77 KARAKTERISTIK KESUBURAN TANAH PADA KONDISI IKLIM BERBEDA DI SULAWESI TENGGARA 1 2 2 Oleh: Syamsu Alam , Bambang Hendro Sunarminto dan Syamsul Arifin Siradz ABSTRACT The research aimed to evaluate the soil fertility developed in different climatic conditions, especially on soils developed from ultramafic rock in Southeast Sulawesi. The research was conducted using toposequence, by developing a profile based on slope positions (summit, middle slope, and toeslopes). Evaluation results of soil fertility status showed that although the research locations had varied CEC and base saturation from low to high, the nutrient status of P2O5 and K2O on all research locations was low, therefore soil fertility status of all research locations was considered to be low. The results indicated that the effects of climate, relief, and variations of soil genesis did not give direct effects on soil fertility status. However, if the soil fertility status was evaluated based on fertility capability classification (FCC), the soil genesis gave direct effects on soil fertility status. Along with advanced development of soil genesis, soil in Lasusua developed on high rainfall area generally had less limiting factors compared to soil in Puriala that was developed on low rainfall area. Keywords: soil fertility status, FCC, different climatic conditions, ultramafic PENDAHULUAN Tanah sebagai media tumbuh bagi tanaman dan termasuk aspek penting dalam budidaya pertanian. Budidaya pertanian merupakan suatu upaya yang sangat tergantung pada kondisi dan keadaan spesifik dari bumi. Semua jenis tanaman yang hidup di muka bumi pasti memerlukan unsur hara agar tumbuh dengan baik. Unsur hara makro dan mikro, kecuali nitrogen, berasal dari hancuran batuan sebagai bahan induk tanah (van Straaten, 2002). Semua unsur hara tersebut dapat diperoleh tanaman dari batuan yang telah melapuk atau yang disebut tanah. Faktor yang menentukan kaya atau miskinnya unsur hara yang terdapat dalam batuan tergantung pada jenis pembentukannya, letak geografis, komposisi batuan, sifat fisika serta kecepatan pelapukan. Potensi unsur hara yang terdapat di dalam batuan dapat diketahui berdasarkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, fungsi dan peranan dari batuan terhadap penyediaan unsur hara bagi tanaman dapat dijadikan bahan evaluasi dini terhadap tingkat kesuburan tanah (Munir, 1996; Kharisun, 2003). Evaluasi kesuburan tanah ditujukan untuk menilai karakteristik lahan dan menentukan kendala utama kesuburan tanah serta alternatif pengelolaannya dalam upaya meningkatkan produktivitas tanah (Siswanto, 2006). Penilaian sifat dan penentuan kendala kesuburan tanah dapat dilakukan dengan Klasifikasi Kapabilitas Kesuburan Tanah atau Fertility Capability Classification, yang disingkat FCC (Sanchez et al., 1982 dalam Sanchez, 1992; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001; Rayes, 2007). Sistem klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah (FCC) terdiri atas tiga kategori, yaitu tipe (tekstur tanah atas lapisan 0-20 cm atau lapisan olah), sub tipe atau tipe substrata (tekstur tanah bawah, digunakan jika dijumpai perubahan tekstur tanah pada kedalaman teratas hingga 50 cm) dan kondisi modifier atau pengubah keadaan yang berhubungan dengan karakteristik fisik tanah, reaksi tanah dan mineralogi tanah (Sanchez et al., 2003; Samekto, 2007). Kombinasi ketiga kategori tersebut menghasilkan unit-unit Klasifikasi Kemampuan Kesuburan Tanah yang dapat diinterpretasikan dengan penaksiran sifat tanah dan penentuan alternatif teknologi pengelolaan yang diperlukan untuk mengatasi kendala utama kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesuburan tanah dengan kondisi AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari Haluoleo, 2013, ISSN 0854-0128 ) Staf Pengajar pada Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Kendari 1 2 ) Staf Pengajar pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 77 78 iklim yang berbeda, khususnya pada tanah-tanah yang berasal dari lapukan batuan ultrabasa di Sulawesi Tenggara. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011. Penelitian lapangan dilakukan pada tanah potensi tambang nikel (berasal dari batuan ultrabasa, formasi geologi Kompleks Ultramafik/Batuan Ofiolit) di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kecamatan Puriala Kabupaten Konawe dan Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Jumlah profil pada setiap landscape ditentukan dengan pendekatan toposekuen yaitu dengan membuat profil pewakil berdasarkan posisi di lereng (lereng atas, tengah dan lereng bawah) (Lee et al., 2003; Pai et al., 2007; Garnier et al., 2009; Graham and O’Geen, 2010), sehingga dalam penelitian ini evaluasi kesuburan tanah dilakukan pada enam profil pewakil. Pengamatan lapangan dilakukan berdasarkan panduan Balai Penelitian Tanah (2004) dan National Soil Survey Center (2002). Analisis tanah di laboratorium berupa tekstur tanah dengan metode pipet, pH tanah, DHL, C-organik metode Walkey and Black, P dan K ekstrak HCl 25%, Basa tertukar Ca, Mg, Na, K, Kejenuhan Basa dan KTK ekstrak NH4OAc pH 7, kemasaman tertukar, Al-dd dan H-dd ekstrak KCl 1M, kadar Fe-d ekstrak dithionit-sitrat, dan identifikasi mineral lempung dengan XRD. Metode analisis laboratorium didasarkan pada buku Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk (Balai Penelitian Tanah, 2009). Kesuburan tanah dievaluasi berdasarkan Fertility Capability Classification (FCC) (Sanchez et al., 2003). Evaluasi kesuburan tanah juga akan didasarkan pada kunci status kesuburan tanah (PPT, 1983) sebagai pembanding, yaitu dengan mengkombinasikan parameter kapasitas pertukaran kation (KPK) tanah, kejenuhan basa (KB), kadar K2O, P2O5 dan C-organik tanah. HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah (FCC) Data yang digunakan untuk evaluasi kesuburan tanah dengan menggunakan metode FCC (2003) terdiri dari tiga kategori yaitu tipe (tekstur lapisan atas), tipe substrata (tekstur lapisan bawah), dan modifier (faktor pembatas kesuburan tanah). Modifier ini dapat berupa iklim, kondisi permukaan tanah, erosi, bahaya sulfidik, keracunan Al, kalkareus (kahat Fe, Mn), salinitas, alkalinitas, atau kahat hara K dan P. Rekapitulasi hasil penilaian kapabilitas kesuburan tanah (FCC) lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi hasil evaluasi kapabilitas kesuburan tanah (FCC) di lokasi penelitian Tipe Tipe Modifier Substrata Profil Kelas FCC L C L C R d R b K i v h (%) P1 (Puriala Lereng L C d v (3) LCdr+bkv(0-15) r+ b K atas) P2 (Puriala Lereng L C d r+++ b K i v (60) LCdr+++bkiv(>30) tengah) P3 (Puriala Lereng L L d K i v (1) Ldr+kiv(0-15) r+ bawah) L1 (Lasusua C C K i (1) Cr+ki(0-15) r+ Lereng atas) L2 (Lasusua C C K i (60) Cki(>30) Lereng tengah) L3 (Lasusua C C K i h (3) Ckih(0-15) Lereng bawah) Keterangan : L (tekstur bergeluh); C (tekstur berlempung); d (tanah kering); r (tanah berkerikil); b (bereaksi basa); k (kahat K); i (fiksasi P tinggi); v (tanah bersifat vertik); h (tanah masam); (%) kemiringan lereng; FCC (unit kapabilitas kesuburan tanah) AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128 79 Hasil penilaian kapabilitas kesuburan tanah di daerah Puriala yang curah hujannya lebih rendah daripada evapotranspirasinya, pada profil P1 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah LCdr+bkv(0-15). Profil P2 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah LCdr+++bkiv(>30). Profil P3 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah Ldr+kiv(0-15). Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan pada tanah di Puriala, pada profil P1 dan sekitarnya cukup banyak terutama adalah lengas tanah, kondisi bebatuan/kerikil, reaksi tanah yang agak alkalis, ketersediaan hara K yang rendah, serta potensi kembang kerut yang tinggi. Faktor pembatas pada profil P2 dan sekitarnya cukup banyak terutama adalah lengas tanah, kondisi bebatuan/kerikil, reaksi tanah, ketersediaan hara K dan P yang rendah, potensi kembang kerut serta kemiringan lereng yang curam. Faktor pembatas pada profil P3 dan sekitarnya cukup banyak terutama adalah lengas tanah, kondisi bebatuan/kerikil, ketersediaan hara K dan P yang rendah serta potensi kembang kerut yang tinggi. Hasil penilaian kapabilitas kesuburan tanah di daerah Lasusua yang curah hujannya lebih tinggi daripada evapotranspirasinya, pada profil L1 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah Cr+ki(0-15). Profil L2 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah Cki(>30). Profil L3 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah adalah Ckih(0-15). Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan pada tanah di Lasusua, pada profil L1 dan sekitarnya terutama adalah kondisi bebatuan/kerikil serta ketersediaan hara K dan P yang rendah. Faktor pembatas pada profil L2 dan sekitarnya terutama adalah ketersediaan hara K dan P yang rendah serta kemiringan lereng yang curam. Faktor pembatas pada profil L3 dan sekitarnya terutama adalah ketersediaan hara K dan P yang rendah, serta kemasaman tanah yang rendah. Interpretasi Tipe dan Tipe Substrata. Tanah di Puriala dengan unit kelas FCC seperti pada profil P1 dan P2 dapat diinterpretasi sebagai: Tipe L menunjukkan lapisan tanah atas bergeluh (kadar lempung <35%), laju infiltrasi sedang dan kemampuan menahan air sedang. Tipe substrata C menunjukkan lapisan tanah bawah berlempung (kadar lempung >35%), laju infiltrasi rendah dan kemampuan menahan air tinggi (jika lahan miring potensial permukaan tinggi). Tanah sukar diolah kecuali mempunyai modifier. Tanah dengan kombinasi LC memiliki kemungkinan terjadi degradasi tanah cukup besar akibat erosi terutama bila kemiringan lahan yang makin curam. Tanah dengan unit kelas FCC seperti pada profil P3 dapat diinterpretasi sebagai: Tipe dan Tipe substrata L menunjukkan bahwa lapisan tanah atas dan bawah bergeluh (kadar lempung <35%) laju infiltrasi sedang dan kemampuan menahan air sedang. Tanah di Lasusua dengan unit kelas FCC seperti pada profil L1, L2 dan L3 dapat diinterpretasi: Tipe dan Tipe substrata C menunjukkan bahwa lapisan tanah atas dan bawah berlempung (kadar lempung >35%) laju infiltrasi rendah dan kemampuan menahan air tinggi (jika lahan miring potensial permukaan tinggi). Tanah sukar diolah kecuali mempunyai modifier. Interpretasi Modifier. Tanah di Puriala dengan modifier dr+bkv(0-15) pada profil P1, modifier dr+++bkiv(>30) pada profil P2, dan modifier dr+kiv(0-15) pada profil P3, masingmasing pada semua tanah di Puriala memiliki modifier d: lengas tanah merupakan pembatas dalam musim kering kecuali jika tanah diairi; hujan di awal musim sering tidak menentu sehingga mengganggu perkecambahan; perlu pemilihan waktu tanam dan waktu pemberian pupuk N yang tepat. Selain itu juga memiliki modifier v: tekstur tanah lapisan olah berliat dan bila kering terjadi retakan; tanah sukar diolah bila kondisi tanah kering atau terlalu basah, potensi produktivitas tanah tinggi namun umumnya kahat hara P. Selain itu modifier k: tanah mempunyai kemampuan menyediakan hara K rendah; ketersediaan hara K sebaiknya sering dipantau dan mungkin dibutuhkan pemupukan K; kemungkinan ketersediaan hara K-Ca-Mg tidak seimbang. Tanah di Puriala karena berkembang pada curah hujan yang lebih rendah dari pada evapotranspirasinya sehingga juga memiliki modifier r+: tanah berkerikil (10-35% berdasarkan volume) dan r+++: tanah berkerikil (>35% berdasarkan volume) dan berbatu (>15% singkapan batuan) sebagai akibat dari proses pembentukan tanah yang terhambat sehingga AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128 80 dapat menghambat tindakan mekanisasi dan pengelolaan tanah, perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air. Selain itu karena berkembang dari bahan induk batuan ultrabasa sehingga juga memiliki modifier b: tanah bereaksi basa; penggunaan pupuk fosfat alam dan fosfat lain yang tidak larut dalam air perlu dihindari; kemungkinan besar terjadi kekahatan unsur mikro terutama Fe dan Zn. Modifier i: tanah mempunyai kemampuan mengikat P tinggi sehingga diperlukan dosis pupuk P tinggi atau cara pengelolaan pupuk P yang khusus dengan penggunaan jenis sumber pupuk P dengan cara pemberian yang tepat (Kebede dan Yamoah, 2009). Tanah di Lasusua dengan modifier + r ki(0-15) pada profil L1, modifier ki(>30) pada profil L2, dan modifier kih(0-15) pada profil L3 masing-masing pada semua tanah di Lasusua memiliki modifier k: tanah mempunyai kemampuan menyediakan hara K rendah; ketersediaan hara K sebaiknya sering dipantau dan mungkin dibutuhkan pemupukan K; kemungkinan ketersediaan hara K-Ca-Mg tidak seimbang. Selain itu juga masih memiliki modifier i: tanah mempunyai kemampuan mengikat P tinggi sehingga diperlukan dosis pupuk P tinggi atau cara pengelolaan pupuk P yang khusus dengan penggunaan jenis sumber pupuk P dengan cara pemberian yang tepat. Tanah di Lasusua khususnya pada profil L3 lereng bawah (datar) karena berkembang pada curah hujan yang lebih tinggi dari pada evapotranspirasinya sehingga juga memiliki modifier h: kemasaman tanah rendah hingga sedang sebagai akibat dari proses pembentukan tanah yang lebih lanjut sehingga diperlukan pengapuran untuk tanaman yang peka terhadap keracunan Al. Khusus pada profil tanah yang berada di lereng tengah juga memiliki modifier >30 %: kemiringan lereng yang curam, bahaya erosi tinggi, potensi mekanisasi terbatas, perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air (Armecin dan Cosico, 2010). Hasil klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat perkembangan tanah dengan tipe dan tipe substrata suatu unit kelas FCC. Tanah di Puriala (profil P1 dan P2) karena termasuk tanah yang belum berkembang (Alam et al., 2011) sehingga memiliki perbedaan kelas tekstur antara lapisan top soil dengan lapisan di bawahnya maka dapat diinterpretasi kemungkinan terjadi degradasi tanah cukup besar akibat erosi terutama bila kemiringan lahan yang makin tinggi. Tanah di Lasusua (L1 dan L3) karena termasuk tanah berkembang lanjut (Alam et al., 2011) sehingga seluruh fraksi dalam tanah memiliki ukuran yang seragam antar lapisan mengarah ke tekstur yang lebih halus sebagai akibat dari proses genesis melalui pelapukaan dan pelindian yang intensif. Tidak adanya perbedaan tekstur antara top soil dan sub soil menyebabkan profil tanah di Lasusua memiliki tipe dan tipe substrata yang sama menunjukkan bahwa lapisan tanah atas dan bawah berlempung yang berpengaruh pada laju infiltrasi yang rendah dan kemampuan menahan air yang tinggi. Hasil penilaian kapabilitas kesuburan tanah (FCC) menunjukkan bahwa tanah di Puriala yang berkembang pada iklim dengan curah hujan lebih rendah dari pada evapotranspirasinya menunjukkan tingkat perkembangan tanah yang terhambat, sehingga kapabilitas kesuburan tanahnya pun lebih rendah akibat banyaknya faktor penghambat yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Faktor penghambat yang ada ini umumnya berat dan memerlukan input teknologi tinggi untuk dapat dilakukan perbaikan, terutama menyangkut masalah keterbatasan air tersedia. Berbeda dengan daerah Lasusua yang curah hujannya lebih tinggi dari evapotranspirasinya, seiring dengan tingkat perkembangan tanah yang lebih berkembang, faktor penghambat kesuburan tanahnya cenderung lebih sedikit dan lebih ringan, sehingga input teknologi untuk perbaikan kesuburan tanah tidak begitu tinggi. Penilaian status kesuburan tanah Data yang digunakan untuk penilaian status kesuburan tanah dengan menggunakan metode PPT (1983) adalah kombinasi dari lima karakteristik tanah berupa KPK, kejenuhan basa (KB), C-organik, dan kadar P2O5, serta kadar K2O dari data setiap horison dan rata-rata imbang masing-masing profil tanah. Rekapitulasi hasil penilaian status kesuburan tanah lokasi penelitian berdasarkan kriteria PPT (1983) disajikan pada Tabel 2. Hasil penilaian status kesuburan tanah pada lokasi penelitian Puriala yang curah AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128 81 hujannya lebih rendah dari pada evapotranspirasinya, termasuk tanah yang belum berkembang (Alam et al., 2011) menunjukkan profil P1 (lereng atas) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK tinggi, kejenuhan basa sedang, C-organik rendah, P2O5 rendah, dan K2O juga termasuk rendah. Profil P2 (lereng tengah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK tinggi, kejenuhan basa sedang, C-organik rendah, P2O5 rendah, dan K2O juga termasuk rendah. Status kesuburan tanah profil P3 (lereng bawah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK rendah, kejenuhan basa tinggi, Corganik rendah, serta P2O5 dan K2O juga termasuk rendah. Tabel 2. Rekapitulasi hasil penilaian status kesuburan tanah di lokasi penelitian Kejenuhan CProfil KPK P2O5 Basa Organik P1 (Puriala Lereng atas) Tinggi Sedang Rendah Rendah P2 (Puriala Lereng tengah) Tinggi Sedang Rendah Rendah P3 (Puriala Lereng bawah) Rendah Tinggi Rendah Rendah L1 (Lasusua Lereng atas) Rendah Sedang Rendah Rendah L2 (Lasusua Lereng tengah) Sedang Tinggi Rendah Rendah L3 (Lasusua Lereng bawah) Rendah Sedang Rendah Rendah Hasil penilaian status kesuburan tanah pada lokasi penelitian Lasusua yang curah hujannya lebih tinggi dari pada evapotranspirasinya, termasuk tanah berkembang lanjut (Alam et al., 2011) menunjukkan profil L1 (lereng atas) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK rendah, kejenuhan basa sedang, C-organik, serta P2O5 dan K2O seluruhnya termasuk rendah. Profil L2 (lereng tengah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK sedang, kejenuhan basa tinggi, serta C-organik, P2O5 dan K2O termasuk rendah. Status kesuburan tanah profil L3 (lereng bawah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah Status Kesuburan Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah K2O Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah dengan kadar KPK rendah, kejenuhan basa sedang, C-organik, serta P2O5 dan K2O seluruhnya termasuk rendah. Evaluasi status kesuburan tanah selain dilakukan penilaian untuk data rata-rata imbang dalam satu parofil, penilaian juga dipilahkan khusus penggunaan tanaman semusim yaitu status kesuburan tanah pada kedalaman 0-20 cm dan tanaman tahunan yaitu status kesuburan tanah pada kedalaman 0-50 cm. Hasil penilaian status kesuburan tanah lokasi penelitian berdasarkan kriteria PPT (1983) pada kedalaman 0-20 cm dan 0-50 cm disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Hasil penilaian status kesuburan tanah (0-20 cm) berdasarkan kriteria PPT Bogor di lokasi penelitian K2O Status KPK C-organik P2O5 Kejenuhan Profil Basa (%) cmol(+)kg-1 % mg 100g-1 mg 100g-1 Kesuburan P1 26.14 S 94 T P2 20.98 S 60 S P3 23.16 S 45 S L1 5.71 R 45 S L2 17.62 S 37 S L3 6.38 R 34 R Keterangan : T (tinggi), S (sedang), R (rendah) 2.96 2.73 1.58 2.32 2.61 2.36 S S R S S S 3 4 10 2 2 4 R R R R R R 13 7 8 9 16 4 AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128 R R R R R R R R R R R R 82 Tabel 4. Hasil penilaian status kesuburan tanah (0-50 cm) berdasarkan kriteria PPT Bogor di lokasi penelitian KPK C-organik P2O5 K2O Status Kejenuhan Profil Basa (%) cmol(+)kg-1 % mg 100g-1 mg 100g-1 Kesuburan P1 30.87 T 63 T P2 28.53 T 50 S P3 17.65 S 59 T L1 6.93 R 34 R L2 15.46 R 44 S L3 7.02 R 28 R Keterangan : T (tinggi), S (sedang), R (rendah). Hasil evaluasi status kesuburan tanah menggunakan data kedalaman tanah yang berbeda menunjukkan bahwa meskipun lokasi penelitian memiliki KPK dan kejenuhan basa (KB) yang cukup bervariasi dari rendah sampai tinggi, namun karena status hara P2O5 dan K2O (ekstrak HCl 25%) seluruh profil lokasi penelitian termasuk rendah maka status kesuburan tanah lokasi penelitian seluruhnya termasuk rendah. Hal ini agak berbeda dengan pernyataan Susanto et al. (2010), Bassey et al. (2009), dan Widodo (2006) yang menyatakan bahwa KPK memegang peranan penting dalam menentukan status kesuburan tanah. Rendahnya hasil evaluasi status kesuburan tanah yang diperoleh dari setiap profil penelitian ini sangat boleh jadi disebabkan oleh karena besarnya batasan kriteria data rata-rata yang digunakan dalam menilai tinggi, sedang atau rendahnya data yang ada. Selain itu dapat pula disebabkan oleh sedikitnya kombinasi parameter yang digunakan dalam menilai status kesuburan tanah. Hal ini senada dengan hasil penelitian Susanto et al. (2010) bahwa semakin banyak parameter dilibatkan dalam penilaian status kesuburan tanah memiliki kecenderungan semakin meningkatkan akurasi hasil. Hasil penilaian status kesuburan tanah menunjukkan bahwa semua titik pengamatan termasuk tingkat kesuburan tanah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh iklim dan relief serta variasi tingkat perkembangan tanah tidak berpengaruh langsung terhadap status kesuburan tanah. Hal berbeda terjadi jika evaluasi kesuburan tanah didasarkan atas penilaian kapabilitas kesuburan tanah (FCC). Seiring dengan tingkat perkembangan tanah yang 1.28 1.77 0.88 1.70 1.95 1.96 R R R R R R 2 2 9 2 2 3 R R R R R R 7 8 6 9 10 10 R R R R R R R R R R R R semakin terhambat, tanah yang terbentuk pada daerah bercurah hujan rendah cenderung memiliki faktor pembatas yang jauh lebih banyak dibanding tanah yang terbentuk pada daerah bercurah hujan tinggi. Demikian pula pengaruh lereng terhadap perbedaan kapabilitas kesuburan tanah juga menunjukkan variasi yang cukup beragam pada satu toposekuen dengan curah hujan yang sama. Kemiringan lereng yang semakin curam maka tingkat bahaya erosi akan semakin tinggi sehingga potensi mekanisasi menjadi lebih terbatas dan oleh karena itu tindakan konservasi tanah dan air semakin mutlak diperlukan. KESIMPULAN 1. Tanah di daerah Puriala yang curah hujannya lebih rendah dari pada evapotranspirasinya seiring dengan tingkat perkembangan tanah memiliki kapabilitas kesuburan tanah yang lebih rendah dengan faktor penghambat yang lebih banyak dibandingkan tanah di Lasusua (curah hujan > evapotranspirasi). 2. Tanah di daerah Lasusua yang curah hujannya lebih tinggi dari evapotranspirasinya, seiring dengan tingkat perkembangan tanah yang lebih berkembang, faktor penghambat kesuburan tanahnya cenderung lebih sedikit dan lebih ringan, sehingga input teknologi untuk perbaikan kesuburan tanah tidak begitu tinggi. 3. Hasil evaluasi status kesuburan tanah menggunakan data kedalaman tanah yang berbeda menunjukkan bahwa meskipun lokasi penelitian memiliki KPK dan kejenuhan basa (KB) yang cukup bervariasi dari rendah AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128 83 hingga tinggi, namun karena status hara P2O5 dan K2O seluruh profil lokasi penelitian termasuk rendah maka status kesuburan tanah lokasi penelitian seluruhnya termasuk rendah. 4. Pengaruh iklim dan relief serta variasi tingkat perkembangan tanah tidak berpengaruh langsung terhadap penilaian status kesuburan tanah. DAFTAR PUSTAKA Alam, S., B.H. Sunarminto dan S.A. Siradz. 2011. Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa pada Dua Toposekuen di Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos 1(3):119-126. Armecin, R.B. dan W.C. Cosico. 2010. Soil fertility and land suitability assessment of the different abaca growing areas in Leyte, Philippines. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia. Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Puslitbangtanak Badan Litbang Pertanian Deptan. Bogor. 117p. Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Besar Litbang SDL Pertanian Badan Litbang Pertanian Deptan. Bogor. 136p. Bassey, U., U. Utip, E. I. Kufre, T. Monday, dan M. A. Idungafa. 2009. Fertility Assessment Of Some Inland Depression And Floodplain (Wetland) Soils In Akwa Ibom State. Agro-Science Journal of Tropical Agriculture, Food, Environment and Extension. 8(1):14-19. Garnier, J., C. Quantin, E. Guimarães, V.K. Garg, E.S. Martins, and T. Becquer. 2009. Understanding the Genesis of Ultramafic Soils and Catena Dynamics in Niquelândia, Brazil. Geoderma 151:204– 214. Graham, R.C. and A.T. O'Geen. 2010. Soil Mineralogy Trends in California Landscapes. Geoderma 154:418–437. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah IPB. Bogor. 381p. Kebede, F. dan C. Yamoah. 2009. Soil Fertility Status and Numass Fertilizer Recommendation of Typic Hapluusterts in the Northern Highlands of Ethiopia. World Applied Sciences Journal. 6(11):1473-1480. Kharisun. 2003. Potensi Pengembangan Agrogeologi di Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam “Seminar Nasional Agrogeologi” Senin, 14 Juni 2003. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Lee, B.D., S. K. Sears, R. C. Graham, C. Amrhein, and H. Vali. 2003. Secondary Mineral Genesis from Chlorite and Serpentine in an Ultramafic Soil Toposequence. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1309–1317. Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya. Jakarta. 290p. National Soil Survey Center. 2002. Fieid Book for Describing and Sampling Soils. Version 2,0. USAD-NRCS. Lincoln. 180p. Pai, C.-W., M.-K. Wang, and C.-Y. Chiu. 2007. Clay Mineralogical Characterization of a Toposequence of Perhumid Subalpine Forest Soils in Northeastern Taiwan. Geoderma 138:177–184. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Lampiran Tor of Reference Klasifikasi Kesesuaian Lahan. No.59 b/1983. P3MT Balitbang Deptan. Bogor. 23p. Rayes, L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. ANDI. Yogyakarta. 298p. Samekto, R. 2007. Hubungan Taksonomi Tanah dengan Klasifikasi Kemampuan Kesuburan Tanah (FCC) di Tanah Mineral Masam. INNOFARM: Jurnal Inovasi Pertanian. 6(1):22-43. AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128 84 Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika Buku 1. ITB. Bandung. 397p. Sanchez, P.A., C.A. Palma, and S.W. Buol. 2003. Fertility Capability Soil Classification: A Tool to Help Assess Soil Quality in The Tropics. Geoderma 114:157-185. Siswanto. 2006. Evaluasi Sumberdaya Lahan. UPN Press. Surabaya. Susanto, A.N., B.H. Sunarminto, B. Radjaguguk dan B.H. Purwanto. 2010. Kajian Metode Evaluasi Status Kesuburan Tanah Sebagai Dasar Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi Padi Sawah Di Dataran Waeapo, Kabupaten Buru. Makalah Seminar Hasil Penelitian Program Doktor Bidang Ilmu Tanah. Program Pascasarjana UGM Yogyakarta. Widodo, R.A. 2006. Evaluasi Kesuburan Tanah Pada Lahan Tanaman Sayuran Di Desa Sewukan Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. J. Tanah dan Air. 7(2):142150. AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128