PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL

advertisement
PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL
MADE CHRISTINA NOVIANTI
DR. AWALUDDIN TJALLA
ABSTRAKSI
Masa awal remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui
berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya.
Tidak semua remaja dapat berperilaku asertif. Perilaku asertif itu sendiri didefinisikan sebagai suatu
pengungkapan ekspresi secara langsung dan jujur yang memungkinkan kita untuk mempertahankan hakhak pribadi kita tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain. Hal ini
disebabkan karena tidak semua anak remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki
hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula anak remaja yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif,
atau bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara
asertif. Hal ini mendapat pengaruh dari latar belakang budaya keluarga dimana anak remaja itu tinggal,
urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua
atau bahkan sistem kekuasaan orang tua. Dalam hal ini, perilaku asertif yang akan dibahas secara
mendalam dilihat berdasarkan usia remaja awal.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat : 1. Bagaimana ciri-ciri perilaku asertif yang tampak
pada remaja awal, 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku asertif remaja awal, serta 3.
Bagaimana proses perkembangan perilaku asertif pada remaja awal. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
metode pendekatan kualitatif agar memperoleh pemahaman yang luas dan mendalam tentang fenomena
yang diteliti. Peneliti juga menggunakan teknik pengambilan data wawancara dan observasi dengan
menggunakan alat bantu penelitian yaitu pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat perekam untuk
mempermudah proses penelitian. Subjek yang diteliti adalah remaja dengan rentang umur 12 tahun sampai
dengan 15 tahun dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Peneliti memilih remaja dengan
rentang umur 12 tahun sampai dengan 15 tahun karena pada rentang umur tersebut, remaja dikategorikan
sebagai remaja awal. Jenis kelamin yang dipilih adalah laki-laki dan perempuan, karena ada perbedaan
perilaku asertif berdasarkan jenis kelamin.
Setelah dilakukan penelitian, didapatkan bahwa ketiga subjek penelitian belum dapat
mengembangkan perilaku asertifnya di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Umumnya
mereka enggan untuk berperilaku asertif karena menghindari hukuman dari orang tua dan juga takut akan
dijauhi oleh teman-temannya. Dalam penelitian ini diharapkan para orang tua membantu subjek untuk
berlatih bersikap asertif dalam lingkungan keluarga dengan tidak memberikan hukuman fisik, verbal
maupun sosial bila subjek melakukan penolakan. Kepada ketiga subjek, disarankan agar berlatih
berperilaku asertif agar di masa mendatang, subjek menyadari bahwa dirinya memiliki hak untuk menolak,
mengemukakan pendapat serta memiliki hak untuk hidup bebas tanpa pengaruh dari figur otoritas ataupun
teman sebaya.
Kata Kunci : Perilaku Asertif, Remaja Awal
PENDAHULUAN
Perilaku asertif sangat penting bagi remaja awal, karena apabila seorang remaja tidak memiliki
keterampilan untuk berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak,
remaja awal ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi
individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang remaja awal
tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk
berperilaku asertif. Remaja awal dipilih, karena pada masa ini terdapat keraguan akan identitas diri sebagai
seorang remaja awal karena pada masa ini individu telah merasa dewasa namun masih ada orang-orang
disekelilingnya yang menyebutnya “anak remaja”. Perilaku asertif dibutuhkan oleh remaja awal , terlebih
apabila seorang remaja awa berada dalam lingkungan yang kurang baik seperti lingkungan perokok atau
pecandu narkoba, pada satu sisi sorang remaja tidak ingin kehilangan teman dan pada sisi lainnya seorang
remaja tidak ingin terjerumus pada hal-hal negatif.
Tidak semua individu dapat berperilaku asertif. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak remaja
laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula
anak remaja yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif, atau bahkan banyak individu selain anak
remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif. Hal ini mungkin mendapatkan
pengaruh dari latar belakang budaya keluarga dimana anak remaja itu tinggal, urutan anak tersebut dalam
keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua atau bahkan sistem kekuasaan
orang tua. Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, karena dalam berperilaku asertif, kita dituntut
untuk tetap menghargai orang lain dan tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun verbal. Sedangkan
perilaku agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak dituruti.
Remaja awal belum dapat mengkomunikasikan perasaan yang dirasa kepada orang lain secara jujur,
mereka menganggap mereka tidak memiliki hak untuk melakukan hal tersebut. Peneliti tertarik mengamati
perilaku asertif pada remaja awal lebih jauh karena peneliti menilhat banyaknya remaja awal yang enggan
berperilaku asertif karena mereka merasa bahwa suara atau keinginana mereka akan diabaikan oleh figur
otoritas seperti orang tua, guru, atau bahkan teman sebaya. Alasan pentingnya penelitian ini dilakukan
adalah, karena apabila seorang remaja awal tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang akan datang
remaja tersebut akan merasa merasa rendah diri dan tidak berani mengemukakan perasaanya kepada orang
lain karena merasa apa yang disampaikannya selalu tidak dipedulikan orang lain.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri perilaku asertif yang tampak pada remaja awal.
Penelitian ini pun memiliki tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif
pada remaja awal, serta mengetahui bagaimana proses perkembangan perilaku asertif pada remaja awal.
TINJAUAN PUSTAKA
Cawood (1988) menyebutkan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang langsung, jujur dan pada
tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak individu tanpa kecemasan yang tidak beralasan.
Alberti & Emmons (2002) memberikan pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan
dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan kita sendiri,
untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan
dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-hak orang lain.
Lange dan Jakubowski (1978) memberikan pengertian tentang perilaku asertif sebagai berikut:
“Standing up for personal rights and expressing toughts, feelings, and beliefs in direct, honest, and
appropriate ways which do not violate another person’s rights”
Dalam pengertian yang mereka
kemukakan, mereka menyatakan bahwa perilaku asertif adalah mempertahankan hak-hak kita dan
mengekspresikan apa yang kita yakini, rasakan serta inginkan secara langsung dan jujur dengan cara yang
sesuai yang menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Rini (2001), yaitu bahwa asertif adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap
menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Sedangkan Rathus dan Nevid (1983)
menyatakan bahwa asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan
terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi
serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar yang
berlaku pada suatu kelompok.
Selanjutnya, Beddel & Lennox (1997) memberikan pengertian mengenai perilaku asertif, yaitu:
“Assertiveness promotes interpersonal behavior that simultaneously attempts to maximize the person’s
satisfaction of wants while considering the wants of other people, thus promoting respect for the self and
others”. Mereka mengatakan bahwa, asertifitas akan mendukung tingkah laku interpersonal yang secara
simultan akan berusaha untuk memenuhi keinginan individu semaksimal mungkin dengan secara
bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang lain karena hal itu tidak hanya memberikan
penghargaan pada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain.
Ciri-Ciri Individu dengan Perilaku Asertif
Lange dan Jakubowski (1978) mengemukakan lima ciri-ciri individu dengan perilaku asertif. Ciri-ciri
yang dimaksud adalah:
a.
Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri
Menghormati orang lain berarti menghormati hak-hak yang mereka miliki, tetapi tidak berarti
menyerah atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang lain. Artinya, individu tidak harus
menurut dan takut mengungkapkan pendapatnya kepada seseorang karena orang tersebut lebih tua
dari dirinya atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
b.
Berani mengemukakan pendapat secara langsung
Perilaku asertif memungkinkan individu mengkomunikasikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan
lainnya secara langsung dan jujur.
c.
Kejujuran
Bertindak jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat agar dapat mengkomunikasikan
perasaan, pendapat atau pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.
d.
Memperhatikan situasi dan kondisi
Semua jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang dan terjadi dalam konteks tertentu.
Dalam bertindak asertif, seseorang harus dapat memperhatikan lokasi, waktu, frekuensi, intensitas
komunikasi dan kualitas hubungan.
e.
Bahasa tubuh
Dalam bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa yang dikatakan tetapi bagaimana
menyatakannya. Bahasa tubuh yang menghambat komunikasi, misalnya: jarang tersenyum,
terlihat kaku, mengerutkan muka, berbicara kaku,
bibir terkatup rapat, mendominasi pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan nada
bicara tidak tepat.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, hal ini dilakukan untuk
mengembangkan pemahaman dalam mengerti dan menginterpretasikan apa yang ada dibalik peristiwa,
latar belakang pemikiran manusia yang terlibat didalamnya serta bagaimana manusia meletakkan makna
pada peristiwa yang terjadi (Sarantakos dalam Poerwandari, 1998). Peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif karena peneliti ingin memahami dan memiliki pengertian yang mendalam tentang bentuk perilaku
asertif pada remaja awal.
HASIL
Menurut Lange & Jakubowski (1978), terdapat beberapa ciri-ciri individu dengan perilaku asertif, ciriciri yang dimaksud adalah :
1.
Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri. Hal yang dimaksud adalah bahwa setiap
individu memiliki hak yang sama dengan individu lainnya tanpa melihat perbedaan usia, jabatan
atau golongan. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terlihat bahwa ketiga subjek yang diambil dalam
penelitian ini tidak dapat mengemukakan hak nya untuk menolak pada masalah-masalah sepele
yang terjadi di lingkungan rumahnya. Subjek 1, 2 maupun 3 menyatakan bahwa pada akhirnya
mereka akan melakukan perintah yang diminta oleh orang tua karena menghindari hukuman atau
merasa tidak enak terhadap orang tua. Mereka melakukan perintah tersebut walaupun merasa
terpaksa. Hal ini menjadi bukti bahwa remaja awal masih mementingkan hak orang lain
dibandingkan harus meminta hak yang dimiliki secara jujur kepada orang lain, khususnya orang
tua dan teman sebaya. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood
(dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan keputusan: Mengatakan “Ya” (menerima) atau
“Tidak” (menolak) dimana individu dapat mempertahankan haknya dengan fokus secara jelas
terhadap apa yang ingin dikatakan, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek belum dapat
menghormati haknya untuk menolak.
2.
Berani mengemukakan pendapat secara langsung. Hal yang dimaksud adalah bahwa setiap
individu dengan perilaku asertif akan mampu mengungkapkan segala perasaan yang dirasakannya
atau sesuatu yang dipikirkannya. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3 terlihat bahwa mereka tidak dapat
mengungkapkan kepada orang lain apabila sedang merasa marah dengan orang tersebut. Ketiga
subjek lebih merasa nyaman untuk tetap diam tanpa mengkomunikasikan perasaannya kepada
orang lain karena takut akan dijauhi dan tidak memiliki banyak teman. Namun dalam hal
pengungkapan pikiran, baik subjek 1, 2 maupun subjek 3, mampu untuk mengungkapkan apa yang
dipikirkan kepada orang lain. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan
Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan pendapat atau opini dimana individu
sebenarnya memiliki hak untuk menyatakan pendapat, terlepas apakah pendapat tersebut benar
atau salah, baik atau kurang baik, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek belum dapat
mengemukakan pendapat secara langsung.
3.
Kejujuran. Dalam hal ini, kejujuran yang ditunjukkan dalam mengekspresikan diri agar dapat
mengkomunikasikan perasaan, pendapat ataupun pilihan yang tidak merugikan diri sendiri dan
orang lain. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terlihat bahwa mereka mampu mengemukakan pendapat
secara jujur kepada teman atau dalam keluarga serta berusaha memberikan pendapat yang tidak
menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Dilihat dari tingkah laku memberi (the
give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang berbagi perasaan, dimana
individu perlu memahami bahwa mengakui dan berbagi perasaan akan dapat membangun
komitmen yang lebih kuat dengan orang lain karena dapat membuat kontak dan secara efektif
meningkatkan kerjasama dengan orang lain, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek dapat
mengekspresikan kejujuran kepada orang lain sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
Cawood (dalam Zulkaida, 2006).
4.
Memperhatikan situasi dan kondisi. Hal yang dimaksud adalah, bahwa setiap individu yang
berperilaku asertif akan mampu memperhatikan situasi, lokasi, frekuensi serta intensitas
komunikasi. Pada kasus subjek 1 dan 2, terlihat bahwa mereka memperhatikan sekali tempat dan
waktu untuk memberikan masukan, pendapat ataupun saran. Dari kedua subjek tersebut, dapat
dilihat bahwa masing-masing dari mereka memiliki tempat dan waktu khusus untuk
mengemukakan pendapatnya kepada orang lain. Sedangkan pada kasus subjek 3, subjek merasa
akan lebih baik apabila dirinya memberikan masukan, pendapat atau saran langsung pada saat
orang lain berbuat kesalahan, tanpa mempertimbangkan tempat ataupun waktu yang baik. Dilihat
dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang
memberikan kritik atau pujian, dimana individu memiliki penentuan waktu yang tepat dengan
mengetahui kondisi seseorang untuk mengatakan sesuatu membuat perilaku asertif menjadi lebih
asertif, maka apa yang dilakukan oleh subjek 1 dan 2 di dukung oleh pernyaaan Cawood (dalam
Zulkaida, 2006) dimana subjek 1 dan 2 dapat memperhatikan situasi dan kondisi, namun subjek 3
belum dapat memperhatikan situasi dan kondisi.
5.
Bahasa tubuh. Selain dari beberapa ciri perilaku asertif yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri
perilaku asertif lainnya dapat ditunjukkan dengan bahasa tubuh. Tidak berani melakukan kontak
mata serta mengemukakan nada bicara yang tidak tepat dapat menghambat komunikasi. Subjek 1
mengaku bahwa dirinya tidak memiliki kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan orang lain.
Sedangkan subjek 2 dan 3 merasa sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa
kesulitan dalam berkomunikasi. Pada kasus subjek 1, walaupun subjek merasa tidak memiliki
kesulitan dalam berkomunikasi namun subjek tidak dapat selalu menatap mata lawan bicara dan
merasa pernah melakukan kesalahan dalam pengungkapan nada kemarahan. Pada kasus subjek 2,
subjek mengemukakan bahwa subjek memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan diperkuat
dengan sikap subjek saat berbicara yang tidak mau menatap mata lawan bicara. Sedangkan subjek
3, walaupun merasa kesulitan dalam berkomunikasi namun subjek tetap menatap mata lawan
bicara dengan harapan orang yang berbicara dengannya merasa diperhatikan saat berbicara.
Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006)
tentang memberikan informasi, dimana informasi yang diberikan sebaiknya bersifat langsung,
deskriptif, tidak ada bias dan tidak bersifat menasihati, maka dapat dilihat bahwa subjek 1 dan 2
belum mampu menggunakan bahasa tubuh yang baik ketika memberikan
informasi kepada orang lain, sedangkan subjek 3 merasa nyaman apabila menggunakan bahasa tubuh
secara tepat ketika memmemberikan informasi kepada orang lain.
Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi perkembangan perilaku
asertif, yaitu:
1. Jenis kelamin. Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan perilaku asertif. Wanita pada umumnya
lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan lakilaki. Subjek 1 adalah seorang perempuan, subjek 2 adalah perempuan, dan subjek 3 adalah lakilaki, menurut ketiga subjek, mereka merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku mereka. Dilihat
dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam
Zulkaida, 2006) tentang kesalahan dalam menganggap perilaku non asertif sebagai suatu bentuk
kesopanan, dimana ketiga subjek menganggap jenis kelamin mempengaruhi perilaku mereka, dan
sebagai seorang anak perempuan subjek 1 dan 2, sering menganggap lebih baik diam sebagai
bentuk kesopanan.
2. Self esteem. Disebut juga dengan harga diri. Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah
individu yang harus memiliki keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi
memiliki kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan
tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terdapat kesamaan,
yaitu bahwa ketiga subjek merasa memiliki harga diri yang tinggi dan dengan harga diri yang
tinggi tersebut, ketiga subjek mampu menunjukkan perilaku asertifnya kepada orang lain. Dilihat
dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam
Zulkaida, 2006) tentang kegagalan menerima hak pribadi, maka ketiga subjek tidak merasakan
kegagalan dalam menerima hak pribadi, melainkan ketiga subjek merasa memiliki harga diri yang
tinggi dan mampu berperilaku asertif kepada orang lain.
3. Kebudayaan. Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yana muncul. Kebudayaan biasanya dibuat
sebagai pedoman batas-batas perilaku setiap individu. Subjek 1 yang memiliki ayah dari suku
Jawa dengan ibu dari suku Sunda. Subjek 2 yang memiliki ayah dari Suku Sumatra (Padang)
dengan ibu dari suku Jakarta, dan subjek 3 memiliki kedua orang tua dari suku yang sama, suku
Sunda. Pada kasus subjek 1 dan 3, terlihat bahwa subjek merasa bahwa kebudayaan
mempengaruhi perilakunya. Pada kasus subjek 2 dapat dilihat subjek merasa kebudayaan tidak
mempengaruhi perilakunya. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang
dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kecemasan akan adanya akibat
yang bersifat negatif, dimana dari hasil diatas, dapat dilihat bahwa subjek 1 dan 3 merasa akan
mendapatkan akibat negatif apabila mereka mengabaikan sisi kebudayaan mereka.
4. Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan berpikir
sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka. Pada kasus
subjek 1 dan 2 terdapat kesamaan. Menurut mereka tingkat pendidikan mempengaruhi
perilakunya. subjek 3 mengatakan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perilakunya.
Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski
(dalam Zulkaida, 2006) tentang tidak adanya keterampilan untuk berperilaku asertif, dimana
subjek 1 dan 2 merasa tingkat pendidikan saat ini membuat mereka merasa tidak memiliki
keterampilan untuk berperilaku asertif.
5.
Tipe kepribadian. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian, dimana seseorang akan bertingkah
laku berbeda dengan individu kepribadian lain. Pada kasus subjek 1 dan 3 terdapat kesamaan,
yaitu memiliki kepribadian yang terbuka. Pada kasus subjek 2, terlihat bahwa subjek lebih
pendiam dan tertutup Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan
Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan dalam membedakan antara
perilaku asertif dan agresif, dimana subjek 1 dan 3 dengan tipe kepribadian yang terbuka berusaha
untuk tidak mengkomunikasikan keinginannya dengan suara yang keras atau yang sifatnya
memaksa agar tidak terjadi kesalahan dalam membedakan perilaku asertif dan agresif.
6. Situasi tertentu lingkungan sekitarnya. Dalam berperilaku, seseorang akan melihat kondisi dan
situasi dalam arti luas. Pada kasus subjek 1 dan 3, terlihat bahwa subjek dapat menolak perintah
orang tua sedangkan kasus subjek 2 terlihat bahwa subjek merasa tidak dapat menolak permintaan
orang lain. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange &
Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan menganggap perilaku asertif adalah sebagai
usaha untuk membantu orang lain, dimana subjek 2 tidak dapat menolak permintaan orang lain
dan menganggap perilakunya tersebut sebagai usaha untuk membantu orang lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
Subjek 1 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengemukakan pendapat secara
langsung, dapat berlaku jujur tentang perasaan, memperhatikan situasi dan kondisi serta tergolong mampu
berperilaku asertif dengan menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi
perilaku, subjek merasa memiliki self esteem yang baik, dalam hal budaya dan tingkat pendidikan subjek
merasa budaya dan tingkat pendidikan mempengaruhi. Subjek merupakan orang yang terbuka dan merasa
mampu menolak perintah yang ditujukan kepadanya.
Subjek 2 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengungkapkan pendapat secara
langsung, dapat berlaku jujur tentang perasaan, memperhatikan situasi dan kondisi tetapi kurang mampu
berperilaku asertif dengan menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi
perilaku, subjek merasa memiliki self esteem yang baik, dalam hal budaya, subjek merasa budaya tidak
mempengaruhi sedangkan pada tingkat pendidikan, subjek merasa tingkat pendidikan mempengaruhi.
Subjek merupakan orang yang tertutup dan merasa sulit untuk menolak perintah yang ditujukan kepadanya.
Subjek 3 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengungkapkan perasaan secara
langsung, dapat berperilaku jujur tentang perasaan, kurang dapat memperhatikan situasi dan kondisi serta
tergolong mampu berperilaku asertif dengan
menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku, subjek merasa memiliki
self esteem yang baik, dalam hal budaya, budaya mempengaruhi dan tingkat pendidikan subjek merasa
tingkat pendidikan mempengaruhi. Subjek merupakan orang yang tebuka dan merasa mampu menolak
perintah yang ditujukan kepadanya.
SARAN
Saran yang diberikan, yaitu :
1.
Kepada Subjek
Diharapkan subjek memulai melatih diri untuk bersikap asertif kepada orang tua, teman sebaya
ataupun orang-orang disekitar. Diharapkan subjek mampu menolak perintah apabila perintah yang
diberi dirasa merugikan bagi diri sendiri, namun tetap tidak merugikan hak-hak orang lain. Subjek juga
diharapkan mampu untuk berkata jujur dan langsung kepada orang lain tentang perasaannya. Subjek
harus merasa yakin walaupun subjek masih tergolong remaja awal, namun subjek memiliki hak-hak
pribadi yang sama seperti individu dewasa.
2.
Kepada Keluarga Subjek
Diharapkan keluarga dapat membantu subjek dalam melatih perilaku asertif subjek di dalam
lingkungan keluarga, dengan tidak memberikan hukuman fisik maupun verbal apabila subjek menolak
melakukan perintah.
3.
Kepada Masyarakat
Diharapkan masyarakat sekitar turut membentu subjek dalam melatih perilaku asertif subjek di
lingkungan sekitar, dengan tidak menanamkan kebiasaan yang menunjukkan penolakan yang
dilakukan subjek atau remaja awal khususnya sebagai suatu bentuk pemberontakan dan gambaran
ketidakdisiplinan seorang anak kepada orang tua, namun melihat penolakan tersebut sebagai
pengungkapan hak-hak pribadi dari seorang remaja awal.
4.
Kepada Peneliti Selanjutnya
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk mengambil subjek dengan usia remaja awal yang lebih
beragam, tidak hanya mengambil subjek dengan usia yang sama yaitu 13 tahun. Diharapkan pula dari
perbedaan usia yang lebih beragam, peneliti akan melihat perilaku asertif yang ditunjukkan dari setiap
subjek penelitian berdasarkan tingkat umur berbeda yang masih termasuk remaja awal, supaya
mendapatkan data yang lebih mendalam tentang perilaku asertif remaja awal.
DAFTAR PUSTAKA
Alberti, R & Emmons, M. (2002). Your perfect right, hidup lebih bahagia dengan menggunakan hak.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Beddel, J. R & Lenox, S. S. (1997). Handbook for communication and problem solving skills training: A
cognitive behavioral approach. New York: John Willy & Sons, Inc
Cawwod, D. (1988). Assertiveness for managers: Learning effective skill for managing people. (2nd ed).
Canada: International Self-Counsel Press, ltd
Lange, A. J & Jackubowski, P. (1978). Responsible assertive behavior: Cognitive behavioral procedures
training. Illionis: Research Press
Poerwandari, E. K. (2005).Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Depok: Lembaga pengembangan sarana pengukuran dan penelitian psikologi
(LPSP3)
Universitas Indonesia
Rathus, S. A & Nevid, J. S. (1983). Adjustment and growth: The challenges of life. (2nd ed). New York:
CBS College Publishing
Zulkaida, A. (2006). Tingkah laku asertif yang bertanggung jawab. Makalah: (Ditampilkan pada seminar
pelatihan tingkah laku asertif). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Rini, J. (2001). Asertivitas. Http://www.e-psikologi.com
Download