor Prasarana Jalan
Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan
dan jembatan
1.2.
Program peningkatan/pembangunan jalan
dan jembatan
a. Jalan Arteri
b. Jalan Tol
2.
Subsektor Transportasi Darat
2.1
Program Pengembangan Lalu Lintas
Angkutan Jalan
a. Keselamatan dan Fasilitas LLAJ
b. Terminal
c. Penanganan Muatan Lebih
d. Pembinaan Angkutan Perkotaan
e. Penyediaan Angkutan Perintis
f. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring
2.2
Program Pengembangan Transportasi
Sumber Pembiayaan (Rp Milyar)
Pemerintah
BUMN
Swasta
Propinsi Kab/Kota
1.053.254 km
7.597,7
8.115,1
42.404,5
118.170 km
1.593 km
66.376,8
5.050,0
3.243,4
30.421,1
58.117,3
5.237,0
2.926,8
19.095,6
Bagian IV.33 – 41
Total
80.392,9
100.041,3
90.679,9
2.926,8
4.440,3
23.535,9
Draft 12 Desember 2004
No.
Subsektor/Program
Sumber Pembiayaan (Rp Milyar)
Pemerintah
BUMN
Swasta
Propinsi Kab/Kota
Sasaran
Pusat
2.3
2.4
3.
3.1
3.2
3.3
4.
4.1
4.2
4.3
5.
Kereta Api
a. Pembangunan Prasarana
b. Rehab dan Pengembangan Sarana
c. PSO
d. IMO
e. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring
Program Pengembangan Transportasi
Sungai, Danau dan Penyeberangan
a. Rehab dan Pengembangan Dermaga
b. Rehab dan Pengembangan Sarana
c. Penyediaan Subsidi Perintis
d. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring
Program Restrukturisasi Kelembagaan dan
Peraturan Transportasi Darat
Subsektor Transportasi Laut
Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan
Transportasi Laut
a. Dermaga
b. Kapal
c. Sarana Bantu Navigasi
Program Pembangunan Prasarana
Transportasi Laut
a. Dermaga
b. Kapal
c. Sarana Bantu Navigasi
Program Restrukturisasi Kelembagaan dan
Peraturan Transportasi Laut
Subsektor Transportasi Udara
Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan
Transportasi Udara
 Landasan
 Terminal
Program Pembangunan Prasarana
Transportasi Udara
 Landasan
 Terminal
Program Restrukturisasi Kelembagaan dan
Peraturan Transportasi Udara
Rehabilitasi dan
Subsektor Penunjang Transportasi
Program Pengembangan Meteorologi dan
Geofisika
Program Pencarian danPenyelamatan
Program Pembangunan SDM Aparatur
Program Penelitian dan Pengembangan
3.054,5
Total
3.054,5
6.381,0
618,0
12.790,2
3167,5
6.999,0
27.597 M’
161 Unit
445 Unit
3707,3
19.665,0
7.034 M’
258 Unit
434 Unit
26,0
26,0
7.004,0
413,0
7.417,0
14.798,0
1.780,0
16.578,0
3.503.221 m2
177052 m2
681.750 m2
171.085 m2
20
20,0
1.174,6
1.174,6
9.833,2
3.233,7
147,2
9.833,2
3.233,7
III. ENERGI, LISTRIK, POS, DAN TELEMATIKA
3.1 ENERGI
3.1.1 PERMASALAHAN ENERGI
Dalam kehidupan modern saat ini, kesejahteraan manusia sangat ditentukan oleh
ketersediaan, jumlah, harga dan mutu energi yang dapat dimanfaatkannya, secara
berkesinambungan oleh masyarakatnya. Selain merupakan salah satu sumber devisa negara
yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan
ekonomi yang mempengaruhi pula pertumbuhan sektor lainnya. Namun demikian
pembangunan ekonomi yang melibatkan kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa
Bagian IV.33 – 42
Draft 12 Desember 2004
memperhatikan pengelolaan sumber daya alam yang selain memberikan manfaat untuk
saat ini juga harus menjamin kehidupan dan ketersediaan di masa datang. Sumber daya
alam yang terbarukan harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat
dipertahankan lebih lama. Sedangkan sumber daya alam yang tidak terbarukan harus pula
digunakan sehemat mungkin dan diupayakan memperlambat penghabisan cadangannya.
Dengan demikian, energi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia dan proses pembangunan, dan oleh karena itu pembangunan energi harus
dilaksanakan secara berdaya guna dan berkelanjutan.
Penyediaan energi saat ini merupakan isu nasional yang membutuhkan penanganan
yang tepat. Potensi energi Indonesia yang besar dan beragam harus diintegrasikan dan
dikonsolidasikan secara optimal dan efisien dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat banyak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945. Walaupun kebijakan nasional untuk itu sudah ada, namun
implementasi dari kebijakan tersebut dan praktek bisnis energi yang ada saat ini belum
secara penuh mengacu kepada optimasi kepentingan nasional dan sebesar-besarnya
kemakmuran bangsa. Krisis ekonomi yang mengakibatkan berbagai perubahan mendasar
pada perekonomian dan pola supply-demand energi mengakibatkan perubahan dalam biaya
operasi penyediaan energi. Dengan terjadinya krisis ekonomi, ketimpangan biaya produksi
yang dipengaruhi oleh nilai tukar valuta asing dengan pendapatan sektor energi sangatlah
terasa. Disisi lain, penyesuaian harga energi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
dan sudah merupakan komitmen pemerintah dalam rangka mengurangi subsidi harga
energi.
Terbatasnya cadangan energi fosil yang ada saat ini, maka dirasakan perlu untuk mulai
memanfaatkan energi alternatif secara bertahap dan berorientasi pasar. Upaya
pemanfaatan energi alternatif dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar
minyak yang semakin mahal dan yang ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif
dapat dipergunakan gas dalam bentuk LPG, briket batubara, dan energi terbarukan seperti
panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, fuell cell (sel bahan bakar) dan biomasa.
Upaya ini telah sejalan dengan kecenderungan global dalam penggunaan energi. Sejalan
dengan terkurasnya energi fosil, maka impor minyak mentah juga meningkat setiap
tahunnya. Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rata
10,46 persen per tahun. Jumlah impor minyak mentah selama tahun 2000 mencapai 80
juta barel. Hingga saat ini Indonesia mengimpor minyak mentah untuk kebutuhan dalam
negeri dan optimalisasi kilang dari Arab Saudi (Arab Light Crude), Iran, Australia dan
Malaysia.
A.
EVALUASI PEMBANGUNAN ENERGI
Pada dasarnya kebijakan pembangunan energi yang telah diambil pemerintah selama
ini diarahkan bagi terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi baik untuk kepentingan
konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai adalah
menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa
energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembanganya
pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Untuk mencapai sasaran tersebut diatas, maka
ditetapkan pokok kebijaksanaan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, yaitu
meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan
prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya
Bagian IV.33 – 43
Draft 12 Desember 2004
manusia dan menguasai teknologi; serta meningkatkan peranserta masyarakat dan
kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi.
Untuk melaksanakan kebijakan dalam mencapai berbagai sasaran pembangunan energi
tersebut diatas, dikembangkan pembangunan sektor energi yang meliputi program pokok
dan program penunjang. Program pokok meliputi program pengembangan tenaga migas,
batubara, ketenagalistrikan dan energi lainnya. Program penunjang mencakup program
pengendalian pencemaran lingkungan hidup; program penelitian dan pengembangan
energi; program pengembangan informasi energi; serta program pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan energi. Secara umum pembangunan prasarana energi sebelum krisis
ekonomi mengalami peningkatan yang cukup berarti, baik untuk prasarana pengilangan
dan pemrosesan minyak bumi, penyaluran gas bumi, pemanfaatan panas bumi serta
pemanfaatan batubara. Kapasitas pengilangan minyak di dalam negeri terus ditingkatkan
seiring dengan laju pembangunan nasional. Pada awal Repelita I (1969/1970), jumlah
minyak yang dikilang didalam negeri hanya sebesar 77,1 juta barel. Jumlah ini pada tahun
2003 meningkat menjadi 348 juta barel, sedangkan kebutuhan dalam negeri 429 juta barel.
Seluruh hasil pengilangan tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM di
dalam negeri. Namun karena kebutuhan BBM di dalam negeri cukup tinggi, maka
sebagian kebutuhan sebesar 81 juta barel dipenuhi melalui pengadaan impor minyak
mentah dan BBM terutama avtur, mogas, diesel dan solar.
Di sisi lain, konsumsi gas bumi terus meningkat dalam tahun 2003 mencapai 8.237
MMSCFD. Peningkatan konsumsi gas bumi tersebut didukung oleh penambahan jaringan
transmisi gas. Secara umum pemanfaatan batubara dan energi terbarukan seperti panas
bumi dan tenaga air menunjukkan angka yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan
penggunaan yang meningkat dari sumber energi tersebut untuk beberapa pembangkit
listrik tenaga uap, batubara, dan panasbumi serta kebutuhan sumber energi untuk
beberapa industri semen, peleburan nikel, dan timah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas memprioritaskan
pembangunan prasarana energi diarahkan kepada tiga program pokok yaitu: (1)
mempertahankan tingkat jasa pelayanan sarana dan prasarana; (2) melanjutkan
restrukurisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana energi; dan (3) peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana. Tujuan program
yang pertama adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan
prasarana energi yang telah ataupun sedang dibangun agar tingkat pelayanannya dapat
dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kualitas yang memadai, serta tetap dapat
dioperasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektorsektor produktif. Untuk itu diprioritaskan pemeliharaan sarana dan prasarana energi yang
sudah dibangun ataupun sedang dalam proses pembangunan agar nilai ekonomis dari
sarana dan prasarana tersebut tidak menurun. Sedangkan untuk peningkatan dan
pembangunan sarana dan prasarana diarahkan hanya untuk menunjang pertumbuhan
permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitasnya (bottleneck) dan untuk
menunjang ekspor.
Program restrukturisasi dan reformasi energi bertujuan untuk menciptakan iklim yang
kondusif bagi investasi maupun usaha di bidang jasa pelayanan sarana dan prasarana
energi serta menyehatkan dan meningkatkan kinerja perusahaan yang bergerak di bidang
sarana dan prasarana. Sasaran dilakukannya restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana
Bagian IV.33 – 44
Draft 12 Desember 2004
dan prasarana energi adalah: (1) pulihnya kelayakan keuangan (financial feasibility); (2)
terciptanya kompetisi dan pengaturan dalam pembangunan sarana dan prasarana; (3)
meningkatnya efisiensi pemanfatan dan ketersediaan sumber pendanaan baru sejalan
dengan peningkatan peran swasta; dan (4) meningkatnya transparansi dan efisiensi
pemerintah dalam pengelolaan sarana dan prasarana energi sejalan dengan berkurangnya
peran pemerintah. Untuk mencapai sasaran kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi,
dan partisipasi swasta diperlukan perubahan yang mendasar.
Beberapa perubahan telah dimulai, tetapi kecepatannya perlu ditingkatkan, dan ruang
lingkup perubahannya diperluas. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran tersebut,
telah dilakukan enam langkah-langkah kegiatan menuju restrukturisasi secara penuh,
sebagai berikut (1) restrukturisasi industri dan pemecahan (unbundling system); (2)
pengembangan hubungan komersial dan memperkenalkan kompetisi; (3) pendekatan baru
dalam penetapan tarif berdasarkan mekanisme pasar dan subsidi; (4) rasionalisasi dan
ekspansi partisipasi swasta; (5) memperjelas peran pemerintah; (6) memperkuat fungsi
pengaturan; dan (7) pengembangan kerangka hukum baru.
Program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan
prasarana energi bertujuan untuk memperluas jangkauan jasa pelayanan sarana dan
prasarana sampai ke daerah-daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. Perluasan
jaringan sarana dan prasarana energi tersebut diprioritaskan untuk menyediakan sarana
dan prasarana yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti
listrik perdesaan. Untuk menunjang tersedianya pelayanan jasa sarana dan prasarana energi
di daerah-daerah terisolasi, terpencil, dan kawasan tertinggal akan dilakukan intervensi
pemerintah melalui upaya-upaya perintisan. Upaya perintisan tidak semata-mata
didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi semata, tetapi merupakan upaya
pemerintah dalam membuka isolasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahdaerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan menyediakan fasilitas
prasarananya, sedangkan untuk pengoperasiannya akan ditunjang melalui kebijakan subsidi
dari pemerintah. Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi
masyarakat akan dilakukan penghapusan subsidi secara bertahap dan sistimatis, agar harga
tarif untuk pelayanan jasa sarana dan prasarana dapat dilaksanakan secara komersial oleh
badan usaha milik negara/daerah, swasta, koperasi dan masyarakat.
Mengingat keterbatasan yang ada baik disisi pemerintah maupun swasta, belum semua
langkah-langkah dalam Propenas tersebut diatas terlaksana selama periode krisis. Namun
beberapa kebijakan dan langkah-langkah operasional yang telah dilaksanakan dan
ditempuh pada sektor energi meliputi antara lain: (a) mencegah dan mengurangi kerugian
(losses) berkaitan dengan pengusahaan komoditas; (b) mempertahankan dan meningkatkan
keuntungan (gain); (c) menciptakan kondisi yang kondusif, terutama menyangkut kepastian
hukum, jaminan keamanan, serta praktek usaha pertambangan yang baik (good mining
practice); (d) mengoptimalkan fungsi ketatalaksanaan penyelenggaraan dan aparatur
Departemen teknis terkait berdasarkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan
pemerintah yang bersih (clean government); (e) mengoptimalkan potensi sumber daya energi
dan mineral secara berkelanjutan dalam upaya memperoleh devisa, pengembangan dan
penciptaan nilai tambah; (f) mengoptimalkan penyediaan energi dan tenaga listrik; serta (g)
mengoptimalkan implementasi otonomi daerah di bidang energi dan pertambangan
umum.
Bagian IV.33 – 45
Draft 12 Desember 2004
Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi besarnya subsidi BBM di dalam negeri
yaitu dengan memberlakukan harga jual BBM di dalam negeri berdasarkan MOPS (Mid Oil
Platts Singapore)+5 persen sebagai formula penghitungan harga BBM. Selain itu mekanisme
ceiling price dan floor price pun tetap digunakan. Mekanisme bertahap untuk pasar BBM ini
telah dimulai sejak Januari 2002, dengan meninjau harga jual setiap bulan. Dengan
demikian harga jual BBM berubah setiap bulan, tergantung pada harga pasar minyak
internasional. Kebijakan ini telah berhasil menekan subsidi BBM dari sekitar Rp41 triliun
pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp30 triliun pada tahun 2002.
Beberapa perangkat regulasi dan pengaturan juga telah dibuat dalam rangka mengatasi
krisis. Dalam upaya meningkatkan pasokan listrik dari berbagai sumber eserta untuk lebih
melibatkan masyarakat, maka pemerintah pada tanggal 12 Juni 2002 telah menerbitkan
Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang
Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar, yang biasa
disingkat dengan PSK Tersebar. Regulasi ini memungkin masyarakat dalam skala Usaha
Kecil, sesuai definisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, untuk mengusahakan
pembangkit tenaga listrik dan menjual listriknya kepada PT. PLN (Persero). Kemajuan
berarti lainnya dalam bidang regulasi dan pengaturan adalah dengan telah disahkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dan Undang-Undang
tentang Ketenagalistrikan yang baru Nomor 20 Tahun 2002.
Namun demikian, pasar industri migas masih didominasi oleh Pertamina dan KPS
(Kontraktor Production Sharing) di bagian hulu, sedangkan di hilir jumlah pemain masih
terbatas. Walaupun kompetisi baru dimulai, industri migas dari sisi regulasi terasa cukup
reformis melalui Undang-Undang Migas dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2003 tentang reposisi Pertamina telah membebaskan Pertamina dari berbagai tugas dan
fungsi regulasi yang pernah diemban sewaktu masih memonopoli sektor migas. Dengan
demikian Ditjen Migas harus mampu menyiapkan regulasi, sumber daya, anggaran dan
keperluan penunjang lainnya untuk mendorong pembangunan dan pemanfaatan minyak
dan gas. Proses pembentukan dua badan, yaitu Badan Pelaksana (hulu) dan Badan
Pengatur (hilir) yang berfungsi sebagai wasit. Badan Pelaksana yang sering disingkat
dengan BP Migas dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 dan
telah pula berfungsi, sedangkan Badan Pengatur yang dibentuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 juga telah memulai tugasnya.
B.
B.1
PRODUKSI, KONSUMSI, DAN EKSPOR ENERGI
PRODUKSI ENERGI
Produktivitas energi Indonesia dan konsumsinya selama dua dekade belakangan ini
secara agregat mengindikasikan meningkatnya secara konsisten produksi dan konsumsi
energi nasional selama periode 20 tahun yang lalu (1980-2000) dalam satuan Quadrillion
BTU2. Produksi energi nasional meningkat dari 4,21 Q-BTU di tahun 1980 menjadi 7,64
Q-BTU di tahun 2000. Permintaan energi pada kurun waktu yang sama juga meningkat
dari 1,11 Q-BTU menjadi 3,85 Q-BTU. Sampai dengan tahun 2000, permintaan atau
konsumsi energi nasional secara agregat masih dibawah tingkat produksinya. Namun
Quadrillion BTU = 1015 BTU dimana 1.000 BTU setara dengan 1 cubic foot gas alam sehingga 1 Q-BTU
ekivalen dengan 1 triliun kaki kubik gas alam
2
Bagian IV.33 – 46
Draft 12 Desember 2004
demikian persentase dari permintaan terhadap produksi energi meningkat secara konsisten
dari dari sekitar 26 persen di tahun 1980 menjadi 50,4 persen di tahun 2000.
Produksi minyak mentah dan produk sampingannya, berupa kondensat, antara tahun
1993 sampai 2000. Selama periode 8 tahun tersebut, produksi minyak bumi relatif konstan
dan bervariasi sempit dari sekitar 441 juta barel sampai 485 juta barel untuk minyak
mentah dan dari 52 juta barel sampai 62 juta barel untuk kondensat. Pada tahun 2000
produksi minyak mentah Indonesia masih sebesar 465,4 juta barel, menurun dari produksi
tahun sebelumnya, walaupun pendapatan dari ekspor meningkat dari US$ 4,9 miliar di
tahun 1999 menjadi US$ 6,3 miliar di tahun 2000. Produksi minyak sebesar itu dihasilkan
antara lain dari 9 pengilangan dengan kapasitas 1,06 juta barel per hari (bph), antara lain
yang terbesar adalah Cilacap (348.000 bph), Balikpapan (260.000 bph), dan di Balongan
(125.000 bph). Hasil pengilangan dalam negeri yang hanya sebesar 276,7 juta barel di
tahun 2000 tidak mencukupi kebutuhan permintaan BBM sekitar 54,8 juta kiloliter
sehingga masih diperlukan impor minyak mentah untuk memenuhinya yang pada tahun
2000 masih sebesar 87 juta barel dengan nilai US$ 2,9 miliar.
Sementara itu pertumbuhan produk sektor energi selama 1995-2000: (a) produksi gas
alam yang berkisar sekitar 3 juta kaki kubik per tahun; (b) produksi LNG yang berkisar
sekitar 25,2 sampai 29,8 juta ton per tahun; (c) produksi LPG sebesar 2,1 sampai 3,2 juta
ton; serta (d) produksi batubara yang sekitar 50,3 sampai 70,7 juta ton per tahun. Sekilas
ada kecenderungan yang sama dalam produksi energi Indonesia setelah tahun 2000, yakni
terjadi penurunan setelah mencapai puncak produksi di tahun-tahun sebelumnya.
B.2
KONSUMSI ENERGI
Konsumsi energi dunia meningkat dari 349,14 Q-BTU di tahun 1991 menjadi 397,4
Q-BTU di tahun 2000. Negara-negara di Amerika Utara adalah pengguna terbesar energi
dengan konsumsi sebesar rata-rata 109,1 Q-BTU per tahun sementara Eropah Barat
menghabiskan sekitar 67,5 Q-BTU per tahun. Amerika Serikat adalah negara yang paling
banyak mengkonsumsi energi dengan 98,8 Q-BTU di tahun 2000, lebih besar dari
konsumsi seluruh negara-negara di Eropa Barat, diikuti oleh China dengan 36,7 Q-BTU,
Rusia dengan 28,1 Q-BTU, dan Jepang dengan 21,8 Q-BTU. Indonesia sendiri pada tahun
2000 hanya menghabiskan sekitar 3,85 Q-BTU, hanya sekitar 10 persen dari konsumsi
China.
Konsumsi agregat energi primer nasional selama kurun waktu 1991-2000 dalam satuan
juta SBM. Konsumsi meningkat secara konsisten dari sekitar 375,1 juta SBM pada tahun
1991 menjadi sekitar 644,7 juta SBM di tahun 2000. Komposisi dari pemakaian energi
primer ini adalah rata-rata sekitar 60,6 persen minyak bumi, 24,7 persen gas bumi, 8,9
persen batubara, 5,1 persen energi air (mikrohidro), dan sisanya sebesar 0,7 persen energi
panas-bumi.
Bagian IV.33 – 47
Draft 12 Desember 2004
Gambar 14. Distribusi Konsumsi
Energi Final 1994-1998 (%)
1998
1997
1996
1995
1994
0
20
BBM
40
Minyak
60
Bat ubara
List rik
80
LP G
Pemakaian energi final berupa BBM dan produk minyak lainnya mencakup sekitar
rata-rata 83,8 persen dari total konsumsi. Listrik hanya menggunakan sekitar 10,1 juta
SBM. Sektor rumahtangga meningkat dari 62,3 juta SBM menjadi 118,2 juta SBM. persen
dari produk energi primer, sedangkan batubara yang langsung digunakan sebagai energi
final hanya berkisar 4,5 persen, dan LPG masih berkisar sekitar kurang dari 2,0 persen.
Gambar 14. Konsumsi Energi Nasional
Per Sektor 1991-2000 (Juta SBM)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1991
1994
Industri
Rumahtangga
1997
2000
Transportasi
Sumber: IEOS-PEUI, 2002
Dalam kurun waktu 10 tahun sektor industri dan transportasi merupakan pemakai
terbesar energi nasional dengan konsumsi rata-rata sekitar 37,86 persen dan 37,59 persen
dari konsumsi nasional, sementara sektor rumahtangga hanya menggunakan sekitar 24,55
persen. Selama 1991-2000, konsumsi sektor industri meningkat dari 92,3 juta SBM
menjadi 155,3 juta SBM, sementara sektor transportasi juga mengimbanginya dengan
peningkatan konsumsi dari 90,9 juta SBM menjadi 160,9 juta.
B.3
EKSPOR ENERGI
Ekspor Energi Indonesia yang cenderung meningkat untuk minyak mentah dan LNG
dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000. Terlihat bahwa dalam kurun tahun tersebut
hasil ekspor tersebut sebagian besar dari hasil minyak mentah dan LNG. Ekspor minyak
Bagian IV.33 – 48
Draft 12 Desember 2004
mentah dan LNG pada tahun 2000 masing-masing sebesar 42 persen dan 45 persen dari
penghasilan ekspor energi Indonesia.
Tabel 15. Ekspor Energi Indonesia
Jenis Ekspor
Minyak Mentah
Hasil Kilang
LNG
LPG
Batu bara *)
Unit
Million USD
Million USD
Million USD
Million USD
Million USD
1995
5,147.7
1,287.6
3,856.3
471.1
NA
1996
5,711.8
1,511.8
4,730.2
547.9
NA
1997
5,479.9
1,291.1
4,735.0
516.2
NA
1998
3,444.9
695.4
3,389.8
257.1
NA
1999
4,949.5
912.2
4,489.1
339.2
1,106.3
2000
6,282.5
1,675.9
6,802.1
393.7
1,176.3
Sumber: Mining and Energy Yearbook of Indonesia, 2000, (page:xx-xxi), Ministry of Mines and Energy
Catatan: *) Asumsi harga 1 ton batu bara = USD 20., Angka Perkiraan
C.
KONSOLIDASI DAN INTEGRASI ENERGI
Konsumsi minyak bumi (BBM) yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan
pertumbuhan sekitar 6-7 persen setahun cukup mengkhawatirkan dan bisa menggiring
Indonesia menjadi negara pengimpor minyak (net importer country). Pada tahun 2000,
konsumsi BBM mencapai sekitar 390 juta barel sementara produksinya mencapai sekitar
520 juta barel. Namun sejak tahun 1994, produksi BBM sudah mengalami penurunan
secara cukup berarti dari sekitar 580 juta barel menjadi sekitar kurang dari 500 juta barel di
tahun 2001. Kecuali ditemukan dan dieksploitasi sumur-sumur baru, maka produksi akan
terus menurun di tahun-tahun mendatang sampai kepada tingkat kritis sebesar 460 juta
barel di tahun 2004, yakni tingkat yang sama dengan tingkat konsumsinya.
Apabila kecenderungan ini berjalan terus Indonesia diperkirakan akan mengalami
defisit minyak bumi sebesar 300 juta barel setahun pada tahun 2010 dan sekitar 400 juta
barel di tahun 2015. Kelangkaan minyak bumi tentunya akan diiringi oleh meningkatnya
harga. Pada tahun 2010 tersebut, harga minyak mentah di Indonesia diperkirakan sudah
mencapai US$ 30,4 per barel dan terus meningkat hingga US$ 54 per barel di tahun 20353.
Konsumsi energi dapat digolongkan dalam tiga sektor pemakai: industri, rumah tangga
dan transportasi.
Sektor transportasi dan industri merupakan pemakai energi paling banyak dengan
menggunakan BBM. Bila pemakai BBM di Indonesia tetap boros, maka tidak sampai 10
tahun kedepan diperkirakan Indonesia akan menjadi net oil importer country dan pada tahun
2020 menjadi total importer country. Dengan mengasumsikan harga minyak dunia sebesar
US$ 25 per barrel, biaya impor yang harus dikeluarkan pada tahun 2020 adalah sebesar
US$ 11 miliar atau 11 kali lipat biaya impor pada tahun 1998.
Namun apakah energi primer lain, khususnya gas alam dan batubara dapat
mensubstitusi minyak bumi dalam suatu kebijakan ”energy mix”? Atau apakah gas dan
batubara dapat berfungsi sebagai ”trade-off” bagi defisit minyak bumi kedepan? Sulit untuk
menjawabnya sekarang sebelum dilakukan suatu studi yang mendalam tentang kombinasi
yang paling optimal mengenai peran dari masing-masing energi primer tersebut dalam
suatu tatanan ekonomi makro dan strategi energi nasional mendatang. Sampai saat ini
belum ada satu dokumen formal pun yang mengatur tentang Energy Mix Policy (EMP) ini.
3
Berdasarkan kajian BPPT dan NEDO, Jepang , lihat KOMPAS, 13 Des.2002, hal.14.
Bagian IV.33 – 49
Draft 12 Desember 2004
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi bahkan belum
menyinggung perlunya ada keseimbangan yang optimal dari pemakaian dan alokasi energi
primer.
Gambar 15. Produksi
dan Konsumsi
BBM Nasional
Produksi
Minyak Nasional
800
567 jt barel/thn (1.58 jt barel/hari)
561 jt barel/thn (1.56 jt barel/hari)
700
540 jt barel/thn (1.54 jt barel/hari)
468 jt barel/thn (1.30 jt barel/hari)
600
Defisit minyak:
300 juta barel/tahun
500
400
Produksi
Konsumsi
Produksi Nasional Total
300
200
Laju pertumbuhan
konsumsi BBM
dalam negeri:
6-7%
100
0
1975
1980
1985
1990
1995
2000
Kemungkinan Indonesia
menjadi "Net Importer Country"
2005
2010
2015
2020
Susutnya produksi minyak bumi dan meningkatnya konsumsi mengharuskan kita
mencari strategi baru pemenuhan kebutuhan energi nasional untuk menunjang
perekonomian mendatang, khususnya pasca 2005 dimana defisit minyak bumi akan terjadi
dalam skala yang makin lama makin besar. Substitusi energi primer lainnya terhadap
minyak bumi menjadi opsi yang tidak terhindarkan. Gas alam dan batubara harus
dioptimalkan penggunaannya bagi kepentingan nasional. Kebijakan terpadu mengenai
energi primer ini harus segera disusun dalam satu strategi nasional mengenai Keterpaduan
Energi Nasional (Energy Mix Policy, EMP), yang menjadi acuan bagi pengembangan
masing-masing energi primer dengan memperhatikan intervensi pemerintah dalam
regulasi, penetapan harga (pricing policy), strategi investasi (financial scheme), kelembagaan,
peran serta sektor swasta, serta instrumen fiskal lainnya yang terkait.
D.
POTENSI
Tahun
1999
2000
2002
2003
Tabel 16. Potensi Cadangan Minyak Bumi
Minyak Bumi (Milyar Barel)
Terbukti
Potensi
Total
5,20
4,62
9,82
5,12
4,49
9,61
4,72
5,02
9,74
4,73
4,09
8,82
Sumber: Ditjen Migas, 2003
Sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah, Indonesia memiliki
cadangan sumber energi yang cukup banyak dan beragam. Potensi minyak bumi (terbukti
dan cadangan potensial) yang pada tahun 2003 masih sebesar 8,82 miliar barel (cadangan
terbukti 4,73 miliar barel dan potensi 4,09 miliar barel). Daerah penghasil minyak bumi
yang terbesar selama ini adalah Sumatera bagian tengah, khususnya Riau, dengan cadangan
terbukti dan potensial tahun 2003 sebesar 4,10 miliar barel, disusul oleh Kalimantan
Timur dengan cadangan sebesar 1,06 miliar barel dan Jawa Barat dengan cadangan sebesar
1,13 miliar barel. Walaupun minyak bumi sudah dieksplorasi dan diproduksi secara besarbesaran sejak akhir tahun 1970-an, sampai dengan tahun 2003 cadangan terbukti masih
berada dibawah 5 miliar barel. Namun demikian produksi minyak bumi diperkirakan akan
Bagian IV.33 – 50
Draft 12 Desember 2004
menurun sejalan dengan makin tua nya sumur-sumur yang ada dan kuota yang diterapkan
oleh OPEC.
Tabel 17. Potensi Cadangan Gas Alam
Tahun
1997
1998
1999
2000
2002
2003
Gas Alam (TCF)
Terbukti Potensi
Total
76,17
61,62
137,79
77,06
59,39
136,45
92,48
65,78
158,26
94,75
75,56
170,31
90,30
86,29
176,59
91,17
86,96
178,13
Sumber: Ditjen Migas, 2003
Potensi gas alam tahun 2003 yang tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Papua
sebesar 178,13 triliun kaki kubik (TCF)4 terdiri dari 91,17 TCF cadangan terbukti dan
86,69 TCF cadangan potensi (probable reserve). Penggunaan gas alam sebagai pengganti
minyak bumi lebih memungkinkan karena cadangan depositnya yang tiga kali lebih besar
dari minyak bumi dan karena sifatnya yang ramah lingkungan apabila dibandingkan
dengan batubara. Sementara itu walaupun potensi gas alam lebih besar dari potensi
minyak bumi, sampai saat ini pemakaian energi terbesar, sekitar 60 persen dari kebutuhan
nasional, masih pada minyak bumi, yang terutama digunakan oleh tiga sektor terbesar
yakni industri, transportasi, dan rumah tangga. Pemakaian pada ketiga sektor ini pun,
khususnya transportasi, sangat tidak efisien, terlepas dari program diversifikasi dan
konservasi energi yang sudah dicanangkan pemerintah sejak lama. Dari 170,31 triliun kaki
kubik (TCF) cadangan gas alam terbukti dan potensial pada tahun 2000, Natuna
merupakan penyimpan terbesar dengan deposit total sekitar 53,8 TCF diikuti oleh
Kalimantan Timur dengan cadangan sebesar 51,3 TCF dan di Papua (23,9 TCF) serta
Sumatera Selatan (14,9 TCF).
Gambar 16. Cadangan Gas Asean (TCF)
Pilipina
5
Brunei
12
Vietnam
25
T hailand
32
Malaysia
99
Indonesia
170
0
50
100
150
200
Dengan cadangan sebesar 178,13 TCF, Indonesia merupakan negara penghasil
terbesar gas alam di ASEAN. Pada tahun 2000, ekspor gas alam Indonesia berupa LNG
dan LPG menghasilkan penerimaan negara sebesar US$ 7,2 miliar, meningkat 49,0 persen
dibandingkan penerimaan tahun 1999 yang sebesar US$ 4,83 miliar. Dalam beberapa
tahun kedepan, ekspor gas Indonesia diperkirakan akan tetap besar.
4
TCF: trillion cubic feet atau triliun kaki kubik
Bagian IV.33 – 51
Draft 12 Desember 2004
Tabel 18. Potensi Cadangan Batubara, 2000
Wilayah
Terukur
NAD
Riau
Jambi
Bengkulu
Sumbar
Sumsel
Jawa
Kalbar
Kaltim
Kalteng
Kalsel
Sulsel
Papua
Lain lain
Indonesia
Potensi (Juta Ton)
Indikasi
Total
64,14
289,00
222,17
68,98
158,02
4.099,72
0,63
1,00
4.054,11
206,70
2.377,64
21,20
1.763,35
1.157,52
566,48
97,43
221,54
8.792,96
4,86
185,12
9.699,57
706,36
3.981,97
96,13
- 25,53
5,42
7,31
11.568,73 27.306,13
1.827,49
1.446,52
788,65
166,41
379,56
12.892,68
5,49
186,12
13.753,68
913,06
6.359,61
117,33
25,53
12,73
38.874,86
Sumber: Pusat Informasi Energi UI, 2001
Sementara itu potensi batubara yakni sebesar 38,9 miliar ton atau setara dengan 170,08
miliar SBM5 pada tahun 2000 atau sekitar hampir 18 kali lebih besar dari potensi cadangan
minyak bumi. Deposit batubara ini terdiri dari sekitar 11,57 miliar ton dalam kondisi
cadangan terukur dan 27,31 miliar ton dalam kondisi terindikasi, termasuk 5,37 miliar ton
cadangan yang dapat ditambang.
Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara
terbesar di Indonesia dengan total potensi masing-masing sebesar 12,9 miliar ton (sekitar
56,44 miliar SBM) dan 13,8 miliar ton (sekitar 60,38 miliar SBM), disusul oleh Kalimantan
Selatan dengan potensi sebesar 6,36 miliar ton (sekitar 27,83 miliar SBM). Ketiga daerah
tersebut memiliki potensi sekitar 82 persen dari cadangan batubara nasional. Selain itu,
sebagai daerah vulkanik yang kaya dengan gunung berapi, Indonesia mempunyai potensi
panas bumi yang cukup besar yang terdapat di sepanjang pulau Sumatera, Jawa-Bali, NTT,
NTB, kepulauan Banda, Halmahera, dan Pulau Sulawesi. Di sepanjang jalur kepulauan
tersebut terdapat sekitar 70 daerah sumber energi panas bumi yang mempunyai prospek
untuk dikembangkan.
Tabel 19. Potensi Panas Bumi Indonesia (MWe)
Sumber
Propinsi
Daya
Cadangan Total
Sumatera
7,983.0
5,837.0
13,820.0
Jawa
3,953.5
5,300.0
9,253.5
Bali Nusa Tenggara
602.0
885.0
1,487.0
Sulawesi
1,050.0
896.0
1,946.0
Maluku dan Irian
442.0
142.0
584.0
Kalimantan
50.0
50.0
Total
14,080.5
13,060.0
27,140.5
Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2004
Potensi energi panas bumi (geothermal) Indonesia yang merupakan terbesar di dunia
secara total mengandung kekuatan untuk menghasilkan tenaga listrik sebesar ekivalen
5
1 ton batubara setara dengan 4,375 barel minyak mentah
Bagian IV.33 – 52
Draft 12 Desember 2004
dengan 27.140,5 MWe atau 27,14 GWe (Giga Watt Equivalen) terdiri dari 14.080 MWe
sumber daya dan 13.060 MWe cadangan6). Propinsi Jawa Barat memiliki potensi terbesar
panas bumi dengan total sebesar 5.626 MWe. Sumatera Utara merupakan propinsi kedua
penghasil panas bumi dengan total potensi panas bumi sebesar 3.626 MWe. Pemanfaatan
panas bumi sebagai energi listrik membutuhkan investasi yang besar dan lokasinya
biasanya jauh dari jalur transmisi, maka pemanfaatan panas bumi sejauh ini masih terbatas.
Energi primer lain yang cukup potensial di Indonesia dan termasuk enegi yang terbarukan
(renewable energy) adalah Tenaga Air (Mikrohidro) yang biasanya didapat dengan
memanfaatkan aliran sungai dengan debit yang memadai untuk dijadikan pembangkit
listrik tenaga air (PLTA). Potensi energi mikrohidro dengan besaran tidak kurang dari 20
kVA dengan total 459,91 MWe, termasuk sekitar 258 MWe yang potensial dipergunakan
bagi sistem irigasi teknis. Potensi terbesar tenaga air untuk irigasi teknis ini berada di
Kalimantan Barat dengan cadangan sekitar ekivalen 233,7 MWe.
Potensi energi terbarukan lainnya adalah tenaga matahari (solar), energi angin,
biomasa, biogas, dan tanah gambut (peat soil). Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai
ketersediaan energi solar yang cukup potensial. Pengukuran potensi tenaga solar yang
dilakukan selama 10 tahun belakangan ini oleh beberapa lembaga pemerintah terkait di
beberapa daerah di Indonesia memberikan angka rata-rata radiasi harian sinar matahari
yang berpotensi membangkitkan listrik yang bervariasi dari 4,10 sampai 5,75 kWh per
meter persegi. Energi surya ini tersedia diseluruh wilayah Indonesia yang dapat
dimanfaatkan sepanjang tahun. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada
dua teknologi yang sudah diterapkan yaitu teknologi energi surya termal dan energi surya
fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya),
pengering hasil pertanian dan perikanan, serta pemanas air. Energi surya fotovoltaik telah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, pompa air, televisi,
telekomunikasi dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total 5 MW.
Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk Solar Home System sudah mencapai
tahap komersial. Sementara itu pengukuran terhadap kekuatan angin pada ketinggian 24
meter diatas tanah di beberapa daerah menunjukkan kecepatan angin rata-rata yang
bervariasi dari 2,39 meter per detik sampai 5,57 meter per detik. Kecepatan angin
berpotensi menggerakkan turbin pembangkit listrik, namun kecepatan angin berapa yang
potensial sangat tergantung kepada teknologi dari pembangkitnya.
Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang cukup
besar, terdiri dari solid bio mass, gas mass, dan liquid biomass. Sumber biomasa terbesar berasal
dari sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan, dan diperkirakan potensi seluruh energi
biomasa setara dengan 50 GW. Limbah kayu dari sektor kehutanan merupakan potensi
terbesar energi biomasa. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama digunakan.
Melalui proses pembakaran langsung dan teknologi konversi lainnya seperti pirolisa dan
gasifikasi, maka biomasa dapat diubah menjadi energi panas, mekanik dan listrik. Energi
yang dihasilkan telah digunakan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, penggerak
mesin penggilingan padi, pengering hasil pertanian dan industri kayu, serta pembangkit
listrik pada industri kayu dan gula.
Selain biomasa yang berasal dari sektor pertanian dan kehutanan, terdapat pula potensi
energi terbarukan biogas yang berasal dari limbah sektor peternakan dengan besaran
Cadangan merupakan perjumlahan dari cadangan yang sudah terbukti (proven), probable, dan possible,
sedangkan Sumber Daya merupakan cadangan yang bersifat hipotetis dan spekulatif.
6
Bagian IV.33 – 53
Draft 12 Desember 2004
sekitar 684,8 MW. Pulau Jawa menyimpan potensi terbesar cadangan energi biomasa dan
biogas ini. Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh samudera besar, potensi energi
gelombang dan pasang laut secara umum cukup besar walaupun masih memerlukan
penelitian secara lebih mendalam terhadap kelayakan ekonomi dan teknologinya. Energi
yang dapat dimanfaatkan dari samudera terdiri atas energi gelombang, energi pasang surut,
dan energi yang berasal dari perbedaan suhu kedalaman dengan permukaan laut (OTEC,
Ocean Thermal Energy Conversion). Energi yang terkandung dalam gelombang cukup besar,
yaitu rata-rata pada garis khatulistiwa dengan gelombang besarnya sekitar 20-70 kW per
meter. Dengan kata lain, pantai sepanjang 1 kilometer secara teoritis dapat menerima daya
sekitar 20-70 MW. Jika daya tersebut dikonversikan menjadi listrik dengan efisiensi 50
persen maka akan dihasilkan listrik sebesar 10-35 MW.
Tanah gambut di Indonesia tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Gambut adalah bentuk energi lain yang sangat potensial di Indonesia yang merupakan
suatu campuran heterogen zat-zat organik dan mineral organik yang sebagian telah
membusuk dan terkumpul dalam lingkungan yang mengandung banyak air tawar atau
campuran dengan air asin. Dengan adanya lingkungan yang jenuh air, zat-zat organik yang
terkumpul dapat membusuk secara biologis namun unsur karbonnya tersimpan berupa
gas. Ciri-ciri gambut tergantung pada jenis tumbuhan asalnya dan pada tingkat
pembusukan (dekomposisi) secara biologis. Semakin tinggi tingkat dekomposisinya,
kandungan karbonnya semakin tinggi pula. Potensi gambut di Indonesia diperkirakan
sebesar 97,93 triliun MJ7. Potensi paling besar terdapat di Riau (39,1 triliun MJ),
Kalimantan Barat (16,2 triliun MJ) dan Kalimantan Tengah (12,2 triliun MJ). Daerahdaerah lain yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan Sulawesi masing-masing mempunyai potensi kurang dari 7 triliun
MJ.
Energi terbarukan masa depan termasuk pengembangan Sel Bahan Bakar (SBB) yang
merupakan suatu teknologi konversi energi langsung yang berlangsung secara proses
elektro-kimia. Sumber energi utama untuk konversi SBB pada dasarnya berupa bahan
bakar berbasis hidrogen baik berupa hidrogen murni atau bahan bakar gas lainnya, seperti
biogas, methanol, gas alam, biomas producer gas (gasifier) dan gas batubara, yang diperkaya
dengan hidrogen melalui suatu unit reformer. Untuk jangka panjang bahan bakar hidrogen
dapat diperoleh dari elektrolisa air menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya,
OTEC, atau energi angin. Dengan demikian potensi sumber energi untuk operasional
SBB cukup bervariasi dan besar.
Tabel 20. Potensi Energi Tenaga Air (Mikrohidro), Mwe
Sumatera Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Maluku Papua
101,53
6,47
244,25
75,19
2,34
9,73
Sumber: Indonesia Energy Outlook & Statistics, PEUI, 2002
E.
Bali & NT
20,40
Indonesia
459,91
PERMASALAHAN UTAMA
Persoalan utama pembangunan energi di Indonesia adalah tidak sesuainya antara
suplai dan permintaan energi untuk konsumsi dalam negeri. Walaupun tahun 2000
produksi energi di Indonesia sebesar 7,64 Quadrillion BTU, namun sebahagian besar
7
1 MJ atau 1 juta Joule (J) setara dengan 0,28 kWh atau 975 BTU
Bagian IV.33 – 54
Draft 12 Desember 2004
diekspor ke luar negeri seperi minyak mentah dan gas alam, sehingga Indonesia masih
mengimpor BBM dari luar negeri.
Masalah lain yang dihadapi adalah belum bakunya sistem penetapan harga energi yang
belum mencerminkan nilai ekonominya sehingga mendorong penggunaan energi secara
maksimal dan tidak mengembangkan prakarsa masyarakat untuk melakukan penghematan
energi.
Masih rendahnya tingkat diversifikasi energi juga merupakan masalah. Hal ini
mengakibatkan ketergantungan terhadap BBM masih tinggi. Pembangunan dan pangsa
pengguna energi selama ini masih bertumpu kepada pengguna energi tidak terbarukan
seperti minyak bumi. Sementara cadangan minyak bumi semakin menipis.
Masalah lainnya adalah belum efisiennya pemanfaatan energi oleh konsumen rumah
tangga, indsutri dan transportasi. Konsumen masih belum sadar untuk menggunakan
energi sehemat mungkin. Hal ini tercermin dari perilaku pemilihan jenis dan daya lampu
serta tingkat efisiensi mesin.
Beberapa permasalahan lain diluar permasalahan utama di atas antara lain meliputi:
struktur harga, pajak dan subisdi untuk minyak telah memperlambat kebijakan diversifikasi
energi, sikap menunggu pelaku bisnis masih tentang kebijakan pemerintah yang lebih
kondusif untuk manajemen bisnis minyak disisi hilir; ketidakpastian regulasi antara
pemerintah pusat dan daerah, kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil; dan
kemampuan kilang minyak dalam negeri yang masih terbatas.
F.
TANTANGAN
Tantangan yang paling dekat untuk dihadapi adalah APEC 2020 khusus negara
berkembang yang memerlukan kesiapan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk
menghadapinya.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya energi
fosil. Minyak bumi merupakan sumber energi utama di dalam negeri. Di samping itu,
minyak bumi juga merupakan komoditas ekspor penting yang menghasilkan devisa cukup
besar. Untuk masa yang akan datang masih tetap penting sebagai sumber utama energi.
Walaupun pangsa minyak bumi sebagai sumber daya energi di dalam negeri berhasil
diturunkan, volume pemakaiannya masih bertambah dari tahun ke tahun.
Belum optimalnya pemanfaatan sumber energi terbarukan juga merupakan tantangan
yang tidak mudah. Hingga saat ini lebih dari 50 persen energi yang dikomsumsi rakyat
berasal dari minyak bumi, dan pemanfaatan sumber energi alternatif seperrti gas bumi,
batu bara, dan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, energi surya,
energi angin, dan biomassa, perlu ditingkatkan. Minyak bumi masih banyak dipergunakan
masyarakat karena selain relatif mudah diperoleh, relatif murah, dapat dipergunakan untuk
berbagai kebutuhan dan masih ditemukan cara yang benar-benar efektif untuk
menggantikannya. Energi panas bumi, walaupun bersih lingkungan, ketersediaannya relatif
jauh dari penduduk dan sentra industri, sehingga membutuhkan biaya yang relatif mahal.
Bagian IV.33 – 55
Draft 12 Desember 2004
Pembangunan energi masih menghadapi tantangan dalam kemampuan penguasaan
teknologi dan rekayasa. Disamping itu, kurangnya tenaga terdidik dan terampil serta
terbatasnya sarana untuk pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia juga
merupakan tantangan. Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang
semakin tinggi juga menyebabkan semakin ketatnya persayaratan pemilihan jenis bahan
bakar dan teknologi yang digunakan. Sejalan dengan itu, pembangunan sarana penyediaan
energi menghadapi masalah dengan daya dukung yang tidak seimbang seperti di Pulau
Jawa.
G.
KENDALA
Kondisi geografis yang terdiri atas kepulauan dan luasnya wilayah nusantara
merupakan kendala dalam penyediaan energi maupun penyaluran serta transportasinya
secara efisien, andal dan memenuhi skala produksi yang ekonomis.
Industri energi bersifat padat modal, memerlukan teknologi tinggi serta beresiko
tinggi. Untuk itu pengembengan sektor energi memerlukan pendanaan yang besar. Dalam
situasi saat ini, kemampuan pemerintah untuk melakukan pendanaan bagi sektor energi
sangat terbatas.
Partisipasi investasi swasta masih terbatas, mengingat iklim investasi yang kondusif
masih sulit diwujudkan dengan situasi peraturan dan perundang-undangan serta
kebijaksanaan harga energi yang ada pada saat ini.
Di samping itu pembangunan yang makin meningkat dan bertambahnya jumlah
penduduk serta sebaran cadangan energi yang tidak merata akan dihadapkan pada kondisi
sumber daya yang makin terbatas, khususnya sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
Kendala lain yang timbul dalam pengolahan energi adalah konflik penggunaan lahan.
Sebagai contoh adalah belum sinkronnya peraturan pemerintah tentang Hutan Lindung
dengan kebijakan untuk mengembangkan sumber energi panas bumi.
Kendala lainnya adalah meningkatnya penggunaan energi mengakibatkan
memburuknya kualitas udara terutama di daerah perkotaan dan memberikan dampak
lainnya seperti pemanasan suhu bumi. Pembuangan limbah industri dari hasil pembakaran
dan pengangkutan bahan bakar di laut dan sungai yang dapat menyebabkan pencemaran
air. Peningkatan produksi dan konsumsi energi di masa mendatang dikhawatirkan akan
makin memperburuk keadaan.
3.1.2 SASARAN PEMBANGUNAN ENERGI
Sesuai dengan rencana jangka menengah sampai dengan tahun 2010, dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen per tahun, maka permintaan energi total
diperkirakan naik sebesar 7,1 persen pertahunnya. Namun dengan adanya kebijakan
penghematan dan penganekaragaman energi baik infratruktur yang sudah ada melalui
rehabilitasi maupun yang akan dibangun diharapkan pertumbuhan permintaan energi
dapat ditekan menjadi di bawah 6 persen. Selain itu sasaran akhir pembangunan energi
adalah harga jual energi yang mencerminkan nilai keekonomiannya agar beban pemerintah
Bagian IV.33 – 56
Draft 12 Desember 2004
untuk mensubsidi BBM semakin berkurang pada lima tahun mendatang secara bertahap
dan sistematis serta tetap memperhatikan subsidi langsung kepada masyarakat yang kurang
mampu.
A.
PROYEKSI ENERGI
Seiring dengan masih belum pulihnya perekonomian nasional, maka tidaklah mudah
memperkirakan apa yang akan terjadi di masa datang. Begitu pula dengan perkiraan
perkembangan sektor energi.
Tabel 21. Supply dan Demand Energi (Juta SBM)
Supply
Demand
2005
2010
2005
2010
Energi Primer
Minyak Bumi
450
500
Gas Bumi
250
320
Batu Bara
120
150
EBT
190
310
Energi Final
BBM
325
400
Gas Bumi
250
300
Batu Bara
190
200
Listrik
100
170
Konsumsi persektor
Trasportasi
200
250
Rumah Tangga dan Komersial
290
320
Industri
210
300
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – UI, 2003
Menggunakan hasil kajian dari Bappenas dan Pusat Energi Universitas Indonesia pada
Kajian Energy Mix tahun 2003 dengan mempergunakan model dari perangkat lunak
INOSYD diperoleh gambaran supply dan demand untuk energi primer, energi final dan
konsumsi persektor.
TABEL 22. BIAYA INVESTASI INFRASTRUKTUR ENERGI TOTAL NASIONAL
JENIS ENEGI JENIS INFRASTRUKTUR
INVESTASI YANG
DIPERLUKAN
SAMPAI 2010(MILIAR USD)
MINYAK BUMI KILANG
9,72
GAS BUMI
6,53
BATUBARA
LISTRIK
MINYAK, TANGKI
TIMBUN
KILANG LNG, JARINGAN
PIPA
TRANSMISI,
LN
RECEIVING TERMINAL
PELABUHAN
BATUBARA,
REL KERETA API BATUBARA
PEMBANGKIT,
JARINGAN
TRANSMISI
TOTAL
0,47
38,11
54,82
Berdasarkan hasil proyeksi tersebut hingga tahun 2010 biaya investasi bidang energi
Indonesia untuk infrastruktur minyak bumi, gas bumi, batubara dan listrik diperlukan
dana sebesar USD 54,82 miliar.
Bagian IV.33 – 57
Draft 12 Desember 2004
B.
STRATEGI PEMBANGUNAN ENERGI BERKELANJUTAN
Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi untuk masa datang dalam jumlah yang
memadai dan dalam upaya menyediakan akses berbagai macam jenis energi untuk segala
lapisan masyarakat, maka perlu diciptakan suatu sistem baru penyediaan dan transportasi
energi yang lebih kompetitif dan mencerminkan harga pasar. Hal ini dapat ditempuh
dengan menyiapkan sarana dan prasarana lintas sektor, menghilangkan monopoli baik
disisi bisnis hulu maupun disisi bisnis hilir untuk sektor migas, maupun disisi pembangkit,
transmisi dan distribusi di sektor energi baru dan terbarukan lainnya.
Dengan adanya pasar energi (energy market) akan diperoleh beberapa keuntungan antara
lain; (a) subsidi BBM akan dinikmati oleh masyarakat ekonomi lemah, karena harga jual
telah ditentukan oleh mekanisme pasar; (b) peranserta sektor swasta baik dari PMDN
maupun PMA ataupun foreign direct investment akan semakin terbuka mengingat bisnis di
sektor energi semakin kompetitif dan memberikan keuntungan kepada semua stake holders;
(c) konsep energi mix semakin nyata dalam pelaksanaannya karena di pasar akan tersedia
berbagai macam jenis energi, baik dari sumber renewable energi maupun non-renewable energi;
(d) terciptanya kompetisi disegala lini bisnis energi baik dari sisi supplier, transporter dan
konsumer; (e) masyarakat pengguna energi secara alamiah akan menyadari pentingnya
penghematan penggunaan energi.
Untuk menciptakan pasar energi di Indonesia, pemerintah telah membuka kesempatan
yang seluas-luasnya kepada investor swasta yang ingin berkecimpung dalam pembangunan
sector energi, dengan menerbitkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22
Tahun 2001. Tujuan utama pemberlakuan undang-undang tersebut yaitu dalam rangka
untuk dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal,
transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta
mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Reformasi yang cukup
menonjol yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, usaha kecil, maupun badan usaha
swasta.
Guna memisahkan peran regulator, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 2002 telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minydak dan
Gas Bumi atau lebih dikenal dengan BP Migas. Sementara itu di sektor hilir pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 juga telah membentuk Badan
Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha
Pengangkutan Gas melalui Pipa atau lebih dikenal dengan Badan Pengatur.
Langkah ini juga telah dilanjutkan dengan mereposisi Pertamina menjadi Perseroan
Terbatas (PT) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003. Dengan demikian
diharapakan tidak terjadi lagi monopoli dalam pengusahaan, penyediaan dan transportasi
migas, karena badan usaha atau bentuk usaha tetap, yang melakukan kegiatan usaha hulu
dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.
Pasar energi memerlukan prasarana yang terintegrasi. Sebagai contoh pasar energi gas
alam untuk kepentingan industri, pupuk, pembangkit listrik akan lebih berkembang di
masa datang apabila didukung oleh jaringan transmisi gas yang terintegrasi, yang
menghubungkan antara lading gas dengan konsumen, dan yang menghubungkan antara
Bagian IV.33 – 58
Draft 12 Desember 2004
ladang gas yang satu dengan ladang gas yang lainnya. Selain itu pasar energi juga
memerlukan perangkat hukum yang menjamin keberlangsungan mekanisme pasar energi
itu sendiri, meliputi hak dan kewajiban konsumen dan produsen, transmission code,
distribution code, dan independen regulator.
Di samping memperhatikan kecenderungan (trend) pasar energi baik internasional dan
nasional, perencanaan pembangunan energi pasca krisis juga mau tidak mau harus
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi politik nasional dan geopolitik dunia. Dalam
penyelesaian masalah infrastruktur energi untuk pemerataan akses terhadap energi, peran
pemerintah daerah sangat diperlukan. Selama ini perencanaan energi bersifat Top-Down
(dari pusat ke daerah). Dengan telah ditetapkannya perangkat undang-undang mengenai
otonomi daerah No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 maka daerah mempunyai kewenangan
dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan daerah (mekanisme bottom-up). Penerapan
mekanisme Top-Down hanya untuk sarana sinkronisasi dan koordinasi perencanaan energi
antar daerah dan daerah dengan pusat.
Koordinasi perencanaan energi antar daerah dan pusat yang bertujuan untuk
terciptanya pembagian kemampuan dan keahlian di bidang energi, terpenuhinya skala
ekonomi teknologi energi dan terwujudnya harmonisasi kebijakan dan peraturan pada
tingkat daerah dan nasional tentulah harus terus menerus ditingkatkan. Pedoman
penyediaan jasa-jasa pelayanan infrastruktur, termasuk untuk sektor Energi, yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dikeluarkan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
3.1.3 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ENERGI
Untuk mengatasi permasalahan di bidang pembangunan energi dirumuskan kebjakan
utama energi yaitu: (a) Intensifikasi pencarian sumber energi, (b) Penentuan harga energi,
(c) Diversifikasi energi, (d) Konservasi energi, (e) Energi Mix dan (f) Pengendalian
lingkungan hidup.
A.
KEBIJAKAN UTAMA
A.1
INTENSIFIKASI PENCARIAN SUMBER ENERGI
Mendorong secara lebih aktif kegiatan pencarian cadangan energi baru secara intensif
dan berkesinambungan terutama minyak bumi, gas dan batu bara dengan menyisihkan dan
pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan survei cadangan baru, seperti pola dana
reboasasi pada sektor kehutanan. Dana cadangan ini dapat diterapkan pada Kontraktor
Production Sharing (KPS) yang beroperasi di Indonesia. Upaya pencarian sumber energi
terutama dilakukan di daerah-daerah yang belum pernah disurvei, sedangkan di daerah
yang sudah terindikasi diperlukan upaya peningkatan status cadangan menjadi lebih pasti.
A.2
PENENTUAN HARGA ENERGI
Harga energi perlu diperhitungkan dengan harga produksi dan mengikuti harga pasar,
namun harus memperhitungkan kondisi ekonomi masyarakat. Pengguna energi dapat
memilih jenis energi primer yang akan digunakan sesuai dengan nilai keekonomiannya
Bagian IV.33 – 59
Draft 12 Desember 2004
untuk mendapatkan biaya produksi yang paling rendah sehingga akan meningkatkan
efisiensinya.
Harga energi ditetapkan dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu optimasi
pemanfaatan sumber daya energi dan optimasi pemakaian energi, bagi hasil untuk
explorasi dan pemanfaatannya, pajak dan meningkatkan daya saing ekonomi, melindungi
konsumen dan asas pemerataan. Penentuan harga energi seyogyanya disesuaikan dengan
kondisi dan situasi yang ada untuk setiap jenis energi, daerah dan wilayah konsumsi yang
akan mempengaruhi transportasi. Karena itu perlu diteliti lebih lanjut kemungkinan
penentuan harga berdasarkan dedicated price, menurut harga pasar dan harga yang
dikendalikan pemerintah (regulated price).
A.3
DIVERSIFIKASI ENERGI
Diversifikasi energi diarahkan untuk penganekaragaman pemanfaatan energi, baik
yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, sehingga dicapai optimasi penyediaan
energi regional dan nasional untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Agenda diversifikasi energi yang perlu terus dilanjutkan adalah mengurangi pangsa
penggunaan minyak bumi dalam komposisi penggunaan energi (energy mix) Indonesia. Hal
ini dilakukan, antara lain, dengan mengembangkan infrastruktur untuk memproduksi dan
menyalurkan energi (bahan bakar) fossil selain minyak bumi, yaitu batubara dan gas alam.
Batu bara dan gas alam tersedia dalam jumlah yang memadai di berbagai wilayah
Indonesia dan secara ekonomi lebih murah dibandingkan minyak bumi, namun
pembangunan infrastruktur untuk menyalurkan batubara dan gas alam tersebut ke lokasilokasi konsumen di dalam negeri membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sehingga akan
lebih efisien bila memanfaatkan batu bara dan gas alam dengan lokasi industri yang
terdekat untuk memanfaatkannya yang akan mengurangi biaya transportasi.
Agenda lain diversikasi energi adalah memasyarakatkan penggunaan bahan bakar
gas untuk transportasi, meningkatkan pangsa pemakaian sumber-sumber energi
terbarukan (renewables) seperti panas bumi, biomasa, pembangkit mikro hidro, tenaga
surya, tenaga angin, dan sebagainya. Pemakaian energi terbarukan didorong khususnya
untuk pemakaian setempat.
A.4
KONSERVASI ENERGI
Upaya konservasi diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan, mulai dari penyediaan
sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir guna menjamin kepentingan generasi
mendatang. Upaya konservasi dilaksanakan dalam dua sisi, yaitu sisi sumberdaya (sisi hulu)
dan sisi pemanfaatan akhir (sisi hilir). Konservasi di sisi hulu adalah upaya mengkonservasi
sumberdaya energi yang pemanfaatannya berdasarkan pada pertimbangan nilai tambah
dan kepentingan generasi mendatang agar sumberdaya energi dapat dimanfaatkan untuk
jangka waktu selama mungkin, sedangkan konservasi disisi hilir dilaksanakan melalui
peningkatan efisiensi pemanfaatan energi akhir di semua bidang. Program ini perlu
didukung dengan kebijaksanaan tata ruang perkotaan, transportasi, industri dan program
lainnya. Kebijaksanaan tata ruang dan transportasi diperlukan untuk meningkatkan
mobilitas penyaluran energi.
Bagian IV.33 – 60
Draft 12 Desember 2004
A.5
ENERGI MIX
Kebijakan energy mix dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi penggunaan energi
yang optimum pada suatu kurun waktu tertentu bagi seluruh wilayah Indonesia.
Komposisi pemanfaatan energi yang optimum tersebut coba diperoleh dengan
mempertimbangkan ketersediaan sumber-sumber energi di Indonesia yang beraneka,
profil permintaan energi yang bervariasi serta biaya-biaya yang dibutuhkan untuk
menyalurkan energi dari lokasi-lokasi tempatnya tersedia ke lokasi-lokasi permintaan.
Kebijakan energy mix juga akan mengidentifikasikan kebutuhan pengembangan suatu
jenis energi tertentu maupun kebutuhan pengembangan infrastruktur energi tertentu yang
harus dilakukan. Energy mix harus memenuhi kriteria security of supply, ramah lingkugan,
pemberdayaan partisipasi masyarakat setempat dan efisiensi ekonomi. Dengan kebijakan
ini diharapkan dapat mengurangi laju pengurasan sumber daya energi tak terbarukan,
khususnya minyak bumi dan gas bumi, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan
sehingga akan meningkatkan efisiensi.
A.6
PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP
Aspek-aspek lingkungan harus diperhatikan dalam semua tahapan pembangunan
energi, yaitu mulai dari proses eksplorasi dan eksploatasi sumberdaya energi perlu diikuti
dengan usaha reklamasi dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi dan ekologis.
Sedangkan dalam tahap pemakaian energi akhir dilakukan melalui pemanfaatan energi
bersih lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih lingkungan.
Pemanfaatan energi bersih, yaitu dengan memberi prioritas bagi pemanfaatan energi
yang memiliki produksi pencemar yang paling rendah namun layak secara teknis dan
ekonomis, seperti penggunaan bensin yang bebas timbal (Pb) ditingkatkan serta
pemanfaatan teknologi energi bersih diberbagai sektor juga ditingkatkan. Pada sektor
transportasi secara bertahap diarahkan mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor
seperti CO, HO, dan Nox untuk kendaraan bermotor yang berbahan bakar solar. Di
sector pembangkit listrik dengan memakai bahan bakar batubara dilakukan melalui
penerapan clean coal technology dan pengurangan emisi gas buang. Di sektor industri
kebijaksanaannya diarahkan untuk mengurangi dan mengendalikan emisi gas buang.
Indonesia dapat secara lebih aktif menawarkan konsep pengembangan energi
terbarukan kepada masyarakat internasional sebagai bagian dari penerapan tiga fleksibilitas
(JI, CDM, dan emission trading) dalam upaya pengurangan emisi CO yang ditawarkan
oleh Kyoto Protocol.
Pencemaran dan polusi dapat dianggap tindak kejahatan dan kepedulian terhadap
lingkungan hidup jadi indikator moral. Dan agar langit bumi kita tetap biru, maka gas
bumi menjadi salah satu pilihan pemakaian bahan bakar Keuntungan menggunakan gas
bumi adalah tidak menyebabkan polusi, lebih bersih, mudah dideteksi bila terjadi
kebocoran.
Untuk mengatasi permasalahan di bidang pembangunan energi dirumuskan
kebjaksanaan utama energi yaitu: (a) intensifikasi pencarian sumber energi; (b) penentuan
Bagian IV.33 – 61
Draft 12 Desember 2004
harga energi dan kompetisi; (c) diversifikasi pemanfaatan energi; (d) konservasi atau
penghematan energi, serta (e) pengendalian lingkungan hidup.
B. KEBIJAKAN PENDUKUNG
Di samping kebijaksanaan utama juga disiapkan beberapa kebijaksanaan pendukung
yaitu:
1) Kebijaksanaan di bidang investasi
2) Kebijakan Penggunaan produksi dalam negeri
3) Kebijaksanaan standardisasi dan sertifikasi
4) Peningkatan sumber daya manusia
5) Peningkatan sistem informasi manajemen energi
6) Kebijaksanaan penelitian dan pengembangan
7) Kebijaksanaan kelembagaan
8) Kebijaksanaan pengaturan
3.1.4 PROGRAM PEMBANGUNAN ENERGI
1. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS JASA PELAYANAN SARANA
ENERGI
DAN
PRASARANA
Program ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas jasa pelayanan sarana dan
prasarana energi agar aksesibilitas masyarakat untuk mengkonsumsi segala produk energi
semakin mudah, efisien dan harga yang terjangkau serta didukung oleh kualitas dan
kuantitas yang memadai sesuai standar yang berlaku.
Sasaran yang hendak dicapai yaitu mengurangi biaya operasi melalui peningkatan
kapasitas pembangkit listrik non BBM dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak.
Begitu pula jaringan transmisi dan distribusi harus diperluas untuk mengoptimalkan
penyaluran energi kepada konsumen yang menghubungkan antar daerah. Untuk lebih
menjamin pasokan energi, peningkatan penggunaan gas, panas bumi, batubara kalori
rendah, briket batubara, dan Upgraded Brown Coal (UBC) diharapkan dapat menggantikan
peranan minyak tanah, terjadinya kompetisi terhadap jenis energi, dan jaminan pasokan
energi.
Dalam rangka peningkatan pemanfaatan energi agar lebih efisien, maka di sisi hilir
diperlukan perluasan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi dengan
memberikan paket insentif pajak yang disesuaikan dengan Master Plan Asean Gas Grid,
pengembangan transportasi batu bara, pengkajian pemanfaatan batu bara berkalori rendah
serta implementasi briket dan UBC untuk memenuhi peningkatan kebutuhan industri
padat energi termasuk pembangkit listrik dan rumah tangga. Sedangkan disisi hulu,
diperlukan peningkatan kapasitas kilang minyak bumi untuk mengolah produk minyak
yang efisien dan harga yang terjangkau konsumen dalam negeri. Secara keseluruhan perlu
antisipasi peningkatan pemakaian BBM selama 20 tahun terakhir yang meningkat dengan
laju pertumbuhan 5-6 persen pertahun dengan pemanfaatan energi alternatif yang
cadangannya berlimpah dengan optimal. Disamping itu perlunya kegiatan ”langit biru”
yang dilakukan dengan mengurangi/menghapus kadar timbal untuk mengurangi
pencemaran udara yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pemanfaatan gas bumi juga akan terus ditingkatkan dalam rangka mengurangi
Bagian IV.33 – 62
Draft 12 Desember 2004
ketergantungan akan BBM sebagai sumber energi perekonomian nasional. Salah satu
langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan melanjutkan pembangunan
transmisi gas bumi dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat. Begitu pula saat ini sedang
dilakukan studi jaringan transmisi gas dari Kalimantan Timur ke Jawa Tengah yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gas bumi di pulai Jawa yang mencapai 13 persen
per tahun dan akan mencapai 1,8 Miliar Cubic Feet pada tahun 2025, terdiri dari 55 persen
untuk kebutuhan pembangkit listrik, 25 persen untuk gas kota dan 20 persen untuk
keperluan industri.
2. PROGRAM PENYEMPURNAAN RESTRUKTURISASI
PRASARANA ENERGI
DAN
REFORMASI SARANA
DAN
Program ini secara bertahap bertujuan untuk menciptakan industri energi yang
mandiri, efisien, handal dan berdaya saing tinggi di pasar energi.
Sasaran pada program ini yaitu meningkatkan efisiensi, open access untuk menciptakan
investasi yang kondusif di bidang energi. Langkah-langkah dalam pelaksanaan
restrukturisasi meliputi: penyehatan industri yang ada, Privatisasi, mengatur pemain
dengan unbundling dan pendatang baru serta kompetisi. Selain itu melanjutkan program
restrukturisasi Undang-Undang Minyak dan Gas, serta panas bumi. Diharapkan akan
tercipta kompetisi yang sehat di industri energi pada sektor hulu maupun sektor hilir.
Kegiatan pokok dalam program ini adalah melakukan berbagai kajian untuk
menentukan skema/struktur industri energi dalam rangka mendorong pengembangan
sektor ekonomi. Untuk meningkatkan investasi di bidang migas perlunya peninjauan
kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Pemberlakuan PPN bagi
Kontraktor dalam Tahap Eksplorasi, dan pemberlakuan bea masuk terhadap barangbarang impor migas. Pembenahan peraturan perundang-undangan tersebut untuk
menjamin keamanan bagi investor
3. PROGRAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PEMERINTAH DAERAH, KOPERASI DAN
MASYARAKAT TERHADAP JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA ENERGI
Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah
daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih terlibat dalam pengelolaan
usaha energi. Khusus untuk Pemda, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan
keputusan Menteri Keuangan No.35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika
memungkinkan untuk pelaku lainnya.
Sasaran program ini adalah peningkatan kemampuan investasi pemerintah daerah,
swasta, koperasi dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan sarana dan
prasarana energi untuk mengurangi beban pemerintah.
Kegiatan pokok dalam progarm ini adalah pemerintah daerah, swasta, koperasi dan
masyarakat (pelaku) dapat membangun infrastruktur dan penyaluran energi sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pelaku juga dapat melakukan bisnis di hulu untuk gas dan
batubara termasuk briket dan UBC. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik perlu upaya
pemisahan yang jelas antara wilayah kompetisi dan non kompetisi berikut kriteria-kriteria
pembatasan untuk wilayah dimaksud.
Bagian IV.33 – 63
Draft 12 Desember 2004
4. PROGRAM PENGUASAAN
ENERGI
DAN
PENGEMBANGAN APLIKASI
SERTA
TEKNOLOGI
Program ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada dunia bisnis swasta, BUMN
dan Koperasi serta masyarakat untuk berpartisipasi sebagai penyedia, pengelola dan
pembeli energi, khususnya dalam penguasaan teknologi, manajemen, serta pemasaran
produk energi. Sasaran program ini meliputi penguasaan barang energi produksi dalam
negeri serta peningkatan kemampuan dalam mengelola dan memasarkan produk energi
yang berkualitas.
Kegiatan yang akan dilakukan meliputi pengembangan teknologi tepat guna yang
diarahkan pada barang-barang mass production. Begitu pula mendorong industri dalam
negeri melalui pemaketan pelelangan disisi hulu untuk menjamin kelangsungan industri
dalam negeri, melalui prioritas penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu perlu
dilakukan strandarisasi dan pengawasan kualitas produksi dalam negeri.
Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan batubara maka diperlukan kajian
pengembangan teknologi Coal Bed Methane (CBM). Untuk dibidang migas, diperlukan
kajian yang meliputi penelitian cadangan migas baru dan kajian teknologi pengolah limbah
migas.
Dari selutuh program pembangunan yang ada pembangunan infrastruktur energi
terdiri atas rencana pembangunan jaringan pipa gas, skenario pembangunan pelabuhan
batubara, skenario penambahan dan pembangunan jalur rel ganda di Sumatera, skenario
pembangunan jalur rel kereta api di Kalimantan, skenario penambahan kapasitas
infrastruktur energi regional, dan wilayah panas bumi yang siap dikembangkan.
Kilang Minyak yang yang akan dibangun berkapasitas total 600 ribu Bpd di Sumbawa,
Sabang, Tuban dan Situbundo
Tabel 23. Rencana Pembangunan Kilang Minyak
Lokasi
Kapasitas
Tahun Operasi
Ribu Bpd
Sumbawa
150
2005
Sabang
150
2005
Tuban
150
2010
Situbondo
150
2010
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas –
Universitas Indonesia, 2003
Bagian IV.33 – 64
Draft 12 Desember 2004
Jaringan pipa BBM perlu dibangun dipulau Jawa dengan panjang pipa 780 km
Lokasi
Tabel 24. Rencana Pembangunan Jaringan Pipa BBM
Jarak
Dia Pipa
Tahun Operasi
(Km)
Tuban – Semarang
Tuban – Surabaya
Surabaya – Situbondo
Situbondo – Banyuwangi
Situbondo – Jember
Surabaya – Malang
Malang – Lumajang
200
100
180
80
80
80
60
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
12” &12” & 12”
12” &12” & 12”
2005
2005
2005
2005
2010
2010
2010
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003
Pembangunan jaringan pipa gas di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi
sepanjang 3.116 km untuk dimanfaatkan oleh sektor industri dan ketenagalistrikan.
Tabel 25. Rencana Pembangunan Jaringan Pipa Gas
Lokasi
Jarak
(Km)
174
370
180
222
1100
100
390
200
300
Dia Pipa Cost (Juta US$)/Schedule
West Java Distribution
8 - 16 120/Studi 1999-2002
Pagar Dewa –Cilegon
36
460/Studi 1999-2002
Pagar Dewa-Grissik
28
180/Studi 1999 – 2002
Jambi – Lampung
4 – 8 50/Design 1999- 2002
East Kalimantan – Java
32
1100/2002-2005
Samarinda – Balikpapan
4 – 6 35/2003-3005
Gresik – Semarang
28
210/2004-2007
Sengkang – Ujung Pandang
16
80/Studi 2004-2007
East and Central Java
4 – 16 105/Studi 2004-2007
Distribution
Kondur - Minas
80
28
80/MOU Signed
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003
Tabel 26. Skenario Pembangunan Pelabuhan Batubara di Indonesia hingga 2010
Tambahan
Maximum
kapasitas
Tahun
Terminal
Operator
Lokasi
Vessel
handling
Operasi
(DWT)
(Juta Ton/Thn)
Kertapati
PTBA
SumSel
7.000
0.5
2005
Tarahan
PTBA
SumSbel
60.000
6
2010
Teluk Bayur
PTBA
Sumbar
40.000
2
2008
Governme
2005
Pulau Baai
nt
Bengkulu
35.000
1
Kaltim
2008
Tanjung Bara
Prima
Kaltim
200.000
4
Tanah merah
Kideco
Kaltim
20.000
3
2007
North Pulau Laut
Arutmin
Kalsel
150.000
5
2005
Balikpapan
PT DPP
Kaltim
60.000
2
2008
Indonesia Bulk Term.
IBT
Kalsel
70.000
5
2010
Tanjung Redep*
Berau
Kaltim
5.000
2
2008
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003
Bagian IV.33 – 65
Draft 12 Desember 2004
Pelabuhan Batubara yang akan dibangun di Sumatera dan Kalimantan dengan total
maximum vessel sebesar 647.000 DWT dan kapasitas handling sebesar 30,5 juta
ton/tahun ditujukan untuk memperlancar kegiatan ekspor batubara dan kebutuhan dalam
negeri.
Tabel 27. Skenario penambahan dan pembangunan
jalur rel ganda di Sumatera
Jarak
Tahun
No Jalur Kereta
(km) Operasi
1 Tanjung Enim-Muara Enim
40
2007
2 Tanjung Enim-Baturaja
80
2008
3 Muara Enim-Prabumulih
100
2010
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – UI, 2003
Jalur Rel ganda akan dibangun di Sumatera Selatan dengan panjang 220 km untuk
keperluan peningkatan volume pengangkutan batubara dari lokasi tambang ke pelabuhan.
Tabel 28. Skenario pembangunan jalur rel
kereta api di Kalimantan
Jarak
Tahun
No Jalur Kereta
(km)
Operasi
285
2008
1 Mangkapdie Line
120
2010
2 Senggata Line
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas –
UI, 2003
Jalur rel kereta api akan dibangun di Kalimantan sepanjang 405 km untuk keperluan
pengangkutan batubara.
Penambahan kapasitas infrastruktur energi secara regional berdasarkan jumlah
konsumen masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali disusul oleh Sumatera dan Kalimantan.
Bagian IV.33 – 66
Draft 12 Desember 2004
Tabel 29. Skenario Penambahan Kapasitas Infrastruktur Energi Regional
Minyak
 Kilang minyak (MBSD)
 Depot minyak (MMB)
 Pipa minyak (km)
Gas
 Kilang LNG (Jt Ton/Thn)
 Pipa Gas (km)
 LNG Rcving Term. (BCF)
Batubara
 Pelabuhan BB: (juta ton / thn)
 Rel Kereta (km):
Listrik
 Pembangkit Total (MW):
 Pembangkit Listrik Panas Bumi
(MW):
 Transmisi listrik (km):
Sumatera
Jawa dan
Bali
Kalimantan
Sulawesi,
Papua dan
lainnya
150
3.1
-
450
8.8
2340
1.2
-
3.0
-
852
270
864
7.5
864
9.5
21
220
405
200
5200
20
35600
785
1100
-
1900
70
3834
26502
795
1447
Sumber: Hasil Kajian Energi Mix, Bappenas – Universitas Indonesia, 2003
Panas Bumi dipergunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Wilayah yang siap
dikembangkan terutama di Sumatera dan Jawa dengan total 2.972 MW yang terdiri atas
sumber daya sebesar 1.055 MW dan cadangan sebesar 1.917 MW.
Tabel 30. Panas Bumi yang Siap dikembangkan (Mwe)
Sumber daya
Cadangan Total
Sabang (Iboh Jabai)
123
123
Seulawah
282
282
Rantau Dedap
225
225
Suoh Sekincau
0
G. Sekincau
100
130
230
Suoh Antatai
163
300
463
5
Gunung Rajabasa (Kalianda)
40
40
80
6
Kaldera D. Banten
0
Rawa Dano
115
115
Gunung Karang
170
170
7
Cisolok-Sukarame
0
Cisukarame
83
83
Cisolok
50
50
8
Tangkuban Perahu
100
90
190
9
Ngebel-Wilis
70
70
10
Ijen
92
185
277
11
Ungaran
50
52
102
12
Sorik Merapi
420
420
13
Telomoyo
92
92
Total
1055
1917
2972
Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, 2003
1
2
3
4
Bagian IV.33 – 67
Draft 12 Desember 2004
3.2 KETENAGALISTRIKAN
3.2.1 PERMASALAHAN KETENAGALISTRIKAN
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi pasti memerlukan dukungan
pasokan energi yang handal termasuk tenaga listrik. Dengan kata lain bidang
ketenagalistrikan memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan
investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat modal,
teknologi dan resiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan konstruksi yang
lama.
Sebelum krisis ekonomi terjadi, dalam kurun waktu 1969-1993 kapasitas pembangkit
tenaga listrik nasional meningkat tajam dari 542 MW menjadi 13.569 MW atau meningkat
lebih dari 24 kali lipat. Peningkatan kapasitas pembangkit yang sangat tinggi ini terutama
setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan. Hal ini tampak pada kurun waktu tahun 1984 hingga tahun 1993 terjadi
peningkatan kapasitas daya listrik nasional yang meningkat hampir 9.000 MW. Pada era
tersebut, khususnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996, investasi dalam
pembangunan fasilitas ketenagalistrikan meliputi pembangunan pembangkit dengan
kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepajang 6.350 km, gardu induk dengan
kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya. Berbagai kegiatan
pembangunan fasilitas ketenagalistrikan tersebut mampu mengimbangi perkembangan
kebutuhan tenaga listrik untuk sistem Jawa-Bali yang berkembang rata-rata 13 persen per
tahun antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1997.
Dengan demikian rasio elektrifikasi nasional pada tahun 1997 telah mencapai 53
persen. Perkembangan produksi dan daya terpasang dalam empat tahun sebelum masa
krisis juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi yaitu untuk sistem Jawa-Bali
masing-masing sebesar 43,1 persen dan 12,7 persen, sedangkan untuk sistem Luar JawaBali masing-masing sebesar 46,7 persen dan 31,4 persen.
Untuk listrik perdesaan pada periode yang sama telah meningkat dari 36.243 desa yang
telah memperoleh aliran listrik menjadi 45.941 desa. Pada umumnya pertambahan desa
yang memperoleh aliran listrik berada di kawasan timur Indonesia.
Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi mengakibatkan
roda pembangunan ketenagalistrikan dan penyediaan tenaga listrik menjadi sangat
terpuruk. Dalam masa krisis tersebut pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami
penurunan sebesar 0,5 persen pada tahun 1998, sekalipun meningkat lagi sejak tahun 1999
sampai saat ini yaitu rata-rata 10,5 persen untuk Jawa-Bali dan 8,5 persen untuk Luar
Jawa-Bali yang berarti lebih rendah dibandingkan masa sebelum krisis terjadi.
Pada kurun waktu tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 relatif tidak ada
pembangunan proyek pembangkit listrik yang baru dalam rangka penambahan kapasitas
daya tenaga listrik baik pada sistem Jamali maupun sistem Luar Jamali. Kondisi ini
diperparah oleh penundaan penyelesaian proyek-proyek pembangkit yang pada tahun
1997 tengah berjalan. Dengan kondisi demikian mengakibatkan sejak tahun 1997
Bagian IV.33 – 68
Draft 12 Desember 2004
khususnya tahun 2001 sampai 2004 relatif tidak ada penambahan daya yang masuk ke
sistem.
Kondisi sistem pembangkitan pada sistem Jamali sampai tahun 2003 memiliki
kapasitas terpasang sebesar 18.658 MW, dengan daya mampu sekitar 14.319 MW dan
beban puncak sebesar 14.187 MW. Ini berarti hanya memiliki cadangan (reserved margin)
mendekati 24 persen dan mendekati kondisi ideal reserved margin yang cukup handal yaitu 25
persen. Sedangkan kondisi sistem penyalurannya saat ini memiliki 379 gardu induk dengan
kapasitas 44.219 MVA, dengan jaringan transmisi yang ada sepanjang 18.203 km.
Pada sistem Luar Jamali kapasitas terpasang pembangkit yang dioperasikan PT. PLN
sebesar 5.573 MW, sedangkan daya mampu pembangkit hanya sebesar 4.000 MW (71
persen dari kapasitas terpasang). Kondisi ini disebabkan dominasi pembangkit oleh PLTD
yang sebesar 2.445 MW (44 persen dari seluruh pembangkit yang ada) dan sebesar 1.500
MW (62 persen) PLTD dimaksud telah berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan kapasitas
efektif dan beban puncak maka daerah-daerah pada sistem Luar Jamali telah mengalami
krisis listrik. Untuk menanggulangi keadaan ini, maka unit-unit usaha PT. PLN telah
melakukan sewa pembangkit dari pihak swasta atau partisipasi Pemerintah Daerah
(pemda) dengan total daya sekitar 400 MW.
Gambar 17. Neraca Kelistrikan Sistem Jamali
Neraca Kelistrikan
Jaw a-Madura-Bali (Jamali)
Gambar 18. Neraca Kelistrikan Sistem Luar Jamali
kapasitas
terpasang
Neraca Kelistrikan
Luar Jamali
Daya mampu
20000
Daya mampu
8000
6000
10000
5000
0
1996 1997 1998 2000 2002 2004
Kapasitas
terpasang yang
seharusnya
tersedia
Beban puncak
MW
15000
MW
kapasitas
terpasang
4000
2000
0
1996 1997 1998 2000 2002 2004
Kapasitas
terpasang yang
seharusnya
tersedia
Beban puncak
Berdasarkan rasio elektrifikasinya pada akhir tahun 2002 masih berkisar 54,8 persen.
Selain itu untuk listrik perdesaan sampai bulan Maret 2003, jumlah desa terlistriki berturutturut untuk Jawa sebesar 23.412 desa dari jumlah total 25.116 desa (93,2 persen)
sedangkan untuk Luar Jawa sebesar 28.594 desa dari jumlah total 41.098 desa (69,6
persen). Secara keseluruhan total desa terlistriki sekitar 78 persen, jadi masih terdapat 22
persen atau sebesar 14.208 desa yang belum terlistriki. Dengan demikian terlihat rasio
elektrifikasi desa terlistriki di luar Jawa masih rendah dibandingkan di Jawa.
Bagian IV.33 – 69
Draft 12 Desember 2004
Gambar 19. Rasio Elektrifikasi Beberapa Negara
ASEAN
Rasio Elektrifikasi Beberapa
Negara Asean
120
100
%
80
60
1994
2000
40
20
Si
ng
ap
ur
a
M
al
ay
si
a
Th
ai
la
nd
Ph
i li
pi
na
Vi
et
na
m
In
do
ne
si
a
Ka
m
bo
ja
M
ya
nm
ar
0
Kondisi rasio elektrifikasi Indonesia ini masih jauh tertinggal dibandingkan beberapa
negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina yang pada umumnya
telah mencapai lebih dari 75 persen, bahkan Singapura , Malaysia dan Thailand sudah
mencapai lebih dari 90 persen.
Rasio elektrifikasi Indonesia dalam kurun waktu tahun 1994-2000 mengalami
pertumbuhan sekitar 6,6 persen lebih per tahun. Namun dengan adanya krisis ekonomi
sejak tahun 1997 pertumbuhan rasio elektrifikasi nasional dalam kurun waktu 2000 sampai
akhir tahun 2003 hanya tumbuh rata-rata sekitar 0,4 persen per tahun dengan rasio
elektrifikasi pada tahun 2003 sebesar 53,9 persen. Berdasarkan perbandingannya dengan
Philipina dengan karakteristik geografis dan demografis negara yang serupa, perbandingan
densitas permintaan tenaga listrik Indonesia hanya sepertiganya, yaitu Indonesia 8,6 kW
per km2 sedangkan philipina telah mencapai 26,8 kW per km2.
Pembangunan listrik perdesaan merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang
pembangunan sosial ekonomi khususnya wilayah-wilayah yang belum berkembang. Saat
ini upaya pengembangan listrik perdesaan masih mengalami masalah utama yaitu selain
keterbatasan dana pemerintah baik pusat maupun daerah juga orientasi badan usaha milik
pemerintah sebagai penyedia tenaga listrik nasional sudah diarahkan pada usaha-usaha
yang komersial penuh.
Bagian IV.33 – 70
Draft 12 Desember 2004
Gambar 20. Pertumbuhan Rasio Elektrifikasi NegaraNegara ASEAN (1994-2000)
Pertumbuhan RE per tahun Negara-Negara Asean
(1994-2000)
100
%
80
60
40
20
Si
ng
ap
ur
a
M
al
ay
s ia
Th
ail
an
d
Ph
i li p
ina
Vi
et
na
m
In
do
ne
si a
Ka
m
bo
ja
M
ya
nm
ar
0
Kedua kondisi ini mengakibatkan pengembangan listrik perdesaan menjadi tertinggal
dibandingkan pengembangan listrik komersial. Dengan demikian sampai dengan tahun
2004 sistem kelistrikan nasional yang handal belum dapat dicapai. Hal ini terlihat dari
adanya kondisi yang cukup kritis bila terjadi kondisi musim kemarau yang mengakibatkan
pengurangan daya pembangkit-pembangkit tenaga air, ataupun jika terjadi pembangkit
listrik yang harus keluar dari sistem kelistrikan nasional akibat mengalami kerusakan atau
harus menjalani pemeliharaan sebagaimana beberapa kali terjadi baik di wilayah Jamali
maupun Luar Jamali.
Kebutuhan listrik yang relatif masih tumbuh cukup tinggi pada masa krisis tidak dapat
diimbangi oleh pengembangan di sisi penyediaan tenaga listrik. Proyek-proyek pembangkit
tenaga listrik termasuk listrik swasta dan jaringan transmisi yang sudah terencana pada saat
sebelum krisis tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan, dalam pengertian terjadi cadangan listrik yang lebih rendah
dari yang dipersyaratkan sebagai sebuah sistem yang handal, terutama kemampuan
antisipasi menghadapi kemunginan terjadinya gangguan. Sejak itu krisis penyedian tenaga
listrik masih terjadi di berbagai wilayah di sistem Luar Jamali dan sampai saat ini masih ada
enam wilayah sistem ini yang mengalami krisis tenaga listrik.
Demikian pula sebelum terjadi krisis ekonomi, tarif dasar listrik rata-rata di Indonesia
telah mencapai lebih 7 sen USD/ kWh yang membuat pendapatan operasi PT. PLN
mencukupi untuk mencapai tingkat Rate of Return sebesar 7 persen. Tarif terendah yang
pernah dialami PT. PLN akibat devaluasi nilai rupiah pernah mencapai 2,6 sen/kWh
terjadi pada tahun 1998 sehingga memperburuk kondisi keuangan PT. PLN.
Bagian IV.33 – 71
Draft 12 Desember 2004
Tabel 31. Struktur Tarif di Beberapa Negara ASEAN Th. 2002
(sen USD/kWh)
Negara
Brunei
Darussalam
Kamboja
Rumah
Tangga
Komersial
Industri
2,91 – 14,61
2,98 -11,69
2,91 -11,69
8,77 – 16,29
15,03-16,29
Indonesia
5,81
6,64 – 8,09
12,03 –
15,04
5,29 – 7,75
Lao PDR
2,71
2,98 – 3,72
2,50
Malaysia
5,53 – 8,9
2,63 – 10,52
2,63 – 10,52
Myanmar
8,42
8,42
8,42
Philipina
3,10 – 10,55
3,62 – 9,71
3,30 – 10,68
9,35
4,48 – 7,27
4,23 – 6,78
Thailand
3,36 – 7,35
2,89 – 7,35
2,89 – 7,01
Vietnam
2,89 – 8,09
4,20 – 13,83
2,80 – 13,83
Singapore
Asumsi USD 1 = Rp 9.100,-
Penentuan tarif dasar listrik saat ini masih diatur oleh pemerintah dan bersifat rata
(uniform) padahal Indonesia memiliki banyak wilayah yang sangat bervariasi sebagai
contoh untuk Luar Jamali pada umumnya memanfaatkan diesel tersebar (scattered diesel)
dan memiliki demand yang relatif kecil dibandingkan Jamali yang memiliki kepadatan
penduduk dan demand listrik yang sangat besar. Tarif listrik di Indonesia merupakan yang
paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Tabel 31).
Pada sisi lain, tarif yang ada saat ini rata-rata sebesar Rp555,-/kWh atau ekivalen
dengan 6.10 sen USD/kWh masih belum mencerminkan nilai keekonomiannya dan pada
kenyataannya lebih dari 90 persen pelanggan listrik yang termasuk golongan R1 sehingga
membayar dibawah biaya pokok produksi. Sementara itu persentase total biaya valuta
asing terhadap biaya operasi terus meningkat setiap tahun sejak tahun 1996 hingga tahun
2000, yaitu berturut-turut 8,8 persen; 9,7 persen; 39,3 persen; 63,9 persen dan 79,7 persen.
Begitu pula pembelian listrik dari swasta yang meningkat menjadi 28 persen dari biaya
total biaya operasi PT. PLN.
Gambar 21. Perbandingan HPP dan Harga Jual
600
500
400
300
200
100
0
1996
1997
HPP
1998
1999
Harga Jual
Bagian IV.33 – 72
2000
Draft 12 Desember 2004
Dampak dari krisis tersebut adalah tampak pula dari menurunnya kinerja finansial PT.
PLN sebagai penyedia utama tenaga listrik nasional yang mengakibatkan kemampuan
investasinya melemah. Sejak 1997 sampai tahun 2002 PT. PLN mengalami financial losses
lebih kurang Rp47 triliun atau sekitar USD 5,3 miliar (Tabel 32).
Selain itu PLN sebagai badan usaha milik negara yang diberi tugas untuk menjalankan
usaha penyediaan tenaga listrik selain dituntut untuk melaksanakan misi komersial, masih
dibebankan pula untuk melaksanakan tanggung jawab sosial pemerintah di bidang listrik
perdesaan. Oleh karena itu sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan yang mengisyaratkan adanya kompetisi maka perlu
dilaksanakan migrasi yang tepat dan sesuai dengan arah pembangunan ketenagalistrikan
nasional.
Gambar 22. Perbandingan Biaya dan Keuntungan
Tabel 32. Indikator Keuangan PT. PLN
No
1
2
3
4
5
6
8
Indikator
1 Des 1998 31 Des 1999 31 Des 2000 31 Des 2001 31 Des 2002
Tarif rata-rata
211
220
279
333
443
Revenue
15.966
15.997
22.557
35.360
44.635
Biaya Operasi
16.809
21.503
27.216
31.939
51.359
Pendapatan Operasi
(843)
(5.506)
(4.659)
3.421
(6.724)
Net Income
(9.546)
(11.368)
(24.611)
180
1.537
Aset total
74.460
73.219
78.003
79.907
199.237*)
% Rate of Return
(1,8)
(10,7)
(8,9)
6,2
(4,0)
Sampai saat ini berbagai pembangkit tenaga listrik di Indonesia sebagian besar masih
memanfaatkan energi primer berupa bahan bakar minyak.
Di sisi lain, saat ini cadangan minyak semakin menipis dan harganya pun semakin
mahal.Untuk itu perlu adanya kebijakan indeksasi dan diversifikasi melalui kajian
pemanfaatan per jenis energi untuk pembangkit listrik yang terfokus pada pemanfaatan
jenis energi yang langsung dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik seperti tenaga air
dan energi terbarukan (mikrohidro, surya, angin dan biomasa).
Lebih lanjut apabila ditinjau dari potensi sumberdaya energi terlihat sebenarnya
persentase potensi sumberdaya energi yang ada di Indonesia dibandingkan potensi yang
ada di dunia relatif kecil dan hanya satu potensi dengan persentase besar yaitu potensi
panas bumi (40 persen dari potensi dunia). Potensi panas bumi Indonesia pada tahun 2003
sebesar 27.140 MW namun baru dimanfaatkan sebesar 807 MW (3 persen) (Tabel 33).
Bagian IV.33 – 73
Draft 12 Desember 2004
Tabel 33. Potensi Sumberdaya Energi Primer
No. Sumber Energi
Potensi
1.
2.
3.
4.
Potensi Cadangan Terbukti Produksi (Tahun)
Dunia
Minyak Bumi 321 milliar barel 1,2%
5 milliar
500 juta barel
Gas Bumi
507 TSCF
3,3%
90 TSCF
3 TCF
Batubara
50 milliar ton
3%
5 milliar ton
100 juta ton
Tenaga Air
75 ribu MW
0,02%
75 ribu MW
4200 MW
5.
Panas Bumi
27 ribu MW
40%
2.305 MW
807 MW
Keterangan
Habis dalam 10 tahun, ekspor
Habis dalam 30, ekspor
Habis dalam 50 tahun, ekspor
Sulit untuk pengembangan skala
besar, domestik
Untuk domestik 30 tahun,
cadangan mungkin 728 MW dan
cadangan terduga 10.027 MW
Sumber: DJGSDM, 2003
Tabel 34. Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik di
Indonesia
Jenis Pembangkit
Kapasitas Terpasang
MW
%
Combine Cycle
4,240
22
Steam
4,417
23
Hydro
6,650
36
Diesel
2,536
13
Gas Turbine
765
4
Geothermal
380
2
Sumber: PLN, Juli 2002
Pada sisi lain kondisi pemanfaatan energi untuk pembangkit listrik terlihat bahwa saat
ini kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia porsi terbesar adalah pembangkit
yang memanfaatkan potensi sumberdaya air (36 persen).
Tabel 35. Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Baru Terbarukan (EBT)
Jenis Energi
Potensi
Kapasitas
Terpasang
Hidro
75.67 GW
4200 MW
Geothermal
27 GW
802 MW
Mini/mikro hidro
712 MW
206 MW
Biomass
49.81 GW
302.4 MW
Surya
4.8 kWh/m2/hari 5 MW
Angin
3 – 6 m/dt
0.5 MW
Sumber: DJLPE dengan modifikasi, 2004
Persentase
Pemanfaatan (%)
5,55
2,97
28,93
0,61
-
Pemanfaatan potensi air untuk pembangkit skala besar dibandingkan potensi yang ada
sebenarnya masih relatif kecil yaitu hanya sebesar 5,55 persen (Tabel 34 dan 35). Oleh
karena itu masih terbuka luas peluang untuk mengembangkan pembangkit-pembangkit
listrik skala menengah dan kecil terutama yang sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia.
Selain itu dimungkinkan pula diversifikasi energi melalui pengembangan pembangkit listrik
dengan memanfaatkan EBT sehingga meningkatkan jaminan pasokan listrik terutama di
daerah pada sistem Luar Jamali dan off-grid. Pemanfaatan energi terbarukan untuk
pembangkit listrik saat ini relatif masih kecil dan persentase paling besar yang
termanfaatkan adalah potensi mini/mikro hidro (28,93 persen).
Selain itu, kinerja sarana dan prasarana ketenagalistrikan saat ini masih
memprihatinkan terutama disebabkan pemeliharaan yang tidak memadai selama beberapa
Bagian IV.33 – 74
Draft 12 Desember 2004
tahun terakhir karena alasana keterbatasan dana dan pasokan daya sehingga banyak
pembangkit yang dipaksa beroperasi secara terus menerus tanpa dilakukan pemeliharaan
yang memadai. Hal ini mengakibatkan penurunan efisiensi mesin yang selanjutnya
mengakibatkan pemakaian bahan bakar yang semakin boros yang pada gilirannya
meningkatkan biaya operasi. Penurunan efisiensi ini terjadi pula pada sistem penyaluran
akibat adanya bottleneck dan losses yang berakibat menurunnya keandalan sistem untuk
memasok tenaga listrik.
Sebagai gambaran tingkat losses sistem kelistrikan PLN pada tahun 2001 yaitu 11,7
persen di sisi distribusi dan 2,4 persen di sisi transmisi baik yang bersifat teknis maupun
non teknis. Sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 juga masih diatas 10 persen.
Gambar 23. Tingkat losses PT. PLN s,d Tahun 2001
15
Losses Distribusi
10
%
Losses Transmisi
5
Losses Total
0
1995
1997
1999
2001
Berdasarkan kondisi dan permasalahan yang ada pemerintah telah mengupayakan
berbagai langkah untuk mengatasi krisis ketenagalistrikan. Untuk krisis di sistem Luar
Jamali, beberapa wilayah telah mampu ditangani.
Beberapa penambahan kapasitas daya di sistem ini meliputi: di Sumatera Utara yaitu
PLTA Sipansihaporas (17 MW) dan di Sumatera bagian selatan telah beroperasi PLTU
Palembang Timur (150 MW), PLTU Borang (2x40 MW), PLTA Batutegi (3x14MW).
Selain itu terdapat beberapa proyek yang committed akan mulai dilaksanakan yaitu PLTU
Labuan Angin (2x115MW) di Sumatera Utara, PLTP Lahendong (2x20 MW) di Sulawesi
Utara, serta berbagai pembangkit lainnya.
Untuk krisis listrik yang selama ini dikhawatirkan di sistem Jamali telah mampu diatasi
yaitu dengan beroperasinya pembangunan crash program PLTGU Muara Tawar (858
MW), sekalipun belum mencapai tingkat reserved margin yang seharusnya dimiliki
(minimal 25 persen). Selain itu berbagai pembangunan pembangunan pembangkit listrik
berupa rehabilitasi, repowering beberapa pembangkit listrik yang ada serta pembangunan
pembangkit baru yang akan segera mulai dilaksanakan akan dapat membantu terjaminnya
pasokan tenaga listrik di Jamali hingga tahun 2009. Rehabitasi dan repowering tersebut
meliputi rencana penambahan kapasitas yang sudah committed yaitu PLTGU Muara Tawar
(210 MW), PLTGU Muara Karang (720 MW), PLTGU Tanjung Priok (720 MW),
PLTGU Semarang (80 MW), PLTGU Cilegon (620 MW), serta terdapat proyek listrik
swasta (Independent Power Producers/IPP’s) yang diperkirakan dalam waktu dekat akan masuk
ke sistem terutama PLTU Tanjung Jati B (1.320MW).
Bagian IV.33 – 75
Draft 12 Desember 2004
Berkaitan dengan listrik swasta/IPP, pemerintah telah berupaya melakukan renegoisasi
dengan 27 buah IPP dan telah diselesaikan sebanyak 26 buah IPP yang terdiri dari 14 buah
long term agreement (Drajat, Paiton 1, Paiton 2, Sengkang, Tanjung Jati B, Pare-Pare, Salak,
Amurang, Sibolga, Palembang Timur, Cikarang, Asahan, Sibayak dan Bedugul), 7 buah
closed out (Tanjung Jati A, Tanjung Jati C, Cilacap, Serang, Pasuruan, Cilegon dan
Kamojang) dan 5 buah acquisition (Wayang Windu, Cibuni, Sarulla, Dieng dan Patuha).
Sisanya 1 buah IPP melalui jalur hukum yaitu Karaha Bodas.
3.2.2 SASARAN PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN
Berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen per tahun, maka
proyeksi pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik nasional tahun 2005 – 2009 adalah sebesar
8,3 persen per tahun. Sasaran tahun 2005-2009 untuk bidang kelistrikan adalah (i) dengan
perkiraan pertumbuhan tenaga listrik tersebut dan perkiraan kapasitas terpasang
pembangkit tenaga listrik sebesar 28.356 MW pada akhir tahun 2005, maka pembangunan
pembangkit tenaga listrik baru serta hasil rehabilitasi dan repowering ditargetkan pada
tahun 2009 kapasitas terpasang mencapai 40.623 MW atau bertambah sekitar 12.267 MW;
(ii) rasio elektrifikasi yang meningkat menjadi 67,9 persen pada akhir tahun 2009 atau ratarata sebesar 2,36 persen per tahun; (iii) meningkatnya efisiensi di pembangkit melalui
rehabilitasi dan repowering; (iv) terlaksananya rehabilitasi, debottlenecking dan uprating serta
interkoneksi transmisi dan distribusi di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi; (v)
berkurangnya susut jaringan terutama non-teknis melalui pelaksanaan kegiatan berbasis
teknologi informasi seperti enterprise resource planning/ERP dan consumer information
system/CIS; (vi) terlaksananya penyempurnaan restrukturisasi ketenagalistrikan melalui
pengkajian model/struktur industri kelistrikan; (vii) meningkatnya pemanfaatan potensi
gas, batubara dan panas bumi serta energi baru terbarukan untuk pembangkit tenaga
listrik; (viii) meningkatnya rasio elektrifikasi listrik perdesaan pada akhir tahun 2009
sebesar 97 persen; (viii) meningkatnya partisipasi masyarakat, koperasi dan swasta baik
sebagai penyedia, pembeli dalam bentuk curah maupun konsumen listrik sebagai
pelanggan dan pengelola usaha penunjang ketenagalistrikan, baik di daerah kompetisi
maupun non-kompetisi; dan (viii) berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan
sumberdaya manusia nasional yang mendukung industri ketenagalistrikan.
Adapun berbagai sasaran fisik pembangunan ketenagalistrikan 2005-2009 secara
keseluruhan adalah sebagai berikut:
Tabel 36. Sasaran Tambahan Kapasitas Pembangkit (MW)
Kebutuhan
kapasitas
tambahan
Berdasarkan kepastian pendanaan
Proyek berjalan/
committed
Pendanaan
belum
tersedia
Berdasarkan perkiraan sumber
pendanaan
Dapat
didanai PT.
PLN
Perlu
dipenuhi
oleh Swasta
Jamali
7.905
5.625
2.280
4.755
3.150
Luar
Jamali
4.362
1.048
3.314
2.957
1.405
Bagian IV.33 – 76
Draft 12 Desember 2004
Untuk Sistem Jamali tambahan pembangkit listrik dan fasilitas distribusinya tahun
2005-2009 adalah sebagai berikut:
Tabel 37. Tambahan Kapasitas Pembangkit Sistem Jamali (MW)
Tipe (MW)
GAS FIRED
COMBINED
CYCLED
GEOTHERMAL
COAL FIRED
Owner
PLN
IPP
PLN
IPP
PLN
IPP
PLN
IPP
Status
Plan
Plan
2005
Plan
Committed
On Going
Plan
Plan
Committed/
On Going
Plan
On Going
580
2009
400
TOTAL
400
1.500
220
180
1.870
1.665
810
750
10
480
1.725
1.920
7.905
2006
2007
2008
145
225
650
795
230
750
120
10
180
1.920
580
TOTAL
2.415
1.065
2.120
Tabel 38. Tambahan Fasilitas Distribusi Sistem Jamali
2005
2006
2007
2008
2009
TOTAL
Switch Yard
MVA
3.870
1.126
1.050
870
1.290
8.206
IBT 500/150 kV
MVA
2.000
1.000
1.750
0
1.000
5.750
IBT 150/70 kV
Capacitors
SUTET 500 kV
SUTT 150 kV
SUTT 70 kV
MVA
MVAr
Kms
Kms
Kms
320
50
1.038
1.451
0
0
345
38
226
0
0
0
20
303
0
0
0
0
214
0
0
0
10
420
0
320
395
1.106
2.614
0
Adapun untuk Sistem Luar Jamali tambahan pembangkit listrik dan fasilitas
distribusinya tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut:
Tabel 39. Tambahan Kapasitas Pembangkit Sistem Luar Jamali (MW)
Type (MW)
HYDRO
DIESEL
GAS FIRED
COMBINED CYCLE
Owner
PLN
IPP
PLN
PLN
IPP
PLN
IPP
Status
Committed
On Going
Plan
Committed
On Going
Plan
Plan
Committed
On Going
Plan
Plan
Plan
2005
2006
2007
19
2008
30
2009
312
180
28
10
365
47
220
32
185
33
150
20
125
Bagian IV.33 – 77
160
60
105
150
31
205
Total
49
312
180
28
10
509
760
20
125
160
105
210
Draft 12 Desember 2004
MYCROHYDRO
GEOTHERMAL
COAL FIRED
PLN
PLN
IPP
PLN
IPP
Committed
Committed
Plan
On Going
Plan
On Going
Plan
Total
8
3
3
20
200
85
20
110
200
485
160
1,153
1,181
50
75
919
473
636
475
11
43
110
400
730
50
550
4,362
Tabel 40. Tambahan Gardu Induk Sistem Luar Jamali (MVA)
PLN
Kalsel
Kaltim
Kitlur
Sumbagsel
Kitlur
Sumbagut
NTB
NTT
Sulselra
Suluttenggo
TOTAL
Status
On Going
Plan
Committed
On Going
Ongoing
Plan
Committed
On Going
Plan
Ongoing
Plan
Ongoing
Plan
Plan
Plan
2005
30
50
2006
2007
2008
2009
100
30
60
210
130
1.100
90
40
90
170
680
120
30
20
110
60
110
90
30
40
80
590
70
60
500
Bagian IV.33 – 78
100
20
570
30
60
2.020
40
50
80
440
Total
30
210
30
30
20
1.640
60
110
1.100
90
30
40
40
250
300
4.120
Draft 12 Desember 2004
Tabel 41. Tambahan Jaringan Transmisi Sistem Luar Jamali (kms)
PLN
70 kV
APLN
Kalsel
Kaltim
Kitlur
Sumbagsel
Kitlur Sumbagut
NTB
NTT
25
Sulselra
Suluttenggo
TOTAL
25
150 kV
ADB APLN
129
248
20
35
377
186
36
277
275 kV
Unallocated
On Going
Unallocated
185
20
52
102
481
390
130
488
154
234
1.310
618
TOTAL
314
288
663
980
35
25
186
270
2.761
Tabel 42. Tambahan Fasilitas Distribusi Sistem Luar Jamali
PLN Wilayah
Wilayah NAD
Wilayah Sumut
Wilayah Riau
Wilayah Sumbar
Wilayah S2JB
Wilayah Lampung
Wilayah Babel
Wilayah Kalbar
Wilayah Kalselteng
Wilayah Kaltim
Wilayah Sulselra
Wilayah Suluttenggo
Wilayah Maluku
Wilayah Papua
Wilayah NTT
Wilayah NTB
Total
JTM (kms)
1.455
4.571
2.861
1.310
3.060
1.345
494
1.212
1.865
1.894
3.005
1.726
578
496
566
421
26.859
JTR (kms)
1.945
3.750
2.427
1.425
4.920
1.806
631
2.063
2.439
1.981
3.511
2.932
361
486
728
423
31.827
Bagian IV.33 – 79
Trafo (MVA)
111
402
260
134
351
129
42
153
174
142
326
209
34
46
78
35
2.626
Customers
319.236
729.642
252.648
291.060
652.434
380.891
65.416
217.912
294.985
243.527
404.626
238.883
95.381
91.433
72.502
125.389
4.475.964
Draft 12 Desember 2004
Sedangkan untuk sasaran listrik perdesaan sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai
berikut:
Tabel 43. Sasaran Pengembangan Listrik Perdesaan
Wilayah/Propinsi
A.
Jawa-Bali
1.
Jabar
2.
Jateng
3.
DIY
4.
Jatim
5.
Bali
Sub Total
B. Luar Jawa-Bali
1.
Nangro Aceh Darusalam
a)
2.
Sumatera Utara
3.
Sumbar dan Riau
- Sumbar
- Riau
4.
Sumsel, Bengkulu,
Jambi, dan Lampung
Sumatera Selatan
Bengkulu
Jambi
Lampung
Jumlah Desa
Seluruhnya
Jumlah Desa
yang telah
dilistriki
S/d 2000
Rencana
Desa
dilistriki
2001-2009
Total Desa
Dilistriki
S/d 2009
Jumlah
%
6.696
7.876
393
7.743
570
23.278
6.679
7.841
378
7.370
538
22.806
17
1.735
15
373
32
472
6.696
7.876
393
7.743
570
23.278
100
100
100
100
100
100
5.395
4.793
2.821
1.761
1.060
5.113
4.025
1.993
1.499
494
282
768
652
199
453
5.395
4.793
2.645
1.698
947
100
100
94
96
89
6.358
2.475
1.051
1.021
1.811
4.909
1.933
850
744
1.382
1.165
437
163
221
344
6.074
2.370
1.013
965
1.726
96
96
96
95
95
5.
KalimantanBarat
1.325
903
338
1.241
94
6.
Kalsel Kalteng dan Kaltim
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
4.249
2.096
1.083
1.070
2.634
1.791
439
404
1.353
305
515
533
3.987
2.096
954
937
94
100
88
88
7.
Sulut dan Sulteng
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
2.462
1.194
1.268
2.056
1.160
896
331
34
297
2.387
1.194
1.193
97
100
94
8.
Sulsel dan Sul.Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
3.244
2.168
1.076
2.164
1.638
526
971
530
441
3.135
2.168
967
97
100
90
9.
Maluku
Maluku
1.463
1.463
798
798
532
532
1.330
1.330
91
91
10.
Irian Jaya
2.341
407
1.554
1.961
84
11.
NTB dan NTT
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
2.890
558
1.762
1.902
538
826
799
20
747
2.701
558
1.573
93
100
89
36.871
26.366
8.375
34.741
95
Sub Total B
Total A + B
60.049
49.172
8.847
58.019
Sumber: Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Tahun 2000. (unpublished)
Bagian IV.33 – 80
97
Draft 12 Desember 2004
Tabel 44. Kebutuhan Dana Pembangunan
2005-2009 (dalam juta USD)
Jamali
Luar
Sistem
Jamali
Pembangkit
5,340
3,926
Jar. Transmisi
754
175
Gardu Induk
461
400
Distribusi
1,645
599
Listrik Perdesaan
201.6
417.2
Untuk memenuhi target dimaksud perkiraan kebutuhan dana pembangunan dalam
kurun waktu 2005-2009 dibutuhkan pembiayaan sekitar USD 13.918,8 juta. Kemampuan
investasi pemerintah diperkirakan hanya sekitar USD 250 juta yang pada umumnya
digunakan untuk pembangunan listrik perdesaan. Sedangkan PT PLN sekalipun
memperoleh tarif yang sesuai dengan keekonomiannya tetap tidak akan mampu
memenuhi total permintaan kebutuhan listrik yang ada.
3.2.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN
Program jangka panjang pembangunan ketenagalistrikan terutama diarahkan pada
terwujudnya penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan energi nasional bagi seluruh rakyat
Indonesia dengan kuantitas cukup, kualitas yang baik, harga wajar, berkesinambungan
serta berwawasan lingkungan melalui penyelenggaraan industri ketenagalistrikan yang
mandiri, transparan, kompetitif, efisien, andal, aman dan ramah lngkungan.
Selain itu kebijakan substiutsi dan diversifikasi energi yang mengarah pada perubahan
pola pemanfaatan energi BBM ke arah energi pemanfaatan non BBM.
Secara umum pembangunan ketenagalistrikan nasional 2205-2009 diarahkan pada: (1)
pemulihan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik untuk menjamin ketersediaan pasokan
tenaga listrik serta kehandalannya terutama di daerah krisis listrik serta daerah terpencil
dan perdesaan, (2) peningkatan infrastruktur tenaga listrik yang efektif dan efisien (3)
meningkatkan kemandirian industri ketenagalistrikan nasional (4) meningkatkan kualitas
jasa pelayanan penyediaan tenaga listrik (5) meningkatkan perhatian aspek keselamatan
dan lingkungan dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional.
3.2.4 PROGRAM PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN
Untuk mewujudkan Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional, beberapa program
prioritas akan dilaksanakan meliputi:
1. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA.
Program ini bertujuan untuk memulihkan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana
ketenagalistrikan baik dari aspek ketersediaan tenaga listrik yang memadai sehingga
aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik semakin mudah dengan semakin
memperhatikan kehandalan sistem, efektifitas dan efisensi agar, efisien dengan harga yang
wajar.
Bagian IV.33 – 81
Draft 12 Desember 2004
Kegiatan pokok yang dilakukan terutama untuk pembangunan pembangkit serta
jaringan transmisi dan distribusi termasuk pembangunan listrik perdesaan. Ruang lingkup
kegiatan meliputi rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta melakukan
pembangunan pembangkit baru dengan memberikan kesempatan partisipasi yang semakin
luas kepada investasi pihak swasta terutama swasta nasional atau koperasi atau pemerintah
daerah. Dari 7.905 MW kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit di Jamali untuk 20052009, 3.150 MW dapat diserahkan kepada swasta. Untuk luar Jamali dari 4.362 MW ,
sekitar 1.405 MW dapat diserahkan kepada swasta.
Selain perlunya dukungan iklim investasti yang terkait kebijakan nasional tentang
tenaga kerja, kebijakan nasional tentang kredit perbankan, kebijakan pembebasan tanah,
perpajakan/reribusi, dalam pembangunan pembangkit listrik perlu pula didukung
terutama oleh hal lainnya yaitu kebijakan pendanaan pembangunan termasuk penyesuaian
tarif, diversifikasi dan konservasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik,
pengurangan losses.
Kebijakan pendanaan pembangunan sistem kelistrikan nasional perlu didasarkan atas
tingkat komersialisasinya. Untuk proyek yang bersifat komersial perlu didukung oleh:
regulasi mengenai partisipasi investasi swasta baik untuk pembangkit yang bersifat on grid
maupun of grid sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Ketenagalistrikan, yang diikuti oleh regulasi ditingkat yang lebih rendah (peraturan
daerahnya); dilakukan investasi pembangunan usaha kelistrikan yang bersifat pioner
dengan memanfaatkan bantuan agen-agen pendanaan nasional dan internasional yang
dekat dengan pemerintah ADB, WB, JBIC, KADIN sebagai stimulan menarik investasi
lebih lanjut dengan mempertimbangkan kemungkinan pembagian risk costs; mendorong
produser Captive Power dan PT PLN untuk berpartisipasi dalam Load Adjustment Contract,
Surplus Power Purchase Agreement, Integrated Resource Program dan program-program lainnya
sehingga menjamin secara optimal kapasitas kelistrikan nasional. Untuk kegiatan semi
komersial, selain didukung oleh regulasi yang disebutkan di atas, dalam implementasinya
perrlu dilakukan dengan cara tender akan tetapi ditunjang oleh bantuan pemerintah yaitu
melalui beberapa alternatif bantuan yaitu: melalui pemberian pinjaman lunak kepada
BUMN/BUMD yang diteruspinjamnkan atau unbudling proyek, yaitu prasarana jalan, tanah,
dan sejenisnya disediakan pemerintah. Sedangkan untuk proyek yang tidak komersial
pembangunan perlu dilakukan oleh pemerintah (pusat/daerah), dengan tetap
memperhatikan kemungkinan kemandiriannya di masa mendatang melalui pembinaan
pemerintah mengenai pengelolaanya serta memanfaatkan semaksimalkan mungkin potensi
energi setempat, ekonomi produkstif, sumber-sumber daya lainnya
Dalam rangka menarik investasi swasta maka penyesuaian tarif regional yang
merefleksikan nilai keekonomiannya yang memperhitungkan biaya pembangkitan,
transmisi, distribusi, losses, investasi dan keuntungan bagi investor (BUMN, swasta,
pemerintah pusat/daerah, atau campuran) termasuk pembebenannya bagi setiap group
konsumen sesuai dengan harga pokok produksi (HPP) masing-masing.. Sejalan dengan itu,
pengurangan subsidi kepada pelaku usaha harus dikurangi dan menggantikannya dengan
subsidi langsung kepada masyarakat.
Pembangunan kelistrikan sudah saatnya mengalakkan konversi pemanfaatan energi
untuk pembangkit listrik dari BBM ke alternatif energi lainnya seperti panas bumi, gas,
batu bara serta energi terbarukan (RE) khususnya yang bersumber dari energi setempat.
Bagian IV.33 – 82
Draft 12 Desember 2004
Sebagai contoh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLTU Batu Bara Mulut
Tambang (Mine Mouth) kalori rendah dan serta pembangkit dengan memanfaatkan energi
terbarukan seperti PLT Piko/Mikro/Mini Hidro dan PLTS (pembangkit listrik tenaga
surya). Khusus untuk wilayah Jamali, pembangunan pembangkit akan semakin banyak
memanfaatkan pembangit listrik yang menggunakan energi primer panas bumi dan gas
yang bersumber terutama dari wilayah Sumatera dan Kalimantan Timur. Kebijakan ini
dilakukan melalui kegiatan: meningkatkan upaya perolehan energi primer non BBM untuk
pembangkit listrik yaitu batu bara, gas, panas bumi, dan RE; rasionalisasi pembangkit tua
atau yang sudah tidak efisien antara lain dengan cara rehabilitasi atau repowering;
mengalihkan penggunaan energi primer BBM kepada energi primer gas bagi pembangkit
listrik berbahan bakar gas yang selama ini menggunakan bahan bakar BBM;
memprioritaskan nembangunan pembangkit baru memanfaatkan energi non BBM.
mendorong upaya pemerintah dalam pembangunan infrastruktur energi yang bersifat open
access.
Mendorong upaya peningkatan efisiensi sistem kelistrikan nasional terutama
pengurangan losses di sisi pembangkitan, transmisi, distribusi, baik losess in use maupun losses
non teknis termasuk efisensi manajemen dan administrasi. Selain itu, efisiensi di sisi
konsumen sangat diperlukan (jaringan konsumen maupun peralatan konsumen).
Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi akan terus ditingkatkan, terutama
ditujukan untuk mengurangi terjadi bottlenecking dan pengurangan losses. Selain itu upaya
untuk membangung sistem jaringan interkoneksi yang semakin luas terus ditingkatkan,
sehingga menghasilkan jaringan penyaluran listrik yang semakin optimal.
Kegiatan pembangunan listrik perdesaan diarahkan terutama untuk ekstensifikasi dan
intensifikasi jaringan listrik perdesaan melalui pembangunan sarana penyediaan tenaga
listrik di daerah perdesaan dan daerah yang belum berkembang. Ruang lingkup kegiatan
meliputi penambahan pembangkit tenaga listrik termasuk pembangkit skala kecil,
pembangunan jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah serta gardu distribusi.
2. PROGRAM PENYEMPURNAAN RESTRUKTURISASI
PRASARANA
DAN
REFORMASI SARANA
DAN
Program ini secara bertahap bertujuan untuk menciptakan industri ketenagalistrikan
yang mandiri, efisien, handal dan berdaya saing tinggi di pasar tenaga listrik .
Kegiatan pokok yang dilakukan meliputi pengkajian mengenai model/struktur industri
ketenagalistrikan serta route map model migrasi struktur industri ketenagalistrikan termasuk
migrasi PT. PLN mengahadapi struktur pasar ketenagalistrikan yang baru di antaranya
persiapan unbundling yaitu pemecahan unit usaha menurut fungsi penyediaannya yaitu
usaha pembangkit, unit usaha transmisi dan unit usaha distribusi, penyehatan asset,
organisasi dan manajerial serta finansial secara bertahap dan sistematis; percepatan
pembentukan Bapetal sebagai pengawas pasar kompetisi tenaga listrik; konsep migrasi
struktur industri kelistrikan tersebut juga perlu dipersiapkan konsep tatanan pembangunan
ketenagalistrikan bagi wilayah yang belum dikompetisikan; serta serta berbagai penyusunan
peraturan pemerintah dan petunjuk teknis yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan agar tercipta iklim yang kondusif untuk
investasi, termasuk peraturan-peraturan lain yang mendukungnya.
Bagian IV.33 – 83
Draft 12 Desember 2004
3. PROGRAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PEMERINTAH DAERAH, KOPERASI DAN
MASYARAKAT TERHADAP JASA PELAYANAN SARANA DAN PRASARANA
Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah
daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih terlibat dalam pengelolaan
usaha kelistrikan. Khusus untuk Pemda, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai
dengan keputusan Menteri Keuangan No.35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika
memungkinkan untuk pelaku lainnya.
Kegiatan pokok program ini adalah di daerah yang belum dilistriki, swasta, koperasi,
Pemda dan masyarakat (pelaku) dapat membangun pembangkit dan penyalurannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan untuk daerah yang sudah terinterkoneksi
jaringan listrik (on grid), pelaku dapat menjual listriknya ke jaringan dengan memanfaatkan
potensi energi setempat untuk pembangkit listrik termasuk pembangkit skala kecil melalui
skema PSK Tersebar (Pembangkit Skala Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan
Sumber Energi Terbarukan). Para pelaku dapat juga diberi peluang untuk memanfaatkan
skema curah dan menyalurkan kepada konsumen di kawasan tertentu.
4. PROGRAM PENGUASAAN DAN PENGEMBANGAN APLIKASI DAN TEKNOLOGI SERTA
BISNIS KETENAGALISTRIKAN
Program ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada dunia bisnis swasta, BUMN
dan Koperasi serta masyarakat untuk berpartisipasi sebagai penyedia, pengelola dan
pembeli tenaga listrik, khususnya dalam penguasaan aplikasi dan teknologi, manajemen,
serta pemasaran produk ketenagalistrikan.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan meliputi pengembangan teknologi tepat guna
yang diarahkan pada barang-barang mass production. Begitu pula mendorong industri dalam
negeri melalui pemaketan pelelangan disisi hulu untuk menjamin kelangsungan industri
dalam negeri, melalui prioritas penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu perlu
dilakukan pengawasan kualitas produksi dalam negeri yang berdasarkan peraturan
pemerintah mengenai standarisasi dan sertifikasi ketenagalistrikan. pemenuhan industri
ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan termasuk pemanfaatan potensi energi baru
terbarukan serta penguasaan aplikasi dan teknologi serta bisnis ketenagalistrikan untuk
mendukung nilai tambah kegiatan produktif dan memberikan efek ganda bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional.
3.3 POS DAN TELEMATIKA
3.3.1 PERMASALAHAN POS DAN TELEMATIKA
Dalam era globalisasi, penguasaan dan pemanfaatan informasi melalui peningkatan
kemampuan sektor, industri dan masyarakat pengguna, tidak saja akan memicu
pertumbuhan ekonomi tetapi juga mewujudkan daya saing bangsa. Oleh karena itu,
kesiapan dan kemampuan suatu bangsa untuk mengubah informasi menjadi sesuatu yang
bernilai ekonomi merupakan hal yang mutlak dimiliki. Berkenaan dengan hal tersebut,
Indonesia masih belum mempunyai kesiapan dan kemampuan yang memadai. Untuk
indeks Readiness for the Network World tahun 2002, Indonesia hanya berada pada peringkat
Bagian IV.33 – 84
Draft 12 Desember 2004
ke 64 dari 82 negara, sedangkan untuk indeks Growth Competitiveness, Indonesia berada pada
peringkat ke-64 dari 75 negara, jauh tertinggal dari negara ASEAN lain seperti Singapura
(peringkat ke-4), Malaysia (30), Thailand (33), Philipina (48), dan Vietnam (60).
Kurang memadainya kesiapan dan kemampuan tersebut terkait langsung dengan
terbatasnya ketersediaan infrastruktur informasi (pos dan telematika) yang
pembangunannya terus mengalami penurunan terutama sejak krisis. Keterbatasan
infrastruktur dimaksud dapat dilihat dengan membandingkannya dengan negara lain di
Asia. Teledensitas (tingkat penetrasi) layanan telepon tetap, telepon bergerak, dan
pengguna internet Indonesia pada tahun 2003 masing-masing baru mencapai 3,65 persen,
5,52 persen dan 3,77 persen. Pada tahun yang sama, rata-rata negara Asia telah mencapai
13,64 persen, 15,03 persen, dan 6,74 persen.
Secara umum, terbatasnya pembangunan infrastruktur informasi di daerah komersial
disebabkan oleh lingkungan berusaha yang masih belum mampu menciptakan
penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien, seperti masih adanya peraturanperaturan yang membatasi ruang gerak penyelenggara baik BUMN maupun swasta.
Sementara itu, tingginya biaya investasi yang diperlukan untuk menyediakan infrastruktur
informasi di daerah non komersial menyebabkan rendahnya tingkat kelayakan
pembangunan di daerah ini secara finansial. Masih terbatasnya mekanisme kerjasama
pemerintah dan swasta dalam membiayai pembangunan di daerah non komersial,
memaksa pemerintah untuk menanggung seluruh beban investasi. Padahal, kemampuan
pembiayaan pemerintah juga sangat terbatas.
Pembangunan pos dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas layanan melalui
perluasan jangkauan dan peningkatan kecepatan waktu tempuh. Di daerah komersial,
pelayanan pos selain dilakukan oleh PT Pos Indonesia sebagai BUMN pos, juga dilakukan
oleh beberapa penyelenggara swasta (perusahaan jasa titipan dan multinasional). Dalam
penyelenggaraan di daerah komersial, PT Pos Indonesia harus berkompetisi dengan lebih
dari 600 penyelenggara swasta dengan 2.000 kantor cabang yang terpusat di pulau Jawa
(60,9 persen dari total kantor cabang penyelenggara swasta) dan Sumatera (23,3 persen).
Sementara itu, pelayanan pos di daerah non komersial dilakukan oleh PT Pos
Indonesia melalui kewajiban pelayanan universal (Public Service Obligation atau PSO). Pada
dasarnya program PSO mengharuskan PT Pos Indonesia untuk menyediakan layanan di
seluruh wilayah Indonesia dengan tarif yang terjangkau (prinsip accessibility dan affordability).
Kewajiban PSO ini dirasakan berat karena terbatasnya jaringan transportasi yang ada, serta
besarnya biaya investasi dan operasional yang jauh melebihi pendapatan. Pada kondisi
volume produksi rendah, dengan sendirinya tarif --yang besarannya ditentukan oleh
pemerintah-- tidak mampu menutup biaya layanan antaran. Dari total 3.398 kantor pos
cabang yang sebagian besarnya (2.496 kantor) terletak di perdesaan, 71 persen diantaranya
mengalami kerugian.
Bagian IV.33 – 85
Draft 12 Desember 2004
Gambar 24 Tingkat Profitabilitas PT Pos Indonesia
18
Profitabilitas (%)
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1995
1996
1997
Profitabilitas (%)
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Sumber: Ditjen Postel, Departemen Perhubungan, 2004
Untuk mempertahankan pelayanan pos di daerah PSO, PT Pos Indonesia harus
melakukan subsidi dari layanan komersial. Keadaan ini selanjutnya mengakibatkan
rendahnya kemampuan pembangunan dan daya saing perusahaan dalam penyelenggaraan
pos di daerah komersial. Selama lima tahun terakhir (1999-2003), hanya terjadi perluasan
jangkauan di 1 kecamatan sehingga jangkauan pelayanan pos bertambah dari 3.759
menjadi 3.760 kecamatan. Dalam lima tahun terakhir, profitabilitas perusahaan menurun
dari 8,07 persen di tahun 1999 menjadi 0,56 persen di tahun 2003 (Gambar 24).
Untuk meningkatkan kinerja perposan nasional, pemerintah sedang mempersiapkan
RUU Pos pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos yang
merestrukturisasi penyelenggaraan pos. Berlarut-larutnya restrukturisasi penyelenggaraan
pos yang telah dimulai sejak tahun 2000 menyebabkan semakin rendahnya daya saing
BUMN pos. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat akan layanan pos, sejak tahun
2003 pemerintah melakukan intervensi langsung dengan membiayai program PSO melalui
APBN. Dengan adanya keterbatasan keuangan pemerintah, keberlanjutkan program PSO
ini dikhawatirkan menjadi tidak terjamin.
Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi selama lima tahun terakhir (1999-2003)
mengalami pertumbuhan sebesar 16,18 persen, yang terdiri dari penambahan 1,79 juta
satuan sambungan (ss) telepon tetap, dari 8,36 juta ss menjadi 10,15 juta ss, dan
penambahan 16,43 juta pelanggan telepon bergerak, dari 2,22 juta orang menjadi 18,65
juta. Lambatnya pertumbuhan pembangunan sambungan tetap yang diantaranya
disebabkan oleh terjadinya pergeseran fokus bisnis penyelenggara telekomunikasi tetap ke
telekomunikasi bergerak, telah menimbulkan bottleneck dalam penyediaan fasilitas
telekomunikasi (Gambar 2). Tidak terpenuhinya target pembangunan baru sebanyak 4 juta
ss hingga tahun 2004 sebagaimana ditetapkan dalam pokok-pokok kesepakatan antara
pemerintah dengan PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2000, menjadikan
pembangunan sambungan tetap semakin tertinggal. Lambatnya laju pertumbuhan
pembangunan sambungan tetap yang terjadi sejak krisis harus diantisipasi sejak awal
mengingat pesatnya pertumbuhan telepon bergerak dan berbagai aplikasi nir kabel lainnya
pada akhirnya akan dibatasi oleh ketersediaan spektrum frekuensi radio sebagai
sumberdaya terbatas (scarce resource).
Bagian IV.33 – 86
Draft 12 Desember 2004
Gambar 25 Pembangunan Lima Tahunan (1968-2003)
9,000,000
25
0
20
0
7,000,000
6,000,000
15
0
5,000,000
4,000,000
3,000,000
10
0
2,000,000
50
Pertumbuhan (%)
Liine in Serv ice (ss)
8,000,000
1,000,000
-
5 tahun
I
5 tahun
II
5 tahun III 5 tahun IV 5 tahun V 5 tahun VI 5 tahun VII
Pembangunan 5 Tahunan
Sumber: Lampiran Pidato, PT Telkom (berbagai tahun)
Untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya sambungan
tetap, serta untuk mengantisipasi tuntutan pasar yang lebih global dan kompetitif,
pemerintah melakukan penataan ulang penyelenggaraan telekomunikasi. Tidak seperti
penyelenggaraan telekomunikasi bergerak yang dilakukan secara kompetisi, pada awalnya
penyelenggaraan telekomunikasi tetap sambungan lokal dilakukan oleh PT Telkom secara
eksklusif hingga tahun 2010, sedangkan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan
Sambungan Langsung Internasional (SLI) diselenggarakan secara eksklusif masing-masing
oleh PT Telkom hingga tahun 2005 dan PT Indosat hingga tahun 2004. Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, praktik
monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap diakhiri.
Menindaklanjuti Undang-Undang Telekomunikasi tersebut, berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah diantaranya adalah (a) mereposisi dan merestrukturisasi
penyelenggara telekomunikasi melalui peniadaan kepemilikan silang (cross ownership) dan
kepemilikan bersama (joint ownership) oleh PT Telkom dan PT Indosat dalam suatu
perusahaan afiliasi bidang telekomunikasi; (b) melakukan terminasi dini hak eksklusivitas
PT Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan lokal dan SLJJ, serta PT
Indosat sebagai penyelenggara SLI; (c) menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi PT
Telkom dan PT Indosat sebagai Full Network and Service Provider; (d) menetapkan besaran
dan metode perhitungan kompensasi sebagai konsekuensi dari terminasi dini dan
kebijakan duopoli; (e) menyelesaikan penyempurnaan dan penyusunan peraturan
pelaksana kompetisi; dan (f) membentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
sebagai badan regulasi untuk menjamin transparansi, independensi dan prinsip keadilan
dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Sejak diberlakukannya duopoli pada penyelenggaraan sambungan lokal pada 1 Agustus
2002 serta SLJJ dan SLI pada 1 Agustus 2003, pelaksanaan duopoli belum berjalan efektif.
Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru yang berarti, pertambahan
layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga. Kurang efektifnya
pelaksanaan duopoli selama ini terutama disebabkan oleh belum lengkapnya peraturan
pelaksana kompetisi seperti interkoneksi dan penomoran, serta masih lemahnya
pengawasan terhadap pelaksanaan kompetisi. Kondisi ini tidak saja menyulitkan
penyelenggara baru untuk menciptakan basis pelanggan yang signifikan, tetapi juga bahkan
menimbulkan tindakan anti-kompetisi oleh incumbent. Pada akhirnya, kebijakan duopoli
menjadi tidak efektif.
Bagian IV.33 – 87
Draft 12 Desember 2004
Ketimpangan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi tidak saja terjadi antara
Indonesia dengan negara lain, tetapi juga antara satu daerah di Indonesia dengan daerah
lain. Sampai dengan tahun 2003, sebagian besar (86 persen) dari infrastruktur yang ada
terdapat di Sumatera, Jawa dan Bali (Tabel 1). Dengan demikian, hanya 14 persen dari
infrastruktur eksisting terdapat di wilayah Indonesia timur. Kesenjangan infrastruktur juga
terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Teledensitas wilayah Jabodetabek dan
daerah perkotaan lainnya masing-masing telah mencapai 35 persen dan 11-25 persen,
sedangkan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2 persen. Hingga tahun 2003 masih
terdapat 43 ribu desa (64 persen dari total desa) yang tidak memiliki fasilitas
telekomunikasi.
Tabel 45 Penyebaran Pembangunan Sentral Telepon Tetap (1996-2003)
Region
Regional I
Regional II
Regional III
Regional IV
Regional V
Regional VI
Regional VII
TOTAL
1996
598.651
1.635.545
400.939
339.047
667.200
172.824
371.824
4.186.030
1997
701.479
1.903.581
504.984
395.730
842.447
218.638
415.607
4.982.466
1998
770.857
2.079.452
567.358
475.410
935.372
254.315
488.880
5.571.644
1999
835.167
2.208.436
621.134
531.593
1.048.556
279.958
555.349
6.080.193
2000
897.323
2.412.221
639.913
579.647
1.198.142
302.948
632.411
6.662.605
2001
1.007.468
2.632.521
645.479
618.101
1.317.384
320.338
677.649
7.218.940
2002
1.115.875
2.824.556
672.597
646.701
1.427.660
342.336
720.310
7.750.035
2003
1.239.409
3.036.372
733.462
668.261
1.594.827
425.979
780.805
8.479.115
Sumber: PT Telkom (berbagai tahun)
Keterangan: Regional I (Sumatera), II (Jabodetabek), III (Jawa Barat dan Banten), IV (Jawa Tengah), V (Jawa
Timur), VI (Kalimantan) dan VII (kawasan Indonesia timur)
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melaksanakan program Universal Service
Obligation (USO) di daerah non komersial sejak tahun 2003. Program ini bertujuan untuk
membangun fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah yang secara ekonomi kurang
menguntungkan termasuk daerah perintisan, perbatasan, pedalaman, pinggiran dan
terpencil. Pada tahap pertama (tahun 2003) dan kedua (2004) telah dilakukan
pembangunan masing-masing di 3.016 dan 3.500 desa di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
wilayah Indonesia timur dengan menggunakan dana APBN. Saat ini pemerintah masih
menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2000 tentang Tarif Atas
Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Perhubungan yang mengatur kontribusi
penyelenggara telekomunikasi sebesar 0,75 persen dari pendapatan kotor sebagai sumber
pembiayaan program USO. Dengan demikian, pelaksanaan program USO sejak tahun
2005 diharapkan tidak lagi didanai dari APBN.
Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994. Selama
tahun 1999-2003 diperkirakan jumlah pelanggan internet meningkat lebih dari 238 persen,
yaitu dari 256 ribu orang menjadi 865 ribu, sedangkan pengguna internet meningkat dari 1
juta orang menjadi 8 juta atau meningkat sebesar 700 persen. Walaupun dalam waktu
relatif singkat perkembangan internet mengalami banyak kemajuan, namun internet belum
menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hal
ini disebabkan oleh tingginya biaya penyediaan perangkat keras dan akses internet, serta
masih rendahnya tingkat e-literacy penduduk Indonesia. Belum lengkapnya peraturan
pendukung pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi seperti transaksi
elektronik dan kerahasiaan dan perlindungan data juga merupakan kendala bagi
pengembangan berbagai aplikasi berbasis teknologi informasi. Disamping itu, kejahatan
Bagian IV.33 – 88
Draft 12 Desember 2004
dunia maya yang meluas juga masih belum dapat ditanggulangi secara efektif karena belum
lengkapnya peraturan yang terkait.
Pada subsektor penyiaran, penyelenggaraan di daerah komersial dilakukan oleh
BUMN penyelenggara penyiaran dan penyelenggara swasta. Terbatasnya kualitas
sumberdaya manusia, rendahnya kualitas pengembangan konten penyiaran, dan
terbatasnya tingkat pemanfaatan teknologi tinggi, menjadikan BUMN penyiaran tidak
mampu bersaing dengan penyelenggara swasta. Selain itu, BUMN penyiaran juga harus
melaksanakan program USO. Besarnya ketergantungan BUMN penyiaran kepada APBN,
serta tidak memadainya pendapatan perusahaan telah menghambat pembangunan
pemancar baru dan terbatasnya kegiatan pembaharuan pemancar yang ada. Kondisi ini
menyebabkan beberapa stasiun daerah terpaksa menghentikan kegiatan operasionalnya.
3.3.2 SASARAN PEMBANGUNAN POS DAN TELEKOMUNIKASI
Dalam era informasi, pos dan telematika mempunyai arti strategis karena tidak saja
berperan dalam percepatan pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam berbagai aspek lain
seperti peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta pendukung aspek politik dan
pertahanan keamanan. Dalam rangka menjamin kelancaran arus informasi, perlu dilakukan
perluasan jangkauan serta peningkatan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan pos dan
telematika.
Sasaran umum yang hendak dicapai dalam pembangunan pos dan telematika dalam
lima tahun mendatang adalah (a) terwujudnya penyelenggaraan pos dan telematika yang
efisien, yaitu yang mampu mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional
dengan tetap memperhatikan kemanfaatan aspek sosial dan komersial; dan (b)
meningkatnya aksesibilitas masyarakat akan layanan pos dan telematika. Kedua sasaran
utama tersebut dapat dijabarkan ke dalam beberapa sasaran pendukung, yaitu (a)
terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan; (b) tercapainya teledensitas
sambungan tetap sebesar 13 persen dan STB 20 persen; (c) selesainya pembangunan 43
ribu sambungan baru di 43 ribu desa; dan (d) terjaganya kualitas layanan penyiaran televisi
dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia.
Untuk pembangunan telekomunikasi sambungan tetap selama tahun 2005-2009 dalam
lingkungan duopoli diindikasikan sebagai berikut (Tabel 2):
Tabel 2 Indikasi Pembangunan Sambungan Tetap 2005 – 2009
Rencana
Pembangunan (ss)
2005
2006
2007
2008
PT Telkom
1.740.803 2.450.894
PT Indosat
500.000
500.000
Sumber: PT Telkom, PT Indosat (2004)
2.822.724
750.000
2.819.692
750.000
2009
Total
2.999.443 12.833.556
750.000 3.250.000
Pembangunan pos dalam lima tahun ke depan diprioritaskan pada program PSO yang
pembiayaannya akan disediakan oleh pemerintah sedangkan pelaksanaannya dilakukan
oleh BUMN pos. Untuk pembangunan telekomunikasi baik sambungan tetap maupun
bergerak, pembiayaan akan disediakan oleh para penyelenggara, termasuk pembangunan
di daerah USO. Sementara itu, pembiayaan pembangunan penyiaran akan dilakukan oleh
pemerintah mengingat pada akhir tahun 2005 baik PT TVRI (persero) maupun Perjan
Bagian IV.33 – 89
Draft 12 Desember 2004
RRI harus sudah ditransformasikan menjadi lembaga penyiaran publik sesuai UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
3.3.3 ARAH KEBIJAKAN SUBSEKTOR POS DAN TELEMATIKA
Sesuai dengan karakteristik dan tingkat kematangan setiap subsektor, diperlukan
pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan laju pembangunan infrastruktur informasi
pos, telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran. Walau berbeda, setiap pendekatan
tersebut haruslah mampu menciptakan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan
pengguna jasa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pos dan telematika yang
efisien. Pada penyelenggaraan pos dan penyiaran, pemerintah masih mempunyai fungsi
operasi sehingga masih dibutuhkan investasi pemerintah dalam melakukan pembangunan
fisik. Di sisi lain, pemerintah tidak lagi berperan dalam aspek operasi pada
penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan demikian, pemerintah lebih bersifat sebagai
fasilitator dalam pembangunan fisik telekomunikasi.
Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan lima tahun mendatang,
kebijakan yang ditempuh adalah:
a. Merestrukturisasi penyelenggaraan pos dan telematika
Kebijakan ini ditujukan untuk (a) menciptakan iklim investasi dan berusaha yang
kondusif; serta (b) menyehatkan dan meningkatkan kinerja penyelenggara pos dan
telematika. Pelaksanaan restrukturisasi tidak terfokus pada BUMN penyelenggara,
tetapi lebih kepada sektor secara.menyeluruh termasuk restrukturisasi tatanan
hukum dan peraturan, tatanan industri, serta iklim berusaha. Kebijakan ini juga
diperlukan untuk mengantisipasi konvergensi teknologi telekomunikasi, teknologi
informasi dan penyiaran. Konvergensi teknologi selanjutnya mengakibatkan
konvergensi pasar dan industri yang harus diantisipasi oleh kebijakan, peraturan
dan kelembagaan yang dinamis agar pemanfaatannya dapat lebih optimal.
b. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur pos dan
telematika
Penyediaan infrastruktur pos dan telematika yang memadai sangat diperlukan
untuk memperkecil kesenjangan digital bukan saja antardaerah di Indonesia tetapi
juga antara Indonesia dengan negara lain. Terbatasnya sumberdaya yang dimiliki,
termasuk sumber pembiayaan, secara langsung telah membatasi kemampuan
pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan
efisiensi baik dalam pemanfaatan infrastruktur yang ada maupun pembangunan
infrastruktur baru, seperti optimasi pemanfaatan infrastruktur non-telekomunikasi
yang berpotensi untuk digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan
pemakaian bersama suatu infrastruktur oleh beberapa penyelenggara (resource
sharing).
c. Meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan aplikaasi berbasis teknologi
informasi dan komunikasi
Pentingnya ketersediaan infrastruktur dalam pengembangan berbagai aplikasi
berbasis teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri. Di lain pihak, pengembangan serta pemanfaatan isi dan aplikasi
berbasis teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan prasyarat yang harus
diperhatikan karena sesungguhnya informasilah yang mempunyai nilai ekonomi.
Bagian IV.33 – 90
Draft 12 Desember 2004
Dalam upaya pengembangan berbagai aplikasi yang padat teknologi, pemerintah
perlu meningkatkan kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Selain itu,
pemerintah juga harus memperkuat kemampuan industri nasional dan
mempersiapkan perangkat peraturan yang dapat mendorong pemanfaatan aplikasi
telematika secara luas.
3.3.4 PROGRAM PEMBANGUNAN POS DAN TELEKOMUNIKASI
Pembangunan bidang pos dan telematika dilaksanakan melalui tiga program, yakni (1)
Program penyelesaian restrukturisasi pos dan telematika; (2) Program pengembangan,
pemerataan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika; dan (3)
Program penguasaan serta pengembangan aplikasi dan teknologi informasi dan
komunikasi.
1. PROGRAM PENYELESAIAN RESTRUKTURISASI POS DAN TELEMATIKA.
Program ini bertujuan untuk: (a) menciptakan kompetisi yang sehat dan setara; (b)
menciptakan iklim investasi yang kondusif; (c) membuka peluang bagi penyelenggara baru
yang dinilai layak dan berkemampuan; serta (d) menyehatkan dan meningkatkan kinerja
penyelenggara.
Sasaran yang hendak dicapai adalah: (a) meningkatnya kinerja kesehatan dan
penyelenggara pos dan telematika; (b) tergalinya berbagai sumber pembiayaan non
pemerintah; (c) meningkatnya peran serta swasta; (d) terciptanya efisiensi dan kompetisi
yang sehat dan setara.
2. PROGRAM PENGEMBANGAN, PEMERATAAN DAN PENINGKATAN KUALITAS SARANA
DAN PRASARANA POS DAN TELEMATIKA
Program ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap
layanan pos dan telematika; dan (b) mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana
dan prasarana pos dan telematika.
Sasaran yang hendak dicapai adalah: (a) meningkatnya efisiensi pemanfaatan
infrastruktur yang telah dibangun dan pembangunan infrastruktur baru; (b) tersedianya
infrastruktur pos dan telematika hingga ke daerah PSO/USO; dan (c) tersedianya
pelayanan jasa pos dan telematika yang memadai.
3. PROGRAM
PENGUASAAN SERTA PENGEMBANGAN APLIKASI DAN TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Program ini bertujuan untuk: (a) mendayagunakan informasi serta teknologi informasi
dan komunikasi beserta aplikasinya guna mewujudkan tata-pemerintahan yang lebih
transparan, efisien, dan efektif; (b) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memanfaatkan informasi serta teknologi informasi dan komunikasi guna meningkatkan
taraf dan kualitas hidup; dan (c) meningkatkan kemampuan industri dalam negeri dalam
memanfaatkan dan mengembangkan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi.
Bagian IV.33 – 91
Draft 12 Desember 2004
Sasaran program ini adalah (a) meningkatnya literasi masyarakat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi; (b) meningkatnya kualitas industri informasi dan komunikasi
dalam negeri.
Selanjutnya langkah-langkah utama yang akan ditempuh meliputi: (a) menyelesaikan
penyusunan dan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan pendukung restrukturisasi
pos dan telematika; (b) menyelesaikan penyusunan peraturan perundang-undangan terkait
pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya,
seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik; (c) menyusun mekanisme dan besaran
bantuan pemerintah dalam rangka pelaksanaan program PSO pos dan USO penyiaran; (d)
melakukan pembangunan baru 18 juta sambungan telepon tetap, 25 juta sambungan
bergerak, dan 43 ribu ss di daerah perdesaan; (e) menyusun migrasi penyelenggaraan
telekomunikasi dari bentuk duopoli ke bentuk kompetisi penuh; (f) memperkuat Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia; (g) meningkatkan efisiensi pengalokasian dan
pemanfaatan spektrum frekuensi; (h) memperkuat kelembagaan lembaga penyiaran; (i)
meningkatkan porsi industri dalam negeri melalui produk unggulan, standarisasi,
perkuatan kemampuan SDM di bidang teknologi informasi dan komunikasi untuk
menciptakan pasar bagi mass product.
IV. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
4.1 PERUMAHAN
A. PERMASALAHAN PERUMAHAN
Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah. Pada tahun
2000, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sebanyak 4.338.864 rumah tangga
yang merupakan akumulasi dari kebutuhan tahun sebelumnya yang belum terakomodasi
oleh penyediaan rumah yang dilakukan oleh BUMN dan developer swasta serta swadaya
masyarakat dan adanya pertumbuhan jumlah rumah tangga. Bila pemerintah berkeinginan
agar dalam waktu 10 tahun kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dan pemerintah juga
memperhatikan kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk (pertumbuhan rumah
tangga) maka sejak tahun 2000 total kebutuhan rumah per tahun sebesar 1.163.533 unit,
sehingga pada tahun 2004 akhir terdapat kebutuhan total sebanyak 5.832.665 unit rumah
dan pada akhir tahun 2009 kebutuhan tersebut mencapai 11.665.330 unit.
Meningkatnya luasan kawasan kumuh. Pada tahun 1996 luas kawasan kumuh
mencapai 40.053 ha dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 47.500 Ha yang tersebar di
10.000 lokasi dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa. Luasan kawasan kumuh cenderung
terus meningkat setiap tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin tidak
terkendalinya pertumbuhan kota utama (primacy city) yang menjadi penarik meningkatnya
arus migrasi. Selain itu, laju pertumbuhan kawasan kumuh juga dipicu oleh keterbatasan
kemampuan dan ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah (home
improvement). Hal lain yang juga menjadi pemicu adalah ketidakharmonisan antara struktur
infrastruktur kota, khususnya jaringan jalan dengan kawasan permukiman yang terbangun.
Di pinggir kota hal tersebut yang menimbulkan urban sprawl yang membawa dampak
kepada kemacetan (congestion), ketidak-teraturan, yang pada akhirnya menimbulkan
ketidakefisienan dan pemborosan energi dan waktu.
Bagian IV.33 – 92
Draft 12 Desember 2004
Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaan perumahan. Sumber
pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umumnya berasal dari dana jangka
pendek (deposito dan tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada umumnya
mempunyai tenor jangka panjang. Belum adanya sumber pembiayaan perumahan jangka
panjang selalu menjadi kendala bagi pengembangan pasar perumahan yang sehat.
Kesenjangan tersebut dalam jangka panjang menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak
sehat karena ketidakstabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan selain itu pasar
perumahan juga sangat terpengaruh (volatile) terhadap perubahan ekonomi makro. Tidak
adanya sumber pembiayaan perumahan jangka panjang juga merupakan salah satu
penyebab berkembangnya pola penjualan rumah sistem pre-sale dimana konsumen tidak
membeli rumah tetapi membeli peta yang akan dibangun bila konsumen telah melunasi
uang muka. Kondisi tersebut secara tidak langsung merugikan konsumen dan juga
menyebabkan pasar tidak sehat karena agunan (collateral) hanya berdasarkan kepada satu
surat hingga rumah yang diinginkan terbangun sehingga sulit untuk di disclosure bila terjadi
wan prestasi (default).
Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan. Tingginya biaya
administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam pembangunan perumahan merupakan satu
persoalan yang senantiasa dihadapi dalam pembangunan perumahan. Biaya perijinan
untuk pembangunan perumahan saat ini mencapai 20 persen dari nilai rumah. Hal ini
menimbulkan ketidakefisienan pasar perumahan karena biaya tersebut akan diteruskan
(pass-through) kepada konsumen sehingga semakin menjauhkan ketrjangkauan (affordability)
masyarakat terhadap harga yang ditawarkan.
Pola subsidi yang memungkinkan terjadinya salah sasaran. Pola subsidi
terhadap tingkat bunga (interest rate) dalam KPR pertama diterapkan pada tahun 1975-1976
pada saat pemerintah melalui Perum Perumnas memulai pembangunan rumah sederhana
di Depok. Kebijakan pola subsidi tersebut masih terus dipakai hingga saat ini walaupun
banyak kelemahan di dalamnya antara lain, memungkinkan dipergunakan sebagai alat
untuk melakukan spekulasi, dan mendistorsi pasar perumahan. Pola subsidi tersebut
sangat tergantung kepada alokasi tahunan melalui APBN sehingga tidak memiliki
kestabilan dalam ketersediaan setiap tahunnya. Hal ini semakin diperparah karena
penempatan subsidi tersebut sebagai subsidi program yang seringkali kalah prioritas
dibandingkan sektor yang lain.
B. SASARAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN
Untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang mempergunakan kredit pemilikan
rumah sebagai cara untuk memiliki rumah maka sasaran umum pembangunan perumahan
adalah pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat melalui terciptanya pasar primer
yang sehat, efisien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang
market friendly, efisien, dan akuntabel.
Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang terbatas kemampuannya maka sasaran
umum yang harus dicapai adalah terbentuknya pola subsidi yang tepat sasaran, tidak
mendistorsi pasar, akuntabel, dan mempunyai kepastian dalam hal ketersediaan setiap
tahunnya. Selain itu, sasaran yang juga harus dicapai adalah terbentuknya kredit mikro bagi
Bagian IV.33 – 93
Draft 12 Desember 2004
perbaikan dan pembangunan rumah baru (home improvement and home development
credit) yang terkait dengan kredit peningkatan pendapatan (income generating credit).
Sebagaimana telah digariskan dalam Millenium Development Goals, maka sasaran
yang juga harus dicapai adalah penurunan luasan kawasan kumuh sebesar 50 persen dari
luas yang ada saat ini pada akhir tahun 2009.
C.
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN
Arah kebijakan yang akan dikembangkan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah
disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
Pemantapan pasar primer perumahan
Berkembangnya secondary mortgage facility (SMF) dan secondary mortgage market (SMM).
Terbentuknya peraturan perundang-undangan dan kelembagaan pendukung SMF dan
SMM (UU Sekuritisasi, Biro Kredit, Surat Hak Tanggungan, insentif perpajakan dan
sebagainya);
4. Meningkatkan penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpendapatan rendah;
5. Mengembangkan kredit mikro pembangunan dan perbaikan rumah yang terkait
dengan kredit mikro peningkatan pendapatan (income generating);
6. Menciptakan pola subsidi baru yang lebih tepat sasaran;
7. Mengembangkan insentif fiskal bagi swasta yang menyediakan hunian bagi
buruh/karyawannya;
8. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan teknis keamanan dan keselamatan gedung;
9. Menciptakan kepastian hukum dalam bermukim (secure tenure); serta
10. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana lingkungan pada kawasan
kumuh;
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN
Untuk mencapai sasaran dan arah kebijakan sebagaimana disebutkan di atas maka
kegiatan-kegiatan pokok akan dilakukan melalui 2 (dua) program yaitu program
pengembangan perumahan dan program pemberdayaan komunitas perumahan.
1. PROGRAM PENGEMBANGAN PERUMAHAN
Program ini bertujuan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak,
sehat, aman, dan terjangkau, dengan menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan
berpendapatan rendah, melalui pemberdayaan dan peningkatan kinerja pasar primer
perumahan; pengembangan sistem pembiayaan perumahan jangka panjang;
pengembangan kredit mikro dan pemberdayaan ekonomi lokal; pengembangan
Kasiba/Lisiba; serta pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), rumah
sederhana, dan rumah sederhana sehat.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dalam program ini meliputi:
1. Deregulasi dan reregulasi peraturan perundang-undangan pertanahan, perbankan,
perpajakan, pengembang (developer), dan pasar modal yang terkait dengan upaya
pemantapan pasar primer perumahan;
Bagian IV.33 – 94
Draft 12 Desember 2004
2. Pembentukan lembaga pembiayaan perumahan nasional beserta instrumen regulasi
pendukungnya;
3. Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman bagi perumahan PNS,
TNI/Polri dan masyarakat berpendapatan rendah;
4. Pengembangan lembaga kredit mikro (income generating credit, home
improvement and home development credit) untuk mendukung perumahan
swadaya;
5. Pengembangan pola subsidi yang tepat sasaran, efisien dan efektif sebagai
pengganti subsidi selisih bunga;
6. Penyediaan 1.350.000 unit rumah baru layak huni bagi masyarakat yang belum
memiliki rumah;
7. Peningkatan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap kredit mikro (small
scale credit) untuk pembangunan dan perbaikan rumah sebanyak 3.600.000 unit
rumah;
8. Pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) bagi masyarakat
berpendapatan rendah sejumlah 60.000 unit;
9. Revitalisasi kawasan perkotaan yang mengalami degradasi kualitas permukiman
pada 79 kawasan;
10. Pengembangan tata keselamatan dan keamanan gedung pada kota-kota menengah
dan besar;
11. Peningkatan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara; dan
12. Penyusunan norma, standar, peraturan, dan manual (NSPM) di bidang perumahan
dan keselamatan bangunan gedung.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas maka diperlukan anggaran
sebesar Rp20 triliun yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMS. Anggaran pemerintah dipergunakan
untuk membiayai kebutuhan yang terkait dengan pembentukan regulasi, pembinaan dan
pengawasan teknis, penyusunan NSPM, dan subsidi bagi masyarakat berpendapatan
rendah.
2. PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PERUMAHAN
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan
lembaga komunitas dalam rangka pemberdayaan sosial kemasyarakatan agar tercipta
masyarakat yang produktif secara ekonomi dan berkemampuan mewujudkan terciptanya
lingkungan permukiman yang sehat, harmonis dan berkelanjutan.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dari program ini adalah:
1. Peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan kumuh, desa tradisional, desa
nelayan, dan desa eks transmigrasi;
2. Fasilitasi dan bantuan teknis perbaikan rumah pada kawasan kumuh, desa
tradisional, desa nelayan, dan desa eks transmigrasi;
3. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya yang berbasis
pemberdayaan masyarakat;
4. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan dan rehabilitasi rumah akibat bencana alam
dan kerusuhan sosial;
5. Pengembangan sistem penanggulangan kebakaran (fire fighting system);
6. Penataan, peremajaan dan revitalisasi kawasan; dan
Bagian IV.33 – 95
Draft 12 Desember 2004
7. Penyusunan NSPM di bidang pemberdayaan komunitas perumahan
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas maka diperlukan anggaran
sebesar Rp10 triliun yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMS. Anggaran pemerintah dipergunakan
untuk membiayai kebutuhan yang terkait dengan pemberdayaan komunitas masyarakat
dan peningkatan kualitas lingkungan bagi masyarakat berpendapatan rendah, fasilitasi
pembentukan skema kredit mikro, pembinaan dan pengawasan teknis, dan penyusunan
NSPM.
4.2 AIR MINUM DAN AIR LIMBAH
A. PERMASALAHAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH
Stagnasi dalam peningkatan pelayanan air minum perpipaan selama 10 tahun
terakhir (1992-2002). Pada tahun 1992 jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan)
yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 14,7 persen, pada tahun
1997 meningkat sedikit menjadi 19,2 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi 18,3
persen. Pada kawasan perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992
hanya sebesar 5,5 persen berubah menjadi 7,0 persen pada tahun 1997, dan turun menjadi
6,2 persen pada tahun 2002, sedangkan pada kawasan perkotaan tingkat pelayanan air
minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 35,3 persen, pada tahun 1997 berubah
menjadi 39,9 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya 33,3 persen. Pelayanan air
minum perpipaan di kawasan perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan di kawasan perdesaan pada
umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes
(Badan Usaha Milik Desa).
Rendahnya kualitas pengelolaan pelayanan air minum yang dilakukan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil audit terhadap PDAM pada tahun
2000 menunjukkan hanya 57,53 persen PDAM memperoleh predikat Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) yang berarti menurun dibandingkan tahun sebelumnya (1999)
sebesar 59,43 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) pada tahun 2000 sebesar 25,27 persen yang berarti meningkat dari audit tahun
1999 sebesar 23,58 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Pendapat Tidak Wajar pada
tahun 2000 sebesar 0,54 persen yang berarti membaik dibandingkan dengan tahun 1999
sebesar 0,94 persen, sedangkan proporsi PDAM dengan predikat Tidak Menyatakan
Pendapat pada tahun 2000 sebesar 16,67 persen yang berarti memburuk dibandingkan
dengan audit tahun 1999 sebesar 16,04 persen.
Stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air minum. Tingkat kebocoran
yang disebabkan oleh kebocoran teknis (rusaknya water meter dan pipa bocor) dan non
teknis (illegal connection dan administrasi) yang masih berkisar pada kisaran antara 30 persen40 persen, yang berarti masih jauh di atas ambang batas normal (20 persen). Tingkat
kebocoran pada tahun 1996 sebesar 39,85 persen, pada tahun 1999 bisa ditekan hingga
30,01 persen, namun pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 33,26 persen. Angka
kebocoran ini akan terus meningkat apabila kinerja pengelolaan PDAM tidak diperbaiki.
Terdapat korelasi yang kuat antara menurunnya kinerja pengelolaan PDAM dengan
meningkatnya kebocoran.
Bagian IV.33 – 96
Draft 12 Desember 2004
Meningkatnya kecenderungan kabupaten/kota yang baru terbentuk untuk
membentuk PDAM baru yang terpisah dari PDAM kabupaten/kota induk.
Kecenderungan pembentukan PDAM baru dipicu dengan alasan kabupaten/kota baru
memerlukan sumber pendapatan asli daerah yang diharapkan berasal dari BUMD dalam
hal ini PDAM. Kecenderungan ini membawa pengaruh negatif yaitu meningkatnya
ketidakefisienan dalam pelayanan air minum yang diakibatkan oleh hambatan skala
ekonomi (economic of scale) yaitu menciutnya pasar akibat pecahnya PDAM, meningkatnya
biaya overhead (gaji, operasi, dan pemeliharaan) karena pembentukan PDAM baru, dan
meningkatnya biaya produksi air minum karena munculnya transaksi baru (additional cost)
terhadap ketersediaan air baku antara kabupaten/kota induk dengan kabupaten/kota baru.
Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisi pemulihan biaya (full
cost recovery). Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah biaya
produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini beroperasi
dengan kondisi rugi. Tarif rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp430,00 per m3
sedangkan biaya produksi air minum rata-rata sebesar Rp1.100,00 - Rp1.700,00 per m3.
Biaya produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya
kualitas dan kuantitas air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas lingkungan.
Menurunnya kualitas lingkungan juga menyebabkan pelayanan air minum di kawasan
perdesaan semakin memburuk. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya jumlah mata air,
semakin dalamnya air tanah dangkal, semakin rendahnya kualitas air permukaan (sungai,
danau, embung, dan waduk).
Belum diolahnya lumpur tinja (sludge) secara baik. Tingkat pelayanan air limbah
selama 10 tahun terakhir (1992-2002) cukup baik yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,58
persen per tahun. Jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan) pada tahun 1992
yang mendapatkan pelayanan dasar air limbah sebesar 30,9 persen, pada tahun 1997
bertambah menjadi 59,3 persen, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 63,5 persen.
Tingkat pelayanan air limbah di kawasan perdesaan pada tahun 1992 mencapai 19,1
persen, berubah menjadi 49 persen pada tahun 1997, dan meningkat menjadi 52,2 persen
pada tahun 2002, sedangkan tingkat pelayanan air limbah di kawasan perkotaan pada
tahun 1992 sebesar 57,5 persen, meningkat menjadi 76,9 persen pada tahun 1997, dan
meningkat menjadi 77,5 persen pada tahun 2002. Namun demikian, hasil tersebut tidak
diikuti dengan peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap lumpur tinja domestik
dari tangki septik dan jamban. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Instalasi
Pengolah Limbah Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah lumpur tinja
domestik tersebut yaitu lebih kecil dari dari 30 persen serta masih tingginya pemanfaatan
sungai sebagai tempat pembuangan lumpur tinja domestik tersebut.
Menurunnya persentase masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan
pelayanan sistem pembuangan air limbah (sewerage system). Hal ini disebabkan laju
pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan tidak mampu diikuti oleh laju penyediaan
prasarana dan sarana sistem pembuangan air limbah. Rendahnya laju pembangunan sistem
pembuangan air limbah bagi kota-kota metropolitan dan besar pada umumnya disebabkan
oleh semakin mahalnya nilai konstruksi, semakin terbatasnya lahan yang dapat
dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan, sementara di lain pihak kesediaan membayar
(willingness to pay) dari masyarakat untuk pelayanan air limbah domestik masih sangat
rendah sehingga tidak dapat menutup biaya pelayanan.
Bagian IV.33 – 97
Draft 12 Desember 2004
B. SASARAN PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH
Sasaran umum pembangunan air minum adalah meningkatnya cakupan pelayanan air
minum perpipaan secara nasional hingga mencapai 40 persen pada akhir tahun 2009
dengan perincian cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk penduduk yang tinggal di
kawasan perkotaan diharapkan dapat meningkat hingga mencapai 66 persen dan di
kawasan perdesaan meningkat hingga mencapai 30 persen.
Sasaran umum pembangunan air limbah adalah open defecation free untuk semua
kabupaten/kota hingga akhir tahun 2009 yang berarti semua rumah tangga minimal
mempunyai jamban sebagai tempat pembuangan faeces dan meningkatkan kualitas air
permukaan yang dipergunakan sebagai air baku bagi air minum. Selain itu sasaran
pembangunan air limbah adalah meningkatkan utilitas IPLT dan IPAL yang telah
dibangun hingga mencapai minimal 60 persen pada akhir tahun 2009 serta pengembangan
lebih lanjut pelayanan sistem pembuangan air limbah serta berkurangnya pencemaran
sungai akibat pembuangan tinja hingga 50 persen pada akhir tahun 2009 dari kondisi saat
ini.
C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH
Pelayanan yang ingin dikembangkan dalam pembangunan air minum dan air limbah
hingga akhir tahun 2009 adalah pelayanan air minum dan air limbah yang berkualitas,
efisien, dengan harga terjangkau, menjangkau semua lapisan masyarakat, dan berkelanjutan
yang akan dilaksanakan melalui kebijakan sebagai berikut:
1. Menciptakan kesadaran seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap
pentingnya peningkatan pelayanan air minum dan air limbah dalam pengembangan
sumber daya manusia dan produktivitas kerja.
2. Meningkatkan peranserta seluruh pemangku kepentingan dalam upaya mencapai
sasaran pembangunan air minum dan air limbah hingga akhir tahun 2009.
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut
berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan air minum dan air limbah
melalui deregulasi dan reregulasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kemitraan pemerintah-swasta (public-private-partnership).
4. Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan air minum dan air limbah
sebagai upaya meningkatkan efisiensi pelayanan dan efisiensi pemanfaatan sumber
daya alam (air baku).
5. Meningkatkan kinerja pengelola air minum dan air limbah melalui restrukturisasi
kelembagaan dan revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMD
bidang air minum dan air limbah.
6. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pelayanan air minum dan
air limbah melalui uji kompetensi, pendidikan, pelatihan, dan perbaikan pelayanan
kesehatan.
7. Mengurangi tingkat kebocoran pelayanan air minum hingga mencapai ambang
batas normal sebesar 20 persen hingga akhir tahun 2009.
Bagian IV.33 – 98
Draft 12 Desember 2004
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH
Untuk mencapai sasaran dan melaksanakan kebijakan di atas maka dilakukan kegiatankegiatan yang tercakup dalam 3 (tiga) program yaitu: (1) program pengembangan
pemberdayaan masyarakat, (2) program pengembangan kelembagaan, (3) program
pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah.
1. PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
peranan air minum dan air limbah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
produktivitasnya dengan sasaran yang akan dicapai meliputi (1) meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap perlunya perilaku hidup bersih dan sehat, (2) meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah
Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Kampanye publik, mediasi, dan fasilitasi, kepada masyarakat mengenai perlunya
perilaku hidup bersih dan sehat;
2. Peningkatan peran sekolah dasar dalam mendukung perilaku hidup bersih dan
sehat;
3. Pelaksanaan percontohan dan pengembangan peran masyarakat dalam menjaga
kelestarian sumber air baku;
4. Pelaksanaan percontohan dan pengembangan peran masyarakat dalam
meningkatkan kualitas lingkungan;
5. Pelestarian budaya dan kearifan lokal yang mendukung pelestarian dan penjagaan
kualitas air baku;
6. Pengembangan budaya penghargaan dan hukuman (reward and punishment)
terhadap partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan;
7. Peningkatan peran charity fund dan LSM/NGO; serta
8. Peningkatan kapasitas masyarakat dengan berdasar kepada pendekatan tanggap
kebutuhan (demand responsive approach/demand driven), partisipatif, pilihan yang
diinformasikan (informed choice), keberpihakan pada masyarakat miskin (pro-poor),
gender, pendidikan, dan swadaya (self-financing).
Untuk mencapai sasaran program tersebut hingga akhir tahun 2009 melalui kegiatankegiatan yang akan dilakukan tersebut maka diperlukan anggaran sebesar Rp500 miliar
yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
badan usaha milik daerah (BUMD), serta badan usaha milik swasta (BUMS)
2. PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
Program ini ditujukan untuk melakukan penataan kembali peraturan perundangundangan dan pengembangan kelembagaan yang terkait dengan pembangunan air minum
dan air limbah untuk mewujudkan sistem kelembagaan dan tata laksana pembangunan air
minum dan air limbah yang efektif dengan sasaran pokok:
1. Meningkatnya koordinasi dan kerjasama antarsektor dan antarwilayah dalam
pembangunan air minum dan air limbah;
2. Terciptanya peraturan perundang-undangan yang mengatur kemitraan pemerintahswasta (public private partnership) di bidang air minum dan air limbah;
Bagian IV.33 – 99
Draft 12 Desember 2004
3. Meningkatnya peranan badan usaha milik swasta dalam pembangunan dan
pengelolaan air minum dan air limbah;
4. Tersedianya sumber pembiayaan yang murah dan berkelanjutan;
5. Terselesaikannya revisi peraturan perundang-undangan yang melakukan
pengaturan terhadap BUMD yang bergerak dalam pembangunan dan pengelolaan
air minum dan air limbah.
Untuk mencapai sasaran tersebut akan dilakukan kegiatan:
1. Penyusunan peraturan presiden tentang kerjasama antar wilayah (regionalisasi)
dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah;
2. Penyusunan peraturan presiden tentang kerjasama antara BUMN/BUMD dengan
BUMS;
3. Peningkatan kerjasama BUMD dengan BUMS yang saling menguntungkan,
akuntabel, transparan;
4. Pengembangan water supply and wastewater fund; serta
5. Penyusunan peraturan presiden tentang penerbitan obligasi oleh BUMD.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok tersebut maka diperlukan anggaran
sebesar Rp250 miliar yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, BUMN/BUMD, dan BUMS.
3. PROGRAM PENGEMBANGAN KINERJA PENGELOLAAN AIR MINUM
LIMBAH
DAN
AIR
Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air
limbah yang dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) dan yang dilaksanakan
oleh komunitas masyarakat secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Sasaran yang
hendak dicapai dalam program ini adalah: (1) meningkatnya cakupan pelayanan air minum
dan air limbah yang dikelola oleh BUMD, (2) meningkatnya kinerja BUMD pengelola air
minum dan air limbah hingga berpredikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), (3)
meningkatnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dikelola secara langsung
oleh masyarakat.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka akan dilaksanakan kegiatan sebagai berikut:
1. Restrukturisasi manajemen PDAM dan PDAL;
2. Meningkatkan jumlah PDAM dan PDAL yang berpredikat WTP;
3. Capacity building bagi PDAM dan PDAL melalui uji kompetensi, pendidikan dan
pelatihan, optimasi rasio pegawai dan pelanggan;
4. Revisi peraturan struktur dan penentuan tarif;
5. Penurunan kebocoran melalui penggantian pipa bocor dan berumur, penggantian
pipa air, penegakan hukum terhadap sambungan liar (illegal connection), peningkatan
efisiensi penagihan;
6. Peningkatan operasi dan pemeliharaan;
7. Penurunan kapasitas tidak terpakai (idle capacity);
8. Refurbishment terhadap sistem penyediaan air minum dan pembuangan air limbah
yang telah terbangun;
9. Peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan air
minum dan air limbah;
10. Pengembangan pelayanan air limbah yang berbasis masyarakat;
Bagian IV.33 – 100
Draft 12 Desember 2004
11. Pengembangan pelayanan sistem pembuangan air limbah pada kota-kota
metropolitan dan besar;
12. Pengembangan teknologi di bidang pengolahan lumpur tinja; serta
13. Restrukturisasi hutang PDAM dan PDAL khususnya yang terkait dengan
pinjaman luar negeri melalui subsidiary loan agreement (SLA).
Untuk mencapai sasaran program tersebut hingga akhir tahun 2009 melalui kegiatankegiatan yang akan dilakukan tersebut maka diperlukan anggaran sebesar Rp25 triliun
(terdiri dari investasi untuk air minum sebesar Rp16 triliun dan air limbah sebesar Rp9
triliun) yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, badan usaha milik daerah, serta badan usaha milik swasta. Anggaran
pemerintah diperlukan khususnya untuk meningkatkan pelayanan air minum dan air
limbah yang berbasis masyarakat, sedangkan anggaran non pemerintah (masyarakat
maupun badan usaha milik swasta) diutamakan untuk meningkatkan pelayanan air minum
dan air limbah yang berbasis kelembagaan seperti PDAM dan PDAL, baik yang dikelola
secara mandiri oleh PDAM dan PDAL atau yang dikerjasamakan dengan pihak BUMS
melalui kontrak manajemen (contract management), sewa beli (leasing), BOT, BOO, dan
sebagainya.
4.3 PERSAMPAHAN DAN DRAINASE
A. PERMASALAHAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE
Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainase secara baik dan
berwawasan lingkungan (environment friendly). Hal ini dapat dilihat dari cakupan
pelayanan persampahan di kawasan perkotaan selama 10 tahun (1992-2002) hanya mampu
melayani sebanyak 18,15 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase hanya mampu
melayani 2,51 juta jiwa. Stagnasi terjadi karena rendahnya kesadaran seluruh stakeholder,
khususnya pengambil keputusan, terhadap peranan penanganan persampahan dan
drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup yang baik.
Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat meningkatnya jumlah sampah
yang berasal dari rumah tangga (domestik) dan non rumah tangga yang dibuang
ke sungai dan atau dibakar. Persentase sampah yang dibuang ke sungai dan di bakar
pada tahun 1998 sebesar 65 persen dan meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2001.
Walaupun kenaikannya relatif kecil namun diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat
pembuangan akhir (TPA). Di kawasan perkotaan, laju penanganan sampah jauh lebih
lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan anggaran untuk
penanganan sampah hanya berkisar 1-2 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan
penduduk di perkotaan mencapai rata-rata 4,6 persen per tahun sehingga terjadi
kekurangan cakupan pelayanan (lack of services).
Menurunnya kualitas manajemen tempat pembuangan akhir (TPA).
Berubahnya sistem pengelolaan TPA yang didesain sebagai sanitary landfill dan atau
control landfill menjadi open dumping mencerminkan penurunan kinerja tersebut.
Kegagalan mempertahankan manajemen TPA sesuai dengan kriteria teknis sanitary landfill
mencapai 99 persen. Hal ini dapat dilihat dengan tidak ada satu kotapun yang mengelola
TPA sesuai dengan desain teknisnya yaitu sanitary landfill. Kondisi tersebut semakin
Bagian IV.33 – 101
Draft 12 Desember 2004
memperburuk kualitas lingkungan perkotaan akibat merebaknya pencemaran udara akibat
sampah yang terbakar akibat tidak terkendalinya gas methane dan proses pembusukan
sampah, rusaknya air tanah dangkal dan air permukaan akibat meresapnya air lindi yang
tidak terkendali, merebaknya gas dioxin yang karsinogen
Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan. Kelangkaan
lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan masyarakat membuang sampah ke
saluran drainase. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan persentase kawasan
tergenang dan persentase terhambatnya fungsi drainase. Pada tahun 1996 persentase
luasan kawasan tergenang hanya 2,31 persen dan meningkat menjadi 3,52 persen pada
tahun 2001, sedangkan saluran drainase yang tidak lancar pada tahun 1996 sebanyak 8,74
persen meningkat menjadi 10,04 persen pada tahun 2001. Kecenderungan akan terus
meningkat di masa mendatang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang
berarti juga bertambahnya timbulan sampah dan semakin sulitnya mendapatkan areal yang
memadai untuk tempat pembuangan sampah (baik tempat pembuangan sementara
maupun tempat pembuangan akhir). Selain itu, migrasi ke kawasan perkotaan, terbatasnya
lahan yang tersedia, dan rendahnya penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang pada
akhirnya membawa dampak peningkatan perambahan badan-badan air, termasuk saluran
drainase, baik yang secara alami telah ada sejak dahulu (sungai, kali, dan selokan), maupun
saluran drainase buatan (kanal dan got). Kehilangan luasan badan air di kawasan
perkotaan, khususnya di kota-kota metropolitan dan besar) paling tidak mencapai 5-10
persen per tahun.
B. SASARAN PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE
Sasaran umum pembangunan dan pengelolaan persampahan yang hendak dicapai
adalah meningkatnya jumlah sampah terangkut hingga 75 persen hingga akhir tahun 2009
serta meningkatnya kinerja pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) yang
berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota-kota metropolitan, kota
besar, dan kota sedang.
Sasaran umum pembangunan drainase adalah terbebasnya saluran-saluran drainase
dari sampah sehingga mampu meningkatkan fungsi saluran drainase sebagai pematus air
hujan dan berkurangnya wilayah genangan permanen dan temporer hingga 75 persen dari
kondisi saat ini.
C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE
Pelayanan yang akan dikembangkan dalam pembangunan persampahan dan drainase
hingga akhir tahun 2009 adalah pelayanan persampahan dan drainase yang berkualitas,
terjangkau, efisien, menjangkau seluruh lapisan masyarakat, serta berwawasan lingkungan
yang akan dilaksanakan melalui kebijakan sebagai berikut:
1. Menciptakan kesadaran seluruh stakeholders terhadap pentingnya peningkatan
pelayanan persampahan dan drainase.
2. Meningkatkan peranserta seluruh stakeholder dalam upaya mencapai sasaran
pembangunan air minum dan air limbah hingga akhir tahun 2009.
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut
berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan persampahan, baik dalam
handling-transportation maupun dalam pengelolaan TPA.
Bagian IV.33 – 102
Draft 12 Desember 2004
4. Menciptakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kemitraan
pemerintah-swasta (public-private-partnership) dalam bidang persampahan.
5. Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan persampahan dan drainase.
6. Meningkatkan kinerja pengelola persampahan dan drainase melalui restrukturisasi
kelembagaan dan revisi peraturan perundang-undangan yang terkait.
7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola persampahan dan drainase
melalui uji kompetensi, pendidikan, pelatihan, dan perbaikan pelayanan kesehatan.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE
Untuk mencapai sasaran dan arah kebijakan sebagaimana telah disebutkan di atas
maka dilakukan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam 3 (tiga) program yaitu: (1) program
pemberdayaan masyarakat, (2) program pengembangan kelembagaan, (3) program
peningkatan kinerja pengelolaan persampahan dan drainase.
1. PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penanganan
persoalan persampahan dan drainase dengan sasaran khusus yang hendak dicapai adalah
berkurangnya timbulan sampah, menurunnya perambahan terhadap sungai, kanal, dan
saluran drainase, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam penanganan
persampahan dan drainase.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan guna mencapai sasaran khusus tersebut antara
lain:
1. Kampanye penyadaran publik (public awareness campaign) mengenai 3R (reduce, reuse,
recycle);
2. Pengembangan pusat daur ulang (recycle center) yang berbasis masyarakat di kota
metropolitan dan kota besar;
3. Pemasyarakatan struktur pembiayaan dalam penanganan persampahan dan
drainase;
4. Pengembangan kapasitas bagi pemulung dan lapak di kota metropolitan dan kota
besar;
5. Pengembangan vermi compost dan pengomposan yang berbasis masyarakat di kota
besar dan kota sedang;
6. Proyek percontohan pengembangan produk pertanian organik skala kecil sebagai
upaya pengembangan pasar kompos;
7. Kampanye penyadaran publik (public awareness campaign) mengenai perlunya saluran
drainase dalam mengurangi genangan di kota metropolitan, kota besar, dan kota
sedang; serta
8. Peningkatan pemeliharaan dan normalisasi saluran drainase yang berbasis
masyarakat pada kawasan-kawasan kumuh di kota metropolitan, kota besar, dan
kota sedang.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok yang terkait dengan upaya pencapaian
sasaran program maka diperlukan anggaran Rp500 miliar yang berasal dari anggaran
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan BUMD. BUMS
khususnya yang berskala kecil dapat berperan serta dalam proyek percontohan
pengembangan pusat daur ulang (recycle center), vermi-compost, dan pengomposan.
Bagian IV.33 – 103
Draft 12 Desember 2004
2. PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
Program ini ditujukan untuk mewujudkan tata kelembagaan yang efektif, akuntabel,
dan transparan. Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah tersedianya perangkat
perundang-undangan yang mengatur hubungan kerjasama antara pemerintah dan swasta
dalam pengelolaan persampahan dan drainase, terciptanya sumber-sumber pembiayaan
baru bagi penanganan persampahan dan drainase, meningkatnya kualitas koordinasi dan
kerjasama antarwilayah dalam penanganan persampahan dan drainase.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk mencapainya antara lain:
1. Review dan revisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan
persampahan dan drainase;
2. Penyusunan naskah akademik rencana undang-undang persampahan,
3. Penyusunan kebijakan, strategi, dan rencana tindak penanggulangan sampah secara
nasional;
4. Pelaksanaan proyek percontohan regionalisasi penanganan persampahan dan
drainase;
5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan; serta
6. Proyek percontohan kerjasama pemerintah dan BUMS dalam pengelolaan
persampahan.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok guna menunjang pencapaian sasaran
program maka diperlukan anggaran Rp250 miliar yang diharapkan semua berasal dari
pemerintah pusat.
3. PROGRAM PENINGKATAN
DRAINASE
KINERJA
PENGELOLAAN
PERSAMPAHAN
DAN
Program ini bertujuan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah disebutkan di atas
secara cepat, tepat, bermanfaat, efisien, dan berwawasan lingkungan (environmental friendly).
Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah meningkatnya cakupan pelayanan
persampahan, berkurangnya luasan wilayah tergenang, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna, meningkatnya kinerja pengelola persampahan dan drainase.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain;
1. Restrukturisasi dan korporitisasi PD Kebersihan dan atau Dinas Kebersihan yang
menangani persampahan;
2. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan bagi aparat
maupun pegawai institusi yang menangani persampahan dan drainase;
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas pengangkutan persampahan;
4. Pengembangan pemisahan sampah organik dan anorganik;
5. Penerapan teknologi tinggi untuk pengurangan volume sampah bagi kota-kota
metropolitan;
6. Peningkatan kualitas pengelolaan tempat pembuangan akhir dengan standar
sanitary landfill system untuk kota-kota besar;
7. Penyusunan studi kelayakan pemanfaatan WTE-incenerator (waste to energy) dalam
pengolahan sampah;
Bagian IV.33 – 104
Draft 12 Desember 2004
8. Peningkatan kapasitas (capacity building) bagi institusi yang menangani
pembangunan dan pemeliharaan drainase;
9. Penegakan hukum terhadap permukiman liar yang memanfaatkan lahan di jaringan
drainase;
10. Peningkatan dan normalisasi saluran drainase;
11. Pembangunan jaringan drainase primer dan sekunder bagi kota-kota besar;
12. Peningkatan operasi dan pemeliharaan jaringan drainase primer dan sekunder;
serta
13. Peningkatan kerjasama antara pemerintah dan BUMS baik melalui kontrak
manajemen (contract management), sewa beli (leasing), BOT, dan BOO dalam
pengelolaan persampahan dan drainase.
Untuk dapat memberikan hasil yang optimal dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan
sebagaimana disebutkan di atas maka diperlukan anggaran Rp6 triliun (terdiri dari investasi
untuk persampahan sebesar Rp4 triliun dan untuk drainase sebesar Rp2 triliun) yang
berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
BUMD, dan BUMS. BUMS dapat terlibat dalam penanganan persampahan, baik dalam
pengolahan sampah organik, pengelolaan penanganan persampahan, pengelolaan tempat
pembuangan akhir (TPA), dan dalam kemitraan pemerintah-swasta (public-privatepartnership) seperti melalui kontrak manajemen (contract management), sewa beli (leasing),
BOT, dan BOO.
Bagian IV.33 – 105
Download