AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128

advertisement
77
KARAKTERISTIK KESUBURAN TANAH PADA KONDISI IKLIM BERBEDA
DI SULAWESI TENGGARA
1
2
2
Oleh: Syamsu Alam , Bambang Hendro Sunarminto dan Syamsul Arifin Siradz
ABSTRACT
The research aimed to evaluate the soil fertility developed in different climatic conditions,
especially on soils developed from ultramafic rock in Southeast Sulawesi. The research was conducted
using toposequence, by developing a profile based on slope positions (summit, middle slope, and
toeslopes). Evaluation results of soil fertility status showed that although the research locations had
varied CEC and base saturation from low to high, the nutrient status of P2O5 and K2O on all research
locations was low, therefore soil fertility status of all research locations was considered to be low. The
results indicated that the effects of climate, relief, and variations of soil genesis did not give direct effects
on soil fertility status. However, if the soil fertility status was evaluated based on fertility capability
classification (FCC), the soil genesis gave direct effects on soil fertility status. Along with advanced
development of soil genesis, soil in Lasusua developed on high rainfall area generally had less limiting
factors compared to soil in Puriala that was developed on low rainfall area.
Keywords: soil fertility status, FCC, different climatic conditions, ultramafic
PENDAHULUAN
Tanah sebagai media tumbuh bagi
tanaman dan termasuk aspek penting dalam
budidaya
pertanian.
Budidaya
pertanian
merupakan suatu upaya yang sangat tergantung
pada kondisi dan keadaan spesifik dari bumi.
Semua jenis tanaman yang hidup di muka bumi
pasti memerlukan unsur hara agar tumbuh
dengan baik. Unsur hara makro dan mikro,
kecuali nitrogen, berasal dari hancuran batuan
sebagai bahan induk tanah (van Straaten, 2002).
Semua unsur hara tersebut dapat diperoleh
tanaman dari batuan yang telah melapuk atau
yang disebut tanah. Faktor yang menentukan
kaya atau miskinnya unsur hara yang terdapat
dalam batuan tergantung
pada jenis
pembentukannya, letak geografis, komposisi
batuan, sifat fisika serta kecepatan pelapukan.
Potensi unsur hara yang terdapat di dalam batuan
dapat diketahui berdasarkan faktor-faktor
tersebut. Oleh karena itu, fungsi dan peranan dari
batuan terhadap penyediaan unsur hara bagi
tanaman dapat dijadikan bahan evaluasi dini
terhadap tingkat kesuburan tanah (Munir, 1996;
Kharisun, 2003).
Evaluasi kesuburan tanah ditujukan
untuk
menilai
karakteristik
lahan
dan
menentukan kendala utama kesuburan tanah serta
alternatif
pengelolaannya
dalam
upaya
meningkatkan produktivitas tanah (Siswanto,
2006). Penilaian sifat dan penentuan kendala
kesuburan tanah dapat dilakukan dengan
Klasifikasi Kapabilitas Kesuburan Tanah atau
Fertility Capability Classification, yang disingkat
FCC (Sanchez et al., 1982 dalam Sanchez, 1992;
Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001; Rayes,
2007).
Sistem klasifikasi kapabilitas kesuburan
tanah (FCC) terdiri atas tiga kategori, yaitu tipe
(tekstur tanah atas lapisan 0-20 cm atau lapisan
olah), sub tipe atau tipe substrata (tekstur tanah
bawah, digunakan jika dijumpai perubahan
tekstur tanah pada kedalaman teratas hingga 50
cm) dan kondisi modifier atau pengubah keadaan
yang berhubungan dengan karakteristik fisik
tanah, reaksi tanah dan mineralogi tanah
(Sanchez et al., 2003; Samekto, 2007).
Kombinasi ketiga kategori tersebut menghasilkan
unit-unit Klasifikasi Kemampuan Kesuburan
Tanah yang dapat diinterpretasikan dengan
penaksiran sifat tanah dan penentuan alternatif
teknologi pengelolaan yang diperlukan untuk
mengatasi kendala utama kesuburan tanah.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengevaluasi kesuburan tanah dengan kondisi
AGRIPLUS,
Volume
23 Nomor
: 01
Januari Haluoleo,
2013, ISSN
0854-0128
) Staf Pengajar pada Jurusan
Agroteknologi
Fakultas
Pertanian
Universitas
Kendari
1
2
) Staf Pengajar pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
77
78
iklim yang berbeda, khususnya pada tanah-tanah
yang berasal dari lapukan batuan ultrabasa di
Sulawesi Tenggara.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2010 hingga Juni 2011. Penelitian
lapangan dilakukan pada tanah potensi tambang
nikel (berasal dari batuan ultrabasa, formasi
geologi Kompleks Ultramafik/Batuan Ofiolit) di
Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kecamatan
Puriala Kabupaten Konawe dan Kecamatan
Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Jumlah profil
pada setiap landscape ditentukan dengan
pendekatan toposekuen yaitu dengan membuat
profil pewakil berdasarkan posisi di lereng
(lereng atas, tengah dan lereng bawah) (Lee et
al., 2003; Pai et al., 2007; Garnier et al., 2009;
Graham and O’Geen, 2010), sehingga dalam
penelitian ini evaluasi kesuburan tanah dilakukan
pada enam profil pewakil. Pengamatan lapangan
dilakukan berdasarkan panduan Balai Penelitian
Tanah (2004) dan National Soil Survey Center
(2002). Analisis tanah di laboratorium berupa
tekstur tanah dengan metode pipet, pH tanah,
DHL, C-organik metode Walkey and Black, P
dan K ekstrak HCl 25%, Basa tertukar Ca, Mg,
Na, K, Kejenuhan Basa dan KTK ekstrak
NH4OAc pH 7, kemasaman tertukar, Al-dd dan
H-dd ekstrak KCl 1M, kadar Fe-d ekstrak
dithionit-sitrat, dan identifikasi mineral lempung
dengan XRD. Metode analisis laboratorium
didasarkan pada buku Petunjuk Teknis Analisis
Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk (Balai
Penelitian Tanah, 2009).
Kesuburan tanah dievaluasi berdasarkan
Fertility Capability Classification (FCC)
(Sanchez et al., 2003). Evaluasi kesuburan tanah
juga akan didasarkan pada kunci status kesuburan
tanah (PPT, 1983) sebagai pembanding, yaitu
dengan mengkombinasikan parameter kapasitas
pertukaran kation (KPK) tanah, kejenuhan basa
(KB), kadar K2O, P2O5 dan C-organik tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah
(FCC)
Data yang digunakan untuk evaluasi
kesuburan tanah dengan menggunakan metode
FCC (2003) terdiri dari tiga kategori yaitu tipe
(tekstur lapisan atas), tipe substrata (tekstur
lapisan bawah), dan modifier (faktor pembatas
kesuburan tanah). Modifier ini dapat berupa
iklim, kondisi permukaan tanah, erosi, bahaya
sulfidik, keracunan Al, kalkareus (kahat Fe, Mn),
salinitas, alkalinitas, atau kahat hara K dan P.
Rekapitulasi
hasil
penilaian
kapabilitas
kesuburan tanah (FCC) lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil evaluasi kapabilitas kesuburan tanah (FCC) di lokasi penelitian
Tipe
Tipe
Modifier
Substrata
Profil
Kelas FCC
L C L C R d
R b K i v h (%)
P1 (Puriala Lereng
L
C
d
v
(3) LCdr+bkv(0-15)
r+ b K
atas)
P2 (Puriala Lereng
L
C
d r+++ b K i v
(60) LCdr+++bkiv(>30)
tengah)
P3 (Puriala Lereng
L
L
d
K i v
(1) Ldr+kiv(0-15)
r+
bawah)
L1 (Lasusua
C
C
K i
(1) Cr+ki(0-15)
r+
Lereng atas)
L2 (Lasusua
C
C
K i
(60) Cki(>30)
Lereng tengah)
L3 (Lasusua
C
C
K i
h (3) Ckih(0-15)
Lereng bawah)
Keterangan : L (tekstur bergeluh); C (tekstur berlempung); d (tanah kering); r (tanah berkerikil); b (bereaksi basa);
k (kahat K); i (fiksasi P tinggi); v (tanah bersifat vertik); h (tanah masam); (%) kemiringan lereng;
FCC (unit kapabilitas kesuburan tanah)
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
79
Hasil penilaian kapabilitas kesuburan
tanah di daerah Puriala yang curah hujannya
lebih rendah daripada evapotranspirasinya, pada
profil P1 diperoleh unit kelas kapabilitas
kesuburan tanah adalah LCdr+bkv(0-15). Profil
P2 diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan
tanah adalah LCdr+++bkiv(>30). Profil P3
diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah
adalah Ldr+kiv(0-15).
Faktor pembatas kesuburan tanah yang
ditemukan pada tanah di Puriala, pada profil P1
dan sekitarnya cukup banyak terutama adalah
lengas tanah, kondisi bebatuan/kerikil, reaksi
tanah yang agak alkalis, ketersediaan hara K
yang rendah, serta potensi kembang kerut yang
tinggi. Faktor pembatas pada profil P2 dan
sekitarnya cukup banyak terutama adalah lengas
tanah, kondisi bebatuan/kerikil, reaksi tanah,
ketersediaan hara K dan P yang rendah, potensi
kembang kerut serta kemiringan lereng yang
curam. Faktor pembatas pada profil P3 dan
sekitarnya cukup banyak terutama adalah lengas
tanah, kondisi bebatuan/kerikil, ketersediaan hara
K dan P yang rendah serta potensi kembang kerut
yang tinggi.
Hasil penilaian kapabilitas kesuburan
tanah di daerah Lasusua yang curah hujannya
lebih tinggi daripada evapotranspirasinya, pada
profil L1 diperoleh unit kelas kapabilitas
kesuburan tanah adalah Cr+ki(0-15). Profil L2
diperoleh unit kelas kapabilitas kesuburan tanah
adalah Cki(>30). Profil L3 diperoleh unit kelas
kapabilitas kesuburan tanah adalah Ckih(0-15).
Faktor pembatas kesuburan tanah yang
ditemukan pada tanah di Lasusua, pada profil L1
dan sekitarnya terutama adalah kondisi
bebatuan/kerikil serta ketersediaan hara K dan P
yang rendah. Faktor pembatas pada profil L2 dan
sekitarnya terutama adalah ketersediaan hara K
dan P yang rendah serta kemiringan lereng yang
curam. Faktor pembatas pada profil L3 dan
sekitarnya terutama adalah ketersediaan hara K
dan P yang rendah, serta kemasaman tanah yang
rendah.
Interpretasi Tipe dan Tipe Substrata.
Tanah di Puriala dengan unit kelas FCC seperti
pada profil P1 dan P2 dapat diinterpretasi
sebagai: Tipe L menunjukkan lapisan tanah atas
bergeluh (kadar lempung <35%), laju infiltrasi
sedang dan kemampuan menahan air sedang.
Tipe substrata C menunjukkan lapisan tanah
bawah berlempung (kadar lempung >35%), laju
infiltrasi rendah dan kemampuan menahan air
tinggi (jika lahan miring potensial permukaan
tinggi). Tanah sukar diolah kecuali mempunyai
modifier. Tanah dengan kombinasi LC memiliki
kemungkinan terjadi degradasi tanah cukup besar
akibat erosi terutama bila kemiringan lahan yang
makin curam. Tanah dengan unit kelas FCC
seperti pada profil P3 dapat diinterpretasi
sebagai: Tipe dan Tipe substrata L menunjukkan
bahwa lapisan tanah atas dan bawah bergeluh
(kadar lempung <35%) laju infiltrasi sedang dan
kemampuan menahan air sedang.
Tanah di Lasusua dengan unit kelas FCC
seperti pada profil L1, L2 dan L3 dapat
diinterpretasi: Tipe dan Tipe substrata C
menunjukkan bahwa lapisan tanah atas dan
bawah berlempung (kadar lempung >35%) laju
infiltrasi rendah dan kemampuan menahan air
tinggi (jika lahan miring potensial permukaan
tinggi). Tanah sukar diolah kecuali mempunyai
modifier.
Interpretasi Modifier. Tanah di Puriala
dengan modifier dr+bkv(0-15) pada profil P1,
modifier dr+++bkiv(>30) pada profil P2, dan
modifier dr+kiv(0-15) pada profil P3, masingmasing pada semua tanah di Puriala memiliki
modifier d: lengas tanah merupakan pembatas
dalam musim kering kecuali jika tanah diairi;
hujan di awal musim sering tidak menentu
sehingga mengganggu perkecambahan; perlu
pemilihan waktu tanam dan waktu pemberian
pupuk N yang tepat. Selain itu juga memiliki
modifier v: tekstur tanah lapisan olah berliat dan
bila kering terjadi retakan; tanah sukar diolah bila
kondisi tanah kering atau terlalu basah, potensi
produktivitas tanah tinggi namun umumnya kahat
hara P. Selain itu modifier k: tanah mempunyai
kemampuan menyediakan hara K rendah;
ketersediaan hara K sebaiknya sering dipantau
dan mungkin dibutuhkan pemupukan K;
kemungkinan ketersediaan hara K-Ca-Mg tidak
seimbang.
Tanah di Puriala karena berkembang
pada curah hujan yang lebih rendah dari pada
evapotranspirasinya sehingga juga memiliki
modifier r+: tanah berkerikil (10-35%
berdasarkan volume) dan r+++: tanah berkerikil
(>35% berdasarkan volume) dan berbatu (>15%
singkapan batuan) sebagai akibat dari proses
pembentukan tanah yang terhambat sehingga
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128
80
dapat menghambat tindakan mekanisasi dan
pengelolaan tanah, perlu dilakukan tindakan
konservasi tanah dan air. Selain itu karena
berkembang dari bahan induk batuan ultrabasa
sehingga juga memiliki modifier b: tanah
bereaksi basa; penggunaan pupuk fosfat alam dan
fosfat lain yang tidak larut dalam air perlu
dihindari; kemungkinan besar terjadi kekahatan
unsur mikro terutama Fe dan Zn. Modifier i:
tanah mempunyai kemampuan mengikat P tinggi
sehingga diperlukan dosis pupuk P tinggi atau
cara pengelolaan pupuk P yang khusus dengan
penggunaan jenis sumber pupuk P dengan cara
pemberian yang tepat (Kebede dan Yamoah,
2009).
Tanah di Lasusua dengan modifier
+
r ki(0-15) pada profil L1, modifier ki(>30) pada
profil L2, dan modifier kih(0-15) pada profil L3
masing-masing pada semua tanah di Lasusua
memiliki modifier k: tanah mempunyai
kemampuan menyediakan hara K rendah;
ketersediaan hara K sebaiknya sering dipantau
dan mungkin dibutuhkan pemupukan K;
kemungkinan ketersediaan hara K-Ca-Mg tidak
seimbang. Selain itu juga masih memiliki
modifier i: tanah mempunyai kemampuan
mengikat P tinggi sehingga diperlukan dosis
pupuk P tinggi atau cara pengelolaan pupuk P
yang khusus dengan penggunaan jenis sumber
pupuk P dengan cara pemberian yang tepat.
Tanah di Lasusua khususnya pada profil L3
lereng bawah (datar) karena berkembang pada
curah hujan yang lebih tinggi dari pada
evapotranspirasinya sehingga juga memiliki
modifier h: kemasaman tanah rendah hingga
sedang sebagai akibat dari proses pembentukan
tanah yang lebih lanjut sehingga diperlukan
pengapuran untuk tanaman yang peka terhadap
keracunan Al. Khusus pada profil tanah yang
berada di lereng tengah juga memiliki modifier
>30 %: kemiringan lereng yang curam, bahaya
erosi tinggi, potensi mekanisasi terbatas, perlu
dilakukan tindakan konservasi tanah dan air
(Armecin dan Cosico, 2010).
Hasil klasifikasi kapabilitas kesuburan
tanah menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara tingkat perkembangan tanah dengan tipe
dan tipe substrata suatu unit kelas FCC. Tanah di
Puriala (profil P1 dan P2) karena termasuk tanah
yang belum berkembang (Alam et al., 2011)
sehingga memiliki perbedaan kelas tekstur antara
lapisan top soil dengan lapisan di bawahnya
maka dapat diinterpretasi kemungkinan terjadi
degradasi tanah cukup besar akibat erosi terutama
bila kemiringan lahan yang makin tinggi. Tanah
di Lasusua (L1 dan L3) karena termasuk tanah
berkembang lanjut (Alam et al., 2011) sehingga
seluruh fraksi dalam tanah memiliki ukuran yang
seragam antar lapisan mengarah ke tekstur yang
lebih halus sebagai akibat dari proses genesis
melalui pelapukaan dan pelindian yang intensif.
Tidak adanya perbedaan tekstur antara top soil
dan sub soil menyebabkan profil tanah di
Lasusua memiliki tipe dan tipe substrata yang
sama menunjukkan bahwa lapisan tanah atas dan
bawah berlempung yang berpengaruh pada laju
infiltrasi yang rendah dan kemampuan menahan
air yang tinggi.
Hasil penilaian kapabilitas kesuburan
tanah (FCC) menunjukkan bahwa tanah di
Puriala yang berkembang pada iklim dengan
curah hujan lebih rendah dari pada
evapotranspirasinya
menunjukkan
tingkat
perkembangan tanah yang terhambat, sehingga
kapabilitas kesuburan tanahnya pun lebih rendah
akibat banyaknya faktor penghambat yang
berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Faktor
penghambat yang ada ini umumnya berat dan
memerlukan input teknologi tinggi untuk dapat
dilakukan perbaikan, terutama menyangkut
masalah keterbatasan air tersedia. Berbeda
dengan daerah Lasusua yang curah hujannya
lebih tinggi dari evapotranspirasinya, seiring
dengan tingkat perkembangan tanah yang lebih
berkembang, faktor penghambat kesuburan
tanahnya cenderung lebih sedikit dan lebih
ringan, sehingga input teknologi untuk perbaikan
kesuburan tanah tidak begitu tinggi.
Penilaian status kesuburan tanah
Data yang digunakan untuk penilaian
status kesuburan tanah dengan menggunakan
metode PPT (1983) adalah kombinasi dari lima
karakteristik tanah berupa KPK, kejenuhan basa
(KB), C-organik, dan kadar P2O5, serta kadar
K2O dari data setiap horison dan rata-rata imbang
masing-masing profil tanah. Rekapitulasi hasil
penilaian status kesuburan tanah lokasi penelitian
berdasarkan kriteria PPT (1983) disajikan pada
Tabel 2.
Hasil penilaian status kesuburan tanah
pada lokasi penelitian Puriala yang curah
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
81
hujannya
lebih
rendah
dari
pada
evapotranspirasinya, termasuk tanah yang belum
berkembang (Alam et al., 2011) menunjukkan
profil P1 (lereng atas) termasuk tingkat
kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK
tinggi, kejenuhan basa sedang, C-organik rendah,
P2O5 rendah, dan K2O juga termasuk rendah.
Profil P2 (lereng tengah) termasuk tingkat
kesuburan tanah rendah dengan kadar KPK
tinggi, kejenuhan basa sedang, C-organik rendah,
P2O5 rendah, dan K2O juga termasuk rendah.
Status kesuburan tanah profil P3 (lereng bawah)
termasuk tingkat kesuburan tanah rendah dengan
kadar KPK rendah, kejenuhan basa tinggi, Corganik rendah, serta P2O5 dan K2O juga
termasuk rendah.
Tabel 2. Rekapitulasi hasil penilaian status kesuburan tanah di lokasi penelitian
Kejenuhan
CProfil
KPK
P2O5
Basa
Organik
P1 (Puriala Lereng atas)
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
P2 (Puriala Lereng tengah)
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
P3 (Puriala Lereng bawah)
Rendah Tinggi
Rendah
Rendah
L1 (Lasusua Lereng atas)
Rendah Sedang
Rendah
Rendah
L2 (Lasusua Lereng tengah) Sedang
Tinggi
Rendah
Rendah
L3 (Lasusua Lereng bawah) Rendah Sedang
Rendah
Rendah
Hasil penilaian status kesuburan tanah
pada lokasi penelitian Lasusua yang curah
hujannya
lebih
tinggi
dari
pada
evapotranspirasinya, termasuk tanah berkembang
lanjut (Alam et al., 2011) menunjukkan profil L1
(lereng atas) termasuk tingkat kesuburan tanah
rendah dengan kadar KPK rendah, kejenuhan
basa sedang, C-organik, serta P2O5 dan K2O
seluruhnya termasuk rendah. Profil L2 (lereng
tengah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah
dengan kadar KPK sedang, kejenuhan basa
tinggi, serta C-organik, P2O5 dan K2O termasuk
rendah. Status kesuburan tanah profil L3 (lereng
bawah) termasuk tingkat kesuburan tanah rendah
Status
Kesuburan
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
K2O
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
dengan kadar KPK rendah, kejenuhan basa
sedang, C-organik, serta P2O5 dan K2O
seluruhnya termasuk rendah.
Evaluasi status kesuburan tanah selain
dilakukan penilaian untuk data rata-rata imbang
dalam satu parofil, penilaian juga dipilahkan
khusus penggunaan tanaman semusim yaitu
status kesuburan tanah pada kedalaman 0-20 cm
dan tanaman tahunan yaitu status kesuburan
tanah pada kedalaman 0-50 cm. Hasil penilaian
status kesuburan tanah lokasi penelitian
berdasarkan kriteria PPT (1983) pada kedalaman
0-20 cm dan 0-50 cm disajikan pada Tabel 3 dan
Tabel 4.
Tabel 3. Hasil penilaian status kesuburan tanah (0-20 cm) berdasarkan kriteria PPT Bogor di lokasi
penelitian
K2O
Status
KPK
C-organik
P2O5
Kejenuhan
Profil
Basa (%)
cmol(+)kg-1
%
mg 100g-1
mg 100g-1 Kesuburan
P1
26.14 S
94 T
P2
20.98 S
60 S
P3
23.16 S
45 S
L1
5.71 R
45 S
L2
17.62 S
37 S
L3
6.38 R
34 R
Keterangan : T (tinggi), S (sedang), R (rendah)
2.96
2.73
1.58
2.32
2.61
2.36
S
S
R
S
S
S
3
4
10
2
2
4
R
R
R
R
R
R
13
7
8
9
16
4
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
82
Tabel 4. Hasil penilaian status kesuburan tanah (0-50 cm) berdasarkan kriteria PPT Bogor di lokasi
penelitian
KPK
C-organik
P2O5
K2O
Status
Kejenuhan
Profil
Basa (%)
cmol(+)kg-1
%
mg 100g-1
mg 100g-1
Kesuburan
P1
30.87 T
63 T
P2
28.53 T
50 S
P3
17.65 S
59 T
L1
6.93 R
34 R
L2
15.46 R
44 S
L3
7.02 R
28 R
Keterangan : T (tinggi), S (sedang), R (rendah).
Hasil evaluasi status kesuburan tanah
menggunakan data kedalaman tanah yang
berbeda menunjukkan bahwa meskipun lokasi
penelitian memiliki KPK dan kejenuhan basa
(KB) yang cukup bervariasi dari rendah sampai
tinggi, namun karena status hara P2O5 dan K2O
(ekstrak HCl 25%) seluruh profil lokasi
penelitian termasuk rendah maka status
kesuburan tanah lokasi penelitian seluruhnya
termasuk rendah. Hal ini agak berbeda dengan
pernyataan Susanto et al. (2010), Bassey et al.
(2009), dan Widodo (2006) yang menyatakan
bahwa KPK memegang peranan penting dalam
menentukan status kesuburan tanah. Rendahnya
hasil evaluasi status kesuburan tanah yang
diperoleh dari setiap profil penelitian ini sangat
boleh jadi disebabkan oleh karena besarnya
batasan kriteria data rata-rata yang digunakan
dalam menilai tinggi, sedang atau rendahnya data
yang ada. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
sedikitnya kombinasi parameter yang digunakan
dalam menilai status kesuburan tanah. Hal ini
senada dengan hasil penelitian Susanto et al.
(2010) bahwa semakin banyak parameter
dilibatkan dalam penilaian status kesuburan tanah
memiliki kecenderungan semakin meningkatkan
akurasi hasil.
Hasil penilaian status kesuburan tanah
menunjukkan bahwa semua titik pengamatan
termasuk tingkat kesuburan tanah rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh iklim dan relief
serta variasi tingkat perkembangan tanah tidak
berpengaruh langsung terhadap status kesuburan
tanah. Hal berbeda terjadi jika evaluasi
kesuburan tanah didasarkan atas penilaian
kapabilitas kesuburan tanah (FCC). Seiring
dengan tingkat perkembangan tanah yang
1.28
1.77
0.88
1.70
1.95
1.96
R
R
R
R
R
R
2
2
9
2
2
3
R
R
R
R
R
R
7
8
6
9
10
10
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
semakin terhambat, tanah yang terbentuk pada
daerah bercurah hujan rendah cenderung
memiliki faktor pembatas yang jauh lebih banyak
dibanding tanah yang terbentuk pada daerah
bercurah hujan tinggi. Demikian pula pengaruh
lereng terhadap perbedaan kapabilitas kesuburan
tanah juga menunjukkan variasi yang cukup
beragam pada satu toposekuen dengan curah
hujan yang sama. Kemiringan lereng yang
semakin curam maka tingkat bahaya erosi akan
semakin tinggi sehingga potensi mekanisasi
menjadi lebih terbatas dan oleh karena itu
tindakan konservasi tanah dan air semakin
mutlak diperlukan.
KESIMPULAN
1. Tanah di daerah Puriala yang curah hujannya
lebih rendah dari pada evapotranspirasinya
seiring dengan tingkat perkembangan tanah
memiliki kapabilitas kesuburan tanah yang
lebih rendah dengan faktor penghambat yang
lebih banyak dibandingkan tanah di Lasusua
(curah hujan > evapotranspirasi).
2. Tanah di daerah Lasusua yang curah hujannya
lebih tinggi dari evapotranspirasinya, seiring
dengan tingkat perkembangan tanah yang
lebih berkembang, faktor penghambat
kesuburan tanahnya cenderung lebih sedikit
dan lebih ringan, sehingga input teknologi
untuk perbaikan kesuburan tanah tidak begitu
tinggi.
3. Hasil evaluasi status kesuburan tanah
menggunakan data kedalaman tanah yang
berbeda menunjukkan bahwa meskipun lokasi
penelitian memiliki KPK dan kejenuhan basa
(KB) yang cukup bervariasi dari rendah
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
83
hingga tinggi, namun karena status hara P2O5
dan K2O seluruh profil lokasi penelitian
termasuk rendah maka status kesuburan tanah
lokasi penelitian seluruhnya termasuk rendah.
4. Pengaruh iklim dan relief serta variasi tingkat
perkembangan tanah tidak berpengaruh
langsung terhadap penilaian status kesuburan
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S., B.H. Sunarminto dan S.A. Siradz.
2011. Perkembangan Tanah dari Lapukan
Batuan Ultrabasa pada Dua Toposekuen
di Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos
1(3):119-126.
Armecin, R.B. dan W.C. Cosico. 2010. Soil
fertility and land suitability assessment of
the different abaca growing areas in
Leyte, Philippines. 19th World Congress
of Soil Science, Soil Solutions for a
Changing World. 1 – 6 August 2010,
Brisbane, Australia.
Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis
Pengamatan Tanah. Puslitbangtanak
Badan Litbang Pertanian Deptan. Bogor.
117p.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis
Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air,
dan Pupuk. Balai Besar Litbang SDL
Pertanian Badan Litbang Pertanian
Deptan. Bogor. 136p.
Bassey, U., U. Utip, E. I. Kufre, T. Monday, dan
M. A. Idungafa. 2009. Fertility
Assessment Of Some Inland Depression
And Floodplain (Wetland) Soils In Akwa
Ibom State. Agro-Science Journal of
Tropical Agriculture, Food, Environment
and Extension. 8(1):14-19.
Garnier, J., C. Quantin, E. Guimarães, V.K.
Garg, E.S. Martins, and T. Becquer.
2009. Understanding the Genesis of
Ultramafic Soils and Catena Dynamics in
Niquelândia, Brazil. Geoderma 151:204–
214.
Graham, R.C. and A.T. O'Geen. 2010. Soil
Mineralogy Trends in California
Landscapes. Geoderma 154:418–437.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001.
Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah IPB.
Bogor. 381p.
Kebede, F. dan C. Yamoah. 2009. Soil Fertility
Status
and
Numass
Fertilizer
Recommendation of Typic Hapluusterts
in the Northern Highlands of Ethiopia.
World Applied Sciences Journal.
6(11):1473-1480.
Kharisun.
2003.
Potensi
Pengembangan
Agrogeologi di Indonesia. Makalah
dipresentasikan
dalam
“Seminar
Nasional Agrogeologi” Senin, 14 Juni
2003. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.
Lee, B.D., S. K. Sears, R. C. Graham, C.
Amrhein, and H. Vali. 2003. Secondary
Mineral Genesis from Chlorite and
Serpentine in an Ultramafic Soil
Toposequence. Soil Sci. Soc. Am. J.
67:1309–1317.
Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah.
Pustaka Jaya. Jakarta. 290p.
National Soil Survey Center. 2002. Fieid Book
for Describing and Sampling Soils.
Version 2,0. USAD-NRCS. Lincoln.
180p.
Pai, C.-W., M.-K. Wang, and C.-Y. Chiu. 2007.
Clay Mineralogical Characterization of a
Toposequence of Perhumid Subalpine
Forest Soils in Northeastern Taiwan.
Geoderma 138:177–184.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Lampiran Tor of
Reference Klasifikasi Kesesuaian Lahan.
No.59 b/1983. P3MT Balitbang Deptan.
Bogor. 23p.
Rayes,
L. 2007. Metode Inventarisasi
Sumberdaya Lahan. ANDI. Yogyakarta.
298p.
Samekto, R. 2007. Hubungan Taksonomi Tanah
dengan
Klasifikasi
Kemampuan
Kesuburan Tanah (FCC) di Tanah
Mineral Masam. INNOFARM: Jurnal
Inovasi Pertanian. 6(1):22-43.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128
84
Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan
Tanah Tropika Buku 1. ITB. Bandung.
397p.
Sanchez, P.A., C.A. Palma, and S.W. Buol. 2003.
Fertility Capability Soil Classification: A
Tool to Help Assess Soil Quality in The
Tropics. Geoderma 114:157-185.
Siswanto. 2006. Evaluasi Sumberdaya Lahan.
UPN Press. Surabaya.
Susanto, A.N., B.H. Sunarminto, B. Radjaguguk
dan B.H. Purwanto. 2010. Kajian Metode
Evaluasi Status Kesuburan Tanah
Sebagai Dasar Pengelolaan Hara
Spesifik Lokasi Padi Sawah Di Dataran
Waeapo, Kabupaten Buru. Makalah
Seminar Hasil Penelitian Program Doktor
Bidang
Ilmu
Tanah.
Program
Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Widodo, R.A. 2006. Evaluasi Kesuburan Tanah
Pada Lahan Tanaman Sayuran Di Desa
Sewukan Kecamatan Dukun Kabupaten
Magelang. J. Tanah dan Air. 7(2):142150.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
Download