FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEJADIAN KECACINGAN YANG DISEBABKAN OLEH SOIL-TRANSMITTED HELMINTH DI INDONESIA Bagus Uda Palgunadi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak: Soil –Transmitted Helminth adalah nematoda usus yang di dalam penularannya atau siklus hidupnya melalui tanah. Nematoda usus yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah cacing gelang Ascaris lumbricoides, cacing cambuk Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma dudenale). Penyakit kecacingan umumnya masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tenaga kesehatan sebab dipandang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Kejadian penyakit kecacingan khususnya yang disebabkan oleh Soil-Transmitted Heminth di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi lingkungan , sosio-ekonomi , perilaku, usia serta tingkat pendidikan penderita merupakan factor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminth. Kata Kunci :Kecacingan, Soil-Transmitted Helminth, Nematoda usus, Ascaris lumbricoides, Cacing tambang, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis FACTORS THAT AFFECT HELMINTHIASIS CASE CAUSED BY SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS IN INDONESIA Bagus Uda Palgunadi Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract : Soil-transmitted helminth is a intestinal nematodes that its infection or its lifecycle is through the soil. Intestinal nematodes that classified as the soil-transmitted helminth is roundworm Ascaris lumbricoides, whipeworm Trichuris trichiura, Stronglyloides stercoralis also hookworm Necator americanus and Ancylostoma duodenale. Helminthiasis is usually ignored by the society or medics, because it doesn't cause a serious epidemic or deaths. In Indonesia, helminthiasis cases caused by Soil-Transmitted Helminths is still high. These infection cases is affected by some factors such as environmental condition, social-economic, daily habits, age and educational level. Keywords: Helminthiasis, Soil- Transmitted Helminth, Ascaris lumricoides, Hookworm, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis. PENDAHULUAN: Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang mendapat perhatian, sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Walaupun demikian, penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai berat yang ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa tidak enak di perut, gatal – gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi , pneumonitis, syndrome Loeffler dan lain – lain. Terjadinya penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kondisi lingkungan penderita , sosio-ekonomi penderita serta tingkat pendidikan penderita. Salah satu penyakit kecacingan yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth yaitu golongan nematode usus yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Menurut Faust , Soil-Transmitted helminth adalah nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah. (Faust EC et al,1976) Cacing yang tergolong dalam SoilTransmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Di Indonesia infeksi oleh Soil-Transmitted Helminth ini paling banyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura , Necator americanus. Masalah penyakit kecacingan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan iklim dan kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi. Pada saat musim hujan, udara yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi kesehatan yang rendah merupakan faktor penyebab tingginya kejadian penyakit kecacingan. Cara yang paling tepat untuk menanggulangi dan memberantas parasit adalah dengan cara memutus lingkaran hidup cacing, pengobatan masal secara periodik, perbaikan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat dan menghindarkan pencemaran tanah oleh feces penderita. ETIOLOGI Penyakit kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus, sebagian besar penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau SoilTransmitted Helminths. Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) Ascaris lumbricoides: Di Indonesia cacing ini dikenal sebagai cacing gelang. Predileksi cacing dewasanya terdapat di dalam lumen usus halus manusia, tetapi kadang-kadang dijumpai mengembara ke bagian usus lainnya. Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara , yaitu masuknya telur infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar dan melalui tangan yang kotor atau terhirup bersama debu udara yang tercemar telur infektifnya. Bila telur infektif yang berukuran 75 x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka di bagian atas dari usus halus, dinding telur akan pecah dan larva akan keluar dari telur. Kemudian larva akan menembus dinding usus halus, mamasuki vena porta dan bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus dinding kapiler menuju alveoli. Dari alveoli larva menuju bronchi, trachea, larynx, pharynx kemudian dibatukkan dan tertelan masuk ke oesophagus, selanjutnya turun ke lambung dan akhirnya menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina berukuran 22 – 35 cm dan lebih besar dibandingkan cacing jantan yang berukuran 10 – 31cm.(Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell EK et al, 1992 ; Soedarto, 2008) Ancylostoma duodenale dan Necator americanus : Cacing ini dikenal dengan nama cacing tambang. Predileksi cacing dewasanya di mucosa usus halus, terutama di mucosa duodenum dan jejenum manusia. Kedua species cacing ini melekatkan diri pada membrane mucosa usus halus dengan menggunakan gigi kitin atau gigi pemotong dan menghisap darah dari luka gigitannya. (Neva A and Brown HW.1994 ; Markell EK et al, 1992) Manusia merupakan hospes satusatunya bagi kedua cacing ini. Telur kedua species cacing ini sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 mikron, sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 mikron. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform dengan ukuran 500 – 700 mikron, larva filariform ini adalah larva infektif untuk manusia. Larva infektif masuk ke dalam hospes melalui folikel rambut, pori-pori atau melalui kulit yang utuh. Kemudian larva masuk ke dalam saluran limfe atau vena kecil, masuk kealiran darah menuju jantung dan paru, menembus kapiler masuk ke alveoli. Selanjutnya larva mengadakan migrasi ke bronchi, trachea, larynx, pharynx dan akhirnya tertelan masuk oesophagus. Di oesophagus terjadi pergantian kulit yang ketiga kalinya dan mulai terbentuk rongga mulut sementara yang memungkinkan larva ini mengambil makanan. Dari oesophagus larva mencapai usus halus dan berganti kulit untuk yang keempat kalinya, kemudian tumbuh menjadi cacing dewasa yang berukuran panjang 9-13mm untuk betina dan 5-11mm untuk jantan dengan bursa copulatrix di ujung posteriornya . (Neva A, 1994 ; Markell EK, 1992 ; Soedarto, 2008). Trichuris trichiura: Cacing ini disebut juga sebagai cacing cambuk yang mempunyai ciri-ciri berupa, bagian anterior seperti cambuk dan agak meruncing, 3/5 bagian tubuhnya dilalui oesophagus yang sempit. Bagian posterior lebih tebal, 2/5 bagian dari tubuhnya berisi usus dan organ reproduksi. Cacing jantang berukuran 30 – 45 mm, sedangkan cacing betina berukuran 35 – 50 mm. bagian posterior cacing jantan berbentuk melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil, sedangkan bagian posterior cacing betina berbemtuk bulat dan tumpul. Predileksi cacing ini pada mucosa cecum manusia. ( Neva A and Brown HW, 1994) Telurnya berukuran 50 x 23 mikron dan berbentuk seperti tempayan dengan 2 kutub yang jernih dan menonjol serta kulit luarnya berwarna kekuning-kuningan. Manusia tertular karena tertelannya telur infektif dari cacing ini. Di dalam usus, dinding telur akan pecah dan larva cacing keluar menuju bagian proksimal dari usus halus, kemudian larva menembus vili-vili usus halus dan menetap selama 3-10 hari. Selanjutnya larva turun ke bawah menuju cecum dan menjadi dewasa di sana. ( Neva A and Brown HW, 1994 : Markell EK et al, 1992 ; Soedarto, 2008) Strongyloides stercoralis Cacing ini disebut juga dengan cacing benang. Predileksi cacing dewasanya pada mucosa usus halus terutama duodenum dan jejunum manusia. Cacing dewasa betina mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus yang panjang. Telur cacing ini berukuran 54 x 32 mikron, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang mempunyai ukuran 200 – 250 mikron. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan masuk ke dalam lumen usus. Terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya yaitu : Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi yaitu larva rabditiform dalam usus halus berubah menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus mukosa usus masuk ke dalam peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, menembus kapiler menuju alveoli, kemudian migrasi ke bronchi, larynx, pharynx dan tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan kedua, yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita. Di tanah, larva rabditiform setelah 2-3 hari berubah menjadi larva filariform yang merupakan larva infektif. Manusia tertular akibat masuknya larva infektif melalui kulit, masuk ke dalam peredaran vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, kemudian menembus kapiler menuju alveoli, dan mengalami migrasi ke bronchus, larynx, pharynx , tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan ke tiga yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita, ditanah berubah menjadi larva filariform kemudian berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina yang hidup bebas. Setelah kopulasi, cacing betina yang hidup bebas menghasilkan telur yang kemudian menetas menjadi larva rabditiform dan selanjutnya menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian larva filariform akan menembus kulit hospes dan sesudah melalui tahap migrasi paru larva akan menjadi dewasa dalam usus halus. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell et al, 1992; Soedarto, 2008). EPIDEMIOLOGI Infeksi oleh nematode usus biasanya berkaitan dengan jeleknya hygiene. Infeksi ini selalu ada terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam jumlah sedikit biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat menimbulkan masalah yang serius terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti oleh terhambatnya perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006) Ascariasis merupakan penyakit endemic di daerah tropis dan subtropis tetapi secara sporadis dapat terjadi di seluruh dunia. Penduduk pedesaan dengan kondisi sanitasi yang buruk mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi cacing ini. Orang dewasa biasa terinfeksi karena makan sayur mentah yang terkontaminasi oleh telur cacing ini baik dari feces penderita maupun dari tanah yang tercemar feces penderita, sedangkan pada anak – anak biasa terinfeksi dengan jalan tangan ke mulut ( hand to mouth) atau karena kebiasaan mengulum benda – benda atau mainan yang terkontaminasi telur cacing ini. Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan feces yang memenuhi syarat menurunkan tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik WK,1992) Menurut WHO (1985) yang dikutip oleh Onggowaluyo, infeksi parasit yang penting di dunia ada sepuluh yaitu Ascarislumbricoides, hookworm, Plasmodium, Trichuris trichiura, Amoeba, Filaria, Schistosoma sp., Giardia lamblia, Trypanosoma sp dan Leishmania sp. Dgn jumlah penderita cacing tambang 700.000.000, schistosomiasis 180.000.000, semua parasit usus 1.800.000.000 serta malaria 25.000.000. (Onggowaluyo JS, 2001) Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%, sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang secara berturutan pada tahun 2002 – 2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%. ( Depkes RI, 2006) Kejadian infeksi kecacingan pada anak berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat, dengan demikian berarti bahwa pengertian berperilaku hidup sehat akan menurunkan insidensi kecacingan pada anak.(Aria G, 2004) Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang penting baik di daerah iklim dingin maupun iklim panas, tetapi cacing ini lebih umum ditemukan di daerah beriklim panas dengan kelembaban yang tinggi dan paling banyak ditemukan di tempat-tempat dengan sanitasi yang jelek. Ascariasis ditemukan pada semua umur, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5 samapi 10 tahun. Di Indonesia kejadian ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai 80 %. (Onggowaluyo JS, 2001) Insiden kecacingan akibat cacing tambang cukup tinggi di Indonesia, kasus penyakit ini banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi cacing tambang ini berhubungan erat dengan kebiasaan Buang Air Besar di tanah. Kondisi tanah yang gembur , berpasir dan temperature sekitar 23 - 32°C merupakan tempat yang paling sesuai untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo JS, 2001) Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama didaearahdaerah pedesaan, antara 30% - 90%. Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh. (Onggowaluyo JS, 2001) PATOGENESA DAN MANIFESTASI KLINIS Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larva, cacing dewasa tinggal diantara lipatan mukosa usus halus dan dapat menimbulkan iritasi sehingga dapat menimbulkan rasa tidak enak di perut, mual serta sakit perut yang tidak nyata. Kadang-kadang cacing dewasa terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan dimuntahkan, sehingga keluar melalui mulut atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba eustachii. Dinding usus dapat ditembus oleh cacing dewasa sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sumbatan pada lumen usus serta toxin yang dihasilkannya akan menimbulkan manifestasi keracunan misalnya, oedema muka, uticaria dan nafsu makan menurun. Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan eosinofili dan alergi berupa urticaria, gejala infiltrasi paru, sembab pada bibir serta sindroma Lofflers. Larva yang migrasi ke organ lain dapat menimbulkan endophthalmitis, meningitis dan encephalitis. Pada anak-anak sering kali terlihat gejala perut buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan berwarna merah serta kurus akibat defisiensi gizi dan anemia. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat Menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh Necator americanus. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) Strongylidiasis ringan biasanya tidak menimbulkan gejala, pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang dalam mukosa duodenum menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium, disertai rasa mual , muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Pada infeksi berat dan kronis mengakibatkan berat badan turun, anemi, disentri menahun serta demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian dapat terjadi akibat bersarangnya cacing betina di hampir seluruh epithel usus, meliputi daerah lambung sampai ke daerah colon bagian distal yang disertai infeksi sekunder bakteri. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009) Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme dari terjadinya infeksi jangka panjang yang menetap dan bertahun-tahun. Parasit dan hospesnyan berada dalam status keseimbangan sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti. Jika oleh karena sesuatu hal, keseimbangan ini terganggu dan keadaan imunitas penderita menurun, maka infeksinya akan meluas dan meningkatkan produksi larva dan larvanya dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh. Keadaan ini disebut dengan sindroma hiperinfeksi. (Gracia, 1977) Trichuriasis paling sering menyerang anak usia 1 – 5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadangkadang terlihat pada mucosa rectum yang prolaps. Infeksi kronis dan sangat berat menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat mencapai 3 gr%, karena seekor cacing setiap hari menghisap darah 0,005 cc, diare dengan feses sedikit dan mengandung sedikit darah, sakit perut, mual, muntah serta berat badan menurun, kadangkadang disertai prolapsus recti. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI : Sampai saat ini kejadian penyakit kecacingan akibat infeksi nematode usus golongan Soil-Transmitted helminth masih cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang menunjang. Perilaku Buang Air Besar tidak pada jamban menyebabkan terjadinya pencemaran tanah oleh telur cacing cacing tambang sehingga meningkatkan resiko terinfeksi terutama pada orang atau anak – anak yang tidak memakai alas kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada lingkungan rumah dengan tanah halaman terkontaminasi telur cacing tambang memiliki resiko terinfeksi larva cacing tambang sebesar 13,0 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal pada lingkungan rumah tanpa kontaminasi telur cacing tambang. (Sumanto D,2010) Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis didapatkan taksiran tingkat prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di LPA Lakarsantri Surabaya sebesar 83,3%. Tingginya angka infeksi ini menunjukkan bahwa terdapat factor-faktor yang sangat menunjang, salah satunya adalah pencemaran tanah oleh telu atau larva cacing golongan soil-transmitted helminth. Dari hasil penelitian diketahui bahwa taksiran tingkat prevalensi pencemaran tanah adalah sebesar 93,3%. Hali ini menunjukkan refleksi dari perilaku buang air besar disembarang tempat yang ternyata sesuai dengan pengamatan dan hasil wawancara dilapangan bahwa dari 90 responden yang merupakan pemukim di LPA, 100% melakukan buang air besar dihalaman tempat tinggalnya atau lahan LPA. (Palgunadi BU, 1998) Anak yang tinggal dalam keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di kebun dan tempat lain halaman rumah, beresiko terinfeksi cacing tambang 4,3 kali lebih besar disbanding anak yang tinggal dengan keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di jamban. (Sumanto D, 2010) Sanitasi rumah merupakan faktor resiko kejadian infeksi cacing tambang, anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang buruk beresiko sebesar 3,5 kali lebih besar terinfeksi cacing tambang dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang baik. (Sumanto D, 2010) Hasil penelitian terhadap pemukim di LPA menunjukkan terjadi infeksi cacing tambang sebesar 70%. Tingginya angka tersebut kemungkinan disebabkan oleh prilaku seringkali tidak memakai alas kaki. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan dan wawancara di lapangan terhadap 90 responden, 76,7% mempunyai prilaku seringkali tidak memakai alas kaki. (Palgunadi BU, 1998) Anak yang mempunyai kebiasaan tidak memakai alas kaki beresiko terinfeksi cacing tambang 3,29 kali lebih besar dibanding anak yang mempunyai kebiasan memakai alas kaki dalam aktifitasnya seharihari.(Sumanto D, 2010) Anak yang mepunyai kebiasaan bermain dalam waktu yang lama di tanah, beresiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali lebih besar disbanding anak yang hanya sebentar bermain di tanah dalam sehari. (Sumanto D, 2010) Penelitian yang dilakukan terhadap pemukim di LPA Lakarsantri Surabaya menunjukkan taksiran tingkat prevalensi ascariasis dan trichuriasis masing-masing sebesar 33,3% dan 8,8% relative lebih rendah dibandingkan dengan infeksi cacing tambang sebesar 70 %, hal ini disebabkan karena dari 90 responden pemukim LPA sebanyak 64,4% mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan 86,7% tidak menyukai makan sayur mentah. (Palgunadi BU, 1998) Faktor iklim misalnya temperatur, kelembaban, curah hujan, mungkin merupakan faktor penting prevalensi infeksi Soil-Transmitted Helminth di Bali. Tingkat pendidikan yang rendah, hygiene pribadi dan lingkungan yang buruk , sosio ekonomi yang rendah dan perilaku juga merupakan faktor lain yang berpengaruh. (Wijana DP and Sitisna P, 2000) Di Negara kaya dan maju banyak penyakit parasit yang dapat diberantas, sebaliknya pada Negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo JS,2001) KESIMPULAN Dari kajian diatas, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing Soil-Transmitted Helminth di Indonesia adalah : 1. Faktor iklim : Indonesia merupakan daerah beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi serta suhu yang menunjang perkembangan biakan larva maupun telur cacing. 2. Tingkat pendidikan : Penduduk Indonesia sebagian besar masih tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian pribadi dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (ditanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan. 3. Sosio-ekonomi : sebagian besar masyarakat Indonesia, berpenghasilan rendah, hal ini menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Aria G, 2004. Hubungan Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah di Nagari Kumanis Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.UGM. Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi Kedoktran. Edisi 20. EGC. Hal. 670-678. Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia. Elmi, dkk. 2004. Status Gizi dan Infestasi Cacing Usus pada Anak Sekolah Dasar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Sumatera Utara. Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Tesis.Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Faust Ec et al.1976. Craig and Faust Clinical Parasitology.9thedition. Philadelphia.Lea & Febiger. Widjana DP and Sutisna P. 2000. Prevalence Of Soil-Transmtted Helminth Infection In The Rural Pupulation Of Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health vol. 31 No. 3 September 2000. Garcia LS and Bruckner DA. 1997. Diagnostic Medical Parasitology. 3rd edition. ASM Press. Ginting SA. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan Pada anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Sumatera Utara. USU Digital Library. Greenwood D et al. 2007. Medical Microbiology. 17th edition. Churchill Livingstone. pp. 634-636. Joklik WK et al. 1992. Zinsser Microbiology. 20th edition. Appleton and Lange. pp. 11861202. Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders Company. pp. 261-286. Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubung yang Diserang. EGC. Hal. 69-86. Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th edition. Prentice-Hall Intenational Inc. pp. 113-151. Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC. Hal. 11-31. Palgunadi BU. 1998. Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Usus Dalam Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Cacing Usus. Tesis. Program Pasca Sarjana Unuversitas Airlangga. Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Hal. 71-96. Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi