Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Kanyouku 「慣用句」 Dalam bahasa Jepang, penggunaan kanyouku 「慣用句」dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Kanyouku「慣用句」sendiri sering disalah artikan. Pada umumnya, petutur menerjemahkan kanyouku 「慣用句」secara leksikal, padahal arti kanyouku 「慣用句」tidak dapat diartikan begitu saja. Inoue (1989 : 70) menyatakan bahwa: 慣用句というのは、二つ以上の語が結びついて、全体で一つの固定した意味を表す もので、文中では、一語相当のものとして用いられる。したがって、個々の語の意 味や文法的な動きとは、別個の存在である。 Terjemahan: Kanyouku adalah gabungan dua kata atau lebih, biasanya mewakili satu makna secara keseluruhan, yang digunakan sebagai suatu kesesuaian dengan satu kata. Oleh karena itu, makna dan fungsi gramatikal dari setiap kata mengandung sebuah pengertian dari kata lain. Idiom merupakan bentuk ungkapan yang sudak tidak mengikuti aturan tata bahasa yang berlaku pada bahasa yang bersangkutan. Dalam teori kanyouku 「慣用句」Kunihiro.T, (1985 : 4) menyatakan bahwa: 「言語研究において、文法意論とは別に慣用句が問題にされるのは慣 用句が文法の一般的な規則ならびに個々語の普通の意味だけでは律することのでき ない性質のものだからである。」 Terjemahan : “Idiom merupakan bentuk ungkapan yang dipermasalahkan terkait dengan karakteristik idiom tersebut yang tidak bisa diduga seperti makna kata pada umumnya dengan aturan tata bahasa dan teori semantik bahasa yang bersangkutan.” Seringkali orang salah mengartikan kanyouku 「慣用句」karena sifatnya yang tidak dapat di artikan begitu saja berdasarkan kata-kata yang membentuknya. Momiyama (1996 : 29) menyatakan bahwa, makna kanyouku「慣用句」adalah makna dari gabungan dua kata atau lebih yang sudah ditetapkan, dan makna kanyouku「慣用句」yang dihasilkan tidak bisa dicerna berdasarkan makna leksikal maupun makna gramatikal gabungan kata pembentuk kanyouku「慣用句」tersebut. Walaupun dikatakan makna kanyouku「慣用句」tidak dapat dimasukkan ke dalam kaidah umum gramatikal yang berlaku atau tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya. Namun untuk kanyouku「慣用句」jenis tertentu masih dapat diprediksikan maknanya ditinjau secara historis komparatif dan etimologis, serta asosiasi terhadap lambang yang dipakai, karena masih terlihat adanya hubungan antara makna keseluruhan dengan makna leksikal unsur kata pembentuk kanyouku「慣用句」tersebut. 2.2 Teori Semantik Agar dapat memahami kanyouku「慣用句」dengan baik, diperlukan pemahaman yang baik mengenai semantik (imiron). M.Breal dalam Parera, J.D (2004 : 14) semantik adalah pelafalan lain dari istilah “la semantique” yang merupakan satu cabang studi linguistik general. Oleh karena itu, semantik di sini adalah satu studi dan analisis tentang makna linguistik. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani “sema” (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah “semaino” yang berarti menandai atau melambangkan. Jadi, ilmu semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda- tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda liguistik. Menurut Saussure (2007) tanda linguistik terdiri dari 1. Komponen makna yang menggantikan yang berwujud bunyi bahasa 2. Komponen yang diartikan atau makna komponen pertama Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa atau yang lazim disebut referen. Jadi, ilmu semantik adalah 1. Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya 2. Ilmu tentang makna atau arti Ichiro (1991 : 1-3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, kalimat. Menurutnya, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif maupun secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan lahir maknamakna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 2.2.1 Teori Medan Makna Kata-kata atau leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata itu. Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal (Chaer, 2007 : 315). Chaer (1994 : 315) memberikan definisi medan makna, yaitu : “Yang dimaksud dengan medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.” Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya dalam kalimat yang terdapat dalam Chaer (2007: 315). ‘Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya’. Kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan. Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa di subsitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu. J. Trier dalam Parera (2004 : 139) mengatakan bahwa vokabulari sebuah bahasa tersusun rapih dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokan antar sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. Sebagai contohnya, J. Trier memberikan contoh dengan menurunkan dua medan makna dari kata pandai . Tabel 2.2.1.1 Medan Makna Pandai Cerdik Bijak Terpelajar Berpengalaman Terdidik Cendekiawan Sumber : Parera (2004 :139) 2.1.2 Teori Makna Denotatif dan Konotatif Masalah bentuk kata lazim dibicarakan dalam tatabahasa setiap bahasa. Bagaimana bentuk sebuah kata dasar, bagaimana menurunkan kata baru dari bentuk dasar atau gabuungan dari bentuk-bentuk dasar biasanya dibicarakan secara terperinci dalam tatabahasa. Yang agak diabaikan adalah masalah makna kata. Padahal masalah ketepatan pilihan kata atau kesesuaian pilihan kata tergantung pula pada makna yang didukung oleh bermacam-macam bentuk itu (Keraf 2009 : 27). Menurut Keraf (2009 : 27-28) kata yang tidak mengandung makna atau perasaaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif, sedangkan makna kata yang mengandung arti atau tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum, dinamakan makna konotatif atau konotasi. Keraf dalam bukunya (2009 : 28) menyatakan bahwa: Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan: stimulus dan respons menyangkut hal-hal yang dapat dicerap pancaindra dan rasio manusia. Makna ini disebut makna proposisional kerena bertalian dengan informasiinformasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata. Dalam bentuk yang murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi yang mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi. Setiap kata sendiri memiliki denotasi, maka penulis harus mempersoalkan apakah kata yang dipilihnya sudah tepat. Ketepatan pilihan kata itu tampak dari kesanggupannya untuk menuntun pembaca kepada gagasan yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan-gagasan yang akan disampaikan itu (Keraf, 2009 : 28-29). Makna denotatif dibedakan menjadi dua macam, yaitu relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya (Keraf, 2009 : 29). Menurut Chaer (2007 : 292) makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Menurut Keraf (2009 : 29) yang dimaksud dengan makna konotatif adalah sebagai berikut, Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar: di pihak lain, kata yng dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Memilih makna konotasi jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih denotasi. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Apabila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, misalnya kurus-kering untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, makna kesalahan semacam itu mudah diketahui dan diperbaiki. Hal yang sulit adalah perbedaan makna antara kata- kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu (Keraf, 2009 : 29) Sinonim sering dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Dalam kenyataanya terdapat sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya pada kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama yaitu “peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya”. Akan tetapi kata meninggal, wafat, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat mempunyai konotasi lain yaitu mengandung nilai kebesaran, dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna denotatif (Keraf, 2009 : 29-30). Chaer (2007 : 292) menyatakan bahwa makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut.