BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli Bakteri

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli dalam klasifikasi ilmiah adalah bakteri yang
tergolong dalam filum Proteobacteria, kelas Gammaproteobacteria, ordo
Enterobacteriales, yang termasuk ke dalam kelas Enterobacteriaceae, dan berasal
dari genus Escherichia (Ikmalia, 2008). Nama bakteri Escherichia coli berasal
dari nama seorang bacteriologist asal Jerman yaitu Theodor Von Escherich.
Bacteriologist inilah yang pertama kali berhasil mengisolasi bakteri Escherichia
coli pada tahun 1885, dan berhasil membuktikan bahwa diare dan gastoenteritis
yang terjadi pada infant disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (Andriani,
2006). Secara morfologis bakteri Esherichia coli merupakan bakteri yang berasal
dari golongan gram negatif dan berbentuk batang dalam sel tunggal ataupun
berpasangan. Bakteri ini bersifat motil dengan alat gerak berupa flagel peritrik
yang dimilikinya, tetapi beberapa bakteri ini ada yang bersifat nonmotil (Noviana,
2004). Esherichia coli mempunyai panjang sekitar 2,0 sampai 6,0 µm dengan
lebar 1,1 hingga 1,5 µm. Esherichia coli merupakan spesies bakteri yang tidak
memiliki kapsul (Supardi dan Sukamto, 1999). Bakteri Esherichia coli yang biasa
disingkat E. coli merupakan bakteri fakultatif anaerob yang artinya bakteri ini
dapat tumbuh dalam udara atmosfer dan juga dapat tubuh secara anaerob, dan
bakteri ini tidak memiliki spora, bakteri ini membentuk koloni bundar, halus,
cembung, dengan tepi yang nyata (Ismail, 2011). Bakteri ini memiliki dinding sel
yang terdiri dari lipoprotein, fosfolipid, murein dan lipopolisakarida. Lipoprotein
9
10
pada lapisan murein hanya berjumlah 20%, dan menyebabkan regiditas seluler
dari
E. coli, sedangkan 80% sisanya adalah lapisan lipid bilayer. LPS yang
berfungsi sebagai lapisan dinding sel utama membentuk suatu rantai polisakarida
khusus yang merupakan dasar dari penentuan antigenitas dan bertanggung jawab
atas aktivitas endotoksinnya (Yusuf, 2011).
E. coli dapat tumbuh pada suhu optimum 37ᴼC, dengan interval untuk
pertumbuhannya adalah antara 10ᴼC-40ᴼC dengan nilai pH maksimum 8,5.
Bakteri E. coli merupakan bakteri yang relatif sensitif terhadap panas sehingga
akan mati atau inaktif pada suhu pasteurisasi atau selama pemasakan makanan
(Maloha, 2002). Bakteri ini memiliki tiga antigen diantaranya adalah antigen O
(somatik), antigen H (flagella), dan antigen K (kapsula) (Winn et al., 2006).
Menurut Ismail (2011) E. coli memiliki sifat biokimia, dimana kuman ini mampu
meragikan glukosa, laktosa, sukrosa, manitol, dan maltosa dengan membentuk
asam dan gas sehingga pada media MacConkey, dan media eosine methylene blue
koloni yang terbentuk berwarna merah muda sampai merah tua dengan kilatan
logam yang spesifik, dan menampilkan permukaan yang halus. Pada uji indol dan
methyl red bakteri ini menunujukan hasil positif sedangkan pada uji voges
proskauer menunjukan hasil negatif. Bakteri ini tidak menghidrolisa urea dan
tidak membentuk H2S. Pada media agar eosyn methylene blue bakteri E. coli
menunjukan pertumbuhan morfologi yang khas dimana koloni yang tumbuh
memiliki warna pelangi yang berkilau seperti logam atau mettalic sheen (Maloha,
2002).
11
Bakteri E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan bagian
bawah pada hewan berdarah panas dan manusia, dan bakteri ini menjadi patogen
apabila berada di luar jaringan intestinal. (Hawa et al., 2011). Secara normal
bakteri E. coli berada pada traktus gastrointestinal neonates sejak berusia 40 hari,
yang didapat dari minuman, makanan dan individu yang bersentuhan dengan bayi
(Nelson, 2000). Manifestasi dari infeksi bakteri E. coli ini tergantung dari letak
daerah yang diinfeksi, dan gejala yang di timbulkan tidak dapat dibedakan dengan
gejala yang disebabkan oleh infeksi bakteri lain (Noviana, 2004). Menurut Ismail
(2011), dalam virulensinya E. coli dapat di klasifikasikan ke dalam beberapa grup,
diantaranya adalah E. coli Enteropatogenic (EPEC) diare ini umumnya
menyerang bayi di negara berkembang. Manifestasi yang di timbulkan dari infeksi
EPEC adalah diare yang encer yang umumnya dapat sembuh dengan sendirinya
namun dapat juga menjadi kronik. Grup kedua adalah E. coli Enterotoxigenic
faktor kolonisasi yang dimiliki ETEC spesifik untuk mengadakan perlekatan pada
usus halus manusia. Beberapa ETEC menghasilkan dua jenis endotoksin yang
tidak tahan panas yaitu LT sedangkan yang tahan panas yaitu ST. Apabila strain
ETEC menghasilkan kedua toksin tersebut maka akan menyebabkan diare yang
lebih parah. Grup ketiga adalah E. coli Enterohemoragic, dimana grup ini
menghasilkan verotoksin. Serotipe yang satu-satunya memproduksi verotoksin
adalah serotipe 0157:H7. Dalam infeksinya EHEC menyebabkan diare yang berat,
sindroma hemolitik uremik, dan kolitis hemoragik. Grup ke empat adalah E. coli
Enteroinvasif, E. coli dari grup ini dapat menginfeksi dengan cara menginvasi sel
epitel dari mukosa usus, dan diare yang terjadi hanya di temukan pada manusia.
12
Grup E. coli yang terakhir adalah E. coli Enteroagregatif, E. coli tipe ini dapat
menyebabkan diare secara akut maupun kronik pada masyarakat luas di negara
berkembang. Cara infeksi dari grup ini memiliki pola perlekatan yang sangat khas
pada sel manusia.
2.1.1 Bakteri Eschericia coli O157:H7
Bakteri Escherichia coli O157:H7 atau yang umum disingkat E. coli
O157:H7 adalah satu-satunya strain dari E. coli yang dapat diidentifikasi dalam
contoh klinis. Dalam metabolismenya bakteri E. coli O157:H7 tidak
menggunakan sorbitol dan dalam media MacConkey bakteri ini bereaksi negatif.
Masa inkubasi dari E. coli O157:H7 adalah selama 3 sampai 8 hari (Ismail, 2011).
Menurut hasil identifikasi yang telah dilakukan oleh Sartika et al. (2005)
menyatakan bahwa pada media SMAC (sorbitol MacConkey agar) E. coli
O157:H7 morfologinya akan terlihat berupa koloni yang berwarna merah dengan
zona jernih disekitarnya (colourless), hal ini menunjukan bahwa suspect positif
dari bakteri E. coli O157:H7 dikarenakan lambat dalam memfermentasikan
sorbitol. Sedangkan strain non E. coli O157:H7 akan menunjukan koloni
berwarna merah jambu tanpa zona. Setelah dilakukan uji pada media SMAC,
selanjutnya dilakukan uji serologi dengan uji lateks aglutinasi buatan Oxoid, hasil
positif dari uji serologi ini akan menunjukan aglutinasi yang halus dalam waktu
beberapa menit.
Kelompok dari E. coli O157:H7 EHEC merupakan bakteri yang tidak
memiliki enzim ß -glukoronidase sehingga tidak dapat mengubah medium 4metiliumbeliferil-ß-D-glukoronida (MUG) menjadi berfluoresen, sedangkan E.
13
coli lainnya memiliki enzim ß-glukoronidase sehingga dapat mengubah medium
4-metiliumbeliferil-ß-D-glukoronida (MUG) menjadi berfluoresen (Hariyadi,
1996). Ketidak mampuan bakteri ini dalam memfermentasi sorbitol dalam jangka
waktu 24 jam adalah salah satu sifat VTEC O157 yang khas yang
membedakannya dari E. coli yang lain (Zadik et al., 1993).
Bakteri E. coli O157:H7 merupakan bakteri yang memiliki kemampuan
untuk memproduksi toksin berupa antigen yang disebut verotoksin atau dapat juga
disebut shiga like toxin (Stx). Verotoksin dan Stx memiliki struktur kimia dan
biologis yang sama namun yang membedakannya hanya pada gen penyandinya
(Mainil, 1999). Terdapat dua jenis shiga like toxin yaitu adalah Stx1 dan Stx2,
dimana toksin ini merupakan faktor virulensi dari E. coli O157:H7 yang utama
(Andriani, 2006). Gen stx2 menimbulkan toksin yang lebih poten dibandingkan
dengan toksin yang dikodekan oleh gen stx1. Toksin yang dikeluarkan akan
melakukan ikatan dengan reseptor glikolipid pada saluran sel endotelial dari usus.
Apabila toksin dari E. coli O157:H7 sampai pada ginjal maka akan menyebabkan
haemolytic uraemic syndrome yaitu infeksi akut pada ginjal (Andriani, 2006).
Sampai saat ini informasi keberdaan E. coli O157:H7 dalam kaitannya sebagai
agen zoonosis di Negara Indonesia masih sangat jarang terungkap. Sedangkan
Shiga toxin yang dikeluarkan oleh bakteri E. coli O157:H7 ini dapat menyebabkan
dampak yang cukup fatal dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat
tinggi terutama pada anak-anak (Acheson, 2000).
Umumnya bakteri E. coli O157:H7 terdapat dalam saluran pencernaan
ternak sapi yang sehat, dimana E. coli O157:H7 yang terdapat dalam saluran
14
pencernaan ternak sapi tidak menyebabkan ternak tersebut menderita sakit, namun
ternak yang dalam saluran pencernaanya terdapat E. coli O157:H7 maka ternak
tersebut bersifat karier yang dapat menyebabkan penyebaran atau penularan E.
coli O157:H7 ke hewan maupun ke manusia lain. Secara histologis, bakteri E. coli
O157:H7 mampu menimbulkan lesi pada saat attaching dan effachin (AE), namun
kejadian ini tidak spesifik hanya terjadi pada EHEC dikarenakan E. coli
Enteropatogenic juga mampu menimbulkan lesi yang sama (Mainil dan Daube,
2005). Verocytotoxigenic Esherichia coli OI57:H7 (VTEC) sangat menarik untuk
diketahui keberadaanya dalam kesehatan manusia karena bakteri ini dapat
menyebabkan diare berdarah, thrombotic thrombocytic purpura (TTP) dan juga
hemolytic uremic syndrome (HUS) pada manusia (Andriani, 2006).
2.2 Distribusi Infeksi Escherichia coli O157:H7
Bakteri Escherichia coli O157:H7 adalah salah satu strain dari ratusan E.
coli yang patogen dan berbahaya, serta menghasilkan toksin yang sangat kuat dan
mampu menyebabkan berbagai penyakit pada manusia diantaranya adalah
hemolitic uremic syndrom (HUS) yang menyebabkan gagal ginjal dan anemia,
dan Hemorrhagic colitis yang merupakan peradangan pada usus besar yang
mengakibatkan pendarahan (bloody diarhea). Bakteri Escherichia coli O157:H7
petama kali dikenal sebagai bakteri yang patogen dikarenakan dari hasil
penyebarannya yang luar biasa dari penyakit gastrointestinal tahun 1982, dimana
diketahui penyebarannya pertama kali tersebut berasal dari hamburger yang
terkontaminasi (Kandou, 2009). Sejak tahun 1982 tersebut penyebaran E. coli
O157:H7 menurut data yang terkumpul sudah terjadi dari berbagai makanan
15
seperti sari buah apel, susu murni, daging sapi giling dan produknya, serta berasal
dari kecambah tanaman alfalfa yang umumnya dimanfaatkan sebagai pakan untuk
ternak termasuk ternak sapi. Diketahui juga penyebaran berasal dari air minum
dan air kolam renang yang telah terkontaminasi oleh Bakteri Escherichia coli
serotipe O157:H7. Pada tahun 2000, diketahui terjadi kontaminasi E. coli
O157:H7 pada air yang disuplai oleh pemerintah Walkerton, Canada. Dalam
penyebarannya bakteri ini menyebabkan 2000 kasus dengan 6 kematian
(Bettelheim et al., 2003).
Infeksi dari E. coli O157:H7 yang terjadi pada manusia umumnya selalu
berhubungan dengan food borne disease. Dimana bakteri ini menyerang
masyarakat, lingkungan sekolah, dan pada orang tua yang kesehatannya sedang
menurun. Kelompok E. coli O157:H7 pada dasarnya dibawa oleh ruminansia
dalam jumlah yang besar pada saluran pencernaanya dan berpotensi untuk
melakukan pencemaran pada makanan yang berasal dari hewan.
Feses atau
kotoran yang mengandung E. coli O157:H7 lebih banyak dieksresikan pada sapi
yang berumur kurang dari 2 tahun, dan pada ternak yang dewasa bakteri ini
berkolonisasi dalam usus dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada hewan atau
ternak bakteri E. coli O157:H7 memiliki sifat karier dan tidak patogenik (Suwito,
2009)
Penyebaran infeksi dari E. coli O157:H7 dapat terjadi dari hewan ke
manusia dan dari manusia yang satu ke manusia lainnya sehingga infeksi dari E.
coli O157:H7 digolongkan menjadi penyakit zoonosis. Di lihat dari cara
infeksinya ke manusia, E. coli O157:H7 menyebar melalui dua jalur yaitu
16
penyebaran secara langsung dan tidak langsung. Penyebaran secara langsung dari
E. coli O157:H7 terjadi melalui konsumsi daging ternak sapi atau produk
olahanya yang terkontaminasi oleh feses ternak. Dosis infektif untuk dapat
menginfeksi dan menimbulkan gejala klinis dari E. coli O157:H7 ± adalah 10
colony forming unit (cfu) dengan masa inkubasi 2 sampai 8 hari dan gejalanya
akan muncul setelah sekitar 3 sampai 4 hari pascainfeksi. Gejala awal yang akan
tampak adalah mual, kejang perut, muntah dengan masa inkubasi sekitar 1 sampai
9 hari dan rata-rata 3 sampai 9 hari. Gejala-gejala tersebut diikuti dengan diare
yang akan berlangsung sekitar 1 sampai 2 hari, kemudian akan adanya akumulasi
darah di dalam feses atau berupa darah saja (Pruimboom-Bress et al., 2000).
Sedangkan penyebaran secara tidak langsung terjadi melalui air atau air
dalam kolam renang yang terkontaminasi oleh E. coli O157:H7 dan juga kontak
antar manusia (Blanco et al., 2004). Penyebaran antar manusia dapat terjadi secara
peroral dari manusia yang terinfeksi ke manusia lainnya. Selain itu, pernah
dilaporkan
adanya
infeksi
secara
waterborne
di
kolam
renang
yang
terkontaminasi, dan pada tahun 2001 di Ohio juga telah dilaporkan kasus airborne
infection yang bersumber dari dinding dan debu bangunan dimana setelah
dilakukan pemeriksaan manusia yang berada di sekitar bangunan tersebut
mengalami infeksi oleh E. coli O157:H7 (Andriani, 2006).
Selain dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia penularan E.
coli O157:H7 dapat juga disebarkan melalui ternak sapi yang satu ke ternak sapi
yang lain melalui kontak secara langsung melalui kulit, dikarenakan bakteri E.
17
coli O157:H7 pada kulit sapi dapat bertahan hidup pada kulit ternak tersebut
kurang lebih selama 9 hari (McGee et al., 2004).
2.3 Faktor Resiko Infeksi Escherichia coli O157:H7
Menurut Hanif et al. (2003) pemeliharaan ternak di Negara Indonesia
umumnya masih sangat sederhana dan tradisional, berada di lahan yang sempit
dan limbah ternak yang dibiarkan tanpa pengelolaan yang baik, maka resiko
pencemaran lingkungan peternakan terutama pada air dan infeksi E. coli O157:H7
pada sapi cukup tinggi.
Berdasarkan beberapa penelitian penyebaran infeksi dari E. coli O157:H7
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Hanif et al., tahun 2003 menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap
penyebaran infeksi E. coli O157:H7 adalah berasal dari bahan tempat
pembuangan limbah yang berarti adanya E. coli O157:H7 dalam feses ternak sapi
bersumber dari bahan tempat limbah. Variabel bahan tempat limbah memiliki
asosiasi positif terhadap infeksi E. coli O157:H7 pada sapi, hal ini mengartikan
bahwa apabila tempat limbah ternak terbuat dari tanah, maka kemungkinan
terinfeksi E. coli O157:H7 pada ternak tersebut akan semakin besar.
Sedangkan menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Sumiarto, 2004
menyatakan bahwa variabel yang memiliki pengaruh besar terhadap infeksi
VTEC adalah kebersihan sapi, berdasarkan model penelitian yang dilakukan,
kebersihan sapi memberikan pengaruh infeksi VTEC pada ternak sebanyak
1,16914 dengan odds ratio kebersihan sapi sebesar 3,22. Hasil tersebut
menyatakan bahwa sapi kotor memiliki resiko 3,22 kali lebih besar terinfeksi
18
VTEC dibandingkan dengan ternak yang bersih. Kondisi ternak umumnya kotor
dikarenakan adanya tinja yang menempel pada sebagian atau seluruh tubuh ternak
dikarenakan lantai kandang yang kotor (84,9%). Kotoran yang menempel pada
tubuh sapi ini adalah tempat yang efektif untuk bersarangnya E. coli O157:H7.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kebersihan sapi dan kebersihan
lantai kandang merupakan faktor utama infeksi VTEC pada sapi.
Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sartika, tahun 2005
sumber air pada peternakan juga mempengaruhi infeksi E. coli O157:H7. Dimana
pada sumber air yang berasal dari sumur di daerah Batutulis menunjukan hasil
positif pencemaran E. coli O157:H7 sebesar 60%. Keadaan kualitas air yang
buruk tersebut dapat diakibatkan karena manajemen pengaturan limbah feses yang
kurang memadai sehingga menyebabkan pencemaran pada air yang digunakan.
Selain itu jarak sumur terlalu dekat (±2 m) dengan tempat pengumpulan kotoran
atau feses ternak sehingga mengakibatkan pencemaran sumber air.
Disamping faktor bahan pembuangan limbah, sumber air, dan kebersihan
ternak dan kandang ternak, Kudva et al. (1996) menyatakan bahwa infeksi VTEC
pada ternak tinggi dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu pakan,
kondisi geografis, stres, musim dan kepadatan ternak.
Hasil penelitian lain yang di publikasiakan oleh Suardana et al. (2013) di
Kabupaten Badung menyatakan bahwa banyak variabel yang menjadi faktor dari
infeksi E. coli O157:H7, dimana variabel tersebut antara lain adalah umur sapi,
jenis kelamin, sistem pemeliharaan, sumber air minum ternak, keadaan cuaca,
ketinggian dari permukaan laut, jenis lantai kandang, kebersihan lantai kandang,
19
kemiringan lantai kandang, dan kebersihan sapi. Berdasarkan variabel tersebut
dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa faktor yang memiliki pengaruh nyata
terhadap kejadian infeksi E. coli O157:H7 pada ternak sapi di Kabupaten Badung
adalah kemiringan lantai kandang dan keadaan cuaca. Dimana umumnya infeksi
E. coli O157:H7 lebih banyak terjadi pada musim hujan dibandingakan musim
kemarau, dikarenakan pada musim hujan sapi cenderung lebih kotor. Sedangkan
berdasarkan kemiringan lantai kandang, dinyatakan bahwa kandang dengan
kemiringan yang datar cenderung memiliki resiko yang lebih besar terhadap
infeksi E. coli O157:H7 dibandingkan dengan lantai kandang yang miring.
Dikarenakan lantai yang datar umumnya selalu lembab, dan basah karena tinja
dan air kencing ternak sapi, sehingga sapi menjadi kotor, dan apabila sapi kotor
maka berasosiasi kuat terhadap penyebaran infeksi E. coli O157:H7 (Suardana et
al., 2013).
2.4 Kondisi Geografis Kecamatan Abiansemal
Kecamatan Abiansemal merupakan salah satu Kecamatan yang berada di
utara Kabupaten Badung, Pronvinsi Bali. Kecamatan Abiansemal memiliki luas
sekitar 69,01 km². Kecamatan ini merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten
Badung yang memiliki populasi sapi lokal dalam jumlah yang cukup banyak.
Kecamatan ini merupakan daerah dataran rendah yang memiliki ketinggian sekitar
75-350 meter diatas permukaan laut dengan suhu terendah sekitar 22ᴼC dan
memiliki suhu maksimum sekitar 28ᴼC. Daerah Kecamatan Abiansemal memiliki
curah hujan yang cukup tinggi yaitu 379,8 mm. Sebagian besar lahan yang berada
20
di Kecamatan Abiansemal merupakan lahan pertanian, sebesar 44,10%
merupakan lahan pertanian bukan sawah dan 42,78% adalah lahan sawah.
Wilayah Kecamatan Abiansemal sebagian besar pertanian dikarenakan daerahnya
yang relatif landai dan iklimnya sangat cocok untuk pertanian. Lahan peternakan
sapi di daerah Kecamatan Abiansemal umumnya terletak di sawah-sawah milik
penduduk yang di pelihara secara tradisional dengan cara di kandangkan pada
malam hari dan diumbar pada siang hari (BPS Kabupaten Badung, 2011).
Download