1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peserta didik

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peserta didik atau siswa merupakan sosok yang bertugas untuk belajar
dan menuntut ilmu di sekolah dengan bimbingan guru. Dalam sekolah itu ada
aturan yang harus dipatuhi oleh siswa, namun karena usia siswa yang rentang
dimulai dari anak-anak hingga remaja yang belum tahu atau tidak peduli yang
benar dan salah, terkadang ada beberapa siswa yang melanggar aturan. Di
sekolah siswa tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, namun juga etika dan
sopan santun.Disitulah peran guru untuk mendidik dan membina siswa, karena
guru yang baik tidak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi juga
mengajarkan nilai-nilai sikap agar kelak siswanya menjadi pintar dan
memiliki budi pekerti yang luhur.
Agama merupakan dasar yang pokok guna menyongsong dan
menyiapkan keluarga yang ideal, harmonis, saling mencintai dan mengerti
yang di dalamnya termasuk anak tersebut.Dalam hal ini peran pendidikan
sebagai upaya pembinaan terhadap anak yang mengarah pada implementasi
penanaman nilai-nilai keagamaan sangat penting bagi perkembangan anak
khususnya dalam membentuk generasi yang agamis (Islami).1
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu subyek pelajaran yang
bersama-sama dengan subyek studi lain, dimaksudkan untuk membentuk
1
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, cet. II, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001),
h. 181
1
2
manusia yang utuh. Tujuan utama dari Pendidikan Agama Islam adalah
memberikan “corak Islam” pada sosok lulusan lembaga pendidikan yang
bersangkutan.Pendidikan Agama Islam sebagai usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Emotional Quotient (EQ) adalah bagian ketrampilan sosial yang menawarkan
suatu kecenderungan adanya kualitas-kualitas emosional yang diperlukan anak
didik dalam berinteraksi dengan lingkungan sekolah.
Faktanya dalam dunia pendidikan, ukuran keberhasilan belajar tidak
hanya terletak pada prestasi belajar yang dinyatakan dalam raport,
melainkan juga terletak pada perubahan sikap dan perilaku ke arah yang
lebih baik. Hal inidisebabkan secara otomatis menjadi pribadi yang berhasil
dalam hidupnya. Akhir-akhir ini, banyak diberitakan di beberapa media masa
tentang kasus tawuran, mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di
media massa. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki)
maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, membunuh, dan lain-lain ). Pada
kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal
merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung
dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan
oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP.Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi
kita semua. Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Ind
onesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Kondisi seperti ini
terbukti memengaruhi pendidikan di Indonesia saat ini, yang masih lebih
3
menghargai kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient) dari pada
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Peserta didik lebih sering dites IQ, namun
tidak pernah diberi tes-tes kecerdasan yang lain seperti EQ (Emotional
Quotient) atau SQ (Spiritual Quotient). Dalam sistem pendidikan di Indonesia,
siswa yang cerdas adalah siswa yang nilai-nilai raport sekolah atau Indeks
Prestasinya (IP) tinggi. Sementara sikap, kreativitas, kemandirian, emosi dan
spiritualitas belum mendapat penilaian yang proporsional.2
Problem PAI dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah antara lain
dapat dilihat dariproses belajar-mengajar, guru PAI lebih terkonsentrasi
persoalan-persoalan teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih
menekankan pada pekerjaan mengajar/ transfer ilmu. Metodologi pengajaran
PAI selama ini secara umum tidak kunjung berubah, ia bagaikan secara
konvensional-tradisional dan monoton sehingga membosankan peserta
didik.Pelajaran PAI seringkali dilaksanakan di sekolah bersifat menyendiri,
kurang terintegrasi dengan bidang studi yang lain, sehingga mata pelajaran
yang diajarkan bersifat marjinal dan periferal.Kegiatan belajar mengajar PAI
seringkali terkonsentrasi dalam kelas dan enggan untuk dilakukan kegiatan
praktek dan penelitian di luar kelas.Penggunaan media pengajaran baik yang
dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif, variatif dan
menyenangkan.Kegiatan belajar mengajar (KBM) PAI cenderung normatif,
linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya di mana lingkungan peserta didik
tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang
2
4.
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 , (Bandung: Alfabeta, 2005), Cet. Ke-1, h.
4
sangat cepat perubahannya.Kurang adanya komunikasi dan kerjasama dengan
orangtua dalam menangani permasalahan yang dihadapi peserta didik.3
Di samping itu, permasalahan kelas juga turut mempersulit
keberhasilan pembelajaran PAI di sekolah. Mulai dari masalah individual
maupun masalah kelompok. Misalnya tingkah laku yang ingin mendapatkan
perhatian orang lain, tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan, tingkah
laku yang bertujuan menyakiti orang lain, serta peragaan ketidakmampuan,
yaitu dalam bentuk sama sekali menolak untuk mencoba melakukan apa pun
karena yakin bahwa kegagalan yang menjadi bagiannnya.
Penemuan spektakuler Daniel Goleman tentang kecerdasan emosional
(EQ) telah mematahkan dominasi IQ. Banyak orang ber-IQ tinggi yang gagal,
sementara mereka yang IQ-nya biasa saja justru sukses dalam hidupnya.4 Ke
depan, mengandalkan IQ saja tidak akan mampu menghantarkan peserta didik
pada tumbuh kembang potensinya secara optimal. Tanpa EQ bahkan
kecerdasan spiritual (SQ), peserta didik hanya aan menjadi ilmuan tak
berperasaan dan tak bermoral.
Sebagai seorang pendidik, hal itu tentu sangat tidak kita inginkan. Kita
tidak hanya menginginkan peserta didik hanya disebut pintar. Lebih dari itu,
mereka pintar sekaligus beradab juga berperasaan. Untuk itu, semua pihak
utamanya guru, harus berupaya mewujudkan tujuan tersebut.Menurut Daniel
Goleman Emotional Quotient/EQ adalah kemampuan mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan
3
Martinis Yamin. Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press, 2011), h. 4
As’aril Muhajir.Ilmu Pendidikan Perspektif Konteksual, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), h. 49
4
5
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain.5
Kecerdasan emosional dapat diimplementasikan sebagai cara yang
sangat baik untuk membesarkan ide. Dengan penalaran tentang diri,
kecerdasan emosional
adalah modal penting bagi
seseorang untuk
mengembangkan bakat, kepemimpinan dalam bidang apapun juga. Dengan
bekal kecerdasan emosional, seseorang akan mampu mendeterminasi
kesadaran setiap orang, untuk mendapatkan simpati dan dukungan serta
kebersamaan dalam melaksanakan atau mengimplementasikan sebuah ide atau
cita-cita.6
Kecerdasan emosional memberikan implikasi positif
lebih dari
sekedar teori ilmiah atau kesuksesan di tempat kerja, karena berfokus pada
intrapersonal dan interpersonal. Orang yang ber EQ tinggi atau yang sedang
belajar menerapkan EQ menemukan hidupnya lebih bermakna melebihi
kesuksesan di tempat kerja, mereka dapat hidup bahagia, menikmati proses
kehidupan, secara tulus saling berbagi, saling mencintai, berkat EQ yang di
terapakan dalam kehidupan.7
Kecerdasan
emosional
merupakan
sebuah
domain
dari
trait.Kecerdasan emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang
bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor.Terdapat banyak
faktor-faktor
yang mempengaruhi
kecerdasan
emosional.Dibawah
ini
diberikan dua teori penyebab atau faktor yang mempengaruhi kecerdasan
5
Daniel Goleman, Emotional Intellegence, (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 185
Jean Seagel, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung : Kaifa, 2002), h. 115
7
Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, (Jakarta : Inisiasi Press, 2003), h. 237
6
6
emosional berdasarkan teori Goleman dan Agustin. Perkembangan manusia
sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitufaktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah individu yangmemiliki potensi dan kemampuan
untuk mengembangkan potensi yangdimiliki tersebut, sedangkan faktor
eksternal
adalah
dukungan
darilingkungan
disekitarnya
untuk
lebih
mengoptimalkan dari sejuta potensiyang dimilikinya, terutama kecerdasan
emosional.Goleman
mengatakan
bahwa
kecerdasan
emosi
juga
dipengaruhioleh kedua faktor tersebut, diantaranya faktor otak, faktor
keluarga, faktorlingkungan sekolah. Berdasarkan uraian tersebut, maka faktorfaktor yangmempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional adalah :
a. Faktor otak
La Doux mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi
tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga
yangmampu membajak otak. Amigdala adalah spesialis masalahmasalahemosional. Apabila amigdala dipisahkan dari bagian-bagian
otaklainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang sangat mencolok
dalammenangkap
makna
emosi
awal
suatu
peristiwa,
tanpa
amigdalatampaknya ia kehilangan semua pemahaman tentang perasaan,
jugasetiap
kemampuan
merasakan
perasaan.
Amigdala
berfungsi
sebagaisemacam gudang ingatan emosional.8
8
Muallifah,Psycho Islamic Smart Parenting, (Yogyakarta : Diva Pres, 2009), h. 125.
7
b. Fungsi lingkungan keluarga
Orang tua memegang peranan penting terhadap perkembangan
kecerdasan emosional anak. Goleman berpendapat bahwa lingkungan
keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajariemosi.
Dari keluargalah seorang anak mengenal emosi dan yang palingutama
adalah orang tua. Jika orang tua tidak mampu atau salah dalam
mengenalkan emosi, maka dampaknya akan sangat fatal terhadap anak.
c. Faktor lingkungan sekolah
Dalam hal ini, lingkungan sekolah merupakan faktor penting kedua
setelah sekolah, karena di lingkungan ini anak mendapatkan pendidikan
lebih lama. Guru memegang peranan penting dalammengembangkan
potensi anak melalui beberapa cara, diantaranya melalui teknik, gaya
kepemimpinan, dan metode mengajar sehinggakecerdasan emosional
berkembang secara maksimal. Setelah lingkungan keluarga, kemudian
lingkungan
sekolah
mengajarkan
anak
sebagai
individu
untuk
mengembangkan keintelektualan dan bersosialisasi dengan sebayanya,
sehingga anak dapat berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur
dan diawasi secara ketat.
d. Faktor lingkungan dan dukungan sosial
Di sini, dukungan dapat berupa perhatian, penghargaan, pujian,
nasihat atau penerimaan masyarakat. Semuanya memberikan dukungan
psikis atau psikologis bagi anak. Dukungan sosial diartikan sebagai suatu
hubungan interpersonal yang didalamnya satu atau lebih bantuan dalam
8
bentuk fisik atau instrumenta, informasi dan pujian.Dukungan sosial
cukup
mengembangkan
aspek-aspek
kecerdasan
emosional
anak,
sehingga memunculkan perasaan berharga dalam mengembangkan
kepribadian dan kontak sosialnya.9
Sedangkan menurut Agustian faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu:10
a) Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,
mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman kecerdasan
emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.Bagian otak yang
mengurusi emosi adalah sistem limbik.Sistem limbik terletak jauh dalam
hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan impuls.Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat
dilakukan dengan puasa.Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan
fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls
emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin
Kamis.
9
Muallifah,Psycho Islamic Parenting,….h. 125-127
Agustian, A. G,. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ:
Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. (Jakarta: ARGA
Publishing, 2006), h. 102.
10
9
b) Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman
yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila
diulang-ulang
pun
akan
berkembang
menjadi
suatu
kebiasaan.
Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih.Melalui puasa
sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang
negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu
menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk
melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang
jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c) Faktor Pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi.Individu mulai dikenalkan dengan
berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan.
Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya
menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan
dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja.
Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat
membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan
emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk
memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental,
10
kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai
bagian dari pondasi kecerdasan emosi.
Pada
dasarnya
kecerdasan
emosional
(EQ)
merupakan
ketrampilan-ketrampilan, sehingga ketrampilan ini dapat diperoleh melalui
hasil
belajar11
Meskipun
demikian
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosional antara lain faktor
pembawaan
atau
keturunan.
Faktor
pembawaan
atau
keturunan
(Hereditas), merupakan totalitas karakteristik individu yang diwariskan
orang tua kepada anak atau segala potensi baik fisik maupun psikis yang
dimiliki sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai
pewaris orang tua melalui gen-gen.
12
Kemudian, faktor berikutnya faktor
lingkungan.Lingkungan ialah keadaan sekitar yang melingkupi manusia,
air, udara, bumi, matahari maupun individu serta sekelompok manusia,
bahkan pranat-pranata social, seperti kaidah, peraturan dan adat kebiasaan.
Menurut Sartain, sebagaimana dikutip oleh Ngalim Purwanto, secara garis
besar lingkungan dibagi sebagai berikut :lingkungan alam atau luar
(Eksternal or Phisycal Environment), lingkungan dalam (Internal
11
Menurut Hurlock faktor belajar lebih penting karena belajar merupakan faktor yang dapat
dikendalikan.Metode belajar yang dapat menunjang kecerdasan emosional terdiri dari, 1 belajar
secara coba dan ralat (trial and error learning), 2.belajar dengan meniru (learning by imitation),
3.belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification), 4. Belajar melalui
pengkondisian (conditioning), 5.pelatihan atau training.Lihat selengkapnya dalam Elizabet E
Hurlock, Perkembangan Anak, terj, Med Meitasari Tjandrasa.,et.al, jilid 2, (Jakarta Erlangga,
1998),h. 213-214.
12
Syamsu Yusuf, Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2000), h. 31.
11
Environment),
dan
lingkungan
social
atau
masyarakat
(Social
Environment).13
SMK adalah satuan pendidikan tingkat atas dan kejuruan di bawah
naungan Kementerian Dinas Pendidikan. SMK Dwija Praja Pekalongan
terletak di Jalan Sriwijaya No 9 Kota Pekalongan memiliki Visi dan Misi
mewujudkan SMK Dwija Praja Pekalongan sebagai lembaga pendidikan
dan pelatihan yang dapat menghasilkan tamatan yang beriman dan
bertaqwa,
memiliki
pengetahuan,
keterampilan,
kemandirian
dan
berakhlak mulia sehingga mampu bersaing di tingkat lokal maupun global.
Kaitannya dengan beriman dan bertaqwa maka diperlukan kecerdasankecerdasan emosional, dan minat belajar yang tinggi agar kelulusan
nantinya akan menjadi orang yang mampu bekerja keras juga menjaga
norma pekerjaan dengan kejujuran, kedisiplinan, tidak keras kepala, selalu
berbagi dengan orang lain.
Penulis tertarik untuk meneliti kecerdasan emosional, karena
merupakan salah satu modal yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi
persoalan saat mereka belajar.Namun temuan sementara di lapangan,
setiap siswa mempunyai kecerdasan emosional yang berbeda-beda ketika
belajar.Proses belajar mengajar dan tinggi rendahnya minat belajar siswa
juga tentunya akan memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar yang
akan dicapai oleh siswa karena selain siswa dituntut untuk menghafal
teori, juga diperlukan keuletan, ketekunan, serta ketelitian di dalam
13
28-29.
M Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1996), h.
12
praktek yang digunakan sebagai aplikasi dari materi yang sudah dikuasi
oleh siswa. Begitu pula dengan tingkat kecerdasan siswa SMK Dwija
Praja Pekalongan yang berbeda-beda dan prestasi belajar mereka juga
beragam..Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti,
kebanyakan siswa bukan tidak cerdas namun secara emosi maupun secara
keyakinan mereka kurang bisa mengendalikan diri dengan baik apalagi
dalam hal self confidence (kepercayaan pada diri sendiri).Mereka
cenderung lebih lebih suka mengeluh dan banyak bertanya pada saat
ulangan maupun pada saat praktek.Sebagian mereka yang ragu dalam
mengerjakan tugas banyak melakukan kesalahan dalam mengisi soal
maupun kegiatan praktek yang diberikan.
Penelitian ini dilakukan di kelas XI, karena untuk kelas XII
difokuskan untuk persiapan menghadapi ujian akhir sekolah.Diharapkan
melalui EQ dan minat belajar dapat bersinergi dan saling menunjang siswa
untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi belajar siswa.Prestasi
merupakan salah satu alat ukur bagi siswa telah belajar efektif dan efesien.
Bersinerginya antara kemampuan intelektual dan manajemen emosi maka
siswa akan lebih dapat memaknai keberhasilan & kestabilan prestasi dan
mental
spiritual.
Selain
itu
diharapkan
SMK
Dwija
Praja
Pekalonganmampu menjalankan tugas pokoknya dalam mengajarkan
ajaran agama Islam secara benar, dengan demikian insya Allah akan lahir
manusia-manusia yang berpengetahuan, terampil dan berkeperibadian
sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup muslim. Amin.
13
Berpijak pada latar belakang di atas, diambil sebuah penelitian
yang berjudul “Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membina
Emotional Quotient (EQ) Siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran guru PAI dalam membina Emotional Quotient (EQ)
siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan ?
2. Apa faktor pendukung dan penghambat guru PAI dalam membina
Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin di capai adalah:
`Untuk mengetahui langkah-langkah kongkrit peran guru PAI dalam
membina Emotional Quotient (EQ) siswa baik di dalam kelas maupun luar
kelas di SMK Dwija Praja Pekalongan
1. Mendiskripsikan peranguru PAI dalam membina Emotional Quotient (EQ)
siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan
2. Analisis faktor pendukung dan penghambat peran guru PAI baik internal
maupun ekternal dalam membina Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK
Dwija Praja Pekalongan
14
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini di harapkan dapat menunjukkan bahwa
peranguru Pendidikan Agama Islam di SMK Dwija Praja Pekalongan
dapat membentuk Emotional Quotient (EQ) siswa.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat menemukan solusi dan sebagai
masukan dalam menentukan kebijakan lebih lanjut bagi segenap pihak di
SMK Dwija Praja Pekalongan mengenai peranguru Pendidikan Agama
Islam dalam membantu siswa membentuk Emotional Quotient (EQ) yang
baik.
E. Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan dan penelaahan yang penulis lakukan terkait dengan
penelitian tentang Peran Guru PAI dalam Membina Emotional Quotient (EQ)
siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan, ada beberapa karya ilmiah yang
tertuang dalam tesis yang relevan dengan judul dan penulis, diantaranya :
Tesis milik Sumikan, M.Pd.I (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual Dan
Prestasi Belajar PAI Kelas X SMK Negeri 1 Dlanggu Kabupaten Mojokerto”
(Jurusan S2 Pendidikan Agama Islam). Fokus penelitiannya dibidang psikologi
membuktikan bahwa IQ bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi
yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).Dalam tesis
15
tersebut, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara antara
variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap variabel
prestasi belajar siswa.Dengan demikian, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual mempunyai andil yang cukup besar terhadap keberhasilan prestasi
belajar siswa sehingga sudah menjadi keharusan bagi tenaga pendidikan untuk
selalu memperhatikan dan meningkatkan kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual guna mendongkrak prestasi belajar anak didiknya tanpa melupakakan
faktor-faktor lain yang juga berhubungan dengan prestasi belajar siswa.14
Tesis Indra M.Pd.I (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), “Intenalisasi
Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Membentuk Siswa Berkarakter Mulia di SMA
Negeri 15 Binaan Nenggeri Antara Takengon Aceh Tengah.”Dalam tesis
tersebut dijabarkan, pendidikan saat ini seolah hanya mengejar angka kelulusan
dan kurang memperhatikan moral dan spiritual kaum pelajar.Sehingga setiap
materi yang diajarkan seolah tidak membekas di hati dan tidak tercermin dalam
tingkah laku peserta didik. Peneliti bertujuan untuk mengungkap internalisasi
nilai-nilai Agama Islam dalam Membentuk siswa berkarakter mulia di SMA
Negeri 15 Binaan Nenggeri Antara Takengon Aceh Tengah, dengan sub fokus
mencakup: (1) kondisi karakter siswa sebelum internalisasi nilai-nilai agama
Islam (2) upaya internalisasi nilai-nilai agama Islam di SMA Negeri 15
Takengon dalam membentuk karakter mulia, (3) implikasi internalisasi nilainilai agama Islam dalam membentuk siswa berkarakter mulia di SMA Negeri
15 Takengon. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan
14
Tesis Sumikan M.Pd.I , “Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual Dan
Prestasi Belajar PAI Kelas X SMK Negeri 1 Dlanggu Kabupaten Mojokerto” (UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2011.
16
pendekatan diskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara
mendalam, observasi, dan dokumentasi. Tekhnik analisa data meliputi reduksi
data, desplay data dan verifikasi data, pengecekan keabsahan temuan dilakukan
dengan cara perpanjangan keikutsertaan peneliti; tehnik triagulasi dengan
menggunakan berbagai sumber, teori, dan metode; dan ketekunan pengamatan.
Informan peneliti yaitu kepala sekolah, wakil kepala bidang kesiswaan dan
bidang humas, guru pendidikan agama Islam dan non pendidikan Islam, orang
tua siswa dan siswa.15
Setelah mengkaji beberapa tulisan diatas, maka penulis berkesimpulan
bahwa persamaan dari beberapa tesis yang ada dengan tesis yang akan diteliti
adalah sama-sama jenis penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan
kualitatif. Sama-sama membahas tentang pentingnya EQ bagi siswa yang
menjadi objek penelitian.Sementara, perbedaannya terdapat pada fokus
permasalahan, di mana tesis ini lebih memfokuskan pada peran guru PAI dalam
dalam membina Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK Dwija Praja
Pekalongan. Sementara, dalam tesis sebelumnya, hanya memfokuskan peran
guru semata. Belum menitik beratkan pada peran guru PAI dalam membina
Emotional Quotient (EQ) pada siswa.
15
Tesis Indra, M.Pd.I, Intenalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Membentuk Siswa
Berkarakter Mulia di SMA Negeri 15 Binaan Nenggeri Antara Takengon Aceh Tengah, (UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2012).
17
F. Kerangka Teoritis
1) Guru
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi,
kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari
para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa
kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi,
misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang
berkualitas, yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan
denganguru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa
akanmemperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia
akanterdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.Hal
ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materitersebut kepada
siswa. Metode pembelajaran yang lebih interaktif sangatdiperlukan untuk
menumbuhkan
minat
dan
peran
serta
siswa
dalamkegiatan
pembelajaran.Sarlito Wirawan mengatakan bahwa faktor yangpaling
penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arifbijaksana,
tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuatsiswa menjadi
senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akancenderung tinggi,
paling tidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikutipelajaran.16
2) Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai program
yangterencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
16
Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 122.
18
mamahami,menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam serta
diikuti
tuntunanuntuk
menghormati
penganut
agama
lain
dalam
hubungannya dengankerukunan antar umat beragama hingga terwujud
kesatuan dan persatuanbangsa.17
Atas dasar itulah, dalam Negara kesatuan Republik Indonesia,
yangnotabene
mayoritas
masyarakatnya
memeluk
agama
Islam,
idealnyaPendidikan Agama Islam (PAI) mendasari pendidikan-pendidikan
lain, serta menjadi primadona bagi masyarakat, orang tua dan peserta didik
atausiswa di sekolah. Karena kedudukannya yang sangat strategis,
makapendidikan agama Islam harus mendapatkan perhatian yang
serius.Terlebih pada lulusan sekolah sangat berpeluang besar untuk
tampilmenjadi para pemimpin bangsa di masa depan atau sebaliknya
mereka jugaberpotensi untuk menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai
agama danbudaya bangsa.18
Dengan demikian, fungsi pendidikan agama islam adalah
melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai Ilahi dan insan.19 Sehingga
dapat diambil inti dari materi-materi pendidikanagama Islam mencakup
tiga aspek, yaitu:
a. Pendidikan moral, akhlak, yaitu sebagai menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
17
Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konstisusi Madinah
dan UUD 1945, ( Yogyakarta: UII Press,2006), h. 8.
18
Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi,,,,,h. 8
19
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan Pengembangan
Kurikulum Hingga Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2003), h. 17.
19
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu
yang utuh
yang berkeseimbangan antara
perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek,
antara perasaan dengan akal pikiran, serta antara dunia dan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. 20
3) Kecerdasan Emosional (EQ)
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang
berartibergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Goleman, emosi
merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatukeadaan biologis
dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untukbertindak.21Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dandalam diri
individu.Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahansuasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi
terlihat tertawa, emosisedih
mendorong seseorang berperilaku menangis.Emosi berkaitan dengan
perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.
Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti
meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional
20
21
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,,,,,h. 22.
Daniel Goleman, Emotional Intellegence, (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 411.
20
manusia.22Sedangkan
Istilah
“kecerdasan
emosional”
pertama
kalidilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
HarvardUniversity dan John Mayer dari University of New Hampshire
untukmenerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting
bagikeberhasilan.Salovey
dan
Mayer
mendefinisikan
kecerdasan
emosional atauyang sering disebut EQ sebagai“ himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial
yang melibatkankemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya
danmenggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dantindakan.23
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
tidakbersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat.Untuk itu peranan
lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.Keterampilan
EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun
keduanya berinteraksi secara dinamis, baikpada tingkatan konseptual
maupun di dunia nyata.Selain itu, EQ tidakbegitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan.Gardner
dalam
bukunya
yang
berjudul
Frame
Of
Mindmengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang
monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan
ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu
linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan
22
MilaRatnawati, Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Suasana Keluarga, Citra Diri,
dan Motif Berprestasi dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas V SD Ta’Miriyah Surabaya.
(Jurnal Anima Tahun 1996 Vol XI), No. 42.
23
Lawrence E. Saphiro,.Mengajarkan Emosional Intellegence pada Anak, (Jakarta : PT
Gramedia Pustakan Utama, 2003), Cet. Ke-4., h. 5.
21
intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan
pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Goleman kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang
mengatur
kehidupan
emosinya
dengan
inteligensi
(to
manageour emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi
dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi
diri,empati dan keterampilan sosial.24 Dalam penelitian ini yang dimaksud
dengan kecerdasan emosionaladalah kemampuan siswa untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosidiri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain (empati) dankemampuan untuk membina hubungan (kerjasama)
dengan orang lain.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research)
yaitu penelitian yang dilakukan di tempat terjadinya gejala-gejala yang
diselidiki.Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang
diamati.25
24
Daniel Goleman, Emotional Intellegence,,,h. 512
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), h. 3.
25
22
Penelitian kualitatif lebih bersifat understanding (memahami)
terhadap fonemena atau gejala sosial, karena bersifat to learn about the
people (masyarakat sebagai subyek). Dalam hal ini yang menjadi subjek
penelitian adalah guru PAI dan Emotional Quotient (EQ) siswa.
2.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di SMK Dwija Praja Pekalongan karena di
dasarkan pada beberapa pertimbangan:
a. SMK Dwija Praja adalah Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki
konotasi keagamaan yang tidak begitu baik menurut pandangan
masyarakat., sehingga Guru Pendidikan Agama Islam di SMK sangat
berperan dalam memantau penyimpangan perilaku para siswa
3. Sumber Data
Kata-kata
dan
tindakan
orang-orang
yang
diamati
atau
diwawancarai merupakan sumber data.26 Sumber data penelitian dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah guru PAI dan siswa.
b. Sumber data sekunder dalam penelitian ini kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, maupun foto dan catatan tertulis sebagai sumber data yang
relevan.
26
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif….,h. 157
23
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, antara lain :
a. Metode wawancara (interview) adalah salah satu cara menggali
data, hal ini harus dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan
data yang detail dan valid.27 Metode ini digunakan untuk
memperoleh data tentang peran guru PAI dalam membina
Emotional
Quotient
(EQ)diSMK
Dwija
Praja
Pekalongan,
peranguru PAI dalam membina Emotional Quotient (EQ) siswa
diSMK Dwija Praja Pekalongan, implikasi peran guru PAI dalam
membina Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK Dwija Praja
Pekalongan serta faktor pendukung dan penghambat peran guru
PAI dalam meningkatkan Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK
Dwija Praja Pekalongan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan
wawancara atau interview secara langsung kepada guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) untuk memperoleh informasi kecerdasan
emosional di SMK Dwija Praja Pekalongan. Termasuk, sejumlah
siswa kelas XI, kepala sekolah, pegawai tenaga usaha di SMK
Dwija Praja Pekalongan.
b. Metode observasiadalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematik
terhadap
gejala
yang
tampak
pada
objek
penelitian.28Metode ini penulis gunakan sebagai alat bantu untuk
mendapatkan data kegiatan guru PAI dalam hal membina EQ
27
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian…., h. 122
Jamal Ma’mur Asmani, Penelitian Pendidikan, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), h. 123
28
24
melalui proses pembelajaran SMK Dwija PrajaPekalongan.
Observasi sebagai metode ilmiah dilakukan dengan pengamatan
dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena atau kejadian
yang diselidiki.
29
Metode observasi, penulis lakukan dengan
melihat langsung kegiatan-kegiatan yang di lakukan guru PAI
terhadap siswa yang berkaitan dengan pembinaan kecerdasan
emosional, meliputi baik guru sebagai pendidik, pembimbing
motivator, pengelola kelas, serta evaluator.
c. Metode dokumentasimerupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang.30 Metode ini penulis gunakan untuk
menghimpun data yang bersifat dokumenter, seperti jumlah guru
dan peserta didik, latar belakang pendidikan guru, sejarah
berdirinya serta data-data yang berkaitan dengan sarana dan
fasilitas SMK Dwija PrajaPekalongan.
5. Uji Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang
lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.
Triangulasi yang digunakan di sini :
a. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda.
29
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, tth.), h.
157.
30
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 329
25
b. Triangulasi dengan metode dengan dua strategi, yaitu (1) pengecekan
derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa
sumber data dengan metode yang sama.31
6. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis data yang sifatnya induktif.Analisis data ini
dimulai dari lapangan yang berupa fakta empiris. Peneliti terjun ke
lapangan, mempelajari suatu proses atau penemuan yang terjadi secara
alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan, melaporkan serta menarik
kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut.32 Teknik analisis data
dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
b. Data reduction (reduksi data) berarti merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya dan membuang hal-hal yang tidak perlu.
c. Data display (penyajian data) bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat dengan teks yang bersifat naratif.
d. Conclusion drawing/verification guna menjawab rumusan masalah
yang dirumuskan sejak awal.33
31
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…., hal. 330
Jamal Ma’mur Asmani, Penelitian Pendidikan….., h. 77
33
Sugiyono,Metode Penelitian Pendidikan….,h. 338
32
26
H. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan tesis ini diawali dengan halaman formalitas, yang
terdiri dari: halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan,
halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi.
Pembahasan tesis penulis membagi dalam bagian-bagian, tiap bagian
terdiri bab-bab dan setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang saling
berhubungan dalam kerangka satu kesatuan yang logis dan sistematis.
Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab Satu, PendahuluanMembahas tentang: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan, manfaat, kajian pustaka, kerangka teoritis,
metodologi serta sistematika penulisan.
Bab Dua,Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Emotional
Quotient (EQ). Pengertian peran, guru pendidikan agama Islam dan Emotional
Quotient (EQ). Peran dan tugas, yang dimiliki guru Pendidikan Agama Islam,
syarat-syarat guru pendidikan agama Islam, tujuan pembelajaran yang
dilaksanakan guru Pendidikan Agama Islam, ruang lingkup yang dibutuhkan
guru Pendidikan Agama Islam. Emotional Quotient (EQ) yang meliputi
pengertian Emotional Quotient (EQ), aspek-aspek Emotional Quotient (EQ)
ciri-ciriEmotional Quotient (EQ), melatih Emotional Quotient (EQ),
pengembangan Emotional Quotient (EQ), serta pentingnya Emotional
Quotient (EQ).
Agama Islam.
Kemudian, Emotional Quotient (EQ) dalam Pendidikan
27
Bab Tiga, Kegiatanguru Pendidikan Agama Islam dalam membina
Emotional Quotient (EQ)siswa di SMK Dwija PrajaPekalongan, meliputi
gemabaran umum sejarah SMK Dwija Praja Pekalongan, letak SMKDwija
Praja Pekalongan, visi, misi dan tujuan SMK Dwija Praja Pekalongan serta
sarana dan prasaranaSMK Dwija Praja Pekalongan. Peran guru PAI dalam
membina Emotional Quotient (EQ) siswadi SMK Dwija Praja Pekalongan,
aspek-aspek dan ruang lingkup yang diajarkan guru PAI di SMK Dwija Praja
Pekalongan serta faktor pendukung dan penghambat peran guru PAI dalam
meningkatkan
Emotional
Quotient
(EQ)
siswa
di
SMK
Dwija
PrajaPekalongan.
Bab Empat, Analisa data yang meliputi analisisperan guru PAI dalam
membina Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK Dwija PrajaPekalongan,
serta analisis faktor pendukung dan penghambat guru PAI dalam membina
Emotional Quotient (EQ) siswa di SMK Dwija Praja Pekalongan.
Bab Lima, Penutup yang meliputi kesimpulan, dan rekomendasi atau
saran
28
Download